Naskah: DS. Nugraheni Cerita: Gunawan Maryanto Penyunting: Anastasia Melati (BPPI) Wieske O. Sapardan, Maria A. Kusalasari (UNESCO Jakarta) Gambar: Prihatmoko Catur Tata Letak: Carlos Iban Penyunting Artistik: Sinta Carolina Editor in Chief: Anastasia Melati Konsultan Artistik: Agung Kurniawan Tim Pendidikan Pusaka Indonesia Penasehat: Setyanto P. Santosa, Ketua Dewan Pimpinan BPPI Penanggung Jawab: Catrini P. Kubontubuh, Direktur Eksekutif BPPI Tim Ahli: Diah Harianti, Kepala Pusat Kurikulum Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional RI. Erry Utomo, Pusat Kurikulum Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional RI Ketua Tim: Laretna T. Adishakti Anggota: Anastasia Melati, Anggi Minarni, Dwita Hadi Rahmi, Elanto Wijoyono, Hairus Salim, Joko S. Gombloh, DS. Nugrahani, Sinta Carolina, Suhadi Hadiwinoto, Yeny Paulina Leibo Koordinator Tim Artistik: Anang Saptoto Anggota: Artadi, Carlos Iban, Ignatius Ade, Imam Nazarudin, Mulyo Gunarso, Prihatmoko Catur, Yudha Sandy, Granita Ika Zulaycha Konsultan Desain: Agung Kurniawan ISBN: 978-602-8756-16-7 Penerbit: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Bekerjasama dengan: Kantor UNESCO Jakarta
Melanjutkan program pilot Pendidikan Pusaka BPPI 2008-2010 bersama Erfgoed Nederland Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional RI Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM Cetakan Pertama: Juli 2010 Kontak: BPPI/Indonesian Heritage Trust Jl. Veteran I No. 27, Jakarta 10110 www.bppi-indonesianheritage.org Telp/fax: +62 21 3511127
Pusaka di Yogyakarta sangat beragam. Di sekeliling kita, seperti di rumah dan sekolah, terdapat beragam pusaka. Ada pusaka alam, budaya dan saujana yang merupakan gabungan antara pusaka alam dan budaya. Penerbitan seri 'Pendidikan Pusaka Untuk Anak' merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan keragaman pusaka Indonesia agar anak-anak lebih mengenal, memahami, dan peduli pusaka. Mengingat banyaknya keragaman pusaka, seri buku ini akan terus diproduksi. Produksi nantinya tidak hanya dilakukan di Yogyakarta, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Anak-anak, orang tua, dan guru dipersilakan memanfaatkan berbagai seri buku ini. Masukan, koreksi, dan perbaikan sangat diharapkan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung terwujudnya seri buku ini. Semoga pusaka Indonesia lestari dan anak-anak berperan di dalamnya.
Laretna T. Adishakti Ketua Tim Pendidikan Pusaka BPPI
Prenjak
Kutut
Beo
“Masih jauh, Tut?” teriak Prenjak yang sedikit tertinggal di belakang. Kutut yang dipanggil segera menjawab tanpa menurunkan kecepatannya, “Sebentar lagi, Njak! Sebentar lagi kita akan sampai di candi pertama.” “Iyaaa! Tenagaku sudah hampir habis!” sahut Prenjak. “Tenanglah. Nanti tenagamu pasti segera pulih kalau kita sampai di sana!” hibur Kutut mencoba menenangkan sahabatnya.
“Ya, akhirnya kita sampai juga. Inilah Candi Ratu Boko,” kata Kutut bak seorang pemandu wisata. “Wow! Besar sekali kompleksnya, Tut! Benarkah di sini dulu tinggal Ratu Boko seperti dalam kisah Bandung Bondowoso?” tanya Prenjak sambil terkagum-kagum melihat luasnya kompleks bangunan Candi Ratu Boko. “Bukan, itu hanya kisah legenda saja. Kata bapakku, kompleks ini dulunya merupakan sebuah wihara. Namanya Abhayagiri. ‘Abhaya‛ berarti tidak ada bahaya, sedangkan ‘giri‛ berarti gunung. Jadi, kurang lebih artinya gunung yang begitu aman,” jelas Kutut sambil memamerkan pengetahuannya. Ia senang melihat Prenjak terkagum-kagum mendengar penjelasannya.
“Benar juga. Kalau kita berada di ketinggian seperti ini, maka kita dapat melihat ke mana-mana. Sangat aman, karena kita dapat melihat siapapun yang datang ke tempat ini. Jika ada serangan musuh, kita dapat segera bersiap untuk menyambutnya,” kata Prenjak yang berusaha mencari penjelasan mengapa wihara ini bernama Abhayagiri.
“Wow, lihat!” seru Prenjak menunjuk ke arah utara. “Itu kan Candi Prambanan!” kali ini gantian Kutut yang terkagum-kagum melihat pemandangan itu. “Gunung Merapi juga tampak! Indah sekali!” tambah Kutut kegirangan. J “Jadi, nenek moyang kita membangun candi-candi di sini selain demi keamanan, rupanya demi keindahan juga ya,” kata Prenjak.
“Bukit ini begitu tinggi dan penuh bebatuan. Tentu air sulit didapat. Dari mana mereka dulu mendapatkannya, ya?” tanya Prenjak.
Kutut kebingungan menjawab. Dia berpikir dengan keras, sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Kutut melihat beberapa rumah penduduk. “Bagaimana kalau kita tanyakan ke orang-orang yang tinggal di sini? Bukankah mereka yang tinggal di sini tidak kekurangan air?” tanya Kutut pada Prenjak. Mereka pun terbang menuju ke salah satu rumah penduduk.
“Kami membuat kolam-kolam penampungan air hujan, Nak. Bapak tidak tahu sejak kapan orang membuat kolam seperti ini. Simbahnya simbah juga sudah melakukannya dari dulu. Kolam tadah hujan ini dapat membuat kami bertahan sepanjang musim kemarau,” jelas Pak Beo yang tinggal tak jauh dari candi. Kutut dan Prenjak manggut-manggut. Mereka tampak dapat menemukan kaitannya dengan bangunan kolam di Candi Ratu Boko. Menyimpan air hujan seperti ini rupanya sudah dilakukan sejak jaman dahulu kala. Sejak wihara Abhayagiri didirikan pada tahun 782 Masehi.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan, Njak! Kamu masih kuat kan?” tanya Kutut. “Ayo! Siapa takut?” sahut Prenjak dengan riang gembira.
“Rupanya ini teras kedua!” Kutut semakin mantap menerangkan. Prenjak tersenyum geli melihat tingkah teman baiknya. “Teras yang ini menarik! Banyak balok batunya. Sepertinya bagian dari sebuah bangunan, ya? Mungkin bangunannya dari kayu, sehingga sudah lapuk dimakan zaman,” lanjut Kutut. Prenjak mengamati batubatu yang bentuknya mirip umpak tiang kayu. “Benar juga,” pikirnya. Mungkin dulu ini bangunan rumah tinggal atau pendopo dari kayu. Batu-batu ini adalah penyangga tiang-tiangnya. “Cukup! Kita segera melanjutkan ke teras terakhir!” seru Kutut.
Kutut segera menggandeng Prenjak memasuki halaman candi. Setelah menaiki tiga anak tangga, mereka memasuki sebuah halaman kosong, yang sisi-sisinya diperkuat pondasi batu. “Wah, rupanya ini teras candi yang pertama!” kata Kutut bak seorang peneliti. Prenjak manggut-manggut sambil melihat sekeliling. “Kosong? Tidak ada bangunan apa-apa? Yuk, kita ke teras selanjutnya saja!” ajak Kutut sambil melangkah penuh semangat. Prenjak mengikutinya dari belakang.
Kutut dan Prenjak memasuki sebuah gapura berhias Kala-Makara. Mereka berhenti sejenak di gapura tersebut. “Seperti barong!” kata Prenjak menunjuk motif Kala. “Oo...mungkin karena itulah maka candi ini disebut Candi Barong,” Kutut mulai mendugaduga.
Di teras terakhir ini terletak dua buah candi, sepasang candi kembar yang tadi tampak dari kejauhan. “Nah, akhirnya kita sampai di candi utamanya, Njak!” seru Kutut sambil menatap wajah temannya, “Bagus bukan?” Prenjak tak menjawab. Ia hanya menatap wajah temannya dengan kelegaan yang hampir sama. “Apa kedua candi ini renjjak benar-benar kembar, ya?” tanya Prenjak kemudian. “Tidak juga. Mirip, tapi tak sama benar. Coba kamu perhatikan baik-baik, satu lebih besar dari yang lain,” kata Kutut.
“Hei, Tut, lihatlah hamparan pemandangan hijau yang luar biasa itu!” seru Prenjak. Kutut menghampiri Prenjak. Ia turut menikmati pemandangan alam yang ditunjuk oleh Prenjak. Lembah dan hamparan sawah yang menghijau. “Rupanya nenek moyang kita memilih membangun candi di puncak bukit ini agar senantiasa dapat mengagumi alam ciptaan-Nya.” “Itu apa, Tut?” tanya Prenjak menunjuk ke arah barat daya. Sebuah bangunan hitam dan kecil.
“Ooo. Itu sepertinya sebuah candi. Candi apa namanya, ya? Bapak pernah bercerita padaku tentang sebuah candi kecil yang kelihatan dari Candi Barong. O, aku ingat! Candi itu namanya Banyunibo,” seru Kutut. “Kalau itu?” tanya Prenjak sembari menunjuk ke arah utara, sekitar 200 meter dari tempat mereka berada. “Apakah batu-batu itu reruntuhan candi juga? Ayo, kita ke sana!” ajak Kutut.
Kutut dan Prenjak sudah berada di reruntuhan candi yang tadi ditunjuk oleh Kutut. “Batu-batu apa ini, ya? Kok bentuknya ada yang melingkar?” “Itu situs Dawangsari, Nak.” Tiba-tiba ada suara muncul dari belakang mereka. Pak Beo yang mengenakan caping dan membawa sabit tampak sedang mencari rumput. “O, namanya Dawangsari ya, Pak? Apakah ini bagian dari Candi Barong?” tanya Kutut penuh ingin tahu.
“Bukan, Nak. Ini candi yang berdiri sendiri. Meskipun disebut candi, tetapi sebenarnya ini stupa. Jadi, bukan bagian dari Candi Barong. Stupa adalah bangunan pemujaan umat Buddha. Candi Barong itu kuil pemujaan umat Hindu, digunakan untuk memuja Dewa Wisnu dan istrinya Dewi Sri.” “O, begitu, ya. Terima kasih sekali atas penjelasannya, Pak,” kata Prenjak. “Ayo, Njak! Kita lanjutkan perjalanan. Masih ada candi lagi, lho! Di sana itu, namanya Candi Ijo!” kata Kutut.
Sampailah dua petualang kecil itu di Candi Ijo. Sebuah kompleks percandian yang berada di puncak bukit yang dikenal dengan nama Gumuk Ijo. Tingginya sekitar 410 meter di atas permukaan laut. “Wah, candinya banyak, ya, juga terasnya, Tut!” kata Prenjak mengamati kompleks percandian di hadapannya. “Iya, jauh lebih banyak dari Candi Barong tadi,” jawab Kutut. Nafasnya masih terengah-engah. Candi Ijo yang dibangun pada sekitar abad 9 Masehi ini terletak di puncak bukit tertinggi di Yogyakarta. Wajar saja kalau kedua petualang cilik ini kelelahan. Namun semangat mereka yang tak pantang menyerah membuat keduanya selalu bersemangat. “Ternyata ada sebelas teras, Njak!” seru Kutut. Ia berlarian menghitung teras-teras yang terdapat di kompleks Candi Ijo.
“Iya, ada 17 struktur bangunan! Wow, banyak sekali!” Prenjak berseru tak kalah kerasnya. Ia pun sibuk menghitung dan mencatat bangunan-bangunan yang masih utuh dan yang sudah runtuh. Kompleks candi itu memang terdiri atas 17 struktur bangunan, yang tersebar di 11 teras berundak. Teras pertama merupakan halaman menuju pintu masuk. Pada teras kesebelas yang merupakan teras teratas terdapat pagar keliling, delapan buah lingga patok, dan empat bangunan candi berupa satu candi utama dan tiga candi perwara.
Mereka berdua sudah berada di teras kesebelas. “Yang ini candinya besar dan bagus. Mungkin ini candi utamanya, ya? Lalu tiga candi kecil-kecil itu semacam candi pendamping,” tebak Kutut dengan mantap. “Selain candi-candi yang indah ini, kalian juga dapat menikmati pusaka saujana yang luar biasa!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di belakang mereka. Rupanya Pak Beo yang tadi mereka temui di Candi Barong. Kutut dan Prenjak sangat kaget, tetapi senang, karena berharap mendapat cerita lain yang menarik. “Lihatlah di sekeliling kalian, semua yang kalian lihat ini disebut pusaka saujana,” tunjuk Pak Beo.
Kutut dan Prenjak saling berpandangan, “Pusaka saujana?” tanya mereka berdua serentak. “Pusaka saujana adalah pusaka alam yang terkait dengan pusaka budaya. Sejauh mata kalian memandang, kalian dapat melihat lansekap yang indah. Ada gunung, lembah, sungai, dan bukit yang menjadi latar dari bangunan candicandi yang agung. Itu semua merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena ada maknanya,” jelas Pak Beo. Kutut dan Prenjak manggut-manggut. Mereka berdua tampak puas, sebab petualangannya ke Bukit Boko berhasil menemukan pusaka lain, yaitu pusaka saujana. Mereka pernah mendengar tentang pusaka saujana, tapi belum tahu artinya dengan jelas.
Candi: bangunan kuno yang dibuat dari batu atau bata. Sebenarnya candi adalah bangunan pemujaan dewa-dewi Hindu dan Buddha. Akan tetapi, juga digunakan pula untuk menyebut peninggalan lainnya, misalnya Keraton Ratu Boko. Candi Perwara: candi yang dibangun mengiringi candi utama. Dapat dibangun baik di depan maupun mengelilinginya. Dewa Wisnu: salah satu dari Tri Murti (dewa tertinggi dalam Agama Hindu). Wisnu bertugas menjaga keseimbangan dunia. Dewi Sri: istri Dewa Wisnu, dikenal sebagai Dewi Ibu dan Dewi Kesuburan. Akan tetapi, di Jawa dan Bali, Dewi Sri dikenal sebagai Dewi Padi dan Dewi Pelindung tanaman pangan. Kala-Makara: hiasan pada relung atau ambang pintu candi. Bentuknya berupa kepala kala (raksasa) dan makara. Makara adalah binatang mitos. Bentuknya mirip ikan, tetapi mempunyai belalai. Lingga: batu tegak yang menjadi lambang kejantanan Dewa Siwa. Apabila lingga diletakkan di atas Yoni, keduanya menjadi lambang kesuburan. Yoni adalah batu berbetuk seperti lumpang yang bercerat. Bentuk ini melambangkan kewanitaan Dewi Parwati (istri Dewa Siwa). Lingga pathok: sebutan untuk pathok (pembatas halaman candi) yang bentuknya mirip lingga. Simbahnya simbah (Jw): kakek atau nenek buyut Situs: lokasi terdapatnya benda-benda purbakala Stupa: bangunan kuno dari batu atau bata yang bentuknya seperti genta. Dulu, stupa digunakan untuk menyimpan benda-benda suci sang Buddha. Akan tetapi, sekarang digunakan untuk menyimpan abu jenasah bhiksu atau tokoh terkemuka. Umpak: alas tiang rumah yang terbuat dari batu atau batu sendi Wihara: tempat para pendeta Buddha (bhiksu) belajar berbagai ilmu keagamaan, mengamalkan ilmunya, dan beribadat.
DS Nugrahani adalah staf pengajar di Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Selain mengajar, ia aktif pula bergerak di bidang pelestarian pusaka budaya, khususnya yang terkait dengan pendidikan publik. Heritage Education yang dikerjakan oleh BPPI, disponsori oleh Erfgoed Nederland, adalah salah satu program yang dikerjakan sejak 2007.
Gunawan Maryanto lahir di Yogyakarta, 10 April 1976. Sehari-hari ia bekerja sebagai sutradara dan penulis di Teater Garasi Yogyakarta. Bukunya yang telah terbit adalah Waktu Batu (2004), Bon Suwung (2005), Galigi (2007), Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008), Usaha Menjadi Sakti (2008). Karya penyutradaraannya antara lain Sri (1999) dan Bocah Bajang (2009).
Prihatmoko “Moki” Catur, S.Sn. Moki lahir di Gunungkidul, 30 Juni 1982. Ia seorang komikus lulusan Institut Seni Indonesia, Jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Grafis. Ia bekerja sebagai ilustrator lepas di IVAA. Moki telah menghasilkan beberapa karya komik, yaitu Babakbelur Komik 1-5. Selain itu, ia juga aktif sebagai drummer di band Airportradio.