Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Media Pengenalan Konsep Dasar Pecahan Melalui Buku Cerita “Balok Balok Es Poyo” untuk Sekolah Dasar Nandiasa Rahmawati 17408014
DR. PRIYANTO SUNARTO
Program Studi Sarjana Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email :
[email protected]
Kata Kunci : Buku cerita, Pecahan, Ilustrasi
Abstrak Media pembelajaran sangat penting dalam perkembangan pemahaman terhadap materi, terutama beberapa materi yang dianggap sulit oleh siswa di awal sekolah dasar. Namun media yang ada sekarang ini sayangnya masih dianggap kurang „bersahabat‟ dan momok matematika belum terhapus dari keseharian kebanyakan anak. Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana sebuah konsep dasar tentang sebuah materi divisualisasikan melalui kolaborasi antara buku cerita dan permainan dibuat untuk membantu menghapuskan momok tentang matematika yang tidak menyenangkan. Kolaborasi tersebut berupa paduan konsep yang disulap menjadi materi cerita dan illustrasi yang menarik perhatian anak dasar yang dapat digunakan oleh orang tua murid dirumah atau pembuka materi oleh guru, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan kelas yang memberikan pembelajaran berupa pengalaman. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa desain grafis, salah satu tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk memberi sumbangan kecil bagi dunia pendidikan untuk siswa SD Abstract Learning Media is very important in development of an understanding of subject, especially some of subject that was considered difficult by students in early elementary school. But now, media is unfortunately still considered “unfriendly” and scourge of mathematics has not been erased from everyday life of most children. This writing explain about math disagreeable. The collaboration in form of a concept changed into matter stories and illustration which concern the basic learning to experience. Therefore, as a student of graphic design, one of the aims to this final assignment is to contribute small idea for the world of education of elementary school.
1. Pendahuluan Matematika adalah salah satu pelajaran utama di sekolah dasar. Dalam seminggu pertemuan, matematika mendapat jatah rata rata 6 jam, belum ditambah dengan waktu mengerjakan PR dan latihan dirumah. Mengapa matematika harus diajarkan kepada siswa pendidikan dasar adalah karena matematika diharapkan dapat memberikan life skill yang pasti akan dibutuhkan dalam kehidupan sehari hari anak. Selain guru dan orang tua, media belajar matematika punya peran yang penting sebagai sarana belajar sehingga target pengajaran tercapai dengan baik. Berdasarkan silabus yang dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia kurikulum KTSP 2006, materi pelajaran matematika bagi siswa SD berkutat pada aritmatika (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian), operasi hitung bilangan cacah dan bulat, bangun geometri, pengukuran, dan pecahan. Materi-materi inilah yang dianggap sebagai kompetensi dasar dari materi matematika selanjutnya (di bangku SMP, SMA/SMK, dst). Dan seringkali pengerjaan materi lain (pecahan, geometri) membutuhkan kelancaran dari materi sebelumnya. Misalnya, untuk merubah pecahan menjadi desimal, siswa harus mampu membagi dan mengkalikan dengan lancar. Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 1
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Kesulitan belajar matematika merupakan hal yang lazim dihadapi oleh seorang siswa sekolah dasar. Berdasarkan wawancara studi kasus, 7 dari 10 anak SD kelas 1-5 mengalami kesulitan mengerti penjelasan matematika dari sekolahnya, yang mengarah kepada kelesuan dan ketidaksenangan terhadap matematika. Penyebabnya banyak jika dilihat dari berbagai sisi, baik faktor luar (pengajar, lingkungan belajar, media yang tidak menarik dan tidak tepat sasaran), ataupun dalam (psikologi anak, penyakit/kesulitan yang mempengaruhi kemampuan berpikir matematis anak). Namun dari ruang lingkup desain komunikasi visual, masalah yang mampu mempengaruhi kesuksesan belajar anak terletak pada medianya. Berdasarkan hasil obervasi dari 3 sekolah dasar yang berbeda, media belajar yang seringkali digunakan di kelas matematika di sekolah, utamanya adalah buku paket (buku pegangan siswa), Lembar kerja siswa (berisi soal-soal latihan dan tugas), dan papan tulis atau alat-alat sederhana di kelas (sekotak kapur berwarna, pensil, penggaris) yang seringkali digunakan oleh guru untuk memvisualisasikan konsep materi yang diajarkan. 2. Proses Studi Kreatif Untuk media berupa buku teks matematika, 9 dari 10 orang tua murid merasa kurang puas dengan buku matematika anaknya (alasannya termasuk : tidak berwarna, tidak bisa dicorat-coret, tidak menarik, contoh tidak bisa dimengerti dan tidak relevan) dan berpendapat bahwa dengan guru yang baik dan buku yang baik, kesenangan anaknya terhadap matematika akan bertambah. Berdasarkan hasil wawancara, saat di rumah, buku matematika cenderung tidak digunakan semaksimal mungkin. Soalnya hanya dilihat atau dipahami contohnya, kemudian guru les/orang tua menjelaskannya dikertas lain. Jika diberikan buku pelajaran dan buku cerita bergambar, anak-anak tentu memilih buku cerita. Sementara itu, berbeda dengan buku pelajaran sekolah, media berupa literatur anak adalah cerita/plot fiktif dengan memasukkan konteks matematika kedalamnya. Literatur seperti ini biasanya selalu disertai dengan illustrasi yang menarik. Selain buku, banyak media yang dapat digunakan untuk mempermudah murid mengerti konsep dari materi matematika itu sendiri. Seiring dengan perkembangan pengajaran matematika, berbagai macam media alternatif (selain buku) telah dikembangkan, seperti alat peraga pembelajaran aktif, software pendidikan matematika di komputer, komik bertemakan matematika, atau board game dan kartu yang secara implisit memberikan pengalaman matematika melalui permainan. Media yang pembelajaran matematika yang menarik bagi anak sebaiknya memiliki kualitas-kualitas dari media alternatif tersebut. Pada akhirnya, ketika media matematika mampu memenuhi kebutuhan anak terhadap pembelajaran yang mudah dimengerti dan menyenangkan, matematika akan terasa masuk akal dan berguna dalam keseharian anak, maka rasa senang terhadap materi matematika itu sendiri akan tumbuh. Saat ini (2012) kurikulum pendidikan Matematika sekolah dasar yang digunakan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Menurut Mulyasa, dalam bukunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2007), KTSP memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Memberi kebebasan kepada tiap sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah 2. Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran 3. Guru harus mandiri dan kreatif 4. Guru diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek aspek sebagai berikut : bilangan dan operasinya (cacah, bulat, pecahan), geometri, pengukuran, dan pengolahan data. Berdasarkan poin-poin karakteristik kurikulum KTSP diatas, dapat dilihat bahwa kurikulum ini sudah mengarah kepada tuntutan pengajar untuk dapat memberdayaan media belajar yang lebih kreatif dan sumber-sumber pembelajaran lain yang memenuhi unsur edukatif. Sedangkan, menurut De Walle, prinsip belajar matematika menurut NCTM (National Council of Teachers of Mathematics, AS) adalah siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 2
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
baru dari pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. De Walle (2008:6) mengemukakan 5 perubahan pokok yang diperlukan agar siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam matematika: 1. Mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika 2. Menjadikan logika dan bukti matematika sebagai pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk memutuskan suatu kebenaran 3. Mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur 4. Mementingkan membuat dugaan, penemuan, dan pemecahan soal dan menjauhkan dari tekanan pada penemuan jawaban secara mekanis 5. Mengaitkan matematika, ide ide dan aplikasinya dan tidak memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terasingkan Lebih khususnya lagi, mengenai pecahan, Heruman (2007:43) mengatakan bahwa pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Kesatuan yang dipecahkan menjadi bagian bagian yang lebih kecil menghasilkan pecahan. Pada awal materi tentang pecahan ini, siswa lebih diarahkan untuk mengenal konsep pecahan sederhana, seperti mengenal konsep yang “utuh” dan yang “sebagian dari”, dan nilai nilai pecahan sederhana yang sering ditemukan di keseharian (setengah, seperempat, tigaperempat). Menurut Vygotsky (dalam Yoshida, 2004), yang dimaksud dengan “konsep” disini adalah sebuah ide, sebuah pemahaman yang bukan berasal dari sebuah sistem atau hapalan melainkan dari konteks keseharian yang padat, dan pengalaman akan sebuah kejadian yang membuatnya belajar mengkonstruksikan pemahaman pemahaman menjadi sebuah abstrak. Menurut Bezuk dan Cramer (dalam Mariani, 2010) kebutuhan untuk pengetahuan yang lebih mendalam yaitu tentang bagaimana terbentuknya suatu konsep adalah hal yang amat penting. Salah satu kesalahan umum yang seringkali dilakukan adalah membuat siswa mulai mengerjakan kalkulasi/operasi bilangan tanpa memahami konsep pecahan, yang nantinya akan menyulitkan siswa di materi matematika selanjutnya. Miskonsepsi yang muncul setelah pihak pengajar menyampaikan materi adalah hasil dari pengajar atau pembimbing yang mencoba melakukan terlalu banyak, terlalu cepat, dan tidak terlalu menggunakan jam pelajaran yang cukup untuk pengembangan konsep. Dalam pecahan dasar, pecahan adalah perbandingan dua bilangan cacah, antara x dan y dimana notasi pecahan digambarkan seperti berikut
Gambar 1.1 Contoh notasi pecahan Pada notasi ini, angka 3 disebut sebagai pembilang, dan angka 5 disebut sebagai penyebut. Dikatakan “tiga per lima”, maksudnya adalah keberadaan dari tiga bagian dari 5 keseluruhan. Menurut Iwan Pranoto, gagasan pecahan bagi anakanak secara umum, adalah satu gagasan abstrak yang mungkin sulit dipahami siswa SD, karena kelas 1 dan 2 SD terbiasa mengenal bilangan bulat, jadi ketika dihadapkan dengan bilangan “bagian” seperti ini, sulit bagi mereka untuk mengerti konsepnya. Mengenai media pembelajaran anak dan cara belajar berbasis problem-solving interaktif yang mendukung pemahaman, Nick Pratt dalam Interactive Maths Teaching in The Primary School memiliki pendapat bahwa matematika adalah aktivitas manusiawi, dimana tujuannya adalah mengeksplorasi hubungan antara ide dan gagasan-gagasan. Keterikatan dengan penyelesaian masalah adalah hal yang sangat mendasar dalam matematika (Pratt, 2006:18). Dalam hal Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 3
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
menerjemahkan konsep kedalam visual, telah diakui oleh para pakar, dapat membantu pemahaman anak lebih cepat. Davis dalam Framing Education as Art: The Octopus Has a Good Day, Anak-anak adalah pembelajar visual. Dari waktu mereka lahir, anak menemukan makna dalam objek objek visual yang terdapat disekeliling mereka. Pada awal masa kanak-kanak, mereka mampu mengembangkan kesimpulan tentang ukuran dan mengenal bentuk. Jauh sebelum anak bisa membaca, mereka mampu mengasimilasi informasi visual dengan mudah. Anak-anak menggambar untuk mengkomunikasikan informasi ke pihak lain. Mereka mengerti bahwa dalam garis, bentuk, dan warna ada maknanya. Penelitian telah membuktikan bahwa anak-anak memiliki kemampuan menginterpretasi, dan mereka dengan mudahnya belajar melalui kemampuan ini. Menurut J. Murphy, pembelajaran visual pada anak usia sekolah dasar melibatkan kemampuan kemampuan spesifik, yang terdiri dari kemampuan observasi, identifikasi, persepsi, interpretasi, dan self-expression atau komunikasi. Pembelajaran visual adalah belajar melalui pemahaman dan mengkomunikasikan informasi melalui ilustrasi, foto, diagram, grafik, simbol, ikon, dan representasi visual lainnya, dengan tujuan menjelaskan data kompleks melalui model visual. Model visual ini, selain penerjemahan data menjadi grafik, perlu juga disesuaikan dengan preferensi media anak. Buku cerita adalah salah satu media yang sangat kredibel, terutama buku cerita bergambar. Mengutip De Walle (2008 : 146), “Melibatkan anak dengan buku-buku dengan berbagai cara dapat membantu menghubungkan angka dengan kehidupan nyata, menjadikannya sebuah pengalaman pribadi, dan menyediakan kesempatan baik untuk pemecahan soal”. Dalam hal ini, literatur matematika berfungsi menanamkan konsep dan pemahaman terhadap masalah matematika dan membuatnya menjadi logis dengan lingkungannya. 3. Hasil Studi dan Pembahasan A. Konsep Materi pecahan dikenalkan kepada siswa SD mulai kelas II akhir atau kelas III dengan pembelajaran yang difokuskan pada mengenal dan membandingkan pecahan. Selanjutnya di kelas IV semester 2 pembelajaran diulang dan ditingkatkan, termasuk di dalamnya menjumlahkan pecahan. Jadi pecahan akan selalu diulang di kelas 4,5 hingga 6 dengan tingkatan yang berbeda. Pecahan seringkali dianggap sebagai salah satu materi matematika yang paling sulit di bangku sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, ketika dihadapkan dengan soal pecahan, kecepatan anak mengerjakan soal melambat (dari aritmatika). Ini dikarenakan, dibanding dengan menghitung angka 1 hingga 100 anak dengan mudah membayangkan jumlahnya. Namun ketika bertemu dengan pecahan dengan tanda “_” dan dua angka digabungkan menjadi satu, anak bingung. Dalam silabus kelas 3 SD KTSP 2006, berikut adalah indikator-indikator tentang pengenalan pecahan : Mengenal pecahan sederhana, setengah, seperempat, tigaperempat Membaca dan menulskan lambang pecahan Mewarnai nilai pecahan dengan gambar Memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sedehana Berdasarkan penjabaran silabus diatas, penulis berencana untuk mengemas sebuah media belajar matematika berbentuk buku cerita bergambar atau picture book yang memperkenalkan konsep pecahan yang dipelajari di awal kelas 3 SD/MI. Media yang dipilih adalah buku cerita bergambar yang akan dibuat dalam seri materi matematika dasar lainnya. Selain itu kartu permainan pecahan dan balok balok es juga dijadikan media pendukung belajar. Beberapa alasan penulis memilih buku adalah karena buku merupakan media yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang dapat diakses berulang kali. Buku bisa dibawa dengan mudah ke sekolah dan disimpan di loker atau di lemari buku di rumah. Orang tua dan pengajar bisa dengan mudah menggunakannya. Mungkin salah satu kelemahannya ada pada interaktifnya, karena saat ini anak lebih tertarik kepada program program yang ada di komputer atau iPad. Namun iPad tentunya akan memberi jarak antara pembaca dengan objek karena menghilangkan proses merasakan tekstur. Selain itu, hingga saat ini, membawa iPad ke kelas untuk belajar belum dianggap lazim oleh lingkungan. Rencananya, buku ini akan menjadi pengantar sebelum guru/pengajar mulai masuk kedalam materi pecahan sesuai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Konsep-konsep pecahan yang dimasukkan kedalam ceritanya antara lain: Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 4
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
1. Pecahan adalah bagian lain dari sesuatu yang utuh 2. Satu bagian bisa dipecah menjadi setengah, seperempat, dan tigaperempat 3. Membagi satu objek melalui pecahan untuk menyelesaikan masalah Berikut adalah penjabaran materi materi tersebut kedalam cerita dan rencana visualnya. Materi materi tersebut dibagi bagi menjadi babak babak. A. MATERI 1: PECAHAN ADALAH SEBAGIAN DARI KEUTUHAN Pecahan pada dasarnya ada karena ada benda yang tidak utuh. Konsep ini seringkali dilupakan oleh siswa dan pengajar. Dalam buku, balok balok es yang tersebar dimana mana dengan ukuran yang berbeda menunjukkan bahwa sesuatu yang utuh bisa dibuat pecahan pecahan yang ukurannya lebih kecil. B. MATERI 2 : PECAHAN YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH KECIL Membandingkan pecahan lewat gambar adalah metode paling mendasar dalam perbandingan pecahan. Pada salah satu temannya kesulitan membawa balok salju hingga terjatuh, diimplikasikan bahwa balok yang dibawanya tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Disini anak diajak untuk mengurutkan pecahan melalui gambar balok dan dipasang pasangkan sesuai ukuran tubuh penguin C. MATERI 3 : PECAHAN UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH Pada bagian selanjutnya, ketika bertemu dengan ketiga teman temannya yang sama sama sedang membangun rumah dan kemudian berbagi balok, juga konsep keutuhan menjadi pecahan yang sama rata akan menyenangkan banyak pihak. Ketiga konsep tersebut dikemas dalam fabel humor, dimana karakternya adalah seekor Penguin bernama Poyo, dan ceritanya dibuat lucu agar menarik bagi anak-anak dan tidak terkesan serius karena materi matematikanya. Setiap akhhir sub-bab (konsep) ada pertanyaan atau latihan yang digunakan sebagai pengukur respon anak terhadap konsep. Oleh karena itu, latihan bukan berbentuk seperti drill, namun lebih ke arah pertanyaan konseptual. Kemudian di akhir buku terhadap penjelasan Setelah itu, diharapkan guru dapat memanfaatkan sarana kartu pecahan dan balok balok es untuk memulai kegiatan di kelas. Karakter yang terdapat pada buku ini adalah penguin. Penguin adalah salah satu spesies burung tak bisa terbang yang sosial. Mereka hidup dalam kelompok berisi 5 hingga 20 ekorhttp://www.seaworld.org/infobooks/ penguins/behavior). Ini salah satu alasan mengapa penulis memutuskan untuk menggunakan penguin sebagai karakter, karena kemungkinan bagi karakter utamanya untuk berinteraksi dengan santai bersama sesamanya untuk menunjang materi pecahan, sangat besar. Selain itu bentuk dan gerakannya seringkali dianggap lucu oleh manusia. Dalam cerita ini, ada satu karakter penguin utama, 3 tetangga akrabnya, dan 1 tetangganya sebagai peran antagonis. Karakter utama bernama Peyo, seekor Penguin hitam-putih yang mengenakan topi buntut rakun berwarna merah. Pada awal cerita, rumah es Peyo tiba2 hancur dan balok esnya bertebaran dimana mana. Kemudian datang tetangganya, Peca, penguin yang menggunakan bandana, mengambil balok balok es milik Gento. Tiga tetangga Gento yang lain, Penye, Pembi, dan Peyo, masing masing menggunakan topi khas, ikut membantu Peyo membangun kembali rumahnya melalui pecahan. Setiap tokoh Penguin dibuku ini mengenakan aksesorisnya masing masing yang khas agar bisa dibedakan dengan jelas, dan untuk memberi karakter yang kuat pada tokoh. Poyo mengenakan topi dingin berbulu warna merah, sementara Pembi mengenakan topi biru dengan scarf merah
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 5
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Gambar 1.2 Dari kiri ke kanan; Poyo, Pembi, Penye, Pengo Seluruh tokoh dibuat untuk terlihat selucu mungkin, sehingga ukuran tubuhnya dibuat kecil, pendek, padat, dengan kaki yang sangat kecil, memberikan kesan anak anak dan imut. Poyo, contohnya, digambarkan untuk menjadi penguin yang lucu dan polos, maka penulis membuat proporsi topi dan kepalanya lebih kecil Kemudian, setting tempat mengambil tema antartika atau Kutub Selatan. Disinilah tempat penguin tinggal berkelompok dan beraktivitas. Penampakan alamnya didominasi oleh salju, gunung es, potongan es tebal dan air laut dengan warna yang lebih gelap. Maka didalam buku akan banyak penampakan penampakan alam yang menunjukkan gunung es, dan pecahan es, tentunya. Warna asli yang diperoleh dari foto foto antartika memberikan asumsi bahwa karena daerahnya didominasi oleh putih dan hitam atau abu abu, maka warna-warna yang dihasilkan akan silau, namun penulis menariknya ke arah yang lebih hangat agar lebih nyaman dilihat mata dan tetap berkesan dingin. Gaya illustrasi yang digunakan dalam buku ini dibuat sederhana, lucu, dengan penggunaan garis yang agak sketchy seperti menggunakan krayon. Beberapa illustrator Teknik yang digunakan adalah digital colouring. Beberapa illustrator yang menggunakan gaya seperti ini antara lain Sylvie Bessard dan Vera Brosgol
Gambar1.3 Le Dinosaures oleh Sylvie Bessard (kanan) dan Samwell oleh Vera Brosgol Layout atau penataan illustrasi dibuat seperti komik berpanel tapi bagian belakangnya tetap menggunakan gambar latar. Ini untuk menggambarkan ekspresi dari tokoh dan kegiatan kegiatan pendukung cerita pecahan, dirasa lebih efektif ketimbang menggambarkan satu halaman penuh dengan satu kegiatan. Untuk tipografi dalam buku, kalimat kalimat cerita dituliskan dengan typeface Neutra text, style Demibold italic berukuran 21 point.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 6
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Gambar1.4 Huruf Neutra Text Demi dalan style italic Neutra Text yang dirancang oleh Richard Neutra dirasa sangat mudah dibaca oleh penulis bagi anak dan cocok karena bentuk geometris, sederhana, dan bersihnya mampu menguasai ruangan tulisan dalam ukuran buku yang tidak terlalu besar, sehingga tidak begitu mengambil perhatian dari illustrasi maupun elemen lain. Sedangkan, palet warna yang digunakan diambil dari warna latar, sehingga terkesan dingin, namun ditarik ke arah yang lebih nyaman lagi supaya enak dilihat. Warna langit dibuat sedikit lebih berwarna agar kontrasnya tidak terlalu tinggi. Sementara itu warna warna yang ada pada karakter menggunakan warna warna yang agak gelap untuk mengangkat kesan lucu dan hangatnya.
Gambar 1.5 Palet warna latar (kiri) warna karakter (kanan) pada buku
B. Proses Kerja Media yang dipilih adalah buku cerita bergambar yang akan dibuat dalam seri materi matematika dasar lainnya. Selain itu kartu permainan pecahan dan balok balok es juga dijadikan media pendukung belajar. Beberapa alasan penulis memilih buku adalah karena buku merupakan media yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang dapat diakses berulang kali. Buku bisa dibawa dengan mudah ke sekolah dan disimpan di loker atau di lemari buku di rumah. Orang tua dan pengajar bisa dengan mudah menggunakannya. Proses kerja dan eksekusi output dimulai dengan perolehan data mengenai materi yang akan dikerjakan (pecahan) dan referensi visual. Selanjutnya penulis mengembangkan cerita dari ketiga materi pengenalan pecahan yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah muncul tokoh dan alur cerita, kemudian storyboard disusun untuk menentukan letak panel dan partitur halaman untuk melihat keberlanjutan antara halaman satu ke halaman berikutnya.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 7
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Gambar 1.6 Diagram proses pengerjaan Setelah storyboard disusun, maka layout antar halaman dibuat, yang disebut dengan partitur halaman, membuat penempatan halaman lebih efektif dan efisien. Bagian ini secara garis besar memberikan bayangan tentang bagaimana irama kepadatan antar halaman sebelum illustrasinya dibuat. Setelah partitur halaman dibuat, maka penulis mulai sketsa di kertas berukuran 21,5 x 21,5 (ukuran cetak asli), kemudian di scan dan proses digital coloring dimulai. Berikut adalah hasil proses pengerjaannya.
Gambar 1.7 Sketsa storyboard
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 8
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
Gambar 1.8 Contoh jadi beberapa halaman buku Setelah kesemua halaman jadi, terdapat beberapa revisi yang dilakukan sebelum buku di produksi. Perbaikan tersebut antara lain menghilangkan border panel, memperbaiki warna perut penguin menjadi abu abu muda, dan mengganti warna topi dan aksesoris beberapa karakter. Untuk sampul buku, penulis pada awalnya membuat vsiualisasi Poyo sebagai karakter utama yang sedang memeluk erat balok es di pangkuannya, dan balok balok es yang mengeliling Poyo dengan tipografi kolase tangan untuk judulnya.
Gambar 1.9 Sampul depan dan belakang Namun setelah melalui beberapa revisi, berikut adalah desain akhir sampul buku. Tokoh utama, Poyo, berada ditengah dan dikelilingi oleh balok balok es. Sampul yang ini dirasa lebih meriah dan lebih ekspresif. Kemudian penulis membuat sampul belakangnya seperti ini untuk merespon desain sampul depan, maka teman teman nya yang berperan penting dalam buku diletakkan mengelilingi sisi sisi sampul. Setelah media utama telah rampung, maka yang selanjutnya didesain adalah permainan. Permainan berdasarkan cerita Poyo dan kawan kawan dalam menyusun dan memperbaiki rumah balok es mereka ini bertujuan untuk mendukung Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 9
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
pemahaman anak mengenai materi yang disampaikan. Permainan ini dimainkan berkelompok beranggotakan 2 hingga 4 siswa, dan dalam setiap putaran, seorang pemain akan tereliminasi hingga pecahan yang paling atas.
Gambar 1.10 Set permainan balok balok Poyo 4. Penutup Seperti yang dikatakan penulis diawal laporan, penulis berharap bahwa karya tugas akhir ini bukan hanya sebagai media lainnya, namun juga akhirnya membantu anak mengatasi ketakutan terhadap matematika. Inilah juga yang mendorong penulis untuk terus menggali cerita dan menyempurnakan karya. Namun, begitu banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan dan diperhitungkan agar karya tersebut mencapai kesempurnaan. Satu hal yang penulis syukuri, adalah bahwa “Susunlah, Poyo!” ini menjadi bahan refleksi penulis dalam membuat karya, dan penulis belajar banyak dari situ. Selain itu juga penulis banyak memanfaatkan materi materi baik akademik maupun non akademik yang telah penulis alami selama belajar di DKV ITB. Membuat karya sempurna adalah suatu proses yang terus berlanjut dan penulis berharap tugas akhir ini adalah batu loncatan bagi penulis untuk berkembang menjadi komunikator dan desainer yang lebih kreatif, komunikatif, dan solutif. Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Desain Komunikasi Visual FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Bapak Dr. Priyanto Sunarto
Daftar Pustaka Anno, Mitsumasa & Masaichiro. Anno’s Mysterious Multiplying Jar. New York : Paperstar, 1999 Crain, W. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi (Edisi ketiga, terjemahan Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Davis, Jessica Hoffman. Framing Education as Art: The Octopus Has a Good Day. Teachers College Press, 2005 De Walle. Sekolah Dasar dan Menengah, Matematika : Pengembangan dan Pengajaran. Jakarta : Erlangga, 2008 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991 Greenberg, Dan. FUNNY & FABULOUS FRACTION STORIES : 30 Reproducible Math Tales and Problems To Reinforce Important Fraction Skills. New York : Scholastic Professional Books, 1996. Heruman. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007. Khafid, Gunanto. Bilingual Active Mathematics 2B. Jakarta : Esis, 2010 Pratt, Nick. Interactive Math Teachings in Primary School. Paul Chapman Publishing, 2006 Sciezska & Smith. Math Curse!. New York : Viking Publishing,1995
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 10