Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
Salam d ari Kami Makin hari makin banyak masalah yang terkuak terkait perkebunan kelapa sawit skala besar, entah lingkungan, sosial, budaya dan politis. Demikian suram kah masa depan negeri ini yang membiarkan rakyatnya menderita? Isu perkebunan sawit hanya satu sisi saja, masih banyak sisi-sisi lain yang sudah demikian terlihat dengan jelas, para penentu kebijakan seakan tutup mata, tutup kuping dan tutup mulut melihat hal ini, terkait hal itu kami dari redaksi Tandan Sawit sekali lagi menyampaikan beberapa permasalahan di perkebunan sawit. Semoga informasi yang kami sampaikan dapat bermanfaat dan menjadi pembelajaran bagi para pembaca Tandan Sawit yang telah setia menanti tiap terbitan kami. Wassalam, Redaksi
TANDAN SAWIT VOL. 2, Tahun 8, 2008 Daftar isi - Salam dari Kami
2
- Daftar Isi
2
- Laporan Utama : “RSPO itu hanyalah Satu Ruang saja, Bukan Berbagai Ruang 3 - Menuju Rekonstruksi Kebijakan ...
6
- Suara Dari Kampung :
- Revitalisasi Perkebunan...
12
- PERAN SERTA MASYARAKAT...
14
- Mempertahankan SDA...
16
- INVESTASI : Benarkah...
17
- DILEMA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
18
Perkumpulan Sawit Watch adalah Perkumpulan Aktivis Organisasi Non-Pemerintah dan Individu yang prihatin dengan semakin meluasnya dampak negatif dari pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia. Perkumpulan Sawit Watch dideklarasikan pada tanggal 25 Juli 1998.
Kegiatan utama Perkumpulan Sawit Watch adalah Monitoring, Investigasi, Riset dan Memantau Kebijakan atau Program dari Lembaga Nasional maupun Internasional pada sektor perkebunan kelapa sawit, Kampanye dan Pendidikan Publik, Fasilitasi dan Desiminasi Informasi.
Dewan Redaksi Penanggung Jawab : Pemimpin Redaksi : Redaktur Pelaksana : Tata Letak : Distributor :
Rudy R Lumuru A. surambo Jefry G. Saragih Oeyanz Sukardi, Aroel
Redaksi menerima artikel, essai dan berita. Kami dapat mengedit tulisan tanpa harus mengubah substansinya.
Tulisan dapat dikirim melalui pos, fax dan e-mail. Forum diskusi elektronik mengenali perkebunan besar kelapa sawit bisa anda ikuti di http://groups.yahoo. com/infosawit.
Alamat Redaksi
Jl. Sempur Kaler No. 28 Bogor 16129 Indonesia Telp : 0251 - 352 171, Fax : 0251 - 352 047 e-mail :
[email protected],
[email protected]�� website : www.sawitwatch.or.id
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
L A P O R A N U TA M A
RSPO itu hanyalah Satu Ruang saja, Bukan Berbagai Ruang konflik di perkebunan kelapa sawit dan kaitannya dengan ruang rountable sustainable palm oil (RSPO).
Konflik-konflik di Perkebunan Kelapa Sawit Konflik-konflik di perkebunan kelapa sawit sebagian besar adalah konflik lahan. Sampai dengan tahun 2007, Perkumpulan Sawit Watch mencatat 514 kasus yang terjadi di 14 propinsi, yang melibatkan 141 Perusahaan perkebunan kelapa sawit dari 23 group. Konflik ini bermuasal kepada bertumbukannya satu klaim hak dalam satu obyek. Bila dilihat lebih mendalam konflik ini adalah tidak selesainya persoalan tenurial.
Pendahuluan awan sekampung saya menelpon dan mengabarkan bahwa pamannya sakit sehingga mengharuskan agar dibawa ke rumah sakit. Kawan saya tersebut memaksa saya agar pamannya dibawa saja ke rumah sakit di Jakarta. Saya menolaknya dan menyarankan agar diperiksa dulu di puskesmas kampung karena puskesmas Kampung saya termasuk lengkap. Siapa tahu cukup di Puskesmas saja, paman kawan saya tersebut dapat disembuhkan. Kawan saya ngeyel, pokoknya di rumah sakit Jakarta semua dapat disembuhkan. Rumah sakit Jakarta bagi kawan saya sudah menjadi tujuan, saya yang menolak ide tersebut disangkanya menghalang-halangi kesembuhan pamannya.
K
Sebenarnya kalau kita pikir jernih, apa yang salah dengan saya, saya berkeinginan agar sakit paman kawan saya tersebut diketahui terlebih dahulu, kalaupun tidak, pastinya puskesmas akan merujuk kemana harus dibawa. Tentunya, rumah sakit banyak sekali tingkatannya untuk menyembuhkannya. Kondisi sakit paman kawan saya akan mengarahkan kemana sebaiknya dibawa, begitu pula kondisi keuangan keluarga di kampung juga membatasi kemana sebaiknya sakitnya paman kawan saya tersebut disembuhkan. Saya memandang bahwa rumah sakit hanyalah salah satu fasilitas (alat) untuk menyembuhkan paman kawan saya tersebut, bukan seperti kawan saya yang memandang rumah sakit di Jakarta sebagai tujuan. Ada ketidakbijakan disini.
Tenure atau tenurial berasal dari bahasa latin tenere yang berarti memegang, memelihara, dan memiliki. Menurut Wiradi (1984), tenurial biasa digunakan pada kajiankajian yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan suatu sumberdaya, yakni mengenai status hukumnya. Jadi membicarakan persoalan sumberdaya hutan adalah membicarakan soal status hukum atas penguasaan tanah dan segala tanam tumbuh diatasnya. Ridel (1987) menyatakan “tenure system is a bundle of rights”, yakni tenurial adalah serangkaian atau sekumpulan hak tentunya serangkaian atau sekumpulan hak untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alam lainnya yang terdapat dalam suatu masyarakat, tentunya pula memunculkan sejumlah batasanbatasan tertentu dalam proses pemanfaatannya. Disetiap sistem tenurial, setidaknya memunculkan tiga komponen, pertama, subjek hak, artinya pada siapa hak tertentu dilekatkan, bisa berupa individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara. Kedua, objek hak, yang dapat berupa persil tanah, sesuatu diatas tanah berupa
Demikian pula lah kejadian konflik di Perkebunan Kelapa Sawit, tidak semua harus diselesaikan di satu ruang saja, ruang hanyalah alat bukan tujuan, banyak ruang untuk menyelesaikan konflik tersebut. Bentuk konflik tersebut dan organisasi yang memperjuangkan penyelesaian konflik tersebut lah diantara beberapa pertimbangan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Tulisan ini mencoba mengetengahkan berbagai hal berkenaan dengan konflikMedia Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
tanam tumbuh ataupun lainnya, sesuatu yang ada didalam tanah berupa barang tambang dan lain-lainnya, kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan tertentu, ataupun suatu kawasan tertentu misal wilayah udara tertentu. Yang pasti objek yang dilekati hak tersebut harus bisa dibedakan dengan objek lainnya. Ketiga, jenis hak, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Jenis hak ini merentang dari dari hak milik, hak sewa, sampai hak pakai atau kelola saja ataupun hak lainnya. Hal ini tergantung bagaimana subjek hak atau masyarakat menentukannya. Setiap jenis hak ini biasanya dilekati pula dengan hubungan khusus dengan kewajiban tertentu oleh pihak lain dan keberlakuannya dalam suatu kurun masa tertentu.
Selain ruang-ruang nasional, persoalan konflik lahan di perkebunan kelapa sawit dapat dinegosiasikan untuk mendapatkan penyelesaian di ruang internasional lewat jalur pengakuan pasar (konsumen), salah satunya lewat roundtable sustainable palm oil (RSPO). RSPO adalah sebuah asosiasi yang dibentuk oleh organisasi-organisasi yang menjalankan berbagai kegiatan didalam dan seluruh rantai penyedia (supply chain) untuk kelapa sawit mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan kelapa sawit berkelanjutan melalui kerjasama dalam rantai penyedia (supply chain) dan membuka dialog dengan parapihak yang terlibat didalamnya. RSPO bertujuan membawa anggota-anggota masyarakat yang berkerja dalam kelapa sawit bersama mendiskusikan dan
Konflik tenurial di perkebunan kelapa sawit berwujud pada klaim hak atas tanah atau sumber daya alam lainnya yang bertumbukan pada lokasi yang sama, dari alas hak yang berbeda, dari institusi yang berbeda, komunitas memiliki klaim tenurial berdasarkan aturan dan atau hukum adat setempat yang mereka sepakati bersama sedangkan pengusaha kebun sawit berdasarkan penetapan hak yang diberikan oleh pemerintah berupa hak guna usaha (HGU) beralaskan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal yang berlaku.
RSPO hanyalah salah satu ruang saja Bila kita elaborasi persoalan konflik lahan antara rakyat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Terdapat beberapa catatan penting temuan Perkumpulan Sawit Watch dimana hal ini juga dapat diperdebatkan, pertama, terdapat sedikitnya tiga model dalam menyelesaikan konflik-konflik lahan di perkebunan kelapa sawit yakni non-litigasi, litigasi, dan campuran. Penyederhanaannya, litigasi adalah penyelesaian lewat jalur pengadilan, non-litigasi adalah menyelesaikan konflikkonflik lahan di luar jalur pengadilan. Salah satu jalur nonlitigasi adalah negosiasi dalam berbagai ruang misalkan lewat Komnasham dengan mediasinya, BPN, dan lain sebagainya. Jalur campuran adalah campuran bermain di pengadilan juga bermain di luar pengadilan. Kedua, Perkumpulan Sawit Watch dalam kontribusi ikut menyelesaikan konflik-konflik di perkebunan kelapa sawit melihat bahwa jalur litigasi adalah jalan terakhir ketika jalur non-litigasi sudah buntu, tetapi terkadang masyarakat dipaksa oleh pihak perusahaan agar masuk dalam jalur litigasi.
berkerjasama menuju tujuan bersama ini. RSPO secara resmi dibentuk tanggal 8 April 2004, terdaftar didalam Swiss Civil Code Pasal 60, di Zurich, Swiss. RSPO terdiri dari anggota biasa dalam tujuh kategori misalnya, perkebunan kelapa sawit, pengolah dan/atau pedagang, pembuat barang-barang konsumen, pengecer, bank/investor, NGO lingkungan dan konservasi, NGO sosial dan pembangunan, dan Anggota Mitra. Keanggotaan mitra adalah terbuka bagi organisasi dan individu yang tidak telibat aktif dalam ketujuh kategori tersebut dan telah menyatakan keinginan mereka untuk mendukung tujuan dan kegiatan RSPO (misalnya, donor, akademisi, organisasi penelitian, perkumpulan profesional, lembaga pemerintah, dll.). Bagi beberapa pihak RSPO didirikan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan terhadap produk-produk olahan dari kelapa sawit sedangkan model pengembangan perkebunan kelapa sawit saat ini banyak menimbulkan persoalan konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan, penggunaan teknologi api dalam pembukaan perkebunan yang mengakibatkan kabut dan asap, dan pembukaan hutan-hutan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Oleh beberapa pihak, lewat RSPO-lah beberapa hal yang negatif tersebut diminimalisir. Untuk memastikan hal tersebut, perlu dikembangkan sebuah definisi produksi dan kegunaan serta penerapan praktek pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan yang diterima secara global berdasarkan definisi tersebut. salah satu hal yang dihasilkan dalam RSPO adalah lahirnya prinsip dan kriteria berkenaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Prinsip dan kriteria ini nantinya
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
akan mengarah kepada adanya sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Beberapa pihak dengan model pengelolaan perkebunan kelapa sawit saat ini menganggap adanya kemungkinan penyelewengan terhadap prinsip dan kriteria tersebut tetapi beberapa pihak lain menganggap hal ini adalah salah satu ruang dari sekian ruang yang dapat digunakan dimana terdapat mekanisme komplain terhadap hal tersebut. Selain prinsip dan kriteria, RSPO juga sedang menggodog adanya semacam badan yang mewadahi berbagai hal konflikkonflik di perkebunan kelapa sawit. Kongkretisasi bagaimana bentuk badan ini sedang dalam penggodogan dimana kemajuan terhadap badan tersebut dibicarakan dalam pertemuan rutin RSPO di tahun ini.
Ancaman atau peluangkah ruang RSPO Berbicara mengenai RSPO mengancam atau kah memberikan peluang sepertinya menyederhanakan persoalan. RSPO bukanlah seperti kawan saya memandang rumah sakit Jakarta yang menjadi tujuan, tetapi adalah ruang dimana kita dapat menggunakan dalam beberapa hal. Salah satu hal yang dilakukan rutin adalah adanya pertemuan rutin RSPO tiap tahun. Dalam pertemuan tersebut biasanya dihadiri oleh beberapa kalangan top di perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dimana kalangan top tersebut mempunyai kewenangan membuat keputusan lebih tinggi daripada sekedar seorang manajer perkebunan kelapa sawit. Membawa masyarakat untuk bertemu langsung dan berbicara dengan top level di perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah salah satu ruang untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial di perkebunan kelapa sawit. Memang tidak ada jaminan pasti berhasil tetapi beberapa masyarakat mengalami kemajuan dalam usahanya menyelesaikan persoalan tersebut. Membicarakan ancaman atau peluang berkenaan dengan RSPO ini seperti memberikan pertanyaan balik kepada diri
Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
kita. Apakah pengorganisasian dalam organisasi rakyat kita sudah baik? Kondisi internal organisasi yang kuat adalah poin utamanya untuk menggunakan ruang-ruang ini. Apapun ceritanya bilamana organisasi rakyat kita kuat akan lebih mempermudah perjuangan. Seperti cerita saya diatas informasi berkenaan apa sakitnya paman kawan saya, akan mempermudah hendak dibawa kemana penyembuhannya, ruang lokal, ruang nasional, ataukah ruang lainnya. RSPO hanyalah salah satu ruang dari sekian ruang untuk menyelesaikan konflik-konflik di perkebunan kelapa sawit. Terima kasih. (asr) Ditulis oleh A. Surambo
POKJA MULTIPIHAK KALTENG
Menuju Rekonstruksi Kebijakan Perkebunan Sawit di Bumi Isen Mulang “apa jaminan yang bisa diberikan oleh POKJA Sawit Multipihak untuk advokasi melawan perkebunan sawit?”....... “dimana keberpihakannya dengan membentuk dan bergabung di POKJA Sawit Multipihak?” ersoalan sawit di Kalimantan Tengah antara lain sepanjang tahun 1995 sampai dengan 2006, seperti pembakaran lahan dan penyerobotan lahan-lahan masyarakat sekitar kebun tanpa mengindahkan pemilik lahan, walaupun beberapa kasus berujung dengan ganti rugi atau kompensasi yang menurut beberapa pihak masih terjadi ketidakadilan dalam proses dan realisasi nilai kompensasi atas lahan milik masyarakat, realisasi perijinan perkebunan kelapa sawit sampai Juli 2005, terbesar berada di Kalimantan Tengah dibandingkan dengan propinsi lainnya di Regional Kalimantan, adanya perencanaan pengembangan perkebunan kelapa sawit sampai 2010, sebesar 2,4 juta ha di Kalimantan Tengah yang akan dilaksanakan secara bertahap oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah melalui Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah, menjadi sebagian kecil dari latar belakang didorongnya gagasan untuk melahirkan kelompok multipihak ini, dimana semua pihak harus bisa duduk bersama menjawab persoalan-persoalan yang ada dan membangun perspektif bersama mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Kalimantan Tengah.
P
Kurang lebih tiga tahun sejak awal tahun 2004 gagasan membentuk kelompok kerja ini mulai digulirkan melalui diskusi ke diskusi hingga bulan september 2005 terbentuknya Tim Rencana Tindak Lanjut yang merupakan tim yang dibentuk pasca pelaksanaan Seminar Sawit Multipihak yang dilaksakan di Hotel Batu Suli dan didukung oleh Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Kalimantan Tengah dan WWF Indonesia Kalimantan Tengah, dihadiri oleh Narasumber GPPI, Astra, Dinas Kehutanan Propinsi, Dinas Perkebunan Propinsi, Bappeda Propinsi, Sawit Watch, BKPMD, BPN , Forest Conversion Inisiatif, Masyarakat dan BKSDA Propinsi, dengan Fasilitator Taufiq Alimi (Direktur LEI) dan Phantom (independent fasilitator). Tim Rencana Tindak Lanjut melahirkan Final Rekomendasi hasil Seminar Sawit Multipihak dan rencana kerja, kemudian Tim RTL berganti nama dan struktur menjadi Tim Sawit Multipihak. Rencana kerja yang dihasilkan merupakan penghantar pekerjaan yang tidak mudah bagi Tim Sawit Multipihak sekarang disebut dengan POKJA Multipihak, dengan dukungan yang serba minim dan terbatas, hingga membuat personil yang tergabung didalamnya jatuh bangun untuk terus bertahan.
Ada tiga peran dan fungsi POKJA Multipihak, pertama adalah mendorong sistem Pengelolaan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Berbasiskan Perspektif semua pihak, kedua mendorong peningkatan kemapuan dan partisipasi para pihak di dalam dinamika pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan ketiga menyediakan ruang transformasi pemikiran untuk membangun sinergi dalam pengelolaan perkebunan sawit. Pertama, guna mendorong sistem pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan dan berbasiskan perspektif semua pihak ini, diharapkan mampu untuk mengakomodir kepentingan dan rasa keadilan semua pihak. Hal ini dapat dilakukan dengan memfasilitasi dan memberikan input-input progresif terkait dengan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Berindikator Lokal di Kalimantan Tengah selanjutnya disebut PPKSB-KT, sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Tujuan-tujuan PPKSB-KT yang berbeda dari para pihak ini dapat diakomodir oleh POKJA dan menjadi sebuah tujuan bersama dengan melewati beberapa proses-proses diseminasi informasi yang baik sehingga memenuhi rasa keadilan oleh semua pihak dan memperkecil konflik yang terjadi pada semua pihak yang mempunyai kepentingan pada PPKSB-KT. Kedua, untuk meningkatkan kemampuan partisipasi para pihak maka dalam mengelola dinamika kelompok yang berbeda dalam tujuan PPKSB-KT perlu juga adanya lokakarya dan pelatihan untuk mengembangkan kemampuan yang berimplikasi pada penguatan posisi tawar dari berbagai pihak. Ketiga, dalam memberikan ruang transformasi dan informasi bagi berbagai pihak didalam PPKSB-KT ini untuk menyebarluaskan berbagai hasil dan tujuan yang sudah
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
disepakati oleh berbagai pihak yang dianggap penting bagi PPKSB-KT. Ada para pihak yang merespon persoalan-persoalan di dalam PPKSB-KT maka perlu mensinergiskan para pihak untuk mengkomunikasikan persoalan ini dengan pihak yang bersangkutan tanpa banyak membuang energi, berbicara dengan orang yang tidak berkompetensi dalam permasalahan PPKSB-KT. POKJA Multipihak juga memiliki Prinsip Kerja yang menjadi dasar bagi POKJA dalam menjalankan fungsinya. Prinsip Kerja tersebut adalah pertama Mengakomodir kepentingan semua pihak, kedua Berbasiskan pada saling percaya, kebersamaan dan kesetaraan dan ketiga Membuka ruang inisiatif bagi semua pihak.
Dalam prinsip yang pertama, POKJA Multipihak berprinsip bahwa tujuan-tujuan yang berbeda dalam PPKSB-KT ini dapat didiskusikan dalam sebuah forum dialog yang difasilitasi oleh Pokja PPKSB-KT, sehingga mendekatkankan pada kepentingan semua pihak. Dalam mengakomodir kepentingan semua pihak ini maka perlu ditanamkan rasa saling percaya dan kebersamaan para pihak, yang merupakan bagian dari prinsip kerja kedua, sehingga tidak ada tekanan dalam bentuk fisik maupun phisikis dalam menginput persoalan-persoalan yang sedang dihadapi. Selanjutnya ketiga, POKJA Multipihak harus bersifat terbuka bagi inisiatif dan kreativitas semua pihak dalam mendorong transformasi pemikiran yang konstruktif bagi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Kalimantan Tengah.
mengenai RSPO dan perkembangannya, yang mungkin disebabkan karena adanya keterputusan informasi dari pusat ke propinsi dan Kabupaten. Dari sisi perusahaan, merasakan adanya ketimpangan porsi tuntutan kepada PBS tentang pemberdayaan masyarakat yang semestinya peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat, berjalan berimbang dengan pihak PBS. Ketika pemberdayaan masyarakat disekitar kebun yang mengindahkan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan adat dan kawasan kelola adatnya, sudah saatnya mereka juga menjadi perhatian dan tanggungjawab secara bersama para pihak termasuk bagaimana melibatkan peran serta masyarakat itu sendiri untuk didampingi sehinga dapat berdaya secara
mandiri mengorganisir diri dan mencapai kesejahteraan dengan standar dan ukuran mereka sendiri. Selain itu POKJA juga menilai bahwa lokalitas selama ini juga kurang mendapat perhatian dalam setiap produk kebijakan, walaupun secara Normatif, Filosofis dan Sosiologis kebijakan selama ini terkait perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dan hukum adat yang berlaku didalam wilayah Perkebunan Kelapa Sawit(PKS) realitanya tidak terpenuhi secara utuh walaupun dalam UU mengakui ini, hanya keberadaan mereka diakui tetapi fungsi dan perannya masih belum diakui, maka Indikator lokal yang disorong dalam Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal, adalah mengakomodir lokalitas dari pengayaan berbagai hal terkait kebijakan dan model pengelolaan terkait PKS, menempatkan
INISIATIF DAN GAGASAN MENDORONG PERUBAHAN PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Inisatif dan gagasan mendorong perubahan perspektif kebijakan pengelolaan perkebunan, yang diimplementasikan melalui Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kalimantan Tengah yang selanjutnya di sebut Draft PPKSBKT yang saat ini masih dalam bentuk draft adalah suatu Model yang dilahirkan oleh POKJA Multipihak dengan melihat latar belakang kondisi daerah Kalimantan Tengah yang antara lain kurangnya kesiapan para pihak terutama Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten yang merupakan wilayah implementasi pelaksanaan kegiatan dari PBS (Perkebunan Besar Swasta), seperti menyikapi infomasi Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
Kajian pengelolaan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk memperkaya data atau informasi terkait dengan kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah dan hasil yang diharapkan adalah adanya analisis kebijakan sebagai input terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Dan dalam rangka mempersiapkan perangkat pendukung sebagai lembaga kontrol dan evaluasi, salah satu bentuknya adalah dengan membuat satu bentuk kelembagaan yang bentuknya adalah konsorsium.
semua pihak dalam posisi yang setara, berimbang dan saling menguntungkan dalam persoalan kepentingan. Tujuan draft Model PPKSB-KT yang berisikan 8 prinsip dan 39 Kriteria, Indikator dan Parameter referensi ini adalah untuk Mewujudkan Sistem Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Berbasiskan Perspektif Semua Pihak di Kalimantan Tengah. Hasil yang diharapkan adalah adanya Sistem Pengelolaan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Berbasiskan Perspektif Semua Pihak di Kalimantan Tengah, dengan melingkupi Aspek Ekonomi, Sosial Budaya, Lingkungan dan Hukum. Dalam Draft Model PPKSB-KT ini, Indikator Lokal menurut POKJA Multipihak adalah mengandung pengertian “Nilainilai lokal yang diakui oleh semua pihak dan merupakan kearifan lokal dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Kalimantan Tengah” dan Berkelanjutan menurut POKJA Multipihak adalah mengandung pengertian “Sistem yang digunakan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah”.
PROGRAM KERJA POKJA MULTIPIHAK Sebagai suatu wadah kerja, POKJA Multipihak juga mempunyai program kerja yang terbagi dalam program jangka pendek dan program jangka menengah, walaupun sebelumnya ada program jangka panjang tetapi dengan melihat relevansi kondisional, maka program jangka panjang diintegrasikan dalam program jangka menengah. Dalam Program Jangka Pendek, ada tiga program yang dibuat yaitu ; 1. Mengembangkan konsep model Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal. 2. Diseminasi dan Informasi 3. Memfasilitasi proses penyusunan produk kebijakan sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal. Program Jangka Menengah, juga ada tiga program yang dibuat yaitu : 1. Kajian pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang komprehensif untuk mendukung model Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal. 2. Mempersiapkan perangkat pendukung sebagai Lembaga Kontrol dan Evaluasi Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal. 3. Masa uji coba dan implementasi model Model Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Berindikator Lokal.
LETAK HASIL DAN ORIENTASI POKJA Dari diagram diatas jelas sekali tujuan yang ingin dicapai oleh POKJA Multipihak adalah Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang berperspektif para pihak di Kalimantan Tengah, dengan melalui beberapa proses dan tahapan. Tahapan satu adalah proses awal melalui seminar sawit multipihak yang kemudian sampai ke tahap kedua melahirkan gagasan draft Model PPKSB-KT. Saat ini POKJA Multipihak sudah memasuki tahap tiga yaitu proses konsultasi publik baik melalui diskusi dengan para pihak dan pakar lain yang mempertajam dan menganalisis lebih mendalam mengenai Draft Model PPKSB-KT, dalam tahap ketiga ini, juga termasuk melalui Seminar Nasional Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kalimantan Tengah pada awal bulan pebruari 2008. Tahap keempat adalah tahap lanjutan dari hasil-hasil konsultasi publik, yang lebih konkrit mendorong Draft Model PPKSB-KT menjadi dasar dilahirkannya produk kebijakan lokal terkait pengelolaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Tahap kelima adalah dalam rangka mempersiapkan perangkat pendukung sebagai lembaga kontrol dan evaluasi terhadap implementasi dari produk kebijakan lokal yang dihasilkan tersebut, selain itu dalam rangka menuju mantapnya draft Model PPKSB ini sebagai bahan dasar produk kebijakan lokal terkait pengelolaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, maka perlu dilakukan uji coba di salah satu atau lebih perkebunan sawit yang bersedia menjadi mitra kerja implementasi uji coba Draft Model PPKSB-KT, untuk itu sekali lagi diperlukanlah perangkat pendukung sebagai lembaga kontrol dan evaluasi, yang dalam hal ini berbentuk konsorsium. Dikaitkan dengan dua pertanyaan pembuka pada tulisan ini, kurang lebih tiga tahun POKJA Multipihak ini berjalan, sungguh tidak ada jawaban yang bisa diberikan untuk saat ini. Apa yang dilakukan oleh POKJA Multipihak ini adalah bagian kecil dari gerakan advokasi kita bersama untuk membangun tembok pembatas yang melindungi hak-hak masyarakat yang hutan, lahan, tanah, air, adat dan budayanya yang terus terampas dan tergilas oleh perkebunan sawit. Anse S. Erlynova Wakil Ketua POKJA Multipihak Kalteng
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
Transformasi Masyarakat Pedesaan Lewat Gerakan Pemetaan Partisipatif (bagian kedua lanjutan dari Tandan Sawit Vol. 4, Tahun 7, 2007) erspektif sosiologi masyarakat kecil, konsep kesatuan sosial di suatu desa seringkali dipahami dalam konteks yang boleh saling-dipertukarkan dengan konsep’komunitas’. Dalam hal ini desa dipandang sebagai entitas sosial di suatu kawasan mikro, dan merupakan subset (himpunan bagian) dari gugus sistem sosial yang lebih besar. Warga atau penduduk yang ada di dalam kawasan tersebut membangun sebuah konfigurasi sosial-budaya yang khas. Dengan pemahaman seperti ini, desa menjadi teritori yang memungkinkan konfigurasi sosiobudaya terbangun secara sistematis. Dari kenyataan, sebuah desa bisa menjadi ‘habitat’ dari satu atau bahkan lebih dari satu komunitas khas.
P
Perspektif administrasi pemerintahan desa, desa dipahami semata-mata sebagai sebuah ruang tempat bekerjanya sistem administrasi pemerintahan publik dimana batasbatas pelayanan dan fungsi-administratif terdefinisi secara jelas. Dalam ruang yang demikian itu, pemangku otoritas administrasi publik memenuhi hak-hak kewarganegaraan yang dimiliki oleh warga desa. Sementara, pada saat yang bersamaan pemangku otoritas adaministrasi mengelola dan mengontrol berbagai kewajiban yang melekat dan harus ditunaikan oleh warga desa setempat kepada negara. Dengan kata lain, desa menjadi ruang dimana pemangku otoritas melakukan olah kekuasaan sesuai dengan mandata kewenangan sah yang diperoleh dan disandangnya dari negara. Dengan pengertian ini, desa adalah tempat dimana sebuah organisasi pemerintahan yang sah menjalankan aktivitas-aktivitas organisasional secara sistematis. Keseluruhan jejaring fungsi dan peran di setiap lapisan tata pemerintahan desa tersebut membentuk kesatuan administrasi pemerintahan yang kemudian disebut sebagai pemerintahan desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa dibantu oleh sejumlah perangkat desa dan seperangkat kelembagaan desa. Beragam perspektif diatas hemat penulis bisa mewadahi keberagaman desa-desa di Indonesia. Lebih lanjut Dharmawan (2007) mengenalkan suatu term desa sebagai social container yang mengangkut sekumpulan orangyang mengembangkan sejumlah atribut kelembagaan, sosio-budaya, sistemsistem ekonomi produksi dan subsistensi, kekuasaan, sistem ideologi, tradisi, dan sistem norma yang melekat dan berlaku sah di suatu kawasan. Social container inilah yang memberi identitas kepada desa. masing-masing sistem inilah yang serentak memberi identitas desa. Menurut penulis sistem-sistem yang ada dalam social container desa tersebut akan terus berkembang dan bersaing dimana interaksi didalamnya akan menghasilkan identitas mana khas yang dikenal oleh pihak lain sebagai suatu identitas suatu desa tertentu. Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi generalisasi dan reduksi terhadap identitas khas berupa Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
social container terhadap desa. Partisipasi penduduk suatu desa menjadi sangat penting dalam hal ini untuk mengidentifikasi social container suatu desa tersebut yang akan menjadi identitas ketika penduduk desa ber-hubungan dengan pihak lain. Disinilah gerakan pemetaan partisipatif menemukan korelasi dalam mengidentifikasi social container lewat pemetaan partisipatif. Ketika pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh penduduk desa sendiri dapat mengungkapkan social containernya dengan baik sehingga tertemu kenali identitas suatu desa dengan baik maka hal ini menjadi modal untuk melangkah ke depan khususnya berkenaan dengan pembangunan yang akan dilakukan di desa tersebut. Bila identitas suatu desa sudah tertemukenali dengan baik maka titik mulai suatu desa pun teridentifikasi.
Good Governance dalam transformasi masyarakat pedesaan Berkenaan good governance Dharmawan (2007) setidaknya terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhitungkan/ dipermasalahkan dalam sistem tata-pemerintahan, yaitu: • bentuk rezim (pengaturan) dan mekanisme pengaturan seperti apakah yang sepantasnya dikembangkan, • bagaimana proses menjalankan kewenangan dalam tata kelola pemerintahan, termasuk dalam pengelolaan pembangunan, • sejauh mana kapasitas (institusi ) organisasi-pemetintahan harus dipacu agara mampu melakukan desain dan formulasi kebijakan serta implementasi kebijakan dalam tata-pemerintahan desa. Dharmawan (2006) menyatakakan bahwa agar terjadi good governance di Pemerintahan Desa dengan melakukan sejumlah upaya membangun keberdayaan desa dengan penataan fungsi kelembagaan, perkuatan kapasitas organisasional melalui pengembangan kapasitas organisasi an sumberdaya manusia, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan desa yang efektif. Mana dahulu yang diperlukan, pastinya tiap wilayah mempunyai pendekatan sendiri-sendiri. Dharmawan (2006) mencoba menurunkan konsep makronya Fukuyama menjadi mikro (lihat Gambar 2) yakni berkenaan dengan pemerintahan desa dimana 4 kuadran Fukuyama diatas dimodifikasi menjadi kuadran I tentang Pemerintahan desa yang sangat efektif/kuat dengan peran/fungsi sangat luas kondisi ideal untuk Indonesia, kuadaran II tentang Pemerintahan desa yang tidak efektif dengan fungsi/peran yang sangat luas kondisi riil di Indonesia, kuadaran III tentang Pemerintahan desa yang lemah, tidak efektif/peran yang sedikit, kuadran IV tentang Pemerintahan desa yang
kuat dan sangat efektif dengan fungsi terbatas/ringkas tipe ideal.
Gambar 2. Empat Tipe Sistem Tata Pengaturan Pemerintahan Desa (dimodifikasi dari Fukuyama, 2004 dalam Dharmawan (2007a)
Empat tipe sistem tata pengaturan pemerintahan desa mencoba menggambarkan keragaman desa di Indonesia. Selain tipe tersebut, Kolopaking (2007) juga mengetengahkan model lain untuk menggambarkan keragaman sistem tata pengaturan pemerintahan desa dengan menggunakan ukuran kuat lemahnya pengaruh pemberian kewenangan di ‘aras desa’ dengan pola sistem demokrasi ‘barat’ dan kuat lemahnya pengaruh kelembagaan lokal (‘adat’) atas kewenangan pengelolaan desa diketahui empat tipe (lihat Gambar 3). Tipe pertama, dalam kategori kuat-kuat dapat ditemui di banyak desa-desa di Sumatera Barat, Bali, dan Kalimantan Barat. Tipe kedua dalam kategori kuat-lemah dapat ditemui kebanyakan desa-desa di Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, desadesa di Pulau Sumatera kecuali NAD dan Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara. Tipe ketiga dalam kategori lemah-kuat dapat ditemui di kebanyakan desa-desa di Papua dan sebagian Maluku. Sedangkan, tipe keempat adalah lemah-lemah yang dapat ditemui di kebanyakan desadesa di NAD dan Maluku.
diatas hanyalah menampilkan desa dari sisi tata pengaturan pemerintahan saja. Jadi, dua model yang ditampilkan terjebak kepada generalisasi dan reduksi terhadap identitas desa. mungkin untuk keragaman desa berkenaan dengan tata pemerintahan untuk good governance memungkinkan hal itu dilihat tetapi sebagai alat satusatunya dalam transformasi masyarakat pedesaan kurang cukup. Terjebak kepada generalisasi karena tidak semua wilayah desa di dalam satu provinsi seragam. Katakanlah Sumatra Barat, mungkin dalam dua model di depan dapat dikerucutkan bentuk nagari tetapi bagaimana dengan desa di Pulau Mentawai yang jelasjelas mempunyai perbedaan yang signifikan dengan nagarinya Orang Minang. Terjebak ke dalam reduksi dikarenakan konsep desa bukanlah hanya persoalan tata pengaturan pemerintahan tetapi lebih kompleks dari itu sehingga Dharmawan (2007a) menggunakan term ‘social container’ untuk menggambarkan kaya dan kompleknya desa. Gerakan pemetaan partisipatif sebagai ajang pemberdayaan dan partisipasi masyarakat Seperti yang diuraikan di depan bahwa good governance saja tidak cukup karena implikasinya terjebak kepada generalisasi dan reduksi. Untuk itulah konsep good governance perlu ‘disaingi’ dan disandingi dengan konsep yang lain yakni pemberdayaan dan partisipasi masyarakat lewat gerakan pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif mempunyai kata kunci yang menjadi tolok ukur keberhasilan pemetaan tersebut yakni partisipasi masyarakat dan lebih berdayanya masyarakat lewat proses-proses yang dilakukan dalam pemetaan partisipatif. Bila dikarakteristikkan pemetaan yang berbasiskan masyarakat mempunyai karakteristik, yakni: • melibatkan seluruh anggota masyarakat • masyarakat menentukan sendiri topik pemetaan dan tujuannya • masyarakat menentukan sendiri proses yang berlangsung • proses pemetaan dan produk-produk yang dihasilkan bertujuan untuk kepentingan masyarakat • sebagian besar informasi yang terdapat di peta berasal dari pengetahuan lokal • Masyarakat menentukan penggunaan peta yang dihasilkan Dalam kegiatan pemetaan partisipatif, masyarakat adalah subyek proses itu sendiri, bukan obyek. Jadi, kualitas peta yang dihasilkan pun sangat tergantung oleh partisipasi dan pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, aktivis-aktivis ornop hanyalah sebagai fasilitator dalam proses tersebut. Peta yang dihasilkan dalam pemetaan partisipatif ini berguna:
Untuk mencatat dan mengesahkan pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional
Gambar 3. Tipologi Provinsi dengan bentuk kewenangan Desa-desa dalam pengembangan kewenangan
Dua model yang ditampilkan didepan, apakah menampilkan ‘social container’ desa? Jelas, jawabannya bukan, dua model 10
Peta adalah cara yang paling jitu bagi suatu komunitas orang kampung untuk membuat catatan sejarah dan budaya tentang bagaimana cara komunitas orang desa melangsungkan kehidupannya diatas permukaan bumi. Bagaimana suatu komunitas desa memanfaatkan bentang alam di sekitarnya, diman lokasi suatu komunitas desa menggunakan lahan dan sumber daya alamnya sebagai tempat tinggal dan untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah halhal yang penting dipetakan. Misalkan suatu komunitas desa menunjukkan dimana lokasi kebun-kebun mereka dan dimana Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
Untuk menegaskan dan menegosiasikan kepemilikan kawasan adat Ketika komunitas masyarakat adat mensurvey batas-batas wilayah dan lokasi-lokasi bersejarah dalam kampungnya, hal ini akan menunjukkan dan menentukan sejarah kapan wilayah tersebut mulai didiami pemanfaatan lahan yang ada. Di banyak negara status kepemilikan adat seampai saat ini belum clear, sebagaimana peta dapat bermanfaat untuk berdiskusi dengan pihak luar mengenai pengelolaan lahan yang ada, peta juga dapat digunakan bernegosisasi dengan pemerintah sebagai bukti kepemilikan lahan yang dapat diterima hakim.
lokasi mereka mengumpulkan makanan dan obat-obatan dari hutan. Yang penting juga untuk dipetakan adalah sejarah kawasan yang bersangkutan. Hal ini dapat ditunjukkan dari nama-nama tempat, sungai, tempat suci atau terlarang, tempat legenda, dan tanah pekuburan.
Untuk pengorganisasian rakyat dan meningkatkan kesadaran mengenai masalah-masalah tanah dan lingkungan Peta juga dapat membantu menunjukkan perubahan lahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan trend yang akan terjadi kemudian. Apa yang akan terjadi pada lahan dan pada sejarah dan suatu komunitas desa ketika suatu perusahaan pengusahaan kayu masuk tanah adat/desa komunitas desa tersebut, atau ketika masyarakat ingin memilik areal pertanian di dalam kampungnya sendiri. Sejalan dengan perubahan lahan dan perubahan kehidupan di suatu kampung, peta dapat membantu setiap orang untuk sadar akan perubahan yang terjadi dan membahas perubahan itu secara bersama-sama.
Untuk perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam orang kampung Terdapat banyak masyarakat adat/lokal/desa yang telah melakukan pengelolaan lahan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Mereka tidak pernah membuat perencaan lebih dahulu dalam melakukan kegiatannya dan tidak pernah merasa membutuhkan hal tersebut. Namun, pengetahuan atas pengelolaan lahan ditunjukkan dan diberitahukan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Institusi tradisional, dan hukum atau atuan adat yang berlaku mengatur semua kegiatan yang dilakukan. Untuk itu, komunitas orang desa ini menggunakan peta untuk membantu mereka memahami ‘perencanaan pengelolaan’ tradisional yang mereka miliki atau untuk membuat rencana tata ruang lokal yang akhirnya sangat membantu dalam pelaksanaan dan pengawasan rencana tata ruang tersebut.
Untuk meningkatkan kapasitas orang desa berkomunikasi dan menjalan kerjasama dengan pihak luar Peta adalah alat visual yang dapat digunakan sebagai alat pembantu berkomunikasi dengan pihak dari luar. Dengan menentukan dan mencatat tata guna lahan lokal berdasarkan standar yang berlaku akan membantu orang desa berkomunikasi dengan pihak-pihak luar mengenai kawasan mereka. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
Peta yang dihasilkan dalam pemetaan partisipatif mempunyai kegunaan seperti diatas inilah yang di- mungkinkan akan mendokumentasikan tentang ‘social container’ masyarakat pedesaan dan tranformasi mau dibawa kemana. Artinya peta yang dihasilkan dalam pemetaan partisipatif juga akan memunculkan skenario-skenario atau rencana-rencana ke depan yang pastinya bertautan dengan transformasi masyarakat pedesaan. Dampak yang ada dengan hadirnya pemetaan partisipatif dalam desa adalah menguatnya kembali identitas desa. Salah satu wilayah dimana gerakan pemetaan partisipatif adalah Kalimantan Barat. Dalam Gambar 3 terlihat bahwa Kalimantan Barat termasuk ke dalam model kuat-kuat, kalau mau dicek gerakan pemetaan partisipatif yang di-lakukan di Kalimantan Barat mulai tahun 1995. Komponen yang terlibat dalam gerakan pemetaan partisipatif tersebut adalah PPSDAK Pancur kasih Pontianak dan telah berhasil melakukan pemetaan partisipatif di 286 kampung (desa) dengan luasan mencapai 1.189.223,68 Ha atau baru 7,94 % luas Kalimantan Barat. Pastinya, gerakan pemetaan partisipatif ini ada kontribusi terhadap kondisi kampung/desa di Kalimantan Barat, dengan bukti sampai dengan saat ini Kalbar masih termasuk ke dalam model kuat-kuat.
Penutup Berdasarkan uraian diatas, beberapa hal yang dapat menjadi catatan adalah: • Keberagaman desa-desa di Indonesia dapat diwadahi oleh konsep ‘social container’ desa yang mengangkut sekumpulan orang yang mengembangkan sejumlah atribut kelembagaan, sosio-budaya, sistem-sistem ekonomi produksi dan subsistensi, kekuasaan, sistem ideologi, tradisi, dan sistem norma yang melekat dan berlaku sah di suatu kawasan. Social container inilah yang memberi identitas kepada desa. Masing-masing sistem inilah yang serentak memberi identitas desa dimana sistem-sistem yang ada akan berkembang dan bersaing. • Konsep good governance dengan menampilkan dua model belumlah cukup sebagai basis transformasi masyarakat pedesaan karena terjebak kepada generalisasi dan reduksi. Terjebak kepada generalisasi karena tidak semua wilayah desa di dalam satu provinsi seragam. Terjebak ke dalam reduksi dikarenakan konsep desa bukanlah hanya persoalan tata pengaturan pemerintahan tetapi lebih kompleks dari itu • Gerakan pemetaan partisipatif dimana pemberdayaan dan partisipasi sebagai nafasnya dapat disandingkan dan disaingkan dengan konsep good governance untuk melakukan transformasi masyarakat pedesaan. lewat peta yang dibuat dalam pemetaan partisipatif inilah konsep 11
‘social container’ desa tercakup, begitu pula dengan transformasinya. Daftar Pustaka
• Achmaliadi, R. G. 2007. Pemetaan Partisipatif Sebuah Gerakan? Kabar JKPP No 12, Januari 2007. Bogor. JKPP • Bhatta, Gambhir and J.L. Gonzalez. 1988. Governance Inovations in the Asia-Pacific Region. Singapore: Ashgate • Dharmawan, Arya Hadi. 2007a. Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoritik dan Empirik. Hand Out Mata Kuliah Dinamika Masyarakat Pedesaan. Bogor. IPB • Dharmawan, Arya Hadi. 2007b. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan. Hand Out Mata Kuliah Dinamika Masyarakat Pedesaan. Bogor. IPB • Dharmawan, Arya Hadi. et. al. 2005. Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitraan Negara – Masyarakat Sipil – Swasta. Bogor: PSP IPB bekerjasama dengan UNDP • Dharmawan, Arya Hadi. et. al. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: PSP3 IPB bekerjasama dengan UNDP • Fauzi, N & S. Purnasatmoko. 2002. Gerakan Sosial Mengubah Masyarakat. Wacana Edisi 11 Tahun III 2002. Yogyakarta. Insist Press
• Flavelle, A. 2003. Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat. Bogor. JKPP • Friedman, John. 1991. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell • Fukuyama, F. 2004. State-Building: Governance and World Order in the 21st Century. New York: Cornel University Press • Kolopaking, L. M. 2007. Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Struktur Kelembagaan Otonomi Desa. Makalah dalam seminar dan lokakarya “Menuju Desa 2030”. Bogor. PSP3 IPB, PKSPL-IPB, P4W, & LPPM-IPB • Midgley, James. 1986. Community Participation, Social Development and the State. London: Methuen • Priyono, O. S. & A. M. W. Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta. CSIS • Siagian, H. 1983. Pokok-Pokok Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung. Penerbit Alumni • Singh, R. 2002. Teori-Teori Gerakan Sosial Baru. Wacana Edisi 11 Tahun III 2002. Yogyakarta. Insist Press • Tjondronegoro, S. M. P. 2007. Kilas Balik Pembangunan Desa di Indonesia: Evaluasi dan Prospek. Makalah dalam seminar dan lokakarya “Menuju Desa 2030”. Bogor. PSP3 IPB, PKSPL-IPB, P4W, & LPPM-IPB • Yulianti, Y & Mangku, P. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta. Lapera
suara dari kampung Revitalisasi Perkebunan,
Program Untuk Mensejahterakan Masyarakat Barito Utara BUKAN ”Kapitalisasi” Kelapa Sawit ? (bagian pertama dari 3 tulisan) etika terjadi transisi politik yang diawali dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, gelombang reformasi digulirkan dengan mengusung proses Desentralisasi atau dikenal dengan sebutan Otonomi Daerah. Terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan direvisi tahun 2003, memberikan nuansa baru bagi masing-masing daerah untuk berlomba-lomba membangun wilayahnya.
K
Konsekuensi dari semangat Reformasi yang begitu menggebu, memicu setiap daerah mulai mengeluarkan kebijakan pembangunan di segala bidang. Tidak ketinggalan, termasuk Kabupaten Barito Utara. Dalam upaya mengenjot Pendapatan Asli Daerah, Pemerintah sangat gencar menarik investor untuk menanamkan investasi demi menunjang pembangunan di Barito Utara. Sebagai instrumen pendukung untuk kepentingan pemodal telah dipersiapkan beberapa paket kebijakan (”jaminan kemudahan”) bagi investor. Khususnya sektor Perkebunan Kelapa Sawit. Bahkan pemerintah yang saat ini selaku 12
pemegang mandat dari rakyat Barito Utara, tidak tanggungtanggung mengalokasikan lebih dari separuh luas Kabupaten untuk dijadikan lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Apabila mereduksi pengertian Revitalisasi Perkebunan dengan maksud sebagai pengembangan agribisnis skala besar, seperti program yang dicanangkan pemerintah khususnya untuk Kabupaten Barito Utara, tidak menutup kemungkinan bahwa revitalisasi semacam itu apabila rancangan prasyarat utama, dengan mengabaikan aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta lingkungan maka sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan meleset. Revitalisasi Perkebunan apabila identik dengan upaya ”menggol-kan” rencana masuknya Perusahaan Per-kebunan Kelapa Sawit dalam sekala besar, maka cenderung hanya : • Bias kepentingan pemodal, yang dikuatir menjadikan fondasi perekonomian daerah (paling tidak sektor usaha yang dimiliki dan dikelola masyarakat secara turun temurun) tidak berkelanjutan. Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
• Menciptakan problem-problem struktural ke-agrariaan yang akut dengan mengorbankan kepentingan rakyat miskin petani (tradisional). • Timpangnya struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang secara sengaja dibiarkan berkembang dengan dijalankannya politik pembangunan Revitalisasi Perkebunan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat (petani/ pekebun tradisional). • Politik sentralisme sektoralisme hukum keagariaan yang sarat nuansa pengambil-alihan sumber-sumber agaria yang menjadi hak rakyat melalui konsentrasi penguasaan lahan ditangan segelintir kepentingan dengan mengorbankan kepentingan petani tradisional yang ”dianggap” sektor terbelakang. • Menimbulkan kesan pemaksaan terhadap rakyat yang tadinya berwatak subsitten, dan beralih ke sistem perkebunan berwatak eksploitatif.
penetapan hak yang diberikan oleh pemerintah berupa Hak Guna Usaha [HGU] yang beralaskan sejumlah peraturan perundangan dari hukum formal yang berlaku.
Mengutif isi buku “Strategi Membangun Barito Utara” (Tulisan Bapak Ir. Ach. Yuliansyah- Bupati Barito Utara) dikatakan bahwa : ”Prioritas Pembangunan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Yang Bersumber Pada Sistim Ekonomi Kerakyatan Serta Memperkuat Landasan Pembangunan Berkelanjutan Dan Keadilan”. Sementara di bagian PENANGGULANGAN KEMISKINAN dikatakan bahwa; “Dalam menjawab isu tersebut, upaya-upaya lintas bidang yang diberlakukan meliputi peningkatan keamanan dan ketertiban yang dapat mendukung kegiatan pelaku usaha kecil, pembangunan ekonomi yang dapat menjangkau mayoritas penduduk miskin”. Kalimat diatas merangsang kita untuk mendiskusikan relevansi dan korelasi dari dicanangkannya program REVITALISASI PERKEBUNAN, dengan rencana masuknya puluhan Perusahaan Besar perkebunan kelapa Sawit ke Barito Utara.
Mencermati realitas kecendrungan pembiaran terhadap struktur penguasaan dan kepemilikan lahan yang timpang, kebijakan memihak kelompok pemodal, bergantung dengan pasar internasional untuk memacu pertumbuhan ekonomi secara cepat, disinyalir sebagai metode pola pembangunan perkebunan yang dikembangkan dewasa ini. Ketimpangan struktur pengusaan dan kepemilikan lahan adalah sebuah realitas sosial yang memicu kesenjangan dan kemiskinan bagi kaum petani khususnya masyarakat petani pekebun (peladang).
Muncul pertanyaan, apakah upaya pemerintah untuk melakukan perubahan mendasar terhadap petani melalui penataan penguasaan dan kepemilikan lahan, tujuan, manfaat dan hasilnya kelak betul-betul mensejahterakan masyarakat? Jawabannya tentu tidak, apabila program Revitalisasi Perkebunan hanya sekedar dijadikan ”sanggahan” bahwa kebijakan yang memihak petani pekebun seolah kurang prospektif, lantaran pemerintah lebih tertarik untuk me-ngembangkan usaha perkebunan skala besar. Dari pada sibuk membedah korelasi Revitalisasi Per-kebunan dengan ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit, baik pada tataran konseptual maupun implementasi, hal ini lebih baik mengkaji secara mendalam terhadap problematika seputar perkebunan kelapa sawit yang sudah terjadi sekarang. Berawal dengan terjadinya ketimpangan dalam pe-nguasaan lahan, Maraknya sengketa dan semakin dominannya kepentingan pemodal cendrung berakibat pada lumpuhnya basis-basis kekuatan dan kepentingan ekonomi sosial, dan budaya petani tradisional. Dijadikan referensi untuk bahan diskusi para pihak yang peduli untuk mempertahankan tanah dan per-kebunan masyarakat dari proses penggusuran. Berkenaan dengan dinamika konflik yang ada saat ini, akar persoalan berwujud pada klaim hak atas tanah atau asset alam lainnya yang bertumbukan pada lokasi lahan yang sama, namun dengan dasar hak dan institusi yang berbeda. Masyarakat lokal memiliki klaim tenurial berdasarkan aturan dan atau hukum setempat [hak adat] yang disepakati bersama, sedangkan pengusaha perkebunan sawit berdasarkan Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
Penyelesaian konflik lahan dalam konteks persolan diatas setidaknya ada 3 [tiga] skenario opsi. Pertama, Jalur pengadilan, dimana basis material dalam opsi ini adalah hukum positif formal sehingga kadangkala tidak nyambung dengan basis argumentasi masyarakat lokal yang lebih mengedepankan hukum adat setempat. Kedua, Jalur negosiasi, dimana muara dari opsi ini mencoba mengajak bahkan merayu pihak ”lawan” agar bersedia mengakui argumentasi masyarakat lokal sehingga akhir-nya menyepakati pendapat masyarakat. Ketiga, Jalur penyelesaian alternatif lain semisal reclaiming dengan cara pendudukan lahan.Yang menjadi persoalan adalah masyarakat lokal yang mempunyai konflik dengan perusahaan tidak punya kapasitas yang memadai dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Perlu digaris bawahi bahwa, struktur penguasaan dan kepemilikan tanah menjadi sumber masalah yang fundamental sifatnya. Ketimpangan dan kuatnya dominasi pemilik modal, terutama dipergunakan untuk ekspansi usaha perkebunan skala besar sudah pasti akan semakin mempersempit akses petani dan masyarakat kecil. Marginalisasi posisi masyarakat petani dari penguasaan lahan memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam mendorong akselarasi pemiskinan masyarakat kecil pedesaan (petani/peladang]. Dimana pada gilirannya masyarakat petani secara serta merta akan membuka diri untuk bergantung dan bersedia di-eksploitasi oleh pemilik modal [contoh: buruh perkebunan dan petani plasma]. Pembangunan memang memacu peningkatan dan pertumbuhan ekonomi secara makro , akan tetapi kesuksesan terkadang menyisakakan ketimpangan sosial-ekonomi baru. Penyebabnya tanpa disadari justru dipicu oleh terkurasnya sumberdaya alam, kerusakan lingkungan, diskriminasi dan ketidak adilan. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakberdayaan individu dan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pembangunan dan kemiskinan dua kata dengan subtansi makna berbeda, namun apabila dianalisa secara mendalam terdapat hubungan sebab akibat yang menjadi salah satu faktor eksternal terciptaannya kemiskinan. Diantaranya akibat penerapan pola kebijakan top-down yang tidak berpihak kepada kepentingan publik (rakyat miskin). Pengembangan sektor usaha yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Dan terjadinya kesenjangan ekonomi dengan kelompok lain yang lebih mampu dan mempunyai tingkat sosial ekonomi lebih tinggi. Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia secara umum seperti kemiskinan, sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kesenjangan sosial semakin mencemaskan. Serta Kerusakan 13
lingkungan hidup semakin mengancam keberlanjutan kehidupan.Potret kehidupan yang dihadapi dewasa ini, tidak terlepas dari perkembangan sejarah Nasional Indonesia dimana salah satu faktor yang mempengaruhi jalan kehidupan bangsa kita adalah Kolonialisme. Kolonialisme disini pengertiannya adalah suatu faham yang tidak hanya melekat pada satu bangsa yang me-lakukannya, tetapi sebagai suatu cara pandang hidup satu golongan terhadap golongan lainnya yang lebih lemah. Golongan yang lebih kuat cendrung menerapkan hal-hal yang sifatnya eksploitatif terhadap kelompok yang lemah demi keuntungan sendiri. Oleh karenanya makna Kolonialisme bersifat umum, selama karakter eksploitatif tersebut terjadi dan berlangsung. Dampak dari neo-Kolonialisme seperti ini diantarannya adalah berkembangnya kemiskinan dipihak yang lemah, dan meningkatkan kesenjangan sosial dengan kelompok yang lebih dominan. Hal ini perlu dijadikan bahan telaah mengingat kemiskinan merupakan proses kultural dan struktural yang berasosiasi dengan evolusi waktu. Praktek monopoli, tanam faksa, feodalis, ketidak-adilan dalam pengusaan sumberdaya, menyempitnya akses masyarakat yang kontradiktif dengan akses pemodal dijadikan Historical record of past abuse yang berharga guna mencegah proses marginalisasi terhadap masyarakat petani dan penciptaan kantong-kantong kemiskinan [poverty enclave] baru. Kedepan, tidak salahnya apabila calon pemimpin [baru] di ”bumi Iya Mulik Bengkang Turan”. Mempertimbangkan bahwa : • APABILA PAKET kebijakan EKSPANSI Perkebunan Kelapa Sawit, dibuat hanya mengedepankan kepentingan investor dengan resiko mengorbankan kepentingan masyarakat petani. MAKA akan membuka peluang tersisihnya kelompok yang lemah melalui proses penggusuran terhadap hak-hak masyarakat atas sumberdaya Agraria [tanah & perkebunan rakyat] dengan “dalih” Pembangunan.
• APABILA KEBIJAKAN dalam mengembangkan sektor perkebunan sawit tanpa disertai kemauan politik dari Pemerintah untuk membuat jangkar pengaman bagi dampak ikutan, dan perlindungan terhadap wilayah kelola masyarakat. MAKA sasaran peningkatan ekonomi [penghasilan], peningkatan tarap hidup [kesejahteraan] hanya “dinikmati” oleh para pelaku ekonomi [pengusaha] semata, tidak oleh masyarakat. • APABILA KEBIJAKAN pemberian kemudahan dan fasilitas ijin pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit hanya demi tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah [PAD] dengan “dalih” menunjang Pembangunan, tanpa menganalisa dan mempertimbangkan dampak secara menyeluruh. MAKA biaya kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang timbul, yang nantinya ditanggung oleh masyarakat jauh lebih besar dari income yang diterima oleh Pemerintah. Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan bisnis [dunia usaha] sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan Sosial masyarakat, peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan. Pembangunan ekonomi [pengembangan dunia usaha] yang berpihak kepada kepentingan Sosial masyarakat sangat bergantung dengan political will pembuat kebijakan dan pengambil keputusan [Pemerintah]. Aspek Politik, Ekonomi dan Sosial merupakan satu kesatuan yang harus dikembangkan secara berimbang agar tujuan Pembangunan untuk meningkatkan KESEJAHTERAAN akan TERCAPAI. [@MT]
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG (bagian ke 2 dari 3 tulisan) UANG, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
tata ruang, pemanfaatan, ruang dan pengendalian pemanfaatan c. Memperoleh penggantian layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Dalam kaitan dengan pengaturan perbuatan dan hubungan hukum antara orang dan subyek hukum lainnya terhadap sumberdaya, Undang Undang Penataan Ruang [UUPR] mengatur hak dan kewajiban setiap orang dan peran serta masyarakat dalam PENATAAN RUANG.
Penataan ruang secara prinsif memuat pengaturan pemanfaatan ruang wilayah yang pada hakekatnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, kedaulatan dan hakhak rakyat.
Pasal 4 UUPR menyatakan bahwa : 1. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. 2. Setiap orang berhak untuk : a. Mengetahui rencana tata ruang b.Berperan serta dalam penyusunan rencana
Akan tetapi apabila otonomi daerah dianggap sebagai era yang memberi peluang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) demi menunjang pembangunan dengan mengabaikan prinsif-prinsif diatas. Maka tujuan penataan ruang juga orientasinya hanya untuk meraup PAD.
R
14
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
Karena adanya tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang Pembangunan, kebijakan pemberian kemudahan dan fasilitas ijin pengembangan berbagai sektor harus menganalisa dan mempertimbangkan dampak secara menyeluruh.Yang perlu digaris bawahi bahwa semua pihak dituntut harus punya kemauan dan kemampuan menganalisa secara akurat untuk memperhitungkan BIAYA KERUSAKAN LINGKUNGAN dan DAMPAK SOSIAL YANG TIMBUL akibat EKSPLOITASI SUMBERDAYA ALAM dan SUMBERDAYA MANUSIA, tidak lebih besar dari perolehan PENDAPATAN ASLI DAERAH [PAD].
tentang Otonomi Daerah, untuk menghindari kesan seakanakan muncul “kerajaan” kecil dengan kewenangan yang tidak terbatas dalam suatu negara.
Penataan ruang sebenarnya bertujuan tidak jauh beda fungsinya dengan perangkat atau rambu-rambu hukum, oleh karenanya harus mencakupi norma yang jelas, aparat pelaksana yang bertanggung jawab & sanksi yang tegas.
Kehidupan yang ditandai dengan interaksi saling ketergantungan merupakan mata rantai tatanan ekosistem yang menjadikan kelestarian lingkungan, hutan dan alam sebagai hal yang sangat esensial untuk dijaga dan dipertahankan. Modernisasi dan pembangunan telah banyak menimbulkan bencana bagi lingkungan hidup & kemanusiaan. Akibat per sfektif keliru yang menganggap bahwa lingkungan hidup sebagai obyek, dijadikan sebagai komoditas eksploitasi demi pembangunan.
Dalam upaya pemanfaatan dan pengendalian Rencana Tata Ruang, maka tentunya yang sejak awal harus dilakukan adalah Konsultasi Rencana Tata Ruang itu sendiri. Melalui konsultasi, selain dapat diketahui rencana-rencana peruntukan lahan dan strategi pengembangannya. Juga masyarakat mengetahui sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari hasil rencana tata ruang yang akan disusun. Dengan demikian masyarakat sejak awal seharusnya sudah memperoleh informasi tentang kebijakan-kebijakan pembangunan yang akan dikembang kedepan didaerahnya. Otonomi daerah hendaknya jangan hanya sekedar dijadikan sarana untuk mengejar PAD, dengan salah satu cara paling mudah adalah menerbitkan sebanyak-banyaknya ijin kepada investor sekalipun tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Jangan sampai Pemerintah dengan sengaja mendesain rencana tata ruang dengan tujuan bukan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, melainkan sebagai alat pacu peningkatan PAD. Pemerintah harus merumuskan konsep penataan ruang & pengelolaan lingkungan dengan menitik beratkan masa depan kelestarian alam, kelangsungan hidup masyarakat lokal [petani] yang ibarat mata rantai selalu ketergantungan dengan hutan dan alam. Pemerintah mendapatkan mandat dari rakyat untuk itu berwenang membuat dan menentukan kebijakan pembangunan, namun masyarakat pun berhak menuntut kewenangan pemerintah untuk menetapkan wilayahwilayah tertentu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Rencana tata ruang harus betul-batul dirancang secara terpadu dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam. Harus sinergis dengan pengembangan sumberdaya manusia dan pengelolaan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Mengingat lingkungan hidup adalah ruang kehidupan yang ditempati oleh manusia bersama mahkluk hidup lainya.
Mengingat lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara parsial dari tata kehidupan manusia, maka perlu diciptakan sifat holistik yang kuat agar manusia berpandangan bahwa kelestarian Lingkungan Hidup, [hutan dan alam] merupakan jaminan mahluk hidup dalam mempertahankan hak serta kelangsungan hidup mereka. Masyarakat adalah mitra dalam penataan ruang, oleh karena itu peran sertanya dalam setiap tahapan penataan ruang [perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian] dan tingkatan penyelenggaraan perlu dikembangkan. Keterbukaan serta transparansi dalam kegiatan penataan ruang sangat dibutuhkan untuk dapat menghasilkan kwalitas ruang yang optimal. Pelaksanaan hak seperti yang dimaksud dalam penjelasan diatas bisa dilakukan dengan cara memberikan usul, memberikan saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepetingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang. [@MT]
Ada beberapa hal yang perlu menjadi kajian dalam rangka penyempurnaan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang, sebagai isu-isu strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain meliputi : 1. Penajaman visi misi pemerintah tentang penataan ruang, yakni menuju ruang yang nyaman, aman dan berkwalitas untuk kemajuan masyarakat. 2. Penegasan terhadap perlindungan hak-hak masyarakat, khususnya terkait hak tradisional yang menyangkut hak ulayat dan masyarakat adat. 3. Penegasan perlunya rencana tata ruang wilayah sebagai perangkat operasionalisasi yang disertai dengan perangkat dan sanksi hukum yang tegas pula. Pemerintah Daerah hendaknya tidak kebablasan menafsirkan Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
15
Mempertahankan SDA & Wilayah Kelola Masyarakat Melalui, PEMETAAN PARTISIPATIF (bagian ke 3 dari 3 tulisan) akikat pembangunan adalah Perkembangan yang tidak merusak dan merugikan bagi masyarakat, manusia perorangan, kebudayaan, alam dan dunia serta masa depan. Tampak bahwa PEMBANGUNAN tidak sama dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menyangkut proses produksi, distribusi dan konsumsi untuk memenuhi keperluan-keperluan fisik manusia. Pertumbuhan yang tidak terkendali akan menghancurkan perkembangan.
H
Jangan sampai terjadi, kita mengorbankan lingkungan dan unsur-unsur kesatuan hidup dalam masyarakat lantaran kita menyamakan PEMBANGUNAN dengan PERTUMBUHAN. Kita mencita-citakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Cita-cita ini untuk seluruh bangsa Indonesia, bukan untuk segelintir orang. Bagi kita hal yang perlu dijawab bersama, ketika dilontarkan pertanyaan mendasar, seperti ; Kenapa investasi disektor Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan dan berbagai sektor lainnya yang sudah dilakukan masih belum mampu menopang kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan? Kenapa masih sering terjadi benturan konflik antara pengusaha Perkebunan Skala Besar juga Pertambangan dengan warga masyarakat sekitarnya? Kenapa masyarakat selalu dikambing hitamkan, dengan disalahkan dalam setiap kasus-kasus [konflik], dituding sebagai penghambat investasi dan tidak pro pembangunan? Mengapa masih ada yang suka menganggap warga masyarakat ”bodoh” sehingga belum dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan? “Mengapa pemerintah terus mempraktekan pembangunan dengan pendekatan ”top-down” ?. Sederet pertanyaan diatas dimaksud untuk ”menggelitik” kemurnian motivasi, kesungguhan, kemauan sikap, strategi, pendekatan dan perencanaan bagi Pelaksana Pembangunan. Yang tujuannya semata agar terhindar dari proses kemiskinan yang bernuansa struktural. Pembangunan sebagai pemberdayaan masyarakat untuk lebih mandiri [empowering the people for self-reliance] seharusnya berlangsung dengan melibatkan masyarakat sejak dari perencanaan sampai pada penilaian atas hasil yang dicapai. Jika sungguh-sungguh untuk pemberdayaan masyarakat, maka rangkaian proses itu harus ditunjang oleh keterlibatan masyarakat dengan kesadaran dan sikap kritis yang memadai. Kehadiran suatu proyek pembangunan ditengah masyarakat misalnya, meskipun dengan dalih kepentingan umum, oleh warga sekitar, perlu dipertanyakan dengan sikap kritis apa manfaat dan dampaknya bagi masyarakat. Bukankah sampai sekarang kreteria ”kepentingan umum” dan siapa yang 16
bertindak demi kepentingan umum masih bias ? Pemetaan sumberdaya alam [SDA] dan wilayah kelola masyarakat disuatu desa dengan pendekatan partisipatif, merupakan bagian dari perencanaan pembangunan. Pemetaan itu dimaksudkan agar sebanyak mungkin warga masyarakat dapat mengetahui dan memahami potensi SDA dilingkungan mereka, baik secara kwantitatif maupun kwalitatif. Pengetahuan warga masyarakat akan SDA dilingkungan mereka menjadi penting karena berkaitan dengan hak ekonomi [minimal untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar] dan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman. Kita tidak menghendaki adanya korban pembangunan. Kita menyadari bahwa pemanfaatan SDA mengandung ”resiko” tinggi bagi warga disekitar lokasi. Kadangkala perusahaan dapat mencari berbagai alasan untuk ”menyingkirkan” warga masyarakat setempat. Pendidikan formal yang tidak memenuhi syarat, tidak terampil atau tidak punya keahlian, atau bahkan secara hukum positif memang tidak berhak atas SDA. Dalih tersebut seringkali mengantarkan masyarakat hanya duduk dideretan kursi penonton atau setidaknya menjadi buruh kasar. Pemetaan partisipatif SDA pedesaan beserta seperangakat aturannya [Peraturan Desa] juga dapat dipandang sebagai bagian dari program terpadu dan berkesinambungan dalam pengembangan masyarakat desa. Pelaksanaan program terpadu merupakan suatu aliansi strategis bagi masyarakat dalam pengembangan aspek kehidupan agar terus berkembang secara simultan. Sedangkan pengembangan secara berkesinambungan mencakup aspek organisasi [kemampuan terus mengelola], aspek finansial [kemampuan untuk terus membiayai] dan aspek adaptasi [kemampuan untuk terus menghadapi atau menyesuaikan diri dengan pengaruh yang datang dari luar] Pengutamaan pembangunan [termasuk usaha sektor perkebunan kelapa sawit] dan pemanfaatan SDA lainnya demi untuk kesejahteraan warga masyarakat sekitar, sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Pemanfaatan SDA itu sungguh-sungguh akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bilamana : • Usaha atau mata pencahariaan masyarakat yang sudah ada dan dikelola secara turun temurun tidak dirusak atau dihilangkan. • Secara nyata menambah atau meningkatkan pendapatan warga masyarakat sekitar. • Adil bagi semua pihak, dengan perhatian khusus kepada kaum perempuan dan anak-anak karena kedua kelompok ini lebih rentan terhadap ketidak adilan. • Mendukung - minimal tidak merusak - tatanan sosial budaya setempat. Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
• Konsisten melestarikan atau memperkuat daya dukung lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan. Pemetaan Partisipatif terhadap Sumberdaya Alam dan Wilayah Kelola Masyarakat, juga sekaligus untuk menata dan menjawab realitas sosial dan fakta :
dalam pengelolaan SDA. Beberapa kegiatan pembangunan, masyarakat lokal cendrung dianaktirikan. contoh: petani transmigrasi ”bisa langsung” memperoleh lahan bersetifikat, sementara masyarakat lokal kendati telah menguasai dan mengelola tanah secara turun temurun belum tentu [@MT]. (Tiga rangkaian tulisan ini disusun oleh Arbani M. Tengkelowong, masyarakat Kabupaten Barito Utara)
Pertama, pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan hidupnya, dan SDA tidak tertulis sehingga sulit memperoleh pengakuan dan pengaturan dengan jelas. Kedua, batas-batas wilayah hanya menggunakan batas [tandatanda] alam yang berlaku secara turun temurun. Belum adanya Peraturan Desa yang mengakomodir kepentingan masyarakat
INVESTASI : Benarkah Bagi Kesejahteraan Rakyat?
I
ndonesia baru saja melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Korea Selatan untuk kerjasama investasi. Tidak kurang dari Rp 80 triliun akan diinvestasikan oleh Korea Selatan untuk industri kelapa sawit, batubara dan semen, yang salah satu wilayahnya adalah di Kaltim. Ini bukan merupakan perjanjian kerjasama pertama yang akan masuk di Kaltim. Sebelumnya China juga telah membuat MoU dengan Indonesia, dengan salah satu wilayahnya kerjasamanya adalah di Kaltim. Melihat besaran nilai investasi yang akan masuk, memang bukan sebuah angka yang kecil. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim saja sangat jauh angkanya dibandingkan dengan nilai investasi yang akan masuk tersebut. Bahkan bila digabungkan dengan seluruh APBD KabupatenKota di Kaltim. Sungguh sebuah kenikmatan seandainya saja investasi benar-benar bagi kesejahteraan rakyat.
Lemahnya Pengawasan Terhadap Perilaku Investor Keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pelayan publik telah menjadikan investasi lebih banyak melakukan tindakan-tindakan yang pada akhirnya merugikan komunitas lokal di kawasan yang diserahkan kepada investor. Perilaku investor yang tidak mempedulikan kepentingan kebutuhan dasar komunitas lokal telah mendorong terjadinya pemiskinan secara struktural pada wilayah tersebut. Kawasan kelola komunitas pun secara perlahan harus beralih kepemilikan, yang pada gilirannya menghadirkan krisis pangan dan krisis identitas. Ketika kemudian terjadi pencemaran dan konflik sosial, baru kemudian pemerintah akan disibukkan untuk melakukan penanganan dampak. Kondisi ini kemudian juga menjadi sebuah beban baru bagi pemerintah, sehingga aspek pelayanan kepada publik menjadi terabaikan. Pemerintah hari ini masih memiliki sebuah cara berpikir untuk lebih berpihak kepada investor dibandingkan kepada rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada pemerintah untuk menjadi pelayan publik. Hal lain yang juga menjadi penting adalah perilaku investor yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya telah Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
menjadikan pemenuhan kebutuhan jangka panjang bagi Kaltim sendiri menjadi terabaikan. Krisis energi listrik, minyak goreng, bahan bakar gas, hingga habisnya persediaan pangan di tingkat lokal merupakan sebuah dampak dari perilaku eksploitatif (dan rakus) dari para investor.
Investasi dan Krisis Ekologis Masuknya investasi di sebuah wilayah, apalagi bila berasal dari China dan Korea, sebenarnya bukan sebuah kabar baik bagi kondisi ekologis di Kaltim. Karakteristik lahan dan tanah di Kaltim yang unik, menjadikannya sangat sensitif terhadap terjadinya bencana ekologi berupa banjir, longsor dan kekeringan. Sudah bukan menjadi sebuah informasi aneh lagi bagi rakyat Kaltim di beberapa daerah, bahwa kejadian banjir dan kekeringan telah semakin meningkat jumlah kejadian dan besaran dampaknya. Dalam setiap tahunnya, wilayah-wilayah di sekitar kawasan yang dibuka untuk perkebunan besar kelapa sawit serta pertambangan akan mengalami banjir lebih dari 2 (dua) kali dalam setahun. Juga terjadinya kekeringan pada wilayah aliran air, termasuk sumur yang selama ini menjadi sumber air bersih bagi rakyat menjadi kian mengering. Semakin sukar bagi rakyat di sekitar wilayah perkebunan besar dan pertambangan untuk dapat hidup lebih nyaman sebagaimana sebelumnya. Pengeluaran keuangan setiap rumah tangga juga semakin meningkat. Pengalaman di berbagai wilayah lain di Indonesia, ketika investasi mulai masuk pada sektor perkebunan besar dan pertambangan, yang terjadi kemudian adalah pemerintah semakin harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk menangani dampak ekologis, termasuk juga dampak perubahan negatif sosio-kultur, pada wilayah-wilayah sekitar kawasan investasi.
Hilangnya Sumber Kehidupan Peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai sebuah jargon yang selalu diungkapkan oleh pemerintah dalam setiap kali membuka peluang investasi, hingga saat ini masih sangat tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh komunitas lokal. Yang 17
terjadi malah semakin tidak sejahteranya rakyat di kawasan investasi. Bahkan lebih jauh, konflik sosial semakin sering terjadi di berbagai wilayah investasi. Ketika Pemkab Kutai Timur menyatakan bahwa potensi bahan baku bagi pabrik semen dari Gunung Sekerat, KaliorangBengalon, sangat melimpah, maka yang terbayang bagi sebagian masyarakat adalah semakin banyaknya peluang bekerja di pabrik semen. Namun kenyataannya terdapat sebuah dampak yang jauh lebih besar terhadap hilangnya sumber kehidupan bagi rakyat di sekitar Gunung Sekerat. Hingga saat ini rakyat di seluruh kampung di sekitar Gunung Sekerat sangat menggantungkan ketersediaan air bersih dan air untuk pertanian dari keberadaan gunung tersebut. Kemudian bilasaja gunung tersebut ditambang untuk kepentingan pabrik semen, maka bukan tidak mungkin krisis pangan dan krisis kehidupan akan terjadi di kampungkampung di sekitarnya. Demikian pula ketika perkebunan kelapa sawit mulai melakukan pembersihan lahan (land clearing), maka yang terjadi adalah hilangnya cadangan air tanah yang berdampak pada semakin keringnya sumur-sumur sumber air bersih bagi rakyat di kawasan tersebut. Bahkan perkebunan besar di banyak tempat di Kaltim juga telah melakukan penggusuran terhadap kubur adat, kebun buah dan rotan komunitas, serta perkampungan. Sementara itu, tawaran pekerjaan yang selalu dijanjikan kepada komunitas tersebut sangat jarang sekali diwujudkan, karena alasan tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan. Hal lain yang juga terjadi pada kawasan sekitar pertambangan batubara adalah tidak lagi adanya air bersih bagi rakyat, termasuk hilangnya persawahan/perladangan hanya karena tanaman yang ditanam harus mati perlahan akibat tak ada air, dan kalaupun tersedia hanyalah air asam tambang.
Mencari Investasi Yang Berpihak Pada Rakyat Perilaku investor, apalagi bila berasal dari China dan Korea Selatan, sangatlah tidak berpihak bagi kepentingan rakyat,
apalagi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Sangat jelas terlihat bahwa negara China dan Korea Selatan tidak memiliki sebuah aturan yang tegas terhadap keberpihakan kepada lingkungan hidup dan kehidupan komunitas lokal. Gambaran ini sangat semakin jelas ketika kemudian negara China sangat tidak peduli terhadap kayu pembalakan haram (desctructive logging) yang masuk ke negara mereka, termasuk juga ketika batubara yang diimpor mereka berasal dari kawasan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan tatanan sosial-budaya komunitas lokal. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membangun pola investasi yang benar-benar bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan sudah seharusnya perekonomian rakyat dibangun dengan bersumber dari rakyat itu sendiri, serta bukan berharap dari investor, apalagi investor asing. Negeri ini diproklamasikan kemerdekaannya untuk mewujudkan citacita bebas dari penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi, serta untuk membangun kesejahteraan bersama, dan bukan hanya bagi kesejahteraan segelintir orang. Ekonomi kerakyatan yang selalu didengungkan, selama ini tidak pernah dibangun secara serius dan benar oleh pemerintah. Komoditas pertanian dan perkebunan yang dihasilkan oleh komunitas lokal sangat tidak terfasilitasi industri hilirnya, sehingga secara perlahan ditinggalkan dan diabaikan, hingga suatu waktu digusur secara paksa demi kepentingan investasi. Peringatan Hari Kemerdekaan Republik ini sudah selayaknya dimaknai sebagai sebuah perubahan cepat dan pembebasan negeri ini dari penjajahan ekonomi baru yang telah cukup lama difasilitasi oleh pemerintah. Sendi-sendi ekonomi rakyat harus kembali digerakkan dengan melindungi kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan rakyat, dan tidak menyerahkan lahan-lahan produktif di propinsi ini kepada kepentingan investasi asing. Mari bersama-sama menikmati sebuah KEMERDEKAAN yang sebenarnya. Ditulis oleh Ade Fadli (dikutip dari http://timpakul.hijaubiru.org)
DILEMA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT “Di tengah meningkatnya harga dan semakin langkanya sumber minyak mentah, dan perubahan iklim dunia yang disinyalir berasal dari pembakaran minyak fosil secara berlebihan, membuat umat manusia beralih mencari sumber energi baru yang ramah lingkungan, dapat diperbaharui dan bisa diproduksi secara massal. Salah satu sumber energi itu adalah minyak kelapa sawit” Apabila tahun 2006 harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ cpo) di pasar dunia dihargai 760 US dolar / ton, maka pada awal 2008 harga CPO telah menembus angka 1.100 US dolar / ton. Hal ini berarti ada permintaan pasar global yang cukup pesat akan CPO sementara supply atas komoditi ini masih dirasakan terbatas. ” 18
elapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah. Selain biofuel, kelapa sawit juga dipakai untuk beriburibu kegunaan lain mulai dari bahan-bahan makanan, pelumas mesin hingga kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting bagi negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga miyak mentah mencapai US $ 100 per barrel (liputan6.com, 20/02/08). Perkebunan kelapa sawit ini telah menghasilkan 17 juta ton kubik minyak kelapa mentah, dan diperkirakan
K
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008
akan bertambah menjadi 18 juta ton di tahun 2008 (Majalah Tempo,23/12/07), dengan nilai ekspor sebesar US $ 4,43 milyar dan mendatangkan (secara resmi) US $ 42,4 juta ke dalam kas negara. Karenanya, nilai dari minyak kelapa sawit terus meningkat. Harganya saat ini mencapai US $ 550 per ton kubik, cukup kompetitif bila dibandingkan dengan petroleum. minyak kelapa digunakan sebagai salah satu bahan mentah dari produksi biofuel, bahan bakar yang berasal dari minyak sayur atau lemak hewani. Pada umumnya, biofuel bisa diturunkan tingkatannya dan saat terbakar memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar petroleum tradisional atau bahan bakar fosil. Bahkan Uni Eropa telah menetapkan keputusan bahwa di tahun 2020, bahan bakar transportasi harus mengandung 10% biofuel (sawitwatch.or.id). Pesatnya perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit menjadi peluang ekonomi yang menjanjikan bagi pihak-pihak tertentu. Investor asing yang kini dipermudah dengan adanya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing semakin memperlebar kesempatan untuk mendirikan usaha di Indonesia. Penyediaan modal bagi Indonesia akan membuka lapangan kerja, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit mendapat prioritas utama karena pemerintah berupaya memperkuat basis perekonomian nasional melalui penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam secara maksimal. Maka tak heran bila saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebanyak 7,9% hingga tahun 2009 (Jurnal Hukum Bisnis vol.26,2007). Dan untuk mewujudkan rencana tersebut, Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia, yang saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 7,3 hektar, masih akan berencana memperluasnya hingga mencapai 20 juta hektar (sawitwatch.or.id). Bahkan Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target pabila tahun 2006 harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ cpo) di pasar dunia dihargai 760 US dolar / ton, maka pada awal 2008 harga CPO telah menembus angka 1.100 US dolar / ton. Hal ini berarti ada permintaan pasar global yang cukup pesat akan CPO sementara supply atas komoditi ini masih dirasakan terbatas. ” Kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah. Selain biofuel, kelapa sawit juga dipakai untuk beribu-ribu kegunaan lain mulai dari bahan-bahan makanan, pelumas mesin hingga kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting bagi negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga miyak mentah mencapai US $ 100 per barrel (liputan6.com, 20/02/08). Perkebunan kelapa sawit ini telah menghasilkan 17 juta ton kubik minyak kelapa mentah, dan diperkirakan akan bertambah menjadi 18 juta ton di tahun 2008 (Majalah Tempo,23/12/07), dengan nilai ekspor sebesar US $ 4,43 milyar dan mendatangkan (secara resmi) US $ 42,4 juta ke dalam kas negara. Karenanya, nilai dari minyak kelapa sawit terus meningkat. Harganya saat ini mencapai US $ 550 per ton kubik, cukup kompetitif bila dibandingkan dengan petroleum, yang akan membutuhkan dua kali lipat peningkatan usaha perkebunan kelapa sawit. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
Dampak Kebun Sawit Namun untuk mendapatkan keuntungan yang begitu besar, bangsa ini ternyata juga harus menanggung kerugian yang setimpal. Di tengah maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, beberapa pihak berteriak dan menyuarakan protes. Diperluasnya usaha kelapa sawit ke hutan dan lahan gambut merupakan ancaman serius bagi iklim global dan hutan di Indonesia. Permintaan global terhadap ketersediaan minyak sawit telah menyebabkan deforestasi, maraknya konversi terhadap lahan gambut dan wilayah konservasi, serta berimbas pada perubahan iklim secara global. Perubahan ini telah menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya kebakaran serta penghancuran terhadap budaya dan masyarakat adat. Padahal membakar hutan lahan gambut di Indonesia menyebabkan terlepasnya sejumlah besar simpanan karbon ke udara. Seperti yang terjadi di Riau, lahan gambut Riau menyimpan 14.6 miliar ton karbon dioksida, jumlah besar yang menyamai emisi gas rumah kaca di dunia selama setahun. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara penyumbang emisi karbon ketiga terbesar di dunia (greenpeace.org). Maka tak dapat dipungkiri bahwa hutan kita yang awalnya berpotensi menjadi bagian penting dalam solusi global untuk perubahan iklim, lambat laun akan menjadi bagian masalah perubahan iklim jika pengalihan status dan fungsi kawasan hutan tetap terjadi. Kebakaran atau lebih tepatnya pembakaran lahan dan hutan terus berlangsung setiap tahun tanpa dapat ditanggulangi dengan serius oleh pemerintah. Perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit meraup keuntungan dengan menghemat biaya Land Clearing dan menggantikannya dengan cara membakar yang biayanya lebih murah 80% dibandingkan dengan land clearing konvensional. “Akan tetapi, para pengusaha pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit berdalih bahwa penyebab kebakaran disebabkan oleh masyarakat peladang yang umumnya membuka ladang dengan cara membakar,” ujar Hyronimus Rhiti, S.H,LL.M, dosen pengajar mata kuliah hukum lingkungan FH UAJY. Tidak hanya hutan yang terancam ekspansi kebun kelapa sawit. Pada umumnya, pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar akan menggusur dan merusak ekosistem hutan-hutan masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan perkebunan skala besar di Indonesia menyebabkan kekayaan masyarakat adat tidak diakui. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat adat sangat jamak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Indonesia. Selama ini hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat adat. Padahal faktanya, masyarakat adat adalah pihak yang sesungguhnya telah menempati, memanfaatkan, berhubungan dengan dan bergantung pada hutan serta sumber daya alam tersebut sejak dahulu kala.
Dukungan Kebijakan Kebijakan pemerintah merupakan faktor utama penyebab semakin lajunya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Bermula dari dicanangkannya program pemerintah yaitu revitalisasi perkebunan. Program ini merupakan upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan (termasuk kelapa sawit), yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang perkebunan. Hal itu menyebabkan semakin maraknya 19
perusahaan yang memperluas usahanya di bidang perkebunan kelapa sawit. Apalagi, melalui Permentan No. 26 tahun 2007, pemerintah telah mengijinkan pihak swasta untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit hingga 100 ribu ha dalam satu kawasan di satu kabupaten ataupun propinsi. Aturan tersebut dibentuk mengingat ketentuan sebelumnya yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 357 tahun 2002, kepemilikan areal perkebunan kelapa sawit dalam satu wilayah maksimal hanya 20 ha. Bahkan untuk perusahaan yang sudah go public bisa mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit melebihi 100 ribu ha dalam satu kawasan di satu kabupaten atau propinsi (antara.co.id). Pemerintah memandang penting kedudukan perkebunan kelapa sawit dalam struktur perekonomian negara sehingga pemerintah memberi fasilitas yang paling penting bagi keberadaan perkebunan kelapa sawit, yaitu fasilitas untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan politis yang diberikan oleh pemerintah kepada investor. Pemerintah juga memberi fasilitas kepada para investor, seperti kemudahan dalam perizinan melalui deregulasi kebijakan, fasilitas permodalan melalui kredit lunak dari bankbank pemerintah, tenaga kerja murah melaui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan pembebasan dari sewa tanah dengan memberikan Hak Guna Usaha (Tandan Sawit Vol.2,2002).Upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dengan memberi fasilitas memperoleh tanah secara murah diwujudkan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan mengeluarkan SK Menhutbun No. 367/ Kpts-II/1998, yang mendorong konversi hutan untuk areal perkebunan kelapa sawit. Kebijakan pemerintah dalam peneglolaan perkebunan sangat mendukung konversi kawasan hutan dan privatisasi modal. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut cenderung buta terhadap keberadaan masyarakat lokal. Implikasi dari kebijakan ini mengakibatkan sejumlah besar konflik agraria yang pelik dan sulit dipecahkan. Dukungan kebijakan pemerintah juga berimbas pada pemberian izin perkebunan kelapa sawit bagi pemegang konsesi. Friends of the earth mencatat bahwa banyak izin perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak benarbenar dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit. Lahan-lahan tersebut sepertinya ditelantarkan karena pemegang izin tidak mengerjakan lahan tersebut. Yang ditinggalkan hanyalah hamparan lahan kosong, berbelukar yang menghasilkan erosi dan menjadi lahan kritis karena tak lagi pepohonan, sehingga tak ada lagi pula hewan yang hidup di kawasan tersebut. Pada banyak kasus, pemilik perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga menjadi pengusaha konsesi HPH, sehingga kayukayu yang ditebang hasil land clearing untuk perkebunan dijual demi kepentingan modal dan profit mereka. Selain itu, ada juga yang hanya mengincar kayunya semata tanpa ada pengerjaan perkebunan yang dimaksud setelah kayu diambil “Penelantaran tanah sebenarnya dilarang oleh UU Pokok Agraria. Namun sangat sulit untuk menertibkan para pemegang izin. Maka untuk mencegah hal tersebut, setelah izin diberikan harus tetap ada mekanisme pengawasan,” kata Pak Rhiti.
di tahun 2004-2005. Hal tersebut berarti bahwa kemungkinan besar hutan-hutan di Indonesia akan semakin berkurang jumlahnya. Maka, menjaga kelestarian hutan supaya tetap ada merupakan hal yang harus diantisipasi oleh bangsa ini. Pemerintah harus memfokuskan diri pada meningkatnya produktifitas di perkebunan yang telah ada, bukannya membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Ini bisa dilakukan dengan cara menggunakan bibit unggul dan menerapkan praktek berkebun yang lebih baik, serta mendorong untuk menanam kembali perkebunan yang telah ditelantarkan. Sebagai langkah untuk mencegah meluasnya usaha kelapa sawit, akan lebih bijaksana jika Indonesia menggunakan sertifikasi argikultur untuk kelapa sawitnya agar meyakinkan bahwa produknya berasal dari perkebunan yang dijalankan dengan baik, baik dalam pengelolaan pembukaan perkebunan, pengormatan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, perlindungan terhadap pekerja dan buruh perkebunan. Satu set kriteria telah dibuat di bawah Principles and Criteria of the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Aturan yang ditetapkan dalam prinsip dan kriteria ini merupakan mekanisme kontrol sosial yang coba untuk dimajukan, dimana minyak sawit lestari merupakan tuntutan dari perubahan paradigma bertujuan agar dalam keseluruhan rangkaian proses dalam menghasilkan minyak kelapa sawit. Bagian kunci untuk rencana sertifikasi ini adalah mengajak negara pengguna untuk bergabung. Jika negara-negara ini gagal untuk mendapatkan kelapa sawit dari sumber yang mendukung, maka tak akan ada bantuan dan kontrol bagi para produsen untuk menjalankan perkebunan mereka dengan cara yang lebih baik. Akhirnya, pertama, pemerintah harus melakukan evaluasi perizinan, penegakan hukum lebih konsekuen dan konsisten serta berpihak pada rakyat, renegosiasi ulang berbagai kesepakatan, dan resolusi konflik-konflik yang terjadi di perkebunan. Kedua, tetap memperhatikan dan mematuhi hukum internasional, tidak mengalih-fungsikan kawasan hutan alam, lahan gambut, dan ekosistem lainnya, menghargai hak-hak ulayat masyarakat adat, menjalankan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent) dalam berurusan dengan masyarakat adat atau lokal, tidak melakukan pembakaran untuk penanaman dan pembukaan lahan, dan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam aktifitas pembangunan perkebunan. Pers Mahasiswa das Sein Fakultas Hukum UAJY
Melihat luasnya area hutan tropis di kawasan Indonesia dan tingginya nilai minyak kelapa sawit, usaha perkebunan sawit tampaknya menjadi pilihan yang menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi. Namun, itu berarti banyak kepentingan yang harus dikorbankan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Greenomics menemukan bahwa 60 persen dari seluruh pengubahan fungsi hutan dengan tujuan menanam dan perkebunan kelapa sawit masih terjadi di hutan-hutan bagus 20
Tandan Sawit Vol. 2 Tahun 8, 2008