MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)
MATA KULIAH
ETIKA BERWARGA NEGARA
BAGIAN 3 IDENTITAS NASIONAL
Oleh:
DADAN ANUGRAH, M.Si.
UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008
1
BAGIAN 3 IDENTITAS NASIONAL
I. PENGANTAR Identitas adalah ciri yang membedakan satu entitas denga entitas yang lainnya. Identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya. Oleh karena ciri-ciri atau tanda-tanda yang terdapat dalam identitas nasional suatu negara mampu menampilkan
watak,
karakteristik
kebudayaan
dan
memperkuat
rasa
kebangsaan. Dan identitas nasional juga bisa dikatakan sebagai jati diri yang menjadi selogan-selogan kibaran bendera kehidupan. Identitas nasional bisa berakar pada kebudayaan luhur dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dikandungnya, bisa berakar dari aspek keragaman seni, arsitektur dan lain-lain sepanjang hal itu dianggap khas bagi suatu bangsa (nation). Identitas nasional itulah yang pada giliranya membedakan Indonesia dengan negara-negara lainnya. Di saat globalisasi semakin menggurita, ada kecenderungan identitas nasional kita terkikis. Masih hangat dalam ingatan kita, bagaimana Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange diklaim oleh tetangga kita Malaysia. Kasus tersebut sontak menjadi headline surat kabar di Indonesia. Kecaman datang bertubi-tubi dari rakyat Indonesia, kedutaan Malaysia menjadi ajang demonstrasi besar-besaran. Mereka menaggap Malaysia telah melakukan pencuian terhadap kekayaan Indonesia. bahkan anak-anak Bandung memplesetkan Malaysia dengan kata-kata: maling sia... (kamu maling). Ada dua pikiran yang “kira-kira” bisa menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, kita acapkali terlena dengan kekayaan budaya sendiri, sehingga keterlenaan tersebut menjaidkan kita mengabaikan
hak paten budaya kita.
Ketika klaim datang dari negeri lain kita tidak cukup hanya mengandalkan “subjekivitas” bahwa itu budaya kita. Ternyata faktualitas saja belum cukup menjadi jaminan kekayaan negara kita aman dari jarahan negara lain. Realitas tersebut menyadarkan kita bersama, terutama para petinggi negeri ini untuk mendata budaya kita dan diberi “label” Indonesia.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
2
Kedua, adanya arogansi dari negera tetangga Malaysia untuk dengan seenaknya mencaplok budaya yang jelas-jelas secara faktual tumbuh dan besar di Indonesia. Malaysia secara langsung meganggap kita sebelah mata. Arogansi ini pada gilirannya akan menyulut friksi “anti Malaysia” dan akan menganggu hubungan bilateral kedua negara. Idealnya kita tidak terlalu mempersoalkan tentang klaim mereka. semestinya kita fokus saja kepada masalah dalam negeri kita sendiri. Kita berharap pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata bekerja keras untuk mempatenkan khazanah kebudayaan kita sehingga dapat mengeleminir klaim negara lain. Tulisan ini akan mencoba memotret identitas nasional kita dari berbagai aspek yang ditulis secara reflektif.
II. PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL Secara etimologi, identitas berasal dari akar kata identity yang diartikan ciri-ciri, tanda-tanda (jati diri) yang melekat pada sesuatu dan membedakannya dengan sesuatu yang lain. Sedangkan kata nasional pada dasarnya menyangkut stau bangsa. Dengan demikian identitas nasional dapat diatikan ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada suatu bangsa. Sedangkan secara terminologi, identitas nasional adalah manifestasi nilainilai budaya yang tumbuh dan berkembang pada suatu kehidupan suatu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya (Wibisono Koento, 2005).
III. IDENTITAS NASIONAL DI TENGAH-TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI Disadari atau tidak, gempuran globalisasi telah melanda seluruh negara termasuk Indonesia. Globalisasi tidak bisa dihindari, melainkan harus dihadapi dengan arif dan bijaksana. Globalisasi adalah keniscayaan. Banyak para pakar budaya memandang globalisasi “bak pedang bermata dua”. Satu sisi globalisasi membawa berkah yang tak terhingga dalam tataran kehidupan manusia. Betapa tidak, penemuan dibidang teknologi informasi, komunikasi dan transportasi pada gilirannya telah memudahkan manusia dalam berinteraksi secara mendunia.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
3
Ruang dan jarak sudah tak berarti lagi, dunia seperti kertas yang dlipat-lipat, dimana pada saat yang singkat kita bisa menjelajah belahan dunia dengan menggunakan teknologi internet. Sebagaiman dikatakan Tofler, dunia telah menjadi sebuah desa kecil (global village). Namun di sisi lain, globalisasi bisa saja menjadi ancaman yang “menakutkan” bagi keutuhan budaya kita. Sebagaimana kita rasakan globalisasi sarat akan muatan budaya asing yang belum tentu sesuai dengan budaya dan identitas keindonesiaan kita. Apabila nilai-nilai yang tak sejalan dengan budaya luhur bangsa terus menggedor dan menggerus nilai-nilai budaya kita, maka cepat atau lambat budaya kita mungkin “tinggal nama”. Kita hanya bisa mengenal aneka budaya dari buku-buku dan majalah-majalah. Ada “tiga makhluk” yang harus diwaspadai dalam konteks globalisasi, yaitu, kapitalisme, hedonisme, dan konsumerisme. Ketiga makhluk tersebut meskipun berbeda naumun satu rumpun, atau satu keluarga, seperti bapak, anak dan cucu. Gempuran tiga serangkai tersebut begitu terasa atau menjadi-jadi dalam kehidupan kita, terutama sebagian besar generasi muda kita. Tetapi bukan berarti generasi tua tidak terkena imbas makhluk-makhluk tersebut, dalam kenyataannya sama saja alias sami mawon. Kapitalisme adalah sebuah paham yang didasarkan atas kepemilikan modal (capital). Modal pada gilirannya menciptakan pasar (pasar global). Orang atau kelompok orang yang memiliki modal seakan menguasai dunia. Barang, produk atau jasa diciptakan untuk memanjakan manusia meskipun harus merogoh kantong celana dalam-dalam. Melalui produk budaya massa yang seringkali diplesetkan menjadi 3 F (food, fun, and fashion) kita seringkali dimanjakan dan dibuanya terbuai. Restoran-restoran kita diserbu produuk makanan luar negeri. Anak-anak kita tidak lagi minum wedang jahe, tetapi sudah digantikan oleh coca cola, pepsi, fanta, sprite, dan lain-lain. Anak-anak kita sedikit sekali yang mencintai kain batik atau ulos, karena sudah tergantikan dengan jeans. Anak-anak kita tidak lagi bermain petak umpat dikala bulan purnama, main kelereng, gasing dan lain-lain, karena sudah digantikan oleh play station, dan tempat-tempat hiburan modern lainnya. Lotek diganti salad, surabi diganti berger, dan lain-lain. Kita juga menyaksikan korban berjatuhan dari konser musik di Bandung dan kota-kota besar lainnya. Mereka histeris ketika “sang idola” mulai tarik suara.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
4
Lengkingan lagu dari band pujaannya acapkai menjadikan mereka lupa diri. Lagilagi budaya massa menelan korban jiwa. Apabila sudah demikian makanan tradisional kita, kain batik kita serta mainan khas negeri kita dimanakah....? Masih adakah yang peduli....? Untuk menjawabnya terpulang lagi kepada diri kita dan pemerintah kita. Gempuran kapitalisme begitu menggurita dan seakan tak tertahankan lagi. Konsumerisme merupakan kelanjutan dari kapitalisme, yaitu suatu “faham” yang mengumbar nafsu untuk membeli produk (barang) dan jasa yang memanjakan. Nafsu untuk membeli barang atau jasa ini seringkakli tak terkendali yang menyebabkan berbagai ekses. Konon menurut para agamawan, perilaku korupsi yang begitu “menggila” di negeri kita salah satunya disebabkan oleh pola hidup yang konsumeristis masyarakat kita, sehingga uang menjadi tujuan awal dan akhir. Demi uang para pejabat bisa mengorbankan harga dirinya menjadi koruptor. Demi uang orang menjarah hutan. Demi uang orang merampas dan merampok. Dan demi uang pula banyak nyawa melayang tanpa arti. Menurut salah satu lagu dikatakan: “karena uang orang bisa mabuk kepayang”. Gejala konsumerisme juga telah melanda banyak generasi muda kita. Meskipun tidak semuanya, banyak anak-anak kita yang ingin hidup “trendy” tanpa didukung isi kantong. Media massa banyak memberitakan ada anak yang tega membunuh bapaknya, ibunya atau kakeknya demi uang, motor atau kendaraan lainnya. Kita merasa miris apabila konsumerisme telah menjadi gaya hidup mereka (anak-anak muda). Hedonisme adalah faham yang menginduksi kesenangan. Di mata mereka yang memuja faham hedonisme ini, hidup hanya didedikasikan untuk kesenangan. Demi kesenangan apapun dilakukan, termasuk cara-cara yang melanggar hukum normatif dan norma-norma sosial. Lagi-lagi perilaku korupsi dan
perbuatan
terlarang
lainnya
mengemuka
karena
untuk
mengejar
kesenangan. Di zaman modern ini, begitu banyak orang memuja uang, menghamba kepada uang, dan “menuhankan uang”. Kita
harus
menyadari,
bahaya
ketiga
makhluk
konsumerisme, dan hedonisme) lebih menakutkan ketimbang
(kapitalisme, kangker, lebih
berbahaya dari pada serangan jantung, dan lebih mengerikan dari penyakitpenyakit medis lainnya. Logikanya, apabila penyakit medis hanya menyerang
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan