Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok Buharman Burhanudin
395
MASALAH DAN PELUANG PENGEMBANGAN KAKAO RAKYAT: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok Problems and Opportunity of People Cacao Development: A Case Study of Supayang Village, Solok Regency Buharman Burhanudin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jl. Raya Padang-Solok Km. 40, Sukarami E-mail:
[email protected]
ABSTRACT In 2011 people cacao plantation area in West Sumatra was 147,707 ha, the third position as export commodity after oil palm and rubber. Compared to that in 2007 cacao plantation area increased about 256%, while cacao production increased about 310%. The objective of this research was to analyze potential, problems, and opportunity to develop people cacao in the future. The research was conducted in 2012 in Supayang Village, Solok Regency using participatory rural appraisal (PRA) approach, with 30 cacao farmers as respondents selected by purposive sampling method. Research variables covered: (1) identification of potential of natural resources, (2) performance of technology and institutions, and (3) problems faced in cacao farming system. All data were analyzed descriptively and arranged in the form of master plan for the development of cacao in this village. The main problem faced by cacao farmers is low productivity and low cacao price. The low cacao productivity was a result of inappropriate cultivation practices: fertilization, trimming, pest and disease control, and land sanitation, that were not conducted intensively. These were aggravated by limited access to capital and technology information. Master plan of cacao development 2012-2016 was arranged based on the above conditions simultaneously and focused on three programs, i.e., implementation of technology innovation, institutional, and dissemination. Implemention of these programs should involve farmers’ participation starting from planning, implementation, to evaluation. A new method of dissemination (multi-channel dissemination system [MCDS]) should be used to accelerate technology transfer, that is, providing a demo plot as a learning center for the cacao farmers. Besides, the government should be involved in this program to be more effective and sustainable. Key works: cacao, West Sumatra, integration of cacao-cattle
ABSTRAK Pada tahun 2011 areal kebun kakao rakyat di Sumatera Barat seluas 114.707 ha, menempati posisi ketiga setelah kelapa sawit dan karet. Dibanding 2007 terjadi peningkatan areal 256%. Pada saat yang sama produksi meningkat 310% (dari 18.381 menjadi 57.143 ton). Tren tersebut sangat menggembirakan, namun perlu dianalisis lebih dalam masalah yang dihadapi petani dan peluang pengembangan ke depan. Kajian dilakukan tahun 2012 di Nagari Supayang, menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA), diikuti survei formal terhadap 30 petani kakao yang dipilih secara purposif. Variabel pengamatan mencakup: (i) identifikasi potensi sumber daya, (ii) keragaan teknologi dan kelembagaan, dan (iii) permasalahan yang dihadapi. Data dianalisis secara deskriptif untuk kemudian disusun dalam bentuk rancang bangun sebagai alternatif pengembangan kakao berbasis nagari ke depan. Masalah utama yang dihadapi petani adalah rendahnya produktivitas dan harga hasil. Akar masalah sebagai penyebab utama karena praktik budi daya masih belum sesuai anjuran: pemeliharaan tanaman berupa pemupukan, pemangkasan, pengendalian OPT, dan sanitasi tidak dilakukan secara intensif. Kondisi ini dipersulit lagi oleh terbatasnya akses terhadap modal dan informasi iptek. Rancang bangun periode 2012-2016 disusun dengan mempertimbangkan kondisi di atas secara simultan, difokuskan untuk tiga program, yaitu program implementasi inovasi teknologi, kelembagaan, dan diseminasi. Pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif melibatkan petani mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi. Untuk mempercepat transfer iptek perlu dibuat suatu kebun contoh sebagai wadah pembelajaran bagi petani. Selain itu, juga diperlukan peranan stakeholders terkait dalam melakukan pembinaan secara berkelanjutan serta menciptakan lingkungan eksternal yang lebih kondusif. Kata kunci: kakao, Sumatera Barat, integrasi kakao-sapi
396
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
PENDAHULUAN Pada tahun 2011 areal perkebunan kakao di Sumatera Barat (Sumbar) mencapai 114.707 ha, menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet. Dibanding tahun 2007 terjadi peningkatan areal 256%. Pada saat yang sama produksi meningkat dari 18.381 menjadi 57.143 ton (Disbun Sumbar, 2012). Perkembangan yang cukup pesat ini didukung oleh upaya menjadikan Sumbar sebagai pengembangan kakao wilayah Indonesia Barat yang dicanangkan Wakil Presiden pada tahun 2006 hasil dari biji kakao dihasilkan coklat, baik dalam bentuk bubuk, pasta dan lemak. Bubuk coklat banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis makanan dan minuman dengan cita rasa yang spesifik dan disukai semua kalangan. Tingkat konsumsi coklat di negara maju mencapai 10,3 kg/kapita/tahun, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia hanya 0,06 kg/kapita/tahun. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan coklat, maka perluasan kebun kakao juga bertambah secara signifikan termasuk di Indonesia. Di samping penghasil devisa, usaha tani kakao juga dapat meningkatkan pendapatan petani dan penyedia lapangan kerja. Perkembangan usaha tani kakao di Sumbar yang cukup pesat, didukung oleh ketersediaan dan kesesuaian lahan dan juga keinginan dari masyarakat. Di lain pihak, lonjakan peningkatan luas kebun dalam waktu singkat dengan skala luas dapat mendorong terjadinya tingkat serangan hama penyakit kakao karena ketersediaan makanannya yang berlimpah dan diperparah dengan pemeliharaan tanaman yang tidak memadai. Masalah utama usaha tani kakao di Sumbar adalah rendahnya produktivitas karena kurangnya pemeliharaan yakni <1 t/ha dibanding potensi hasil (2,5 t/ha/tahun), terutama apabila menerapkan teknologi budi daya secara optimal dan tepat (PPKKI, 2006). Selain itu, kualitas juga belum sesuai permintaan pasar, antara lain karena sebagian besar petani tidak melakukan fermentasi. Sampai saat ini, pemerintah terus mendorong program pembangunan kakao, baik melalui penyediaan bibit berkualitas disamping melakukan pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan agribisnis dan penyuluhan inovasi teknologi serta sistem diseminasi yang akurat. Namun, semua itu belum memberikan hasil yang memadai di dalam peningkatan produksi kakao dan pendapatan petani secara optimal (BPTP Sumbar, 2007). Salah satu program atau model upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao secara cepat dan berkelanjutan adalah membangun suatu kawasan contoh agribisnis kakao yang disebut “Nagari Model Kakao (NMK)”. Dari model tersebut diharapkan komoditas kakao bisa menjadi motor penggerak ekonomi nagari. Melalui bimbingan, fasilitasi, dan pendampingan oleh institusi terkait, nagari ini dapat membangun dengan mengandalkan potensi sumber daya yang ada. Untuk lebih terarahnya pembangunan “Nagari Model Kakao” tersebut perlu disusun program yang jelas dan terarah melalui suatu kajian. Konsep NMK merupakan suatu upaya pengembangan komoditas unggulan dengan mengintroduksikan beberapa inovasi pertanian untuk menggerakkan perekonomian suatu kawasan (BBP2TP, 2011). Kajian bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi potensi sumber daya pertanian kawasan; (ii) mengidentifikasi teknik budi daya dan permasalahan yang dihadapi dalam usaha tani kakao; dan (iii) menyusun program pembangunan nagari model berbasis kakao berdasarkan potensi, peluang, dan masalah melalui inovasi teknologi, kelembagaan, dan diseminasi untuk pengembangan ke depan.
METODE PENELITIAN
Untuk menyusun suatu rancangan Nagari Model Kakao diperlukan informasi baik berupa data sekunder maupun data primer. Dalam upaya mengumpulkan data primer menggunakan pendekatan secara partisipatif, dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan teknik pengumpulan informasi dan pengenalan kebutuhan masyarakat yang melibatkan secara langsung dan secara aktif partisipasi masyarakat (Badan Litbang, 2006). Pengumpulan data dilakukan dengan prinsip triangulasi dimulai dari data sekunder tingkat provinsi, wawancara semi struktural (WSS), dan observasi lapang. Dalam pelaksanaan WSS, didahului dengan penyusunan panduan wawancara sesuai topik dan subtopik untuk memudahkan
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok
397
Buharman Burhanudin
penggalian informasi melalui dialog antara tim dengan kelompok sasaran atau key person (Limpinantana, 1987). Untuk menentukan karakteristik petani dan usaha tani, dilanjutkan dengan wawancara terstruktur bersamaan observasi lapang terhadap 30 petani responden yang dipilih secara “purposive”. Kajian dilaksanakan di kawasan Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok yang ditetapkan menjadi lokasi Nagari Model Kakao Tahun 2012 oleh Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. Waktu pelaksanaan bulan Agustus s/d Oktober 2012. Data/informasi yang dikumpulkan antara lain: (i) karakteristik fisik nagari; (ii) keragaan teknis budi daya; (iii) keragaan sosial ekonomi dan kelembagaan; dan (iv) identifikasi akar masalah. Kesemuanya dianalisis dan diformulasikan kedalam bentuk rancang bangun yang akan diimplementasikan melalui tahapan kegiatan tahunan. Data dianalisis secara deskriptif, disajikan dalam bentuk persentase, nisbah, dan rata-rata. Khusus untuk besaran nilai pendapatan usaha tani yang dapat dijadikan band smark digunakan analisis anggaran-biaya, yaitu (Sukartawi et al., 1984): Pendapatan = (Σ Yi x PYi) - (Σ Xi x PXi ) di mana: Xi = Masukan ke-i (unit/ha) PXi = Harga masukan ke-i (Rp/unit) Yi
= Hasil komoditas ke-i (kg)
Yi
= Harga/nilai hasil komoditas ke-i (Rp/kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sumber Daya, Teknologi, dan Kelembagaan Karakteristik Geografi Nagari Supayang o
Nagari Supayang termasuk daerah dataran sedang-tinggi dengan suhu + 26 C. Total curah hujan pada tahun 2011 mencapai 2.491 mm dengan pola setahun menunjukkan jumlah bulan basah (>200 mm/bulan) sebanyak 6 bulan dan bulan sedang (<200 mm/bulan) pada Maret sampai Agustus, puncak curah hujan terjadi pada bulan Desember (270,6 mm/bulan) dan terendah pada bulan Agustus (170 mm/bulan), tidak ada bulan kering dan tergolong beriklim basah (Type A). Luas nagari +10.910 ha, dengan topografi landai sampai curam, elevasinya berkisar antara 600–700 m dpl. Lahan yang agak curam lebih dominan dibanding dengan yang landai dan curam. Luas lahan yang agak curam seluas 5.010 ha (45,9%), curam 3.000 ha (27,5%) dan landai 2.900 ha (26,9%). Pemanfaatan lahan terbagi atas 5 kelompok, lahan terluas berupa hutan ulayat seluas 6.546 ha (60%), kemudian untuk lahan perkebunan dan ladang mencapai 1.996 ha (18,0%), untuk sawah 1.200 ha (11,0%), pemukiman dan pekarangan 1.091 ha (10,0%) dan untuk fasilitas umum hanya 76 c ha (1,0%) (Anonimous , 2011). Lahan perkebunan yang berada di luar lahan pekarangan umumnya ditanami karet dan sedikit kakao. Luas kebun kakao saat ini +240 ha, sedangkan ketersediaan lahan kering yang bisa dijadikan perkebunan +1.996 ha (18,0% dari luas lahan), dengan demikian potensi Nagari Supayang masih besar untuk pengembangan kebun kakao. Status kesuburan tanah di Nagari Supayang berdasarkan sifat dan karakteristik tanah hasil analisis tanah di Laboratorium BPTP Sumbar termasuk sedang (Tabel 1). Berdasarkan hal tersebut maka untuk pengembangan tanaman perkebunan cukup potensial, karena dengan sedikit tambahan pupuk akan mampu memenuhi kebutuhan tanaman untuk berproduksi optimal.
398
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Tabel 1. Sifat dan karakteristik tanah di lahan kering Nagari Supayang, 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sifat Kimia Tanah pH (H2O) C-organik N-Total C/N P-tersedia K2O total Ca Mg Status kesuburan tanah
Satuan % % ppm Cmol/kg Cmol/kg Cmol/kg -
Karakteristik 5,81 1,99 0,25 8,00 21,14 0,78 1,25 1,47 -
Kriteria Agak masam Rendah Sedang Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Sedang Sedang
Keragaan Teknis Budi Daya Kakao Rakyat Penanaman kakao berawal dari adanya bantuan bibit dan sarana produksi dari PT Alam Permai tahun 1995 yang rencananya akan menjadikan lahan di kawasan Supayang sebagai plasma dari perkebunan swasta tersebut. Beberapa tahun kemudian, petani dapat melakukan budi daya kakao secara benar dan kemudian menikmati hasil kakao tersebut, bahkan pada waktu itu kakao menjadi komoditas unggulan sebagai sumber pendapatan rumah tangga yang prospektif. Lahan kebun kakao di Supayang sebagian besar berada pada lahan miring sampai bergelombang (76,0%), sedangkan yang datar hanya 24,0%. Umur tanaman kakao saat ini cukup bervariasi, umur 5-15 tahun lebih dominan yaitu sebanyak 72,0% dan tanaman berumur <5 tahun dan >15 tahun hanya 9,0% dan 19,0%. Pengadaan bibit kakao selama ini kebanyakan membeli/mendapatkan bantuan berupa bibit yang berasal dari swasta (17,0%), pemerintah (13,0%) dan dari tetangga (70,0%). Petani juga ada yang melakukan pembibitan sendiri yang kebanyakan bijinya berasal dari milik sendiri atau dari tetangga. Penerapan teknologi budi daya kakao oleh petani saat ini belum sepenuhnya mengikuti anjuran seperti: Umur bibit. Umur bibit yang ditanam umumnya berumur dibawah 6 bulan (90,0%) dan yang lebih dari 6 bulan hanya 10,0%. Menurut anjuran umur bibit yang terbaik untuk ditanam adalah berumur >6 bulan atau dengan kriteria tinggi tanaman minimum 20 cm dan jumlah daun minimum 6 lembar. Jarak tanam. Jarak tanam yang dilakukan petani relatif sudah mengikuti anjuran. Jarak tanam yang dominan adalah 3 x 3 m yaitu sebanyak 70,0% dan 4 x 4 m hanya 30,0%. Sebaiknya jarak tanam kakao di Supayang ini lebih jarang, karena berada di dataran tinggi dengan curah hujan yang cukup tinggi, sehingga dapat mengurangi kelembaban. Lubang tanam. Ukuran lubang tanam yang dominan adalah 30 x 30 x 30 cm (62,0%) dan 40 x40 x 40 cm (38,0%), ukuran lubang tanam yang terbaik adalah 60 x 60 x 60 cm. Tanaman penaung. Umumnya petani tidak menanam tanaman penaung khusus, sementara maupun permanen, namun tanaman tua yang sudah ada seperti durian, jengkol, petai, karet, dan tanaman lain yang langsung dijadikan penaung permanen, sehingga jenis tanaman penaung cukup beragam, tata letaknya tidak beraturan dan tingginya tidak sesuai dengan anjuran. Tanaman penaung yang dominan adalah durian (66,0%) sisanya tanaman karet serta tanaman lainnya 34,0%. Idealnya tanaman penaung pada kebun kakao berumur >5 tahun di daerah beriklim basah (tipe A) seperti di b Supayang ini adalah 200-300 pohon/ha (Anonimous , 2011). Pemupukan. Umumnya petani tidak pernah memupuk, ada sebagian kecil yang memupuk dengan pupuk kandang dan pupuk buatan. Sebanyak 60,0% petani tidak melakukan pemupukan, sedangkan yang memupuk hanya 40,0%. Menurut petani, tanaman kakao sampai umur 5-6 tahun memberikan hasil yang optimal tanpa pemberian pupuk. Hal ini bisa terjadi karena tanah relatif subur atau ketersediaan hara di dalam tanah masih tinggi. Dengan berproduksinya kakao secara terus menerus yang mengambil bahan makanan dari tanah tentu ketersediaan makanan akan berkurang dan mungkin habis karena petani tidak melakukan pemupukan. Beberapa tahun kemudian
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok Buharman Burhanudin
399
produktivitas kakao terus menurun secara drastis akibat dari tidak melakukan pemupukan dan pemeliharaan lainnya seperti pemangkasan, pengendalian OPT, dan sanitasi kebun. Kondisi ini lebih diperparah dengan meningkatnya secara drastis serangan hama penyakit akibat dari lemahnya kondisi tanaman. Ketersediaan hara dalam tanah pada kawasan kebun kakao sangat tergantung kepada produktivitas tanaman kakao tersebut. Setiap 1.000 kg biji kakao kering mengandung Nitrogen (N) = 68,4 kg atau setara dengan 158 kg Urea, Pospat (P) = 12,6 kg setara dengan 60 kg SP36, Kalium (K) = 145,2 kg setara dengan 290,4 kg KCl, Magnesium (Mg) = 13,6 kg setara dengan 62 kg Kiserit dan Calsium (Ca) = 16,4 kg setara dengan 39 kg Dolomit. Oleh karena itu, pada lahan kebun kakao yang tidak melakukan pemupukan, maka akan terjadi kekurangan hara atau makanan dalam tanah sehingga produktivitas tanaman kakao akan turun dan terus menurun. Rekomendasi pemupukan umum untuk kakao berumur lebih dari 4 tahun adalah 220 kg Urea, 180 kg TSP, 170 kg KCl dan 120 Kiserit/ha/tahun yang diberikan sebanyak 2 kali setahun (PPKKI, 2006). Pemangkasan. Pemangkasan sudah dilakukan yang kebanyakan pada saat panen, namun teknik pemangkasannya belum mengikuti anjuran. Hal ini terlihat bahwa petani yang melakukan pemangkasan rutin hanya 27,0%, kadang-kadang 46,0%, dan tidak memangkas sama sekali 27,0%. Sanitasi. Sanitasi dilakukan hanya membuang gulma pengganggu, sedangkan daun-daun kering dan kulit kakao tidak dikelola dengan baik, sehingga kondisi ini dapat menciptakan sumber hama dan penyakit. Sanitasi yang ideal adalah membuat rorak (lobang) diantara gawang tanaman kakao dan semua daun pangkasan, daun kering dan kulit kakao dimasukkan ke dalamnya, sebaiknya diikuti dengan pemberian mikroba untuk mempercepat proses pelapukan untuk menjadi pupuk organik bagi tanaman kakao. Sebanyak 71,0% petani tidak melakukan sanitasi dengan baik terutama dalam hal pembuatan rorak tetapi hanya membersihkan dari tanaman pengganggu dengan cara membabat (29,0%). Pengendalian OPT. Dapat dikatakan hampir semua petani (89,0%) tidak melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap hama penyakit, namun 11,0% petani melakukan pengendalian secara mekanis dan menggunakan pestisida. Dengan kata lain petani hanya menyerahkan kepada alam, sehingga saat ini serangan hama penyakit sangat berat dan sebagian besar petani tidak panen. Jenis OPT yang dominan adalah busuk buah yang disebabkan oleh jamur Phytoptora sp. dan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) yang disebabkan oleh serangga Conopomorpha cramerelia, hama pengisap buah (Helopeltis sp) serta hama tupai. Serangan hama penyakit merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kegagalan berusaha tani kakao, hal ini terbukti bahwa dengan tidak melakukan tindakan terhadap hama penyakit telah terjadi serangan yang berat dan bahkan gagal panen. Penyebab utama adalah karena petani secara umum tidak menguasai teknik pengendaliannya dan ada juga oleh keterbatasan modal. Untuk mengatasi masalah hama penyakit yang paling diutamakan adalah melakukan pencegahan, kalau terpaksa baru melakukan pengendalian. Salah satu cara pencegahan yang mudah dan murah adalah pemanfaatan atau pemberdayaan musuh alami yang ada di lokasi. Secara umum untuk mengatasi masalah hama penyakit kakao adalah menerapkan konsep PsPSP (Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan). Kalau diperlukan baru dilakukan penyemprotan insektisida, dianjurkan insektisida yang berbahan aktif piretroid. Panen dan pascapanen. Secara umum petani panen menggunakan sabit atau pisau (71,0%), namun masih ada secara manual yaitu memetiknya dengan langsung (29,0%). Memanen secara manual akan membawa semua tangkai buah dan merusak bantalan buah. Sebaiknya tangkai buah disisakan 1–1,5 cm dari batang atau cabang. Tanda buah yang siap dipanen sudah diketahui petani secara baik yaitu bilamana kulit buah >50% sudah berwarna kuning atau jingga. Kegiatan fermentasi sebagian besar petani tidak melakukan (75,0%), dan hanya 25,0% yang melakukan fermentasi namun belum sesuai anjuran. Alasan utama kenapa tidak melakukan fermentasi adalah tidak adanya perbedaan harga antara biji fermentasi dengan yang tidak fermentasi di pasaran, dan juga proses fermentasi memerlukan waktu beberapa hari sedangkan petani ingin cepat untuk mendapatkan penghasilan. Untuk pengeringan umumnya dilakukan dengan menjemur menggunakan alas tikar, tetapi masih ada petani yang menjemurnya di atas bahan logam seng. Untuk penyimpanan, hanya dilakukan sementara yang biasanya disimpan dalam karung pupuk (57,0%), banyak juga petani langsung menjualnya setelah kering (43,0%).
400
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Keragaan Sosial Ekonomi Masyarakat Nagari Supayang merupakan salah satu nagari dalam Kecamatan Bukit Payung Sekaki, Kabupaten Solok, berpenduduk 1.931 jiwa (534 KK) terdiri dari 975 orang laki-laki dan 956 orang perempuan. Sebanyak 66,0% tergolong usia produktif (15-64 tahun). Berdasarkan tingkat pendidikan, 41,0% penduduk tamat SD, 35,5% tamat SLTP, 19,0% tanam SLTA dan 1,5% tamat PT, sedangkan yang tidak/belum tamat SD 3,0%. Mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani, dan beberapa diantaranya mempunyai kerja sampingan sebagai buruh tani. Jumlah tanggungan 1-7 orang, rata-rata 4 orang/KK. Keragaan usaha tani kakao saat ini sebagai sumber pendapatan relatif sulit, karena rendahnya hasil akibat tidak optimalnya pemeliharaan. Hasil kakao rata-rata + 400 kg/ha/tahun, dengan harga Rp18.000/kg, menghasilkan penerimaan Rp7.200.000/tahun, namun beberapa petani ada yang tidak panen karena tingginya serangan hama penyakit. Rendahnya pendapatan dari kakao diatas, akan sulit bagi petani untuk hidup layak. Harga kakao juga rendah menyebabkan banyak petani kurang bersemangat memelihara kebun kakao, tetapi lebih serius memelihara tanaman lainnya seperti karet. Namun demikian, tidak ada niat mengganti tanaman kakao dengan tanaman lain. Sumber pendapatan masyarakat Supayang selain kakao didominasi dari hasil kebun karet dan padi sawah. Sebanyak 97,0% petani yang mempunyai kebun kakao menghasilkan pendapatan ratarata Rp3.268.620/tahun, sedangkan yang berusaha tani karet dan padi menghasilkan penerimaan Rp8.640.000. Dengan total pendapatan dari ketiga sumber tersebut sebanyak Rp16.158.620/tahun (Rp1.346.551/bulan), untuk rata-rata keluarga 4 orang, maka cukup beralasan bahwa >34% KK Nagari Supayang tergolong KK miskin.
Tabel 2. Sumber dan besaran pendapatan Nagari Supayang, 2012
Sumber pendapatan
Persentase petani (%)
Usaha tani kakao Karet dan padi sawah
Pendapatan (Rp/tahun) Terendah
Tertinggi
Rata-rata
97,0
500.000
14.400.000
3.258.620
100,0
1.450.000
39.720.000
8.640.000
7,0
1.000.000
7.500.000
4.250.000
Non usaha tani
Keragaan Kelembagaan Agribisnis Secara prinsip, jumlah dan jenis kelembagaan yang akan menunjang kegiatan pembangunan agribisnis kakao sangat kurang. Jumlah kelembagaan yang ada sudah mencapai lima buah yaitu kelembagaan produksi, kelembagaan saprotan, kelembagaan permodalan, kelembagaan penyuluhan, dan kelembagaan pemasaran. Hampir semua kelembagaan agribisnis tersebut belum berperan secara optimal dalam upaya pengembangan komoditas kakao di Supayang. Kelembagaan permodalan nonformal dan kelembagaan pemasaran oleh pedagang pengumpul lebih berperan dalam memperlancar usaha tani kakao masyarakat (Tabel 3). Berdasarkan fungsional masing-masing kelembagaan pada Tabel 3, keterkaitan satu sama lain dapat digambarkan dalam diagram Venn berikut (Gambar 1). Dalam upaya memenuhi kebutuhan untuk membangun sistem agribisnis diperlukan pemberdayaan kelembagaan yang ada serta membentuk kelembagaan yang baru. Berdasarkan jenis dan kinerja kelembagaan yang ada, sangat diutamakan adalah pemberdayaan kelembagaan permodalan. Saat ini sumber permodalan petani lebih banyak berasal dari pedagang pengumpul dengan meminjamkan uang untuk keperluan usaha tani atau keperluan lainnya. Secara fungsional kelembagaan nonformal ini sangat membantu petani karena kemudahannya untuk mendapatkan modal, walaupun kadang-kadang dengan bunga yang relatif tinggi.
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok
401
Buharman Burhanudin
Tabel 3. Kelembagaan agribisnis yang ada di Nagari Supayang, 2012 Kelembagaan Produksi 1. Gapoktan 2. Kelompok Tani Sarana produksi 1. Kios saprotan (swasta) Permodalan 1. Non formal Penyuluhan 1. BPP 2. BPTP 3. Dinas Terkait Pascapanen dan Alsintan Pemasaran 1. Pedagang pengumpul 2. Pasar Nagari 3. Pasar Kecamatan 4. Pasar Kabupaten
Jumlah
Lokasi
Keterangan
1 buah 10 buah
Nagari 4 Jorong
Belum jalan Status pemula dan lanjut
2 buah
di Nagari
Sebagai pedagang
10 org
Setiap Jorong
Sebagai pedagang pengumpul
1 buah 1 buah banyak tidak ada
Nagari Supayang Kab. Solok Solok -
Belum banyak berperan Sudah menjadi tugas utamanya -
10 org 1 buah 1 buah 1 buah
Di setiap jorong Solok
Juga sebagai pemodal 1 x seminggu 1 x seminggu Setiap hari
UPTD .
BPP Nagari Supayang Pasar Kecamatan
Kios
Pasar Nagari
Poktan /Gapoktan
Pasar Kab. Pedagang
BPTP Dinas terkait Kabupaten
Disbun Provinsi
Gambar 1. Diagram venn kelembagaan agribisnis di Nagari Supayang
Masalah Petani Kakao dan Alternatif Pemecahan Pohon masalah Permasalahan yang dihadapi petani saat ini adalah rendahnya pendapatan, penyebabnya adalah rendahnya produktivitas lahan dan tanaman. Akar masalah dari semua itu adalah belum dikuasainya dan diaplikasikannya teknologi inovatif baik untuk teknologi budi daya maupun teknologi pasca panen. Merosotnya kesuburan lahan karena kurang/tidak adanya pemupukan, menyebabkan tingkat serangan hama dan penyakit meningkat drastis. Di samping itu, juga rendahnya diversifikasi usaha tani yang dilakukan oleh petani seperti integrasi kakao dengan sapi. Berdasarkan masalah
402
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
tersebut di atas perlu adanya suatu strategi yang mampu memecahkan masalah yang ada dan mengantisipasi timbulnya masalah baru. Berdasarkan potensi pertanian yang ada dan masalah yang dihadapi dalam berusaha tani lahan kering termasuk komoditas kakao disusun alternatif pemecahannya sebagai berikut (Gambar 2). Pendapatan rendah
Masalah
Produktivitas komoditas/lahan dan kualitas produk rendah
Sumber Masalah
Akar Masalah
Sikusi Masalah
Kebutuhan Inovasi
Penerapan teknologi rendah, karena pengetahuan dan modal terbatas
Menerapkan inovasi yang dibutuhkan
Pemupukan spesifik lokasi
Inovasi teknologi, inovasi kelembagaan dan inovasi diseminasi
Pengembangan usaha peternakan dan pembentukan lembaga saprotan
1.
Alternatif Program
Sumber Teknologi
Kesuburan lahan berkurang & tingginya serangan OPT
2. 3. 4. 5.
Penerapan prinsip PHT
Pemanfaatan musuh alami
Diversifikasi usaha tani rendah
Peningkatan diversifikasi usaha tani
Introduksi teknologi integrasi tanaman ternak
Penerapan teknologi budi daya & pasca panen kakao yang inovatif dan spesifik Penerapan & pengembangan teknologi pengendalian OPT secara terpadu Penerapan teknologi integrasi kakao dengan sapi Introduksi sistem diseminasi yang akurat Introduksi inovasi kelembagaan agribisnis yang dibutuhkan
Perguruan Tinggi, BPTP, PPKKI, dan lembaga penelitian yang terkait lainnya
Gambar 2. Pohon masalah usaha tani kakao dan kebutuhan inovasinya
Rumusan masalah pengembangan kakao Perumusan masalah dan alternarif pemecahan pengembangan kakao di Nagari Supayang disajikan pada Tabel 4. Implementasi alternatif program di atas perlu dianalisis peluang
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok Buharman Burhanudin
403
kegagalannya. Berdasarkan potensi yang ada baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia dan masalah yang dihadapi serta alternatif pemecahannya, maka peluang kegagalan akan lebih banyak disebabkan oleh SDM. Hal ini disebabkan oleh status KK miskin yang relatif tinggi (>34%) dan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Kondisi ini akan berakibat kepada lambatnya penyerapan dan penerapan teknologi, serta kinerja kelembagaan agribisnis. Faktor lain yang menjadi penghalang adalah ketersediaan modal usaha tani. Teknologi yang sudah didapat dan dikuasai dari pelatihan ataupun dari Sekolah Lapang (SL) tetapi tidak ditunjang dengan modal yang memadai tentu akan sulit diterapkan. Tabel 4. Perumusan masalah komoditas kakao dan alternatif pemecahannya di Nagari Supayang, 2012 MASALAH YANG DIHADAPI Produktivitas rendah 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
SUMBER MASALAH 1. Kualitas bibit rendah 2. Teknologi pemangkasan dan pemupukan belum dilakukan 3. Adanya serangan OPT secara endemis Sistem penyuluhan belum efektif AKAR MASALAH 1. Ketersediaan bibit unggul masih terbatas Pengetahuan teknologi pemangkasan dan pemupukan belum 2. dikuasai dan kurangnya modal PHT belum dilakukan 3. Tenaga penyuluh perkebunan terbatas ANTISIPASI MASALAH 1. Melakukan pembibitan sendiri atau berkelompok Membuat kebun contoh untuk lakukan pelatihan dan SL untuk 2. teknologi budi daya dan pascapanen Penumbuhan kelembagaan permodalan 3. Menerapkan konsep PHT secara utuh terutama mengoptimalkan peranan musuh alami 4. Meningkatkan pengetahuan tenaga penyuluh perkebunan KEBUTUHAN INOVASI 1. Introduksi teknologi pembibitan kakao 2. Introduksi teknologi budi daya khususnya pemupukan, pemangkasan, dan sambung samping/pucuk 3. Introduksi sistem perkreditan mikro yang terjangkau petani Introduksi teknologi pengendalian OPT secara efektif dan berwawasan lingkungan dan spesifik Teknologi pemanfaatan kulit kakao sebagai pakan ternak
Mutu produk rendah Penjemuran dilakukan secara sederhana Belum melakukan proses fermentasi Adanya serangan hama PBK (penggerek buah kakao) Belum tersedianya alat penjemuran yang standar Pengetahuan teknologi fermentasi belum dikuasai dan tidak beda harga di pasar Belum bisa mengendalikan hama PBK Memberikan informasi standar mutu sesuai dengan SNI Menyiapkan alat fermentasi dan penjemuran yang standar Melakukan fermentasi secara tepat dan menjamin adanya perbedaan harga Mencegah atau mengendalikan hama PBK Introduksi prototipe alat penjemuran Introduksi teknologi fermentasi yang praktis dalam skala kecil Mendirikan lembaga diseminasi seperti “klinik agribisnis” untuk menyiapkan bahan-bahan publikasi teknologi yang tepat guna
Rancang Bangun Pengembangan Nagari Model Kakao Kondisi yang diinginkan Kondisi nagari yang diinginkan adalah terciptanya suatu “Sistem Agribisnis Kakao” pada suatu kawasan nagari. Sistem agribisnis berbasis kakao ini idealnya terdiri dari subsistem hulu, subsistem penerapan inovasi teknologi, subsistem hilir, subsistem pasar, dan faktor-faktor penunjang lainnya. Terciptanya sistem agribisnis berbasis kakao dengan kawasan nagari akan menjadi suatu model pengembangan kawasan berbasis komoditas unggulannya. Penciptaan Nagari Model Kakao di Supayang ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi masyarakat melakukan usaha tani kakao secara serius kembali, sehingga diharapkan komoditas kakao dapat dijadikan sebagai komoditas utama sumber pendapatan bagi masyarakat. Dalam upaya menciptakan suatu Nagari Model Kakao tersebut perlu adanya perencanaan yang akurat dan komprehensif yaitu dengan membuat suatu rancangan yang komprehensif. Penyusunan rancangan nagari model kakao harus didasarkan kepada potensi (SDA dan SDM) yang ada, masalah yang dihadapi, dan peluang yang memungkinkan. Secara umum ada tiga pendekatan pokok yang
404
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
akan dilakukan yaitu berupa inovasi teknologi, inovasi kelembagaan, dan inovasi diseminasi, sedangkan pendekatan penunjang adalah pengembangan infra struktur pertanian, melengkapi sarana prasarana usaha tani kakao dan melakukan ekstensifikasi kebun kakao. Secara prinsip inovasi yang akan diterapkan tersebut diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan produksi kakao dalam waktu singkat dan jangka panjang akan tercipta suatu usaha tani kakao atau pertanian lahan kering yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Kebutuhan inovasi Inovasi teknologi Teknologi kakao. Inovasi teknologi yang akan dilakukan mencakup teknologi pembibitan, teknologi budi daya (pemupukan, pemangkasan, sanitasi, pengendalian hama penyakit, dan sambung samping/pucuk) untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan teknologi pascapanen untuk meningkatkan mutu produk dan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih perlu adanya inovasi teknologi integrasi kakao dengan ternak terutama ternak sapi. Teknologi integrasi kakao ternak. Inovasi teknologi integrasi kakao dengan ternak tidak hanya memberikan nilai tambah dalam hal pendapatan, tetapi juga berwawasan lingkungan karena limbah dari kedua komoditas tersebut dimanfaatkan. Limbah ternak berupa kotoran dapat digunakan sebagai pupuk organik yang berkualitas untuk kakao, sedangkan limbah kakao (kulit buah dan daun pangkasan) dapat digunakan sebagai pakan ternak yang bergizi tinggi. Buah kakao terdiri dari 70% kulit buah, melalui proses fermentasi menggunakan teknologi “Rogur 100” dapat dihasilkan konsentrat berprotein tinggi tahan lama (Hendri et al., 2010; Hendri, 2012). Lebih penting lagi adalah integrasi dapat juga mengendalikan hama penyakit buah kakao (hama penggerek buah kakao, PBK dan penyakit busuk buah), karena pada kulit buah kakao yang isinya sudah diambil terdapat pupa (kepompong) PBK dan spora-spora patogen Phytoptora penyebab penyakit busuk buah. Proses mempercepat adopsi teknologi oleh pengguna akan dilakukan dalam bentuk pelatihan, sekolah lapang (SL) pada suatu lokasi demplot atau kebun contoh dan di samping itu juga disiapkan beberapa bahan publikasi baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Pendekatan komprehensif seperti itu lebih dikenal dengan istilah “Sistem Diseminasi Multi Chanel (SDMC)” yaitu suatu terobosan untuk mempercepat dan memperluas jangkauan diseminasi dengan memanfaatkan ragam media dan saluran komunikasi secara optimal baik formal maupun informal (Badan Litbang, 2011). Jenis teknologi yang dibutuhkan berdasarkan masalah yang ada disajikan pada Tabel 5. Implementasi inovasi teknologi tersebut akan tercapai kalau adanya keterlibatan seluruh institusi terkait mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat nagari. Tabel 5. Kebutuhan inovasi teknologi pada program Nagari Model Kakao Nagari Supayang, 2012 No. Teknologi inovasi yang dibutuhkan 1. Teknologi Pembibitan Membangun penangkar bibit kakao unggul 2. Teknologi budi daya Teknik bercocok tanam Teknik pemupukan yang berimbang Teknik pemangkasan Teknik sanitasi (pembersihan lahan) Teknik pengendalian hama penyakit yang efektif dengan menerapkan konsep PHT Teknik sambung samping/pucuk untuk tanaman yang tidak produktif 3. Teknologi panen dan pasca panen Teknik penentuan waktu dan cara panen yang tepat Teknik fermentasi, pengeringan dan sortasi biji kakao 4. Teknologi integrasi kakao ternak (sapi) Teknik pengolahan kotoran sapi menjadi kompos Teknik pengolahan kulit kakao menjadi pakan sapi berkualitas tinggi
Instansi Pelaksana Disbun Provinsi dan Kabupaten Disbun, BPTP dan PPKKI.
Disbun, BPTP, dan Disperindag Disnak, BPTP, dan Balitnak
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok
405
Buharman Burhanudin
Inovasi Kelembagaan Inovasi kelembagaan yang akan dilakukan harus beranjak dari jenis dan kinerja kelembagaan agribisnis yang ada saat ini, dan kemudian bisa dilakukan pemberdayaan lembaga yang ada atau penumbuhan (pembentukan) kelembagaan agribisnis baru yang diperlukan. Jenis kelembagaan agribisnis yang ideal atau yang dibutuhkan untuk mendukung suatu sistem agribisnis adalah mencakup: (1) lembaga produksi, (2) lembaga sarana produksi pertanian, (3) lembaga penyuluhan, (4) lembaga permodalan, (5) lembaga pemasaran, dan (6) lembaga pascapanen. Semua kelembagaan tersebut harus saling terkait di dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing (Gambar 3). Lembaga pascapanen
Lembaga penyuluh
Lembaga saprotan
Kelembagaan produksi (Poktan & Gapoktan)
Lembaga pemasaran
Lembaga permodalan
Gambar 3. Rancangan kelembagaan agribisnis Nagari Model Kakao yang ideal Jenis kelembagaan agribisnis yang ada ternyata belum mampu menggerakkan sistem agribisnis kakao. Oleh karena itu, perlu adanya suatu inovasi untuk meningkatkan peranan kelembagaan tersebut baik melalui pemberdayaan maupun penumbuhan. Secara rinci kegiatan inovasi yang diperlukan dari setiap kelembagaan agribisnis tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kebutuhan inovasi kelembagaan agribisnis pada program Nagari Model Kakao di Kenagarian Supayang, 2012 Jenis kelembagaan agribisnis 1. Lembaga produksi 2. Lembaga sarana produksi 3. Lembaga permodalan
4. Lembaga pemasaran 5. Lembaga penyuluhan
6. Lembaga pascapanen
Inovasi kelembagaan 1. Pemberdayaan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) 2. Pemberdayaan Poktan untuk menjadi kelompok yang berstatus maju 1. Pemberdayaan seksi saprotan pada Gapoktan 2. Memperbanyak kios disetiap Jorong 1. Membentuk koperasi simpan pinjam 2. Membangun Unit Pengelola Keuangan Nagari (UPKN) atau LKMA 3. Mempermudah akses petani di bank 4. Mengembangkan lembaga kredit nonformal yang sama-sama menguntungkan 1. Membentuk lembaga pemasaran produk pertanian 2. Membentuk asosiasi komoditas 1. Meningkatkan kinerja BPP/penyuluh 2. Membangun pondok pertemuan anggota poktan 3. Membangun klinik agribisnis yang berfungsi sebagai pusat konsultasi dan informasi teknologi 4. Membuat kebun contoh (demplot) untuk sarana belajar 1. Pemberdayaan alat fermentasi yang ada 2. Penumbuhan lembaga pasca panen dan pengolahan hasil
Instansi pelaksana Disbun, BPP/BPK Disperindagkop, Gapoktan, dan swasta Disperindagkop, Gapoktan
Gapoktan, Disbun Disperindagkop BPP, Disbun, dan BPTP
Disbun dan Gapoktan
406
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Inovasi diseminasi Inovasi diseminasi adalah untuk menciptakan suatu sistem diseminasi yang tepat dan akurat, sehingga teknologi yang diberikan dapat sampai kepada pengguna secara cepat dan sekaligus dapat diterapkan serta dikembangkan. Beberapa strategi yang akan dilakukan yaitu membuat suatu kawasan kebun kakao percontohan dengan teknologi lengkap (full technology) yang berfungsi sebagai tempat belajar petani. Di samping itu, akan dibangun sarana pertemuan anggota poktan seperti “pondok pertemuan” dan kalau bisa juga menjadi “klinik agribisnis” Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam hal meningkatkan kinerja diseminasi adalah meningkatkan penguasaan teknologi oleh penyuluh melalui pelatihan, magang, dan studi banding. Di samping itu, juga perlu menambah jumlah tenaga penyuluh dan kompetensinya sebagai penyuluh profesional yang sesuai dengan potensi pertanian daerah tersebut (Tabel 7). Tabel 7. Kebutuhan inovasi diseminasi pada program Nagari Model Kakao di Kenagarian Supayang, 2012 Program Diseminasi
Inovasi diseminasi Kegiatan Fungsi 1. Membangun sarana penyuluhan Pondok pertemuan Tempat pertemuan anggota poktan Tempat belajar atau SL bagi petani Kebun contoh (demplot) Sumber informasi dan pusat konsultasi Klinik agribisnis 2. Pelatihan dan SL Teknologi inovatif pembibitan, budi daya, sambung samping/pucuk panen dan pasca panen kakao dan teknologi integrasi kakao dengan sapi
Meningkatkan kemampuan petani dalam menguasai teknologi inovasi dan sekaligus untuk menambah wawasan dalam usaha tani kakao secara khusus dan pertanian secara umum
3. Kegiatan penunjang Temu teknologi Temu lapang Studi banding
Mempercepat transfer teknologi dan menambah wawasan tentang sistem pertanian ditempat lain
4. Menerapkan dan mengembangkan System Dissemination Multi Channel (SDMC)
Mempercepat adopsi teknologi inovatif oleh pengguna
Instansi pelaksana Pemda, Disbun, BPP Dinas terkait lainnya dan BPTP
Peta jalan Peta jalan (road map) pelaksanaan dan pengembangan program Nagari Model Kakao Nagari Supayang selama lima tahun, periode 2012-2016 disajikan pada Tabel 8. Kegiatan Inovasi Pertanian Tahunan Rencana kegiatan tahunan disusun ke dalam tiga program yaitu: (i) program implementasi inovasi teknologi, (ii) program implementasi inovasi kelembagaan, dan (iii) program inovasi diseminasi (Lampiran 1). Ketiga program tersebut dilaksanakan secara simultan yang diuraikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan tahunan selama lima tahun. Dengan demikian, proses pelaksanaannya dalam mencapai target bisa dievaluasi setiap tahun dan pada tahun kelima dapat disimpulkan apakah program ini berhasil atau tidak. Untuk mempercepat adopsi teknologi oleh petani dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan petani mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, dilakukan dengan sistem pelatihan, diikuti dengan Sekolah Lapang pada satu kebun kakao contoh di satu kelompok tani yang lokasinya strategis. Kebun contoh ini akan menerapkan teknologi budi daya kakao secara utuh, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai wadah pembelajaran, tetapi juga menjadi kebun model percontohan oleh petani lainnya baik dalam kawasan yang sama maupun yang berada di luar Supayang.
Masalah dan Peluang Pengembangan Kakao Rakyat: Kasus Nagari Supayang, Kabupaten Solok
407
Buharman Burhanudin
Tabel 8. Road Map program Agribisnis Kakao pada Nagari Model Kakao (NMK) di Kenagarian Supayang, 20122016 Tujuan Waktu Pendapatan petani Indikator agribisnis
Meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani kakao dan terciptanya pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 100% Kondisi awal usaha tani kakao
125% Meningkatnya produktivitas dan mutu produk kakao
150% Tertatanya kelembagaan agribisnis
175% Optimalisasi Kinerja kelembagaan agribisnis
200% Sistem agribisnis kakao berjalan lancar
Identifikasi potensi, peluang, dan masalah usaha tani kakao
Transfer teknologi inovatif dan penerapan teknologi perbenihan, budi daya, pasca panen, dan teknologi integrasi kakao dengan ternak
Pemantapan penerapan teknologi inovatif kakao dan integrasi kakao ternak
Pengembangan teknologi kakao dan integrasi kepada seluruh anggota poktan dan masyarakat umunya
Produktivitas & mutu kakao optimal serta nilai tambah integrasi kakao sapi meningkat sehingga pendapatan dan kesejahteraan petani meningkat
Identifikasi lembaga agribisnis
Pembentukan lembaga agribisnis yang dibutuhkan
Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan agribisnis berbasis kakao
Pemantapan kinerja setiap lembaga agribisnis dalam suatu sistem agribis-nis terpadu
Identifikasi sistem diseminasi
Membangun fasilitas penyuluhan seperti pondok pertemuan, klinik agribisnis dan kebun belajar
Mengoptimalkan peranan fasilitas penyuluhan yang ada dan mendapatkan sistem penyuluhan yang spesifik dan akurat
Pemantapan sistem penyuluhan yang akurat dan spesifik lokasi dengan memanfaatan fasilitas yang ada
Menyususn Rancang Bangun 2012
Implementasi program
Pemantapam program
Pengembangan program
Pengembangan fungsi lembaga agribisnis dan pemantapan kinerja sistem agribisnis Pengembangan sistem penyuluhan keseluruh poktan yang ada di Nagari Supayang Terbentuknya nagari model berbasis kakao 2016
Pemantapan & pengembangan agribisnis Pembinaan Implementasi inovasi teknologi, kelembagaan dan diseminasi
Persiapan dan pelaksanaan Tahun
2013
2014
2015
KESIMPULAN DAN SARAN Pascapencanangan Provinsi Sumatera Barat menjadi pusat pengembangan kakao wilayah Indonesia Bagian Barat oleh Wakil Presiden RI tahun 2006 lalu, Pemerintah Daerah berkomitmen untuk mengembangkan komoditas tersebut secara lebih luas. Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Perkebunan Sumbar adalah membentuk pusat-pusat pertumbuhan melalui Nagari Model Kakao (NMK) yang tersebar pada beberapa kabupaten. Salah satunya berlokasi di Nagari Supayang, Kabupaten Solok. Penumbuhan NMK diawali dengan melakukan kajian identifikasi potensi sumber daya, tingkat penerapan teknologi, kendala, dan peluang pengembangan serta melakukan analisis terhadap variabel tersebut untuk kemudian dituangkan dalam bentuk road map dan program aksi selama lima tahun. Kawasan Supayang dengan elevasi 600-700 m dpl, termasuk wilayah beriklim tipe A. Luas kebun kakao saat ini 240 ha, terdapat potensi lahan pengembangan seluas 1.996 ha, dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Kepemilikan lahan kakao berkisar 0,1-1,5 ha/KK dengan hasil 407 kg/ha/tahun. Kebun kakao tersebut diinisiasi oleh PT Alam Permai tahun 1996 seluas 200 ha sebagai inti bagi kebun plasma. Usaha tani dominan saat ini adalah karet dan padi sawah dengan perolehan pendapatan rata-rata Rp8.640.000/KK/tahun, sementara pendapatan bersumber dari kakao hanya Rp3.258.620/KK/tahun dari luas 0,46 ha. Jumlah penduduk sebanyak 1.931 jiwa (534 KK), 47,6% di antaranya tergolong keluarga miskin, dengan angkatan kerja produktif 66,0%, yang mayoritas pekerjaan utama sebagai petani. Masalah utama yang dihadapi petani adalah rendahnya produktivitas dan harga jual biji kakao. Penyebab utama rendahnya produktivitas karena praktek budi daya masih belum sesuai anjuran, pemeliharaan tanaman berupa pemupukan, pemangkasan, pengendalian OPT, dan sanitasi lingkungan tidak dilakukan petani secara intensif. Kondisi tersebut tidak terlepas dari terbatasnya akses terhadap modal dan informasi iptek yang sangat dibutuhkan dalam penerapan inovasi teknologi secara utuh.
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
408
Peluang meningkatkan peran kakao sebagai komoditas unggulan di Supayang direfeksikan dalam suatu program yang tepat untuk meningkatkan produksi kakao secara optimal dengan membangun suatu Nagari Model Kakao (NMK). Untuk mewujudkan NMK tersebut diperlukan suatu perencanaan yang tepat dan komprehensif dalam bentuk program inovatif yang mencakup inovasi teknologi, kelembagaan, dan diseminasi, disusun berdasarkan kondisi aktual yang ada di lapangan. Pelaksanaan program tersebut dilakukan secara partisipatif bersama petani yaitu dengan melibatkan mereka mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan diharapkan petani menjadi subjek dan merasa memiliki, sehingga mempercepat proses adopsi dan pengembangan. Untuk mempercepat transfer iptek kepada petani, perlu dibuat suatu kebun contoh yang akan dijadikan sebagai wadah pembelajaran melalui sekolah lapang. Kondisi nagari yang diinginkan dengan adanya NMK adalah terciptanya suatu sistem agribisnis kakao untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjadikan kakao sebagai sumber pendapatan utama bagi masyarakat setempat. Keberhasilan dari NMK akan sangat tergantung atas partisipasi, keinginan dan kemauan masyarakat dalam memahami inovasi yang disampaikan dan yang lebih penting lagi adalah sejauh mana komitmen petani untuk menerapkan dan mengembangkannya. Selain itu juga sangat diperlukan peranan pemerintah dalam melakukan pembinaan secara berkelanjutan serta menciptakan lingkungan eksternal yang lebih kondusif. DAFTAR PUSTAKA a
Anonimous , 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2015. Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 50 Tahun 2010. 484 hlm. b
Anonimous , 2011. Buku Panduan Teknis Budi Daya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Jakarta. 92 hlm. c
Anonimous , 2011. Profil Nagari Supayang. Kantor Wali Nagari Supayang d
Anonimous , 2007. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Komoditas Kakao (Theobroma cacao L) dan Kopi (Coffea sp) di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Kerjasama Bappeda Kabupaten Solok dengan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor. 146 hlm Badan Litbang Pertanian. 2006. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Survei Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Spectrum Diseminasi Multi Channel. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. 29 hlm. BPTP Sumbar 2007. Laporan Rancang Bangun Labotarorium Agribisnis Nagari Aia Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Padang. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2010. Program Penyuluhan Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok. Solok. BBP2TP, 2011. Rancangan Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi (M-P3MI). Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Bappeda Kabupaten Solok. 2011. Kabupaten Solok Dalam Angka 2010/2011. Kerjasama Bappeda Kabupaten Solok dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok. Solok. Disbun Sumbar. 2012. Data dan Statistik Perkebunan Tahun 2011. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. Padang. Hendri, Y., Azwir, dan Prama Yufdy. 2010. Sukses Peternak Sapi dengan Pakan Lokal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Padang. 47 hlm. Hendri, Y. 2012. Fermentasi Kulit Buah Kakao “Rogur 100”. 25 Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Padang. Limpinuntana, V. 1987. Peralatan Konseptual untuk Pemahaman Pedesaan dalam Waktu Singkat pada Masyarakat Agraris. Kelompok Penelitian Agroekosistem. Badan Litbang Pertanian-The Ford Foundation, Jakarta. Puslitkoka. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember. Sukartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon, dan J.B. Hardaker. 1984. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI. Jakarta.