Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi1
Untuk Perkara No. 3/PUU-VIII/2010, Perihal Permohonan Pengujian Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Oleh: Dedi Supriadi Adhuri Ph.D (Antropologi Maritim) Peneliti Aspek-aspek sosial pengelolaan sumberdaya pesisir/maritim dan masalah-masalah kenelayanan
Jakarta, Mahkamah Konstitusi, 27 April 2010
1
Selain dibacakan pada sidang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 April 2010, naskah ini telah diberbitkan dalam buku Damanik, Riza dan M. Saragih. 2012. Menghidupkan Konstitusi Kepulauan: Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KIARA. Hal.97-120 dan170-179.
1
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Pimpinan sidang yang terhormat, Sebelum memaparkan pandangan terhadap materi perkara yang sedang dipersoalkan, mohon ijin untuk mengklarifikasi posisi saya sebagai ahli. Saya merasa perlu membuat klarifikasi ini karena pada tanggal 11 April, tiga hari setelah mengikuti sidang pada tanggal 8 April 2010, saya mendapat forward email yang bersumber dari Dr. Sapta Putra Ginting yang setahu saya merupakan salah seorang perwakilan dari pihak Pemerintah dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan, RI. Email ini berisi pertanyaan dan pernyataan terkait posisi saya sebagai ahli dari pihak Penggugat. Isi lengkap email ini adalah sebagai berikut:
---------- Pesan terusan ---------Dari: Sapta Putra Ginting <
[email protected]> Tanggal: 9 April 2010 22:31 Subjek: Bls: Atensi utk UU 27 thn 2007 Ke: malikusworo hutomo <
[email protected]> Cc: Widi A Pratikto <
[email protected]>, Ferrianto Djais <
[email protected]>
Yth P Hutomo, Pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) hari kamis lalu, Kiara mengajukan ahli Dr. Dedi Adhuri, staf peneliti dari LIPI, dulu bawahan Ibu Dr. Yulfita Rahardjo. Setelah disumpah dia tidak menyampaikan apa-apa pandangan keahliannya thd UU 27/2007, yg pada akhirnya ditegur Hakim Konstitusi dan sidang ditutup. Pertanyaannya, apakah Dedi Adhuri, telah dapat kewenangan dari LIPI untuk menjadi ahli melawan Pemerintah (Presiden SBY yg dilimpahkan kepada Menteri Patrialis Akbar dan Fadel Muhammad).atau apakah Dedi sebagai pribadi melawan Pemerintah, mohon bantuan P Hutomo mencaritahu dari LIPI tempatnya bekerja?. Dalam kasus lain ada seorang kepala Lapas yang jadi ahli melawan pemerintah akhirnya dimutasikan meskipun akhirnya dia tidak jadi bersaksi. Tolong bantu klarifikasi ya pak. Cheers, Sapta
2
Kerena posisi saya sebagai ahli hanya pada saat sidang ini atau pada saat lain tetapi tersangkut perkara ini, maka akan menanggapi pernyataan dan pertanyaan Dr Sapta Putra Ginting tersebut di atas: Pertama: Pertanyataan Dr. Sapta Putra Ginting bahwa ‘setelah disumpah dia tidak menyampaikan apa-apa pandangan keahliannya thd UU 27/2007, yg pada akhirnya ditegur Hakim Konstitusi dan sidang ditutup,’ tidak sepenuhnya benar dan cenderung diplintir. Pernyataan di atas membuka kemungkinan orang mengintepretasikannya bahwa saya tidak mau dan atau tidak bisa menyampaikan pandangan apa-apa pada waktunya sehingga itu merupakan suatu kesalahan yang menyebabkan saya ditegur Hakim Konstitusi dan sidang ditutup. Kenyataannya, seperti bapak-bapak ketahui dan alami, pihak Penggugat yang meminta saya menjadi ahli, hanya meminta saya hadir untuk mendengarkan paparan sanggahan dari pihak Pemerintah dan DPR. Saya belum diminta untuk memaparkan pendapat. Oleh karena itu, saya juga tidak merasa ditegur oleh Hakim Konstitusi. Kedua: Jawaban saya terhadap pertanyaan Dr. Sapta Putra Ginting tentang: ‘apakah Dedi Adhuri, telah dapat kewenangan dari LIPI untuk menjadi ahli melawan Pemerintah (Presiden SBY yg dilimpahkan kepada Menteri Patrialis Akbar dan Fadel Muhammad).atau apakah Dedi sebagai pribadi melawan Pemerintah...’ adalah a. dalam hubungannya dengan posisi sebagai ahli, saya bertindak untuk dan atas nama pribadi dengan profesi sebagai peneliti masalah sosial pengelolaan sumberdaya pesisir/maritim dan kenelayanan. Oleh sebab itu saya tidak merepresentasikan lembaga apapun. b. sebagai saksi ahli, saya tidak sedang menjalankan aksi melawan ‘Pemerintah (Presiden SBY yg dilimpahkan kepada Menteri Patrialis Akbar dan Fadel Muhammad).’ Untuk menjadi saksi ahli ini, saya telah disumpah untuk menyampaikan kebenaran mengenai hal-hal yang terkait perkara yang disidangkan yang kebetulan bersesuaian dengan bidang keahlian saya. Oleh karena sumpah itu dan keterikatan saya pada etika sebagai peneliti, saya tidak akan memihak kepada salah satu yang berperkara, tetapi hanya memihak kepada kebenaran yang saya percayai. Kebenaran ini bersesuaian dengan hasil-hasil penelitian lapangan maupun kajian Pustaka selama saya menjalani profesi sebagai peneliti selama lebih dari 15 tahun. Perlu juga diketahui, sebagaian besar apa yang saya paparkan sudah saya terbitkan dalam berbagai jurnal maupun bagian dari buku, baik yang terbit secara nasional maupun internasional (lihat CV).
3
Ketiga: Terhadap pernyataan Dr. Sapta Putra Ginting tentang: ‘Dalam kasus lain ada seorang kepala Lapas yang jadi ahli melawan pemerintah akhirnya dimutasikan meskipun akhirnya dia tidak jadi bersaksi,’ saya menganggap pernyataan ini bersifat intimidasi. Saya tidak tahu apakah benar Pemerintah (Presiden SBY) memang melakukan hal ini, jika memang benar, menurut saya ini suatu tindakan sewenang-wenang pemerintah (SBY) karena menjadi saksi ahli dilindungi Undang-undang. Saya sendiri tidak akan memperpanjang masalah ini, tetapi jika ada pihak-pihak yang menginginkan kejelasan mengenai kebenaran pernyataan Dr. Sapta Putra Ginting di atas dan menanyakannya ke Pemerintah (SBY), saya tidak akan menghalanginya. Demikian jawaban saya terhadap pernyataan dan pertanyaan Dr. Sapta Putra Ginting terkait isi email beliau. Mudah-mudahan klarifikasi ini membuat hal-hal tersebut di atas menjadi jelas.
Pemimpin sidang dan majelis yang terhormat, Sekarang perkenankanlah saya menyampaikan pendapat mengenai materi perkara. Mengingat kekhususan bidang ilmu yang saya dalami dan keterbatasan saya sebagai pribadi, saya akan membatasi diri untuk hanya memberikan pendapat mengenai dua issu dan langsung berfokus pada pasal-pasal mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yakni pasal 16 sampai 22 dari UU No. 27/2007. Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian yang saya lakukan mengenai praktek-praktek hak ulayat laut, pengelolaan laut tradisional serta karakteristik masyarakat nelayan, saya akan menganalisa pasal-pasal ini dalam kaitannya dengan Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Analisa (ketidak)sesuaian Pasal-pasal HP3 dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 Seperti kita ketahui, Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 adalah pasal yang berisi pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnnya. Secara lengkapnya bunyi pasal tersebut adalah: “(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.” Sebelum mengemukakan pendapat mengenai ketidaksesuaian Pasal-pasal HP3 dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945, saya akan memaparkan distribusi dan karakter dasar dari hak 4
ulayat laut/perairan pesisir dan praktek pengelolaan sumberdaya laut/perairan pesisir tradisional. Pranata hak ulayat laut/pesisir dan pengelolaan sumberdaya pesisir/laut tradisional dilakukan oleh cukup banyak masyarakat adat di pesisir Indonesia. Kajian pustaka yang dilakukan oleh Ruddle (1994, 35) mencatat bahwa pranata-pratana itu terdapat di beberapa komunitas di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Flores dan Tanimbar. Zerner (1990) juga mencatat terdapatnya praktek serupa di Selat Makasar. Sementara Satria dan Matsuda (2004) mengidentifikasi terjadinya revitalisasi tradisi awig-awig di Lombok yang juga digunakan untuk mengelola perairan pesisir. Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI, juga pada awal tahun 1990an telah memetaka praktek hak ulayat laut di 3 provinsi di Indonesia Timur (: Maluku, Paua dan Sulawesi Utara, lihat Wahyono, dkk. 2000) Membahas karakteristik tradisi pengelolaan sumberdaya laut ini, Ruddle (1994) menjelaskan bahwa di Tanimbar, Maluku, kelompok kekerabatan tertentu memiliki hak pakai dan hak pengelolaan terhadap reef-reef tertentu di pulau itu dan permohonan ijin untuk mengambil /menggunakan sesuatu dimintakan dari tuan tanah. Di antara orang-orang Galela di Halmahera, Maluku Utara, desa adat mengkalim hak pemilikan terhadap wilayah-wilayah penangkapan ikan. Di Pulau Selayar, di Laut Flores, tempat-tempat di mana orang meletakkan alat tangkap menetap juga menjadi objek kepemilikan dan diwariskan kepada anak laki-laki. Di Irian Jaya, komunitas pesisir Ormu dan Tepra, dekat Jayapura, mengelola hak penangkapan ikan dan akses wilayah dan sumberdaya pesisir/laut melalui kombinasi praktek-praktek adat kepemilikan wilayah pesisir/laut oleh keluarga dan desa adat. Orangorang luar yang menangkap ikan tanpa ijin dari pemilik, diharuskan membayar kompensasi berupa hasil tangkapan. Ijin harus pula dimintakan dari ‘pemilik laut desa’ (tubwe) saat seseorang akan menangkap ikan di perairan desa. Hak-hak desa diingatkan kembali melalui upacara-upacara adat tahunan. Penutupan areal dari kegiatan eksploitasi diaplikasikan secara musiman dan pada pada saat ritual lingkaran hidup. Saya sendiri terlibat secara intensif dan dalam kurun waktu yang lama pada penelitianpenelitian mengenai hak ulayat laut dan praktek pengelolaan tradisional sumberdaya pesisir/laut di Maluku dan di Aceh. Oleh karenanya, sebagai contoh lebih detail, berikut akan dipaparkan pranata hak ulayat pesisir/laut dan praktek pengelolaan tradisional di Maluku, khususnya Kepulauan Kei, Maluku Tenggara dan di Aceh. Konsep kunci praktek hak ulayat di Kepulauan Kei adalah petuanan. Konsep ini mengacu pada wilayah darat dan laut yang diklaim di bawah pemilikan atau penguasaan suatu kelompok sosial tradisional tertentu. Khusus untuk wilayah laut, mereka menyebutkannya sebagai petuanan laut. Kelompok sosial yang mengklaim memiliki atau penguasai petuanan tertentu beragam mulai dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok pemukiman (kampung), sebuah desa (negeri), gabungan dari beberapa desa di bawah penguasaan ‘raja’ (ratschap), paruh masyarakat (ur siw dan lor lim) sampai keseluruhan orang Kei. Penentuan batas fisik petuanan maupun kelompok sosial yang menguasainya ditentukan oleh sejarah lisan (toom) tentang wilayah tersebut dan peranan orang-orang tertentu dalam proses pembentukan pemerintahan tradisional komunitas yang bersangkutan. Di darat, biasanya 5
batas-batas petuanan laut bersamaan dengan batas wilayah darat antar dua kelompok adat. Di laut, batas petuanan laut beragam dari mulai batas antara laut dangkal dengan laut dalam (tohar), batas kemampuan teknologi pemanfaatannya atau batas atas dasar pengetahuan adat tentang wilayah ulayat mereka. Untuk menjaga praktek hak ulayat laut ini berlangsung terus, biasanya orang tua menceritakan sejarah asal-usul kesatuan adat itu dan distribusi hakhak atas petuanan kepada anak-anaknya. Jadi, tradisi ini ditransfer secara turun temurun melalui tradisi penceritaan lisan. Sebagai wilayah petuanan laut suatu unit masyarakat adat, pemanfaatan dan pengelolaan petuanan laut menjadi hak ekslusif dari anggota-anggota masyarakat adat itu. Orang luar yang ingin melakukan eksploitasi, terutama untuk tujuan bisnis/usaha komersial, bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup (subsisten), wajib untuk meminta ijin dari masyarakat pemilik hak ulayat. Gambar (1) berikut adalah petuanan milik Desa Dullah Laut, salah satu kepulauan di Kei Kecil.
Gambar 1. Petuanan Dullah Laut (Sumber: Adhuri 2002) 6
Gambar 2 adalah contoh wilayah petuanan satu kerajaan adat (Ratchaap) yang bernama Maur Ohoiwut di Kei Besar Maluku Tenggara.
N u h a n
M e t
D a r a t a n
W a h d a a n
S o i n
R u a t M e t S o i n
W e w u i l
F a r u a n
H a n g a r
W a l a a r L e a t D o n g
E n t e t a t
T a h i t N i W e a r
S o i n
Gambar 2. Petuanan Laut Rartchaap Maur Ohoiwut, Kei Besar (Sumber: diadaptasi dari Rahail 1995, 22) Di Maluku, selain terdapat praktek hak ulayat laut, beberapa komunitas memiliki tradisi pengelolaan tradisional yang disebut Sasi. Istilah ini mengacu pada suatu sistem yang berkenaan dengan pengaturan kegiatan eksploitasi terhadap wilayah petuanan atau sumberdaya tertentu di petuanan itu. Sasi laut biasanya ditujukan pada seluruh atau sebagian petuanan laut dan dikenakan pada sumberdaya tertentu yang ada di dalamnya. Sumberdaya yang umum dikenai aturan sasi adalah bia lola (Trochus niloticus) dan atau tripang. Pada saat tutup sasi, yang biasanya berlangsung selama satu sampai tiga tahun, tidak boleh seorang pun mengambil sumberdaya di wilayah petuanan yang dikenai aturan itu. Pada saat yang telah ditentukan, sasi akan dibuka, biasanya setiap wakil dari rumah tangga, janda atau rumah tangga renta atau orang-orang yang ditunjuk oleh pemangku adat sasi, diperbolehkan mengambil sumberdaya tersebut. Kegiatan pengambilan sumberdaya diatur dengan beberapa 7
aturan. Misalnya, pada saat mengambil hasil, mereka hanya diperbolehkan menyelam tanpa alat kecuali kacamata menyelam (tradisional), ukuran bia lola yang boleh diambil juga dibatasi, biasanya minimal ukuran diameter cangkang kerangnya tiga jari (kurang lebih 6 cm). Buka sasi biasanya berjalan beberapa hari atau minggu. Setelah selesai, pemimpin adat sasi akan menutup kembali dan mengimplementasikan larangan kegiatan pengambilan sumberdaya tersebut. Contoh kedua berikut adalah tradisi hak ulayat dan pengelolaan sumber daya laut tradisional dari Aceh. Sejak berabad-abad, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laot. Tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (pederasi gampung/desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut lhok (teluk). Pengelolaan masing-masing lhok di pegang oleh lembaga panglima laot yang dipimpin oleh ketua dengan nama yang sama dengan lembaga itu, Panglima Laot. Terdapat lebih dari 100 unit pengelolaan panglima laot di seluruh Aceh. Pada intinya, hukum adat ini mengacu pada klaim hak ulayat laut dan praktek pengelolaannya. Berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku, orang Aceh tidak mengkalim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan. Menurut hukum adat laot, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut, harus tunduk pada aturan-aturan adat panglima laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap lhok. Berikut adalah contoh dari praktek hak ulayat dan pengelolaan di dua lhok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Ie Meule di Sabang. Seperti tampak pada gambar 3, Panglima laot di Lhok Kruet secara adat mengklaim hak kelola terhadap wilayah perairan pesisir dengan batas di darat Gunong Sa dan Alue Lhok. Batas kelaut adalah dua mil, hitungan ini didasari oleh panjang dua jaring tradisional yang biasa mereka pakai dahulu. Tampak juga dalam gambar 3 bahwa dalam wilyah Lhok Kruet, aturan-aturan tertentu diberlakukan. Hal yang menarik adalah bahwa aturan-aturan tersebut berlandaskan pada usaha-usaha menjaga wilayah dari (a) kerusakan dan (b) overeksploitasi, (c) mencegah konflik dan (d) menjaga prinsip keadilan. Aturan-aturan tersebut meliputi larangan penggunaaan alat-alat yang merusak/beracun, prioritas bagi nelayan pancing dari nelayan jaring pada wilayah dan waktu tertentu dan larangan penggunaan kompressor untuk menangkap lobster. Untuk yang terakhir dikatakan, penangkapan lobster oleh kompresor melahirkan ketidakadilan karena kebanyakan lobster akan tertangkap oleh orang yang menggunakan kompresor. Nelayan jaring akan menderita karena hanya bisa menangkap sisanya saja. Selain alasan-alasan di atas, ada juga aturan yang dilatarbelakangi kepentingan ritual keagamaan. Seluruh nelayan di Lhok Kruet tidak diperbolehkan melaut sejak magrib hari Kamis sampai setelah sholat Jumat hari berikutnya. Larangan ini terkait kewajiban untuk menjalankan sholat berjamaah pada siang hari Jum’at.
8
Gambar 3. Panglima Laot Lhok Kruet (Sumber: penelitian lapangan 2007-2010) Sebagai contoh kedua dari tradisi adat laot di Aceh, berikut adalah praktek pengelolaan Panglima Laot Lhok Ie Meule di Pulau Sabang (lihat dokumen aturan dan peta posisi lhok Ie Meule). Secara ringkas, tradisi pengelolaan perairan pesisir yang dipraktekkan masyarakat Lhok Ie Meule adalah sebagai berikut: Wilayah kelola (lihat Gambar 4): Komunitas pang lima laot Ie Meule mengklaim wilayah laut dari batas kelurahan Kota Bawah Barat dengan Kota Atas, hingga batas antara Kelurahan Ujong Kareung dengan Kelurahan Anoi Itam, samapai empat (4) ke laut adalah wilayah kelolanya. Wilayah ini dibagi menjadi dua bagian yakni, 0-2 dan dua ke atas sampai 4 mil. 9
Aturan penggunaan/pelarangan alat tangkap: Pada wilayah 0-2 mil, penggunaan alat berikut dilarang: Pukat Trawl, jaring yang menggunakan alat bantu penangkapan Lampu Robot, segala Jenis Jaring (termasuk Jaring Pisang-pisang, Pukat Jepang dan Jaring Pinggir), obat bius, tuba, kompressor dan segala jenis alat tangkap/alat bantu penangkapan yang dapat merugikan nelayan Ie Meulee serta dapat merusak lingkungan laut dan pesisir. Di wilayah 0-2 mil ini, hanya alat-alat berikut saja yang diperbolehkan: Pancing / Rawai, Tombak/ Tembak / Panah atau Speargun, jala. Pada wilayah lebih dari dua sampai empat (>2 – 4) mil, Pancing/ Rawai dan segala jenis jaring, kecuali Pukat Trawl dan Jaring yang menggunakan alat bantu penangkapan berupa Lampu Robot. Selain hal-hal di atas, tradisi panglima Laot di Ie Meulu juga mengatur masalah lain (lihat lampiran 1).
Lhok Ie Meulee
Sumber : Wildlife Conservation Society
10
Untuk menutupi bagian ini, saya akan sedikit mengengemukakan pendapat Berkes, seorang ahli dalam bidang pengelolan sumberdaya laut, mengenai fungsi dari hak ulayat dan praktek-praktek pengelolaan laut tradisional. Berkes (1989, 11-12) mengatakan bahwa hak ulayat memiliki lima peran penting. Pertama, menjamin keamanan penghidupan (livelihoodsecurity) dengan memberi kesempatan kepada setiap anggota komunitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui jaminan akses terhadap sumberdaya alam penting. Peran kedua adalah sebagai alat resolusi konflik. Berkes percaya bahwa hak ulayat menyediakan mekanisma untuk memberi akses pemanfaatan yang sama kepada semua anggota komunitas. Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota komunitas sebagai akibat dari perebutan akses terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah. Ketiga, hak ulayat berfungsi mengikat anggota-anggota komunitas menjadi suatu kesatuan sosial yang kompak. Hal ini terjadi karena hak ulayat secara eksplisit menghubungkan keanggotaan komunitas dengan penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan kerjasama. Keempat, hak ulayat bersifat konservasi karena ia biasanya terkait dengan prinsip ‘taking what is needed.’ Terakhir, hak ulayat berfungsi untuk menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa praktek hak ulayat didasari prinsip penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan siklus alam.
Pimpinan sidang dan hadirin yang terhormat, Sekarang saya akan melihat ketidaksesuaian antara Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 dengan pasal-pasal HP3 melalu rujukan contoh-contoh yang telah saya jelaskan. Menurut pendapat saya, arti dari Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ‘(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” sudah sangat jelas bahwa konstitusi kita mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisional mereka termasuk hak ulayat laut dan pengelolaan perairan pesisir tradisionalnya. Pengakuan ini juga didukung dan diperkuat oleh Pasal 61 angka (1) dan (2) dari Undang-undang No. 27 Tahun 2007 sendiri. Jika kita melihat Pasal-pasal HP3, Pasal 16 (1) Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3. (2) HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.
11
Menurut penadapat saya, pasal 16 angka (1) bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 karena, paling tidak secara implisit, pasal ini menganggap praktekpraktek hak ulayat dan pengelolaan pesisir/laut tradisional yang objeknya sama dengan pasal 16 angka (2) sebagai tidak ada dan digantikan dengan HP3. Pihak pembuat Undang-undang No. 27/2007 mungkin akan berargumen, pasal ini hanya menihilkan tradisi ini sementara sampai dengan masyarakat adat mengajukan permohonan HP3. Logika ini menurut saya tidak logis karena: 1. Tidak ada syarat yang diajukan oleh konstisusi untuk pengakuan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945. Pengajuan syarat oleh Pasal HP3 dengan demikian bertentangan dengan konstitusi. 2. Seperti saya sebutkan terdahulu, karakteristik tradisi adalah ‘oral’. Ia disampaikan oleh orang-orang tua kepada generasi penerusnya secara lisan. Hanya sedikit masyarakat yang menerjemahkan tradisinya dalam bentuk tulisan. Yang sedikit itupun hampir semuanya dibantu oleh akademisi atau pun aktifis lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian syarat-syarat pengajuan HP3 yang ditentukan pada Pasal 21 angka (1) sampai angka (5), paling tidak sebagian besar, tidak sesuai dengan karakteristik hak ulayat laut dan pengelolaan tradisional yang telah dijelaskan di atas, dan praktek-praktek serupa yang tersebar di banyak tempat di Indonesia, yang kelangsungannya diakui dan dihormati oleh konstitusi. 3. Jikapun dipaksakan didaftarkan, tradisi hak ulayat dan praktek pengelolaan tradisional itu harus dirubah karena karakteristiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri yang disyaratkan HP3. Misalnya, berjangka waktu 20 tahun [Pasal 19 angka (1)]. Praktek tradisional berlaku sepanjang masyarakat adat pendukungnya mau mempraktekannya. Dengan demikian jelas, sekali lagi, pasal-pasal HP3 bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 18 B Ayat (2) yang mengakui dan menghargai hak masyarakat adat dan tradisinya.
Analisa ke(tidak)sesuaian Pasal-pasal HP3 dengan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 Pimpinan sidang dan hadirin yang terhormat. Sekarang saya akan memaparkan pendapat saya tentang HP3 Pasal 16 – Pasal 21 dalam hubungannya dengan Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
12
Untuk keperluan di atas, saya akan memulai dengan menggambarkan karakteristik masyarakat nelayan. Acheson, seorang ahli Antropologi Nelayan, pada tahun 1981 telah mereview 250 artikel dan buku teori-teori dan kasus-kasus dari berbagai belahan dunia yang menjelaskan tentang karakterstik masyarakat nelayan. Secara ringkas, kesimpulan beliau adalah sebagai berikut: ”Kegiatan melaut (fishing) terjadi pada lingkungan yang heterogen dan tidak menentu. Ketidaktentuan ini tidak hanya berasal dari lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial di mana kegiatan melaut dilakukan. Laut adalah dunia yang berbahaya dan asing, di mana manusia diperlengkapi secara minimal (poor) untuk bertahan hidup. Laut adalah dunia di mana manusia hanya bisa memasukinya dengan bantuan alat buatan (perahu, alat selam, dll), itupun jika cuaca dan kondisi laut memungkinankan. Ancaman yang konstan dari ombak kencang, kecelakaan, dan kerusakan mekanis membuat kegiatan melaut menjadi pekerjaan yang paling membahayakan. Banyak zona ekologi yang terdiri dari berbagai macam species yang memiliki kebiasaan hidup berbeda. Ikan juga bergerak dari satu tempat ke tempat lain dari satu musim ke musim lain dan jumlahnya bisa berfluktuasi dengan kadar yang sulit ditebak, terutama oleh nelayan kecil. Dengan katakter laut dan sumberdaya seperti itu, kehidupan nelayan tidaklah mudah dan penuh dengan ketidakpastian. Secara psikologis, selain bekerja dengan tingkat bahaya yang tinggi juga bekerja dalam ruang (boat/perahu) yang kecil dalam dunia yang biasanya hanya didominasi laki-laki. Tekanan lingkugan laut dan kondisi kerja seperti ini seringkali kehidupan rumah tangga nelayan cenderung berbeda dengan standar komunitas dengan pekerjaan lain. Seringkali ini juga mendatangkan masalah. Waktu bekerja yang seringkali tidak sesuai dengan kegiatan dunia yang lain - misalnya bekerja pada malam hari, sementara siang digunakan untuk istirahat— dan sering tidak ada di komunitasnya, membuat kepentingan nelayan tidak terwakili dalam dunia politik. Karakteristik seperti ini juga yang membuat nelayan sangat bergantung pada pemilik-pemilik kapal dan tengkulak yang seringkali mengeksploitasi mereka.” Berdasarkan pengamatan saya selama melakukan penelitian pada masyarakat nelayan di berbagai tempat di Indonesia, karakteristik seperti itu juga merupakan ciri kebanyakan nelayan kita. Kita malah bisa menambahkan karakteristik kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah sebagai tambahan karakter nelayan Indonesia. Karakter alam juga akhir-akhir ini menjadi semakin ganas dengan efek-efek dari perubahan iklim dan rob yang sering terjadi. Dengan karakter seperti itu, menurut saya, nelayan termasuk kedalam kelompok yang rentan dan oleh sebab itu menjadi objek dari Pasal 18 H Ayat (2) UUD 1945, yakni mereka yang 13
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Menyimak HP3 Pasal 18 hurup (a), (b) dan (c), saya tidak melihat adanya perlakuan khusus terhadap nelayan dalam berhadapan dengan ‘Orang perseorangan warga Negara Indonesia,’ Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau Masyarakat adat. Hampir bisa dipastikan, tanpa perlakuan khusus, nelayan tidak akan bisa berkompetisi dengan pihakpihak lain yang dimungkinan mengajukan HP3 seperti disebutkan dalam pasal 18 hurup (a), (b) dan (c). Dengan tantangan hidup dan keterbatasan sumberdaya yang telah diidentifikasi di atas, nelayan hampir tidak mungkin untuk dapat memenuhi syarat-syarat pengajuan HP3 seperti tertuang dalam pasal 21 angka (1) sampai (5). Atau, setidaknya nelayan akan termarjinalkan oleh mereka yang memiliki HP3. Dengan kesimpulan di atas, saya menganggap bahwa HP 3, terutama pasal-pasal yang telah saya sebut di atas bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 18 H Ayat (2).
Demikian kesaksian saya, semoga menjadi bahan pertimbangan Dewan Hakim.
Jakarta, 27 April 2010. Dedi Supriadi Adhuri Ph.D
14
Daftar Rujukan Acheson. 1981. Antrhropology of Fishing. Annual Review of Anthropology, Vol. 10 (Hal. 275-316. Adhuri. 2002. Selling the Sea Fishing for Power: A Study of Conflict Over Marine Tenure in The Kei Islands, Eastern Indonesia. Disertasi, diajukan pada Dept. Anthyropology, Australian National University, Canberra. Berkes. 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press. Rahail, J.P. 1995. Bat Batang Fitroa Fitnangan: Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kei Vol. 4, Seri Pustaka Khasanah Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Sejati. Ruddle, Kenneth. 1994. A guide to the literature on traditional community-based fishery management in the Asia-Pacific tropics. Rome FAO 114 pp. FAO Fisheries Circular No. 869. Satria, A. dan Y. Matsuda. 2004. Decentralization Policy:An Opportunity for Strengthening FisheriesManagement System? dalam Journal of Environment & Development, Vol. 13, No. 2, Hal. 179-196 Wahyono, dkk. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Zerner, C. (1990) Marine tenure in Indonesia’s Makassar Straits: the Mandar raft fishery. Paper presented at the First Annual Meeting of the International Association for the Study of Common Property, Duke University, Durham, North Carolina, 27–30 September 1990.
15
Lampiran:
HUKUM ADAT LAÔT LHOK IE MEULEE
Dengan Mengharap rahmat serta ridho dari Allah S.W.T., dan memohon hidayah dari junjungan kita nabi besar Muhammad S.A.W, kami segenap komponen masyarakat Ie Meulee dengan ini menetapkan Hukum Adat LaÔt Lhok Ie Meulee, yang berisi aturanaturan adat melaut yang berlaku di wilayah Adat Lhok Ie Meulee. Hal-hal yang lain yang berkaitan dengan tata cara kehidupan melaut yang belum disebutkan di dalam aturan ini, di selesaikan secara musyawarah dalam suatu persidangan adat laut masyarakat Ie Meulee.
HUKUM ADAT LAÔT LHOK IE MEULEE Adapun Hukum Adat LaÔt yang berlaku di Lhok Ie Meulee meliputi : 1. ALAT TANGKAP YANG DILARANG Alat tangkap yang dilarang digunakan di wilayah Lhok Ie Meulee terbagi menjadi : a. Alat tangkap yang dilarang beroperasi di wilayah 0 sampai 2 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee meliputi :
Pukat Trawl Jaring yang menggunakan alat bantu penangkapan Lampu Robot Segala Jenis Jaring (termasuk Jaring Pisang-pisang, Pukat Jepang dan Jaring Pinggir) Obat Bius Tuba Kompressor dan segala jenis alat tangkap/alat bantu penangkapan yang dapat merugikan nelayan Ie Meulee serta dapat merusak lingkungan laut dan pesisir. (*)
b. Alat tangkap yang dilarang beroperasi di wilayah 2 sampai 4 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee meliputi :
Pukat Trawl
Jaring yang menggunakan alat bantu penangkapan berupa Lampu Robot 16
2. ALAT TANGKAP YANG DIPERBOLEHKAN Alat tangkap yang diperbolehkan digunakan di wilayah Lhok Ie Meulee terbagi menjadi : a. Alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah 0 sampai 2 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee meliputi :
Pancing / Rawai Tombak/ Tembak / Panah atau Speargun Jala
b. Alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah 2 sampai 4 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee meliputi :
Pancing/ Rawai Segala Jenis Jaring, kecuali Pukat Trawl dan Jaring yang menggunakan alat bantu penangkapan berupa Lampu Robot
3. HARI PANTANG MELAUT Yang dimaksud dengan hari pantang melaut adalah hari-hari dimana nelayan Lhok Ie Meulee berpantang untuk melakukan aktifitas mencari atau menangkap ikan di laut, dan dengan sendirinya pula pantangan ini berlaku bagi nelayan luar Lhok Ie Meulee yang mencari nafkah di wilayah Lhok Ie Meulee pada waktu-waktu tersebut. Hari-hari pantang melaut ini disepakati dalam sidang adat laut Lhok Ie Meulee, hari pantang melaut yang berlaku saat ini di Lhok Ie Meulee adalah :
Hari Jum’at : Berlaku pantang melaut satu hari dari adzan maghrib hari kamis hingga selepas shalat jum’at
Hari Khanduri Laut : Berlaku pantang melaut selama satu hari dari adzan maghrib Hari Rabu sampai dengan Adzan maghrib Hari Kamis.(**)
Hari Raya Iedul Adha : Berlaku pantang melaut selama satu hari dari adzan maghrib sebelum hari raya pertama sampai adzan maghrib hari raya pertama
Hari Raya Iedul Fitri : Berlaku pantang melaut selama satu hari dari adzan maghrib sebelum hari raya pertama sampai adzan maghrib hari raya pertama
Hari Kemerdekaan RI : Berlaku pantang melaut selama setengah hari pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, di mulai dari pagi hari (selepas shalat subuh) hingga upacara hari kemerdekaan selesai.
Hari Peringatan Tsunami : Berlaku pantang melaut selama satu hari di mulai dari pagi hari (selepas shalat subuh) hingga selesai shalat maghrib tanggal 26 Desember setiap tahunnya.
Hari-hari pantang melaut ini hanya berlaku pada aktifitas penangkapan ikan, untuk aktifitas di luar penangkapan ikan, tidak berlaku hari pantang melaut. 17
Pelanggaran terhadap hari pantang melaut, merupakan pelanggaran terhadap Hukum adat laut Ie Meulee, karenanya dapat di jatuhkan sanksi adat sesuai dengan kesepakatan masyarakat adat Ie Meulee.
(
4. WILAYAH LHOK IE MEULEE lihat gambar 4)
Yang dimaksud wilayah Lhok Ie Meulee adalah wilayah pantai dan pesisir berikut perairan laut sejauh 4 mil laut dari tepi pantai Lhok Ie Meulee, meliputi wilayah pantai dan perairan laut antara batas kelurahan Kota Bawah Barat dengan Kota Atas, hingga batas antara Kelurahan Ujong Kareung dengan Kelurahan Anoi Itam.
5. HUKUMAN / SANKSI ADAT Segala hukuman (sanksi Adat) yang disebabkan oleh pelanggaran aturan (Hukum) adat laut Lhok Ie Meulee diputuskan dalam SIDANG ADAT LAUT Lhok Ie Meulee.
6. SIDANG ADAT LAUT Yang dimaksud dengan SIDANG ADAT LAUT Lhok Ie Meulee ialah suatu pertemuan masyarakat adat Ie Meulee yang bertujuan untuk memutuskan hal-hal yang dianggap penting dalam penyelenggaraan kehidupan adat laut di Lhok Ie Meulee yang dihadiri oleh : 1. Imeum Mukim Ie Meulee 2. Panglima Laut Ie Meulee 3. Tokoh-tokoh Adat Ie Meulee 4. Para Lurah (Geuchik) di wilayah Lhok Ie Meulee 5. Tokoh-tokoh Nelayan Ie Meulee, dan ; 6. Unsur masyarakat lainnya yang dianggap perlu
7. PEMILIHAN PANGLIMA LAÔT IE MEULEE Panglima Laut Ie Meulee dipilih oleh nelayan Lhok Ie Meulee dalam RAPAT UMUM NELAYAN Ie Meulee yang dihadiri oleh ; 1. MUSPIKA KECAMATAN SUKAJAYA 2. Imeum Mukim Ie Meulee 3. Tokoh-tokoh Adat Ie Meulee 4. Tokoh-tokoh Nelayan Ie Meulee, dan ; 5. Unsur masyarakat lainnya yang dianggap perlu
18
Ie Meulee, Agustus 2008
H. Abdullah Usman (Imam Mukim Ie Meulee)
Mahdi,SE (Lurah Ujong Kareung)
(
)
Karnaini (Panglima Laut Ie Meulee)
M. Yunus. SE (Lurah Ie Meulee)
Kery Priyono (Lurah Kota Atas)
( H. Abu Idris Cut ) Tokoh Adat Ie Meulee
(
( ) Tokoh Masyarakat Ujong Kareung
( Alwi Anzib ) Tokoh Masyarakat Ie Meulee
( H. Saleh ) Tokoh Masyarakat Kota Atas
(
(
(
Tokoh Adat Ujong Kareung
)
M. Daud India ) 19
) Tokoh Adat Kota Atas
Azhar
)
Tokoh Nelayan Ujong Kareung
Tokoh Nelayan Ie Meulee
Tokoh Nelayan Kota Atas
Penjelasan * Penggunaan Kompressor sebagai alat bantu penangkapan ikan, dilarang digunakan di wilayah Lhok Ie Meulee, karena diyakini penggunaan kompressor erat kaitannya dengan penggunaan (pemakaian) obat bius atau dapat membuka peluang (memicu) penggunaan obat bius untuk menangkap ikan.
** Khanduri Laut di Lhok Ie Meulee disepakati dilaksanakan pada hari kamis setiap tahunnya, dengan pertimbangan meringankan nelayan namun juga memastikan tersedianya tenaga untuk merapihkan peralatan yang digunakan pada saat khanduri laut di keesokan harinya / hari Jum’at)
20
Jawaban Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi
Untuk Perkara No. 3/PUU-VIII/2010, Perihal Permohonan Pengujian Undangundang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Oleh: Dedi Supriadi Adhuri Ph.D (Antropologi Maritim) Peneliti Aspek-aspek sosial pengelolaan sumberdaya pesisir/maritim dan masalah-masalah kenelayanan
21
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang Mulia Majelis Hakim, Paparan berikut adalah jawaban saya, sebagai ahli dari pihak pemohon, terhadap sebagian pertanyaan-pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi yang disampaikan pada sidang tanggal 8 Juni 2010. Perlu saya tegaskan bahwa jawaban ini tentu disesuaikan dengan keahlian saya sebagai peneliti aspek-aspek sosial pengelolaan sumberdaya pesisir/maritim dan masalah-masalah kenelayanan dengan latar belakang ilmu Antropologi. Seperti tercatat pada Risalah Sidang Perkara No. 3/PUU-VIII/2010 Perihal pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-pulau Kecil Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan disarikan kembali oleh Tim Koalisi Tolak HP3, kami mendapat pertanyaan-pertanyaan dari Bapak Hakim M. Arsyad Sanusi dan Bapak Hakim Akil Mochtar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: Pertanyaan Hakim M. Arsyad Sanusi 1. Apa dan bagaimana bentuk kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur atas HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir)? 2. Apakah masyarakat adat juga diharuskan mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat HP3? 3. Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan (Pasal 21 ayat 5). Bagaimana mungkin masyarakat adat bisa menyajikan bukti ilmiah? 4. Melihat Pasal 21 ayat 5 UU Pesisir, masyarakat adat tradisional tidak mungkin bisa mendapatkan sertifikat HP3. Apakah hal ini inkonstitusional? Bagaimana? Pertanyaan Hakim Akil Mochtar 1. HP3 berbeda dengan HPH dan Izin Pertambangan. Ketika berbicara mengena HP3, tak jelas obyek pemberiannya, meski di Pasal 16 berbicara mengenai pemanfaatan. Apa obyek HP3 itu sendiri? 2. Sebagai contoh, hak atas tanah jelas obyeknya, yakni tanah. Juga hak atas tambang yang menyebutkan jenis tambangnya, seperti emas, batubara, 22
mineral, dan gas. Sebaliknya, HP3 tidak jelas obyeknya. Dari aspek itulah, apakah UU Pesisir ini tidak berpotensi menimbulkan persoalan saat dipraktekkan? 3. Dalam konteks demokrasi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945), apakah masyarakat diberlakukan sama di dalam UU Pesisir? 4. Apakah tidak diberikan hak afirmatif sebagaimana disebut dalam Pasal 28 UUD 1945? 5. Terkait pengelolaan sumber daya kelautan, masyarakat adat memiliki hak yang sama. Apakah memang hanya mengacu pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945? Jawaban terhadap pertanyaan Hakim M. Arsyad Sanusi: “1. Apa dan bagaimana bentuk kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur atas HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir)?” Menyimak kesaksian Bapak Bona Beding dan membaca hal-hal terkait tradisi berburu paus di Lamalera, saya memahami bahwa kegelisahan orang Lamalera atas HP3 merupakan kombinasi kegelisahan spiritual, ekonomi dan sosial. Dikatakan kegelisahan spiritual karena tradisi berburu paus adalah salah satu manifestasi dari keyakinan dan praktek keagamaan mereka. Ritual-ritual yang dilakukan dari mulai pembuatan perahu dan segala peralatan melaut sampai setelah mendapatkan ikan merupakan ekspresi kehidupan keagamaan mereka. Melanggengkan tradisi berburu paus adalah juga bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang telah mewariskan tradisi itu. Secara ekonomi, daging paus adalah sumber makanan utama sepanjang tahun, termasuk musim paceklik. Perlu dicatat, daging paus itu bukan saja sumber makanan bagi komunitas pesisir tetapi juga sumber protein hewani bagi masyarakat pedalaman di sekitarnya yang datang untuk berbarter dengan para nelayan pemburu paus. Secara sosial, tradisi berburu paus juga merupakan banteng utama untuk mengekpresikan dan mempertahankan tanggung jawab sosial masyarakat Lamalera. Hal ini terutama ditunjukkan melalui cara-cara distribusi daging hasil tangkapan yang tidak hanya untuk mereka yang pergi berburu tetapi juga kepada orang tua, janda dan fakir miskin. Dengan realitas seperti ini, implementasi HP3, bagi orang Lamalera memang merupakan ancaman terhadap fondasi kehidupan spiritual, ekonomi dan prinsipprinsip keadilan sosial yang telah menjadi bagian integral dari masyarakat tersebut. Dengan merujuk ke pengalaman penelitian mengenai praktek-praktek adat kelautan/pesisir sejak awal 1990an dan berbagai artikel ilmiah tentang hal ini, saya yakin bahwa kegelisahan serupa juga terjadi pada banyak masyarakat/komunitas adat pesisir di Indonesia. Seperti telah dijelaskan pada kesaksian saya pada sidang tanggal 27 April 2010, praktek-praktek pengelolaan laut/pesisir tradisional tersebar dari ujung barat (Sabang) sampai ujung timur (Papua) Indonesia (lihat misalnya Adhuri 1993, International Collective in Support of Fishworkers, 2009; Ruddle 1994; Satria dan Matsuda 2004, Wahyono dkk. 2000 dan Zerner
23
1990).2 Meskipun karakteristik detailnya berbeda pada setiap komunitas adat, tetapi ideologi dan tujuan pengelolaan sumberdaya laut/pesisir seperti pada praktek adat di Lamalera menjadi dasar praktek tradisi di berbagai tempat dan komunitas adat lain. Dengan demikian, sekali lagi, kemungkinan kegelisahan serupa terjadi di banyak kesatuan masyarakat adat. Keteranancaman praktek tradisional pengelolaan sumberdaya laut/pesisir, sebenarnya juga merupakan keprihatinan para ahli-ahli yang berkecimpung dalam hal ini. Johanes (1978) misalnya mengatakan, erosi praktek pemilikan lau tradisional atau customary marine tenure (CMT) tidak hanya menyangkut masalah hilangnya traditional wisdom tetapi juga lenyapnya sebuah potensi untuk menghindari kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu mereka menganggap erosi CMT lebih jauh haruslah dihindari. Untuk itu diusulkan kepada pemerintah untuk secara formal mengakui keberadaan CMT. Johannes percaya bahwa pengakuan legal formal pemerintah terhadap CMT ‘akan menguatkan kemampuan komunitas untuk mengawasi sumberdaya laut—sesuatu yang seringkali dilakukan secara sukarela jika hak-hak mereka terlindungi. [Sebaliknya] legislasi yang melemahkan atau menihilkan CMT meningkatkan tanggung jawab pemerintah dan menambah beban departemen perikanan yang seringkali telah kekurangan staf.’ Dengan demikian, diyakini legislasi yang sesuai dan melindungi CMT tidak hanya akan melanggengkan kapabiltias masyarakat tradisional tetapi juga menjamin praktek pengelolaan sumberdaya laut yang effektif dan berkelanjutan. Selain itu, legislasi ini akan mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam hubungannya dengan perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pendanaan praktek pengelolaan sumberdaya laut.
Jawaban terhadap pertanyaan: ‘2. Apakah masyarakat adat juga diharuskan mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat HP3?’ dan Membaca UU No. 27/2007, Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi: ‘Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3,’ dikaitkan dengan Pasal 22 yang hanya mencantumkan kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan dan pantai umum sebagai objek pengecualian HP3 dan pasal 18 yang pada poin c. menyebutkan masyarakat adat sebagai pihak yang dapat diberikan HP3, maka saya berkesimpulan bahwa pasal-pasal HP3 memang mengharuskan masyarakat adat mengajukan hak pengusahaan perairan pesisir untuk mendapatkan sertipikat. Selanjutnya, mengingat masyarakat adat umumnya memiliki sumberdaya manusia dan permodalan yang rendah, oleh karenanya tidak memungkin bagi 2
Realitas keberadaan praktek tradisional pengelolaan sumberdaya laut pada berbagai komuntias adat di Indonesia, menunjukkan keterangan Prof. Ir. Dietiech G. Bengen, ahli dari pihak Pemerintah, mengenai ‘rezim open access dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil’ tidaklah benar. Keberadaan hal adat pesisir/laut menunjukkan bahwa pesisir/laut adalah objek klaim pengelolaan/pemilikan masyarakat. Menurut saya, kebijakan pemerintahlah yang menapikan hukum adat dan keberadaan masyarakat adat yang seringkali memciptakan kondisi open access.
24
mereka untuk mendaftarkan HP3 di luar wilayah adatnya, interpretasi yang logis dari pasal ini adalah bahwa masyarak adat memang diharuskan mendaftarkan wilayah adatnya untuk mendapatkan HP3. Di sinilah letak masalah dari pasal-pasal HP3 ini. Selain bertentangan dengan Pasal 61 UU No. 27/2007 sendiri, pasal-pasal HP3 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2). Keduanya secara tegas berisi pengakuan dan perhormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak, pengetahuan dan kearifan tradisionalnya. Perlu ditambahkan dan ditegaskan bahwa tidak ada satu keteranganpun dalam UU No. 27/2007 yang menjembatani pertentangan antara pasal-pasal HP3 dengan pasal 61 yang berisi pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam hubungannya dengan pertanyaan 1, menurut saya, ketentuan yang mengharuskan masyarakat adat mengajukan permohonan HP3 ini merupakan sumber kegelisahan komunitas-komunitas adat seperti yang telah saya jelaskan di atas. Dalam hubungannya dengan kajian-kajian yang menunjukkan fungsi positif dari masyarakat adat dan hukum adat kelautan seperti halnya apa yang dikatakan Johannes tersebut di atas, pasal-pasal HP3 jelas merupakan kebijakan-kebijakan yang menihilkan kah masyarakat adat dan adatnya. Ini tentu saja sangat menghawatirkan untuk kelanjutan sumberdaya alam, lingkungan dan manusia yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam itu. Jawaban terhadap pertanyaan: 3.Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan (Pasal 21 ayat 5). Bagaimana mungkin masyarakat adat bisa menyajikan bukti ilmiah? Pertanyaan ini merupakan wujud kekhawatiran bapak hakim atas masalah yang akan dihadapi masyarakat adat dengan adanya implementasi HP3. Kami sebagai ahli, juga berbendapat demikian. Kita tahu bahwa dunia ilmiah adalah dunia ilmu pengetahuan ‘modern.’ Dengan demikian apa yang disebut dengan ‘bukti ilmiah’ tentu saja mengacu pada bukti-bukti yang didasari dasar-dasar pemikiran, telahan/kajian dan dan metodologi ilmu pengetahuan modern. Pengelolaan adat yang dilakukan oleh masyarakat adat bukanlah didasari oleh keahlian ilmu modern yang mereka miliki. Adat adalah pengetahuan dan perilaku yang diturunkan dari generasi tua ke generasi muda berdasarkan kebiasaan, bukan atas dasar logika ilmu-ilmu modern. Kalau kemudian orang-orang membuktikan bahwa ternyata praktek-praktek tradisional itu bersesuaian dengan kaidah-kaidah ilmiah, para ahli ilmu pengetahuan modernlah yang melakukan pembuktian itu. Selain menguasai logikalogika dan medote pembuktian, ahli-ahli memiliki cukup biaya untuk melakukan pembuktian-pembuktian itu. Sementara, masyarakat adat, seperti telah saya sebutkan di atas, selain memiliki sumberdaya manusia terbatas juga memiliki keterbatasan dalam hal finansial. Jadi tuntutan untuk memberikan bukti ilmiah pada pengajuan HP3 adalah beban yang tidak mungkin ditanggung oleh masyarakat adat. 25
Jawaban terhadap pertanyaan: 4. Melihat Pasal 21 ayat 5 UU Pesisir, masyarakat adat tradisional tidak mungkin bisa mendapatkan sertifikat HP3. Apakah hal ini inkonstitusional? Bagaimana? Hal yang sama seperti telah saya jelaskan pada jawaban di atas juga berlaku bagi syaratsyarat administratif, teknis dan operasional untuk pengajuan HP3 seperti tercantum dalam Pasal 21 UU No. 27-2007 itu. Persyaratan teknis pada pasal 21 angka (2) huruf a, b dan c serta persyaratan administratif yang tertuang pada pasal yang sama angka (3) huruf a, b, c dan d serta persyaratan operasional yang tertuang pada pasal tersebut angka (4) huruf a,b,c dan d merupakan syarat-syarat yang hampir tidak mungkin, paling tidak sebagian besar, dipenuhi oleh masyarakat adat. Selain keterbatasan sumberdaya manusia dan finansial masyarakat adat, syarat-syarat tersebut di atas juga tidak bersesuaian dengan karakteristik masyarakat adat dan adatnya. Salah satu karakteristik adat tersebut adalah wujudnya yang ‘lisan.’ Hanya sedikit komunitas adat di Indonesia yang memilik tradisi tertulis yang ditunjukkan oleh kememilikan sistem abjad. Mayoritas adat di Indonesia diturunkan dari generasi tua ke generasi berikutnya dalam bentuk dan cerita lisan, sementara syarat-syarat, terutama syarat administratif, pengajuan HP3 menekankan pada pentingnya tulisan. Selain sangat membebani masyarakat adat, persyaratan ini, seperti dikatakan beberapa tokoh adat pada workshop tentang Custumary Insitution in Indonesia: Do They Have a Role in fisheries and Coastal Area Management? pada tahun 2009, objektifikasi atau perumusan pengetahuan dan praktek tradisional oleh peneliti dan yang lainnya mengandung bahaya (International Collective in Support of Fishworkers 2009, hal.21). Kemungkinan apa yang mereka maksud ini adalah bahaya terjadinya pengubahsuaian tradisi itu karena ketidaksesuaian antara kaidah-kaidah akademis (science modern) dengan kaidah-kaidah yang mendasari tradisi, atau keterbatasan pihak-pihak luar itu sendiri dalam merumuskan tradisi mereka. Ketidaksesuaian lain antara hukum adat laut dengan HP3 terkait dengan masa berlaku. Bagi komunitas adat, tentu saja adat berlaku sepanjang masyarakat itu ada dan memberlakukan aturan-aturan dan hak-kah adat itu, sementara HP3 memberi batasan waktu tertentu (Pasal 17 dan 19 UU No. 27/2007). Dengan masalah-masalah seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut saya pasal-pasal HP3 adalah pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi yang terkait dengan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya (UUD 1945 pasal 18 B Ayat (2).
26
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Bapak Hakim Akil Mochtar Jawaban terhadap pertanyaan: 1. HP3 berbeda dengan HPH dan Izin Pertambangan. Ketika berbicara mengena HP3, tak jelas obyek pemberiannya, meski di Pasal 16 berbicara mengenai pemanfaatan. Apa obyek HP3 itu sendiri? 2. Sebagai contoh, hak atas tanah jelas obyeknya, yakni tanah. Juga hak atas tambang yang menyebutkan jenis tambangnya, seperti emas, batubara, mineral, dan gas. Sebaliknya, HP3 tidak jelas obyeknya. Dari aspek itulah, apakah UU Pesisir ini tidak berpotensi menimbulkan persoalan saat dipraktekkan?
Membaca Pasal 16 angka (2), saya berpendapat pasal ini membuka peluang untuk intepretasi bahwa objek HP3 adalah wilayah perairan pesisir (permukaan, kolom sampai dasar laut). Dengan hak itu, pihak yang mendapatkan HP3 mempunyai hak ekslusif untuk manfaatkan areal itu dan menutup pihak lain untuk mengakses dan menggunakannya, dengan beberapa kekecualian seperti tertera pada Pasal 21 angka (4) huruf b dan c. Dengan kemungkinan interpretasi seperti di atas, untuk menjawab pertanyaan no 2, saya bisa membayangkan akan terjadinya marjinalissi nelayan dan atau konflik antara pemegang HP3 dengan pengguna lain dari wilayah atau sumberdaya alam yang ada di dalam wilayah itu. Kalau saya menengok karakteristik nelayan yang berasal dari Buton, Makassar, Madura, Indramayu yang secara tradisional biasa menangkap ikan di berbagai penjuru tanah air, dari mulai Riau sampai Papua, maka mereka akan dipastikan termarjinalkan oleh HP3. Hak ekslusif wilayah yang diberikan kepada pemilih HP3 akan menutup akses nelayan-nelayan ini terhadap wilayah yang menjadi objek HP3. Jika terjadi hal ini, maka dua kemungkinan terjadi: (1) nelayan pendatang itu kehilangan matapencahariannya atau (2) terjadi konflik karena nelayan itu memaksa beroperasi di wilayah itu. Keterpaksaan nelayan beroperasi di tempat itu bisa saja karena desakan kebutuhan ekonomi dan atau merasa memiliki hak memanfaatkan wilayah tersebut berdasarkan kebiasaan beroperasi. Jawaban pertanyaan: 3. Dalam konteks demokrasi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945), apakah masyarakat diberlakukan sama di dalam UU Pesisir? 4. Apakah tidak diberikan hak afirmatif sebagaimana disebut dalam Pasal 28 UUD 1945? Jika saya sempitkan pertanyaan ini dalam hubungannya dengan pasal-pasal mengenai HP3, saya menemukan ketidakkonsistenan dalam perlakuan terhadap pihak-pihak yang terkait HP3. Membaca Pasal 18 huruf a, b dan c, saya tidak menemukan keterangan apapun yang membedakan orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan 27
berdasarkan hukum Indonesia dan masyarakat adat. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa UU ini tidak membedakan pihak-pihak yang bisa mendapatkan HP3. Namun demikian, jika kita menyimak persyaratan-persyaratan operasional yang menyangkut kewajiban pemegang HP3, seperti tertera pasa Pasal 21 angka (4) huruf a,b dan c, tampak bahwa masyarakat lokal dan adat mendapat perlakuan khusus. Demikian juga jika kita memperhatikan Pasal 61 di mana masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional diakui hak adatnya dan kearifan adatnya dijadikan acuan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan ketidakonsistenan perlakuan terhadap pihak-pihak terkait HP3, terutama masyarakat adat, maka bisa dikatakan pemberian hak afirmatif terhadap pihak-pihak yang lemah seperti yang diamanatkan oleh Pasal 28 UUD 1945 juga tidak jelas. Menurut saya, mengacu pada karakteristik masyarakat adat yang memiliki sumberdaya manusia dan finansial terbatas, demikian juga dengan karakteristik nelayan persorangan maupun sebagai masyarakat yang rentan, mayoritas miskin, rendah tingkat pendidikan (secara detail telah saya jelaskan pada persidangan tanggal 27 April 2010), hak afirmatif bagi mereka adalah sebuah keharusan konstitusional. Bisa dipastikan tanpa diberikannya hak afirmatif, masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan nelayan akan kalah bersaing dengan para pengusaha yang dengan sumberdaya finansialnya mampu mengadakan sumberdaya-sumberdaya lain yang dibutuhkannya untuk mendapatkan HP3. Jika ini dibiarkan, berarti ktia membiarkan masyarakat rentan tertindas dan semakin termarjinalkan yang juga berarti membiarkan terjadinya pelanggaran konstitusi. Lebih dari itu, jika kita memahami kenyataan bahwa mayoritas produksi perikanan di Indonesia adalah hasil keringat nelayan kecil yang rentan ini, maka ancaman terhadap nelayan kecil adalah juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan kesehatan di tanah air, terutama masyarakat miskin. Betapi tidak, hasil penelitian The WorldFish Center terakhir menunjukkan bahwa perikanan kecil (small scale fisheries) di Indonesia mampu memproduksi 2.707.315 ton ikan dan 85% diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani domestik. Dengan demikian, gangguan terhadap nelayan kecil merupakan ancaman serius tidak hanya bagi nelayan dan keluarganya tetapi juga pada masyarakat lainnya.
Demikian jawaban saya, semoga menjadi bahan pertimbangan. Wasalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera.
Dedi Supriadi Adhuri Ph.D Penang, 18 Juni 2010. 28