8 OPSI PENANGANAN KENELAYANAN DESTRUKTIF DI PULAU BARRANG LOMPO, MAKASSAR
8.1 Pengantar Tentang apa yang menjadi faktor-faktor penyebab berlangsungnya destructive fishing bertahun-tahun di kalangan masyarakat Pulau Barrang Lompo telah dibahas pada bab 5, bab 6 dan bab 7 (dideskripsikan dalam Gambar 17 di bawah). Pada bab 4 telah diuraikan faktor-faktor penyebab berlangsung kenelayanan destruktif pada tingkat pertama, yakni kultur agresif, kemiskinan, konsumtivisme, cultural proud – cultural burden. Faktor penyebab tingkat kedua diuraikan pada bab 6 tentang interaksi yang eksploitatif dari stakeholder lain terhadap nelayan. Sedangkan faktor penyebab ketiga mengapa kenelayanan destruktif eksis bertahun-tahun di Pulau Barrang Lompo adalah karena perbedaan pandangan tentang pekerjaan nelayan pengguna bom ikan itu, khususnya menyangkut kategori teknologi tangkap, jenis pelanggaran, kerusakan lingkungan laut, dan tentang solusi yang telah dipaparkan pada Bab 7. Praktek destructive fishing telah lama berlangsung di Indonesia, dengan masyarakat Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu contoh kasusnya, paling tidak setelah mereka mempelajari penggunaan peledak (bom) untuk menangkap ikan dari tentara Jepang pada tahun 1940-an (lihat Lampe, 1997; Pet-Soede dan Erdmann, 1998). Masalah ini semakin memprihatinkan sehingga beberapa proyek khusus dilakukan untuk mengurangi destructive fishing. Sejalan krisis ekonomi yang berkepanjangan, praktek DF berlangsung terus sehingga dampak buruk terhadap lingkungan diperkirakan semakin meningkat (lihat Burke et al, 2002). Upaya mengatasi praktek kenelayanan destruktif
bisa dilakukan dengan
menerapkan sejumlah strategi pemberdayaan masyarakat yang cocok untuk situasi yang ada. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu program yang umum diterapkan sebagai pilihan dalam pembangunan secara lengkap dalam arti menjadikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan, bukan semata-mata obyek atau
target
pembangunan
(anthromorphism)
(Bartle,
2005).
Konsep
166
pemberdayaan masyarakat memiliki konteks lebih mengutamakan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan
mendayagunakan potensi yang
dimilikinya untuk menangani permasalahan yang dihadapinya. Potensi utama yang dimiliki mereka adalah pengetahuan, keterampilan, serta kultur yang dimilikinya. Oleh sebab itu, program pemberdayaan masyarakat banyak yang dimulai dengan kegiatan identifikasi potensi masyarakat (Adi, 2003; Bartle, 2005). Salah satu kegiatan penting dalam program tersebut adalah mengidentifikasi wawasan dan peningkatan kapasitas melalui berbagai jenis kegiatan yang menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan, dan sikap. Bab
ini
bertujuan
membahas
opsi
penerapan
sejumlah
strategi
pemberdayaan masyarakat untuk diterapkan dalam rangka menangani sejumlah isu yang terkait dengan praktek destructive fishing.
Hasil kajian ini akan
digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan isu perikanan yang terjadi di Pulau Baranglompo, Sulawesi Selatan, seperti dijelaskan dalam Bab 4, Bab 5 dan Bab 6.
167
Sustainable fishing
Solusi?? Beda pendapat multistakeholder
Fenomena DF
Tingkat ketiga
Penggunaan teknologi destruktif
Perdagangan ilegal material bom
Interaksi eksploitasi Tingkat kedua
Debt working relationship
Pseudo working relationship
Situasi Ketenagakerjaan Riil
Tingkat pertama
Kultur agresif
Referensi perilaku konsumti visme
Gambar 17 Faktor Penyebab DF
kemiskinan
Cultural proudcultural burden
168
8.2 Metodologi Untuk menyusun strategi pemberdayaan dalam rangka mengurangi tekanan praktek destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan Pulau Barrang Lompo, kajian dimulai dengan menganalisis beberapa program kelautan yang sudah ada. Setelah itu barulah melihat program-program apa saja yang sudah pernah diterapkan di pulau tersebut. Selanjutnya digunakan pendekatan A centered key behaviour untuk memulai memilah-milah strategi pemberdayaan yang diperlukan. Adapun definisi pemberdayaan yang akan kami gunakan untuk membahas program aksi atau intervensi dari Departemen Kelautan dan Perikanan maupun berbagai program yang telah diterapkan di Pulau Barrang Lompo adalah dari Ife (1995) yang memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam pembangunan yang mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Menurut pendapat kami, bentuk pemberdayaan dalam bidang kelautan yang ada selama ini bisa dirangkum dalam tiga format program/intervensi/ aksi, yakni awareness, pemberdayaan dan koersif sebagaimana yang tertera pada Tabel 8 di bawah ini.
169
Tabel 8 Jenis intervensi dan contohnya No
Hal
Contoh Penggerak Coremap, Awareness Penyadaran Brosur, iklan, Proyek film, stiker, Pesisir, kaos, beberapa penyuluhan, universitas, nyanyian, revitalisasi adat LSM, dll Coremap, Awareness Pengetahuan Mainan anakIPB, anak (mis.monopoli), beberapa universitas film, muatan lain, LSM lokal di sekolah, penyuluhan, buku, lomba pengetahuan kelautan, Coremap, Pemberdayaan matapencaharian Pengalihan alternative jenis pekerjaan, LSM pengalihan alat tangkap, budidaya
Pemberdayaan Perbaikan sendiri (inisiatif lokal dan kadangkala dengan bantuan dana dari pihak lain) Pemberdayaan Bantuan Koersif
Penggeledahan, penangkapan dan sanksi
Contoh Jenis
Target Munculnya kesadaran pentingnya terumbu karang dan kondisinya yg kritis Meningkatkan pengetahuan penduduk tentang terumbu karang dan pemeliharaannya
Mengurangi beban laut, kesempatan rehabilitasi terumbu karang dan anak ikan sempat besar Rehabilitasi SDL
Penutupan daerah sementara, alih teknologi tangkap
Penduduk lokal
Motor, jaring, modal usaha Penangkapan terhadap nelayan, penjual bom, polisi yang terlibat ; pelarangan beli ikan hasil bom,
Kredit bank Syarat harus tidak pakai bom Pemerintah, Efek jera dari polisi, TNI pihak-pihak yang terlibat AL, jaksa dan hakim
170
8.2.1 Pengumpulan data Obyek penelitian yang dibahas dalam bab
ini adalah strategi
pemberdayaan yang pernah dirancang dan/atau diterapkan untuk masyarakat pesisir, termasuk nelayan, dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Kumpulan strategi ini diperoleh dari website milik Departemen Kelautan dan Perikanan (www.dkp.go.id) yang menyajikan penjelasan program pemberdayaan masyarakat sebagaimana tertera pada Lampiran 3. Selain itu penjelasan ini didukung oleh beberapa laporan tertulis dari strategi pemberdayaan yang ada (diantaranya Laporan Coremap dan Laporan Proyek Pesisir). Rencana aksi nasional dalam rangka menanggulangi kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan dijabarkan ke dalam program-program DKP, yang dapat diklasifikasikan dalam 5 kelompok besar walaupun dalam detil pelaksanaan programnya tumpang tindih : 1)Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2)Budidaya pedesaan 3)Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil 4)Pengembangan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB) 5)Program/Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (MCRMP, COREMAP, COFISH, MFCDP, JFPR, OSRO, dll). Adapun karakter utama dari program-program tersebut tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 9 Karakter program Departemen Kelautan dan Perikanan Program Jenis Bentuk Pendampingan Teknisnya Aksi intervensi bantuan PEMP Kredit Uang pinjaman Ada, Singkat Pemberdayaan mikro Budidaya konservasi Bibit ikan Ada, Singkat Pemberdayaan Ada, Singkat Awareness dan Perikanan eksploitasi Teknologi kadangkala tangkap tangkap dan diikuti dengan teknisnya pemberdayaan KKMB Kredit Uang pinjaman Ada, Singkat Pemberdayaan mikro Ada, Relatif Awareness, Hibah Konservasi Bantuan dana, agak lama pemberdayaan, ketrampilan, dan koersif teknologi,.
171
8.2.2 Jenis metode yang diterapkan Ada beberapa metode yang dipakai untuk menyusun skenario yang mungkin dilakukan untuk mengubah destructive fishing menjadi sustainable fishing di Pulau Barrang Lompo : Pertama, kajian berita-berita pada koran lokal seperti harian Fajar, Ujung Pandang Express, juga koran Kompas. Adapun yang dicermati adalah berita-berita yang muncul tentang kenelayanan destruktif di provinsi Sulawesi Selatan dan reaksi dari masyarakat terhadap destructive fishing. Penelitian dilakukan dengan langsung mendatangi kantor dari harian-harian tersebut, bahkan langsung ke bagian litbangnya dan perpustakaan. Kedua, melakukan wawancara semistruktural terhadap nelayan dengan topik : bagaimana sebenarnya praktek kenelayanan destruktif, tentang kerusakan lingkungan laut, tentang kesejahteraan nelayan, tentang perdagangan hasil laut, prospek usaha kenelayanan (lihat Tabel 10). Tabel 10 Kerangka wawancara untuk solusi No Topik Jenis pertanyaan 1 Kesejahteraan nelayan 1.makna sejahtera 2.penyebab belum sejahtera 2 Kerusakan lingkungan laut 1.penyebab kerusakan laut menurut mereka 2.bom ikan dibandingkan teknologi tangkap lain 3. perdagangan ilegal material bom 4. fishing ground 5.akibat penggunaan bom ikan 6.hasil tangkapan 7.masalah pengawasan 8.kondisi laut sekarang ini 3 Perdagangan hasil laut 1.mata rantai perdagangan 2.harga hasil laut 3.untung-rugi operasi penangkapan 4 Prospek usaha kenelayanan 1.alat tangkap 2.fishing ground 3.kompetitor 4.biaya operasi penangkapan ikan 5.pungutan-pungutan 5 Solusi 1.penghentian kenelayanan pa’es 2.pemberdayaan Ketiga, melakukan diskusi ahli dengan sejumlah akademisi di Universitas Hasanuddin, Pengadilan Negeri Makassar dan DKP. Diskusi dilakukan dengan
172
mendatangi satu persatu
ahli tersebut. Hal yang membantu saya dalam
memahami fenomena destruktive fishing ini adalah beberapa staf DKP kodya Makassar dan pengurus koperasi tersebut ternyata mantan nelayan juga serta pengguna teknologi tangkap destruktif juga. Dari mereka saya memperoleh pemahaman yang lebih detil tentang fenomena nelayan pengguna teknologi perusak.
8.3 Hasil kajian Ada empat hal dari hasil kajian kami dari studi leteratur maupun laporanlaporan berbagai program yang telah dijalankan untuk mengurangi tekanan dari usaha kenelayanan destruktif yang perlu mendapat perhatian, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. Pertama, program-program Kelautan dan Perikanan dari departemen Kelautan dan Perikanan yang mencurahkan sebagian besar kegiatan, dana dan waktunya untuk
dimensi mikro dan tidak banyak yang mengembangkan
kegiatan/intervensi untuk program – program pada dimensi makro dan dimensi mezzo. Dimensi mikro yang dimaksudkan di sini misalnya : income generating, community education, pemasaran sosial, pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Adapun dimensi makro meliputi : policy, peraturan, paket bantuan, insentif pembangunan, market driven. Dimensi mezzo (perlu durasi waktu yang lama), seperti :
penguatan kelembagaan, pendampingan/tenaga ahli
dalam jangka
panjang (Adi, 2003) Kedua, adapun pada pelaksanaan program-program pemberdayaan yang ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan kajian tekstual yang kami lakukan bukan tidak mungkin akan sering terjadi distorsi input program sebagaimana dicoba diuraikan pada Tabel 12, atau tidak terjadi proses pemberdayaan dalam implementasi program-program yang dikembangkan oleh Dirjen Perikanan Tangkap. Sebab utamanya diperkirakan adalah selain rancangan program yang terlalu mengacu pada pembangunan ekonomi juga pemahaman para pelaksana program yang tidak utuh terhadap makna pemberdayaan.
173
Tabel 12 Distorsi input program Departemen Kelautan dan Perikanan Program Partisipasi lokal Rancangan program Komunitas target 1 komunitas sasaran 1 Program dirancang lebih PEMP 1. Partisipasi lebih dimanfaatkan mengacu pada pembangumerupakan sebagai pemasaran persyaratan formal nan ekonomi (peningkatan kredit mikro dari pada untuk mendapatkan penghasilan) dari pada pengembangan usaha pembangunan sosial pinjaman. warga miskin. (misalnya : peningkatan pengetahuan kelautan, perubahan sikap, kerjasama kelompok dll)
2. proses pelaksanaan program lebih bercorak financiing dari pada empowering. 1.Pelaksana program biasanya intensif hanya sampai tahap awal (penyebaran bibit), selanjutnya dilepas
Budidaya pedesaan
1.komunitas lokal hanya menerima arahan dari penggerak program dan tidak diminta inisiatifnya
1.pemilihan budi daya tidak sesuai dengan need dan concern dari penduduk 2. program bersifat parsial 3. idenya konservasi
1.warga dimanfaatkan hanya sebagai tanda bahwa proyek telah dijalankan
Usaha perikanan tangkap skala kecil
1.komunitas lokal hanya menerima arahan penggerak program dan tidak diminta inisiatifnya.
1. tidak sesuai dengan need dan concern penduduk serta bersifat parsial 2. tidak ada target yang jelas pada komunitas penerima program 3. kecenderungannya eksploitasi sumberdaya
1.warga dipaksa mengikuti programprogram yang telah ditetapkan dan kurang memperhatikan felt need mereka
Pelaksana Program 1 Pelaksana program di lapangan lebih berorientasi pada terlaksananya program daripada memaksimalkan kemanfaatan program bagi warga miskin,
1.pelaksana program berorientasi pada selesainya program 2.pola pelaksanaan program bersifat satu arah (topdown)
174
Tabel 12 Distorsi input program Departemen Kelautan dan Perikanan (lanjutan) Program KKMB
Partisipasi lokal
Rancangan program 1. bersifat parsial 2. keberhasilan ditentukan oleh jumlah peserta bukan oleh kemajuan usaha
Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
1. partisipasi komunitas lokal muncul sebagai persyaratan agar proyek akan ada di di lokasi 2. partisipasi hanya karena harapan bahwa ada bantuan.
1.lebih komprehensif dibandingkan program-program lain 2. program disusun berdasarkan pemahaman dan kepentingan pihak tertentu 3. kecenderungannya konservasi dan seringkali mengabaikan kesejahteraan penduduk (marginalisasi)
Komunitas target 1.komunitas sasaran lebih dimanfaatkan sebagai pemasaran kredit mikro dari pada pengembangan usaha warga miskin 1. komunitas sasaran dianggap social amoeba yang merusak lingkungan
Pelaksana program 1. lebih bercorak financiing dari pada empowering.
1. Pelaksana program di lapangan lebih berorientasi pada terlaksananya program daripada memaksimalkan kemanfaatan program bagi warga miskin, 2. Bekerja berdasarkan upah dari proyek (project oriented) 3. Pemilihan wilayah proyek seringkali bukan berdasarkan krusialnya masalah, tetapi lebih berdasarkan aspirasi personal : individual, pemda atau stakeholder tertentu.
175
Hal itu diperburuk dengan sosialisasi program yang dilakukan pelaksana program, sosialisasi hanya dipahami sebatas penyebaran informasi proyek, dan bukan sebagai proses penyadaran masyarakat terhadap visi dan misi program dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat guna memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Penyebab tidak terjadi proses pemberdayaan itu terlihat dari hasil yang dicapai program, yakni : 1) tidak terjadi transfer kapasitas kepada warga miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh warga yang lebih mampu; 2) proses belajar sosial relatif tidak berlangsung, karena program lebih bernuansa economic; dan 3) lembaga lokal masyarakat seringkali lebih berperan sebagai lembaga penyalur kredit dan lembaga pembantu pelaksana program dari pada sebagai lembaga pemberdayaan. Bertolak dari kesimpulan itu, hal yang paling perlu diperhatikan adalah kualitas pelaksana program, yaitu: 1) para pelaksana program perlu mempunyai pemahaman secara baik terhadap konsep pemberdayaan. Dalam perekrutan tenaga di lapang / pelaksana program harus dilakukan secara lebih cermat, dan perlunya pembekalan kepada mereka secara memadai; 2) perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, dengan penekanan bahwa sosialisasi bukan semata penyebaran informasi, tetapi lebih dari itu, yaitu menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya secara mandiri. Oleh sebab itu diperlukan pelaksana program yang mempunyai kualitas memadai, baik segi ketrampilan, pengetahuan maupun kepribadiannya (sabar, tekun dan idealisme tinggi); 3) perlunya pendampingan secara berkelanjutan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat dapat menjamin sustainability penanganan masalah warga khususnya masalah kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di masa depan. Ketiga, relevansi hasil/dampak yang diharapkan dari program/kegiatan terhadap isu terkait destructive fishing, khususnya faktor-faktor penyebabnya, yakni kekurangpengetahuan, kemiskinan dan ketamakan, sebagaimana yang tertera pada Gambar 18.
176
Intervensi Awareness
Isu DF Kurang pengetahuan
Pemberdayaan
Ketamakan, ketidakpedulian
Koersif
Kemiskinan
Gambar 18 Isu DF dan intervensi yang diperlukan
Intervensi-intervensi yang dilakukan berbagai proyek berkenaan dengan isu-isu DF lebih banyak menekankan pada bentuk awareness. Peningkatan kesadaran akan arti penting sumberdaya laut (misalnya terumbu karang) dan peningkatan pengetahuan penduduk tentang sumberdaya laut khususnya terumbu karang menjadi perhatian utama dan juga menjadi entry point untuk ke bentukbentuk intervensi lain. Latar belakang pemikirannya adalah dengan menyadari dan mengetahui sumberdaya kelautan, problem dan manfaatnya, maka orang diharapkan akan berorientasi pada sustainable fishing. Oleh sebab itu umumnya hasil yang menonjol dari berbagai program pemberdayaan yang sudah ada adalah muncul pemahaman masyarakat akan adanya masalah pada lingkungan laut dan akan arti pentingnya sumberdaya laut seperti terumbu karang. Kegiatan pemberdayaan sendiri lebih sering diartikan dari sisi ekonomi, khususnya income generating. Sayangnya, pada banyak kegiatan masih belum menunjukkan keberhasilan yang nyata. Misalnya, pada program Coremap, beberapa tahun terakhir ini program unggulannya adalah rumput laut dan ekoturisme. Boleh dikatakan pengembangan usaha rumput laut melalui program Coremap ini gagal. Problemnya adalah kelemahan teknis budidaya, kelemahan pemasaran dan seringkali pula ada sabotase dari orang-orang yang tidak setuju dengan program Coremap. Sedangkan usaha ekoturisme sudah terbukti tidak memberikan dampak langsung kepada peningkatan kesejahteraan penduduk.
177
Investor dan pejabat-pejabat yang terkait saja yang memperoleh keuntungan dari dikembangkannya ekoturisme. Kesalahan utama mengapa program-program yang dibuat tidak berhasil adalah karena kurangnya melibatkan masyarakat secara partisipatoris dalam perencanaan program. Penggerak program merancang berbagai kegiatan berdasarkan konsep-konsep yang sudah ditetapkan dari pihak sponsor atau yang sudah dibuat di atas meja, bukan berdasarkan realita di masyarakat. Konsepkonsep yang belum tentu sesuai dengan keinginan (concern) dan kebutuhan (need) masyarakat (felt need). Upaya melakukan identifikasi masyarakat dan lingkungannya biasanya dilakukan dalam waktu singkat dengan metode yang kurang partisipatoris. Oleh sebab itu seringkali program yang diterapkan tidak diikuti dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat (non-responsible participation) (Berger, 1980). Partisipasi masyarakat lebih sering terwujud karena adanya harapan bantuan-bantuan dari pihak proyek. Penggerak proyek pun datang dengan konsep-konsepnya yang sudah disusun, kemudian diterapkan ke masyarakat, sehingga tidak terjadi ‘cognitive participation’ sebagaimana diungkapkan panjang lebar oleh Berger (1980). Adapun intervensi yang sifatnya koersif sangat tergantung pada kemauan aparat penegak hukum. Dari pihak penggerak proyek umumnya mengajukan usulan saja dan membentuk juga pengawas yang dicari dari penduduk lokal, seperti reef watcher pada program Coremap atau Kelompok Pengawas Kelautan pada program yang dikembangkan oleh Mitra Bahari dan Lesam di Pulau Barrang Lompo. Keempat, melakukan penilaian peluang penerapan berdasarkan persyaratan atau asumsi yang dipakai pengusul/pengelola projek untuk keberhasilan program pemberdayaan. •
Dana dari pihak sponsor umumnya baru keluar kalau ada indikator bahwa masyarakat sudah ada inisiatif mau melakukan konservasi, misalnya dengan mengadakan DPL (daerah perlindungan laut). Politik bantuan semacam itu menimbulkan partisipasi semu dari masyarakat dengan memenuhi syarat yang harus dilakukan. Biasanya elite masyarakat dan aparat pemerintah lokal yang mengantisipasi persyaratan dari pihak
178
sponsor, agar dana bantuan bisa segera diterima. Akibatnya tidak terjadi partisipasi yang sungguh-sungguh dari masyarakat. Selain itu, sangat rentan terjadi korupsi pada bantuan yang datang. Peluang untuk korupsi terbesar pada aparat pemerintah lokal dan tokoh masyarakat (uang mati). Sedangkan masyarakat lokal tidak mendapat apa-apa. Program pun dipastikan akan berjalan begitu-begitu saja. •
Pihak proyek masih menggunakan paradigma partisipasi yang lama yaitu melewati struktur pemerintahan yang baku, gubernur-walikota/bupaticamat-lurah baru kemudian tokoh masyarakat. Sekarang ini sudah berubah, struktur kekuasaan yang lama itu tidak lagi dipatuhi oleh masyarakat sepenuhnya. Mereka ingin ikut langsung menentukan nasibnya. Tidak mengherankan bila terjadi resistensi saat atau setelah proyek berjalan.
•
Pihak proyek umumnya berorientasi antroposentris yang bersandarkan pada indikator-indikator konvensional untuk mengukur keberhasilan proyek, seperti pertumbuhan. Ketika proyek masih berjalan dan penduduk masih menerima terus bantuan mungkin saja ‘pertumbuhan’ dari indikator keberhasilan yang diukur akan menunjukkan angka yang menaik, tetapi setelah proyek berlalu dan dana bantuan tidak mengalir lagi, besar kemungkinan ‘indikator keberhasilan’ akan turun dengan drastis. Ukuranukuran keberhasilan seringkali ditentukan adanya hal-hal yang bersifat fisik, seperti DPL (daerah perlindungan laut), reef watcher, Kelompok Pengawas Lingkungan Laut, penyebaran kalender-brosur-stiker dan lainlain. Seharusnya ukuran keberhasilan dihitung juga dengan melihat kasuskasus partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan laut.
•
Proyek yang dibangun dengan konsep-konsep yang disusun di atas meja dan bukan berangkat dari kebutuhan nyata (felt need) masyarakat serta tidak melibatkan masyarakat luas dalam perencanaannya (bahkan mungkin dalam pelaksanaannya juga) sehingga tidak memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Dukungan yang muncul biasanya hanya basa-basi masyarakat dan karena ada dana bantuan yang diterima oleh masyarakat. Format kerja semacam ini berlatar belakang sikap yang mengandaikan
179
masyarakat sebagai social amoeba, yaitu sebagai orang miskin yang bodoh, sebagai perusak lingkungan dan kriminal dan lain-lain, bukan melihatnya sebagai manusia yang subyek dari pembangunan. •
Secara teoritis pihak proyek menyebutkan pentingnya kearifan lokal (local wisdom), akan tetapi dalam prakteknya seringkali tidak mengindahkannya dengan berbagai alasan, khususnya bila kearifan lokal itu sudah hampir punah atau sudah punah.
•
Masalah lingkungan di Indonesia kental dengan masalah politik dan kekuasaan, dan pihak proyek seringkali mengabaikan faktor ini dalam perencanaan, sehingga tidak heran banyak program yang terhenti di tengah jalan.
8.4 Pendekatan untuk Perubahan Perilaku Oleh karena perubahan perilaku menjadi target dari studi ini,maka pendekatan yang dipakai untuk mewujudkan hal tersebut adalah a behaviourcentered approach. Adapun skema yang dipakai adalah sebagai berikut : Identifikasi perilaku yang relevan
Fokus kepada perilaku kunci
Menentukan kendala dan benefit
Mengembangkan dan menerapkan program-program untuk mengubah perilaku
monitor dan evaluasi Sumber : Bruce A.Byers, 1995, hlm.18 Gambar 19 Tahapan penyusunan perubahan perilaku
180
8.5 Perilaku Kunci untuk perubahan Perilaku yang diharapkan adalah : berubah dari DF ke SF dengan mengubah perilaku yang sudah didentifikasi. Perilaku di sini dipengaruhi oleh kombinasi faktor pengetahuan, kepentingan, kultur. Perilaku positif yang sebaiknya dipertahankan bahkan dikembangkan terus adalah sebagaimana yang tertera pada Tabel 12.
Tabel 12 Perilaku Kunci nelayan Pulau Barrang Lompo dan implikasinya Perilaku Implikasi Informasi tekstual kunci 1 Perasaan Jika alternatif “dari dulu orang-orang tua selalu bilang ini melanggar ,ayah saya bilang ini bersalah pekerjaan jelas, akan pindah melanggar, kakek saya juga bilang ini melanggar, sampai buyut-buyut saya juga bilang melanggar. Maklum pak, kita ini orang miskin, kalau tidak begini bagaimana kehidupan kita” , tutur kepsek SD dan penjual material bom ikan 2 Takut Harus ada alternatif “kita pikir nasib anak isteri di dipenjara kerja/alat tangkap pulau….makan apa….kalau di penjara terlalu lama,” kata Bh nelayan pa’es yang aman dari kejaran polisi 3 Hormati Kemudahan dalam “kita dengar apa kata punggawa….suruh pemimpin mempekerjakan di ke kanan kita ke kanan, ke kiri kita ke kiri. bawah pengawasan Kalau ada Sawi yang bertengkar, asal kita, syaratnya kita Punggawa sudah bicara semua ikut,”kata adil dalam R – Punggawa Pa’es pengupahan, yang bekerja banyak upahnya juga lebih dibanding yang bekerja kurang 4 Budaya Harus ada bantuan “…lebih enak kerja di perahu joloro mandiri teknologi-finansial sendiri. Tidak ada yang nyuruhuntuk nyuruh...,”jawab Bh. mendorongnya keluar dari pekerjaan nelayan Pa’es Cukup fleksibel “orang pulau…apa-apa yang bisa jadi 5 Pernah untuk pindah kerja variasi uang dikerjakan,” encik M.pegawai kerja perusahaan karang dan ikan hias untuk akuarium
181
Perilaku Implikasi Informasi tekstual kunci 6 Betah di Bagus untuk “…kerja di laut itu keras, berhari-hari laut pekerjaan di laut dimakan ombak….itu kehidupan kita. Biar di pulau, kita sering tidur di kapal ”tutur Rn nelayan Pa’es menangani “…maksudnya biar ada badai dan ombak 7 Pemberan Bisa penuh besar di laut, kalau kapal sudah berangkat i dan pekerjaan risiko, misal dari pulau, lebih baik mati tenggelam agresif (siri’ na petugas keamanan bersama kapal, daripada pulang tanpa di laut pacce) hasil,” jelas Bu St (sanro/dukun kelautan) tentang makna ritual kenelayanan 8 Biasa Mudah dipindahkan “…mana-mana yang ada hasil saja. Kalau tinggal di ke lokasi lain, yang kita dengar di sana banyak hasil, orang rantau penting tidak lepas pulau mau tinggal, apalagi kalau ada hubungan keluarganya di sana,” kata pak S, pemilik kekeluargaan warung Italy dengan di pulau (mis.di Balikpapan, Sorong,dll) Sumber : hasil penelitian penulis di Pulau Barrang Lompo Catatan : Tahap inisiasi : menekankan penghentian dagang ilegal material bom ikan dan hukuman penjara bagi nelayan (selama ini denda). Awareness dalam penyuluhan dan brosur/stiker/ spanduk ditekankan pada hukuman penjara (perilaku kunci 1,2,3). Tahap pemberdayaan : menekankan pada variasi pekerjaan dan pendampingan jangka panjang (perilaku kunci 4,5,6,7,8) Ada beberapa kondisi aktual di daerah penelitian yang menguntungkan untuk melakukan perubahan ke arah kenelayanan yang lebih ramah lingkungan (benefit), setidaknya ada 7 kondisi sebagaimana tertulis di bawah ini. Kondisi 1. Pada saat penelitian ini dilakukan sudah terjadi penghalauan terhadap nelayan pelaku destructive fishing, misal yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Barru. Bila hal ini bisa dilakukan secara massal di berbagai tempat akan menyebabkan terhentinya DF dengan sendirinya Prosesnya : melakukan program awareness ke daerah-daerah nelayan, khususnya yang perairannya menjadi fishing ground DF. Kondisi 2. Telah munculnya kesadaran akan perusakan lingkungan akibat penggunaan alat tangkap destruktif seperti potassium sianida, yang kini nelayan penggunanya sudah dikejar penduduk lokal dengan parang. Pemerintah harus bisa
182
membuktikan tentang bahayanya teknologi destruktif bom ikan. Prosesnya : program awareness. Kondisi 3. Pada saat penelitian ini berlangsung, perang terhadap korupsi sedang gencar-gencarnya di provinsi Sulawesi Selatan. Sepatutnya sasaran target pelaku korupsi juga termasuk oknum petugas keamanan dan oknum penegak hukum. Setiap pemerasan terhadap nelayan yang diketahui seharusnya diganjar hukuman keras, misal langsung dipecat dari kedinasannya. Prosesnya : tindakan hukum (koersif) Kondisi 4. Ketika penelitian ini dilakukan, pembasmian perdagangan ilegal bahan pembuat bom ikan maupun racun potas sianida sedang gencargencarnya dilakukan, yakni dengan menangkapi para pedagang dan pendukung serta yang backingnya. Prosesnya : tindakan hukum (koersif) Kondisi 5. Ketika wawancara di lapang, nelayan selalu bertanya-tanya jenis alat tangkap alternatif ramah lingkungan. Mereka merasa perlu sekali teknologi alternatif itu, karena harga bom ikan dirasakan semakin mahal dan ketidaknyamanan dari kejaran petugas keamanan pada waktu mencari ikan. Selain itu, nelayan sebenarnya juga sudah mulai menyadari bahwa ikan di laut sudah mulai sulit diperoleh.
Nelayan berharap dibantu sepenuhnya dukungan dana
untuk beli alat itu. Sampai kini belum ada solusi dari pemerintah. Prosesnya : pemberdayaan Kondisi 6.Telah munculnya kesadaran teritori laut (ethno-territory) yang membatasi nelayan-nelayan lain mencari ikan di dekat pulau mereka atau wilayah mereka, misalnya sikap nelayan-nelayan dari Pulau Kappoposang yang melarang orang Pulau Barrang Lompo untuk mencari ikan di wilayah perairan pulau mereka. . Hal ini sebenarnya memberi kesempatan bagi pemerintah untuk masuk dan mengatur penggunaan laut, tidak lagi open access seperti dulu. Juga pengaturan alat tangkap apa yang sebaiknya dipakai. Prosesnya : awareness Kondisi 7. Satu hal yang penting perlu dikemukakan di sini bahwa sudah begitu banyak jumlah upaya atau intervensi yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi tekanan destructive fishing di Pulau Barrang Lompo, dengan rincian sebagai berikut dalam Tabel 13 :
183
Tabel 13 Tahun 1997/1 998 1999
Daftar Upaya Penghentian Destructive Fishing di Pulau Barrang Lompo Intervensi Jenis Tempat Agen penggerak Tujuan Stiker, poster, dll awareness Di pulau Coremap Penyadaran Surat pemerintah, pengumuman lisan di masjid, Kunjungan Pejabat pemerintahan dan pejabat keamanan ke pulau ini
awareness
Di pulau
awareness
Di pulau
2001
Pembentukan Kelompok Pecinta Lingkungan Laut
awareness
Di Makassar
2002/2 003
Mulai sering ada training/penyuluhan ttg larangan DF dan pentingnya terumbu karang Penangkapan nelayan pengguna bom ikan dan pedagang material bom
2000
2003
2004
Di pulau awareness
Koersif
Di seluruh perairan Sulawesi Selatan Di pulau
Pembagian kalender, brosur, pemutaran film dll Pembentukan DPL (daerah perlindungan laut)
awareness Pemberda yaan
Di pulau
Pembentukan Pokwasmas (Kelompok Pengawas Masyarakat) untuk Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi dan Pulau Bonetambung Majlis taklim Al-Ikhsan
awareness
Di pulau
awareness
Di pulau
Penangkapan besarbesaran terhadap nelayan maupun pedagang ilegal
Koersif
Tahun 2005
Intervensi Mendatangkan nelayan Madura dgn alat tangkap jarring
Jenis awareness
2005
Pembentukan koperasi Ata Matuna
Pemberda yaan
Di pulau (distributor besar tertangkap di Makassar) Tempat Di perairan Selat Makassar / perairan Spermonde Di pulau
2005
Pertemuan antar para pihak di Makassar
awareness
2004/2 005 2005
2004/2 005 2005
Di Makassar
Aparat pemerintah, khotib Kapolda, utusan Walikota, Kapolairud, Kapolres, dll (dilantik dgn SK Walikota dan disaksikan juga oleh anggota DPRD) Pemerintah maupun LSM
Penyadaran dan Peringatan akan sanksi Perubahan perilaku dan peringatan akan sanksi Perubahan Perilaku
Polisi
Memberi efek jera
LSM, Mitra Bahari LSM, Mitra Bahari, mahasiswa LSM, Mitra Bahari dan pemerintah lokal
Penyadaran
Pengetahuan dan Perubahan Perilaku
Perubahan Perilaku Penyadaran dan perubahan perilaku
LSM dan Guruguru SMP Polisi
Perubahan Perilaku Penghentian total
Agen penggerak Pemerintah-DKP kodya Makassar
tujuan Perubahan Perilaku
Nelayan pulau, DKP kodya Makassar, Mitra Bahari dan Lesam DKP Makassar dan polisi
Perubahan Perilaku
Perubahan Perilaku dan penghentian total
184
Berdasarkan tabel di atas, di Pulau Barrang Lompo ini setidaknya sudah ada 9 kali program awareness yang telah diterapkan, 2 program pemberdayaan dan 2 program koersif untuk mengurangi tekanan destructive fishing. Implikasinya, penduduk sudah terkondisikan untuk bisa menerima penghentian praktek penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap. Perubahan ke arah kenelayanan yang ramah lingkungan tentu memerlukan proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Penentangan tidak hanya berasal dari kalangan nelayan saja (kendala), tetapi juga dari pihak-pihak yang terlibat perdagangan ilegal material teknologi destruktif tersebut. Secara rinci pihak-pihak tersebut adalah : 1) Punggawa Pa’es, 2) Perdagangan ilegal : punggawa malaysia-punggawa Pare-pare - punggawa Makassar – punggawa pulau, 3) Polisi : sektor 1, pelabuhan, polair, polda, polres, poltabes
4) jalur
pabalolang Punggawa Pa’es, khususnya Punggawa Pulau yang memiliki kapal diuntungkan banyak sekali, karena dari operasi penangkapan ikan dia memperoleh banyak bagian, mulai dari kapal, mesin, kompresor, alat selam, perbekalan. Ikanikan yang ditangkap oleh nelayan dihitung dan diberi harga olehnya.Selanjutnya dia jual ke Makassar. Aktor-aktor di jalur perdagangan ikan / pabalolang juga sangat diuntungkan karena mereka yang menentukan harga jual dan memperoleh keuntungan dari rantai penjualan hasil tangkapan nelayan Pa’es. Pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan ilegal material bom juga memperoleh banyak keuntungan karena monopoli dan penentuan harga sepihak. Polisi memperoleh banyak keuntungan dari ’uang polisi’ yang harus disetorkan nelayan khususnya setelah pulang dari pelayaran. Dari pihak nelayan sendiri problem utamanya adalah mereka sudah tidak terbiasa lagi menggunakan alat tangkap lain selain bom. Ada ungkapan dari nelayan seperti ini : ”kalau nelayan pintar memancing itu lucu...” Mereka sudah sangat lama tidak menggunakan alat tangkap lain, sehingga susah untuk pindah ke alat tangkap lain.
185
Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan nelayan dalam pertemuan Paotere (lihat Bab 7) pola pandang pemerintah bahkan termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan kotamadya Makassar masih bias daratan (hinterland oriented), mereka lupa bahwa teknologi nelayan mahal sekali, sesuatu yang jauh berbeda bila dibandingkan di daratan seperti kerja tani atau yang sejenisnya. Mereka hanya bisa bilang teknologi tangkap harus diganti, tetapi tidak menyediakan atau membantu dana pembelian teknologi, dan menganggap itu urusan nelayan sendiri. Adapun problem terbesar yang menyulitkan penghentian praktek penggunaan bom ikan ini adalah tiadanya trust di kalangan masyarakat Pulau Barrang Lompo terhadap penggerak program, aparat pemerintah maupun penegak hukum. Berbagai program yang datang ke pulau ini diterima dengan curiga dan pandangan bahwa orang tidak memperhatikan nasib nelayan pulau ini serta hanya mengambil keuntungan dari nelayan. Sikap ini muncul karena 1) para nelayan telah bertahun-tahun sebagai bound group yang menyimpan rahasia perdagangan ilegal material bom ikan maupun penggunaannya sebagai alat tangkap, sehingga kehadiran orang-orang’asing’ dengan program-programnya disikapi dengan kecurigaan dan antipati, 2) para penggerak program selama ini bersikap ‘memusuhi’ masyarakat nelayan pulau ini dengan menyebut-nyebut keburukan dari praktek destructive fishing. Belum ada upaya-upaya yang lebih ramah untuk mengajak nelayan berhenti dari kerja nelayan bom ikan dan menggantinya dengan alat tangkap yang ramah lingkungan, dan 3) sudah berlangsung bertahuntahun nelayan harus memberikan ‘upeti’ kepada oknum-oknum tertentu. 8.6 Skenario perubahan Skenario perubahan yang dimaksudkan di sini adalah proses yang mungkin dilakukan untuk berubahnya perilaku DF menjadi lebih ke arah SF, dalam arti variabel potensi (kondisi aktual) untuk perubahan itu sudah ada saat riset ini berlangsung. Jadi, hanya tinggal mengantisipasi dan mengarahkannya untuk proses perubahan. Tahap Inisiasi : Skenario yang paling memungkinkan untuk memulai perubahan ini adalah adanya kebijakan dari pusat untuk menghentikan destructive fishing secara sungguh-sungguh dan sebaiknya dipimpin oleh pejabat setingkat menteri, karena ini terkait penuh dengan masalah korupsi yang dilakukan oleh
186
oknum penegak hukum dan juga keuntungan-keuntungan bagi oknum pengelola perikanan. Perdagangan ilegal dimungkinkan terjadi karena oknum pengelola perikanan maupun oknum penegak hukum berperilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip profesi yang seharusnya dijalankan. Selain itu, harus dilakukan tindakan tegas terhadap kapal-kapal besar yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal
dan atau kapal-kapal besar yang juga menggunakan teknologi
destruktif. Tahap Awareness : Bersamaan dengan adanya kebijakan dari pusat tersebut, maka dilakukanlah upaya-upaya peningkatan pengetahuan penduduk lokal, khususnya yang berkaitan dengan kelautan dan
kerusakan lingkungan laut,
misalnya dengan menyelenggarakan penyuluhan, memasukkan pelajaran kelautan sebagai muatan lokal pada tingkat SD, SMP dan SMA. Lebih cepat apabila didirikan Sekolah Menengah Perikanan atau Sekolah Tinggi Perikanan di pulau ini. Melalui sekolah tersebut bisa dikembangkan perubahan perilaku. Ruangruang marine station milik Unhas bisa dimanfaatkan sebagai ruang sekolah tersebut. Tahap teknologi alternatif : pelarangan saja tidak ada manfaatnya kalau tidak diberikan teknologi alternatif yang memadai dalam memberikan hasil bagi si nelayan. Sekadar melarang saja tanpa memberikan bantuan dana, sungguh sangatlah sulit. Usaha kenelayanan membutuhkan modal yang luar biasa besar, berbeda dengan kerja di daratan yang relatif lebih sedikit modal (low capital). Selama ini semua pihak hanya melarang, tetapi tidak memberikan bantuan dana untuk membeli teknologi alternatif. Dalam membicarakan teknologi alternatif ini, seharusnyalah pihak-pihak seperti punggawa darat, punggawa laut dan pabalolang diikutsertakan, karena merekalah yang sesungguhnya mempunyai kekuatan riil di masyarakat, baik kekuatan kapital maupun kekuatan politik lokal. Pada tahap ini bisa dilakukan perubahan formasi sosial dengan memberi bantuan teknologi dan kapital kepada nelayan-nelayan potensial. Dengan demikian menghilangkan ketergantungan absolut kepada para punggawa selama ini. Tahap income generating : nelayan yang terbiasa memperoleh banyak penghasilan dengan cepat tentu ingin memperoleh hasil yang sama walaupun ada perubahan teknologi. Pada tahap ini bisa dikenalkan berbagi macam jenis usaha
187
melalui kursus-kursus singkat, seperti membuat souvenir, menjahit,
potong
rambut, pedagang kelontong, memasak roti dan makanan, fotografi, sablon dan mencetak undangan, dan lain-lain. Peserta kursus bisa dipilih dari nelayan yang ingin pindah pekerjaan atau kepada anggota keluarga lain, seperti isteri dan anak remaja. Tahap budidaya : perlunya dikembangkan usaha budidaya ikan, lola, kima, ikan-ikan komersial seperti ikan Sunu, kerang mutiara, dan lain-lain. Marine station milik Unhas beserta para dosen Unhas bisa berperan dalam hal ini sebagai agent of change.
Kolam-kolam yang dimiliki oleh Unhas di pulau ini bisa
didayagunakan sebagai percontohan budidaya, misalnya budidaya Kima yang harganya cukup tinggi.
8.7 Pembahasan Perubahan orientasi kerja nelayan yang menggunakan teknologi tangkap destruktif ke nelayan yang menerapkan prinsip perikanan berkelanjutan berdasarkan literatur maupun hasil-hasil penelitian yang sudah ada bisa melalui : 1) tumbuhnya kesadaran sendiri, 2) melalui proses pendidikan, dan 3) melalui regulasi yang ketat dan sanksi yang keras. Sehingga kini belum ada laporan contoh keberhasilan penghentian destructive fishing di Indonesia, oleh karena itu agak sulit mencari model pembanding. Cara yang terbaik sebenarnya adalah apabila tumbuh kesadaran sendiri untuk berubah. Contoh proses perubahan atas kesadaran sendiri dari pengguna teknologi destruktif menjadi nelayan yang menerapkan perikanan berkelanjutan adalah laporan penelitian dari kasus di Thailand. Penduduk lokal semenjak lama menggunakan teknologi destruktif sehingga lingkungan laut rusak. Tumbuh kesadaran di kalangan mereka sendiri dan mencoba mengorganisir diri untuk memperbaiki lingkungannya dengan melarang penggunaan teknologi destruktif dan menghalau nelayan luar yang menggunakan teknologi destruktif di perairan lokal. Bertahun-tahun kemudian sumberdaya di lingkungan perairan lokal menjadi lebih baik dan bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat (the second round of common property).
188
Regulasi yang ketat harus dibarengi dengan sanksi yang memberi efek jera. Problemanya penyusunan regulasi hingga kini masih dirasakan banyak pihak sebagai sisi lemah. Undang-undang no 21 tahun 2004 masih dipertanyakan banyak pihak untuk penerapannya. Peraturan pelaksanaannya pun belum selesaiselesai hingga kini. Selain itu, regulasi yang ketat juga memerlukan pengawasan yang ketat, yang selama ini dirasakan sebagai kendala besar bagi penggerak program di mana-mana. Dana untuk pengawasan yang kecil, aparat yang terbatas jumlahnya dan fasilitas yang minimal merupakan keluhan-keluhan yang sering didengar. Padahal inilah cara yang sebenarnya paling mungkin untuk jangka pendek, tetapi situasi di lapang justru menunjukkan inilah cara yang paling sulit diperoleh hasil yang memuaskan. Kini banyak dilakukan orang adalah upaya-upaya melalui pendidikan. Intervensi-intervensi berupa awareness dan pemberdayaan dikembangkan untuk mencapai perubahan yang diharapkan. Kendala terbesar pada cara ini adalah program-program dijalankan tidak dengan menggerakkan partisipasi masyarakat secara utuh. Sikap-sikap penggerak masyarakat yang melihat komunitas lokal sebagai social amoeba sering dikritisi banyak pihak, sayangnya tidak ada perubahan. Selain itu, upaya ini dibutuhkan program-program jangka panjang yang menguras kesabaran dan dana dari penggerak program. Dalam jangka pendek sulit sekali diperoleh hasil yang jelas sebagai dampak dari program. Dari ketiga cara proses untuk berubah ini sebenarnya cara yang pertama yang paling ideal, tetapi jarang diupayakan oleh berbagai pihak dengan sungguhsungguh. Prasyarat tumbuhnya kesadaran sendiri untuk berubah bisa melalui modal sosial yang sudah dipunyai, misalnya melalui tokoh-tokoh informal yang dihormati. Perubahan DF ke SF merupakan proses yang panjang dan membutuhkan kesungguhan para stakeholder untuk bersama-sama mengelola program-program. Program yang ada seharusnya bukan hanya bersifat rehabilitasi sumberdaya laut yang periodik, tetapi seharusnya sejumlah program jangka panjang dan berkesinambungan serta dilakukan oleh multistakeholder, dengan cara kemitraan (partnership). Kemitraan dimaksudkan sebagai pola interaksi multistakeholder yang saling menghargai dan saling membesarkan.
Pemerintah, khususnya
189
Departemen Kelautan dan Perikanan berperan besar untuk menjadi fasilitator. Kemitraan ini dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap yang telah disebutkan di atas. Adapun untuk
menyusun program-program untuk menghentikan
kenelayanan destruktif, menurut pendapat kami, perlu kiranya ‘memperkuat’ 4 faktor kunci. Penerapan program-program tersebut harus berkesinambungan dan terancang dengan baik serta pendekatan penggerak program kepada masyarakat yang benevolent (ramah, bukan destruktif). Adapun faktor kunci dan solusi awalnya sebagaimana yang tertera pada Gambar 20. Faktor kunci Pendorong : 1. pandangan multistakeholder 2. insentif 3. risiko
Solusi awal 1. 2. 3. 4.
Awareness terhadap para pihak Program pemberdayaan Pelaku dipenjara sebagai efek jera pendekatan benevolent terhadap punggawa.
5.
Tersedianya alternatif teknologi yang ramah lingkungan Pekerjaan alternatif
4. modal sosial
Mata pencaharian alternatif 6.
7.
Penegakan hukum 8.
9. Pendidikan lingkungan
Tindakan koersif terhadap pelaku DF: nelayan, pedagang material bom dan ikan, kapal besar/asing yang melakukan DF Mengendalikan pemasaran ikan: dilarang beli ikan hasil bom. Melanggar akan dikenai sanksi berat (market driven)
Melanjutkan dan mengembangkan program-program community basedmanagement yang sudah berjalan
Gambar 20 Faktor kunci positif untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing dan solusi awal yang perlu dilakukan
Penghentian kenelayanan destruktif ini diawali dengan menghentikan perdagangan ilegal material bom ikan. Selama ini upaya penghentian perdagangan ilegal material bom ikan hanya sampai strata ketiga (lihat Gambar 12 bab 5
190
tentang aliran modal dan material bom ikan), yakni pedagang antar pulau dan Punggawa Pulau. Strata kedua (Punggawa Makassar, Punggawa Gallesong dan Punggawa Sinjai) dan strata pertama (Punggawa Pare-pare) sejauh informasi yang diperoleh di lapang, belum pernah ada tindakan yang sungguh-sungguh terhadap mereka. Bila kebijakan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menurunkan drastis praktek destruktif dalam usaha kenelayanan dari masyarakat di pulau Barrang Lompo, sebagaimana telah terbukti terjadi pada periode penelitian ini. Ketika pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan operasi besar-besaran memberantas praktek penggunaan alat tangkap ikan yang destruktif, dengan diantaranya menangkap para pedagang material bom ikan, maka suplai material untuk merakit bom ikan kepada nelayan menjadi sangat terbatas. Konsekuensinya sedikit sekali nelayan Pa’es yang melakukan usaha penangkapan ikannya dengan menggunakan bom. Bersamaan dengan tindakan koersif di atas, sebaiknya dilakukan juga upaya-upaya penghentian praktek penggunaan bom ikan ini dengan datangnya para penggerak program yang bersikap santun dan ramah, dalam arti bersikap ‘mengajak’ (persuasif) masyarakat untuk berubah dari DF ke responsible fishing. Selama ini yang sering terjadi, para penggerak program menyuruh orang berhenti melakukan destructive fishing
dengan sikap dan cara yang ‘destruktif’
(menyebut-nyebut kerja nelayan bom ikan sebagai suatu keburukan dan tidak bergaul dengan mereka), semestinya sikap yang ditampilkan para penggerak program adalah sikap yang bersahabat, ramah dan bergaul dengan penduduk (friendly and benevolence). Selanjutnya, pembentukan daerah-daerah perlindungan sangat diperlukan karena perairan sudah rusak, sebagaimana hasil penelitian Pusat Studi Terumbu Karang Universitas Hasanuddin bahwa perairan di Kepulauan Spermonde sudah rusak total, sehingga hanyalah sekitar 37 % terumbu karang yang masih baik, apalagi perairan Pulau Barrang Lompo hanya sekitar 20 % terumbu karang yang masih baik. Dalam lingkup minor disusun daerah-daerah perlindungan (DPL) prioritas yang merupakan daerah-daerah ‘pengasuhan” (nursery). Penentuan dan format pengelolaan DPL seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan
191
multistakeholder. DPL yang pernah diselenggarakan selama ini boleh dikatakan umumnya hanya bersifat sepihak, sehingga seringkali gagal di tengah jalan, sebagaimana kasus DPL untuk perairan 3 pulau : Pulau Bonetambung, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Barrang Caddi. DPL diselenggarakan di tiga pulau ini juga berdasar keprihatinan terhadap kondisi perairan yang memburuk, sayangnya masyarakat tidak pernah diajak bicara, hanya berupa sosialisasi bahwa akan ada DPL. Rambu-rambu yang diletakkan mengelilingi DPL juga tidak dibicarakan dengan masyarakat, seperti apa bentuknya dan di mana ditaruhnya (dimana saja letak areal DPL).
Usaha ini hanya berjalan sebentar saja, rambu-rambu yang
menunjukkan keberadaan DPL hilang dalam waktu singkat. Penyusunan rehabilitasi perairan ini seharusnya disusun dalam suatu kerangka kebijakan kelautan regional, tidak hanya perairan Kepulauan Spermonde, tetapi seharusnya disusun suatu kebijakan kelautan regional, misal perairan provinsi Sulawesi Selatan.
Bahkan kebijakan kelautan regional yang
lebih luas, misalnya dengan mengajak Provinsi Nusa Tenggara, provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jawa Timur yang sekarang ini juga menjadi fishing ground bagi nelayan Pa’es. Rasionalnya, daerah-daerah penangkapan ikan yang rusak perairan harus diperbaiki secara serentak.
Bila tidak kehancuran
kondisi perairan suatu daerah segera terjadi. Selanjutnya, pemanfaatan produktif ramah lingkungan yang ditekankan dengan penyediaan
teknologi alternatif ramah lingkungan.
Harga teknologi
tangkap yang mahal membutuhkan bantuan finansial untuk pembeliannya. Bila dibebankan pada nelayan sendiri akan sangat sulit untuk terwujud.