HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONDOM DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MENULAR SEKSUAL PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL DI WILAYAH PUSKESMAS DUREN, KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG
Maria Ratna Pertiwi Arie Wuryanto, SKM, M.Kes Lisa Dwi Astuti, SST, M.Keb
Abstract Background: Sexually Transmitted Infection (STI) is a disorder or diseases that is happened because of unhealthy sexual activity, so there is an infectious disease that is transmitted through the sexual contact. The infectious of Sexually Transmitted Infection (STI) can be reduced and prevented by using the contraception, and one of contraception that can be used is condom. Objective: The goal of this study is to determine the correlation between using condom with the incidence of Sexually Transmitted Infection in female sex workers in Duren Public Health Center, District Bandungan. Method: This study used cross sectional approach, in which measurements are made at the same time or one-time, data collection is done by using interviews using a questionnaire. Data analysis using Spearman statistical test, the number of respondents as many as 78 people and sampling techniques used simple random sampling. Results: most of the female sex worker (84.6%) aged 20-35 years, the majority (62.8%) serve 1-3 customers per day, there are 32 people of female sex workers who suffer from PMS, the majority (61.5%) said that always use condoms during serve customers, using condoms (pvalue = 0.166) was not related with the incidence of Sexually Transmitted Infection in the region Duren Healthy Center, Sub-District Bandungan. Conclusion: using condoms does not affect the incidence of sexually transmitted diseases in female sex workers in Duren Public Health Center, District Bandungan Keywords: Sexually Transmitted Infection, using condom
Population and Development (ICPD), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksinya. Salah satu ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah tentang pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR) termasuk PMS-
Kerangka Pemikiran Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sedangkan definisi menurut Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan International Conference on 1
Walaupun kesadaran akan kondom sebagai metode kontrasepsi yang efektif dan sebagai alat perlindungan terhadap penyakit menular seksual sangat meningkat akhir-akhir ini, namun masih banyak yang harus diupayakan untuk mencapai tingkat penggunaan kondom yang tepat. Terutama pada wanita yang berisiko tinggi untuk terpapar maupun menyebarkan penyakit menular melalui hubungan seksual. Aria Pranata dalam penelitiannya yang berjudul hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit menular seksual di Puskesmas Padang Bulan Medan menggolongkan kelompok resiko tinggi yang mudah terserang PMS yaitu seseorang berdasarkan usia (20 – 34 tahun pada laki – laki, 16 – 24 tahun pada wanita, 20 – 24 tahun pada kedua jenis kelamin), wisatawan, wanita pekerja seksual, pecandu narkotik, homoseksual. Hal itu berarti kelompok yang mempunyai risiko tinggi untuk terpapar penyakit PMS salah satunya adalah Wanita Pekerja Seksual (WPS) (80%) dan cara penularannya adalah melalui hubungan seksual (95%). Wanita Pekerja Seksual (WPS) adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan kelamin dengan seorang lawan jenis diluar ikatan perkawinan yang sah dengan maksud mendapatkan kepuasan seksual atau keuntungan materi bagi diri sendiri ataupun orang lain. WPS tidak terlepas dari perilaku bergantiganti pasangan sehingga menjadi kelompok yang rentan untuk terkena IMS maupun ISR. Selain menjadi kelompok yang rentan terkena IMS dan ISR, WPS juga bisa menjadi sumber penularan IMS dan ISR. Sebagai penyedia jasa layanan seks, WPS tentu akan berusaha
HIV/AIDS. Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) adalah istilah umum terhadap tiga tipe infeksi yaitu penyakit dan infeksi menular seksual (PMS), infeksi-infeksi endogen vagina, dan infeksi-infeksi yang berhubungan dengan prosedur saluran reproduksi. Ketiga jenis infeksi saluran reproduksi ini pada umumnya saling berpengaruh dan dapat terjadi bersamaan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama dalam memberikan asuhan kepada masyarakat luas, di mana hal tersebut sangat membantu dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Setiap tahunnya ada sekitar 30.000 orang menderita penyakit menular seksual, sebagian besar (50%) perempuan tidak menyadari dirinya terinfeksi. Jumlah kasus penyakit menular seksual di provinsi Jawa Tengah sendiri pada tahun 2013 terhitung sebanyak 10.479 kasus, jumlah tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2012 yang tercatat sebanyak 8.671 kasus. Infeksi saluran reproduksi (ISR) yang cara penularannya melalui hubungan seksual dapat dikurangi dan dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi yang paling praktis dan cukup efektif untuk mencegah penularan infeksi saluran reproduksi (ISR) maupun penyakit menular seksual (PMS) adalah kondom. Kondom merupakan alat kontrasepsi yang paling mudah untuk ditemui, tidak perlu resep dokter, tidak perlu diawasi, dan juga mencegah penularan penyakit kelamin. Kondom sangat efektif digunakan sebagai alat kontrasepsi yang dapat mencegah penularan penyakit kelamin apabila digunakan secara benar dan tepat. 2
berjumlah 440 orang dan dari hasil pemeriksaannya didapatkan 28,4% dari WPS yang sudah datang mengidap PMS. Jumlah kejadian penyakit menular seksual selama bulan Januari 2014 sampai bulan Desember 2014 adalah 125 kasus PMS yang terdiri dari servisitis 102 kasus (81,6%), urethritis 6 kasus (4,8%), gonorrhoe 2 kasus (1,6%), trikomoniasis 2 kasus (1,6%), kandidiasis 2 kasus (1,6%), lain-lain (BV, Bubo Kondilomata, LGV) 11 kasus (8,8%). Salah satu upaya penanganan yang sudah dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menurunkan angka kejadian penyakit yang ada dan untuk mencegah adanya peningkatan kejadian penyakit infeksi lainnya yaitu dengan membagikan kondom kepada WPS sebanyak ± 2.147 kondom selama bulan Januari 2014 sampai bulan Desember 2014. Berdasarkan data terbaru yang didapatkan dari medical record Klinik Chrysant Puskesmas Duren, sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kejadian PMS di kalangan WPS yaitu selama bulan Januari 2015 sampai bulan April 2015 sudah didistribusikannya ±1206 kondom kepada WPS, namun masih ditemukan sebanyak 92 kasus PMS dengan macam yang berbeda-beda seperti servisitis 89 kasus, urethritis 1 kasus, gonorrhoe 1 kasus, lain-lain (BV, Bubo Kondilomata, LGV) 1 kasus.
memaksimalkan kepuasan konsumen dengan berbagai macam cara. Sebagai contoh, untuk menghindari beralihnya konsumen ke WPS lain, seorang WPS akan selalu melayani keinginan konsumen, misalnya dengan memenuhi permintaan konsumen untuk tidak menggunakan kondom. Dalam keadaan ini, posisi WPS sangat lemah karena sebagian besar dari mereka dihadapkan pada tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lemahnya posisi di hadapan klien tersebut menyebabkan WPS tidak bisa menjalankan safe seks untuk terhindar dari penularan IMS ataupun menderita penyakit ISR. Ditemukannya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) memacu perhatian yang lebih besar terhadap pengedalian PMS. Menurut laporan bulanan kegiatan Volluntary Conseling, and Testing (VCT) di Klinik Chrysant, Puskesmas Duren selama bulan Januari 2014 sampai bulan September 2014 terdapat 3 kasus baru HIV, 2 diantaranya adalah WPS dan 1 orang merupakan ibu rumah tangga. Didapatkan adanya hubungan yang kuat antara penyebaran konvensional PMS dan penularan HIV, baik PMS dengan ulkus maupun tidak. Hal ini terbukti meningkatkan risiko penularan HIV secara seksual. Kegawatan dan penyebaran infeksi HIV serta AIDS menyebabkan pengelolaan dan pengendalian PMS lainnya perlu ditingkatkan Data yang didapatkan dari medical record Klinik Chrysant Bandungan selama bulan Januari 2014 sampai bulan Desember 2014, jumlah WPS yang datang untuk mendapatkan layanan PMS yaitu
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, variabel independennya yaitu penggunaan kondom. Dalam penelitian ini, variabel dependennya yaitu kejadian PMS. Penelitian ini menggunakan jenis hipotesis alternatif (Ha): Ada hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian PMS pada WPS. Tempat penelitian di 3
jawaban sesuai kenyataan yang dialami Responden. Dalam penelitian ini analisis bivariat berfungsi untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian PMS pada WPS di Puskesmas Duren, Kecamatan Bandungan. Teknik analisis bivariat yang digunakan adalah dengan menggunakan metode analisis data non parametric dengan uji statistik yang digunakan Spearman.
Puskesmas Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik, dimana penelitian ini menganalisis hubungan antara variabel (variabel bebas dan variabel terikat). Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah cross sectional, dimana pengukuran atau pengamatan dilakukan pada saat bersamaan atau sekali waktu. Dalam penelitian ini populasi yang digunakan yaitu seluruh WPS yang memeriksakan diri ke layanan IMS Klinik Chrysant, yaitu berjumlah 295 orang. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel yaitu seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi (WPS yang datang ke layanan IMS klinik Chrysant) dan dengan kriteria eksklusi WPS yang menolak menjadi responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan Probability Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling, yaitu mengambil sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden. Peneliti melakukan wawancara kepada WPS di wilayah Puskesmas Duren selama bulan Desember 2014 sampai bulan April 2015. Data sekunder diperoleh dari medical record Klinik Chrysant, Puskesmas Duren, Kecamatan Bandungan. Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner dan mendapatkan hasil pemeriksaan medis dari medical record Klinik Chrysant. Kuesioner yang digunakan yaitu bersifat terbuka, dimana tidak ada nilai benar ataupun salah karena
Hasil Penelitian Data yang diperoleh peneliti dari Klinik Chrysant dalam kurun waktu Desember 2015 sampai April 2015 terdapat 334 kunjungan layanan IMS yang dilakukan oleh WPS. Sedangkan untuk responden yang peneliti gunakan yaitu berjumlah 78 orang WPS. 78 WPS yang dijadikan responden penelitian, sebagian besar yaitu 65 orang (83.3%) berusia 20-35 tahun. Sebagian besar WPS yaitu 49 WPS (62.8%) melayani 1-3 orang pelanggan tiap harinya, hanya 5 orang WPS yang melayani pelanggan >5 orang tiap harinya. Dari 78 responden, ternyata responden yang tidak menderita PMS jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan responden yang menderita PMS, yaitu sejumlah 46 responden (59%) tidak menderita PMS sedangkan yang menderita PMS terdapat 32 responden (41%). Dari total keseluruhan 32 jenis PMS yang ditemukan peneliti, jenis PMS tertinggi pada WPS di Puskesmas Duren yaitu servicitis dengan jumlah 24 kasus (75%) dan jumlah kasus terendah yaitu urethritis dan gonorrhoe dengan masing-masing ditemukan 1 kasus. Dapat diketahui bahwa sebagian besar responden/WPS di Puskesmas Duren sejumlah 48 4
berperilaku rentan untuk tertular PMS dikarenakan mereka pada umumnya memiliki jumlah pasangan seks yang lebih banyak dan memiliki frekuensi berganti-ganti pasangan dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Sebagian besar WPS yaitu 49 orang WPS menyatakan bahwa melayani 1-3 orang pelanggan setiap harinya. Adapula 10 responden yang menyatakan dapat melayani lebih dari 5 pelanggan tiap harinya seperti misalnya ada 1 responden yang menyatakan dapat melayani sampai 10 orang setiap harinya. Setiap melakukan hubungan seksual, seorang WPS mempunyai peluang untuk menularkan dan tertular oleh PMS. Hal yang sulit diketahui adalah menyadari bahwa dirinya terinfeksi PMS ataupun mengidentifikasi pelanggan yang menderita PMS. Maka diperlukan pengetahuan dari WPS itu sendiri untuk lebih memahami ciri-ciri dari penyebaran PMS. Menurut pernyataan dari salah satu petugas kesehatan di Puskesmas Duren, WPS diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu wanita pekerja seksual langsung dan tidak langsung. Wanita pekerja seksual langsung (WPSL) yaitu wanita yang secara terbuka menjajakan seks di rumah kost. Sementara wanita pekerja seksual tidak langsung (WPSTL) adalah wanita yang menjajakan seks secara terselubung. WPSTL juga dapat diartikan sebagai wanita yang bekerja di panti pijat/ spa/ bar/ karaoke/ diskotik/ kafe dan hotel/motel, namun dibalik pekerjaannya itu mereka terkadang juga melayani pelanggan untuk berhubungan seksual. Dalam kurun waktu kurang lebih 5 bulan dengan 20 kali
orang WPS (61,5%) selalu menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual melayani pelanggan, namun masih ada 1 orang WPS (1,3%) yang menyatakan tidak pernah menggunakan kondom saat melayani pelanggan, 29 orang WPS (37,2%) lainnya menyatakan kadang-kadang memakai kondom saat berhubungan seksual melayani pelanggan. Pada kelompok WPS yg mengalami PMS, proporsi terbanyak terjadi pada mereka yg tidak pernah memakai kondom. WPS yang tidak pernah menggunakan kondom saat melayani pelanggan mempunyai proporsi terbesar terinfeksi PMS (100%) jika dibandingkan dengan WPS yang selalu menggunakan kondom (35.4%). Adapun macammacam PMS yang ditemukan meliputi servicitis, urethritis, gonorrhoe, dan lain-lain (BV, Bubo Kondilomata, LGV). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji spearman diperoleh pValue sebesar 0.178, pValue > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan kondom dengan kejadian penyakit menular seksual. Pembahasan Distribusi umur penting untuk diperhatikan, karena semakin muda umur seorang wanita, semakin rawan pula untuk tertular PMS. Remaja mudah terkena PMS disebabkan karena sel-sel organ reproduksi yang belum matang. Umur merupakan salah satu variabel yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seksual seseorang sehingga dalam melakukan aktivitas seksual orang lebih dewasa memiliki pertimbangan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang belum dewasa. Usia muda 5
Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan, didapatkan hasil bahwa dari total keseluruhan 78 responden, sebagian besar yaitu 48 responden (61.5%) menyatakan selalu menggunakan kondom saat melayani pelanggan terhitung selama kurun waktu 1-2 minggu sebelum dilakukan wawancara. Ada banyak alasan bagi mereka mengapa selalu menggunakan kondom, seperti misalnya menjaga kebersihan, menjaga kesehatan, mencegah supaya tidak hamil, supaya aman, mencegah supaya tidak tertular penyakit kelamin. Alasan tersebut memang sesuai dengan teori yang ada dimana salah satu kegunaan kondom adalah untuk mengurangi kemungkinan penularan penyakit kelamin. Dalam penelitiannya yang membahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kondom untuk pencegahan PMS pada WPS di Lokalisasi Sukosari Bawen Kabupaten Semarang, Rizka F memaparkan bahwa faktor pengetahuan dan ketersediaan kondom mempengaruhi tingkat kepatuhan seorang WPS menggunakan kondom. Terdapat 29 responden (37.2%) yang kadang-kadang menggunakan kondom dengan berbagai alasan, misalnya karena pelanggan menolak menggunakan kondom atau responden menyatakan saat melayani pelanggan menggunakan kondom dapat mengurangi kenikmatan seksual, ada pula yang menyatakan tidak menggunakan kondom hanya saat berhubungan seksual dengan pacarnya sendiri, kecenderungan kondom yang mudah sobek saat melayani pelanggan dengan usia yang cukup muda juga menjadi salah satu alasan responden tidak
kunjungan layanan IMS, telah didapatkan 32 kasus PMS dengan 5 macam jenis PMS yang berbeda yaitu servicitis 24 kasus (75%), kandidiasis 2 kasus (6.3%), urethritis 1 kasus (3.1%), gonorrhoe 1 kasus (3.1%) dan lain-lain (BV, Bubo Kondilomata, LGV) 4 kasus (12.5%). Kasus tertinggi masih sama dengan tahun 2014 yaitu servicitis. Walaupun dari hasil penelitian didapatkan tidak lebih dari 50 % responden yang menderita PMS, namun dengan jumlah 32 responden (41%) yang menderita PMS cukup perlu mendapat perhatian karena dengan jumlah yang sedemikian rupa juga mampu menyumbang angka penularan PMS di lingkungan sekitarnya. Fokus utamanya yaitu dengan kegiatan WPS yang sering berganti-ganti pasangan seksual atau mempunyai lebih dari satu pasangan seksual serta kadang menyepelekan untuk menggunakan kondom menjadikan WPS sebagai salah satu agen yang berperan penting dalam penularan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pipit R, Artathi E dan Warni F tentang beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian PMS di Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas tahun 2011 dipaparkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit menular seksual, seperti penyebab penyakit / agent (penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa), tuan /host (umur, jenis kelamin, pilihan dalam hubungan seksual, lama bekerja sebagai pekerja seks komersial, status perkawinan, pemakaian kondom), dan faktor lingkungan (faktor demografi, faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor medik).
6
Sebagian besar WPS yaitu 61.5% menyatakan selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual melayani pelanggan namun masih terdapat 37.2% yang tidak teratur atau hanya kadang-kadang menggunakan kondom saat melayani pelanggan bahkan ada 1 responden yang menyatakan tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pelanggan. Walaupun kesadaran akan kondom sebagai metode kontrasepsi yang efektif dan sebagai alat perlindungan terhadap penyakit menular seksual sangat meningkat akhir akhir ini, masih banyak yang harus diupayakan untuk mencapai tingkat penggunaan kondom yang tepat. Kemanjuran kontraseptif dan pencegahan penyakit menular seksual harus saling dikaitkan dan dipromosikan secara luas. Kondom yang pada dasarnya digunakan sebagai kontrasepsi dan pelindung, namun jika konturnya tidak baik maka tidak akan melindungi tapi akan menjadi salah satu penyebab menularnya PMS dari penggunanya. Jika penggunaan kondom sudah benar dan teratur namun masih terdapat kegagalan dalam penggunaannya maka satusatunya alasannya adalah kerusakan dari kondom itu sendiri. Kerusakan yang dimaksud misalnya kondom yang sobek akibat dorongan ejakulasi atau ada lubang yang sangat kecil sehingga kondom tidak berfungsi efektif. Hal ini terjadi sesuai dengan kasus pada WPS di wilayah Puskesmas Duren dimana sebagian besar dari mereka menyatakan kondom yang dipakai terkadang sobek ataupun pelicinnya kurang sehingga ada beberapa yang enggan menggunakan kondom. Terdapat 17 orang WPS yang mempunyai suami dan termasuk dalam WPS yang terinfeksi PMS,
selalu menggunakan kondom, demikian jawaban yang disampaikan responden pada peneliti. Terdapat 1 responden (1.3%) yang menyatakan tidak pernah menggunakan kondom dikarenakan memang dari keinginan diri sendiri yang tidak ingin menggunakan kondom dan takut kehilangan pelanggan karena biasanya pelanggan enggan menggunakan kondom dikarenakan mengurangi kenikmatan seksual. Hal tersebut memang merupakan salah satu keterbatasan kondom dimana dengan penggunaan kondom dapat mengganggu hubungan seksual (mengurangi sentuhan langsung) dan pada beberapa pengguna kondom dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan ereksi. Dalam bukunya yang membahas tentang infeksi menular seksual, Tana susilawati memaparkan bahwa sebagian penyedia jasa layanan seks, WPS tentu akan berusaha memaksimalkan kepuasan konsumen dengan berbagai macam cara. Sebagai contoh, untuk menghindari beralihnya konsumen ke WPS lainnya, seorang WPS akan selalu melayani keinginan konsumen, misalnya dengan memenuhi permintaan untuk tidak menggunakan kondom. Dalam keadaan ini, WPS akan mengalami kesulitan untuk melakukan penawaran karena sebagian besar dari mereka dihadapkan pada tuntutan ekonomi yang mengharuskan mereka tetap melayani pelanggan walau tidak menggunakan kondom. Hal itu berbeda dengan kejadian dilapangan dimana 47 responden (60,3%) menyatakan selalu meninggalkan pelanggan ketika pelanggan menolak untuk memakai kondom saat berhubungan seksual. 7
prevention behavior), adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya menggunakan kondom saat berhubungan seksual melayani pelanggan. Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas fasilitas kesehatan, misalnya melakukan pemeriksaan PMS rutin di Puskesmas atau tempat kesehatan yang memberikan layanan PMS. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya meminum obat yang diberikan dokter secara teratur dalam rangka pemulihan dari PMS sampai penyakit benar-benar sembuh. Dalam hal perilaku kesehatan, salah seorang koordinator WPS di wilayah Puskesmas Duren menyatakan bahwa hampir seluruh WPS di wilayah Puskesmas Duren mempunyai kesadaran yang kurang dalam hal PMS, kesadaran dan kemauan untuk melakukan pemeriksaan rutin, banyak diantara mereka yang harus dipaksa terlebih dahulu untuk mau mengikuti pemeriksaan PMS.
salah satu kemungkinan yang bisa terjadi apabila tidak terdapat hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian PMS pada WPS saat melayani pelanggan yaitu bisa saja yang terinfeksi PMS merupakan suami dari WPS tersebut atau juga bisa berasal dari WPS yang mempunyai pacar dan menyatakan bahwa tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pacar. Namun dalam hal penggunaan kondom antara WPS dengan suaminya tidak dikaji lebih dalam sehingga kepastian apakah WPS terpapar PMS dari pelanggan atau suami atau pacar pun tidak dapat dibuktikan. Oleh sebab itu, hal ini diduga sebagai penyebab tidak adanya hubungan antara penggunaan kondom dengan kejadian PMS pada WPS di wilayah Puskesmas Duren. Secara umum kejadian PMS yang terjadi pada WPS juga dipengaruhi oleh perilaku kesehatan WPS itu sendiri. Menurut Menurut Becker (1979) perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit. Dalam hal ini salah satu cakupan perilaku kesehatan yaitu perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya) maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni perilaku pencegahan penyakit (health
Kesimpulan 1. Sebagian besar wanita pekerja seksual (WPS) di wilayah Puskesmas Duren berumur 20-35 tahun yaitu berjumlah 66 orang WPS (84.6%).
8
PMS dan berbagai risiko dari PMS apabila tidak ditangani. Dapat meningkatkan kesadaran untuk teratur menggunakan kondom saat berhubungan seksual melayani pelanggan serta rutin mengikuti pemeriksaan PMS, karena dengan rutin mengikuti pemeriksaan maka bisa mendapatkan penanganan lebih dini apabila terpapar PMS 3. Perlu dilakukan pendataan tentang jumlah wanita pekerja seksual karena dengan mengetahui jumlah keseluruhan wanita pekerja seksual maka dapat memudahkan untuk melakukan pemerataan pelayanan PMS. Dengan mengetahui jumlah wanita pekerja seksual juga dapat memudahkan untuk melakukan pendekatan pada wanita pekerja seksual secara merata dan menyeluruh.
2. Sebagian besar wanita pekerja seksual (WPS) di wilayah Puskesmas Duren melayani 1-3 orang pelanggan tiap hari yaitu berjumlah 49 orang WPS (62.8%). 3. Sebagian besar wanita pekerja seksual (WPS) di wilayah Puskesmas Duren yaitu 46 orang (59%) tidak menderita PMS, dan 32 orang WPS (41%) lainnya positif menderita PMS dengan macam PMS yang berbeda-beda seperti servisitis, kandidiasis, gonore, dan lain-lain (BV, bubokondilomata, LGV). 4. Sebagian besar wanita pekerja seksual (WPS) di wilayah Puskesmas Duren yaitu 48 orang (61,5%) selalu menggunakan kondom saat melayani pelanggan. 5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan kondom dengan kejadian penyakit menular seksual, hal tersebut berdasarkan uji statistik penelitian dengan menggunakan uji spearman yang mendapatkan pValue sebesar 0,178 (pValue >0,05).
Daftar Pustaka 1. Nugroho, Taufan. Obsgyn obstetri dan ginekologi. Cetakan I. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2012. h. 37, 42. 2. Tri W, Elisa U, Suparmi. Buku ajar kesehatan reproduksi. Jakarta : EGC ; 2014. h.2, 138. 3. Rita Y, Tri J. Asuhan kebidanan komunitas. Jakarta : Salemba Medika ; 2011. h.19-20. 4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Jawa Tengah. 2013. [Diakses tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 15.55 WIB]. Didapat dari:http://www.dinkesjatengprov .go.iddokumen2014SDKMibangk esprofil2013profil2013fix.pdf 5. Djamhoer M, R Sulaiman, Abdul B. Bunga rampai obstetri dan ginekologi sosial. Jakarta :
Saran 1. Diharapkan peneliti lain bisa melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian PMS pada wanita pekerja seksual (WPS) di wilayah Puskesmas Duren, Kecamatan Bandungan selain berdasarkan kepatuhan penggunaan kondom, misalnya berdasarkan umur, lama bekerja, jumlah pelanggan dan kepatuhan melakukan pemeriksaan. 2. Diharapkan wanita pekerja seksual dapat mencari informasi secara mandiri tentang macam 9
Edisi pertama. Jakarta : CV. Trans Info Media ; 2009. h.23041, 342-48. 15. Uliyah, Mar’atul. Awas KB! Panduan aman dan sehat memilih alat KB. Yogyakarta : Insania ; 2010. h.26-42. 16. Djuanda, Adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2013. h.383-4. 17. Manuaba, Ida Bagus Gde. Penuntun kepaniteraan klinik obstetri dan ginekologi. Jakarta : EGC ; 2003. H 279. 18. Intan K, Iwan A. Kesehatan reproduksi untuk mahasiswa kebidanan dan keperawatan. Edisi Kedua. Jakarta : Salemba Medika ; 2013. h.28-9, 128-9. 19. Hidayat, A. Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data. Jakarta : Salemba Medika ; 2007. h. 43, 50-3, 67-81, 85-98. 20. Setiawan A, Saryono. Metodologi penelitian kebidanan DIII, DIV, S1, dan S2. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2010. h. 84-104, 123-31. 21. Dahlan, M, Sopiyudin. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta : Salemba Medika ; 2010. h.46-53. 22. Rizka F, Rini S, Eko M. Faktorfaktor yang berhubungan dengan penggunaan kondom untuk pencegahan PMS pada WPS di Lokalisasi Sukosari Bawen Kabupaten Semarang.2012. [Diakses tanggal 1 Juni 2015 Pukul 19.30 WIB]. Didapat dari : http://jurnal.unimus.ac.id/index.p hp/psn12012010/article/view/113 9 23. Choiriyah F, Kriswiharsi K. Faktor-faktor yang berhubungan
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2005. h. 291-2. 6. Sulistyawati, Ari. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta : Salemba Medika ; 2011. h.55-8. 7. Leon S, Philip D. Pedoman klinis kontrasepsi. Jakarta : EGC ; 2005. h. 264. 8. Pranata, Aria. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit menular seksual di Puskesmas Padang Bulan Medan. 2010 [Diakses tanggal 30 Oktober 2014 pukul 07.30 WIB]. Didapat dari : http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/20356. 9. Dewi, Ratna. Buku ajar kebidanan komunitas. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2011. h. 36-7. 10. Susilawati T. Infeksi menular seksual : terkendalikah?. Edisi pertama. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada ; 2004. h. 24. 11. Nur B. Hubungan tingkat pengetahuan, higiene perorangan dan penggunaan kondom dengan kejadian bacterial vaginosis pada pekerja seks komersial di Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon Kota Semarang tahun 2009. 2009. [Diakses tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 15.55 WIB]. Didapat dari : http://lib.unnes.ac.id/2513/ 12. Marmi. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar ; 2013. h. 2-5, 151-156, 193, 3225. 13. Eni K. Kesehatan reproduksi remaja dan wanita. Yogyakarta : Salemba Medika ; 2012. h. 127130. 14. Pinem, Saroha. Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. 10
26. Afriana, Nurhalina. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi gonore pada wanita penjaja seks komersial di 16 Kabupaten/Kota Indonesia (Analisis data sekunder survei terpadu biologi dan prilaku.2011. [Diakses tanggal 9 Juni 2015 Pukul 15.00 WIB]. Didapat dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2 0303165-T30668%20%20Faktor%20faktor.pdf
dengan kejadian infeksi menular seksual (IMS) pada wanita pekerja seksual (WPS) usia 2024 tahun di Resosialisasi Argorejo Semarang.2014. [Diakses tanggal 1 Juni 2015 Pukul 19.30 WIB]. Didapat dari : http://eprints.dinus.ac.id/6724/1/j urnal_14231.pdf 24. Pipit R, Artathi E dan Warni F. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian PMS di Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas tahun 2011.2011. [Diakses tanggal 9 Juni 2015 Pukul 14.30 WIB]. Didapat dari : http://www.ojs.akbidylpp.ac.id/in dex.php/Prada/article/view/35 25. Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat (Ilmu & Seni). Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta ; 2011. h.139-43.
11