Manusia Makhluk Bidimensional Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Qur’an “Manusia itu secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil yang hinggap di pohon-pohon. Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat ‘arsy Tuhan, yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit”. (Jalaludin Rumi).
Pendahuluan Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu, menurut al-Qur‘an, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut. Ia memiliki potensi dalam dirinya, yang menjadikannya dalam bahasa al-Qur‘an makhluk unik, berbeda dari yang lain. Dalam al-Qur‘an, manusia disebut sebagai makhluk yang amat terpuji dan disebut pula sebagai makhluk yang amat tercela. Hal tersebut ditegaskan dalam berbagai ayat, bahkan ada pula yang ditegaskan dalam satu ayat.1 Ini bukan berarti bahwa ayatayat al-Qur‘an bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat dimensi ganda. Menurut al-Aqqad, pujian dan celaan yang dialamatkan kepada manusia, tidak berarti bahwa manusia dipuji dan dicela dalam waktu yang bersamaan, melainkan berarti bahwa dengan fitrah yang telah disiapkan baginya, manusia dapat menjadi makhluk yang sempurna dan dapat pula menjadi makhluk yang serba kurang. Karena ia dibebani kewajiban (taklif) maka ia dapat menjadi makhluk yang berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang berbuat buruk.2
1
Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (Q.s. al-Tin/95: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk itu dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (Q.s. al-Isra/17: 70). Tetapi di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (Q.s. Ibrahim/14: 34), sangat banyak membantah (Q.s. AlKahf/18: 54), dan masih banyak lagi. 2
Abbas Mahmud, al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11.
1
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai keajaiban alam, berada di dalamnya tetapi melampauinya.3 Bagaimana manusia mampu melampaui alam dimana ia berada? Adalah karena ―kesadaran‖nya, sebab manusia merupakan makhluk free consious actifity (bertindak secara sadar),4 kesadaran mengenai realitas yang ada dan mengenai alternatif-alternatif untuk memperbaikinya. Dalam kaitan itu di sisi lain, terdapat pandangan bahwa manusia lahir secara organis dalam kondisi ―belum selesai‖ dalam kaitannya dengan sifat yang relatif dari struktur instinktifnya. Dunia manusia tidak terprogram dengan sempurna (sekali jadi), tetapi mesti dibentuk oleh aktivitas manusia itu sendiri. Pembentukan dunia manusia tidak dapat berlangsung secara individual, tetapi dalam proses dialektik-fundamental yang terjadi di dalam interaksi antar manusia di tengah-tengah masyarakat melalui eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.5 Dalam pandangan tersebut, manusia dalam realitas kehidupannya selalu berada dalam proses ―menjadi‖ yang tiada pernah henti. ―Menjadi‖ (becoming) dalam arti berproses, selalu berkembang, bertambahberkurang ke arah martabat kemanusiaan yang hendak dicapainya yakni
manusia
seutuhnya, atau sebaliknya. Memahami manusia berarti memahami bahwa manusia tidak hanya tertancap di bumi, melainkan juga merupakan nur-ruh Ilahi. Bahwa manusia mampu mengalahkan malaikat dalam hal kearifan, merdeka dan karenanya mampu menghidupi diri dan bertanggungjawab.6 Dengan demikian bisa dipahami sebagaimana al-Aqqad bahwa manusia adalah makhluk bertanggungjawab dan berkewajiban, yang diciptakan dengan
3
Lihat, Erich Fromm, Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61. 4
Ungkapan tersebut merupakan ―definisi‖ yang paling signifikan mengenai karakteristik manusia oleh Karl Marx sesuai kutipan Erich Fromm, Revolusi Harapan, h. 59. 5
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu, suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula dalam bentuk kefaktaan yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produsen itu sendiri. Sedangkan internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektifasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas seni generis, unik. Dan melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat. Lihat, Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 4-7. 6
Lihat, Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah Sugeng Rijono dan Farid Gaban (Bandung: Mizan, 1992), h. 134.
2
unsur-unsur ketuhanan.7 Dalam konteks tersebut, roh merupakan dimensi ketuhanan dalam diri manusia, yang memungkinkannya dapat mencapai ketinggian derajat hingga mampu berhubungan dengan Tuhan. Pengaruh roh pada manusia adalah timbulnya dorongan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Jasad yang berasal dari tanah lumpur merupakan simbol yang menunjuk pada kecenderungan manusia pada keburukan, kejahatan, kerendahan, kehinaan, stagnasi, dan mati. Pengaruh unsur tanah ini membuat manusia memiliki dorongan-dorongan primitif (nafsu). Hal senada pada dasarnya banyak disinggung dalam al-Qur‘an di antaranya seperti Q.s. al-Syams/91: 7-8. Muthahhari melihat bahwa dalam mengisahkan tentang Adam, al-Qur‘an menyampaikan banyak ajaran moral dan didikan, seperti manusia mampu mencapai stasiun kreativitas Ilahi, kapasitas pengetahuan manusia tak terhingga, kekurangan malaikat di bidang pengetahuan, kapasitas manusia untuk melampaui derajat malaikat, akibat-akibat buruk kerakusan dan kesombongan, bagaimana dosa dapat menjatuhkan manusia dari derajat wujud yang tertinggi, bagaimana penyesalan dan tobat dapat menyelamatkan manusia dan mengembalikannya ke stasiun yang dekat dengan Allah, dan peringatan agar manusia tidak membiarkan dirinya disesatkan oleh nafsu setaniah. 8 Dengan komposisi seperti itu bisa dimaklumi, bila kemudian manusia mengandung potensi benturan dan ketegangan di dalam dirinya. Tulisan ini berusaha mendiskusikan masalah kecenderungan manusia terhadap kebaikan dan keburukan, makhluk dua dimensi yang secara sadar berkehendak menentukan pilihan dan menyadari urgensi mempertanggungjawabkan perbuatannya, berangkat dari petunjuk al-Qur‘an. Istilah Manusia Dalam al-Qur’an Apakah dan siapakah manusia? Pertanyaan ini selalu menarik perhatian manusia untuk dijawab oleh manusia sepanjang zaman. Sebagian potensi dan sifat manusia telah terungkap lama tetapi sebagian lainnya belum dan bisa jadi tidak. Bahkan menurut Alexis Carrel, manusia adalah kunci misteri bagi ilmu pengetahuan. Manusia dalam
7
al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‘an, h. 20.
8
Murtadha Muthahari, Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A. Hasan (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), h. 45-46.
3
banyak hal dapat diketahui oleh dirinya, tetapi akan lebih banyak hal yang tidak ia ketahui. Meneliti manusia sama saja dengan meneliti kemustahilan.9 Dari pendapat di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam penciptaannya terdapat roh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh, kecuali sedikit. Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah dengan merujuk kepada wahyu Ilahi agar kita dapat menemukan jawabannya. Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur‘an untuk menunjuk kepada manusia, yang masing-masing memiliki pemaknaan tersendiri, yaitu al-basyar, al-nas, al-ins dan al-insan.10 Penggunaan kata basyar dalam keseluruhan al-Qur‘an, mengindikasikan bahwa al-basyariah pada konteks tersebut berarti dimensi material dari manusia, yang suka makan dan berjalan-jalan di pasar. Pada dimensi inilah, seluruh anak cucu adam bertemu dalam keserupaan yang paling sempurna. Menurut al-Raghib, kata basyar adalah jamak dari kata basyarat ―kulit‖. Manusia disebut “basyar‖ karena kulit manusia tampak berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya. Kata ini di dalam al-Qur‘an secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia. 11 Al-Qur‘an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual), untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan keserupaannya dengan manusia pada umumnya dalam hal kemanusiawian dengan sifat-sifatnya yang material:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.s. alKahf/18: 110). 9
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), 44-45. 10
Lihat, Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur‟an. Penerjemah M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 7. 11
Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an (Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961), h. 28.
4
Adapun kata al-nas, al-ins dan al-insan dalam al-Qur‘an tidak pernah digunakan untuk arti manusia secara fisik, melainkan masing-masing memiliki intensi makna yang khusus, saling berbeda satu sama lain. Kata al-nas, dalam al-Qur‘an disebutkan sekitar 240 kali sebagai nama jenis (secara mutlak) untuk keturunan Adam, satu spesies di alam semesta. Antara lain:
. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.s. al-Hujurat/49: 13).
Sedangkan kata al-ins dan al-insan, keduanya mempunyai intensi makna yang serumpun karena berasal dari akar kata yang sama yaitu ―‖أ ن س, yang menunjukkan arti lawan dari kebuasan. Namun, di dalam retorika al-Qur‘an masing-masing dari kedua kata tersebut mendapat intensi makna yang berbeda. Kata al-ins selalu disebutkan bersama dengan kata al-jin sebagai perbandingan. Dalam al-Qur‘an disebutkan sebanyak 18 kali. Di sini, intensi makna al-insiyyah sebagai lawan dari kebuasan adalah arti yang sangat jelas karena perbandingannya dengan kata al-jin yang dalam pengertiannya yang asli adalah kesamaran yang seram — seirama dengan kebuasan. Oleh karena itu, penyebutan al-insiyyah ini sekaligus menunjukkan bahwa jenis kita berbeda dengan jenis-jenis lain yang menakutkan, tidak terketahui, tidak terproses menjadi kita dan mempunyai kehidupan yang lain dari kehidupan kita. Kemudian, kata al-insan tersebut di dalam al-Qur‘an sebanyak 65 kali. Dalam kata al-insan, nilai kemanusiaannya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifiknya untuk tumbuh menjadi al-ins, sebagaimana juga ia tidak hanya sebagai manusia secara fisik yang suka makan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Tetapi lebih dari itu, ia
5
sampai pada tingkat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi, menerima beban taklif dan amanat kemanusiaan.12 Karena hanya manusia saja lah yang dibekali dengan al-„ilmu, al-bayan, al-„aql dan al-tamyiz. Sekaligus dengan konsekuensi dia harus berhadapan dengan ujian kebaikan dan kejahatan, serta ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya. Juga optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi di antara spesiesspesies lain di alam semesta. Namun, keangkuhan dan kesombongan membuatnya lupa bahwa ia adalah makhluk yang lemah, yang melintasi perjalanan dunia dari alam misteri sampai alam ghaib, di atas jembatan yang mengantarkannya ke liang lahat.
. . Apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?. (Tidak), Maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (Q.s. Al-Najm/53: 24-25).
Antara Tanah dan Roh; Positivitas dan Negativitas Hampir semua agama meyakini bahwa hidup manusia didukung oleh dua unsur atau komponen, yaitu unsur yang bersifat fisik dan unsur metafisik (rohani, spiritual). Fisik terdiri atas tubuh atau raga, sedangkan metafisik adalah unsur ―dalam‖ (inner self) diri manusia yang biasanya disebut ruh atau nafs (jiwa). 13 Namun, substansi roh atau jiwa sampai saat ini baik secara ilmiah maupun agama tetap merupakan sesuatu yang misterius. Kalaupun bisa diketahui masih terbatas pada gejala-gejalanya yang dalam ilmu modern disebut dengan psikologi, ilmu tentang gejala-gejala jiwa. Bahkan Nabi Muhammad saw. pun saat ditanya oleh seseorang mengenai hakikat roh ini, Tuhan memberi jawaban lewat Nabi: “Katakan Muhammad bahwa persoalan ruh adalah urusan Tuhanku. Ilmu yang diberikan kepadamu sangat terbatas sehingga tidak mungkin menjangkau atau mengetahui secara hakiki tentang substansi ruh itu”. (Q.s. al-Isra‘/17: 85). Rupanya nalar manusia tidak dipersiapkan untuk mengetahui hal-hal yang memang di luar jangkauan dan kapasitasnya, salah satunya adalah masalah roh. Keyakinan seperti itu terdapat juga pada agama-agama ―budaya‖, misalnya Mesir Kuno, 12
Lihat analisis Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 12-15, dan M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, cet. 10 (Bandung: Mizan, 2000), h. 278-280. 13
Muhammad Quthb, Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah (al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993), h. 43-
44.
6
Babilonia dan Yunani Kuno. Temuan terhadap kuburan-kuburan dan kuil-kuil yang mereka buat menunjukkan keyakinan mereka bahwa di samping kehidupan yang bersifat fisik, ada kehidupan lain ―di sana‖ yang bersifat metafisik. Mereka meyakini bahwa kehidupan ini berbeda dengan dunia fisik. Karena sifatnya yang ―di luar‖ kehidupan fisik maka bukan fisik yang bertempat ―di sana‖, melainkan roh. Di Mesir terdapat banyak kuburan-kuburan yang berada di museum maupun pyramid. Keyakinan mereka bahwa dengan disimpannya mayat seseorang di dalam pyramid nantinya akan ada ―reuni‖ di akhirat antara nyawa-nyawa yang ada di dunia dengan nyawa-nyawa yang tersimpan terlebih dahulu di pyramid. Jadi, mereka menganggap bahwa mati bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan sebagai terminal dari satu fase kehidupan menuju ke kehidupan yang lain. 14 Dalam ajaran Islam, telah jelas termaktub dalam al-Qur‘an, bahwa penciptaan manusia —wakil dan khalifahNya— dari tanah, dan kemudian Ia tiupkan sebagian rohNya sendiri pada acuan tanah itu dan kemudian lahirlah manusia. 15 Manusia tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan roh suci. Menurut Shariati, simbol kerendahan, kenistaan dan kekotoran adalah lumpur. Tidak ada suatu pun di dalam alam yang lebih rendah dan hina daripada lumpur, yang dengannya manusia telah diciptakan. Dan Tuhan adalah Maha Sempurna dan Maha Suci. Dan dalam setiap makhluk, bagian yang paling sempurna, paling murni dan paling suci adalah spirit atau rohnya. Akan tetapi roh Yang Maha Suci adalah spirit Maha Sempurna, yang paling suci di antara semua spirit dan di antara seluruh entitas yang ada dalam alam semesta. Dan manusia adalah makhluk yang langsung turun dari roh Yang Maha Abadi itu, namun hakikat manusia yang lain berasal dari bentuk yang paling rendah dari tanah bumi—air yang nista.16 Jadilah manusia gabungan dari tanah dan spirit suci, telah tercipta menjadi makhluk dua dimensional, dengan dua arah dan kecenderungan. Yang satu 14
Lihat, Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2000), h. 96. 15
Al-Qur‘an tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya bahwa awal manusia adalah tanah, kemudian bahan tersebut disempurnakan, setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi. (Q.s. al-Hijr/15: 28-29; Q.s. Shad/38: 71-71). Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 281. 16
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 6.
7
membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke dasar hakikatnya yang rendah, di mana seluruh dorongan dan gerak kehidupannya akan membeku, terbenam ke dalam rawa-rawa hakikatnya yang hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain, yaitu dimensi spiritualnya, cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi yaitu ke Zat Yang Maha Suci. Dengan demikian, manusia adalah makhluk dengan dua unsur yang kontradiktif, akan tetapi—menurut Shariati—kebesarannya dan kejayaannya yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa ia adalah dua dimensional, makhluk dengan dua kutub yang saling berlawanan. Pada hakikatnya, dua kutub itu memungkinkannya untuk memiliki kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antara kutub suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti dan peperangan terus menerus yang dilakukan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa untuk memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya. 17 Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa roh atau jiwa dan kualitaskualitas internal lainnya. Karena fisik manusia nilainya tidak terlalu mahal. Seorang peserta praktikum di laboratorium fakultas kedokteran pernah membeli mayat di rumah sakit yang harganya hanya Rp. 1.500.000,- Dalam perspektif ini benar apa yang dikatakan oleh Prof. Muhammad al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama Mesir. Menurut dia, sekiranya dihitung atau diuraikan unsur-unsur apa yang terdapat dalam tubuh manusia, maka sebetulnya tubuh manusia sangat murah dan tidak ada nilainya. Dalam setiap raga manusia, katanya, kira-kira ada satu unsur lemak yang kalau dikumpulkan hanya cukup untuk membuat tujuh potong sabun kecil-kecil. Kemudian ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira cukup untuk membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur fosfor (besi) yang kira-kira paling banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Di samping itu, ada unsur garam magnesium yang cukup untuk minum obat sakit perut sekali. Selain itu, unsur zat besi yang kira-kira bisa dipakai untuk membuat satu potong pasak ukuran sedang. Kemudian unsur kapur yang hanya bisa dipakai untuk mengapur tembok berukuran kira-kira 1 X 1 meter. Ada lagi unsur belerang yang kira-kira bisa dipakai untuk menyiram dan membersihkan kutu seekor anjing. Dan yang terbanyak adalah unsur air 17
Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 6-7.
8
kira-kira 10 galon. Menurut al-Ghazali, jika seluruh unsur atau bahan-bahan kimiawi yang dikandung tubuh manusia (sempurna) itu dijual atau dibeli dari sebuah toko niscaya tidak akan mengeluarkan uang banyak. Apalagi suatu saat ditakdirkan mengalami kelainan misalnya gila, maka jelas tubuh itu akan mengalami penurunan harga. Itu baru dari segi otaknya yang mengalami kelainan, semua nilai organ tubuh menjadi turun.18 Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi? Mengapa seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain padahal tubuhnya sama, warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama dan mungkin pakainnya juga sama. Ada dua orang berjalan bersama, yang satu pejabat dan seorang lagi ulama besar, tetapi mengapa penghoramatan orang terhadap ulama lebih besar daripada pejabat. Di sini tentu saja ada nilai tambah yang bukan fisik, melainkan non-fisik (metafisik). Menyadari kenyataan ini, Islam melarang umatnya hanya memikirkan hal-hal yang bersifat fisik.19 Sebaliknya, Islam mengajak kepada umatnya agar memperhatikan unsur yang mendukung hidup terutama menyangkut unsur metafisik, seperti ilmu, agama dan moral. Pilihan terhadap model dan cara hidup seseorang bisa dilihat sejauhmana orang tersebut memberikan perhatian dan apresiasi terhadap unsur-unsur penunjang kehidupan. Orang yang mengapresiasi unsur-unsur fisik maka yang dikejar dalam hidupnya adalah hal-hal yang dapat memuaskan unsur-unsur tubuhnya. Sebaliknya, orang yang mengapresiasi unsur metafisik tampak pada cara hidupnya yang mengutamakan kepuasan spiritual, penghoramatan terhadap nilai dan menjunjung tinggi moralitas. Dalam al-Qur‘an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan setan terkutuk dan binatang jahanam sekali pun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi ―yang paling
18
Pendapat Muhammad al-Ghazali tersebut, sesuai kutipan Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, 96-97. 19
Dalam istilah al-Qur‘an, orang yang hanya mengikuti kemauan fisiknya disebut ya‟kulu wa tamatta‟u (hanya urusan perut dan bersenang-senang). Q.s. al-Hijr/15: 3.
9
rendah dari segala yang rendah‖. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri. 20 Di antara potensi-potensi positif manusia, antara lain: 1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. (Q.s. al-Baqarah/2: 30, dan Q.s. alAn‘am/6: 165). 2. Dibanding dengan semua makhluk lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi. (al-Baqarah/2: 31-33). 3. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri. (Q.s. al-A‘raf/7: 172, dan Q.s. al-Rum/30: 43). 4. Manusia dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan bendabenda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara jiwa dan raga. (Q.s. al-Sajdah/32: 7-9). 5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa tanggung jawab. (Q.s. al-Ahzab/33: 72, dan Q.s. al-Insan/76: 2-3). 6. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka. (Q.s. al-Syams/91: 7-8). Dan di antara potensi-potensi negatif manusia, antara lain: 1. Manusia itu amat zalim dan bodoh. (Q.s. al-Ahzab/33: 72). 2. Manusia sangat mengingkari nikmat. (Q.s. al-Hajj/22: 66). 3. Manusia suka melampaui batas. (Q.s. al-‗Alaq: 6-7). 4. Manusia sangat banyak membantah. (Q.s. al-Kahf/18: 54). 5. Manusia bersifat keluh kesah lagi kikir. (Q.s. al-Ma‘arij/70: 19-21). 6. Manusia bersifat tergesa-gesa. (Q.s. al-Isra‘/17: 11). Demikianlah manusia dinilai oleh al-Qur‘an sebagai makhluk yang memiliki potensi ganda, setengah dipuji dan setengah dicela. Dipuji karena pembawaan fithrahnya yang mulia dan kecenderungannya untuk ―melangit‖ menuju hal-hal
20
Lihat, Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, h. 117.
10
spiritual, dan dicela karena pilihannya untuk mengikuti kecenderungan negatif yang terdapat dalam dirinya. Kebebebasan dan Tanggung Jawab Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dibekali sejumlah potensi dan kemampuan untuk mengetahui, memilih dan bertindak. Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifatullah fi al-ardh (pengganti Allah di muka bumi). Dengan status ini, manusia dipercaya mengelola alam semesta sesuai dengan ketentuan kauniyah (sunnatullah) dan qauliyah (syariat). Fakta yang menarik tentang manusia ialah, bahwa hanya manusia sajalah di antara seluruh makhluk yang ada di alam semesta, yang mampu menjadi pemegang dan pengemban amanat Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan kepada seluruh makhlukNya — langit dan bumi, gunung-gunung, lautan dan sungai-sungai, fauna dan flora— apakah di antara mereka ada yang sanggup mengemban amanat Tuhan, maka sekali lagi manusia sajalah yang secara sukarela menerima amanat tersebut.21 Oleh karena manusia memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban amanat Tuhan, penjaga karuniaNya yang paling berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi keberanian dan keutamaan serta kebijakan di alam semesta. Seperti dikatakan oleh Bintusy Syathi‘, bahwa keberanian manusia mengemban amanat termasuk di antara keistimewaan tanda kemanusiaan (dilalah al-insaniyyah), di dalam retorika Qur‘ani (albayan al-Qur‟ani) yang membedakannya dari sekedar spesies yang tidak buas (alinsiyyah) dan kemanusiawian (al-basyariah). Karena dalam Q.s. al-Ahzab/33: 72, sangat jelas menyandarkan kata حملpada kata اإلنسانbukan kepada الناسatau اإلنس, atau البشر.22 Demikianlah manusia bukan sekedar khalifah Tuhan di bumi ini, melainkan juga pemegang amanatNya. Namun apakah arti amanat ini? Amanat berat apakah ini yang manusia bersedia mengembannya, sementara langit, bumi dan gunung menolak memikulnya karena takut berkhianat? 21
Kisah penawaran Tuhan untuk memikul amanat kekhalifahan, sesuai dengan firmanNya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. (Q.s. al-Ahzab/33: 72). 22
Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 61.
11
Terdapat banyak pendapat yang berbeda-beda terhadap takwil kata ini. AlThabari di dalam tafsirnya, memilih memaknai amanat secara umum sebagai seluruh amanat-amanat di dalam agama dan amanat-amanat dalam kehidupan manusia.23 Sedangkan al-Raghib al-Ashfahani memilih akal, karena berkat akallah dihasilkan pengertian tauhid, pelaksanaan keadilan, pelajaran huruf-huruf hijaiyah, segala hal yang dapat diketahui dan diperbuat manusia tentang keindahan. Dengan akal, manusia diunggulkan di atas makhluk-makhluk lain. 24 Sementara itu al-Zamakhsyari lebih memilih makna ketaatan, sambil mentakwilkan kata الحملdalam makna penolakan. 25 Maulana Jalal al-Din Rumi mengatakan bahwa amanat itu berarti kehendak bebas (free will) manusia yang merupakan hadiah dari Tuhan, karena hanya manusia yang bersedia mengemban amanat yang telah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi dan gunung. Menurut Rumi, tidaklah mungkin Tuhan memberi perintah dan larangan kepada manusia, kalau manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakantindakannya, atau kalau seluruh tindakan-tindakannya telah ditentukan secara pasti sebelumnya. Diberikannya perintah oleh Tuhan, mengandung arti bahwa manusia yang diperintah atau dilarangNya, memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, atau bahkan untuk menolaknya. Karena tidak mungkin Tuhan memerintah manusia, kalau manusia itu sendiri tidak punya daya apa pun untuk melaksanakannya. Kalau semua yang dilakukan manusia telah ditentukan Tuhan, maka diperintah atau tidak, niscaya manusia akan melakukan apa pun yang telah ditentukan baginya. Tetapi kenyataan bahwa Tuhan telah —dalam al-Qur‘an— banyak memerintah dan melarang manusia, menunjukkan dengan jelas bahwa manusia memiliki kebebasan. 26 Pendapat Rumi tersebut, diamini oleh oleh Ali Shariati. Menurutnya, keutamaan paling menonjol dari manusia yang menandai superioritasnya atas makhluk-makhluk lain adalah kekuatan kemauannya atau kekuatan iradatnya. Ia adalah satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya, sesuatu yang hewan 23
al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, Juz 10 (Beirut: Dar al-
Kutub al-‗Ilmiyah, 1999), h. 339. 24
al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an.
25
al- Zamakhsyari, Mahmud bin Umar Muhammad. al-Kasysyāf, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kitab al‗Arabi, t.t.), h. 564. 26
Pendapat Rumi, sesuai kutipan Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 122-123.
12
maupun tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukannya. Hanya manusia saja yang dapat melawan dirinya menentang hakikatnya, dan memberontak terhadap kebutuhankebutuhan fisik dan spiritualnya. Dan hanya manusia yang dapat berbuat menentang apa yang baik dan utama. Ia bebas memilih untuk bersikap rasional atau irasional, saleh atau jahat, seperti malaikat atau seperti iblis. Kemauan bebas oleh karena itu merupakan sifat manusia terpenting dan menjadi penghubung kedekatannya dengan penciptanya. 27 Permasalahan takdir dan kebebasan ini, sebenarnya telah menjadi objek perdebatan yang panjang dan kadang panas, khususnya di kalangan teolog muslim (Mutakallimun). Kaum Jabbariyah mengatakan bahwa apa pun yang dilakukan manusia semua telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya untuk berkehendak. Tapi Kaum Qadariyyah menyatakan sebaliknya bahwa manusia adalah pencipta bagi tindakan-tindakannya, dan harus bertanggung jawab atas apa pun yang dia lakukan, dalam hal ini mereka menyatakan bahwa sekali pun daya-daya yang dimiliki manusia dicipta Tuhan, namun manusia memiliki kebebasan untuk menggunakan dayadaya tersebut dalam memilih perbuatannya. Tetapi baik paham Jabariyyah maupun Qadariyyah terdapat masalah yang masih sulit dipecahkan.28 Baik secara tersurat maupun tersirat, al-Qur‘an banyak berbicara tentang kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiari. Yang dimaksud dengan perbuatan ikhtiari adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan menjadi tanggungjawabnya karena memang ia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau meninggalkannya. 29 Kedua sikap ini merupakan perbuatan ikhtiari. Orang dapat memilih dan melakukan sikap pertama atau kedua, dan karenanya ia akan dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Lain halnya dengan gerak reflek yang terjadi pada seseorang karena rangsangan yang sangat kuat pada kulitnya. Orang yang tanpa sadar tersentuh bara api pada ujung jarinya akan menarik tangannya dengan tiba-tiba. Ia tidak menyadari perbuatannya itu sejak semula. Dalam keadaan seperti ini ia tidak mempunyai pilihan untuk menarik atau tidak menarik 27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 9-10.
28
Lihat kritik-kritik Imam al-Ghazali terhadap kedua aliran ini, dalam Abdul Hamid Ali dan Isma‘il Muhammad Husain, Dirasat Haul al-Iqtishad fi al-I‟tiqad; al-Qism al-Tsani (Kairo: Jami‘ah alAzhar, 2002), h. 19-25. 29
Misalnya, yang seringkali disebutkan di dalam al-Qur‘an, menerima atau menolak ayat-ayat yang dibawa para rasul. Q.s. Luqman/31: 21-22, disebutkan sikap orang-orang yang menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan orang-orang yang menerimanya.
13
tangannya. Menurut H. Agus Salim, ada lima hal berkenaan dengan kehidupan dan perbuatan manusia yang tidak dapat dikuasainya sepenuhnya: (1) nyawa, (2) alat kelengkapan badan, semisal panca indera, kerja pencernaan, jantung dan sebagainya, (3) kesehatan badan, (4) paham, pikiran, pengetahuan dan keyakinan yang terbentuk sejak kanak-kanak tanpa kehendak dan pilihannya sendiri, dan (5) hubungan ke luar. 30 Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu bergerak dan berubah dalam dua kategori, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Allah sendiri telah menjadikan kedua kriteria itu (baik dan buruk) sebagai pilihan yang tersedia dan mungkin ditempuh oleh manusia, seperti terdapat dalam surat al-Balad ayat 10: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. Dan dalam surat al-Syams ayat 7-8, Allah menegaskan: “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”. Dari kedua potensi tersebut, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk memelihara perbuatan baik. Meskipun dalam aktualisasinya, kecenderungan dasar atau kecenderungan awal itu dapat terkalahkan oleh kecenderungan selanjutnya (belakangan). Akan tetapi, dalam kesadaran akhlak yang mulia, kecenderungan belakangan yang sudah terlanjur teraktualisasikan itu pun sangat mungkin untuk kembali pada kecenderungan awal (baik). Dalam ajaran Islam, potensi dasar manusia yang secara esensial tidak dapat diubah walaupun secara aktual tidak selalu muncul itu, dikenal dengan konsep “fithrah‖.31 Dalam surah al-Rum ayat 30, Allah menegaskan:
.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
30
Pendapat H. Agus Salim tersebut sesuai kutipan, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 30-31. 31
Penafsiran linguistik dan religius terhadap kata fitrah, memiliki satu hal yang sama, keduanya menetapkan fitrah sebagai kecenderungan alamiah bawaan yang tidak bisa berubah. Apa yang menjadikan pemahaman religius kita positif adalah bahwa ia bukan saja mengakui fitrah sebagai suatu kecenderungan alamiah, tetapi juga sesuatu yang cenderung kepada tindakan yang benar dan ketundukan kepada Allah yang Maha Esa. Lihat Yasien Mohamed, Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam. Penerjemah Masyhur Abadi (Bandung: Mizan, 1997), h. 17.
14
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.s. al-Rum/30: 30).
Dengan fitrahnya, manusia mengemban tangung jawab secara mandiri dalam bertingkah laku. Apa yang diperbuat manusia pada akhirnya akan dikembalikan pada dirinya sendiri. Dalam akhlak Islam, kebebasan memilih antara jalan yang baik dan jalan yang buruk diberikan kepada manusia secara penuh, sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Faktor di luar diri pribadi —orang tua, teman, keluarga, sekolah dan masyarakat— tidak menanggung beban tangung jawab akhir perbuatan pribadi manusia, meskipun dalam kenyataannya ikut mempengaruhi lahirnya suatu perbuatan.32 Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sebagai individu dan sebagai jamaah, seseorang tidak diharuskan memikul dosa kesalahan orang lain, dan suatu umat tidak diharuskan memikul dosa kesalahan umat yang lain. 33 Perbuatan yang dipertanggungjawabkan oleh manusia adalah tindakan yang lahir dari proses pemilihan atau usaha yang sadar (ikhtiar). Artinya, perbuatan itu dilakukan atas dasar pengetahuan, kesadaran dan kemampuannya sendiri. Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan seseorang karena kelalaian atau karena paksaan yang benar-benar menekan —padahal ia sendiri tidak menyukainya— tidak membebani manusia untuk mempertanggungjawabkannya. Dan juga ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. 34 Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya. 35
32
Taufik Abdullah, dkk., ―Akhlak‖ dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 326-327. 33
Lihat, Q.s. al-Isra‘/17: 14, Q.s. al-Thur/52: 21, dan Q.s. al-Baqarah/2: 141.
34
Lihat, Q.s. al-Baqarah/2: 173 dan 225, dan Q.s. al-Nahl/16: 106. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ketentuan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya dibatasi oleh sekurangkurangnya dua kondisi. Pertama, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang lahir di luar pengetahuannya sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Kedua, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang memang tidak dilakukannya. 35
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 258.
15
Catatan Akhir Bahwa al-Qur‘an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahNya di muka bumi, serta sebagai makhluk bidimensional. Memiliki kecenderungan positif dan negatif, sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan. Manusia adalah makhluk ciptaan yang belum selesai, dan karenanya sangat berkepentingan untuk secara aktif-kreatif turut dalam proses penyelesaian ke arah yang diinginkannya. Apakah ke arah yang mulia sampai ke posisi insan kamil ataukah ke arah yang rendah-hina (Q.s. al-Balad/90: 4). Bila hendak meningkat, ia harus mencari dan meniti pembimbingan dan pendakian, bila tidak, ia cukup membiarkan dirinya dalam posisi stagnasi, dan ia akan terseret ke arah yang sebaliknya. Paulo Freire (1971) percaya bahwa manusia , sebagai makhluk yang tidak sempurna, punya panggilan ontologis dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna. Apa yang dia maksud dengan ―ontological vocation‖ adalah panggilan alamiah dari dalam diri manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia secara penuh. Dalam proses ―menjadi‖, manusia diajak untuk secara terus menerus memanusiakan diri mereka lewat menamakan (naming) dunia dalam aksi-refleksi dengan manusia yang lain. 36 Model pembimbingan yang diperlukan dapat merunut kedua unsur dasar komponen kejadiannya yang dari ―tanah-fisikal dan dari roh Allah-rohaniah. Dapat dilakukan secara kolektif-bersama orang lain, dan dapat secara personal-solo training. Dalam kerangka teknis yang terakhir, perenungan tentang diri sendiri dan pengamalan do‟a dan ibadah tertentu lebih ditingkatkan, disertai usaha-usaha intensif lainnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hasil latihan ini biasanya menimbulkan pandangan
36
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 40.
16
baru tentang diri sendiri, relasi dengan lingkungan sekitar dan dengan Tuhan. Formatnya dapat dipolakan seperti berikut:37 Keunggulan
Kelemahan
Potensi
Dikembangkan
Dihambat
Aktualisasi
Dipertahankan
Dikurangi
Akhirnya, manusia perlu terus menyadari bahwa hidup adalah satu dan terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima cahaya-cahaya yang baru dari suatu Realitas Yang Tak Terbatas, yang setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru. Dan sang penerima cahaya ketuhanan bukanlah hanya seorang penerima yang pasif belaka. Setiap perbuatan ego yang merdeka menciptakan suatu situasi baru, dan dengan begitu, memberikan kemungkinan lebih jauh untuk kerja kreatif. Wa Allah a‟lam bi al-shawab
Penulis,
37
Lihat, Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 66-67.
17
Daftar Pustaka ‗Abd al-Baqi, Muhammad Fu‘ad. Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadzh al-Qur‟an alKarim. Beirut: Dar al-Fikr, 1981. Abdullah, Taufik. dkk. ―Akhlak.‖ dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Ali, Abdul Hamid dan Husain, Isma‘il Muhammad. Dirasat Haul al-Iqtishad fi alI‟tiqad; al-Qism al-Tsani. al-Qahirah: Jami‘ah al-Azhar, 2002. al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia diungkap al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961. Bastaman, Hanna Djumhana. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina, 1996. Berger, Peter L. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono. Jakarta: LP3ES, 1991. Bintusy-Syathi‘, Aisyah Abdurrahman. Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur‟an. Penerjemah M. Adib al-Arief. Yogyakarta: LKPSM, 1997. Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hasan, Muhammad Tholhah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2000. Hidayati, Heny Narendrany dan Yudiantoro, Andri. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006. Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Mohamed, Yasien. Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam. Penerjemah Masyhur Abadi. Bandung: Mizan, 1997.
18
Muthahari, Murtadha. Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A. Hasan. Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993. -------------. Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah Sugeng Rijono dan Farid Gaban. Bandung: Mizan, 1992. Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book, 2008. Quthb, Muhammad. Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah. al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993. Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an, cet. 10. Bandung: Mizan, 2000. al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, Juz ... Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, 1999. al-Zamakhsyari, Abī al-Qāsim Muhammad bin Umar Muhammad. al-.Tafsīr alKasysyāf, Juz …. Baerut: Dar al-Kutb al-‗Ilmiyah, 1971.
19
IDENTITAS DIRI Nama
: Zulfan Taufik
TTL
: Ambon, 17 Juli 1988
NIM
: 105060002175
Semester
: VIII (delapan)
Fakultas
: Dirasat Islamiyah
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat (rumah)
: Jl. Semangka no. 12 Sukaraja Timur Ampenan-Mataram, NTB.
Alamat (kosan)
: Desa Pisangan Ciputat, Rt/Rw: 05/08 No. 20E.
Email
:
[email protected]
Handphone
: 085722270036
Pengalaman Organisasi : -
2005 – 2006
: Anggota KAMMI UIN Syahid.
-
2007 – sekarang
: Anggota HMI Komfakdisa.
-
2007 – 2008
: Ketua LITBANG BEM FDI.
Pengalaman Lomba Penulisan : -
Juara 1 Lomba Penulisan Essay antar komisariat HMI Cab. Ciputat, Maret 2007.
-
Juara 1 Lomba Penulisan Essay se-FDI 2008.
-
Partisipasi Lomba Penulisan Opini ―kampusku‖, LPM UIN Syahid 2008.
20
MANUSIA MAKHLUK BIDIMENSIONAL Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Qur’an.
Karya Ilmiah Diajukan Dalam Rangka Partisipasi “Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Mahasiswa PTAIN & PTAIS”
Oleh
Zulfan Taufik 105060002175
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 21