BAB I MAKHLUK MANUSIA
A. MAKHLUK MANUSIA DIANTARA MAKLUK-MAKHLUK LAIN Dipandang dari sudut biologi manusia hanya merupakan suatu Macam makluk diantara lebih dari sejuta macam makhluk lain, yang pernah atau masi menduduki alam dunia ini. Pada pertengahan abad ke-19 para ahli biologi, dan yang terpanting diantara mereka c.Darwin, mengumumkan teori mereka tentang proses evolisi biologi. Menurut teori itu bentuk-bentuk hidup tertua dimuka bumi ini , terdiri dari makhluk-makhluk satu sel yang sangat sederhana misalnya protozoa. Oleh para ahli biologi manusia ditempatkan ke dalamsub-suku : Antropoid,yang sebaliknya dibagi khusus menjadi tiga infra-suku Ceboid mengolongkan menjadi satu semua kera, baik yang telah punah maupun yang masi hidup langsung di daerah tropic di benua Amerika ; infra-suku Cercopithecoid menggolongkan menjadi satu semua kera, baik yang sudah punah maupun yang masi hidup langsung didaerah tropic di benua Asia dan Afrika ; sedangkan infra-suku Hominoid mengologkan menjadi satu kera-kera besar dengan manusia. Dalam proses evolusi biologi yang berlangsung sangat lama tersebut, telah menghilangkan sekian banyak bentuk-bentuk mahluk lama dari muka bumi ini. Akan tetapi banyak juga yang dapat bertahan hingga sekarang ini bahkan sudah hampir mendekati angka satu juta jenis bentuk-bentuk mahluk hidup baru yang berasal dari bentuk-bentuk lama di muka bumi ini. Untuk mendapatkan pengertian tentang jumlah aneka warna dan jenis sebesar itu, para ahli biologi telah membuat suatu system klasifikasi dimana semua mahluk di dunia ini telah mendapatkan tempat yang sewajarnya berdasarkan atas morfologi dari organismanya. Manusia menyusi adalah salah satu keturunannya, dari ciri-ciri itu maka manusia dikelaskan bersama dengan mahluk-mahluk lain kedalam satu golongan yaitu binatang menyusui atau Mammalia.
Dalam kelas Mammalia ini terdapat satu sub-golongan atau suku yaiutu Primat. Suku ini terdiri dari semua jenis kera, dari kera yang terkecil yang disebut dengan Tarsi sampai kera yang besar yang disebut Gorila dan juga manusia. Suku Primat dibagi menjadi 2 sub-suku yaitu sub-suku Prosimii dan sub-suku Anthropoid. Oleh para ahli, manusia dimasukan kedalam sub-suku Anthropoid. Sub-suku Anthropoid dibagi menjadi tiga (3) infra-suku yang diantaranya :
1. Infra suku Ceboid Suku ini mempunyai ciri yaitu menggolongkan semua jenis kera, baik yang sudah punah maupun yang masih hidup langsung du daerah tropic di Benua Amerika. 2. Infra suku Cercopitheroid Sedangkan suku ini menggolongkan semua jenis kera, baik yang sudah punah maupun yang masih hidup langsung du daerah tropik di Benua Asia dan Afrika. Infra suku Hominoid Sementara suku Hominoid menggolongkan semua jenis kera dengan manusia. Infra suku ini dibagi lagi kedalam 2 keluarga, yaitu Keluarga Pongidae dan keluarga Hominidae. 1. Keluarga Pongidae Keluarga ini menggolongkan menjadi satu beberapa macam kera besar yang terutama hidup di daerah tropik di Asia dan Afrika. Seperti kera gibbon, orang utan, chimpanzee dan gorilla. 2. Keluarga Hominiode Menggolongkan menjadi satu manusia purba sejenis pithecanthropus danegan homo Neanderthal dan dengan manusia sekarang atau disebut dengan Homo sapiens. Manusia/Homo sapiense jaman sekarang ini memiliki sedikitnya empat ras yaitu Australoid, Mongoloid, Caucasoid dan Negroid.
2. EVOLUSI CIRI-CIRI BIOLOGI Sumber Ciri-Ciri Organisma Fisik. Dalam proses evolusi itu
bentuk-bentuk makhluk yang baru timbul sebagai proses pencabangan dari bentuk-bentuk makhluk yang lebih tua. Menurut para ahli biologi cirri cirri biologi itu termaksud di dalam gen. Setiap inti sel manusia misalnya, terdiri dari 46 bagian berupa ulat-ulat kecil yang terdiri dari serat-serat berspiral. Ulat-ulat kecil itu di sebut oleh para ahli biologi khromosom, pada khromosom-khromosom inilah terletak berbiuribu pusat kekuatan dengan berbagai macam struktur bio kimia yang khas, yang menjadi sebab dari segala cirri organisma makhluk yang bersangkutan. Pada waktu konsepsi, apabila sel sperma beradu dengan sel, telur maka akan menjadi suatu sel buah,atau zygote. Seluruh tubuh organisme baru akan timbul dari zygote tadi, degan suatu proses yang disebut mitosis tiap-tiap khromosom akan membelah menjadi dua. Proses mitosis bagi semua sel itu sama saja, tetapi terkecualian tampak pada timbulnya sel-sel gamete, atau sel-sel sex (yaitu sel-sel sperma laki-laki dan sel telur dari wanita) Perubahan dalam proses keturunan. Dari uraian diatas terbukti bahwa suat ciri yang berasal dari suatu nenek moyang laki-laki atau perempuan tak pernah dapat “di campur” tetapi selalu dapat tersimpan dalam gen yang diturunkan dan di sebarkan kepada berpuluh-puluh angkatan , bahkan berratus ratus angkatan berikutnya. Mutasi adalah suatu proses yang berasal dari dalam organisma. Seleksi dan adaptasi adalah suatu proses evolusi yang berasal dari sekitaran alam.menghilangnya gen tertentu sering juga disebabkan oleh peristiwa-pristiwa kebetulan.
3. EVOUSI PRIMATA DAN MANUSIA Proses pengembangan Makhluk Primat. Soal asal mula dan proses evolusi makhluk manusia itu secara khusus dipelajari dan diteliti oleh suatu ilmu dari antropologi biologi, yaitu ilmu paleoantropologi, dengan mempergunakan sebagai bahan penelitian bekas-bekas tubuh manusia yang beruppa fosil yang terkandung dalam lapisan-lapisan bumi. Selain menganalisa data mengenai fosil-fosil kera dan manusia yang tersimpan dalam lapisan bumi, mereka juga mempergunakan data ilmu-ilmu lain seperti paleogeografi dan paleoekologi, seta metode analisa potassium-argon dari ilmu geologi.
Menurut penelitian-penelitian paling akhir, makhluk pertama dari suku Primat muncul di muka bumi sebagai suatu cabang dari makhluk Mammalia, atau binatang menyusui, sudah kira-kira 70.000.000 tahun yang lalu, di dalam suatu zaman yang oleh para geologi disebut Kala Paleosen Tua. Dalam masa yang amat lama makhluk Primat induk tadi bercabang lebih lanjut ke dalam berbagai subsuku dan infra-suku khusus, dan di antaranya telah terjadi proses percabangan antara keluarga kerakera Pongid atau kera-kera besar dari keluarga Hominid yang mempunyai sebagai anggota makhluk nenek moyang manusia. Rupa-rupanya telah terjadi paling sedikit lima proses percabangan. Percabangan yang tertua, yang timbul kira-kira 30.000.000 tahun yang lalu dalam Kala Eosen Akhir, adalah percabangan yang mengevolusikan kera gibbon (Hylobatidae). Cabang yang timbul kemudian, pada permulaan Kala Miosen kira-kira 20.000.000 tahun yang lalu, adalah kera Pongopygmeus atau orang utan. Orang utan memang merupakan makhluk kera yang tinggal di pucuk-pucuk pohon-pohon besar di daerah hutan rimba di Asia Baratdaya, Asia Selatan, hingga Asia Tenggara dalam jangka waktu satu dua juta tahun lamanya. Dalam pada itu, kira-kira pada bagian akhir Kala Miosen terjadi beberapa perubahan besar pada kulit bumi dan pada lingkungan alamnya. Benua Afrika membelah dari Asia, dan dalam proses tersebut terjadilah laut merah dan belahan bumi berupa lembah yang dalam, bernama Great Rift Valley, yang merupakanpemisah alam secara ekologi yang membujur dari Utara ke Selatan antara Afrika Barat dan Tengah dengan Afrika Timur. Cabang ketiga adalah sejenis makhluk yang menurut perkiraan para ahli menjadi nenek moyang manusia. Percabangan ini terjadi kira-kira 10.000.000 tahun yang lalu pada bagian terakhir dar Kala Miosen. Fosil-fosil makhluk ini menunjukkan sifat yang lain, yaitu ukuran badan raksasa yang jauh lebih besar dari pada Gorilla yang hidup sekarang. Para ahli memperkirakan bahwa kera-manusia raksasa ini juga hidup dalam kelompok-kelompok seperti halnya jenis-jenis kera besar lainnya, dan dengan demikian dapat tahan hidup, membiak, dan seperti Orangutan, juga menyebar dari Afrika ke Asia Selatan dan Tenggara. Namun, karena perubahan-perubahan alam yang terjadi dalam bagian akhir Kala Miosen, maka seperti halnya dengan Orangutan juga, kera-manusia raksasa ini menghilang dari Afrika dan Asia Selatan dan hanya bertahan di Asia Tenggara, hingga akhirnya kandas juga di sana karena sebab-sebab yang belum dapat dketahui. Cabang keempat adalah cabang-cabang kera Pongid yang lain, yaitu Gorilla dan Chimpanze, yang terjadi kira-kira 12.000.000 tahun yang lalu pada akhir kala Miosen. Kedua makhluk kera dari Afrika ini
dapat menyesuaikan diri dengan berevolusi mengembangkan organisma yang dapat hidup di pohon maupun di darat. Percabangan khusus atau spesialisasi biologi antara Gorilla dan Chimpanzee terjadi karena perkembangan dari dua lingkungan ekologi yang khusus di Afrika Tengah sebelah timur dari Sungai Niger., dan di Afrika Barat sebelah barat dari sungai tersebut. Di daerah hutan di Afrik Tengah tadi berlangsung evolusi organisma dari kera Gorilla, sedangkan di daerah hutan Afrika Barat berlangsung evolusi organisma dari Chimpanzee. Mahluk Primat Pendahuluan Manusia. Kira-kira seabad yang lalu para ahli biologi dan paleoantropologi masih mengira bahwa soal siapakah nenek moyang manusia itu, dapat dipecahkan dengan usaha menemukan sejenis mahluk yang telah kandas, yang merupakan penghubung antara kera dan manusia dalam silsilah hidup. Dengan demikian usaha terpenting dari para ahli tersebut adalah mencari mahluk penghubung yang hilang, atau missing link, dalam silsilah perkembangan alam mahluk di muka bumi. Sekarang, dengan kemajuan-kemajuan di bidang ilmu-ilmu paleoantropologi dan geologi, konsepsi para ahli mengenai soal missing link itu sudah berubah. Mahluk itu sudah tidak lagi dipandang sebagai suatu mahluk yang berada di antara kera dan manusia, tetapi sebagai seekor mahluk pendahuluan (prescusor) atau mahluk-induk yang mendahului baik kera-kera besar (Pongid) maupun manusia, yang keduaduanya hanya merupakan spesialisasi khusus dari mahluk induk tadi. Kecuali itu, karena proses percabangan antara berbagai jenis kera besar dengan manusia itu tidak hanya terjadi hanya satu kali melainkan beberapa kali dan di beberapa tempat, maka dengan demikian sebenarnya ada lebih dari satu makhluk induk. Mahkluk-induk kedua adalah Gigantanthropus yang, seperti apa yang telah tersebut sebelumnya hidu[pada bagian akhir Kala Miosen kurang-lebih 10.000.000 tahun yang lalu. Pengetahuan para ahli mengenai wujud, sifat-sifat serta penyebarannya dari makhluk kera-raksasa ini masih terlampau sedikit, karena terbatasnya jumlah fosil yang telah ditemukan untuk menelitinya. Sebaliknya, pengetahuan mereka mengenai nenek moyang yang langsng dari manusia kini, sudah mulai cukup mantap. Makhluk yang dapat disebut pendahuluan manusia itu adalah makhluk, yang sudah dapat berjalan tegak diatas kedua kaki belakangnya secara lama terus menerus sepanjang jarak-jarak yang cukup jauh, yang hidup dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari rata-rata delapan sampai ssepuluh individu, dan yang secara berkelompok telah dapat melawan binatang-binatang penyaing yang lain. Suatu mahluk Primat yang menurut wujud dari fosil-fosilnya menunjukkan ciri-ciri
tersebut addalah makhluk yang pertama-tama yang ditemukan pada tahun 1924 di Taungs, sebelah utara Kimberley di daerah Bechuana Timur di Afrika Selatan. Oleh para ahli paleoantropologi, makhluk itu disebut Australopithecus ( kera dari selatan ). Sekarang telah ditemukan lebih dari 65 fosil dari makhluk tersebut, semuanya di Afrika Selatn dan Timur. Beberapa diantaranya diperkirakan hidup di muka bumi ini lebih dari sepuluh jtua tahun yang lalu. Fosil dari keluarga australopithecues yang akhirakhir ini dalam tahun 1959 ditemukan, adalah fosil dari Lembah Oldovai di Tanzania, Afrika Timur. Hasil analisa dari metode Potassium Argom adalah kesimpulan bahwa mahluk yang dibeinya nama khusus yakni Zinjanthropus, itu hidup di daerah Sabana, Afika Timur kurang lebih 2 juta tahun yang lalu dan bahwa ia merupakan makhluk hidup manusia jenis Autralopithecus yang paling dekat. Pada masa 2 juta tahun yang lalu bumi mengalami suatu masa dalam sejarah perkembangan kulit bumi yang berbeda dari sekarang, yaitu suatu Kala es di daerah utara dan selatan dan suatu Kala Kering di daerah Tropik. Kala es dan Kala glasial adalah zaman ketika seluruh Eropa utara sampai kira2 garis pegunungan Alpen di negara Swis sekarang ketika sebagian dari Asia utara ketika seluruh Kanada dan Amerika Utara sampai kira2 garis danau Micigan sekarang dan ketika pucuk selatan Amerika Selatan tertutup dengan lapisan2 es yang tebal (gletcher). Pada akhir berlangsungnya tiap Kala glasial, maka bumi mempunyai wujud yang berbeda antara darat dan laut. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muka air laut lebih rendah dari pada keadaannya sekarang, sehingga banyak daratan yang sekarang tergenang air berada diatas muka laut. Selama tiap Kala glasial daerah tropik bersifat lebih kering dari waktu skala Interglasial, dan hutan-hutan rimba tropik berkurang padatnya dan berubah menjadi daerah [padang rumput dengan gerombolangerombolan hutan yang tersebat. Dalam tahun 1898 seorang dokter belanda, Eugene Du Bois mendapatkan sekelompok tengkorak atas, rahang bawah dan sebuat tulang paha. Tengkorak atas seolah-olah sebuah tengkorang seekor kera besar. Isi otaknya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jenis kera manapun tetapi jauh lebih kecil dari otak manusia. Du Bois memberikan nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak) dan mengganggalp contoh dari nenek moyang manusia zaman sekarang.
Seorang ahli geologi Jerman bernama G. H. R. Von Konigswald dan teuku Jacob pada tahun 1931 dan 1934 menemukan 14 fosil dan 12 tengkorak di lapisan pleistosen tengah yang umurnya diperkirakan 800 ribu tahun dan menyebutnya pithecanthropus Soloensis. Pada tahun1936 para ahli juga menemukann fosil-dosil di bagian Lower Pleistocene berumur kitra-kira 2 juta tahun dan para ahli menyebutnya Pithecantrhopus majakertensis dan pada tahun 1941 G.H.R. von menemukanfosil yang luar biasa besar dan diberi nama meghanthropus paleojavanicus yang umurnya sama dengan pithecanthropus Majakertensis. Fosil-fosil itu tidak pernah ditemukan bersama dengan bekas alat-alat yang menunjukan bahwa makhluk tersebut sudah berkebudayaan. Makhluk yang mempunyai kebudayaan itulah yang baru dapat disebut makluk manusia secara penuh, Pada zaman holosen fosil homo sapiens meninggalkan bekas-bekas kebudayaan dan mulai menunjukan perbedaan ras. Ada 4 perbedaan ras pokok pada homo sapiens, yaitu : 1. Ras Autraloid
Terdapat dibenua Australia 2. Ras mongoloid
Ras yang paling besar jumlahnya 3. Ras kaukasoid
Tersebar di eropa, Afrika sebelah utara, Asia barat daya, dan Amerika. 4.Ras Negroid
Tersebar di benua Afrika bagian selatan 4. ANEKA WARNA MANUSIA Salah Faham Mengenai Konsep Ras. Ras sebagai suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai ciri tubuh yang tertentu dengan suatu frekuensi yang besar, tetapi dalam sejarah bangsa – bangsa, konsepsi mengenai aneka
warna ciri tubuh manusia itu telah menyebabkan banyak kesedihan dan kesengsaraan, karena suatu salah faham yang besar yang hidup dalam pandangan manusia berbagai bangsa. Salah faham itu mengacaukan ciri – ciri ras ( yang sebenarnya harus dikhususkan kepada ciri – ciri jasmani semata – mata ), dengan ciri – ciri rohani : dan lebih dari itu, salah paham tadi memberi penilaian tinggi rendah kepada ras – ras berdasarkan perbedaan tinggi – rendah rohani daripada ras itu. Contoh – contoh tersebut adalah :
Ras Caucasoid atau ras kulit putih lebih kuat,maju, luhur daripada ras – ras lainnya. Di Perancis, Pendirian menurut A. de Gobineau yang berpendapt bahwa ras yang terunggul dan termurni adalah ras Arya. Jerman, menurut De Gobineau bahwa orang jerman keturunan langsung ras Arya. Metode – Metode Untuk Mengklaskan Aneka Ras Manusia. Mengklasifikasikan aneka warna ras manusia merupakan pusat perhatian bagi ilmu antropologi fisik, terutama memperhatikan ciri – ciri lahir, atau ciri – ciri morfolgi, pada tubuh individu – individu. Ciri – ciri morfologi itu yang dalam praktek merupakan ciri – ciri fenotip, terdiri dari dua golongan, yaitu : 1) ciri – ciri kualitatif ( seperti warna kulit, bentuk rambut dan sebagainya, dan 2) ciri – ciri kuantitatif ( seperti berat badan, ukuran badan, index cephalicus, dan sebgainya ). Metode ini disebut metode antropometri metode yang hanya berdasarkan morfologi. Seiring berkembang nya zaman, metode ini sudah jarang dipergunakan, para ahli beralih kepada metode filogenetik yang menekankan persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan, hubungan – hubungannya serta percabangannya. Untuk membangun suatu klasifikasi yang serupa itu faktor terpenting adalah ciri – ciri genotipe yang terdapat pada individu – individu, contoh nya ialah metode mengklasifikasikan berdasarkan frekuensi golongan darah. Salah Satu Klasifikasi Dari Aneka Ras – Ras Manusia.
Menurut C. Linnaeus yang merpergunakan warna kulit sebagai ciri terpenting dalam sistemnya. Menurut J.F Blumenbach yang mengkombinasikan ciri – ciri morfologi dengan geografi dalam sistemnya. Menurut J. Deniker yang memakai warna dan bentuk rambut sebagai ciri – ciri terpenting dalam sistemnya.
Menurut E. Von Eickstedt dan E.A Hooton memakai unsur – unsur Filogenetik Menurut A.L Kroeber, Yaitu : Australoid Penduduk asli Austra 2. Mongoloid
• Asiatic Mongoloid ( Utara, Tengah, Timur ) • Malayan Mongoloid ( Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan ) • American Mongoloid ( Amerika Utara, Selatan, Orang Eskimo ) 3. Cauca
•
Nordic ( Eropa Utara )
•
Alpine ( Tengah dan Timur )
•
Mediteranaen ( Sekitar laut tengah, afrika Utara, Armenia Arab, Iran )
4. Negroid
•
Afican Negroid ( Benua Afrika )
•
Negrito ( Tengah, Semenanjung Melayu, filipina )
•
Melanesian ( Irian, Melanesia )
5. Ras – Ras khusus
•
Bushman ( Gurun Kalahari, Afsel )
•
Veddoid ( Pedalaman Srilangka dan Sulsel )
•
Polynesian ( kepulauan Mikronesia & Polinesia )
•
Ainu ( Pulau Karafuto dan Hokaido, Jepang Utara )
5. ORGANISMA MANUSIA Perbedaan Organisma Manusia dan Organisma Binatang. Mahluk manusia adalah mahluk yang hidup kelompok, dan mempunyai organisma yang secara biologis sangat kalah kemampuan fisiknya dengan jenis-jenis binatang berkelompok yang lain. Walaupun demikian otak manusia telah berevolusi paling jauh dibandingan dengan mahluk lain. Otak manusia yang telah dikembangkan oleh bahasa, dan kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang makin lama makin tajam. Bahasa menyebabkan bahwa manusia tidak hanya dapat belajar mengenai keadaan sekitar dengan mengalami secara kongkret peristiwa yang bersangkutan dengan keadaan-keadaan tadi, tetapi juga secara abstrak tanpa menyelami sendiri peristiwa tersebut, Dengan demikian bahasa manusia itu meabstraksikan dan menyimpan tiap pengeahuan barukedalam lambing vocal atau bentuk kata-kata baru.pengalaman yang telah kian bertambah banyak itu kemudian disimpan dan diatur oleh akal menjadisuatu system pengetahuan. Dengan bahasa maka pengetahuan manusia telah bertimbun membanyak menjadi himpunan pengetahuan akal manusia yang merupakan dasar dari apa yang disebut kebudayaan manusia. Dengan demikian terjadi benih-benih bagi system pembagian keahlian, yang sebaliknya merupukan benih dari system diferensi atau sisitem pembagian kerja, sedangkan system pembagian kerja itu memerlukan suatu pengaturan dan organisasi. Kapasitas otak yang unggul yang berupa akal tadi , menyebabkan ia dapat mengembangkan system pengetahuan yang menjadi dasar dari kemampuannya untuk membuat bermacam-macam alat hidup seperti senjata, alat-alat produksi, alat-alat berlindung, alat-alat transportasi dan sebagainya serta sumber-sumber energi lainnya. Dengan adanya pengaturan antara individu-individu dalam kelompok dan dengan adanya peralatan hidup, maka cara mahluk manusia mencari dan memproduksi pangannya dilakukan juga dengan system-sistem tertentu di mana terdapat pembagian kerja antara berbagai tahap atau teknik memproduksi pangan dan peralatan hidupnya itu.
Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan dari konsep dalam akalnya merupakan dasar dari kesadaran identitas diri dan kesadaran kepribadian diri sendiri.manusia juga memiliki kemampuan untuk membayangkan dengan akalnya peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat terjadi terhadapnya. Rasa takut akan tibanya maut merupakan salah satu sebab timbulnya suatu unsur penting dalam kehidupan manusia, yaitu religi. Akal manusia juga mengadakan suatu reaksi yang sadar dan kreatif, sehingga smenjadi unsure khas dalam hidupnya yaitu kesenian. Walaupaun organisma manusia kalah kemampuannya dengan banyak jenis binatang berkelompok lainnya, namun manusia dengan kemampuan otaknya, yang kita sebut akal budi itu, telah membantu dan menyambung keterbatasan kemampuan organisma itu. Keseluruhan dari system-sistem itu, yaitu (1) system bahasa, (2) system pengetahuan, (3) organisasi social, (4) system peralatan hidup dan teknologi, (5) system mata pencaharian, (6) system religi dan (7) kesenian, adalah yang disebut kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia tidak terdapat dalam organismanya, artinya tidak tertentukan dalam system gennya, berbeda dengan kemampuan-kemampuan organisma binatang. Manusia harus mempelajari kebudayaannya sejak lahir, selama seluruh jangka waktu hidupnya. Walaupun begitu manusia dengan kebudayaanya dapat menjadi mahluk yang paling berkuasa dan berkembang biak paling luas di muka bumi ini.
BAB II KEPRIBADIAN A.
Definisi Kepribadian Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau
tindakan dari tiap-tiap individu manusia disebut “kepribadian”atau personality. Dalam bahasa populer, istilah “kepribadian” juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten. Hal itu memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari kita anggap bahwa seorang tetentu mempunyai kepribadian, memang yang biasanya kita maksudkan ialah bahwa orang tersebut mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya sejak lahir,konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbedadari individu-individu lainnya. B.
Unsur-unsur Kepribadian
1.
Pengetahuan Unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara
nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan hidup manusia, ada bermacam-macam hal yang dialami dalam penerimaan pancainderanya dan alat penerima atau reseptor organ lain, misalnya sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran akustik (suara), bau, rasa, sentuhan, tekanan mekanikal (berat-ringan),tekanan termikal (panas-dingin) dan sebagainyayang masuk ke dalam sel-sel tetentu di bagian-bagian tetentu di otaknya. Di sana berbagai macam proses fisik, fisiologi, dan psikologi terjadi,yang menyebabkan berbagai macam getaran dan tekanan tadi diolah menjadi suatu susunan yang dipancarkan atau diproyeksikan oleh individu tesebut menjadi suatu penggambaran tentang lingkungan tadi. Seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious) tadi, dalamilmu psikologi disebut “persepsi”. Penggambaran tentang lingkungan dengan fokus kepada bagian-bagian yang paling menarik perhatian seorang individu, sering kali juga diolah oleh suatu proses dalam akalnya yang menghubungkan penggambaran tadi dengan berbagai penggambaran lain
yang sejenis yang pernah diterima dan diproyeksikan oleh akalnya dalam masa lalu, kemudian timbul kembali sebagai kenangan atau penggambaran lama dalam kesadaranya. Dengan demikian diperoleh suatu penggambaran baru dengan lebih banyak pengertian tentang keadaan lingkungan tadi. Penggambaran baru dengan penegrtian baru seperti itu, dalam ilmu psikologi disebut “apersepsi”. Ada kalanya suatu persepsi, setelah diproyeksikan kembali oleh individu menjadi suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian yang menyebabkan individu itu tertarik, akan lebih intensif memusatkan akalnya terhadap bagian-bagian khusus tadi. Penggambaran yang lebih intensif terfokus (terjadi karena pemusatan akal yang lebih intensif tadi), dalam ilmu psikologi disebut “pengamatan”. Seorang individu dapat juga menggabungkan dan membanding-bandingkan bagianbagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisiten. Dengan demikian bumi ini, bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah melihat, atau mempersepsikan tempat-tempat tadi. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial disebut “konsep”. Dalam usaha pengamatan oleh seorang individu dengan cara seperti terurai tadi maka penggambaran tentang lingkungannya tersebut ada yang ditambah-tambah dan dibesar-besarkan, dan ada yang dikurangi serta dikecil-kecilkan pada bagian-bagian tetentu. Bahkan ada pula yang digabung-gabungkan dengan penggambaran-penggambaran lain menjadi penggambaran yang baru sama sekali, sebenarnya tidak akan pernah ada dalam kenyataan. Penggambaran baru yang sering kali tidak realistis itu dalam ilmu psikologi disebut “fantasi”. Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur “pengetahuan” seseorang individu yang sadar. Sebaliknya, banyak pengetahuan atau bagian-bagian dari seluruh himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya itu, sering kali hilang dalam alam akalnya yang sadar, atau dalam “kesadarannya”, karena berbagai macam sebab. Perlu diperhatikan bahwa unsur-unsur pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, terdesak masuk
saja ke dalam bagian dari jiwa manusia yang dalam ilmu psikologi disebut alam “bawah sadar” (subconsious). Pengetahuan seorang individu karena berbagai alasan dapat terdesak atau dengan sengaja didesak oleh individu itu, ke dalam bagian dari jiwa manusia yang lebih dalam lagi, yaitu bagian yang dalam ilmu psikologi disebut alam “tidak sadar” (unconscious). Di sanalah pengetahuan individu larut dan terpecah-pecah ke dalam bagian-bagian yang saling terbaur dan tercampur. 2. Perasaan Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam “perasaan“. Ternyata selain segala macam pengetahuan”perasaan” juga mengisi penuh alam kesadaran manusia setiap saat dalam hidupnya. “Perasaan” adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif atau negatif. Suatu perasaan yang selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa juga positif (individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya sebagai suatu hal yang akan memberikan kenikmatan) atau bisa juga negatif (individu tersebut hendak menghindari hal yang dirasakannya membawa perasaan tidak nikmat). Sementara perasaan terhadap barang yang diingini dengan sangat itu menjadi bertambah, membuat udara disekitar semakin panas, keringat pun keluar lebih banyak dan hati berdebar. perasaan keras seperti itu disebut “emosi”. 3. Dorongan Naluri Kesadaran manusia menurut para ahli psikologi juga mengandung berbagai perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, tetapi karena sudah terkandung dalam organnya, dan khususnya dalam gennya sebagai naluri. Kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap mahluk manusia itu, oleh beberapa ahli psikologi disebut “dorongan” (drive). Sedikitnya tujuh macam dorongan naluri, yaitu : a. Dorongan untuk mempertahankan hidup
b. Dorongan seks c. Dorongan untuk upaya mencari makan d. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia e. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya f. Dorongan untuk berbakti C. Materi dari Unsur-unsur Kepribadian Kepribadian seseorang terbentuk oleh pengetahuan ( khususnya yaitu : persepsi, penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi mengenai bermacam hal yang ada dalam lingkungannya ). Selain pengetahuan, keperibandian seseorang juga terbentuk oleh berbagai perasaan, emosi, dan keinginan tentang bermacam hal yang ada dalam lingkungannya. Materi Unsur-unsur Kepribadian : I. Beragam kebutuhan individu 1. Kebutuhan biologis yang bernilai positif a. Makan dan minum b. Seks c. Buang hajat d. Istirahat dan tidur e. Keseimbangan suhu f. bernafas 2. kebutuhan biologis yang bernilai negative ( karena tidak terpenuhi ) a. makan dan minum tidak lezat b. istirahat dan tidur terganggu c. kegagalan seks d. ketidakseimbangan suhu e. kesulitan buang hajat f. bernafas sesak 3. Kebutuhan Psikologis bernilai positif a. Relaks dan bersantai
b. Kemesraan dan cinta c. Kepuasan altruistic ( misalnya : karena berkesempatan untuk berbuat baik, berbakti kepada orang lain, kepada suatu ide, dan suatu cita-cita ). d. Kepuasan ego e. Kehormatan f. Kepuasan dan kebanggaan mencapai tujuan 4. Dorongan psikologis bernilai negative a. Ketegangan b. Kebencian c. Altruisme ekstrem, sehingga tidak dapat dipenuhi dan menimbulkan keadaan tidak puas yang bernilai negative. d. Egoisme ekstrem sehingga menimbulkan kebencian terhadap orang lain. e. Penghinaan f. Tidak percaya diri, malu II. Ragam Hal dalam Lingkungan Individu 1. Identitas Aku yang Bersifat Fisik a. Deskripsi badan sendiri b. Deskripsi anggota badan tertentu c. Deskripsi mengenai kekurangan, cacat, atau penyakit-penyakit tertentu pada badan sendiri d. Deskripsi perhiasan dan ornament pada badan sendiri 2. Identitas Aku yang Bersifat Psikologis a. Deskripsi mengenai watak sendiri b. Sistem pra lambing mengenai diri sendiri 3. Kesadaran Individu mengenai Lingkungan sosialnya atau berbagai macam manusia disekelilingnya, seperti : a. Orang-orang dalam lingkungan sosialnya yang berada dalam hubungan mesra dan karib dengannya b. Orang-orang dalam lingkungan sosialnya yang berhubungan dengannya hanya berdasarkan asa-guna
c. Orang-orang
dalam
lingkungan
sosial
individu
yang
dikenal
atau
diketahuinya tetapi tidak ada arti atau pengaruh dalam lingkungan kehidupannya. d. Orang-orang dalam lingkungan sosial individu yang diketahuinya, tetapi yang ditanggapinya dengan sikap masa bodoh 4. Kesadaran Individu Mengenai Alam Fauna atau binatang, dan alam flora atau tumbuh-tumbuhan, dalam alam sekeklilingnya. 5. Kesadaran individu mengenai berbagai macam benda, zat, kekuatan, serta gejala-gejala alam yang berada dan terjadi disekelilingnya. III.
Berbagai cara untuk memperlakukan hal-hal dalam lingkungan diri sendiri guna memenuhi kebutuhan diri 1. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologis yang bersifat positif dari individu 2. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk menghindari, menolak, atau meniadakan berbagai kebutuhan biologis dan berbagai dorongan psikologis yang bersifat negative bagi individu 3. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk memperkuat identitas Aku dan individu 4. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai manusia dalam lingkungan individu 5. Berbagai cara, teknik, dan metode untuk mempergunakan bermacam-macam binatang dan tumbuh-tumbuhan untuk keperluan individu 6. Berbagai cara, tehnik, dan metode untuk mendapatkan, menguasai, dan mempergunakan berbagai macam benda, zat kekuatan, serta gejala-gejala alam yang berada dan terjadi disekitar individu.
D. Macam-macam Kepribadian 1. Macam-macam kepribadian individu Berbagai isi dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak, dan keinginan kepribadian, serta perbedaan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian
dalam kesadaran individu, menyebabkan keragaman struktur kepribadian pada setiap manusia. Oleh karena itu, kepribadian tiap individu sangat unik. Mempelajari materi setiap unsure kepribadian ( baik yang berupa pengetahuan maupun yang berupa perasaan, sasaran dari kehendak, keinginan, dan emosi seseorang ) adalah tugas ilmu psikologi. Dalam hal itu diperhatikan satu macam materi yang menyebabkan satu tingkah laku berpola, yaitu suatu kebiasaan ( babit ) dan berbagai macam materi yang menyebabkan timbulnya kepribadian ( personality ), serta segala macam tingkah laku berpola dari individu bersangkutan. 2. Kepribadian Umum Para pengarang etnografi abad ke-19 yang lalu hingga tahun 1930-an sering mencantumkan dalam karangan etnografi mereka suatu deskripsi tentang watak atau kepribadian umum dari para warga kebudayaan yang menjadi topic etnografi mereka. Deskripsi itu biasanya berdasarkan kesan-kesan saja, didapat dari pengalamanpengalaman mereka bergaul dengan para individu warga kebudayaan yang sedang mereka teliti. Linton dan Kardiner pertajam konsep kepribadian umum sehingga timbul konsep “kepribadian dasar” atau basic personality structure, berarti : semua unsure kepribadian yang dimiliki bersama oleh suatu bagian besar dari warga masyarakat itu. Kepribadian dasar itu ada karena semua individu warga dari suatu masyarakat itu mengalami pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama masa tumbuhnya. Pendekatan dalam penelitian kepribadian dari suatu kebudayaan juga dilakukan dengan metode lain yang didasarkan pada suatu pendirian dalam ilmu psikologi. Pendirian tersebut menyatakan bahwa benih dari ciri-ciri dari unsur watak telah tertanam dalam jiwa seorang individu sejak ia masih anak-anak. Pembentukan watak dalam jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya ketika anak-anak ia diasuh orang-orang dalam lingkungannya. Watak juga sangat ditentukan oleh cara-cara ia sewaktu kecil diajarkan makan, diajarkan kebersihan, disiplin, diajarkan main dan bergaul dengan anak-anak lainnya dan sebagainya. Oleh karena dalam tiap kebudayaan cara pengasuhan anak didasarkan pada adat dan norma-norma tertentu, maka beberapa unsur watak yang seragam akan tampak menonjol pada banyak individu yang telah menjadi dewasa itu.
3. Kepribadian Barat dan Kepribadian Timur Semua kebudayaan bukan Eropa Barat disebut pandangan hidup dan kepribadian Timur. Dengan demikian timbul dua konsep yang kontras, yaitu Kepribadian Timur dan Kepribadian Barat. Dalam rangka pemakaian kedua konsep yang kontras itu, ada berbagai macam pandangan diantara para cendekiawan Indonesia, yang sering bersifat kabur. Mereka yang suka mendiskusikan kontras antara kedua konsep tersebut biasanya menyangka bahwa kepribadian Timur mempunyai pandangan hidup yang mementingkan kehidupan kerohanian, mistik, fikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan sosial. Sebaliknya kepribadian Barat mempunyai pandangan hidup yang mementingkan kehidupan material, pikiran logis, hubungan berdasarkan asa guna, dan individualisme. Dalam kenyataan, berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia ( yang dapat digolongkan kedalam “kebudayaan timur” ), penuh dengan unsur-unsur prelogis; mementingkan diskusi-diskusi tentang kebatinan; dan mementingkan mistik. Dalam sebuah karangannya berjudul Psychological Homeostatis and Jen, yang dimuat dalam majalah American Anthropologist jilid 73, tahun 1971 ( hlm. 23-44 ), Hsu telah mengembangkan suatu konsep bahwa alam jiwa manusia sebagai makhluk sosial budaya itu mengandung delapan daerah yang berwujud seolah-olah seperti lingkaranlingkaran konsentrikal sekitar diri pribadinya. Bagan dibawah ini menggambarkan kedelapan daerah lingkaran itu. 0 1 2 3 4 5 6 7
7. Tidak sadar 6. Subsadar 5. Kesadaran yang tidak dinyatakan 4. Kesadaran yang dinyatakan 3. Lingkungan hubungan karib 2. Lingkungan hubungan berguna 1. Lingkungan hubungan jauh 0. Dunia luar Lingkaran yang diberi nomor 7 dan 6 adalah daerah dalam jiwa individu yang oleh para ahli psikologi disebut daerah “tidak sadar” dan “subsadar”. Kedua lingkaran itu berada didaerah pedalaman dari alam iwa individu, dan terdiri dari bahan pikiran dan gagasan yang telah terdesak kedalam sehingga tidak disadari lagi oleh individu bersangkutan. Lingkaran nomor 5 yang disebut oleh Hsu : “kesadaran yang tidak dinyatakan” ( unexpressed consiousnes ). Lingkaran itu terdiri dari fikiran-fikiran dan gagasan-gagasan yang disadari penuh oleh individu bersangkutan, tetapi yang disimpan saja olehnya dalam alam jiwanya sendiri dan tidak dinyatakannya kepada siapapun dalam lingkungannya. Lingkaran nomor 4 “kesadaran yang dinyatakan” (expressed conscious ). Lingkaran ini dalam alam jiwa manusia mengandung fikiran-fikiran, gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang dapat dinyatakan secara terbuka oleh individu kepada sesamanya, yang dengan mudah dapat diterima dan dijawab pula oleh sesamanya. Lingkaran nomor 3, yang oleh Hsu disebut “lingkaran hubungan karib” ( intimate society ) mengandung konsep tentang orang, binatang, atau benda yang oleh individu diajak bergaul secara mesra dan karib, yang dapat dipakai sebagai tempat berlindung dan tempat mencurahkan isi hati apabila sedang terkena tekanan batin atau dikejarkejar oleh kesedihan serta masalah-masalah hidup yang menyulitkan. Lingkaran nomor 2, “lingkungan hubungan berguna”, tidak lagi ditandai oleh sikap saying mesra, tetapi ditentukan oleh fungsi kegunaan dari orang, binatang, atau bendabenda itu bagi dirinya.
Lingkaran nomor 1, “lingkaran hubungan jauh”, terdiri dari fikiran dan sikap dalam alam jiwa manusia tentang manusia, benda-benda, alat-alat, pengetahuan, dan adat yang ada dalam kebudayaan dan masyarakat sendiri, tetapi yang jarang sekali mempunyai arti dan pengaruh langsung terhadap kehidupan sehari-hari. Daerah nomor 0, “lingkaran dunia luar”, fikiran-fikiran dan anggapan-anggapan tentang orang dan hal yang terletak diluar masyarakat dan Negara Indonesia, dan ditanggapi oleh individu bersangkutan dengan sikap masa bodoh. Daerah lingkaran nomor 4 dibatasi oleh garis yang digambar lebih tebal dari pada yang lain. Garis ini menggambarkan batas dari alam jiwa individu yang dalam ilmu psikologi disebut personality atau “kepribadian”. Menurut ilmu psikologi Barat terkandung dalam kepribadian manusia, itulah yang merupakan konsep Ego atau Akunya manusia dalam psikologi Barat. Konsep yang dapat dipakai sebagai landasan untuk mengembangkan konsep lain itu menurut Hsu adalah konsep Jen dalam kebudayaan Cina. Jen adalah anusia yang berjiwa selaras, manusia yang berkepribadian”. Nomor 4 dan 3, dibedakan dari yang lain dengan garis-garis arsir yang sedikit memasuki daerah lingkaran nomor 5 dan nomor 2, menggambarkan konsep Jen atau alam jiwa dari “manusia yang berjiwa selaras” itu disebut Psychological homeostasis (sama dengan judul karangannya).
BAB III MASYARAKAT A. Kehidupan Berkelompok dan Devinisi Masyarakat 1. Kehidupan Berkelompok Dalam Alam Binatang Dari ilmu mikrobiologi, misalnya kita mengetahui bahwa banyak jenis protozoa hidup bersama makhluk sel sejenis dalam suatu kelompok sebanyak ribuan sel yang masing-masing tetap merupakan individu sendiri-sendiri. Dalam kelompok protozoa misalnya jenis Hydractinia itu, ada suatu pembagian kerja yang nyata antara subkelompok. Ada subkelompok yang terdiri dari ratusan sel yang fungsinya mencari makan bagi seluruh kelompok ; ada subkelompok lain yang fungsinya memreproduksi jenis dengan cara membelah diri ; ada subkelompok yang fungsinya meneliti keadaan lingkungan dengan kemampuannya membedakan suhu yang terlampau tinggi atau terlampau rendah, untuk mendeteksi adanya bahan yang dapat dimakan, adanya lingkungan yang cocok utuk reproduksi dan lain-lain. Dari
mempelajari
kelompok-kelompok
binatang
seperti
itu
kita
dapat
mengabstraksikan beberapa ciri yang dapat kita anggap ciri khas kehidupan berkelompok, yaitu : 1. Pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam subkesatuan atau golongan individu dalam kelompok untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup ; 2. Ketergantungan individu kepada individu lain dalam kelompok sebagai akibat dari pembagian kerja tadi ; 3. Kerja sama antarindividu yang disebabkan karena sifat ketergantungan tadi ; 4. Komunikasi antarindividu yang diperlukanguna melaksanakan kerja sama tadi; 5. Diskriminasi yang diadakan antar individu-individu warga kelompok dan individu-
individu dari luarnya. Mengenai asas-asas pergaulan antara makhluk dalam kehidupan alamiah itu, beberapa ahli filsafat seperti H. Spencer pernah menyatakan bahwa asas egoisme atau asas “ mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan yang lain “, mutlak perlu bagi jenis-jenis makhluk untuk dapat bertahan dalam alam yang kejam. Kita dapat mengerti bahwa asas altruisme ini terutama berarti bagi makhlukmakhluk yang hidup berkelompok. Justru karena altruisme yang kuat, maka jenis makhluk berkelompokitu mampu mengembangkan sesuatu hubungan saling tolong-menolong dan kerja sama yang serasi sehingga sebagai kelompok mereka menjadi begitu kuat dapat bertahan hidup dalam alam yang kejam. 2. Kehidupan Berkelompok Makhluk Manusia Manusia adalah jenis makhluk hidup yang juga hidup dalam kelompok. Asas-asas hidup berkelompok yang sebenarnya telah dapat kita pelajari pada berbagai jenis protozoa, serangga, dan binatang berkelompok lainnya. Walaupun demikian masih ada suatu perbedaan yang sangat mendasar anatara kehidupan kelompok binatang dan kehidupan kelompok manusia antara lain : 1. Sistem pembagian kerja 2. Aktifitas kerja sama 3. Berkomunikasi dalam kehidupan berkelompok binatang bersifat naluri. Naluri merupakan suatu kemampuan yang telah dirancang oleh alam dan terkandung dalam gen jenis binatang yang bersangkutan. Sedangkan sistem pembagian kerja, aktivitas kerja sama dan berkomunikasi dalam kehidupan berkelompok manusia tidak bersifat nurani. Hal ini disebabkan karena lepas dari pengaruh ciri-ciri ras, baik Kaukasoid, Mongoloid, Negroid atau lainnya, organisme manusia mengevolusi suatu otak yang khas. Otak manusia telah mengembangkan suatu kemampuan yang biasanya disebut “ akal “.
Kelakuan binatang berkelompok yang berakar dalam naluri, pada manusia menjadi tingkah laku yang dijadikan milik diri dengan belajar. Kelakuan binatang dan kelakuan manusia yang prosesnya telah direncanakan dalam gennya dan merupakan milik dirinya tanpa belajar, seperti refleks, kelakuan naluri, dan kelakuan membabi buta, tetap kita sebut kelakuan. Sebaliknya, perilaku manusia yang prosesnya tidak direncanakan dalam gennya, tetap yang harus dijadikan milik dirinya dengan belajar, kita sebut tindakan atau tingkah laku. Oleh karena pola-pola tindakan dan tingkah laku manusia adalah hasil belajar, maka kita dapat mudah mengerti bahwa pola-pola tindakan dapat berubah dengan lebih cepat daripada perubahan bentuk biologisnya. Tingkah laku dan hidup manusia beberapa tahun yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Hanya tiga dasawarsa hingga empat dasawarsa yang lalu saja orang Indonesia masih banyak tinggal dalam rumah-rumah besar dengan kelompok kerabatnya yang luas, dan dari musim ke musim menanam padi di lading atau sawah sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam rentang waktu hidup beberapa generasi manusia tidak sama cepatnya pada kelompok manusia satu dengan kelompok manusia lainnya. Ada yang mengalami perubahan lamban dalam jangka waktu beberapa puluh generasi selama saru-dua abad, ada pula yang berubah dengan cepat hanya memerlukan waktu dua-tiga generasi saja selama beberapa puluh tahun. Apabila sejenis serangga lebah tetap sama pola kelakuan dan cara hidupnya di mana pun ia berada, tidaklah demikian dengan pola tingkah laku dan hidup manusia di Asia, Afrika, Australia, Amerika Utara, Amerika Latin, atau Eropa. B. Berbagai Wujud Kelompok Manusia Manusia dimuka bumi saat ini berjumlah lebih dari tiga miliar dan seluruh makhuk jenis homo sapiens itu menampakan suatu keragaman yang disebabkan karena ciri-ciri raas Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, dan beberapa ciri lain yang berbeda-beda. Namun seperti yang telah tersebut tadi, beragam ciri ras itu tidak menyebabkan timbulnya beragam pola tingkah laku manusia.
Ragam tingkah laku manusia memang bukan disebabkan karena ciri-ciri ras, melainkan karena kelompok-kelompok tempat manusia itu bergaul dan berinteraksi. Pada zaman sekarang ini wujud tersebut adalah kelompok-kelompok yang besar terdiri dari banyak manusia, tersebar dimuka bumi sebagai kesatuan-kesatuan manusia yang erat, dan disebut Negara-negara nasional. Di Asia Tenggara, tampak kesatuan-kesatuan manusia yang terwujud sebagai Negara nasional besar-kecil, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Filipina, Vietnam, Laos. Kamboja, Thailand, Myanmar. Di Eropa Barat misalnya tampak kesatuan-kesatuan manusia yang juga berwujud sebagai Negara nasional besar-kecil, seperti Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, Jerman, Belgia, Luksemburg, Lechtenstein dan banyak yang lain. Lebih khusus, dalam setiap suku bangsa ada kesatuan-kesatuan hidup yang lebih kecil lagi, yaitu desa dan kota. Di dalamnya manusia yang terkait dalam kesatuan-kesatuan khusus itu terwujud sebagai kelompok-kelompok kekerabatan, sedangkan organisasiorganisasi khusus itu berwujud sebagai misalnya perkumpulan-perkumpulan rekreasi, partai-partai politik, organisasi-organisasi dagang, badan-badan pendidikan dan lain-lain. Adapula organisasi-organisasi untuk mengurus pertanian dan irigasi yang bernama subak ; ada organisasi-organisasi untuk melaksanakan suatu pertukangan yang bernama seka, seperti seka tukang patung, seka tukang pandai besi, seka tukang ukir, seka pelukis dan lain-lain ; ada organisasi-organisasi untuk kesenian atau untuk rekreasi yang juga disebut seka. Beragam kesatuan hidup manusia dalam suatu kesatuan Negara nasional mempunyai wujud yang lain. Berbagai wujud ini bukan disebabkan karena ada suku-suku bangsa yang berbeda-beda, melainkan karena secara horizontal ada lapisan-lapisan sosial yang berbeda-beda. Masing-masing golongan tersebut mempunyai pola-pola tingkah laku, adat-istiadat, dan gaya hidup yang berbeda-beda. Golongan-golongan seperti ini seolaholah merupakan lapisan-lapisan sosial, karena ada penilaian tinggi rendah mengenai tiap golongan tadi oleh warga dan negara yang bersangkutan.
C. Unsur-unsur Masyarakat Yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok dan perkumpulan. 1. Masyarakat Masyarakat ( sebagai terjemahan istilah society ) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Perkataan society berasal dari bahasa latin societas, “ perkataan “. Societas diambil dari socius yang berarti “ teman “, maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Kata “ masyarakat “ sendiri berasal dari kata dalam bahasa arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubunganhubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah komunitas yang interdependen ( saling tergantung satu sama lain ). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Pengertian lain dari masyarakat merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuditi manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “ bergaul “, atau dengan istilah ilmiah, saling “ berinteraksi “. Negara modern misalnya, merupakan suatu kesatuan manusia dapat mempunyai berbagai macam prasarana yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif dan dengan frekuensi yang tinggi. Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu ; dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.
Sebaliknya suatu Negara, suatu kota atau desa, misalnya merupakan kesatuan manusia yang memiliki ke empat ciri terurai di atas, yaitu ; 1. Interaksi antar warga dan-warganya; 2. Adat istiadat, norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur pola tingkah laku warga Negara kota atau desa; 3. Kontinuitas waktu; 4. Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Maka definisi masyarakat secara khusus dapat kita rumuskan sebagai berikut : Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adapt istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Definisi ini merupakan suatu definisi yang diajukan oleh J. L. Gillin dan J. P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology ( 1954 : hlm. 139 ), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah “ …… the largest grouping ini which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative “. Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur “ kesatuan hidup “ dalam definisi kita, unsur common customs dan traditions adalah unsur “ adat istiadat “ dan “kontinuitas” dalam definisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity sama dengan unsur “ identitas bersama “. Asas-asas Sosiologi guru ilmu sosiologi Universitas Gajah Mada, M.M. Djojodigoeno, membedakan antara konsep “ masyarakat dalam arti yang luas dan sempit “. Berdasarkan konsep Djojodigoeno ini dapat dikatakan masyarakat Indonesia sebagai contoh suatu “ masyarakat dalam arti luas “. Sebaliknya, masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti dadia, marga, atau suku, kita anggap sebagai contoh dari suatu “ masyarakat dalam arti sempit “. Apakah dengan demikian konsep masyarakat sama dengan konsep kumunitas ? kedua istilah itu memang tumpang tindih, tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia, dank arena itulah bersifat lebih luas daripada istilah komunitas. Masyarakat adalah semua kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, tetapi komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah tadi.
2. Kategori Sosial Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu. Ciri-ciri objektif itu, misalnya dalam masyarakat suatu Negara ditentukan melalui hukumnya bahwa ada kategori warga di atas umur 18 tahun, dan kategori warga di bawah 18 tahun, dengan maksud untuk membedakan antara warga Negara yang mempunyai hak pilih dan warga Negara yang tidak mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum. Contoh lain adalah bahwa dalam masyarakat itu juga ada suatu kategori orang yang memiliki mobil, dan suatu kategori orang yang tidak memilikinya, dengan maksud untuk menentukan warga Negara yang harus membayar sumbangan wajib dan yang bebas dari sumbangan wajib itu. Orang-orang dalam suatu kategori sosial, misalnya semua anak di bawah 17 tahun, biasanya tidak ada suatu orientitas sosial yang mengikat mereka. Mereka juga tidak memiliki potensi yang dapat mengembangkan suatu interaksi di antara mereka sebagai keseluruhan. Suatu kategori sosial biasanya juga tidak terikat oleh kesatuan adat, sistem nilai, atau norma tertentu. Suatu kategori sosial tidak mempunyai lokasi, tidak mempunyai organisasi, tidak mempunyai pimpinan. 3. Golongan Sosial Suatu golongan sosial juga merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu. Bahkan sering kali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal ini dapat disebaabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respons atau reaksi terhadap cara pihak luar memandang golongan sosial itu. Hal ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh seperti terurai berikut ini. Dalam masyarakat Indonesia misalnya ada konsep golongan pemuda. Golongan sosial ini terdiri dari manusia yang oleh pihak luar ditentukan berdasarkan atas satu ciri, yaitu “ sifat muda “. Namun, selain ciri objektif tersebut, golongan sosial ini digambarkan
oleh umum sebagai suatu golongan manusia yang penuh idealisme ; belum terikat oleh kewajiban-kewajiban hidup yang membebankan sehingga masih sanggup mengabdi dan berkorban kepada masyarakat ; penuh semangat dan validitas ; mempunyai daya mempengaruhi serta kreativitas yang besar. Suatu golongan sosial dapat juga timbul karena pandangan negatif dari orang lain di luar golongan itu. Misalnya : golongan Negro atau black dalam masyarakat Amerika Serikat, disebabkan karena ciri-ciri ras yang tampak lahir secara mencolok dan membedakan mereka dari warga Negara Amerika Serikat lainnya yang mempunyai ciri-ciri ras Kaukasoid. Dalam masyarakat masih ada suatu kesatuan manusia yang dapat disebut golongan sosial, yaitu lapisan atau kelas sosial. Dalam masyarakat kuno misalnya ada lapisan-lapisan seperti lapisan bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan budak dan sebagainya ; dalam masyarakat masa kini ada lapisan petani, lapisan buruh, lapisan pegawai, lapisan pegawai tinggi, lapisan cendikiawan, lapisan usahawan dan sebagainya. Lapisan atau golongan social semacam itu terjadi karena manusia-manusia yang dikelaskan ke dalamnya mempunyai suatu gaya hidup yang khas. Walaupun konsep golongan social dapat dibedakan dari konsep kategori sosial melalui tiga syarat pengikat lagi, yaitu system norma, rasa identitas sosial, dan kontinuitas ; namun konsep golongan sosial itu sama dengan konsep kategori sosial dan tidak memenuhi syarat untuk disebut masyarakat. Hal itu disebabkan karena ada suatu syarat pengikat masyarakat yang tidak ada pada keduanya, yaitu prasarana khusus untuk melakukan interaksi sosial. 4. Kelompok dan Perkumpulan Suatu kelompok atau group juga merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, dengan adanya adapt istiadat serta system norma yang mengatur in teraksi itu, dengan adanya idenitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Namun selain ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan
sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai kesatuan dari individu-individu pada masamasa yang secara berulang berkumpuk dan kemudian bubar lagi. Kedua ciri khas tersebut sebenarnya juga dimiliki oleh kesatuan manusia yang paling besar masa kini, yaitu Negara. Namun, istilah kelompok tidak dikenakan pada Negara.Kelompok yang didasarkan organisasi yang disebut pertama, misalnya marga Tarigan, dalam buku-buku pelajaran antropologi dan sosiologi dalam bahasa Inggris sering disebut group atau juga primaty group. Sistem organisasi sering disebut informal organization. Kelompok yang berdasarkan organisasi yang disebut kedua, seperti PSIM atau Gerakan Subud, dalam buku-buku pelajaran antropologi dan sosiologi dalam bahasa Inggris disebut association. System organisasi sering disebut farmal organization. Apabila istilah-istilah bahasa Inggris group, informal organization, association, dan farmal organization itu kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secar otomatis, maka kan timbul istilah-istilah yang artinya menjadi tidak jelas, seperti asosiasi, organisasi resmi, kelompok, dan organisasi tidak resmi. Karena itu, untuk menghindari salah paham digunakan istilah-istilah lain dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti lebih jelas untuk menyebut kedua macam kelompok dan organisasi tadi. Association sebaiknya diterjemahkan dengan istilah “ perkumpulan “. Dasar organisasinya adalah “ organisasi buatan “. Group diterjemahkan dengan istilah “ kelompok “. Atau bila perlu kita dapat juga memakai istilah yang digunakan Cooley, kelompok primer. Dasar organisasinya adalah “ organisasi adat “. Suatu kelompok primer dengan kelompok adat, biasanya mempunyai system pimpinan yang berbeda sifatnya daripada suatu perkumpulan dengan organisasi buatan. Pimpinan kelompok lebih dilandaskan kewibawaan dan karisma, sedangkan hubungan dengan warga kelompok yang dipimpin lebih berdasarkan hubungan asas perorangan. Sebaliknya, pimpinan perkumpulan biasanya lebih berlandaskan wewenang dan hukum, sedangkan hubungan dengan anggota kelompok yang dipimpin lebih berlandaskan hubungan anonim dan asas guna.
Tabel 1 Perbedaan antara kelompok dan perkumpulan Kelompok
Perkumpulan
Primary group
Association
Gemeinsschaft
Gessellshaft
Solidarite mechanique
Solidarite organique
Hubungan familistic
Hubungan contractual
Dasar organisasi adapt
Dasar organisassi buatan
Pimpinan berdasarkan kewibawaan dan Pimpinan berdasarkan wewenang dan karisma
hukum
Hubungan berasaskan perorangan
Hubungan anonym dan berasas guna
5. Beragam Kelompok dan Perkumpulan Perkumpulan dapat dikelaskan berdasarkan prinsip guna dan keperluan atau fungsinya. Ada perkumpulan-perkumpulan yang berdasarkan keperluan manusia untuk memajukan pendidikan dalam masyarakat seperti suatu yayasan pendidikan atau kelompok studi, suatu perkumpulan pemberantasan buta huruf dan sebagainya. Ada perkumpulan untuk memajukan ilmu pengetahuan seperti Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu sosial, atau organisasi-organisasi profesi yang sekaligus juga bertujuan mengajukan ilmu dan profesi bersangkutan, seperti Ikatan Dokter Indonesia. Ada perkumpulan yang berdasarkan keperluan untuk memajukan kesenian, seperti perkumpulan Mitra Budaya, perkumpulan seni tari Krida beksa Wirama, band musi pop Koes Plus, perkumpulan kesusasteraan, aliran-aliran seni lukis dan sebagainya. Adapula perkumpulan yang bertujuan melaksanakan aktivitas-aktivitas keaagamaan, seperti
organisasi gereja, organisasi-organisasi penyiaran agama, sekte, gerakan-gerakan kebatinan, gerakan-gerakan ratu adil dan sebagainya. 6. Ikhtisar Mengenai Beragam Wujud Kesatuan Manusia Agar menjadi lebih jelas, maka beragam wujud kesatuan manusia terurai tadi beserta istilah-istilahnya yang hingga sekarang masih tetap merupakan suatu masalah yang belum mantap diantara para ahlu antropologi dan sosiologi. Ada tiga wujud kesatuan manusia, yaitu kerumunan, katerogi social, dan golongan social tidak dapat disebut masyarakat. Hal itu karena ketiganya tidak memenuhi ketiga unsur-unsur yang merupakan syarat konsep “ masyarakat “. Sedangkan perkumpulan lazimnya juga tidak disebut demikian, walaupun memenuhi syarat. 7. Interaksi Antarindividu Dalam Masyarakat Konsep interaksi yang dalam pembahasan sehari-hari, berarti “ bergaul “. Dalam hal menganalisis proses interaksi antara individu-individu dalam masyarakat, kita harus membedakan dua hal yaitu : kontak dan komunikai. Kontak antara individu juga tidak hanya mungkin pada jarak dekat dengan misalnya “ berhadapan muka “. Juga tidak hanya pada jarak sejauh kemampuan pancaindra manusia, tetapi alat-alat kebudayaan manusia masa kini seperti tulisan, buku, surat kabar, telepon, radio, televisi memungkinkan individu-individu berkontak pada jarak yang sangat jauh. Komunikasi terjadi setelah adanya kontak. D. Pranata Sosial Istilah pranata sosial oleh Soerjono Soekanto disebut lembaga kemasyarakatan merupakan hasil terjemahan dari bahasa Inggris social institution. Istilah yang lain yang sering dipakai menunjukan pranata sosial adalah lembaga sosial. Istilah pranata sosial berkaitan erat dengan istilah pranata dan lembaga. Pengertian mengenai pranata social :
1. Pranata sosial adalah suatu system norma yang mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting ( menurut Horton dan Hunt Suharko ) 2. Pranata sosial merupakan himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok yang dipandang penting dalam masyarakat ( menurut Soerjono Soekanto ). 3. Pranata sosial merupakan tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antarmanusia yang berkelompok dalam suatu kelompok masyarakat ( menurut Robert Max. Iver dan Charles H. Page ). 4. Pranata sosial adalah suatu system tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. ( Menurut Koentjaraningrat ) 5. Pranata sosial adalah semua norma dari segala tingkat yang berkisar pada suatu keperluan pokok dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu kelompok yang diberi nama lembaga kemasyarakatan.( Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ) 1. Pranata Pranata adalah suatu system norma khusus menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Konsep pranata atau institution telah lama berkembang dan dipergunakan dalam ilmu sosiologi dan merupakan suatu konsep dasar yang diuraikan secara panjang lebar dalam semua kitab pelajaran mengenai ilmu itu. 2. Pranata ( institusi ) dan Lembaga ( istitut ) Pranata adalah system norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu. Dengan kata lain, lembaga merupakan wujud konkret dari pranata. Pranata bersifat abstrak, karena merupakan seperangkat aturan. Sedangkan, lembaga bersifat nyata, karena berupa lembaga, asosiasi, organisasi, kelompok, badan, atau perkumpulan yang khusus.
Sebagai contoh : Sekolah merupakan pranata yang memiliki seperangkat norma yang mengatur tentang pendidikan. Sedangkan SD Negeri 1, SD 2 merupakan lembaga. 3. Macam-macam Pranata Menurut Koentjaaraningrat bahwa pranata-pranata social atau lembaga social kemasyarakatan dibagi menjadi delapan pranata, sebagai berikut : 1. Pranata yang mengatur atau berfungsi tenteng kekerabatan, yaitu sering disebut kinship atau domestic institutions. Yaitu mengatur tentang : Kekeluargaan, perkawinan, perceraian, cara-carameminang / melamar, tolong menolong antarkerabat, pengasuhan anak-anak, sopan santun pergaulan antarkerabat dan sebagainya. 2. Pranata yang mengatur tentang mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, menyimpan, mendistribusikan hasil produksi dan harta adalah economic institutions, yaitu mengatur kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi seperti : pertanian, peternakan, perindustrian, perkebunan, perbankan, perburuan, jasa dan sebagainya. 3. Pranata yang mengatur tentang penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna adalah educational institutions, yaitu mengatur tentang tingkatan / jenjang pendidikan sejak TK, SD, SLTP, SMA, Perguruan Tinggi ( Program S1, S2, S3 ), pendidikan formal kejuruan, pemberantasan buta huruf pers, dan sebagainya. 4. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya atau scientific institutions, yaitu mengatur tentang kebutuhan ilmiah, seperti : metodologi ilmiah, karya ilmiah, kelompok ilmiah remaja ( KIR ), penelitian, pendidikan ilmiah, dan sebagainya. 5. Pranata yang mengatur tentang rasa keindahan dan rekreasi ( aesthetic and recreational institutions ), yaitu meliputi kebutuhan-kebutuhan seperti : seni rupa, seni drama, seni tari, sport, menikmati keindahan panorama alam, rekreasi, wisata dan sebagainya.
6. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kebutuhan-kebutuhan dalam kegiatan-kegiatan agama atau religious institutions, contoh : masjid, gereja, pura, kenduri, upacara ritual, dan sebagainya. 7. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan hidup berkelompok atau bernegara atau political institutions, seperti : partai politik, Negara demokrasi, Polri, TNI, kejaksaan, kehakiman, departemen, dan sebagainya. 8. Pranata yang mengatur tentang kebutuhan jasmani manusia atau somatic institutions, yaitu kebutuhan yang mengatur pemeliharan badan seperti : kecantikan, kesehatan, kedokteran, tata rias, dan sebagainya. Penggolongan tersebut tentu tidak lengkap karena tidak mencakup segala macam pranata yang mungkin ada dalam masyarakat manusia. Selain itu dalam suatu masyarakat banyak pula pranata yang tidak khusus tumbuh dari dalam adapt istiadat suatu masyarakat bersangkutan, tanpa disadari adan direncanakan diambil dari masyarakat lain. Banyak pranata berasal dari luar, seperti : demokrasi parlementer, system kepartaian, koperasi, perguruan tinggi, komunikasi satelit, dan lain-lain. Pada tanggal 10 Juni 1976, misalnya dalam masyarakat Indonesia dikembangkan yaitu pranata baru, yaitu pranata komunikasi satelit. 4. Pranata, kedudukan dan pranata Sosial Istilah peranan memang dipinjam dari seni sandiwara. Berbeda dengan sandiwara, si pemain tidak hanya memainkan suatu peranan saja, tetapi beberapa peranan sekaligus atau secara berganti-ganti. Dalam ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain, peranan diberi arti yang lebih khusus, yaitu peranan khas yang dipentaskan atau ditindakan oleh individu dalam kedudukan di mana ia berhadapan dengan individu-individu dalam kedudukan-kedudukan lain. Untuk tiap individu dalam masyarakat ada dua macam kedudukan, yaitu kedudukan yang dapat diperoleh dengan sendirinya, dan kedudukan yang hanya dapat diperoleh dengan usaha. Golongan yang pertama disebut kedududkan tergaridkan dan yang keduaa disebut kedudukan diusahakan.
E. Integrasi Masyarakat 1. Struktur Sosial Konsep social structure pertama kali dikembangkan oleh seorang tokoh dalam ilmu antropologi, yaitu A.R. Radcliffe Brown. Sarjana antropologi Inggris ini hidup di antara 1881 dan 1955, yang di antara lain pernah melakukan penelitian terhadap orang-orang pygmee di kepulauan Andaman di Teluk Bengali di sebelah utara sumatera. Dalam bukunya yang melaporkan penelitian itu, The Andaman Islanders ( 1922) belum tercantum uraian mengenai konsep social structure itu. Baru pada tahun 1939 konsep itu diuraikan olehnya dalam suatu pidato resmi yang diucapakannya saat peristiwa penerimaan jabatannya sebagai Ketua Lembaga Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. Dasar pikirannya mengenai struktur sosial itu secara singkat adalah seperti yang terurai berikut ini : 1. Pangkal dan pusat dari segala penelitian masyarakat di muka bumi ini, serupa dengan penelitian-penelitian ilmu kimia itu yang memusatkan perhatian terhadap susunan hubungan antara molekul-molekul yang menyebabkan adanya berbagai zat. 2. Struktur sosial dari suatu masyarakat itu mengendalikan tindakan individu dalam masyarakat, tetapi tidak tampak oleh seorang peneliti dengan sekejap pandangan dan harus diabstraksikan secara induksi dan dari kenyataan kehidupan masyarakat yang konkret. 3. Hubungan interaksi antarindividu dalam masyarakat adalah hal yang konkret yang dapat diobservasi dan dapat dicatat. 4. Dengan struktur sosial itu seorang peneliti kemudian dapat menyelami latar belakang seluruh kehidupan suatu masyarakat, baik hubungan kekerabatan, perekonomian, religi, maupun aktivitas kebudayaan atau pranata lainnya. 5. Untuk mempelajari struktur sosial suatu masyarakat diperlukan suatu penelitian di lapangan, dengan mendatangi sendiri suatu masyarakat manusia yang hidup terikat oleh suatu desa, suatu bagian kota besar, suatu kelompok berburu dan yang lain.
6. Struktur sosial juga dapat dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas-batas dari suatu masyarakat tertentu. 2. Analisis Struktur Sosial Walaupun Radcliffe- Brown telah menguraikan konsep social structure, ia belum pernah memberikan petunjuk mengenai metodologi yang digunakan seorang peneliti mengabstraksikan susunan social dari kenyataan kehidupan masyarakat. Ahli-ahli antropologi telah mencoba berbagai metode untuk
mengabstaksikan struktur sosial,
metode-metode yang paling umum adalah mencari karangka itu dari kehidupan kekerabatan. Dalam suatu masyarakat kecil dan lokal, kehidupan kekerabatan merupakan suatu system yang sering kali bersifat amat ketat, yamg memang mempengaruhi suatu lapangan kehidupan yang sangat luas, sehingga menyangkut banyak sektor kehidupan masyarakat. Antropologi yang mempunyai pengalaman cukup lama justru dalam hal meneliti masyarakat lokal, telah mengembangkan berbagai metode dan konsep mengenai berbagai system kekerabatan yang beragam.
BAB IV KEBUDAYAAN
A. Definisi Menurut Ilmu Antropologi Menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan. Definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar, juga diajukan oleh beberapa ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, atau A. Hoebel. Definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara banyak definisi lain yang pernah diajukan, tidak hanya para sarjana antropologi, tetapi juga oleh para sarjana ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Hasil penelitian mengenai definisi kebudayaan tadi diterbitkan menjadi buku berjudul: Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions (1952). 1. Kebudayaan (Culture) dan Peradaban Kata “kebudayaan: berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk bu-daya, yang berarti “daya dan budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata latin colore yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti lain berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.” 2. Sifat Superorganik dari Kebudayaan Manusia berevolusi dalam jangka waktu lebih-kurang 4 juta tahun lamanya. Pada saat itu muncul di muka bumi, tentu telah ada benih-benih dari kebudayaan. Telah ada bahasa sebagai alat komunikasi untuk perkembangan sistem pembagian kerja dan interaksi antar warga kelompok. Tentu saja ada kemampuan akal manusia untuk mengembangkan konsep-konsep yang makin tajam, yang dapat disimpan dalam bahasa, dan bersifat akumulatif. Mungkin ketika itu juga sudah ada alat-alatnya yang pertama, berupa sebatang kayu untuk tongkat pukul, segumpal batu untuk senjata lempar. Kemudian batang-batang kayu diperuncing olehnya sehingga selain senjata pukul, juga dapat berfungsi sebagai senjata tusuk, dan gumpal-gumpal batu yang dipertajam pada sisi belahannya dapat juga berfungsi sebagai alat potong. Kemudian hanya 50.000 tahun setelah itu, ketika dalam proses evolusi organik tampak perbedaan beragam ras, maka dalam proses evolusi kebudayaan telah mulai tampak alat-alat dengan teknologi rumit seperti busur panah. Adapun suatu perkembangan yang meloncat cepat adalah ketika dalam waktu hanya 20.000 tahun saja, berkembang kepamdaian manusia untuk bercocok tanam. Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan menetap, yang juga menyebabkan meloncatnya pertambahan jumlah manusia, hanya dalam jangka waktu separohnya dari jangka waktu proses perkembangan bercocok tanam, yaitu 6.000 tahun kemudian, telah timbul lagi suatu revolusi atau perubahan mendadak yang baru lagi dalam proses perkembangan kebudayaan, yaitu revolusi perkembangan masyarakat kota. Peristiwa itu pertama-tama terjadi di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4.000 S.M.,di daerah subur di perairan sungai-sungai Tigris dan Eufrat (daerah yang sekarang menjadi negara Siria dan Irak), di daerah muara Sungai Nil (daerah yang sekarang menjadi Mesir sekitar kota Kairo).
Dengan melalui dua peristiwa revolusi kebudayaan, yaitu revolusi pertanian dan revolusi perkotaan, proses perkembangan tampak membumbung tinggi dengan suatu kecepatan yang seolah-olah tidak dapat dikendalikan sendiri, dalam waktu hanya 200 tahun saja, melalui peristiwa yangt disebut revolusi industri. Proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik, dan terbang sendiri membumbung tinggi ini, merupakan proses yang oleh ahli antropologi A.L. Kroeber disebut proses perkembangan superorganic dari kebudayaan. B. Tiga Wujud Kebudayaan Seorang ahli sosiologi Talcott Parsons bersama dengan seorang ahli antropologi A.L.Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya, berjudul The World of Man (1959:hlm. 11-12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada didalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke d etik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja: ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda besar yang bergerak. C. Adat – Istiadat 1. Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi. Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah : 1) Masalah hakikat dan hidup manusia (selanjutnya disingkat MH). 2) Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK). 3) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW). 4) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disingkat MA). 5) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM). Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Namun istilah “pandangan nhidup” sebaiknya dipisahkan dari konsep sistem nilai budaya. Pandangan hidup itu biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat, maka “pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongangolongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam masyarakat. Karena itu,
hanya ada pandangan hidup golongan atau individu tertentu, tetapi tidak ada pandangan hidup seluruh masyarakat. Lain lagi dengan konsep “ideologi”. Konsep itu juga merupakan suatu sitem pedoman hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat, tetapi lebih khusus sifatnya daripada sistem nilai budaya. Suatu ideologi dapat menyangkut sebagian besar dari warga masyarakat, tetapi dapat juga menyangkut golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Sebaiknya istilah ideologi biasanya tidak dipakai dalam hubungan dengan individu. 2. Adat Istiadat, Norma, dan Hukum Norma yang berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusannya bersifat amat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Hal itu memang seharusnya demikian, sebab kalau terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan individu dan membingungkan individu bersangkutan (mengenai prosedur dan cara pelaksanaan suatu tindakan). Norma-norma yang khusus dapat digolongkan menurut pranata yang ada di masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai sejumlah pranata, seperti pranata ilmiah, pranata pendidikan, pranata peradilan, pranata ekonomi, pranata estetika atau kesenian, pranata keagamaan dan sebagainya. Sejajar dengan adanya beragam pranata itu ada juga norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma politik, norma peradilan, norma ekonomi, norma estetika atau keindahan, norma keagamaan dan sebagainya. Oleh seorang ahli sosiologi W.G. Sumner, norma golongan pertama disebut mores, dan norma golongan kedua folkways. Istilah mores menurut konsepsi Sumner dapat kita sebut dalam bahasa Indonesia “adat-istiadat dalam arti khusus”, sedangkan folkways dapat kita sebut “tata cara”. Norma-norma dari golongan adat yang mempunyai akibat panjang tadi juga berupa “hukum”. Walaupun demikian, tidaklah tepat untuk menyamakan mores menurut konsepsi Sumner itu dengan “hukum”, karena menurut Sumner norma-norma yang mengatur upacara-upacara suci tertentu juga termasuk mores karena dalam banyak kebudayaan norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya sering menyebabkan
ketegangan-ketegangan dalam masyarakat dan sering mempunyai akibat panjang. Dengan demikian kita perlu mengetahui secara jelas perbedaan antara norma-norma yang dapat kita sebut “hukum” atau “hukum adat”. Mengenai perbedaan antara adat dan hkum adat, atau mengenai ciri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat, memang sudah sejak lama menjadi buah pemikiran para ahli antropologi. Mereka dapat kita bagi dalam dua golongan. Golongan pertama beranggapan bahwa tidak ada aktivitas hukum dalam masyarakat yang tidak bernegara (seperti masyarakat kelompok berburu dan meramu, masyarakat peladang yang tidak mengenal dunia lain diluar desa mereka). Ahli antropologi A.R. Radcliffe Brown menganut pendiri ini. Pendiriannya mudah, tetapi kemudian timbul masalah tentang cra masyarakat yang tidak ada hukumnya berhasil menjaga tata tertib didalamnya, mengenai itu Radcliffe Brown percaya akan adanya suatu komplek norma umum, yaitu adat (yang berada diatas individu, sifatnya mantap dan kontinu, mempunyai sifat memaksa). Golongan kedua tidak mengkhususkan definisi mereka tentang hukum, hanya kepala hukum dalam masyarakat bernegara dengan suatu sistem alat-alat kekuasaan saja. Di antara kedua golongan ini ada B. Malinowski. Ia berpendapat bahwa ada suatu dasar universal yang sama antara “hukum” dalam masyarakat bernegara dan masyarakat terbelakang. Katanya, semua aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia. Adapun diantara berbagai macam aktivitas kebudayaan itu ada yang mempunyai fungsi memenuhi (yaitu hasrat naluri manusia untuk saling memberi dan menerima berdasarkan prinsip yang oleh Malinowski disebut the principle of reciprocity). B. Teer Haar yang pernah memikirkan mengenai batas antara adat dan hukum adat. Pendiriannya tentang masalah itu adalah seperti berikut: pedoman untuk menentukan suatu kasus (merupakan kasus hukum atau bukan hukum), dalam suatu masyarakat yang mempunyai adat dan sistem hukum yang tidak terkodifikasi itu adalah keputusan dari para pejabat pemegang kuasa dalam masyarakat. Pendiri ini diajukan oleh Ter Haar dalam beberapa pidato ilmiah, salah satu diantaranya adalah Het Adatprivaatrecht van Nederlandsch-in Wetenschap, Praktijk en Onderwijs (1937).
Hasil dari analisis komparatif yang amat luas adalah suatu teori tentang batas antara adat dan hukum adat, yang singkatnya berbunyi sebagai berikut : a. Hukum adalah suatu aktivitas didalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitasaktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri dari hukum, atau atributes of law. b. Atribute yang terutama disebut attribute of aut hority (sampai disini teori Pospisil tidak berbeda denga teori Ter Haar). Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keputusan ini memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan hukum. c. Atribute yang kedua disebut atribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan
dari pihak yang berkuasa itu harus
dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan datang. d. Atribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu e. Atribute yang keempatdisebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-
sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), selain itu juga berupa sanksi rohani seperti menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya. D. Unsur-Unsur Kebudayaan Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, ketika hendak menganalisis membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. Unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah : 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, dan 7. Kesenian.
E. Integrasi Kebudayaan 1. Metode Holistik Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk memahami berbagai macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu kebudayaan itu. Kesadaran akan perlunya masalah integrasi kebudayaan dipelajari secara mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dan baru sesudah waktu itu masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam pada itu timbul beberapa konsep untuk menganalisis masalah integrasi kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum.
2. Pikiran Kolektif Sudah sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi Prancis, bernama E.Durkheim, yang mengembangkan konsep representations collectives (pikiran-pikiran kolektif) dalam sebuah karantgan berjudul Representation Individuelles et Representations Collectives (1898). Cara Dukheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara ilmu psikologi menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah, seperti: penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-lain itu, terjadi dalam organ fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung-hubungkan proses-proses rohaniah yang primer tadi melalui proses sekunder, menjadi bayangan-bayangan; dan jumlah dari semua bayangan tentang suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan seperti itu oleh Durkheim disebut representation. Oleh karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu, maka disebutnya representation individuelle.
3. Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan Ada beberapa sarjana antropologi lain yang mencoba mencapai pengertian mengenai masalah integrasi kebudayaan dan jaringan berkaitan antara unsur-unsurnya, dengan cara meneliti fungsi unsur-unsur itu. Istilah “fungsi” itu dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Seorang sarjana antropologi, M.E. Spiro, pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian kata “fungsi” itu, adalah : a) Menerangkan “fungsi” itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungtsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain), b) Menerangkan kaitan antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh
x tadi, juga
berubah), c) Menerangkan hubungan yang terjadi antara satu dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah
menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme). “Fungsi” dalam arti pertama selain dalam bahasa ilmiah, juga merupakan salah satu arti dalam bahasa sehari-hari; arti kedua sangat penting dalam ilmu pasti, tetapi juga mempunyai arti dalam ilmu-ilmu sosial, antara lain dalam ilmu antropologi; sedangkan dalam arti ketiga terkandung kesadaran para sarjana antropologi akan integrasi kebudayaan itu. Kesadaran akan metode untuk memandang suatu kebudayaan yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi, timbul setelah tahun 1925 ketika buku etnografi tulisan B. Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand, yang terletak disebelah tenggara Papua Nugini, menjadi terkenal. Buku The Argonauts of the Western Pacific (1922), merupakan suatu etnografi mengenai kehidupan orang papua yang dituliskan dengan gaya bahasa yang sangat menarik dan dengan suatu cara yang sangat khas. Fokus dari buku itu adalah sistem pelayaran untuk berdagang antar pulau, dalam bahasa setempat disebut kula. Perahu-perahu bercadik yang berlayar dari pulau ke pulau menempuh jarak hingga puluhan mil dan memakan waktu berbulan-bulan, mengedarkan benda-benda suci (sulava) berupa kalung-kalung yang dibuat dari kerang, ditukarkan dengan benda-benda suci lainnya bernama mwali (berupa gelang-gelang). Bersama dengan penukaran benda-benda suci itu, terjadi berbagai transaksi perdagangan dan barter secara luas yang meliputi berbagai macam benda ekonomi. Aliran pemikiran mengenai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand itu menarik perhatian umum, dan disebut aliran Fungsionalisme. Dalam aliran itu ada berbagai pendapat dari berbagai sarjana antropologi mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan manusia. Teorinya mengenai fungsi kebudayaan dikembangkan oleh Malinowski pada masa akhir dari hidupnya sehingga bukunya dimana teori itu diuraikannya, tidak dialaminya. Buku itu, A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944), diterbitkan anumerta, dua tahun setelah ia meninggal.
4. Fokus Kebudayaan Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton, disebut cultural interest, atau kadang-kadang juga socia linterest. 5. Etos Kebudayaan Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang tampak. Watak khas itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu, maka seorang Batak misalnya, yang mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing yang tidak mengenal kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelambanan; kegemaran akan tingkah laku yang mendetail ke dalam, atau njelimet, dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit. Kemudian gambaran orang Batak mengenai watak kebudayaan Jawa tadi biasanya akan diilustrasikan dengan bahasa Jawa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasa yang sangat rumit dan mendetail, dengan sopan-santun dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang berbicara dan tertawa keras-keras, gerak-gerik yang ribut dan agresif, tetapi menilai tinggi tingkah laku yang tenang tidak tergoyahkan, dengan kegemaran orang Jawa akan warnawarna yang gelap dan tua, akan seni suara gamelan yang tidak keras, akan benda-benda kesenian dan kerajinan dengan hiasan-hiasan yang sangat mendetail dengan bentukbentuk berliku-liku yang makin ke dalam menjadi makin kecil dan sebagainya. 6. Kepribadian Umum Metode lain yang pernah dikembangkan oleh para ahli antropologi untuk melukiskan suatu kebudaaan secara holistik terintegrasi adalah dengan memusatkan perhatian terhadap “kepribadian umum” yang dominan dalam kevbudayaan itu. Artinya, perhatian terhadap kepribadian atau watak yang ada pada sebagian besar dari individu yang hidup dalam kebudayaan bersangkutan. Konsep “kepribadian umum” atau “kepribadian bahasa” (basic personality) itu mula-mula dikembangkan oleh ahli antropologi R. Linton dalam hubungan kerja sama dengan seorang ahli psikologi, A. Kardiner, sekitar tahun 1930-an.
F. Kebudayaan dan Kerangka Teori Tindakan Definisi mengenai kebudayaan mengandung beberapa pengertian penting yaitu: bahwa kebudayaan hanya ada pada makhluk manusia; kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek dari proses evolusi manusia, tetapi yang kemudian menyebabkan bahwa ia dapat lepas dari alam kehidupan makhluk primata yang lain; kebudayaan akhirakhir ini seolah-olah berkembang menjadi suatu gejala yang superorganik. Walaupun demikian, karena kebudayaan yang berwujud gagasan dan tingkah laku manusia itu keluar dari otak dan tubuhnya, maka kebudayaan itu tetap berakar dalam sistem organik manusia. Selain itu kebudayaan tidak lepas dari kepribadian individu melalui suatu proses belajar yang panjang, menjadi milik dari masing-masing individu warga masyarakat bersangkutan. Dalam proses itu kepribadian atau watak tiap-tiap individu pasti juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan itu dalam keseluruhannya.
Pandangan menyeluruh dan terintegrasi megenai konsep kebudayaan ini dapat kita mantapkan dengan mempergunakan sebuah kerangka yang disusun oleh suatu kelompok studi yang terdiri dari sejumlah sarjana ilmu-ilmu sosial dari Universitas Harvard dengan ketuanya seorang ahli sosiologi, Talcott Parsons. Kelompok studi itu terdiri dari ahli-ahli sosiologi seperti Talcott Parsons sendiri, E. Shils, dan R. Merton, ahli antropologi seperti C. Kluckhohn, ahli psikologi seperti H.H. Murray, ahli-ahli biologi dan lain-lain. Kerangka yang mereka susun bersama memandang kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola, dan mereka sebut Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action). Di dalamnya terkandung konsepsi bahwa hal menganalisis suatu kebudayaan dalam dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam antara empat komponen, yaitu: (1) sistem budaya; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) sistem organisme. Keempat komponen itu, walaupun erat kaitan satu dengan yang lain, tetapi merupakan entitas yang khusus, masing-masing dengan sifat-sifatnya sensiri. Sistem budaya atau cultural system merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat-istiadat. Fungsi dari budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia.
Sistem kepribadian (personality system) mengenali isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat, walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya, serta oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup sejak masa kecilnya. Dengan demikian, sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya. Sistem organik (organic system) melengkapi seluruh kerangka dengan mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dan biokimia dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah yang apabila dipikirkan lebih mendalam juga ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasangagasan yang dicetuskannya.
BAB V DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN A. Konsepsi-konsepsi khusus mengenai penggeseran masyarakat dan kebudayaan. Apa bila hendak menganalisis secara ilmiah gejala dan kejadian sosial budaya disekeliling kita dari sudut perwujudan atau morfologinya seperti yang telah diuraikan pada bab 4 da 5 terdapat berbagai konsep seperti: kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok adat, perkumpulan adat-istiadat, pranata sosial, dan sebagainya yang semuanya itu diperlukan. Diantara konsep-konsep yang tepenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan yaitu internalisasi (iternalization), sosialisasi( socialization) dan enkulturasi,(enculturation) ada juga proses kebudayaan yang dari sederhan menjadi kompleks yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution), ada proses penyebaran kebudayaan secara geografi terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi yaitu proses difusi (diffution) ada proses belajar kebudayaan asing atau proses akulturasi, dan asimilasi, ada proses pembaharuan atau inovasi. 1. Proses Internalisasi Proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dalam kehidupannya individunya belajar menanamkan kepribadiannya segala perasaan, hastrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Dari hari kehari seorang individu baru tadi mulai belajar dan bertambah pengalaman hidupnya seperti perasaan baru, kegembiraan, kebahagiaan, simpati,cinta, benci,keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu, dan sebagainya. Selain perasaan seorang individu juga memiliki berbagai macam hastrat seperti: hastrat untuk mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti keindahan, dipelajarinya semua dari internalisasi. 2. Proses sosialisasi Proses sosialisasi adalah proses seorang individu berintraksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang memiliki beraneka macam peranan social.proses sosialisasi berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan dan tingkat sosialnya dalam masyarakat. Adat istiadat mengasuh anak antara lain: cara memandikan bayi dan membersihkan bayi, cara mempelajari disiplin membuang air, cara melatih disiplin makan, cara mengendong bayi, dan anaak-anak dan cara mendisplinkan anak dan segainya.
3. Proses Enkulturasi proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiranserta sikapnya dengan adat,sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan. PROSES EVOLUSI SOSIAL 1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Social Proses evolusi sosial adalah proses perubanhan yang terjadi dalam dinamika dalam kehidupan sehari-hari tiap masyarakat didunia.(proses berulang),sedangkan perubahanperubahan besaryang terjadi dalam jangka waktu yang panjang di sebut prose-proses menentukan arah (directional processes) atau yang meemberikan arah. 2
.Proses-Proses Berulang dalam Evolusi Social Budaya.
Pada adfat-istiadat perkawinan orang bali upacara, akivitas dan tindakan yang menyimpang dari adat bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan khusus, biasanya dibaikan atau kurang diperhatikan.keadaan yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya karena penyimpangan yang demikian pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Untuk mengurangi penyimpangan terhadap adat tadi ada alat-alat pengendalian. Contoh adat minangkabau yang mewajibkan seorang pria mewariskan harta miliknya kepada kemenakanya, yaitu anak dari saudara perempuannya. Lalu ada seorng A yang berpengaruh mengabaikan adat ini. Tentu para kemenakan merasa tidak puas. Dan sebagai penengah di sini adalah kepala adat yang akan memberikan keputusaterhadap masalah yang sedang dihadapi. 3.
Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Proes mengarah dalam evolusikebudayaan dapat dilihat berdasarkat histories perkembangan umat manusia para sarjana ilmu sejarah misalnya E. Spengler, A.J. Toynbee, G. Childe dan lain-lain.
Kala
lapisan bumi
tingkat kebudayaan Perunggu-besi
Aluvium
+ 100.000 th. Y.l.
+ 1.000.000 th. Y.l
Neolitik
Mesolitik
dilivium
paleolitik
Table tingkat kebudayaan Zaman pehistori Indonesia Hasil ini berdasarkan analisis para ahli dari sisa benda-benda peninggalan kebudayaan orang zaman dahulu. Proses Difusi 1.Penyebaran Manusia Salah satu bentuk difusi adala penyebaran unsure-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok manusia yang berimigrasi. Proses difusi atau penyebaran manusia di bumi ini disebabkan beberapa pfaktor,baik migrasi secara langsung atau cepat maupun secara tidak langsung atau lambat,karena wabah, yang berlangsung sejak ratusan ribu tahun yang lalu, migrasi-migrasi besar penduduk dunia berlangsung antara 80.000 S.M.sampai 1.000 S.M. 2. Penyebaran Unsur Kebudayaan penyebarab unsure kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompokkelompok manusia atau bangsa-bangsa dari tempat dari tempat satu ketempat lain,tetapi oleh karena individu-individu tertentu yang membawa unsr-unsur kebudayaan itu yang hingga jauh sekali.
Bentuk difusi yang lain adalah dengan adanya pertemuan-pertemuan antar individu dalam kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Dan dapat berlangsung secara berulang-ulang. Hubungan symbiotic adalah hubungan dan bentuk kebudayaan itu masing-masing hampir tidak berubah.contohnya didaerah pedalaman negara Kongo, Togo, dan kamerun di afrika tengah dan barat,yang bercocok tanam dan memiliki bertetangga. Stimulus diffusion,yaitu proses kebudayaan didifusikan dari A ke B, ke C, ke D dan sebaliknya. Dalam dunia modern ini proses difusi unsure unsure kebudyaan yang timbul disuatu tempat di miuka bumi berlangsung dengan sangat cepat sekali. Bahkan sering kali tanpa kontak yang antar individu-individu, ini dikarenakan adanya alat penyiaran yang sangat efektif misalnya surat kabar, majalah, radio, buku, film,dan televisi. 1. Akulturasi dan Asimilasi Akulturasi adalah proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi, proses pemasukan kebudayaan kedalam suatu masyarakat, contohnya candi-candi yang ada sekarang bukti adanya proses antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India. 2. Asimilasi Asimilasi atau asilation adalah proses social yang timbul bila ada (A) golongan-golongan manusia dengan latar belakang berbeda-beda dengan (B), bergaul lansung secara intensif untuk waktu yang cukup lama sehinga (C) golongan-golongan kebudayaan tadi masingmasing berubah sifatnya, juga unsure-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. 3. Pembaharuan atau Inovasi 1. Inovasi dan Penemuan Inovasi adalah proses pembaharuaan dan penggunaan sumber alam,energi dan modal dan semua proses produksi akan mempengaruhi kebudayaan baru Suatu discovery adalah suatu penemuaan dari unsur-unsur kebudayaan yang baru baik suatu alat baru, suatu ide baru yang diciptakanoleh seorang individu atau serangkaian dari beberapa indivu dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Dorongan Penemuan Baru Yang mendorong penemuan-penemuan baru antara lain: (a) kesadaran seorang individu akan kekurang-kekurangan dalam kebudayaan. (b) mutu dari keahlian dalam suatu kebudayaan, (c) system perangsang bagi aktivitas pencipta dalam masyarakat.. 3. Inovasi dan Evolusi Proses inovasi yaitu proses pembaharuan teknologi ekonomi dan lanjutanya itujuga proses evolusi bedanya adalah bahwa dalam proses inovasi individu-individu bersifat aktif . sedangkan dalam proses evolusi individu-individu itu fasif bahkan sering bersifat negatif.
BAB VI ANEKA RAGAM KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN SERTA MASALAH INTEGRASI NASIONAL Oleh : Hari Poerwanto A. Umum Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya puladilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandungpotensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan. Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat(1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukananeka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritasdan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas. Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores. Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-
bangsa Dayak, akan tetapi di Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan denganPembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006. Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.2 Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di Indonesia. Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation)dan integrasi (integration) merupakan prosesproses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh. B. Prejudice dan Stereotype Ethnic Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe etnik. Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat
kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting. Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. 3 Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur masyarakat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu prejudice. Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D. Photiadis dan Jeane Bigger di kalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat. Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negatif yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype. Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi
prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik semata. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa) untuk bersedia menerima norma – norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya. 4 C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut The ShorterOxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsabangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala. Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada yang berkaitan dengan ras. Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn (1970: 12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain
itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota. Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan konsepkonsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth 5 (1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society". Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu ditrapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya. Timbulnya perlakuan 'diskriminatif dalam konteks Louis Wirth adalah lebih disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat Kelompok Dominan Jumlah Kekuasaan Kelompok A + + Golongan mayoritas Kelompok B - + Elite Kelompok Subordinat Jumlah Kekuasaan Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat, di dasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-ciri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut 6 model paradigma tersebut ditrapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas. Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar. Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan variabel. Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan penduduk bumi putera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan sesamanya. D. Asimilasi dan Integrasi Nasional Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964:61). Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu
pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest 7 W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life". Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups". Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orangorang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosiostruktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-558) mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari asimilasi. Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik. Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a commonterritory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh
karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orangperorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru. Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di berbagai negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki ciri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964). Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu tulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat. ı Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf) AB Superordinat Sp Sf Cenderung ke arah integrasi Subordinat Sp Sf Assimilation Incorporation Cultural Autonomy CD Superordinat Sf Sp Cenderung ke arah konflik Subordinat Sp Sf Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis. Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik. Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinat melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent. Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah inkorporasi. Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi di kalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah,
dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group. Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
BAB V DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN A.
Konsepsi-konsepsi khusus mengenai penggeseran masyarakat dan kebudayaan.
Apa bila hendak menganalisis secara ilmiah gejala dan kejadian sosial budaya disekeliling kita dari sudut perwujudan atau morfologinya seperti yang telah diuraikan pada bab 4 da 5 terdapat berbagai konsep seperti: kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok adat, perkumpulan adat-istiadat, pranata sosial, dan sebagainya yang semuanya itu diperlukan. Diantara konsep-konsep yang tepenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan yaitu internalisasi (iternalization), sosialisasi( socialization) dan enkulturasi,(enculturation) ada juga proses kebudayaan yang dari sederhan menjadi kompleks yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution), ada proses penyebaran kebudayaan secara geografi terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi yaitu proses difusi (diffution) ada proses belajar kebudayaan asing atau proses akulturasi, dan asimilasi, ada proses pembaharuan atau inovasi. 1. Proses Internalisasi Proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dalam kehidupannya individunya belajar menanamkan kepribadiannya segala perasaan, hastrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Dari hari kehari seorang individu baru tadi mulai belajar dan bertambah pengalaman hidupnya seperti perasaan baru, kegembiraan, kebahagiaan, simpati,cinta, benci,keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu, dan sebagainya. Selain perasaan seorang individu juga memiliki berbagai macam hastrat seperti: hastrat untuk mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti keindahan, dipelajarinya semua dari internalisasi. B. Proses sosialisasi Proses sosialisasi adalah proses seorang individu berintraksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang memiliki beraneka macam peranan social.proses sosialisasi berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan dan tingkat sosialnya dalam masyarakat. Adat istiadat mengasuh anak antara lain: cara memandikan bayi dan membersihkan bayi, cara mempelajari disiplin membuang air, cara melatih disiplin makan, cara mengendong bayi, dan anaak-anak dan cara mendisplinkan anak dan segainya.
3. Proses Enkulturasi proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiranserta sikapnya dengan adat,sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan. PROSES EVOLUSI SOSIAL 2.
Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Social
Proses evolusi sosial adalah proses perubanhan yang terjadi dalam dinamika dalam kehidupan sehari-hari tiap masyarakat didunia.(proses berulang),sedangkan perubahanperubahan besaryang terjadi dalam jangka waktu yang panjang di sebut prose-proses menentukan arah (directional processes) atau yang meemberikan arah. 4 .Proses-Proses Berulang dalam Evolusi Social Budaya. Pada adfat-istiadat perkawinan orang bali upacara, akivitas dan tindakan yang menyimpang dari adat bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan khusus, biasanya dibaikan atau kurang diperhatikan.keadaan yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya karena penyimpangan yang demikian pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Untuk mengurangi penyimpangan terhadap adat tadi ada alat-alat pengendalian. Contoh adat minangkabau yang mewajibkan seorang pria mewariskan harta miliknya kepada kemenakanya, yaitu anak dari saudara perempuannya. Lalu ada seorng A yang berpengaruh mengabaikan adat ini. Tentu para kemenakan merasa tidak puas. Dan sebagai penengah di sini adalah kepala adat yang akan memberikan keputusaterhadap masalah yang sedang dihadapi.
3.
Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Proes mengarah dalam evolusikebudayaan dapat dilihat berdasarkat histories perkembangan umat manusia para sarjana ilmu sejarah misalnya E. Spengler, A.J. Toynbee, G. Childe dan lain-lain.
Kala
lapisan bumi
tingkat kebudayaan Perunggu-besi
Aluvium
+ 100.000 th. Y.l.
+ 1.000.000 th. Y.l
Neolitik
Mesolitik
dilivium
paleolitik
Table tingkat kebudayaan Zaman pehistori Indonesia Hasil ini berdasarkan analisis para ahli dari sisa benda-benda peninggalan kebudayaan orang zaman dahulu. Proses Difusi 1.Penyebaran Manusia Salah satu bentuk difusi adala penyebaran unsure-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok manusia yang berimigrasi. Proses difusi atau penyebaran manusia di bumi ini disebabkan beberapa pfaktor,baik migrasi secara langsung atau cepat maupun secara tidak langsung atau lambat,karena wabah, yang berlangsung sejak ratusan ribu tahun yang lalu, migrasi-migrasi besar penduduk dunia berlangsung antara 80.000 S.M.sampai 1.000 S.M. 2. Penyebaran Unsur Kebudayaan penyebarab unsure kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompokkelompok manusia atau bangsa-bangsa dari tempat dari tempat satu ketempat lain,tetapi oleh karena individu-individu tertentu yang membawa unsr-unsur kebudayaan itu yang hingga jauh sekali.
Bentuk difusi yang lain adalah dengan adanya pertemuan-pertemuan antar individu dalam kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Dan dapat berlangsung secara berulang-ulang. Hubungan symbiotic adalah hubungan dan bentuk kebudayaan itu masing-masing hampir tidak berubah.contohnya didaerah pedalaman negara Kongo, Togo, dan kamerun di afrika tengah dan barat,yang bercocok tanam dan memiliki bertetangga. Stimulus diffusion,yaitu proses kebudayaan didifusikan dari A ke B, ke C, ke D dan sebaliknya. Dalam dunia modern ini proses difusi unsure unsure kebudyaan yang timbul disuatu tempat di miuka bumi berlangsung dengan sangat cepat sekali. Bahkan sering kali tanpa kontak yang antar individu-individu, ini dikarenakan adanya alat penyiaran yang sangat efektif misalnya surat kabar, majalah, radio, buku, film,dan televisi. 1. Akulturasi dan Asimilasi Akulturasi adalah proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi, proses pemasukan kebudayaan kedalam suatu masyarakat, contohnya candi-candi yang ada sekarang bukti adanya proses antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India.
2. Asimilasi Asimilasi atau asilation adalah proses social yang timbul bila ada (A) golongan-golongan manusia dengan latar belakang berbeda-beda dengan (B), bergaul lansung secara intensif untuk waktu yang cukup lama sehinga (C) golongan-golongan kebudayaan tadi masingmasing berubah sifatnya, juga unsure-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. 3. Pembaharuan atau Inovasi 1. Inovasi dan Penemuan Inovasi adalah proses pembaharuaan dan penggunaan sumber alam,energi dan modal dan semua proses produksi akan mempengaruhi kebudayaan baru Suatu discovery adalah suatu penemuaan dari unsur-unsur kebudayaan yang baru baik suatu alat baru, suatu ide baru yang diciptakanoleh seorang individu atau serangkaian dari beberapa indivu dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Dorongan Penemuan Baru yang mendorong penemuan-penemuan baru antara lain: (a) kesadaran seorang individu akan kekurang-kekurangan dalam kebudayaan. (b) mutu dari keahlian dalam suatu kebudayaan, (c) system perangsang bagi aktivitas pencipta dalam masyarakat.. 3. Inovasi dan Evolusi Proses inovasi yaitu proses pembaharuan teknologi ekonomi dan lanjutanya itujuga proses evolusi bedanya adalah bahwa dalam proses inovasi individu-individu bersifat aktif . sedangkan dalam proses evolusi individu-individu itu fasif bahkan sering bersifat negatif.
BAB VII ETNOGRGAFI
A. Kesatuan Sosial dalam Etnografi Jenis karangan yang penting mengandung bahan pokok dari pengolahan dan analisis antropologi adalah karangan etnografi.isi dari sebuah karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa. Suku-suku bangsa kecil yang hanya terdiri dari beberapa ratus penduduk, tetapi ada pula yang terdiri dari puluhan juta penduduk. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang mengarang sebuah etnografi sudah tentu tidak dapat mencakup seluruh suku bangsa yang besar itu dalam deskripsi. Hanya suku-suku bangsa yang sangat kecil jumlah tahun 1963 hanya terdiri dari 481 orang.
Mengingat hal-hal tadi, yang menyebabkan bahwa para ahli antropologi masa kini jarang dapat meneliti suatu suku bangsa yang kecil dan “semurni” suku bangsa Bgu tersebut mereka memerlukan suatu metode untuk menentukan secara kongkrit batas-batas dari bagian suku bangsa yang konkret menjadi pokok deskripsi etnografi mereka.
Seorang ahli antropologi Amerika, R. Naroll, pernah menyusun suatu daftar dengan beberapa modifikasi oleh J.A. Clifton dalam buku pelajarannya, Introduction to Cultural Anthropology (1968: hlm. 15), maka daftar itu menjadi seperti yang tercantum di bawah ini. 1. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih; 2. Kesatuan masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa; 3. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politis administrative; 4. Kesatuan
masyarakat
penduduknya sendiri;
yang
batasnya
ditentukan
oleh
rasa
identitas
5. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik; 6. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi; 7. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama; 8. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dengan lain tingginya merata; 9. Kesatuan masyarakat dengan susunan social yang seragam.
Prinsip yang disebut pertama biasanya mencakup juga prinsip yang lain. Sebaliknya, prinsip 2 sampai 9 belum tentu mencakup juga semua prinsip yang lain.
Prinsip pembatasan oleh garis batas politis-administratif contohnya suatu Kabupaten di Jawa Barat memang untuk sebagian besar terdiri dari penduduk yang berkebudayaan suku bangsa Sunda dan berbahasa Sunda, namun dalam kabupaten itu pasti ada pula penduduk yang berasal dari suku bangsa Jawa, Batak atau lainnya yang mengucapkan bahasa Jawa, bahasa Batak atau bahasa lainnya.
Serupa dengan hal tersebut, prinsip yang disebut sebagai prinsip nomor 5, yaitu prinsip pembatasan oleh kesatuan ciri dalam satu wilayah geografi seperti daerah hutan rimba tropis, daerah sabana tropis, kepulauan atoll di Lautan pasifik, daerah Gurun Asia Barat Daya, daerah hutan Koniferus di Kanada Barat Laut, atau daerah pantai dekat Kutub Utara. Di daerah-daerah geografi seperti itu sering kita lihat adanya penduduk yang hidup dalam kebudayaan-kebudayaan dengan system teknologi, system ekonomi, dan organisasi social yang sama, tetapi berbeda suku bangsa karena adanya bahasa-bahasa, system-sistem religi, dan ekspresi-ekspresi kesenian yang berbeda.
B. Kerangka Etnografi
Untuk memerinci unsure-unsur bagian dari suatu kebudayaan, sebaiknya dipakai daftar unsur-unsur kebudayaan universal yang telah diuraikan dalam bab 5, yaitu; 1. Bahasa 2. System teknologi 3. System ekonomi 4. Organisasi social 5. System pengetahuan 6. Kesenian 7. System religi.
Karena unsure-unsur kebudayaan itu bersifat universal maka dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suku bangsa yang menjadi pokok perhatian ahli antropologi pasti juga mengandung aktivitas adat istiadat, pranata-pranata social dan benda-benda kebudayaan yang dapat dogolongkan ke dalam salah satu dari ketujuh unsure universal tadi. Hal itu berarti selain unsure bahasa yang selalu diuraikan dalam bab paling depan sebagai suatu unsure yang dapat memberi identifikasi kepada suku bangsa yang dideskripsi, unsure yang diuraikan dulu adalah system teknologi, sedangkan yang paling akhir adalah system religi.
Walaupun demikian, setiap ahli antropologi mempunyai focus. Pengarang etnogarafi dengan suatu focus perhatian seperti itu biasanya mulai dengan unsure pokoknya itu, dan memandang unsure-unsur lainnya hanya sebagai pelengkap dari unsure pokok tadi. Bisa juga ia mempergunakan cara susunan etnografi yang lain dan mulai dengan unsure-unsur lainnya sebagai pengantar kebudayaan ( cultural introduction) terhadap unsure pokok yang diuraikan pada akhir karangan etnografinya, dan seolah-olah merupakan klimaks dari deskripsinya.
Bab selanjutnya biasanya mengandung uraian tentang asal dan sejarah dari suku bangsa yang bersangkutan, dan dari wilayah yang didiaminya.uraian tentang sejarah pada permulaan akan menjadi lebih bermanfaat kalau bab terakhir mengandung uraian tentang keadaan masa sekarang, disambung dengan uraian dengan perubahan serta pengeseran dari kebudayaan yang bersangkutan. Bab penutup seperti itu biasanya member aspek dinamis terhadap sebuah buku etnografi.
Sedang tiap bab akan terdiri dari bagian-bagian khusus yang akan diuraikan dengan lebih mendalam dalam sub-sub bab di bawah ini yaitu; 1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi 2. Asal mula dan sejarah suku bangsa 3. Bahasa 4. System teknologi 5. System mata pencaharian 6. Organisasi social 7. System pengetahuan 8. Kesenian 9. System religi
C. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi
Dalam menguraikan lokasi atau tempat tinggal dan penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan cirri-ciri geografinya, yaitu iklimnya (tropis, mediteran, iklim sedang atau iklim kutub), sifat daerahnya (pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, jenis kepulauan, daerah rawa, hutan tropis, sabana, stepa, gurun dan sebagainya), suhu dan curah hujannya. Ada baiknya juga kalau penulis etnografi dapat melukiskan ciri-ciri geologi dan geomorfologi dari daerah lokasi dan penyebaran suku bangsanya; sedangkan suatu hal yang perlu juga adalah keterangan mengenai ciri-ciri flora dan fauna di daerah yang bersangkutan.
Bahan keterangan geografi dan geologi tersebut sebaiknya dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah.
Beberapa masalah yang terutama pada masa kini mendapat perhatian banyak adalah mengenai pengaruh timbal balik antara keadaan alam dengan kesehatan serta laju kematian dan tingkat fertilitas penduduk, yang sebaliknya berguna untuk studi kependudukan. Masalah lain yang penting juga adalah masalah hubungan antara alam dan tanah dengan system mata pencaharian penduduk. Studi-studi semacam itu disebut studi ekologi (ecology). Suatu etnografi juga harus dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat mungkin juga menurut tingkat umur dengan interval lima tahun, data mengenai laju kelahiran dan laju kematian, serta data mengenai orang yang pindah keluar masuk desa.
D. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Dalam usaha ini seorang ahliantropologi perlu bantuan dari para ahli sejarah atau ahli-ahli ilmu bantu pada ilmu sejarah lainnya. Keterangan mengenai asal mula suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisis benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi tadi.
Apabila tulisan tersebut tidak ada, atau walaupun ada,kurang dapat member bahan keterangan tentang asal mula suku bangsa, maka ia terpaksa harus berusaha mencari bahan keterangan lain, yaitu bahan mengenai dongeng-dongeng suci atau mitologi suku bangsa. Hal itu termasuk folklore, dan khususnya kesusstraan rakyat suku bangsa.
Dalam mitologi suatu suku bangsa, biasanya terdapat dongeng-dongeng suci mengenai penciftaan alam, penciftaan dan penyebaran manusia oleh dewa-dewa dalam religi asli suku bangsa bersangkutan. Dongeng-dongeng seperti itu biasanya penuh peristiwa keajaiban yang jauh dari fakta sejarah. Namun seorang ahli antropologi harus mampu menginterprestasi dongeng-dongeng ajaib itu, dan mencari artinya, serta indikasi-indikasi tertentu yang dapat menunjuk kearah fakta sejarah yang benar.
Dengan mitologi dan cerita-cerita rakyat yang hidup secara lisan, seorang peneliti antropologi harus menmgumpulkan bahan tersebut dengan merekam cerita-cerita tersebut dari mulut-mulut tokoh-tokoh penduduk tertentu yang mengetahui dongeng-dongeng itu. Sebaliknya, apabila suku bangsa bersangkutan mengenal tulisan tradisional sehingga kebudayaan mereka mempunyai suatu kesusasteraan tradisional, maka peneliti tadi harus juga berusaha membaca dan mempelajari bahan tersebut. Bahan tersebut sering kali termuat dalam berpuluh-puluh naskah kuno dengan tulisan tradisional yang perlu dipelajari dan diseleksi dahulu untuk mendapatkan isi yang sebenar-benarnya. Untuk pekerjaan yang sudah sangat teknis sifatnya itu seorang ahli antropologi memerlukan bantuan seorang ahli naskah-naskah kuno, yaitu ahli filologi.
Keterangan sejarah mengenai zaman, ketika suku bangsa bersangkutan sudah mendapat kontak dengan bangsa-bangsa lain yang menulis tentang kejadian masyarakatnya, lebih mudah untuk dipergunakan seorang peneliti antropologi. Biasanya keterangan itu ditulis dalam salah satu bahasa Eropa, yaitu Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, atau Jerman, atau kadang-kadang juga dalam bahasa Asia seperti Arab, Parsi, Cina, dan lainnya.
E. Bahasa
Deskripsi dari bahasa suku bangsa dalam karangan etnografi tentu tidak perlu sama dalamnya seperti suatu deskripsi khusus yang dilakukan oleh seorang ahli bahasa tentang bahasa yang bersangkutan. Deskripsi mendalam oleh seorang ahli bahasa khusus mengenai susunan system fonetik, fonologi, sintaksis, dan sematik sesuatu bahasa akan menghasilkan suatu buku khusus, yaitu suatu buku tata bahasa tentang bahasa yang bersangkutan, sedangkan deskripsi mendalam mengenai kosakata suatu bahasa akan menghasilkan suatu daftar leksikografi (vocabulary), atau lebih mendalam lagi suatu kamus kecil atau besar.
Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsanya dapat diuraikan pengarang etnografi dengan cara tepat menempatkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga bahasanya yang wajar, dengan beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis, dan sematik, yang diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari. Ada baiknya peneliti dapat melengkapi bab mengenai bahasa dalam etnografinya dengan sebuah lampiran yang berisi daftar kata-kata dasar dari bahasa suku bangsanya. Daftar kata-kata dasar, atau basic vocabulary suatu bahasa terdiri dari kira-kira 200 kata mengenai anggota badan ( kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya ), gejalagejala dari badan-badan alam (angin, hujan, panas, dingin, dan sebagainya ), warna, bilangan, kata kerja pokok.
Menentukan luas batas penyebaran suatu bahasa memang tidak mudah, dan hal ini disebabakan karena di daerah perbatasan antara daerah tempat tinggal dua suku bangsa, hubungan antara individu warga masing-masing suku bangsa tadi sering kali sangat intensif sehingga ada proses saling pengaruh-mempengaruhi antara unsure-unsur bahasa dari kedua belah pihak. F. Sistem Teknologi Teknologi tradisional mengenal paling sedikit delapan macam system peralatan system peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia yang hidup dalam masyarakat kecil berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu :
Macam peralatan Alat-alat produksi
Bahan
Tekhnik
mentah
pembuatan
Batu
Pemakaian
Dupukul-pukul,
Alat memotong
ditekan, dipecah-
Alat menusuk
pecah
Senjata
Tulang
retouching
Alat membuat lubang
Logam
Menuang
Alat memukul
Menandai
Alat menggiling
Dupukul-pukul,
Senjata potong
ditekan, dipecah-
Senjata pukul
Batu
pecah Tulang
retouching
Senjata lempar
Kayu, bambu Logam
Senjata tusuk
Menuang
Senjata penahan
Menandai Kayu
Membentuk,
Alat menyimpan
mengukir
Alat memuat
Bambu
Mengukir
Alat makan
Kulit kayu
Memproses dan
Alat masak
menjahit
Alat untuk membawa
Serat-seratan
Menganyam
Tanah liat
Cetakan,
(tembikar)
menumbuk, membentuk, memutar-mutar.
Alat menyalakan
Batu api
menggesek
Alat meniup api
kulit
Ububan api
Makanan
Bambu
Pompa api
Sayur-mayur
Masak diatas api
api
Dimakan
Daun-daunan
Masak dengan batu
Akar-akaran
panas
Biji-bijian
Pembuatan arak
Diminum
Narkotika
Daging, susu Pakaian
Kulit pohon
Penahan pengaruh
Kulit binatang
alam sekitar
Bahan tenun
Cara-cara memintal Lambing gengsi dan menenun
Lambing suci
teknik ikat dan
Perhiasan
teknik celup (batik) Tempat
Kayu
Tekhnik menyusun
Tadah angina
perlindungan
Bambu
Tekhnik mengikat
Tenda
Kulit pohon
Tekhnik
Gubuk-gubuk yang
Tanah liat
memangku
dapat dipindahkan Rumah
Alat transportasi
Kulit binatang
Prinsip mocassin
Kulit kayu
Prinsip sandal Tekhnik-tekhnik
Sepatu
Sepatu salju
mengikat Tekhnik-tekhnik
Binatang (unta, kuda,
pemeliharaan dan
keledai, dll) sebagai
peternakan
binatang muatan, menarik, dikendarai.
Kayu
Travois, alat seret. Kereta roda
Kayu
Rakit
Bambu Jerami Kayu
Perahu lesung Perahu bercadik
Alat transportasi air
Kulit kayu
Perahu kecil
Kulit binatang
G. Sistem Mata Pencarian System Mata Pencarian Tradisional System mata pencaharian tradisional yaitu : berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi.
H. Organisasi Sosial 1.
Unsur-unsur khusus dalam organisasi sosial Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti
yang dekat dan kaum kerabat lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan diluar kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas. 2.
Sistem Kekerabatan Dalam masyarakat dimana pengaruh industrialisasi sudah masuk mendalam, tampak bahwa
fungsi kesatuan kekerabatan yang sebelumnya penting dalam banyak sector kehidupan seseorang, biasanya mulai berkurang dan bersamaan dengan itu adat-istiadat yang mengatur kehidupan kekerabatan sebagai kesatuan mulai mengendor. Namun pada masyarakat agraris, hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat masing-masing sangat penting.
I.
Sistem Pengetahuan
1.
Perhatian Antropologi terhadap Pengetahuan Dalam suatu etnografi biasanya ada berbagai bahan keterangan mengenai system
pengetahuan dalam kebudayaan dari setiap suku bangsa yang bersangkutan. Bahan itu biasanya meliputi pengetahuan tentang teknologi. Namun, pada zaman dahulu, para ahli antropologi kurang memperhatikan kebudayaan suku-suku diluar Eropa. Perhatian yang sangat kurang ini mungkin disebabkan karena antara para ahli antropologi di Eropa dalulu ada suatu pendirian bahwa dalam kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa tidak ada system pengetahuan, dan kalaupun ada, maka hal itu dianggap tidak penting. Sekarang para ahli antropologi sudah sadar bahwa pendirian seperti itu tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka sekarang sudah yakin bahwa suatu masyarakat, betapa kecil pun, tidak
mungkin dapat hidup tanpa pengetahuan tentang alam sekelilingnya dan sifat-sifat dari alat yang dipakainya. 2.
Sistem Pengetahuan Setiap suku bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang : a. Alam sekitar; b. Alam flora di daerah tempat tinggalnya; c. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya; d. Zat-zat, bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya; e. Tubuh manusia; f. Sifat-sifat dan tingkah laku sesame manusia; dan g. Ruang dan waktu.
J. Sistem Religi 1.
Perhatian Ilmu Antropologi terhadap Religi
Dua hal yang menyebabkan perhatian yang sangat besar terhadap religi, yaitu : a. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahir. b. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi. 2.
Unsur-unsur Khusus dalam Sistem Religi Suatu system religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat
mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu : a) Sistem keyakinan; b) Sistem upacara keagamaan; dan c) Umat yang menganut religi itu. System upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah : a0 Tempat upacara keagamaan dilakukan; b) Saat-saat upacara keagamaan itu dilaksanakan; c) Benda-benda dan alat-alat upacara; d) orangorang yang melakukan dan memimpin upacara.
Upacara itu sendiri terdiri dari banyak unsur, yaitu : a) bersaji; b) Berkorban; c) Berdoa; d) Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa; e) Menari tarian suci; f) Menyanyi nyanyian suci; dsb.
K. Kesenian 1.
Kesenian dalam Etnografi Perhatian terhadap kesenian atau segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan, dalam
kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa, mula-mula bersifat deskriptif. Para pengarang etnografi masa akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 dalam karangan-karangan mereka sering kali memuat suatu deskripsi mengenai benda-benda hasil seni, seperti seni rupa, seni music, seni tari, dan seni drama.
2.
Lapangan-lapangan Khusus dalam Kesenian Dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu
dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu : a) Seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata; dan b) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Dalam lapangan seni rupa ada seni patung, seni relief, seni ukir dan gambar, dan seni rias. Sedangkan bagian-bagian dari seni suara ialah seni vocal, seni instrumental, serta seni sastra yang lebih khusus terdiri dari prosa dan puisi. Suatu lapangan seni yang meliputi keduanya ialah seni gerak atau seni tari. Akhirnya, ada suatu lapangan kesenian yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama, karena lapangan kesenian ini mengandung unsur-unsur dari seni lukis, seni rias, seni music, seni sastra dan seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Untuk lebih jelasnya perhatikan kerangka kesenian dibawah ini.
Seni rupa
1. 2. 3. 4.
Seni patung Seni relief Seni lukis dan gambar Seni rias Seni tari
Seni suara
1. Seni vocal 2. Seni instrumental 3. Seni sastra
1. Prosa 2. Puisi
Seni drama
DAFTAR PUSTAKA Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951. Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53. Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons Inc., New York, 1967. Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974. Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107. Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York, 1964. Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith, 1958. Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982. Koenjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 2009 Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University Press, 1945. Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill Publishing Company, Ohio, 1973. Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.
Untuk Kalangan Sendiri
Bahan Ajar Pendidikan Etnologi
Disusun Oleh Mardiana, S.Pd.,M.Pd
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( STKIP ) Melawi
10 DAFTAR PUSTAKA Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951. Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53. Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons Inc., New York, 1967. Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974. Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107. Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York, 1964. Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith, 1958. Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982. Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University Press, 1945. Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill Publishing Company, Ohio, 1973. Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.