Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosial media, sebuah terobosan modern dalam sejarah komunikasi manusia dengan cepat meraih perhatian masyarakat. Pada masa ini, masyarakat dihadapkan kepada beragam pilihan alat komunikasi termasuk sosial media. Pilihan sosial media pun beragam, penggunaannya dapat tergantung pada kebutuhan, kegemaran ataupun kenyamanan dalam menciptakan hubungan. Dalam cakupan besar, pada intinya, konsentrasi dari sosial media adalah informasi. banyak
terbangunnya hubungan dan tersebarnya
Dalam kemajuannya, sosial media berkembang menjadi
variasi
yang
mempunyai
karakteristiknya
masing-masing,
termasuk munculnya jejaring sosial.
Jejaring sosial pada masa ini lekat dengan budaya digital. Jejaring sosial merupakan sebuah website dengan antarmuka, aplikasi atau platform tertentu, yang didedikasikan serta memungkinkan penggunanya untuk dapat berkomunikasi melalui informasi, pesan, gambar, video, komentar, poling, dan lain sebagainya. Ada banyak website yang didedikasikan sebagai wadah jejaring sosial atau yang diistilahkan sebagai SNS (Social Networking Service), yang menjadi primadona dari sekian banyak SNS diantaranya adalah Facebook, Twitter, MySpace. Setiap SNS
1
mempunyai fitur dan keunggulannya masing-masing, pola penggunaanya juga beragam dan mempunyai ciri khas.
Tulisan ini berfokus kepada munculnya fenomena Online shop dalam Facebook. Fenomena ini menarik karena, banyak sosial media yang didedikasikan khusus untuk kegiatan bisnis atau jual beli, namun ternyata atmosfir Facebook di Indonesia mempunyai trend tersendiri. Sebuah budaya digital yang tidak dijumpai di negara-negara lain. Di Indonesia ada berbagai media yang diamati sebagai ajang berbisnis. Mulai dari website, marketplace, forum jual beli, serta web blog, namun Facebook ternyata dapat menyita perhatian besar dan telah menjadi sebuah alternatif populer untuk menjalankan sebuah bisnis.
Pada awalnya ketertarikan saya untuk menulis mengenai fenomena yang ada dalam jejaring sosial berasal dari pengalaman teman yang melakukan bisnis ini. Dari penuturannya, jejaring sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, berkomunikasi, menambah relasi, serta bersilaturahim namun juga merupakan suatu media yang menjanjikan alternatif belanja dan bisnis yang potensial. Walaupun banyak situs berbelanja1 yang muncul di Indonesia, jejaring sosial merupakan suatu media yang mudah prosedurnya. Dari sinilah saya mencoba berbelanja di dalam jejaring sosial dan ternyata memuaskan serta cenderung lebih mudah prosedurnya. Terdapat kesan praktis ketika masyarakat sudah terbiasa dengan transaksi lewat sistem online, mulai dari belanja hingga 1
Situs seperti www.zalora.co.id, www.berrybenka.com, www.rakuten.co.id, www.tokobagus.com, dan lain-lain.
2
bisnis, semua seperti mudah dilakukan. Pengalaman ini menarik bagi saya karena betapa cepatnya teknologi berkembang dan dunia maya menjadi sesuatu yang vital bagi kehidupan manusia. Cyberworld mengadopsi dan mengkonversi konsep perilaku masyarakat dari konkret ke virtual dengan segala yang ditawarkan didalamnya.
Dunia maya atau Cyberspace bisa diibaratkan seperti cermin dari realitas yang ada pada keseharian, hanya saja terbatas sebagai teknologi dua dimensi. Surat menyurat tidak lagi memerlukan perangko dan tukang pos,semua itu tergantikan dengan adanya sistem email. Buku-buku cetakan tergantikan dengan E-book dalam My Kindle. Dalam Introduction of Cybercultures, (Jordan,1999:49) menyatakan bahwa pertumbuhan Internet yang
sangat
cepat
dalam
dunia
industri
dimana
penggunanya
berpendidikan tinggi, mengarahkan esensinya kepada komunikasi sosial, penelitian maupun tujuan bisnis (Bell,2001:16). Perjumpaan dan percakapan dikemas dalam Skype, Facebook, Msn, Yahoo Messenger, dan beragam situs jejaring sosial. Toko-toko dan pusat perbelanjaan digantikan dengan online shop. Konversi dari realitas tiga dimensi menjadi dua dimensi ini dapat terjadi dan berjalan dengan adanya kemajuan teknologi digital. Media-media baru bermunculan dan mewadahi kegiatan manusia dalam kemasan yang lebih praktis dan fleksibel.
Keith Hart (2001) berpendapat bahwa revolusi digital didorong oleh keinginan untuk mengulangi suatu pengalaman pada jarak tertentu. Dalam konteks teknologi, pengalaman ini dialami melalui komputer, yang
3
kemudian pada umumnya diasosiasikan dengan virtualisasi interaksi tatap muka2. Semua komunikasi, baik itu pertukaran kata-kata atau bahkan uang, mempunyai aspek virtual dalam simbolisasinya. Sirkulasi melalui media juga merepresentasikan apa yang dilakukan seorang dengan atau pada orang yang lain. Hal-hal ini melibatkan serangkaian kegiatan imajinatif, kemampuan untuk mengkonstruksi makna melewati jarak antara simbol dan realitas. Ada sebuah keyakinan bahwa kemampuan komunikasi manusia akan terus berubah. “Dalam hal revolusi digital, ini kemudian menimbulkan suatu keyakinan baru bahwa kapitalisme bisa saja virtual. Inti dari virtualisasi disini adalah abstraksi dan pergeseran level fungsi pertukaran yang lebih inklusif ke pasar global yang menjadi titik acuan dari kegiatan ekonomi” (Carrier, J. and D.Miller,1998) Dalam hal ini, bentuk abstrak sebuah komunikasi membawa serta potensi bagi masyarakat untuk terlibat satu sama lain secara konkret walaupun terpisah jarak, disinilah pertolongan teknologi yang muncul dalam bentuk internet dan cyberspace yang kemudian memegang peran dalam kehidupan manusia.
Sebagai metafora internet, Cyberspace didefinisikan sebagai sebuah aliran data digital melalui jaringan komputer yang saling terkoneksi. Cyberspace tidak konkret dan dilokasikan secara spasial karena bukan merupakan sebuah objek yang berwujud. Ruang maya inilah yang kemudian menjadi sumber dari bangkitnya E-commerce, E-
2
http://thememorybank.co.uk/papers/notes-towards-an-anthropology-of-the-internet. Diakses pada 28 Mei 2012 pukul 18.44 wib.
4
bussiness, bahkan juga Social commerce. Cyberspace memungkinkan munculnya usaha-usaha yang intangible atau tak berwujud yang kemudian membentuk sebuah era konsumsi baru yang akrab dengan virtualitas. Hal tersebut juga diungkapkan oleh (Luke 1999:37 dalam Bell, 2001:19) “Cyberspace
permits dromo-economic enterpreneurs to
virtualize
segments of a core workplace at these peripheral locations, while the telepresence of peripheral labourers into the productive systems of a corebased company”3 Hal ini membangkitkan sedikit renungan tentang sejauh manakah masyarakat memanfaatkan ruang maya, apakah sekedar untuk kegiatan rekreatif ataukah menjadi suatu wadah aktifitas produktif yang menstimulasi
masyarakat.
“Secara
menciptakan sebuah peluang untuk
luas,
kemunculan
Cyberspace
membentuk kembali
sebuah
masyarakat dan kebudayaan tersembunyi” (Flew:2008). Hal tersebut kemudian bisa dilihat sebagai komunikasi sosial dan kebudayaan yang tak berbatas.
Dunia maya atau Cyberspace menjadi semakin ramai ketika banyak munculnya sosial media. Salah satu bentuk dari sosial media adalah jejaring sosial atau social network. Jejaring sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Dunia dan khususnya Indonesia saat ini adalah Facebook. Popularitasnya terus melonjak tidak lama setelah situs ini diluncurkan pada tahun 2004 di Amerika Serikat. Facebook yang dibuat oleh Mark Zuckerberg merupakan situs jejaring sosial terbesar di dunia
5
yang meraih hampir satu miliar pemakai di seluruh dunia. 4 Walaupun banyak bermunculan situs jejaring sosial baru setelah Facebook seperti Google+ dan Twitter, dengan jumlah itu Facebook resmi mengalahkan situs jejaring sosial pesaing terdahulunyanya seperti Friendster, dan MySpace. Indonesia menempati tempat ke-4 dari jajaran negara dengan pemakaian Facebook terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India dengan jumlah 49 juta user5. Angka ini cukup mengesankan mengingat kecepatan layanan internet di Indonesia masih belum bisa disejajarkan dengan negara maju lainnya. Fenomena tingginya peringkat masyarakat Indonesia sebagai pengguna Facebook juga memperlihatkan bahwa betapa masyarakat Indonesia aktif dalam partisipasi dunia maya lewat jejaring sosial. Bukan hanya menjadi penghubung antar individu, namun juga menjadi penghubung antar kelompok masyarakat. Facebook menjadi wadah penggerak partisipasi masyarakat di berbagai bidang, mulai dari sosial, politik, hingga ekonomi.
Seperti yang telah dipaparkan diatas, dunia maya khususnya jejaring sosial menyerap partisipasi masyarakat ke level yang lebih luas. Ruang konsumsi menjadi lebih besar ketika era digital mulai muncul. Pilihan masyarakat
untuk
sekedar
menghabiskan
waktu
atau
bahkan
menghabiskan uang juga lebih banyak. Ada yang sekedar surfing di internet, downloading, bahkan berbelanja. Fitur yang ada di dalam
4
The New York Times, Minggu 20 Mei 2012. http://topics.nytimes.com/top/news/business/companies/facebook_inc/index.html 5 Indonesia Turut Merajai Facebook Oleh Simon Saragih, Nasru Alam Aziz diakses Rabu, 16 Mei 2012 pukul 13:19 WIB http://tekno.kompas.com/read/2012/05/16/13193648/Indonesia.Turut.Merajai.Facebook
6
Facebook sangat mendukung adanya interaksi dalam dunia maya. Fitur Profile, News Feed, Chat, Search, Comment, Tag, Notes, Group, Fan Page, bahkan Video Call telah menjadi fitur andalan Facebook. Dari kelengkapan fitur ini Ranking Facebook dalam kompetisi jejaring sosial terus meningkat. Terlepas dari inovasi tampilan profile yang selalu diperbaharui, Facebook masih menjadi salah stau jejaring sosial yang mempunyai banyak fitur didalamnya. Di Asia terutama di Indonesia ternyata Facebook menjadi salah satu jejaring sosial yang populer dan efektif untuk media membuka online shop.
B. Permasalahan
Ketika sebuah online shop sudah berada dalam Facebook berkembang dengan banyaknya koneksi yang dimiliki, tidak lantas tantangan berhenti disitu. Usaha untuk bertahan dalam persaingan dan memelihara kepercayaan konsumen, harus dilakukan demi kesuskesan online shop tersebut. Fenomena online shop ini ada dalam dunia maya, pihak-pihak yang terkait tidak selalu dapat bertatap muka. Hal tersebut memicu adanya serangkaian etika yang harus diperhatikan kedua belah pihak, baik konsumen maupun online shop itu sendiri. Masing-masing online shop mempunyai tipe, etika dan strategi tersendiri dalam berbisnis. Etika tersebut yang kemudian memegang peranan dalam perkembangan sebuah online shop kedepannya.
7
Tulisan ini mengkaji fenomena online shop yang ada dalam jejaring sosial Facebook. Jejaring sosial yang paling adidaya di dunia maya, ternyata menyimpan berbagai bentuk perilaku manusia yang bukan hanya sekedar bersosial namun ternyata juga bisa difungsikan untuk kegiatan ekonomi. Berdasarkan permasalahan diatas, ada beberapa pertanyaan penelitian yang menjadi fokus dari tulisan ini, yaitu : 1. Mengapa pengusaha online shop memilih untuk berbisnis menggunakan Facebook ? 2. Bagaimana pengusaha online shop mengembangkan strategi marketing dan melaksanakan transaksi dalam bisnisnya ? 3. Bagaimana pengusaha online shop membina kepercayaan dan relasi dengan konsumen ? Penjelasan dari pertanyaan pertama terkait dengan alasan dan keuntungan apa yang didapat oleh para informan dari berbisnis melalui Facebook. Penjelasan dari pertanyaan kedua memaparkan hal-hal yang terkait dengan usaha para pebisnis online shop di Facebook dalam menjalankan bisnis agar
kemudian
mendapatkan
profit.
Pertanyaan
ketiga
berusaha
menjelaskan apa saja yang diperlukan demi terbinanya hubungan baik antara penjual dan konsumen online shop. Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan acuan bagi peneliti untuk menyusun beberapa sub-pertanyaan yang kemudian menjadi sebuah pedoman wawancara.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan gambaran deskriptif mengenai fenomena munculnya online shop dalam Facebook
8
sebagai suatu alternatif mata pencaharian dan variasi kegiatan konsumsi dunia maya. Berdasarkan realitas tersebut, penelitian ini juga kemudian berusaha untuk mengetahui mengapa informan memilih Facebook untuk berbisnis. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran alur strategi dan sistem yang dipakai para informan terkait dengan online shop sebagai bisnis mereka. Kemudian penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan kepercayaan yang terbentuk dan terbina, terkait dengan hubungan penjual dan pembeli yang dimediasi oleh jejaring sosial.
D. Kerangka Pemikiran
Manusia juga disebut sebagai Homo Economicus, istilah ini mengacu kepada keinginan manusia yang bertindak untuk mendapatkan kesejahteraan setinggi mungkin bagi dirinya sendiri dengan menggunakan informasi yang tersedia mengenai peluang, hambatan, keadaan alam, kelembagaan dan kemampuan demi mencapai tujuannya.. Hal serupa juga diungkapkan Baudillard, “Homo economicus who is turned entirely into use value during the process of capitalist production. This utilitarian imperative even structures the relation of the individual to himself or herself. In the process of satisfaction, individuals valorize and make fruitful their own potentialities for pleasure; they "realize" and manage, to the best of their ability, their own "faculty" of pleasure, treated like a productive force.” (Poster, 2001:69-70)
Pendekatan ini menempatkan
manusia dalam pemikiran rasional terhadap sebuah arti kesejahteraan,
9
dimana ada kemampuan produktif yang efektif dan optimal dalam menyikapi sebuah peluang. Individu menerapkan prinsip ekonomi ini, berusaha untuk mencapai tujuan mereka dengan biaya serendah mungkin
Kajian antropologi dalam konteks ekonomi selalu mencoba memaparkan
cara-cara
bagaimana
masyarakat
memproduksi,
mendistribusikan, serta mengkonsumsi suatu produk atau barang. Hal-hal tersebut juga dapat mencakup bagaimana sesuatu sampai pada keadaan tersebut, bagaimana relasinya dengan sistem yang lain, bagaimana masyarakat berperilaku dan membuat keputusan dalam sistem tersebut dan apa konsekuensi perilaku masyarakat dalam sistemnya. (Durrenberger, 1996) Penelitian ini juga mengkaji bagaimana masyarakat berperilaku menyikapi peluang terkait dengan perubahan tren jejaring sosial. Fenomena online shop yang menjadi salah satu alternatif mata pencaharian bagi masyarakat mempunyai serangkaian sistem sehingga berfungsi efektif dalam masyarakat. Tanpa adanya sistem yang ada di ruang maya atau cyberspace kegiatan ini tidak akan berfungsi efektif. Disini masyarakat (informan) berperan sebagai konsumen dunia maya khususnya jejaring sosial, yang kemudian juga memposisikan dirinya sebagai penjual dalam konteks jual beli.
Tidak bisa dipungkiri bahwa cyberspace adalah salah satu ruang alternatif yang banyak diminati masyarakat untuk mengisi waktu mereka. Pada masa ini, masyarakat bukan hanya sebatas pengguna dari world wide web dan menjadi audiens yang pasif mengkonsumsi data dari media,
10
namun mereka bergerak menjadi partisipan yang aktif dan dapat mengontrol isi dari informasi. Masyarakat membentuk kualitas data dan informasi serta responsif terhadap cyberspace. Michael Benedickt dalam buku The Cybercultures Reader mendefinisikan cyberspace sebagai jagad raya baru yang saling terhubung lewat komputer dan jaringan komunikasi. Jagad raya yang menjadi sebuah jalur lintas pengetahuan, rahasia, ukuran, indikator, hiburan, dan agen yang berwujudkan tampilan, suara, serta keadaan yang belum pernah terlihat di dunia yang mana dengan cepat menyebar secara luas melalui gelombang elektronik 6. Segala keuntungan, fungsi
dan fasilitas yang ditawarkan oleh cyberspace menggerakkan
manusia kedalam lingkaran peluang. Peluang inilah yang kemudian menimbulkan inisiatif untuk memulai langkah baru dalam mencapai kesejahteraan. Keberadaan dunia maya membawa dimensi baru dalam kehidupan manusia, tidak hanya pada aspek sosial, ilmu pengetahuan, namun juga kesejahteraan ekonomi yang terimplementasikan dalam konsep E-business.
E-business menurut Judy Strauss dan Raymond Frost (2009) merupakan sebuah optimisasi berkelanjutan cyberspace dari sebuah kegiatan usaha melalui teknologi digital. Dengan transisi dari web 1.0 ke web 2.0 variasi kegiatan di cyberworld bertambah, dan begitu pula dengan nilai-nilai yang ada dalam kegiatan tersebut. Meningkat dan membaiknya sistem telekomunikasi dan sistem informasi di era modern jelas membuka
6
Lihat : Storying Cyberspace 1 oleh David Bell dalam “An Introduction to Cybercultures” (2001:7)
11
peluang bagi masyarakat untuk memperbaiki berbagai aspek dalam kehidupannya,
bukan
hanya
secara
sosial
namun
juga
tingkat
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Beranjaknya cyberspace ke level lebih lanjut berimbas kepada hubungan antar individu dalam masyarakat modern. Teknologi jejaring sosial membuka sebuah jendela baru terhadap peluang interaksi bisnis.
Social network oleh Schiffman (2010:283) didefinisikan sebagai komunitas virtual dimana masyarakat berbagi informasi satu dengan yang lain secara umum dengan minat yang sama, sehingga menciptakan suatu hubungan yang terbentuk didalam sebuah wadah yaitu cyberspace. Strauss&Frost (2009:341) mengidentifikasi Social network sebagai “social structures made of nodes (which are generally individuals or organizations) that are tied by one or more specific types of interdependency, such as values, visions, idea, financial exchange, friends, kinship, dislike, conflict, trade, web links or airline routes”. Secara luas, jejaring sosial menghubungkan individu satu dengan yang lain untuk beragam alasan dan tujuan yang berbeda-beda.
Presentasi diri dalam jejaring sosial bagi setiap orang berbeda, tergantung dari misi dan visi yang ingin dicapainya dengan pertisipasinya di dunia maya. Pencitraan „self‟ ini yang kemudian berdampak pada relasinya
terhadap
lingkaran
pertemanan
atau
siapapun
yang
mengkonsumsi citra sebuah profil didalamnya. Hal ini berkaitan dengan pencitraan profil sebuah toko online yang ada agar bisa menjadi toko yang
12
terpercaya. Matt Hills dalam Digital Cultures menyatakan bahwa “While facebook has been thought of most centrally, of course, in relation to social networking, what this sometimes misses out is the extent to which facebook and its ilk, with their 'union of the immediate and the mediated', place a new found digital cultural emphasis on the presentation of self.” Dalam dunia maya semua orang memang seolah saling terhubung, namun yang sebaiknya dicermati adalah apa yang membuat mereka saling terhubung, modus apa yang ada didalamnya, dan juga bagaimana sebuah hubungan yang tercipta dapat terbina atau berkembang.
Kepercayaan merupakan salah satu aspek esensial dalam berbisnis secara umum. Kepercayaan dalam berbisnis online juga berpengaruh besar terhadap kredibilitas sebuah online shop. Kepercayaan antara konsumen dengan penjual, berdampak pada hubungan mereka dalam perilaku dan performa jual beli. Kepercayaan menurut definisi Meyer, Davis, dan Schoorman (1995) adalah sebagai keinginan suatu pihak untuk menjadi mudah dikenai tindakan dari pihak lain berdasarkan ekspektasi bahwa pihak tersebut akan menunjukkan tindakan atau perilaku yang penting baginya. Berdasarkan definisi ini, maka kepercayaan bisa dikatakan sebagai keinginan untuk mengambil resiko dalam suatu keadaan yang belum pasti. Kepercayaan atas sesuatu yang belum pasti dalam konteks jual beli online merupakan suatu hal yang krusial bagi penjual maupun konsumen. Hal ini dikarenakan bisnis jual beli secara online tidak sama dengan sistem jual beli tradisional, dimana barang/jasa yang dijual, dan penjualnya benar-benar konkret didepan mata. Dalam bisnis jual beli
13
online, konsumen diharapkan percaya bahwa penjual akan menjual barang/jasa sesuai ekspektasi konsumen. Penjual juga berharap untuk mendapatkan etiket baik dari konsumen yang berniat untuk membeli barang atau jasa darinya. Kedua belah pihak diharapkan percaya kepada sistem yang telah disepakati bersama demi kelancaran transaksi.
Kepercayaan atas citra diri sebuah profil bisa timbul dari word of mouth, dalam jejaring sosial hal ini tentunya dapat menjadi instrumen untuk memposisikan sebuah profil toko dengan baik. Word of Mouth atau dalam jejaring sosial disebut e-WOM adalah serangkaian pembicaraan, komentar, post, atau bahkan bukti yang cenderung menyita perhatian pengguna
jejaring
sosial.
(Schiffman,Leon
G&Leslie
Lazar
Kanuk,2010:283) E-WOM berasal dari pengalaman individu berkaitan dengan aktifitasnya dalam jejaring sosial yang dapat diakses khalayak luas. E-WOM ini bisa juga dijumpai pada sebuah komunitas brand, blog, maupun dinding-dinding pesan konsumen website, namun pada umumya, e-WOM kuat asosiasinya dengan jejaring sosial. Ada tiga dimensi yang mendasari keterikatan konsumen dalam E-WOM pada jejaring sosial. Pertama adalah kekuatan mengikat yang berasal dari frekuensi keintiman kontak atau interaksi antara pencari informasi dan sumbernya. Dalam hal ini, frekuensi kontak antara konsumen online shop dan pengusaha oline shop. Kedua, kesamaan diantara anggota komunitas mengenai kedudukan demografis maupun gaya hidup. Ketiga, Kredibilitas sumber yang mana penting bagi pencari informasi mengenai keahlian narasumber tersebut terhadap bidang keahliannya. E-WOM ini juga didukung oleh argumen
14
Strauss & Frost yang menyebutkan bahwa dalam konteks sosial budaya, salah satu trend yang paling sering ditemui adalah konsumen lebih percaya kepada sesama konsumen daripada iklan. Dalam bisnis menggunakan jejaring sosial dimana testimoni sebagai bahan informasi dapat diketahu khalayak umum yang mencarinya, E-WOM berperan dalam proses komunikasi bisnis dan pembentukan citra sebuah online shop.
Lury (1998:44-45) dalam bukunya yang berjudul Budaya Konsumen menjelaskan adanya beberapa ciri karakter konsumsi modern. Ada beberapa yang signifikan, yaitu adalah adanya kecenderungan makin bertambahnya pertukaran dan interaksi manusia yang dimungkinkan melalui pasar; Ekspansi kegiatan belanja sebagai pengisian waktu senggang; Peningkatan berbagai bentuk kegiatan belanja; Pertumbuhan tempat-tempat untuk pembelian dan konsumsi; Makin pentingnya pengemasan dan promosi dalam pembuatan, tampilan dan pembelian barang-barang konsumen; Munculnya serangkaian apa yang disebut kejahatan
konsumen.
Seperti
halnya
(Feathrestone,2001:246)
mengungkapkan bahwa berbelanja bukan hanya merupakan transaksi murni yang bersifat ekonomis rasional dan kalkulatif untuk tujuan memaksimalkan
manfaat, tetapi terutama merupakan aktifitas budaya
untuk mengisi waktu luang yang didalam aktifitas tersebut orang menjadi audiens yang bergerak melalui perumpamaan-perumpamaan spektakuler. Dalam konteks online shopping dimana audiens atau konsumen juga bergerak melalui perumpamaan-perumpamaan, visualisasi sangat berperan karena disitulah konsumen bisa mengimajinasikan pengalaman terhadap
15
suatu komoditas. Bagaimana sebuah online shop membuat display dari barang atau jasa yang ditawarkan, dapat berpengaruh kepada minat konsumen untuk ikut merasakan atau mengalaminya.
Dalam pasar tradisional terdapat banyak sekali interaksi yang terjadi. Bukan hanya sekedar transaksi, jual-beli, namun juga perca-perca interaksi seperti sapaan untuk menarik konsumen, promosi barang kepada konsumen, tawar-menawar harga produk, pemesanan barang, bahkan hingga keluhan-keluhan dari penjual dan pembeli dapat dilihat ketika kita menginjakkan kaki di sebuah pasar tradisional. (Sassateli ,2007:16) “The birth of consumer society is thus credited to consumerism, which in turn, is seen as catalysed by the dynamism of fashion fused with social emulation and encouraged by the manipulative sales techniques of wily producers.” Di satu sisi, komunikasi menggunakan internet menyediakan aksesibilitas instant tentang kesiapan dan terhubungnya ekspresi emosi manusia. Disisi lain, komunikasi seperti ini sangatlah berbeda dari komunikasi langsung secara face to face yang mana kedua belah pihak ada secara konkret baik dari fisik maupun interaksi visual yang memungkinkan adanya identifikasi identitas dan emosi yang tercipta dari sebuah situasi. Fenomena ini kemudian membangun sebuah renungan mengenai esensi dari emosi, kekonkretannya, serta cara berekspresi dan mengkomunikasiannya dalam dunia virtual. Dalam bisnis online shopping, ada beragam teknik cerdik para penjual dalam mengkonsepkan toko, teknik, promosi, dan cara mereka berinteraksi dengan konsumen. Interaksi online shop dengan
16
konsumen menarik diamati, karena setiap onlien shop mempunyai caracara tertentu membuat konsumen tertarik, lebih dekat dan percaya untuk bertransaksi dengan mereka.
Ketika menginjakkan kaki ke pasar modern, konsumen dibuai dengan serangkaian kenyamanan. Kebersihan tempat, penataan yang memudahkan, tersedianya produk-produk yang sudah melalui uji kelayakan, atmosfir belanja yang mendukung suasana hati dan sistem swalayan yang membebaskan konsumen untuk bebas mencari apa yang diinginkan. Dibalik semua itu ada kecenderungan minimalnya interaksi yang bisa dilihat. Setiap benda telah diberi label sesuai dengan harganya, tidak ada lagi sistem tawar-menawar harga, potongan harga pun tidak bisa seenaknya diberikan. Promosi tidak dilakukan dengan interaksi verbal, namun dengan serangkaian potongan harga yang ditulis diatas kertas. Pujian ataupun komplain tidak bisa langsung, dan harus melalui serangkaian prosedur demi kenyamanan suasana berbelanja. Pasar modern yang nyata, bisa dikatakan hanya untuk konsumen yang siap dengan konsekuensi harga barang-barang yang ada didalamnya. Bell (2001:79) dan Wise (1997:73) mengungkapkan, “As a social space, the Internet -or rather its communities – is produced through habit, both the linguistic habits of repetitive characteristic phrasing or shorthand (BTW, LOL, FYI) and technological habits of typing, of the hardware and software „preferences‟ of configuration, of bodily posture, and so forth. To grasp this space is to address of these dimension : the articulation of the
17
machinic assemblage to assemblage of enunciation, the machine we use and how we talk about them or think about them.” Komunikasi yang terjadi dalam online shopping via jejaring sosial pun mempunyai caranya tersendiri dengan teknik yang beraneka ragam dan dapat diatur sesuai tren. Istilah-istilah menarik kemudian muncul dari kebiasaan-kebiasaan,dan interaksi antara online shop dengan konsumen.
E. Metode Penelitian E.1.
Lokasi Penelitian Cyberspace terutama jejaring sosial Facebook disini merupakan
lokasi penelitian yang sesungguhnya, karena disitulah dapat diamati pola perilaku dan interaksi virtual antara pelaku bisnis dan konsumen. Fasilitas home dan wall yang ada di Facebook dapat menampilkan interaksi antar individu, disinilah pola-pola interaksi dan komunikasi mereka dapat diamati. Walaupun cyberspace sering dikaitkan dengan konteks dunia yang tidak dibatasi oleh keadaan geografis, namun dalam penelitian ini lokasi geografis penting karena berkaitan dengan keberadaan online shop serta pola transaksi dan operasi pada online shop tersebut. Toko-toko online yang menjadi informan penelitian ini berlokasi di Yogyakarta.
E.2.
Pemilihan Informan Spradley (2006:68) mengidentifikasikan persyaratan memilih
informan yang tepat, beberapa diantaranya
18
yakni enkulturasi
penuh,dan keterlibatan langsung Sebagai peneliti disini saya ingin memilih informan yang langsung terlibat dalam fenomena online shopping dalam jejaring sosial sehingga informasi yang saya dapatkan dapat diandalkan. Informan disini adalah para penyelenggara online shop dalam jejaring sosial Facebook. Tidak dikategorisasi apa produk yang dijual dalam toko online tersebut karena mengantisipasi adanya kecenderungan dalam toko online untuk mengganti atau menambah variasi produk yang dijual. Ada lima informan dalam penelitian ini. Para informan merupakan penggiat bisnis online shop yang setidaknya telah melakukan lebih dari 100 transaksi sukses dengan konsumen sejak bisnisnya didirikan. Transaksi sukses disini artinya, masingmasing pihak telah melakukan kewajiban dan menerima haknya baik sebagai penjual maupun pembeli.
E.3.
Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
metode
wawancara
mendalam dengan para informan. “Metode wawancara atau interview merupakan meode yang digunakan dengan tujuan suatu tugas tertentu, yaitu mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan
bercakap-cakap
berhadapan
dengan
orang
itu.”
(Koentjaraningrat, 1977:129) Dengan begitu, kehadiran peneliti juga dapat dirasakan langsung oleh subjek sehingga semua data yang diperoleh merupakan hasil dari interaksi kedua belah pihak.
19
Pengumpulan data juga didukung dengan metode netnography7 (Kozniaks, 2009:1) yang hampir mirip dengan etnografi yang biasa dilakukan dalam kajian antropologi. Netnography oleh Kozniaks didefinisikan sebagai “suatu bentuk etnografi yang diadaptasi untuk dunia sosial yang dimediasi perangkat komputer. Singkatnya netnografi adalah sebuah metode untuk mempelajari cybernetics space (cyberspace).” Perbedaaan yang paling mencolok dari etnografi dan netnografi adalah bagaimana penelitian dilakukan. Netnography berfokus pada wawasan kebudayaan dan memposisikan komunikasi online bukan hanya sebagai "konten", tetapi sebagai ekspresi dalam interaksi sosial yang sarat makna, serta ebagai sebuah artefak budaya. Prinsip netnography dalam penelitian ini kemudian didukung dengan studi pustaka, wawancara mendalam serta partispasi observasi. Studi pustaka sangat berguna untuk menunjang data-data dan wacana yang terkumpul.
Pertama-tama observasi dilakukan dengan mengamati aktifitas online shopping yang muncul di jejaring sosial Facebook dan kemudian memilah online shop dan konsumen yang berada dalam cakupan area penelitian. Data yang diperoleh dari serangkaian proses ini menjadi data sekunder yang berupa rangkaian profil dan gambaran aktivitas yang dapat diamati. Kemudian wawancara bebas dengan informan terpilih dilakukan dengan pedoman wawancara. Sangatlah mungkin sebuah 7
Lihat : Hidayah, Sita. 2012. “ Antropologi Digital dan Hiperteks : Sebuah Pembahasan Awal” dalam “Ranah” Jurnal Mahasiswa Antropologi UGM “ Budaya Digital dan Netnography” Tahun II, No.1, April 2012. Yogyakarta : KEMANT
20
wawancara dapat berkembang lebih luas dari pedoman wawancara. Data yang diperoleh dari wawancara dengan informan menjadi data primer dalam penelitian ini. Penelitian ini juga didukung dengan keterlibatan peneliti dengan sistem transaksi online shop di Facebook dengan berperan sebagai konsumen. Dengan begitu penjelasan menjadi lebih mudah karena penulis telah mengalami interaksi dengan online shop. Dari interpretasi wawancara kualitatif serta data-data yang telah terkumpul
kemudian
diklasifikasikan
dan
dianalisis
dengan
membandingkan interaksi dan perilaku antara satu informan dan informan lainnya. Rangkaian proses tersebut kemudian menghasilkan jawaban dari pertanyaan penelitian ini dan kemudian ditulis menjadi suatu kesimpulan.
21