BAB I PENDAHULUAN
1. Judul dan Alasan Pemilihan Judul 1.1 Aktualitas Formula untuk menanggulangi kemiskinan dibahas dalam dunia ilmu sosial dari satu masa ke masa. Kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama pembangunan yang dilakukan negara. Berbagai program penanggulangan rumah tangga miskin dijalankan oleh pemerintah Indonesia, seperti: PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai, Beras Miskin dan Pendanaan Biaya Operasional Sekolah. Program-program pemerintah itu disalurkan ke rumah tangga yang dianggap miskin dengan penilaian indikator miskin yang sama di seluruh Indonesia, padahal bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai kebudayaan yang berbeda di daerah satu dengan yang lain. Rumah tangga yang dinilai miskin memiliki respons yang berbeda-beda. Ada beberapa rumah tangga yang menerima sebutan ‘miskin’, namun ada pula rumah tangga yang menolak mentah-mentah ketika dirinya dinilai ‘miskin’. Perbedaan respons tersebut terjadi karena kemiskinan dimaknai berbeda-beda oleh setiap orang dengan latar belakang yang beragam. Terdapat nilai-nilai kebudayaan yang percaya akan perilaku kehidupan serba sederhana, namun bukan berarti mereka termasuk ke dalam rumah tangga miskin. Begitu pula dengan kondisi kesejahteraan yang dianut oleh tiap-tiap individu. Selama ini tingkat kesejahteraan dianalogikan ke kepemilikian materi semata-mata. Kepuasan seseorang terhadap kehidupannya tidak hanya dapat
1
diukur dari kondisi keuangan dan kepemilikan harta benda. Hal ini bisa ditelisik dari kebahagiaan seseorang terhadap segala aktivitas kehidupan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan lahiriah dan batiniah. Penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan masukan kepada pemerintah didalam upaya penyelenggaraan program pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kajian tentang kesejahteraan subjektif belum digunakan sebagai indikator kesejahteraan di Indonesia padahal sangat relevan sebagai salah satu formula untuk menanggulangi kemiskinan. 1.2 Orisinilitas Selama ini kesejahteraan dilihat dengan ukuran objektif. Ukuran ini menyamaratakan kondisi individu yang harus melampaui standar minimal hidup. Berbeda dengan anggapan bahwa kesejahteraan masyarakat yang hidup berada dalam perbedaan nilai-nilai dan budaya yang memiliki keyakinan tersendiri. Hal ini yang ingin dikaji secara komprehensif oleh peneliti tentang adanya keyakinan tersendiri dari masyarakat mengenai konsep kesejahteraan pribadinya. Dalam penelitian ini, ide yang diangkat berfokus pada perempuan berkeluarga yang mempunyai kebutuhan, harapan, dan potensi dalam konteks turut memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Usaha produktif yang dilakukan oleh perempuan seringkali tetap dianggap sebagai pekerjaan sampingan, padahal pekerjaannya dapat menjadi penopang hidup utama bagi ekonomi rumah tangga. Peluang kerja yang terbuka dalam berbagai bidang pekerjaan itu memberikan konsekuensi bagi kehidupan perempuan. Penelitian ini
2
berbeda dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan bahasan serupa. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.1 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu No
Penulis
Tujuan
Metode
Hasil
1
Damanik (2014) Jurnal Kepariwisataa n Indonesia
Menganalisis kompleksitas interaksi di pemangku kepentingan dan kelembagaan pengelolaan Gua Pindul yang didorong oleh aktivitas pengelola wisata atraksi berbasis masyarakat.
Wawancara mendalam, observasi dan diskusi kelompok terarah.
Perkembangan Gua Pindul yang sangat pesat sebagai atraksi wisata baru menimbulkan implikasi praktis dalam penataan kelembagaan pengelolaan. Perkembangan kuantitatif tersebut tidak disertai oleh kehadiran mekanisme kelembagaan yang menatakelola cara bertindak semua pemangku kepentingan di dalam payung organisasi yang kuat.
2
Triana (2010)
Mengetahui keterikatan antara adanya konflik tentang perkerjaankeluarga dengan kepuasan kerja.
Kuantitatif.
Mengindikasikan konflik yang terjadi pada work family dipengruhi perasaan individu dan kebahagiaannya terhadap pekerjaan.
Jurnal Psikologi
3
Rohana (2014)
Mendeskripsikan Analisis capaian kegiatan deskriptif. pemberdayaan
Masyarakat di wilayah Desa Tembi mampu berdaya
3
ekonomi di wilayah Desa Tembi.
4
Sulaksmi (2007)
1. Mengetahui faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat pendapatan masyarakat sekitar.
2. Mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga masyarakat sekitar kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Weh.
akibat adanya geliat pariwisata.Masyarak -at dapat melakukan kegiatan produktif untuk terbebas dari jerat kemiskinan. Kepuasan masyarakat dengan adanya wisata ditunjukkan melalui aktifnya mengikuti pelatihan keterampilan. Analisis Deskriptif, Analisis Uji Paired sample test, Analisis regresi linier berganda, Analisis chi square.
Tingkat pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga yang aktif lebih baik daripada rumah tangga yang tidak aktif dalam kegiatan pariwisata.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga yang aktif di pariwisata meliputi: umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, konsusmsi, dan jarak dari kawasan wisata. 3. Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga yang tidak aktif dalam kegiatan pariwisata adalah pendidikan,
4
jumlah anggota keluarga, pengeluaran, dan curahan waktu kerja. Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber. Dari keempat penelitian dan jurnal di atas, maka dapat dilihat orisinalitas penelitian ini. Fokus bahasan terletak pada perempuan berkeluarga yang bekerja dan memperhatikan dampaknya terhadap kepuasan pekerjaan, pendapatan, dan waktu luang akibat pergeseran okupasi ke sektor jasa pariwisata di Desa Bejiharjo. 1.3 Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM jelas merupakan jurusan yang memiliki core social development (pembangunan sosial). Jurusan tersebut memiliki tiga konsentrasi utama, yaitu Pemberdayaan, CSR, dan Kebijakan Sosial. Kosentrasi kebijakan sosial terdapat aspek-aspek pembangunan. Pembangunan tanpa kebijakan itu kosong, sehingga dalam upaya menyelesaikan permasalahan
yang
ada,
dibutuhkan
alternatif
kebijakan
yang
dapat
menyelesaikan setiap permasalahan. Misalnya upaya menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Pada pembuatan suatu kebijakan, pemerintah akan menggunakan indikator-indikator kesejahteraan. Indikator ini penting sebagai alat ukur untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang tidak kunjung usai di tengah kehidupan masyarakat. Alat ukur yang efektif dan tepat diharapkan dapat dengan benar memberikan bukti yang nyata atas perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Setelah mengetahui kebenaran lapangan dengan tepat maka pemerintah dapat melaksanakan program-program untuk mencapai kesejahteraan
5
masyarakat dengan optimal. Kebutuhan masyarakat akan bantuan pemerintah berbeda antartempat yang satu dengan tempat lain, meskipun permasalahan sosial yang dialami memiliki karakteristik yang sama. Maka dari itu, pemerintah dan pengambil kebijakan terkait perlu mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sesungguhnya oleh masyarakat yang ‘ditolong’. Pemahaman mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat menjadi fokus kajian dari pemerintah. Dari paparan tersebut terlihat adanya relevansi dengan Jurusan, pada indikator kesejahteraan subjektif yang juga merupakan kajian ilmu di Jurusan Pembanguan Sosial dan Kesejahteraan. 2. Latar Belakang Penelitian Modernisasi di perdesaan Jawa menjadikan masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar. Masyarakat perdesaan Jawa yang dikenal menjaga keharmonisan sosial yang tinggi mengalami tekanan untuk dapat beradaptasi dengan perubahan sosial tersebut. Peralihan teknologi pertanian dari mekanis ke teknologi pertanian modern mengubah sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat perdesaan di Jawa. Pandangan ekonomi politik radikal melihat bahwa terjadi keberpihakan kepada petani yang memiliki lahan luas, dan memonopoli teknologi pertanian modern yang berakibat semakin bertambahnya jumlah buruh tani yang tidak memiliki tanah. Persebaran teknologi pertanian modern yang berpegang pada kepemilikan modal ini memperbesar polarisasi sosial di Jawa (Siahaan, 1983). Pandangan ekonomi klasik melihat bahwa persebaran teknologi pertanian modern merupakan teknologi tepat guna bagi petani berlahan luas maupun petani berlahan sempit sehingga melipatgandakan struktur stratifikasi sosial menjadi berjenjang (Kikuchi, 1987).
6
Melihat perubahan sosial di perdesaan Jawa juga harus menelisik kaitan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian mengingat pentingnya sumber ekonomi luar pertanian bagi perdesaan di Jawa saat ini (Sayogya, 1987). Pentingnya sumber ekonomi luar pertanian bagi masyarakat desa di Jawa berdampak terhadap perubahan sosial. Sumber ekonomi dari sektor pertanian membutuhkan proses yang panjang sampai masyarakat memperoleh hasil pendapatan. Pada sisi lain, sumber ekonomi luar pertanian memberikan kepastian akan pendapatan yang lebih besar dan tanpa menunggu waktu lama. Perubahan sosial yang dialami masyarakat desa di Jawa dengan adanya perbedaan mata pencaharian adalah penghargaan terhadap waktu, cara berpakaian, kepuasan kerja dan peningkatan status pekerjaan. Sumber ekonomi luar pertanian mengakibatkan perubahan ekonomi dalam kondisi keuangan rumah tangga. Pengaruh modernisasi mengakibatkan perubahan dalam organisasi sosial masyarakat perdesaan di Jawa. Sistem birokrasi modern yang diadopsi dari konsep Barat melunturkan organisasi sosial yang sifatnya tradisional, seperti kelompok pengajian ibu-ibu, kelompok lumbung paceklik, perkumpulan pengairan sawah. Organisasi sosial yang bersifat tradisional diganti dengan LKMD, Karang Taruna, PKK, dan P2KKS yang menjadi wadah untuk pengembangan kader politik yang mendukung kepentingan penguasa kala itu. Pemberian dana kepada organisasi modern sebagai penunjang berjalannya kegiatan mengubah motivasi bagi masyarakat untuk terlibat dalam organisasi. Orientasi awal adalah demi kemaslahatan bersama dan didasari kontrak sosial, yang merupakan orientasi ini berubah menjadi kehidupan yang berfokus pada sektor ekonomi. Semangat sosial masyarakat, semangat kebersamaan, dan rasa
7
memiliki organisasi(sense of ownership) pun pudar dengan adanya motivasi uang yang diberikan pemerintah. Para anggota berpartisipasi karena kepentingan emosional dan sosial, tidak ada motivasi material yang berubah menjadi orientasi ekstrinsik untuk penambahan pendapatan (Ancok, 2009). Perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat perdesaan di Jawa terjadi pula di Desa Wisata Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, DIY. Pemanfaatan objek pariwisata yang mendatangkan pendapatan fantastis sangat menggiurkan masyarakat. Kekayaan alam yang didukung oleh infrastruktur transportasi yang memadai menjadikan desa ini sebagai primadona tujuan wisata. Perubahan sosial budaya pun dialami masyarakat lokal, dari sisi nilai-nilai sosial yang diyakini serta sikap dan pola perilaku masyarakat sendiri. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan adanya desa wisata antara lain, ialah terbukanya lapangan kerja, tersedianya sumber pendapatan bagi keluarga, tersedianya penambahan variasi pekerjaan, terjadinya peningkatan pengetahuan dalam bidang pengelolaan pariwisata,meningkatnya interaksi sosial antarwarga serta terdapat partisipasi perempuan dan kelompok usia tua. Perputaran uang yang tinggi sebagai dampak dari sektor barang dan jasa pariwisata tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Salah satu desa wisata yang menjadi primadona pariwisata Kabupaten Gunung Kidul adalah Desa Wisata Bejiharjo. Sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat mulai ditinggalkan sejak tahun 2008 (BPS Gunung Kidul, 2012). Potensi Wisata Umum Kecamatan Karangmojo hingga Sensus Penduduk tahun 2006 - 2007 adalah 0 (nol) atau berada pada level rendah, kemudian pada Sensus Penduduk tahun 2012 potensi umum adalah 1 objek wisata 8
dengan pengunjung wisatawan domestik sejumlah 6.782 orang dan 487 orang wisatawan mancanegara. Penghasilan terbesar Desa Bejiharjo yang dulunya pertanian berubah menjadi barang dan jasa (BPS Gunung Kidul, 2012). Terlihat bahwa terdapat peningkatan peranan sektor ekonomi luar pertanian untuk menunjang ekonomi pedesaan. Selain terjadi perubahan dalam sektor ekonomi, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo mengalami peningkatan dalam organisasi kemasyarakatan. Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Desa Bejiharjo pada Sensus Penduduk 2005 berada pada level rendah, kemudian pada 2008 sejak adanya objek wisata menjadi level maju (BPS Gunung Kidul, 2008). Pengaruh industri pariwisata ini berdampak langsung dalam penyerapan tenaga kerja, khususnya bagi perempuan. Kesempatan membuka warung makan, pemberdayaan kelompok PKK sebagai unit konsumsi bagi wisatawan (usaha jasa boga), pemberdayaan kendaraan bermotor warga sebagai shuttle van/truck untuk angkutan wisatawan, pemberdayaan rumah warga untuk disewakan sebagai homestay, pemberdayaan kelompok seni lokal seperti karawitan, rebana, wayang sodo, dan pentas wayang beber, serta hiburan electone menjadi bukti pemberdayaan langsung masyarakat sekitar (danamonawards.org). Sebagian besar masyarakat menyebutkan bekerja pada jasa pariwisata menyenangkan karena berpeluang bertemu dengan orang bahagia dan santai, selain itu juga dianggap bekerja di tempat-tempat yang menyenangkan. Sumber ekonomi luar pertanian memberikan pengaruh terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja sejak tahun 2008 dengan adanya jasa pariwisata. Mereka yang bekerja pada jasa pariwisata ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada harus menjadi buruh tani dan petani kecil yang bekerja pada musim 9
pengolahan lahan pertanian dan musim panen saja. Kenaikan jumlah wisatawan di Desa Wisata Bejiharjo menumbuhkan keyakinan masyarakat lokal akan adanya pekerjaan yang lebih meningkatkan status ekonomi rumah tangganya. Masyarakat lokal kemudian membentuk kelompok-kelompok sadar wisata sebagai wadah untuk penyampaian aspirasi pekerja sektor jasa pariwisata di Desa Bejiharjo. Fasilitas penunjang pariwisata dikelola secara mandiri oleh masyarakat desa, seperti: 48 homestay, 30 unit warung, dan usaha ekonomi lain bagi wisatawan. Karang Taruna Desa Bejiharjo mengelola usaha parkir dan penjualan baju ganti. Kegiatan ekonomi yang dinamis dan masif ini menunjukkan bahwa masyarakat bangga atas pekerjaan yang mereka jalani saat ini. Perekrutan tenaga kerja pada jasa pariwisata pada umumnya dilakukan secara model tradisional atau dari mulut ke mulut dan masih ada hubungan sauadara, tetangga atau kenalan dari masyarakat. Situasi kerja yang bersifat kekeluargaan dapat meningkatkan produktivitas kerja masyarakat. Objek wisata ini dibangun oleh masyarakat yang dampaknya benar-benar memberdayakan masyarakat sekitar karena mampu merekrut tenaga kerja hingga ratusan orang (Anonim, 2015a). Masyarakat yang beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor jasa pariwisata memiliki rasa bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Rasa bangga ini ditunjukkan oleh masyarakat yang biasanya mengurusi sawah kini mempunyai kemampuan untuk mengurus desa wisata (Prabaningrum, 2010). Masyarakat mendukung adanya pengembangan pariwisata di desa. Hal ini terlihat dari rasa senang yang ditunjukkan oleh masyarakat. Rasa senang masyarakat terlihat dari ekspresi yang ditunjukkan saat orang bertanya mengenai atraksi dan fasilitas jasa pariwisata yang disediakan. 10
Lonjakan pengunjung ke Desa Wisata Bejiharjo dari tahun ke tahun berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat (Anonim, 2015b). Bukan hanya sebagian besar kaum laki-laki Desa Wisata Bejiharjo yang beralih pekerjaan ke sektor ini. Akibat positif adanya pekerjaan pada sektor jasa pariwisata turut dirasakan oleh kaum perempuan Desa Wisata Bejiharjo. Kaum perempuan bergerak dalam usaha ekonomi informal pada bidang kuliner, penjualan baju dan persewaan peralatan caving dan tubing serta sebagai front office operator (Anonim, 2014c). Kaum perempuan ini telah berkeluarga dan berkontribusi bagi perekonomian rumah tangga. Bahkan, pekerjaan mereka menghasilkan pendapatan yang utama dalam rumah tangganya. Sebelum Gua Pindul menjadi referensi pariwisata bagi pemerintah dan wisatawan, sebagian besar kaum perempuan di Kabupaten Gunung Kidul bekerja di sektor pertanian. Adanya sektor jasa pariwisata memberikan kaum perempuan pilihan dan alternatif lain untuk menyejahterakan kehidupan. Harapan masyarakat Desa Bejiharjo terhadap sektor jasa pariwisata adalah besarnya pendapatan yang akan diraih apabila dapat dikelola dengan baik. Peningkatan pendapatan masyarakat Desa Bejiharjo pada tahun 2011 tercatat sejumlah Rp162 juta, menjadi Rp1,8 miliar pada tahun 2012 (Anonim, 2013a). Pendapatan masyarakat dari sektor jasa pariwisata diterima langsung oleh mereka. Pendapatan sebesar itu memberikan harapan dan keyakinan bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Alasan yang diungkapkan ini menunjukkan bahwa masyarakat menganggap pariwisata berdampak positif terhadap ekonomi rumah tangga. Masyarakat menganggap bahwa sektor jasa pariwisata menjanjikan kesejahteraan hidupnya (Prabaningrum, 2010).
11
Hasil dari sebuah penelitian di Desa Bejiharjo yang dilakukan pada tahun 2014, saat itu 800 orang menjadi tenaga kerja jasa pariwisata, dengan penerimaan rata-rata bulanan Rp 170 juta. Pendapatan tersebut bahkan tidak pernah dibayangkan oleh masyarakat yang sebelumnya kesulitan bertahan hidup akibat ketiadaan pekerjaan (Damanik, 2014). Arus masuk uang yang meningkat tersebut merupakan aset bagi masyarakat akibat dari jasa yang berhasil dijual kepada wisatawan. Seiring dengan bertambahnya jumlah pengunjung, kompetisi antar individu penyedia jasa pariwisata turut meningkat. Hal ini terbukti dengan adanya ‘joki wisatawan’ atau pengantar wisatawan.1 Operator tertentu rela menyisihkan pendapatannya untuk membayar ‘joki wisatawan’ supaya wisatawan diarahkan untuk menggunakan jasa operator wisatanya. ‘Joki wisatawan’ berada di pinggir jalan-jalan strategis menuju Desa Wisata Bejiharjo sehingga dapat bertemu langsung dan mengarahkan wisatawan yang ingin menikmati objek wisata di Desa Bejiharjo. Adanya ‘joki wisatawan’ tampaknya mengurangi jumlah pendapatan masyarakat dan operator-operator lain, karena harus membayar mereka untuk mendapatkan wisatawan dalam jumlah yang besar. Seluruh pengelola telah sepakat untuk menghilangkannya, sehingga wisatawan akan merasa nyaman dan aman, serta pendapatan pengelola tidak berkurang untuk membayar jasa joki wisatawan. Masyarakat Desa Wisata Bejiharjo mengamankan ‘aset ekonomi’ mereka secara bersama-sama.
1
Joki wisatawan adalah orang atau kelompok yang dibayar untuk mengantarkan,membantu, dan mengarahkan wisatawan yang ingin melakukan liburan di suatu daerah. (Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/01/07/joki-di-berbagai-bidang-kehidupan-331203.html diunduh pada 11 Januari 2015 pukul 08.45 WIB).
12
Peningkatan jumlah wisatawan ke Desa Wisata Bejiharjo tidak hanya pada saat hari libur. Hari-hari biasa pun, yang semula sepi pengunjung, kini tetap ramai dikunjungi. Pendapatan masyarakat sehari-hari didapat pula dari usaha jasa boga dan kuliner, penyewaan peralatan, usaha homestay, jasa parkir kendaraan, penjualan baju ganti dan jasa fotografi sebagai sarana penunjang bagi wisatawan dalam berlibur. Lonjakan pengunjung turut serta meningkatkan pendapatan asli daerah melalui penarikan retribusi dari pemerintah kabupaten. Meskipun sejak dibuka hingga sekarang tidak ada bantuan pendanaan dan pembangunan infrastruktur dari pemerintah daerah, warga dengan kelompok sadar wisatanya mengelola objek wisata ini dengan bersemangat. Masyarakat Desa Bejiharjo merasa layak memperoleh bagian yang besar untuk dialokasikan bagi pengembangan fisik desa (Anonim, 2013b). Pendapatan masyarakat melalui interaksi langsung dengan wisatawan menumbuhkan niat mereka untuk memberikan pengalaman wisata yang unik dan menarik. Hal ini karena ada hubungan erat antara kepuasan wisatawan dengan profitabilitas penyedia jasa (Anonim, 2015). Permintaan wisatawan yang selalu berubah menghasilkan lingkungan kerja dengan hanya sedikit pekerjaan rutin, dan diperlukan improvisasi serta fleksibilitas. Pekerjaan dalam bidang pariwisata untuk perempuan cenderung merupakan penawaran alternatif yang lebih menarik minat bekerja. Kaum perempuan yang telah berkeluarga mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan domestik rumah tangganya dan melakukan pengembangan kapasitas diri. Lapangan kerja pariwisata mempunyai ciri utama yaitu bahwa batas antara pekerjaan dan waktu luang seringkali tidak jelas (Vellas, 1999).
13
Pilihan untuk bekerja di sektor jasa pariwisata bagi kaum perempuan di Desa Wisata Bejiharjo sangat terbuka. Kaum perempuan bekerja membuka warung penjualan makanan, seperti: membuka warung bakso, pemberdayaan kelompok ibu-ibu PKK sebagai unit jasa konsumsi (jasa boga) bagi operator pengelola caving, tubing, dan touring serta penyedia fasilitas home stay di rumah warga. Kaum perempuan yang telah berkeluarga pun dapat turut memiliki peluang kerja produktif. Mereka yang membuka usaha ekonomi di rumah memiliki alokasi waktu untuk sektor domestik rumah tangganya. Meski telah memiliki pekerjaan dalam jasa pariwisata, kaum perempuan menyisihkan waktu luang untuk kegiatan sosial seperti kelompok PKK. Kelompok PKK Desa Bejiharjo pada tahun 2008 dijadikan oleh LIPI sebagai percontohan wirausaha pathilo.2 Pathilo adalah makanan yang berbahan dasar ketela pohon. Prospek pengembangan usaha pathilo ini didukung dengan bahan utama lokal yang mudah didapat di daerah Kabupaten Gunung Kidul (LIPI, 2010). Kesibukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan di sektor jasa pariwisata, kebutuhan interaksi sosial dirasa penting oleh kaum perempuan Desa Bejiharjo karena meningkatkan ikatan sosial dan silahturahmi di perdesaan Jawa. Di samping program pemberdayaan produktif bagi perempuan, terdapat program peningkatan peran perempuan yang dilakukan oleh kelompok PKK melalui kesenian karawitan. Kegiatan ini menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk bertukar informasi serta menyelenggarakan kegiatan berbasis budaya melalui pengetahuan dan keterampilan karawitan. Pemberdayaan perempuan melalui kesenian karawitan bertujuan untuk meningkatkan peran perempuan di bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Manfaat dalam bidang sosial 2
Pathilo adalah makanan ringan dari ketela pohon yang hanya ada di Kabupaten Gunung Kidul. (LIPI, 2010)
14
yaitu meningkatnya rasa kepedulian, rasa kebersamaan, rasa percaya diri serta turut mendukung pariwisata Desa Bejiharjo. Pemberdayaan dalam bidang ekonomi berguna untuk melatih pengelolaan keuangan, memberikan kemampuan untuk mendapat penghasilan sendiri dan dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi keluarga. Kedatangan wisatawan
yang tidak dapat diduga setiap harinya
mengharuskan pemilik dan pekerja usaha ekonomi makanan bersiap sedia di tempat. Desa Wisata Bejiharjo yang tidak pernah sepi pengunjung pada setiap harinya dan mengalami lonjakan pengunjung pada hari libur menambah kesibukan masyarakat. Kaum perempuan yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam aktivitas domestik rumah tangganya acapkali berganti-gantian jam kerja untuk tetap dapat menjalankan usaha ekonominya. Pertumbuhan ekonomi dan sosial tidak dapat menutupi kerentanan konflik atas perebutan aset ekonomi masif ini. Klimaksnya ada pada kasus yang meruncing antara masyarakat Desa Wisata Bejiharjo, ’pemilik lahan’ Gua Pindul berada, dan pemerintah Kabupaten Gunung Kidul. Kasus yang diangkat adalah penyalahgunaan pengelolaan air Gua Pindul. Dalam hal ini pun sudah ada sosok yang terduga dan menjadi tersangka yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang (krjogja.com). Kondisi ini sangat memprihatinkan kala jasa pariwisata menjadi sumber pendapatan masyarakat yang utama di Desa Wisata Bejiharjo. Konflik yang terjadi di Gua Pindul merupakan bagian dari perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat Desa Wisata Bejiharjo. Perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat berawal sejak dirintisnya industri
15
pariwisata dan kemudian berkembang menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat Desa Bejiharjo. Peningkatan kesejahteraan yang dirasakan dari manfaat adanya pariwisata membuat masyarakat berekspektasi tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya kelak. Masyarakat yang semula bermata pencaharian sebagai petani, yang sebagian besar adalah buruh tani, berubah menjadi masyarakat industri pariwisata penyedia barang dan jasa. Perubahan pemikiran dan perilaku masyarakat Desa Bejiharjo tampak kasat mata dalam hal penghargaan terhadap waktu, cara berpakaian, kepuasan kerja, dan peningkatan status pekerjaan. Kecemburuan sosial juga turut berperan dalam proses perubahan sosial masyarakat. Sektor jasa pariwisata, dapat memberikan penghasilan bagi masyarakat yang mempunyai skil dan modal. Bagi masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber penghasilan tersebut menjadi penyebab melemahnya ikatan sosial di tengah masyarakat. Selain itu, terlihat kurangnya kesadaran masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan alamnya. Datangnya sejumlah wisatawan ke suatu objek pariwisata, berakibat pada eksploitasi penggunaan sumber daya alam tanpa adanya edukasi sadar lingkungan. Faktor pendukung perubahan sosial yang ada meliputi semangat dan motivasi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dalam membangun industri pariwisata, sikap kekeluargaan yang ada dan sikap gotongroyong yang masih kuat. Pemilihan fokus penelitian dilakukan terhadap kaum perempuan berkeluarga karena menjadi representasi dari kesejahteraan rumah tangga masyarakat di Desa Wisata Bejiharjo. Tuntutan kepada kaum perempuan dewasa ini sangat kompleks. Perempuan merupakan pendamping suami. Perempuan adalah ibu yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan anak.
16
Perempuan adalah manajer keuangan rumah tangga. Perempuan adalah pencari nafkah yang kedua. Perempuan adalah anggota masyarakat. Dengan waktu, tenaga, dan komitmen terbatas, mereka harus menyeimbangkan peran mereka di ranah publik dan domestik. Tidak dapat diabaikan bahwa perempuan menjadi tulang punggung keluarga untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Penelitian ini meneliti kepuasan perempuan berkeluarga terhadap pekerjaan dalam kaitannya dengan perubahan okupasi ke sektor jasa pariwisata di Desa Bejiharjo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal yang menarik dalam bahasan ini adalah pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga di perdesaan Jawa yang dibebankan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dibantu oleh pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Pergeseran okupasi ke sektor jasa pariwisata bagi kaum perempuan akan berdampak pada kepuasan terhadap pekerjaannya, perolehan pendapatan, dan kepemilikan waktu luang bagi dirinya. Kontradiktif ketika perempuan yang telah berkeluarga memiliki sebuah konflik peran terkait tanggung jawabnya di sektor domestik, pemenuhan hak pengembangan diri, dan pada pekerjaan yang dijalaninya. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut. “Bagaimana kepuasan kerja perempuan berkeluarga setelah mengalami perubahan okupasi ke sektor jasa pariwisata di Desa Bejiharjo?”
17
4. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang penelitian dan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. menganalisis pergeseran okupasi yang berdampak pada kepuasan terhadap pekerjaan, pendapatan dan waktu luang kaum perempuan berkeluarga. 2. menganalisis ekspektasi kepuasan terhadap pekerjaan, pendapatan dan waktu luang kaum perempuan berkeluarga yang mengalami perubahan okupasi ke sektor jasa pariwisata di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. 5. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu dalam mengidentifikasi kepuasan kerja secara subjektif dari kaum perempuan di sektor informal jasa pariwisata. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan merupakan tambahan referensi bagi pengambil kebijakan yang terlibat dalam pengembangan pariwisata dalam rangka memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. 3. Bagi peneliti hasil penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan wawasan, meluaskan pengalaman dan merupakan media pengaplikasian ilmu sosial kemasyarakatan yang diperoleh pada bangku kuliah.
18
6. Konsep dan Landasan Teori 1.6.1 Konsep Dalam penelitian ini, fokus bahasan adalah kepuasan terhadap pekerjaan pada kaum perempuan yang mengalami pergeseran okupasi di sektor pariwisata. Maka, konsep yang digunakan adalah kaum perempuan berkeluarga yang bekerja dan kepuasan kerja di sektor informal. Berikut ini, kedua konsep akan diuraikan satu per satu. Ada dua pengertian mengenai perempuan yang bekerja. Pertama, Matlin (1987) menggunakan istilah working mothers, yaitu perempuan yang bekerja di luar rumah yang memperoleh penghasilan sebagai imbalannya. Perempuan yang bekerja di luar rumah dan memperoleh penghasilan dari hasil bekerjanya disebut sebagai employed women. Selanjutnya Pandia (1997) menyatakan bahwa perempuan bekerja (employed women) adalah perempuan yang bekerja di luar rumah dan menerima uang atau memperoleh penghasilan dari hasil pekerjannya. Kedua, perempuan yang tidak memperoleh penghasilan karena bekerja di dalam rumah (Matlin, 1987). Kebutuhan yang timbul pada perempuan untuk bekerja adalah sama seperti pria, yaitu kebutuhan psikologis, rasa aman, sosial, ego dan aktualisasi diri. Bagi diri perempuan itu sendiri sebenarnya dengan bekerja di luar rumah, ia akan mencapai suatu pemuasan kebutuhan. Menurut Umar (dalam Diana, 1990) bahwa dengan bekerja maka perempuan dapat mencapai identitas diri, tingkat tertentu dalam golongan, tingkat sosial tertentu dalam masyarakat, kemungkinan untuk mengadakan kontak sosial, merasa senang dan terlepas dari bosan, melakukan sesuatu yang kostruktif dan kreatif, dapat menyumbangkan ide-
19
idenya dan melakukan penyembuhan diri dari situasi yang menekan dan rutin. Munandar mengungkapkan (dalam Pandia, 1997) bahwa ada beberapa alasan mengapa wanita bekerja, antara lain yaitu menambah penghasilan, menghindari rasa bosan atau jenuh dalam mengisi waktu luang, mempunyai minat atau keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan, memperoleh status, mengembangkan diri. Perempuan dengan pandangan tradisional menganggap kedudukan suami lebih dominan dari pada isteri atau ibu rumah tangga. Kekuasaan, kepemimpinan dalam keluarga berada di tangan suami. Perempuan dengan pandangan tradisional akan lebih memilih untuk berada di rumah. Setelah menikah perempuan tersebut akan mencurahkan tenaganya untuk suami dan keluarganya sehingga mereka akan menjalani peran domestik, yaitu tinggal di rumah, memasak, membersihkan rumah, mencuci, mengurus anak-anak dan suaminya, serta mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya hanya untuk keluarga. Dowling (Scanzoni, 1981) menyatakan bahwa perempuan dengan karakteristik tradisional menganggap bahwa perempuan berhasil adalah mereka yang mampu membesarkan, membimbing dan mendidik anak-anaknya sehingga berhasil dalam pendidikan serta mendorong suami mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Bagi perempuan yang demikian, karir bukan merupakan suatu hal yang menjadi prioritas utama, tetapi keluarga yang utama dan akan selalu fokus pada urusan rumah tangga atau keluarganya. Sardjono (1992) mengungkapkan mengenai pandangan tentang perempuan Jawa yang menyatakan kedudukan perempuan Jawa tidak sama dengan pria, namun dari dirinya dituntut ciri-ciri terhormat yaitu
20
kesetiaan, kepatuhan, kesabaran, kemampuan menyembunyikan gejolak batin, dan pasrah atau nrimo ing pandum dan kompromis. Pada setiap individu, pekerjaan akan mendatangkan kepuasan hidup, dan melahirkan ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, kepuasan kerja (job satisfaction) berkaitan dengan penilaian suka atau tidak suka seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukan. Penilaian yang dilakukan oleh individu dilihat melalui hubungan kerja dengan rekan sejawat, jaminan sosial yang didapat, pendapatan, dan kondisi kerja yang didapat. Adapun pengertian kepuasan kerja menyangkut sikap dan perasaan terhadap pekerjaan ditegaskan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum seorang individu terhadap pekerjaan yang dilakukannya (Robbins. 2003). Pendapat ini didukung pula oleh Effendi (2002) bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif dan negatif yang dialami individu terkait dengan berbagai faktor dari tugas-tugas dalam pekerjaannya. Dalam Hasibuan (2006) disebutkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Maka dapat ditarik inti dari penjelasan di atas yaitu pekerjaan adalah segala aktivitas fisik dan mental yang dilakukan seseorang sebagai bentuk aktualisasi diri yang menghasilkan nilai produktif bagi orang lain. Misalnya, seseorang yang bekerja di suatu instansi swasta, pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan akan meningkatkan keuntungan produktif bagi instansi swasta tersebut. Salah satu model yang berkaitan dengan kepuasan kerja ialah teori yang dikemukakan oleh Edward Lawler (1983) yang dikenal dengan equity model theory. Teori ini menjelaskan puas atau tidak puasnya seseorang terhadap pembayaran pendapatan, perbedaan antara apa yang diterima dengan jumlah 21
pembayaran pendapatan yang diterima oleh pekerja lain merupakan penyebab utama ketidakpuasan. Maka dari itu, ada tiga tingkatan pembayaran pendapatan berikut ini. 1. Memenuhi kebutuhan dasar karyawan. 2. Memenuhi harapan karyawan sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk tidak pindah ke tempat kerja lain. 3. Memenuhi keinginan karyawan dengan mendapatkan lebih dari yang diharapkan. Kebutuhan dasar karyawan yang dimaksudkan adalah pemenuhan pangan, sandang, papan. Terpenuhinya ketiga hal dasar tersebut merupakan ukuran kesejahteraan diri. Demikian juga mengenai harapan dari karyawan sehingga tidak pindah ke tempat lain ini dimaksudkan sebagai adanya kondisi kerja dan jaminan sosial yang optimal bagi pekerja yang tidak didapatkan di tempat lain. Jika karyawan merasa aman dengan kondisi kesejahteraan dasar yang telah terpenuhi, tidak akan terjadi perpindahan ke tempat kerja lain. Begitu pula keinginan karyawan dengan mengharapkan adanya imbalan lebih jika karyawan melakukan kerja produktif melebihi ekspektasi yang diberikan oleh instansi. Keinginan tersebut berupa penghargaan dan atau imbalan yang melebihi nilai yang seharusnya didapatkan oleh semua karyawan. Penerimaan pendapatan orang lain menjadi pertimbangan psikis dari karyawan. Dengan jabatan dan tanggung jawab sama, mereka mengukur dengan subjektivitas terhadap kelayakan orang lain mendapatkan pendapatan yang lebih. Perbandingan subjektif tersebut dapat memberikan kepuasan kepada karyawan, namun bisa juga memberikan ketidakpuasan jika melebihi pendapatan yang didapatkannya.
22
Kepuasan kerja adalah sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda, tergantung pada nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan atau sikap seseorang terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan, yang dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Perubahan pekerjaan memungkinkan bahwa seseorang tidak puas atau melihat prospek yang lebih baik bagi kesejahteraan hidupnya. Perempuan yang telah berkeluarga memiliki alasan logis untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kondisi diri dan keluarganya. Perempuan yang hidup dalam lingkup negara Barat memiliki kesempatan yang lebar untuk turut serta dalam sektor publik dengan dorongan dari masyarakat. Konstruksi sosial yang menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan merupakan pelengkap bagi suami sebagai kepala rumah tangga hanya ada dalam kasus tertentu, misalnya di perdesaan Jawa. Pendapatan yang didapat oleh suami, cukup tidak cukup, harus diterima oleh istri seadanya. Harkat perempuan Jawa adalah keberadaannya di rumah yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anakanaknya. Pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam mengelola sektor informal dipandang
oleh
masyarakat
tidak
termasuk
dalam
bidang
pekerjaan
(Sokadijo,2000). Pada hakikatnya segala usaha produktif yang menghasilkan suatu nilai disebut pekerjaan; tidak terbatas pada jumlah pendapatan dan waktu bekerja. Stoller (1977) yang menyebutkan bahwa sebenarnya peran perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa, cukup tinggi. Tingginya peran perempuan dalam sektor publik karena dianggap menguntungkan dan berfungsi positif sebagai 23
sumbangan bagi ekonomi rumah tangga. Pendapat ini didukung pula oleh Boserup (1984) bahwa di dalam masyarakat, perempuan dihargai karena mereka bisa dengan cara-cara lain menyumbangkan pendapatan untuk kesejahteraan kehidupan keluarga dan sebagai ibu yang melahirkan anak-anak. Perempuan akan memilih pekerjaan yang dapat disesuaikan dengan tanggung jawab terhadap rumah tangganya. Oleh karena itu, perubahan pekerjaan yang dipilih perempuan, mengandung alasan yang berkaitan dengan dorongan dari dalam diri (internal) maupun keluarga dan lingkungan (eksternal). Dorongan dari dalam ialah keinginan pribadi sebagai wujud dari aktualisasi diri, seperti: skil dan pendidikan yang telah didapat. Dorongan dari luar berasal dari suami dan keluarga terdekat, yaitu sebagai pencari nafkah dan kemudian dorongan dari masyarakat untuk mendapatkan pengakuan sosial atas kerja kerasnya. Perubahan pilihan pekerjaan oleh kaum perempuan yang telah berkeluarga dapat disebabkan oleh adanya alternatif bidang pekerjaan lain. Bidang pekerjaan perdagangan dan jasa memberikan keuntungan yang lebih besar daripada bertani yang membutuhkan proses tanam lama (Sardjono,1992). Pertanian sawah membutuhkan proses tanam padi selama enam bulan lamanya. Pada saat musim panen, petani baru mendapatkan uang hasil pekerjaannya. Selama enam bulan proses pengolahan lahan sawah, petani tidak memiliki pendapatan harian. Dalam sektor perdagangan, misalnya mereka membuka warung makanan dan pakaian. Dalam pekerjaan ini kemungkinan untuk mendapatkan pendapatan harian sangat terbuka. Sektor perdagangan dan jasa ini menopang kehidupan rumah tangga harian. Perempuan yang memiliki inisiatif untuk beralih bidang pekerjaan memikirkan risiko kebutuhan konsumsi harian.
24
Bekerja dalam hal ini tidak mutlak harus bekerja sebagai pekerjaan pokok, tetapi juga dapat merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan disaat-saat tertentu (bila ada waktu luang). White menegaskan bahwa “nilai waktu dalam ekonomi rumah tangga merupakan variable yang kuat dan berguna dalam menuangkan perilaku ekonomis rumah tangga bagi perempuan”(White, 1976:30). Maka dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kepuasan kerja yang pertama adalah gaji, yaitu jumlah pendapatan yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja (Lawler,1983). Jumlah gaji dilihat dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar dan dirasakan adil bagi penerimanya. Kedua, pekerjaan itu sendiri, yaitu kesesuaian pekerjaan dengan skil yang dimiliki oleh seseorang. Ketiga adalah rekan kerja yang dapat memberikan dorongan dan motivasi positif (Hasibuan, 2006). Bila efek positif yang diberikan, pekerja akan merasa puas dengan pekerjaannya. Namun, rekan kerja juga dapat memberikan efek negatif dengan wujud kompetisi dan tekanan psikis, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam bekerja. Faktor keempat adalah atasan, yaitu orang yang memberikan petunjuk kerja dan mempunyai kuasa untuk memberikan perintah (Robbins, 2003). Cara penyampaian dan komunikasi dari atasan memengaruhi kepuasan kerja bagi pekerja. Kelima, promosi reguler yang memungkinkan seseorang dapat berkembang
melalui
kenaikan
jabatan.
Proses
kenaikan
jabatan
akan
memengaruhi kepuasan seseorang atas pekerjaannya karena berkaitan dengan kenaikan pendapatan. Keenam, situasi lingkungan kerja, yaitu lingkungan fisiologis dan psikologis (Landeweerd and Bouman, 1988). Pekerja lebih menyukai kondisi pekerjaan yang tidak berbahaya dan nyaman. Selain itu, banyak
25
pekerja mengungkapkan lebih suka bekerja di tempat yang tidak jauh dari rumah dalam fasilitas yang bersih dan modern dengan alat perlengkapan yang memadai. Kaum perempuan yang mengalami perubahan pekerjaan memiliki dua kemungkinan, yaitu puas dengan pekerjaan barunya dengan alasan-alasan tersebut di atas, ataupun tidak puas. Ketidakpuasan ini dapat diungkapkan melalui resign (keluar dari pekerjaan), kritikan dan saran (voice), kesetiaan (pasif), dan pengabaian. Ukuran kepuasan kerja yang dikemukakan di atas berkait dengan sektor kerja formal. Namun begitu, masih relevan dengan penelitian ini yang berfokus pada perempuan bekerja di sektor informal. Pada penelitian ini, ukuranukuran kepuasan tersebut relevan diterapkan namun tidak terlalu ketat. Sektor informal yang tidak memiliki ukuran waktu kerja dan penggajian yang pasti akan mempengaruhi penilaian terhadap kepuasan kerja bagi pelakunya. Kepuasan terhadap pekerjaan berkaitan erat dengan bahasan mengenai pendapatan. Pendapatan (income) adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa. Menurut Munawir (2002:21), “pengakuan pendapatan meliputi semua sumber-sumber ekonomi yang diterima oleh perusahaan dari transaksi penjualan barang dan penyerahan jasa kepada pihak lain”. Maka dari itu, kepuasan terhadap pendapatan yang diterima tergantung dari “penghasilan yang didapat dari pekerjaan lampau, maupun pendapatan yang diterima oleh orang-orang di sekitarnya” (Diener, 1992:121). Dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan pendapatan bagi kaum perempuan yang sedang mengalami perubahan okupasi dapat dilihat dari
26
perbandingan pendapatan yang didapat pada masa lampau dengan pendapatan pada bidang pekerjaan baru. Misalnya, pendapatan sebagai buruh tani dalam sebulan diperbandingkan dengan pendapatan pada pekerjaan baru sebagai pemandu wisata. Kenaikan pendapatan menunjukkan bahwa individu memiliki perasaan puas terhadap capaian kerja produktifnya. Namun, bila pendapatan yang diterima tidak sesuai dengan harapan pekerja, kepuasan terhadap pendapatannya rendah. Pekerjaan dan pendapatan bukan merupakan ukuran mutlak dalam mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan yang hakiki didapatkan dari perasaan bahagia, terbebas dari segala tekanan, dan bangga atas kemampuan diri sendiri sebagai capaian-capaian hidupnya. Perempuan yang bekerja pada sektor publik mengalami krisis kepemilikan waktu luang. “Waktu luang adalah kehidupan bebas dari tekanan yang berasal dari luar kebudayaan sehingga mampu untuk bertindak sesuai dengan rasa kasih yang tak terelakkan bersifat menyenangkan, pantas, dan menyediakan sebuah dasar keyakinan” (Torkildsen, 2007). Alternatif bidang pekerjaan yang memungkinkan perempuan untuk mengatur waktu produktifnya adalah menjadi wirausahawan (Sokadijo, 2000). Pada jenis pekerjaan ini, perempuan dapat mengatur waktunya sendiri untuk memulai membuka usahanya, apalagi jika usahanya berada di rumah, sehingga mereka tidak perlu meninggalkan rumah. Beberapa orang memulai usaha dengan memiliki jam kerja yang lebih fleksibel untuk menggabungkan jam kerja di rumah tangga dan tanggung jawab pekerjaan. Mereka tidak terikat dengan jam kerja untuk mengatur usaha yang mereka jalani. Fleksibilitas jam kerja bagi perempuan yang telah berkeluarga merupakan kebutuhan. Bobot tanggung jawab dalam 27
rumah tangga dianggap sebagai kewajiban utama bagi perempuan berkeluarga di Jawa. Pekerjaan di sektor publik juga turut menuntut profesionalitas kerja perempuan. Perempuan, sebagai individu bebas, membutuhkan waktu senggang untuk beristirahat sejenak dari rutinitas sehari-hari. Jadi, waktu luang merupakan waktu yang berisikan berbagai macam kegiatan baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah pengetahuan, maupun menggunakan keterampilan
secara
objektif
untuk
meningkatkan
keikutsertaan
dalam
bermasyarakat. Waktu luang didapat setelah melepaskan diri dari segala pekerjaan rutinnya, keluarga dan lingkungan sosial. Waktu luang merupakan relaksasi, hiburan, dan pengembangan diri. Bagi kaum perempuan, kepuasan terhadap waktu luang akan meningkat saat pekerjaan publik dan pekerjaan domestik telah selesai sehingga dapat digunakan untuk memenuhi keinginan pribadinya. Penggunaan waktu luang tidak lepas dari kesempatan yang diberikan oleh lingkungan, seperti lingkungan kerja, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Bila terdapat tekanan-tekanan tertentu kepada perempuan dalam lingkungan kerja, serta lingkup domestik, kepuasan terhadap waktu luang akan menurun dan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan hidupnya. Penggunaan waktu kerja produktif yang efisien memberikan kesempatan untuk memiliki waktu luang bagi perempuan. Pekerjaan di sektor publik yang selesai dengan cepat berpengaruh terhadap waktu untuk memulihkan kebugaran fisik dan mental, rekreasi, dan interaksi sosial. Bagi pekerja, memiliki waktu
28
luang dapat meningkatkan produktivitas dan memacu prestasi. Penggunaan waktu luang dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, waktu luang merupakan waktu (leisure as a time) yang dilakukan setelah segala kebutuhan yang mudah telah dilakukan. Kedua, waktu luang merupakan aktivitas (leisure as activity) terbentuk dari segala kegiatan yang mengajar, dan menghibur, menambah pengetahuan, mengembangkan keterampilannya secara objektif dan untuk meningkatkan keikutsertaannya dalam bermasyarakat. Ketiga, waktu luang merupakan kegiatan yang mendukung suasana hati atau mental yang positif (leisure as an end in itself or a state of being). Waktu luang harus dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan pemulihan kejiwaan dan kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (Pieper, 1999). Keempat, waktu luang merupakan sesuatu yang memiliki arti luas (leisure as an all embrassing) yaitu melakukan relaksasi, hiburan dan pengembangan diri (Torkildsen, 2011). Kerangka konsep kepuasan kerja terkait dengan transformasi pekerjaan yang terjadi secara cepat dan dialami oleh perempuan berkeluarga. Kondisi sosial dan ekonomi yang sejak dahulu dilingkupi dengan kemiskinan berganti secara massif oleh sebab hadirnya pariwisata. Kegiatan pariwisata yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi point penting pada penelitian ini karena perubahan sosial dimaknai berbeda oleh masing-masing individu. 1.6.2 Landasan Teori Untuk
menjelaskan
kaitan
kepuasan
kerja
kaum
perempuan
berkeluarga yang mengalami perubahan okupasi, digunakan teori kesejahteraan subjektif. Pada penelitian ini digunakan teori kesejahteraan subjektif Guttman
29
dan Levy (1982) yang menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif menyangkut tiga modalitas perilaku terhadap berbagai bidang kehidupan. Ketiganya terdiri dari kognisi, afeksi, dan instrumental. Orang atau kelompok menilai secara kognitif, afektif dan intrumentalis kehidupan yang dialaminya dalam berbagai bidang, misalnya kesehatan, pekerjaan, keamanan, kebebasan, pertemanan, dan lain-lain. Penilaian inilah yang kemudian menampilkan ‘wujud’ kesejahteraan subjektif seseorang. Kognisi dalam arti kepercayaan seseorang tentang sesuatu didapatkan dari proses berpikir. Individu yang memilih untuk melakukan pekerjaan dalam sektor jasa pariwisata berkeyakinan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan bermartabat. Pilihan-pilihan hidup tersebut, memengaruhi kehidupan sosial dan ekonominya. Pertimbangan ekonomis yang digunakan dalam jangka panjang untuk menyejahterakan hidupnya telah dilalui melalui proses berpikir. Dorongan sosial turut memengaruhi cara berpikir dan berperilaku bagi individu yang dulunya bekerja pada sektor pertanian, berubah ke jasa pariwisata. Modal afektif dan instrumental dimaksudkan pada sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terjadi atas pilihan hidupnya. Pekerjaan dan pendapatan sebagai buruh tani dan pekerjaan dan pendapatan di sektor jasa pariwisata sangat berlainan. Pertemuan dengan banyak orang dalam penyediaan jasa pariwisata membutuhkan skil dan modal. Kaum perempuan yang memiliki skil dan modal akan dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan berhasil dengan pekerjaannya. Bagi mereka yang kurang memiliki skil dan modal akan berdampak pada kepercayaan diri dan sikap menghargai diri sendiri. Bekerja di sektor
30
pariwisata dapat mengubah perilaku dan cara berpikir seseorang yang berkaitan dengan tuntutan pelayanan yang memuaskan bagi wisatawan. Menurut Komisi Eropa (2001), ada sembilan faktor yang memengaruhi kesejahteraan, yakni kesejahteraan subjektif, kondisi ekonomi dan pekerjaan, pengembangan pendidikan dan intelektual, kesehatan dan nutrisi, infrastruktur, hubungan-hubungan pribadi, kehidupan sipil, kegiatan budaya dan spiritual, serta lingkungan. Dari sembilan faktor tersebut terungkap bahwa lima subfaktor yang paling pokok menentukan kesejahteraan, ialah ketersediaan pekerjaan, kondisi keuangan pribadi, kesehatan,waktu luang dan kepuasan kerja. Parameter tersebut hampir sama dengan yang digunakan oleh peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini tidak digunakan indikator kesehatan karena tidak relevan dengan transformasi pekerjaan yang menjadi fokus bahasan. Harus ditekankan bahwa kaum perempuan berkeluarga di Jawa memiliki karakteristik dalam hal kepuasan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh disatukan dengan pendapatan keluarga karena sistem keluarga di Jawa menganut sistem patrilineal. Begitu pula dengan kepuasan terhadap waktu luang, dengan adanya sistem kekeluargaan batih Jawa, kepuasan terhadap waktu luang tidak dapat diukur dengan standard waktu luang yang disebutkan oleh para ahli. Kerangka kesejahteraan subjektif yang digunakan dalam studi ini mengacu pada hasil penelitian oleh Damanik (2014) di lokasi yang sama yaitu menerangkan bahwa kesejahteraan subjektif selalu dinamis, terutama pada masyarakat perdesaan yang sedang mengalami perubahan sosial. Penekanan studi ini terletak pada bagaimana suatu komunitas menafsirkan pengalaman hidupnya. Indikator kesejahteraan subjektif yang digunakan adalah kepuasan pada kondisi 31
kesehatan,
pekerjaan,
perumahan,
pendapatan,
pendidikan,
lingkungan,
keamanan, hubungan sosial, harmoni keluarga, waktu luang, dan kebebasan. Proses perubahan yang cepat di lokasi penelitian ditandai oleh pergeseran okupasi dari sektor primer ke sektor sekunder yang bersumber pada terciptanya pekerjaan di kegiatan pariwisata. Perubahan sosial diduga tidak menimbulkan efek negatif pada kesejahteraan subyektif masyarakat desa. Walaupun demikian, perubahan sosial berdampak pada menurunnya mutu hubungan sosial, kesehatan, mutu lingkungan, dan penghidupan namun tidak begitu kentara. Sektor pertanian masih menjadi basis penghidupan masyarakat disamping bekerja di sektor pariwisata diakui memang mengubah pendapatan dan kepuasan. Pemaknaan kesejahteraan subjektif masyarakat perdesaan membuat mereka mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang berlangsung cepat. 1.6.3 Framework Pada studi tentang kesejahteraan subjektif perlu diperhatikan ukuranukuran yang didasarkan pada karakteristik demografi, sosial, budaya, politik dan ekonomi suatu komunitas. Berdasarkan diskusi teori di atas, maka peneliti akan melihat aspek-aspek berikut untuk menjawab rumusan masalah: ketersediaan pekerjaan, kondisi keuangan pribadi, waktu luang, dan kepuasan kerja.
32