Laporan Utama Mangrove dan Keutuhan Wilayah Indonesia Oleh : Onrizal PS Kehutanan, Universitas Sumatera Utara Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email:
[email protected],
[email protected] Hutan mangrove bukan sekedar hutan yang tumbuh di daerah pasang surut pantai. Namun, bila lebih dalam kita menggali, hutan mangrove berperan penting dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperjuangkan dengan harta dan jiwa oleh para pahlawan bangsa, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. Benarkan demikian? Jika ya, apa argumentasinya dan bagaimana caranya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini dimulai dengan ulasan singkat tentang bentuk negara kita. Kemudian diikuti dengan apa dan bagaimana hutan mangrove menjaga keutuhan NKRI. Indonesia, negara kepulauan Perjuangan Indonesia sebagai negara kepulauan yang diakui dunia tidaklah mudah. Ketika negara kita diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita baru merdeka secara politik, bebas dari belenggu kolonialisme bangsa lain, namun belum di bidang kehidupan lainnya, misalnya di bidang hukum, termasuk hukum laut (maritime law) (Sulistiyono, 2009). Sejarah mencatat, pada tahun 1960 atau 15 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, saat kita berkonfrontasi dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat, betapa revolusionernya Bung Karno mengecam Belandaketika kapal induk Karel Dorman melintas melenggak-lenggok di laut Jawa, namun Bung Karno (dan kita sebagai bangsa) juga tidak bisa melakukan apa-apa (Wirajuda, 2009), hanya sekedar bisa mengecam saja. Mengapa? Karena laut Jawa yang dilalui kapal induk Belanda itu merupakan perairan laut internasional, peraiaran bebas, sehingga tidak termasuk wilayah negaraIndonesia meskipun berada diantara pulau-pulau milik Indonesia. Berdasarkan hukum laut yang berlaku saat itu, yakni Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai 'Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie' (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda.
Dalam Staatblad tahun 1939 No. 442 dijelaskan bahwa laut teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulaupulau (termasuk batu karang dan gosong) atau bagian-bagian pulau yang termasuk wilayah Hindia Belanda. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut internasional atau laut bebas. Jadi dengan demikian, Hindia Belanda menggunakan konsep 'pulau demi pulau' sehingga fungsi laut dalam negara kepulauan sebagai pemisah (Sulistiyono, 2009) bukan pemersatu atau penghubung. Perlu waktu 25 tahun bagi Indonesia untuk menyakinkan masyarakat dunia dalam melakukan dekolonisasi hukum laut warisan Belanda, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Dimulai dari Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 sampai pada pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika (BAKORKAMLA, 2009, Wirajuda, 2009). Dalam kurun waktu seperempat abad itu, tentu sangat besar pengorbanan oleh bangsa Indonesia dalam memperjuangkan pengakuan masyarakat internasional akan keutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah Indonesia melalui deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulaupulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
WANAMINA 1
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Prinsip-prinsip negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia tersebut kemudian diakui oleh Konvensi PBB tentang hukum laut atau UNCLOS 1982 (BAKORKAMLA, 2009, Sulistiyono, 2009, Wirajuda, 2009). Dengan pengakuan tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan wilayah daratan sekitar 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2 (Sulistiyono, 2009). Lalu, apa kaitannya dengan hutan mangrove? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan 95.161 km garis pantai (BAKORKAMLA, 2009). Sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi oleh hutan mangrove dari beberapa meter sampai beberapa kilometer, yakni pada pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hasil analisis spasial oleh Giri et al. (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3.112.989 ha atau 22,6% dari seluruh hutan mangrove di dunia (13.776.000 ha), sehingga Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Wilayah pantai setiap saat menghadapi ancaman abrasi atau erosi pantai akibat gelombang dan arus laut, sehingga kawasan pantai bersifat tidak stabil. Salah satu fungsi hutan mangrove adalah menjaga kestabilan pantai.
Gambar 1. Kombinasi akar tunjang, akar nafas dan percabangan pepohonan di hutan mangrove yang masih terjaga baik di Nias tidak saja melindungi pantai dari abrasi, namun juga melindungi daerah dibelakangnya dari kerusakan akibat tsunami 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 (Foto oleh Onrizal)
WANAMINA 2 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Hutan mangrove secara fisik berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut dan sekaligus mempercepat perluasan lahan. Dengan demikian, hutan mangrove sekaligus berfungsi untuk melindungi daerah di belakangnya dari hempasan gelombang (Mazda et al., 2006, 2007a, 2007b, McIvor et al., 2012).Mazda et al. (2006) melaporkan bahwa setelah melewati hutan mangrove, laju tinggi gelombang laut berkurang 0,0014 dan 0,0058 per m tegak lurus garis pantai. Laju pengurangan energi gelombang tercatat 45% apabila kedalaman air sevesar 0,2 m dan 25% pada kedalaman air 0,6 m. Selanjutnya, Mazda et al. (2007a) menemukan bahwa laju pengurangan ketinggian gelombang laut sebesar 20% setiap melewati 100 m hutan mangrove yang didominasi Kandelia candel berumur 6 tahun, namun tidak berpengaruh signifikan pada hutan mangrove muda jenis. Sonneratia alba berumur 2 tahun.
Hasil penelitian McIvor et al. (2012) pada berbagai hutan mangrove menemukan bukti bahwa hutan mangrove mampu mengurangi ketinggian gelombang dalam jarak yang relatif pendek, yakni tinggi gelombang berkurang antara 13 s.d. 66% setelah melewati hutan mangrove selebar 100 m. Hasil penelitian Pratikto et al.
Gambar 2. Kombinasi akar nafas, batang dan percabangan pohon mangrove jenis Sonneratia alba mampu menjaga kestabilan pantai dan meredam energi tsunami pada 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 (Foto oleh Onrizal)
Gambar 3. Rumah panggung bedinding tepas dan papan serta beratapkan anyaman daun nipah ini selamat dari tsunami karena tinggi dan energi gelombang tsunami diredam oleh hutan mangrove yang terjaga dengan baik dengan lebar minimal 300 m yang terletak antara permukiman tersebut dengan pantai (Foto oleh Onrizal)
(2002) di Teluk Grajagan, Banyuwangi juga menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mengurangi gelombang sebesar 73,40%, dan energi gelombang sangat jauh berkurang. Pengurangan tinggi dan energi gelombang air laut tersebut karena diredam oleh hutan mangrove melalui sistem akar mangrove yang khas (seperti akar nafas, akar tunjang, akar lutut dan akar gantung) serta batang dan percabangan berbagai jenis pohon mangrove (Gambar 1, 2, 3) (Mazda et al., 2006, Ostling et al., 2009, Tanaka, 2009, McIvor et al.,2012). Sebagai contoh, di Sumatera Utara, kita kehilangan pulau Tapak Kuda (lama) di pesisir Langkat akibat hutan mangrove di pulau tersebut rusak akibat penebangan yang tidak terkendali di waktu lampau (Onrizal & Kusmana, 2008), sehingga fungsi lindungnya hilang. Wilayah pantai, selain mendapat ancaman abrasi setiap hari oleh arus dan gelombang laut, juga merupakan kawasan yang rawan bencana alam seperti tsunami dan angin badai. Pasca tsunami 26 Desember 2004, berbagai hasil penelitian menunjukkan kemampuan hutan
mangrove dalam meredam gelombang tsunami dan melindungi daerah di belakangnya. Dahdouh-Guebas et al. (2005) melaporkan bahwa di berbagai daerah pantai Sri Langka yang memiliki hutan mangrove alami yang terjaga dengan baik kerusakan yang ditimbulkan tsunami sangat kecil atau malah tidak terjadi, sedangkan kerusakan parah ditemukan pada pantai yang hutan mangrovenya telah mengalami kerusakan sebelum tsunami terjadi. Hasil penelitian lapangan serupa juga dilaporkan oleh Vermaat, & Thampanya (2005), Kathiresan & Rajendran (2005) pada pesisir pantai India, Onrizal et al. (2009) di Pulau Nias, Indonesia. Demikian pula, hasil penelitian l a p a n g a n d i A c e h
dan kemudian diikuti simulasi di lapangan oleh Yanagisawa et al. (2010) menunjukan bahwa 80% hutan mangrove berumur 30 tahun mampu bertahan dari tsunami dengan ketinggian 5 m dan menyerap energi tsunami sebesar 50%. Secara skematik, peranan hutan mangrove dan hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami disajikan pada Gambar 4. Selain ancaman tsunami, daerah pantai juga rawan terkena angin badai. Hasil penelitian Das & Vincent (2009) melaporkan bahwa hutan mangrove yang masih terjaga dengan baik secara nyata mampu melindungi daerah di belakangnya dari angin badan dan mencegah terjadinya korban nyawa bagi penduduk yang bermukin di daerah belakang hutan mangrove akibat angin badai tersebut. Penutup dan rekomendasi Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan buktibukti ilmiah kepada kita betapa besarnya peranan hutan mangrove dalam menjaga kestabilan pantai, tidak saja dari ancaman abrasi pantai yang sifatnya harian, namun juga bencana alam yang dahsyat seperti tsunami dan angin badai yang tidak dapat kita prediksi kapan terjadinya. WANAMINA 3
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Lalu, bagaimana pantai-pantai di Indonesia yang secara alami ditumbuhi hutan mangrove, kemudian hutan mangrovenya rusak atau malah hilang sama sekali? Tentu secara nyata akan menyebabkan pantai-pantai tersebut tidak stabil, terabrasi atau tererosi, sehingga tidak saja kita kehilangan banyak wilayah pantai, namun juga menimbulkan korban jiwa penduduk pesisir pantai. Selanjutnya, bagaimana pula kalau hutan mangrove yang rusak itu terjadi pada pantaipantai di pulau terluar Indonesia akibat ulah kita manusia? Bagaimana konsekuensi secara hukum batas wilayah terluar apabila salah satu atau beberapa
pulau terluar Indonesia tersebut hilang akibat mangrovenya rusak? Apakah titik ukur batas luar wilayah negara kita berubah, sehingga luas wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan berubah? Nah, sebelum hal tersebut terjadi menyebabkan kerumitan hukum, akankah kita terus membiarkan berbagai aktivitas yang menyebabkan hutan mangrove kita rusak? Dengan demikian, sebagai konsekuensi logisnya, mari kita jaga hutan mangrove kita yang kondisinya masih baik, jangan sampai rusak, dan merehabilitasi hutan mangrove yang rusak. Oleh karena itu, bolehlah kita populerkan slogan “hutan mangrove terjaga, keutuhan wilayah Indonesia terjamin.”
Gambar 4. Fungsi lindung hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam dampak tsunami (Sumber: Tanaka et al., 2011) Pustaka BAKORKAMLA. 2009. Makna negara kepulauan. Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia. Jakarta
Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek, N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography 20, 154–159
Das, S., J.R. Vincent. 2009. Mangroves protected villages and reduced death toll during Indian super cyclone. PNAS: 106 (18): 7357–7360
Kathiresan K., N.Rajendran. 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami. Estuarine, Coastal and Shelf Science 65: 601-606
WANAMINA 4 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Mazda, Y., E. Wolanski, B. King, A. Sase, D. Ohtsuka, M. Magi. 1997b. Drag force due to vegetation in mangrove swamps. Mangroves and Salt Marshes 1: 193-199. Mazda, Y., M. Magi, K. Motohiko, P.N. Hong. 1997a. Mangroves as a coastal protection from waves in the Tong King delta, Vietnam. Mangroves and Salt Marshes 1: 127-135.
Mazda, Y., M. Magi, Y. Ikeda3, T. Kurokawa, T. Asano. 2006. Wave reduction in a mangrove forest dominated by Sonneratia sp. Wetlands Ecology and Management 14:365–378 McIvor, A.L., I. Möller, T. Spencer, M. Spalding. 2012. Reduction of wind and swell waves by mangroves. Natural Coastal Protection Series: Report 1. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 40. The Nature Conservancy and Wetlands International. 27 pages. ISSN 2050-7941. U R L : http://www.naturalcoastalprotection.org /documents/reduction-of-wind-andswell-waves-by-mangroves Onrizal, C. Kusmana, M. Mansor. The effect of tsunami in 2004 on mangrove forests, Nias Island, Indonesia. Wetland Science 7 (2): 130-134 Onrizal, C. Kusmana. 2008. Studi ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara. Biodiversitas 9 (1): 25-29 Ostling, J.L., D.R. Butler, R.W. Dixon. 2009. The Biogeomorphology of mangroves and their Role in natural hazards mitigation. Geography Compass 3 (5): 1607–1624
Pratikto, W.A., Suntoyo, K. Simbodho, Sholihin, Taufik, & D. Yahya. 2002. Perencanaan perlindungan pantai alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Sulistiyono, S.T. 2009. Konsep batas wilayah negara di nusantara: kajian historis. Universitas Diponegoro, Semarang. Tanaka, N. 2009. Vegetation bioshields for tsunami mitigation: review of effectiveness, limitations, construction, and sustainable management. Landscape Ecol Eng 5:71–79 Tanaka, N., K.B.S. N. Jinadasa, M.I.M. Mowjood, M.S.M. Fasly. 2011. Coastal vegetation planting projects for tsunami disaster mitigation: effectiveness evaluation of new establishments. Landscape Ecol Eng (2011) 7:127–135 Vermaat, J.E., U. Thampanya. 2005. Mangroves mitigate tsunami damage: A further response. Estuarine, Coastal and Shelf Science 69: 1-3 Wirayuda, H. 2009. Menlu RI : Mochtar Kusumaatmadja, pejuang Konsepsi Negara Kepulauan. Tabloid Diplomasi 17: 8-9 Yanagisawa, H., S. Koshimura, T. Miyagi, F. Imamura. 2010. Tsunami damage reduction performance of a mangrove forest in Banda Aceh, Indonesia inferred from field data and a numerical model. Journal of Geophysical Research 115, C06032, doi:10.1029/2009JC005587
WANAMINA 5
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA