1.1. Latar Belakang Hutan mangrove dikenal dengan berbagai istilah seperti tidal forest,
coastal woodland, mangrove swamp forest, dan dalam bahasa Indonesia juga dikenal dengan istilah hutan payau. Kusmana dkk (2003) mendefinisikan hutan mangrove secara ringkas sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai) yang tergenang saat pasang dan bebas dari genangan saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Begitu besar peranan hutan mangrove bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove telah terbukti berperan dalam keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, melindungi pantai dan tebing sungai dari erosi. Sistem perakarannya mampu menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan.
Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh
adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain),
atau kegiatan lain tanpa
memperhatikan kelestariannya.
1
Mati hidupnya ekosistem hutan mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia.
Dengan masuknya teknologi, keterbatasan kemampuan
manusia dapat ditopang, sehingga kedudukan ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis.
Beberapa ahli berpendapat agar
dalam mengelola hutan mangrove, tidak hanya melihat ekonominya saja tanpa melihat kerugian jangka panjang, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Selama ini perubahan penggunaan lahan hutan mangrove dianggap lebih menguntungkan
dibandingkan
dengan
keberadaan
hutan
mangrove
di
sekitarnya. Pemikiran ini lebih melihat kepada nilai ekonomis yang dirasa lebih menguntungkan,
seperti
peruntukan
tanpa
lain
dengan
merubah
mempertimbangkan
kawasan analisis
mangrove dampak
menjadi
lingkungan.
Sehingga fungsi hutan mangrove yang sangat penting menjadi terabaikan. Seringkali kerusakan hutan mangrove terjadi karena kurangnya informasi mengenai fungsi dan manfaat hutan mangrove. Sebagian masyarakat masih menilai hutan mangrove hanya dari segi pemenuhan kebutuhan hidup yang dapat diukur secara ekonomi, seperti hasil kayu, buah-buahan, obat-obatan. Sedangkan fungsi ekologi kadang terabaikan. Padahal jika dilakukan penilaian terhadap semua komponen hayati dan fungsi ekologi bagi kehidupan di sekitarnya, maka hutan mangrove tidak ternilai harganya. Upaya pengelolaan hutan mangrove harus didukung oleh pengetahuan yang cukup mengenai ekologi hutan mangrove.
Pemahaman akan ekologi
mangrove sangat penting agar kebijakan yang akan diambil terhadap hutan mangrove menjadi berarti dan berjalan dengan baik. Sehingga upaya pelestarian dan rehabilitasi hutan mangrove memiliki arah yang jelas dan terencana dengan baik. Pengelolaan hutan mangrove yang terarah dan terkendali memerlukan kematangan dalam perencanaan, pelaksanaan, kegiatan monitoring dan evaluasi.
Data dan informasi tentunya merupakan hal penting yang harus
dipenuhi dalam kegiatan tersebut. Sehingga manusia mengetahui dengan baik karakteristik hutan mangrove tersebut dan kelangsungan keberadaan beserta fungsinya hingga masa yang akan datang. Dengan begitu besarnya peranannya bagi kehidupan manusia, hutan mangrove memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus diputuskan dengan cermat.
Pemerintah
berkewajiban memberikan informasi tentang keberadaan dan fungsi hutan
2
mangrove kepada masyarakat luas serta mempertahankan hutan mangrove yang menjadi kawasan lindung dan merehabilitasi areal yang mengalami kerusakan. Informasi mengenai keberadaan hutan mangrove dan kondisinya di lapangan sangat penting bagi keberhasilan suatu pengelolaan.
Informasi
tersebut dapat berupa luas hutan mangrove, fungsi kawasan hutan mangrove, kondisi rusak tidaknya hutan mangrove serta perubahan luasan hutan mangrove pada suatu kawasan. Perhatian serius perlu diberikan bagi terlaksananya upaya rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Serta setiap kebijakan yang diambil terhadap hutan mangrove harus diputuskan dengan cermat. 1.2. Tujuan Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui dan memahami ekologi hutan mangrove serta memberikan gambaran mengenai keberadaan hutan mangrove di Indonesia.
Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984). Hadipurnomo (1995) menjelaskan bahwa jajaran tegakan mangrove yang tumbuh di pantai, melindungi pemukiman nelayan di sebelahnya (ke arah daratan) dari hembusan angin laut yang kencang.
Angin laut yang meniup
kencang ke arah daratan, ditahan oleh mangrove dan dibelokkan ke arah atas. Dengan demikian pemukiman di belakangnya menjadi terletak di belakang bayangan angin (leeward area). Pemukiman terlindung dari hembusan angin yang kencang. Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya.
Secara fisik hutan mangrove menjaga stabilitas lahan pantai yang
didudukinya dan mencegah intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, misalnya sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan,
3
udang dan biota air lainnya, tempat bersarangnya berbagai jenis burung dan habitat berbagai jenis fauna.
Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan
penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Kusmana dkk (2003) membagi fungsi mangrove kedalam tiga macam fungsi sebagai berikut: a. Fungsi fisik -
menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil
-
mempercepat perluasan lahan
-
mengendalikan intrusi air laur
-
melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang
-
mengolah limbah organik
b. Fungsi biologis/ekologis tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah dan tempat
-
berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya -
tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung
-
sumber plasma nutfah
c. Fungsi ekonomis -
hasil hutan berupa kayu
-
hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin dan lain-lain
-
lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain
Vegetasi payau didominasi oleh jenis bakau, api-api, Sonneratia, Bruguiera dan lainnya (Bratamihardja, 1991).
Soerianegara (1987) menyebutkan hutan
mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
4
Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi yang dimulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah (Kusmana dkk (2003): (1)
Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table), dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
(2)
Tipe tanah yang secara tidak langsung memnentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase.
(3)
Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi species terhadap kadar garam.
(4)
Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species
intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Flora mangrove dapat dikelompokkan kedalam dua kategori (Chapman, 1984 dalam Kusmana dkk (2003)), yaitu: (1).
Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove, yakni : Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, Smythea dan Dolichandrone. (2).
Flora mangrove peripheral (pinggiran), yakni flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lain, yakni: Excoecaria agallocha,
Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Tomlison (1984) dalam Kusmana dkk (2003) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni: (1)
Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya
5
adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,
Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. (2)
Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya Excoecaria, Xylocarpus,
Scyphyphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. (3)
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,
Hibiscus, Calamus dan lain-lain. Menurut Hutching dan Saenger (198) telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri atas 30 genus yang anggotanya kurang lebih 80 species.
Di Indonesia, jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan
mangrove adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri dari atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993) (Kusmana dkk, 2003). Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan
lingkungan mangrove. (Atmawidjaja, 1987).
Hutan mangrove merupakan tempat pencarian pakan,
pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).
Indonesia memiliki kekayaan hayati yang unik pada hutan-hutannya yang luasnya menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Salah satunya adalah hutan mangrove yang terluas di dunia yang luasnya diperkirakan sebesar 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an (FWI/GFW, 2001). Sangat disayangkan bahwa luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti. Lokasi umumnya telah diketahui, namun berbagai badan dan organisasi menyatakan luas hutan yang berbeda. FAO (1994) menyebutkan luas hutan mangrove di dunia adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan Amerika 5.831.000 ha.
Direktorat Jenderal dan Tata Guna Hutan (1991)
6
menyebutkan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000 km, dimana diperkirakan luas hutan mangrove Indonesia sebesar 3.735.250 ha (Kusmana dkk, 2003). Estimasi
terhadap
luas
hutan
mangrove
di
Indonesia
dipenuhi
ketidakpastian dan sudah kadaluwarsa. Menurut World Mangrove Atlas, estimasi paling dapat diandalkan berasal dari tahun 1993, ketika itu luasnya mencapai 4,25 juta ha. Estimasi tersebut didasarkan hasil survei RePPProT pada tahun 1985 yang telah diperbaharui dengan peta-peta yang dipersiapkan oleh Asian
Wetlands Bureau bagi World Conservation Monitoring Centre.
Untuk
pertengahan tahun 1980-an diestimasikan luasnya hanya 3,8 juta ha, atau bahkan 2,2 juta ha(FWI/GFW, 2001).
Penyebaran hutan mangrove dibagi ke dalam dua kategori kawasan, yaitu kawasan hutan dan luar (non) kawasan hutan. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan bahwa “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Informasi mengenai luas dan kondisi hutan mangrove di Indonesia disarikan dari data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan – Departemen Kehutanan (2002) yang merupakan data tahun 1998/1999. Hutan mangrove dalam kawasan hutan diketahui sebesar 3.875.896,65 ha, dan dalam non kawasan hutan sebesar 4.812.649,20 ha. Sehingga luas total hutan mangrove tahun 1998/1999 adalah sebesar 8.688.545,85 ha. Dari luas total tersebut, 68% hutan mangrove diketahui mengalami kerusakan, yaitu sebesar 5.901.975,5 ha yang tersebar di semua propinsi di Indonesia. Kondisi Hutan Mangrove Indonesia
2,786,570.35
5,901,975.50
32%
68%
Tidak Rusak Rusak
Gambar 1. Kondisi hutan mangrove di Indonesia
7
Hutan mangrove dalam kawasan hutan mengalami kerusakan sebesar 44% dari total luasnya sebesar 3.875.896,65 ha. Sedangkan pada kategori non kawasan kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 87% dari luas totalnya 4.812.649,20 ha. Kondisi hutan mangrove pada kawasan dan non kawasan hutan di Indonesia
Luas (ha)
4000000 Tidak rusak
2000000 0
Rusak
Dalam kawasan
luar kawasan
Tidak rusak
2,163,433.78
623,136.57
Rusak
1,712,462.87
4,189,512.63
Lokasi Hutan Mangrove
Gambar 2. Kondisi hutan mangrove pada kawasan dan non kawasan hutan
5.1. Penyebaran hutan mangrove per propinsi Penyebaran hutan mangrove dalam kategori kawasan hutan di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikutnya. Hutan mangrove terluas dalam kawasan hutan diketahui berada di Propinsi Irian Jaya, kemudian diikuti oleh Propinsi Sumatera Selatan, Riau dan Kalimantan Tengah. Hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi di Indonesia
1200000.00
Luas (ha)
1000000.00 800000.00 600000.00 400000.00 200000.00 DI Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Kalimantan Barat Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Maluku Irian Jaya
0.00
Propinsi
Gambar 3. Hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi
8
1,800,000.00 1,600,000.00 1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Kalimantan Barat Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Maluku Irian Jaya
Luas (ha)
Hutan mangrove di 26 propinsi di Indonesia
Propinsi Dalam kawasan
Luar kawasan
Gambar 4. Hutan mangrove di 26 propinsi di Indonesia
Pada Gambar 4, kita dapat melihat bahwa hutan mangrove terluas berada di luar kawasan (non kawasan) hutan, yaitu di Propinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh hutan mangrove dalam kawasan hutan di Propinsi Irian Jaya. 5.2. Kondisi hutan mangrove di Indonesia Kerusakan hutan mangrove baik dalam kawasan maupun luar kawasan pada masing-masing propinsi dapat dilihat pada gambar berikut. Kawasan Hutan Mangrove Rusak
Propinsi
Maluku
Irian Jaya
Nusa Tenggara Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimatan Timur
Kalimantan Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Selatan
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Lampung
DKI Jakarta
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
DI Aceh
1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 Sumatera Utara
Luas (ha)
di 26 Propinsi di Indonesia
Dalam Kawasan Luar Kawasan
Gambar 5. Hutan mangrove rusak pada kawasan dan non kawasan hutan
9
Kerusakan hutan mangrove dengan luas terbesar berada di Propinsi Kalimantan Tengah pada non kawasan hutan, diikuti Propinsi Riau dan Sumatera Selatan.
Sedangkan pada kawasan hutan, kerusakan paling luas terjadi di
Propinsi Riau, diikuti Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Sumatera Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagaimana kerusakan hutan mangrove dalam kategori kawasan hutan di setiap propinsi. Kondisi kerusakan mangrove dapat dilihat pada gambar berikut. Kerusakan hutan mangrove dalam kawasan hutan di 26 propinsi di Indonesia 1200000
Luas (ha)
1000000 800000 600000 400000 200000
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Kalimantan Barat Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Kalimantan Tengah
DI Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta
0
Propinsi
Tidak rusak Rusak
Gambar 6. Kerusakan hutan mangrove dalam kawasan hutan
Gambar 6 menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan hutan mangrove di Propinsi Irian Jaya, Sulawesi (seluruh propinsi), Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Kerusakan hutan mangrove terbesar terjadi di Propinsi Riau, diikuti oleh Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 5.3. Penyebaran dan kondisi hutan mangrove di wilayah barat Indonesia Data penyebaran dan kondisi hutan mangrove dibagi kedalam dua wilayah, yaitu wilayah barat dan timur Indonesia. Di wilayah barat Indonesia, luas hutan mangrove terbesar berada di Propinsi Riau, diikuti Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Perbedaan luas dari Propinsi lain tidak begitu mencolok seperti pada tiga propinsi dengan luas terbesar.
10
Barat
Yogyakarta Kalimantan
Jawa
Tengah DI
Jawa Barat
DKI Jakarta
Lampung
Selatan
Sumatera
Bengkulu
Jambi
Barat
Sumatera
Riau
Utara
Sumatera
1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh
Luas (ha)
Penyebaran Hutan Mangrove Wilayah Barat
Propinsi
Gambar 7. Penyebaran hutan mangrove di wilayah barat
Kondisi Kawasan Hutan Mangrove
Propinsi
Barat
Yogyakarta Kalimantan
Tengah DI
Jawa
Jawa Barat
DKI Jakarta
Lampung
Selatan
Sumatera
Bengkulu
Jambi
Barat
Sumatera
Riau
Utara
Sumatera
1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00 DI Aceh
Luas (ha)
Wilayah Barat
Tidak Rusak Rusak
Gambar 8. Kondisi hutan mangrove wilayah barat
Kerusakan hutan mangrove terbesar di wilayah barat Indonesia terlihat pada Propinsi Riau, dikuti Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Namun dibandingkan propinsi lain, Propinsi Sumatera Selatan masih memiliki hutan mangrove yang masih baik yang paling besar luasannya. Data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan (2002) menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi sebagai tahap uji coba. Gambar 9 menunjukkan realisasi rehabilitasi di wilayah barat Indonesia yang masih sedikit cakupan luasnya dibandingkan luas kerusakannya.
11
Realisasi Rehabilitasi Hutan Mangrove Wilayah Barat
Luas (ha)
1,500 1,000 500
Barat
Yogyakarta Kalimantan
Tengah DI
Jawa
Jawa Barat
DKI Jakarta
Lampung
Selatan
Sumatera
Bengkulu
Jambi
Barat
Sumatera
Riau
Utara
DI Aceh
Sumatera
0
Propinsi
Gambar 9. Realisasi rehabilitasi hutan mangrove wilayah barat
5.4. Penyebaran dan kondisi hutan mangrove di wilayah timur Indonesia Propinsi Kalimantan Tengah memiliki hutan mangrove terbesar di wilayah timur Indonesia, yang diikuti oleh Propinsi Irian Jaya dan Kalimantan Timur. Penyebaran Hutan Mangrove Wilayah Timur
Luas (ha)
2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 Irian Jaya
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Tengah
Kalimatan Timur
Kalimantan Selatan
Jawa Timur
0.00
Propinsi
Gambar 10. Penyebaran hutan mangrove wilayah timur
Kerusakan hutan mangrove tertinggi pada wilayah timur Indonesia terdapat di Propinsi Kalimantan Tengah, diikuti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Dan tidak ditemukan kerusakan hutan mangrove pada
12
Propinsi Irian Jaya, Sulawesi (semua propinsi), Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Kondisi Kawasan Hutan Mangrove Wilayah Timur
Luas (ha)
2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 Irian Jaya
Maluku
Tenggara
Nusa
Tenggara Nusa
Bali
Tenggara
Selatan Sulawesi
Tengah Sulawesi
Utara Sulawesi
Tengah Sulawesi
Timur Kalimantan
Selatan Kalimatan
Timur Kalimantan
Jawa
0
Tidak Rusak
Propinsi
Rusak
Gambar 11. Kondisi hutan mangrove wilayah timur
Baik di dalam maupun luar kawasan hutan wilayah timur, kerusakan terbesar terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah.
Hutan mangrove di Propinsi
Jawa Timur dan Kalimantan Selatan semua dalam keadaan rusak.
Propinsi
Irian Jaya
Maluku
Nusa Tenggara Nusa Tenggara
Bali
1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Luas (ha)
Hutan Mangrove Rusak Wilayah Timur
Dalam Kawasan Luar Kawasan
Gambar 12. Hutan mangrove rusak di wilayah timur
Dalam kawasan hutan, kerusakan hutan mangrove tertinggi terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah diikuti oleh Propinsi Kalimantan Selatan dan Timur. Ternyata hutan mangrove dalam kawasan hutan untuk wilayah timur, pada Propinsi Jawa TImur dan Kalimantan Selatan semua dalam keadaan rusak.
13
Sedangkan pada Propinsi Irian Jaya, Sulawesi (semua propinsi), Nusa Tenggara Timur dan Maluku, semua dalam keadaan tidak rusak. Kerusakan hutan mangrove di luar kawasan hutan tertinggi berada di Propinsi Kalimantan Tengah, diikuti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Pada Propinsi Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan semua propinsi di Sulawesi tidak ada mangrove di luar kawasan hutan. Realisasi Rehabilitasi Hutan Mangrove
Irian Jaya
Maluku
Tenggara
Tenggara Nusa
Nusa
Bali
Tenggara
Selatan Sulawesi
Tengah Sulawesi
Utara Sulawesi
Tengah Sulawesi
Timur Kalimantan
Selatan Kalimatan
Jawa
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Timur Kalimantan
Luas (ha)
Wilayah Timur
Propinsi
Gambar 13. Realisasi rehabilitasi hutan mangrove wilayah timur
Data Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan (2002) menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi sebagai tahap uji coba. Realisasi rehabilitasi di wilayah timur Indonesia yang masih sedikit cakupan luasnya dibandingkan luas kerusakannya.
Dimana yang terbesar dilakukan
adalah di Propinsi Sulawesi Selatan seluas 3.550 ha.
Bappenas
(1993)
dalam
FWI/GFW
(2001)
mengatakan
laporan
Pemerintah Indonesia bahwa sekitar 1 juta ha mangrove lenyap antara tahun 1969 dan 1980. Hal ini terutama akibat dikonversi menjadi sawah, tambak dan pemanfaatan pertanian lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebab-sebab penurunan luas hutan mangrove lainnya adalah pengembangan tambak, kegiatan penebangan hutan dan eksploitasi hutan mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Konversi besar-besaran menjadi tambak khususnya terjadi di Jawa Timur,
14
Sulawesi dan Sumatera. Juga semakin meningkatnya produksi kayu serpih dan pulp, seperti di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Kusmana (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Rencana pengelolaan yang tidak jelas seperti kebijakan pengelolaan yang tumpang tindih dan konflik kepentingan antar instansi sering membuat hutan mangrove terbengkalai (Kusmana, 2003). Kerusakan hutan mangrove disamping disebabkan oleh faktor fisik lingkungan, diduga pula disebabkan oleh faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Parameter yang digunakan untuk mengetahui faktor tersebut adalah jumlah/kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove (Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan, 2002). Gangguan menimbulkan
yang
erosi
cukup
pantai
besar
karena
terhadap lenyapnya
hutan
mangrove
pohon-pohon
dapat
mangrove.
Berkurangnya pantai pesisir meninggalkan pantai sempit yang terdiri dari pasir dan kolam-kolam asin tak dapat dihuni. Pusat-pusat pemukiman pantai menjadi makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995). Darsidi (1984) mengatakan gangguan-gangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota.
Naamin (1988) mengatakan bahwa
pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut.
Hutan mangrove telah terbukti memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove tak luput dari masalah kerusakan lingkungan seperti halnya sumberdaya alam yang lain.
15
Penurunan luas hutan dan kerusakan hutan terjadi terutama karena campur tangan manusia, seperti konversi hutan mangrove menjadi sawah, tambak dan pemanfaatan pertanian lainnya, penebangan liar, pertambangan, pencemaran dan lain-lain. Upaya pengelolaan hutan mangrove harus didukung oleh pengetahuan yang cukup mengenai ekologi hutan mangrove.
Pemahaman akan ekologi
mangrove sangat penting agar kebijakan yang akan diambil terhadap hutan mangrove menjadi berarti dan berjalan dengan baik. Sehingga upaya pelestarian dan rehabilitasi hutan mangrove memiliki arah yang jelas dan terencana dengan baik. Dengan masih simpang siurnya luas mangrove secara keseluruhan di Indonesia, Pemerintah sebaiknya melaksanakan kegiatan terpadu melibatkan berbagai pihak untuk melaksanakan pemetaan dan inventarisasi kawasan mangrove secara akurat.
Format data untuk penyebaran hutan mangrove
sebaiknya seragam dan konsisten di seluruh Indonesia.
Abdullah, A. 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Bratamihardja, M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Jawa dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia – LIPI. Jakarta. Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan. 2002. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Departemen Kehutanan. Jakarta. FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch. Bogor. Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai (Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.
16
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naamin, N. 1988. Masalah Pengelolaan Perikanan Laut di Pantai Timur Sumatera dalam kaitannya dengan Perubahan Lingkungan dalam Coastal Zone Environmental Planning in the Strait of Malacca, Lokakarya perairan Pantai Perencanaan Lingkungan Lingkungan untuk Selat Malaka, Palembang, Indonesia 7-9 Juni 1998. F. Sjarkowi, W., J.M. Verheught dan H.J. Dirschl (ed.). Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Development of Environmental Study (DESC) Project UNDP/IBRD/GOI. Palembang. Nugroho, S.G., A. Setiawan, S.P Harianto. 1991. “Coupled Ecosystem SylvoFishery” Bentuk pengelolaan hutan mangrove-tambak yang saling mendkung dan melindungi dalam prosiding seminar IV ekosistem mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
17