RUANG UTAMA
MANAJEMEN ORGANISASI BIROKRASI Aos Kuswandi
Abstract As a part of state organizations, bureaucracy also needs to be reform: its performances, its structures, and the mentality of the bureaucracy apparatus. In this paper try to look up how to manage a new model of bureaucracy and also it’s new paradigm as a public servant. Kata Kunci: Pemerintahan, Reformasi Birokrasi, Organisasi
Pendahuluan Birokrasi pada awalnya tumbuh dan berkembang sebagai suatu tatanan yang merupakan kebutuhan alami yang harus mampu menjamin sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Birokrasi di Indonesia berada pada tingkat pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan sehingga yang menjadi sorotan adalah birokrasi pemerintahan sebagai sebuah sistem, tatanan dan sekaligus tingkatan birokrasi pemerintahan mulai dari yang paling atas hingga paling bawah. Dalam birokrasi, ada banyak faktor yang mempengaruhi keberadaannya, yaitu: mental, perilaku, karakteristik, dan kinerjanya. Pelayanan birokrasi kepada publik menjadi keutamaan tugas rutin yang harus terdapat dalam setiap organisasi. Sehingga seringkali orang awam menilai bahwa birokrasi identik dengan pelayanan publik yang diterima masyarakat.
Sebagai sebuah konsep yang ideal maka birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia menjadi fokus bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut, prioritas pembangunan bidang penyelenggaraan negara Indonesia pasca Pemilu 2004 diarahkan pada reformasi birokrasi dengan fokus pada: upaya-upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat; meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan mengurangi secara signifikan tingkat penyalahgunaan kewenangan di lingkungan aparatur pemerintahan; meningkatkan kualitas pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat serta mempercepat tindak lanjut hasil pengawasan dan pemeriksaan Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemerintah RI dalam
rangka penerapan kepemerintahan yang baik, antara lain: 1) menyusun RUU Etika Penyelenggara Negara, yang merupakan salah satu prioritas dalam Prolegnas tahun 2007; 2) melakukan koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tingkat nasional secara lebih baik; 3) melakukan sosialisasi dan koordinasi pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; 4) menyelenggarakan sosialisasi dan penajaman reformasi birokrasi dan percepatan penerapan good public governance (GPG) di berbagai instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah; 5) penataan kelembagaan, ketatalaksanaan aparatur dan sumber daya manusia aparatur; 6) pemetaan tentang praktik terbaik (best practices) penerapan GPG, peningkatan pelayanan publik, percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan pengawasan dan pemeriksaan, serta saransaran tindak lanjut hasil pemeriksaan. Walaupun perhatian Pemerintah demikian kuatnya atas perbaikan penyelenggaraan birokrasi, namun kinerja birokrasi masih belum sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, antara lain dicerminkan dengan masih banyaknya keluhan masyarakat, baik menyangkut prosedur, kepastian, tanggung jawab, moral petugas, serta masih terjadinya praktek pungli yang memperbesar biaya pelayanan, dan masih kurang profesionalnya aparatur pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, sehingga seringkali birokrasi masih dianggap sebagai penghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Pada tahun 2007 pembangunan bidang penyelenggaraan negara diprioritaskan untuk melanjutkan reformasi birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi tersebut diharapkan mampu menghasilkan birokrasi yang mampu berperan sebagai fasilitator dan dinamisator penyelenggaraan pembangunan dan turut menciptakan iklim yang mendukung lancarnya proses pemerintahan dan pembangunan serta dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberantas berbagai jenis penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN. Pelaksanaan reformasi birokrasi difokuskan kepada upaya-upaya: 1) Melanjutkan penataan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi melalui upaya pembenahan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kinerja kebijakan dan program pembangunan; 2) Melanjutkan pembenahan manajemen SDM aparatur (kepegawaian) mencakup sistem renumerasi, peningkatan kompetensi aparatur, pembinaan karier berdasarkan prestasi kerja, dan penerapan reward dan punishment dalam pembinaan pegawai; 3) Menyelesaikan Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan dan mulai disusunnya SPM sektoral bidang pendidikan; 4) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e17 Jurnal Madani Edisi I I/Nopember 2008
services) dalam pelayanan publik terutama di bidang administrasi kependudukan melalui upaya penataan nomor induk kependudukan (NIK atau single identity number) dan sistem koneksi (inter-phase) tahap awal NIK dengan sistem informasi di kementerian/lembaga terkait. Salah satu harapan terhadap reformasi birokrasi adalah menuntun kembali fungsi pemerintah dan aparatnya untuk menjadi public servant. Artinya tugas (pegawai) pemerintah adalah melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya masyarakat yang melayani (pegawai) pemerintah. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan publik semakin keras gaungnya. Dan kecenderungan seperti negara maju, dimana para pembayar pajak merasa telah membayar sesuatu dan berhak untuk memperoleh kembalian berupa layanan publik yang berkualitas lambat laun akan menular.
Otonomi Daerah dan Pelayanan Birokrasi Otonomi daerah yang bertumpu pada desentralisasi juga diharapkan dapat memperbaiki kinerja layanan publik, karena jenjang hirarki semakin diperpendek. Kontrol dari masyarakat juga terhadap Pemda diharapkan juga semakin kuat Konsep organisasi birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk. Maka organisasi birokrasi banyak dipakai oleh pemerintahan di seluruh dunia, dan selalu berkutat dengan berbagai peraturan. Dalam perjalanan waktu pelaksanaannya menimbulkan keruwetan dan perasaan enggan untuk berurusan dengan birokrasi yang tercermin dari istilah birokratis, yang identik dengan urusan yang berbelit –belit. Hirarki yang ada dalam struktur organisasi pemerintahan juga sering menyulitkan dalam mengambil keputusan yang tepat untuk melayani
Tabel 1. Model Perubahan Birorkasi Untuk Indonesia Dimensi Kultur dan struktur kerja Hubungan kerja Tujuan kerja Sikap terhadap publik Pola Rekruitmen, pengawasan &Penghargaan Model Pelayanan
Model Lama Birokrasi Irasional - hirarkis
Model Baru Birokrasi Rasional-egaliter
Komando-intervensionis Penguasaan, Pengendalian Publik Rent-seeking
Partisipan –outonomus Pemberdayaan Publik, Demokratisasi Profesional pelayanan publik, transparansi biaya (public accountibility).
(ekonomi biaya tinggi). Spoil System(Nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial – suku, ras, agama) Tidak Ada Kompetisi dalam Pelayanan Birokrasi Berpolitik
Merit System (pengangkatan karena keahlian, pengawasan kolektif, obyektif) Kompetitif dalam Memberikan Pelayanan Netralitas Politik Birokrasi
Keterkaitan dengan Politik Sumber: Syafuan (2000),. Jurnal Tranparansi Indonesia, hal. 6
18 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
konsumennya. Jika dicampur dengan budaya patron, yang disertai dengan ketiadaan inisiatif karena harus menunggu perintah dari atas maka lengkaplah ketidakpekaan dalam melayani para pemakai jasa layanan publik. Oleh karenanya pada era otonomi daerah, maka dalam pola birokrasi telah terjadi perubahan paradigma. Pada Tabel 1. dapat dilihat tentang perubahan paradigma birokrasi.
upaya membangun tata ke pemerintahan yang baik. Di samping itu, birokrasi juga dihadapkan pada tantangan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat dan ketidakpastian yang terjadi sebagai akibat globalisasi, yang kemudian dapat mempengaruhi sistem dan kinerja birokrasi pemerintahan saat ini. Budaya Organisasi dan Pelayanan Publik pada Kantor Kecamatan
Tantangan yang Dihadapi Tantangan yang dihadapi oleh organisasi birokrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya antara lain: 1) perlu dibangunnya komitmen moral bersama secara utuh dari segenap unsur aparatur negara untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good public governance) dalam mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi; 2) perbaikan manajemen internal di instansi pemerintah yang fokus pada peningkatan kinerja instansi, kinerja unit kerja dan kinerja individu; 3) peningkatan kesejahteraan PNS; 4) penyempurnaan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara secara komprehensif; 5) perlunya dibangun pemahaman yang sama di antara aparatur negara dalam penerapan nilainilai atau prinsip-prinsip good public governance di setiap pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan; dan 6) pentingnya terjalin sinergitas antara aparatur negara, dunia usaha dan masyarakat dalam
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P. Siagian, 1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya birokrasi adalah: 1. Membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; 2. Menciptakan jati diri para anggota organisasi; 3. Menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan peke rja yang terlibat didalamnya;
19 Jurnal Madani Edisi I I/Nopember 2008
4. Membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan 5. Menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari normanorma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian. Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi dan birokrasi pada pemerintahan daerah (termasuk kecamatan), memiliki keterikatan dan pengaruh budaya organisasi yang kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada ramburambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Penyebab kegagalan utama yang sering terjadi dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi birokrasi pemerintahan: Pusat, Daerah dan di tingkat terendah seperti Kecamatan adalah : 1. Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; 2. Kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan terampil dalam unit-unit lokal; 3. Kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; 4. Adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan 5. Kurangnya infrastruktur teknologi dan infrastruktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugastugas pelayanan publik. Hal lain yang menyebabkan kegagalan dalam pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi disebabkan karena aparat (birokrasi)
tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya, dimana tuntutan masyarakat akan pelayanan prima dari pemerintah menjadi kebutuhan yang utama. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan kecamatan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan, pemberdayaan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas- tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi bagi masyarakat, maka birokrasi pada Kantor Kecamatan perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain: a. Aparatur Birokrasi Kecamatan harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan 20
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
b. Aparatur Birokrasi Kecamatan perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat). Untuk hal ini memerlukan kebijakan penataan organisasi dan kelembagaan pemerintah daerah. c. Aparatur Birokrasi Kecamatan harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efisiensi biaya dan ketepatan waktu. Biasanya memerlukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Operasional Pelayanan (SOP) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah pada setiap jenis pelayanan sesuai dengan tupoksi. d. Aparatur Birokrasi Kecamatan harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik daripada sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan. e. Aparatur Birokrasi Kecamatan harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Ukuran Keberhasilan dalam Pelayanan Publik
Dalam upaya perbaikan sistem dan prosedur pelayanan yang dilakukan aparatur menuju pelayanan prima, Pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Pelayanan Umum yang selanjutnya dipertegas dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu: 1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani samasama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge); 2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge); 3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge); dan 4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani samasama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual i gnorance).
Birokrasi
21 Jurnal Madani Edisi I I/Nopember 2008
Daftar Pustaka
Rourke, Francis, 1992, American Exceptionalism: Government without Bureaucracy, dalam L.B. Hill, ed., The State of Public Bureaucracy, M.E. Sharpe, Inc., New York.
Albrow, Martin, 1970, Bureaucracy, New York: Praeger Publisher. Bendix, Reinhard, 1977, Bureaucracy, International Encyclopaedia of the Social Sciences, New York: Free Press.
Simon, H. (1950). Behaviour.
Blau, Peter M., 1956, Bureaucracy in Modern Society, New York: Random House.
Soedjais, Z. (2002). Good Governance & Desentralisasi Fiskal. Makalah dibawakan dalam Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Yogyakarta, 20 April 2002.
Evers, Hans Dieter, 1987, "The Bureaucratization of Southeast Asia", dalam Bratakusumah, Deddy Supriyadi & Dadang Solihin. (2001). Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia.
Soedjais, Z. (2002). Good Governance, daya saing, dan investasi global. Makalah dipresentasikan pada Seminar Good Governance dan Kebijakan Baru di Bidang Investasi. Batam, 10 Mei 2002.
David Hulme. (1997), Governance, Administration, and Development. London: MacMillan. Dwidjowijoto, R. N. (2000). Desentralisasi Tanpa Revolusi. Jakarta: Elex-Gramedia.
Vroom, C.W., 1982, Pembangunan Organisasi: Sebuah Telaah ulang tentang Tesis Birokrasi Patrimonial-Rasional di Asia, Prisma, 6 Juni 1982, 28-39.
Heckscher, C., 1994, Defining the Post-Bureaucratic Type, dalam Heckscher, C., and Donellon, eds., 1994, Post-Bureaucratic Organization, Thousands Oaks: Sage Publications.
Weber, Max, 1946, The Theory of Social and Economic Organization, Ed. and Trans A.M. Henderson and Talcott Parson, Macmillan, New York.
Lembaga Administrasi Negara, (2000), Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: LAN.
Yates, Douglas, 1982, Bureaucratic Democracy: The Search for Democracy and Efficiency in American Government, Harvard University Press, Cambridge.
Pierre, J. & B. Guy Peters. (2000). Governance, politics, and the State. London: MacMillan.
22 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
Administrative