MAKALAH BALANCED SCORECARD
Disusun Oleh: Kelompok 2 1.
Anesia Putri Kinanti
2013220796
2.
David Herrys
2013220798
3.
Margo Saptowinarko P
2013220807
Kelas : PPAK angkatan 22
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Penerapan konsep dan aplikasi setiap perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) kini telah menjadi trend secara global untuk lebih peduli terhadap tanggung jawab pada lingkungan sosial masyarakat sekitarnya. Meningkatnya kesadaran perusahaan akan pentingnya melaksanakan CSR untuk keberlangsungan hidupnya, maka konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan sebagai sebuah keharusan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan yang menyebabkan semakin maraknya bentuk kegiatan sosial yang di klain sebagai wujud CSR. Dengan berkembangnya konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line Triple Bottom Line Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line adalah istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Keadaan masyarakat tergantung pada ekonomi, dan ekonomi tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen Triple Bottom Line ini tidak stabil, melainkan dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan. Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line, diantaranya: 1.
Profit Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan
nilai tambah semaksimal mungkin. 2.
People Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan perlu untuk melakukan berbgai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Intinya, jika ingin eksis dan akseptabel perusahaan harus menyertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.
3.
Planet Jika perusahaan ingin tetap eksis maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan kita. Namun sayangnya, sebagian besar dari kita masih kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar. Maka, kita melihat banyak pelaku industri yang hanya mementingkan
bagaimana
menghasilkan
uang
sebanyak-banyaknya
tanpa
melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, mereka justru akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, disamping ketersediaan sumberdaya yang lebih terjamin kelangsungannya. Keseimbangan Triple Bottom Line merupakan suatu upaya uanga sungguh-sungguh untuk bersinergi dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang secara konsisten mendorong keseimbangan ekonomi sosial dan lingkungan. Idealnya, tentu saja perusahaan melakukan seluruh kegiatan Triple Bottom Line bagi para stakeholders-nya. Namun, hal yang terpenting sebenarnya, perusahaan melakukan CSR dengan menekankan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep Berkelanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: 1.
Keberlanjutan ekonomi Diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. 2.
Keberlanjutan Lingkungan Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari ekspliotasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi
3.
Keberlanjutan Sosial Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Yuswohady dalam artikelnya yang berjudul Triple Bottom Line, 2008), mengatakan bahwa ide di balik konsep Triple Bottom Line ini tak lain karena adanya pergeseran paradigma pengelolaan bisnis dari “shareholders focused” ke “stakeholders focused”. Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi buta menjadi perhatian pada kepentingan pihkpihak yang terkait (stakeholder interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin signifikan sebagai alat pemberdaya masyarakat dan pelestarian lingkungan. Triple Bottom Line Reporting akan memberikan manfaat, sebagai berikut: 1.
Membentuk hubungan yang baik dengan stakeholders
2.
Mengkondisikan resiko dengan mengidentifikasi area yang menajdi perhatian stakeholders dan bekerja sama dengan stakeholders secara proaktif.
3.
Meningkatkan internal manajemen
4.
Meningkatkan kontribusi perusahaan pada pembangunan peduli lingkungan
Kategori-Kategori yang terdapat dalam dalam tema pengungkapan sosial, adalah 1.
Tema Kemasyarakatan
Dukungan pada kegiatan masyarakat sekitar kantor dan pabrik
Dukungan pada kegiatan seni dan budaya
Dukungan pada kegiatan olahraga
Dukungan pada dunia anak
Dukungan ke lembaga kerohanian
Dukungan ke lembaga pendidikan (termasuk beasiswa, kesempatan magang dan kegiatan penelitian)
2.
Dukungan ke lembaga sosial lainnya
Dukungan pada fasilitas umum
Tema Ketenagakerjaan
Keselamatan kerja (termasuk fasilitas keselamatan kerja)
Kesehatan
Koperasi Karyawan
Kunjungan dan Kesejahteraan (Bantuan Kesejahtreraan untuk keluarga karyawan, asuransi dan fasilitas transportasi)
3.
Pendidikan dan latihan
Kesetaraan gender dalam kesempatan kerja
Fasilitas peribadatan
Cuti karywan
Tema Lingkungan
Kebijakan lingkungan
Penggunaan energi
Pencegahan/pengurangan polusi (pengelolaan limbah)
Dukungan pada konservasi lingkungan
Regulation Rompliance
Rating
Carbonomics Salah satu rekomendasi dari Protokol Kyoto adalah sistem ambang emisi dan perdagangan karbon. Perusahaan membutuhkan pemikiran dan tekhnologi baru untuk mengimplementasikan gagasan perdagangan karbon dibawah Protokol Kyoto. Isu pokok dalam perdagangan karbon ini adalah jumlah karbon yang dapat dirasionalisasi dan model pasar perdagangan karbon yang dapat mempengaruhi strategi bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan. Untuk dapat mengarah pada gagasan perdagangan karbon, dibutuhkan pemahaman yang baik tentang elemen-elemen akuntansi bisnis dan keuangan, seperti permodalan, permintaan dan penawaran kredit karbon, nilai bisnis manejemen resiko, alokasi modal, dan bahkan jika mungkin adalah standar pelaporan keuangan yang secara khusus terkait dengan transaksi karbon. Sebagai tambahan, isu – isu tentang pajak yang terkait dengan pajak emisi karbon dan implikasi transfer harga perdagangan karbon perlu untuk diperhatikan. Sekarang ini, di Eropa, fokus utamanya adalah laporan keuangan dan perpajakan. Sedikit sekali yang memfokuskan dalam hal profesi akuntansi yang terkait dengan akuntansi manajemen strategis termasuk penilaian pasar dan isu – isu tentang manajemen kinerja. Isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon (Carbon Cost Management) utamanya terkait dengan apakah pelaporan biaya karbon bersifat mandatory atau voluntary, yang dalam hal tertentu sangat tergantung pada kompetisi industri suatu negara. Ketidak seimbangan dalam konsumsi sumber-sumber ekonomi dalam perspektif keberlanjutan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perspektif ekonomi semata tetapi rendahnya tingkat kesadaran untuk melakukan tindakan pencegahan Global Warming. Ada lima gas yang dapat menyebabkan efek global warming yaitu Carbondiokside, metan, nitrous oxide, sulfur heksaflouride, dan HFC. Protokol Kyoto membatasi keberadaan gas tersebut diudara terutama karbondioksida (Carbondiokside) yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi dan manusia. Terkait dengan kegiatan ekonomi, Protokol Kyoto memberikan batasan investasi tekhnologi emisi CO2 yang rendah, perhitungan biaya dalam harga pokok produksi dan pembebanan biaya emisi karbon kepada pelanggan berdasar regulasi. Sebuah penelitian yang dimulai tahun 2003 hingga awal 2007, menghasilkan berbagai gagasan segar terkait dengan pengurangan karbon bagi entitas bisnis dan perseorangan serta isu-isu strategis dibidang akuntansi manajemen terkait dengan manajemen karbon.
Terkait dengan gagasan Carbonomics, dampak gagasan tersebut telah merambah di berbagai macam profesi, diantaranya adalah profesi akuntansi. Hal ini karena bidang akuntansi, terutama akuntansi manajemen, keuangan dan audit baik langsung ataupun tidak langsung terkena dampak dari era carbonomics tersebut. Dalam terminologi akuntansi, Carbonomics memberi dampak pada Carbonaccounting. Pada tahapan selanjutnya, era Carbonacccounting akan berkembang jika didukung oleh berbagai sistem dan perekayasaan akuntansi
yang
memadai.
Pada
era
Carbonaccounting,
sebuah
gagasan
untuk
menghubungkan produk dengan efisiensi CO2 perlu mendapat dukungan dan perhatian secara serius, sebab satu gagasan dalam efisiensi emisi CO2 adalah satu tindakan dalam penyelamatan
dunia.
Inilah
makna
penting
Paradigma
Carbonaccounting
dalam
pengembangan profesi dan perekayasaan akuntansi dalam situasi dunia yang tengah dilanda kecemasan akibat global warming. Kunci utama dalam Carbonaccounting adalah efisiensi emisi gas rumah kaca, khususnya CO2 (gas terbesar yang dihasilkan oleh aktifitas manusia), yang terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa. Oleh karena itu, pengendalian emisi CO2 merupakan factor kunci. Jika mekanisme perdagangan karbon dalam Protokol Kyoto disepakati dalam suatu Negara maka kejelasan tentang sistem perdagangan karbon, penyerapan emisi karbon serta batas emisi karbon harus tertuang secara jelas dalam sebuah perundangan. Dorongan untuk mencapai paradigma Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud jika capaian minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture) dapat terukur secara jelas. Paradigma Carbonaccounting akan didukung oleh dunia praktik akuntansi jika berbagai instrumen strategis yang melingkupinya telah siap. Mencermati berbagai isu dalam editorial, dapat dirangkum berbagai faktor terkait dengan kebutuhan instrumen strategis akuntansi manajemen. Paradigma Carbonaccounting dan standar akuntansi karbon. Standar akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong paradigma Carbonaccounting. Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi dasar bagi pengambilan keputusan terkait dengan biaya produksi berbasis efisiensi emisi karbon. Karena batas wilayah pencemaran emisi karbon dalam ruang udara bersifat semu, maka standar akuntansi karbon juga harus mengatur tentang biaya litigasi dalam sengketa perdagangan karbon.
Semakin transparan dan akuntabel standar karbon akan semakin mendorong perubahan paradigma manajemen menuju Carbonaccounting. Paradigma Carbonaccounting dan sistem kontrol manajemen Sistem kontrol manajemen (SKM) merupakan terminologi yang sangat luas, yang meliputi sistem akuntansi manajemen (SAM) dan juga sistem kontrol yang lain seperti personal control ataupun clan control. Sementara itu SAM didefinisikan sebagai praktikpraktik akuntansi manajemen seperti budgetting, yang digunakan secara sistematis untuk mencapai tujuan perusahaan. Beberapa penggagas teori (teorists)seperti Burn, Stalker menyatakan pentingnya fokus studi terhadap hubungan antara teknologi dengan struktur organisassi. Identifikasi terhadap variabel kontekstual yang secara potensial berimplikasi terhadap efektifitas desain SKM dapat didekati dari perspektif teori contingency. Hasil-hasil penelitian yang lalu menunjukkan ada hubungan antara kondisi lingkungan organisasi dengan SKM. Terkait dengan era karbon, SKM sebuah perusahaan seharusnya didesain untuk menopang paradigma carbonaccounting. Dalam hal ini, dua aspek penting SKM adalah, pertama, perilaku manajemen dalam mencapai target efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam level personal, sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting. Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut akan memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari tanggungjawan sosial perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global warming. Paradigma Carbonaccounting dan manajemen produksi Faktor-faktor penting yang terkait dengan manajemen efisiensi karbon dalam produksi, seperti manajemen bahan baku (limbah produksi), biaya overhead pabrik (BOP) konvensional (diantaranya marketing, trasportasi bahan baku, depresiasi mesin), BOP lingkungan (diantaranya biaya regulasi, recycling, amortisasi biaya desain), tenaga kerja (etos kerja berbasis efisiensi karbon), dan aspek pembiayaan (stock holding costs, debitors costs, dan carbon tax). Mendasarkan pada aspek-aspek produksi tersebut, manajemen produksi harus melingkupi standard teknis produksi berbasis efisiensi CO2, efisiensi bahan baku dan waktu produksi. Semakin jelas tolok ukur manajemen produksi berbasis ekologi maka semakin jelas pula pula arah perubahan paradigma akuntansi manajemen menuju Carbonaccounting.
Paradigma Carbonaccounting, Corporate Governance dan Strategi Audit Corporate governance merupakan isu strategis dibidang akuntansi manajemen. Tidak saja karena meningkatnya pasar uang secara global, pertumbuhan perusahaan mutinasional dan perkembangan ekonomi kawasan, namun corporate governance dibutuhkan dalam situasi mengatasi tumbangnya berbagai perusahaan raksasa kelas dunia. Lebih jauh, perhatian terhadap corporate governance terutama dimotivasi oleh kepentingan publik dalam hal kesehatan ekonomi perusahaan dan ekonomi sosial secara keseluruhan. Dalam perspektif paradigma carbonaccounting, dimensi penyelamatan ekologi adalah faktor penting dalam keberlanjutan ekonomi negara, bahkan dunia. Oleh karena itu, paradigma carbonaccounting harus didukung oleh corporate governance yang melingkupi kesehatan dan keberlanjutan ekonomi sosial. Faktor penting implementasi carbonaccounting dalam perspektif corporate governance adalah adanya jaminan dari institusi (profesi atau institusi hukum) tentang akuntabilitas dan transparansi pelaporan manajemen karbon oleh perusahaan. Dua aspek tersebut memberi dukungan pada keberlanjutan ekologi dan ekonomi sosial secara keseluruhan, sebagai tujuan utama dalam efisiensi karbon. Lebih jauh, guna mendukung implementasi akuntabilitas dan transparansi manajemen karbon secara independen, dibutuhkan perekayasaan audit karbon pada tingkat lanjut. Teknik audit karbon tersebut untuk mengaudit secara obyektif terhadap jejak rekam produksi yang menghasilkan emisi karbon, yang meliputi bagian produksi, pemasaran, persediaan bahan baku, investasi mesin, praktik SDM dan brand image perusahaan dalam akuntabilitas efisiensi karbon.
Contoh kasus Triple Bottom Line Pada Perusahaan The Body Shop Mengapa Triple Bottom Line ini digunakan pada perusahaan The Body Shop karena adanya
pergeseran
paradigma
pengelolaan
bisnis
dari
“shareholders-focused”
ke
“stakeholders-focused”. Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi-buta menjadi perhatian pada kepentingan pihak-pihak yang terkait (stakeholder interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin siknifikan sebagai alat pemberdaya masyarakat dan pelestari lingkungan. “The business entity should be used as a vehicle for coordinating stakeholder interests, instead of maximising shareholder profit.” Ide triple bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi perusahaan —bukan periferal, bukan tempelan, bukan kosmetik. Conventional wisdom yang selama ini ada mengatakan: tumpuk profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit yang menggunung itu sisihkan sedikit saja untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda. Dari awal perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistik—economic, environmental, social—tersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih. Setiap tahun The Body Shop mengeluarkan dokumen yang dinamai The Body Shop Values Report. Dokumen ini berisi laporan “pertanggung-jawaban” kepada publik mengenai pencapaian-pencapaian social dan environmental. The Body Shop bikin laporan ini tidak main-main untuk mewujudkan misinya untuk menjadi socially and environmentally responsible company. Yang dibuat oleh sang pionir dan inspirator, Anita Roddick. TBS ini mempunyai lima inisiatif atau target yang ingin dicapai yaitu : Against Animal Testing; “Support Community Trade”, “Activate Self Esteem”; “Defend Human Rights”; “Protect Our Planet”. dan TBS tidak main-main dalam menjalankan inisiatif tersebut, Ia lakukan betul inisiatif tersebut, jadi perusahaan menetapkan KPI-nya, menetapkan target tahunan, kemudian di-tracking terus pencapaian target tersebut. Dalam Values Report 2005 yang dipunyai misalnya, dicantumkan salah satu target untuk inisiatif “Protect Our Planet” untuk tahun 2006 adalah, mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang digunakan di toko-toko TBS. Kemudian untuk “Activate Self Esteem”, di tahun 2005 TBS mampu melakukan kampanye program “Stop Violence in the Home” di 25 negara. Sementara untuk tahun 2006 perusahaan ini menetapkan target melakukan kampanye
di 30 negara.jadi target-target itu tak hanya sekedar target, tapi target yang terus di-tracking dan harus dicapai oleh perusahaan ini, sengotot mencapai target profit.
Contoh Kasus Carbonomics pada perusahaan Toyota Motor Salah satu rekomendasi dari Protokol Kyoto adalah sistem ambang emisi dan perdagangan karbon. Perusahaan membutuhkan pemikiran dan teknologi baru untuk mengimplementasikan gagasan perdagangan karbon dibawah Protokol Kyoto. Isu pokok dalam perdagangan karbon ini adalah jumlah karbon yang dapat dirasionalisasi dan model pasar perdagangan karbon yang dapat mempengaruhi strategi bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan. Untuk dapat mengarah pada gagasan perdagangan karbon, dibutuhkan pemahaman yang baik tentang elemen-elemen akuntansi bisnis dan keuangan, seperti permodalan, permintaan dan penawaran kredit karbon, nilai bisnis manejemen resiko, alokasi modal, dan bahkan jika mungkin adalah standar pelaporan keuangan yang secara khusus terkait dengan transaksi karbon. Sebagai tambahan, isu – isu tentang pajak yang terkait dengan pajak emisi karbon dan implikasi transfer harga perdagangan karbon perlu untuk diperhatikan. Sekarang ini, di Eropa, fokus utamanya adalah laporan keuangan dan perpajakan. Sedikit sekali yang memfokuskan dalam hal profesi akuntansi yang terkait dengan akuntansi manajemen strategis termasuk penilaian pasar dan isu – isu tentang manajemen kinerja. Isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon (Carbon Cost Management) utamanya terkait dengan apakah pelaporan biaya karbon bersifat mandatory atau voluntary, yang dalam hal tertentu sangat tergantung pada kompetisi industri suatu negara. Ketidak seimbangan dalam konsumsi sumber – sumber ekonomi dalam perspektif keberlanjutan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perspektif ekonomi semata tetapi rendahnya tingkat kesadaran untuk melakukan tindakan pencegahan Global Warming. Ada lima gas yang dapat menyebabkan efek global warming yaitu Karbondioksida, Metana, Nitrous Oxide, Sulfur Heksaflouride, dan HFC. Protokol Kyoto membatasi keberadaan gas tersebut diudara terutama karbondioksida (Carbondiokside) yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi dan manusia. Terkait dengan kegiatan ekonomi, Protokol Kyoto memberikan batasan investasi teknologi emisi CO2 yang rendah, perhitungan biaya dalam harga pokok produksi dan pembebanan biaya emisi karbon kepada pelanggan berdasar regulasi.
Terkait dengan bidang akuntansi, Carbon Cost Management merupakan era baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep Carbon Cost Management, penerapan Carbonaccounting juga akan berimplikasi secara luas pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era Carbonomics. Akibatnya toyota pun mulai menerapkan sistem akuntansi yang menggunakan prinsp Carbonomics ini. Perusahaan toyota sudah didesain untuk menopang paradigma carbonaccounting. Dalam hal ini, perusahaan menggunakan sudah menerapkan Carbonomics diantaranya : -
Pertama, Mengatur perilaku manajemen dalam mencapai target efisiensi karbon. Karena tanpa perubahan perilaku manajemen dalam level personal, sistem perusahaan
-
tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting. Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem ini akan memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari tanggungjawab sosial
-
perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global warming. Ketiga, Memproduksi sebuah kendaraan yang benar-benar meminimalisirkan ancama dari global warming Contoh : Toyota Prius, Toyota Camry Hybrid dsb. Dalam perspektif paradigma carbonaccounting, dimensi penyelamatan ekologi adalah
faktor penting dalam keberlanjutan ekonomi negara, bahkan dunia. Oleh karena itu, Toyota Motor Company sudah didukung oleh corporate governance yang melingkupi kesehatan dan keberlanjutan ekonomi sosial. Faktor penting implementasi carbonaccounting dalam perspektif corporate governance adalah adanya jaminan dari institusi (profesi atau institusi hukum) tentang akuntabilitas dan transparansi pelaporan manajemen karbon oleh perusahaan. Dua aspek tersebut memberi dukungan pada keberlanjutan ekologi dan ekonomi sosial secara keseluruhan, sebagai tujuan utama dalam efisiensi karbon. Lebih jauh Toyota Motor Company dalam mendukung implementasi akuntabilitas dan transparansi manajemen karbon secara independen, perusahaan ini menggunakan perekayasaan audit karbon pada tingkat lanjut. Teknik audit karbon tersebut untuk mengaudit secara obyektif terhadap jejak rekam produksi yang menghasilkan emisi karbon, yang meliputi bagian produksi, pemasaran, persediaan bahan baku, investasi mesin, praktek SDM dan brand image perusahaan dalam akuntabilitas efisiensi karbon. Sehingga perusahaan ini
tetap bisa terus berkembang mengikuti perkembangan zaman khususnya pada era global saat ini yang dapat meminimalisirkan Global Warming dan perubahan perilaku (culture) dapat terukur secara jelas, serta semakin transparan dan akuntabelnya standar akuntansinya dalam pelaporan manajemen karbon.