Kurikulum 2006/2013
Kel a s
Sejarah
XII
PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI BERBAGAI DAERAH II SEMESTER 1 KELAS XII SMA/MA/SMK/MAK –KURIKULUM KTSP 2006 & K-13 Standar Kompetensi 1.
Kompetensi Dasar
Menganalisis perjuangan bangsa 1.3. Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga Indonesia dalam mempertahankan lahirnya Orde Baru kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Mampu memahami Perundingan Linggarjati. 2. Mampu memahami Agresi Militer Belanda I. 3. Mampu memahami Perundingan Renville. 4. Mampu memahami Agresi Militer Belanda II. 5. Mampu memahami Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
A. Perundingan Linggarjati Kedatangan Sekutu yang diboncengi NICA pada 29 September 1945 menyebabkan terjadinya ketegangan hubungan antara Sekutu-NICA dengan Indonesia. Hal ini berujung pada kontak senjata antara kedua belah pihak. Untuk meredakan ketegangan, Sir Philip Christison selaku Panglima Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI-Sekutu)
memprakarsai beberapa pertemuan antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia mengenai maksud kedatangan tentara asing ke Indonesia. Pertemuan atas prakarsa Sir Philip Christison dilakukan dua kali sebagai berikut. 1.
Pertemuan Soekarno-Van Mook pada 25 Oktober 1945.
2.
Pertemuan Syahrir-Van Mook pada 17 November 1945.
Kedua pertemuan tersebut mengalami kegagalan karena pihak Belanda yang diwakili Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersikeras menjadikan Indonesia sebagai negara persemakmuran Belanda. Kegagalan prakarsa Sir Philip Christison membuat Inggris menugaskan Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris mengundang perwakilan Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, Belanda. Adapun delegasi yang berunding dalam Perundingan Hooge Veluwe adalah sebagai berikut. 1.
Delegasi Indonesia: Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo.
2.
Delegasi Belanda: Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letkol. Surio Santosa.
3.
Pihak Sekutu sebagai penengah: Sir Archibald Clark Kerr.
Akan tetapi, perundingan ini gagal karena Belanda hanya mau mengakui kedaulatan RI atas Jawa dan Madura. Di samping itu, Belanda mampu memainkan permainan politik dengan menampilkan dua orang Indonesia dalam delegasinya seakan-akan masalah yang terjadi di Indonesia adalah perpecahan dalam negeri Indonesia bukan disebabkan oleh Belanda.
Gambar 4.1 Perundingan Linggarjati, tampak Soekarno dan Hatta. Sumber: id.wikipedia.org
Pihak Inggris sekali lagi menawarkan bantuan sebagai perantara dan penengah dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. Melalui Lord Killearn sebagai utusan Inggris, perundingan pendahuluan antara Indonesia–Belanda dilaksanakan pada 7 Oktober 1946 di Jakarta. Pihak Indonesia diwakili oleh Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Urip Sumoharjo. Pihak Belanda diwakili oleh Prof Schermercon. Perundingan selanjutnya dilaksanakan pada 10 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Belanda diwakili oleh Van Mook. Hasil Perundingan Linggarjati diumumkan pada 15 November 1946.
2
Hasil perundingan ditandatangani pada 25 Maret 1947. Isinya sebagai berikut. 1.
Belanda mengakui wilayah Indonesia secara de facto yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.
2.
Republik Indonesia bersama Belanda bekerja sama membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
3.
Bersama-sama membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Gambar 4.2 Wilayah Indonesia (berwarna) setelah Perundingan Linggarjati. Sumber: id.wikipedia.org
Perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di Indonesia. Bagi kelompok kontra, Perundingan Linggarjati dianggap bentuk kegagalan Indonesia dalam menjaga kedaulatan Indonesia, sedangkan di pihak pro, perundingan Linggarjati dianggap jalan terbaik untuk menghindari perang dengan Belanda. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah menambah jumlah anggota KNIP agar pemerintah mendapat dukungan suara untuk menandatangani perundingan Linggarjati. Perundingan ini dianggap tidak menguntungkan bagi Indonesia karena membuat daerah Indonesia semakin sempit. Akan tetapi, Indonesia tetap menandatangani pada 25 Maret 1947 dengan pertimbangan sebagai berikut. 1.
Cara terbaik untuk menghindari jatuhnya korban jiwa karena kemampuan militer Indonesia masih jauh di bawah militer Belanda.
2.
Cara untuk mengundang simpati dari dunia internasional.
3.
Perdamaian dengan gencatan sejata dapat memberi waktu bagi tentara Indonesia untuk melakukan konsolidasi.
3
Dampak dari Perundingan Linggarjati adalah berkurangnya dukungan terhadap Perdana Menteri Syahrir karena bertanggung jawab atas berkurangnya wilayah Indonesia yang kemudian berujung pada kejatuhan Kabinet Syahrir. Meskipun dikatakan merugikan bagi Indonesia, Perundingan Linggarjati berhasil mengundang simpati internasional yang ditandai dengan adanya pengakuan kedaulatan dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afghanistan, Myanmar, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet.
SUPER "Solusi Quipper" Isi Perundingan Linggarjati bisa kita ingat melalui kumpulan kata kunci berikut. Belanda menDEPAK (de facto) SUWARA (Sumatra, Jawa, Madura) RIS bersama UNI dan Ratu Belanda.
B. Agresi Militer Belanda I Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra yang dimulai 27 Juli – 5 Agustus 1947. Agresi Militer Belanda I dilatarbelakangi oleh perselisihan antara Belanda dan RI akibat perbedaan penafsiran mengenai Perundingan Linggarjati, yaitu status RI. Belanda menganggap RI adalah bagian dari negara persemakmurannya setelah Perundingan Linggarjati. Hubungan RI-Belanda semakin memanas ketika 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum yang harus dijawab dalam 14 hari. Berikut isi dari Nota Ultimatum tersebut. 1.
Membentuk pemerintahan bersama.
2.
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga bersama.
3.
Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda.
4.
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama (gendarmerie) termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda.
5.
Menyelenggarakan pemilikan bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri Syahrir tidak menyetujui poin gendarmerie. Hal ini menyebabkan Belanda tidak mengakui lagi Perundingan Linggarjati pada 20 Juli 1947 melalui pernyataan dari Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adapun tujuan Agresi Militer Belanda adalah sebagai berikut.
4
1.
Mengepung ibu kota Jakarta.
2.
Merebut daerah-daerah penghasil makanan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah perkebunan tembakau di Sumatra Timur.
3.
Menghancurkan kekuatan tentara Indonesia.
Agresi Militer Belanda I dimulai malam hari pada 21 Juli 1947 di Jawa dan Sumatra. Akan tetapi, kekuatan TNI belum cukup kuat menghadang serangan Belanda sehingga TNI terpencar dan melakukan perang gerilya. Taktik gerilya cukup efektif karena berhasil membatasi gerak tentara Belanda. Gerak pasukan Belanda hanya terbatas di kota-kota, sedangkan TNI masih berkuasa di hutan dan desa-desa. Agresi Militer Belanda I banyak memakan korban, beberapa tokoh nasional yang menjadi korban dari Agresi Militer Belanda I adalah Adi Sucipto, Abdurahman Saleh, dan Adi Sumarmo yang gugur setelah pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh di Yogyakarta. Tindakan Agresi Militer Belanda mengundang berbagai kecaman internasional, seperti kecaman dari negaranegara Timur Tengah, Inggris, bahkan India serta Australia meminta agar Agresi Militer Belanda 1 dimasukkan dalam berita acara Dewan Keamanan PBB. Pada 4 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan 4.3 Iring-iringan pasukan Belanda dalam resolusi gencatan senjata. Atas tekanan Gambar agresi militer Belanda 1. PBB, gencatan senjata untuk menghentikan Sumber: id.wikipedia.org agresi militer disetujui Belanda pada 15 Agustus 1947. Pada 25 Agustus 1947, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai penengah penyelesaian konflik antara RI dengan Belanda selanjutnya.
C. Perundingan Renville Penyelesaian Agresi Militer Belanda 1 diprakarsai oleh KTN selaku wakil PBB di Indonesia. Adapun anggota KTN adalah sebagai berikut. 1.
Richard Kirby dari Australia sebagai Wakil Indonesia.
2.
Paul van Zeeland dari Belgia sebagai Wakil Belanda.
3.
Frank Graham dari Amerika sebagai penengah.
5
Perundingan Renville merupakan salah satu usaha KTN untuk mengakhiri konflik Indonesia-Belanda. Adapun pelaksanaan Perundingan Renville dihadiri oleh: 1.
Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifuddin;
2.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo; dan
3.
Delegasi KTN dipimpin oleh Frank Porter Graham dari Amerika Serikat.
Gambar 4.4 Suasana perundingan Renville. Tampak Haji Agus Salim salah satu wakil Indonesia. Sumber: id.wikipedia.org
Perundingan tersebut dilaksanakan di atas geladak Kapal Amerika Serikat, USS Renville pada 8 Desember 1947 dan ditandatangani pada 17 Januari 1948 yang isinya sebagai berikut. 1.
Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2.
Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3.
TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Gambar 4.5 Wilayah Indonesia (merah) setelah perundingan Renville. Sumber: Wikipedia.org
SUPER "Solusi Quipper" Untuk mengingat isi Perundingan Renville, kalian bisa ingat kumpulan kata kunci berikut. Belah Tengah Yoga Sumo Pisah Mundur (Belanda – Jawa Tengah – Yogya – Sumatra – Memisahkan – Mundur)
6
Perundingan ini makin mempersulit posisi Indonesia karena wilayah RI makin sempit. Kesulitan itu bertambah setelah Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap Indonesia dan Indonesia terpaksa harus menarik mundur TNI dari daerah-daerah gerilya kemudian hijrah ke wilayah Indonesia yang paling dekat. Walaupun Perundingan Renville merugikan, pemerintah Indonesia mempunyai pertimbangan sebagai berikut. 1.
Persediaan amunisi TNI untuk perang semakin menipis. Apabila menolak perundingan, dikhawatirkan timbul peperangan yang akan timbul korban besar di pihak TNI.
2.
Dewan Keamanan PBB memberikan jaminan kepada Indonesia untuk menolong dengan melakukan pemungutan suara yang akan dimenangkan oleh pihak Indonesia.
Akibatnya, timbul reaksi keras di kalangan pemimpin-pemimpin RI yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang dianggap telah menjual negara kepada Belanda. Pada 29 Januari 1948, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kemudian digantikan oleh kabinet Hatta. Kerugian yang diterima Indonesia akibat Perundingan Renville menyebabkan terjadinya beberapa pemberontakan dalam negeri. 1.
Amir Syarifuddin yang kecewa akhirnya menjadi oposisi kabinet Hatta dan bersama Muso mengadakan pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948.
2.
Kartosuwiryo sebagai pemimpin laskar Hizbullah enggan menarik mundur pasukannya dari kantong gerilya di Jawa Barat dan mendirikan Negara Islam Indonesia pada 4 Agustus 1949.
D. Agresi Militer Belanda II Agresi Militer Belanda II dimulai 19 Desember 1947. Belanda memanfaatkan situasi politik Indonesia yang sedang kacau karena pemberontakan PKI Madiun setelah Perundingan Renville. Perundingan Renville membawa dampak buruk bagi situasi politik Indonesia. Indonesia terpaksa menarik mundur TNI dari daerah gerilya sehingga menimbulkan kecaman dari kalangan pemimpin RI yang berujung jatuhnya Kabinet Amir Syarifudin. Pada kelanjutannya, Amir Syarifudin menjadi oposisi bagi kabinet Hatta dan terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.
7
Belanda mengambil kesempatan untuk mengambil alih Indonesia. Adapun dalih Belanda untuk melakukan Agresi Militer II adalah RI tidak menjalankan hasil perundingan Renville karena terjadi pelanggaran gencatan senjata oleh RI. Hal ini menyebabkan Belanda tidak mengakui lagi Perundingan Renville. Pernyataan ini disampaikan pada 18 Desember 1948. Sebagai tindak lanjut dari pernyataan Belanda, pada 19 Desember 1948, pukul 06.00, Belanda melakukan serangan ke lapangan udara Maguwo. Dalam tempo singkat, Belanda berhasil menguasai ibu kota RI, Yogyakarta. Selain menguasai Yogyakarta, Belanda juga menangkap pemimpin RI, seperti Soekarno (presiden RI), Hatta (Perdana Menteri RI), Syahrir (Penasihat Presiden), dan Agus Salim (Menteri Luar Negeri). Keberhasilan Belanda menangkap para pemimpin RI karena para pemimpin RI bersikeras tinggal di Yogyakarta agar tetap dekat dengan KTN. Tujuan Belanda melakukan Agresi Militer II adalah menunjukkan pada dunia pemerintahan RI dan kekuatan militernya sudah tidak ada lagi.
1.
Reaksi RI terhadap Agresi Militer Belanda II a.
Bidang Politik Sebelum penangkapan para pemimpin RI, Presiden Soekarno berhasil mengirimkan pesan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) agar pemerintahan RI tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Gambar 4.6 Pejuang Indonesia sedang siaga di perbatasan Yogyakarta. Sumber: Wikipedia.org
Apabila Syafruddin Prawiranegara tidak dapat menjalankan tugasnya, presiden memerintahkan Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis yang ada di New Delhi, untuk membentuk pemerintahan RI di India. PDRI berhasil mengirimkan pesan kepada PBB pada 23 Desember 1948, RI bersedia menghentikan peperangan dan berunding dengan Belanda. Tindakan RI mendapatkan dukungan dari dunia internasional. 1.)
PBB mengeluarkan resolusi untuk menghentikan pertempuran. Pada 28 Januari 1949, KTN dibubarkan dan diganti dengan UNCI (United Nations Commisions for Indonesia).
8
b.
2.)
India dan Pakistan yang melarang pesawat Belanda untuk mendarat di wilayah India dan Pakistan.
3.)
Amerika Serikat yang menghentikan semua bantuan ke Belanda hingga Belanda menghentikan permusuhan dengan RI.
Bidang Militer Jatuhnya Ibu Kota Yogyakarta diperkirakan oleh Belanda akan membuat kekuatan TNI hancur, namun perkiraan Belanda salah. TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman masih mampu melakukan perang gerilya dan pergerakan TNI cukup merepotkan Belanda. Peran dari Kolonel A.H. Nasution juga patut diperhitungkan dengan gagasannya dalam Perintah Siasat No. 1. TNI harus menyusup ke belakang garis musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga Pulau Jawa menjadi medan gerilya yang luas. Puncak dari peranan TNI dalam Agresi Militer Belanda II adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang ditujukan untuk merebut Ibu Kota Yogyakarta dari Belanda. Serangan Umum 1 Maret 1949 meraih keberhasilan. TNI berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 Jam dan berhasil menyiarkan ke seluruh dunia tentang keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949. Arti penting Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah TNI berhasil menunjukkan pada dunia bahwa pemerintah RI masih memiliki kekuatan dan sanggup mempertahankan kemerdekaannya.
2.
Dampak Agresi Militer Belanda II Akhirnya, desakan dari Amerika Serikat pada 7 Februari 1949 dan negara-negara anggota PBB membuat Belanda mau menerima resolusi PBB untuk menghentikan pertempuran. Atas prakarsa UNCI, RI dan Belanda dipertemukan dalam Perundingan Roem-Royen yang dimulai sejak 7 Mei 1949 untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut. Pada 24-29 Juni 1949, Belanda mulai menarik mundur tentaranya dari Yogyakarta.
E. 1.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Arti dan Definisi PDRI kepanjangan dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. PDRI dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara setelah jatuhnya ibu kota Yogyakarta dan ditangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim.
9
Pembentukan PDRI mempunyai arti bahwa pemerintahan Indonesia tetap berfungsi walaupun para pemimpin RI dan ibu kota RI telah jatuh ke tangan Belanda. Selain itu, adanya PDRI membuat RI memperoleh dukungan internasional ketika Belanda memberitakan RI sudah tidak ada. Ternyata, PDRI mampu menunjukkan pemerintahan RI masih ada dan berfungsi. PDRI mampu mengirimkan pesan kepada PBB pada 23 Desember 1948 untuk mengajukan gencatan senjata dan mengadakan perundingan dengan Belanda.
2.
Latar Belakang Pembentukan Latar belakang pembentukan PDRI adalah tertangkapnya Soekarno dan Hatta dalam aksi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Sesaat sebelumnya, pemerintah sempat mengirimkan pesan kawat pada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk PDRI. Pesan kawat yang kedua bahwa apabila usaha Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI gagal di Sumatra maka mandat diserahkan pada Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N. Palar untuk membentuk pemerintah pelarian RI di India.
Gambar 4.7 Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI. Sumber: Wikipedia.org
Pada 22 Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara, Teuku Mohammad Hasan, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Manati Sitompul, dan Sutan Muhammad Rusli mengadakan rapat di Halaban, Payakumbuh, Sumatra Barat. Rapat ini menghasilkan keputusan PDRI dibentuk dengan susunan pemerintahan sebagai berikut.
3.
a.
Ir. Syafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/ Menteri Luar Negeri ad interim.
b.
Mr. T. M. Hassan: Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/ Menteri PPK/Menteri Agama.
c.
Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda.
d.
Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan/ Menteri Kehakiman.
e.
Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum/ Menteri Kesehatan.
f.
Ir. Indracaya: Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
Penyerahan Mandat Pemerintahan Saat Agresi Militer Belanda II dilaksanakan, Soekarno dan beberapa pejabat negara memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta agar tetap dekat dengan KTN walaupun dengan risiko akan ditangkap Belanda.
10
Pada 19 Desember 1948 pagi, sebelum penyerangan Belanda ke Yogyakarta, Kabinet Hatta melakukan sidang untuk memutuskan jika terjadi sesuatu terhadap pemimpin negara maka pemerintah akan memberikan mandat pada Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran untuk membentuk Pemerintahan Darurat. Untuk menjaga kemungkinan pemerintahan RI tetap berfungsi, sebelum Soekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda, pemerintah memberikan pesan kawat kepada Syafruddin Prawiranegara dan perwakilan RI di India. Isi kawat pesan tersebut sebagai berikut. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Kedua, jika usaha Syafruddin gagal maka mandat diberikan kepada Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N. Palar yang sedang ada di India untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Ternyata, Syafruddin tidak pernah menerima kawat itu. Akan tetapi, beliau tetap berinisiatif untuk membentuk pemerintahan sendiri. Inisiatif ini berdasarkan permintaan Hatta pada November 1948 yang telah mengajak Syafruddin ke Bukittinggi dan memintanya tetap di sana untuk mempersiapkan berdirinya pemerintahan darurat. Permintaan Hatta didasarkan pada hubungan Belanda–RI yang memanas setelah perundingan Renville. Menurut Hatta, akan ada Gambar 4.8 Rumah Syafruddin Prawiranegara yang dijadikan kantor PDRI. kemungkinkan serangan Belanda dan jika ibu Sumber: Wikipedia.org kota RI di Jawa jatuh. Oleh karena itu, Syafruddin harus membentuk pemerintahan darurat agar pemerintahan RI tetap berfungsi. Pada 22 Desember 1948, setelah mendengar berita jatuhnya Yogyakarta, Syafruddin Prawiranegara, Teuku Mohammad Hasan, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Manati Sitompul, dan Sutan Muhammad Rusli mengadakan rapat di Halaban, Payakumbuh,
11
Sumatra Barat. Rapat ini menghasilkan keputusan PDRI dibentuk dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua. Pembentukan PDRI juga mendapatkan dukungan dari Jenderal Sudirman beserta TNI dan rakyat Indonesia terutama yang ada di Sumatra. Oleh sebab itu, berkat dukungan rakyat dan pejabat pemerintahan, PDRI dapat menjalankan tugasnya untuk melanjutkan perjuangan RI.
4.
Kecaman dari Internasional Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda II. Sementara di Indonesia, pasukan Belanda tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Hal ini disebabkan oleh faktor berikut. a.
TNI berhasil menerapkan strategi perang gerilya sehingga Belanda hanya berhasil menguasai kota besar, sedangkan tempat selain kota, seperti desa dan hutan, tetap menjadi daerah kekuasaan TNI.
b.
Pembentukan PDRI dan keberhasilan memancarkan berita tentang kelanjutan perjuangan RI menunjukkan RI masih tetap ada walaupun para pemimpinnya telah ditangkap.
Keberhasilan TNI dan pembentukan PDRI membuka mata dunia sehingga menimbulkan kecaman di dunia internasional kepada Belanda. Bentuk kecamannya ditunjukkan oleh beberapa negara berikut. a.
Kecaman dari Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan yang merupakan boneka Belanda.
b.
Konferensi Asia yang diusulkan Myanmar dan India pada 20–23 Januari 1949 di New Delhi, India. Konferensi ini dihadiri oleh negara Asia, Afrika, dan Australia untuk membahas masalah Indonesia yang kemudian disampaikan ke PBB.
c.
PBB mengutuk tindakan Belanda karena tidak menghormati PBB dengan melanggar perundingan Renville yang ditandatangani di depan KTN yang merupakan wakil dari PBB.
d.
Kecaman Amerika Serikat berupa penghentian bantuan ekonomi kepada Belanda hingga Belanda mau menghentikan agresinya.
PDRI juga melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda di Sumatra, yang ditandai adanya pemerintahan daerah militer di Aceh, Tapanuli, Riau, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan. Selain itu, adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI yang berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam, membuat Belanda semakin tersudut di mata internasional.
12
Arti Penting Serangan Umum 1 Maret 1949: RI dan TNI berhasil menunjukkan pada dunia bahwa RI masih mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengadakan perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan. Hal ini memaksa Belanda untuk mengadakan gencatan senjata dan perundingan dengan RI. Adapun perundingan-perundingan tersebut, yaitu perundingan Roem-Royen, Perundingan Inter Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.
5.
Pengembalian Mandat Pemerintahan Pengembalian mandat dari PDRI ke Pemerintah Indonesia berkaitan erat dengan Perundingan Roem-Royen. Hasil Perundingan Roem-Royen menyebabkan Belanda harus mengembalikan para pejabat pemerintahan yang ditawan. Pada 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta. Kembalinya presiden dan wakil presiden beserta pejabat lainnya ke Yogyakarta menyebabkan terjadinya dualisme pemerintahan RI. Untuk mengatasi masalah tersebut, RI mengutus Dr. J. Leimena, Moh. Natsir, dan dr. Halim ke Bukittinggi untuk meminta Syafruddin Prawiranegara datang ke Jakarta. Awalnya, perundingan ini berjalan alot karena dalam Perundingan Roem-Royen, PDRI tidak diundang untuk ikut-serta dan Perundingan Roem-Royen yang merugikan Indonesia. Akan tetapi, untuk menjaga Indonesia dari perpecahan, Syafruddin mau datang ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandatnya ke pemerintah Indonesia dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949.
13