Vol. 2 No. 1, Februari 2017
ISSN : 2528-3057
MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN Terbit 2 kali setahun (Agustus dan Februari)
Ketua Redaksi Desi Maharani Agustini Sekretaris Redaksi Bambang Kurnadi Redaksi Pelaksana Riszqina Malikah Umar Joko Purdiyanto Suparno Desi Kurniati Agustina
Mitra Bestari Syarif Imam Hidayat (UPN. Veteran Jatim) Sudiyarto (UPN. Veteran Jatim) Edhy Sudjarwo (Universitas Brawijaya Malang) Puguh Surjowardojo (Universitas Brawijaya Malang) Wehandaka Pancapalaga (Universitas Muhamadiyah Malang) Irma Susanti (Universitas Sulawesi Barat) Sekretariat Selvia Nurlaila
Diterbitkan oleh Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Madura Alamat Redaksi Program Studi Peternakan Kampus Universitas Madura Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327418 e-mail :
[email protected]
MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN Vol. 2 No. 1, Februari 2017
ISSN : 2528-3057
KARAKTERISTIK FENOTIP DAN PENGEMBANGAN SAPI ACEH DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Ainur Rasyid, Y. Adinata, Yunizar, dan L. Affandhy ………………………………… APLIKASI PUPUK HAYATI (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZO BACTERIA) YANG TELAH DISIMPAN TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG Var. BISMA Nurul Hidayati, Hamim, dan Nisa Rachmania Mubarik ……..……………………… PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG BAWANG PUTIH (Allium sativum L) SEBAGAI FEED ADDITIVE ALAMI DALAM PAKAN TERHADAP KUALITAS EKSTERNAL DAN INTERNAL TELUR PADA BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) Muhammad Aminul Zuhri, Edhy Sudjarwo dan Adelina Ari Hamiyanti …………... ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DI KECAMATAN AMBUNTEN, KABUPATEN SUMENEP Suparno dan Desi Maharani……………………………………………………………… STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL BERDASARKAN PELUANG DAN TANTANGAN Suhartina dan I. Susanti S …..……………………………………………………………. IPTEK BAGI MASYARAKAT (IbM) PEMBERDAYAAN ANGGOTA PKK DAN KELOMPOK WANITA TANI DESA PANGGUNG KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG Riszqina dan D.K. Agustina …………….………………………………………………...
1 - 12
13 - 22
23 - 30
31 - 36
37 - 44
45 - 48
1 KARAKTERISTIK FENOTIP DAN PENGEMBANGAN SAPI ACEH DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Ainur Rasyid 1), Y. Adinata1), .Yunizar2), dan L. Affandhy1) 1)
, Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan e-mail :
[email protected], 2) , BPTP Nanggroe Aceh Darussalam
Abstrak Sapi Aceh merupakan kekayaan sumberdaya genetrik (SDG) salah satu rumpun sapi lokal Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan Kementerian Pertanian nomor 2907 tahun 2011, bahwa Sapi Aceh mempunyai keseragaman bentuk, fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan; sehingga perlu dilindungi, dilestarikan dan dikembangkan keunggulannya untuk kepentingan pemuliaan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik, pola pemeliharaan dan pengembangan Sapi Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Penelitian dilakukan secara survey pada beberapa kelompok atau wilayah pengembangan Sapi Aceh yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, dan Kabupaten Lhok Semauwe. Data dianalisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sapi Aceh dipelihara secara turun temurun oleh masyarakat Aceh dan berkembang biak di Propinsi NAD, mempunyai pola warna yang bervariasi mulai warna merah bata, kuning langsat, putih hingga berwarna hitam, dengan warna dominan adalah merah bata. Beberapa keunggulan Sapi Aceh antara lain, tahan terhadap penyakit di wilayah tropis, mempunyai adaptasi yang baik pada iklim ekstrem dan wilayah marginal, reproduksi baik dan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat Aceh. Pola pemeliharaan sebagan besar dilakukan secara tradisional yaitu dilepas atau digembalakan dan pengembangbiakan dilakukan secara kawin alam, yang dimungkinkan perkawinan antar keluarga (in breeding). Disimpulkan bahwa 1) Sapi Aceh telah berkembang biak di Propinsi NAD dan mempunyai pola warna yang bervariasi, maka untuk pemurnian dan pengembangan Sapi Aceh telah ditetapkan warna merah bata pada Sapi Aceh betina dan merah kehitaman untuk Sapi Aceh jantan; 2) Sapi Aceh dilakukan melalui pemberdayaan kelompok tani, dan pola pemeliharaan dilakukan secara intensif dan semi intensif (dilepas di dalam kandang pelumbaran/mini ranch); dan 3) sistem perkandangan untuk program pembibitan menggunakan kandang kelompok/kumunal (tanpa diikat) atau kandang komunal yang diikat secara individu. Sedangkan untuk penggemukan secara diikat secara individu dalam kandang kelompok/kumunal. Kata kunci: Sapi Aceh, karateristik Fenotipe, dan Pengembangan PENDAHULUAN Sapi Aceh merupakan kekayaan sumberdaya genetrik (SDG) salah satu rumpun sapi lokal Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan Kementerian Pertanian nomor : 2907/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni2011, bahwa sapi Aceh mempunyai keseragaman bentuk, fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan; sehingga perlu dilindungi, dilestarikan dan dikembangkan keunggulannya untuk kepentingan pemuliaan. Upaya pencapaian program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) tahun 2014 dengan proyeksi produksi dalam negeri sebesar 90-95 % dari kebutuhan daging nasional, maka sapi lokal menjadi salah satu tumpuan untuk dikembangkan, ditingkatkan populasi dan produktivitasnya. Sapi lokal mempunyai bobot badan lebih rendah daripada
sapi silangan, tetapi memiliki kelebihan dalam reproduksi dan daya adaptasinya terhadap lingkungan di Indonesia, sehingga mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber plasma nutfah dan bibit sapi potong (Anonimus, 2010). Berdasarkan Blue print PSDS tahun 2014, bahwa pertambahan populasi dan komposisi sapi lokal di Indonesia tahun 2014 diproyeksikan sebesar 65,86 % dan sapi non lokal (Brahman, limousine dan Simmental) sebesar 32,04 %. Sapi Aceh yang telah berkembang biak dengan baik di Propinsi NAD mempunyai pola warna yang bervariasi mulai warna merah bata, kuning langsat, putih hingga berwarna hitam,dengan warna dominan adalah merah bata. Beberapa keunggulan sapi Aceh antara lain mempunyai adaptasi yang baik pada iklim ekstrem dan wilayah marginal, reproduksinya baik dan tahan terhadap penyakit di wilayah tropis (Abdullah, et al., 2007). Daging Sapi Aceh
2 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017 lebih disukai oleh masyarakat Aceh karena mempunyai rasa yang khas dan enak serta mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Harga daging sapi Aceh di Propinsi NAD lebih tinggi dibanding dengan wilayah lainnya di Indonsia, terlebih pada saat menjelang hari “Meugang” yaitu menjelang bulan puasa dan hari Raya Lebaran. Pola pemeliharaan sapi potong di Propinsi NAD sebagian besar dilakukan secara ekstensif (tradisional), yaitu dilepas pada lahan kosong, tegalan atau padang pengembalaan dan pengembangbiakannya dilakukan secara kawin alam. Pengembangan teknologi kawin suntik (IB) dan masuknya beberapa rumpun sapi potong (Sapi Bali, Brahman, Limousin dan Simmental) ke Propinsi NAD serta motivasi peternak untuk mengembangkan sapi persilangan yang mempunyai produksi yang lebih baik dari sapi lokal, secara perlahan akan merubah komposisi genetik dan kepunahan sapi Aceh. Beberapa permasalahan utama yang terkait dengan pola pemeliharaan sapi Aceh di NAD antara lain terjadinya perkawinanan sedarah (in breeding), karenatidak ada recording dan pengaturan perkawinan sertaadanya seleksi negatif pada sapi jantan yang baik untuk digemukan. Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas sapi Aceh adalah melakukan pemurnian dan pengembangan sapi Aceh melalui programpembibitan dengan sistem perkawinan yang terkontrol. Data hasil penelitian sapi Aceh masih belum banyak dilaporkan. Dalam makalah ini diuraikan beberapa kateristik phenotype sapi Aceh, pola pemeliharaan dan pengembangan sapi Aceh sebagai bahan untuk meningkatkan produktiivitas sapi Aceh. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kareteristik, pola pemeliharaan dan pengembangan sapi Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian sapi Aceh dilakukan tahun 2011 s/d 2012 di Propinsi NAD pada beberapa wilayah pengembangan sapi Aceh yaitu, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Pidie, Bireuen dan Lhok Seumawe. Penelitian dilakukan dengan survey dan pengumpulan data dilakukan dengan
teknik observasi, wawancara dan pembinaan kelompok. Kegiatan ini dilakukan dengan berkordinasi dan melibatkan petugas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Aceh dan penyuluh dari BPTP NAD. Pengamatan dilakukan terhadap karateristik performans fenotip sapi Aceh, pola pemeliharaan dan pengembangan sapi Aceh. Pengukuran dilakukan terhadap ukuran tubuh sapi Aceh meliputi panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada. Kegiatan survey dilakukan pada beberapa kelompok atau wilayah pengembangan sapi Aceh yaitu Kabupaten Aceh Jaya pada kelompok tani “Rachmat Ilahi” Desa Lageun Kecamatan Setia Bakti dan Kelompok Mutuah Ternak Desa Padang Datar Kecamatan Kreung Sabee; Kabupaten Aceh Besar yaitu pada Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh Desa Reukih Dayah Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Pidie yaitu pada kelompok tani “Harapan Jaya” Desa Lam Ujong Kecamatan Sakti; Kabupaten Bireuen yaitu di Kecamatan Juli (Kelompok Tani Mulia Baru dan Beuna Raseuki Desa Simpang Mulia, Kelompok Sabena Rachmad Desa Juli Mee Teungoh) dan Kecamatan Jeumpa pada Kelompok Bos Indicus Desa Blang Seunong, Kabupaten Lhok Semauwe pada Kelompok Tani di Kecamatan Lhok Sukun, Kelompok “ Reuling Jaya” Desa Abeuk Reuling Kecamatan Sawang dan Kelompok “Usaha Bersama” Desa Ulee Nyeue Kecamatan Bandabaro. Data di analisis secara diskreptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karateristik Fenotip Sapi Aceh Sapi Aceh termasuk sapi potong tipe kecil, bentuk tubuh dan pola warna bulu sapi Aceh menyerupai sapi lokal (sapi Madura, Bali, Peranakan Ongole dan Sapi Pesisir) maupun Zebu yang didatangkan dari India (Abdullah et al., 2007). Beberapa pendapat menyatakan bahwa asal usul Sapi Aceh diduga berasal dari persilangan antara zebu dan Bos banteng yang terjadi pada ratusan tahun yang lalu, seperti yang terjadi pada Sapi PO di pulau Jawa (Gunawan dalam Abdulah, 2007). Namun berdasarkan susunan basa nukleotida bahwa Sapi Aceh lebih dekat pada maternal zebu dibanding dengan Bos taurus, dengan persamaan susunan basa nukleotida Sapi Aceh dengan Bos indicus adalah sebesar 94,36% dan terhadap Bos taurus sebesar 88,52% (Abdullah et al., 2007).
Rasyid, Karakteristik Fenotip dan Pengembangan Sapi Aceh … 3 Sedangkan hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa, Sapi Aceh berasal dari Sapi India (Bos indicus) yang kemudian mengalami hibridisasi dengan Bos javanicus, dimana proses domestikasinya seperti yang terjadi pada Sapi Bali di Indonesia (Abdullah et al., 2008a; 2008b). Pola warna Sapi Aceh yang berkembang biak di Propinsi NAD adalah bervariasi mulai warna merah bata, kuning langsat, putih hingga berwarna hitam, dengan warna dominan adalah merah bata. Secara umum warna bulu tubuh sapi Aceh dikelompokan menjadi kombinasi warna terang yang didominasi oleh coklat muda (31 %), putih kemerahan ( 9,75 %), putih (4,75 %) dan putih keabuan (0,75 %); dan kombinasi warna gelap didominasi oleh warna merah bata (33,7 %), coklat (9 % ), hitam (5,75) dan coklat kehitaman sebesar 5,25 % (Abdullah et al. (2007). Pola warna dominan dan telah ditetapkan sebagai warna bulu Sapi Aceh adalah merah bata pada sapi betina dan merah coklat pada sapi jantan (Tabel 1). Warna bulu Sapi Aceh terkadang terdapat sedikit warna putih pada bagian kepala, dimana warna tersebut dianggap menyimpang dan tidak disukai oelh peternak. Tabel 1. Bentuk dan Warna Tubuh Sapi Aceh yang Telah Ditetapkan (Permentan 2907 Tahun 2011). No
Bagian tubuh
1
Tubuh dominan
2
Kepala
3
Leher
4 5 6 7 8
Garis punggung Paha belakang Pantat Kaki Ekor
9 10 11
Bentuk muka Bentuk punggung Bentuk tanduk
12
Bentuk telinga
Uraian-bentuk dan warna tubuh Merah kecoklat (jantan), merah bata (betina) Disekeliling mata, telinga bag. dalam & bibir atas keputihan Lebih gelap pada yang jantan Coklat kehitaman Merah bata Coklat muda Keputih-putihan Bagian ujung berwarna hitam Umumnya cekung Umumnya cekung Ke arah samping dan melengkung ke atas Kecil, mengarah ke samping, dan tidak terkulai
Performan Produksi Berdasarkan bobot badan dan ukuran tubuh menunjukan bahwa Sapi Aceh lebih kecil dibanding dengan Sapi Bali, PO maupun Sapi Madura, tetapi lebih besar dari pada Sapi Pesisir di Padang Sumatera Barat (Abdullah et al., 2007). Kondisi bobot badan Sapi Aceh yang semakin kecil diduga karena terjadinya in breeding dan seleksi negative pada sapi jantan yang baik untuk penggemukan dan yang jelek tetap dikembang biakkan. Pola pemeliharaan Sapi Aceh yang sebagian besar dilepas di padang pengembalaan sangat dimungkinkan terjadi perkawinan sedarah (in-breeding). Armansyah (2011) melaporkan bahwa peternak di Aceh umumnya lebih suka memelihara ternak betina daripada ternak jantan karena sapi betina selain dapat dipergunakan sebagai induk, dapat dipekerjakan di sawah. Kondisi ini akan berakibat terhadap minimnya sapi jantan yang berkualitas sebagai pemacek sehingga akan memicu terjadinya inbreeding. Berdasarkan data statistik daerah Propinsi. NAD tahun 2011 bahwa populasi sapi potong di Aceh tahun 2010 tercatat sebesar 671.086 ekor (Anonimus, 2011a), Sedangkan berdasarkan data hasil akhir sensus PSPK 2011 bahwa populasi sapi potong di Propinsi NAD tercatat sebesar 462.840 ekor (Anonimus, 2011c). Perbedaan data populasi sapi Aceh di Propinsi. NAD disebabkan oleh yang waktu dan metode perhitungan yang berbeda. Populasi sapi potong di Propinsi NAD terbesar terdapat di Kabupaten Aceh Utara (88.615 ekor), Aceh Besar (59.454 ekor) dan Aceh Timur yaitu 58.111 ekor (Anonimus, 2011d). Populasi sapi potong di Propinsi. NAD termasuk urutan nomor 3 di Pulau Sumatera (2.724.384 ekor) setelah Propinsi. Lampung (742.776 ekor) dan Sumatera Utara (541.698 ekor). Data performans bobot badan dan ukuran tubuh Sapi Aceh yang tetapkan dalam permentan tahun 2011 adalah lebih tinggi dari pada beberapa data penelitian terdahulu (Tabel 2). Kondisi ini diduga disebabkan waktu dan lokasi pengambilan data yang berbeda. Hasil rumusan Sapi Aceh dibeberapa sentra Sapi Aceh di NAD bahwa bobot badan sebesar 192,7 kg, tinggi badan 105,6 cm, panjang badan 109,09 cm dan lingkar dada sebesar 134,8 cm (Anonimus, 2010b).
4 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017 Tabel 2. Performans Produksi Sapi Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
No 1 2 3 4 5
Uraian Jumlah n (ekor) Bobot badan (kg) Tinggi badan (cm) Panjang badan (cm) Lingkar dada (cm)
1 ♀ 14 100,79 ±6,7 106,5 ± 7,9 123,4 ± 8,6
2 ♂ 131 176,05 101,5 135,25
3 ♀ 269 158,26 99,19 128,52
♂ 33 192, 7±55,9 103,5 ±6,1 101,9 ±8,6 144,0 ± 33,0
♀ 191 172,4± 34,4 101,6± 6,1 99,4± 8,01 131,4± 9,5
Sumber 1. : Kelompok “Rahmat Ilahi” Kabupaten Aceh Jaya 2. : Abdullah et al., 2007 3. : BPTU Sapi Aceh (2010) Indrapuri (Data diolah kembali).
Kinerja Reproduksi
Pelestarian dan Penetapan Sapi Aceh
Keunggulan reproduksi sapi lokal yang sudah berkembang di Indonesia antara lain mampu menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, mempunyai masa produktif yang panjang (beranak lebih dari sepuluh kali) bila dipelihara dengan baik, dan dapat dipelihara secara intensif maupun ekstensif (Blue print PSDSK 2014). Sedangkan keunggulan reproduksi Sapi Aceh, yaitu mempunyai tingkat kesuburan (fertilitas) induk sebesar 86-90 %, angka kelahiran 65-85 % dan umur pubertas 300 – 390 hari (Tabel 3). Tingkat kesuburan yang baik pada sapi Aceh karena Sapi Aceh termasuk sapi tipe kecil; dimana sapi yang mempunyai ukuran tubuh lebih kecil mempunyai tingkat efisiensi reproduksi (tingkat kebuntingan dan kelahiran) yang lebih baik dari pada sapi yang mempunyai ukuran besar (Olson, 1993).
Sapi Aceh yang telah berkembang biak di Propinsi NAD dan secara turun temurun dipelihara oleh masyarakat Aceh dengan beberapa keunggulan yang dimilikinya, perlu dilakukan pelestarian dan dikembangkan keunggulannya karena dikhawatirkan terjadi persilangan yang tidak diharapkan. Perkembangan teknologi kawin suntik (IB) dengan straw Bos taurus dan masuknya beberapa rumpun sapi potong (Sapi Madura, Bali dan Brahman) ke Propinsi. NAD secara perlahan akan merubah komposisi genetik Sapi Aceh. Oleh karena itu pelestarian (pemurnian) dan menetapkan karateristik Sapi Aceh perlu dilakukan, sebagai salah satu rumpun sapi lokal Indonesia. Berdasarkan data statistik tahun 2011 menunjukan bahwa populasi sapi potong di Propinsi NAD tahun 2011 diperkirakan sebesar 462.840 ekor; dengan populasi terbesar (92,58 %) adalah Sapi Aceh, sisanya merupakan Sapi Bali (4,27 %), Sapi Madura dan Sapi Brahman cross sebesar 3,15 %(Anonimus, 2011b). Strategi dan kebijakan yang menjadi perioritas utama dalam percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2014 adalah perbibitan dan pemulia biakan sapi nasional melalui program pelestarian/pemurnian sapi lokal dan pengembangan bangsa sapi komersial Indonesia (Anonimus, 2010). Bahri (2012) menyatakan bahwa untuk mempertahankan populasi Sapi Aceh dari kepunahan, maka diperlukan kebijakan dari pemerintah pusat dan Pemda dalam untuk mengembangbiakan Sapi Aceh melalui pembibitan dan pemurnian Sapi Aceh serta membatasi kegiatan persilangan untuk tujuan yang tidak jelas. Program pelestarian Sapi Aceh telah ditetapkan di pulau Raya. Kabupaten Aceh Jaya dan Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Tabel 3. Beberapa Sifat Kualitatif Sapi Aceh (Permentan 2907 Tahun 2011) No.
Sifat Kualitatif
1 2 3 4 5
Kesuburan induk Angka kelahiran Persentase karkas Kadar lemak daging Kemampuan hidup hingga dewasa
Penilaian (%) 85-90 60-72 52-55 3-6 70-85
Secara kualitatif beberapa keunggulan Sapi Aceh dilaporkan oleh Mannan (2011) bahwa Sapi Aceh mempunyai kemampuan kerja yang baik, mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap pakan terbatas, air minum payau/buruk, tekanan panas, serangan parasit. Disamping itu mempunyai kemampuan mencerna pakan dan serat kasar tinggi dan hidup secara liar.
Rasyid, Karakteristik Fenotip dan Pengembangan Sapi Aceh … 5 Untuk mendukung program pemurnian dan pengembangan Sapi Aceh telah tersedia Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh di Indrapuri, yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal Peternakan yang melakukan pembibitan Sapi Aceh sebagai sumberdaya lokal unggul. Tujuan dan sasaran yang akan dicapai BPTU adalah (1) Meningkatkan produktifitas Sapi Aceh untuk meningkatkan persediaan bibit Sapi Aceh, (2) Meningkatkan pendapatan peternak dan (3) adalah melestarikan sumber daya plasma nutfah Sapi Aceh. Populasi Sapi Aceh di BPTU Indrapuri tahun 2012 berjumlah sekitar 619 ekor. BPTU Sapi Aceh Indrapuri mempunyai lahan dengan luas sebesar 430 ha, dengan topografi yang berbukitbukit, lembah dan datar pada bagian tengahnya dengan ketinggian 30-80 m dari permukaan laut. Untuk meningkatkan produktivitas Sapi Aceh yang ada di BPTU Sapi Aceh telah dilakukan introduksi pejantan Sapi Aceh hasil penjaringan sebanyak 2 ekor (nomor G.005 dan G.006) dari anggaran Loka Penelitian Sapi Potong tahun 2010. Sapi Pejantan tersebut digunakan dalam kelompok betina dengan rasio satu pejantan mengawini sebanyak 30-40 ekor betina.Data sampai terakhir pengamatan (bulan Juni 2012) menunjukan bahwa sapi induk yang dikawinkan dengan pejantan tersebut masih dalam kondisi bunting dan 1 ekor telah melahirkan. Dari sebanyak 26 ekor sapi yang di periksa kebuntingannya (PKB), sebanyak 13 ekor (50 %) bunting, tdk bunting 12 ekor(45 %) dan dubius 1 ekor (5 %). Rendahnya tingkat kebuntingan disebabkan pejantan yang dikumpulkan dengan sapi induk belum mencapai 4 bulan, karena sebelumnya masih terjadi perbaikan kandang kelompok kawin. Pola pemeliharaan Sapi Aceh di BPTU Indrapuri adalah secara semi intensif yaitu dikandang dan dilepas pada pelumbaran pada pagi sampai siang hari dan sore hari dimasukan pada kandang kelompok. Pola perkawinan dilakukan di kandang kelompok kawin dengan pejantan pemacek terpilih dan untuk sapi-sapi yang telah positip bunting > 3 bulan dilakukan pemeliharaan secara dilumbar dan dikandang malam hari. Sedangkan pada sapi pejantan yang tidak digunakan pejantan di pelihara dalam kandang. Pakan yang diberikan adalah hijauan (rumput gajah) dan pakan penguat yang terbuat dari dedak padi, batang sagu aren dll. Hijauan diberikan sebanyak 10 % dari bobot badan dan pakan penguat sebanyak 2 kg /ekor/hari.
Pola Pemeliharan dan Pengembangan Sapi Aceh Pemeliharaan Sapi Aceh tidak terlepas dari sosial budaya masyarakat Aceh, umumnya dilakukan masyarakat pedesaan sebagai usaha sampingan dalam skala usaha yang rendah, dan mengandalkan potensi alam sebagai sumber pakan. Sapi Aceh dapat dipelihara dengan modal sangat rendah, dan dengan biaya input (pakan) yang rendah pula (hampir nol rupiah) Sapi Aceh dapat menghidupi petani/peternak tanpa peternak menghidupi sapinya (Abdullah, 2009). Pola pemeliharaan sapi potong di Propinsi. NAD sebagian besar dilakukan secara tradisional, yaitu dilepas atau digembalakan dengan membentuk kelompok-kelompok di area pengembalaan atau lahan pertanian yang belum ada tanaman pertanian, dan pengembangbiakan dilakukan secara kawin alam. Sistem perkandangan terkait dengan pola pemeliharaan menggunakan 3 cara, yaitu dilepas pada siang hari dan pada malam hari dikandangkan (81,40 %), dikandangkan secara terus menerus (13,9 %) dan sebagian kecil (4,7 %) dilepas tanpa dikandangkan (Anonimus, 2011b).Tujuan pemeliharaan sapi potong di Propinsi NAD dibedakan untuk penghasil anak dan penghasil daging atau penggemukan (Tabel 4). Jumlah sapi dalam lahan penggembalaan umum bervariasi 10 - 30 ekor sapi dengan luas lahan sebesar 10 – 50 ha dan dikelola oleh 10 – 30 peternak. Lahan penggembalaan dapat juga dimiliki oleh perorangan dan umumnya memiliki luas lahan kurang dari 10 ha dengan kepemilikan ternak berkisar 10 – 30 ekor (Efendy, 2011). Beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan pada pemeliharaan sapi potong yang digembalakan antara lain terjadinya perkawinan antar keluarga (in breeding), mengganggu tanaman pertanian, serta ketertiban umum atau lalu lintas terutama ternak yang berkeliaran di perkotaan dan di pinggir jalan. Pemerintah daerah (seperti di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie dan Biruen) telah memperlakukan peraturan daerah untuk tidak melakukan pemeliharaan sapi secara dilepas secara bebas. Namun peraturan daerah (qanun) yang telah disepakati bersama masyarakat peternak untuk mengandangkan ternaknya masih sulit dilakukan.
6 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017 Tabel 4. Tujuan dan Pola Pemeliharaan Sapi Potong di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pola pemeliharaan No
Uraian
1 2
Tujuan pemeliharaan Skala usaha (ekor)
Penghasil pedet dan bakalan 10-30
Penghasil pedet dan bakalan 2-5
Penghasil pedet dan bakalan serta daging (Penggemukan) 2-3
3
Pola pemeliharaan
Dilepas siang hari, malam hari di kandang
Ditambatkan sekitar rumah dan dikandang
Dikadang terus menerus
4
Agroekosistim
Ladang & sawah yg tdk ditanami/telah dipanen, sekitar lahan perkebunan
Lahan pertanian Sawah ataupalawija
Lahan pertanian sawah atau palawija
5
Pakan dan sumberpakan
Dilepas, dikandang & tanpakandang, kandang pelumbaran Semua wilayah, pengembalaan umum, pinggiran hutan, ladang,sawah bera, dll. Rumput lapang, semak belukar.
Rumput lapang& jerami, Tidak ada pakan tambahan
Budidaya rumput unggul
Budidaya rumput unggul
Ekstensif
Semi intesif
Intesif
Sumber :Effendi (2011)data diolah kembali Beberapa faktor yang mendukung pola pemeliharaan secara dilepas antara lain banyak lahan yang belum dimanfaatkan untuk pertanian dan ditumbuhi rumput alam dan tanaman semak yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak, jumlah penduduk yang masih rendah dibanding dengan luas wilayah yang ada dan motivasi peternak yang enggan mengusahakan ternaknya dengan baik dan benar. Berdasarkan data statistik menunjukkan bahwa Propinsi Aceh dengan luas wilayah sebesar 56.770,81 km2, dimana sebesar 40,36 % merupakan kawasan hutan (ketinggian rata-rata sebesar 125 m dpl); Kepadatan penduduk rata-rata sebesar 78 jiwa/km2 dengan kisaran wilayah terkecil yaitu di Kabupaten Gayo Lues (14 jiwa /km2) dan terpadat di Kota Banda Aceh sebesar 3642 jiwa/km2 (Anonimus, 2011a). Pengembalaan ternak di area lahan pertanian biasanya dilakukan pada saat diluar musim tanam, sehingga peternak harus mengandangkan saat musim tanam dan menyediakan pakan untuk ternak yang di kandang. Pola pengembangan sapi potong di Propinsi NAD dilakukan melalui pemberdayaan kelompok tani ternak dan pola pemeliharaannya dilakukan secara intensif (dikandang terus menerus) dan semi intensif yaitu dikandang dan digembalakan disesuaikan dengan kondisi wilayah dan sumber pakan. Sistem perkandangan komunal
untuk kegiatan pembibitan maupun penggemukan yang banyak dilakukan di daerah perkampungan yang tidak memungkinkan untuk pemeliharaan secara dilepas. Sedangkan untuk daerah yang berdekatan dengan perbukitan/perhutanan dan lahan yang cukup luas dilakukan pemeliharaan dilakukan pada kadang pelubaran yang dibatasi dengan pagar (mini ranch). Penyediaan pakan ternak dilakukan dengan memanfaatkan sumber pakan lokal baik berupa rumput lapang, tanaman semak dan rumput unggul (rumput gajah) yang dibudidayakan, serta sedikit memanfaatkan hasil ikutan pertanian atau perkebunan. Rumput lapang biasanya banyak tumbuh di pinggir jalan, galangan sawah dan lahan lainnya yang tidak dimanfaatkan, dan tanaman semak yang banyak tumbuh di pada lahan yang tidak ditanami. Jerami padi merupakan salah satu sumber daya lokal yang sangat potensial sebagai sumber utama serat untuk pakan sapi dan ternak ruminansia lainnya, khususnya di wilayah pertanian tanaman pangan. Dwiyanto (2008) menyatakan bahwa pengembangan sapi potong untuk menghasilkan sapi bakalan melalui pola integrasi vertikal sistem zero waste atau CLS di sawah, tegalan, maupun areal perkebunan mempunyai prospek yang sangat baik, sehingga biaya pakan yang berasal dari sumber daya lokal dapat ditekan serendah mungkin.
Rasyid, Karakteristik Fenotip dan Pengembangan Sapi Aceh … 7 pembibitan Sapi Bali dan Sapi Aceh, Kelompok “Sabena Rahmat” Desa Juli Mee Teungoh Kecamatan Juli pembibitan sapi Bali, Kelompok “ Mulia baru” (penggemukan Sapi Aceh) dan “Beuna Raseuki” (pembibitan dan penggemukan) desa Juli Minasahme Kecamatan Juli.
a. Kabupaten Bireuen. Pengembangan sapi potong di Kabupaten Biruen dilakukan pada beberapa kelompok tani ternak dengan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong. Beberapa kelompok pembibitan antara lain kelompotani ternak “Bos Indicus" Desa Blang Seunong Kecamatan Jeumpa yang merupakan
Tabel 5. Perkembangan Populasi Sapi Aceh pada Kelompok Bos Indicus yang Digembalakan di Desa Blang Seunong Kecamatan Jeumpa Kabupatn Biruen Tahun 2012 No
Bulan
Awal bulan
Lahir
Jual/mati
Akhir bulan
Jumlah
Jt
Btn
Jml
Jt
Btn
Jt
Btn
Jtn
Btn
(ekor)
1
Januari 2011
4
43
47
-
-
-
-
4
43
47
2
Peb 2011
11
47
58
2
-
-
-
13
47
60
3
Agust 2011
8
48
56
1
-
-
-
9
48
57
4
Januari 12
11
47
58
2
-
-
-
13
47
60
5
April2012
15
47
62
3
-
-
-
`5
50
65
6
Mei 2012
15
50
65
2
3
-
-
17
53
70
Sumber :Dinas Pertanian Kabupaten Biruen Tahun 2012 Kelompok “Bos indicus” Kelompok “Bos indicus”dengan anggota kelompok sebanyak 20 orang memelihara Sapi Aceh dan sapi Bali dengan 2 pola pemeliharaan yaitu secara intensif (dalam kandang terus menerus) dan semi intensif yaitu dilepas di padang pelumbaran dengan pejantan pemacek. Pola pemberian pakan di kandang kelompok adalah jerami padi dan rumput gajah. Kelompok Bos Indicus telah mengaplikasi pola pemeliharaan sapi potong seperti di Loka Penelitian Sapi Potong yaitu jerami padi sebagai pakan di palungan dan pada “bank pakan”.Namun bentuk bank pakan masih belum dibuatkan tempat yang lebih praktis. Kotoran ternak di kandang ini telah dimanfaatkan untuk pembuatan biogas dan hasil sisa pembuatan biogas dimafaatkan untuk pupuk. Populasi Sapi Aceh yang dilepas digembalakan sebanyak 70 ekor terdiri atas sapi jantan 17 ekor dan sapi betina 53 ekor dari populasi awal (Januari 2011) sebanyak 47 ekor (jantan 4 dan betina 43 ekor) atau terjadi peningkatan sebanyak 23 ekor selama 17 bulan (Tabel 5). Pejantan Sapi Aceh yang digunakan sebagai pemacek dalam padang pelumbaran diantaranya berasal dari hasil seleksi Loka Penelitian Sapi Potong yaitu sebanyak 2 ekor.
Beberapa permasalahan pada ternak yang dilepas adalah adanyaekto parasit (kutu), belum di lakukan pengaturan perkawinan dan rekording. Peternak masih mengandalkan rumput lapang dan tanaman semak sebagai pakan ternak, dan belum mengenal dan menggunakan leguminisa pohon (seperti glirecidia) untuk pakan. Kelompok “Sabena Rahmat” Ada dua kegiatan pada kelompok “Sabena Rahmat” yaitu kegiatan pembibitan sapi Bali dan penggemukan sapi Aceh/silangan. Kegiatan pemeliharaan sapi induk penghasil pedet atau cow calf operation (CCO) yang dilakukan kelompok Sabena Rahmat di Desa/Gampong Juli Mee Teungoh. Kecamatan Juli Kabupaten Biruen merupakan kegiatan penyelamatan betina produktif Sapi Bali dengan populasi sapi bunting sebanyak 48 ekor (jumlah anggota 20 orang). Pola pemeliharaan adalah dilepas di padang pengembalaan pada pagi-siang hari dan sore hari dikandang menggunakan kandang kelompok tanpa disekat. Lokasi kandang dan pengembalaan merupakan lokasi yang baru dibangun dan terletak diatas perbukitan yang terpagari. Pengembangan pakan telah dilakukan penanaman rumput untuk potong (rumput unggul) dan rencana dilakukan rumput pengembalaan (Rumput BD dan BH).
8 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017 Sedangkan program penggemukan pada kelompok “Sabena Rahmat”terletak di desa Juli Minasahme Kecamatan Juli Kabupaten Biruen, berasal dari program Badan Pemberdayaan Propinsi (BPP) tahun 2011. Pola pemeliharaan adalah dikandang secara individu dengan jumlah ternak sebanyak 40 ekor dan anggota sebanyak 12 orang. Skala pemeliharaan antara 3 – 4 ekor per orang tergantung kesanggupan peternak terutama dalam mencari hijauan pakan. Model bagi hasil yang dilakukan adalah 60 peternak dan 40 % kelompok dari hasil keuntungan. Permasalahan pada penggemukan pada kelompok“Sabena Rahmat” adalah penyediaan pakan terutama pada musim kemarau, dimana peternak harus mencari pakan hijauan sampai ke daerah perbukitan/pegunungan. Program kegiatan penggemukan berasal dari Propinsi sehingga pembinaan kelompok oleh dinas kabupaten sangat kurang. Salah satu yang perlu dilakukan adalah introduksi leguminosa pohon (Gliricidia) sebagai pakan ternak melalui penanaman di pinggir jalan. Kegiatan penggemukan pada kelompok ini dijadikan sebagai salah satu wilayah lumbung pakan ternak di Kabupaten Biruen, sehingga beberapa sarana dan prasarana yang telah dibangun antara lain kandang ternak penggemukan, peralatan pencampur pakan (mixer pakan), penghancur dan alat pencacah hijauan atau chopper. Untuk mendukung kegiatan penggemukan pada kelompok tersebut, BPTP NAD telah melakukan kajian aplikasi pakan penguat dan pemberian urea molasses block (UMB) dengan kordinasi Loka Penelitian Sapi Potong.Pakan penguat disusun dari dedak padi, cacahan kulit coklat dan bungkil kelapa. Kelompok “ Muliabaru dan Beuna Raseuki” Kelompok peternak sapi potong yang ada di Desa Simpang Mulia Kecamatan Juli terdapat dua kelompok yaitu kelompok “Muliabaru” yang melakukan breeding dan kelompok “Beuna Raseuki” yang melakukan program penggemukan. Kelompok breeding memeliharaan sapi betina produktif sebanyak 35 ekor yang dipelihara oleh 20 orang anggota dengan rata-rata pemeliharaan sebanyak 2 ekor sapi induk/dara. Pola pemeliharaan yang dilakukan adalah semi intensif yaitu di gembala secara diikat pada siang hari dan malam hari dikandang dan disediakan hijauan pakan di kandang. Sistem pengembalian yang digunakan adalah dalam bentuk rupiah setara dengan 2 ekor
sapi seperti awal dia terima kepada kelompok, yang selanjutnya kelompok akan menggulirkan kepada peternak yang lain. Sapi potong yang dikembangkan pada kelompok Muliabaru desa Simpang Mulia sebagian besar adalah Sapi Aceh dan sisanya sapi Bali. Pola perkawinan menggunakan kawin IB dan pejantan alam. Program pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh kelompok “Beuna Raseuki” desa Simpang mulia adalah penggemukan sapi lokal (Sapi Aceh dan Bali) dan sapi hasil persilangan (lokal vs PFH). Jumlah sapi yang digemukan sebanyak 40 ekor yang dipelihara oleh 20 orang anggota kelompok.Kegiatan tersebut merupakan program pengembangan kapasitas peternak sapi rakyat untuk peningkatan produksi dan akses pasar di Kabupaten Biruen yang di fasilitasi pendanaanya dari Pembangunan Ekonomi Aceh ( A-EDEE) atau Musim Aid Serving Humanity. Pembagian hasil adalah 70 % peternak dan 30 % kelompok dari hasil keuntungan. Bantuan dari proyek adalah peternak dibayar sebesar Rp 180.000 per bulan selama 6 bulan dan pakan konsentrat sebnyak 2 kg per ekor/hari. b. Kabupaten Pidie Pengembangan sapi potong di Kabupaten Pidie dilakukan untuk merubah pola pemeliharaan dengan mengandangkansapi yang banyak dilepas secara bebas (tidak disediakan kandang) melalui pembangunan kawasan peternakan dengan sistem perkandangan komunal. Berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pidie bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Pidie tercatat sebanyak 55 ribu ekor dan kerbau sebanyak 90 ribu ekor, sedangkan pulasi penduduk di Kabupaten Pidie sebanyak 430 ribu jiwa. Potensi pengembangan sapi potong masih terbuka lebar, luas lahan pengembalaan sekitar 3000 ha yang terletak di pinggiran gunung. Usaha pendapatan dari usaha sapi potong di Kabupaten Pidie masih lebih baik dibanding dengan usaha pertanian. Namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemeliharaan sapi potong sebagian besar adalah dilepas /berkeliaran ditempat-tempat umum/jalan raya dan mengganggu pemandangan dan kesehatan masyarakat, sebagian tanpa ada kandang. Pemerintah daerah telah melakukan peraturan daerah yang melarang pemeliharaan sapi secara dilepas secara bebas. Oleh karena itu Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pidie telah melakukan pembangunan kawasan peternakan sapi
Rasyid, Karakteristik Fenotip dan Pengembangan Sapi Aceh … 9 secara intensif pada dua kelompok diantaranya kelompok pembibitan “Harapan Jaya” yang berlokasi Gampong Lam Ujong Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie.Namun kegiatan ini telah berjalan selama 2 tahun masih membutuhkan perbaikan dan teknologi yang mendukung. Hasil observasi dan pertemuan pada kelompok “Harapan Jaya” menunjukan bahwa sistem perkandangan dilakukan secara bersatu yang disekat-sekat per peternak. Pemeliharaan ternak yaitu di gembalakan pada siang hari dan sore hari dimasukan ke kandang. Perkandangan tersebut kurang sesuai dengan teknis karena kelambaban dan sirkulasi udara yang kurang baik. Pembenahan sistem perkandangan diperlukan sesuai dengan kondisi/sistem pemeliharaan setempat dan diharapkan menjadi suatu bentuk percontohan budidaya sapi yang dapat digunakan oleh para peternak. Beberapa teknologi yang diperlukan dalam pemeliharaan semi intensif terutama strategi penyediaan dan penyimpanan hasil ikutan pertanian yang melimpah pada musim panen untuk pakan ternak di kandang. c. Kabupaten Aceh Jaya Pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Jaya dilakukan dengan menggerakkan masyarakat secara berkelompok. Berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Aceh Jaya bahwa setiap kelompok (10-25 org) diberi bantuan 20 – 50 ekor sapi betina dan bebera pejantan. Dari 4 kelompok yang dibentuk tahun 2011 sebanyak 138 ekor tahun 2012 sebanyak 200 ekor (Assirri, 2012). Hasil anak akan menjadi milik peternak dan untuk induk dikembalikan selama 3 – 5 tahun untuk digulirkan pada kelompok lain. Kegiatan pada kelompok peternak “Rahmat Illahi” dilakukan dengan melakukan pertemuan kelompok dan observasi terhadap sapi aceh yang kandang. Kegiatan ini diikuti petugas lapang dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Jaya dan anggota kelompok serta pengurus kelompok. Kegiatan pertemuan kelompok bertujuan untuk mendapatkan data informasi potensi, peluang serta permasalahan yang telah dialami anggota kelompok dalam memelihara ternak secara terpadu dengan pertanian. Luas lahan milik Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Jaya yang digunakan untuk pengembangan Sapi Aceh pada kelompok peternak “Rahmat Illahi” sekitar 500 Ha dibagi 450 Ha untuk Sapi Aceh dan 50 Ha untuk kambing perah (Kambing PE). Lahan
tersebut sebagian masih berupa semak belukar yang ditumbuhi pepohonan dan sebagian telah diolah dan dimanfaatkan untuk pertanian (padi dan jagung), perkandangan dan tanaman pakan. Luas lahan hijauan pakan ternak adalah 22 Ha telah diserahkan dan dikelola oleh peternak dan pengembalaan/ umbaran sapi sekitar 20 Ha. Hijauan yang ada di lahan tersebut dari jenis leguminosa antara lain gamal (Gliricidia maculate), kaliandra (Calliandra calothrysus) dan turi (Sesbania grandiflora) dan lamtoro gung (Leucaena leucocephala), jenis rumput-rumputan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput kolonjono (Panicum muticum) dan rumput lapangan yang tumbuh liar. Hasil diskusi dalam pertemuan kelompok bahwa Sapi Aceh yang dipelihara tersebut hanya mau mengkonsumsi hijauan yang masih muda (bagian pucuk), hal ini dapat terjadi kemungkinan karena masih banyak tersedia hijauan yang sangat melimpah yang ada di lahan yang luas. Beberapa biomas lokal banyak yang bisa dimanfaatkan untuk bahan pakan ternak tetapi belum dimanfaatkan secara optimal (dibuang atau dibakar). Sumber pakan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun belum ada pendampingan dan aplikasi teknologi untuk memanfaatkan sumber pakan tersebut terutama untuk mengatasi ketersediaan pakan ternak pada musim kemarau. Permasalahan lain yang harus diperhatikan antara lain infeksi cacing dan serangan caplak. d. Kabupaten Aceh Utara (Lhok Seumawe) Pengembangan sapi potong di Kabupaten Aceh Utara dilakukan secara intesif yaitu dipelihara dalam kandang secara kumunal dan semi intesif yaitu dilepas (siang hari) di padang pengembala yang terpagar (mini rach) atau dilepas dibawah perkebunan sawit, dan pada malam hari dikandangkan. Kegiatan pembibitan Sapi Aceh pada kelompok “Usaha Bersama” Desa Ulee Nyeue Kecamatan Bandabaro Kabupaten Aceh Utara menggunakan sebanyak 40 ekor sapi induk/calon induk yang dilepas dalam padang pangonan. Lokasi kandang berjarak kuranglebih 500-1000 meter dari pemukiman penduduk menggunakan lahan seluas 40 Ha yang digunakan untuk tanaman pakan ternak (diantaranya tanaman rumput untuk pengembalaan), kandang dan pengembalaan. Pembibitan tersebut terintegrasi dengan tanaman
10 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017 pangan (padi dan jagung) karena disekeliling lahan tersebut merupakan hamparan lahan teknis. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah introduksi tempat/gudang untuk penyimpanan pakan dan bank pakan dalam kandang. Kunjungan pada kelompok “Reuling Jaya” yang beralamat di gampong/desa Abeuk Reuling Kecamatan Sawang Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara adalah pembibitan Sapi Aceh. Jumlah Sapi Aceh sebanyak 40 ekor induk bunting merupakan hasil penjaringan pada program penyelamatan betina bunting. Kandang yang digunakan adalah kandang komunal yang disekatsekat secara individu per petani. Pakan yang diberikan adalah rumput gajah yang telah dibudidayakan oleh anggota kelompok. Sedangkan pakan penguat berupa bungkil kopra dan tambahan gula tebu.
2.
3.
Saran 1.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Sapi Aceh telah berkembang biak di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mempunyai pola warna yang bervariasi, maka untuk pemurnian dan pengembangan Sapi Aceh telah ditetapkan warna merah bata pada Sapi Aceh betina dan merah kehitamnan untuk Sapi Aceh jantan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M.A.N., R.R. Noor, H. Martojo, D.D. Solihin, dan E. Handiwirawan. 2007. Keragaman Fenotipik Sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam [The Phenotypic Variability of Aceh Cattle in Nanggroe Aceh Darussalam]. J. Indo. Trop. Anim Agric. 32 (1) Abdullah,M.A.N (2008). Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipek daerah D-LOOP DNA Mitokondria dan DNA mkrosatelit. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Insititut Pertanian Bogor. Abdullah,M.A.N (2009). Karateristik genetic Spesifik Sapi Aceh. Deregulasi dan peningkatan Brand Image Pembibitan. Anonimus, 2010a. Nakah Kebijakan (Policy paper). Strategi dan kebijakan dalam percepatan pencapaian swasembadadaging sapi 2014.
Sapi Aceh dilakukan melalui pemberdayaan kelompok tani, dan pola pemeliharaan dilakukan secara intensif (di kandang) dan semi intensif yaitu di lepas di dalam kandang pelumbaran (mini ranch). Sistem perkandangan untuk program pembibitan menggunakan kandang kelompok/kumunal (tanpa diikat) atau kandang komunal yang diikat secara individu. Sedangkan untuk penggemukan secara diikat secara individu dalam kandang kelompok/kumunal.
2.
Pengembangan Sapi Aceh dapat dilakukan melalui teknologi penyediaan, pengolahan dan penyimpanan bahan pakan asal biomas lokal serta penyediaan gudang dan penyimpanan pakan, penanaman dan pemanfaatan leguminosa pohon, pengelolaan kesehatan melalui pemberantasan cacing dan ektoparasit dengan dipping. Untuk merubah pola pemeliharaan Sapi Aceh dari ekstensif menjadi semi intesif atau intensif, diperlukan sistem perkandangan dan penyediaan pakan perlu disesuaikan dengan sosial budaya dan pola pemeliharaan Sapi Aceh yang secara teknis dan ekonomis dapat diaplikasikan oleh peternak. Suatu penelahaan Konkrit). Direktorat Pangan dan Pertanian. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas.
Anonimus, 2010b. Hasil rumusan sapi Aceh. Disampaikan dalam rapat kordinasi strategi konservasi sumberdaya genetik sapi Aceh. Balai pengkajian teknologi Pertanian (BPTP) Nanggroe Aceh Darussalam, 31 Agutus 2010. Armansyah,T.,A. Azhar, T. N. Siregar. 2011. Analisis Isozim untuk Mengetahui Variasi Genetik Sebagai Upaya Pemurnian Ras Sapi Aceh (Isozymes analysis to investigate genetic variation as an effort to develop pure breed of aceh’s cattles). Jurnal Veteriner Desember 2011 Vol. 12 No. 4: 254-262 Anonimus, 2011a. Statistik Daerah Propinsi Aceh 2011. Badan Statistik Propinsi Aceh.
Rasyid, Karakteristik Fenotip dan Pengembangan Sapi Aceh … 11 Anonimus, 2011b. Populasi Sapi Aceh Capai 92,58 %. http://www.medanbisnis daily.com. Anonimus, 2011c. Rilis hasil akhr PSPK 2011. Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. Anonimus, 2011d Aceh berpotensi wujudkan program swasembada daging http:// www.analisadaily.com. Anonimus, 2012. Laporan Kabupaten Birueun.
Dinas
Diwyanto, K. 2008. Pemanfaatan sumber daya lokal dan inovasi teknologi dalam mendukung pengembangan sapi potong di indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian I (3) 173-188. Effendi .D. 2011. Pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pertanian
Assirri, N. 2012. Berbenah menuju Kawasan Peternakan terpadu. Tabloid Tabangun Aceh. Ed. 26 September 2012. BPTU Sapi Aceh. 2010. Laporan Bobot badan dan ukuran tubuh sapi Aceh dewasa yang dipelihara BPTU sapi Aceh-Banda Aceh
Olson, T.A. 1993. Reproduction efficiency of cows od different sizes. Ainimal science Departement. University of Florida.Gainnesville. Permentan.2011. Surat Keputusan Kementerian Pertanian Nomor : 2907/Kpts/OT.140/6/ 2011 tentang Penetapan Rumpun Sapi Aceh.
12 MADURANCH Vol. 2 No.1 Februari 2017
13
APLIKASI PUPUK HAYATI (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA) YANG TELAH DISIMPAN TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG Var. BISMA Nurul Hidayati 1), Hamim 2), dan Nisa Rachmania Mubarik2 1)
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Madura e-mail :
[email protected] 2) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Abstrak Aplikasi pupuk hayati yang mengandung mikrob hidup dapat memacu pertumbuhan tanaman. Percobaan dimaksudkan untuk menguji viabilitas Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum sp., dan Azotobacter sp. yang terdapat pada pupuk hayati dikeringkan dengan metode kering beku pada beberapa bulan penyimpanan. Viabilitas sel bakteri diuji setelah disimpan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Pupuk hayati tersebut diaplikasi pada tanaman jagung var. Bisma untuk diamati efektivitasnya. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 8 perlakuan dengan 5 ulangan. Perlakuan tanah tanpa pemupukan (P1); tanah dengan pupuk NPK (P2); tanah dengan kompos (P3); tanah dengan kompos dan pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan (P4-P8). Hasil uji menunjukkan viabilitas bakteri sedikit menurun setelah proses kering beku (freeze drying) kemudian stabil sampai penyimpanan 2 bulan. Setelah 2 bulan, viabilitas masing-masing bakteri yang terkandung dalam pupuk hayati menurun. Aplikasi pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Namun semakin lama penyimpanan menyebabkan efektivitas pupuk hayati untuk mendukung pertumbuhan dan produksi jagung menurun. Produksi jagung menurun dari 109.36 gram pada P5 menjadi 70.46 gram pada P8. Kata kunci: Pupuk hayati, Viabilitas, Jagung
PENDAHULUAN Daya dukung lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal tergolong rendah sebagai akibat dari kandungan bahan organik yang rendah di tanah. Aplikasi pupuk kimia yang berlebihan dan terus menerus dapat membawa dampak negatif terhadap kondisi tanah dan lingkungan (Saraswati 1999) sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pemanfaatan dan pengelolaan bahan organik untuk memperbaiki kesehatan tanah, di antaranya dengan menggunakan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk hayati adalah substansi yang mengandung mikroorganisme hidup, yang ketika diaplikasikan pada benih, permukaan tanaman, atau tanah dapat memacu pertumbuhan tanaman tersebut (Vessey 2003). Aplikasi pupuk hayati yang mengandung mikoriza dan bakteri pengikat N (Azotobacter chroococum), bakteri pelarut P (Bacillus megatherium) dan bakteri pelarut K (B. mucilaginous) telah meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) (Wu et al. 2005). Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi dan memanfaatkan bakteri prospektif untuk memacu pertumbuhan tanaman. Contoh bakteri yang telah digunakan, yaitu bakteri penambat N bebas (Azospirillum lipoverum),
bakteri penambat N bebas dan pemantap agregat (A. beijerinckii), dan bakteri pemantap agregat (Aeromonas punctata) (Goenadi et al. 1995). Hasil pengujian pada tanaman pangan (padi, jagung, dan kentang) menunjukkan bahwa dengan aplikasi bakteri-bakteri tersebut mampu menurunkan dosis pupuk kimia hingga 50% (Goenadi et al. 1999). Pupuk hayati mengandung organisme hidup, maka berbagai upaya untuk menjaga agar organisme tersebut tetap hidup hingga saat diaplikasikan menjadi sangat penting. Salah satu permasalahan mengenai pupuk hayati, yaitu terkait dengan viabilitas bakteri yang terkandung di dalamnya. Viabilitas bakteri harus tetap baik selama penyimpanan sehingga perlu bahan yang baik untuk mengemas bakteri-bakteri tersebut agar viabilitasnya tidak cepat menurun. Saat ini bahan dalam bentuk granul (butiran) berdiameter 2-3 mm dengan bahan pembawa alami berupa mineral liat dan bahan organik merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan (Goenadi et al. 1995). Selain itu, gambut juga efektif sebagai bahan pembawa pupuk hayati (Hamim et al. 2008). Hal yang penting untuk dipelajari juga, yaitu upaya mengemas bakteri tersebut sehingga mudah diaplikasikan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang menyangkut bahan pembawa dan
14 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
penyimpanan pupuk hayati masih sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas pupuk hayati (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum sp., dan Azotobacter sp.) dalam media gambut pada penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan dan efektivitasnya dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan Desember 2008. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Bahan yang digunakan ialah benih jagung (Zea mays) varietas Bisma, tanah sebagai medium tanam yang diambil dari kebun Percobaan Cikabayan IPB, kompos yang berasal dari kebun Percobaan Cikabayan IPB, pupuk NPK (2:1:1), dan pupuk hayati yang terdiri atas isolat bakteri Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum sp., dan Azotobacter sp. hasil seleksi dan disimpan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB, Bogor (Tim Kerjasama IPB-Deptan 2006). Bahan yang digunakan untuk pembuatan pupuk hayati, yaitu gambut berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia di Bogor, Nutrient Broth (medium pertumbuhan Bacillus sp.), Trypticase Soy Broth (medium pertumbuhan Pseudomonas sp.), NFb cair (medium pertumbuhan Azospirillum sp.), dan LGI cair (medium pertumbuhan Azotobacter sp.). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktorial, yaitu pupuk hayati dengan berbagai lama penyimpanan (0, 1, 2, 4, dan 6 bulan). Jenis tanaman yang digunakan, ialah jagung (Zea mays). Perlakuan P1 menggunakan medium tanah saja, P2 menggunakan medium tanah yang diberi pupuk kimia tunggal, 0.8 gram urea + 0.4 gram TSP + 0.4 gram KCl untuk 8 kg tanah per polibag, P3 menggunakan campuran tanah dan kompos (5:1), dan P4-P8 menggunakan campuran tanah dan kompos (5:1) serta aplikasi pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Masingmasing satuan percobaan dilakukan dengan 5 ulangan. Analisis data menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan dilakukan menggunakan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Masing-masing bakteri (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum sp., dan Azotobacter sp.) yang telah diremajakan dimasukkan ke dalam masing-masing media tumbuh, kemudian diinkubasi pada mesin penggoyang sampai jumlah selnya mencapai 108 ml/sel. Media yang telah mengandung bakteri dimasukkan ke dalam gambut steril dengan perbandingan 1:1 dan dikeringbekukan dengan menggunakan alat Labconco Freeze Dry. Hasilnya dimasukkan ke dalam botol steril dan disimpan pada suhu kamar. Pupuk hayati yang disimpan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan diambil 1 g, diinokulasikan ke dalam tabung berisi 9 ml larutan garam fisiologis, kemudian dilakukan pengenceran serial. Penghitungan populasi sel dilakukan dengan metode cawan hitung (Hadioetomo 1993). Media tanam dimasukkan ke dalam polibag sebanyak 8 kg per polibag, kemudian disimpan di rumah kaca. Polibag ditanami benih jagung masing-masing 5 benih dan dilakukan penjarangan sehingga hanya tersisa satu bibit. masing-masing polibag diberi perlakuan dengan pupuk hayati yang disimpan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Pemupukan dilakukan 2 minggu setelah tanam sebanyak 20 gram pupuk hayati per polibag dan 3 minggu setelah pemupukan pertama sebanyak 30 gram pupuk hayati. Pupuk hayati diaplikasikan dengan cara memberikan pupuk tersebut disekitar perakaran tanaman. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman pada pagi hari, penyiangan, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap seminggu sekali. Parameter pertumbuhan tanaman jagung yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, lingkar batang, dan jumlah daun senesens. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi (Rokhmah 2008). Pengukuran luas daun dilakukan dengan cara mengalikan panjang daun, lebar daun, dan Indeks Luas Daun (ILD=0.75) (Syamsiyah 2008). Pengukuran lingkar batang dilakukan dengan cara mengukur lingkar batang ± 4-5 cm dari pangkal batang (Koswara et al. 1999) Pemanenan jagung dilakukan 85 hari setelah tanam. Rata-rata umur jagung varietas Bisma, yaitu 100-110 hari (Sinar Tani 2004). Selanjutnya, dilakukan pengukuran populasi bakteri pada media sekitar perakaran, berat kering tajuk, akar, biji, dan berat kering total tanaman (meliputi berat kering
Hidayati, Aplikasi Pupuk Hayati ....15
tajuk, akar, dan biji). Selain itu dihitung bobot per 100 biji. Analisis tanah dan kompos dilakukan di Laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Hasil analisis kompos menunjukkan bahwa kompos memiliki kandungan C organik sebesar 26.59%, N sebesar 1.54% dan P tersedia 0.39%. Kandungan basa dapat ditukar seperti Ca sebesar 5.36%, Mg 1.1%, dan K 2.62% (Tabel 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Viabilitas Pupuk Hayati dengan Berbagai Lama Simpan
Analisis Sifat Fisik dan Kimia Medium Tanam Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah yang digunakan sebagai media tanam jagung merupakan tanah masam dengan pH 4.50 (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah Percobaan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Sebelum Tanam pH 1:1 Walkley & Black Kjel-dhal Bray I N NH4OAc pH 7.0
0,05 N HCl
Tekstur
H2O C-org
4.50 (asam) 1.76 (rendah) (%)
N-Total P Ca
(ppm)
Mg
(me/100g)
K Fe Cu Zn Mn Pasir Debu Liat
(ppm)
(%)
0.19 (rendah) 10.2 (rendah) 4.28 (sangat rendah) 0.92 (sangat rendah) 0.61 (sedang) 3.76 2.48 25.88 126.36 7.77 16.29 75.94
Tanah yang digunakan sebagai media tanam jagung mempunyai kandungan C organik rendah (1.76%), kandungan N-total rendah (0.19%), P tersedia rendah (10.2 ppm) dan kandungan basa dapat ditukar seperti Ca (4.28 me/100g) dan Mg (0.92 me/100g) tergolong sangat rendah, namun K (0.61 me/100g) tergolong sedang (Tabel 1). Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Kimia Kompos Yang Digunakan Dalam Penelitian Sifat C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn C/N
Satuan
%
(ppm)
Nilai 26.59 1.54 0.39 2.62 5.36 1.1 19.8 212.5 1287.5 1635 17.3
Tabel 3 Viabilitas Masing-masing Bakteri Pupuk Hayati Dengan Berbagai Lama Simpan. Nama Bakteri Bacillus sp. Pseudomonas sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Bacillus sp. Pseudomonas sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Bacillus sp. Pseudomonas sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Bacillus sp. Pseudomonas sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp. Bacillus sp. Pseudomonas sp. Azospirillum sp. Azotobacter sp.
Lama Simpan (Bulan) 0
1
2
4
6
Jumlah Bakteri (sel/ml) 1.89 x 107 3.4 x 107 2.8 x 104 1.04 x106 3.14 x 107 7.7 x 107 7.2 x 104 3.5 x 105 1.5 x 107 3.2 x 107 7.2 x 103 1.3 x 104 1.20 x 106 3.4 x106 5.4 x 103 0 9.7 x 105 1.23 x 106 2.5 x 103 0
Pupuk hayati setelah disimpan selama 6 bulan menunjukkan penurunan viabilitas, walaupun masing-masing bakteri menunjukkan tingkat viabilitas yang beragam. Data menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan (0 bulan penyimpanan) berakibat menurunnya jumlah masing-masing bakteri dari 108 sel/ml (sebelum di freeze dryer) menjadi 107 sel/ml pada Bacillus sp., 107 sel/ml pada Pseudomonas sp., 104 sel/ ml pada Azospirillum sp., dan 106 sel/ml pada Azotobacter sp. (Tabel 3). Pada penyimpanan 1 bulan, bakteri yang terkandung dalam pupuk hayati yang mengalami penurunan viabilitas, yaitu Azotobacter sp. sedangkan Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Azospirillum sp. viabilitasnya hampir sama seperti pupuk hayati 0 bulan. Pada penyimpanan 2 bulan, bakteri dalam pupuk hayati yang menurun viabilitasnya, yaitu Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Pada penyimpanan 4 bulan dan 6
16 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Jagung Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian pupuk hayati dengan berbagai lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan lingkar batang jika dibandingkan dengan P1 dan P2 (Gambar 1). Pemberian pupuk hayati dengan berbagai lama penyimpanan dapat menurunkan senesensi daun, walaupun cenderung tidak berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3 (Gambar 1). Tinggi Tanaman (cm)
300 b
250
b
b
b
b
b
200
Pengamatan Bobot Kering Tanaman Jagung Setelah Panen 120 100 80 60 40 20 0
b
a
a
P1
P2
P3
a
a
150
Keterangan: P1 : tanah saja; P2 : tanah + NPK; P3 : tanah + kompos; P4-P8 : tanah + kompos dan pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Garis bar pada grafik menunjukkan Standard Error hasil uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Bobot Kering Tajuk (g)
bulan semua bakteri yang terkandung dalam pupuk hayati menurun viabilitasnya (Tabel 3).
0
b
15
a
P4
P5
P6
Perlakuan
b
b
b
P7
b
P8
b
5
a
a
a
P1
P2
800
P3
b
P4
P5
Perlakuan
b
b
P6
b
P7
b
P8
b
600
200 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
b
b
b
P6
P7
P8
Perlakuan Lingkar Batang (cm)
8
b
b
b
6 a
a
P1
P2
2 0
30
P6
P7
P8
b
b
P6
P7
P8
b
b
P6
P7
b b
b
P1
P2
P3
P4
P5
a
P3
a
a
P2
P3
P4 P5 Perlakuan
a
a
a
a
a
P4
P5
P6
P7
P8
20 10 0 P1
250 200
b
150
b
b
P4
P5
b
100 50
a
a
P1
P2
0 P3
P8
Perlakuan
a
a
40
P5
b
Perlakuan
5
4
P4
b
0
10
400
b
10
Bobot Kering Total tanaman (g)
Jumlah Daun (lembar)
P3
0
Luas Daun (cm2)
b
15
20
Daun Senesen (%)
Bobot Kering Akar (g)
20
50 P2
b
Perlakuan
100
P1
b
Perlakuan
Gambar 1. Rata-Rata Respon Pertumbuhan Tanaman Jagung Pada Berbagai Perlakuan.
Gambar 2. Rata-Rata Bobot Kering Tanaman Jagung Setelah Panen Pada Berbagai Perlakuan Keterangan: P1 : tanah saja; P2 : tanah + NPK; P3 : tanah + kompos; P4-P8 : tanah + kompos dan pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Garis bar pada grafik menunjukkan Standard Error hasil uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Nilai rata-rata bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering total tanaman berbeda nyata dengan P1 dan P2, walaupun cenderung tidak berbeda nyata dengan P3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pupuk hayati penyimpanan 4 bulan. Namun nilai rata-rata bobot kering akar dan bobot kering total tanaman tertinggi terdapat pada
Hidayati, Aplikasi Pupuk Hayati ....17
perlakuan dengan pupuk hayati penyimpanan 1 bulan (Gambar 2).
penyimpanan 4 bulan dan 6 bulan. Hal ini terjadi karena bulir jagungnya besar (Gambar 3).
Pengamatan Hasil Produksi Jagung
Pengamatan Jumlah Bakteri pada Perakaran Tanaman Jagung
Bobot Produksi Biji (g)
150 cd
d cd
100
bc
b 50
a
bc
a
0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Bobot Per 100 Biji (g)
40 bc
20
a
cd
bcd
a
b
d
d
0 P2
P3
P4
P5
Perlakuan
d
7 6
a
a
P1
P2
b
c
bc
bc
bc
P5
P6
P7
P8
5 4
P6
P3
P4
Perlakuan
Gambar 4. Rata-Rata Jumlah Bakteri Pada Perakaran Tanaman Jagung Pada Berbagai Perlakuan.
10
P1
8
3
Perlakuan
30
Nilai rata-rata jumlah bakteri tertinggi terdapat pada perakaran tanaman jagung yang diberi pupuk hayati penyimpanan 0 bulan, selanjutnya pada penyimpanan 1 bulan. Jumlah bakteri cenderung menurun akibat penyimpanan pupuk selama 2, 4, dan 6 bulan, walaupun ini cenderung masih tidak berbeda nyata dengan P3 (Gambar 4). Log Jumlah Bakteri ml/sel
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian pupuk hayati dengan berbagai lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap bobot produksi biji dan bobot per 100 biji (Gambar 3).
P7
P8
Gambar 3. Rata-Rata Hasil Produksi Jagung Pada Berbagai Perlakuan Keterangan: P1 : tanah saja; P2 : tanah + NPK; P3 : tanah + kompos; P4-P8 : tanah + kompos dan pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Garis bar pada grafik menunjukkan Standard Error hasil uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Nilai rata-rata bobot produksi biji tertinggi terdapat pada tanaman jagung yang diberi pupuk hayati penyimpanan 1 bulan sebesar 109.36 gram dan tidak berbeda nyata dengan bobot produksi biji pada tanaman jagung yang diberi pupuk hayati penyimpanan 0 bulan dan 2 bulan. Bobot produksi biji jagung memberikan pengaruh nyata terhadap pemberian pupuk hayati 0, 1, 2, 4, dn 6 bulan berturut-turut sebesar 1654.49%, 2035.94%, 1533.20%, 1326.17%, 1276.17% dibandingkan dengan P1. Sedangkan bobot produksi biji jagung dengan P2 dan P3 hanya sekitar 57.03% dan 900.78% (Gambar 3). Bobot per 100 biji jagung tertinggi terdapat pada pemberian pupuk hayati
Keterangan: P1 : tanah saja; P2 : tanah + NPK; P3 : tanah + kompos; P4-P8 : tanah + kompos dan pupuk hayati penyimpanan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan. Garis bar pada grafik menunjukkan Standard Error hasil uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Medium Tanam Sifat fisik dan kimia tanah menunjukkan bahwa tanah yang digunakan sebagai media penanaman jagung bersifat masam dan memiliki kandungan unsur tanah yang rendah (Tabel 1). Tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang rendah merupakan tanah yang tidak subur. Tanah yang tidak subur tersebut perlu di beri aplikasi pupuk agar bisa dijadikan lahan pertanian. Pemberian pupuk organik dan pupuk hayati merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian (Balitbang Pertanian 2006). Viabilitas Bakteri pada Pupuk Hayati Selama Penyimpanan Pupuk hayati dengan bahan pembawa gambut yang dikeringbekukan rata-rata
18 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
menunjukkan penurunan viabilitas bakteri. Kecuali viabilitas Bacillus sp. stabil sampai penyimpanan 2 bulan (Tabel 3). Bacillus sp. merupakan bakteri berendospora yang dapat tahan pada kondisi kekurangan nutrisi. Bacillus sp. yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan AIA (asam indol asetat) yang tinggi dan pelarut fosfat yang baik (Widayanti 2007). Demikian pula viabilitas Pseudomonas sp. stabil sampai penyimpanan 2 bulan (Tabel 3). Pseudomonas sp. merupakan bakteri penghasil AIA dan dapat menghambat pertumbuhan fungi patogen (Astuti 2008). Viabilitas Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. telah menurun cukup drastis saat penyimpanan 0 bulan (Tabel 3). Hal ini diduga kedua bakteri tersebut merupakan bakteri yang sensitif suhu rendah pada saat proses freeze drying (Snell 1991). Pertumbuhan bakteri yang sensitif suhu rendah biasanya terhambat bahkan mengalami kematian karena selnya rusak sebagai akibat terbentuk kristal es di dalam intraselulernya (Gounot 1991). Azospirillum sp. yang dipakai pada penelitian ini juga merupakan bakteri yang dapat mensintesis AIA yang tinggi dan dapat melarutkan fosfat (Astuti 2007), selain itu juga dapat memfiksasi nitrogen, mensintesis siderofor, dan sebagai pengendali hayati (Bashan & Bashan 2000). Sedangkan Azotobacter sp. merupakan bakteri pemfiksasi nitrogen dan dapat memproduksi fitohormon (Hindersah & Simarmata 2004). Secara umum kandungan bakteri pada pupuk hayati dengan bahan pembawa gambut yang digunakan pada penelitian ini viabilitasnya mengalami penurunan selama penyimpanan pada suhu kamar. Menurut Chotiah (2006) penyimpanan bakteri pada suhu kamar dapat menurunkan viabilitas bakteri hingga 9.5 x 103 sel/ml selama 2 bulan penyimpanan. Viabilitas kultur bakteri dari isolat-isolat tunggal maupun campuran dalam bahan pembawa gambut, diantaranya dipengaruhi pH gambut, kemampuan gambut mempertahankan kandungan air, kemampuan bakteri gram positif membentuk endospora (Lema 2008), serta kemampuan bakteri gram negatif menghasilkan kapsular dan eksopolisakarida pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Santi et al. 2008). Namun, keberhasilan bakteri dari strategi bertahan ini bergantung pada mekanisme efisien untuk kembali ke bentuk vegetatif pada kondisi yang menguntungkan saat diaplikasikan (Wuytack et al. 2000).
Jumlah Bakteri pada Perakaran Tanaman dan Implikasi Bakteri terhadap Pertumbuhan serta Produksi Tanaman Jagung Berdasarkan jumlah bakteri pada perakaran jagung, jumlah bakteri pada perlakuan dengan pupuk hayati lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan pupuk hayati) (Gambar 4). Menurut Tilak et al. (2005) mikroorganisme yang hidup di tanah atau di rizosfer tanaman memegang peranan penting dalam berbagai proses di dalam tanah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Aplikasi pupuk hayati yang disimpan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan mampu meningkatkan pertumbuhan tanama jagung (Gambar 1). Bakteri yang dapat memacu petumbuhan tanaman dimasukkan ke dalam kelompok Plant Growth Promoting Rizhobacteria (PGPR). Bakteri-bakteri tersebut merupakan kelompok mikroorganisme yang hidup bebas yang dapat memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengkolonisasi bagian perakarannya atau hidup di daerah rizosfer (Woitke et al. 2004). Pada perakaran tanaman jagung yang diaplikasi dengan pupuk hayati 0 bulan dan 1 bulan memiliki jumlah bakteri yang paling banyak (Gambar 4). Hal tersebut mungkin mendorong pertumbuhan perakaran yang baik sehingga bobot kering akar jagung juga tinggi (Gambar 2). Hormon AIA yang dihasilkan oleh bakteri yang terkandung dalam pupuk hayati merupakan salah satu jenis hormon auksin yang berperan dalam pembentukan dan perpanjangan akar (Salisbury & Ross 1995). Akar memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi tanaman, yaitu menyerap air dan unsur hara esensial maupun nonesensial yang terdapat di rizosfer tanaman (Masdar 2003). Jumlah bakteri pada perakaran jagung cenderung menurun pada perlakuan penyimpanan pupuk selama 2, 4, dan 6 bulan, (Gambar 4). Penurunan jumlah bakteri pada perakaran jagung menyebabkan penurunan bobot kering akar sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman padi dan jagung juga semakin rendah. Aplikasi pupuk hayati dengan berbagai lama simpan ternyata memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan padi yang dapat dilihat dari respon yang diamati.
Hidayati, Aplikasi Pupuk Hayati ....19
Respon Pertumbuhan dan Hasil Produksi pada Tanaman Jagung terhadap Aplikasi Pupuk Hayati Berdasarkan lama penyimpanan, pupuk hayati yang disimpan 0, 1, 2, 4 dan 6 bulan secara umum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung (Gambar 1) jika dibandingkan dengan kontrol tanpa pupuk hayati dan pemberian NPK (P1 dan P2). Menurut Ainy (2008) pemberian pupuk hayati yang mengandung bakteri Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Azospirillum sp. mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung dibandingkan dengan tanpa pupuk hayati. Pada tanaman jagung, tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan lingkar batang jagung tidak berbeda nyata dengan kontrol tanpa pupuk hayati namun diberi kompos (P3), namun menunjukkan nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan P3 (Gambar 1). Hal yang sama terjadi pada penelitian Mujib et al. (2006) yang menyatakan perlakuan dengan P. putida tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar selama pengamatan 45 hari karena P terlarut tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman, tetapi sebagian masih ada di dalam tanah. Lama penyimpanan pupuk hayati ternyata mempengaruhi respon pertumbuhan tanaman walaupun antar perlakuan cenderung tidak berbeda nyata. Pada tanaman yang diberi pupuk hayati 0 bulan dan 1 bulan, tanaman memiliki pertumbuhan paling tinggi, namun tanaman yang mendapat perlakuan pupuk hayati dengan penyimpanan 2, 4, dan 6 bulan pertumbuhannya cenderung lebih rendah. Selain peningkatan pertumbuhan, pemberian pupuk hayati juga mampu menurunkan senesensi daun tanaman jagung antara 25% - 28.57% (Gambar 1). Nilai ini lebih besar dari hasil penelitian Rachmawati (2008) yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan pupuk hayati mampu menurunkan senesensi daun tanaman jagung sebanyak 20% karena terdapat peningkatan kandungan AIA yang disertai dengan peningkatan sitokinin sehingga interaksi kedua hormon tersebut mampu memperlambat terjadinya senesensi. Senesensi daun merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis karena terjadi kerusakan klorofil dan hilangnya fungsi kloroplas sehingga terjadi penurunan laju fotosintesis (Salisbury & Ross 1995). Pemberian pupuk hayati juga berpengaruh nyata dalam meningkatkan bobot kering tajuk,
bobot kering akar, dan bobot kering total tanaman jagung dibandingkan dengan kontrol tanpa pupuk hayati dan pemberian NPK (P1 dan P2), walaupun cenderung tidak berbeda nyata dengan kontrol tanpa pupuk hayati namun diberi kompos (P3) (Gambar 2). Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian pupuk hayati 0 bulan dan 1 bulan mampu meningkatkan bobot kering total tanaman karena memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P3. Peningkatan bobot kering total tanaman disebabkan oleh peningkatan bobot kering tajuk dan akar tanaman. Menurut Hindersah dan Simarmata (2004) inokulasi dengan Azotobacter sp. dapat memperbaiki perkembangan tajuk dan akar. Bobot kering total tanaman yang diberi pupuk hayati 2, 4, dan 6 bulan mengalami penurunan. Hal ini diduga karena tanaman yang diaplikasi dengan pupuk hayati 4 dan 6 bulan tidak mengandung Azotobacter sp. Sedangkan pupuk hayati 2 bulan masih mengandung Azotobacter sp., namun penyimpanan selama 2 bulan menyebabkan jumlah selnya menurun sehingga kurang efektif. Pemberian pupuk hayati dengan berbagai lama penyimpanan mampu meningkatkan bobot produksi jagung, walaupun pertumbuhan vegetatifnya cenderung tidak berbeda nyata dengan kontrol tanpa pupuk hayati namun diberi kompos (P3). Hal ini diduga unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman terutama fosfor sudah terserap dengan baik oleh tanaman. Bobot produksi tertinggi terdapat pada tanaman padi yang diberi pupuk hayati 1 bulan dan tidak berbeda nyata dengan pemberian pupuk hayati 0 bulan dan 2 bulan. Peningkatan produksi biji jagung disebabkan bertambahnya ukuran tongkol dan pengisian bijinya. Bobot produksi jagung menurun pada tanaman yang diberi pupuk hayati 4 bulan dan 6 bulan. Bobot per 100 biji jagung tertinggi terdapat pada pemberian pupuk hayati penyimpanan 4 bulan dan 6 bulan (Gambar 3). Hal ini terjadi karena biji jagung pipilan berukuran besar, namun ukuran tongkol lebih kecil. Sejalan dengan hasil penelitian Kristanto et al. (2002) yang menunjukkan inokulasi Azospirillum telah meningkatkan berat kering biji/tanaman, dan berat 100 biji tanaman jagung. Berdasarkan data hasil penelitian terbukti bahwa pupuk hayati khususnya yang disimpan selama 0 dan 1 bulan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung yang lebih besar. Walaupun pertumbuhan tajuk tidak terlalu berbeda dengan perlakuan pupuk penyimpanan 2, 4, dan 6 bulan, namun data produksi juga menunjukkan
20 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
bahwa perlakuan pupuk hayati yang disimpan 0 dan 1 bulan dapat menghasilkan produksi jagung yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa efek positif dari pupuk hayati terhadap perkembangan perakaran sangat penting dalam menunjang produksi tanaman. KESIMPULAN Viabilitas bakteri (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum sp., dan Azotobacter sp.) yang terkandung dalam pupuk hayati sedikit mengalami penurunan setelah perlakuan pengeringan dengan menggunakan freeze dryer. Viabilitas bakteri yang terkandung dalam pupuk hayati juga menurun setelah dilakukan penyimpanan sampai 6 bulan, yaitu antara 101-103 sel/ml. Jumlah bakteri pada perakaran meningkat dengan pemberian pupuk hayati yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk hayati dengan lama simpan 0, 1, 2, 4, dan 6 bulan mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Namun semakin lama penyimpanan, responnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman semakin menurun. Penurunan tersebut terlihat pada bobot produksi jagung. Bobot produksi jagung tertinggi terdapat pada tanaman yang diberi pupuk hayati 1 bulan sebesar 113.43% dibandingkan dengan kontrol tanpa pupuk hayati namun diberi kompos. SARAN Jumlah bakteri yang dimasukkan ke dalam gambut sebaiknya ditingkatkan lebih dari 108 sel/ml agar pada saat freeze drying jumlah bakteri yang terkandung di dalam gambut masih tinggi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas pupuk hayati yang telah disimpan jika percobaan diaplikasikan di lapang. DAFTAR PUSTAKA Ainy ITE. 2008. Kombinasi Antara Pupuk Hayati dan Sumber Nutrisi Dalam Memacu Serapan Serapan Hara Pertumbuhan, Serta Produktivitas Jagung (Zea mays L.) dan Padi (Oryza sativa L.) [tesis]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Astuti
A. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Azospirillum sp. Indigenus Penghasil Asam Indol Asetat Asal Tanah Rizosfer [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Astuti RI. 2008. Analisis Karakter Pseudomonas sp. Sebagai Agen Pemacu Pertumbuhan Tanaman dan Biokontrol Fungi Patogen [tesis]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [Balitbang] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.[Http://www.litbang.pertanian.go.id] (28 Agustus 2016). Bashan Y, Bashan LE. 2000. Protection of Tomato Seedling Against Infection by Pseudomonas syringae pv. Tomato by Using The Plant Growth Promoting Bacterium Azospirillum brasilense. Appl Environ Microbiol 4: 990991. Chotiah S. 2006. Pengaruh proses freeze drying dan penyimpanan pada suhu kamar terhadap viabilitas dan patogenetas plasma nutfah mikroba Pasteurella multocida. Bul Plasm Nutf 12 (1): 40-44. Goenadi DH, Saraswati R, Nganro RR, Adiningsih AS. 1995. Mikroba Pelarut Hara dan Pemantap Agregat dari Beberapa Tanah Tropika Basa. Menara Perkebunan 62: 6066. Goenadi DH et al. 1999. Produksi Biofertilizer untuk Efisiensi Penggunaan Pupuk dalam Budidaya Tanaman yang Aman Lingkungan. Laporan Riset Unggulan Kemitraan II. Jakarta: KMNRT-BPPT. Gounot. 1991. Bacterial Life at Low Temperature, Physiological Aspects and Biotechnological Implications. J Appl Bacteriology 71: 386397. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamim, Mubarik NR, Hanarida I, Sumarni N. 2008. Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Pola Serapan Hara Ketahanan Penyakit, Produksi, dan Kualitas Hasil Beberapa Komoditas Tanaman Pangan dan Sayuran Unggulan. Laporan Penelitian KKP3T. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hidayati, Aplikasi Pupuk Hayati ....21
Hindersah R, Simarmata T .2004. Potensi Rizobakteri Azotobacter dalam Meningkatkan Kesehatan Tanah. J Natur Indones 5(2): 127-133. Koswara J, Aswidinnoor H, Purwoko BS. 1999. Pengaruh Patah Batang Terhadap Produksi Pada Jagung. Bul Agron 16 (1): 1-16. Kristanto HB, SM Mimbar, T Sumarni. 2002. Pengaruh Inokulasi Azospirillum Terhadap Efisiensi Pemupukan N Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L). Agrivita 24 (1): 74-79. Lema ATH. 2008. Viabilitas Isolat-isolat Bakteri Selulolitik Pada Bahan Pembawa Gambut [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Masdar. 2003. Pengaruh Lama dan Beratnya Defisiensi Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.). J Akt Agron 6 (2): 60-66. Mujib M, Setyawati D, Arimurti S. 2006. Efektivitas Pelarut Fosfat dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) Pada Tanah Masam [skripsi]. Jember: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember. Rachmawati E. 2008. Kandungan IAA dan Respon Tanaman Jagung dan Kedelai Terhadap Perlakuan Pupuk Hayati [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rokhmah F. 2008. Pengaruh toksisitas Cu terhadap pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa L.) serta upaya perbaikannya dengan pupuk penawar racun [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Dasar Jilid 2. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Plant Physiology. Edisi ke 4. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Dasar Jilid 3. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Plant Physiology. Edisi ke 4.
Santi
LP, Dariah A, Goenadi DH. 2008. Peningkatan Kemantapan Agregat Tanah Mineral oleh Bakteri Penghasil Eksopolisakarida. Menara Perkebunan 76 (2): 93-103.
Saraswati R. 1999. Teknologi Pupuk Multiguna Menunjang Keberlanjutan Sistem Produksi Kedelai. J Mikrobiol Indones 4:1-9. Sinar Tani. 2004. Jagung Varietas Unggul. [Http://www.sinartani.com/pangan/serbaserb i] (24 Juni 2009). Snell
JJS. 1991. General Introduction to Maintenance Method. Di dalam Kirsop BE, Doyle A (editor). Maintenance of Microorganisms and Cultured Cell. New York: Academic Press. Hlm 21-30.
Syamsiyah S. 2008. Respon Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L.) Terhadap Stres Air dan Inokulasi Mikoriza [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tilak KVBR, Ranganyaki N, Pal KK, De R, Saxena AK. 2005. Diversity of Plant Growth and Soil Health Supporting Bacteria. Curr Sci 89: 136-150. Vessey JK. 2003. Plant Growth Promoting Rhizobacteria as Biofertilizer. Plant Soil 255: 571-586. Widayanti T. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Bacillus sp. Indigenus Penghasil Asam Indol Asetat Asal Tanah Rizosfer [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Woitke M, Junge H, Schnitzler WH. 2004. Bacillus subtilis as Promoter in Hydroponically Grown Tomatoes Under Saline Conditions. Prociding V11 on Prot. Cult. Mild Winter Climates. Editor: Cantliffe DJ, Stofella PJ, Shaw N. Act Hort 659: 363-369. Wu SC, Cao ZH, Cheung KC, Wong MH. 2005. Effect of Biofertilizer Containing N-fixer, P and K Solubilizer and AM Fungi on Maize Growth: a Greenhouse Trial. Geoderma 125: 155-166. Wuytack EY, Soons J, Poschet F, Michiels CW. 2000. Comparative Study of Pressure and Nutrient-Induced Germination of Bacillus subtilis Spores. Appl Environ Microbiol 66:257-2
22 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
23
PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG BAWANG PUTIH (Allium sativum L) SEBAGAI FEED ADDITIVE ALAMI DALAM PAKAN TERHADAP KUALITAS EKSTERNAL DAN INTERNAL TELUR PADA BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) Muhammad Aminul Zuhri, Edhy Sudjarwo dan Adelina Ari Hamiyanti Fakultas Peternakan Universitas Bawijaya Malang e-mail:
[email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penambahan bubuk bawang putih dalam pakan pada kualitas eksternal dan internal puyuh. Materi penelitian yang ke satu hari usia 240 burung puyuh betina . Metode yang digunakan adalah eksperimental yang dirancang oleh Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan dan enam ulangan yang digunakan sepuluh burung puyuh setiap replikasi. Perlakuan yaitu P0 = pakan basal, P1 = basal pakan dengan 0,6 % bawang putih bubuk, P2 = basal pakan dengan 0,8 % bawang putih bubuk, dan P3 = basal pakan dengan 1 % bawang putih bubuk. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitas eksternal dan internal telur (berat telur, Unit Haugh, skor warna kuning telur, dan berat cangkang telur) burung puyuh. Data dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan jika ada hasil yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubuk bawang putih tidak meningkatkan persentase berat telur ( 58,71 ± 1,20 ). Pakan dengan penambahan 1 % dari bubuk bawang putih mewakili yang terbaik persentase skor warna kuning telur ( 6.33 ± 0.23 ). Kata Kunci: Tepung Bawang Putih, Feed Additive, dan Kualitas Telur Burung Puyuh PENDAHULUAN Burung puyuh merupakan salah satu ternak unggas yang mempunyai siklus produksi tercepat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia (Akil, Pilyang, Widjaya, Utama, dan Wirawan, 2009). Kelebihan usaha beternak burung puyuh dibandingkan dengan beternak ayam petelur atau itik petelur yaitu mempunyai produksi telur yang tinggi, produksi telur burung puyuh dapat mencapai 250-300 butir/ekor/tahun dengan berat rata-rata 10 g/butir, pertumbuhan burung puyuh lebih cepat, selain itu tidak membutuhkan area yang luas dalam pemeliharaan dan biaya yang besar, sehingga usaha peternakan burung puyuh ini dapat dilakukan oleh pemodal kecil dan pemodal besar dengan skala usaha komersial (Randell dan Gery, 2008). Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pengetahuan tentang gizi, menjadikan kebutuhan protein hewani meningkat. Salah satu sumber protein hewani adalah burung puyuh. Burung puyuh mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan, sebab dalam pemeliharaannya burung puyuh tidak membutuhkan areal yang luas dan pengembalian modalnya relatif cepat dikarenakan burung puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar 41 hari dengan produksi telur antara 250 sampai 300 butir per tahun (Setiawan,2006). Pakan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan peternakan selain bibit dan
manajemen. Pakan yang sering kali digunakan oleh peternak burung puyuh adalah pakan komersial karena sudah disesuaikan dengan kebutuhan ternaknya sehingga memenuhi standar. Komponen terbesar dari biaya produksi adalah pembiayaan pakan sekitar 60 - 80% (Hartadi dan Thilman, 1991). Oleh karena itu, perlu pakan alternatif untuk mengatasi salah satunya yaitu dengan memanfaatkan tepung bawang putih. Bawang putih serta daunnya mengandung senyawa fitokimia, yaitu suatu zat kimia alami yang terdapat dalam tumbuhan atau tanaman yang mempunyai fungsi luar biasa. Jenis fitokimia yang dikandung oleh tanaman bawang putih adalah allicin yang mempunyai fungsi sebagai antimikroba dan antioksidan. Feed additive atau imbuhan pakan biasa digunakan didalam campuran pakan ternak. Penggunaan feed additive dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, kesehatan dan keadaan gizi ternak. Beberapa jenis feed additive yang biasa digunakan para peternak ayam khususnya ayam petelur dan pedaging adalah antibiotika sintetik, enzim, probiotik, asam organik, flavor dan antioksidan. Antibiotika sintetik adalah jenis feed additive yang paling banyak digunakan oleh para peternak. Bawang putih telah lama menjadi bagian kehidupan masyarakat di berbagai peradaban dunia.
24 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 Namun belum diketahui secara pasti sejak kapan tanaman ini mulai dimanfaatkan dan dibudidayakan. Awal pemanfaatan bawang putih diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Hal ini didasarkan temuan sebuah catatan medis yang berusia sekitar 5000 tahun yang lalu (3000 SM), dari Asia Tengah kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sehingga bagi bangsa Indonesia bawang putih merupakan tanaman introduksi (Santosa, Basuki, Cholil, Dharma, dan Syekhfani,1991). Hasil Pertanian seperti bawang putih dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia, bahan baku dalam badan industri dan bahan pakan ternak. Bawang putih mengandung scordinin dan allicin, dimana scordinin berperan dalam memberikan kekuatan dan pertumbuhan tubuh, sedangkan Allicin dikenal mempunyai daya antibakteri yang kuat, banyak yang membandingkannya dengan penilisin (Saleh,2006). Pemberian tepung bawang putih pada ayam pedaging dari yang paling rendah P2 (0,02%) sampai pada pemberian tepung bawang putih tertinggi P5 (0,16%), kesemuanya memperlihatkan penurunan konsumsi pakan dibanding kontrol. Hal ini disebabkan tepung bawang putih mengandung senyawa aktif yaitu allicin, selenium dan metilatil trisulfida. Senyawa allicin bersifat anti bakteri mampu membunuh bakteri patogen. Selenium bekerja sebagai anti oksidan dan metilatil trisulfisa mencegah pengentalan darah. Kesemua ini akan mengakibatkan nilai tambah terhadap terlaksananya metabolisme lebih baik, penyerapan zat makanan lebih baik, ransum di konsumsi lebih sedikit, konversi ransum lebih rendah dan waktu yang diperlukan mencapai bobot satu setengah kg lebih cepat dibanding kontrol (Muhammad dan Bintang, 2007). Telur burung puyuh menjadi kudapan primadona bagi sebagian orang. Permintaan telur unggas yang bernama latin Coturnix-coturnix japonica ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Asosiasi Peternak Puyuh Indonesia pada tahun (2010) mengatakan bahwa permintaan telur unggas ini terus meningkat setiap tahunnya hampir di seluruh wilayah Indonesia, sementara itu baru 50% permintaan telur puyuh dari luar Jawa yang bisa dipenuhi oleh peternak di daerah Jawa. Usaha peternakan burung puyuh mulai mengalami
perkembangan dan pada dasarnya dipengaruhi oleh bibit, tatalaksana, pemeliharaan, dan kualitas pakan yang digunakan. Pakan memegang peranan yang besar, karena biaya pakan merupakan penyumbang terbesar dalam biaya produksi yakni sebesar 70%. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung bawang putih sebagai feed additive pada pakan terhadap kualitas eksternal dan kualitas internal telur burung puyuh. burung puyuh. Menurut Sitorus (2009) menyatakan bahwa burung puyuh jenis Coturnix coturnix japonica memiliki bobot badan rata - rata yaitu 150 gram. Burung puyuh mulai bertelur umur 41 hari, pada umur diatas 5 bulan terjadi puncak produksi telur dengan persentase bertelur 76%, dengan persentase kurang dari 50% produktivitas bertelur akan menurun pada umur 14 bulan. Kemudian produktivitas burung puyuh berhenti bertelur setelah berumur 2,5 tahun atau 30 bulan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kelengkapan informasi terutama dalam pemanfaatan tepung bawang putih. MATERI DAN METODE Pengambilan data penelitian di laksanakan di Peternakan milik Pak Samsudin di Desa Ampeldento Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang dan Laboraturium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Penelitian ini menggunakan 240 ekor burung puyuh betina jenis Coturnix- coturnix japonica yang berumur 7 hari diperoleh dari daerah Pare Kediri Jawa Timur. Waktu pemeliharaan yaitu 9 minggu. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang baterai, yang terdiri dari 24 kotak baterai dengan ukuran panjang, lebar, tinggi 40x25x30 cm per unit. Setiap unit kandang diisi oleh 10 ekor burung puyuh. Tiap unit dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempat pakan, tempat minum, timbangan, penampung telur, thermometer, nampan, kayu, lampu penerangan 5 watt masing-masing disetiap unit, kompor, kawat, kabel, tempat feses, dan peralatan lainnya. Peralatan pembuatan bawang putih menggunakan pisau, nampan plastik, oven, dan blender. Peralatan kebersihan meliputi ember,sapu lidi, dan kain lap.
Zuhri, Pengaruh Pemberian Tepung Bawang … 25 Pakan yang digunakan selama penelitian adalah pakan ayam broiler fase starter yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphan Indonesia (CP511B). Bawang putih diberikan dengan level 0,6%, 0,8%, dan 1% dalam bentuk tepung. Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan lapang yang dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), burung puyuh umur 7 hari terdiri dari 240 ekor masing-masing puyuh dibagi menjadi 4 perlakuan, dengan 6 ulangan sehingga terdapat 24 unit percobaan yang masing – masing diisi 10 ekor burung puyuh. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut : P0 = Pakan basal tanpa pemberian tepung bawang putih, P1 = Pakan basal + tepung bawang putih 0,6%, P2 = Pakan basal + tepung bawang putih 0,8%, dan P3 = Pakan basal + tepung bawang putih 1% Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas eksternal (berat telur, berat kerabang) dan kualitas internal (haugh unit, skor warna kuning telur) pada burung puyuh.
terakhir pada minggu keenam penelitian. Data yang didapat dari hasil lapang, diolah dengan menggunakan bantuan software microsoft excel. Setelah data rata-rata diperoleh, dilanjutkan dengan analisis statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dari Rancangan Acak Lengkap (RAL). Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0,05) atau berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dari pemanfaatan tepung bawang putih sebagai feed additive dalam pakan terhadap kualitas eksternal dan internal telur yang meliputi berat telur, haugh unit, warna kuning, dan berat kerabang telur burung puyuh ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Efek Perlakuan Terhadap Berat Telur, Haugh unit, Skor Warna Kuning Telur, Dan Berat Kerabang Telur Burug Puyuh. Variabel Penelitian Skor Warna Haugh Kuning Unit (HU) Telur (1–15)
1. Berat telur (g) diperoleh dengan menimbang telur puyuh yang dihasilkan dari masingmasing ulangan ditimbang menggunakan timbangan analitik.
Perlakuan
Berat Telur (g)
P0
8,49±0,50
68,26±0,45
5,45±0,46a
0,88±0,04
2. Berat kerabang telur (g) diperoleh dengan menimbang kerabang dengan membran telur setelah kerabang telur dipisahkan dari isi telur. Penimbangan kerabang telur menggunakan timbangan digital atau analitik.
P1
8,60±0,51
68,00±0,48
5,64±0,43a
0,88±0,03
b
0,89±0,04 0,85±0,04
3. HU (Haugh Unit) merupakan satuan nilai untuk mengukur kualitas telur berdasarkan logaritma terhadap tinggi albumen kemudian ditransformasikan ke dalam nilai koreksi dari fungsi berat telur. Tinggi telur diukur dari dua tempat menggunakan spherometer dari jarak 1 cm dari batas terluar kuning telur. HU = 100 log (h + 7,57 – 1,7. W0,37) 4. Skor Warna Kuning Telur merupakan pengukuran warna kuning telur yang dapat dilakukan dengan cara membandingkan kuning telur dengan Egg Yolk Colour Fan yang memiliki standar warna 1 – 15, semakin tinggi skor kuning telur maka semakin baik kualitas telur tersebut karena warna kuning telur mempengerahi kesukaan konsumen. Pengumpulan data dilaksanakan pada 7 hari
Berat Kerabang (g)
P2
8,68±0,62
68,58±0,43
6,07±0,30
P3
8,01±0,69
68,19±0,45
6,35±0,23b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) Pengaruh Penambahan Tepung Bawang Putih Terhadap Berat Telur Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung bawang putih dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap berat telur burung puyuh. Rataan berat telur pada tabel 6 dari tertinggi hingga terendah yaitu perlakuan P2 8,68±0,62 g/ekor/hari; P1 8,60±0,51 g/ekor/hari; P0 8,49±0,50 g/ekor/hari; P3 8,01±0,69 g/ekor/hari, dari rataan tersebut dapat dilihat bahwa berat telur tertinggi didapatkan pada perlakuan P2 8,68±0,62 g/ekor/hari yaitu dengan penambahan tepung bawang putih 0,8%. Hal ini dikarenakan pada tepung bawang putih tidak terdapat kandungan yang mempengaruhi pertambahan
26 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 berat telur dan kandungan protein pada pakan perlakuan rendah rata-rata 17-18% sehingga berat telur yang dihasilkan rendah Hal ini sesuai dengan Anonimus (2013), Protein pakan setiap perlakuan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi berat telur berpengaruh terhadap pembentukan albumen telur dan pembentukan kuning telur yang mempengaruhi berat telur yang dihasilkan. Atik (2010) menjelaskan bahwa faktor terpenting dalam pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein yang terkonsumsi dalam pakan karena kurang lebih 50% dari berat kering telur adalah protein dan konsumsi pakan beserta zat-zat yang terkandung didalamnya seperti protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin. Kandungan protein pakan 13-17% tidak berpengaruh terhadap berat telur, sebaliknya berat telur akan meningkat jika kadar protein mencapai lebih dari 17%. Rataan berat telur puyuh yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 8,01-8,68 g/butir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1995) bahwa telur puyuh mempunyai berat 7-8% dari berat induk, yaitu berkisar antara 712 g/butir. Beberapa pernyataan tentang berat telur puyuh sebagai contoh Achmanu dan Muharlien (2010) menyatakan bahwa nilai rataan setiap berat telur puyuh yang dihasilkan berkisar antara 9,229,34 g/butir sedangkan Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur puyuh Coturnixcoturnix japonica dengan warna burik berkisar antara 9-10 g/butir
perlakuan dengan penambahan tepung bawang putih sebanyak 0,08%. Hal ini dikarenakan pada tepung bawang putih tidak terdapat kandungan yang mempengaruhi berat telur dan kekentalan putih telur, kandungan protein pada pakan perlakuan rendah, rata- rata 17-18% sehigga kualitas nilai haugh unit yang dihasilkan rendah, padahal kebutuhan protein kasar burung puyuh 2022%. Hal ini sesuai dengan Silalahi (2009) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi puyuh fase layer yaitu PK 20,00-22,00%. Kandungan protein pakan setiap perlakuan mempengaruhi berat telur dan juga berfungsi dalam pembentukan kekentalan putih telur sehingga keduanya berpengaruh terhadap kualitas nilai HU yang dihasilkan. Nilai HU telur burung puyuh pada penelitian ini berkisar 68,00 – 68,58. Telur-telur yang dihasilkan selama penelitian tergolong kualitas A. Menurut Neisheim (1977), kualitas telur berdasarkan nilai HU digolongkan menjadi tiga yaitu kualitas B dengan nilai 33 – 60, kualitas A dengan nilai 60 – 70, dan kualitas AA dengan nilai 72 – 100. Hal ini sesuai dengan pendapat Stadelman (1997) yang menyatakan bahwa telur yang mempunyai nilai HU diatas 60 dapat digolongkan dalam kualitas A. Pengaruh Penambahan Tepung Bawang Putih terhadap Skor Warna Kuning Telur Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung bawang putih dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap skor warna kuning telur burung puyuh. Rataan skor warna kuning telur pada Tabel. 6 dari tertinggi
Pengaruh Penambahan Tepung Bawang Putih Terhadap Haugh Unit Telur Puyuh Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung bawang putih dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap Haugh Unit telur burung puyuh. Rataan nilai Haugh Unit pada Tabel. 6 dari yang tertinggi hingga terendah yaitu perlakuan P2 68,58±0,43, P0 68,26±0,45, P3 68,19±0,45, P1 68,00±0,48, dari rataan tersebut dapat dilihat bahwa nilai Haugh Unit tertinggi didapatkan pada perlakuan P2 68,58±0,43 diperoleh pada
hingga terendah yaitu perlakuan P3 6,33±0,23; P2 6,07±0,30; P1 5,64±0,43; P0 5,45±0,46, dari rataan tersebut dapat dilihat bahwa skor warna kuning terendah didapatkan pada perlakuan P0 5,45+0,46 diperoleh pada perlakuan tidak ada penambahan tepung bawang putih, dan skor warna kuning tertinggi didapat pada perlakuan P3 6,33±0,23 diperoleh pada perlakuan dengan penambahan tepung bawang putih sebanyak 1%. Selain itu warna kuning telur yang dihasilkan dalam penelitian ini memperlihatkan perbedaan sehingga perlakuan pakan mempengaruhi warna kuning telur. Hal ini dikarenakan kandungan
Zuhri, Pengaruh Pemberian Tepung Bawang … 27 tepung bawang putih mengandung allicin dan scordinin. Menurut, Syamsiah dan Tajudin (2003). Allicin merupakan senyawa yang dapat membuat darah merah lebih licin dan tidak menggumpal sehingga mampu mencegah penumpukan deposit lemak di dinding pembuluh darah. Selain allicin, fitokimia yang terdapat dalam bawang putih ialah scordinin. Scordinin mampu meningkatkan perkembangan tubuh karena scordinin mampu bergabung dengan protein dan menguraikannya. Kedua zat tersebut diduga dapat mempengaruhi warna kuning telur. Faktor lain yang mempengaruhi warna kuning telur selain pakan adalah lama penyimpanan. Warna kuning telur berubah semakin muda seiring dengan penyimpanan. Telur yang disimpan lama merubah warna kuning telur menjadi pudar. Hal ini disebabkan adanya proses pengenceran putih telur, yaitu diserapnya air dari albumen ke dalam kuning telur sehingga kuning telur menjadi muda dan pucat (Romanoff and Romanoff, 2002). Silalahi (2009) menyatakan bahwa indeks warna kuning telur yang baik berkisar antara 9-12. Semakin tinggi skor warna kuning telur maka semakin baik kualitas telur tersebut (Muharlien, 2010). Pigmen telur adalah karoten dan riboflavin yang diklasifikasi sebagai lipokrom, yaitu xanthophyill maka warna kuning telur semakin berwarna jingga kemerahan (Yuwanta 2010).
Pengaruh Penambahan Tepung Bawang Putih terhadap Berat Kerabang Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung bawang putih dalam pakan memberikan perbedaan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap berat kerabang telur burung puyuh. Rataan berat kerabang telur pada Tabel. 6 dari tertinggi hingga terendah yaitu perlakuan P2 0,89±0,04; P0 0,88±0,04; P1 0,88±0,03; P3 0,85±0,04, dari rataan tersebut dapat dilihat bahwa berat kerabang telur tertinggi didapatkan pada perlakuan P2 0,89±0,04 g diperoleh pada perlakuan penambahan tepung bawang putih 0,8%. Hal tersebut dikarenakan kandungan tepung bawang putih mengandung sumber Ca dan P yang banyak sehingga berat kerabang telur burung puyuh antar
perlakuan meberikan pengaruh perbedaan yang tidak nyata. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa faktor nutrisi utama yang berhubungan dengan kualitas kerabang adalah kalsium, phospor, dan vitamin D. Kalsium merupakan nutrient terpenting dalam pembentuk kerabang. Kerabang telur terjadi saat fase gelap saat unggas tidak aktif makan dan sumber kalsium ini kemudian menjadi cadangan makanan dalam saluran pencernaan dan pada tulang rawan yang berpengaruh pada pembentukan kerabang telur dan didukung oleh Sazer (2007) bahwa, beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah mutu kerabang telur antara lain genetik, umur unggas, suhu lingkungan tinggi, makanan dan penyakit. Umur unggas berpengaruh pada pembentukan kerabang telur. Umur unggas yang semakin tua akan mengalami penitipan kerabang karena fungsi reproduksi unggas tersebut mengalami penurunan akibat bertambahnya umur. Menurut Amrullah (2003) berat kerabang secara kuantitatif adalah 10% dari total berat telurnya, lebih lanjut dijelaskan bahwa berat kerabang telur sangat dipengaruhi oleh pakan yang di konsumsi, berat telur dan umur puyuh. Ensminger (1992) dan Wahju (1997) menjelaskan bahwa kandungan kalsium dan fosfor dalam pakan berperan terhadap kualitas kerabang telur seperti ketebalan cangkang, berat dan struktur kerabang telur.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung bawang putih berpotensi meningkatkan kualitas eksternal dan kualitas internal telur burung puyuh. SARAN Disarankan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai level atau persentase penambahan tepung bawang putih sebagai feed additive alami dalam pakan untuk mengetahui efek positif terhadap berat telur, haugh unit, skor warna kuning telur dan berat kerabang pada telur burung puyuh.
28 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 DAFTAR PUSTAKA Achmanu, dan Muharlien. 2011. Ilmu Ternak Unggas. UB Prees. Malang. Akil, S. W. G. Piliyang, C. H. Widjaya, D.B. Utama., dan L. K. G. Wirawan. 2009. Pengkayaan Selinum Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Pakan Puyuh terhadap Performa, serta Potensi Telur Puyuh sebagai Sumber Antioksian. JITV14(1): 110. Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Satu Gunungbudi. Bogor. Anggorodi, H.R.1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka. Jakarta. Anonymous. 2013. Ada apa di balik telur. http://www.anakku.net/ (diakses tanggal 1 Desember 2014) Anonymous. 2003. Japanese Quail (CoturnixCoturnix Japonica). The Canadian copartner of Birdlife International. http://avibase.bsc-eoc.org/species.jsp? avibaseid=110CF4251 A857B0D (diakses 01Desember 2014) Atik, P. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamark) Dalam Ransum Terhadap Kualitas Telur Itik. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Asiamaya.2000.Nutrisi Bawang Putih, Mentah. http://www.Asiamaya.com/nutrient/ bawangputih.html. 22-6-2000. Diakses 19 juni 2015. Belitz, H.D. and W. Grosch, 1999. Food Chemistry. 2nd Ed, Springer, Berlin. Carlyle D. B. 1993. Measuring Table Egg Shell Quality with One Specific Gravity Salt Solution. Department of Animal & Poultry Science, University of Saskatchewan, Saskatoon, Saskatchewan, S7N0W0, Canada. Eishu, R. 2005. Effects of Dietary Protein Levels on Production and Caracteristics of Japanese Quail Egg. The Journal of Poultry Science, 42: 130-139 Elvira S, T. Soewarno. Soelcarto dan Mansjoer. 1994. Studi Komparatif Mutu Dan Fungsional Telur Puyuh Telur Ayam Ras. Hasil Penelitian. l Vd. V no. 3. Tir.1994.
SS. Sifat Dan Pm,
Endang. R. M. 2004. Pengaruh Penggunaan Dedak Gandum (Whea Pollar). Terfermentasi Terhadap Kualitas Telur Ayam Arab. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. Interstate Publisher Inc, Danville, Illinois. Febrianto, 2004. Potensi Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Jenderal Soedirman. Bengkulu. Hardjosworo, P.S, 1992. Beternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Puyuh.
Hartadi, H.S, Reksohadiprojo dan A.D. Thillman. 1991. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. U.G.M. Universitas Gajah Mada Press. Herman, E. 2000. Formulasi Bubuk Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Seasoning Komersial. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kasiati. 2010. Kajian Fisiologis Status Kalsium Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) setelah Pemberian Cahaya Monokromatik. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Jurusan Biologi,Fakultas MIPA. Universitas Diponegoro Latifah, R. 2007. The Increasing of Rejected Duck’s Egg Quality With Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (Pmsg) Hormones. The way to increase of layer duck. 4:1-8. Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut PertanianBogor. Muhammad, Z dan Bintang. 2007. Mencapai Bobot Badan Siap Pasar melalui Penggunaan Bawang Putih (Allium Sativum L.) pada Ransum Komersial untuk Ayam Broler. Balai Penelitian Ternak.Ciawi. Bogor. Nasution, Z. 2007. Pengaruh Suplementasi Mineral (Ca, Na, P, Cl) dalam Ransum terhadap Performans dan IOFC Burung Puyuh (Coturnix- Coturnix Japonica) umur 0 – 42 Hari. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Zuhri, Pengaruh Pemberian Tepung Bawang … 29 Neisheim, M. N., R. E. Autic and L.E. Card. ed. 1977. Poultry Production. Th 12 Lea Febiger, Philadelphia. Pappas, J. 2002. Coturnix Japonica. Animal Diversity Web. Http:/animaldiversity. ummz. edu/site/accounts/information/Cotu rnixjaponica.com (Diakses tanggal 1 Desember 2014). Randell, M dan B. Gery. 2008. Raising Japanese Quail. http://www. dpi.nsw.gov.au. Diakses28 Oktober 2015. Romanoff, A.L & A. Romanoff. 2002. The Avian Egg. John Wiley and Sons, New York. Rose. S.P., 1997. Principles of Poultry Science. CAB International London. Santosa, M, N. Basuki, A. Cholil, D. A. Dharma dan Syekhfani. 1991. Pengembangan Bawang Putih di Dataran Medium (400 m dpl). Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional LIPI. Jakarta. Saleh, E. 2006. Pemberian Tepung Bawang Putih (Allium sativum L.) dalam Ransumterhadap Performas Itik Peking Umur 1–8 Minggu (The Usage of Garlic (Allium sativum L.).Fakultas Pertanian Universtitas Sumatra Utara.Medan. Sezer, M. 2007. Heritability of Exterior Egg Quality Traits in Japanese Quail. Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Gaziosmanpasa University, 60240, Tokat/TURKEY http://www.nobel.gen.tr/Makaleler/ JABSIssue%201-19-2011.pdf (diakses 01 Desember 2014). Setiawan, D. 2006. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Pada Perbandingan Jantan dan Betina yang Berbeda. Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor. Bogor. Silalahi, M. 2009. Pengaruh Beberapa Bahan Pengawet Nabati Terhadap Nilai Haugh Unit, Berat dan Kualitas Telur Konsumsi Selama Penyimpanan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar Lampung. Sitorus, J. P. 2009. Pemanfaatan Pemberian Tepung Cangkang Telur Ayam Ras dalam Ransum Terhadap Performan Burung Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Umur
0-42 Hari. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Medan. Stadelman, W. J. And O. J. Cotteril. 1995. Th Egg Science and Technology. 2 ed Avi. Publishing Co. Inc, Westport. Connecticut. Suharti. S. 2002. Pusat Kajian Makanan, Minuman dan Obat Tradisonal. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian, Bogor. http/www.SuaraMerdeka.Com/Harian/0804/ 22/3htm-17. Diakses 23 Oktober 2015 Suprijatna, E., S. Kismiati, dan N. R. Furi. 2008. Penampilan Produksi dan Kualitas Telur pada Puyuh yang Memperoleh Protein Rendah dan Disuplementasi Enzim Komersial. J. Indon. Trop. Anim. Agric. Fakultas Peternakan Universitas Dipenogoro, Semarang. Syamsiah, I. S., Tajudin. 2005. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih Raja Antibiotik Alami. Agromedia Pustaka. Jakarta Tuti, W. 2009. Pemanfaatan Tepung Daun Pepaya (Carica papaya. L L ess) Dalam Upaya Peningkatan Produksi dan Kualitas Telur Ayam Sentul. J. Agroland 16 (3) : 268 – 273. Usman, B. A., A. U. Mani, A. D. El- Yuguda, and S.S. Diarra. 2008. The effect of suplemental ascorbic acid on the development of newcastle disease in japanese quail exposed to high ambient temperature. International Journal of Poultry Science 7(4): 328-332. Varghese, S. K. 2007. The Japanese Quail. Feather Francier Newspaper. Canada. Very, T. S. Manajemen Pemeliharaan Burung Puyuh (Cortunix-cortunix japonica) di Peternakan Agri Bird Jaten Karanganyar. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press. Yogyakarta. Winarno, F. G. dan S. Koswara, 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor. Wiryawan, K. G., S. Suharti dan M. Bintang. 2005. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe dan Bawang Putih
30 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 terhadap Salmonella typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih terhadap Performans dan Respon Imun Ayam Pedaging. Media Peternakan. 28(2): 52-62. Yılmaz Alper, Tepeli and Caglayan. 2011. External and internal egg quality characteristics in Japanese quails of different plumage color lines. Department of
Animal Science, Faculty of Veterinary Medicine , University of Selcuk, Alaaddin Keykubat Kampüs, Konya, 42003, Turkey. Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
31
ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DI KECAMATAN AMBUNTEN, KABUPATEN SUMENEP Suparno dan Desi Maharani Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui nilai investasi dalam melakukan usahatani ayam petelur, (2) mengetahui pendapatan usaha tani yang diterima peternak dalam melakukan usahatani ayam ras petelur satu periode pemeliharaan, (3) menganalisis biaya dalam usahatani ayam petelur, (4) menganalisis keuntungan/laba dalam usahatani ayam petelur, (5) menganalisis Break Event Point (BEP) usahatani ayam ras petelur, (6) menganalisis Payback Period (PBP) ) usahatani ayam ras petelur, dan (7) menganalisis ROI pada usahatani ayam ras petelur. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ambunten , Kabupaten Sumenep. Untuk mengetahui kelayakan bisnis peternakan ayam petelur yang berlokasi di Kecamatan Ambunten menggunakan salah satu aspek dalam studi kelayakan bisnis, yaitu aspek ekonomi dan keuangan. Dalam aspek ekonomi dan keuangan yang dianalisa adalah: Investasi, Pendapatan, Biaya, Laba. Untuk dapat menentukan kelayakan bisnis peternakan ayam petelur digunakan analisis ROI, PBP, BEP. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai titik impas atau BEP, Peternak harus mampu menjual produknya sebanyak 31.556 butir per 100 ekor ayam atau sebanyak 1.972 kg bila diasumsikan 1 kg telur sama dengan 16 butir telur. Tingkat pendapatan yang harus dicapai oleh peternakan ayam petelur agar mencapai kondisi BEP adalah sebesar Rp 2.958.882 per 100 ekor ayam per bulan. kelima usaha peternakan ayam petelur di Kecamatan Ambunten dalam penelitian ini termasuk dalam usaha yang layak untuk dijalankan. Hal dapat dilihat dari rata-rata ROI yang dihasilkan yaitu sebesar 49 % dimana nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga bank sebesar 1,15 %. Sedangkan jumlah total investasi yang diperlukan peternakan ayam ras petelur sebesar Rp 5.041.910.000 dengan jumlah laba sebesar Rp 2.477.961.460 membutuhkan rata-rata jangka waktu 2 tahun 3 bulan untuk menutup keseluruhan biaya investasinya. Kata kunci: Kelayakan Usaha, Ayam Ras Petelur PENDAHULUAN Perkembangan peternakan ayam ras petelur di Indonesia sangat pesat, terutama ayam ras petelur yang menghasilkan telur berkulit coklat. Pesatnya perkembangan tersebut tidak hanya didorong oleh peluang pasar yang masih terbuka,
tetapi juga oleh kebijakan pemerintah dengan adanya Surat Edaran direktorat jendaral peternakan No. TN 220/ 173/e/ 0387 yang membatasi impor paren stock, pembatasan impor parent merangsang perusahaan produsen bibit ayam ras petelur melakukan seleksi stain/ jenis.
Tabel 1. Produksi Telur Menurut Jenis Unggas Tahun 2010-2014 (dalam ribuan) Jenis Unggas Ayam Ras Petelur Ayam Buras Itik
2010 620,8 177 185
2011 786 178,1 175,4
Berdasarkan tabel di atas ayam ras petelur masih memegang posisi teratas disbanding dengan unggas lainnya. Tabel diatas menunjukan bahwa peningkatan dan penurunan produksi menurut jenis unggas setiap tahunnya terus terjadi, terjadinya peningkatan dan penurunan produksi diakibatkan karena harga pakan yang tidak stabil. Salah satu komponen biaya produksi dalam usaha beternak ayam ras petelur adalah biaya pakan, biaya pakan merupakan biaya terbesar dari biaya-biaya produksi lainya untuk meningkatkan jumlah pendapatan
2012 677,1 180,4 195
2013 834,8 196 192,6
2014 890,2 216,5 203,5
telur, tentu saja dibutuhkan perawatan yang baik dan juga tambahan pakanan-pakanan yang berkualitas baik supaya ayam ras petelur terus betelur sebelum masuk masa aktif, penambahan bahan makanan inilah yang menyebabkan peternak menambah biaya produksi. Dengan adanya penambahan biaya produksi maka timbul salah salah satu pertanyaan apakah usaha peternakan ayam petelur ini layak unuk dilanjutkan.
32 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: mengetahui nilai investasi dalam melakukan usahatani ayam petelur, mengetahui pendapatan usaha tani yang diterima peternak dalam melakukan usahatani ayam ras petelur satu periode pemeliharaan, menganalisis biaya dalam usahatani ayam petelur, menganalisis keuntungan/laba dalam usahatani ayam petelur, menganalisis Break Event Point (BEP) usahatani ayam ras petelur, menganalisis Payback Period (PBP) ) usahatani
ayam ras petelur, dan menganalisis ROI pada usahatani ayam ras petelur. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peternakan-peternakan ayam ras petelur yang berlokasi di wilayah Kecamatan Ambunten. Jumlah populasi peternakan ayam ras petelur di wilayah Kecamatan Ambunten tersaji dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2. Jumlah Populasi Peternakan Ayam Ras Petelur Kecamatan Ambunten No 1 2 3 4 5
Desa
Nama Pemilik
Ambunten Tengah Kelles Sogiyan Ambunten Timur Tambaagung Ares
H. Muhlis H.Asnawi Buhari Makmun H. Sukandar Total
Metode Pengumpulan data usahatani ayam ras petelur dengan melakukan pencatatan secara sistimatis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki dan wawancara Tanya jawab secara langsung dengan nara sumber yang mengtahui tentang objek yag diteliti data yang diperoleh disusun dalam bentuk tabulasi pengolahan data yang didapat dilakukan dengan menggunakan kalkulator disamping itu juga peneliti untuk mengelola data menggunakan computer terutama program excel 1998. Agar dapat mengetahui kelayakan bisnis peternakan ayam petelur yang berlokasi di Kecamatan Ambunten, penulis akan menggunakan salah satu aspek dalam studi kelayakan bisnis, yaitu aspek ekonomi dan keuangan. Dalam aspek ekonomi dan keuangan
Jumlah Ternak (ekor) 66.000 12.000 10.000 8.000 6.000 102.000
yang dianalisa adalah :Investasi, Pendapatan, Biaya, Laba. Kriteria investasi yang dilihat dari segi Return on Investment (ROI), Pay Back Period (PBP), dan Break-Even Point (BEP). HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Peternakan Kecamatan Ambunten merupakan salah satu daerah di Kabupaten Sumenep yang terkenal dengan usaha peternakan ayam ras petelur, begitu pula dengan berbagai jenis ternak lain yang juga banyak dipelihara oleh masyarakat setempat. Adapun jenis dan populasi ternak yang terdapat di Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel di bawah ini
Tabel 3. Jenis dan Populasi Ternak di Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep No 1. 2. 3. 4.
Jenis Ternak
Sapi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Itik Jumlah Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, 2015.
Jumlah (Ekor) 157 2.384 594.831 2.348 599.720
Suparno, Analisis Kelayakan Usaha Peternakan …33 Dari Tabel di atas jenis ternak yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat di Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep adalah sebagian besar ternak unggas yaitu ayam ras petelur dengan populasi sebanyak 594.831 ekor. Jumlah tersebut merupakan jumlah populasi ayam ras petelur yang paling banyak dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Sumenep.
Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep. Penelitian dilakukan dengan mengambil 5 usaha peternakan yang ada 5 desa di Kecamatan Ambunten. Berdasarkan data-data yang diperoleh berikut pembahasan mengenai kelayakan usaha peternakan ayam ras petelur yang ada di Kecamatan Ambunten apabila dilihat dari segi ekonomi.
Analisa Kelayakan Analisa kelayakan adalah cara yang dapat dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan suatu usaha sehingga dapat diketahui kelayakan dari usaha tersebut untuk dijalankan. Dalam penelitian ini, usaha yang ddimakssud adalah usaha peternakan ayam ras petelur yang ada di
Investasi Penghitungan atas investasi ini sangat ddiperlukan untuk menentukan biaya, titik impas, menghitung laba/keuntungan, serta pendanaan peternakan lainnya. Berikut ini disajikan tabel investasi Peternakan ayam ras petelur di Kecamatan Ambunten.
Tabel 4. Investasi Peternakan Ayam Petelur per 100 ekor ayam Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak Keterangan A.Lancar A.Tetap Total Aktiva Total Investasi Investasi /100 ekor ayam
H.Muhlis (66000) 170.100.000 2.916.000.000 3.086.100.000 3.086.100.000
H.Asnawi (12000) 31.320.000 633.000.000 664.320.000 664.320.000
Buhari (10000) 24.350.000 387.250.000 411.600.000 411.600.000
Makmun (8000) 21.150.000 426.500.000 447.650.000 447.650.000
H.Sukandar (6000) 15.740.000 417.500.000 433.240.000 433.240.000
4.675.909
1.006.545
4.116.000
5.595.625
7.220.666
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, untuk menjalankan usaha peternakan ayam ras petelur diperlukan investasi sebesar Rp.22.614.745,-. Nilai total investasi yang diperlukan untuk peternakan dengan total kapasitas 102.000 ekor ayam siap telur (layer) adalah sebesar Rp 5.041.910.000,- yang terbagi atas aktiva lancar sebesar Rp 262.660.000,dan aktiva tetap sebesar Rp 4.780.250.000,-. Dapat dilihat pula bahwa dari kelima usaha peternakan ayam ras petelur, usaha peternakan milik H.Sukandar yang memiliki keperluan investasi yang paling tinggi yaitu sebesar Rp 7.220.666,dengan kapasitas 6000 ekor ayam layer.
Total (102.000 ekor) 262.660.000 4.780.250.000 5.041.910.000 5.041.910.000 22.614.745
Biaya Biaya merupakan seluruh pengeluaran kas yang dilakukan dalam proses pelaksanaan usaha peternakan ayam ras petelur. Biaya dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan kandang, bangunan, mobil,dan peralatan. Biaya variabel dikeluarkan untuk melakukan pembelian pakan, vaksin, gaji pegawai, dan listrik. Tabel berikut merupakan masing-masing biaya pada 5 usaha peternakan ayam ras petelur
Tabel 5. Biaya Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak Keterangan Biaya Tetap Biaya Variabel Total biaya Total Biaya /100 ekor ayam
H.Muhlis (66000) 20.572.200 780.775.000 801.347.200
H.Asnawi (12000) 874.200 166.875.000 167.749.200
Buhari (10000) 3.564.400 196.480.000 200.044.400
Makmun (8000) 3.105.120 196.480.000 199.585.120
H.Sukandar (6000) 994620 99.318.000 100.312.620
1.214.162
1.397.910
2.000.444
2.494.814
1.671.877
Total (102.000 ekor) 29.110.540 1.439.928.000 1.469.038.540 1.440.233
34 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 Tabel di atas merupakan keseluruhan dari total biaya dari 5 usaha peternakkan di kecamatan Ambunten. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa biaya total yang harus dikeluarkan oleh peternak ayam petelur setiap bulannya untuk 100 ekor ayam adalah sebesar Rp 1.440.233,-. Usaha peternakan milik Pak Makmun merupakan peternakan yang mengeluarkan biaya total per 100 ekor ayam yang paling besar apabila dibandingkan dengan usaha peternakan yang lain., yaitu sebesar Rp 2.494.814,-, sedangkan pengeluaran biaya total paling kecil dikeluarkan oleh usaha peternakan milik H.Muhlis yaitu sebesar Rp 1.214.162,-. Hal ini disebabkan karena H muhlis memiliki tingkat investasi yang tinggi dibandingkan dengan usaha
peternakan yang lainnya. Dari tabel 6 juga diketahui bahwa biaya total keseluruhan yang harus dikeluarkan oleh usaha peternakan untuk 102.000 ekor ayam siap telur adalah sebesar Rp 1.469.083.540. Pendapatan Pendapatan merupakan aliran kas masuk yang diperoleh dari penjualan barang-barang hasil produksi atas kegiatan usaha yang ddilaksanakan. Pendapatan yang diperoleh oleh usaha peternakan ayam ras petelur adalah dari penjualan telur ayam, kotoran ayam, dan ayam afkir. Pendapatan usaha peternakan ayam ras petelur di kecamatan Ambunten disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 6. Pendapatan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Keterangan
H.Muhlis (66000)
Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak H.Asnawi Buhari Makmun (12000) (10000) (8000)
H.Sukandar (6000)
Total (102.000 ekor)
Pendapatan
2.550.300.000
471.100.000
348.100.000
288.750.000
213.800.000
3.872.050.000
Total pendapatan /100 ekor ayam
3.864.090
3.925.833
3.481.000
3.609.375
3.563.333
3.796.127
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pendapatan tertinggi diperoleh oleh peternakan milik H.Muhlis dengan tingkat prosentase ayam bertelur yaitu 75 % dari 66000 ayam layer yaitu sebesar Rp 2.550.300.000. Sedangkan yang memperoleh tingkat pendapatan terendah yaitu peternakan milik H. Sukandar dengan prosentase ayam bertelur adalah 73 % dari 6.000 ayam layer yaitu sebesar
Rp 213.800.000. Laba Usaha Laba usaha merupakan hasil yang diperoleh dari pengurangan total pendapatan dengan total biaya yang harus dikeluarkan. Laba usaha dihitung per 100 ekor ayam/ bulan. Perincian atas laba usaha disajikan alam tabel berikut :
Tabel 7. Laba Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Keterangan Pendapaan Total biaya Laba Laba /100 ekor ayam
H.Muhlis (66000) 2.550.300.000
Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak H.Asnawi Buhari Makmun (12000) (10000) (8000) 471.100.000 348.100.000 288.750.000
H.Sukandar (6000) 213.800.000
Total (102.000 ekor) 3.872.050.000
801.347.200
167.749.200
200.044.400
199.585.120
100.312.620
1.469.038.540
1.748.952.800
303.350.800
148.055600
89.164.880
188.437.380
2.477.961.460
2.649.928
2.527923
1.480.556
1.114561
3.140.623
2.429.373
Laba usaha yang diperoleh peternakan atas penjualan telur ayam, kotoran ayam, dan ayam afkir adalah Rp 2.429.373 per 100 ekor ayam per bulan. Laba usaha seluruh kapasitas adalah Rp 2.477.961.460 per bulannya untuk 102.000 ekor ayam. Dari tabel tersebut dapat juga dilihat
peternakan yang mampu menghasilkan laba usaha paling besar adalah Peternakan milik H.Sukandar yaitu sebesar Rp 3.140.623 per 100 ekor ayam, dan yang terendah adalah peternakan milik Pak Makmun yaitu sebesar Rp 1.114.561 per 100 ekor ayam.
Suparno, Analisis Kelayakan Usaha Peternakan …35 semakin baik usaha tersebut. BEP dalam penelitian ini ada dua yaitu BEP atas dasar unit dan BEP atas dasar penjualan dalam rupiah. Berdasarkan uraian diatas hasil penghitungan BEP dalam penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
Kriteria Kelayakan Usaha 1. BEP (Break Even Point ) Break Even Point adalah titik pulang pokok dimana total pendapatan sama dengan total biaya. Semakin cepat suatu usaha dapat mencapai titik impas, maka
Tabel 8. BEP Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Keterangan BEP (Q) BEP ( (P )
H.Muhlis (66000) 22356 20.992.040
Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak H.Asnawi Buhari Makmun (12000) (10000) (8000) 951 3925 3442 892.040 3.712.916 3.231.375
Tabel diatas menunjukkan bahwa untuk mencapai titik impas atau BEP,Peternak harus mampu menjual produknya sebanyak 31556 butir per 100 ekor ayam atau sebanyak 1972 kg bila diasumsikan 1 kg telur sama dengan 16 butir telur. Di dalam tabel juga dijelaskan tingkat pendapatan yang harus dicapai oleh peternakan ayam petelur agar mencapai kondisi BEP adalah sebesar Rp 2.958.882 per 100 ekor ayam per bulan. Masing-masing peternakan ayam ras petelur memiliki jumlah produk dan pendapatan yang berbeda untuk mencapai kondisi BEPnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh besarnya jumlah biaya tetap usaha itu sendiri, semakin besar jumlah biaya tetap maka penjualan produknya juga semakkin banyak, guna
H.Sukandar (6000) 1088 1.025.381
Total (102.000 ekor) 31556 2.958.882
menutup biaya tetap yang dikeluarkan tersebut. Sebagai contoh Peternakkan milih Hmuhlis harus mampu menjual produk telur sebanyak 22356 butir dengan prosentase ayam bertelur setiap harinya 75% untuk menutup biaya tetap sebesar Rp. 20.572.200,-. 2. Return Of Investment (ROI ) ROI ini digunakan untuk menilai kelayakan investasi usaha atau proyek, sebuah usaha dikatakan layak dijalankan apabila ROI lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang berlaku pada saat usaha tersebut diusahakan. Berikut adalah hasil perhitungan ROI pada 5 usaha peternakan ayam ras petelur di Kecamatan Ambunten
Tabel 9. ROI pada usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Nama Peternak dan jumlah Kepemilikan Ternak Keterangan ROI Suku Bunga Bank/ Bulan
H.Muhlis (66000) 56 %
H.Asnawi (12000) 49,7 %
Buhari (10000) 35 %
Makmun (8000) 20 %
H.Sukandar (6000) 44 %
1,15 %
1,15 %
1,15 %
1,15 %
1,15 %
Dengan melihat tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kelima usaha peternakan ayam petelur di kecamatan Ambunten dalam penelitian ini termasuk dalam usaha yang layak untuk dijalankan. Kelayakan ini dapat dilihat dari ratarata ROI yang dihasilkan yaitu sebesar 49 % dimana nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga bank sebesar 1,15 %.
Total (102.000 ekor) 49 % 1,15 %
3. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period adalah suattu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi yang dilakukan dengan menggunakan aliran kas bersih. Semakin cepat pengembalian dari sebuah usaha, maka kinerja usaha tersebut semakin baik. PBP dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 10. PBP Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ambunten Nama Peternak dan Jumlah Kepemilikan Ternak Keterangan Total investasi Laba usaha PBP (tahun)
H.Muhlis (66000)
H.Sukandar (6000)
Total (102.000 ekor)
H.Asnawi (12000)
Buhari (10000)
Makmun (8000)
3.086.100.000
664.320.000
411.600.000
447.650.000
433.240.000
5.041.910.000
1.748.952.800 1,8
303.350.800 2,2
148.055600 2,8
89.164.880 5,02
188.437.380 2,3
2.477.961.460 2,03
36 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah total investasi yang diperlukan peternakan ayam ras petelur sebesar Rp 5.041.910.000 dengan jumlah laba sebesar Rp 2.477.961.460 membutuhkan ratarata jangka waktu 2 tahun 3 bulan untuk menutup keseluruhan biaya investasinya.
7. jumlah total investasi yang diperlukan peternakan ayam ras petelur sebesar Rp 5.041.910.000 dengan jumlah laba sebesar Rp 2.477.961.460 membutuhkan rata-rata jangka waktu 2 tahun 3 bulan untuk menutup keseluruhan biaya investasinya.
KESIMPULAN 1. Nilai total investasi yang diperlukan untuk peternakan dengan total kapasitas 102.000 ekor ayam siap telur (layer) adalah sebesar Rp 5.041.910.000,- yang terbagi atas aktiva lancar sebesar Rp 262.660.000,- dan aktiva tetap sebesar Rp 4.780.250.000,-. 2. Biaya total yang harus dikeluarkan oleh peternak ayam petelur setiap bulannya untuk 100 ekor ayam adalah sebesar Rp 1.440.233,-. 3. Pendapatan tertinggi diperoleh oleh peternakan milik H.Muhlis dengan tingkat prosentase ayam bertelur yaitu 75 % dari 66000 ayam layer yaitu sebesar Rp 2.550.300.000. 4. Laba usaha yang ddiperoleh peternakan atas penjualan telur ayam, kotoran ayam, dan ayam afkir adalah Rp 2.429.373 per 100 ekor ayam per bulan. Laba usaha seluruh kapasitas adalah Rp 2.477.961.460 per bulannya untuk 102.000 ekor ayam. 5. untuk mencapai titik impas atau BEP,Peternak harus mampu menjual produknya sebanyak 31556 butir per 100 ekor ayam atau sebanyak 1972 kg bila diasumsikan 1 kg telur sama dengan 16 butir telur. 6. kelima usaha peternakan ayam petelur di kecamatan Ambunten dalam penelitian ini termasuk dalam usaha yang layak untuk dijalankan. Hal dapat dilihat dari rata-rata ROI yang dihasilkan yaitu sebesar 49 % dimana nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga bank sebesar 1,15 %.
DAFTAR PUSTAKA Dilon, Jhon l & J.B Hardaker, Ilmu Usahatani &Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. From manajement reseach for small development. Diterjemahkan oleh soekartawi & Asoeharjo, Cet ke-3 (Jakarta: UI-press,1986). Hernanto, F. Ilmu usaha Tani. Cetakan pertama. (Jakarta, Penerbit, Swadaya 1989). Mahekam, dan Malcolm, Manajemen Usahatani Daerah Tropis. The Ekonimics of Tropical Farm Management. Diterjemahkan Oleh B. Teku, Cet.1 (Jakarta:LP3S, 1991). Nuroso,
S.Pt. Pembesaran Ayam Kampung Pedaging Hari Per Hari. Cet Ke-1 (Jakarta. Penerbit Penabar Swadaya, 2010).
Rasyaf, M. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Kampung. (Yogyakarta. Kanisius, 1992). Sarwono, B. Beternak Ayam Buras. Cet Ke-31 Edisi Revisi (Jakarta. Penebar Swadaya. 2010). Soeharjo, A Dan Dahlan Patong. Sendi-sendi Pokok Usahatani. Jurusan Ilmu-ilmu Sosek Pertanian. (Bogor. Fakultas Pertanian IPB, 1986) Soekartawi, A.S.J.L. Dilolon dan J.B. Hardaker. Ilmu usahatani dan penelitian untuk pengembangan petani kecil. (Jakarta UIPress, 1986). Soekartawi, Analisis Usahatani. (Jakarta, UIPress, 2006).
37
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL BERDASARKAN PELUANG DAN TANTANGAN Suhartina dan I. Susanti S Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Sulawesi Barat, Majene, Sulawesi Barat e-mail :
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui strategi pengembangan ternak kerbau yang dipelihara secara tradisonal berdasarkan peluang dan tantangan yang dihadapi peternak. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan dengan metode sampling jenuh, jumlah populasi peternak kerbau Desa Tandung Kecamatan Tinambung adalah 35 orang. Data primer dan sekunder yang diperoleh digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Peluang pengembangan usaha ternak kerbau yang dipelihara secara tradisional oleh peternak di Desa Tandung Kecamatan Tinambung adalah tersedianya lahan yang berpotensi sebagai pengembangan HMT, peternak yang sudah berpengalaman, banyaknya limbah pertanian sebagai pakan ternak, daging dan susu kerbau merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi, transportasi yang baik, permintaan produk ternak kerbau meningkat, dan dukungan dari pemerintah. Tantangan yang dihadapi peternak dalam mengembangkan usaha ternak kerbaunya terdiri dari kelemahan dan ancaman. Kelemahan terdiri dari pola pemeliharaan ekstensif, sulit dalam pengaturan perkawinan, penerapan teknologi masih rendah, dan ketersediaan modal yang masih kurang. Sedangkan ancaman terdiri dari pencurian ternak, pemotongan ternak betina produktif, dan ketersediaan pasar untuk menampung ternak yang siap jual. Strategi dalam pengembangan ternak kerbau yaitu pola pemeliharaan semi intensif dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas, dengan memanfaatkan lahan tidak produktif. Ternak dilepas pada siang hari di padang penggembalaan yang telah diberi pembatas dan dimasukkan ke kandang pada malam hari. Kata kunci: Strategi, pengembangan, kerbau, peluang, tantangan.
PENDAHULUAN Peningkatan produksi peternakan terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi terus dilanjutkan melalui usaha pembinaan daerah-daerah produksi yang ada serta pengembangan wilayah produksi baru. Sehubungan dengan itu perlu lebih ditingkatkan upaya pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna baik untuk meningkatkan populasi ternak maupun mutu ternak, pemeliharaan kesehatan ternak, penyuluhan dan pembinaan peternak, penyediaan sarana dan prasarana dalam bidang peternakan serta pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Salah satu komoditi yang terdapat pada sub sektor peternakan adalah kerbau. Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ternak rumunansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika. Ternak ini sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Khususnya di Desa Tandung Kecamatan Tinambung, ternak ini bahkan lebih duluan dikembangkan dari pada ternak sapi. Kerbau merupakan ternak dwiguna yang digunakan sebagai ternak kerja dan juga sebagai ternak potong
bahkan pada daerah tertentu ternak kerbau ini melambangkan status sosial dalam masyarakat. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternak tersebut semakin berkurang populasinya. Hal ini disebabkan karena ternak kerbau memiliki spesifikasi khusus yang oleh sebagian masyarakat penanganannya menjadi sangat rumit bila dibandingkan dengan ternak sapi, selain itu jumlah pakan yang diperlukan lebih banyak, kebutuhan air yang juga lebih banyak. Sehingga jika tidak ada perhatian khusus maka populasinya akan semakin berkurang, padahal ternak kerbau sangat berpotensi untuk suplai daging dan produk lainnya yang berupa susu dan kulit . Desa Tandung merupakan salah satu desa yang cukup potensial untuk pengembangan usaha ternak kerbau tersebut karena memiliki sarana pendukung usaha budidaya kerbau. Lahan kurang produktif yang potensial untuk pengembangan HMT ditambah dekat dengan hamparan sawah yang memiliki limbah berupa jerami yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beternak menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat di Desa Tandung yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, khususnya ternak kerbau dengan jumlah populasi berdasarakan data BPP Kecamatan Tinambung
38 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 tahun 2011 yaitu sebanyak 236 ekor. Peternak budidaya kerbau di Desa Tandung sejak turun menurun telah mengelola ternak kerbau secara tradisional dengan cara melepaskannya ke tanah lapang karena melimpahnya pakan rumput. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pengembangan ternak kerbau yang dipelihara secara tradisonal berdasarkan peluang dan tantangan yang dihadapi peternak. MATERI DAN METODA Penelitian dilakukan dengan metode sampling jenuh atau biasa disebut total sampling adalah sampel yang mewakili jumlah populasi (Sugiyono, 2007). Jumlah populasi peternak kerbau Desa Tandung Kecamatan Tinambung adalah 35 orang, karena populasinya kecil maka seluruh populasi peternak dijadikan sebagai sampel penelitian. Jenis penelitian ini adalah studi kasus (case study) pada peternak kerbau yang ada di Desa Tandung Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Survei lapang dilakukan dengan melakukan pengamatan dan wawancara terhadap peternak kerbau. Studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Nasir, 1988). Subyek penelitian ini adalah peternak kerbau. Studi ini menggunakan pengambilan data primer berupa hasil survey lapang dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan Peternakan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Polewali Mandar, dan BAPPEDA Kabupaten Polewali Mandar. Data sekunder yang diambil meliputi populasi ternak kerbau, jumlah peternak, luas penggunaan lahan dan data lainnya yang dianggap mendukung dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal kekuatan (Strengths) dan kelemahan (weaknesses), dan lingkungan eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang dihadapi dalam dunia bisnis. Menurut Pearce dan Robinson (1997), dalam melakukan analisis eksternal, suatu usaha menggali dan mengidentifikasi semua peluang yang berkembang pada saat itu serta ancaman dari para pesaing, sedangkan analisis internal lebih menfokuskan pada informasi kekuatan dan kelemahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis strategis dilakukan untuk mengetahui strategi yang akan dipakai oleh masyarakat pengusaha ternak kerbau. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengidentifikasi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat) yang dapat terjadi dalam usaha ternak kerbau tersebut. Pengembangan ternak kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung memerlukan perhatian khusus mengingat keadaan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini cenderung melahirkan ketidakharmonisan interaksi antara kerbau dengan lingkungannya. Ketidakharmonisan ini erat kaitannya dengan pola pemeliharaan kerbau yang sebagian besar masih dilakukan secara ekstensif (dilepas sepanjang hari), sementara pemanfaatan lahan semakin intensif sehingga ketersediaan areal untuk penggembalaan ternak semakin terbatas. Karena itu dilakukan analisis SWOT untuk melihat faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) untuk mengetahui strategi pengembangan ternak kerbau guna mengkaji lebih dalam prospek pengembangan ternak kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung sebagai berikut: 1. Faktor Internal a. Kekuatan (strength) Ternak Kerbau Sebagai Komoditas Sosial Budaya Ternak kerbau sudah menjadi bagian penting dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakat Tinambung, tidak saja sebagai komoditas ekonomi tetapi juga berfungsi sebagai komoditas sosial budaya. Di beberapa daerah tertentu kerbau menjadi bagian dari prosesi adat, seperti perkawinan atau upacara adat kematian, yang tidak boleh digantikan dengan ternak lainnya. Dengan demikian kerbau memiliki nilai ekonomis yang tinggi di tengah masyarakat. Kemampuan Mencerna Pakan Bermutu Rendah Kerbau memiliki kemampuan mencerna pakan bermutu rendah yang lebih efisien daripada sapi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan lambannya gerakan makanan didalam saluran pencernaan kerbau sehingga makanan tersebut dapat diolah lebih lama
Suhartina, Strategi Pengembangan Usaha Ternak … 39 dan penyerapan zat gizinya akan lebih banyak. Oleh karena itu jarang sekali ditemukan kerbau yang kurus walaupun dengan ketersediaan pakan yang seadanya. Perdagingan yang penuh dan padat menjadikan kerbau memiliki persentase daging yang lebih tinggi ketimbang sapi. Tidak heran kalau para pedagang ternak lebih menyukai kerbau untuk dipotong daripada sapi. Kemampuan Fisik Ternak Kerbau Dari sisi kemampuan fisik kerbau memiliki kaki yang kokoh disertai teracak yang lebar. Sungguhpun jalannya lambat tetapi mampu menarik beban yang berat serta menempuh medan yang becek bahkan berlumpur. Oleh karena itu kerbau sangat cocok digunakan sebagai ternak penarik hasil produksi pertanian dan kehutanan di lokasi-lokasi yang hampir mustahil dilalui oleh kendaraan lainnya. Selain itu, kerbau juga mampu menyesuaikan diri terhadap tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim. Misalnya, kerbau bisa hidup dengan baik meskipun terjadi perubahan suhu dan vegetasi padang rumput. b. Kelemahan (weakness) Pola Pemeliharaan Ekstensif Pola pemeliharaan ternak kerbau sebagian besar masih ekstensif sehingga menimbulkan berbagai ekses negatif seperti konflik dengan usaha pertanian lain, meningkatnya pencurian dan sulitnya pengendalian kesehatan ternak. Penerapan pola pemeliharaan ini terkesan didukung oleh ketentuan adat humo bepagar siang, ternak bekandang malam, yang diartikan bahwa ternak boleh saja berkeliaran dan masuk ke lahan pertanian pada siang hari. Tetapi praktiknya saat ini pada malam haripun ternak tetap saja berkeliaran. Walaupun kerbau dipelihara dalam jumlah yang banyak namun menejemen pemeliharaan masih menggunakan sistem ekstensif, yakni lebih menjurus kepada status sosial budaya, sebagai tabungan dan kesenangan, belum menyentuh kepada penggunaan ternak sebagai usaha komersial. Sulit Dalam Pengaturan Perkawinan Dari sisi fisiologis kerbau memiliki perilaku reproduksi yang relatif berbeda
dibandingkan dengan sapi. Salah satunya adalah kecenderungan induk kerbau memperlihatkan ciri birahi tenang (silence heat) serta datangnya birahi pada subuh dan malam hari. Hal ini menyebabkan pengaturan perkawinan pada pola pemeliharaan intensif menjadi relatif lebih sulit. Penerapan Teknologi Masih Rendah Daya reproduksi kerbau tidak kalah dengan sapi. Dalam pemeliharaan intensif, selang kelahiran (waktu yang dibutuhkan antara dua kelahiran yang berturutan) dapat mencapai 13 bulan. Karena penerapan teknologi masih rendah dan pemeliharaan kerbau dilepas bebas di pasang penggembalaan tanpa perlakuan pakan dan pengaturan perkawinan maka selang kelahiran dapat mencapai lebih dari 24 bulan. Ketersediaan Modal Yang Masih Kurang Walaupun dukungan pemerintah dalam bentuk bantuan dana dalam program SMD namun hal itu tidak mencukupi kebutuhan biaya produksi untuk pengembangan ternak kerbau, mengingat biaya produksi untuk pemeliharaan ternak kerbau sangat tinggi. Karena itu masyarakat petyernak sangat mengharapkan adanya bantuan baik dari pihak swasta maupun pemerintah. 2. Faktor Eksternal a. Peluang (Opportunity) Tersedia Lahan Yang Berpotensi Sebagai Pengembangan HMT Peternak di Desa Tandung tergabung dalam suatu organisasi yaitu Kelompok Tani Simemangan. Kelompok tani ini mempunyai lahan seluas 0.5 Ha yang digunakan secara bersama yaitu untuk lokasi kandang, Industri pengolah limbah, industri Biogas, gudang pakan, dan sanggar tani sedangkan untuk lokasi penunjang, berupa HMT tersedia lahan ±25 Ha yang merupakan milik anggota kelompok. Pengalaman Peternak Peternak di Desa Tandung pada umumnya sudah berpengalaman dalam beternak baik ternak besar seperti sapi dan kerbau maupun ternak kecil seperti kambing dan unggas. Pengalaman dalam beternak sudah berkisar antara 5 – 20 tahun. Dengan pengalaman
40 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
tersebut maka berbagai hambatan dalam budidaya ternak kerbau dapat diatasi. Banyaknya Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Pembangunan ekonomi di Kabupaten Polewali Mandar tertumpu pada sub sektor pertanian. Jika dikelola dengan baik maka sub sektor ini merupakan mitra yang serasi dengan pengembangan ternak kerbau. Usahatani pertanian dapat meningkatkan ketersediaan pakan untuk ternak, sebaliknya tenaga kerja dan pupuk kandang dari ternak dapat dimanfaatkan pada usahatani pertanian. Daging Dan Susu Kerbau Merupakan Sumber Protein Bernilai Gizi Tinggi Adanya kecenderungan masyarakat moderen untuk back to nature sehingga pangan eksotik seperti halnya daging kerbau, yang juga memiliki kandungan lemak rendah, mempunyai potensi yang sangat besar sebagai komoditas ekspor ke negara maju. Hal ini disebabkan karena Daging dan susu kerbau merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi. Keju mozarela yang lezat dan sangat terkenal di dunia terbuat dari susu kerbau. Begitu pula, dadih yang terbuat dari susu kerbau telah lama diproduksi secara tradisional oleh masyarakat. Produk fermentasi susu ini tidak kalah gizi dan manfaatnya dengan produk fermentasi susu modern seperti yogurt. Transportasi Yang Baik Kecamatan Tinambung terletak pada perlintasan wilayah antar provinsi dan transportasi yang baik sehingga memiliki akses yang lebih mudah untuk pengiriman komoditas perdagangannya ke pasar-pasar potensial. Permintaan Produk Ternak Kerbau Meningkat Usaha ternak kerbau masih memiliki peluang pasar yang besar mengingat usaha ternak kerbau ini masih jarang diusahakan oleh masyarakat khususnya di Sulawesi Barat. Karena hal tersebut maka permintaan ternak kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berbagai konsumen baik dari masyarakat sekitar maupun dari daerah lain seperti Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tanah Toraja. Ternak kerbau
biasanya digunakan untuk upacara-upacara adat. Dukungan Pemerintah Salah satu bentuk dukungan dari pemerintah terhadap usaha budidaya ternak kerbau adalah pemberian bantuan dana terhadap peternak melalui beberapa program diantaranya sarjana membangun desa (SMD). Peternak yang tergabung dalam kelompok tani yang difasilitasi pemerintah dengan usaha yang telah berjalan dengan baik diharapkan dapat membentuk suatu wadah ekonomi yaitu koperasi. Kelompok tani binaan diharapkan mampu mengelola usahanya secara professional sehingga investasi publik dan perbankan akan tertarik membiayai usaha peternakan kerbau ini. b. Ancaman (Threat) Pencurian Ternak Sarana transportasi yang semakin lancar memberikan kemudahan bagi para pencuri ternak kerbau. Petani merasa semakin tidak nyaman untuk mengembangkan ternak kerbau karena pencurian, hal ini telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang mendorong semakin tidak kondusifnya pengembangan ternak kerbau serta secara nyata berpengaruh negatif terhadap populasi ternak ini. Jika petani merasa tidak nyaman memelihara ternak maka ternak yang lebih dahulu dijual adalah pejantan. Oleh karenanya dampak yang paling cepat terlihat adalah penurunan angka kelahiran karena kesulitan pejantan. Pemotongan Ternak Betina Produktif Pemotongan ternak kerbau betina, yang besar kemungkinan masih produktif masih tinggi, hal ini dapat menyebabkan penurunan angka kelahiran sehingga populasi ternak kerbau lambat laun akan menurun. Ketersediaan Pasar Untuk Menampung Ternak Yang Siap Jual. Walaupun permintaan ternak kerbau dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan namun ketersediaan pasar untuk menampung ternak yang siap dijual belum ada. Produksi ternak kerbau yang dihasilkan peternak masih lebih besar dari permintaan pasar, sehingga ternak yang siap jual menumpuk di peternak. Hal ini menjadi kendala bagi peternak karena ternak yang
Suhartina, Strategi Pengembangan Usaha Ternak … 41 seharusnya dijual masih perlu dipelihara untuk menunggu pembeli, hal ini dapat menambah biaya produksi. 3. Strategi Pengembangan Penentuan alternatif strategi yang sesuai bagi usaha ternak kerbau adalah membuat matriks
SWOT seperti pada Tabel 1 berikut. Matriks SWOT dibuat berdasarkan hasil analisis faktorfaktor strategi baik internal maupun eksternal yang terdiri dari faktor kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat).
Tabel 1. Matriks SWOT Untuk Penentuan Strategi Pengembangan Ternak Kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung Internal
Eksternal Peluang (O) Tersedia lahan yang berpotensi sebagai pengembangan HMT Pengalaman peternak Banyaknya limbah pertanian sebagai pakan ternak Daging dan susu kerbau merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi Transportasi yang baik Permintaan Produk Ternak Kerbau Meningkat Dukungan Pemerintah Ancaman (T) Pencurian ternak Pemotongan ternak betina produktif Ketersediaan pasar untuk menampung ternak yang siap jual.
Kekuatan (S) Ternak kerbau sebagai komoditas sosial budaya Kemampuan mencerna pakan bermutu rendah Kemampuan fisik ternak kerbau Potensi tenaga kerja besar
Kelemahan (W) Pola pemeliharaan ekstensif Sulit dalam pengaturan perkawinan Penerapan teknologi masih rendah Ketersediaan modal yang masih kurang
Strategi S-O Penambahan populasi ternak kerbau Penerapan teknologi pakan Peningkatan keterampilan peternak melalui pelatihan
Strategi W-O Optimalisasi lahan untuk HMT Penerapan teknologi tepat guna Kerjasama dengan lembaga perkreditan
Strategi S-T Pemeliharaan ternak dengan pola semi-intensif Intensifikasi lahan penanaman HMT Penyelamatan ternak betina produktif
Strategi W-T Meningkatkan pengawasan Memperbaiki manajemen produksi Pelatihan peternak
Berdasarkan uraian analisis faktor internal dan eksternal maka pemeliharaan ternak kerbau dengan pola ekstensif merupakan faktor penentu yang paling penting sebagai penyebab timbulnya permasalahan dalam pengembangan ternak kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lahan penggembalaan serta tingginya tingkat pencurian ternak maka pola pemeliharaan ternak seperti ini tentunya tidak bisa dipertahankan lagi. Mengubah pemeliharaan kerbau secara langsung ke pola intensif (sepenuhnya dikandang), seperti halnya pada ternak sapi, rasanya belum memenuhi kelayakan budaya. Selain itu juga akan mempersulit dalam proses perkawinan ternak karena sifat reproduksi kerbau yang khas itu.
Sedangkan untuk penyediaan padang penggembalaan khusus dengan luasan yang mampu menyediakan hijauan dalam jumlah cukup tentu masih memerlukan perhitungan kelayakan ekonomisnya. Karena itu yang paling layak diterapkan adalah pola semi intensif, dimana ternak digembalakan dan dikandangkan pada waktu-waktu tertentu. Pola pemeliharaan semi intensif yang paling layak diterapkan adalah dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas, dengan memanfaatkan lahan tidak produktif seperti rawa. Ternak dilepas pada siang hari di padang penggembalaan yang telah diberi pembatas dan dimasukkan ke kandang pada malam hari. Kandang tersebut dibangun berderet dipinggir padang
42 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017 penggembalaan. Fungsi padang penggembalaan disini lebih banyak untuk memudahkan perkawinan, disamping dapat menyediakan sebagian dari kebutuhan pakan ternak. Guna mencukupi ketersediaan pakan yang terbatas di padang penggembalaan maka peternak harus memberikan tambahan hijauan berupa jerami hasil pertanian untuk ternak mereka di kandang masingmasing. Merubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternak mereka menjadi mau untuk menyediakan pakan dan mengawasi ternaknya setiap hari tentunya membutuhkan proses rekayasa sosial (social engineering) yang harus dilakukan secara seksama. Dalam pelaksanaannya tidak saja membutuhkan upaya penyuluhan yang intensif tetapi juga disertai dengan pembinaan kelompok peternak dan dorongan masyarakat secara menyeluruh. Ketersediaan pejantan yang bermutu dalam jumlah cukup di masing-masing padang penggembalaan menjadi faktor penentu dalam peningkatan angka kelahiran dan mutu genetik keturunan ternak. Pada sistem pemeliharaan ternak berkelompok sangat sulit diharapkan adanya petani yang mau menyediakan pejantan yang bermutu untuk kebutuhan induk para anggota lainnya. Oleh karena itu akan lebih baik jika pemerintah dapat membantu dalam penyediaan pejantan ini dengan menggaduhkan sejumlah pejantan yang terseleksi kepada peternak. Pejantan gaduhan ini tidak harus didatangkan dari tempat lain tetapi dapat saja ternak milik anggota kelompok itu sendiri yang dibeli oleh pemerintah. Setelah digunakan 4 – 5 tahun maka pejantan tersebut dapat dijual dan dibagi hasil dengan peternak yang menggaduhnya. Penggaduhan pejantan ini hendaknya disertai dengan program peningkatan mutu genetis melalui seleksi, penerapan IB (kawin suntik) dan menghindari kasus kawin sedarah (inbreeding). Upaya menekan aktivitas pemotongan ternak betina produktif tentunya perlu mendapat perhatian, mengingat aktivitas ini akan mempercepat proses pengurasan populasi kerbau. Implementasinya tidak saja membutuhkan pendekatan yuridis tetapi harus juga digabung dengan pendekatan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut agar pendekatan yang diterapkan untuk mengatasi masalah klasik ini dapat dirancang secara tepat guna.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai prospek pengembangan ternak kerbau di Desa Tandung Kecamatan Tinambung sebagai berikut: 1. Peluang pengembangan usaha ternak kerbau yang dipelihara secara tradisional oleh peternak di Desa Tandung Kecamatan Tinambung adalah tersedianya lahan yang berpotensi sebagai pengembangan HMT, peternak yang sudah berpengalaman, banyaknya limbah pertanian sebagai pakan ternak, daging dan susu kerbau merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi, transportasi yang baik, permintaan produk ternak kerbau meningkat, dan dukungan dari pemerintah. 2. Tantangan yang dihadapi peternak dalam mengembangkan usaha ternak kerbaunya terdiri dari kelemahan dan ancaman. Kelemahan terdiri dari pola pemeliharaan ekstensif, sulit dalam pengaturan perkawinan, penerapan teknologi masih rendah, dan ketersediaan modal yang masih kurang. Sedangkan ancaman terdiri dari pencurian ternak, pemotongan ternak betina produktif, dan ketersediaan pasar untuk menampung ternak yang siap jual. 3. Strategi dalam pengembangan ternak kerbau yaitu pola pemeliharaan semi intensif dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas, dengan memanfaatkan lahan tidak produktif. Ternak dilepas pada siang hari di padang penggembalaan yang telah diberi pembatas dan dimasukkan ke kandang pada malam hari. DAFTAR PUSTAKA Anonim,
2006. Kajian Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan Agribisnis. Lembaga Penelitian IPB dan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
___________ . 2008. Kerbau Sumber Daging dan Susu. Balai Penelitian Ternak. Departemen Pertanian, RI. ___________. 2009. Ternak Kerbau Penghasil Daging di Sumatra Barat. BBP2LP. Litbang. Deptan. Badan Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Polewali Mandar dalam Angka 2009/20010. Sulawesi Barat.
Suhartina, Strategi Pengembangan Usaha Ternak … 43 Indriantoro dan Supomo, 2001. Metode Penelitian Bisnis. BPFE, Yogyakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung.
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soekartawi., Soeharjo, Dillon JL, dan Hardaker, JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Strategi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tambunan, T. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia. Beberapa Isu Penting. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
44 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
45
IPTEK BAGI MASYARAKAT (IbM) PEMBERDAYAAN ANGGOTA PKK DAN KELOMPOK WANITA TANI DESA PANGGUNG KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG Riszqina dan D.K. Agustina Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail :
[email protected] Abstrak Program IbM bertujuan agar dapat membantu meningkatkan peran anggota tim Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa Panggung dalam meningkatkan sumberdaya yang ada disekitarnya; meningkatkan keterampilan para kaum perempuan/ wanita tani serta dapat membentuk masyarakat yang mandiri secara ekonomi dan dapat menciptakan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan IbM di Desa Panggung Kecamatan Sampang terdiri dari 20 orang anggota PKK dan Kelompok Wanita Tani. Kegiatan dilaksanakan dari bulan April hingga Nopember 2016. Metode pelaksanaan program IbM adalah pelatihan dan pendampingan. Sebelum pelaksanaan pelatihan dilakukan pre test dan setalah pelaksanaan pelatihan dilakukan post test. Hasil pelatihan menjadi acuan dalam kegiatan pendampingan. Kegiatan pelatihan yang dilakukan berupa: (1) Pelatihan manajemen kelompok (2) Peningkatan ketrampilan anggota kelompok dalam mengolah limbah pertanian (3) Pengelolaan hasil limbah pertanian. Hasil kegiatan penerapan teknologi pengolahan hasil limbah pertanian, ditunjukkan dengan (a) adanya peningkatan pengetahuan anggota tentang pemanfaatan limbah pertanian yang sangat nyata (b) adanya peningkatan keterampilan anggota mengolah limbah pertanian (c) cukup mampu menghasilkan produk pakan alternatif (fermentasi jerami dan kue sapi). hasil usaha pengolahan limbah pertanian ditandai dengan (a) semakin banyak petani/peternak yang memanfaatkan limbah pertanian (kulit kacang, janggel jagung dan jerami padi) untuk pakan ternak sapi dengan memberikan perlakuan sebelum diberikan kepada sapi (b) kelompok wanita tani cukup mampu mengolah limbah pertanian serta mengemas menjadi kue sapi yang siap jual dan dipasarkan ke masyarakat. Kesimpulan dari kegiatan iptek bagi masyarakat di desa Panggung yaitu: (1)peserta mulai mengetahui pembukuan kelompok sesuai dengan standar manajemen kelompok pembukuan yang harus dimiliki oleh setiap organisasi (2) peserta sudah bisa memproduksi pakan alternatif sapi dengan berbahan dasar limbah pertanian (3) peserta sudah bisa membuat kue sapi yang telah kemas sehingga mempunyai nilai jual Kata kunci: pemberdayaan, anggota PKK, kemandirian, wanita tani
PENDAHULUAN Ketersediaan pakan di Pulau Madura sangat tergantung pada musim hujan. Pada musim kemarau, ketersediaan pakan sangat terbatas. Umumnya yang bertugas mencari pakan bagi sapi adalah kaum perempuan. Pakan sapi berupa hijauan diperoleh dipinggir jalan atau pematang sawah. Para petani atau peternak sangat sedikit yang berupaya menyimpan pakan. Menurut Riszqina (2014), permasalahan ini disebabkan: (1) tempat menyimpan pakan yang dimiliki oleh peternak sangat terbatas (2) pemahaman tentang jumlah kebutuhan akan pakan setiap sapi tidak terlalu menjadi persoalan bagi peternak. Peternak selalu beranggapan yang penting sapi sudah diberi pakan (3) keterbatasan waktu yang dicurahkan untuk sapi rata-rata per hari 3,66 jam (4) pengetahuan peternak tentang pemeliharaan sapi hanya berdasarkan tradisi (5) pada usaha sapi potong, kenggotaan peternak dalam kelompok tani terbatas (hanya 38,75% yang menjadi anggota
kelompok) (6) peternak jarang mengikuti pelatihan/penyuluhan (92,5% tidak mengikuti pelatihan). Beberapa keadaan yang menjadi dasar pertimbangan kegiatan program iptek bagi masyarakat (IbM) dilaksanakan di desa Panggung diantaranya analisis situasi lokasi desa Panggung dan kondisi tatanan social yang ada. Desa Panggung merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Sampang, terdiri dari 4 dusun, yaitu dusun Panggung, Bekotem, Talon dan Tase’an. Batas administratif desa Panggung sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pakalongan dan Desa Taman Sareh; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Baruh; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gunung Madah dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pasean dan Desa Tanggumong. Analisis situasi lokasi kegiatan IbM sebagai berikut: (1) Dusun Bekotem memiliki luas wilayah 126,55 Ha dengan jumlah kepala keluarga
46 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
sebanyak 275 (kepala keluarga) KK dan jumlah penduduk sebanyak 750 jiwa. Mata pencaharian penduduk tergantung pada pertanian dan peternakan. Pola tanam yang dilakukan oleh penduduk Dusun Bekotem adalah (a) padi-padijagung dan tembakau (b) padi-jagung-tembakaujagung. Jumlah penduduk yang memelihara ternak sebanyak 240 KK atau setara 87,3% dari jumlah KK yang ada di Dusun Bekotem. Jumlah sapi yang ada di Dusun Bekotem sebanyak 480 ekor atau rata-rata kepemilikan sapi setiap KK sebanyak 1,74 ekor (2) Dusun Panggung memiliki luas wilayah seluas 130,5 Ha dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 315 KK dan jumlah penuduknya sebanyak 1050 jiwa. Mata pencaharian penduduk Dusun Panggung sebagian besar tergantung pada usaha pertanian dan peternakan. Pola tanam yang ada di Dusun Panggung adalah (a) padi-padijagung-tembakau (b) padi-jagung-kacang tanahtembakau. Jumlah penduduk yang memelihara sapi di Dusun Panggung sebanyak 150 KK atau setara dengan 47,62% dari seluruh jumlah KK di Dusun Panggung. Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 315 ekor atau rata-rata setiap KK memelihara sapi sebanyak 1,00 ekor. Kondisi tatanan sosial masyarakat di Desa Panggung hampir sama dengan kondisi desa-desa di Kabupaten Sampang. Setiap pergantian Kepala Desa, akan berimbas kepada tatanan kelembagaan dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di desa tersebut. Aparat Desa Panggung dan anggota PKK telah mengalami pergantian relatif baru. Khalayak sasaran dalam program IbM adalah kelompok wanita tani yang pada umumnya menjadi anggota PKK dan masyarakat yang ada di Dusun Panggung dan Dusun Bekotem. Kelompok anggota PKK yang ada relatif masih baru terbentuk. Hasil diskusi tim pengusul dengan mitra yang berasal dari ketua PKK desa Panggung dan Kelompok wanita tani Dusun Bekotem adalah (a) usaha yang dapat meningkatkan keterampilan bagi kaum perempuan dan wanita tani (b) upaya yang dapat secara ekonomi meningkatkan kemandirian bagi kaum perempuan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka program IbM bertujuan agar dapat membantu meningkatkan peran anggota tim Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa Panggung dalam meningkatkan sumberdaya yang ada disekitarnya; meningkatkan keterampilan para kaum perempuan/ wanita tani serta dapat membentuk masyarakat yang mandiri secara
ekonomi dan dapat menciptakan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. MATERI DAN METODE Kegiatan iptek bagi masyarakat di Desa Panggung Kecamatan Sampang terdiri dari 20 orang anggota PKK dan Kelompok Wanita Tani. Kegiatan dilaksanakan dari bulan April hingga Nopember 2016. Pendekatan yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) tahap persiapan (2) tahap analisis situasi (3) tahap perencanaan program atau kegiatan (4) tahap pelaksanaan kegiatan dan (5) tahap evaluasi. Metode pelaksanaan program IbM adalah pelatihan dan pendampingan. Sebelum pelaksanaan pelatihan dilakukan pre tes dan setalah pelaksanaan pelatihan dilakukan pos tes. Hasil pelatihan menjadi acuan dalam kegiatan pendampingan. Kegiatan pelatihan yang dilakukan berupa: (1) Pelatihan manajemen kelompok (2) Peningkatan ketrampilan anggota kelompok dalam mengolah limbah pertanian (3) Pengelolaan hasil limbah pertanian. Target luaran dari kegiatan iptek bagi masyarakat ini, adalah: (1) Pengembangan Kelompok di Bidang Manajemen Agribisnis ; dengan indikator keberhasilan: (a) mampu melakukan pembukuan secara mandiri (b) memiliki usaha utama kelompok (c) dapat menyusun rencana usaha; (2) Penerapan Teknologi Pengolahan Hasil Limbah Pertanian, dengan indikator keberhasilan: (a) pengetahuan anggota tentang pemanfaatan limbah pertanian meningkat (b) ketrampilan anggota mengolah limbah meningkat (c) menghasilkan produk pakan alternatif (fermentasi jerami dan kue sapi); (3) Pengelolaan Hasil Usaha Pengolahan Limbah Pertanian, dengan indikator keberhasilan: (a) Peningkatan pemanfaatan limbah pertaniannya sebagai pakan ternak sendiri (b) Dapat memasarkan hasil pengolahan limbah pertanian ke masyarakat umum Tingkat keberhasilan kegiatan iptek bagi masyarakat ini dievaluasi selama pendampingan, dan didasarkan seberapa besar tambahan capaian atau perubahan yang diperoleh selama kegiatan pelatihan dan pendampingan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang dicapai selama pelaksanaan kegiatan pengabdian meliputi kegiatan Pengembangan Kelompok di Bidang Manajemen Agribisnis, Penerapan Teknologi Pengolahan Hasil
Riszqina, IbM Pemberdayaan Anggota PKK …. 47
Limbah Pertanian dan Pengelolaan Hasil Usaha Pengolahan Limbah Pertanian. Pengembangan Kelompok Manajemen Agribisnis
di
Bidang
Kegiatan pengembangan kelompok dilaksanakan dengan memberi pelatihan tentang pembukuan kelompok, kerjasama dan kemandirian kelompok dan permodalan dan pemasaran hasil usaha. Hasil pretest untuk materi yang pertama yaitu tentang manajemen kelompok di peroleh hasil sebesar 32.5% Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan awal peserta masih kurang tentang manajemen kelompok masih kurang memahami. Setelah dilaksanakan pelatihan ternyatakan hasil post tes sebesar 58,5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan masih belum memberi hasil yang maksimal, sehingga dilanjutkan dengan pendampingan. Selama pendampingan hanya anggota yang berpendidikan Sekolah Lanjutan dan masih usia muda yang mau dan mampu melaksanakan pembuatan administrasi kelompok dan pembukuan. Tingkat penyerapan informasi tentang teknologi dan manajemen menurut Mwanyumba et al., (2010) tergantung pada tingkat pendidikan yang cukup dan tenaga kerja yang tetap, sedangkan Saleh et al. (2006) menyatakan bahwa umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong. Riszqina (2014) menyatakan bahwa, faktorkemampuan zooteknis, motivasi dan keterampilan peternak mempengaruhi produktivias usaha peternak sapi potong. Hasil kegiatan Pengembangan Kelompok di Bidang Manajemen Agribisnis; ditunjukkan dengan (a) cukup mampu melakukan pembukuan kelompok secara mandiri (b) belum menjadi usaha utama kelompok (c) cukup mampu menyusun rencana usaha. Penerapan Teknologi Limbah Pertanian
Pengolahan
Hasil
Kegiatan Penerapan Teknologi Pengolahan Hasil Limbah Pertanian dilaksanakan dengan mengadakan pelatihan. Pelatihan diawali dengan mengadakan pre tes dan diperoleh hasil 36% dari peserta mengetahui tentang pengolahan limbah pertanian. Teknologi pengolahan hasil limbah
pertanian yang diberikan kepada peserta adalah fermentasi jerami padi secara terbuka dan tertutup serta pengolahan kue sapi. Post tes dilakukan setelah selesai pelatihan, dan diperoleh hasil sebesar 60% peserta mengetahui cara pengolahan hasil limbah pertanian. Besarnya motivasi para peserta pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan tentang pengolahan limbah pertanian sangat membantu terlaksananya kegiatan pelatihan tersebut, hal ini hasil Riszqina (2014). Hasil tes menunjukan bahwa perlu dilakukan pendampingan pada kegiatan pengolahan hasil limbah pertanian di masing-masing kelompok mitra agar lebih difahami serta dapat lebih mampu melaksanakan secara mandiri bagi anggota mitra. Hasil kegiatan penerapan teknologi pengolahan hasil limbah pertanian, ditunjukkan dengan (a) adanya peningkatan pengetahuan anggota tentang pemanfaatan limbah pertanian yang sangat nyata (b) adanya peningkatan keterampilan anggota mengolah limbah pertanian (c) cukup mampu menghasilkan produk pakan alternatif (fermentasi jerami dan kue sapi). Pengelolaan Hasil Usaha Pengolahan Limbah Pertanian Kegiatan pengelolaan hasil usaha pengolahan limbah pertanian ditandai dengan (a) semakin banyak petani/peternak yang memanfaatkan limbah pertanian (kulit kacang, janggel jagung dan jerami padi) untuk pakan ternak sapi dengan memberikan perlakuan sebelum diberikan kepada sapi (b) kelompok wanita tani cukup mampu mengolah limbah pertanian serta mengemas menjadi kue sapi yang siap jual dan dipasarkan ke masyarakat. KESIMPULAN 1. Peserta mulai mengetahui pembukuan kelompok sesuai dengan standar manajemen kelompok pembukuan yang harus dimiliki oleh setiap organisasi 2. Peserta sudah bisa memproduksi pakan alternatif sapi dengan berbahan dasar limbah pertanian. 3. Peserta sudah bisa membuat kue sapi yang telah kemas sehingga mempunyai nilai jual UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Kopertis Wilayah 7 Jawa Timur yang
48 MADURANCH Vol. 2 No. 1 Februari 2017
telah memberi bantuan dana dan penugasan dalam kegiatan iptek bagi masyarakat, Nomor: 027/SP2H/PPM/K7/KM/ 2016 tanggal 25 April 2016. DAFTAR PUSTAKA Mwanyumba, P.M., A. Mwangombe, E. Lenihan, F. Olubayo, M.S. Badamana, R.G. Wahome and J.W. Wakhungu. 2010. Participatory Analysis of The Farming System and Resources in Wundnyi Location, Taita District, Kenya: Alivestock Prespective. Livestock Research for Rural Development 22(2): article#26.
Riszqina, 2014. Performa Usaha Ternak Sapi Madura Sebagai Sapi Potong, Sapi Karapan dan Sapi Sonok di Pulau Madura, Disertasi. Program Studi Doktor Ilmu PeternakanProgram Pascasarjana-Fakultas Peternakan dan Pertanian-Universitas Diponegoro, Semarang Saleh, E, Yunilas dan Y.H. Sofyan. 2006. Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. J Agribisnis Peternakan 2(1): 36-42
PETUNJUK BAGI PENULIS
1.
2. 3.
4.
5.
6.
Jurnal MADURANCH terbit 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus, bertujuan mempublikasikan hasil-hasil penelitian di bidang Ilmu Peternakan serta konsep-konsep pemikiran sebagai hasil tinjauan pustaka di bidang tersebut. Naskah yang dimuat adalah hasil seleksi yang telah disetujui oleh Ketua Redaksi dan belum pernah diterbitkan pada jurnal manapun. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, disusun secara sistematis dengan urutan sebagai berikut : Judul dengan huruf kapital Times New Roman (TNR) 11, cetak tebal, maksimal 3 baris Nama penulis ditulis di bawah judul, terdiri dari nama kecil diikuti dengan nama keluarga, tanpa gelar, diikuti dengan alamat institusi, dicetak miring/italic. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, maksimal berjumlah 250 kata, menggunakan TNR 10. Pendahuluan yang memuat latar belakang, tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian. Metode penelitian yang berisi desain atau jenis penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, instrument penelitian, pengumpulan data, deskripsi atau analisa data. Pada artikel tinjauan pustaka maka metode penelitian tidak ada, sehingga langsung pada Pembahasan (yang bisa terdiri dari sub Pembahasan) menyangkut konsep-konsep pemikiran hasil tinjauan pustaka. Hasil dan Pembahasan yang meliputi hasil penelitian yang dikemukakan secara jelas dalam bentuk tabel, grafik, diagram atau foto. Setiap data yang penting dari hasil penelitian diterangkan artinya, dibandingkan apakah ada perbedaan atau persamaan dengan hasil penelitian sejenis terdahulu, atau apakah terdapat kemungkinan pengembangannya. Kesimpulan dengan/tanpa saran memuat kesimpulan dari hasil kongkrit ataupun keputusan dari penelitian, dengan/tanpa saran tindak lanjut berdasarkan kesimpulan hasil penelitian atau bahan untuk pengembangan penelitian berikutnya. Acuan kepustakaan pada bagian Pendahuluan sampai Hasil Penelitian ditulis dengan mencantumkan nama keluarga dari penulis dan tahun penerbitan yang dipisahkan oleh tanda koma, misalnya: ……….. (Dunn, 1997). Jika nama penulis terdiri dari 2 orang maka keduanya dipisahkan dengan “dan”, misalnya: ………….(Klipel dan Diepe, 1994). Jika nama penulis terdiri dari 3 orang atau lebih maka yang ditulis hanyalah penulis utama/pertama dan ditambah dengan “dkk” atau “et al” (jika artikel dalam Bahasa Inggris, misalnya: ………..(Chang dkk, 2001) atau (Buckle et al, 1985). Jika dua atau lebih acuan pustaka, maka masing-masing acuan dipisahkan dengan tanda “koma”, misalnya: …………(Kaplan, 1994; Chang dkk, 2001; Dunn, 1994). Kepustakaan ditulis dengan menggunakan sistem Harvard (urutan berdasarkan abjad). Diketik rapih pada kertas ukuran A4 (21 x 29,5 cm) dengan batas atas 2,5 cm, batas bawah 2,5 cm, batas kiri 3,5 cm, dan batas kanan 2,5 cm, pada program komputer MS Word, disertai dengan CD yang berisi file tulisan tersebut (atau kiriman naskah melalui e-mail). Diketik dengan jarak 1.15 spasi, kecuali abstrak 1 spasi, dengan panjang keseluruhan berjumlah 8 -11 halaman. Bila diperlukan, naskah akan diedit redaksi tanpa mengubah isi untuk disesuaikan dengan format penulisan dan dikirimkan kembali kepada penulis untuk dikoreksi dan dilakukan pembetulan, kemudian penulis mengirim kembali naskah yang telah dibetulkan disertai dengan naskah dalam CD. Penulis naskah yang dimuat akan menerima terbitan sebanyak satu eksemplar.