Jurnal Ilmu Peternakan, Desember 2008, hal. 72 – 83 ISSN 1907 – 2821
Vol. 3 No.2
Pentingnya Analisis Genetik Dengan Menggunakan Metode Randomly Amplified Polymorphyc DNA (RAPD) Untuk Konservasi Genetik Rusa Timor (Cervus timorensis) Di Papua (The Importance of Genetics Analysis Employing Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) For Genetic Conservation of Timor Deer (Cervus timorensis) in Papua) Agustinus Gatot Murwanto Staf Pengajar Jurusan Produksi Ternak FPPK UNIPA Jalan Gunung salju Manokwari 98314 Email :
[email protected]
ABSTRACT The Timor deer (Cervus timorensis) is one of the important wild animal with population that have been drastically reduced to small and isolated ones, mainly because of its over hunting and habitat destruction. The randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) fingerprinting technique, with involves the polymerase chain reaction (PCR) amplifcation of genomic DNA using a single primer arbitrary nucleotide sequence has been proven to be a reliable technique for population studies. Genetic analysis of Timor deer by Randomly Amplified Polymor-phyc DNA (RAPD) technique can using to analyze population divergence, genetic distance within and between four population such as: Merauke, Manokwari, Jayapura and Fakfak. The data from analysis are potentially useful for future taxonomic and genetic study in this species, for monitoring of the genetic variation observed within these population, and development of management guidelines for its conservation. Key words: timor deer, Cervus timorensis, RAPD, PCR, conservation.
PENDAHULUAN Satwa rusa saat ini di dunia telah menjadi industri peternakan yang penting, dengan produksi utama daging rusa (venison) dan ranggah muda (velvet antler). Di Papua, rusa umumnya dimanfaatkan dagingnya sebagai salah satu sumber protein hewani. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Papua di daerah Merauke dan Manokwari dalam memanfaatkan rusa sebagian besar berasal dari perburuan dan hanya sebagian kecil yang dari hasil pemeliharaan sederhana satwa tersebut (Murwanto dan Maturbongs, 1998; Murwanto et al., 2000; Andoy, 2002; Duwila, 2001, dan Sulistyawan, 1999). Tingkat pemanfaatan yang berlebihan akan menimbulkan masalah konservasi
dengan berkurangnya populasi rusa di alam dan pengurasan genetik. Untuk itu upaya konservasi genetik atau pelestarian genetik rusa perlu mendapat perhatian khusus, di samping upaya mengetahui potensi genetik rusa timor untuk dijadikan ternak ruminansia konvensional kecil, seperti kambing dan domba. Satwa rusa di Papua merupakan hewan introduksi. Pada tahun 1920 pemerintahan India Belanda mendatangkan rusa timor sub spesies maluku (Cervus timorensis mollucensis) dari pulau Halmahera ke daerah sekitar Manokwari. (Schroder, 1976). Sedangkan di daerah Merauke rusa timor dimasukkan pada tahun 1927, namun tidak diketahui sub spesiesnya (Petocz, 1987). Dengan demikian keberadaan satwa rusa di Papua telah berkembang
Vol. 3, 2008
biak sekitar 80 tahunan, dan saat ini telah menyebar luas di beberapa daerah lainnya, misalnya sekitar Jayapura, Keroom, Nabire dan Fakfak. Perbedaan demografis, iklim, dan habitat yang besar antara daerah dalam jangka panjang dapat menyebabkan variasi genetik, produksi dan kualitas daging rusa yang ada di kedua daerah tersebut. Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan walaupun satu spesies, namun karena faktor demografis, iklim dan habitat, misalnya rusa jawa di pulau Jawa (C. t. russa) berat badannya lebih besar 30-40% dari rusa timor di Maluku. Pengkajian keanekaragaman genetik dan struktur populasi saat ini telah dilakukan melalui pendekatan studi DNA. Metode Rapid Amplimfied Polymorphic DNA (RAPD) merupakan metode yang penting untuk menyelidiki fenomena genetik organisme yang tersebar luas seperti bakteri, tanaman tingkat tinggi, dan hewan veterbrata, termasuk rusa (Servise, 1996). Data keragaman genetik rusa di Papua penting diketahui karena: (1) setiap genom memiliki ciri khas yang dapat menghasilkan informasi mekanistik yang berharga dalam berbagai bidang pengetahuan; (2) dapat digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan serta proses evolusi dan ekologi antar organisme; (3) dapat dimanfaatkan untuk mempelajari taksonomi, melakukan konstruksi ulang philogeni dan menguji struktur pupulasi suatu spesies; (4) dapat digunakan untuk, identifikasi stok
PENTINGNYA ANALISIS GENETIK 73
populasi, merancang program pengembangan untuk sistem budidaya;dan (5) dapat dimanfaatkan untk merancang strategi konservasi dan meningkatkan pengembangan pemanfaatan sumberdaya genetik rusa di masa datang (Davidson et al., 2002) Tujuan penulisan ini adalah membahas pentingya analisis genetik dengan menggunakan metode Rapid Amplimfied Polymorphic DNA (RAPD) dalam upaya konservasi genetik rusa timor di Papua.
PERFORMANS PRODUKSI RUSA TIMOR Produksi Daging Rusa Persentase karkas rusa timor (jawa) adalah antara 56-62%, rusa merah 5557%, dan rusa fallow 55-61%. Berat karkas tergantung berat badan rusa saat dipotong, pada umur 13 bulan berat karkas 38 kg, 19 bulan berat karkas 54 kg dan umur 25 bulan berat karkas 57 kg. Sedangkan imbangan daging dengan tulang rusa timor 4,7:1,0 (Semiadi dan Nugraha, 2002). Menurut Sookhareen et al. (2001) persentase berat potongan karkas terhadap berat karkas rusa timor adalah leg (38,0-39,8%), saddle (17,417,9%), shoulder (15,8-17,1%), neck (5,6-9,6%), chuck (4,5-7,3%), rib (5,36,1%),dan brisket (7,1-8,2%). Kandungan nilai gisi daging rusa menurut Reinken et al. (1990) dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
74 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
Tabel 1. Kandungan gizi daging rusa merah dalam 100 gram Unsur Bahan kering (gr) Bahan inorganik (gr) Potasium (gr) Kalsium (gr) Phosphor (gr) Magnesium (mgr) Natrium (gr) Besi (mgr) Protein kasar (gr) Total lemak (gr) Energi (kj)
Jumlah Kandungan 30,1 1,34 0,36 0,20 23,0 0,07 2,90 22,10 6,90 650,00
Sumber: Reinken et al (1990)
Produksi Ranggah Muda Produksi rusa lainnya yang penting adalah ranggah muda. Ranggah muda rusa (velvet antler) merupakan bahan baku pembuatan obat-obatan tradisional dari negara-negara di Asia Timur, misalnya Korea, Jepang dan Cina. Namun saat negara Selandia Baru telah pula memproduksi obat-obatan yang berbahan baku dari ranggah muda. Berat ranggah muda rusa Dama-dama umur dua tahun 245 gram, sedangkan rusa persilangan antara Timor dan Sambar 1,34 kg (Drajad, 2000). Produksi rusa timor sampai saat ini belum banyak diketahui. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa ranggah muda rusa mengandung 47% protein, 33% mineral, 3-4% lemak, 3% gula, dan 50% asam amino (Duarte dan Abdo, 2004), disamping hormon pertumbuhan dan prostaglandin. Komposisi kandungan unsur-unsur tersebut tergantung dari pakan, iklim dan umur rusa. Kualitas ranggah muda rusa yang diperdagangkan ditentukan oleh ukuran (berat dan panjang), bentuk, kandungan mineral, kandungan pembuluh darah, warna dan tingkat kerusakan.
JENIS DAN PENYEBARAN RUSA DI INDONESIA Jenis Rusa Timor di Indonesia Di Indonesi jenis-jenis rusa yang dapat ditemui adalah rusa timor atau rusa jawa (Cervus timorensis), rusa sambar (Cervus uncolor), rusa Bawean (Axis kuhlii), dan muncak/kijang (Muntiacus muntjak), disamping itu ada satu jenis rusa introduksi yaitu rusa totol/chital (Axis axis) (Schroder, 1976 dan Semiadi & Nugraha, 2002). Semua jenis rusa di Indonesia sejak jaman pemerintah Hindia Belanda statusnya dilindungi (Suwelo, 2002). Rusa timor terdiri dari 8 sub spesies yang menyebar secara luas di beberapa pulau di Indonesia, yaitu (1) C.t.. timorensis penyebarannya di beberapa pulau: Timor, Rote, Kambing, Alor, Pantai, dan Rusa; (2) C.t. florescensis penyebarannya di pulau-pulau Sumba, Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Andanare dan Solor; (3) C.t. renschi di pulau Bali; (4) C.t. russa di pulau Jawa; (5) C.t. laronesistes di pulau Peucang; (6) C.t. macassarius menyebar di pulau Sulawesi, Banggai dan Selayar; (7) C.t. diongga terdapat di pulau Muna dan Buton; (8) C.t. mollucensis
Vol. 3, 2008
PENTINGNYA ANALISIS GENETIK 75
menyebar di pulau Sula, Ternate, Marek, Moti, Halmahera, Bacan, Pasaporan dan Belang-Belang, diintroduksi di pulau Obi, Seram, Saparua, Banda, dan sekitar Manokwari daerah kepala burung Papua (Schroder, 1976 dan Suwelo, 2002).
(RAPD). Data hasil RAPD dapat digunakan sebagai informasi genetik yang dapat digunakan dalam menyusun manajemen konservasi rusa timor di Papua.
Penyebaran dan Populasi Rusa Timor di Papua
RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHYC DNA (RAPD)
Penyebaran populasi rusa timor di Papua terutama di daerah Kepala Burung Papua yaitu di Pulau Rumberpon, Lembah Kebar, dan Ransiki. Rusa dari Manokwari menyebar sampai ke daerah barat Nabire. Rusa dapat ditemui pula di kabupaten Fakfak. Di daerah Merauke pusat populasi rusa di Taman Nasional Wasur dan sekitarnya. Rusa dapat ditemukan pula di daerah Arso (Keerom) dan sekitar danau Sentani di Jayapura. Populasi rusa di Papua bervariasi dari satu daerah penyebaran dengan yang lainnya. Di Taman Nasional Wasur Merauke dengan kepadatan populasi 11,9 ekor/km2 atau 0,119 ekor/ha (Purba, 1999) dan 584 ekor/km2 atau 5-6 ekor/ha (Andoy, 2002), Lembah Kebar dengan kepadatan populasi rusa 3 ekor/ha (Maturbongs dan Murwanto, 1998), pulau Rumberpon dengan kepadatan populasi 1,7-5,3 ekor/ha (Murwanto et al., 2000) dan daerah Siwi-Dembek Ransiki dengan kepadatan populasi rusa 1,59-14,35 ekor/km2 atau 0,0158-1,435 ekor/ha (Murwanto et al., 2005). Di daerah padang rumput alam DAS Nuni Manokwari kepadatan populasi rusa 1-2 ekor/ha (Maturbongs et al,. 2006). Ancaman penurunan populasi rusa yang tinggi yang diakibatkan oleh perburuan yang tak terkendali, kerusakan habitat, dan pembukaan pemukiman, maka perlu segera dilakukan analisis genetik rusa timor yang ada di Papua. Untuk analisis genetik rusa dapat dilakukan dengan metode atau teknik Randomly Amplified Polymorphyc DNA
Analisis Genetik Analisis genetik pada hewan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: pengamatan morphologi, menggunakan penanda sitologi, analisis izosim, dan penanda molukuler (DNA). Pengamatan morphologi terhadap sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif dari hewan yang dapat diamati secara langsung. Sifat kualitatif misalnya: warna bulu, bentuk ekor, bentuk ranggah, dan dimensi tengkorak. Sifat kuantitatif antara lain: berat badan, panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, panjang kaki dan panjang ekor. Analisis genetik berdasarkan morphologi mempunyai kelemahan yaitu dipengaruhi lingkungan terutama sifat-sifat kuantitatif, sedangkan sifat kualitatif pengaruh lingkungan kecil dan membutuhkan waktu yang panjang, di mana akan terlihat setelah beberapa generasi. Penggunaan penanda sitologi sering kali mengalami kesulitan bila pengamatan dilakukan pada kromosom-kromosom yang kecil. Penggunaan penanda izosim walaupun relatif mudah, cepat, dan murah, namun masih memiliki tingkat polimorphisme yang terbatas. Pada saat ini untuk analisis genetik telah banyak digunakan penanda DNA. Kelebihan penanda DNA adalah mampu memberikan polimorphisme pita DNA dalam jumlah yang banyak, konsisten dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
76 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
Analisis Pada Level Molukuler
Metode RAPD
Gen merupakan unit terkecil dari informasi genetik mulai dari organisme tingkat rendah sampai dengan organisme tingkat tinggi. Informasi genetik dikode oleh suatu molekul besar yang disebut deoxyribonucleicacid (DNA). DNA terdiri dari atas nukleotida-nukleotida yang dikarakterstik oleh 4 macam basa berbeda: Adenin (A), Timin (T), Guanin (G) dan Citosin (C). Dua dari basa-basa tersebut akan berpasangan dan membentuk yang disebut double stranded DNA (dsDNA). Ukuran sebuah molekul DNA dinyatakan dalam ukuran pasang basa (base pairs atau bp). DNA umumnya terdapat di dalam inti suatu sel, tapi ada pula yang terdapat dalam plastid dan mitokondria. Analisis genetik pada level molukuler berkembang setelah ditemukannya mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik PCR melibatkan pengaturan temperatur denaturasi DNA, penempelan primer pada DNA, dan perpanjangan primer oleh enzim DNA polimerase menjadi suatu fragmen DNA dengan berbagai ukuran (Weissing et al., 1995). Beberapa penanda mikrosatelit yang berdasarkan polimorphisme: Simple Sequence Repeat (SSR), penanda minisatelit dari urutan DNA repetitif dan fingerprinting DNA berdasarkan PCR, Multiple Arbitary Amplicon Profiling (MAAP) yang dikembangkan untuk mengganti izosim, Restriction Fragment Length Polymerase Polymorphism (RFLP). Di antara metode fingerprinting DNA berdasarkan PCR adalah Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Arbitrary Primed PCR (AP-PCR), DNA Amplification Fingerprinting (DAF) dan Amplified Fragment Length Polimorphism (AFLP) (Suyono, 2000).
Metode RAPD merupakan teknik yang penting untuk menyelidiki fenomena genetik berbagai organisme yang tersebar luas seperti bakteri, tanaman, hewan veterbrata dan invetebrata (Service, 1996). Analisis RAPD secara cepat dapat mengidentifikasi penanda genetik untuk membedakan spesies-spesies yang berkerabat dan dapat digunakan dalam pembuatan peta genetik, identifikasi strain, spesies, dan populasi. Kelemahan RAPD, bahwa pada suatu lokus RAPD, alel ”plus” (dengan hadirnya fragmen) mendominasi semua alel ”null” (tanpa hadirnya fragmen), sehingga genotip heterozigot tidak dapat dibedakan secara langsung dari homozigot. Sehubungan karena RAPD merupakan penanda dominan, maka dijumpai adanya kekurangan informasi genetik yang dapat merupakan masalah dalam analisis struktur populasi. Kelemahan tersebut dapat diatasi melalui pendekatan matematis, misalnya untuk pengukuran keanekaragaman genetik dalam populasi dapat digunakan estimator frekuensi alel dan heterozigositas dari Lynch dan Milligan (Suyono, 2000). Kelebihan teknik RAPD adalah: merupakan metode yang cepat untuk mendeteksi polimorphisme, sederhana dan mudah dilakukan, relatif tidak mahal, tidak menggunakan radioaktif, dan tidak memerlukan informasi awal dari genom yang akan diteliti. Secara umum tahapan prosedur analisis RAPD adalah (1) pengambilan contoh materi yang mengandung DNA dari organisme yang akan teliti, misalnya pada mamalia umumnya digunakan sel darah putih (buffy coat/leukosit); (2) Isolasi dan purifikasi DNA; (3) Amplifikasi DNA; (4) Elektrophoresis; (5) Deteksi hasil RAPD dan (6) Analisis data. Tahapan lengkap prosedur RAPD
Vol. 3, 2008
yang dapat digunakan untuk menganalisis genetik rusa di Papua sebagai berikut: Pengambilan Contoh Jumlah contoh rusa di masing-masing populasi (lokasi) sebaiknya sekurangkurangnya 20 ekor. Pengambilan darah rusa dilakukan setelah rusa dibius dengan Ileum Xelazyl 20 mg/ml, dengan dosis 3 mg/kg bobot badan rusa dengan penyuntikan intramuskuler. Obat bius lain yang dapat digunakan xylazine hidrocloride (1 mg.kg-1) dan ketamine (5 mg.kg-1). Pengambilan darah dari vena jugularis dengan menggunakan syrink 10 ml dan ditambah heparin sebagai antikoagulan. Pemisahan sel darah putih (buffy coat) dilakukan dengan cara sentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Sel darah putih yang telah dipisahkan disimpan dalam freezer atau nitrogen cair (- 1960C) dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk ekstrasi DNA. Kalau kesulitan nitrogen cair sel darah putih dapat dibekukan dalam freezer kemudian dengan menggunakan icebox dibawa ke laboratorium. Metode Isolasi DNA Teknik isolasi dan purifikasi DNA total dilakukan berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Sambrook et al. (1989). Tahap pengerjaannya adalah sebagai berikut: Sel darah putih (buffy coat) dimasukkan ke dalam tabung centrifus 10 ml, kemudian ditambahkan larutan A (0,2 % NaCl-1 mM EDTA) sebagai lisis buffer sebanyak empat volume, dikocok dan sentrifugasi 2000 rpm selama 15 menit kemudian hemolisat dibuang, tahap ini dilakukan dua kali. Tahap berikutnya ditambahkan larutan B (0,9 % NaCl-1 mM EDTA) untuk mencuci dan sentrifugasi 2000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan C
PENTINGNYA ANALISIS GENETIK 77
(Salted Tris EDTA). Tahap berikutnya ditambahkan larutan STE 2 ml, 10 % SDS 200 ul dan proteiase K (5 mg/ml) sebanyak 40 ml, dilanjutkan proses inkubasi 37°C selama 2 jam. Kemudian ditambahkan 5 M NaCl 1/10 volume, kloroform-isoamilalkohol ½ volume dan fenol ½ volume kemudian proses tilting dalam suhu kamar selama 2 jam. Setelah itu dilakukan sentrifugasi 4000 rpm selama 10 menit untuk membuang fenol. Proses berikutnya adalah dialisis terhadap Tris-EDTA (TE) semalam. Hasil dialisis dipindahkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan RNAse sebanyak 20 ul dan diinkubasi 37°C selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan proteinase K sebanyak 50 ml dan diinkubasi 37°C selama 1 jam. Proses berikutnya ditambahkan 5 M NaCl 1/10 volume, CIAA ½ volume, dan fenol ½ volume, kemudian tilting dalam suhu kamar selama 2 jam. Sentrifugasi dilakukan untuk membuang fenol dengan kecepatan 7000 rpm, selama 10 menit. Proses yang terakhir adalah dilakukan dialisis terhadap TE semalam dan dilakukan 2 kali. DNA total yang dihasilkan diperiksa kualitasnya dan dihitung konsentrasinya. Kemudian DNA total dipindahkan ke dalam tabung penyimpanan, ditambahkan beberapa tetes kloroform, dan disimpan pada suhu 4°C. Amplifikasi DNA DNA genom yang diperoleh dari isolasi selanjutnya diamplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Amplifikasi dilakukan menurut (Rodrigues et al., 2007), pada reaksi PCR dibuat untuk 15 ml yang mengandung 10 mM Tris-HCl (pH 8.4), 50 mM KCl, 3,5 mM MgCl2 , 0,2 mM setiap dNTP, 0,2 mM Tag DNA polimerase, dan 4 ng DNA, serta ditutup dengan. lapisan tipis minyak mineral. Denaturasi awal pada
78 MURWANTO
suhu 940 C selama 5 menit, kemudian PCR dilakukan sebanyak 40 siklus dengan suhu 940 C selama 5 menit, suhu 400 C selama 30 detik, dan suhu 720 C selama 60 detik, dan runing berakhir pada suhu 720 C selama 5 menit. Untuk amplifikasi digunakan primer Kit B, J, K dan M produksi Operon Technologies Alameda, CA, USA. Jumlah primer acak yang muncul dapat mencapai 70-80 buah. Elektrophoresis Hasil amplifikasi kemudian dipisahkan pasangan basanya dengan teknik elekrophoresis menggunakan gel agarosa 1,4% dalam larutan buffer TBE 0,5 kali selama 2 jam 15 menit pada 100V. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan ethidium bromide (0,5 mg.ml-1). Pengamatan pola fragmen DNA dilakukan di bawah sinar UV dan difoto dengan menggunakan film polaroid 667. Hanya fragmen yang mempunyai intesitas jelas saja yang diberi skor (penilaian) dengan bantuan program PhotoCaptMw. Untuk yang ada fragmen jelas diberi skor 1 dan yang tidak ada fragmen diberi skor 0. Untuk menentukan fragmen yang dipilih dalam analisis digunakan program RAPDLD. Analisis Data Keanekaragaman Genetik dalam Populasi 1. Proporsi lokus polimorfik: diperoleh dengan membagi jumlah lokus polimorphik dengan jumlah seluruh lokus dalam populasi. (Ayala, 1982 dan Li & Graur, 1991). 2. Estimasi Frekuensi Alel dan Heterozigositas: untuk data RAPD hanya lokus polimorphik yang diberi skor. Karena lokus RAPD segregasinya sebagai marker untuk mengestimasi frekuensi alel dan heterogositas dari populasi, maka
Jurnal Ilmu Peternakan
asumsi Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg harus dibuat. Frekuensi alel dari alel resesif ”nul” (q) pada lokus i diestimasi dengan metode dari Lynch dan Milligan (1994): 1
var{x(i)} q (i) = x(i) 1 2 8x(i ) X (i) = frekuensi homosigot resesif ”null” pada lokus i dan Var [x(i)] = x (i) [1-x (i)]/N, di mana N adalah ukuran contoh. Heterogositas pada lokus i adalah: H (i) = 2q (i) [1-q(i)] + 2 var [q(i)] dan Var [q(i) ] = [1-x(i)] / (4N) Jarak Genetik Jarak genetik antara dua in dividu dihitung berdasarkan formula Excoffier et al. (1992) dalam Hsiao dan Lee (1999): N11 D = N 1 N N = jumlah total fragmen N11 = jumlah fragmen yang ada pada kedua contoh Kemudian matriks jarak tersebut digunakan dalam AMOVA-PREP (Miller, 1998), sedangkan untuk menentukan keragaman genetik di dalam maupun antara kedua populasi digunakan program WIMAMOVA (Excoffier et al, 2005). Estimasi Struktur Genetik dan Aliran Gen Struktur genetik populasi dianalisis mengunakan nilai FST dari Wright. Untuk RAPD, estimasi FST dari Wright (1951) dalam Black (1997), tanpa estimasi dari frekuensi heterozigot: Var[q(i)] FST = q(i )[1 q(i ) Di mana Var [q(i)] adalah ragam frekuensi alel RAPD di antara masing-
Vol. 3, 2008
PENTINGNYA ANALISIS GENETIK 79
masing populasi dan q(i) adalah rataan kedua populasi. FST dari Wright dihitung menggunakan RAPDFST dari Black IV. Aliran gen (Nm) diestimasi dari FST dati tiap lokus menggunakan hubungan di mana N adalah ukuran populasi yang efektif dari suatu “deme” dan m adalah laju dari aliran gen. Nm=
1 − FST 4FST
Analisis Klaster Kesamaan genetik antar individu dihitung berdasarkan formula Nei dan Li (1979) dalam Hsio dan Lee (1999): Sxy = 2 m xy / (mx +my) m xy = jumlah fragmen yang terdapat pada individu x dan individu y mx dan my = jumlah fragmen pada masing-masing individu x dan individu y Matriks kesamaan genetik antar individu digunakan dalam Analisis Klaster UPGMA dengan menggunakan program MVSP. Aplikasi RAPD RAPD dapat diaplikasikan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan masalah genetik dan breeding. RAPD dapat digunakan untuk: (1) Analisis pada tingkat sub genus (section); (2) Klasifikasi dalam taksonomi inter dan intra spesifik; (3) Variasi peta geografik; (4) Analisis genetik dalam klon: (a) Keterpautan genetik dan pemetaannya, dan (b) Analisis keragaman somaklonal; (5) Analisis gen flow antara individu; (6) Studi hibridisasi dan introgresi gen: (a) Hibridisasi intergenerik, dan (b) Hibridisasi interspesifik; (7) Analisis keragaman genetik; (8) Analisis pada evolusi ketahanan penyakit.
Aplikasi RAPD Untuk Analisis Genetik Rusa Di Indonesia penelitian genetik rusa masih sangat terbatas. Penelitian Zein (1998) mendapatkan bahwa rusa timor sub spesies C.t timorensis di beberapa pulau sekitar Timor diperoleh bahwa terdapat 2 haploid dengan pemotongan fragmen 128 Rrna dengan enzim restriksi Hae III dan Mbo I. Analisis genetik rusa dengan menggunakan RAPD di luar negeri telah cukup banyak dilakukan antara lain pada diversitas genetik dua populasi rusa Pampas (Ozotoceros bezoartcus) di Brazil (Rodrigues et al., 2007). Analisis RAPD tiga jenis rusa di Malaysia rusa sika (Cervus nippon), rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) (Habiba et al., 2008). Analisis hubungan antara rusa merah (Cervus elaphus), rusa fallow (Dama dama), dan Muncak India (Muntjac muntjac vaginalis) (Comincini et al., 1996); analisis genetik rusa sika Jepang (Cervus nippon) (Fukui et al., 2001 dan Tamate et al., 1995); dan analisis empat populasi genetik rusa roe di Belanda (Hoomeman, 2008); analisis parameter kuantitatif dua jenis rusa di Rusia antara Capreolus capreolus dan Capreolus pygarcus (Petrosyian et al., 2002); variasi genetik Dama dama (Scandura et al., 1998). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Satwa rusa yang merupakan hewan introduksi telah berkembang sekitar 80 tahun dan menyebar hampir di seluruh daerah di Papua. Rusa tersebut telah mengalami proses adaptasi dan isolasi geografis di masing-masing habitat, sehingga kemungkinan terjadi variasi
80 MURWANTO
2.
3.
4.
5.
genetik di antara populasi-populasi yang ada. Rusa yang dintroduksi di daerah Merauke belum diketahui sub spesiesnya, sedangkan di yang dintroduksi di sekitar Manokwari adalah sub spesies rusa maluku (Cervus timorensis mollucensis), untuk itu perlu dilakukan identifikasi sub spesies rusa yang ada di Merauke dan untuk mengetahui apakah secara genetik sama dengan rusa yang ada di Manokwari. Tahapan prosedur analisis RAPD adalah (a) pengambilan contoh materi yang mengandung DNA dari organisme yang akan teliti, misalnya pada mamalia umumnya digunakan sel darah putih (buffy coat/leukosit); (b) Isolasi dan purifikasi DNA; (c) Amplifikasi DNA; (d) Elektrophoresis; (e) Deteksi hasil RAPD dan (f) Analisis data. Analisis genetik dengan menggunakan metode RAPD telah banyak dilakukan pada berbagai jenis rusa di luar negeri, sedangkan untuk rusa di Indonesia masih sangat terbatas. Data hasil analisis RAPD dapat digunakan untuk mengetahui keragaman genetik antar dan intra populasi, jarak genetik, analisis klaster populasi rusa timor di Papua.
Saran Perlu segera dilakukan analisis genetik rusa dengan menggunakan metode RAPD dalam upaya manajemen konservasi rusa timor di Papua. DAFTAR PUSTAKA Andoy, E.E.S. 2002. Studi Populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) dan perburuan oleh penduduk di Desa Poo, Tomer, dan Sota dalam Taman Nasional Wasur. (Skripsi Sarjana Peternakan) Fakultas Pertanian Unipa Manokwari.
Jurnal Ilmu Peternakan
Ayala, F.J. 1982. Population and Evolutionary Genetic: A primer. The Benyamin Cumming Pub. Company. Inc, Black,W.C. 1997. RAPDFST 4.01. Fotran program to estimates FST and effective migration rates among sub population using RAPD-PCR file. Depatment of Microbiology. Colorado State University, Ft Collins, USA Comincini, S, Sironi, M, Bandi, C, Giunta, C, Rubini M, dan Fontana, F. 1996. RAPD analysis of systematic relationship among the Cervidae. Heredity 76: 215-221. Davidson, E.H Cameron, R.A, dan Ransick, A. 2002. A genomic regulatory network for development. Science 295:1669-1678. Dradjat, A.S. 2000. Produksi ranggah muda pada persilangan rusa timorensis (Cervus timorensis) dan rusa Sambar (Cervus unicolor). Media Peternakan 23(2): 36-39. Duarte, A and Abdo, J. 2004. Velvet antler the 2000 year old medicine. www. lef.org/magazine/article/velvet.htm. Diakses tanggal 1 Nopember 2005. Duwila, R. 2001. Sistem Pemeliharaan dan Ukuran Statistik Vital Rusa Timor (Cervus tiomorensis) di Kabupaten Manokwari. Skripsi. Faperta Unipa. Manokwari. Excoffier, L, Laval, G, dan Schneide, S. 2005. Arlequin ver. 3.0:An integrated software package for population genetic data analysis. Fukui, E, Koganezawa, M, dan Yoshiszawa, M. 2001. Genetic Analysis of Japananese Sika Deer in Nikko National Park by Random Amplified Polymorphic DNA Method. Animal Science 72 (8): J200- J206. Habiba, A.A, Panandam, J.M, Idris, I dan Siraj, S.S. 2008. RAPD analysis of three deer species in Malaysia. Asian-Australian Journal of Animal Science. WWW:http://findarticles.com. diakses tanggal 9 Januari 2009. Hoomeman, N. 2008. Population genbetics of the roe deer population in Meijendel and three other Ducth roe deer population. Colloqium Animal Breeding and Genetics. Hsiao, J. Y dan Lee, S.M. 1999. Genetic Diversity and Microgeographic Differentiation of Yushan Cane. (Yushania hitkayamensis) Poaceae in Taiwan. Molecular Genetic 8:263-270.
Vol. 3, 2008
Li, W.H dan Graur, A.G. 1991. Fundamental of Molucular Evolution. Sinauer Assosiattes, Inc. Sunderland. Lynch, M dan Milligan, B.G. 1994. Analysis of population genetic structure with RAPD markers. Molucular Ecology 3:91-99. Maturbong, R.A. Fatem, S.M, dan Bumbut, P.I. 2006. Populasi rusa Timor (Cervus timorensis), Komposisi Botanis dan Kapasitas Tampung Padang Rumput Alam DAS Nuni Pantai Utara Manokwari. (Laporan PDM). Lemlit Unipa Manokwari. Maturbongs, R.A dan Murwanto, A.G. 1997. Pendugaan populasi rusa Timor (Cervus timorensis) di padang rumput alam lembah Kebar. Irian Jaya Agro 4(2):4-8. Miller, M.P. 1998. AMOVA-PREP. Department of Biologycal Sciences. Northern Arizona University.. Flagstaff. Murwanto, A.G, Maturbongs, R.A dan Pattiselano, F. 2000. Pendugaan populasi rusa Timor (Cervus timorensis) di padang rumput alam pulau Rumberpon. Media Konservasi 7 (1): 17-20. Murwanto, A.G, Pattiselano, F dan Manik, H. 2000. Pendugaan populasi rusa Timor (Cervus timorensis) di padang rumput alam Siwi-Dembek Ransiki. Laporan Penelitian. FPPK.Unipa. Manokwari. Petozc, R.G. 1987. Konservasi alam pembangunan Irian Jaya. Edisi pertama. Grafiti Press. Jakarta. Petrosyan, V.G, Tokarskaya, O.N, Danilkin, A.A, dan Ryskov A.P. 2002. Quantitative analysis parameters in population of European (Capreolus capreolus) and Siberian (Capreolus pygarcus) deer with RAPD markers. Rusian J. Genetic Vol 36 No 5: 676-683. Scandura, M, Tiedermann, R, Apolonio, M dan Hartl, G.B. 1998. Genetic vartiation in an loci population of fallow (Dama-dama) as reveled by RAPD-PCR. Acta Theriol., suppl 5.p 163. Reineken, G, Hartfiel, W, dan Korner, E. 1990. Deer Farming. Edisi 2. Farming Press. Stuttgart. Rodrigues, F.P, Garcia, J.F, Ramos, P.R.R, Bortolozzi, J dan Duarte, J.M.B. 2007. Genetic diversity of two Brazillian population of the Pampas deer (Ozotoceros
PENTINGNYA ANALISIS GENETIK 81
bezoarticus, Linn 1758). Brazi. J. Biology Vol 67 no 4. Supple. Purba, M. 1999. Masalah dan penanganan flora fauna eksotik di Taman Nasional Wasur dan sekitarnya. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Introduksi Spesies Asing dan permasalahannya tanggal 29-30 Juli 1999 di Jayapura. Sambrook, J, Fritsch, J.C. dan Maniatis, T. 1989. Moluculer Cloning, A laboratory Manual. Second Ed. Cold Spring Laboaratory Press. New York. Schroder, T.O. 1976. Deer In Indonesia. Agricutural University. Wageningen.Nerthelands. Semiadi, G dan Nugraha, R.T.P. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Edisi Pertama. Pusat Penelitian Biologi,LIPI. Bogor. Service, M.W. 1996. Medical Entomology For Students. Chapman & Hall. London. Sookhareea, K. J, Tailor, D,G, Drygen, G.M, dan Woodford, K.B. 2001. Primal joints and hind-leg cuts of entire and castrated Javan rusa (Cervus timorensis russa) stag. Meat Scien 58:9-15. Suwelo, I. S. 2002. Mendayagunakan satwa liar:khususnya rusa. Dalam Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Pusat Studi Ilmu Hayati IPB, Pusat Penelitian Biologi LIPI dan Puslitbang Hutan dan Konservasi alam Dephut. Februari 2002. Bogor. pp:38-48 Suyono, I.J. 2000. Analisis Struktur Populasi Nyamuk Aedes aegypty dari Tiga Lokasi di Jawa Barat Menggunakan Metode Random Amplified Polymorphyc DNA (RAPD). (Thesis). Institut Teknologi Bandung. Tamate, H.B, Kiyotaka, S, Takeshi, T, dan Noriyuki, O. 1995. Assesment of genetic variation within population of Sika deer in Japan by analysis of Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Zoological Science 12:669-188. Wessing. K, Nybom. H, Wolfff. K, dan Meyer. W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press.Inc. Boca Racon Florida USA. Zein, M.S.A. 1998. Karakteristik Morfologi, Genetik, dan Nilai Normal Darah Rusa Jawa. (Thesis) Pascasarjana IPB. Bogor.