MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED)
Buku Pegangan Bagi Perserta Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah Tingkat Lanjutan (Advanced) Edisi Tahun 2015
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED)
Edisi Tahun 2015
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Pengarah Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Editor Wildan Syatri Andi Prasetiawan Hamzah Reviewer Mariana Dyah Savitri Moza Pandawa Sakti Radies Kusprihanto Purbo Suratman Eko Arisyanto Thia Jasmina Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Publikasi ini didukung oleh Program Transforming Administration – Strengthening Innovation (TRANSFORMASI), suatu program kerjasama antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH yang ditugaskan oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ)
2015
ii
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
KATA PENGANTAR Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Kemenkeu RI Kapasitas sumber daya manusia yang andal di seluruh pemerintah daerah merupakan salah satu kunci sukses agar pengelolaan keuangan daerah dapat esien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan kapasitas aparat pengelola keuangan daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) - Kementerian Keuangan sejak tahun 1981/1982 telah menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah (KKD). Disamping KKD, mulai tahun 2007, DJPK juga menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daerah (KKDK). Untuk menjawab perkembangan dan dinamika dalam pengelolaan keuangan daerah, penyelenggaraan KKD-KKDK terus disempurnakan. Salah satu bentuk penyempurnaan KKD-KKDK adalah kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD). Penyempurnaan format penyelenggaraan ini dimaksudkan agar Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah dapat menjangkau lebih banyak aparatur pengelola keuangan daerah dari tingkat teknis sampai dengan pengambil kebijakan strategis. Dengan Pelatihan ini, diharapkan agar aparatur pengelola keuangan daerah dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sesuai kewenangan dan kapasitas pada masing-masing tingkat jabatan. Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kegiatan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, DJPK telah menyediakan buku pegangan (handbook) pelatihan untuk memenuhi kebutuhan masingmasing tingkat jabatan, yang terdiri atas tingkat basic, intermediate, advanced, dan executive. Buku pegangan tingkat advanced secara khusus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan senior management, yaitu pejabat eselon III dan pejabat eselon IV senior.Diharapkan dengan memahami konsep pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh, lebih banyak sumbangsih positif dan kontribusi yang dapat diberikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penyusun/editor buku pegangan sertathe Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan Buku Pegangan tingkat advanced ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pengelolaan keuangan daerah ke depan.
Jakarta, September 2015 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI PENDAHULUAN
iii iv 1
BAB I 1.1 1.2 1.3
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
4 5 12 17
BAB II 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN Perencanaan untuk Kesejahteraan Denisi Perencanaan Pembangunan Melalui Komunitas Lokal Peran Institusi Pembangunan Ekonomi Lokal
20 21 22 23 24 26
BAB III 3.1 3.2 3.3 3.4
SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Esensi Perencanaan dan Penganggaran Kaitan Perencanaan dan Penganggaran Integrasi Gender Dalam Perencanaan dan Penganggaran Penerapan Instrumen Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Rencana Kerja Pemerintah Daerah Penyusunan Rancangan APBD Pemahaman Dasar Tentang Anggaran
28 30 32 34 37 38 39 39
BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA Pentingnya Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja Denisi, Prinsip dan Komponen PBK Tata Cara Penerapan PBK Pengukuran dan Evaluasi PBK Contoh Aplikasi PBK Peluang dan Tantangan
46 48 48 51 54 55 58
BAB V 5.1 5.2 5.3
STANDAR PELAYANAN MINIMAL Latar Belakang Denisi, Manfaat, dan Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan dan Ruang Lingkup Rencana Pencapaiannya Lingkup, Tahap dan Langkah Penyusunan SPM di Daerah Persiapan dan Pengawasan Dalam Penyusunan SPM
60 63 65
3.5 3.6 3.7
5.4 5.5
iv
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
67 72 84
BAB VI 6.1
ANALISIS APBD Peranan Pendapatan dan Anggaran untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Analisis Belanja Daerah Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Rasio Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah Kebijakan APBD
91 92 94 101 104 106 109
BAB VII 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7
KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH Pengertian Pendapatan Daerah Pengertian Pendapatan Asli Daerah Sumber-sumber PAD Dasar Hukum PAD Pengertian Dana Perimbangan Pengertian Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Gagasan Kebijakan Pendapatan Daerah
114 115 116 118 120 120 121 121
BAB VIII 8.1 8.2 8.3 8.4
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Perkembangan Peraturan Pengelolaan Barang Milik Daerah Pengertian BMD dan Struktur Kelembagaan BMD Isu Terkini Pengelolaan BMD Siklus Pengelolaan BMD
126 127 129 134 135
BAB IX 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6
PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah Kelembagaan Pengelola Keuangan Daerah Penatausahaan Penerimaan Kas Daerah Penatausahaan Pengeluaran Daerah Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara Implikasi Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Terhadap Penatausahaan Keuangan Daerah
150 151 151 160 162 164
AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL Perkembangan Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah Perangkat/Instrumen Penerapan Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Basis Akuntansi Persamaan Dasar Akuntansi Siklus Akuntansi Implementasi Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
170 172 173 174 175 176 186 214
6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
BAB X 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6 10.7
DAFTAR PUSTAKA
90
168
219
DAFTAR ISI
v
Daftar Gambar Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 1.5 Gambar 1.6 Gambar 1.7 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 4.1 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 6.9
vi
Perkembangan Pembentukan DOB Tahun 1999-2014 8 Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan Sesudah Desentralisasi 1999 8 Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan 9 Urusan Pemerintahan Konkuren 10 Hubungan Keuangan Antar Pemerintahan di Indonesia 13 Hubungan Antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa 16 Pengalokasian Dana Desa Dalam APBN-P 2015 17 Pendekatan Perencanaan Pembangunan 31 Keterkaitan Dokumen Rencana Pembangunan di Daerah dan Pusat 33 Proses Perencanaan Pembangunan 33 Alur Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah 34 Integrasi Gender Dalam Musrenbang 35 Konsep Kerangka Kinerja Program dan Kegiatan 36 Proses Perencanaan Penganggaran 37 Posisi GAP dan GBS Dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Daerah 38 Pendekatan Penyusunan Anggaran Berdasarkan Konsep NPM 42 Siklus Penerapan PBK 52 Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1 (8) 68 Muatan Rencana Pencapaian SPM 68 Hubungan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran 70 Integrasi SPM 75 Integrasi SPM-RKA-SKPD 78 Format Pengajuan PPAS 79 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 96 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 97 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 98 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 98 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 99 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah 100 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*) 100 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 101 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 102
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 6.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Gambar 6.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) Gambar 6.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Gambar 6.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) Gambar 6.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi Gambar 6.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *) Gambar 6.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Gambar 6.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) Gambar 6.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Gambar 6.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) Gambar 6.20 Proses Penyusunan KUA Gambar 6.21 Proses Penyusunan PPAS Gambar 7.1 Struktur Pendapatan Daerah Gambar 8.1 Siklus Pengelolaan BMN/D Gambar 8.2 Contoh Hasil Pengelolaan Aset Negara/Daerah Gambar 8.3 Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Gambar 8.4 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013 Gambar 9.1 Ilustrasi Hubungan Kerja Pengelola Keuangan Dalam Struktur SKPD Berbentuk Dinas Gambar 9.2 Pola Hubungan Pejabat Perbendaharaan Daerah Gambar 10.1 Perangkat Implementasi Gambar 10.2 Siklus Akuntansi SKPD/PPKD Gambar 10.3 Proses Konversi Penyajian LRA
103 103 104 105 105 106 107 108 108 109 110 111 116 130 131 133 134 158 159 173 177 184
Daftar Tabel Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 Rasio Dana Transfers Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Komponen Pembangunan Ekonomi Lokal (Leigh & Blakely, 2013) Tahapan Penyusunan Anggaran Tahapan Kegiatan Penerapan PBK Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator Outputnya Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator Outcomenya Hubungan Antara Urusan, NSPK dan SPM Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM Review Pencapaian Kinerja Pelayanan SKPD (Contoh)
14 14 26 44 52 56 57 67 72 76
DAFTAR ISI
vii
Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Tabel 5.10 Tabel 8.1 Tabel 8.2 Tabel 8.3 Tabel 8.4 Tabel 10.1
Tabel 10.2 Tabel 10.3 Tabel 10.4
viii
Format Pengumpulan Data dan Informasi Tingkat Cakupan Kunjungan Bumil K4 Kabupaten X Analisis Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pencapaian Formula Perhitungan Biaya Indikator SPM: Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 Rekapan Perhitungan Kebutuhan Biaya Tahunan Check list Integrasi SPM Dalam Dokumen Perencanaan Jangka Menengah Check list Integrasi SPM Dalam Dokumen Perencanaan Tahunan Perbandingan Cakupan Pengelolaan Barang Milik Daerah Struktur Kelembagaan Pengelola Keuangan Negara/Daerah Perkembangan Opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013 Hubungan Derajat Kepentingan dan Kondisi BMD Perkembangan Penyelesaian Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota Tentang Kebijakan Akuntansi Berbasis Akrual dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah Persamaan Dasar Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Perbandingan LAK Berbasis CTA Dengan LAK Berbasis Akrual Format Catatan Atas Laporan Keuangan
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
81 82 82 84 84 86 87 130 132 134 136
174 175 194 199
PENDAHULUAN 1. Tujuan Pelatihan Setelah mempelajari Modul ini peserta pelatihan diharapkan mampu membaca laporan keuangan, mengevaluasi, menganalisis, menilai, dan merumuskan inovasi dan prioritas kebijakan.
2. Peserta Pelatihan Persyaratan peserta pelatihan Modul Akuntansi Keuangan Daerah sebagai berikut: 1. Pejabat Eselon IV senior dan Eselon III yang membidangi pengelolaan keuangan daerah. 2. Latar belakang pendidikan minimal S1 semua jurusan
3. Materi Pelatihan Bab-bab yang disajikan dalam Handbook ini yaitu: Bab I : Perencanaan dan Penganggaran : 3 sesi Bab II : Belanja Daerah : 6 sesi Bab III : Pendapatan Daerah : 3 sesi Bab IV : Barang Milik Daerah : 4 sesi Bab V : Penatausahaan Keuangan Daerah : 3 sesi Bab VI : Akuntansi Keuangan Daerah : 5 sesi _________________________________________________________________ Total
: 24 sesi (3 hari efektif pelatihan)
4. Metode Pelatihan Metode dan pendekatan pembelajaran yang diterapkan dalam mencapai kompetensi dasar materi ini adalah metode partisipatif (participatory approach) dengan pendekatan pembelajaran andragogi (pembelajaran orang dewasa) dengan pola penyampaian materi dilandaskan pada golden rule yaitu 10-60-40 dimana 10% (pengantar pelatihan/introduction), 60% (praktek/aktitas) dan 30% (integrasi antara teori dan praktek).
5. Perlengkapan dan Fasilitas Pelatihan Perlengkapan/Media Pembelajaran yang harus disiapkan untuk menyukseskan proses pembelajaran materi ini yaitu: 1. Komputer untuk Pengajar 2. LCD Proyektor 3. Kabel Roll 4. Whiteboard/ Pinboard 5. Spidol
PENDAHULUAN
1
6. 7. 8. 9.
Penghapus Lakban Kertas (untuk Pengenal Peserta) Kertas Mobile Visualization Flip Chart dan Kertasnya
6. Evaluasi Pelatihan Evaluasi yang dilakukan meliputi 3 hal yaitu: 1. Evaluasi terhadap peserta meliputi: a. Kehadiran: Minimum kehadiran peserta adalah 80% dari total hari pelatihan. b. Partisipasi di kelas Pelatih memberikan penilaian atas keaktivan peserta dalam presentasi, diskusi dan mengerjakan soal. c. Ujian Dilakukan dengan memberikan pre test pada hari pertama pelatihan dan post test dengan soal yang sama pada hari terakhir pelatihan. Hasil capaian pembelajaran (learning gain) disampaikan di akhir pelatihan. Di akhir pelatihan, peserta diberikan sertikat telah mengikuti pelatihan. 2. Evaluasi terhadap pelatih a. Dilakukan untuk setiap pelatih per topik yang disampaikan. b. Meliputi aspek penilaian: kompetensi, teknik presentasi dan komunikasi, serta sikap dan perilaku. 3. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pelatihan a. Dilaksanakan 2 kali yaitu di tengah waktu pelatihan dan di akhir pelatihan. b. Meliputi aspek penilaian: sarana dan prasarana, konsumsi , dan pelayanan panitia.
2
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PENDAHULUAN
3
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
4
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Diskripsi: Bab ini menjelaskan tentang hubungan antar tingkatan pemerintahan, hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan, serta hubungan antara APBN dan APBD. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1
Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintah.
Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan.
2
Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintah.
Pendelegasian kewenangan pendapatan, kesenjangan vertikal dan horizontal, Bagan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
3
Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah.
Kerangka hukum, pengelolaan keuangan daerah, peraturan kepala daerah.
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah; 4. Rondinelli, Denis, ‘What is Decentralization? in Decentralization Brieng Notes, World Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org/; 5. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http:// www.djpk.depkeu.go.id/; 6. Patlis Jason M. Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan. CIFOR, 2004; 7. Panduan Praktis Memahami Perancanan Peraturan Daerah Depkumham Republik Indonesia , Dirjen Peraturan Perundangan dan UNDP, 2008.
1.1 Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan Dalam suatu negara, hubungan kewenangan antar tingkatan pemerintahan sangatlah penting. Hubungan tersebut menentukan oleh siapa dan bagaimana pengaturan kehidupan serta upayaupaya pemenuhan kewajiban maupun hak masyarakat di negara bersangkutan diselenggarakan. Pengaturan kewenangan yang jelas, akan menghindarkan tumpang tindih hak dan tanggung jawab, serta menghindarkan terabaikannya suatu urusan. Kejelasan pengaturan kewenangan, juga akan mengesienkan biaya penyelenggaraan kehidupan bernegara.
1.1.1 Bentuk Negara dan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintah Bentuk negara, akan menentukan bagaimana kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam negara tersebut diatur. Dua bentuk negara yang terpenting di dunia sekarang ini adalah negara federal atau negara serikat (The Federal State), dan negara kesatuan (The Unitary State). Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang berwenang mengatur peri kehidupan secara internal. Masing-masing negara bagian biasanya memiliki sistem hukum sendiri. Negara bagian berhak membuat undang-undang negara yang berlaku di negara bagian tersebut, termasuk undang-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
5
federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA. Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah provinsi dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan pemekaran provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China, Indonesia, Inggris, Jepang, Thailand. Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem pemerintahan daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland ataupun Wales. Di Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan daerah lainnya.
1.1.2 Bentuk Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah Ada 4 jenis bentuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yakni: 1. Devolusi; 2. Desentralisasi; 3. Dekonsentrasi (Desentralisasi Administrasi); 5. Tugas Pembantuan. Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: 1. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity). Sebagai perbandingan terhadap denisi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Rondinelli mengklasikasikan bentuk hubungan antar pemerintahan, sebagai berikut: 1. Deconsentration (dekonsentrasi), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi dapat dilakukan melalui dua bentuk yaitu eld administration dan local administration. Seterusnya local administration dapat dilaksanakan secara integrated dan unintegrated.
6
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2. Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations, adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. 3. Devolution to local government (devolusi), yaitu penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau disebut dengan desentralisasi teritorial. 4. Delegation to non-government institutions, yaitu penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepada organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebutan lain sebagai privatisasi, yaitu suatu bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s, tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian di swastakan, seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT). Di Indonesia, pembentukan pemerintahan otonom terkadang tidak disertai dengan pembentukan institusi dan kewenangan yang jelas. Belajar dari berbagai literatur terkait otonomi, sebuah organisasi pemerintahan yang otonom paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. 2. 3. 5. 5. 6.
Organisasi yang legal; Memiliki kewenangan dan fungsi yang jelas; Paling sedikit mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga perwakilan konstituen; Memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri; Memiliki budget (anggaran) sendiri; Akuntabilitas kepada konstituen dan peraturan perundang-undangan.
1.1.3 Praktek Desentralisasi di Indonesia Indonesia adalah negara kesatuan, yang dibentuk setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berlandaskan kepada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai bentuk negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa aturan yang lebih khusus mengenai pemerintah daerah dan kekuasaannya akan ditetapkan dengan Undang-undang. Sejak masa kemerdekaan, ada tujuh Undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan UU 23 Tahun 2014. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan yang berbeda untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri RI, pada akhir tahun 2014 di Indonesia terdapat 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Setiap tingkatan pemerintahan daerah, diberi tanggung jawab tertentu menurut UU yang berlaku.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
7
Gambar 1.1
Perkembangan Pembentukan DOB Tahun 1999-2014 PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN DOB TAHUN 1999-2014 PEMBENTUKAN DOB 1999-2004
PROV KAB KOTA
PEMBENTUKAN DOB 2005-2014
PROV KAB KOTA
:7 : 115 : 26
:1 : 67 :7
75 DOB
148 DOB 223 DOB TOTAL DAERAH OTONOM PROVINSI : 34 KABUPATEN : 415 KOTA : 93 TOTAL : 542 Sumber: http://otda.kemendagri.go.id/ diakses tanggal 2 Maret 2015
Gambar 1.2
Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan Sesudah Desentralisasi 1999 Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan Sesudah Desentralisasi 1999 UD AH
415 Kab.
8 (30,7%)
SEB EL UM
RA
93 Kota
LIS
NT
RA
LIS
Data Kecamatan, Kelurahan dan Desa Berdasarkan Permendagri 18 Tahun 2013
99
72.944 Desa
13.110 (21,9%)
5.935 Kel.
AS
I 19
2.374 (40%)
5.480 Kec.
DE SE
AS
8.309 Kel.
1.514 (27,6%)
59 Kota
Jumlah Penduduk 251.857.940 Jiwa
6.994 Kec.
34 (57,6%)
234 Kab. NKRI
DE SE
NT
181 (77,3%)
26 Prov
Luas Wilayah 1.913.578,68 km2
SES
34 Prov
I 19
99
59.834 Desa
Sumber: http://otda.kemendagri.go.id, diakses tanggal 2 Maret 2015
Menurut Pasal 9, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan diklasikasikan ke dalam:
8
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Urusan pemerintahan absolut; 2. Urusan pemerintahan konkuren; 3. Urusan pemerintahan umum. Gambar 1.3
Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan
Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, meliputi: 1. Politik luar negeri; 2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yustisi; 5. Moneter dan skal nasional; 6. Agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan Asas Dekonsentrasi. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas: 1. Urusan Pemerintahan Wajib, terbagi dua: a. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar; b. Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. 2. Urusan Pemerintahan Pilihan.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
9
Gambar 1.4
Urusan Pemerintahan Konkuren
Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dapat diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat; melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan Asas Dekonsentrasi; menugasi Daerah berdasarkan Asas Tugas Pembantuan. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: 1. tenaga kerja; 2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; 3. pangan; 4. pertanahan; 5. lingkungan hidup; 6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; 7. pemberdayaan masyarakat dan desa; 8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; 9. perhubungan; 10. komunikasi dan informatika; 11. koperasi, usaha kecil, dan menengah; 12. penanaman modal; 13. kepemudaan dan olah raga; 14. statistik; 15. persandian; 16 kebudayaan; 17. perpustakaan; 18. kearsipan. Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar, berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
10
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintahan umum meliputi: 1. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; 3. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; 4. penanganan konik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan 7. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal. Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, gubernur dan bupati/ wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur, Bupati dan Walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum dibiayai dari APBN. Bupati/Walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum pada tingkat Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat. Secara umum menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat pembagian urusan yang sangat jelas antar tingkatan Pemerintahan. Terkait dengan urusan konkuren, pembagiannya urusan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sudah dirinci oleh lampiran undang-undang ini. Artinya pembagian urusan konkuren tidak lagi diatur oleh Peraturan Pemerintah yaitu PP 38 Tahun 2007, namun langsung diatur oleh undang-undang ini. Terkait dengan pembagian urusan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pada dasarnya fungsi berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/ kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya enam layanan dasar. Namun undang-undang ini memberikan kewenangan tambahan untuk Provinsi. Fungsi utama pemerintah provinsi adalah dalam hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas daerah/regional. Provinsi juga menjalankan fungsi layanan yang tidak dapat dijalankan oleh pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi perencanaan makro regional, pengembangan dan penelitian sumber daya manusia, pengelolaan pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup, perdagangan dan promosi pariwisata, pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
11
1.2 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan 1.2.1 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/ Kota) Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain: 1. Pembagian kewenangan Pendapatan (Perpajakan); 2. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimbangan vertikal (kesenjangan skal antara pusat dan daerah; 3. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan skal antar daerah). Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat ini terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian Pendapatan Pemerintah Pusat (pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat kedaerah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan skal pemerintah daerah yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan asli daerah. Dengan kata lain,transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan skal antara pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah dengan kapasitas skal juga disebabkan oleh ketimpangan skal horizontal (ketimpangan skal antar daerah) yang disebabkan oleh berbedanya potensi skal dan kebutuhan antar daerah. Disisi belanja, diberikannya kewenangan skal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih esien dan efektif. Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang jauh. Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh Pemda akan lebih responsif dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/ retribusi tersebut. Skema hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan di Indonesia terkait pendapatan dapat dilihat pada Gambar 1.5.
12
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 1.5
Hubungan Keuangan Antar Pemerintahan di Indonesia
Sumber: Handra (2005)
Catatan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendelegasian kewenangan perpajakan kepada Pemerintah berdasarkan berbagai undang-undang. Pendelegasian kewenangan perpajakan kepada Pemerintah Daerah. Bagi hasil antara pusat dan daerah. Bantuan bersifat umum dari pusat ke daerah. Bantuan bersifat khusus dan jenis bantuan lainnya dari pusat ke daerah. Bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota. Bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten/kota.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer yaitu sekitar 82% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 49% dari pendapatan pemerintah provinsi selama periode -2014 (lihat Tabel 1.1). Namun jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 2010 komposisi dana transfer dari Pusat menunjukkan penurunan, dengan kata lain kontribusi PAD semakin membaik.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
13
Tabel 1.1 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 Pos Pendapatan
Kabupaten/ Kota
Provinsi 2010
2014
Pendapatan Asli Daerah
43,8%
48.4%
Dana Transfer dari Pusat
55,0%
Dana Bagi Hasil (DBH)
2014
2010
2014
7,3%
11.2%
16,0%
22.9%
49.0%
86,8%
81.5%
79,3%
71.9%
22,9%
17.3%
16,4%
11.8%
18,0%
14.1%
Dana Alokasi Umum (DAU)
22,7%
13.9%
59,8%
55.6%
51,0%
42.0%
Dana Alokasi Khusus (DAK)
1,6%
0.8%
8,0%
5.6%
6,5%
4.3%
Dana Transfer Lainnya
7,8%
17.1%
2,5%
8.4%
3,8%
11.5%
Pendapatan Lainnya
1,2%
2.6%
5,9%
7.3%
4,7%
5.2%
Total Pendapatan
100,0%
2010
Total
100,0%
100,0%
Sumber: Data diolah
Ada dua bentuk transfer yang telah diprkatikkan di Indonesia selama tiga dekade terakhir. Bentuk yang pertama adalah dengan mentransfer sebagian pendapatan tertentu dari pajak pusat dan nonpajak kepada daerah penghasil. Hal ini biasa disebut pendapatan bagi hasil (Dana bagi hasil atau DBH). Sebagai contoh, Pajak Penghasilan pribadi yang dikelola oleh Kantor Pajak Pusat harus dibagi ke daerah penghasil. Bentuk kedua dari transfer itu adalah bantuan Pemerintah Pusat untuk daerah. Ada dua bantuan utama di Indonesia, yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bantuan dengan tujuan umum dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan bantuan dengan tujuan khusus. Selain bantuan tersebut, ada juga bantuan untuk daerah otonomi khusus dan berbagai bantuan berjenis khusus yang disebut dana penyesuaian. Secara keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan negara selama periode 2001-2014 (lihat Tabel 1.2). Tabel 1.2 Rasio Dana Transfers Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001-2014 Pendapatan Negara (PN)
Tahun Anggaran
PDB
2001
1.646,3
300,6
2002
1.821,8
2003
Transfer ke Daerah
Ratio Transfer Thd PN
Ratio Transfer Thd PDB
81,1
27%
4,9%
298,5
98,2
33%
5,4%
2.013,7
340,9
120,3
35%
6,0%
2004
2.295,8
403,1
129,7
32%
5,7%
2005
2.774,3
493,9
150,5
30%
5,4%
2006
3.339,2
636,2
226,2
36%
6,8%
2007
3.959,9
706,1
253,3
36%
6,4%
2008
4.951,6
979,3
292,4
30%
5,9%
2009
5.613,4
847,1
308,6
36%
5,5%
2010
6.446,9
992,2
344,8
35%
5,3%
2011
7.422,8
1.205,3
411,3
34%
5,5%
2012
8.241,9
1.332,3
480,6
35%
5,8%
2013
9.272,1
1.432,1
513,3
36%
5,5%
2014
10.384,0
1.633,1
596,5
37%
5.7%
Triliun Rupiah
Sumber: Data diolah Catatan: Data realisasi untuk tahun anggaran 2001 – 2013, untuk tahun anggaran 2014 merupakan data AnggaranPerubahan
14
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer ke pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari pinjaman atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah hanyalah menjadi penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian dari transfer karena dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik. Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke dalam kategori pendapatan pemerintah daerah melainkan pengeluaran Pemerintah yang dilaksanakan oleh atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa bentuk hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam undang-undang pajak dan retribusi daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa provinsi juga menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota. Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua undang-undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Indonesia. Pertama, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, yang diterapkan tahun anggaran 2001-2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang. Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 34% dari penerimaan negara atau sekitar 5,8% dari PDB selama periode 2002-2014. Seperti terlihat pada Tabel 2.2, jumlah transfer bervariasi dari 4,9-6,8 dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada TA 2006, yakni sebesar 6,8%.
1.2.2 Hubungan Keuangan Pusat, Daerah dan Desa Hubungan keuangan antara Pusat, Kabupaten dan Desa selama ini diatur oleh berbagai regulasi. Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hubungan keuangan itu diatur secara lebih baik. Pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dengan jelas menyebutkan pendapatan desa sbb: 1. pendapatan asli Desa, terdiri atas: a. hasil usaha; b. hasil aset; c. swadaya dan partisipasi; d. gotong royong; f. lain-lain pendapatan asli Desa. 2. alokasi aggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa); 3. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 4. alokasi dana Desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/ Kota; 5. bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; 6. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; 7. lain-lain pendapatan Desa yang sah. Hubungan keuangan antara Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dengan Desa terlihat dari adanya (i) alokasi APBN untuk Desa, yang selanjutnya disebut Dana Desa, (ii) bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota ke Desa, (iii) alokasi dana Desa dari bagian Dana Perimbangan, (iv) Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
15
Alokasi anggaran yang bersumber dari APBN yang disebut Dana Desa dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan mengefektiﮖan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Artinya belanja Kementrian/lembaga Pemerintah Pusat yang selama ini ditujukan untuk pembangungan Desa dalam berbagai program, direlokasikan menjadi Dana Desa yang merupakan transfer dari APBN ke Desa melalui Kabupaten/Kota Sebagai bagian dari Kabupaten/Kota yang otonom, Desa juga mendapat bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, yaitu paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah pajak dan retribusi daerah yang terpungut setiap tahunnya. Kemudian Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus membagikan ke Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterimanya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa: Gambar 1.6
Hubungan Antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa
• Pendapatan Asli Daerah
• LL PAD yang Sah
• Lain-lain Pendapatan yang Sah
• Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
• Pendapatan Asli Daerah
} • Lain-lain Pendapatan Asli
} • Lain-lain Pendapatan yang Sah
Desa
• Bagi Hasil PAD Kabupaten/Kota • Bantuan Keuangan dari Provinsi
• Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
16
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Khusus untuk Dana Desa Pemerintah Pusat mengatur formulanya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 dan revisinya.Terdapat dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di dalam APBN sampai ke Desa melalui Pemerintah Kabupaten. Tahap pertama, Kementrian Keuangan menghitung besaran Dana Desa untuk masing-masing Kabupaten/Kota. Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung besaran Dana Desa untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Bagaimana formulasi untuk tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar berikut. Gambar 1.7
Pengalokasian Dana Desa Dalam APBN-P 2015
Penduduk Miskin Desa
1.3 Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan Keuangan merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangangan daerah. Adalah kewajiban negara untuk menggunakan sumber daya sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Peraturan Daerah (perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Perda tentang pengelolaan keuangan merupakan salah satu instrument yuridis untuk mengawal dan menyelamatkan pengunaan dana masyarakat yang dikelola pemerintah. Dengan demikian pada pengelolaan keuangan akan mendapatkan jaminan kepastian hukum baik dalam membuat kebijakan. Maupun pelaksanaan pengeloaan keuangan daerah. Selain itu para pelaksana juga mendapatkan petunjuk pelaksanaan yang lebih jelas terhadap satu kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan uang negara (dana masyarakat). Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sebagaimana dijelaskan pada UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 67 bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki kewajiban untuk diantaranya adalah : b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
17
Daerah; e. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Selain itu tuntutan pada kondisi dan praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan iklim investasi juga semakin besar sehingga pemerintah daerah bersama DPRD berkewajiban untuk menjalankan kegiatan pelayanan publik dan pengawasan yang baik. Dalam ketentuan pemerintaah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Selain itu Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta dengan kepentingan umum. 1. Permasalahan Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam mengelola keuangan daerah jaminan kepastian hukum merupakan hal yang penting bagi pengelola keuangan di pemda, pemerintah pusat, masyarakat, DPRD, investor maupun kreditor. Beberapa kasus pengelolaan keuangan yang tidak sesuai dengan perundangan dapat berakibat pada kerugian negara, kerugian masyarakat serta terhambatnya kegiatan pemerintahan. Selain itu para pengelola keuangan juga akan menanggung sanksi berat akibat kesalahan, penyimpangan prosedur maupun kelalaian pengelolaan keuangan. 2. Aspek Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengeloaan Keuangan Daerah Penyusunan peraturan daerah memiliki tiga aspek penting yaitu kewenangan, keterbukaan dan pengawasan. Aspek Kewenangan, yang berarti secara tegas dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota. Kedua Aspek Keterbukaan, dimana pembentukan Peraturan Daerah memberi kesempatan kepada masyarakat baik dari berbagai unsur baik praktisi, akademisi maupun masyarakat terkait lainnya untuk berpartisipasi, baik dalam proses perencanaan, persiapan, penyusunan dan/atau dalam pembahasan Raperda dengan cara memberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau saran pertimbangan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Ketiga Aspek Pengawasan, yaitu upaya pengawasan preventif terhadap Raperda maupun pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah. Selain itu Perda secara ekplisit harus menjabarkan dengan jelas dan rinci mengenai : a. siapa pelaksana aturan? b. kewenangan apa yang diberikan padanya? c. perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan sanksi atas ketidak patuhan; d. persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana? e. apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang? Selain itu perlu pula dirumuskan : a. siapa yang berperilaku bermasalah? b. jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan? Beberapa peraturan kepala daerah yang harus dibuat antara lain: a. peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah; b. peraturan kepala daerah tentang pengelolaan aset daerah; c. peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi berbasis akrual; d. peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur akuntansi berbasis akrual.
18
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Mekanisme Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positif tentang UU dasar Pemerintahan Daerah, Undang-undang tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda. Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara jelas mendiskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant). Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan hierarki kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya. Misalnya wewenang menandatangani ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang mengeluarkan ijin atas nama Bupati dan sebagainya. Untuk merancang sebuah peraturan daerah , beberapa hal harus disiapkan adalah dapat menguasai dengan baik hal-hal sebagai berikut: a. analisa data tentang persoalan yang akan diatur (naskah akademik); b. kemampuan teknis perundang-undangan; c. pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan; d. hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus yang menjadi dasar dan acuan tentang perda.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
19
BAB II PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
20
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Membahas konsep dan paradigma perencanaan, khususnya tentang denisi serta elemen-elemen yang diperlukan dengan konteks perencanaan di Indonesia. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
Perencanaan untuk Kesejahteraan
Tantangan, tuntutan, visi
2
Denisi Perencanaan
Masa depan, alternatif, alokasi
3
Pembangunan Melalui Komunitas Lokal
Wilayah, endogen, keberlanjutan
4
Peran Institusi
Kegagalan pemerintah, birokrasi, regulasi
5
Pembangunan Ekonomi Lokal
Lembaga, perubahan, partisipasi
Bahan Bacaan: 1. Conyers, Diana, Hills, and Peter. 1990. An Introduction to Development Planning in The Third World. New York. Brisbane. Toronto. Singapure: John Wiley and Sons Chichester; 2. Killick, Tony. 1976. The possibilities of development planning. Oxford Economic Papers. vol 28; 3. Leigh E.J and, N.G. Blakely .2013. Planning Local Economic Development: Theory and Practice,Sage, London; 4. Massey , D.( 1984 ) Spatial Divisions of Labour: Social Structures and the Geography ofProduction. Basingstoke: Macmillan; 5. Muhlighaus, S & Walty, S. 2001. Endogeneous Development inSwiss Mountain Communities‘. Mountain Research Development. Vol.21(3), August, 236-242; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 7. Stimson, RJ. R.R. Stough and M.Salazar.2009. Leadership and institutional factors in endogenousregional economic development.Edward Edgar Publishing, UK; 8. Tangkilisan. 2003. Evaluasi Kebijakan Publik. Balairung & Co, Yogyakarta; 9. Todaro Michael and Stephen Smith, 2009. Economic Development. Addison-Wesley. Tenth Edition; 9. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013. Modul Training of Fasilitator (TOF) Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) Daerah; 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 11. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 12. Vázquez-Barquero A .2002. Endogeneus Development, Networking, innovation, institutions and cities, Roudledge London and New York.
2.1 Perencanaan untuk Kesejahteraan Besarnya tuntutan masyarakat akan kesejahteraan dan peran negara menyebabkan negara harus bekerja lebih keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyrakat secara adil dan setara baik lakilaki maupun perempuan. Selain itu globalisasi dan perdagangan bebas menyebabkan negara harus memiliki daya saing yang tinggi untuk bisa bertahan dan juga merebut peluang pasar yang lebih besar. Visi menjadi bangsa yang unggul harus menjadi dasar utama dalam setiap program aktivitas yang disusun oleh pemerintah. Perencanaan pembangunan memiliki arti penting bagi negara untuk melakukan social engineering demi menggiring masyarakat pada tujuan bernegara yang telah disepakati bersama. Perencanaan adalah upaya menghadirkan peran negara dalam mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat ke jalan kedepan yang lebih fokus dan terarah mulai dari tingkat makro sampai pada tingkat mikro. Negara menciptakan sejumlah perangkat dan infrastruktur untuk mendorong pencapain arah tersebut melalui berbagai aturan, regulasi dan hukum yang responsif
BAB II PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
21
disertai dengan cara dan teknologi yang lebih esien dan efektif. Keberagaman kondisi sosial ekonomi harus dapat diakomodasi melalui pemerataan tingkat pemahaman. Pemerintah diperlukan dalam perencanaan karena perekonomian dan masyarakat tidak bisa mencapai kesejahteraannya sendiri. Faktor kepemilikan, hukum, keamanan, infrastruktur yang tertinggal tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat. Perekonomian juga tidak bisa mengalami keseimbangan secara ilmiah karena tidak adanya penyeimbang otomastis yang berjalan secara alamiah. Disinilah peran pemerintah mengambil alih fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam bagaimana menyediakan barang publik atau dalam bentuk kebijakan penggunaan seluruh sumber daya untuk digunakan dalam memproduksi barang swasta dan barang publik. Pembiayaan barang publik dilakukan pemerintah melalui penarikan paksa baik pajak maupun retribusi. Dengan kata lain untuk membiayai penyediaan barang publik dananya diperoleh dari penerimaan pajak. Pemerintah harus dapat mengambil keputusan secara adil mengenai jenis dan kualitas barang publik yang akan diproduksi dan berapa besar konsumen harus membayar. Pada akhirnya keputusan ini adalah tawar menawar antar pemerintah dan masyarakat atau pengguna dengan mempertimbangkan kebutuhan, kepentingan dan permasalahannya. Proses politik akan masuk dan menggantikan peran mekanisme harga, hasilnya diharapkan juga memenuhi prinsip esiensi, kemanfaatan. Sebagaimana telah diketahui, UUD Negara Republik Indonesia menjamin hak setiap warga negaranya untuk menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang. Namun demikian, perolehan akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan serta kontrol terhadap sumber daya antara penduduk perempuan dan laik-laki belum setara. Oleh sebab itu perencanaan harus terarah dan fokus kepada peningkatan pelayanan publik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.2 Definisi Perencanaan Ada beberapa denisi perencanaan yang sering dijadikan acuan yaitu D. Conyers dan MT Todaro. Menurut D. Conyers dan Hills (1984), denisi perencanaan adalah proses yang kontinyu, terdiri dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Sementara menurut MT Todaro (Economic Development, 7th ed., 2000), perencanaan ekonomi adalah upaya pemerintah secara sengaja untuk mengkoordinir pengambilan keputusan ekonomi dalam jangka panjang serta mempengaruhi, mengatur dan dalam beberapa hal mengontrol tingkat dan laju pertumbuhan berbagai variabel ekonomi yang utama untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditentukan sebelumnya. Merencanakan berarti memilih berbagai alternatif agar tercapai kondisi yang lebih baik, memilih cara/kegiatan untuk mencapai tujuan/sasaran dari kegiatan. Perencanaan sebagai alat untuk mengalokasikan sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal. Sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya dilakukan pengalokasian sumber daya sebaik mungkin. Konsekuensinya adalah pengumpulan dan analisis data serta informasi mengenai ketersediaan sumber daya yang ada menjadi sangat penting. Perencanaan sebagai alat untuk mencapai tujuan/sasaran. Dalam hal ini, perencanaan membutuhkan dokumen perencanaan, organisasi, anggaran dan sebagainya. Perencanaan berhubungan dengan pembangunan masa yang akan datang. Untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, para ilmuwan telah mengemukan berbagi teori yang sangat bermanfaat bagi dasar-dasar pembangunan suatu masyarakat atau negara. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sistem
22
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan maka perencanaan harus mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, permasalahan dan pengalaman perempuan dan laki-laki baik dalam proses penyusunannya maupun dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks perencanaan daerah, keadilan dan kesetaraan direeksikan dalam dokumen RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD.
2.3 Pembangunan Melalui Komunitas Lokal Salah satu model terkini yang digunakan dalam perencanaan pembangunan yang dianggap sesuai untuk negara berkembang khususnya Indonesia adalah Endogeneus Growth atau pertumbuhan dari dalam dengan memanfaatkan komunitas dan pengetahuan dipadukan dengan pengetahuan dari luar. Pengetahuan dari komunitas lokal dianggap lebih sesuai karena menyangkut derajat kesejahteraan yang ingin dicapai, spirit kemajuan dan kebijakan yang dianggap telah mengalami ketahanan dalam waktu yang sangat lama. Model ini juga mampu mendesikan kebutuhan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang tunduk pada kendala kepentingan komunitas lokal. Model ini dianggap lebih sesuai karena model yang lebih berorientasi pada penumpukan modal dan sumber daya alam terbukti gagal dijalankan karena gagal melakukan pengelolaan. Menurut Massey (1984) model ini dijelaskan sebagai suatu pendekatan pembangunan kewilayahan dalam proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh komunitas lokal dan memanfaatkan potensi-potensi lokal dalam pembangunan untuk memperbaiki tingkat kehidupan penduduk lokal. Namun demikian pada perkembangannya strategi pembangunan ini tidak sepenuhnya pada sumberdaya lokal, pengetahuan lokal, budaya dan kepemimpinan lokal, dengan keterbukaan untuk memadukan pengetahuan tradisional dan yang berasal dari luar. Dalam konteks perencanaan daerah, kebijakan desentralisasi skal paska reformasi berkaitan erat dengan upaya pemerataan pembangunan dengan kemandirian daerah disertai dengan cara pengeloaaan sumber daya dan anggaran yang lebih esien. Oleh sebab itu semestinya pemerintah daerah yang lebih mengerti dan memahami kondisi di daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya tersebut secara lebih esien dan bertanggung jawab, siapa sasaran yang perlu diintervensi dengan mempertimbangkan aspirasi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat , dan bagaimana melakukannya terutama pada program-program kebutuhan dasar sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan tingkat penerima manfaat pembangunan. Menurut Ray (1997) dan Muhlighaus & Walty (2001) karakteristik utama dari model Endogenous Development adalah : 1. Penekanan pada pendekatan wilayah bukan sektoral. 2. Kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya diarahkan untuk memaksimumkan manfaat bagi daerah lokal melalui pemanfaatan sumberdaya lokal, sikal maupun manusianya. 3. Pemusatan perhatian terhadap kebutuhan, kapasitas dan perspektif masyarakat lokal yang berarti bahwa suatu wilayah seyogyanya mengembangkan kapasitasnya untuk melakukan pembangunan sosio-ekonomi yang khas wilayah tersebut. 4. Optimalisasi potensi endogen (identikasi potensi-potensi lokal: peluang, SDA, SDM, kemampuan sosial, modal sosial, dan sebagainya). 5. Sustainable development (aspek ekonomi, ekologis, dan sosial yang setara). 6. Partisipasi dan pengembangan identitas regional.
BAB II PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
23
Dalam proses pembangunan kemampuan sumber daya manusia menjadi kunci utama. Bangsa Jepang yang memiliki sumber daya yang sangat terbatas terbukti bisa menjadi salah satu negara maju di dunia karena menggunakan nilai-nilai lokal yang dipadukan dengan cara bekerja orang barat, demikian juga dengan Korea Selatan dan China. Beberapa ahli menganggap salah satu kemajuan tersebut juga dibarengi dengan adanya kepemimpinan yang inovatif, yaitu kepemimpinan yang mampu memberikan spirit pada masyarakat untuk berpikir maju dan membangun negara secara bersama sama. Menurut Stimson et al. (2002) kepemimpinan untuk pembangunan ekonomi regional tidak didasarkan pada hubungan hirarkhis, tetapi lebih pada hubungan kolaboratif antara pelakupelaku kelembagaan yang mencakup sektor publik, privat dan masyarakat dan didasarkan pada rasa saling percaya (mutual trust) dan kerjasama (cooperation). Kepemimpinan harus bisa mendorong jiwa kemandirian dan kewirausahaan dengan cara apapun. Selanjutnya masyarakat juga harus didorong terus belajar dan bekerja keras untuk menemukan metode dan produk-produk baru. Menurut (Arsyad, 2014) komponen kunci kepemimpinan regional yang efektif adalah sebagai berikut: 1. Kolaborasi: pernyataan tentang visi dan implementasi proses untuk barang kolektif dan untuk semua komunitas dari suatu daerah. 2. Saling percaya: hal esensial bagi kolaborasi yang efektif. Pemimpin dengan para pengikutnya harus memiliki rasa saling percaya untuk berbagi risiko dalam tindakan kolektif. Jika tidak ada rasa saling percaya, pandangan dari para pemimpin akan sulit diterima. 3. Pembagian kekuasaan: ditandai oleh power distance yang rendah dan desentralisasi kekuasaan. 4. Keluwesan: sangat diperlukan untuk inovasi dan berpikir kreatif. 5. Entrepreneurialisme: kepemimpinan komunitas menunjukkan karakteristik entrepreneurial, percaya akan perubahan dan menginisiasi untuk meng-energize daerah untuk menghadapi tantangan persaingan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dibutuhkan untuk perubahan tersebut, dan hal ini membutuhkan kapasitas dan kemauan untuk menghadapi perilaku yang berisiko.
2.4 Peran Institusi Meskipun dalam ekonomi peranan pemerintah merupakan institusi yang didorong untuk menanggulangi market failure, namun beberapa fakta menunjukkan juga adanya government failure (kegagalan pemerintah) yang dampaknya sering lebih parah karena menciptakan biaya transaksi tinggi yang menurunkan esiensi ekonomi, serta menghambat pemerataan dan pertumbuhan. Selain itu kapasitas pemerintah yang rendah (lack of governance). Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang “public good” dan bidang dimana swasta dan masyarakat tidak punya insentif melakukannya. Kegagalan kebijakan pemerintah seringkali melaksanakan pembangunan secara top-down, tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan tatanan nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Perencanaan pembangunan bukanlah sebagai suatu proses dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan atau bersifat top-down dimana informasi dikuasai secara asimetrik, karena pemerintah dianggap memiliki kewenangan secara legal yang legitimate. Namun sebaliknya seharusnya pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi masyarakat yang berkepentingan secara langsung secara adil dan setara di dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang yang ada. Dalam perekonomian pemerintah berfungsi untuk merencanakan alokasi, distribusi dan stabilisasi perekonomian melalui berbagai lembaga institusi pemerintah. Pemerintah kemudian menjadi bagian dan mempengaruhi perilaku para pelaku ekonomi lain di masyarakat yaitu individu, masyarakat dan perusahaan. Dalam konteks ekonomi institusi sangat berperan dalam mempercepat akumulasi capital, peningkatan pendapatan yang berakhir pada peningkatan kesejahteraan. Menurut VazquezBarquero (2002), proses pembangunan ekonomi akan dapat mencapai tujuannya jika para pelaku terutama pemerintah dapat berperan mendorong lingkungan yang menumbuhkan kewirausahaan.
24
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dalam konteks perencanaan negara harus hadir untuk melakukan hal-hal berikut ini: 1. Mendorong penurunan biaya produksi melalui tranportasi dan regulasi yang kompetitif. 2. Mendorong trust antar aktor ekonomi dan sosial sehingga biaya transaksi bisa dikurangi. 3. Membantu memperbaiki kapasitas dan fasilitas entrepreneurial masyarakat agar tercipta kegiatan produktif di masyarakat. 4. Meningkatkan mekanisme pembelajaran (learning) dan relasional melalui sitem pendidikan yang mendorong kompetisi. 5. Memperkuat dan menjembatani jaringan dan kerjasama antar para aktor melalui pembentukan forum-forum bisnis. Untuk mendorong kegiatan tersebut diperlukan aparat pemerintah yang memiliki kompetensi tinggi dalam perencanaan pembangunan. Aparat harus memiliki kemampuan teknis, analisis dan jiwa pelayanan yang kuat agar kualitas pelayanan bisa terus diperbaiki. Besarnya harapan masyarakat kepada pemerintah dapat hilang dan muncul sikap apatis jika setiap permasalahan tidak cepat diselesaikan oleh pemerintah. Sikap apatis jika dibiarkan akan menyia-nyiakan kekuatan komunitas lokal dan modal sosial. Jika ini terjadi maka biaya sosial pembangunan ekonomi akan semakin mahal. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat maka pemerintah harus kembali memberikan pelayanan masyarakat dengan lebih baik. Pemerintah perlu memberikan jaminan kepada masyarakat dan dunia usaha agar segala aktivitas ekonomi mereka berjalan lancar dan semakin meningkat. Untuk menjamin pembangunan ekonomi, pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan beberapa faktor kunci berkaitan dengan tata kelola adalah : 1. Kualitas birokrasi, khususnya otonomi dari tekanan politik, keahlian dan esiensi dalam pengadaan jasa pemerintah dan modal rekruitmen dan pelatihan yang bagus; 2. Peraturan perundang-undangan, khususnya institusi politik yang baik, peradilan yang kuat, dan suksesi kekuatan politik yang tertata dengan baik; 3. Keamanan investasi bagi investor; 4. Kapastian hukum (kontrak), dukungan dan prioritas anggaran pemerintah. Jika pemerintah mampu menyediakan hal-hal diatas maka proses perencanaan dan pembangunan akan lebih efektif dilakukan karena ketepatan perencanaan memerlukan kondisi yang tepat sebagai asumsi. Karakteristik entrepreneurship dalam konteks pembangunan ekonomi: 1. Metoda-metoda baru, menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan esien dalam melayani masyarakat. Metode ini ditemukan dengan berbagai cara baik melalui kajian, riset maupun peniruan terhadap metode yang dilakukan oleh daerah lain. 2. Industri baru, pengamatan terhadap perubahan pasar dan cara konsumsi yang lebih luas dan jangka panjang akan mendorong ditemukannya cara-cara baru dalam berproduksi. Ketergantungan pada bahan baku alam mulai dirubah menjadi kreativitas yang menghasilkan nilai tambah tinggi (industri kreatif). 3. Institusi baru, lembaga dan aturan baru selalu diperbaruhi seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap pelayanan publik. Masyarakat juga semakin memerlukan informasi yang jelas mengenai kebijakan pemerintah. Hubungan masyarakat dan pemerintah bisa saja menelurkan model hubungan baru dalam penyediaan barang publik seperti penggunaan CSR, kontribusi sumbangan fasilitas antar pemerintah dan masyarakat. 4. Metoda-metoda pembiayaan/pendanaan baru, sumber-sumber daya yang baru perlu diciptakan agar pembiayaan pemerintahan tetap berlanjut. 5. Penyediaan infrastruktur sik dan kelembagaan yang baru dan berbeda.
BAB II PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
25
2.5 Pembangunan Ekonomi Lokal Selanjutnya perencanaan merupakan upaya yang sistematis dari aspek sik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumber daya dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Dengan demikian penyusunan perencanaan wilayah pada dasarnya bukan merupakan suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Secara individual maupun kelompok, masyarakat secara sendiri-sendiri melakukan pengaturan-pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dikuasainya. Namun cakupan perencanaan adalah suatu perencanaan yang berorientasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan perseorangan/ kelompok ataupun perusahaan/badan usaha. Selain itu cara pandang pembangunan menjadi semakin beragam dimana tidak hanya berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi tetapi juga dialihkan ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannnya. Paradigma ini menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Tabel 2.1 Komponen Pembangunan Ekonomi Lokal (Leigh & Blakely, 2013) Unsur
Old Concept
New Concept
Lokalitas
Lokasi sik (sumber daya alam, transportasi, akan meningkatkan pilihan ekonomi.
Kualitas lingkungan dan komunitas lokal yang kuat adalah keuntungan pertumbuhan.
Basis Ekonomi dan Bisnis
Industri berorientasi Export-based industries dan akan menciptakan pekerjaan dan tenaga kerja.
Klaster industri dan jaringan semua usaha untuk meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan.
Sumber tenaga kerja
Banyak perusahaan akan menciptakan tenaga kerja dengan menggunakan upah minimum.
Keahlian komprehensif dan teknologi untuk meningkatkan kualitas pekerjaan dan upah yang tinggi.
Komunitas Lokal
Single-purpose organisasi berperan meningkatkan peluang dalam komunitas.
Kolaborasi dan kerja sama antar komunitas usaha untuk menciptakan daya saing.
Sumber: Arsyad (2014)
26
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB II PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
27
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
28
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Peserta memahami keterkaitan perencanaan dan penganggaran. Peserta memahami hubungan perencanaan dan penganggaran, memahami siklus penyusunan anggaran dalam rangka melakukan sikronisasi dalam proses perencanaan dan penganggaran. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
Esensi Perencanaan dan Penganggaran
Strategi, kebijakan, konsep
2
Kaitan Perencanaan dan Penganggaran
konsistensi, kewenangan, rencana kerja
3
Integrasi dan Penerapan Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran
Gender, integrasi, konsistensi, kewenangan, rencana kerja dan anggaran
4
Penerapan Instrumen Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender
Gender, integrasi
5
Pemahaman Dasar Tentang Anggaran
Kebutuhan, fungsi, alokasi
6
Tujuan dan Fungsi Anggaran
Fungsi, pengawasan, pedoman
7
Tahapan dan Siklus Penyusunan Anggaran
Proses, penyusunan, jadwal
Bahan Bacaan: 1. Syafrizal, 2009.Teknik Perencanaan Pembangunan Daerah; 2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013. Modul Training of Fasilitator (TOF) Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention in The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); 8. Peraturan Pemerintan Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; 9. Peraturan Pemerintan Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 10. Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019; 11. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 12. Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 13. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 14. Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintan Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 15. Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah; 16. SE Nomor 270/M.PPN/11/2012; Nomor SE-33/MK.02/2012; No. 050/4379A/Sj dan Nomor SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG; 17. Permendagri 13 Tahun 2006 jo 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 18. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
29
Perencanaan pembangunan yang telah dirancang berdasarkan visi dan misi kepala daerah pada akhirnya tunduk pada kendala anggaran yang dimiliki oleh daerah tersebut. Disinilah tindakan untuk menentukan prioritas diperlukan. Prioritas ditentukan oleh banyak hal diantaranya tingkat kepentingan, kelayakan dan juga kendala waktu. Namun demikian tindakan prioritas tidak dapat menghilangkan secara penuh ide-ide kreatif dalam perencanaan. Tingkat kepentingan masyarakat yang menjadi agenda hajat hidup orang banyak harus menjadi perhatian utama baik yang berifat langsung maupun tidak langsung. Pemahaman tentang dampak suatu program atau kegiatan menjadi penting bagi penentu prioritas. Program dan kegiatan yang memiliki efektivitas dan esiensi tinggi harus menjadi pilihan utama. Disinilah diperlukan pemahaman yang seragam diantara pengambil keputusan dan pembuat regulasi. Ketidak sesuaian perencanaan dan penganggaran berakibat pada tidak tercapainya sasaran pembangunan dan terhambatnya proses pelayanan publik. Pada tahap ketiga RPJPN, RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda Pembangunan Bidang); Pengarusutamaan Gender merupakan salah satu kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, telah terjadi penguatan dasar hukum pelaksanaan PUG baik pada tingkat Undang-undang maupun Peraturan Presiden. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan perspektif gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan baik di pusat maupun di daerah.
3.1 Esensi Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan sebagai acuan bagi penganggaran, penganggaran pada dasarnya adalah proses untuk menyusun rencana pendapatan dan belanja untuk suatu jangka waktu tertentu. Kebijakan Umum Anggaran (KUA) merupakan bagian dari dokumen Perencanaan Pembangunan daerah yang berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan pembangunan dan pengambilan kebijakan di Daerah. Dokumen ini mempunyai fungsi yang sangat strategis karena menyangkut pilihan terhadap program, kegiatan dan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh suatu Pemerintah Daerah. Oleh karena itu proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan haruslah betul-betul melibatkan partisipasi masyarakat, berdasarkan data yang akurat dan peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat sehingga subtansi dari dokumen perencanaan mampu menjadi solusi dalam memecahkan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh masyarakat, bukan justru menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Pendekatan perencanaan pembangunan ditetapkan baik secara politis, teknokratik, partisipatif, topdown maupun bottom-up.
30
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 3.1
Pendekatan Perencanaan Pembangunan
Perencanaan menurut jenjang pemerintahan dari bawah
Penjabaran dari janji-janji politik kepala daerah Bottom-up
diserasikan
Perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan dari atas
Top-down
Politik
Tekno-kratik
Partisipatif
Penggunaan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang kompeten
Pelibatan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan
Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah dibuat secara berjenjang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam rangka untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan (Pasal 153 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Karena RAPBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek (1 tahun) yang menghendaki adanya Kebijakan Umum Anggaran (KUA) APBD sebagai formulasi kebijakan anggaran dan perencanaan operasional anggaran, maka penyusunan KUA APBD termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran yang menjadi acuan dalam perencanaan operasional anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya berdasarkan Strategi dan Prioritas (SP). Oleh karena itu, penyusunan KUA dan SP harus didasarkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan lima tahun. Sementara untuk perencanaan dan penganggaran daerah dalam satu tahun, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dari masing-masing Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja-SKPD) menjadi dasar untuk penyusunan KUA dan SP APBD melalui tahapan Musrenbang. Upaya untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran perlu memperhatikan hal-hal berikut ini : 1. Sejak awal penyusunan rencana, besaran sumber daya nansial atau pagu anggaran indikatif sudah diketahui sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan di Musrenbang desa, kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten/Kota dan Provinsi. 2. Prioritas kegiatan untuk setiap SKPD sudah sama formasinya sejak dari hasil RKPD, Renja SKP, hingga Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. 3. RKPD dan Rencana Kerja yang disusun berdasarkan hasil Musrenbang Kabupaten/Kota atau Provinsi serta hasil forum SKPD mejadi rujukan utama dalam penyusunan dan pembahasan kebijakan umum APBD serta prioritas dan Plafon Anggaran SKPD. 4. DPRD maupun pemerintah daerah memahami bahwa pengawalan dan konsistensi prioritas kegiatan hasil perencanaan partisipasi sewaktu melaksanakan kegiatan penganggaran diperlukan.
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
31
5. Output setiap tahapan dalam proses penganggaran dapat diakses oleh setiap peserta perencanaan partisipasi. Setiap inkosistensi materi dengan hasil perencanaan partisipasi wajib disertai dengan penjelasan resmi dari pemerintah dan atau DPRD (Asas Transparansi dan Akuntabilitas dalam good governance).
3.2 Kaitan Perencanaan dan Penganggaran Dengan dilakukannya reformasi pengelolaan keuangan daerah menetapkan Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai Bendahara Umum Daerah, maka fungsi perbendaharaan akan dipusatkan di SKPKD. Namun demikian untuk menyelesaikan proses pembayaran yang bernilai kecil dibentuk kas kecil pada satuan kerja pengguna anggaran yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pegguna anggaran dalam melaksanakan tugas berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/pengguna barang. Pelimpahan wewenangan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD. Kewenangan yang dapat dilimpahkan kepada kuasa pengguna anggaran meliputi: 1. 2. 3. 4.
Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja. Melaksanakan anggaran unit kegiatan yang dipimpinnya. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran. Menyerahkan ikatan perjanjian kerja sama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. 5. Menandatangani SPM. 6. Mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya. 7. Melaksanakan tugas-tugas kuasa penganggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna anggaran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta memperhatikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dokumen rencana pembangunan di daerah terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD); Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD).
Dimana masing-masing dokumen tersebut merupakan suatu kesatuan atau saling terkait satu dengan lainnya dan juga dengan dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional. Keterkaitan dokumen rencana pembangunan di daerah dan pusat nampak sebagai berikut:
32
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 3.2
Keterkaitan Dokumen Rencana Pembangunan di Daerah dan Pusat
RPJP NASIONAL DIACU
PEDOMAN
DIJABARKAN
RPJM NASIONAL
RKP DIACU/ DISERASIKAN
DIPERHATIKAN
RPJP DAERAH
PEDOMAN
DIJABARKAN
RPJM DAERAH 5 TAHUN
20 TAHUN
RKPD 1 TAHUN
DIACU
PEDOMAN
RENSTRA SKPD
RENJA SKPD
PEDOMAN
5 TAHUN
1 TAHUN
Dalam diagram di atas, dapat dilihat hal-hal sebagai berikut: 1. RPJMD akan dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); 2. Di tingkat SKPD, Rencana Strategis (Renstra) SKPD akan menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) SKPD; 3. Untuk menjamin konsistensi antara perencanaan di tingkat daerah, RPJMD menjadi pedoman dalam penyusunan Renstra SKPD, dan RKPD diacu dalam penyusunan Renja SKPD. Sebagai bagian dari proses perencanaan pembangunan, Musrenbang merupakan forum antar pemangku kepentingan dalam proses perencanaan pembangunan yang ditempuh melalui pendekatan bottom-up. Proses inilah yang memungkinkan ruang bagi partisipasi publik, dalam perencanaan pembangunan. Ini nampak dalam skema berikut, dimana Musrenbang menjadi ruang untuk menggali dan memasukkan suara, dan kebutuhan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Gambar 3.3
Proses Perencanaan Pembangunan MUSRENBANGNAS
RPJMD Rancangan Awal RKPD Prioritas pemb Pagu indiakatif berdasarkan fungsi SKPD, sumber dana & Wilayah kerja
Renstra SKPD
Apr
MUSRENBANG PROV
Rancangan RKP
Mei
Rancangan RKPD Prov
Mei
Apr
Rancangan RKPD
Musrenbang RKPD/ MUSRENBANGDA
Rancangan Akhir RKPD
Mar
Mei
Rancangan Renja SKPD Feb.
Penetapan RKPD KUA & PPAS
Feb/Mar
MUSRENBANG Kecamatan
Feb.
MUSRENBANG Desa/Kel.
Jan
RAPBD
Jun-Jul
Renja SKPD
Forum RKPD
Okt
Apr
RKA SKPD Jul-Spt
APBD
Pokok-pokok pikiran DPRD DPA SKPD
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merupakan dasar dari sinkronisasi siklus perencanaan dan penganggaran pusat dan daerah sebagaimana dijelaskan melalui diagram di bawah ini. Bagan alur perencanaan dan penganggaran dapat disajikan sebagai berikut.
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
33
Gambar 3.4
Alur Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah
Renstra KL
RPJP Nasional Diacu
RPJP Daerah
Pedoman
Renja KL
Diacu
Bahan
RPJM Dijabarkan Nasional
Rincian APBN
Pedoman
RAPBN
APBN
Diserasikan melalui MUSRENBANG
RPJM Daerah
Pedoman
RKA - KL
Bahan (diserasikan dlm RAKORPUS & Trilateral Meeting)
RKP
Diperhatikan Pedoman
Pedoman
Dijabarkan
Bahan
Renstra SKPD
RKP Daerah
Diacu
Pedoman
Pedoman
RAPBD
APBD
RKA SKPD
Rincian APBD
Bahan
Renja SKPD
Pedoman
Pemerintah Daerah
Pedoman
Pedoman
Pemerintah Pusat
Alur Perencanaan Program & Penganggaran
UU SPPN (No.25/2004) UU KeuNeg (No.17/2003)
Dalam diagram di atas, dapat dilihat hal-hal sebagai berikut: 1. Terdapat keterkaitan yang kuat antara proses perencanaan (mulai dari rencana jangka panjang hingga rencana tahunan di tingkat daerah dan SKPD) dengan proses penganggaran (mulai dari proses KUA-PPAS hingga ke penjabaran APBD); 2. Relasi antara perencanaan dan penganggaran di tingkat pemerintah pusat dengan di tingkat pemerintah daerah. Fungsi kebijakan pusat adalah sebagai referensi bagi proses yang serupa di tingkat daerah; 3. Perencanaan pembangunan di daerah tidak terpisah dari perencanaan pembangunan di tingkat nasional, sebagaimana disebutkan dalam PP Nomor 8 Tahun 2008 pasal 2 ayat 1. 4. Di tingkat daerah, kebijakan perencanaan dan anggaran dijabarkan dalam kebijakan di tingkat SKPD;
3.3 Integrasi Gender Dalam Perencanaan dan Penganggaran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda Pembangunan Bidang), menyatakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai salah satu dari tiga kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang dalam kebijakan pembangunan nasional. UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga menyatakan pentingnya PUG dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Pengarusutamaan Gender (PUG) ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan Gender diartikan bahwa laki-laki dan perempuan memiilki dan mendapatkan penghargaan yang setara sebagai manusia di dalam berbagai aspek kehidupan, dan sama-sama mendapatkan akses, mampu berpartisipasi dan memiliki kontrol serta mendapatkan
34
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
manfaat dari intervensi Pembangunan. Sedangkan gender itu sendiri adalah bukan kata lain dari perempuan; namun berkenaan dengan perempuan dan laki-laki serta hubungan di antara mereka, dan ketimpangan gender juga berdampak negatif terhadap laki-laki.Mandat untuk melaksanakan PUG oleh semua Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah telah dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG, pada tahun 2012 diluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender (Stranas PPRG) melalui Surat Edaran Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara PP dan PA. Di daerah, pelaksanaan PUG sebenarnya sudah diamanatkan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, namun penegasan untuk melaksanakan PPRG melalui analisis gender baru tercantum dalam Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 sebagai Perubahan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah. Sejak dikeluarkannya Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tersebut, telah banyak provinsi dan kabupaten/kota yang melakukan inisiasi PPRG yang wujudnya adalah tersusunnya Anggaran Repsonsif Gender (ARG) bagi program-program dan kegiatan pada beberapa SKPD. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif gender tersebut dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dilakukan untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan. Dalam konteks perencanaan daerah, Perencanaan Responsif Gender ini diintegrasikan dalam dokumen perencanaan (RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD). Sebagai bagian dari pendekatan pembangunan partisipatif integrasi gender dalam Musrenbang diperlukan untuk memastikan keterlibatan, akses, kontrol dan manfaat yang setara antara laki-laki dan perempuan. Gambar 3.5
Integrasi Gender Dalam Musrenbang
Integrasi Gender Dalam Musrenbang Keterlibatan perempuan dalam Musrenbang
Distribusi informasi dan
Manfaat langsung dan tidak
pengundangan
langsung dari keterlibatan dalam Musrenbang Peningkatan keterlibatan perempuan dalam Musrenbang dari tahun ke tahun
Pengundangan ke representasi
kelompok perempuan dan lakilaki
Manfaat
Akses
Kontrol
Partisipasi
Mendorong perempuan
menyampaikan aspirasinya
Penghargaan dan akomodasi
atas aspriasi perempuan Informasi tentang posisi dan tindak lanjut usulan laki-laki dan perempuan
Tingkat kehadiran perempuan dan laki-laki
Upaya mengatasi hambatan bagi keterlibatan perempuan
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
35
Perencanaan Responsif Gender diharapkan dapat menghasilkan Anggaran Responsif Gender, dimana kebijakan pengalokasian anggaran disusun untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Anggaran Responsif Gender ini diintegrasikan dalam dokumen KUA-PPAS, RKA SKPD dan DPA SKPD. Pelaksanaan integrasi PUG ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat mendorong pengalokasian sumber daya pembangunan menjadi lebih efektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan adil dalam memberikan manfaat pembangunan bagi seluruh penduduk Indonesia, baik perempuan dan laki-laki. Perencanaan dan penganggaran mempunyai keterkaitan dengan manajemen berbasis kinerja: 1. Manejemen berbasis kinerja harus diterapkan dalam semua siklus pengelolaan pembangunan, yakni dari perencanaan, penganggaran, implementasi kegiatan, serta pemantauan dan evaluasi. 2. Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran yang mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan hasil yang diharapkan berupa dampak, outcome dan output. 3 Rumusan hasil tersebut haruslah tertera dalam berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran yang menjadi acuan penyelenggara pemerintahan. Konsep kerangka kinerja program dan kegiatan adalah sebagai berikut: 1. Kerangka Kinerja dimulai dengan “apa yang ingin diubah” (dampak/impact). 2. Dampak disusul dengan “apa yang ingin dicapai” (outcome) guna mewujudkan perubahan yang diinginkan. 3. Selanjutnya untuk mencapai outcome diperlukan informasi tentang “apa yang dihasilkan” (output). Gambar 3.6
Konsep Kerangka Kinerja Program dan Kegiatan DAMPAK (IMPACT)
Hasil pembangunan yang di peroleh dari pencapaian outcome
Apa yang ingin diubah?
HASIL (OUTCOME)
Manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah untuk beneciaries tertentu sebagai hasil dari output
Apa yang ingin dicapai?
KELUARAN (OUTPUT)
Produk/barang/jasa yang dihasilkan
Apa yang dihasilkan (barang atau dilayani (barang atau jasa)
KEGIATAN
Proses/kegiatan mengunakan input menghasilkan output yang diinginkan
Apa yang ingin dikerjakan?
INPUT
36
METODE PELAKSANAAN Sumberdaya yang menghasilkan kontribusi dalam menghasilkan output
Apa yang digunakan dalam bekerja?
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dalam melakukan proses perencanaan dan penganggaran agar responsif gender, yang pertama-tama harus dilakukan adalah menganalisis adanya isu kesenjangan gender. Pada proses ini diperlukan instrumen untuk menganalisis gender, seperti model Harvard, Moser, SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats), PROBA (Problem Based Approach), GAP (Gender Analysis Pathway), BIA (Benet Incidence Analysis) dan lain sebagainya. Untuk menilai komitmen dan implementasi PUG khususnya pelaksanaan PPRG, diperlukan pengawasan pelaksanaan PPRG sebagai instrumen di daerah. Gambar 3.7
Proses Perencanaan Penganggaran PERENCANAAN
RPJPD
PENGANGGARAN
RPJMD
RKPD
Renstra SKPD
Renja SKPD
KUA PPAS
RAPBD
RKA SKPD
APBD
Penjabaran APBD
3.4 Penerapan Instrumen Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Secara umum, pengintegrasian gender dalam dokumen perencanaan dan penganggaran diawali dengan analisis gender yang dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen GAP ataupun alat analisis lainnya. Analisis gender diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan baik itu berada ditingkat pemerintah daerah seperti RPJMD dan RKPD, maupun ditingkat SKPD seperti Renstra SKPD dan Renja SKPD. Hasil analisis gender secara konsisten mempengaruhi dan dijabarkan dalam dokumen lainnya. Hasil analisis gender dalam RPJMD dijabarkan ke dalam RKPD dan mempengaruhi Renstra SKPD, yang selanjutnya dijabatkan dalam Renja SKPD. Selanjutnya hasil analisis gender dalam dokumen perencanaan dituangkan dalam dokumen penganggaran sebagai respon dari sisi alokasi anggaran. RKPD dituangkan dalam KUA-PPAS dan Renja SKPD dituangkan dalam RKA SKPD. KUA-PPAS kemudian dijabarkan dalam RKA SKPD. Untuk memastikan bahwa penganggaran sudah merespon kesenjangan dalam analisis gender, dibutuhkan satu pernyataan bahwa alokasi anggaran dalam program dan kegiatan untuk mengatasi permasalan kesenjangan gender. Pernyataan ini dituangkan dalam GBS (Gender Budget Statement ) yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari RKASKPD. Kumpulan RKA dari seluruh SKPD menjadi dokumen APBD. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 3.2
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
37
Gambar 3.8
Posisi GAP dan GBS Dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Daerah
ANALISIS GENDER
GAP
GAP
RENSTRA SKPD
RKPD
RENJA SKPD
KUA GBS PPAS
RKA SKPD RKA SKPD 1 RKA SKPD 2
APBD Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat Pemda
RKA SKPD 3 Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat SKPD
Dalam melakukan integrasi gender, instrumen GAP digunakan untuk penyusunan Perencanaan responsif gender (RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, dan Renja SKPD). Sedangkan instrumen GBS digunakan untuk penyusunan Anggaran Resposif Gender (KUA-PPAS, RKA dan DPA SKPD).
3.5 Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dimulai dengan kegiatan Bappeda menyusun rancangan awal RKPD. Selanjutnya, SKPD menyiapkan Rencana Kerja (Renja)-SKPD dan berpedoman pada Renstra-SKPD. Setelah Renja-SKPD tersusun, maka Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD. RKPD disusun dengan menjabarkan RPJMD dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKPD merupakan rencana kerja yang menjadi bahan utama dalam proses penganggaran menyusunan APBD. Dalam penyusunan RKPD, penyiapan dokumen perencanaan daerah berwawasan waktu 1 tahun sebagai penjabaran RPJMD untuk tahun yang bersangkutan. RKPD yang telah ditetapkan dimaksudkan untuk digunakan oleh SKPD untuk menyesuaikan rancangan Renja-SKPD menjadi Renja-SKPD yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan SKPD. RKPD memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:
38
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Acuan dalam penyusunan kerangka umum APBD. 2. Program dan kegiatan dari seluruh Renja-SKPD di provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.
3.6 Penyusunan Rancangan APBD APBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek yang merupakan penjabaran perencanaan jangka menengah sebagi bagian dari perencanaan jangka panjang yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD). Pada dasarnya perencanaan jangka pendek merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah untuk jangka waktu satu tahun yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah yang secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational planning). Penyusunan kebijakan umum APBD (KUA) termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya keuangan. Sebagai bagian dari kebijakan anggaran, pemerintah daerah menyampaikan rancangan kebijakan umum APBD (KUA) tahun anggaran berikutnya yang sejalan dengan RKPD kepada DPRD. Rancangan KUA selanjutnya dibahas dan disepakati bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD sebagai landasan penyusunan RAPBD.Selanjutnya, penyusunan APBD mendasarkan pada kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah haru diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam rangka penganggaran daerah yang diprioritaskan untuk urusan wajib, didasarkan pada Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan KUA yang telah disepakati menjadi Plafon dan Prioritas Anggaran (PPA). KUA dan PPA yang telah disepakati (Nota Kesepahaman) selanjutnya digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan operasional anggaran. Selanjutnya KUA dan PPA menjadi bagian dari pedoman bagi SKPD dalam menyusunan RKA-SKPD. Penyusunan RKA-SKPD merupakan bentuk pengalokasian sumber daya keuangan pemerintah daerah berdasarkan struktur APBD dan kode rekening yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.7 Pemahaman Dasar Tentang Anggaran Untuk memahami arti penting anggaran daerah, maka harus diketahui cakupan aspek-aspeknya sebagai berikut : 1. Anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. 3. Disamping itu, anggaran daerah memiliki peran penting dalam sistem keuangan daerah. Peran anggaran daerah berdasarkan fungsi utamanya sebagai berikut (Mardiasmo, 2004) : a. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk: Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternative sumber pembiayaannya. Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. b. Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk: Mengendalikan esiensi pengeluaran.
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
39
c.
d.
e.
f.
g.
Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda. Mencegah adanya overlapping, understanding, dan salah sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas. Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. Anggaran sebagai alat kebijakan skal digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi. Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggaran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atau pengguna dana publik untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat publik. Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi pemda yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inskonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antarunit kerja. Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat direalisasikan. Anggaran berfungsi sebgai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan esiensi dalam mencapai target kinerja. Agar dapat memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable. Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasional yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Anggaran dapat juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan ruang publik dalam arti bahwa proses penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya digunakan sebagai dasar perumusan arah dan Kebijakan Umum Anggaran. Kelompok masyarakat yang terorganisir umumnya akan mencoba mempengaruhi anggaran untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisasi akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik yang ada. Jika tidak ada alat untuk menyampaikan aspirasi mereka, maka mereka akan melakukan tindakan-tindakan lain, misal, tindakan massa, melakukan boikot, vandalisme, dan sebagainya. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran nansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Dalam organisasi sektor publik pada umumnya, penganggaran merupakan suatu proses politik. Secara umum, penganggaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran ini dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategis telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi dan perencanaan strategis yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan rencana manajerial untuk pengambilan tindakan (managerial plan for action) guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran meliputi : 1. Aspek Perencanaan; 2. Aspek Pengendalian; 3. Aspek akuntabilitas publik.
40
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Penganggaran harus diawasi dimulai dari tahap perencanaan, kemudian berlanjut ke tahap pelaksanaan dan pelaporan. Proses penganggaran akan lebih efektif jika lembaga pengawas khusus yang bertugas mengontrol proses perencanaan dan pengendalian anggaran melakukan pengawasan. Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat tercakup dalam anggaran publik. Terdapat beberapa aspek kehidupan tidak tersentuh oleh anggaran tersebut, baik dalam skala nasional maupun lokal. Anggaran ini dibuat untuk membantu menentukan tingkat kebutuhan masyarakat, seperti listrik, air bersih, kualitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya terjamin secara layak. Tingkat kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh pemerintah melalui anggaran yang mereka buat. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dimiliki pemerintah merupakan uang rakyat, dan anggaran yang menunjukkan rencana pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat tersebut. Anggaran merupakan cetak biru (blue print) dari keberadaan sebuah negara dan arahan di masa yang akan datang. Di Indonesia, seiring dengan bergulirnya isu reformasi di bidang pemerintahan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 yang ditindaklanjuti dengan keluarnya PP Nomor 58/2005 dan beberapa revisi PP dan Permendagri pendukungnya, paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan ini terjadi karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas terhadap penyelenggaraan jalannya pemerintahan. Perubahan paradigma ini meliputi penyusunan anggaran berdasarkan pendekatan kinerja, dan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan kegiatan publik yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah, keterbukaan informasi dan tuntutan penghindaran dan pembersihan dari kegiatan-kegiatan yang berbau KKN. Dengan perubahan ini, penentuan strategis, prioritas serta kebijakan alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan daerah harus merupakan proses yang mengakar (bottom-up planning). Dengan system bottom-up planning,berbagai jenis barang dan jasa publik yang disediakan pemerintah ini diharapkan daerah dengan preferensi dan prioritas di daerah yang bersangkutan. Sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter anggaran pemerintah harus disusun secara cermat, akurat dan sistematis dengan menggunakan sistem anggaran yang baik. Pendekatan dalam penyusunan anggaran sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat, mengikuti kebutuhan dalam rangka peningkatan pelayanan publik, transparansi, dan akuntabilitas. Secara umum, terdapat dua pendekatan penyusunan anggaran, yaitu anggaran tradisional atau anggaran konvensional dan pendekatan baru yang dikenal dengan New Public Management (NPM). Anggaran tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Cara penyusunan anggaran menggunakan pendekatan incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah nilai moneter pada setiap program atau aktivitas. 2. Struktur dan susunan anggaran bersifat line item, yaitu penggunaan item-item penerimaan atau pengeluaran yang sama dalam setiap periode anggaran meskipun sebenarnya terdapat item-item yang sudah tidak relevan lagi untuk dipakai. 3. Anggaran tradisional bersifat spesik, tahunan dan menggunakan prinsip anggaran bruto. Pendekatan NPM merupakan pendekatan penyusunan anggaran yang fokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan pada kebijakan. Adapun ciri dari pendekatan tersebut adalah komparatif, terintegrasi dan lintas departemen, proses pengambilan keputusan yang rasional, berjangka panjang, spesikasi tujuan dan adanya skala prioritas, analisis biaya manfaat, berorientasi
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
41
pada input, output dan outcome, serta adanya pengawasan kinerja. Beberapa jenis pendekatan anggaran dalam NPM yaitu anggaran berbasis kinerja, zero based budgeting, dan planning, programming, and budgeting system.Untuk periode saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk menerapkan pendekatan penyusunan anggaran sesuai konsep NPM, yaitu anggaran berbasis kinerja atau performance based budgeting, kerangka pengeluaran jangka menengah/Medium Term Expenditure Framework (MTEF), dan anggaran terpadu (Unied Budget).Penyusunan anggaran dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil, yaitu : 1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dan dampak atas alokasi belanja yang ditetapkan. 2. Disusun berdasarkan sasaran yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran. 3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan rencana strategis kementerian/ lembaga atau SKPD. Adapun tujuan penyusunan anggaran berbasis kinerja yaitu : 1. Meningkatkan kualitas belanja, yaitu efektif dalam mencapai sasaran pembangunan dan esien dalam pelaksanaan. 2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, yaitu adanya kejelasan tentang keluaran yang dicapai, kejelasan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai keluaran, dan kejelasan tentang penanggung jawab kegiatan. Sedangkan MTEF merupakan penyelarasan perumusan kebijakan pengeluaran dengan kemampuan penyediaan dana dan pengeluaran pemerintah yang lebih mencerminkan prioritas pemerintah, memelihara kelanjutan skal dan meningkatkan disiplin skal, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran serta mendorong pengalokasian sumber dana agar rasional dan realistis. Tujuan MTEF adalah menjamin konsistensi dan kesinambungan kebijakan, yaitu kebijakan tidak akan berubah, kecuali karena berdasarkan hasil evaluasi dan kebijakan yang telah ditetapkan dijamin pendanaannya. Pendekatan penyusunan anggaran sesuai dengan konsep NPM yang ketiga yaitu Unied Budget. Di mana Unied Budget merupakan format baru yang mengubah format anggaran belanja negara/daerah dengan menyatukan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan dan reklasikasi belanja pemerintah pusat/daerah, serta mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran dengan klasikasi anggaran menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Gambar 3.9
Pendekatan Penyusunan Anggaran Berdasarkan Konsep NPM Unied Budget Konsolidasi anggaran operasional dan anggaran investasi.
MTEF Esiensi alokasi antar waktu
Implikasi kebijakan nancial saat ini di tahun yang akan datang
Performance Base Budgeting Biaya terendah untuk menghasilkan barang/jasa
42
Standar Biaya Perhitungan harga satuan keluaran
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3.7.1 Tujuan dan Fungsi Anggaran Tujuan pembuatan anggaran yaitu untuk perencanaan secara konseptual yang terdiri atas formulasi kebijakan anggaran dan perencanan operasional anggaran. Fungsi anggaran dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu fungsi perancanaan, pengawasan, koordinasi, dan anggaran sebagai pedoman kerja. Keempat fungsi tersebut masing-masing memiliki tujuan yang telah ditetapkan yaitu:
1. Fungsi Perencanaan Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen dan fungsi ini merupakan dasar pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Winardi memberikan pengertian mengenai perencanaan sebagai berikut: “Perencanaan meliputi tindakan memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dalam hal memvisualisasi serta merumuskan aktivitas-aktivitas yang diusulkan yang dianggap perlu untuk mencapai basil yang diinginkan”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum perusahaan melakukan operasinya, pimpinan dari perusahaan tersebut harus lebih dahulu merumuskan kegiatan-kegiatan apa yang akan dilaksanakan di masa datang dan hasil yang akan dicapai dari kegiatan-kegiatan tersebut, serta bagaimana melaksanakannya. Dengan adanya rencana tersebut, maka aktitas akan dapat terlaksana dengan baik.
2. Fungsi Pengawasan Anggaran merupakan salah satu cara mengadakan pengawasan dalam perusahaan. Pengawasan itu merupakan usaha-usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun sebelurnnya dapat dicapai. Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi prestasi kerja dan tindakan perbaikan apabila perlu. Aspek pengawasan yaitu dengan membandingkan antara prestasi dengan yang dianggarkan, apakah dapat ditemukan esiensi atau apakah para manajer pelaksana telah bekerja dengan baik dalam mengelola perusahaan. Tujuan pengawasan itu bukanlah mencari kesalahan akan tetapi mencegah dan memperbaiki kesalahan. Sering terjadi fungsi pengawasan itu disalahartikan yaitu mencari kesalahan orang lain atau sebagai alat menjatuhkan hukuman atas suatu kesalahan yang dibuat pada hal tujuan pengawasan itu untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan rencana perusahaan.
3. Fungsi Koordinasi Fungsi koordinasi menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap individu atau bagian dalam perusahaan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menciptakan adanya koordinasi diperlukan perencanaan yang baik, yang dapat menunjukkan keselarasan rencana antara satu bagian dengan bagian lainnya. Anggaran yang berfungsi sebagai perencanaan harus dapat menyesuaikan rencana yang dibuat untuk berbagai bagian dalam perusahaan, sehingga rencana kegiatan yang satu akan selaras dengan lainnya. Untuk itu anggaran dapat dipakai sebagai alat koordinasi untuk seluruh bagian yang ada dalam perusahaan, karena semua kegiatan yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.
4. Anggaran Sebagai Pedoman Kerja Anggaran merupakan suatu rencana kerja yang disusun sistematis dan dinyatakan dalam unit moneter. Lazimnya penyusunan anggaran berdasarkan pengalaman masa lalu dan taksiran-taksiran pada masa yang akan datang, maka ini dapat menjadi pedoman kerja bagi setiap bagian dalam perusahaan untuk menjalankan kegiatannya.
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
43
3.7.2 Tahapan dan Siklus Penyusunan Anggaran Dalam tahapan penyusunan anggaran terdiri dari persiapan, penyusunan anggaran, pembahasan eksekutif dan legislatif, pengesahan/penetapan, pelaksanaan anggaran, penatausahaan anggaran, pertanggungjawaban anggaran, serta pengawasan anggaran. Berikut ini akan ditampilkan tabel yang akan memuat proses penyusunan anggaran. Secara lebih detail dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut: Tabel 3.1 Tahapan Penyusunan Anggaran No.
44
DOKUMEN
WAKTU
1
Penyususnan Arah dan Kebijakan Umum APBD
AKTIVITAS
Pemda dan DPRD
PELAKSANA
Renstrada, Hasil Penjaringan Aspirasi Masyarakat, Laporan Kinerja Historis, Pokok-pokok Pikiran DPRD, Kebijakan Keuangan Daerah
SUMBER
Berita Acara (Nota) Kesepakatan
Juni*) Pertengahan Juni (UU KN No. 17/03)
2
Penyususnan Strategi dan Prioritas APBD
Pemda
Arah dan Kebijakan Umum APBD
Berita Acara Kesepakatan
Juli Agustus
3
Persiapan Penyususnan Rancangan Anggaran Unit Kerja
Tim Anggaran Eksekutif
Perda Pengelolaan Keuada, Arah Kebijakan Umum APBD Strategi dan Prioritas APBD Keputusan KDH tentang Standar Pelayanan Tingkat Pencapaian Kinerja dan Standar Biaya
Surat Edaran KDH tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Unit Kerja
Agustus September
4
Pernyataan Visi, Misi, Tupoksi, Tujuan dan Sasaran Unit kerja
Unit Kerja
Perda Struktur Organisasi dan Tata Kerja SE,KDH
Pernyataan Anggaran
September Oktober
5
Perencanaan Program Unit Kerja
Unit Kerja
Tujuan dan Sasaran Unit Kerja, SE, KDH
Pernyataan Anggaran
September Oktober
6
Perencanaan Kegiatan Unit Kerja
Unit Kerja
Program Unit Kerja, SE, KDH
Pernyataan Anggaran
September Oktober
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
No.
AKTIVITAS
PELAKSANA
SUMBER
DOKUMEN
WAKTU
7
Perencanaan Anggaran Unit Kerja
Unit Kerja
Kegiatan Unit Kerja, SE, KDH
Pernyataan Anggaran
September Oktober
8
Penilaian Atas Usulan Anggaran Unit Kerja terhadap Kewajaran beban Kerja dan Biaya Kegiatan
Tim Anggran Eksekutif
Arah dan Kebijakan Umum APBD Strategi dan Prioritas APBD Anggaran Unit Kerja
Rancangan Perda APBD
September Oktober
9
Penyusunan Rancangan APBD
Tim Anggran Eksekutif
Arah dan Kebijakan Umum APBD Strategi dan Prioritas APBD Anggaran Unit Kerja
Rancangan Perda APBD
Oktober November
10
Pengajuan Rancangan APBD
Pemda
Rancangan APBD
Rancangan Perda APBD
Minggu 1 Oktober (psl 20 UUKN No.17/2003)
11
Pembahasan Rancangan APBD
Panitia Anggaran Legislatif dan Tim Anggaran Eksekutif
Rancangan Perda APBD
Perda APBD
November Desember
Pernyataan Anggaran
Berdasarkan tabel yang telah ditampilkan di atas, dapat diketahui jika tahapan penyusunan anggaran harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dari segi waktu dan tidak boleh mengesampingkan tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari penyusunan anggaran. Dalam proses penyusunan anggaran juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan partisipasi dari level bawah untuk memperoleh masukan yang tepat sasaran (pendekatan bottom-up). Selain itu manajemen waktu dan kontrol oleh pimpinan menjadi kunci dalam ketepatan penyusunan dokumen perencanaan dengan jadwal yang telah direncanakan.
BAB III SINKRONISASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
45
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
46
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan tentang prinsip, mekanisme penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK), tata cara penerapan, pengukuran dan evaluasi PBK. Kemudian contoh penerapan PBK dan terakhir adalah peluang dan tantangan PBK ke depan. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
Pentingnya Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja
2
Denisi, prinsip dan komponenkomponen Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
Anggaran, Indikator kinerja, Standar Biaya, Evaluasi Kinerja
3
Tata cara penerapan PBK
Sikulus PBK, Tahapan-tahapan PBK
4
Pengukuran dan Evaluasi PBK
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja
5
Contoh Penerapan PBK
Implikasi Penerapan PBK
6
Peluang dan Tantangan
Peluang dan Tantangan PBK
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peratura Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 8. Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembag; 9. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2005. Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). Jakarta; 10. Kementerian Dalam Negeri RI. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta; 11. Kementerian Dalam Negeri RI. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Revisi atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta; 12. Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. 2006. Peraturan Bupati Tanah Datar Nomor 20 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Tanah Datar Tahun 2006 - 2010. Batusangkar; 13. Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2009), Buku Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK), Jakarta; 14. Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran (2009), Anggaran Berbasis Kinerja, Jakarta; 15. Shaughnassy, Dianne. (2007). Preparing a Performance Budgeting, New York Fiscal Board; 16. Young, Richard D. (2003). “Performance-Based Budget System, USC Institute for Public Service and Policy Research; 17. Hager, Greg, Alice, H., Wilson, G., (2001). “Performance-Based Budgeting: Concepts and Examples, Legislative Research Commision, Washington, USA; 18. Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah.
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
47
4.1 Pentingnya Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja Reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran keuangan negara dimulai sejak tahun 2005 dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: 1) anggaran terpadu (unied budget); 2) kerangka pengeluaran jangka menengah biasa disebut KPJM/MTEF (Medium Term Expenditure Framework); dan 3) Penganggaran Berbasis Kinerja biasa disebut PBK (performance based budget). Selanjutnya untuk lebih mendukung penjabaran peraturan tersebut yang dirasa kurang maksimal, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan AnggaranKementerian Negara/Lembaga. Penyusunan PBK secara rinci oleh kementerian negara/ lembaga ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 93 Tahun 2011. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan kinerja yang diharapkan, serta memperhatikan esiensi dalam pencapaian kinerja tersebut. Kinerja adalah prestasi kerja yang berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Dalam pelaksanaannya, pendekatan tersebut di atas fokus pada PBK. Kedua pendekatan lainnya (anggaran terpadu dan KPJM) mendukung penerapan PBK. Pendekatan anggaran terpadu merupakan prasyarat penerapan PBK. Sedangkan pendekatan KPJM merupakan jaminan kontinuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga tiga atau lima tahun ke depan
4.2 Definisi, Prinsip dan Komponen PBK 4.2.1 Denisi PBK Penganganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam system penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran Berbasisis Kinerja (PBK) diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk esiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai, di tuangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada pada setiap tingkat pencapaian tujuan. Program pada anggaran berbasis kinerja didenisikan sebagai instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan dengan instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan (Renja SKPD) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasisi kinerja.
48
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Penganggaran dengan pendekatan kinerja disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada “apa yang ingin dicapai”. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain esiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara esien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).
4.2.2 Prinsip-prinsip PBK Prinsip-prinsip utama dan sifat-sifat yang digunakan dalam Penganggaran Berbasis Kinerja (Mardiasmo 2002) kinerja meliputi: 1. Penekanan pada konsep Value for Money (VFM) dan pengawasan atas kinerja output yang diukur dengan beberapa indikator. Elemen utama Value for Money, yaitu : a. Ekonomi, yaitu diperolehnya input dengan kualitas dan kuatintas tertentu pada harga terendah dan atau dalam praktik berarti “meminimalkan penggunaan sumber daya dalam melaksanakan suatu kegiatan”. b. Esien, yaitu pemanfaatan input minimal untuk mencapai hasil maksimal atau dalam praktiknya “melaksanakan sesuatu dengan benar”. c. Efektif, mencapai tujuan dan sasaran dengan target yang ditetapkan secara maksimal atau dalam praktiknya “melakukan hal yang benar”. 2. Mengutamakan penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan sistimatik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. 3. Penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dan indicator yang telah ditetapkan. 4. Penerapan transparan, akuntabilitas dan terbukanya ruang partisipasi publik, untuk memastikan berbagai fungsi dan pertanggungjawaban pengelola keuangan daerah dinjalankan dengan baik dan bahwa setiap keputusan yang menyangkut keuangan daerah benar-benar didasarkan bagi kepentingan seluruh masyarakat. 5. Kegiatan sebagai dasar usulan anggaran yang bersifat buttom-up. Kegiatan diajukan oleh unit teknis atau unit dibawah SKPD yang mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan sesuai tugas dan fungsi serta apa target dan indikator kinerjanya. 6. Pendelegasian wewenang secara berjenjang dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan dengan memberikan perhatian yang cukup bagi berkelanjutan dalam penggunaan sumber daya bagi setiap kegiatan, hasil-hasil yang diperoleh serta manfaat yang ditimbulkan.
4.2.3 Komponen PBK Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam menyusun APBD, setiap alokasi biaya yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja pemerintah daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap pelaksanaan APBD, selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan daerah, khususnya kinerja penyusunan anggaran perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu tentang komponen atau persyaratan penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja yaitu Indikator kinerja, standar biaya, analisis standar biaya dan evaluasi.
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
49
1. Indikator Kinerja Indikator Kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan. Dalam modul ini, indikator kinerja yang digunakan terdiri dari Key Performance Indicator (KPI) diterjemahkan sebagai Indikator Kinerja Utama Program (IKU Program) untuk menilai kinerja program, Indikator Kinerja Kegiatan (IK Kegiatan) untuk menilai kinerja kegiatan, dan Indikator Keluaran untuk menilai kinerja sub kegiatan (tingkatan di bawah kegiatan). Indikator kinerja meliputi: 1. Indikator Input (masukan) Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu kegiatan yang yang menghasilkan keluaran. Indikator ini berupa dana, sumberdaya manusia, sarana, informasi dan sebagainya. 2. Indikator Output (keluaran) Keluaran langsung yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Indikator ini dapat dijadikan landasan untuk menilai kemajuan dari suatu kegiatan. 3. Outcome (hasil) Menggambarkan hasil nyata dari keluaran yang mencerminkan berfungsinya output dan juga menggambarkan kegiatan dalam memenuhi sasarannya. 4. Benet (manfaat) Sesuatu yang berkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. 5. Impact (dampak) Pengaruh yang ditimbulkan dari setiap tingkatan indikator kegiatan dari asumsi yang telah ditetapkan baik positif maupun negatif.
2. Standar Biaya Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal tahap perencanaan anggaran berbasis kinerja, dan nantinya menjadi standar biaya keluaran. Pengertian tersebut diterjemahkan berupa Standar Harga dan Standar Biaya . Dalam konteks penerapan PBK di Indonesia, standar biaya mempunyai peran unik. Standar biaya tidak dikenal oleh negara-negara yang telah terlebih dahulu menerapkan PBK. PBK menggunakan standar biaya sebagai alat untuk menilai esiensi pada masa transisi dari sistem penganggaran yang bercorak “input-based” ke penganggaran yang bercorak “output-based”. SKPD diharuskan untuk merumuskan keluaran kegiatan beserta alokasi anggarannya. Alokasi anggaran tersebut dalam proses penyusunan anggaran mendasarkan pada prakiraan cara pelaksanaanya (asumsi). Pada saat pelaksanaan kegiatan, cara pelaksanaannya dapat saja berbeda sesuai dengan kondisi yang ada, sepanjang keluaran kegiatan tetap dapat dicapai. Sudut pandang pemikiran tersebut sejalan dengan prinsip let the manager manage. Butir-butir pemikiran mengenai pengembangan standar biaya dalam rangka mendukung penerapan PBK dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Standar biaya merupakan alat bantu untuk penyusunan anggaran; 2. Standar biaya merupakan kebutuhan anggaran yang paling esien untuk menghasilkan keluaran. Perubahan jumlah/angka standar biaya dimungkinkan karena adanya perubahan parameter yang dijadikan acuan. Parameter tersebut dapat berupa angka inasi, keadaan kondisi darurat (force majeur), atau hal lain yang ditetapkan sebagai parameter; 3. Standar biaya dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan oleh SKPD (Standar Pelayanan Minimal).
3. Analisis Standar Belanja Analisi Standar Belanja (ASB) merupakan komponen yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam satu program atau kegiatan untuk menghasilkan tingkat layanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. ASB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan
50
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SKPD dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap usulan anggaran dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai melalui program atau kegiatan . ASB pada dasarnya standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung secara cermat karena akan menjadi bahan seleksi usulan anggaran setiap program atau kegiatan usulan yang melampaui ASB akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang ditetapkan, apabila anggaran program atau kegiatan lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien, dengan demikian ASB dapat digunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan atau yang akan dilaksanakan. Jadi dengan adanya ASB dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD. Penerapan ASB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain (1) medorong SKPD untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan kegiatannya, (2) menghindari adanya belanja yang kurang efektif dalam upaya pencapaian kinerja karena didasarkan tolok ukur kinerja yang jelas yang jelas, (3) mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan no investasi, (4) SKPD mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
4. Evaluasi Kinerja Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi esiensi dan efektivitas dari suatu program/kegiatan. Cara pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap target (dari sisi efektivitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya (dilihat dari sisi esiensi). Hasil evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back) bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.
4.3 Tata Cara Penerapan PBK Penganggaran berbasis kinerja akan memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/ kegiatan pada suatu SKPD serta dampak/hasilnya bagi masyarakat luas. Informasi kinerja yang dicantumkan tidak hanya keluaran dan hasil pada tingkatan program/kegiatan tetapi juga menjelaskan hubungan erat antar tingkatan tersebut. Keterkaitan tersebut terlihat sejak dari perumusan Visi dan Misi SKPD yang selanjutnya diterjemahkan dalam program beserta alokasi anggarannya. Tingkatan di bawah program merupakan penjelasan lebih rinci dari program yang memuat antara lain: nama kegiatan, bagian atau tahapan kegiatan yang dilaksanakan, alokasi anggaran untuk masing-masing tahapan, bahkan rincian item biayanya. Dalam rangka penerapan PBK yang lebih menekankan pada informasi kinerja sebagaimana gambaran di atas, maka siklus yang harus dijalani dapat digambarkan dalam Gambar 4.1. Siklus tersebut terdiri dari 8 (delapan) tahapan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penetapan sasaran strategis SKPD; Penetapan outcome, program, output, dan kegiatan; Penetapan indikator kinerja utama program dan indikator kinerja kegiatan; Penetapan standar biaya; Penghitungan kebutuhan anggaran; Pelaksanaan kegiatan dan pembelanjaan; Pertanggungjawaban; Pengukuran dan evaluasi kinerja.
Hal yang perlu dicermati dari kedelapan langkah tersebut adalah tahapan terakhir (pengukuran dan evaluasi kinerja). Pengukuran dan evaluasi merupakan sesuatu yang sudah dinyatakan dalam sistem penganggaran, tetapi penerapannya belum maksimal.
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
51
Gambar 4.1
Siklus Penerapan PBK 3. Penetapan IKU program dan IK kegiatan 2. Penetapan outcome, program output, dan kegiatan
4. Penetapan standar biaya
5. Menghitung kebutuhan anggaran
1. Penetapan sasaran strategis
6. Pelaksanaan kegiatan dan pembelanjaan
8. Pengukuran dan evaluasi kinerja 7. Pertanggung jawaban
Selanjutnya, tahapan kegiatam penerapan BPK, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Tahapan Kegiatan Penerapan PBK No. Uraian Kegiatan
Sumber Dokumen
1
Penetapan visi dan misi SKPD
Renstra SKPD dan Tupoksi SKPD
2
Perumusan sasaran strategis SKPD (Outcome SKPD)
Renstra SKPD
3
Restrukturisasi program
Tupoksi SKPD
4
Perumusan outcome program
Visi dan Misi SKPD
5
Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) program
IKU kegiatan unggulan atau pendekatan lain
6
Perumusan kegiatan per eselon II/Satker
Tupoksi Eselon II/SKPD
7
Penetapan output kegiatan
Output utama sesuai core bisnis unit
8
Penetapan indikator kinerja kegiatan
Pendekatan kuantitas, kualitas dan harga Indikator keluaran suboutput
1. Persiapan Langkah persiapan merupakan tahapan penting dalam penerapan PBK yang meliputi: a. Pemahaman Tujuan PBK Perencana memahami tujuan PBK secara benar. Dengan pemahaman tersebut, perencana mampu merumuskan kinerja yang akan dicapai melalui perumusan output (pada tingkat kegiatan) dan cara menghubungkan dengan tujuan PBK. b. Pemahaman Kerangka Logis Kerangka logis PBK juga telah dijelaskan dan hal ini harus dipahami terlebih dahulu sehingga ada keajegan berpikir dalam rangka pencapaian tujuan PBK melalui kerangka logis kinerja yang akan dibangun.
52
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
c. Penyediaan Dokumen Sebagai Dokumen Sumber Hal yang dimaksud dengan dokumen tersebut antara lain: dokumen perencanaan (Rencana Strategis SKPD, Rencana Strategis Unit Eselon I, Rencana Kerja SKPD, dan Rencana Kinerja Tahunan), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun sebelumnya; dan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai tugas-fungsi unit kerja. Pemahaman mengenai tujuan dan kerangka logis PBK merupakan pemahaman konseptual berkenaan dengan PBK. Kedua pemahaman tersebut merupakan hal mendasar sebelum perencana menyusun anggaran yang berbasis kinerja. Dengan adanya pemahaman ini, perencana dapat menjelaskan arah tujuan yang akan dicapai dan bagaimana pelaksanaannya, katakanlah kinerja unit SKPD dapat dicapai (diharapkan tercapai) melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Sedangkan penyediaan dokumen sumber merupakan langkah yang diperlukan dalam penyusunan informasi kinerja beserta rincian alokasi anggaran kegiatan yang mengarah pada pencapaian kinerja yang diharapkan. Salah satu contoh informasi tersebut adalah indikator kinerja kegiatan. Adanya indikator kinerja kegiatan akan membantu perencana dalam mempertimbangkan cara/tahapan kegiatan yang terbaik: efektif mencapai sasaran dan esiensi biayanya. Rincian dokumen sumber tersebut meliputi: Dokumen perencanaan sebagai acuan pengalokasian anggaran pada tingkatan program/ kegiatan/subkegiatan; Dokumen LAKIP yang berisikan capaian kinerja kegiatan/subkegiatan tahun sebelumnya sebagai pertimbangan dalam merencanakan kegiatan/subkegiatan: apakah kegiatan/ subkegiatan tersebut telah selesai atau akan dilanjutkan pada tahun yang direncanakan, dan berapa jumlah biaya yang diserap oleh kegiatan/subkegiatan; Dokumen Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai tugas-fungsi unit kerja sebagai acuan: apakah kegiatan/subkegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tugas-fungsi masing-masing unit kerja.
2. Pengalokasian Anggaran Informasi kinerja yang telah disusun di atas akan menjadi panduan perencana untuk merinci kegiatan dalam bagian/tahapan kegiatan (biasa disebut subkegiatan) beserta kebutuhan biayanya. Langkahlangkah yang diperlukan sebagai berikut: a. Identikasi prioritas Secara sederhana prioritas merupakan pilihan urutan “penting” atau “kurang penting” dari suatu program/kegiatan. Suatu program/kegiatan sesuai urutan prioritas dapat diberikan nomer urut, mulai dari 1 dan seterusnya. Nomor urut 1 berarti mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibanding prioritas nomor urut 2 dan seterusnya. Hal ini berarti jika ada keterbatasan anggaran atau kebijakan pemotongan anggaran maka, program/kegiatan dengan prioritas yang lebih rendah merupakan program/kegiatan yang pelaksanaannya ditunda terlebih dahulu. Alokasi anggaran sangat berkaitan dengan prioritas kebijakan (program/kegiatan) yang akan dilaksanakan. Target yang hendak dicapai pada tahun yang dianggarkan Setelah prioritas ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan target pada masing-masing skala prioritas pada berbagai tingkatan. Langkah kedua ini berkaitan erat dengan perumusan indikator kinerja pada tingkat program/kegiatan. b. Ketersediaan anggaran yang ada Setelah tahap 1 dan 2 ditetapkan maka, langkah berikutnya adalah melihat ketersediaan anggaran. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan luas lingkup kegiatan, skala prioritas, sekaligus proses penyaringan kegiatan-kegiatan yang akan mendapat alokasi anggaran pada tahun yang direncanakan. Dengan kata lain tahapan ini merupakan penyesuaian antara target yang hendak dicapai dengan ketersediaan anggarannya.
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
53
c. Menuangkan dalam rincian pendanaan Langkah terkahir adalah menuangkan apa yang telah ditetapkan (kegiatan, subkegiatan, prioritas dan jumlah alokasi anggarannya) dalam suatu rincian mengenai tahapan-tahapan kegiatan, beserta detil biaya. Penuangan dalam detil anggaran tersebut harus mengacu pada standar biaya yang ada, baik Standar Biaya maupun Standar Harga. Khusus pengalokasian anggaran untuk subkegiatan tugas-fungsi dan prioritas daerah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: Detil biaya yang merupakan input sepanjang telah ditetapkan dalam Standar Biaya harus digunakan dalam pengalokasian anggaran; Jika kumpulan detil biaya tersebut menghasilkan output tertentu pengalokasian anggaran; maka, Standar Harga harus digunakan sebagai acuan; Dalam hal Standar Harga belum ditetapkan maka, kumpulan detil biaya tersebut dapat diusulkan menjadi Standar Harga .
4.4 Pengukuran dan Evaluasi PBK Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja, SKPD melaksanakan pengukuran dan evaluasi kinerja kegiatan pada suatu unit kerja di lingkungannya berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja kegiatan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja yang dilakukan akan memberikan informasi tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan. Sedangkan evaluasi kinerja kegiatan merupakan salah satu alat analisa yang menghasilkan kesimpulan tentang tingkat esiensi dan efektivitas pencapaian sasaran sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Hasilnya digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pada tahun yang akan datang.
4.4.1 Maksud dan Tujuan Pengukuran kinerja kegiatan merupakan proses penilaian kemajuan pelaksanan kegiatan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan termasuk informasi atas esiensi penggunaan sumber daya dan efektivitas pencapaian sasaran. Pemilihan IKU program/IK Kegiatan/Indikator Keluaran beserta targetnya merupakan upaya konkret dalam memformulasikan tujuan strategis SKPD lebih nyata dan terukur, dan pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada karakteristik suatu SKPD. Dengan kata lain, pengukuran kinerja bukanlah tujuan akhir melainkan alat agar dihasilkan suatu manajemen yang lebih esien dan terjadi peningkatan kinerja. Pengukuran kinerja kegiatan menyediakan informasi bagi SKPD untuk menilai : 1. Pencapaian atas sasaran program yang telah ditetapkan; 2. Identikasi dan analisis kelemahan program/kegiatan; 3. Tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja. Hasil pengukuran kinerja dimaksud merupakan umpan balik (feedback) manajemen untuk memperbaiki kinerja secara berkelanjutan. Evaluasi kinerja kegiatan merupakan proses penilaian terhadap pencapaian tujuan dan pengungkapan kendala baik pada saat penyusunan maupun pada saat implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja kebijakan dari sisi esiensi dan efektivitas. Evaluasi kinerja kegiatan meliputi evaluasi esiensi tingkat kehematan pemanfaatan sumber daya (input) yang dilakukan melalui pembandingan realisasi dan rencana pemanfaatan sumber daya (input) pada setiap jenis kegiatan/subkegiatan dan evaluasi efektivitas ketepatan hasil (output) dilakukan melalui pembandingan hasil (output) dengan target rencana. Evaluasi kinerja kegiatan yang berkesinambungan memberikan informasi kemajuan serta keberhasilan program berupa: efektivitas pencapaian sasaran program dan esiensi biaya program. Secara rinci manfaat pengukuran dan evaluasi kinerja dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja, adalah:
54
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. 2. 3. 4. 5.
Membantu untuk mempersiapkan laporan kinerja dalam waktu yang singkat; Mengetahui kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki dan menjaga kinerja yang sudah baik; Sebagai dasar (informasi) yang penting untuk melakukan evaluasi program; Sebagai bahan masukan/rekomendasi kebijakan selanjutnya; Sebagai dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi selanjutnya.
4.4.2 Hal yang Perlu Diukur Pengukuran kinerja kegiatan dilakukan terhadap pencapaian hasil/realisasi penggunaan dana dari beberapa aspek bidang penganggaran dalam kurun waktu tertentu, yaitu : 1. Masukan, merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Dalam hal ini masukan yang perlu diukur adalah realisasi penggunaan sumber daya berupa alokasi dana, seberapa besar dana yang telah digunakan. 2. Proses, adalah ukuran kegiatan dari segi kecepatan dan ketepatan pelaksanaan kegiatan yang menggambarkan % pencapaian hasil kegiatan. 3. Keluaran, adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat diperoleh dari suatu kegiatan yang dapat berwujud maupun tidak berwujud. Keluaran ini diukur berdasarkan satuan yang telah ditentukan. 4. Hasil, merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran pada jangka menengah yang mempunyai efek langsung yaitu merupakan bagian dari (%) pencapaian sasaran program dan keterkaitannya.
4.4.3 Substansi yang Dievaluasi Evaluasi kinerja kegiatan pada suatu unit kerja merupakan analisa yang dilaksanakan oleh SKPD terhadap pencapaian output dan outcome pada program/kegiatan atas alokasi input, dengan membandingkan realisasi terhadap rencana (meliputi masukan, keluaran, dan hasil). Secara rinci halhal yang dievaluasi adalah : 1. 2. 3. 4.
Perbandingan rencana dan realisasi masukan (input) kegiatan; Perbandingan rencana dan realisasi keluaran (output) kegiatan; Persentase (%) pencapaian target hasil (outcome) program; Perbandingan antara yang berlaku dengan Standar Biaya yang ditetapkan.
4.5 Contoh Aplikasi PBK Penerapan Performance Based Budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar Evaluasi terhadap penerapan performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dilakukan dengan mengevaluasi indikator kinerja yang terdapat pada dokumen anggaran yaitu Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (DPA-SKPD). Evaluasi terhadap indikator kinerja dilakukan dengan menilai pemenuhan kriteria indikator kinerja yang baik oleh setiap indikator kinerja, baik output maupun outcome, pada setiap kegiatan. Kriteria indikator kinerja yang digunakan adalah kriteria output dan outcome yang seperti diuraikan di atas.
4.5.1 Indikator Output Output adalah merupakan produk atau keluaran langsung dari suatu aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan. Indikator output menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdenisi dengan baik dan terukur. Kriteria yang digunakan untuk menilai indikator output yang terdapat pada DPA SKPD Pemerintah Kabupaten Tanah Datar adalah:
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
55
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Merupakan suatu produk atau pelayanan yang disediakan oleh instansi bagi masyarakat; Dapat diidentikasi dan dinyatakan dengan jelas; Bukan merupakan intermediate output; Berkontribusi pada pencapaian outcome; Merupakan sesuatu yang controlable bagi instansi; Mengandung informasi yang memungkinkan untuk dilakukan pembandingan kinerja.
Penilaian indikator kinerja output dengan menggunakan kriteria di atas dilakukan secara bertingkat dengan mempertimbangkan tingkat signikansi kriteria-kriteria tersebut. Kriteria pertama, yaitu merupakan suatu produk atau pelayanan yang disediakan oleh instansi, harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menilai pemenuhan kriteria berikutnya. Misalnya, jika suatu indikator output bukan merupakan suatu produk atau pelayanan yang disediakan oleh instansi (tidak memenuhi kriteria pertama), maka pemenuhan kriteri kedua, apakah indikator tersebut telah diidentikasi atau dinyatakan secara jelas, tidak dinilai lagi. Begitu juga dengan kriteria-kriteria berikutnya. Hasil evaluasi menunjukkan jumlah kegiatan dilihat dari jumlah kriteria indikator yang dipenuhi indikator outputnya adalah seperti pada tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator Outputnya No
Jumlah kriteria yang dipenuhi
Jumlah kegiatan 2012
2013
1
6 kriteria
0
0
2
5 kriteria
7
7
3
4 kriteria
3
1
4
3 kriteria
2
1
5
2 kriteria
3
1
6
1 kriteria
22
20
7
0 kriteria
49
43
86
73
Jumlah
Dari tabel 4.2 di atas terlihat bahwa tidak ada kegiatan baik tahun 2012 maupun tahun 2013 yang indikator outputnya memenuhi keenam kriteria indikator yang digunakan. Sebaliknya, kegiatan yang indikator outputnya tidak memenuhi satupun kriteria mencapai 60% (49 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2012 dan 59% (43 dari 73 kegiatan) untuk tahun 2013. Demikian juga, kegiatan yang indikator outputnya hanya memenuhi satu kriteria mencapai 26% (22 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2012 dan 27% (20 dari 73 kegiatan) untuk tahun 2013. Ini menunjukkan masih rendahnya kualitas indikator output yang digunakan dalam DPA SKPD tahun 2012 dan 2013.
4.5.2 Indikator Outcome Outcome menggambarkan hasil nyata dari output suatu kegiatan dan mencerminkan berfungsinya output tersebut. Indikator outcome merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Kriteria yang digunakan untuk menilai indikator outcome yang terdapat pada DPA SKPD Pemerintah Kabupaten Tanah Datar adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
56
Menggambarkan sasaran dan prioritas pemerintah; Diindikasikan dengan manfaat terhadap komunitas atau masyarakat ; Dapat mengidentikasikan target group dengan jelas; Mempunyai hubungan kausalitas dengan output; Memiliki denisi dan deskripsi yang jelas.
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Hasil evaluasi menunjukkan jumlah kegiatan dilihat dari jumlah kriteria indikator yang dipenuhi indikator outcomenya adalah seperti pada tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator Outcomenya No
Jumlah kriteria yang dipenuhi
Jumlah kegiatan 2012
2013
1
5 kriteria
4
0
2
4 kriteria
12
4
3
3 kriteria
15
10
4
2 kriteria
16
17
5
1 kriteria
5
11
6
0 kriteria
34
31
86
73
Jumlah
Dari tabel 4.3 di atas terlihat bahwa tahun 2012 hanya 4 (empat) dan tahun 2013 tidak ada kegiatan yang indikator outcomenya memenuhi keenam kriteria indikator yang digunakan dalam menilai kualitas indikator kinerja tersebut. Sebaliknya, kegiatan yang indikator outcomenya tidak memenuhi satupun kriteria mencapai 40% (34 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2012 dan 42% (31 dari 73 kegiatan) untuk tahun 2013. Ini menunjukkan masih rendahnya kualitas indikator outcome yang digunakan dalam DPA SKPD tahun 2012 dan 2013.
4.5.3 Struktur APBD Anggaran belanja setiap kegiatan dalam Penjabaran APBD Kabupaten Tanah Datar ditetapkan dengan struktur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Kelompok belanja, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung; Jenis belanja, yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal; Obyek belanja, yaitu rincian dari masing-masing jenis belanja; Rincian objek belanja, yaitu rincian dari masing-masing objek belanja.
Dalam pelaksanaannya, struktur anggaran di atas cenderung tidak eksibel dimana belanja harus dilaksanakan sesuai dengan rincian obyek belanja yang ditetapkan. Penggunaan anggaran suatu rincian objek belanja untuk rincian objek belanja lainnya dalam objek belanja yang sama hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melalui mekanisme pergeseran anggaran. Demikian juga dengan pergeseran anggaran dari suatu objek belanja ke objek belanja lainnya dalam jenis belanja yang sama. Bahkan, pergeseran anggaran dari suatu jenis belanja ke jenis belanja lainnya dalam satu kegiatan dan dari suatu kegiatan ke kegiatan lainnya dalam satu program harus dengan persetujuan DPRD (legislatif).Dengan struktur belanja seperti di atas, terlihat bahwa APBD Pemerintah Kabupaten Tanah Datar masih disusun dengan pendekatan line item budgeting dimana anggaran menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Hal ini tidak sejalan dengan salah satu persyaratan penerapan performance-based budgeting yaitu klasikasi pengeluaran ditetapkan berdasarkan program (program-based). Dalam anggaran yang ditetapkan berdasarkan program, rincian belanja dalam suatu program atau kegiatan hanya bersifat informasi saja dan tidak mengikat sehingga pelaksanaan belanja menjadi lebih eksibel dan pengguna anggaran (executing agencies) tidak terikat dengan rincian belanja yang rigid. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar adalah sebagai berikut:
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
57
1. Keterbatasan dana Keterbatasan dana mempengaruhi perilaku aparat perencanaan pada SKPD Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam menetapkan indikator kinerja pada proses penyusunan anggaran sehingga mengakibatkan belum berjalannya performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. 2. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) Keterbatasan sumber daya manusia mengakibatkan masih kurangnya pemahaman petugas perencanaan SKPD mengenai indikator kinerja sehingga indikator kinerja yang dirumuskan dalam dokumen anggaran baru sebatas melanjutkan apa yang ada tahun sebelumnya tanpa melihat bagaimana kualitasnya. 3. Kurangnya dukungan legislatif Kurangnya dukungan legislatif terlihat dalam pembahasan mengenai perencanaan dan pengganggaran dimana anggota legislatif cenderung lebih melihat kepada aspek politis suatu kegiatan daripada kebutuhan riil yang melatar belakangi kegiatan tersebut.
4.6 Peluang dan Tantangan Permasalahan masyarakat yang semakin kompleks harus dapat dipecahkan dengan program dan kegiatan yang terarah dengan sasaran kerja yang jelas. Pemahaman terhadap permasalahan dan solusi berupa kegiatan saja tidak cukup karena setiap kegiatan memerlukan alokasi anggaran yang terperinci, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sasaran dan penggunaannya. Penerapan PBK di Indonesia mempunyai tantangan yang tidak ringan karena berubahnya sistem penganggaran. Tantangan yang lebih berat adalah mengubah mind set tidak hanya pada lingkungan eksekutif, tetapi juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) sebagai lembaga legislatif. Mind set pembahasan dan penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) diharapkan juga berubah menjadi outputbased, tidak lagi input-based. Beberapa butir-butir pemikiran berkenaan dengan hubungan antara eksekutif dengan legislatif dalam rangka pembahasan dan penetapan APBD dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Di tingkat daerah, pengalokasian anggaran didasarkan pada target kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas pembangunan serta pemenuhan kewajiban sesuai regulasi; 2. Target kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas selanjutnya dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan prioritas; 3. Di tingkat SKPD, pengalokasian anggaran mengacu pada program dan kegiatan masing-masing unit sesuai dengan tugas dan fungsinya termasuk kebutuhan anggaran untuk memenuhi angka dasar (baseline) serta alokasi untuk kegiatan prioritas yang bersifat penugasan; 4. Penghitungan kebutuhan anggaran untuk masing-masing kegiatan mengacu pada standar biaya dan target kinerja yang akan dihasilkan; 5. Rincian penggunaan dana menurut jenis belanja, dituangkan dalam dokumen anggaran hanya pada tingkat jenis belanja (tidak dirinci sampai dengan kode akun).
58
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB IV PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
59
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
60
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan tentang keterkaitan dan pengintegrasian SPM dengan belanja daerah, dan pengintegrasian dan penerapan SPM dalam perencanaan dan penganggaran daerah. No
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Latar dan Permasalahan
belanja, alokasi, standarisasi
2
Denisi, Manfaat, Prinsip-prinsip SPM
Standar; hak dan kewajiban; komponen dalam layanan publik
3
Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan dan Ruang Lingkup Rencana Pencapaiannya
Prioritas, anggaran, SKPD, RPJMD
4
Keterkaitan Urusan Wajib dengan SPM;
Urusan wajib; Tipologi urusan pemerintahan, integrasi
5
Lingkup, Tahap dan Langkah Penyusunan SPM di Daerah
Proses Penerapan SPM
6
Pembinaan dan Pengawasan Dalam Penerapan SPM;
Pembinaan; data, koordinasi
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Tahun 2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemberdayaan Perempuan di Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; 5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peratura Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 13. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
61
17. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; 18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-283 Tahun 2011 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; 19. KEPMENDIKNAS No. 053 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah; 20. KEPMENKES No. 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; 21. KEPMENPAN No. 28 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik; 22. KEPMENPERINDAG No. 78 Tahun 2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Perindustrian dan Perdagangan; 23. KEPMENPAN No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi), Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah; 24. KMK No. 828/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota; 25. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Lingkungan Hidup di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; 26. PERMENDAGRI No. 6 Tahun 2006 tentang Petujuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 27. Peraturan Menteri Kehutanan No. 8 Tahun 2007 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk Bidang Pembiayaan Pembangunan Hutan; 28. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan TOL; 29. PERMEN Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 36 Tahun 2012; 30. PERMENDAGRI No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; 31. PERMENDAGRI No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas PERMENDAGRI No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 32. PERMENDAGRI No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM); 33. PERMENKEU No. 123.1 Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Investasi Pemerintah; 34. PERMENKEU No. 99 Tahun 2007 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara; 35. Ammons, David N. (1995). (Ed.) Accountability for Performance: Measuring and Monitoring in Local Government. Washington D.C.: International City/County Management Association; 36. Bernstein, David J. (2001). “Local Government Measurement Use to Focus on Performance and Results,” Evaluation and Program Planning, vol. 24, pp: 95-101; 37. Breman, David R. (2002). “State-Local Relations: Authority, Finances, Cooperation,” in The Municipal Year Book, 2002. Washington D.C.: International City/County Management Association; 38. Dom, Catherine (2002). “Education Reform in the Context of Decentralization,” Report prepared for Decentralized Strategy for Education Finance (DSEF) project. British Council and World Bank. Jakarta; 40. Eko Subowo, 2007. Kebijakan SPM Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005;
62
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
41. Tarigan dkk, Laporan Akhir , Kajian Kapasitas Daerah dalam Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ,Direktorat Otonomi Daerah , Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daearah, Bappenas, 2012; 42. Ferrazzi, Gabe (2002a). “Legal Standing and Models of Local Government Functions in Selected Countries: Implications for Indonesia,” GTZ. Jakarta; 43. Ferrazzi, Gabe (2002b). “Obligatory Functions and Minimum Service Standards: A Preliminary Review of the Indonesian Approach,” GTZ. Jakarta; 44. Friedman, Joel (2002). “Minimum Service Standards: Current Status and Planned Activities at the Ministry of Home Affairs,” Research Triangle Institute Perform Project. Jakarta; 45. Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah; 46. Panduan Pengintegrasian Standar Pelayanan Minimum dalam Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan GIZ, 2011; 47. Standar Pelayanan Minimum, Workshop Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Manado, 8 – 12 Desember 2010.
5.1 Latar Belakang Belanja merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja Daerah menurut Permendagri No 13 Tahun 2006 digunakan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan (pasal 31 ayat1). Alokasi belanja yang tepat mempunyai peranan cukup penting untuk mencapai stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Di samping itu, belanja juga merupakan alat informasi bagi masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat kontrol dan akuntabilitas kinerja pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut permasalahan yang masih dihadapi oleh pemerintah adalah; Pertama, alokasi anggaran belanja pada sektor tertentu belum sejalan dengan tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Kedua, ketersediaan anggaran baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang masih minim sehingga sering menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ketiga, inesiensi dalam mengalokasikan dan membelanjakan anggaran. Keempat, proses/prosedur pelayanan belum transparan dan terstandardisasi. Belanja daerah sendiri mencakup semua sisi pengeluaran atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Belanja daerah dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung mencakup: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Belanja pegawai; Bunga; Subsidi; Hibah; Bantuan sosial; Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; Belanja tidak terduga.
Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung mencakup:
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
63
1. Belanja pegawai; 2. Belanja barang dan jasa; 3. Belanja modal. Untuk menjamin ketepatan dan prioritas belanja daerah diperlukan beberapa analisa yang komprehensif diantaranya : 1. Standar Pelayanan Minimal : Ukuran pelayanan yang harus disediakan pemerintah sebagai urusan wajib pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat . 2. Analisis Standar Belanja: Analisa Standar Belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan. 3. Value for Money : Digunakan untuk menilai apakah sebuah organisasi termasuk tentunya lembaga sektor publik telah memperoleh manfaat yang maksimum (the maximum benet) dari barangbarang dan jasa yang tersedia atau dimiliki atau tidak. 4. Analisis Belanja Modal: Mendorong pengeluaran untuk investasi publik harus mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran rutin, karena pengeluaran investasi/modal memiliki efek jangka panjang, sedangkan pengeluaran rutin lebih berdampak jangka pendek. Alokasi belanja didasarkan atas prioritas yaitu urusan wajib pemerintah daerah yang juga urusan wajib pemerintah pusat. Keberhasilan penuntasan urusan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan standar pelayanan sebagai sasaran yang harus dicapai oleh alokasi anggaran tersebut. Standar Pelayanan Minimal merupakan ukuran pelayanan publik yang paling mendasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik dalam menentukan belanja daerah. Standar ini disusun berdasarkan batas-batas kelayakan yang juga harus dipenuhi pada bidang-bidang perencanaan, penganggaran dan belanja daerah . Standar tersebut disusun oleh kementerian demi mencapai sasaran pembanguan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah daerah menjadikan SPM sebagai ukuran minimal yang harus dicapai. Beberapa daerah yang sudah maju dan berkembang dapat membuat batas diatas SPM nasional karena telah melampaui angka-angka standar nasional. Sedangkan daerah-daerah tertinggal diupayakan untuk mencapai standar melalui berbagai program yang terfokus pada pemenuhan sasaran tersebut. Angka angka yang dalam SPM adalah bentuk dari ouput/outcome dari suatu program atau kegiatan pemerintah daerah. Permasalahan umum di daerah adalah kurangnya intergrasi indikator SPM ke dalam dokumen perencanaan yang disusun oleh Pemerintah maupun SKPD. Dengan mempertimbangkan kemampuan daerah dan sumberdaya yang dimiliki daerah, maka penggunaan SPM akan menjadi standar harus dicapai sebagai pelaksanaan urusan wajib sekaligus perwujudan penyediaan pelayanan publik yang bersifat dasar. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan penyusunan SPM oleh Kementerian/Lembaga dan penerapannya oleh Pemerintahan Daerah. Salah satu isu utama penerapan SPM di daerah adalah terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dan belum dituangkannya SPM dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pengintegrasian SPM dalam perencanaan dan penganggaran akan memastikan prioritas dan komitmen pemda dalam mengalokasikan belanja langsung terutama untuk pelayanan dasar. Dalam prakteknya pelaksanaan SPM di Indonesia, baru bidang kesehatan yang dianggap paling maju sementara bidang yang lain masih belum secara eksplisit direncanakan dan dianggarkan. Sedang SPM yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bidang pendidikan dan lingkungan hidup. (Bappenas 2012). Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan SPM di sebabkan oleh faktor kondisi geogras sedangkan faktor pendukung yang paling signikan yang didapat dari kajian ini adalah faktor penggunaan website dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Interaksi melalui website terbukti efektif untuk penerapan SPM, khususnya SPM bidang kesehatan. Studi tersebut juga mengatakan bahwa media untuk sosialiasasi perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan tidak
64
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
hanya metode tradisional dimana instansi pusat mendatangi daerah untuk menyampaikan materi SPM, namun dapat menggunakan berbagai media yang mungkin, khususnya internet. Dengan adanya pemahaman yang baik tentang berbagai program dan regulasi akan sangat menentukan penerapan selanjutnya dari program atau regulasi tersebut, khususnya dalam hal ini penerapan SPM.
5.2 Definisi, Manfaat, dan Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal 5.2.1 Denisi Standar, Standar Pelayanan, dan SPM Dalam PP No. 102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 20). Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal (PP No. 65 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 6). Penekanan kata “minimal” dalam istilah SPM ini mengacu pada batas minimal tingkat cakupan dan kualitas pelayanan dasar yang mampu dicapai oleh setiap daerah sesuai batas waktu yang ditetapkan Pemerintah. Pemerintah Daerah harus mampu mencapai tingkat cakupan yang minimal sama atau bahkan lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah untuk masingmasing indikator SPM masing masing Kementerian/Lembaga terkait.
5.2.2 Manfaat SPM Keberadaan SPM memberikan manfaat kepada semua pihak baik Pemerintah Pusat/Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Masyarakat. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka SPM diharapkan dapat menjadi suatu ukuran yang sangat diperlukan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat/ konsumen itu sendiri untuk menilai kinerja pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah. 1. Manfaat SPM bagi Pusat/Provinsi a. Menjamin bahwa pelayanan umum dalam bidang pemerintahan yang esensial menjangkau masyarakat secara seimbang pada skala nasional atau provinsi. b. Memudahkan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan wajib oleh Kabupaten/Kota. c. Memudahkan identikasi kebutuhan daerah untuk meningkatkan kinerjanya dalam pelayanan minimal (melalui pembinaan, pelatihan, dan lain-lain). 2. Manfaat SPM bagi Kabupaten/Kota a. Memudahkan penentuan pelayanan dan segi intensitas, jangkauan, kualitas, esiensi, dan dampak. b. Memudahkan pelaporan pemerintah daerah tentang pelayanan kepada pihak lain (Pusat, DPRD, dan Masyarakat).
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
65
c. Memudahkan pertukaran informasi antar daerah guna meningkatkan dan menyempurnakan pelayanan. d. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasi kelembagaan pemerintah daerah, kualikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat. 3. Manfaat SPM bagi Masyarakat a. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/ masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan. b. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya. c. Meningkatkan kualitas pelayanan. Keberadaan standar pelayanan dapat membantu unitunit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu pelayanan. Terakhir standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
5.2.3 Prinsip-Prinsip Dalam Penyusunan SPM Dalam penyusunan SPM menganut beberapa prinsip sebagaimana yang diatur dalam PP No. 65 Tahun 2005 Pasal 3 adalah sebagai berikut: 1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. 2. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 3. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional. 4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian. 5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterakan
66
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
masyarakat. Fungsi ini didasarkan pada NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) menurut peraturan yang belaku secara rinci NSPK didenisikan sebagai berikut: 1. Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antara urusan, NSPK dan SPM dapat dijelaskan dengan table berikut: Tabel 5.1 Hubungan Antara Urusan, NSPK dan SPM
URUSAN Tupoksi untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat Landasan Hukum PP 38 Tahun 2007
NSPK Norma Standar Prosedur Kriteria Landasan Hukum: PP 38 Tahun 2007
SPM Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga. Landasan Hukum UU 32 Tahun 2004, PP 65 Tahun 2005
5.3 Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan dan Ruang Lingkup Rencana Pencapaiannya 5.3.1 Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan terdiri dari 2 (dua) jenis urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah (Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Tidak semua bagian dari urusan wajib adalah pelayanan dasar. Namun, setiap pelayanan dasar termasuk dalam bagian urusan wajib. SPM ditetapkan berdasarkan pelayanan dasar tertentu, dimana pelayanan dasar tersebut adalah bagian dari urusan wajib, dan urusan wajib merupakan bagian dari urusan pemerintahan. Berikut digambarkan posisi SPM dalam urusan pemerintahan Gambar 5.1 berikut:
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
67
Gambar 5.1
Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1 (8) Urusan Pemerintahan Urusan Wajib
Pelayanan Dasar (SPM)
5.3.2 Ruang Lingkup Rencana Pencapaian SPM SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Besaran dan batas waktu pencapaian SPM ditetapkan oleh masing-masing kementerian/lembaga yang selanjutnya menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM berdasarkan data dasar pelayanan publik yang tersedia. Selanjutnya rencana pencapaian SPM dan target tahunan diintegrasikan dalam dokumen perencanaan (RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD) dan dokumen penganggaran (KUA PPA dan RKA-SKPD). Gambar 5.2
Muatan Rencana Pencapaian SPM SPM
Analisis keuangan dan kondisi umum daerah
Renja-SKPD RKA-SKPD
RKPD
Batas Waktu Pencapaian SPM Nasional
68
Menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan RPJMD
Renja-SKPD 1. Visi, misi dan tujuan 2. Strategi dan Kebijakan 3. Program indikasi kegiatan, prestasi kerja berbasis SPM
Kondisi Umum Daerah
Penetapan Perda tentang RPJMD
Pengintegrasian SPM Dalam Dokumen Perencanaan dan Pengganggaran
1. Strategi pembangunan daerah 2. Arah kebijakan keuangan daerah 3. Program prioritas daerah
Mekanisme Pembelanjaan Penerapan SPM
1. Urusan pemerintahan kewenangan daerah 2. Faktor geogras 3. Perekonomian daerah 4. Kondisi sosial dan budaya 5. Prasarana dan sarana 6. Pemerintahan umum 7. Prestasi kerja pelayanan publik berbasis SPM
Sitem penyampaian Informasi dan Realisasi Penerapan SPM
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Ruang lingkup muatan rencana pencapaian SPM secara lebih rinci di daerah seperti dalam Gambar 5.2 meliputi: 1. Batas waktu pencapaian SPM secara nasional dan jangka waktu pencapaian SPM di daerah; Batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan masing-masing kementerian/lembaga menjadi batas waktu maksimal dari jangka waktu rencana pencapaian dalam penerapan SPM di daerah. Pemerintah daerah dapat menetapkan rencana pencapaian SPM lebih cepat dari batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah. Rencana pencapaian SPM dalam batas waktu tertentu dijabarkan menjadi target tahunan pencapaian dan penerapan SPM. Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM dituangkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. 2. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM dalam dokumen perencanaan dan penganggaran; Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang dituangkan dalam RPJMD dan dijabarkan dalam target tahunan pencapaian SPM. Rencana pencapaian SPM menjadi salah satu faktor dalam menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran (PPA). 3. Mekanisme pembelanjaan penerapan SPM; a. Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA yang disepakati bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD wajib memuat target pencapaian dan penerapan SPM. Selanjutnya, nota kesepakatan tentang KUA dan PPA menjadi dasar penyusunan RKA-SKPD dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran tahunan berdasarkan tingkat prestasi kerja yang mengacu pada rencana pencapaian dan penerapan SPM. b. Penyusunan RKA-SKPD program dan kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM mengacu pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, Analisis Standar Belanja (ASB), dan satuan harga. RKA-SKPD yang disahkan oleh kepala SKPD menggambarkan secara rinci dan jelas progam dan kegiatan dalam rangka pencapaian dan penerapan SPM. Pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah dibebankan pada APBN, sedangkan pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah dibebankan pada APBD. 4. Sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada masyarakat; Rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya merupakan bagian dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), LKPJ, dan ILPPD. Rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya dipublikasikan kepada masyarakat.
5.3.3 Keterkaitan Pencapaian SPM dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di Daerah 1. Alur Perencanaan dan Penganggaran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan bahwa setiap daerah diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembangunan daerah yang terdiri dari: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk periode dua puluh tahun, b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode lima tahunan, dan c. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode tahunan. Selain itu, setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diwajibkan untuk menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) untuk periode lima tahunan dan Rencana
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
69
Kerja (Renja) SKPD untuk periode tahunan. Selanjutnya, dengan berpedoman pada dokumen perencanaan, pemerintah daerah menyusun dokumen penganggaran daerah yang dimulai dengan menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) yang selanjutnya diterjemahkan dalam dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang penyusunannya bersumber dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.
2. Hubungan Rencana Pencapaian SPM Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Daerah Hubungan Rencana Pencapaian SPM dalam Perencanaan dan Penganggaran di Daerah dapat ditunjukkan melalui Gambar 5.3. Berdasarkan PP No. 65/2005 tentang Pedoman dan Penyusunan Standar Pelayanan Minimal, dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa: a. Penyusunan rencana lima tahunan pencapaian SPM di tingkat Pemerintah Daerah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). b. Rencana lima tahunan pencapaian target SPM ini dituangkan menjadi rencana tahunan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), serta Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD). Dalam proses penyusunan penganggaran, digunakan instrumen pendukung anggaran yang lain seperti Standar Satuan Harga dan Analisis Standar Belanja (ASB). c. Selanjutnya target tahunan pencapaian SPM yang telah dimuat dalam dokumen RKPD dan Renja SKPD dituangkan dalam Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). d. Tingkat pencapaian target SPM di daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri dan kemampuan keuangan di masingmasing daerah. Gambar 5.3
Hubungan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
RPJPD
RPJMD
RKPD
Rencana Pencapaian SPM di Daerah
Penetapan SPM oleh K/L
Renstra SKPD
KUA dan PPA
RAPBD
APBD
Target Tahunan Pencapaian SPM di Daerah
Renja SKPD
RKA SKPD
Rincian APBD
Sumber: PP No. 65/2005
3. Rencana Pencapaian SPM Dalam RPJMD dan Renstra SKPD Rencana Pencapaian SPM (Target 5 Tahun) termuat dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah. Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah terdiri dari: RPJMD dan Renstra SKPD. RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun dan Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. RPJMD dan Renstra SKPD memiliki kaitan subtansi yang sangat erat sehingga penyusunan kedua dokumen rencana tersebut dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan awal RPJMD
70
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menjadi pedoman SKPD dalam menyusun Renstra SKPD. Subtansi rancangan awal RPJMD antara lain: kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah daerah serta indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan menjadi acuan Kepala SKPD merumuskan kegiatan dalam rancangan Renstra SKPD. Pengintegrasian indikator SPM dalam perencanaan jangka menengah dilakukan pada waktu penyusunan Rancangan Renstra SKPD. Indikator SPM menjadi masukan (input) dalam melakukan analisis gambaran pelayanan SKPD. Masing-masing SKPD yang sudah memiliki SPM, wajib memasukan indikator SPM sebagai masukan dalam menganalisis gambaran umum pelayanan SKPD. Analisis gambaran pelayanan SKPD dimaksudkan untuk menunjukan peran SKPD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sumberdaya SKPD dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi-fungsinya, capaian kinerja yang telah dihasilkan melalui pelaksanaan Renstra SKPD periode sebelumnya, capaian kinerja antara Renstra SKPD dengan RPJMD periode sebelumnya, hambatan dan permasalahan yang perlu diantisipasi.
4. Rencana Pencapaian SPM Dalam RKPD dan RENJA SKPD Dokumen perencanaan pembangunan tahunan daerah terdiri dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja (Renja) SKPD. RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun dan Renja SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 1 (satu) tahun. Penyusunan RKPD dimulai dari penyusunan rancangan awal RKPD dan berakhir pada penetapan RKPD. Tahapan penyusunan rancangan RKPD provinsi dan kabupaten/kota mencakup kegiatan: a. Evaluasi rancangan awal RKP dan rancangan awal RKP tahun rencana; b. Verikasi dan integrasi rancangan Renja SKPD; c. Penyelarasan penyajian rancangan RKPD. 1) Penyelarasan penyajian rancangan RKPD, melalui proses sebagai berikut: Pengintegrasian SPM dalam perencanaan tahunan daerah dilakukan pada waktu penyusunan Renja SKPD. Untuk menganalisis kinerja pelayanan SKPD digunakan beberapa indikator, antara lain mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Indikator Kinerja Kunci (IKK) berdasarkan PP No. 6/2008, dengan sasaran target sesuai dengan Renstra SKPD dan/atau berdasarkan atas hasil analisis standar kebutuhan pelayanan. Analisis kinerja pelayanan SKPD berupa pengkajian terhadap capaian kinerja pelayanan SKPD dengan kinerja yang dibutuhkan sesuai dan dampak yang ditimbulkan atas kinerja pelayanan tersebut serta mengidentikasi permasalahan yang dihadapi untuk penyusunan program dan kegiatan dalam rangka peningkatan pelayanan SKPD sesuai dengan tugas dan fungsi. 2) Dokumen penganggaran tahunan terdiri dari: Kebijakan Umum APBD (KUA) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun; Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) adalah rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD sebelum disepakati dengan DPRD; Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan dan rencana belanja program dan kegiatan SKPD sebagai dasar penyusunan APBD.
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
71
3) Penyusunan anggaran daerah (APBD): Diawali dengan penyampaian Kebijakan Umum APBD (KUA) sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan Kebijakan Umum APBD (KUA) yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama dengan DPRD membahas Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-SKPD).
5.4 Lingkup, Tahap dan Langkah Penyusunan SPM di Daerah Tahapan penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada penjelasan Permendagri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut menguraikan secara umum pentahapan dan pertimbangan penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah, namun belum secara rinci menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilaksanakan di setiap tahap. Langkah-langkah penyusunan rencana pencapaian SPM dibagi kedalam 4 lingkup utama, 7 tahap dan 18 langkah. Tabel 5.2 Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM TAHAPAN I.
Memulai Proses
LANGKAH-LANGKAH 1. Internalisasi SPM di masing-masing SKPD 2. Koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah
II. Menyusun Rencana Pencapaian SPM di Daerah
LINGKUP UTAMA I. MENENTUKAN BATAS WAKTU PENCAPAIAN SPM DI DAERAH
3. Menemukenali Indikator SPM 4. Pengumpulan data dan informasi pencapaian SPM 5. Menentukan tingkat capaian SPM (baseline) 6. Menentukan target capaian SPM 7. Menyusun program dan kegiatan prioritas 8. Menghitung kebutuhan pembiayaan
III. Integrasi SPM 9. Memastikan indikator SPM dalam dalam Perencanaan analisis pelayanan SKPD Pembangunan 10. Perumusan rencana program, Jangka Menengah kegiatan dan pendanaan indikatif (PRJMD dan Renstra SKPD) IV. Integrasi SPM dalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (RKPD dan Renja SKPD)
72
II. PENGINTEGRASIAN RENCANA PENCAPAIAN SPM DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
11. Memastikan target tahunan SPM dalam analisis pelayanan SKPD 12. Perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TAHAPAN
LANGKAH-LANGKAH
V. Integrasi SPM dalam 13. Memastikan Indikator SPM dalam Penganggaran KUA dan PPAS Tahunan (KUA, 14. Penentuan target capaian SPM dan PPAS dan RKApendanaan indikatif dalam RKASKPD) SKPD. VI. Pengendalian dan Evaluasi Pencapaian SPM VII.Penyampaian Informasi Pencapaian SPM
LINGKUP UTAMA III. MEKANISME PEMBIAYAAN PENERAPAN SPM
15. Mekanisme pengendalian pencapaian IV. SISTEM SPM PENYAMPAIAN INFORMASI 16. Evaluasi pencapaian SPM PENCAPAIAN SPM DI 17. Penyusunan laporan pencapaian SPM DAERAH di daerah 18. Memasukan laporan pencapaian SPM dalam LPPD, LKPJ dan ILPD
5.4.1 Menentukan Batas Waktu Pencapaian SPM Di Daerah Tahap 1 Memulai Proses: Tahap awal penyusunan SPM dengan melakukan internalisasi SPM di masing-masing SKPD, dan melakukan koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM untuk mensinergikan pencapaian SPM setiap urusan yang dilaksanakan SKPD. 1. Langkah 1. Internalisasi SPM di masing-masing SKPD. Internalisasi adalah proses membangun pengetahuan dalam suatu organisasi dan memberikan kesempatan kepada anggota suatu kelompok, organisasi atau instansi untuk berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Internalisasi SPM di masing-masing SKPD dimaksudkan untuk membangun pemahaman bersama antar SKPD dalam lingkup provinsi/kabupaten/kota terkait pentingnya penerapan SPM di daerah. 2. Langkah 2. Koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah. Koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM merupakan upaya mensinergikan pencapaian SPM setiap urusan yang dilaksanakan SKPD. Hingga saat ini sudah ada 14 SPM yang ditetapkan Kementerian/Lembaga untuk dilaksanakan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan SKPD terkait. Rencana pencapaian SPM yang disusun SKPD mengacu ketetapan SPM yang ditetapkan Kementerian/ Lembaga. Koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM tidak terpisahkan dari mekanisme pengendalian pembangunan daerah. Kepala Daerah dapat menunjuk dan menugaskan pejabat eselon II (setingkat Asisten) untuk melakukan koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM yang melibatkan SKPD terkait. Mekanisme koordinasi diatur dalam surat keputusan Kepala Daerah. Tahap 2 Menyusun Rencana Pencapaian SPM di Daerah: Penyusunan rencana pencapaian SPM dengan menemukenali Indikator SPM, mengumpulkan data dan informasi pencapaian SPM, menentukan tingkat capaian SPM (baseline), menentukan target capaian SPM, dan menyusun program dan kegiatan prioritas, serta menghitung kebutuhan pembiayaan. 3. Langkah 3. Menemukenali Indikator SPM. Menemukenali indikator SPM yang ditetapkan Kementerian/Lembaga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kelompok kerja SKPD tentang jenis indikator, cara mengukur pencapaian indikator, target capaian yang ditetapkan
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
73
dan batas waktu pencapaian secara nasional. Masing-masing indikator SPM yang ditetapkan Kementerian/Lembaga dipelajari secara seksama berkaitan dengan denisi operasionalnya dan formula menghitung indikator, baik angka pembilang dan penyebut serta sumber data dan informasi untuk penghitungan indikator. Target capaian dan batas waktu pencapaian SPM untuk setiap pelayanan dasar yang berlaku nasional dipelajari dengan seksama sebagai acuan menentukan rencana pencapaian SPM di daerah. 4. Langkah 4. Pengumpulan data dan informasi pencapaian SPM. Dalam penyusunan rencana pencapaian SPM perlu dikumpulkan data dan informasi pencapaian SPM yang akurat, relevan dan dapat dipertangungjawabkan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui: (i) penyusunan daftar data dan informasi yang dibutuhkan (check-list) untuk setiap indikator SPM; (ii) pengumpulan data dan informasi yang akurat dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan; (iii) pengelolaan data dan informasi sesuai dengan rumusan formula masing-masing indikator SPM; dan (iv) kompilasi data dan informasi sesuai dengan kebutuhan analisis. 5. Langkah 5. Menentukan tingkat capaian SPM (baseline). Tingkat capaian SPM menjelaskan kondisi dan pencapaian standar pelayanan minimal untuk suatu pelayanan dasar di daerah sebagai tolok ukur awal (baseline) menentukan target capaian SPM. Perhitungan tingkat capaian SPM menggunakan formula yang ditetapkan dan perbandingan dengan target pencapaian SPM nasional. Tingkat capaian SPM di setiap SKPD dihitung melalui perbandingan antara capaian SPM yang mampu dicapai pada satu wilayah kerja tertentu dalam kurun waktu yang sama dengan capaian SPM yang seharusnya dicapai di satu wilayah kerja tertentu pada kurun waktu tertentu.
Tingkat Capaian
∑ X yang telah mampu dicapai pada satu wilayah kerja ∑ X yang seharusnya dicapai di satu wilayah kerja tertentu
X
Analisis pencapaian SPM di masing-masing SKPD bertujuan untuk mengetahui seberapa besar capaian SPM setiap SKPD pada tahun berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan pencapaian kinerja. Hasil analisis pencapaian SPM menunjukan tingkat capaian SPM untuk setiap pelayanan dasar, potensi dan permasalahan terkait dengan pelayanan dasar SKPD serta kapasitas pengelolaan keuangan untuk mendukung pencapaian kinerja. 6. Langkah 6. Menentukan Target Capaian SPM. Target capaian SPM merupakan rencana capaian indikator SPM pada waktu tertentu yang akan dicapai daerah dengan mempertimbangkan tingkat capaian SPM saat ini. Penentuan target capaian SPM dihitung dengan memperhatikan: (i) tingkat capaian SPM tahun sebelumnya; (ii) target capaian SPM berdasarkan ketetapan peraturan menteri; (iii) laju pencapaian SPM tahun terakhir; (iv) analisis kemampuan pendanaan daerah; (v) potensi dan permasalahan yang dihadapi daerah. 7. Langkah 7. Menyusun program dan kegiatan prioritas. Pencapaian target capaian SPM dilakukan melalui serangkaian program dan kegiatan terkait. Perumusan program dan kegiatan untuk pencapaian SPM tahun yang direncanakan berdasarkan tingkat urgensi dan relevansinya, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan untuk memecahkan isu-isu penting terkait pelayanan dasar di daerah. 8. Langkah 8. Menghitung kebutuhan pembiayaan. Dalam menghitung anggaran atau dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan dalam mencapai target SPM
74
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
yang telah ditetapkan dilakukan dengan melihat volume kegiatan dan unit-cost. Setiap indikator pencapaian SPM dilengkapi dengan denisi, pengertian dan langkah-langkah kegiatan. Masingmasing langkah kegiatan disusun rincian kegiatan dilengkapi cara perhitungan volume kegiatan dikalikan dengan unit-cost yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Upaya menghitung kebutuhan anggaran untuk melaksanakan berbagai kegiatan dalam pencapaian target indikator SPM akan dapat dengan mudah dilakukan jika Pemerintah Daerah telah menyusun Analisis Standar Belanja (ASB) untuk setiap jenis kegiatan atau biaya rata-rata per output kegiatan untuk tahun anggaran dimaksud. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Dengan adanya ASB akan sangat memudahkan bagi Pemerintah Daerah dan juga SKPD dalam menilai kewajaran biaya untuk melaksanakan jenis kegiatan tertentu jika output atau beban kerja telah ditentukan terlebih dahulu.
5.4.2 Pengintegrasian Rencana Pencapaian SPM Dalam Perencanaan dan Penganggaran Tahap 3 Integrasi SPM Dalam RPJMD dan Renstra SKPD: Integrasi SPM dalam RPJMD dan Renstra SKPD dengan cara memastikan indikator SPM dalam analisis pelayanan SKPD, dan merumuskan rencana program kegiatan dan pendanaan indikatif. PP No. 65/2005 menyatakan bahwa pemerintah daerah menggunakan SPM yang telah ditetapkan sebagai salah satu acuan menyusun perencanaan dan penganggaran. Pemerintah daerah menuangkan rencana pencapaian SPM dalam Perencanaan Jangka Menengah Daerah yaitu: RPJMD dan Renstra SKPD. Integrasi SPM dalam Perencanaan Jangka Menengah Daerah dimulai pada waktu penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD sesuai dengan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Integrasi SPM dalam Renstra SKPD dan RPJMD dilakukan dengan memastikan indikator SPM dalam analisis pelayanan SKPD, dan perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan indikatif. Gambar 5.3
Integrasi SPM Urusan Pilihan
Pelaayanan Dasa Dasar
Urusan Wajib W
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pemerintahan Urusan Bersama
Menj njadi salah satu fakktor dalam menggambarkan
Urusan Mutlak
Renja-SKPD RKPD
Menj n adi acuan dalam penyusun n an
Analisis Keuangan dan Kondisi Umum Daerah
•
• • •
RKA K -SKPD • Rancangan RPJMD P Renstra-SKPD • Visi, Misi dan Tujuan T • Strategi dan Kebijakan • Program, Indikasi K Kegiat an, Prestasi K rja Berbasis SPM Ker
Penetapan Perda tentang RPJMD P
• Strategi Pembangunan Daerah • Arah Kebijakan Umum • Arah Kebijakan Keuangan Daerah • Program Prioritas Daerah
• •
Kondisi Umum Daerah Urusan Pemerintahan Kewenangan Daerah Faktor Geogr Perekonomian Daerah Kondisi Sosial Budaya Prasarana dan Sarana Pemerintahan Umum Prestasi Ker K rja Pelay a anan Publik Berbasis SPM
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
75
9. Langkah 9. Memastikan indikator SPM dalam analisis pelayanan SKPD. Analisis gambaran pelayanan SKPD dimaksudkan untuk menunjukkan peran SKPD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sumber daya SKPD dalam penyelenggaran tugas dan fungsinya, tingkat capaian kinerja pelayanan SKPD serta hambatan dan permasalahan yang perlu diantisipasi. Tingkat capaian kinerja pelayanan SKPD diuraikan berdasarkan sasaran/target Renstra SKPD periode sebelumnya, pencapaian SPM untuk urusan wajib, dan indikator sesuai urusan yang menjadi tugas dan fungsi SKPD. Indikator capaian SPM untuk urusan wajib adalah salah satu indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur pelayanan SKPD, selain indikator kinerja mandiri dan indikator kinerja lain yang sesuai tugas dan fungsi SKPD. Tabel 5.3 Review Pencapaian Kinerja Pelayanan SKPD (Contoh) SKPD/Dinas Indikator Kinerja sesuai Tugas dan FUngsi SKPD Ketahanan Pangan Sosial
Bidang Pendidikan
Bidang Kesehatan
Target Rasio Capaian Rasio Capaian Target Target Target Tahun ke Tahun ke SPM IKK Indikator Renstra SKPD Lainnya Indikator 1 2 3 4 1 2 3 4 Lainnya
Ketersediaan Pangan PMKS skala provinsi yang memperoleh bantuan sosial. Untuk pemenuhan kebutuhan dasar Di setiap SMP/ MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran Cakupan Kunjungan Ibu Hamil
Hasil dari review pencapaian kinerja pelayanan SKPD, diataranya: (i) teridentikasinya tingkat capaian kinerja pelayanan dasar SKPD; (ii) terumuskannya faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian target (faktor pendukung dan penghambat); (iii) terumuskannya permasalahan pelayanan dasar SKPD yang perlu ditangani dalam Renstra SKPD. 10. Langkah 10. Perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan indikatif. Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa rangkaian kegiatan yang teridentikasi dalam rencana pencapaian SPM dan/atau rencana program prioritas untuk mencapai SPM mendapatkan nomenklatur program dalam RPJMD dan Renstra SKPD. Berdasarkan arsitektur perencanaan pembangunan daerah yang dibagi menjadi 2 (dua) perencanaan strategis dan operasional, maka SKPD dalam merencanakan program dan kegiatannya diharapkan dapat memecahkan permasalahan pembangunan daerah dan permasalahan urusan pemerintahan daerah. Program SKPD merupakan program prioritas RPJMD yang sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD. Rencana program prioritas beserta indikator keluaran program dan pagu per SKPD sebagaimana tercantum
76
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
dalam rancangan awal RPJMD, selanjutnya dijabarkan SKPD kedalam rencana kegiatan untuk setiap program prioritas tersebut. Pemilihan kegiatan untuk masing-masing program prioritas ini didasarkan atas strategi dan kebijakan jangka menengah SKPD, termasuk memperhatikan pencapaian SPM di daerah. Indikator keluaran program prioritas yang telah ditetapkan tersebut, merupakan indikator kinerja program yang berisi hasil (outcome) program. Hasil merupakan manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah untuk kelompok sasaran (Beneciaries) tertentu sebagai pihak yang menerima manfaat langsung dari jenis layanan SKPD, yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Kegiatan yang dipilih untuk setiap program prioritas, harus dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD. Tahap 4 Integrasi SPM Dalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (RKPD dan Renja SKPD): Integrasi SPM dalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (RKPD dan Renja SKPD) dengan cara memastikan target SPM dalam analisis pelayanan SKPD, dan selanjutnya merumuskan program, kegiatan, dan pendanaan. PP No. 65/2005 pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah daerah menuangkan target tahunan rencana pencapaian SPM dalam RKPD dan Renja SKPD untuk digunakan sebagai dasar perhitungan kebutuhan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Integrasi target tahunan rencana pencapaian SPM dalam perencanaan pembangunan tahunan daerah dimulai pada waktu penyusunan Rancangan Renja SKPD dan Rancangan Awal RKPD sesuai dengan tahapan dan tata cara penyusunan RKPD dan Renja SKPD yang dimuat pada Lampiran Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Integrasi SPM dalam RKPD dan Renja SKPD, dilakukan dengan cara memastikan target tahunan SPM dalam analisis pelayanan SKPD, dan perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan. 11) Langkah 11. Memastikan target tahunan SPM dalam analisis pelayanan SKPD. Langkah ini termasuk dalam analisis kinerja pelayanan SKPD yang berupa pengkajian terhadap capaian kinerja pelayanan SKPD dengan kinerja yang dibutuhkan dan dampak yang ditimbulkan atas kinerja pelayanan. Indikator kinerja yang digunakan SKPD diantaranya indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM). Tujuan utama analisis pelayanan SKPD untuk mengetahui sejauh mana kinerja pelayanan SKPD sesuai tugas dan fungsinya. Berkaitan dengan pencapaian SPM, analisis ini memberikan gambaran kondisi dan realisasi pencapaian indikator SPM, perbandingan target capaian SPM dan target capaian Renstra SKPD sampai dengan tahun berjalan dan perkiraan target capaian indikator SPM untuk tahun rencana.
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
77
Gambar 5.5
Integrasi SPM-RKA-SKPD
RKPD
Analisa Standar Belanja
Rancangan KUA
Analisa Pelayanan Minimal Nota Kesepakatan KUA U
SKPD
SE KDH tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD
Rancangan PPAS P Nota Kesepakatan PPAS P
• Penyusunan Rincian Anggaran Pendapatan • Penyusunan Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung • Penyusunan Rincian Anggaran Belanja Langsung • Penyusunan Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah • Penyusunan Rincian Pengeluaran Pembiayaan Daerah
Standar Satuan Harga
Penetapan Perda APBD Per. KDH Penjabaran APBD
Evaluasi Raperda
Raperda APBD
RKA-SKPD Penyusunan Raperda APBD Nota Keuangan
Badan Kepegawaian/ Daftar Pegawai Akuntansi / Laporan Keuangan
12. Langkah 12. Perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan. Perumusan program dan kegiatan sesuai dengan prioritas dan sasaran pembangunan tahun yang direncanakan berdasarkan tingkat urgensi dan relevansinya, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan untuk memecahkan isu-isu penting terkait penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD dalam pembangunan daerah. Perumusan program dan kegiatan pada tahap ini, merupakan penyesuaian antara identikasi kebutuhan program dan kegiatan berdasarkan hasil analisis dengan arahan prioritas program dan kegiatan SKPD menurut rancangan awal RKPD, serta mempertimbangkan hasil telaahan kebijakan nasional, dan kebijakan provinsi bagi kabupaten/kota.
5.4.3 Mekanisme Pembiayaan Penerapan SPM Tahap 5 Integrasi SPM Dalam Penganggaran Tahunan (KUA, PPAS dan RKA-SKPD): Integrasi SPM dalam Penganggaran Tahunan (KUA, PPAS dan RKA-SKPD) dengan cara memastikan indikator SPM dalam KUA dan PPAS, serta menentukan target SPM dan pendanaan indikatif dalam RKA-SKPD. Mengacu pada PP No. 65/2005 dan Permendagri No. 79/2007 bahwa pemerintah daerah menuangkan target tahunan rencana pencapaian SPM dalam KUA, PPA dan RKA-SKPD sesuai klasikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA yang disepakati bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD wajib memuat target pencapaian dan penerapan SPM. Integrasi SPM dalam penganggaran tahunan (KUA, PPAS, dan RKA-SKPD, dilakukan dengan cara memastikan indikator SPM dalam KUA dan PPAS, dan menentukan target capaian SPM dan pendanaan indikatif dalam RKA-SKPD. 13. Langkah 13. Memastikan Indikator SPM dalam KUA dan PPAS. Kebijakan umum APBD (KUA) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan
78
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. KUA disusun berdasarkan RKPD dan Pedoman Penyusunan APBD yang ditetapkan Mendagri setiap tahun. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) adalah rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD sebelum disepakati dengan DPRD. PPAS adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Rancangan PPAS disusun secara simultan dengan penyusunan KUA. Integrasi SPM dalam dokumen KUA dan PPAS dilaksanakan untuk memastikan rencana program prioritas dan kegiatan pencapaian SPM yang dirumuskan dalam RKPD termasuk dalam program prioritas dan mendapatkan plafon anggaran sementara. PPAS khususnya, memuat informasi mengenai apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah, skala prioritas untuk setiap program dan kegiatan, apa yang akan dihasilkan dan berapa anggaran (indikatif) yang diperlukan untuk melaksanakan setiap program dan kegiatan. Format pengajuan PPAS yang harus terumuskan secara jelas dan terukur untuk setiap program dan kegiatan. Gambar 5.6
Format Pengajuan PPAS
Program
Sasaran Target
Plafon Anggaran Sementara (Rp.)
Program A Program B Program C Program D Program dst.......
Memastikan program, sasaran, dan target pencapaian SPM dalam PPAS
14. Langkah 14. Penentuan target capaian SPM dan pendanaan indikatif dalam RKA-SKPD. Tingkat capaian indikator SPM serta program dan kegiatan dalam mencapai tingkat indikator kinerja SPM yang direncanakan diuraikan dalam formulir RKA-SKPD.Dalam RKA-SKPD 2.2.1 memuat informasi tentang indikator, tolok ukur dan target kinerja belanja langsung serta rincian anggaran belanja langsung menurut program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Untuk mengingat kembali, silahkan melihat Petunjuk Pengisian Formulir RKA - SKPD 2.2.1 dan Petunjuk Pengisian Formulir RKA - SKPD 2.2. di Topik III.
5.4.4 Sistem Penyampaian Informasi Pencapaian SPM di Daerah Tahap 6 Pengendalian dan Evaluasi Pencapaian SPM: Pengendalian dan Evaluasi Pencapaian SPM melalui mekanisme pengendalian SPM dan evaluasi pencapaian SPM. Tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian fungsi manajemen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Perencanaan yang disusun dengan baik, tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan. Begitu pula sebaliknya pelaksanaan rencana tidak akan berjalan lancar jika tidak didasarkan perencanaan yang baik. Pada tahap pengendalian dan evaluasi pencapaian SPM, meliputi mekanisme pengendalian pencapaian SPM dan evaluasi pencapaian SPM. 15. Langkah 15. Mekanisme pengendalian pencapaian SPM. Untuk mengetahui pencapaian SPM setiap tahunnya, pemerintah daerah melakukan pengendalian dan evaluasi pencapaian SPM sebagai bagian dari mekanisme pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah secara
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
79
keseluruhan. Pengendalian oleh Bappeda meliputi: pemantauan, supervisi dan tindak lanjut penyimpangan terhadap pencapaian tujuan agar program dan kegiatan sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah. Tindak lanjut meliputi: koreksi atas penyimpangan kegiatan, akselerasi atas keterlambatan pelaksanaan, klarikasi atas ketidakjelasan pelaksanaan rencana. Pemantauan oleh SKPD dilakukan triwulanan dengan penekanan pada: (i) realisasi pencapaian target, (ii) realisasi penyerapan dana, (iii) kendala yang dihadapi. Hasil pemantauan disampaikan dalam Laporan Triwulanan. 16. Langkah 16. Evaluasi pencapaian SPM. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai tahapan yang berbeda, yaitu ex-ante, on-going, dan ex-post. a. Tahap perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi dilakukan sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan cara untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. b. Tahap pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya; c. Tahap pasca pelaksanaan (ex-post): evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Tahap 7 Penyampaian Informasi Pencapaian SPM: Penyampaian Informasi Pencapaian SPM dilakukan dengan cara menyusun laporan pencapaian SPM di daerah, dan memasukkan pencapaian SPM dalam LPPD, LKPJ, dan ILPD. Mengacu pada PP No. 65/2005 dan Permendagri No. 79/2007 bahwa rencana pencapaian target tahunan SPM serta realisasinya diinformasikan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan. Pemerintah Daerah menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. 17. Langkah 17. Penyusunan laporan pencapaian SPM di daerah. Laporan pencapaian SPM di daerah memberikan informasi mengenai capaian kinerja pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Penyusunan laporan dimaksudkan untuk menyajikan informasi dalam bentuk yang mudah dipahami, bisa diperbandingkan, memenuhi kebutuhan informasi pengguna, serta membantu pengguna untuk menarik kesimpulan yang berguna. Sistem pelaporan harus mampu menyajikan apa yang diharapkan, apa yang sebenarnya dicapai serta mempertanggungjawabkan perbedaan diantara keduanya. Laporan pencapaian SPM disusun berdasarkan laporan triwulanan hasil pengendalian (pemantauan dan supervisi) serta hasil evaluasi setelah tahun anggaran berjalan. Materi pelaporan memfokuskan pada analisis indikator capaian SPM dengan membandingkan antara target dan realisasi capaian pada tahun berjalan. 18. Langkah 18. Memasukan laporan pencapaian SPM dalam LPPD, LKPJ dan Informasi LPPD. Laporan pencapaian SPM yang disusun pemerintah daerah selanjutnya menjadi bagian yang disampaikan dalam LPPD, LKPJ dan Informasi LPPD. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Pemerintah. LPPD disampaikan
80
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kepada Pemerintah Pusat, paling lambat 3 bulan setelah TA berakhir. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling lambat 3 bulan setelah TA berakhir. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat melalui media yang tersedia di daerah. Informasi LPPD disampaikan kepada masyarakat melalui media cetak atau elektronik. 19. Langkah 19. Pengumpulan data dan informasi pencapaian SPM Setelah diketahui indikator, nilai dan tahun pencapaiannya SPM untuk masing-masing jenis pelayanan dasar, maka langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dan informasi. Pada tahap ini diperlukan tim kerja untuk menyusun daftar data dan informasi yang dibutuhkan (check-list) dari setiap indikator SPM, mengumpulkan data dan informasi yang akurat dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, mengolah data dan informasi sesuai dengan rumusan formula masing-masing indikator SPM, serta mengkompilasi data dan informasi sesuai dengan kebutuhan analisis. Tabel 5.4 Format Pengumpulan Data dan Informasi No. Indikator SPM
Sumber Data
PiC
1. Prol Kesehatan (Provinsi) 2. Susenas, Prol Daerah (BPS)
Ka Subag Data dan Informasi
1.
Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4.
2.
Cakupan Ibu hamil dengan komplikasi yg ditangani.
-sda-
-sda-
3.
Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan.
-sda-
-sda-
4.
Cakupan pelayanan Ibu Nifas
-sda-
-sda-
5.
dan seterusnya ... ...
20. Langkah 20. Menentukan tingkat capaian SPM (baseline) Tingkat capaian SPM menjelaskan kondisi dan pencapaian standar pelayanan minimal untuk suatu pelayanan dasar di daerah sebagai tolok ukur awal (baseline) menentukan target capaian SPM. Perhitungan tingkat capaian SPM menggunakan formula yang ditetapkan dan perbandingan dengan target pencapaian SPM nasional.
Tingkat Capaian SPM “X” =
∑ X yang telah mampu dicapai pada satu wilayah kerja tertentu dalam kurun waktu yang sama ∑ X yang seharusnya dicapai di satu wilayah kerja tertentu kurun waktu tertentu
X 100%
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
81
Untuk kasus Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (Bumil) K4, dihitung dengan rumus:
Cakupan Kunjungan Bumil K4=
Jumlah Bumil yang Memperoleh Pelayanan Andrenatal K4 di satu wilayah pada kurun waktu Tertentu Jumlah Sasaran Bumil di satu wilayah dalam kurun waktu yang sama
X 100%
Misalkan jumlah ibu hamil di Kabupaten X pada tahun 2010 adalah 2.000 orang, sedangkan berdasarkan data yang ada diketahui hanya 1.500 orang ibu hamil saja yang secara rutin memeriksakan kehamilan dan memenuhi persyaratan K4, maka tingkat cakupan kunjungan bumil K4 untuk kabupaten X adalah: (1500 / 2000) x 100 = 75% Tingkat cakupan kunjungan bumil K4 Kabupaten X sebesar 75%. Hasil perhitungan capaian SPM setiap tahun selanjutnya dituangkan dalam tabel berikut. Tabel 5.5 Tingkat Cakupan Kunjungan Bumil K4 Kabupaten X No.
Indikator SPM
Capaian SPM
Laju (%)
2008 2009 2010 2008-2009 2008-2009 1
Cakupan Ibu Hamil K4
2
Cakupan Ibu Hamil dengan komplikasi yang ditangani
3
Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
4
Cakupan pelayanan Ibu Nifas
70%
73%
75%
Dst......... Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan ketidakberhasilan pencapaian SPM dituangkan tabel berikut. Tabel 5.6 Analisis Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pencapaian No.
Indikator SPM
1
Cakupan Ibu Hamil K4
2
Cakupan Ibu Hamil dengan komplikasi yang ditangani
3
Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
4
Cakupan pelayanan Ibu Nifas
Kondisi SPM Tahun
Faktor Pendukung dan Penghambat
Dst......... 21. Langkah 21. Menentukan Target Capaian SPM.Target capaian SPM merupakan rencana capaian indikator SPM pada waktu tertentu yang akan dicapai daerah dengan mempertimbangkan tingkat capaian SPM saat ini, seperti pada Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4. Penentuan target
82
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
capaian SPM dihitung dengan memperhatikan beberapa hal, seperti: tingkat capaian SPM tahun sebelumnya, target capaian SPM berdasarkan ketetapan Peraturan Menteri, laju pencapaian SPM tahun terakhir, analisis kemampuan pendanaan daerah, dan potensi dan permasalahan yang dihadapi daerah. No. 1 2 3
Indikator SPM Cakupan Ibu Hamil K4 Cakupan Ibu Hamil dengan komplikasi yang ditangani Dst.........
Target Capaian SPM 2010 2011 2012 2013 2014 2015 75% 95%
Dengan membandingkan target SPM yang ditetapkan oleh Kementerian terkait (Kementerian Kesehatan) dengan tingkat cakupan indikator SPM tertentu (Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4) yang sekarang mampu dicapai Kabupaten X dapat diketahui apakah Kabupaten X telah mampu mencapai tingkat capaian indikator SPM yang ditetapkan atau belum. Jika sudah, Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mempertahankan dan bahkan jika memungkinkan meningkatkan tingkat capaian indikator SPM dimaksud. Jika belum tercapai, maka Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mencapai minimal setingkat target yang ditetapkan Pemerintah sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan. Dalam kasus Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4, diketahui terdapat selisih (gap) sebesar 95% 75% = 20%. Selisih ini harus mampu dicapai hingga tahun 2015 mendatang dan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Renstra SKPD. Mengingat indikator SPM seperti tingkat Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 bersifat dinamis atau tidak statis pada setiap tahunnya, maka untuk menentukan target di masa mendatang (misalnya 5 tahunan) diperlukan informasi trend perkembangan jumlah ibu hamil beberapa tahun sebelumnya. Jika diketahui trend perkembangan jumlah ibu hamil di suatu daerah, misalnya bertambah sebesar 0,5% pertahun, maka berdasarkan informasi ini dapat dihitung perkiraan jumlah sasaran ibu hamil sampai dengan target waktu yang diinginkan, misalnya hingga tahun 2015. Rencana pencapaian dan penerapan SPM di daerah pada dasarnya dilaksanakan secara bertahap berdasarkan pada analisis kemampuan dan potensi daerah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengukur kemampuan dan potensi daerah meliputi: kondisi kepegawaian SKPD (Dinas Kesehatan), kondisi kelembagaan SKPD pelaksana SPM; kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah (Kabupaten X) dalam mendukung pelaksanaan SPM, kondisi sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan SPM, kondisi keuangan daerah, kondisi sumber daya alam; dan partisipasi swasta/masyarakat dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan dalam mencapai target dan batas waktu pencapaian indikator SPM, misalnya kesadaran para ibu hamil untuk ke Posyandu atau Puskesmas. 22. Langkah 22. Menyusun program dan kegiatan prioritas. Pencapaian target capaian SPM dilakukan melalui serangkaian program dan kegiatan terkait. Perumusan program dan kegiatan untuk pencapaian SPM tahun yang direncanakan berdasarkan tingkat urgensi dan relevansinya, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan untuk memecahkan isu-isu penting terkait pelayanan dasar di daerah. Bagi SPM yang belum teridentikasi rangkaian kegiatannya untuk pencapaian SPM, terlebih dahulu perlu dirumuskan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan berdasarkan kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Perumusan program dan kegiatan dapat menggunakan alat bantu yang memudahkan misalnya problem tree analysis, logic model, dan lain-lain.
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
83
23. Langkah 8. Menghitung kebutuhan pembiayaan. Dalam menghitung anggaran atau dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan dalam mencapai target SPM yang telah ditetapkan dilakukan dengan melihat volume kegiatan dan unit-cost. Setiap indikator pencapaian SPM dilengkapi dengan denisi, pengertian dan langkah-langkah kegiatan. Masingmasing langkah kegiatan disusun rincian kegiatan dilengkapi cara perhitungan volume kegiatan dikalikan dengan unit-cost yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Perhitungan volume kegiatan dilakukan dengan mengacu pada target capaian yang ditetapkan dengan memperhatikan kondisi daerah, terutama berkaitan dengan kondisi kepegawaian SKPD yang melaksanakan SPM; kondisi kelembagaan SKPD pelaksana SPM; kondisi sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan SPM; kondisi keuangan daerah, dan lainnya. Tabel 5.7 Formula Perhitungan Biaya Indikator SPM: Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 No. Kegiatan 1 Penyediaan Buku KIA 2 Pendataan Bumil
3
Pelayanan Perawatan Antenatal
Variabel Biaya cetak
Komponen Formula Biaya Jumlah Bumil AxB Harga Satuan Buku KIA Transport petugas Biaya Transport AxB Jumlah Petugas Lembar regristrasi Jumlah Bumil target AxB Harga Satuan Penyediaan tablet Jumlah Bumil target 90 Fe AxBxC Fe Harga tablet Fe Jumlah paket Fe 90 tablet per Bumil
Upaya untuk menghitung kebutuhan anggaran untuk melaksanakan berbagai kegiatan dalam upaya pencapaian target indikator SPM akan dapat dengan mudah dilakukan jika Pemerintah Daerah telah menyusun Analisis Standar Belanja (ASB) untuk setiap jenis kegiatan atau biaya ratarata per output kegiatan untuk tahun anggaran dimaksud. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Dengan adanya ASB akan sangat memudahkan bagi Pemerintah Daerah dan juga SKPD dalam menilai kewajaran biaya untuk melaksanakan jenis kegiatan tertentu jika output atau beban kerja telah ditentukan terlebih dahulu. Tabel 5.8 Rekapan Perhitungan Kebutuhan Biaya Tahunan No
Indikator SPM
Target SPM
Tahun
Target SPM Tahun ke-
Kebutuhan Biaya Tahun ke-
A. SPM Bidang Kesehatan 1 2
3
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 Cakupan ibu hamil dengan komplikasi yang dialaminya dst ... ...
5.5 Persiapan dan Pengawasan Dalam Penyusunan SPM Dalam prakteknya penyusunan memerlukan ketelitian, ketepatan dan kesungguhan dari aparat di daerah karena penyusunan ini berdampak panjang pada pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Banyak daerah pemekaran, rotasi
84
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
dan mutasi sumber daya pegawai seringkali menjadi kendala dalam pengintegrasian target-target tersebut dalam dukumen perencanaan. Selain itu pemahaman tentang pentingnya standar minimal juga diperlukan oleh penyusun anggaran baik pemrintah daerah maupun dewan perwakilan rakyat. Langkah-langkah hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan SPM diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Koordinasi dalam pengumpulan, verikasi, dan pengelolaan data; 2. Koordinasi dan kerjasama SKPD terkait untuk SPM yang bersifat lintas bidang (misalnya SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan) dan lintas daerah (misalnya SPM Bidang Lingkungan Hidup); 3. Monitoring dan evaluasi pencapaian SPM; 4. Advokasi untuk pengintegrasian SPM dalam perencanaan dan penganggaran; 5. Peningkatan kapasitas SDM. Penyusunan SPM juga memerlukan perangkat yang cukup agar bisa dilakukan secara efektif dan esien. Mengingat setiap pemerintah daerah memiliki kendala anggaran kegiatan ini memerlukan koordinasi yang terpadu diantara pemerintah pusat , daerah maupun SKPD. Data yang selalu tersedia dan sumber daya yang memahami permasalahan perencanaan dan indikator mutlak diperlukan dalam proses ini. Setiap daerah juga harus memiliki wawasan dan kegiatan kedepan yang menjabarkan visi, misi daerah yang terkait dengan agenda pemerintah pusat oleh sebab itu keberadaan data memiliki peranan penting. Perangkat data yang diperlukan dalam penyusunan SPM diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya baseline data sebagai dasar untuk mengetahui tingkat capaian dan target pencapaian SPM; 2. Peta daerah berbasis SPM (a.l. kapasitas, kinerja, kendala) harus dikelola dan diperbaharui secara periodik; 3. Pentingnya roadmap daerah untuk pencapaian indikator SPM sebagai dasar fasilitasi K/L (termasuk BAPPENAS, Kemendagri, Kemenkeu) dalam pengembangan kapasitas daerah, alokasi DAK, dsb; 4. Perlunya peningkatan kapasitas (khususnya bagi perencana SKPD) untuk mengintegrasikan SPM dalam perencanaan dan penganggaran; 5. Pentingnya pemahaman mengenai denisi operasional dari indikator-indikator SPM. Mengingat pentingnya peran pimpinan dalam pengawasan dan memastikan waktu penyusunan, teknis penyusunan dan kesesuaian aturan sangat penting dalam penyusunan SPM maka diperlukan pengawasan secara terstruktur agar kegiatan tersebut bisa berjalan sesuai waktu dan sasaran yang ditentukan. Pengawasan juga harus didukung upaya pimpinan untuk membantu dan memberikan petunjuk persiapan mulai dari penyiapan data sampai pada pengambilan keputusan mengenai prioritas dan jenis kegiatan yang selanjutnya akan dibiayai oleh anggaran. Ada dua pengawasan penyusunann SPM yaitu pada jangka menengah dan jangka pendek. Jangka menengah adalah penyusunan untuk target pembangunan yang tercakup dalam Renstra maupun RPJM. Sedangkan jangka pendek berkaitan dengan penyusunan, Musrenbang Renja SKPD, KUA-PPAS sebagai basis penyusunan APBD tahunan.
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
85
Tabel 5.9 Check list Integrasi SPM Dalam Dokumen Perencanaan Jangka Menengah No Tahap Perencanaan/Questioners
Status Ya Tdk
Jadwal
Waktu Pelaksanaan
Keterangan
I. Persiapan 1.
Tim Perencanaan Daerah/SKPD telah memahami/mendapat pembekalan tentang Permendagri 54/2010 dan Metoda Costing SPM II. Penyusunan Rancangan Awal RPJMD
A. Pengumpulan dan Pengolahan Data 2.
Form Capaian SPM telah dilampirkan dalam Form Indikator Kunci yang perlu diisi oleh SKPD Terkait B. Analisis Capaian Kinerja Pelayanan 3.
Form capaian SPM telah disusun untuk melengkapi form capaian indikator kunci penyenggaraan pemerintahan daerah C. Perumusan Isu Strategis dan Penetapan Tujuan dan Sasaran 4.
Hasil capaian SPM yang rendah ditetapkan sebagai bagian dari isu strategis dan tujuan/sasaran pembangunan daerah/SKPD D. Perumusan Strategi dan Kebijakan
5.
6.
Strategi dan Kebijakan pencapaian SPM menjadi bagian dari rumusan Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah/SKPD E. Perumusan Program dan Kegiatan Program dan Kegiatan penunjang pencapaian SPM diprioritaskan dalam rumusan program dan kegiatan pembangunan daerah/SKPD 7. Program dan Kegiatan penunjang pencapaian SPM trcantum dalam kerangka anggaran jangka menengah F. Konsultasi Awal Dengan Stakeholder 8
Stakeholder menyepakati target capaian dan rancangan awal anggaran pencapaian SPM yang dituangkan dalam Berita Acara Konsultasi Stakeholder III. Penyusunan Rancangan Renstra A. Pengumpulan dan Pengolahan Data 9.
Form Capaian SPM telah dilampirkan dalam Form Indikator Kunci yang perlu diisi oleh SKPD/Subdin Terkait B. Analisis Capaian Kinerja Pelayanan
10. Form capaian SPM telah disusun untuk melengkapi form capaian indikator kunci penyenggaraan pemerintahan daerah di SKPD terkait C. Perumusan Isu Strategis dan Penetapan Tujuan dan Sasaran
86
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
No Tahap Perencanaan/Questioners
Status Ya Tdk Jadwal
11. Hasil capaian SPM yang rendah ditetapkan sebagai bagian dari isu strategis dan tujuan/sasaran pembangunan jangka menengah SKPD D. Perumusan Strategi dan Kebijakan
Waktu Pelaksanaan
Keterangan
12. Strategi dan Kebijakan pencapaian SPM menjadi bagian dari rumusan Strategi dan Kebijakan Pembangunan Janga Menengah SKPD E. Perumusan Program dan Kegiatan
13. Program dan Kegiatan penunjang pencapaian SPM diprioritaskan dalam rumusan program dan kegiatan jangka menengah SKPD 14 Program dan Kegiatan penunjang pencapaian SPM tercantum dalam rumusan kerangka anggaran jangka menengah SKPD IV. Penyusunan Rancangan RPJMD
15 Program penunjang pencapaian SPM diverikasi Bappeda dan dicantumkan dalam Rancangan RPJMD V. Musrenbang RPJMD
16 Pencapaian SPM menjadi bagian dari rumusan isu strategis, prioritas program dan kegiatan, serta kerangka awal anggaran pembangunan daerah VI. Penyusunan Laporan Akhir RPJMD
17 Sebagian besar program/kegiatan dan rancangan anggaran pendukung pencapaian SPM tercantum dalam dokumen Laporan Akhir RPJMD VII. Penetapan Dokumen Perencanaan
18 Program dan Kegiatan Pendukung pencapaian SPM serta kerangka anggaran disepakati oleh pihak legislatif
Tabel 5.10 Check list Integrasi SPM Dalam Dokumen Perencanaan Tahunan No Tahap Perencanaan/Questioners
Status Ya
I. Persiapan 1 Tim Perencanaan Daerah/ SKPD telah memahami/mendapat pembekalan tentang Permendagri 54/2010 dan Metoda Costing SPM II. Penyusunan Rancangan Dokumen Perencanaan A. Pengumpulan dan Pengolahan Data 2 Form Capaian SPM telah dilampirkan dalam Form Indikator Kunci yang perlu diisi oleh SKPD/Subdin Terkait
Waktu
Tdk
Jadwal
Keterangan
Pelaksanaan
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
87
No Tahap Perencanaan/Questioners
Status
Ya Tdk B. Analisis Capaian Kinerja Pelayanan 3 Form capaian SPM telah disusun untuk melengkapi form capaian indikator kunci penyenggaraan pemerintahan daerah C. Perumusan Isu Strategis dan Penetapan Tujuan dan Sasaran 4 Hasil capaian SPM yang rendah ditetapkan sebagai bagian dari isu strategis dan tujuan/ sasaran pembangunan daerah/SKPD D. Perumusan Strategi dan Kebijakan 5 Strategi dan Kebijakan pencapaian SPM menjadi bagian dari rumusan Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah/SKPD E. Perumusan Program dan Kegiatan 6 Program dan Kegiatan penunjang pencapaian SPM diprioritaskan dalam rumusan program dan kegiatan pembangunan daerah/SKPD III. Musrenbang 7 Pencapaian SPM disepakati stakehoder di setiap tahap dan tingkatan pelaksanaan Musrenbang (Musrengbangkel, Musrenbangkec, Forum SKPD, Musrenbangda) IV. Penyusunan Rancangan Akhir Dokumen Perencanaan 8
Sebagian besar program/kegiatan dan rancangan anggaran pendukung pencapaian SPM tercantum dalam dokumen Rancangan Akhir V. Penetapan Dokumen Perencanaan 9 Program dan Kegiatan Pendukung pencapaian SPM serta kerangka anggaran disepakati oleh pihak eksekutif/legislatif VI Penyusunan KUA/PPAS 10 Program dan Kegiatan pendukung pencapaian SPM menjadi prioritas dalam penganggaran daerah VII. Penyusunan RKA SKPD/RAPBD 11 Program dan Kegiatan pendukung pencapaian SPM dianggarkan dalam RKA SKPD/RAPBD VIII. Penetapan APBD 12 Program dan Kegiatan pendukung pencapaian SPM ditetapkan dalam DPA SKPD/APBD
88
Waktu Jadwal
Keterangan
Pelaksanaan
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB V STANDAR PELAYANAN MINIMAL
89
BAB VI ANALISIS APBD
90
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Modul ini dimaksudkan supaya peserta dapat memahami dan menerapkan analisis belanja dalam APBD, mampu mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip pro-poor, pro-growth, pro-job dan responsif gender serta dapat menganalisis prioritas anggaran KUA PPAS. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
APBD
Belanja, surplus, desit
2.
Analisis Belanja Daerah
Rasio , belanja,alokasi
3
Kebijakan APBD
alokasi, prioritas, plafon
Bahan Bacaan: 1. Mardiasmo. (2006). Implementasi Permendagri No. 13 Tahun 2006 dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Makalah; 2. Kementerian Keuangan Republik indonesia (2014), Deskripsi dan Analisis APBD 2014; 3. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Desit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Desit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 11. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
6.1 Peranan Pendapatan dan Anggaran untuk Meningkatkan Pelayanan Publik Pelaksanaan desentralisasi skal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat. Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/pelayanan publik yang optimal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrument kebijakan skal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benarbenar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat.
BAB VI ANALISIS APBD
91
Supaya dapat melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah, diperlukan suatu alat analisis mengenai APBD secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota. Analisis APBD dapat dilakukan dari beberapa aspek keuangan seperti pendapatan, belanja, surplus/ desit, dan pembiayaan. Alat analisis ini memerlukan data sekunder berupa data APBD tahun berjalan, realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk melakukan analisis time-series. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus memenuhi jadwal proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan dan penyampaian rancangan kebijakan umum anggaran dan rancangan perioritas plafon anggaran sementara (PPAS) oleh pemerintah daerah kepada DPRD untuk dibahas dan disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli. Selanjutnya KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama tersebut, akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menyusun, menyampaikan dan membahas RAPBD, antara pemerintah daerah dan DPRD sampai dengan tercapainya persetujuan bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD, terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD. Karena itu, modul ini dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada peserta dalam menganalisis belanja daerah dan kebijakan APBD. Kami mengharapkan agar modul ini dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi skal. Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan skal adalah melalui APBD. Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumbersumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang muncul apabila terjadi surplus atau desit. Pendapatan daerah bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah (surplus/desit), dan untuk selanjutnya ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi desit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah, penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda pelaksanannya. Supaya dapat melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah, diperlukan suatu alat analisis mengenai APBD secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota. Analisis APBD dapat dilakukan dari beberapa aspek keuangan seperti pendapatan, belanja, surplus/ desit, dan pembiayaan. Alat analisis ini memerlukan data sekunder berupa data APBD tahun berjalan, realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk melakukan analisis time-series.
6.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD terdiri atas:
92
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Anggaran pendapatan, terdiri atas: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain; b. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus; c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. 3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
6.2.1 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. 2. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah. 4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan esiensi dan efektitas perekonomian daerah. 5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
6.2.2 Sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berikut ini adalah sumber-sumber penerimaan pemerintah daerah (subnasional): 1. User Charges (Retribusi) Dianggap sebagai sumber penerimaan tambahan, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan esiensi dengan menyediakan informasi atas permintaan bagi penyedia layanan publik dan memastikan apa yang disediakan oleh penyedia layanan publik minimal sebesar tambahan biaya (Marginal Cost) bagi masyarakat. Ada tiga jenis retribusi, antara lain: a. Retribusi perizinan tertentu (service fees) Seperti penerbitan surat izin (pernikahan, bisnis, kendaraan bermotor) dan berbagai macam biaya yang diterapkan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan. Pemberlakuan biaya/tarif kepada masyarakat atas sesuatu yang diperlukan oleh hukum tidak selalu rasional. b. Retribusi jasa umum (Public Prices) Adalah penerimaan pemerintah daerah atas hasil penjualan barang-barang privat dan jasa. Semua penjualan jasa yang disediakan di daerah untuk dapat diidentikasi secara pribadi dari biaya manfaat publik untuk memberikan tarif atas fasilitas hiburan/rekreasi. Biaya tersebut seharusnya diatur pada tingkat kompetisi swasta, tanpa pajak dan subsidi, di mana itu merupakan cara yang paling esien dari pencapaian tujuan kebijakan publik, dan akan lebih baik lagi jika pajak subsidi dihitung secara terpisah.
BAB VI ANALISIS APBD
93
c. Retribusi jasa usaha (specic benet charges) Secara teori, merupakan cara untuk memperoleh keuntungan dari pembayar pajak yang kontras seperti pajak bahan bakar minyak atau pajak Bumi dan Bangunan. 2. Property Taxes (Pajak Bumi dan Bangunan) Pajak Property (PBB) memiliki peranan yang penting dalam hal keuangan pemerintah daerah, pemerintah daerah di kebanyakan negara berkembang akan mampu mengelola keuangannya tapi hak milik berhubungan dengan pajak property. Jika pemerintah daerah diharapkan untuk memerankan bagian penting dalam keuangan sektor jasa (contoh: pendidikan, kesehatan), sebagaimana seharusnya mereka akan membutuhkan akses untuk sumber penerimaan yang lebih elastis. 3. Excise Taxes (pajak cukai) Pajak cukai berpotensi signikan terhadap sumber penerimaan daerah, terutama pada alasan administrasi dan esiensi. Terutama cukai terhadap pajak kendaraan. Pajak tersebut jelas dapat dieksploitasi lebih lengkap daripada yang biasanya terjadi di sebagian besar negara yaitu dari perspektif administratif berupa pajak bahan bakar dan pajak otomotif. Pajak bahan bakar juga terkait penggunaan jalan dan efek eksternal seperti kecelakaan kendaraan, polusi dan kemacetan. Swastanisasi jalan tol pada prinsipnya dapat melayani fungsi pajak manfaat, didasarkan pada tur umur dan ukuran mesin kendaraan (mobil lebih tua dan lebih besar biasanya memberikan kontribusi lebih kepada polusi), lokasi kendaraan (mobil di kota-kota menambah polusi dan kemacetan), sopir catatan (20 persen dari driver bertanggung jawab atas 80 persen kecelakaan), dan terutama bobot roda kendaraan (berat kendaraan yang pesat lebih banyak kerusakan jalan dan memerlukan jalan yang lebih mahal untuk membangun). 4. Personal Income Taxes (Pajak Penghasilan) Di antara beberapa negara di mana pemerintah sub-nasional memiliki peran pengeluaran besar dan sebagian besar otonom skal adalah Negara-negara Nordik. Pajak pendapatan daerah ini pada dasarnya dikenakan pada sebuah at, tingkat daerah didirikan pada basis pajak yang sama sebagai pajak pendapatan nasional dan dikumpulkan oleh pemerintah pusat.
6.3 Analisis Belanja Daerah Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi skal di Indonesia, titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan Dana Transfer ke Daerah/kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN. Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah. Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang penting dalam meningkatkan akses masyarakat
94
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian daerah secara luas. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu daerah pro poor, growth, and jobs responsif terhadap gender. Pada komponen Belanja Daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah, dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per Kapita). Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya, dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran Belanja Pegawai, dan sebagainya.
6.3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD. Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan, sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib. Anggaran juga harus diprioritaskan pada peningkatan kesejahteraan dalam hal ini kelompok yang paling lemah seperti anak-anak, perempuan miskin dan kelompok yang tidak mampu mengakses hasil-hasil pembangunan karena rendahnya keterwakilan mereka (responsif gender).
BAB VI ANALISIS APBD
95
6.3.2 Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Alokasi anggaran diupayakan dapat meningkatkan kinerja pemerintah dan kesejahteraan rakyat. Lambat laun alokasi untuk pengeluaran rutin harus dikurangi agar dana bisa digunakan lebih banyak untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyrakat. . Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada tahun 2012. Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai sebesar 51,62%. Gambar 6.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai. Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik. Gambar 6.1
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
60%
51,62%
50% 40% 30%
40,87% 22,79%
20%
0%
DKI Jakarta Kalimantan Utara Papua Barat Kalimantan Timur Papua Kepulauan Riau Riau Banten Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Aceh Kalimantan Selatan Maluku Utara Bangka Belitung Kalimantan Barat Jambi Jawa Barat Sulawesi Barat Bali Maluku Sulawesi Tenggara Jawa Timur Sulawesi Tengah Lampung Gorontalo Sulawesi Utara Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Bengkulu DI Yogyakarta Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan
96
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%. Gambar 6.2
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
70%
564,0%
60%
51,0%
50% 43,6% % 40% 30% 20% 0%
Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Sulawesi Tengah Bengkulu Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Bali Kalimantan Timur Papua Maluku Utara Kepulauan Riau Gorontalo Sulawesi Barat Riau Sulawesi Utara Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Jawa Timur Papua Barat Jambi Lampung Jawa Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Jawa Tengah Sumatera Barat Sumatera Utara Banten Kalimantan Utara Maluku DKI Jakarta
10%
Sumber: DJPK (Data Diolah)
6.3.3 Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi 1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Gambar 6.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%). Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun 2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota seprovinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu sebesar 25,94%.
BAB VI ANALISIS APBD
97
Gambar 6.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30% 25% 20% 17,65% 15% 10%
8,21%
0%
Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu
5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
2. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Gambar 5.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk membayar gaji guru daerah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%. Gambar 6.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70% 54,7%
60% 50% 40% 30% 20%
62,9%
46,9%
10% Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Bali Kalimantan Selatan Bengkulu Papua Kalimantan Timur Kepulauan Riau Maluku Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Utara Riau Jawa Timur Sulawesi Barat Gorontalo Jawa Barat Papua Barat Kalimantan Utara Jawa Tengah Lampung Jambi Banten Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Maluku
0%
Sumber: DJPK 2013 (Data Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
98
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.3.4 Pemerintah Provinsi 1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 17,65%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rasionya di tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Gambar 5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 8,21%. Gambar tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi . Gambar 6.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
35%
30,08%
30% 25% 20% 17,65% 15% 10%
8,21%
0%
Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu
5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
6.3.5 Per Wilayah 1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Gambar 6.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/ kegiatan non pegawai.
BAB VI ANALISIS APBD
99
Gambar 6.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah 47,52%
50% 41,10%
41,06% 39,54%
40% 32,29% 30%
35,75%
20% 10% 0% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Gambar 6.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah. Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administrative jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak esien. Gambar 6.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
56% 54% 51,99%
52%
50,41%
50% 48,22%
48%
50,00% 47,66%
46% 44% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: DJPK 2014 (Diolah)
100
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.4 Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh signikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri.
6.4.1 Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Gambar 6.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada di atas rata-rata. Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%. Gambar 6.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
50%
44,75%
40% 25,86%
30% 20% 15,30% 10%
DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Jawa Barat Jawa Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Gorontalo Maluku Sulawesi Barat Sulawesi Utara Lampung Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kalimantan Barat Kepulauan Riau Papua Maluku Utara Sulawesi Tenggara Papua Barat Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Banten Jambi Kalimantan Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara DKI Jakarta
0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
BAB VI ANALISIS APBD
101
6.4.2 Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada Gambar 6.9 memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2013 sebesar 25,36%, serta tahun 2012 sebesar 24,1%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 15,73%. Gambar 6.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
50%
45,82%
40% 26,14%
30% 20% 15,73% %
0%
DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Utara Maluku Lampung Bengkulu Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara Maluku Utara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Banten Jambi Kalimantan Selatan Papua Papua Barat Sumatera Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
6.4.3 Pemerintah Provinsi Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Gambar 6.10. Gambar tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah adalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta tahun 2012 sebesar 17,4%. Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20 pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar 44,75%.
102
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 6.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 50%
44,75%
40% 30% 19,56%
20%
0%
6,56%
Jawa Barat Jawa Timur Bali Jawa Tengah Sulawesi Tengah DI Yogyakarta Sulawesi Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Maluku Lampung Kalimantan Utara Papua Sulawesi Utara Riau Gorontalo Sulawesi Barat Aceh Bangka Belitung Sumatera Barat Banten Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Papua Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Jambi Maluku Utara Sulawesi Tenggara DKI Jakarta
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
6.4.4 Per Wilayah Gambar 6.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Gambar tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%. Gambar 6.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 40%
35,19%
30%
26,56% 22,77%
20%
23,86%
26,80% 25,60%
10%
0% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
BAB VI ANALISIS APBD
103
6.5 Rasio Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur.
6.5.1 Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Gambar 6.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp0,302 juta. Gambar 6.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 9.000.000
7.836.252
8.000.000 7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000
-
1.586.001 302.451 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Banten Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Gorontalo Bengkulu Sumatera Selatan Sulawesi Utara Maluku Jambi Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Aceh Riau Kalimantan Tengah Maluku Utara DKI Jakarta Papua Kalimantan Timur Papua Barat Kalimantan Utara
2.000.000 1.000.000
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
6.5.2 Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus. Gambar 6.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih
104
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
rendah dari rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak 8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar Rp0,271 juta. Gambar 6.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 8.000.000
7.216.717
7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000
-
1.248.389
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Nusa Tenggara Barat Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Sumatera Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Barat Bengkulu Bangka Belitung Sulawesi Utara Sumatera Selatan Jambi Maluku Aceh Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Riau Maluku Utara Kalimantan Tengah Papua Papua Barat Kalimantan Timur Kalimantan Utara
2.000.000 1.000.000 271.755 2
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
6.5.3 Pemerintah Provinsi Gambar 6.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di bawah ratarata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas ratarata nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta. Gambar 6.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi 3.200.000
2.916.7
2.800.000 2.400.000 2.000.000 1.600.000 1.200.000 800.000 -
374.329 30.696 Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Bali Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Lampung DI Yogyakarta Sumatera Selatan Kalimantan Barat Banten Sumatera Barat Bengkulu Maluku Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Jambi Riau Kalimantan Tengah Bangka Belitung Kalimantan Selatan Maluku Utara Kepulauan Riau Aceh Kalimantan Utara Papua Kalimantan Timur Papua Barat DKI Jakarta
400.000
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
BAB VI ANALISIS APBD
105
6.5.4 Per Wilayah Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 6.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta. Gambar 6.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *) 3.000.000 2.482.181
2.500.000 2.000.000
1.550.466 1.500.000
1.309.836 1.057.273
1.000.000
913.355
500.000 Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
6.6 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah Belanja Bantuan Sosial merupakan salah satu pos dalam belanja tidak langsung. Secara denisi, bantuan sosial adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain yaitu bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan kumuh, pondok pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, serta penyediaan akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu, pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
106
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.6.1 Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD 2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan ratarata pada tahun 2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Gambar 6.16 di bawah ini. Gambar 6.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 3,50%
3,06%
3,00% 2,50% 2,00% 1,50% 1,00%
0,92%
0,00%
Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Riau Lampung Maluku Kalimantan Selatan Bangka Belitung Kalimantan Timur Jawa Barat Sumatera Utara Jawa Tengah Sulawesi Utara Sumatera Barat Maluku Utara Jawa Timur Gorontalo Kalimantan Utara Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah Jambi Banten Sulawesi Barat DI Yogyakarta Bali Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Aceh Bengkulu Kepulauan Riau Papua Barat Papua
0,50% 0,17%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
6.6.2 Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. Dari Gambar 6.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio terendah, yaitu sebesar 0,20%.
BAB VI ANALISIS APBD
107
Gambar 6.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 4,50%
4,03%
4,00% 3,50% 3,00% 2,50% 2,00% 1,50%
0,87%
1,00% 0,50% 0,20%
Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Riau Maluku Lampung Kalimantan Tengah Bengkulu Kalimantan Selatan Maluku Utara Bali Sulawesi Utara Bangka Belitung Banten Jawa Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Timur Sumatera Utara Jawa Tengah Jambi Sumatera Barat Jawa Timur Sulawesi Barat Kalimantan Utara Gorontalo DI Yogyakarta Aceh Nusa Tenggara Barat Kepulauan Riau Papua Papua Barat
0,00%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
6.6.3 Pemerintah Provinsi Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pada APBD 2013 sebesar 1,06%. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja bantuan sosial tersebut, terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata, sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Gambar 6.18 menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar 0,0002% dari total belanja daerah. Gambar 6.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 7,86%
1,05%
Sumatera Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Sumatera Utara Kalimantan Barat Lampung Kalimantan Timur Bangka Belitung Jawa Timur Jawa Barat Gorontalo Sulawesi Tengah Riau Jawa Tengah Kalimantan Utara Maluku DI Yogyakarta Papua Barat Sulawesi Utara Sulawesi Barat Jambi Maluku Utara Banten Kepulauan Riau Nusa Tenggara Timur Papua DKI Jakarta Nusa Tenggara Barat Kalimantan Tengah Aceh Bali Bengkulu
8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0,00% 0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
108
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.6.4 Per Wilayah Untuk memetakan rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah berdasarkan clustering wilayah, daerah di Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah. Gambar 6.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan social terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%. Gambar 6.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) 2,50% 2,02%
2,00% 1,50% 0,93%
1,00% 0,82% 0,50%
0,39%
0,52%
0,00% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
6.7 Kebijakan APBD 6.7.1 Kebijakan Umum APBD Kebijakan Umum APBD (KUA) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. Kepala Daerah berdasarkan RKPD menyusun rancangan kebijakan umum APBD berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Kepala daerah menyampaikan rancangan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan RAPD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun anggaran berikutnya. Substansi KUA mencakup hal-hal yang sifatnya kebijakan umum dan tidak menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis. Hal-hal yang sifatnya kebijakan umum, seperti: gambaran kondisi ekonomi makro termasuk perkembangan indikator ekonomi makro daerah, asumsi dasar penyusunan RAPBD, termasuk laju inasi, pertumbuhan PDRB, kebijakan pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah, kebijakan pembiayaan. Rancangan kebijakan umum APBD yang telah dibahas kepala daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPD selanjutnya disepakati menjadi Kebijakan Umum APDB.
BAB VI ANALISIS APBD
109
Gambar 6.20 Proses Penyusunan KUA Mendagri
Ditetapkan Setiap tahun
RKPD
Pedoman Penyusunan APBD
Berpedoman pada
Berdasarkan Mendagri
Menyusun
Rancangan Kebijakan APBD
Selambat-lambatnya pertengahan Juni Tahun anggaran berjalan Menyampaikan DPRD Kepada
Dibahas bersama dengan pembicaraan pendahuluan RAPD Disepakati
Menjadi
Kebijakan Umum APBD
Rancangan KUA disusun oleh Kepala Daerah dibantu oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA memuat target Pencapaian Kinerja yang terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh Pemda untuk setiap urusan pemerintahan daerah. Disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya. Program-program dimaksud diselaraskan dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah. Asumsi yang mendasarinya mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan skal yang ditetapkan pemerintah. Proses Penyusunan KUA adalah sebagai berikut: Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah kepada Kepala Daerah paling lambat awal Bulan Juni. Rancangan KUA disampaikan oleh Daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan Bulan Juni Tahun Anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Rancangan KUA yang telah dibahas disepakati menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan. Sedangkan format KUA adalah: 1. Pendahuluan. Ini berisi uraian kondisi/prestasi yang telah dicapai pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan perkiraan pencapaian pada tahun anggaran yang akan datang. Uraian ringkasan identikasi permasalahan/ hambatan dan tantangan utama yang dihadapi pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan tahun yang akan datang. 2. Gambaran Umum RKPD. Ini memuat gambaran umum prioritas pembangunan daerah yang diamanatkan dalam RKPD untuk menyesuaikan permasalahan/hambatan dan tantangan utama. Menjawab tantangan yang mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mendukung upaya mewujudkan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam RPJMD. 3. Kerangka Ekonomi Makro dan Implikasinya Terhadap Sumber Pendanaan. Ini menjelaskan asumsi, kondisi yang telah terjadi dan diperkirakan akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan KUA. Contoh asumsi dan kondisi: laju inasi, pertumbuhan ekonomi regional, tingkat
110
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
pengangguran regional, lain-lain asumsi yang relevan dengan kondisi daerah setempat. Dalam rangka implementasinya asumsi dan kondisi yang menjadi dasar pencapaian sasaran, KUA harus mampu menjelaskan kebijakan penganggaran sesuai kebijakan pemerintah. Kondisi yang berbeda akan menghasilkan target/sasaran yang berbeda. Juga diuraikan tentang perkiraan penerimaan untuk mendanai seluruh pengeluaran pada tahun yang datang, baik dari PAD, DAU, DBH, dan DAK maupun dari pinjaman dan hibah. 4. Penutup. Ini menyatakan bahwa rancangan KUA disusun untuk dibahas dan disepakati sebagai dasar penyusunan dan pembahasan prioritas dan plafon anggaran sementara.
6.7.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Adalah program prioritas dan patokan batasan maksimum anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Substansi PPAS lebih mencerminkan prioritas pembangunan daerah yang dikaitkan dengan sasaran yang ingin dicapai termasuk program prioritas dari SKPD terkait. PPAS juga menggambarkan pagu anggaran sementara di masing-masing SKPD berdasarkan program dan kegiatan prioritas dalam RKPD. Pagu sementara tersebut akan menjadi pagu denitif setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD disetujui bersama antara kepala daerah dengan DPRD serta rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD. Untuk menjamin konsistensi dan percepatan pembahasan KUA dan rancangan PPAS Kepala Daerah harus menyampaikan rancangan KUA dan rancangan PPAS tersebut kepada DPRD dalam waktu yang bersamaan, juga selanjutnya. Hasil pembahasan kedua dokumen tersebut disepakati bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD pada waktu yang bersamaan, sehingga keterpaduan substansi KUA dan PPAS dalam proses penyusunan RAPBD akan lebih efektif. Gambar 6.21 Proses Penyusunan PPAS Berdasarkan Kebikjakan Umum APBD Pemerintah Daerah Langkah-langkah pembahasan PPAS Menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilhan Menentukan urutan program dalam masing-masing urusan Menyusun sementara untuk masing-masing program
Membahas
Rancangan PPAS Sementara disepakati menjadi PPAS
DPRD Paling lambat minggu ke 2 Juli tahun anggaran sebelumnya Program prioritas dan patokan batas maksimum anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD
Rancangan PPAS disusun berdasarkan KUA yang telah disepakati. Kepala daerah menyampaikan Rancangan PPAS kepada DPRD untuk dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Pembahasan dilakukan TAPD bersama Panitia Anggaran. Rancangan PPAS disepakati menjadi PPA paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan. PPAS memiliki format sebagai berikut:
BAB VI ANALISIS APBD
111
Pendahuluan. Ini berisi uraian kondisi/prestasi yang telah dicapai pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan perkiraan pencapaian pada tahun anggaran yang akan datang. Uraian ringkas identitas permasalahan/ hambatan dan tantangan utama yang dihadapi pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan tahun yang akan datang. Kebijakan Umum APBD. Ini memuat gambaran ringkas tentang target pencapaian kinerja yang terukur dari setiap urusan pemerintahan daerah dan proyeksi pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah sebagai dasar penentuan prioritas program dan plafon anggaran menurut bidang pemerintahan. Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah. Ini memuat penjelasan tentang asumsi makro ekonomi yang disepakati tentang implikasi kemampuan skal daerah, kebijakan yang ditempuh dalam upaya peningkatan pendapatan daerah, faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terjadinya atau terjadinya peningkatan belanja daerah dan kebijakan pemerintah daerah di bidang pembiayaan daerah. Penjelasan tersebut secara ringkas digambarkan dalam ringkasan Proyeksi APBD. Prioritas Program dan Plafon Anggaran. Plafon Anggaran Menurut Organisasi. Ini menguraikan tentang prioritas dan plafon anggaran yang disepakati mencakup capaian sasaran program, dasar pertimbangan penentuan besaran pagu indikatif untuk mencapai sasaran program serta hal-hal yang perlu mendapat perhatian SKPD dalam menjabarkan program lebih lanjut ke dalam masingmasing kegiatan. Penutup. Ini menyatakan bahwa rancangan PPAS disusun untuk dibahas dan disepakati sebagai dasar penyusunan Rancangan Perda tentang APBD.
112
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB VI ANALISIS APBD
113
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
114
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan mengenai konsep dan struktur pendapatan daerah serta inovasi kebijakan dalam peningkatan pendapatan daerah. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
Pengertian Pendapatan Daerah
PAD, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah.
2
Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah.
3
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
PAD yang Dominan
4
Dasar Hukum PAD
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
5
Pengertian Dana Perimbangan
DBH, DBH-Pajak, DBH-SDA, DAU, DAK
6
Pengertian Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Hibah, Dana Darurat, Bagi Hasil Pajak
7
Gagasan Kebijakan Penentuan Pendapatan Daerah
Inovasi, Evaluasi, Kinerja
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara; 5. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; 6. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA; 7. Nick Devas (1989); 8. Mardiasmo (2007), Perpajakan.
7.1 Pengertian Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih selain itu pengertian lain tentang pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan. Pendapatan daerah merupakan semua sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, antara lain pajak daerah dan retribusi daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, serta pendanaan melalui pemerintah pusat, yang disebut juga sebagai dana transfer, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
115
Gambar 7.1
Struktur Pendapatan Daerah PENDAPATAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pajak Kab/Kota
Retribusi Daerah
PBB dan BPHTB Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Sarang Burung Walet Pajak Mineral Bukan Logam Pajak Parkir Retribusi Jasa Usaha Retribusi Jasa Umum Retribusi Perizinan Tertentu
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Pasar Grosir Terminal Pemakaian Aset Daerah Pelayanan Kesehatan Pelayanan Persampahan Pelayanan KTP dan Capil Izin Mendirikan Bangunan Izin Tempat Usaha Izin Gangguan
Lain-lain PAD yang Sah
2.Dana Perimbangan
3.Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Bagi Hasil Pajak dan SDA Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) Bagi Hasil dari Provinsi Bantuan dari Provinsi Hibah Dana Penyesuaian Lain-lain
Bagi Hasil Pajak Kendaraan Bermotor Bagi Hasil Bea Balik Nama Kend. Bermotor Bagi Hasil Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor Bagi Hasil Pajak Air Permukaan Dana BOS, TPG, Dana Insentif Daerah
7.2 Pengertian Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Kebijakan PAD dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Desentralisasi skal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik, tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signikan. Hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya. UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. Selanjutnya, tujuan yang tak kalah penting adalah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
116
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap skal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undangundang (Closed-List). 3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang. 4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. 5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Adapun materi yang diatur dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sebagai berikut: 1. Penambahan jenis pajak daerah Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu: 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/ kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTP, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. 2. Penambahan jenis retribusi daerah Tedapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Ters Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Perlu dicatat bahwa berdasarkan PP No. 97 Tahun 2012, terdapat penambahan 2 jenis retribusi yaitu Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 32 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. 3. Perluasan basis pajak daerah Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermtor, termasuk Kendaraan Pemerintah; b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga. 4. Perluasan basis retribusi daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5. Kenaikan tarif maksimum pajak daerah Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi dan pelestarian/perbaikan lingkungan.
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
117
6. Bagi hasil pajak provinsi Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/ kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat 7. Earmarking Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-eamark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat Indonesia. Penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan berdasarkan asas otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, daerah harus mempunyai sumber keuangan agar daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada daerah harus seimbang dengan beban atau urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Ketika daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk membiayai urusan pemerintahan dan khususnya urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar, pemerintah pusat dapat menggunakan instrumen DAK untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai.
7.3 Sumber-sumber PAD Kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas: 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah; 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undangundang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Adapun jenis pajak daerah terdiri atas: 1) Jenis Pajak Provinsi, terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. 2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
118
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sedangkan retribusi daerah terdiri atas: 1) Jenis Retribusi Jasa Umum adalah: a. Retribusi Pelayanan Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil; d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; f. Retribusi Pelayanan Pasar; g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus; k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 2) Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah: a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi Tempat Pelelangan; d. Retribusi Terminal; e. Retribusi Tempat Khusus Parkir; f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g. Retribusi Rumah Potong Hewan; h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; j. Retribusi Penyeberangan di Air; k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. 3) Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Izin Gangguan; d. Retribusi Izin Trayek; e. Retribusi Izin Usaha Perikanan. Sedangkan Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: 1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; 3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. 2. 3. 4. 5.
Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; Jasa giro; Pendapatan bunga; Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
119
6. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 7. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; 8. Pendapatan denda pajak; 9. Pendapatan denda retribusi; 10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; 11. Pendapatan dari pengembalian; 12. Fasilitas sosial dan fasilitas umum; 13. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan 14. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
7.4 Dasar Hukum PAD Dasar hukum PAD terdiri dari: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 5. Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
7.5 Pengertian Dana Perimbangan Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatankegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan skal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan skal ini pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Dengan adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya. Dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selain DAU adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana perdesaan, perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan pemerintah daerah diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan sik. Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: 1. Dana bagi hasil; 2. Dana alokasi umum; 3. Dana alokasi khusus.
120
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. Bagi hasil pajak; 2. Bagi hasil sumber daya alam. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Sedangkan jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu terdapat bentuk dana transfer lain seperti Transfer Pemerintah Pusat (Daper, Dana Otsus, Dana Keistimewaan, dan Dana Desa) dan Transfer Antardaerah (Pendapatan Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan).
7.6 Pengertian Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1. Hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; 3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; 5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Selain itu terdapat Jenis pajak yang akan dibagi hasilkan oleh provinsi ke masing-masing kota dan kabupaten, berikut proporsi pembagiannya sebagai berikut: 1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air dan bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, dengan porsi bagi hasil untuk kabupaten/kota sebesar 30%. 2. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dengan porsi bagi hasil untuk kabupaten/kota sebesar 70%. 3. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, dengan porsi bagi hasil untuk kabupaten/kota sebesar 70%. Sedangkan bagi hasil PPh Perseorangan, yang diatur dalam SK Gubernur.
7.7 Gagasan Kebijakan Pendapatan Daerah Semangat dan tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk mengurus dirinya sendiri terutama berkaitan dengan kemampuan keuangannya, yang sebelumnya lebih dominan dikelola oleh pemerintahan pusat. Untuk dapat memiliki kemampuan keuangan yang cukup, dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber penerimaan pendapatan yang memadai. Kemampuan keuangan yang memadai bagi tiap daerah mencirikan kemandirian daerah tersebut dalam melaksanakan prinsip-prinsip otoda. Oleh karenanya maka setiap daerah dituntut untuk mampu mengembangkan potensi pendapatan di daerahnya masing-masing. Tuntutan pengembangan potensi pendapatan daerah tersebut dapat direspon dengan menetapkan desain kebijakan penentuan pendapatan daerah. Beberapa kebijakan penentuan pendapatan daerah yang dapat dikembangkan oleh daerah, misalnya: (Kaho, 1988:123-125):
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
121
1. Peningkatan kreatitas dan inovasi untuk mengantisipasi tantangan maupun perkembangan, termasuk di dalamnya etos kerja yang tinggi. 2. Pemerintah menjadi penggerak swadaya masyarakat yang mempunyai rasa solidaritas sosial yang tinggi, peka terhadap dinamika masyarakat, mampu kerjasama, dan mempunyai orientasi berpikir people centered orientation. 3. Pemerintah disiplin yang tinggi dalam arti berpikir konsisten terhadap program, sehingga mampu menjabarkan kebijakan nasional menjadi program operasional pemerintah daerah sesuai dengan rambu-rambu pengertian program urusan yang ditetapkan. Dalam kaitan sikap kreatif dan memiliki jiwa inovatif ini, pemerintah daerah dapat memperolehnya dengan berbagai cara yang dapat disesuaikan dengan potensi dan potret daerah masing-masing yang berbeda satu sama lain. Beberapa rekomendasi gagasan penerapan kebijakan penentuan pendapatan daerah yang dapat dikembangkan antara lain: 1. Meningkatkan kinerja Perusahaan Daerah (PD) yang telah ada, serta menumbuhkan PD baru yang bebasis ekonomi produktif berdasarkan keunggulan daerah. Setiap daerah pasti memiliki komoditi keunggulan daerah masing-masing. Keunggulan yang dimiliki ini hendaknya dikelola dengan mengembangkan manajemen profesional melalui pendirian PD. Dengan demikian ini akan menjadi sumber penerimaan daerah sendiri yang tentu akan mengurangi ketergantungan terhadap pusat. Adapun terhadap PD yang telah ada sebelumnya, perlu dilakukan upaya-upaya inventarisasi serta pendayagunaan dan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerjanya. Bila perlu dilakukan pembenahan-pembenahan penting untuk menghilangkan inesiensi PD. 2. Melakukan evaluasi ulang terhadap jumlah wajib pajak dan ralisasi terhadap perolehan pajaknya. Implementasi undang-undang tentang otoda dan desntralisasi skal membawa konsekuensi pada kemandirian daerah dalam mengoptimalkan penerimaan daerahnya termasuk pajak. Pengoptimalan penerimaan pajak dapat dilakukan melalui tindakan cross check mengenai informasi/pendataan mengenai jumlah WP dari Dispenda/Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) agar dapat dicapai angka yang maksimal terhadap perolehan pajak. Upaya ini merupakan bentuk penghindaran tidak tercatatnya pelaksanaan pemungutuan pajak (membayar tapi tidak tercatat rapi), sekaligus juga merupakan upaya penghitungan dan pencatatan kembali terhadap pajak-pajak yang tidak terbayar oleh WP. Selanjutnya, pada temuan mengenai tidak tertagihnya pajak-pajak tersebut, dapat dilakukan inovasi mengenai kemudahan membayar pajak di daerah dalam bentuk mengurangi kesulitan prosedur pembayaran pajak atau melakukan pemutihan terhadap pajak daerah yang usianya di atas 3-5 tahun. 3. Kerjasama dengan pihak ke tiga, yang merupakan lembaga-lembaga ekonomi untuk terlibat dalam ijin-ijin usaha yang meningkatkan PAD. 4. Menagih kekuatan BUMN di daerah untuk dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan PAD. Di setiap daerah pasti terdapat BUMN yang beroperasi di daerah tersebut. BUMN yang lazim berada di daerah misalnya BTN, BRI, dapat dioptimalkan kerjasamanya dalam rangka peningkatan pendapatan daerah. Kompensasi terhadap agenda lelang barang tidak bergerak maupun bergerak oleh bank yang dibeli masyarakat daerah terkait, atau peningkatan pembiayaan (kredit) kepada masyarakat, misalnya dapat di’tagih’ sebagai langkah peningkatan PAD, agar agenda kerja BUMN tersebut memberi manfaat pada ekonomi daerah; bisa dalam bentuk CSR atau lain-lain kerjasama 5. Membuat Perda baru yang strategis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. 6. Melakukan manajemen satu pintu/satu koordinasi sebagai evaluasi berkelanjutan terhadap dinasdinas “penghasil” pendapatan. Dinas-dinas penghasil pendapatan seperti Dinas Perhubungan, Perijinan, Bappeda, Pariwisata, Kesehatan, dan lain-lain, Kepala Daerah perlu membentuk tim koordinasi untuk melakukan sikroniasasi berkaitan dengan target, capaian dan indikator kinerja. Koordinasi ini dilakukan secara berkelanjutan, dalam rangka mengurangi kebocoran pendapatan.
122
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
CONTOH KASUS PENDAPATAN DAERAH Tip Hemat APBD ala Wali Kota Malang H Moch. Anton ”KALAU saya hanya mengandalkan dana APBD untuk membangun Kota Malang, ya sulit cepat maju,” ucap Anton dalam satu kesempatan. Satu keuntungan yang dimiliki Anton ketika menjabat wali kota adalah relasi sesama pengusaha yang sangat banyak. Dengan begitu, bukan hal yang terlalu sulit bagi dia menggaet pengusaha yang notabene rekan-rekannya sendiri untuk mengalirkan dana CSR. Kali pertama yang menawari dana CSR adalah bos Nikko Steel. Kebetulan, salah seorang pemilik perusahaan baja tersebut adalah teman Anton. Karena itu, begitu tahu Anton menjadi wali kota, Nikko Steel langsung menawarkan dana CSR-nya untuk Kota Malang. Proyek CSR pertama itu berupa dua bus wisata yang sudah dioperasikan. ”Yang hebat itu, bos Nikko Steel bilang ke saya tidak mau ada branding apa pun di setiap CSR-nya. Nah, kan jarang ada perusahaan seperti ini,” puji Anton. Tidak hanya bus wisata yang sudah diwujudkan. Nikko Steel juga membuat kereta gantung di Taman Merjosari senilai Rp 3,2 miliar. Bahkan, Nikko Steel sudah menyiapkan dana CSR untuk revitalisasi Taman Kota Hutan Malabar di Jalan Malabar. Nilainya miliaran rupiah. Sama dengan membantu bus, Nikko Steel juga tidak mau ada branding dari perusahaan baja itu menempel di Hutan Malabar. CSR lain yang sudah diwujudkan berasal dari pabrik rokok PT Bentoel dan pabrik kosmetik PT Beiersdorf. Dua perusahaan itu konsentrasi pada revitalisasi taman-taman kota. Dua taman besar telah dipermak PT Bentoel. Yakni, Taman Trunojoyo bagian selatan dan utara. Taman Trunojoyo yang sebelumnya kumuh kini menjadi jujukan wisata baru. Terutama sebagai taman edukasi anak-anak. Di situ telah terbangun arena permainan anak-anak dan taman baca. ”Semuanya berasal dari CSR Bentoel. Tidak sepeser pun dana APBD yang keluar untuk membangun taman sebagus itu,” kata pengusaha tetes tebu tersebut. ’’Gerilya’’ Anton untuk mendapatkan CSR pun berhasil menggaet PT Beiersdorf Indonesia. Perusahaan asing yang berkantor di Singosari itu mengalirkan dana CSR-nya untuk membangun Taman Merbabu. Tanah lapang seukuran tiga lapangan futsal di Jalan Merbabu yang selama bertahun-tahun tidak terawat kini telah disulap menjadi pusat permainan anak-anak dan olahraga. Di sana ada banyak jenis arena permainan anak. Ada pula lapangan futsal, peralatan gym, serta jogging track. ”Sama, di Taman Merbabu itu juga tidak ada dana APBD yang keluar. Semua biaya berasal dari CSR PT Beiersdorf dengan branding Nivea,” ungkap suami Dewi Farida Suryani itu. Satu program pemerintah yang disokong secara total oleh CSR adalah bedah rumah. Sudah ada 36 rumah di lima kecamatan yang dibedah dari dana CSR pengusaha properti yang tergabung dalam REI (Realestat Indonesia) Kota Malang. Program tersebut berkelanjutan dan terus berjalan sampai saat ini. CSR terbesar yang sudah mengalir berasal dari BRI. Dana Rp 5,9 miliar itu dialokasikan untuk mem-face off Alun-alun Merdeka. Sejak 25 Desember, face off Alun-alun Merdeka digarap. Ditargetkan pada April mendatang, wajah alun-alun yang menjadi salah satu ikon Kota Malang itu sudah berubah lebih cantik. ”Kami harus bisa menghemat dana APBD untuk kepentingan yang menyentuh rakyat langsung. Makanya, dana CSR diprioritaskan untuk membangun taman-taman,” tandas Anton.
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
123
Tidak Terima Uang Tunai APA kiat Anton meyakinkan pengusaha agar mengucurkan dana CSR-nya? Ada dua hal yang dilakukan Anton. Pertama, mempermudah birokrasi. Kedua, menjamin dana CSR tidak dikorupsi. Ya, dua hal itu yang membuat pengusaha merasa nyaman. ”Lha wong ini ada orang mau ngasih duit kok mau dibikin ribet, ya jelas lari dong. Makanya, bagaimana caranya agar semua urusan CSR ini saya bikin semudah mungkin. Alhamdulillah, berhasil,” terang Anton. Mempermudah birokrasi itu, misalnya, langsung dipertemukan dengan dinas terkait ketika ada pengusaha yang berniat memberikan CSR. Begitu ada kesepakatan, proyek langsung jalan. Tidak perlu meminta persetujuan DPRD atau instansi lain. Peran dinas adalah memutuskan bentuk dan konsep yang akan dibangun. Misal, taman akan dibuat model apa. Dinas pertamanan yang punya kewenangan. ”CSR itu mendanai saja,” ungkap alumnus ITN Malang itu. Para pengusaha juga semakin yakin karena Anton menjamin 100 persen dana CSR untuk pembangunan. Tidak boleh ada serupiah pun yang masuk ke kantong pribadi pejabat Pemkot Malang. Karena itu, Anton tidak mau dana CSR tersebut dialirkan ke Pemkot Malang, tapi langsung dirupakan sik bangunan atau barang. ”Jadi, kami sudah terima beres. Saya jamin tidak akan ada korupsi di CSR. Saya kira ini yang membuat pengusaha ramai-ramai menaruh CSR-nya di sini (Kota Malang),” ungkap dia. Dengan pola yang mudah tersebut, Anton menyatakan, para pengusaha saling mengontak dan mengajak teman-temannya untuk menaruh dana CSR-nya di Kota Malang. ”Terus terang saja, saat ini sudah antre pengusaha yang akan membawa CSR-nya,” terang pria yang juga ketua DPC PKB Kota Malang itu. (abm/c7/JPNN/c6/oni) http://www.jawapos.com/baca/artikel/12680/Tip-Hemat-APBD-ala-Wali-Kota-Malang-H-Moch-Anton 11/02/15, 16:10 WIB Diakses 28 Pebruari 2015
124
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB VII KEBIJAKAN PENDAPATAN DAERAH
125
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
126
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari bab ini, Anda seharusnya mampu melakukan manajemen aset sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini, Anda seharusnya mampu: 1. menjelaskan perkembangan peraturan pengelolaan BMD; 2. menjelaskan BMD dan isu pengelolaan BMD; 3. menjelaskan pengelolaan BMD yang efektif dan optimal. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1
Perkembangan Peraturan Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
PP 27/2014, PP 6/2006, Permendagri 17/2007, Peraturan BMD, Pengelolaan BMD
2
BMD dan Isu Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
Pengertian BMD, Isu Pengelolaan BMD
3
Efektitas dan Optimalisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
Siklus BMD, Pengelolaan BMD, Efektitas dan Optimalisasi Pengelolaan BMD
Bahan Bacaan: 1. Kemenkeu. 2010. Handbook Pokok-Pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah; 2. Mardiasmo,2004,Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,Good Governence Democratization, Local Government Financial Management, Public Policy, Reinventing Government, Accountability Probity, Value for Money, Participatory Development, Serial Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 70 Tahun 2012, Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 7. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara; 8. Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; 9. Sumini, Penatausahaan Barang Milik Daerah, STAN, 2010; 10. Sutaryo, Manajemen Aset Daerah, http:sutaryofe.staff.uns.ac.id/les/2011/10/manajemen-asetdaerah.pdf (25 Juni 2013); 11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
8.1 Perkembangan Peraturan Pengelolaan Barang Milik Daerah Regulasi terbaru tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Latar belakang munculnya peraturan ini adalah bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 sebagai dasar hukum pengelolaan BMD selama ini masih memiliki banyak kekurangan. Beberapa kekurangan tersebut di antaranya adalah belum adanya aturan khusus mengenai pengelolaan BMN/D yang meliputi sewa BMN/D, kerja sama pemanfaatan, maupun BMN yang terletak di luar negeri. Selain itu, masih terdapat
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
127
multitafsir terutama dalam hal Badan Layanan Umum dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana yang telah direvisi dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 tidak sesuai dengan dinamika pengelolaan BMN/D sekarang. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan atas peraturan tentang pengelolaan BMN/D. Hal ini juga didukung oleh temuan pemeriksaan BPK serta adanya kasus-kasus kecurangan terkait pengelolaan BMN/D. Pokok-pokok penyempurnaan yang dilakukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, meliputi : 1. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D; 2. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain; 3. Penguatan dasar hukum pengaturan; 4. Penyederhanaan birokrasi; 5. Pengembangan manajemen aset negara; 6. Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi. Dengan perubahan tersebut, diharapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ini mampu: (1) mengakomodir dinamika pengelolaan BMN/D, (2) meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D, (3) mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangan Pengguna dan Pengelola, dan (4) memiliki harmonisasi dengan peraturan terkait lainnya. Peraturan terbaru ini dapat menjadi dasar pengaturan yang lebih luas untuk menerapkan kebijakan secara lebih eksibel dalam pelaksanaan pemanfaatan BMN/D serta menyediakan skema baru sebagai alternatif dalam rangka pemanfaatan BMN/D di penyediaan infrastruktur. Tata cara pemanfaatan BMN/D pada peraturan ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 78/PMK.06/2014. Ada beberapa ketentuan tambahan yang baru diatur di PP 27 Tahun 2014 yaitu : a. Pengelolaan BMN/D pada Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah (Pasal 96 dan 97). Aset yang dikelola oleh Badan Layanan Umum dan Badan Layanan Umum Daerah merupakan bagian dari kekayaan negara. Permasalahannya saat ini, BLU dan BLUD tersebut adalah “barang baru” yang baru berkembang pesat dalam lima tahun terakhir yang berkembang akibat urgensi pemerintah untuk meningkatkan pelayanan ke masyarakat. Maka dari itu, seiring dengan peningkatan jumlah BLU/BLUD dalam lingkup keuangan negara, BMN/D yang berada di bawah penguasaan BLU/BLUD ini juga perlu diatur pengelolaannya dalam peraturan pemerintah terkait Pengelolaan BMN/D. Akuntabilitas dan transparansi BLU/BLUD perlu dijaga dan ditingkatkan guna maksimalisasi pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. b. Penambahan aturan terkait BMN/D berupa Rumah Negara (Pasal 98) Selama ini ada banyak sekali kasus di beberapa Kementerian/Lembaga yang berhubungan dengan penggunaan Rumah Negara yang tidak sesuai dengan tujuannya. Misalnya ada Rumah Negara dihuni oleh pensiunan secara tidak taat asas dan bahkan dimanfaatkan dengan jalan disewakan kepada Pihak Lain. Hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah. Pengawasan dan pengendalian atas Rumah Negara perlu diatur secara spesik sebagai bagian dari pengelolaan BMN/D. Dengan demikian, penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian BMN/D berupa Rumah Negara akan mempunyai payung hukum yang kuat. c. PNBP dari pengelolaan BMN/D (Pasal 1 ayat (13) dan Pasal 107 ayat (c) PNBP yang diperoleh dari pengelolaan BMN/D terutama dari pemanfaatannya merupakan bagian yang perlu diperhatikan. Selama ini PNBP terkesan menjadi sumber penerimaan yang
128
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Padahal sesungguhnya PNBP memiliki potensi yang cukup besar apabila dapat dikelola dengan efektif. Porsi PNBP dari pemanfaatan BMN/D dimasukkan dalam klasikasi PNBP lain-lain. Di antara seluruh jenis PNBP di APBN, PNBP Lain-lain adalah yang paling besar tingkat kebocorannya. Hal utama yang menyebabkan ini adalah ketiadaan regulasi yang memungkinkan Pemerintah melakukan pengawasan atas PNBP jenis tersebut. Akibatnya, pemungut PNBP di masing-masing K/L biasanya menyimpan sendiri dengan tidak menyetorkannnya ke Kas Umum Negara. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan terkait PNBP atas pengelolaan BMN/D adalah langkah penting yang seharusnya telah sejak lama diberlakukan oleh Pemerintah.
8.2 Pengertian BMD dan Struktur Kelembagaan BMD 8.2.1 Pengertian BMD Apa yang disebut dengan barang milik daerah (BMD)? Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (39) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 1 ayat (2), Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Yang dimaksud barang dalam hal ini adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang spesikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan lainnya yang sah adalah barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian yang lebih rinci dan teknis mengenai Barang Milik Daerah ini dijelaskan dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pada pasal 3 bahwa : 1. Barang Milik Daerah meliputi: Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD; Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2.
Barang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian /kontrak; Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penggunaan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 untuk menjelaskan secara teknis tentang Barang Milik Daerah ini mengacu kepada pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 bahwa menjelang terbitnya peraturan yang baru maka peraturan yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Dikaitkan dengan Pengelolaan Barang Milik Daerah maka siklus kegiatannya sekarang tidak lagi dapat mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 6/2006 melainkan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 27/2014. Perbandingan cakupan pengelolaan Barang Milik Daerah dari kedua peraturan ini dapat dilihat pada Tabel berikut :
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
129
Tabel 8.1 Perbandingan Cakupan Pengelolaan Barang Milik Daerah Peraturan Pemerintah No. 6/2006 (Pasal 3 ayat 2)
Peraturan Pemerintah No 27/2014 (Pasal 3 ayat 2)
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Penghapusan 8. Pemindahtanganan 9. Penatausahaan 10. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Pemindahtanganan 8. Pemusnahan 9. Penghapusan 10. Penatausahaan 11. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
Perubahan yang dilakukan dalam PP No.27/2014 adalah penambahan kegiatan Pemusnahan dalam Siklus Pengelolaan BMN/D. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan sik dan/atau kegunaan Barang Milik Negara/Daerah. Kegiatan Pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam peraturan pemerintah sebelumnya. Munculnya kegiatan pemusnahan mendorong terjadinya peningkatan esiensi pengelolaan BMN/D sekaligus meningkatkan akuntabilitas Pengelola maupun Pengguna BMN/D. Dengan munculnya kegiatan Pemusnahan maka kegiatan Penghapusan otomatis menjadi akhir (ending point) dari siklus pengelolaan BMN/D. Siklus pengelolaan BMN/D menurut Peraturan Pemerintah No.7/2014 tersebut dapat di lihat pada gambar berikut : Gambar 8.1
Siklus Pengelolaan BMN/D
Perolehan Lain
Perencanan Kebutuhan Penganggaran
APBN/D
REGULER: PENGAMANAN DAN PEMELIHARAAN PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pendaftaran
PENETAPAN STATUS PENGGUNAAN
SIKLUS PENGELOLAAN BMN/D
INSIDENTIL: PEMANFAATAN
BMN/D
PENILAIAN
- Sewa - Pinjam Pakai - Kerja Sama Pemanfaatan - Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
PENATAUSAHAAN
PEMUSNAHAN
PEMINDAHTANGANAN
Penjualan Hibah Tukar Menukar Penyertaan Modal
PENGHAPUSAN
130
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara telah memunculkan optimisme baru dalam penataan dan pengelolaan aset negara. Sesuai dengan Peraturan Pemerintrah No.27/2014 pasal 3 ayat (1), bahwa pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, esiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pengelolaan aset daerah yang lebih profesional dan modern dengan mengedepankan good governance diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara/daerah. Pengelolaan aset negara/daerah tidak lagi sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berkir dalam menangani aset negara/daerah, dengan bagaimana meningkatkan esiensi, efektitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara/ daerah mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara). Gambar 8.2
Contoh Hasil Pengelolaan Aset Negara/Daerah Paradigma Lama
Paradigma Baru
Sumber: id.berita.yahoo.com
8.2.2 Struktur Kelembagaan Organisasi Pengelola BMD Pemegang kekuasaan tertinggi pengelola keuangan negara ada ditangan Presiden. Selanjutnya Presiden memberikan kewenangan/menyerahkan pengelolaan keuangan daerah dan wakil pemerintah daerah atas kekayaan daerah yang dipisahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota. Untuk pengelolaan keuangan negara di level kementrian negara/lembaga, dikuasakan kepada Menteri Keuangan sebagai pengelola skal dan wakil pemerintah atas kekayaan negara yang dipisahkan serta menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/barang. Secara gambaran besar struktur kelembagaan pengelola keuangan negara/daerah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
131
Tabel 8.2 Struktur Kelembagaan Pengelola Keuangan Negara/Daerah
DIKUASAKAN
MENTERI KEUANGAN PENGELOLA FISKAL DAN WK. PEM. DL. KEKY. NEG YG DIPISAHKAN
PRESIDEN: PEMEGANG KEKUASAAN PENGELOLA. KEU. NEG (PSL.6)
MENTERI / PIMP. LBG SELAKU PENGGUNA ANGGARAN / BARANG
DISERAHKAN
GUB/BUPT/WALIKOTA KEPL. PMR. DRH UNTUK MENGELOLA KEU DAERAH DAN WK PEMDA ATAS KEKAYAAN DAERAH YG DIPISAHKAN
UU No. 1 / 2004 : PEJABAT PERBENDAHARAAN DAN PENGELOLAAN BM N / D PEMERINTAH PUSAT MENTERI KEUANGAN PENGELOLA FISKAL DAN WK. PEM. DL. KEKY. NEG YG DIPISAHKAN
MENTERI / PIMP LMBG PENGGUNA BARANG PADA KEMETERIAN / LMBG PUSAT
PEMERINTAH DAERAH GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA MENETAPKAN PJBT PENGELOLA BMD (PS 5) MENETAPKAN KEBIJAKAN PENGELOLA BMD (PS 43)
PP No. 6 / 2006 : PEJABAT PENGELOLAAN BMN / D MENTERI KEUANGAN SELAKU BUN ADALAH PENGELOLA BMN (PS 4)
MENTERI / PIMP LMBG SELAKU PIMPNAN KMNTRN / LMBG ADALAH PENGGUNA BARANG (PS 6)
MENTERI KANTOR ADALAH KUASA PENGGUNA BMN DI LINGKUNGANNYA (PS 7)
GUB. /BUPT/WALIKOTA PEMEGANG KEKUASAAN PENGELOLAAN BMD (PS 5)
SEKRETARIS DAERAH ADALAH PENGELOLA BMD (PS 5)
KASATKER PERANGKAT DAERAH ADALAH PENGGUNA BMD (PS 8)
Sumber: Direktorat Barang Milik Negara
Untuk pemerintah daerah, Struktur Organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dapat digambar sebagai berikut:
132
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 8.3
Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pemegang Kekuasaan Pengelolaan BMD) Pasal 5 ayat (1)
Sekretaris Daerah (Pengelola BMD) Pasal 5 ayat (3)
Ditetapkan sesuai Pasal 5 ayat (2) huruf d
Kepala Biro/Bag. Perlengkapan (Pembantu Pengelola BMD) Permendagri No. 17/2007 Pasal 5 ayat 2 huruf b
Kepala SKPD (Pengguna BMD) Pasal 8 ayat (1)
Kepala UPT Daerah (Kuasa Pengguna BMD) Permendagri No. 17/2007 pasal 5 ayat 2 huruf d
Pengurus barang
Penyimpan barang
Struktur organisasi di atas memperlihatkan bahwa pada hakekatnya penanggung jawab dari keseluruhan pengelolaan barang milik daerah adalah Kepala Daerah. Secara operasional Kepala Daerah dibantu oleh: a. Sekretaris Daerah selaku pengelola BMD; b. Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola barang milik daerah selaku pembantu pengelola BMD; c. Kepala SKPD selaku pengguna BMD; d. Kepala UPT Daerah selaku Kuasa Pengguna BMD e. Penyimpan barang milik daerah; f. Pengurus barang milik daerah. Nomenklatur Pembantu Pengelola BMD tidak terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun ada dalam Permendagri No. 17/2007. Berhubung belum terbitnya peraturan teknis yang baru maka sesuai dengan pasal 110 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tersebut maka struktur Pembantu Pengelola BMD masih relevan. Demikian juga dengan jabatan Kuasa Pengguna Barang BMD juga tidak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun istilah itu ada dalam Permendagri No. 17/2007. Struktur di atas juga menjelaskan bahwa pengelolaan barang milik daerah tidaklah ditangani oleh satu SKPD, namun menjadi tanggung jawab semua SKPD dalam mengelola barang yang ada pada SKPD masing-masing, dimana kepala SKPD menjadi pejabat penanggungjawabnya.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
133
8.3 Isu Terkini Pengelolaan BMD Sampai dengan saat ini opini audit BPK atas LKPD kebanyakan masih Wajar Dengan Pengecualian. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 8.3 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013 Pemerinahan Provinsi Tahun WTP WDP TW TMP 1 24 3 5 2009 3% 73% 9% 15% 6 22 0 5 2010 18% 67% 0% 15% 10 19 0 4 2011 30% 58% 0% 12% 17 11 0 5 2012 52% 33% 0% 15% 15 12 0 2 2013 52% 41% 0% 7%
Kabupaten Total WTP WDP TW TMP 33 7 240 37 95 100% 2% 63% 10% 25% 33 16 254 23 103 100% 4% 64% 6% 26% 33 36 268 6 89 100% 9% 67% 2% 22% 3 72 256 6 67 100% 18% 64% 1% 17% 29 102 214 9 14 100% 30% 63% 3% 4%
Total 379 100% 396 100% 399 100% 401 100% 399 100%
WTP WDP 7 66 7% 72% 12 67 13% 72% 21 62 23% 67% 31 52 34% 58% 36 50 41% 57%
Kota TW TMP Total 8 11 92 9% 12% 100% 3 11 93 3% 12% 100% 2 7 92 2% 8% 100% 0 7 90 0% 8% 100% 0 2 88 0% 2% 100%
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK, Buku II, 2014
Dalam hasil pemeriksaan BPK tersebut disampaikan bahwa yang dikecualikan dalam opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diantaranya yaitu: a. Aset tetap tidak didukung dengan pencatatan dan pelaporan yang memadai. b. Penatausahaan persediaan yang tidak memadai. c. Pelaksanaan belanja modal serta belanja barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan. Gambar 8.4
Perkembangan Opini LKPD Tahun 2009 s.d. 2013
70%
65%
67%
65%
61%
60%
60% 50% 40%
34%
30%
22%
20% 10%
WTP WDP TW TMP
23%
1 % 10% 3%
7%
5%
19% 13% 1%
23% 15% 1%
4% 2%
0% 2009 (504 LHP)
2010 (522 LHP)
2011 (524 LHP)
2012 (524 LHP)
2013 (456 LHP)
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK, Buku II, 2014
Dalam Buku II Ikhtisar hasil pemeriksaan BPK tahun 2014 tersebut juga disebutkan kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang masih terjadi, antara lain: a. Pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat. Misalnya : pengelolaan dan penatausahaan aset tetap belum memadai. b. Proses penyusunan laporan tidak sesuai dengan ketentuan. Misalnya : persediaan belum dilakukan stock opname.
134
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
c. Sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai. Misalnya : sistem pengendalian intern persediaan belum memadai, yaitu belum dilakukan cek sik akhir tahun dan masih terdapat persediaan yang tidak dilaporkan dalam laporan keuangan serta aset-aset tetap yang belum diinventarisasi dan dinilai kembali. d. Kelemahan SPI lainnya. Misalnya : belum ada SOP dalam pengelolaan dan penatausahaan persediaan sehingga persediaan belum dilaporkan secara lengkap. Jika kita perhatikan data hasil pemeriksaan BPK tersebut, jika hal ini tidak segera diupayakan tindakan penyelesaian, maka tidak mustahil temuan BPK tersebut akan masih terjadi dalam tahuntahun berikutnya. Selain itu perlu diantisipasi juga bahwa dengan diterapkannya akuntansi keuangan berbasis akrual, akan memberikan tambahan effort bagi pemerintah daerah dalam pencatatan asetnya. Dengan adanya penerapan basis akrual, maka pemda harus melakukan penyusutan aset tetap dan penyisihan piutang tak tertagih, disamping adanya perubahan basis akuntansi dari CTA (Cash Toward Accrual) menjadi basis akrual yang memberikan konsekuensi dalam pencatatan dan pelaporan keuangan.
8.4 Siklus Pengelolaan BMD 8.4.1 Perencanaan Perencanaan merupakan salah satu langkah manajemen dalam kerangka mencapai strategi suatu organisasi yang ingin di capai dengan memperhatikan prinsip ekonomis, efektitas, dan esiensi. Demikian juga dengan organisasi pemerintah Daerah bahwa dalam kerangka mencapai proses pengadaan Barang Milik Daerah yang ekonomi, esien dan efektif diperlukan suatu perencanaan yang bagus dan akuntabel. Ketentuan Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Barang Milik Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintan No. 27 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah (menjelang terbitnya pereturan pelaksana yang terbaru). Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan merumuskan rincian kebutuhan barang milik daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan yang akan datang dan harus mencerminkan kebutuhan riil terhadap Barang Milik Daerah oleh masing-masing SKPD. Perencanaan kebutuhan ini meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan Barang Milik Negara/Daerah dan selanjutnya merupakan dasar bagi SKPD dalam mengusulkan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran dengan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan/atau standar harga. Rencana kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah ini disusun dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dengan mekanisme pembelian (solusi aset), Pinjam Pakai, Sewa, sewa beli (solusi non aset) atau mekanisme lainnya yang dianggap lebih efektif dan esien sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara/Daerah. Penetapan standar kebutuhan terhadap Barang Milik Daerah oleh masing-masing SKPD dilakukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah setelah berkoordinasi dengan dinas teknis terkait. Penetapan Standar kebutuhan oleh Gubernur/Bupati/ Walikota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sedangkan penetapan standar harganya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
135
Hal yang perlu dicatat dan diingat adalah bahwa perencanaan kebutuhan BMD, harus memperhatikan pengadaan barang yang telah lalu, keadaan yang sedang berjalan, dan tindakan pemenuhan kebutuhan BMD di masa mendatang. Hal ini dilaksanakan dengan dua pertimbangan utama. Pertama, derajat kepentingan (urgensi) pemenuhan BMD yang dapat dikategorikan menjadi Tingkat Kepentingan Tinggi, Tingkat Kepentingan Sedang, dan Tingkat Kepentingan Rendah. Kedua, kondisi kesiapan BMD untuk digunakan, yang dapat dikategorikan menjadi Kondisi Baik, Kondisi Rusak Ringan, dan Kondisi Rusak Berat. Dimensi derajat kepentingan pemenuhan BMD dan kondisi BMD berpengaruh pada rencana tindakan yang harus dilaksanakan. Hubungan derajat kepentingan dan kondisi BMD dijelaskan dalam bentuk matriks berikut ini: Tabel 8.4 Hubungan Derajat Kepentingan dan Kondisi BMD Penting\ Kondisi
Baik (B)
Rusak Ringan (RR)
Rusak Berat (RB)
Tinggi (T)
Pemeliharaan Ringan (PR)
Pemeliharaan Sedang (PS)
Pemeliharaan Berat (PB) Penggantian (G)
Sedang (S)
Pemeliharaan Ringan (PR)
Pemeliharaan Sedang (PS)
Pemeliharaan Berat (PB) Penggantian (G)
Rendah (R)
Pemeliharaan Ringan (PR) Pemanfaatan (M)
Pemeliharaan Sedang (PS) Pemanfaatan (M) Pemindahtangan (P)
Penghapusan (H)
Langkah selanjutnya dalam perencanaan BMD adalah menyusun RKBU (Rencana Kebutuhan Barang Unit) dan RKPBU (Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang Unit), maka setiap unit dalam suatu organisasi/SKPD hendaknya menghimpun kebutuhan tersebut dari unit terkecil, hal ini sesuai dengan ketentuan perencanaan yang baik, dimana adanya usulan dari bawah (bottom up).
8.4.2 Pengadaan Dalam menjalankan fungsinya, suatu instansi/lembaga membutuhkan logistik, peralatan dan jasa untuk mengoptimalkan kegiatannya. Kebutuhan ini dipenuhi melalui kegiatan pengadaan. Berbeda dengan pengadaan barang dan jasa di instansi dan perusahaan swasta, pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan mempunyai mekanisme tertentu yang diatur dengan peraturan perundangundangan karena berhubungan dengan perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar barang atau jasa tersebut. Peraturan perundangan-undangan terkait dengan pengadaan barang/jasa ini terus mengalami perubahan secara dinamis sesuai dengan dinamika proses pembangunan menuju tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and CleanGovernment). Peraturan terbaru (sampai saat modul ini disusun) adalah Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 yang merupakan perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan baru ini tidak membatalkan peraturan sebelumnya secara keseluruhan melainkan ada beberapa pasal, ayat, atau bagian yang diperbaiki dan disempurnakan. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Prinsip-prinsip yang diterap dalam pengadaan barang/ jasa ini adalah esien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Denisi dan prinsip yang digunakan dalam pengadaan barang/ jasa ini masih tetap mengacu kepada Perpres No.54/2010 karena masih sama dan tidak termasuk bagian yang diubah oleh Perpres 70/2012.
136
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Khusus untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, ketentuannya diatur dalam peraturan-perundangan tersendiri yakni Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2014 untuk beberapa hal tertentu. Terkait dengan pengadaan BMD, tidak terdapat perubahan yang mendasar pada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006. Perubahan yang terjadi hanyalah perubahan redaksi dari isi ayat. Pasal 12 pada PP No 6 tahun 2016 diubah redaksinya untuk menghindari multitafsir sekaligus mengakomodasi perluasan lingkup BMN/D. Pasal 12 PP 6 Tahun 2006: (1) Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 13 PP 27 Tahun 2014: Pelaksanaan pengadaan Barang Milik Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah ini. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah beserta perubahannya yaitu Perpres 70 tahun 2012, Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui 2 cara: 1. Melalui Swakelola Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/ atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan Swakelola meliputi: a. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I; b. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I; c. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa; d. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar; e. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan; f. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/ Jasa; g. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium, dan pengembangan sistem tertentu; h. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan; i. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri; j. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau k. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista, dan industri almatsus dalam negeri.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
137
2. Melalui Penyedia Barang/Jasa. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya. Metode pemilihan penyedia barang dan jasa adalah; a. Pemilihan Penyedia Barang dilakukan dengan: 1) Pelelangan Umum; 2) Pelelangan Terbatas; 3) Pelelangan Sederhana; 4) Penunjukan Langsung; 5) Pengadaan Langsung; atau 6) Kontes b. Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi dilakukan dengan: 1) Pelelangan Umum; 2) Pelelangan Terbatas; 3) Pemilihan Langsung; 4) Penunjukan Langsung; atau 5) Pengadaan Langsung. c. Pemilihan Penyedia Jasa Lainnya dilakukan dengan: 1) Pelelangan Umum; 2) Pelelangan Sederhana; 3) Penunjukan Langsung; 4) Pengadaan Langsung; atau 5) Sayembara. Penjelasan tentang masing-masing bentuk pemilihan diatas adalah sebagai berikut : 1) Pelelangan Umum adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memenuhi syarat. 2) Pelelangan Terbatas adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi dengan jumlah Penyedia yang mampu melaksanakan diyakini terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks. 3) Pelelangan Sederhana adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa Lainnya untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 4) Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa. 5) Pengadaan Langsung adalah Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada Penyedia Barang/Jasa, tanpa melalui Pelelangan/ Seleksi/Penunjukan Langsung. Bisa ditetapkan penyedia barang/ jasanya oleh pejabat pengadaan untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan/ atau untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); 6) Sayembara adalah metode pemilihan Penyedia Jasa yang memperlombakan gagasan orisinal, kreativitas dan inovasi tertentu yang harga/biayanya tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan. 7) Kontes adalah metode pemilihan Penyedia Barang yang memperlombakan barang/benda tertentu yang tidak mempunyai harga pasar dan yang harga/biayanya tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.
138
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pemilihan penyedia barang dan/jasa dalam bentuk Kontes/Sayembara dilakukan khusus untuk pemilihan Penyedia Barang/Jasa Lainnya yang merupakan hasil Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri. Ketentuan berikutnya tentang pengadaan barang dan jasa ini adalah untuk pengadaan pekerjaan yang tidak kompleks dan bernilai paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dapat dilakukan dengan: 1. Pelelangan Sederhana untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya; atau 2. Pemilihan Langsung untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi. Pertimbangan dalam pengadaan a. Keseluruhan dokumen kontrak yang bersangkutan harus disusun sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan/atau ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang bersangkutan; b. Penyedia barang/jasa yang ditunjuk benar-benar mampu dan memiliki reputasi baik, antara lain dibuktikan dari pelaksanaan pekerjaannya pada kontrak yang lain pada waktu lalu di Dinas/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah lainnya yang bersangkutan dan ditempatkan pemberi kerja yang lain; c. Harga yang disepakati benar-benar telah memenuhi persyaratan, menguntungkan daerah dan telah dibandingkan dengan standar harga yang ditetapkan oleh Kepala Daerah serta dapat dipertanggungjawabkan.
8.4.3 Penggunaan Penggunaan Barang Milik Daerah (BMD) adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. Ketentuan penggunaan BMD ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 25. Penggunaan BMD tersebut diawali dengan penetapan status penggunaannya terlebih dahulu oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota dengan tata cara sebagai berikut : a. Pengguna Barang melaporkan Barang Milik Daerah yang diterimanya kepada Pengelola Barang disertai dengan usul Penggunaan; b. Pengelola Barang meneliti laporan dari Pengguna Barang dan mengajukan usul Penggunaan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk ditetapkan status penggunaannya. Namun demikian, dalam kondisi tertentu. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mendelegasikan penetapan status Penggunaan atas Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan dengan kondisi tertentu kepada Pengelola Barang Milik Daerah. Yang dimaksud dalam hal ini adalah antara lain Barang Milik Daerah yang tidak mempunyai bukti kepemilikan atau dengan nilai tertentu (pasal 16 ayat (2) dan penjelasannya). Untuk beberapa barang tertentu terdapat pengecualian dalam arti tidak dilakukan penetapan status penggunaan terhadap barang tersebut. Barang Milik Negara /Daerah yang tidak dilakukan Penetapan status Penggunaannya adalah : a) Barang-barang yang berupa : barang persediaan, konstruksi dalam pengerjaan, atau barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan. b) Barang Milik Negara yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan. Barang milik Negara seperti ini baru dapat dicatat sebagai Barang Milik Daerah bila sudah diserahkan ke daerah. c) Barang Milik Daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
139
Ada beberapa kelonggaran yang ditawarkan oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 dalam hal penetapan status penggunaan barang milik daerah ini yaitu : 1) Barang Milik Negara/Daerah juga dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah tapi dioperasikan oleh Pihak Lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan (pasal 18). 2) Barang Milik Daerah yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan Barang Milik Daerah tersebut setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota (pasal 19 ayat (2)). 3) Barang Milik Daerah dapat dialihkan status penggunaannya dari Pengguna Barang kepada Pengguna Barang lainnya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi berdasarkan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota. (pasal 21 ayat (1)). 4) Pengalihan status Penggunaan Barang Milik Daerah dapat pula dilakukan berdasarkan inisiatif dari Gubernur/Bupati/Walikota, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada Pengguna Barang. (pasal 21 ayat (2)). Khusus untuk Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan ada beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 pasal 22 dan 23 yaitu : 1) Penetapan status Penggunaan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan bila tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang yang bersangkutan (Pasal 22 ayat (1)). 2) Bila Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan itu tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang maka Pengguna Barang wajib menyerahkannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pengelola Barang Milik Daerah kecuali barang tersebut telah direncanakan untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. (Pasal 22 ayat (2) dan (3)) Semangat dari pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 diatas sesuai dengan asas esiensi dalam pengelolaan barang Milik Daerah apalagi bila dikaitkan dengan pasal berikutnya yang menjelaskan bahwa : a) Pengguna Barang yang tidak menyerahkan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) kepada Gubernur/Bupati/ Walikota, dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan Barang Milik Daerah tersebut. b) Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan atau tidak dimanfaatkan tersebut, dicabut penetapan status penggunaannya oleh Gubernur/Bupati/Walikota. c) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan Barang Milik Daerah yang harus diserahkan oleh Pengguna Barang karena tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan tidak dimanfaatkan oleh Pihak Lain. Tindakan selanjutnya terhadap Barang Milik Daerah tersebut meliputi : (a) penetapan status Penggunaan, (b) Pemanfaatan; atau (c) Pemindahtanganan.
140
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
8.4.4 Pemanfaatan a. Denisi, Pertimbangan, dan Pelaksana Pemanfaatan Barang Milik Daerah adalah pendayagunaan Barang Milik Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah dan/atau optimalisasi Barang Milik Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Pemanfaatan ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/ daerah dan kepentingan umum. Pelaksanaannya bisa dilakukan oleh : a) Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang; b) Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau bangunan. b. Bentuk-bentuk Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014, ada ada 5 bentuk Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah yaitu : (1) Sewa, (2) Pinjam Pakai, (3) Sama Pemanfaatan, (4) Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; atau (5) Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. 1. Sewa. Sewa adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Aturan tentang siapa yang akan menyewakan barang milik negara/daerah ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 pasal 28. Barang milik daerah yang bisa disewakan dapat berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan ke Gubernur/Bupati/Walikota, sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan oleh Pengguna Barang, atau selain tanah dan/atau bangunan. Pelaksana dari penyewaan barang milik daerah diatur sebagai berikut : a) Untuk barang milik daerah berupa tanah dan / atau bangunan yang sudah diserahkan ke Gubernur/Bupati/Walikota, sewa dilakukan pengelola barang setelah mendapat persetujuan dari Gubernur/Bupati/Walikota. b) Untuk barang milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang atau selain tanah dan bangunan, sewa dilakukan oleh Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan dari Pengelola Barang. Aturan berikutnya dari sewa Barang milik daerah ini adalah tentang jangka waktu sewa, tarif sewa, dan pengelolaan hasil sewa. Aturan tentang ini dijelaskan dalam pasal 29 yakni : a) Jangka waktu sewa secara umum adalah 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Namun untuk Kerjasama Infrastruktur atau usaha dengan karakteristik tertentu dapat lebih dari 5 ((lima) tahun dan dapat diperpanjang atau ada ketentuan lain yang diatur oleh undang-undang. b) Formula tarif/besaran sewa untuk Barang Milik Daerah ditentukan oleh Gubernur/Bupati/ Walikota. Khusus untuk kerjasama infrastruktur dan kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan sewa lebih dari 5 (lima) tahu, penetapan tarif sewanya dapat mempertimbangkan nilai keekonomian dari masing-masing jenis infrastruktur. Untuk Barang Milik Daerah berupa selain tanah dan / atau bangunan, formula tarif/besaran sewanya ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/Walikota dengan berpedeoman klepada kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah. Pelaksanaan sewa Barang Milik Daerah ini berdasarkan perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat :
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
141
1) para pihak yang terikat dalam perjanjian; 2) jenis, luas atau jumlah barang, besaran Sewa, dan jangka waktu; 3) tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; 4) hak dan kewajiban para pihak. c) Hasil Sewa Barang Milik Daerah merupakan penerimaan negara dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Daerah. Penyetoran uang Sewa harus dilakukan sekaligus secara tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa Barang Milik Negara/Daerah kecuali untuk kerjasama infrastruktur, penyetoran uang sewanya dapat dilakukan bertahap dengan persetujuan Pengelola Barang. 2. Pinjam Pakai. Pinjam Pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Pengelola Barang. Aturan tentang pinjam pakai ini dimuat dalam pasal 30 Paraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 yang menjelaskan bahwa jangka waktu Pinjam Pakai Barang Milik Negara/Daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. Dasar pelaksanaan Pinjam Pakai perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: 1) para pihak yang terikat dalam perjanjian; 2) jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktunya; 3) tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman; 4) hak dan kewajiban para pihak. 3. Kerjasama Pemanfaatan. Kerja Sama Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/ pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. Kerja Sama Pemanfaatan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 pasal 31, 32, dan 33. Beberapa hal yang diatur dalam pasal-pasal tersebut antara lain : a) Barang Milik Daerah yang dapat dilaksanakan Kerja Sama Pemanfaatan adalah Barang Milik Daerah berupa : (1) tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota, (2) sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau (3) selain tanah dan/atau bangunan. b) Pelaksana Kerja Sama Pemanfaatan adalah Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota untuk Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Gubernur /Bupati/Walikota. Sedangkan untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau selain tanah dan/atau bangunan, Kerja Sama Pemanfaatannya dilaksanakan oleh Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang. c) Ketentuan dalam pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan ini adalah: 1) Kerja Sama Pemanfaatan terhadap barang Milik Darah dilaksanakan bila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi biaya operasional, pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Barang Milik Daerah tersebut; 2) Mitra Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Barang Milik Daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung oleh Pengguna Barang terhadap BUMN/BUMD yang memiliki bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
142
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3) Semua biaya persiapan Kerja Sama Pemanfaatan yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Kerja Sama Pemanfaatan dan biaya pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan menjadi beban mitra Kerja Sama Pemanfaatan. 4) Mitra Kerja Sama Pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ke rekening Kas Umum Daerah; 5) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh : (1)) Gubernur/ Bupati/ Walikota, untuk Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan; (2) Pengelola Barang untuk Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan. 6) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ini harus mendapat persetujuan Pengelola Barang; 7) Dalam Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah dan/atau bangunan, sebagian kontribusi tetap dan pembagian keuntungannya dapat berupa bangunan beserta fasilitasnya yang dibangun dalam satu kesatuan perencanaan tetapi tidak termasuk sebagai objek Kerja Sama Pemanfaatan dan besara nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai bagian dari kontribusi tetap dan kontribusi pembagian keuntungan tersebut paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total penerimaan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan selama masa Kerja Sama Pemanfaatan; 8) Bangunan yang dibangun dengan biaya sebagian kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dari awal pengadaannya merupakan Barang Milik Negara/Daerah; 9) Selama jangka waktu pengoperasian, mitra Kerja Sama Pemanfaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan Barang Milik Negara/Daerah yang menjadi objek Kerja Sama Pemanfaatan; 10) Jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Sedangkan Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/ Daerah untuk penyediaan infrastruktur berupa: a) infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai dan/atau danau, bandar udara, terminal, dan/atau jaringan rel dan/atau stasiun kereta api; b) infrastruktur jalan meliputi jalan jalur khusus, jalan tol, dan/atau jembatan tol; c) infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku dan/atau waduk/ bendungan; d) infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan/atau instalasi pengolahan air minum; e) infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan/atau jaringan utama, dan/atau sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan/ atau tempat pembuangan; f) infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi; g) infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, distribusi dan/atau instalasi tenaga listrik; h) infrastruktur minyak dan/atau gas bumi meliputi instalasi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, dan/atau distribusi minyak dan/atau gas bumi, jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah yang disebutkan diatas paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Bila mitra Kerja Sama Pemanfaatannya adalah BUMN/BUMD maka besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan untuk hal ini dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim yang telah dibentuk untuk ini dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
143
4. Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna. Bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah yang keempat adalah Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG). Bangun Guna Serah adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Sedangkan Bangun Serah Guna adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Pertimbangan dilaksanakannya pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah dalam bentuk BSG atau BGS adalah Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi sementara dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah tidak tersedia atau tidak cukup tersedia untuk penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut. Beberapa ketentuan tentang pemanfaatan Barang Milik Daerah dalam bentuk Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 pasal 34 sampai dengan pasal 37. Beberapa keetentuan tersebut antara lain : 1) Pelaksana pemanfaatan Barang Milik Daerah dalam bentuk Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna adalah Pengelola Barang Milik Daerah setelah mendapat persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota. 2) Barang Milik Daerah berupa tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang dan telah direncanakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang yang bersangkutan, dapat dilakukan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dan pelaksanaan pemanfaatannya dalam bentuk Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dilakukan oleh Pengelola Barang dengan mengikutsertakan Pengguna Barang sesuai tugas dan fungsinya. 3) Penetapan status Penggunaan Barang Milik Daerah sebagai hasil dari pelaksanaan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota untuk Barang Milik Daerah, dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah terkait. Jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. 4) Penetapan mitra Bangun Guna Serah atau mitra Bangun Serah Guna dilaksanakan melalui tender. 5) Mitra Bangun Guna Serah atau mitra Bangun Serah Guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian: a) wajib membayar kontribusi ke rekening Kas Umum Negara/Daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; b) wajib memelihara objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; c) dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan: (1) tanah yang menjadi objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; (2) hasil Bangun Guna Serah yang digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah; dan/atau (3). hasil Bangun Serah Guna. 6) Dalam jangka waktu pengoperasian, hasil Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna harus digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah Pusat/Daerah paling sedikit 10% (sepuluh persen). 7) Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:
144
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
a) para pihak yang terikat dalam perjanjian; b) objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; c) jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; d) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian. 8) Izin mendirikan bangunan dalam rangka Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna harus diatasnamakan Pemerintah Daerah. 9) Semua biaya persiapan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dan biaya pelaksanaan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna menjadi beban mitra yang bersangkutan. 10) Mitra Bangun Guna Serah Barang Milik Negara harus menyerahkan objek Bangun Guna Serah kepada Pengelola Barang pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan intern Pemerintah. 11) Mitra Bangun Guna Serah Barang Milik Daerah harus menyerahkan objek Bangun Guna Serah kepada Gubernur/Bupati/Walikota pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan intern Pemerintah. 12) Tata cara pelaksanaan Bangun Serah Guna Barang Milik Daerah adalah sebagai berikut : a) mitra Bangun Serah Guna harus menyerahkan objek Bangun Serah Guna kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota setelah selesainya pembangunan; b) hasil Bangun Serah Guna yang diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota ditetapkan sebagai Barang Milik Daerah; c) mitra Bangun Serah Guna dapat mendayagunakan Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian; d) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek Bangun Serah Guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan intern Pemerintah sebelum penggunaannya ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/ Walikota. 5. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur Bentuk pemanfaatan yang kelima adalah Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) yaitu kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang KSPI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 pasal 38 dan 39. Barang Milik Daerah yang dapat dilaksanakan pemanfaatannya dalam bentuk KSPI ini adalah : a) berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang; b) berupa sebagian tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang; c) Barang Milik Negara/Daerah selain tanah dan/atau bangunan. Perlaksana Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas Barang Milik Daerah diatur sebagai berikut: a) Untuk BMD berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang, pelaksananya adalah Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota; b) Untuk BMD berupa sebagian tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang atau BMD selain tanah dan/atau bangunan, pelaksananya adalah Pengguna Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota. Beberapa lainnya berikutnya dalam KSPI ini adalah sebagai berikut : 1) Badan Usaha yang dapat bekerjasama dalam KSPI ini adalah badan usaha yang berbentuk: a. perseroan terbatas; b. Badan Usaha Milik Negara; c. Badan Usaha Milik Daerah; d. koperasi. 2) Jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperpanjang.
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
145
3) Penetapan mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang telah ditetapkan, selama jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur: a. dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindah-tangankan Barang Milik Daerah yang menjadi objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; b. wajib memelihara objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; dan c. dapat dibebankan pembagian kelebihan keuntungan sepanjang terdapat kelebihan keuntungan yang diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai (clawback). 5) Pembagian kelebihan keuntungan sebagaimana disebutkan diatas harus disetorkan ke Kas Umum Daerah. 6) Formula dan/atau besaran pembagian kelebihan keuntungan sebagaimana disebutkan diatas, ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, 7) Mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur harus menyerahkan objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur kepada Pemerintah pada saat berakhirnya jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sesuai perjanjian. 8) Barang hasil Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur menjadi Barang Milik Negara/Daerah sejak diserahkan kepada Pemerintah sesuai perjanjian.
8.4.5 Pengawasan dan Pengendalian BMD. 1. Konsep Pengawasan dan Pengendalian BMD. Barang milik daerah merupakan salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena pengelolaan barang milik daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah, maka pengelolaan barang milik daerah yang baik mencerminkan pengelolaan keuangan daerah yang baik. Dengan demikian pengelolaan barang milik daerah harus dilakukan dengan baik dan benar. Pengelolaan barang milik daerah sebagai aset daerah yang strategis perlu dilakukan dengan baik dan benar untuk memeroleh manfaat optimal dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan (tupoksi) dan pelayanan kepada masyarakat. Pengawasan dan pengendalian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus pengelolaan barang milik daerah mulai dari perencanaan kebutuhan barang milik daerah sampai dengan pelaporan yang dilakukan secara periodik. Pengawasan dan pengendalian, dalam pemanfaatan dan pengalihan aset merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi pada pemerintah daerah saat ini. Mardiasmo (2004) menegaskan bahwa pengawasan yang ketat perlu dilakukan sejak tahap perencanaan hingga penghapusan aset. Hal itu sangat penting untuk memastikan bahwa seluruh mekanisme dan prosedur pengelolaan barang milik daerah telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah menjelaskan bahwa pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, esiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. 1. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggungjawab masing-masing. 2. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. 3. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar.
146
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4. Azas esiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal. 5. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. 6. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah. Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Oleh karena itu, kepala daerah berwenang dan bertanggung jawab atas pembinaan dan pelaksanaan pengelolaan serta tertib administrasi barang milik daerah. Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik daerah.
2. Tujuan dan Ruang Lingkup Pengawasan dan Pengendalian. Tujuan utama pengawasan dan pengendalian adalah untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah secara berdayaguna dan berhasilguna. Untuk mencapai tujuan itu maka fungsi pembinaan, pengawasan dan pengendalian sangat penting untuk menjamin tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah. Pengertian dan ruang lingkup kegiatan pengawasan dan pengendalian BMD sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah adalah: a. Pengawasan. Usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau kegiatan, apakah dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Lingkup pengawasan barang milik daerah menekankan pada prinsip kesesuian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Pengendalian. Usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Siklus pengelolaan barang milik daerah merupakan rangkaian kegiatan dan/atau tindakan yang dimulai dari perencanaan kebutuhan dan penganggaran. Pengendalian barang milik daerah diperlukan untuk memastikan bahwa pengadaan dan penggunaan barang milik daerah berjalan sesuai dengan perencanaan kebutuhannya.
3. Prosedur Pengawasan dan Pengendalian BMD. Kepala SKPD sebagai pengguna barang bertugas dan bertanggungjawab atas perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penggunaan, penatausahaan, pemeliharaan/perbaikan, pengamanan dan pengawasan barang dalam lingkungan wewenangnya.Setelah rencana kebutuhan BMD dan rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan BMD yang diajukan oleh SKPD disetujui olek Sekda sebagai pengelola BMD maka koordinasi penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah yang ada pada masing-masing SKPD menjadi tanggung jawab kepala SKPD yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh pembantu pengelola (Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola barang milik daerah).Prosedur pengawasan dan pengendalian BMD dilakukan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
147
a. Pengecekan status penggunaan BMD. Pemeriksaan status penggunaan BMD untuk memastikan bahwa penggunaan BMD sesuai dengan tupoksi dan esien. Dalam PP 6 Tahun 2006 dan Permendagri 17 Tahun 2007 disebutkan “Untuk semua Barang Milik Daerah ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tupoksi SKPD dan dapat dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka mendukung pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan”. Untuk BMD yang digunakan untuk menyelenggarakan TUPOKSI, barang tersebut terdapat dalam Daftar Barang Pengguna (DBP). b. Pengecekan Inventaris Barang. Pengecekan inventaris barang secara sik oleh SKPD minimal dilakukan sekali dalam 6 bulan. Untuk barang bergerak pengecekan dapat dilakukan dengan memeriksa kartu barang gudang. Pengecekan inventaris barang bertujuan untuk: memberikan keyakinan sik atas barang yang terdapat dalam dokumen invetaris; mengetahui kondisi terkini barang, apakah barang tersebut baik, rusak ringan atau rusak berat; tercapainya tertib administrasi, sehingga untuk barang yang sudah rusak berat dapat diusulkan untuk dilakukan penghapusan, pertanggungjawaban atas barang-barang yang tidak diketemukan/ hilang, dan juga pencatatan barang-barang yang belum dicatat dalam dokumen inventaris; pendataan atas masalah yang muncul terkait dengan barang milik daerah, seperti sengketa tanah, kepemilikan yang tidak jelas, inventaris yang dikuasai pihak ketiga; Untuk setiap barangmilik daerah yang tergolong sebagai aset tetap, dicatat dalam Kartu Inventaris Barang (KIB). KIB terdiri dari: 1. KIB-A:Tanah; 2. KIB-B:Mesin dan Peralatan; 3. KIB-C:Gedung dan Bangunan; 4. KIB-D:Jalan, Irigasi dan Jaringan; 5. KIB-E:Aset Tetap Lainnya; 6. KIB-F:Konstruksi dalam Pengerjaan. c. Evaluasi Penggunaan dan Pemanfaatan BMD. Berdasarkan hasil pengecekan dan pemeriksaaan pada langkah 1 dan 2 selanjutnya perlu dilakukan evaluasi penggunaan dan pemanfaatan BMD. Evaluasi penggunaan BMD meliputi kebenaran penggunaan, penanggung jawab, dan kondisi barang sesuai dengan TUPOKSI. Sedang pemanfaatan berkaitan dengan tanah dan bangunan. Hasil evaluasi dibuat dalam satu bentuk laporan pengawasan dan pendalian BMD. d. Pengendalian BMD. Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi pada langkah 3 dilakukan pengendalian terhadap BMD yang tidak sesuai dengan perencanaan kebutuhannya. Bentuk kegiatan pengendalian BMD yang diusulkan harus dinyatakan dengan jelas dengan memertimbangkan temuan kesenjangan yang diperoleh pada langkah 1, 2 dan 3.
148
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB VIII PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
149
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
150
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari bab ini, Anda seharusnya mampu mengevaluasi dan merumuskan kebijakan penatausahaan sehubungan penerapan akrual basis. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini, Anda seharusnya mampu: 1. Menjelaskan azas umum penatausahaan keuangan; 2. Menjelaskan implikasi penatausahaan keuangan berbasis akrual. No
Sub Bab
Kata Kunci
1
Azas Umum Penatausahaan Keuangan
Azas Umum, Penatausahaan Keuangan
2
Implikasi Penatausahaan Keuangan Berbasis Akrual
Implikasi Penatausahaan Keuangan, Berbasis Akrual
Bahan Bacaan: 1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 4. Permendagri No. 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Pertanggungjawaban Bendahara serta Penyampaiannya; 5. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah jo. Permendagri No. 59 Tahun 2007 jo. Permendagri No. 21 Tahun 2011.
9.1 Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah Sesuai dengan Pasal 184 Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Dareah, azas umum penatausahaan keuangan daerah dinyatakan sebagai berikut: 1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Bendaharawan Penerimaan/Pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku; 2. Pejabat yang menandatangani dan atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan atau pegeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
9.2 Kelembagaan Pengelola Keuangan Daerah 9.2.1 Pemegang Kekuasaan Keuangan Daerah Di dalam Pasal 6, UU No. 17 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan sebagaimana dimaksud selanjutnya: a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola skal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
151
Selain itu, dalam Pasal 5 ayat (1) Permendagri No 13/2006 dinyatakan bahwa “ kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.”. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, selanjutnya melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada: 1) Sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah; 2) Kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD) selaku pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD); 3) Kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang. Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang. Sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, gubernur/bupati/ walikota mempunyai kewenangan: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD; menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah; menetapkan kuasa pengguna anggaran/barang; menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran; menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah; menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah; menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.
9.2.2 Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah Koordinator pengelolaan keuangan daerah adalah sekretaris daerah yang mempunyai tugas koordinasi di bidang: 1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD; 2) Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah; 3) Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD; 4) Penyusunan Raperda APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; 5) Tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan daerah; 6) Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Selain tugas-tugas di atas, koordinator pengelolaan keuangan daerah juga mempunyai tugas: 1) Memimpin tim anggaran pemerintah daerah; 2) Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD; 3) Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah; 4) Memberikan persetujuan pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran – SKPD (DPASKPD); 5) Melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
152
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Koordinator pengelolaan keuangan daerah mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah.
9.2.3 Pejabat Pengelola Keuangan Daerah Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD), yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah (BUD). PPKD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, PPKD mempunyai tugas sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah; menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD; melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah; melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Sebagai pengelola APBD, PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya dilingkungan SKPKD untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD; Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD; Melaksanakan pemungutan pajak daerah; Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan; Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah; Menyajikan informasi keuangan daerah; Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.
Sebagai pengelola APBD, menurut PP Nomor 56 Tahun 2005, PPKD bertugas menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan daerah kepada pemerintah, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri atau Menteri Teknis terkait sesuai kebutuhan. Penyediaan informasi dilakukan secara berkala melalui dokumen tertulis atau media lainnya. PPKD juga bertindak sebagai bendahara umum daerah (BUD). Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005, dalam kapasitasnya sebagai BUD, PPKD berwenang: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD; Mengesahkan DPA-SKPD; Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD; Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah; Melaksanakan pemungutan pajak daerah; Memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk; 7) Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD; 8) Menyimpan uang daerah; 9) Menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD); 10) Melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi; 11) Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah; 12) Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah; 13) Melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
153
14) Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; 15) Melakukan penagihan piutang daerah; 16) Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah; 17) Menyajikan informasi keuangan daerah; 18) Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah. Bendahara Umum Daerah wajib menyampaikan laporan atas pengelolaan uang yang terdapat dalam kewenangannya kepada Kepala Daerah setiap hari kerja. Laporan tersebut berupa Laporan Posisi Kas Harian dan Rekonsiliasi Bank. PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan SKPKD selaku kuasa BUD, yang melaksanakan sebagian tugas BUD. Penunjukan kuasa BUD tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas BUD. Kuasa BUD mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugasnya kepada PPKD. Kuasa BUD untuk mempunyai tugas: 1) 2) 3) 4)
menyiapkan anggaran kas; menyiapkan SPD; menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D); menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah.
Selain melaksanakan hal yang sudah menjadi tugasnya, Kuasa BUD juga melaksanakan kewenangan berikut ini: 1) Memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk; 2) Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD; 3) Menyimpan uang daerah; 4) Melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi; 5) Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah; 6) Melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah; 7) Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; 8) Melakukan penagihan piutang daerah.
9.2.4 Pejabat Pengguna Anggaran/Barang Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang. SKPD dikepalai oleh kepala SKPD yang merupakan Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi SKPD yang dipimpinnya. Dalam kapasitasnya sebagai Pengguna Anggaran (PA), kepala SKPD merupakan pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya, sedang dalam kapasitasnya sebagai Pengguna Barang, kepala SKPD merupakan pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik daerah. Selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah, kepala SKPD mempunyai tugas sebagai berikut. 1) 2) 3) 4)
154
Menyusun anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang dipimpinnya ; Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran (DPA); Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya; Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5) 6) 7) 8)
Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya; Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya; Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya. Melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah; 9) Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Dalam melaksanakan tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang, Kepala SKPD berwenang: 1) 2) 3) 4) 5)
Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja; Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran; Menggunakan barang milik daerah; Mengawasai pelaksanaan anggaran; Mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan; 6) Menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM). Dalam melaksanakan tugas-tugas pejabat pengguna anggaran/pengguna barang (kepala SKPD) dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Pelimpahan sebagian kewenangan pengguna anggaran tersebut ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD, dan didasarkan pada: pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali, dan/atau pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut meliputi: 1) 2) 3) 4)
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja; melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran; mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan; 5) menandatangani surat perintah membayar langsung (SPM-LS) dan surat perintah membayar tambah uang persediaan (SPM-TU); 6) mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; 7) melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna anggaran. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran. Menurut Perpres No 54 Tahun 2010, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran memiliki tugas dalam proses pengadaan barang dan jasa meliputi: 1) Mengumumkan Rencana Umum Pengadaan; 2) Menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia/Pejabat Pengadaan, Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; 3) Menetapkan paket pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya di atas Rp 100 M; 4) Menetapkan paket pengadaan Jasa Konsultasi diatas Rp 10 M.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
155
9.2.5 Pejabat Pembuat Komitmen Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Menurut Permendagri Nomor 21 tahun 2011, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sesuai peraturan perundangundangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai pejabat pembuat komitmen dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/ kuasa pengguna barang. Dengan demikian Kuasa Pengguna Anggaran sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen. Pejabat Pembuat Komitmen merupakan pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk untuk mengambil kuputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah. Menurut Perpres No 54 Tahun 2010, PPK memiliki tugas meliputi: 1) Menyusun dan menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa; 2) Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa meliputi spesikasi teknis, rincian harga pekiraan sendiri (HPS), dan rancangan kontrak; 3) Menyetujiui bukti pembelian serta menandatangani bukti kwitansi, surat perintah kerja, dan Surat Perjanjian; 4) Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa; 5) Mengendalikan pelaksanaan kontrak; 6) Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA; 7) Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada KPA; 8) Melaporkan kemajuan pekerjaan, termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaa pekerjaan kepada PA/KPA; 9) Mengusulkan kepada PA/KPA terkait perubahan paket pekerjaan, perubahan jadwal kegiatan pengadaan. Dalam melaksanakan tugasnya, PPK dapat menetapkan tim pendukung pengadaan barang dan jasa (tim teknis) dan tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer).
9.2.6 Panitia Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan Panitia pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan tim/pejabat yang diangkat oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran yang bertugas memilih penyedia barang/jasa. Menurut Perpres No 54 Tahun 2010, Pokja ULP (Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan) dan pejabat pengadaan bertugas melaksanaan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana yang bersumber dari APBN/APBD. Pokja ULP diwajibkan melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan nilai di atas Rp.200.000.000, serta pengadaan jasa konsultansi di atas Rp.50.000.000. Pejabat pengadaan diwajibkan melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan nilai diatas Rp 50.000.000. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan memiliki tugas meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
156
Menyusun rencana penetapan penyedia jasa barang/jasa; Menetapkan dokumen pengadaan; Menetapkan besaran jaminan penawaran; Mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa; Mengevaluasi kualikasi penyedia barang/jasa; Mengevaluasi penawaran yang masuk; Melaporkan pelaksanaan pengadaan.
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
9.2.7 Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) SKPD, kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai pejabat penatausahaan keuangan SKPD (PPK-SKPD). PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK. PPK-SKPD bertugas untuk: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
meneliti kelengkapan SPP yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran; melakukan verikasi SPP; menyiapkan surat perintah membayar (SPM); melakukan verikasi harian atas penerimaan; melaksanakan akuntansi SKPD; menyiapkan laporan keuangan SKPD
9.2.8 Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dan kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut didasarkan pada pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. PPTK yang ditunjuk oleh pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang, sedang PPTK yang ditunjuk oleh kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang. PPTK mempunyai tugas berikut. 1) Mengendalikan pelaksanaan kegiatan; 2) Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; 3) Menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan. Dokumen anggaran tersebut mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
9.2.9 Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran ditetapkan oleh kepala daerah atas usul PPKD untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada SKPD maupun PPKD. Sebutan bendahara penerimaan umumnya diartikan sebagai bendahara penerimaan di SKPD, sedang bendahara penerimaan di PPKD biasanya disebut Bendahara Penerimaan PPKD. Demikian juga, sebutan bendahara pengeluaran umumnya diartikan sebagai bendahara pengeluaran di SKPD, sedang bendahara pengeluaran di PPKD biasanya disebut Bendahara Pengeluaran PPKD. Dalam hal pengguna anggaran melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kuasa pengguna anggaran, ditunjuk bendahara pengeluaran maupun bendahara penerimaan pembantu SKPD untuk melaksanakan sebagian tugas dan wewenang bendahara pengeluaran atau penerimaan SKPD. Jabatan bendahara penerimaan/pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh pejabat yang terlibat didalam pengelolaan keuangan daerah, misalnya PPK SKPD, PPTK, Kuasa Pengguna Anggaran atau
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
157
Kuasa Bendahara Umum Daerah. Selain itu, bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan Iainnya atas nama pribadi. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD. Sedangkan secara administratif, keduanya bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PA (kepala SKPD) atau KPA. Gambar 9.1
Ilustrasi Hubungan Kerja Pengelola Keuangan Dalam Struktur SKPD Berbentuk Dinas Ilustrasi Hubungan Kerja Pengelola Keuangan Dalam Struktur SKPD Berbentuk Dinas KEPALA DINAS Penggunaan Anggaran
SEKRETARIS Kuasa Pengguna Anggaran
KASUBAG LAINNYA
KASUBAG KEUANGAN DAN PERLENGKAPAN
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
Pejabat Penatausahaan keuangan SKPD
KABID BENDAHARA
Kuasa Pengguna Anggaran
KEPALA SEKSI Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan
Pembantu Bendahara Bendahara Pembantu
KEPALA UPTD
Staf PPK SKPD
Kuasa Pengguna Anggaran
9.2.10 Bendahara dan Sistem Perbendaharaan Negara Perbendaharaan Negera sebagaimana yang dimaksud UU Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD yang ruang lingkupnya meliputi. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
158
Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara; Pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah; Pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara; Pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah; Pengelolaan kas; Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah; pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah; penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah; penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD; penyelesaian kerugian negara/daerah; pengelolaan Badan Layanan Umum; perumusan standar, kebijakan, serta system dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pihak-pihak yang terkait proses sistim perbendaharan negara/daerah disebut dengan pejabat perbendaharaan. Pejabat Perbendaharaan daerah sebagaimana yang diatur pada Bab II UU perbendaharaan negara terdiri atas 3 bagian yaitu Pengguna Anggaran, Bendahara Umum Negara/ Daerah dan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran. 1. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah pengguna anggaran/pengguna barang bagi SKPD yang dipimpinnya dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan anggaran di SKPD yang dipimpinanya. 2. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah. 3. Bendahara terdiri dari: Bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas bendahara dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan di SKPD. Bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas bendahara dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja di SKPD. Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan secara ringkas hubungan antara pejabat bendahara daerah dalam kerangka pelaksanaan sistem perbendaharaan sebagai berikut. Gambar 9.2
Pola Hubungan Pejabat Perbendaharaan Daerah Kepala Daerah
Kepala SKPD (Pengguna Anggaran)
Kepala SKPD (BUD)
Kuasa Pengguna Anggaran
Kuasa BUD
BENDAHARA
Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan kewenangan kepada SKPD untuk suatu bidang pemerintahan tertentu atas kewenangan tersebut dialokasi dana untuk pelaksanaan kewengan tersebut yang disebut juga dengan istilah Chief Operational Ofcer (COO). Sedangkan pada aspek pengelolaan keuangan dilimpahkan kepada Kepala SKPKD yang juga disebut dengan Chief Financial Officer (CFO) yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban daerah. Konsekuensi pembagian tugas antara PPKD dan para Kepala SKPD selaku pengguna anggaran tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji (checkandbalance) dalam proses pelaksanaan anggaran perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan kebendaharaan.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
159
Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada SKPD, sementara penyelenggaraan kewenangan kebendaharaan diserahkan kepada PPKD/BUD. Kewenangan administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran daerah, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada pengguna anggaran/kepala SKPD sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran. Dalam kerangka pelaksanaan program kegiatan di SKPD pengguna anggaran dibantu oleh Bendahara dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan di SKPD .
9.3 Penatausahaan Penerimaan Kas Daerah 9.3.1 Lingkup Penerimaan Daerah Penerimaan daerah meliputi pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan. Penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan daerah diperoleh melalui Bendahara Penerimaan, Bendahara Penerimaan Pembantu serta Bank Pemerintah, Bank Lain, Badan, Lembaga Keuangan, Kantor Pos. Penerimaan pembiayaan adalah penerimaan daerah yang dimaksudkan untuk menutup desit, meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
Penerimaan pinjaman; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; Mencairkan dana cadangan; Mencairkan investasi dalam bentuk deposito; Penggunaan SILPA; Hasil penjualan kekayaan daerah; Penerimaan piutang daerah.
9.3.2 Ketentuan Umum Penatausahaan Penerimaan Daerah a. Semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan BLUD dll. d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja. e. Penerimaan daerah yang disetor ke rekening kas umum daerah dilakukan dengan cara: Disetor langsung ke Bank Kas Daerah; Disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan, dan/atau kantor pos; Disetor melalui bendahara penerimaan.
9.3.3 Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Penatausahaan Penerimaan Daerah a. Pengguna Anggaran, memiliki tugas: Menetapkan SKR (Surat Ketetapan Retribusi). Menerima dan mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara Penerimaan melalui PPK-SKPD.
160
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
b. Bendahara Penerimaan, memiliki tugas: Menerima pembayaran sejumlah uang yang tertera pada SKP-Daerah/SKR dari Wajib Pajak/ Retribusi; Memverikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKP Daerah/SKR yang diterimanya dari Pengguna Anggaran; Membuat Surat Tanda Setoran (STS) dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah; Menyerahkan Tanda Bukti Pembayaran/tanda bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/ Retribusi; Menyerahkan uang yang diterimanya dan STS pada Bank; Menerima STS yang telah diotorisasi dari Bank dan menyampaikan ke BUD; Membuat dan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan kepada Pengguna Anggaran dan PPKD selaku BUD. c. PPKD Selaku BUD, memiliki tugas: Menerima Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara Penerimaan melalui PPK-SKPD; Melakukan verikasi, evaluasi, serta analisis atas laporan pertanggungjawaban bendahara penerimaan SKPD dalam rangka rekonsiliasi penerimaan. d. PPKD, memiliki tugas: Menetapkan SKP (Surat Ketetapan Pajak)-Daerah. e. PPK-SKPD, memiliki tugas: Melakukan verikasi harian atas penerimaan.
9.3.4 Prosedur Penerimaan Daerah 1. Prosedur Penerimaan Kas SKPD Prosedur pelaksanaan penerimaan pendapatan di SKPD merupakan serangkaian langkah-langkah tindakan atau kegiatan yang dimulai dari diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) daerah dan/ atau Surat Ketetapan Retribusi (SKR) sampai dengan penyetorannya ke kas umum daerah oleh bendahara penerimaan. Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)/Pengguna Anggaran (PA) menyerahkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKP) dan/atau Surat Ketetapan Retribusi (SKR) kepada bendahara penerimaan dan wajib pajak/retribusi. 2. Wajib pajak/retribusi membayarkan sejumlah uang yang tertera dalam SKP/SKR kepada bendahara penerimaan. Di dalam prakteknya, wajib pajak/retribusi dimungkinkan untuk menyetor ke rekening bendahara penerimaan SKPD bahkan dapat juga langsung menyetorkan ke rekening kas daerah, tergantung dari aturan pembayaran yang berlaku di pemerintah yang bersangkutan. 3. Bendahara penerimaan memverikasi kesesuaian jumlah uang yang diterimanya dengan dokumen SKP/SKR. 4. Setelah diverikasi, bendahara penerimaan memberikan surat tanda Bukti Pembayaran/Bukti Lain yang Sah kepada wajib pajak/retribusi. 5. Bendahara penerimaan menyiapkan bukti setor berupa STS dan menyetorkan uang yang diterimanya beserta STS ke Bank yang ditunjuk untuk penyetoran pendapatan ke rekeninng kas daerah. 6. Bank membuat nota kredit dan mengotorisasi STS, kemudian bank menyerahkan kembali STS yang sudah diotorisasi kepada bendahara penerimaan. Sedangan nota kredit diserahkan Bank kepada BUD. Prosedur penerimaan dan penyetoran pendapatan sebagaimana diuraikan di atas berlaku juga bagi bendahara penerimaan pembantu SKPD.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
161
2. Prosedur Penerimaan Kas PPKD Sistem dan prosedur penerimaan pendapatan dan pembiayaan di PPKD adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari penerimaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban penerimaan pendapatan dalam rangka pelaksanaan APBD pada bendahara penerimaan PPKD. Penerimaaan yang dikelola PPKD dapat berupa pajak daerah, pendapatan dana perimbangan, pendapatan lain-lain yang sah, dan pembiayaan penerimaan. Penerimaan-penerimaan tersebut diterima secara langsung di Kas Umum Daerah. Berdasarkan penerimaan tersebut, Bank membuat Nota Kredit yang memuat informasi tentang penerimaan tersebut, baik berupa informasi pengiriman, jumlah rupiah maupun kode rekening yang terkait. Bendahara penerimaan wajib mendapatkan nota kredit tersebut melalui mekanisme yang telah ditetapkan.
9.4 Penatausahaan Pengeluaran Daerah 9.4.1 Deskripsi Penatausahaan Pengeluaran Daerah Kegiatan pengeluaran uang dari Kas Umum Daerah atas beban APBD dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Surat Penyediaan Dana (SPD) adalah dokumen yang diterbitkan oleh BUD/kuasa BUD yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP. Untuk mendapatkan SPD, pengguna/ kuasa pengguna anggaran mengajukan permohonan penyediaan dana kepada BUD. Karena fungsi dari SPD sebagai informasi ketersediaan dana pada BUD maka frekuensi dan nilai setiap SPD tergantung dari ketersediaan dana dan kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah. Bagi daerah yang mempunyai ketersediaan dana yang cukup besar penerbitan SPD kemungkinan hanya diterbitkan sekali setahun bahkan DPA SKPD dapat berfungsi sebagai SPD. Bagi daerah yang mempunyai dana yang cukup, kemungkinan jumlah SPD untuk gaji (belanja tidak langsung) diterbitkan sekali 3 bulan sedangkan untuk kegiatan (belanja langsung) diterbitkan perbulan atau berdasarkan rencana pembayaran. Berdasarkan informasi SPD, Pejabat Teknis Pelaksana Teknis Kegiatan melaksanakan kegiatan. Pelaksanaan kegiatan menghasilkan kelengkapan dokumen sebagai dasar bagi Bendahara Pengeluaran untuk menerbitkan Surat Pemintaan Pembayaran (SPP). Permintaan pembayaran ini dibedakan menjadi: 1. Uang Persediaan (UP), yaitu permintaan dana yang diajukan pada awal tahun sebagai uang muka kerja. 2. Ganti Uang Persediaan (GU), yaitu permintaan dana untuk mengganti uang persediaan yang telah terpakai. 3. Tambah Uang (TU), yaitu permintaan dana yang sifatnya mendesak dan insidentil. 4. Langsung (LS), yaitu permintaan dana yang digunakan untuk pembayaran langsung pada pihak ketiga. Berdasarkan SPP, Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD menyiapkan Surat Perintah Pembayaran (SPM) yang diotorisasi Pengguna Anggaran / Kuasa Pengguna Anggaran. Berdasarkan SPM, Bendahara Umum Daerah menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) untuk dibayarkan kepada Bendahara Pengeluaran atau pihak ketiga.
162
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
9.4.2 Lingkup Penatausahaan Pengeluaran Daerah a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Penyusunan dan Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD; Penyusunan dan Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Lanjutan (DPAL) SKPD; Penyusunan dan Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) SKPD; Anggaran Kas; Pembuatan Surat Penyediaan Dana (SPD); Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP); Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM); Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D); Pelaksanaan Belanja; Pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Pengeluaran; Pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Pengeluaran Pembantu.
9.4.3 Pihak-pihak yang terlibat dalam Penatausahaan Pengeluaran Daerah a. Sekda Bertugas memberi persetujuan pengesahan DPA SKPD. b. PPKD Bertugas mengesahkan DPA SKPD dan Anggaran Kas. c. PPKD selaku BUD Bertugas menerbitkan SPD d. PPTK Bertugas menyiapkan dokumen SPP LS. e. Bendahara Pengeluaran Bertugas mengajukan SPP UP/GU/TU dan SPP LS. f. Kepala SKPD Bertugas mengajukan SPM UP/GU/TU dan SPM LS. g. Kuasa BUD Bertugas menerbitkan SP2D. h. PPK SKPD Bertugas mengakuntansikan dan menyiapkan laporan keuangan SKPD.
9.4.4 Prosedur Pengeluaran Kas Daerah 1. Prosedur Pengeluaran Kas SKPD Untuk melaksanakan pembayaran belanja, bendahara pengeluaran akan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada PA/KPA melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD. Dokumen SPP yang disusun dan diajukan oleh bendahara pengeluaran dapat berupa SPP Uang Persediaan (UP), SPP Ganti Uang persediaan (GU), SPP Tambahan Uang (TU) dan SPP Langsung (LS). Selanjutnya PPK-SKPD akan menguji dan/atau memverikasi SPP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran, antara lain menyangkut syarat kelengkapan dokumen SPP dan lampirannya, kebenaran dalam tulisan, ketersediaan pagu anggaran. Setelah semua persyaratan pengajuan SPP terpenuhi, PPK-SKPD selanjutnya menyiapkan draft Surat Pertintah Membayar (SPM) kemudian diparaf dan diajukan kepada PA/KPA sesuai kewenangannya. PA dapat menandatangani/menerbitkan semua jenis SPM, sementara KPA hanya dapat menerbitkan SPM TU dan SPM-LS Barang dan Jasa untuk anggaran belanja yang berada di bawah pengelolaanya.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
163
Selanjutnya, SPM yang telah ditandatangani oleh PA/KPA disampaikan ke Kuasa BUD. Jika SPM yang diajukan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, Kuasa BUD selanjutnya akan menerbitkan SP2D. Jenis SPM dan SP2D yang diterbitkan oleh pihak-pihak yang berwenang tentunya mengikuti dengan jenis SPP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran. Misalnya, jika bendahara pengeluaran mengajukan SPP-UP, maka PA/KPA akan menerbitkan SPM-UP, demikian juga kuasa BUD akan menerbitkan SP2D-UP, dan demikian seterusnya. SP2D merupakan bukti terjadinya transaksi pengeluaran kas (sebagai uang muka kerja) dari BUD dan/ atau pembayaran belanja (tergantung jenis SP2D-nya), sedangkan SPP dan SPM hanya merupakan bukti pendukung. SP2D dan dokumentasi transaksi lainnya (kwitansi, faktur pajak, surat setoran pajak/SSP, dsb) merupakan dokumen transaksi yang menjadi dasar pembukuan transaksi oleh bendahara pengeluaran maupun pencatatan akuntansi oleh PPK-SKPD.
2. Prosedur Pengeluaran Kas PPKD Prosedur pembayaran oleh bendahara pengeluaran PPKD dilakukan dengan cara LS (langsung) yaitu dengan mengajukan SPP-LS kepada BUD/Kuasa BUD kepada PPK-SKPKD atau pejabat yang ditunjuk untuk memverikasi SPP. SPP-LS yang diajukan oleh bendahara pengeluaran PPKD dilampiri dengan dokumen-dokumen yang diperlukan, antara lain: 1). Salinan SPD; 2). Lampiran lain yang diperlukan. Bendahara pengeluaran PPKD mengisi dokumen SPP LS PPKD yang telah disiapkan. Disamping membuat SPP, bendahara pengeluaran PPKD juga membuat register untuk SPP yang diajukan, SPM dan SP2D yang sudah diterima oleh bendahara. Pembayaran yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran PPKD adalah untuk pengeluaran belanja dan/atau pembiayaan yang tercantum di dalam DPA-PPKD. Adapun anggaran pengeluaran di dalam DPA-PPKD terdiri dari: a. Belanja tidak langsung selain belanja pegawai, terdiri dari: belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan keuangan, bantuan sosial, belanja tak terduga. b. Pengeluaran pembiayaan, terdiri dari: pembayaran pokok pinjaman, investasi, pemberian pinjaman, pembentukan dana cadangan.
9.5 Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Negara 9.5.1 Pengertian Kerugian Negara Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai sebagaimana yang dimaksud peraturan kepala BPK No 3 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara. Informasi mengenai adanya kekurangan perbendaharaan yang mengakibatkan kerugian Negara/Daerah dapat diketahui dari berbagai sumber, antara lain: a. Hasil pengawasan/hasil pemeriksaan oleh Aparat Pengawasan Eksternal dan Aparat Pengawasan Fungsional/Internal Pemerintah dalam hal ini BPK dan Inspektorat /BPKP Apabila Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atau aparat pengawasan fungsional internal ditemukan/diduga terdapat Kerugian keuangan Negara/Daerah, maka pengungkapan Kerugian Negara tersebut dilakukan segera pada kesempatan pertama.
164
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
b. Pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara kantor/satuan kerja. Apabila didalam pelaksanaan pengawasan melekat ditemukan/ diduga terdapat kerugian Negara, maka atasan langsung bendahara atau kepala satuan kerja wajib melaporkan setiap kerugian Negara kepada pimpinan instansi dan memberitahukan Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian Negara diketahui. c. Perhitungan ex ofcio Apabila Bendahara lalai membuat pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, berada dalam pengampunan, melarikan diri, atau meninggal dunia, dan tidak dapat segera dilakukan pengujian/ pemeriksaan kas, maka harus dibuatkan perhitungan secara ex ofcio. Penghitungan ex ofcio adalah suatu perhitungan perbendaharaan yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk ex ofcio. Bila dalam perhitungan yang dibuat secara ex ofcio tersebut terdapat kerugian Negara, maka kekurangan itu menjadi tanggung jawab Bendahara bersangkutan.
9.5.2 Tim Penyelesaian Kerugian Negara Untuk melaksanakan proses penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah yang terjadi di lingkungan instansi pemerintah, termasuk pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 10 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara, baik yang dilakukan oleh bendahara maupun pegawai negeri bukan bendahara/pejabat lain/pihak manapun, diselesaikan melalui organisasi penyelesaian kerugian Negara/daerah yakni Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah (TPKN/D) dan/atau Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (MP TP-TGR). Tim Penyelesaian Kerugian Negara, yang selanjutnya disebut TPKN, adalah tim yang menangani penyelesaian kerugian Negara yang diangkat oleh pimpinan instansi yang bersangkutan, TPKN terdiri dari : 1. Sekretaris jenderal/kepala kesekretariatan badan-badan lain/sekretaris daerah provinsi/ kabupaten/kota sebagai ketua; 2. Inspektur jenderal/kepala satuan pengawasan internal/inspektur provinsi/kabupaten/kota sebagai wakil ketua; 3. Kepala biro/bagian keuangan/kepala badan pengelola keuangan daerah sebagai sekretaris; 4. Personil lain yang berasal dari unit kerja di bidang pengawasan, keuangan, kepegawaian, hukum, umum, dan bidang lain terkait sebagai anggota; 5. Sekretariat. Apabila dipandang perlu, kepala satuan kerja dapat membentuk tim ad hoc untuk menyelesaikan kerugian Negara yang terjadi pada satuan kerja yang bersangkutan. Tim ad hoc melakukan pengumpulan data/informasi dan verikasi kerugian Negara berdasarkan penugasan dari kepala satuan kerja. Kepala satuan kerja melaporkan pelaksanaan tugas tim ad hoc kepada pimpinan instansi yang bersangkutan dengan tembusan kepada TPKN untuk diproses lebih lanjut. TPKN bertugas membantu pimpinan instansi dalam memproses penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara yang pembebanannya akan ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam rangka melaksanakan tugas, TPKN menyelenggarakan fungsi untuk: 1. Menginventarisasi kasus kerugian Negara yang diterima; 2. Menghitung jumlah kerugian Negara; 3. Mengumpulkan dan melakukan verikasi bukti-bukti pendukung bahwa bendahara telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian Negara;
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
165
4. Menginventarisasi harta kekayaan milik bendahara yang dapat dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian Negara; 5. Menyelesaiakan kerugian Negara melalui SKTJM (Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak); 6. Memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian Negara sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menetapkan pembebanan sementara; 7. Menatausahakan penyelesaian kerugian Negara; 8. Menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian Negara kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada Badan pemeriksa Keuangan.
9.5.3. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak SKTJM adalah surat keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian Negara yang terjadi dan bersedia mengganti kerugian Negara dimaksud paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat dari Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam hal bendahara menandatangani SKTJM, maka yang bersangkutan wajib menyerahkan jaminan kepada TPKN, antara lain dalam bentuk dokumen-dokumen sebagai berikut : 1. Bukti kepemilikan barang dan/atau kekayaan lain atas nama bendahara; 2. Surat kuasa menjual dan/atau mencairkan barang dan/atau kekayaan lain dari bendahara. SKTJM yang telah ditandatangani oleh bendahara tidak dapat ditarik kembali. Surat kuasa menjual dan/atau mencairkan barang dan/atau harta kekayaan yang dijaminkan berlaku setelah Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat keputusan pembebanan.
9.5.4 Jangka Waktu Penggantian Kerugian Negara Penggantian kerugian Negara dilakukan secara tunai selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja sejak SKTJM ditandatangani. Apabila bendahara telah mengganti kerugian Negara, TPKN (Tim Penyelesaian Kerugian Negara) mengembalikan bukti kepemilikan barang dan surat kuasa menjual. Dalam rangka pelaksanaan SKTJM, bendahara dapat menjual dan/atau mencairkan harta kekayaan yang dijaminkan, setelah mendapat persetujuan dan di bawah pengawasan TPKN. 1. TPKN melaporkan hasil penyelesaian kerugian Negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian Negara kepada pimpinan instansi. 2. Pimpinan instansi memberitahukan hasil penyelesaian kerugian Negara melalui SKTJM atau surat pernyataan bersedia mengganti kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima laporan TPKN. Dalam hal bendahara telah mengganti kerugian negara, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat rekomendasi kepada pimpinan instansi agar kasus kerugian negara dikeluarkan dari daftar kerugian negara.
9.5.5 Pengajuan Keberatan Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan surat keputusan pembebanan apabila: Jangka waktu untuk mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 telah terlampaui dan bendahara tidak mengajukan keberatan; atau
166
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bendahara mengajukan keberatan tetapi ditolak; atau Telah melampaui jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian negara negara belum diganti sepenuhnya. Surat Keputusan Pembebanan disampaikan kepada bendahara melalui atasan langsung bendahara atau kepala kantor/satuan kerja bendahara dengan tembusan kepada pimpinan instansi yang bersangkutan dengan tanda terima dari bendahara. Surat Keputusan Pembebanan telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat nal.
9.5.6 Pembebananan Kerugian Negara Berdasarkan surat keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu salambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan. Dalam hal bendahara telah mengganti kerugian negara secara tunai, maka harta kekayaan yang telah disita dikembalikan kepada yang bersangkutan. Surat keputusan pembebanan memiliki hak mendahului: 1. Surat keputusan pembebanan mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaan sita eksekusi. 2. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari telah terlampaui dan bendahara tidak mengganti kerugian negara secara tunai, instansi yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas atas harta kekayaan bendahara. 3. Selama proses pelelangan dilaksanakan, dilakukan pemotongan penghasilan yang diterima bendahara sebesar 50% (lima puluh persen) dari setiap bulan sampai lunas. Pelaksanaan penyitaan dan penjualan dan/atau pelelangan diatur lebih lanjut oleh masing-masing instansi, setelah berkoordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melakukan penyitaan dan penjualan dan/atau pelelangan. Apabila bendahara tidak memiliki harta kekayaan untuk dijual atau hasil penjualan tidak mencukupi untuk penggantian kerugian negara, maka pimpinan instansi yang bersangkutan mengupayakan pengembalian kerugian negara melalui pemotongan serandah-rendahnya sebesar 50% (lima puluh persen) ddari penghasilan tiap bulan sampai lunas. Sedangkan bagi bendahara memasuki masa pensiun, maka dalam SKPP dicantumkan bahwa yang bersangkutan masih mempunyai utang kepada negara dan taspen yang menjadi hak bendahara dapat diperhitungkan untuk mengganti kerugian negara.
9.5.7 Kadaluwarsa Kewajiban bendahara untuk membayar ganti rugi menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian negara atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian negara tidak dilakukan penuntutan ganti rugi. Tanggung jawab ahli waris, pengampu, atau pihak lain yang memperoleh hak dari bendahara menjadi hapus apabila 3 (tiga) tahun telah lewat sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, atau sejak bendahara diketahui melarikan diri atau emninggal dunia tidak diberitahukan oleh pejabat yang berwenang tentang kerugian negara.
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
167
9.6 Implikasi Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Terhadap Penatausahaan Keuangan Daerah Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyusun peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi dan sistem akuntansi sehubungan dengan perbedaan basis akuntansi dari cash toward accrual (CTA) menjadi basis akrual. Perbedaan yang mendasar dari penerapan basis akrual ini adalah mengenai masalah titik pengakuan terutama pendapatan, beban dan atau perolehan aset. Titik pengakuan pendapatan adalah tidak hanya pada saat kas diterima tapi juga pada saat timbulnya hak atas pendapatan. Sedangkan pengakuan beban pada saat timbulnya kewajiban, terjadi konsumsi aset, atau terjadinya penurunan manfaat ekonomi. Untuk pengakuan aset dilakukan ketika terjadi perpindahan kepemilikan walaupun kas belum dikeluarkan. Dalam mencatat perolehan aset ini, dokumen yang diperlukan adalah Berita Acara Serah Terima (BAST) pada saat aset sudah diserahterimakan. Hal ini menjadi berbeda ketika kita masih menerapkan basis CTA dimana aset catat ketika telah diterbitkan SP2D alias kas telah dikeluarkan.
Tagihan dari pihak ketiga (Bag. Keuangan)
Hasil (Bag. Perlengkapan)
Pengakuan aset
Konsekuensi dari penerapan akuntansi berbasis akrual adalah bahwa proses penatausahaan keuangan harus di-link-kan dengan proses akuntansi. Dalam proses penatausahaan keuangan fokusnya adalah tidak hanya memproses tagihan dari pihak ketiga menjadi dokumen SP2D, namun alur informasi mulai dari tagihan diterima oleh bagian keuangan harus juga mengalir ke bagian akuntansi sehingga tagihan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mencatat hutang. Jadi bukan hanya dokumen SPJ atau SP2D yang akan mengalir ke bagian akuntansi. Bukti tagihan ini ditambah dokumen BAST yang telah ditandatangani menjadi dasar oleh bagian akuntansi untuk mencatat perolehan aset secara hutang, dan seterusnya. Dalam praktik saat ini, beberapa pemda ada yang masih mendasarkan semua pencatatan akuntansi dengan dokumen SP2D alias masih menggunakan basis kas namun ada penyesuaian di akhir periode untuk mencatat ada/tidaknya tagihan atau aset yang telah diterima namun belum terbit SP2D untuk pembayarannya. Namun demikian, dengan semangat basis akrual, maka sebaiknya proses penatausahaan bisa mendukung implementasi akuntansi akrual basis dengan meneruskan/ mengirimkan dokumen yang diperlukan oleh bagian akuntansi secara real time sehingga laporan keuangan berbasis akrual setiap saat dapat dicetak.
168
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB IX PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
169
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
170
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tujuan Instruksional Umum: Setelah mempelajari bab ini, Anda seharusnya mampu membaca dan menganalisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, peserta mampu: 1. menjelaskan perkembangan akuntansi keuangan daerah; 2. menjelaskan perangkat/instrumen penerapan akuntansi berbasis akrual; 3. mempraktikkan persamaan dasar, basis akuntansi dan siklus akuntansi keuangan berbasis akrual; 4. mengimplementasikan akuntansi keuangan daerah berbasis akrual; 5. Menghitung dan menafsirkan laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan hasil analisis. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1
Perkembangan Baru Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah
Cash Towards Accrual (CTA), Akuntansi Berbasis Akrual, PP Nomor 24 tahun 2005, PP Nomor 71 Tahun 2010, Permendagri Nomor 64 Tahun 2013
2
Perangkat/Instrumen Penerapan Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual
Kebijakan Akuntansi, Sistem Akuntansi, Permendagri Nomor 64 Tahun 2013.
3
Konsep Dasar Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual
Persamaan Dasar Akuntansi, Saldo Normal, Konsep Dasar Akuntansi.
4
Implementasi Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual
Penyusunan Laporan Keuangan, Akuntansi Pendapatan, Akuntansi Belanja/Beban, Akuntansi Aset, Akuntansi Kewajiban.
5
Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Analisis Laporan Keuangan (ALK), Analisis Vertikal, Analisis Horisontal.
6
Kiat-kiat Meraih dan Mempertahankan Opini WTP Seiring dengan Penerapan akuntansi Keuangan Berbasis Akrual
Kiat-kiat Meraih dan Mempertahankan Opini WTP.
Bahan Bacaan: 1. PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 2. Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi Pemerintahan No. 1 s.d. 14; 3. PMK 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan; 4. Permendgri No. 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah; 5. Permendagri 13 Tahun 2006 jo Permendagri 59 Tahun 2007 dan Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. SE Ditjen BAKD No.900/079/BAKD/2008; 7. Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No 2 dan 3; 8. Halim, Abdul dan Muhammad Syam Kusu, Akuntansi Keuangan Daerah – SAP berbasis Akrual, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012; 9. Mulyana, Budi, Handbook Akuntansi Keuangan Daerah Berbasis Akrual, Berdasar SAP Akrual (PP 71/2010), 2012.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
171
10.1 Perkembangan Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah Amanat Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa “ ... pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual ... dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.” Senada dengan hal ini, Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa “ ... pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual ... dilaksanakan selambatlambatnya pada tahun anggaran 2008 dan selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.” Untuk mengatur akuntansi basis akrual sesuai dengan amanat UU Nomor 17/2003 dan UU No 1/2004, maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang menggunakan basis akrual, sebagai penganti PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menggunakan basis kas menuju basis akrual (cash toward accrual). Pada PP Nomor 71 Tahun 2010 diamanatkan penggunaan basis akrual dalam sistem akuntansi keuangan pemerintah dilaksanakan paling lambat tahun 2015. Untuk mendukung pelaksanaan PP Nomor 71 Tahun 2010, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah (PUSAP) dan Permendagri No. 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah. PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) menyatakan bahwa SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dalam PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdapat 3 (tiga) lampiran yaitu: Lampiran I tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2015; Lampiran II tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014; dan Lampiran III tentang Proses Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. Lampiran I berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas, sedangkan Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 Tahun 2005 tanpa adanya perubahan. Dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual (Lampiran I PP 71/2010), maka entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP Berbasis Kas menuju akrual (Lampiran II PP 71/2010) paling lama 4 (empat) tahun setelah tahun anggaran 2010 atau dengan kata lain maksimal tahun 2014. Setelah tahun 2014 harus sudah menerapkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual (Lampiran I PP 71/2010). Menindaklanjuti dikeluarkannya PP 71/2010, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.05/ Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan (PUSAP). PUSAP bertujuan untuk memberikan pedoman bagi Pemerintah dalam rangka penyusunan Sistem Akuntansi Pemerintahan yang mengacu pada SAP berbasis Akrual. Demikian pula Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah Daerah harus diatur dengan peraturan gubernur/bupati/ walikota yang mengacu pada Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 ayat (2) sampai dengan (4) sebagai berikut: (2). Sistem akuntansi pemerintahan pada Pemerintah Pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. (3). Sistem akuntansi pemerintahan pada Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur/ Bupati/Walikota yang mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan.
172
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(4). Pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya pemerintah daerah mengeluarkan Permendagri No. 64 tahun 2013 sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam rangka penerapan SAP berbasis akrual. Peraturan ini meliputi batang tubuh dan 4 lampiran yaitu lampiran I tentang Panduan Penyusunan Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah, lampiran II tentang Panduan Penyusunan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah, lampiran III tentang Bagan Akun Standar Pemerintah Daerah, dan lampiran IV tentang Format Konversi Penyajian LRA.
10.2 Perangkat/Instrumen Penerapan Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual Perangkat utama yang dibutuhkan dalam rangka implementasi akuntansi keuangan daerah berbasis akrual meliputi 3 (tiga) hal yaitu: Perangkat Peraturan, Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Dukungan Teknologi Informasi. Hal ini sebagaimana digambarkan pada Gambar 10.1. Gambar 10.1 Perangkat Implementasi
Penyaiapn SDM Dukungan Teknologi Informasi
Penyaiapan Peraturan
Perangkat Implementasi
Berdasarkan permendagri 64/2013, terdapat 2 (dua) peraturan yang wajib ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi/Kab/Kota, yaitu Pertama Peraturan tentang Kebijakan Akuntansi dan Kedua Peraturan tentang Sistem Akuntansi. Kebijakan akuntansi pemerintah daerah adalah prinsip-prinsip, dasardasar, konvensi-konvensi, aturan-aturan, dan praktik-praktik spesik yang dipilih oleh pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan dalam rangka meningkatkan keterbandingan laporan keuangan terhadap anggaran, antar periode maupun antar entitas. Sedangkan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) adalah rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi pemerintahan daerah. Peraturan kepala daeah yang mengatur kebijakan akuntansi dan SAPD ditetapkan paling lambat tanggal 31 Mei 2014 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Permendagri 64/2013: “Peraturan kepala daerah yang mengatur kebijakan akuntansi pemerintah daerah ... dan peraturan kepala daerah yang mengatur SAPD ... ditetapkan paling lambat tanggal 31 Mei 2014.”. Sampai dengan saat ini, jumlah pemda yang telah menyusun peraturan dapat dilihat pada tabel berikut:
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
173
Tabel 10.1 Perkembangan Penyelesaian Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota Tentang Kebijakan Akuntansi Berbasis Akrual dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah Peraturan Gubernur/ Bupati/ Walikota tentang ... Kebijakan Akuntansi Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Jml
34 34
Provinsi Yang % Menyelesaikan Perkada 34 100 34 100
Kabupaten/Kota Yang % Menyelesaikan Perkada 508 232 46 508 169 33
Jml
TotalProv/Kab/Kota Jml Yang % Menyelesaikan Perkada 542 266 49,07 542 203 37,45
Sumber: Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, akhir november 2014
Dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), yang perlu disiapkan adalah kapasitas dan kuantitas SDM yang mempunyai kompetensi dalam bidang akuntansi keuangan pemerintah daerah berbasis akrual, manajemen aset dan penatausahaan keuangan seiring dengan penerapan akuntansi keuangan berbasis akrual. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan bagi SDM di setiap SKPD dan PPKD untuk memperoleh kompetensi dimaksud sehingga hal ini akan mendorong implementasi/ penerapan kebijakan dan sistem akuntansi berbasis akrual. Selain instrumen peraturan dan penyiapan SDM, dukungan teknologi informasi menjadi hal yang krusial dalam era teknologi dewasa ini. Aspek teknologi informasi menjadikan proses pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan menjadi jauh lebih mudah, cepat dan akurat serta handal. Pemerintah daerah dapat menggunakan aplikasi akuntansi keuangan daerah yang terintegrasi dengan penatausahaan aset dan keuangan yang beredar di pasaran atau membangun sendiri aplikasi yang terintegrasi tersebut dan meng-kustomisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah masing-masing. Apabila hal ini belum dapat dilakukan, sebagai jalan keluar, pemerintah daerah dapat membuat aplikasi sederhana berbasis MS Access atau MS Excel untuk pencatatan dan pelaporan akuntansi berbasis akrual.
10.3 Basis Akuntansi Basis akuntansi yang dinyatakan dalam Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 yaitu basis akrual untuk mencatat pengakuan aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan-LO dan Beban, sedangkan pengakuan pendapatan-LRA dan Belanja dilakukan secara basis kas. Masih adanya basis kas dalam pengakuan pendapatan-LRA dan Belanja karena sampai dengan saat ini penganggaran masih dilakukan menggunakan basis kas. Basis akrual yaitu basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Basis Kas yaitu basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Pemahaman basis akuntansi yang digunakan ini akan memberikan panduan dalam memperlakukan transaksi yaitu kapan akan dicatat dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Basis akuntansi akrual digunakan dalam rangka menyajikan laporan keuangan berupa Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca. Untuk mencatat transaksi ini dilakukan dengan membuat jurnal nansial.
174
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Basis akuntansi kas digunakan untuk menyajikan laporan keuangan berupa laporan realisasi anggaran dan laporan perubahan SAL. Transaksi yang terjadi yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran dibuat jurnal anggaran.
10.4 Persamaan Dasar Akuntansi Untuk dapat melakukan pencatatan dan pelaporan akuntansi, langkah awal kita harus memahami konsep dasar/persamaan dasar akuntansi keuangan berbasis akrual, yaitu: Tabel 10.2 Persamaan Dasar Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual KEKAYAAN DAERAH
=
SUMBER - SUMBERNYA
ASET
=
KEWAJIBAN
+
EKUITAS*
ASET
=
KEWAJIBAN
+
EKUITAS**
Sisi kiri
=
Sisi kanan
Sisi debit
=
Sisi kredit
+
PENDAPATAN
-
BEBAN
*) Ekuitas akhir [kalau dulu (Cash Toward Accrual) dinamakan ekuitas dana] **) Ekuitas awal
Persamaan dasar ini akan mendasari seluruh proses dalam siklus akuntansi, mulai dari pencatatan transaksi, pengklasikasian, sampai pada penyusunan laporan keuangan seperti neraca. Secara garis besar, laporan neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah daerah pada tanggal tertentu. Struktur neraca tersebut bisa dibuat dalam bentuk berimbang antara sisi kiri yaitu aset dengan sisi kanan yaitu kewajiban dan ekuitas. CONTOH NERACA PEMERINTAH KOTA ADIL MAKMUR NERACA PER 31 DESEMBER 2014 (dalam jutaan rupiah) Uraian
Jumlah
Aset
Uraian
Jumlah
Kewajiban
Aset Lancar
100
Kewajiban Jangka Pendek
300
Investasi Jangka Panjang
500
Kewajiban Jangka Panjang
700
Aset tetap
1.400
Ekuitas
Ekuitas
1.000
Total Kewajiban dan Ekuitas
2.000
Total Aset
2.000
Berdasarkan Neraca Pemerintah Kota ABC diatas dapat dilihat jumlah kekayaan pemerintah daerah, sedangkan kewajiban dan ekuitas menunjukkan sumber dana atas kepemilikan aset atau kekayaan tersebut. Kekayaan pemerintah daerah bisa berupa aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap dan aset lainnya. Dalam hal ini sumber dana untuk memperoleh aset tersebut diklasikasikan menjadi dua sumber utama, yaitu dari kewajiban pemerintah daerah dan kekayaan bersih pemerintah daerah sendiri yang disebut ekuitas. Persamaan dasar akuntansi tersebut juga sekaligus memberikan pemahaman kepada kita akan aturan debit dan kredit dalam pencatatan transaksi. Akun aset berada di sisi kiri atau sisi debit, maka apabila aset bertambah, maka akun tersebut didebit dan jika berkurang maka akun yang bersangkutan
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
175
dikredit. Sebaliknya, untuk akun kewajiban dan ekuitas, karena posisinya di sisi kanan atau sisi kredit, maka jika ada penambahan, akun tersebut akan dikredit dan jika ada pengurangan akan didebit. Saldo normal (normal balance) dari suatu akun adalah posisi yang bertambah menurut aturan debit dan kredit. Untuk menyeragamkan dalam pencatatan transaksi dan memudahkan dalam proses penyusunan laporan keuangan oleh pemerintah daerah, dibuatlah Bagan Akun Standar (BAS). Bagan Akun Standar (BAS) untuk pemerintah pemerintah daerah disusun dengan mengacu PMK 238/2011 tentang PUSAP dan berdasarkan Lampiran III Pemendagri 64 tahun 2013 terdiri dari 5 level yang terdiri dari kode akun, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek. Contoh: Kode Akun
Uraian Akun
Level
Kode
1.0.0.00.00
ASET
1
Akun
1.1.0.00.00
ASET LANCAR
2
Kelompok
1.1.7.00.00
Persediaan
3
Jenis
1.1.7.01.00
Persediaan Bahan Pakai Habis
4
Obyek
1.1.7.01.01
Persediaan Alat Tulis Kantor
5
Rincian Obyek
Selanjutnya kodekasi Akun (level 1) sesuai dengan Permendagri 64/2013, dibedakan sebagai berikut: Kode
Uraian Neraca 1.x.x.xx.xx
Aset
2.x.x.xx.xx
Kewajiban
3.x.x.xx.xx
Ekuitas Laporan Realisasi Anggaran
4.x.x.xx.xx
Pendapatan LRA
5.x.x.xx.xx
Belanja
6.x.x.xx.xx
Transfer
7.x.x.xx.xx
Pembiayaan Laporan Operasional
8.x.x.xx.xx
Pendapatan LO
9.x.x.xx.xx
Beban
10.5 Siklus Akuntansi Siklus akuntansi merupakan tahapan/langkah-langkah yang harus dilalui dalam proses menghasilkan informasi berupa laporan keuangan. Langkah-langkah tersebut meliputi: 1. Pencatatan Jurnal LRA dan Saldo Awal di Buku Jurnal 2. Analisis Transaksi dan Pencatatan Transaksi di Buku Jurnal (Penjurnalan) 1)Penjurnalan dibedakan menjadi 2:
176
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3.
4. 5. 6.
7. 8.
a. Jurnal Financial (LO dan Neraca): Secara default seluruh transaksi dicatat/dibuat jurnal nansialnya (LO dan Neraca) dalam buku jurnal dengan melibatkan akun dengan kode awal 1-Aset, 2-Kewajiban, 3-Ekuitas serta 8-Pendapatan LO dan 9-Beban. b. Jurnal Realisasi Pelaksanaan Anggaran (LRA): Jika transaksi melibatkan akun-akun realisasi pelaksanaan anggaran, dengan kode awal 4-pendapatan LRA, 5-Belanja, 6-Transfer dan 7-Pembiayaan dan dilakukan secara tunai/ melibatkan kas, maka selain mencatat jurnal nansial juga mencatat jurnal anggaran. Pencatatan Jurnal Penyesuaian di Buku Jurnal Pencatatan penyesuaian dilakukan dengan membuat jurnal nansialsaja yaitu melibatkan akun dengan kode awal 1-Aset, 2-Kewajiban, 3-Ekuitas serta 8-Pendapatan LO dan 9-Beban. Posting ke Buku Besar Penyusunan Neraca Saldo Setelah Penyesuaian Penyusunan Laporan Keuangan: a. Laporan Operasional b. Laporan Perubahan Ekuitas c. Neraca d. Laporan Realisasi Anggaran Pencatatan Jurnal Penutup di Buku Jurnal Penyusunan Neraca Saldo Setelah Penutupan
Adapun urutan langkah-langkah penyusunan laporan keuangan dapat dilihat pada Gambar 10.2. Gambar 10.2 Siklus Akuntansi SKPD/PPKD Neraca Saldo Setelah Penutupan
Bukti Transaksi
8 Penyusunan Neraca Saldo Setelah Penutupan Buku Jurnal
Sah Valid Lengkap
SIKLUS AKUNTANSI PEMDA
7 Penyusunan Laporan Keuangan
Jurnal Penutup 1
Bukti Pembukuan
Penjurnalan Anggaran
4
Buku Jurnal
Posting
Analisis dan Penjurnalan Transaksi 2
Buku Besar
Laporan Keuangan
5
Neraca Saldo Setelah Penyesuaian
6
Peringkasan
3 Penyesuaian Akhir Tahun
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
177
Penjelasan 1. Mencatatat Jurnal Anggaran (LRA) di Buku Jurnal Pencatatan yang pertama kali dilakukan adalah melakukan pencatatan jurnal anggaran di Buku Jurnal berdasarkan dokumen DPA SKPD/PPKD. a. Jurnal anggaran (LRA) PPKD Tanggal
Ref
Debit
3.1.2.01.01 Estimasi Pendapatan
XXX
3.1.2.02.01 Estimasi Penerimaan Pembiayaan
XXX
3.1.2.03.01 Apropriasi Belanja
XXX
3.1.2.04.01 Apropriasi Pengeluaran Pembiayaan
XXX
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
XXX
01/01/2015
Kode dan Nama Akun
Kredit
c. Jurnal Anggaran (LRA) SKPD Tanggal 01/01/2015
Kode dan Nama Akun
Ref
Debit
3.1.2.01.01 Estimasi Pendapatan
XXX
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
XXX
3.1.2.03.01 Apropriasi Belanja
Kredit
XXX
2. Analisis Transaksi dan Pencatatan Transaksi di Buku Jurnal a. Menganalisis transaksi adalah proses untuk menentukan suatu transaksi sebagai transaksi keuangan dan transaksi non keuangan, dan menentukan suatu transaksi berpengaruh terhadap akun apa berdasarkan bukti pembukuan. b. Pada saat ini telah ada peraturan teknis yaitu Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah, dengan sistem pencatatan Double Entry. c. Guna memudahkan penyusunan laporan keuangan secara manual, maka digunakan daftar akun sesuai yang diatur di Permendagri Nomor 64 Tahun 2014 yaitu di pasal 7 dan lampiran III mengenai Bagan Akun Standar (BAS), yaitu dituliskan kode dan nama akun detil sampai level 5 yaitu rincian objek. d. Oleh karena dokumen penganggaran masih menggunakan kode akun berdasarkan Permendagri 13/2006 jo Permendagri 21/2011, maka pencatatan transaksi akan menggunakan kode akun yang mengacu pada peraturan tersebut. Hal ini akan menyebabkan laporan realisasi anggaran yang terbentuk adalah laporan realisasi anggaran menurut versi Permendagri 64/2006, sehingga untuk menyajikan laporan realisasi anggaran versi permendagri 64/2013 diperlukan langkah konversi penyajian LRA sebagaimana dicontohkan dalam lampiran IV Permendagri 64/2013. e. Penjurnalan dibedakan menjadi 2: 1). Jurnal Finansial (LO dan Neraca): Secara default seluruh transaksi dicatat/dibuat jurnal nansialnya dalam buku jurnal dengan melibatkan akun dengan kode awal 1-Aset, 2-Kewajiban, 3-Ekuitas serta 8-Pendapatan LO dan 9-Beban. Contoh jurnal nansial (LO dan Neraca) SKPD: a) Contoh jurnal untuk mencatat penerimaan pendapatan.
178
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tanggal 07/07/2015
Kode dan Nama Akun
Ref
1.1.1.02.01 Kas di Bendahara Penerimaan
Debit
Kredit
XXX
8.1.2.01.01 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas - LO
XXX
b) Contoh jurnal untuk mencatat beban. Tanggal 10/10/2015
Kode dan Nama Akun
Ref
Debit
9.1.2.25.03 Honorarium Tenaga Ahli/Instruktur/ Narasumber
XXX
9.1.2.01.01 Beban Persediaan Alat Tulis Kantor
XXX
1.1.1.03.01 Kas di Bendahara Pengeluaran
Kredit
XXX
c) Contoh jurnal untuk mencatat pembelian aset secara LS. Tanggal
Kode dan Nama Akun
04/04/2015
1.3.2.04.01 Kendaraan Dinas Bermotor Perorangan
Ref Debit
Kredit
XXX
3.1.3.01.01 RK PPKD
XXX
2). Jurnal Anggaran (LRA) : Jika transaksi melibatkan akun dengan kode awal 4-pendapatan LRA, 5-Belanja, 6-Transfer dan 7-Pembiayaan dan dilakukan secara tunai/melibatkan kas, maka selain mencatat jurnal nansial juga mencatat jurnal anggaran. Contoh jurnal anggaran (LRA) SKPD: a) Contoh jurnal untuk mencatat penerimaan pendapatan. Tanggal
Kode dan Nama Akun
07/07/2014 3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL 4.1.2.01.01 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas - LRA
Ref A
Debit Kredit XXX
A
XXXX
Ref
Debit Kredit
c) Contoh jurnal untuk mencatat beban. Tanggal
Kode dan Nama Akun
10/10/2014 5.1.2.24.01 Honorarium Tenaga Ahli/ Narasumber/ Instruktur
A
XXX
10/10/2014 5.1.2.01.01 Belanja Alat Tulis Kantor
A
XXX
10/10/2014 3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
A
XXX
e) Contoh jurnal untuk mencatat pembelian aset secara LS. Tanggal
Kode dan Nama Akun
Ref
04/04/2014
5.2.2.04.01 Belanja Modal Pengadaan Kendaraan Dinas Bermotor Perorangan
A
04/04/2014
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
A
Debit Kredit XXX XXX
3. Pencatatan Jurnal Penyesuaian di Buku Jurnal Tahap selanjutnya dari siklus akuntansi di atas adalah membuat jurnal penyesuaian. Jurnal penyesuaian ini dibuat dengan tujuan melakukan penyesuaian atas saldo pada akun-akun tertentu dan pengakuan atas transaksi-transaksi yang bersifat akrual. Hal ini untuk memastikan bahwa pendapatan diakui pada periode diperolehnya pendapatan itu dan beban diakui pada periode terjadinya.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
179
Penyesuaian memungkinkan untuk melaporkan posisi aset, kewajiban, dan ekuitas di neraca pada tanggal neraca dan untuk melaporkan jumlah surplus atau desit yang wajar di laporan operasional. Neraca saldo di atas mungkin belum memuat data laporan keuangan yang up-todate, karena alasan-alasan berikut: a. Kejadian-kejadian tertentu, seperti pemakaian bahan pakai habis, tidak dijurnal setiap hari karena alasan kepraktisan. b. Beban yang terjadi karena berlalunya waktu, seperti berkurangnya manfaat gedung, persekot sewa dan asuransi, tidak dijurnal selama periode akuntansi. c. Beberapa akun, seperti beban listrik, mungkin belum dicatat karena tagihan dari PLN belum diterima. Dengan demikian, jurnal penyesuaian disusun untuk tujuan-tujuan berikut: a. Melaporkan semua pendapatan (revenues) yang diperoleh (earned) selama periode akuntansi. b. Melaporkan semua belanja atau beban yang terjadi selama periode akuntansi. c. Melaporkan dengan akurat nilai aset pada tanggal neraca. d. Melaporkan secara akurat kewajiban pada tanggal neraca. Jurnal penyesuaian hanya dilakukan dengan membuat jurnal nansial saja sebagai implementasi basis akrual. Contoh jurnal penyesuaian: Tanggal
Uraian
Ref
31/12/2014 1.1.7.01.01 Persediaan Alat Tulis Kantor 9.1.2.01.01 Beban Persediaan Alat Tulis Kantor 31/12/2014 9.1.7.01.04 Beban Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor 1.3.7.01.04 Akumulasi Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor 31/12/2014 9.1.2.03.03 Beban Jasa Listrik 2.1.5.02.01 Utang Belanja Jasa
F
Debit Kredit XXX
F F
XXX XXX
F F F
XXX XXX XXX
4. Posting ke Buku Besar Buku besar (ledger) atau yang merupakan kumpulan akun-akun digunakan untuk mencatat secara terpisah aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan-LO, beban, pendapatan-LRA, belanja, dan pembiayaan. Proses posting akun-akun dari jurnal ke buku besar disebut dengan posting. Posting ke buku besar sekaligus merupakan penggolongan dan peringkasan transaksi sebab tiap-tiap data transaksi dibawa ke masing-masing akun yang sesuai. Posting dapat dilakukan secara kronologis sebagaimana halnya penjurnalan, tetapi dapat juga secara periodik (mingguan atau bulanan). Posting merupakan proses pemindahan informasi, minimal berupa tanggal transaksi dan jumlah rupiah dalam buku jurnal ke buku besar yang berkaitan untuk masing-masing ayat jurnal. Jumlah rupiah dalam akun yang dijurnal atau dicatat di buku jurnal di posisi Debit, maka ketika dipindahkan ke buku besar jumlah rupiah tersebut diletakkan di kolom Debit juga sebesar angka yang sama.
180
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Adakalanya satu nama akun di jurnal berkali-kali, baik di posisi debit ataupun kredit. Meskipun dijurnal lebih dari satu kali, buku besar yang akan menampung akun tersebut tetap hanya satu buku besar. Dengan demikian, dalam buku besar Akun X misalnya, akan terlihat banyak transaksi untuk Akun X jika di dalam jurnal akun X dijurnal/dicatat berkali-kali. Ilustrasi proses posting sebagai berikut: BUKU JURNAL tanggal
Uraian
Ref
02/02/2014
1.1.1.03.01 Kas di Bendahara Pengeluaran
02/02/2014
3.1.3.01.01 RK PPKD
Debit
Kredit
50.000.000 50.000.000
BUKU BESAR SKPD
Dinas Kesehatan
KODE AKUN
1.1.1.03.01
NAMA AKUN
Kas di Bendahara Pengeluaran
Debit Tanggal
Transaksi
01/01/2014
Saldo Awal
02/02/2014
Menerima UP
Debit
Kredit
Saldo 1.500.000
50.000.000
51.500.000
BUKU BESAR SKPD
Dinas Kesehatan
KODE AKUN
3.1.3.01.01
NAMA AKUN
RK PPKD
Kredit Tanggal
5.
Transaksi
01/01/2014
Saldo Awal
02/02/2014
Menerima UP
Debit
Kredit
Saldo 0
50.000.000
50.000.000
Penyusunan Necara Saldo Setelah Penyesuaian Neraca saldo adalah daftar/kumpulan akun beserta saldonya. Penyusunan Neraca saldo ini dilakukan dengan menuliskan kode dan nama akun beserta saldonya dalam dalam Neraca saldo dengan saldo debit atau kredit yang sesuai dengan saldo buku besar. Selanjutnya total kolom debit dan kolom kredit dihitung dan dituliskan di baris paling bawah untuk menunjukkan kesamaan saldo kolom debit/kredit.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
181
Contoh Neraca Saldo setelah Penyesuaian: Pemerintah Kabupaten Adil Makmur NERACA SALDO SETELAH PENYESUAIAN per Tanggal 31 Desember 2014 SKPD Dinas Kesehatan Kode Akun
182
Saldo
Nama Akun
Debit
Kredit
1.1.3.02.01 Piutang Retribusi Pelayanan Kesehatan
Rp1.500.000
Rp-
1.1.7.01.01 Persediaan Alat Tulis Kantor
Rp1.000.000
Rp-
1.3.1.11.04 Tanah Untuk Bangunan Tempat Kerja/Jasa
Rp250.000.000
Rp-
1.3.2.04.01 Kendaraan Dinas Bermotor Perorangan
Rp259.000.000
Rp-
1.3.3.01.01 Bangunan Gedung Kantor
Rp240.000.000
Rp-
1.3.7.01.04 Akumulasi Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor
Rp-
Rp37.000.000
1.3.7.02.01 Akumulasi Penyusutan Bangunan Gedung Tempat Kerja Rp-
Rp4.800.000
2.1.1.03.01 Utang PPh 21
Rp-
Rp5.235.000
2.1.1.04.01 Utang PPN Pusat
Rp-
Rp8.100.000
2.1.5.02.01 Utang Belanja Jasa
Rp-
Rp15.325.000
3.1.1.01.01 Ekuitas
Rp-
Rp639.500.000
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
Rp-
Rp1.781.750.000
3.1.3.01.01 RK PPKD
Rp-
Rp1.768.415.000
4.1.2.01.01 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas – LRA
Rp-
Rp25.500.000
5.1.1.01.01 Gaji Pokok PNS/ Uang Representasi
Rp941.980.654
Rp-
5.1.1.01.02 Tunjangan Keluarga
Rp194.601.755
Rp-
5.1.1.01.03 Tunjangan Jabatan
Rp135.713.962
Rp-
5.1.1.01.04 Tunjangan Fungsional
Rp117.971.012
Rp-
5.1.1.01.06 Tunjangan Beras
Rp80.205.622
Rp-
5.1.1.01.07 Tunjangan PPh/Tunjangan Khusus
Rp17.026.995
Rp-
5.1.2.01.01 Belanja Alat Tulis Kantor
Rp145.000.000
Rp-
5.1.2.24.01 Honorarium Tenaga Ahli/Narasumber/Instruktur
Rp64.750.000
Rp-
5.2.2.04.01 Belanja Modal Pengadaan Kendaraan Dinas Perorangan
Rp110.000.000
Rp-
8.1.2.01.01 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas - LO
Rp-
Rp27.000.000
9.1.1.01.01 Gaji Pokok PNS / Uang Representasi - LO
Rp941.980.654
Rp-
9.1.1.01.02 Tunjangan Keluarga - LO
Rp194.601.755
Rp-
9.1.1.01.03 Tunjangan Jabatan - LO
Rp135.713.962
Rp-
9.1.1.01.04 Tunjangan Fungsional - LO
Rp117.971.012
Rp-
9.1.1.01.06 Tunjangan Beras - LO
Rp80.205.622
Rp-
9.1.1.01.07 Tunjangan PPh/Tunjangan Khusus - LO
Rp17.026.995
Rp-
9.1.2.01.01 Beban Persediaan Alat Tulis Kantor
Rp144.500.000
Rp-
9.1.2.03.03 Beban Jasa Listrik
Rp15.325.000
Rp-
9.1.2.25.03 Honorarium Tenaga Ahli/Instruktur/Narasumber
Rp64.750.000
Rp-
9.1.7.01.04 Beban Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor
Rp37.000.000
Rp-
9.1.7.02.01 Beban Penyusutan Bangunan Gedung Tempat Kerja
Rp4.800.000
Rp-
Jumlah
Rp4.312.625.000,00 Rp4.312.625.000,00
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6. Menyusun Laporan Keuangan Setelah neraca saldo setelah penyesuaian selesai dibuat, selanjutnya disusun laporan keuangan. Laporan keuangan pokok terdiri dari: a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA); b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan SAL); c. Laporan Operasional (LO); d. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE); e. Neraca; f. Laporan Arus Kas (LAK); g. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Contoh proses penyusunan laporan keuangan: Saldo Akun di neraca saldo setelah penyesuaian yang mempunyai kode akun 3 digit depan yang sama dengan kode akun 3 digit di laporan keuangan, dipindahkan ke laporan keuangan (dalam contoh: neraca). Apabila terdapat lebih dari satu akun yang mempunyai kode akun dengan 3 digit depan sama, maka yang dipindahkan ke laporan keuangan adalah total penjumlahan saldo-saldonya. Pemerintah Kabupaten Adil Makmur NERACA SALDO SETELAH PENYESUAIAN Per tanggal 31 Desember 2012 SKPD Dinas Kesehatan Kode Akun ..... 1.1.7.01.01 .....
No 1.0.0 1.1.0 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.1.5 1.1.6 1.1.7 1.1.8
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Akun ..... Persediaan Alat Tulis Kantor .....
Saldo Debit ..... Rp 1.000.000 .....
Kredit ..... .....
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR DINAS KESEHATAN NERACA Per 31 Desember 2014 Jumlah Uraian Tahun 2014 Tahun 2013 2 3 4 ASET ASET LANCAR Kas dan Setara Kas Investasi Jangka Pendek Piutang Pendapatan Piutang Lainnya Penyisihan Piutang Beban Dibayar Dimuka Persediaan Aset Untuk Dikonsilidasikan Jumlah Aset Lancar (3 s.d. 10)
Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
183
7. Konversi Penyajian LRA Oleh karena pencatatan transaksi didasarkan pada akun dokumen anggaran yang masih mengacu pada Permendagri 13/2006, maka laporan keuangan yang tersusun berupa laporan realisasi anggaran versi Permendagri 13/2006 dimana terjadi perbedaan klasikasi baik pendapatan maupun belanja dibanding format LRA menurut Permendagri 64/2013. Oleh karena itu, berdasarkan Permendagri 64/2013, perlu dilakukan konversi penyajian LRA. Proses konversi penyajian LRA dapat dilihat pada Gambar 10.3. Gambar 10.3 Proses Konversi Penyajian LRA
4 41 411 412
Kodekasi Akun Anggaran Uraian PENDAPATAN DAERAH Pendpatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah
413
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4 1 3
414 42 421 4 2 1 01 4 2 1 02 422 423
lain-lain Pendapatan asli daerah yang sah Dana Perimbangan Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Bukan Pajak Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus
414 42 421 4 2 1 01 4 2 1 02 4 2 2 03 4 2 3 04
43
lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah
422
Kodekasi Akun Laporan Realisasi Anggaran Uraian Pendapatan-LRA Pendapatan Asli Daerah (PAD)-LRA Pendapatan Pajak Daerah-LRA Pendapatan Retribusu Daerah-LRA Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan-LRA Lain-lain PAD yang Sah-LRA Pendapatan Transfer-LRA Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-LRA Bagi Hasil Pajak-LRA Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam-LRA Dana Alokasi Umum (DAU)-LRA Dana Alokasi Khusus (DAK)-LRA Pendapatan Transfer Pemerintah PusatLainnya-LRA
5 51 511 512 513 514 515
5 51 511 512 513 514 515
BELANJA Belanja Operasi Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah
516
Belanja bantuan Sosial
52
Belanja Modal
518 52 521 522
BELANJA Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kab/Kota dan Desa Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/Kab/Kota dan Desa Belanja Tak Terduga Belanaj langsung Belanja Pegawai Belanja Barang Dan Jasa
521 522 523 524
Belanja Modal Tanah Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
523
Belanja Modal
525
Belanja Modal Aset tetap Lainnya
53 531
Belanja Tak Terduga Belanja Tak Terduga
Kode
516 517
5 2 3 01 Belanja Modal Pengadaan Tanah 5 2 3 02 Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Berat
Kode 4 41 411 412
8. Membuat Jurnal Penutup a. Jurnal penutup dilakukan setelah Laporan Keuangan disusun. Jurnal penutup dibuat untuk menihilkan semua akun nominal atau akun sementara yang dilaporkan dalam LRA dan LO. Hakikatnya jurnal ini dibuat agar akun-akun sementara tersebut tidak muncul sebagai saldo awal pada tahun berikutnya di buku besar, karena akun akun tersebut memang hanya untuk mengakumulasi transaksi selama satu periode. b. Jurnal penutup meliputi: 1). Jurnal penutup LRA: Yaitu untuk menutup saldo akun-akun LRA. 2). Jurnal penutup LO: untuk menutup saldo akun-akun LO.
184
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Contoh Jurnal Penutup di SKPD Jurnal Penutup LRA Tanggal
Nama Akun
Ref
31/12/2014 3.1.2.03.01 Apropriasi Belanja
Debit
Kredit
1.835.000.000
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
1.811.000.000
3.1.2.01.01 Estimasi Pendapatan
24.000.000
31/12/2014 4.1.2.01.01 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas – LRA
Rp25.500.000
3.1.2.06.01 Surplus/Desit - LRA
1.781.750.000
5.1.1.01.01 Gaji Pokok PNS/ Uang Representasi
Rp941.980.654
5.1.1.01.02 Tunjangan Keluarga
Rp194.601.755
5.1.1.01.03 Tunjangan Jabatan
Rp135.713.962
5.1.1.01.04 Tunjangan Fungsional
Rp117.971.012
5.1.1.01.06 Tunjangan Beras
Rp80.205.622
5.1.1.01.07 Tunjangan PPh/Tunjangan Khusus
Rp17.026.995
5.1.2.01.01 Belanja Alat Tulis Kantor
Rp145.000.000
5.1.2.24.01 Honorarium Tenaga Ahli/ Narasumber/Instruktur
Rp64.750.000
5.2.2.04.01 Belanja modal Pengadaan Kendaraan Dinas Perorangan
Rp110.000.000
31/12/2014 3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
1.781.750.000
3.1.2.06.01 Surplus/Desit - LRA
1.781.750.000
Jurnal Penutup LO Tanggal Nama Akun 31/12/2014 8.1.2.01.01 Pelayanan kesehatan di Puskesmas - LO 3.1.1.02.01 Surplus/Desit - LO 9.1.1.01.01 Gaji Pokok PNS /Uang Representasi - LO 9.1.1.01.02 Tunjangan Keluarga - LO 9.1.1.01.03 Tunjangan Jabatan - LO 9.1.1.01.04 Tunjangan Fungsional - LO 9.1.1.01.06 Tunjangan Beras - LO 9.1.1.01.07 Tunjangan PPh/ Tunjangan Khusus – LO 9.1.2.01.01Beban Persediaan Alat Tulis Kantor 9.1.2.03.03 Beban Jasa Listrik 9.1.2.25.03 Honorarium Tenaga Ahli/ Instruktur/ Narasumber 9.1.7.01.04 Beban Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor 9.1.7.02.01 Beban Penyusutan Bangunan Gedung Tempat Kerja 31/12/2014 3.1.1.01.01 Ekuitas 3.1.1.02.01 Surplus/Desit - LO
Debit
Rp27.000.000
Kredit
Rp1.726.875.000
Rp1.726.875.000
Rp941.980.654 Rp194.601.755 Rp135.713.962 Rp117.971.012 Rp80.205.622 Rp17.026.995 Rp144.500.000 Rp15.325.000 Rp64.750.000 Rp37.000.000 Rp4.800.000 Rp1.726.875.000
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
185
9. Menyusun Neraca Saldo Setelah Jurnal Penutupan Jurnal penutup kemudian diposting ke buku besar. Setelah diposting, saldo di buku besar tersebut akan bernilai nol atau nihil. Dengan demikian, pada awal tahun berikutnya tidak akan muncul saldo buku besar bersangkutan. Sehingga dengan demikian, saldo yang ada hanya saldo akunakun riil yaitu akun-akun neraca atau persis seperti yang ditunjukkan di laporan keuangan berupa neraca. Format Neraca Saldo setelah Penutupan sama persis dengan format Neraca Saldo setelah Penyesuaian, hanya judulnya diganti Neraca Saldo setelah Penutupan dan angka di neraca saldo setelah penutupan merupakan saldo terakhir setelah posting jurnal penutup. Contoh Neraca Saldo setelah Penutupan PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR NERACA SALDO SETELAH PENUTUPAN PER TANGGAL 31 DESEMBER 2014 SKPD : Dinas Kesehatan Kode dan Nama Akun
Ref
Saldo Debit
Kredit
1.1.1.02.01 Kas di Bendahara Penerimaan
Rp
Rp-
1.1.1.03.01 Kas di Bendahara Pengeluaran
Rp
Rp1.500.000,00
1.1.3.02.01 Piutang Retribusi Pelayanan Kesehatan
Rp 1.500.000,00
Rp-
1.1.7.01.01 Persediaan Alat Tulis Kantor
Rp500.000,00
Rp-
1.3.2.04.01 Kendaraan Dinas Bermotor Perorangan
Rp110.000.000,00
Rp-
1.3.7.01.04 Akumulasi Penyusutan Alat Angkutan Darat Bermotor
Rp-
Rp37.000.000,00
1.3.7.02.01 Akumulasi Penyusutan Bangunan Gedung Tempat Kerja
Rp-
Rp4.800.000,00
2.1.1.03.01 Utang PPh 21
Rp-
Rp3.885.000,00
2.1.1.04.01 Utang PPN Pusat
Rp-
Rp7.950.000,00
2.1.5.02.01 Utang Belanja Jasa
Rp-
Rp15.325.000,00
3.1.1.02.01 Surplus/Desit - LO
Rp1.726.875.000,00
Rp-
3.1.2.05.01 Estimasi Perubahan SAL
Rp-
Rp1.781.750.000,00
3.1.2.06.01 Surplus/Desit - LRA
Rp1.781.750.000,00
Rp-
3.1.3.01.01 RK PPKD
Rp-
Rp1.768.415.000,00
Total
Rp3.620.625.000,00 Rp3.620.625.000,00
10.6 Implementasi Akuntansi Keuangan Berbasis Akrual 10.6.1 Penyusunan Laporan Keuangan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) disusun untuk menyediakan informasi relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi Pemerintah Daerah selama satu periode pelaporan. LKPD terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan dan belanja dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, menilai efektivitas dan esiensi, dan membantu menentukan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan:
186
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
a. Akuntabilitas Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. b. Manajemen Membantu pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset dan ekuitas dana Pemerintah Daerah untuk kepentingan masyarakat. c. Transparansi Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan. d. Keseimbangan Antargenerasi (Intergenerational equity) Memban tu para pengguna laporan untuk mengetahui apakah penerimaan Pemerintah Daerah pada periode laporan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. Pelaporan keuangan Pemerintah Daerah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna laporan dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial maupun politik khususnya: a. informasi mengenai apakah penerimaan periode berjalan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran. b. informasi mengenai apakah cara memperoleh sumber daya ekonomi dan alokasinya telah sesuai dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan. c. informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan Pemerintah Daerah serta hasil-hasil yang telah dicapai. d. informasi mengenai bagaimana Pemerintah Daerah mendanai seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kasnya. e. informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi Pemerintah Daerah berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman. f. informasi mengenai perubahan posisi keuangan Pemerintah Daerah, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh PPK SKPD dalam satu rangkaian proses yang disebut siklus akuntansi pemerintah daerah. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 Permendagri 64 Tahun 2013, Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah dibedakan menjadi 2 yaitu: a. Sistem akuntansi PPKD. b. Sistem akuntansi SKPD.
PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASIAN (LKK) Laporan Keuangan Konsolidasian adalah suatu laporan keuangan yang merupakan gabungan keseluruhan laporan keuangan entitas pelaporan atau entitas akuntansi, sehingga tersaji sebagai satu entitas tunggal. Laporan Keuangan Pemda disusun dengan melakukan proses konsolidasi dari seluruh laporan keuangan entitas akuntansi yang terdapat pada Pemda.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
187
Proses penyusunan laporan keuangan konsolidasian sesungguhnya merupakan pekerjaan sederhana secara logika, karena pada dasarnya hanya menjumlahkan akun-akun yang sifatnya sama di dalam laporan keuangan dari seluruh SKPD ditambah dengan akun-akun yang ada dalam laporan keuangan PPKD. Khusus untuk penggabungan neraca, ada akun yang harus dielimasi yaitu akun resiprokal yang hanya mencakup dua akun, yaitu akun RK-PPKD lawan RK-SKPD. Problem dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasian lebih kepada volume pekerjaan yang relatif besar, sehingga membutuhkan energi ekstra, kecermatan, ketelitian dan tentunya kesabaran dalam melakukan verikasi dan rekonsiliasi. Problem tersebut bisa diatasi secara signikan dengan menggunakan software aplikasi akuntansi, namun perlu diingat bahwa software hanya sekedar tools atau alat bantu yang tidak sepenuhnya bisa menggantikan tugas-tugas tenaga akuntansi. Adapun tahapan penyusunan laporan keuangan konsolidasian berdasarkan Permendagri 64 Tahun 2013 adalah sbb: 1. Menyiapkan kertas kerja (worksheet) dengan lajur sesuai dengan banyaknya SKPD dan PPKD sebagai alat untuk menyusun Neraca Saldo Gabungan SKPD dan PPKD. Neraca Saldo SKPD dan Neraca Saldo SKPD yang dimasukkan dalam kertas kerja konsolidasi adalah Neraca Saldo yang sudah disesuaikan. Setelah memasukkan neraca saldo kedalam kertas kerja konsolidasi, fungsi akuntansi PPKD membuat jurnal eliminasi untuk menghapus akun transitoris yaitu akun RK-PPKD lawan RK-SKPD. Format kertas kerja untuk penyusunan neraca saldo Pemda adalah sebagai berikut: KODE REK
NAMA REKENING
NS.S.PENY-SKPD NS.S.PENY-SKPD NS.S.PENY-PPKD A B
ELIMINASI
NS.S.PENYPEMDA
DEBET KREDIT DEBET KREDIT DEBET KREDIT DEBET KREDIT DEBIT KREDIT 1...
Akun Asset
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
2...
Akun Kewajiban
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
3...
Akun Ekuitas
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
4...
Akun PendapatanLRA
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
5...
Akun Belanja
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
6...
Akun Transfer
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
7...
Akun Pembiayaan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
8...
Akun PendapatanLO
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
9...
Akun Beban
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
2. Menyusun Laporan Keuangan Konsolidasi Berdasarkan Neraca saldo setelah eliminasi, fungsi Akuntansi Pemda kemudian mengidenti kasi akunakun yang termasuk dalam komponen Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Operasional (LO) dan Neraca. Berikut adalah ilustrasi kertas kerja penyusunan LKK, dengan asumsi bahwa di dalam setiap kertas kerja yang disajikan hanya terdiri dari dua entitas akuntansi yaitu, entitas akuntansi PPKD dan entitas akuntansi gabungan seluruh SKPD. Ilustrasi akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: Kertas Kerja Penyusunan LRA Konsolidasian. Kertas Kerja Penyusunan LO Konsolidasian. Kertas Kerja Penyusunan LPE Konsolidasian. Kertas Kerja Penyusunan Neraca Konsolidasian.
188
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR Kertas Kerja Penyusunan Laporan Realisasi Anggaran Konsolidasian Untuk TA yang Berakhir 31 Desember 20X1 (dalam ribuan Rupiah) Kode Rek
Uraian
PPKD (Realisasi)
∑SKPD (Realisasi)
Saldo Gabungan (Pemda) (Realisasi)
4.
PENDAPATAN
4.1
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Pajak Daerah
23.659.500
Pendapatan Retribusi Daerah
7.674.400
7.674.400
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
3.500.000
3.500.000
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
633.646
633.646
35.467.546
35.467.546
Jumlah PAD 4.2
Pendapatan Transfer Dana Bagi Hasil
55.850.000
-
55.850.000
Dana Alokasi Umum
250.000.000
-
250.000.000
Dana Alokasi Khusus
45.500.000
-
45.500.000
351.350.000
-
351.350.000
-
-
-
351.350.000
35.467.546
386.817.546
Belanja Pegawai-Gaji dan Tunjangan
-
215.567.500
215.567.500
Belanja Pegawai-Honor
-
1.576.000
1.576.000
Belanja Barang dan Jasa
-
12.064.280
12.064.280
Belanja Bunga
-
-
-
Belanja Bantuan Sosial
3.500.000
-
3.500.000
Belanja Bantuan Keuangan
2.000.000
-
2.000.000
45.750.000
45.750.000
165.000.000
165.000.000
5.500.000
394.207.780
399.707.780
-
-
-
Jumlah Pendapatan Transfer 4.3
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah JUMLAH PENDAPATAN
5.
23.659.500
BELANJA Belanja Operasi
Belanja Tak Terduga
-
Belanja Penyusutan
-
Belanja Modal Belanja Modal JUMLAH BELANJA 6.
Transfer Surplus/Desit
7
345.850.000 (358.740.234)
(12.890.234)
25.000.000
-
25.000.000
Pembentukan Dana Cadangan
5.000.000
-
5.000.000
Penyertaan Modal pada BMD
2.500.000
-
2.500.000
Pembiayaan Netto
17.500.000
-
17.500.000
SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN
363.350.000 (358.740.234)
Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan Pinjaman – Pemerintah Pusat Pengeluaran Pembiayaan
4.609.766
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
189
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR Kertas Kerja Penyusunan Laporan Operasional Konsolidasian Untuk TA yang Berakhir 31 Desember 20X1 (dalam ribuan Rupiah) Kode Rek
Uraian
PPKD (Realisasi)
8.
PENDAPATAN
8.1
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Retribusi Daerah2)
7.686.900
7.686.900
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
3.500.000
3.500.000
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
633.646
633.646
35.520.546
35.520.546
55.850.000
-
55.850.000
Dana Alokasi Umum
255.000.000
-
255.000.000
Dana Alokasi Khusus
45.500.000
-
45.500.000
356.350.000
-
356.350.000
-
-
-
356.350.000
35.520.546
391.870.546
Beban Pegawai-Gaji dan Tunjangan
-
215.567.500
215.567.500
Beban Pegawai-Honor
-
1.576.000
1.576.000
-
12.139.690
12.139.690
Pendapatan Transfer
Jumlah Pendapatan Transfer Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah JUMLAH PENDAPATAN BEBAN
Beban Barang dan Jasa
4)
Beban Bunga
250.000
5)
250.000
Beban Bantuan Sosial
3.500.000
-
3.500.000
Beban Bantuan Keuangan
2.000.000
-
2.000.000
Beban Tak Terduga
-
Belan Penyusutan
-
45.750.000
45.750.000
5.750.000
275.033.190
280.783.190
350.600.000 (239.512.644)
111.087.356
6)
JUMLAH BEBAN SURPLUS/(DEFISIT) KEGIATAN OPERASIONAL7)
190
23.700.000
3)
9.
23.700.000
Dana Bagi Hasil
8.3
Saldo Gabungan (Pemda) (Realisasi)
Pendapatan Pajak Daerah1)
Jumlah PAD 8.2
∑SKPD (Realisasi)
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Keterangan LO: 1) Pendapatan pajak daerah tahun berjalan yang telah diterima sebesar Rp23.659.500.000. Jumlah tersebut seluruhnya berasal dari pajak daerah yang diakui tahun berjalan, dalam arti tidak ada yang berasal dari pembayaran piutang pajak daerah tahun lalu. Untuk pengakuan pendapatan-LO yg berbasis akrual, jumlah pajak daerah yang diterima tersebut ditambah dengan piutang pendapatan pajak daerah tahun berjalan yang belum diterima pembayarannya sebesar Rp 40.500.000, sehingga jumlah pendapatan pajak daerah yang dilaporkan di LO seluruhnya berjumlah Rp 23.700.000.000. 2) Pendapatan retribusi daerah tahun berjalan yang ditelah diterima sebesar Rp7.674.400.000. Jumlah tsb seluruhnya berasal dari retribusi daerah yang diakui tahun berjalan, dalam arti tidak ada yang berasal dari pembayaran piutang retriubsi tahun lalu. Untuk pengakuan pendapatan-LO yg berbasis akrual, jumlah retribusi yang diterima tersebut ditambah dengan piutang retribusi tahun berjalan yang belum diterima pembayarannya sebesar Rp12.500.000, sehingga jumlah pendapatan retribusi yang dilaporkan di LO seluruhnya berjumlah Rp7.686.900.000. 3) Jumlah pendapatan DAU yang dilaporkan di LRA adalah jumlah yang telah diterima (basis kas). Sementara di dalam LO, jumlah pendapatan DAU yang diakui adalah jumlah yang seharusnya diterima tahun berjalan yaitu sebesar Rp255.000.000.000,- (basis akrual). 4) Belanja barang dan jasa yang dilaporkan di LRA sebesar Rp12.064.280.000,- merupakan belanja yang telah dibayar (dipertanggungjawabkan) pada tahun berjalan. Jumlah tsb seluruhnya merupakan beban tahun berjalan, dalam arti tidak ada pembayaran untuk membayar utang belanja barang dan jasa tahun lalu. Oleh karena itu, jumlah beban barang dan jasa yg dilaporkan di LO (basis akrual) berasal dari jumlah belanja barang dan jasa yang telah dilaporkan di LRA ditambah dengan belanja barang dan jasa tahun berjalan yang sudah terjadi tetapi belum dibayar (utang belanja) yaitu sebesar Rp110.410.000, dan dikurangi dengan kenaikan saldo persediaan akhir sebesar Rp35.000.000,-, sehingga total beban barang dan jasa di LO sebesar Rp12.139.690.000,(Rp12.064.280.000 + Rp110.410.000 – Rp35.000.000). 5) Di LRA tidak terdapat belanja bunga, karena belum ada belanja bunga yang sudah dibayar. Namun bunga yang terutang pada tahun berjalan atas pinjaman jangka panjang kepada pemerintah pusat sebesar Rp250.000.000 sudah dapat diakui di LO sebagai beban bunga tahun berjalan. 6) Di dalam LO tidak ada belanja modal, karena belanja modal merupakan belanja untuk memperoleh aset tetap dan aset lain-lain yang memiliki manfaat lebih dari satu tahun, sehingga di dalam entitas akuntansi keuangan pengaruh dari transaksi belanja modal langsung dicatat dengan mendebit akun aset yang bersangkutan (bukan dengan jurnal korolari). Namun di sisi lain, harus ada pengakuan penyusutan atas aset yang dikapitalisasi tersebut sebagai beban penyusutan yang harus dilaporkan di LO. Di sisi lain, akumulasi penyusutan dilaporkan di Neraca sebagai contra account atas akun aset tetap. Beban penyusutan hanya ada di LO SKPD, karena di Neraca PPKD tidak pernah ada akun aset tetap. 7) Dalam ilustrasi ini diasumsikan tidak ada transaksi surplus/desit dari kegiatan non operasional dan juga tidak ada transaksi luar biasa. Di samping itu di LO tidak akan pernah disajikan akun transaksi pembiayaan, karena pemibiayaan itu bukan pendapatan maupun beban. Sehingga LO dalam ilustrasi di atas hanya disajikan sampai ‘Surplus/Desit dari Kegiatan Operasional.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
191
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR Kertas Kerja Konsolidasi Penyusunan Neraca Daerah Konsolidasian Per 31 Desember 20X1 (dalam ribuan rupiah) Kode Rek
Nama Rekening
PPKD
∑SKPD
Ayat Eliminasi Debit
Kredit
Neraca Konsolidasian
ASET Aset Lancar Kas di Kas Daerah
-
40.470.152
Kas di Bendahara Penerimaan
-
-
Kas di Bendahara Pengeluaran
-
-
Piutang Pajak Daerah
40.500
40.500
Piutang Retribusi
12.500
12.500
-
5.000.000
235.000
235.000
45.470.152
288.000
45.758.152
12.500.000
-
12.500.000
Aset Tetap
-
915.000.000
915.000.000
Akumulasi Penyusutan Aset Tetap2)
-
(45.750.000)
(45.750.000)
Nilai Buku Aset Tetap
-
869.250.000
869.250.000
5.000.000
-
5.000.000
-
350.000
350.000
Total Aset Non Lancar
17.500.000
869.600.000
887.100.000
RK-∑SKPD
358.740.234
-
TOTAL ASET
421.710.386
869.888.000
932.858.152
109.732
-
109.732
110.410
110.410
Piutang DAU
40.470.152
5.000.000
Persediaan Total Aset Lancar Aset Non Lancar Investasi Jangka Panjang
Dana Cadangan Aset Lainnya 1)
358.740.234
-
KEWAJIBAN Kewajiban Jangka Pendek Utang PFK3) Utang Belanja Utang Bunga
250.000
-
250.000
Total Kewajiban jangka Pendek
359.732
110.410
470.142
Kewajiban Jangka Panjang
192
Pinjaman kepada Pemerintah Pusat
25.000.000
-
25.000.000
TOTAL KEWAJIBAN
25.359.732
110.410
25.470.142
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kode Rek
Nama Rekening
PPKD
∑SKPD
Ayat Eliminasi Debit
Kredit
Neraca Konsolidasian
EKUITAS Ekuitas Awal Tahun
45.750.654
750.550.000
796.300.654
Surplus (Desit)-LO
350.600.000 (239.512.644)
111.087.356
RK-PPKD
358.740.234
1)
358.740.234
-
TOTAL EKUITAS AKHIR TAHUN
396.350.654
869.777.590
907.388.010
TOTAL KEWAJIBAN DAN EKUITAS
421.710.386
869.888.000
932.858.152
Keterangan: 1) ∑RK-SKPD = ∑RK-PPKD = Total SP2D LS SKPD (+) Total SP2D UP/GU/TU SKPD (-) Pengembalian Sisa UP/GU/TU dari SKPD (-) Pendapatan SKPD yang telah disetor ke Kasda. 2) Penyusutan aset tetap di asumsikan baru diakui tahun ini, sehingga jumlah akumulasi penyusutan sama dengan jumlah beban penyusutan yang diakui tahun ini. 3) Utang PFK adalah uang potongan PPh/PPN yang belum disetor ke Kas Negara.
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR Kertas Kerja Konsolidasi Penyusunan LPE Konsolidasian Per 31 Desember 20XX (dalam ribuan rupiah) URAIAN
20X1 PPKD
∑SKPD
LPE Konsolidasian
Ekuitas awal
45.750.654
750.550.000
796.300.654
Surplus/desit LO
350.600.000
(239.512.644)
111.087.356
396.350.654
511.037.356
907.388.010
Dampak Kumulatif Perubahan Kebijakan/ Kesalahan Mendasar Koreksi Nilai Persediaan Selisih Revaluasi Aset Tetap Lain-lain Ekuitas Akhir
PENYUSUNAN LAPORAN PERUBAHAN SAL Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan tersebut terdiri dari Saldo anggaran lebih, dikurangi Penggunaan Saldo Anggaran Lebih sebagai Penerimaan Pembiayaan Tahun Berjalan dijumlahkan dengan Sisa Lebih atau Kurang Pembiayaan Anggaran, Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya, dan Lain-lain.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
193
Format LPSAL sebagai berikut: NO
URAIAN
20X1
20X0
1
Saldo Anggaran Lebih Awal
XXX
XXX
2
Penggunaan SAL Sebagai Peneriamaan Pembiayan Tahun Berjalan
(XXX)
(XXX)
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
3 4 5
Subtotal (1 - 2) Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SilPA/SiKPA) Subtotal (3 + 4)
6
Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya
XXX
XXX
7
Lain-lain
XXX
XXX
XXX
XXX
8
Saldo Anggaran Lebih Akhir (5 + 6 + 7)
Sumber: PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
PENYUSUNAN LAPORAN ARUS KAS Entitas pelaporan yang wajib menyusun dan menyajikan laporan arus kas adalah unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum. Unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum adalah unit yang ditetapkan sebagai bendaharawan umum negara/daerah dan/atau kuasa bendaharawan umum negara/daerah. Laporan arus kas adalah bagian dari laporan nansial yang menyajikan informasi penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang diklasikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. Terdapat sedikit perbedaan pada klasikasi dan unsur LAK versi SAP berbasis CTA (PP 24/2005) dan LAK versi SAP berbasis akrual (PP 71/2010). Perbedaan itu secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 10.3. Tabel 10.3 Perbandingan LAK Berbasis CTA Dengan LAK Berbasis Akrual Uraian Klasikasi
LAK (SAP berbasis CTA) 1. 2. 3. 4.
Aktivitas Operasi Aktivitas Investasi Non-Keuangan Aktivitas Pembiayaan Aktivitas Non-Anggaran
LAK (SAP berbasis Akrual) 1. 2. 3. 4.
Aktivitas Operasi Aktivitas Investasi Aktivitas Pendanaan Aktivitas Transitoris
Mencakup penerimaan/pengeluaran Aktivitas kas dari transaksi Investasi Non-Keuangan penjualan/pembelian aset tetap. Aktivitas Investasi
Mencakup Penerimaan/pengeluaran kas transaksi penjualan/pembelian aset tetap, perolehan/penjualan investasi jangka panjang, pembentukan/ pencairan dana cadangan
Aktivitas Pembiayaan
Mencakup penerimaan/ pengeluaran kas dari transaksi perolehan/penjualan investasi jangka panjang, penarikan/ pembayaran pinjaman, pembentukan/ pencairan dana
Aktivitas Pendanaan
-
Aktivitas non Anggaran
-
Mencakup penerimaan/pengeluaran kas dari transaksi di luar APBD, seperti transaksi PFK, contoh iuran taspen, askes.
-
Mencakup transaksi penerimaan/ pengeluaran kasdari transaksi penarikan/pembayaran pinjaman. Substansi sama hanya beda istilah, di sini menggunakan istilah Aktivitas Transitoris
Sumber: diolah penulis dari PP 24/2005 dan PP 71/2010
194
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Aktivitas Operasi Aktivitas operasi adalah aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang ditujukan untuk kegiatan operasional pemerintah selama satu periode akuntansi. Arus kas bersih aktivitas operasi merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan operasi pemerintah dalam menghasilkan kas yang cukup untuk membiayai aktivitas operasionalnya di masa yang akan datang tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Arus masuk kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari: a. Penerimaan Perpajakan; b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)/Retribusi; c. Penerimaan Hibah; d. Penerimaan Bagian Laba Perusahaan Negara/Daerah dan Investasi Lainnya; e. Penerimaan Lain-lain/Penerimaan dari Pendapatan Luar Biasa; f. Penerimaan Transfer. Arus keluar kas untuk aktivitas operasi terutama digunakan untuk: a. Pembayaran Pegawai; b. Pembayaran Barang; c. Pembayaran Bunga; d. Pembayaran Subsidi; e. Pembayaran Hibah; f. Pembayaran Bantuan Sosial; g. Pembayaran Lain-lain/Kejadian Luar Biasa; h. Pembayaran Transfer.
Aktivitas Investasi Aktivitas investasi adalah aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang ditujukan untuk perolehan dan pelepasan aset tetap serta investasi lainnya yang tidak termasuk dalam setara kas. Arus kas dari aktivitas investasi mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto dalam rangka perolehan dan pelepasan sumber daya ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan dan mendukung pelayanan pemerintah kepada masyarakat dimasa yang akan datang. Arus masuk kas dari aktivitas investasi terdiri dari: a. Penjualan Aset Tetap; b. Penjualan Aset Lainnya; c. Pencairan Dana Cadangan; d. Penerimaan dari Divestasi; e. Penjualan Investasi Dalam Bentuk Sekuritas. Arus keluar kas dari aktivitas investasi terdiri dari: a. Perolehan Aset Tetap; b. Perolehan Aset Lainnya; c. Pembentukan Dana Cadangan; d. Penyertaan Modal Pemerintah; e. Pembelian Investasi Dalam Bentuk Sekuritas.
Aktivitas Pendanaan Aktivitas Pendanaan adalah aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang yang berhubungan dengan pemberian piutang jangka panjang dan/atau pelunasan utang jangka panjang yang mengakibatkan perubahan dalam jumlah dan komposisi piutang jangka panjang dan utang jangka panjang. Arus kas dari aktivitas pendanaan mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas yang berhubungan dengan perolehan atau pemberian pinjaman jangka panjang.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
195
Arus masuk kas dari aktivitas pendanaan antara lain: a. Penerimaan utang luar negeri; b. Penerimaan dari utang obligasi; c. Penerimaan kembali pinjaman kepada pemerintah daerah; d. Penerimaan kembali pinjaman kepada perusahaan negara. Arus keluar kas dari aktivitas pendanaan antara lain: a. Pembayaran pokok utang luar negeri; b. Pembayaran pokok utang obligasi; c. Pengeluaran kas untuk dipinjamkan kepada pemerintah daerah; d. Pengeluaran kas untuk dipinjamkan kepada perusahaan negara.
Aktivitas Transitoris Aktivitas transitoris adalah aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak termasuk dalam aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Arus kas dari aktivitas transitoris mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto yang tidak mempengaruhi pendapatan, beban, dan pendanaan pemerintah. Arus kas dari aktivitas transitoris antara lain transaksi Perhitungan Fihak Ketiga (PFK), pemberian/ penerimaan kembali uang persediaan kepada/dari bendahara pengeluaran, serta kiriman uang. PFK menggambarkan kas yang berasal dari jumlah dana yang dipotong dari Surat Perintah Membayar atau diterima secara tunai untuk pihak ketiga misalnya potongan Taspen dan Askes. Kiriman uang menggambarkan mutasi kas antar rekening kas umum negara/daerah. Arus masuk kas dari aktivitas transitoris meliputi penerimaan PFK dan penerimaan transitoris seperti kiriman uang masuk dan penerimaan kembali uang persediaan dari bendahara pengeluaran. Arus keluar kas dari aktivitas transitoris meliputi pengeluaran PFK dan pengeluaran transitoris seperti kiriman uang keluar dan pemberian uang persediaan kepada bendahara pengeluaran.
Ilustrasi Penyusunan LAK Ilustrasi penyusunan LAK berikut ini menggunakan data LRA Konsolidasian yang telah dibuat di atas, ditambah informasi lain yang relevan, seperti data mengenai arus kas masuk/keluar dari transaksi transitoris (non anggaran).
196
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PEMERINTAH KABUPATEN ADIL MAKMUR Kertas Kerja Laporan Arus Kas Konsolidasian Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 20X1 (dalam ribuan rupiah) URAIAN
20X1
20X0
ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI
Arus Kas Masuk
Penerimaan Pajak Daerah
23.659.500
Xxx
Penerimaan Retribusi daerah
7.674.400
Xxx
Penerimaan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
3.500.000
Xxx
633.646
Xxx
Penerimaan Dana Bagi Hasil
55.850.000
Xxx
Penerimaan Dana Alokasi Umum
250.000.000
Xxx
Penerimaan Dana Alokasi Khusus
45.500.000
Xxx
Penerimaan Lain-lain PAD yang Sah
Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Jumlah Arus Masuk
386.817.546
Arus Kas Keluar
xxx
Pembayaran Pegawai
217.143.500
xxx
Pembayaran Barang dan Jasa
12.064.280
xxx
-
xxx
Pembayaran Bantuan Sosial
3.500.000
xxx
Pembayaran Bantuan Keuangan
2.000.000
xxx
-
xxx
Jumlah Arus Keluar
234.707.780
xxx
Jumlah Arus Kas Bersih dari Aktlvitas Operasi
152.109.766
xxx
Pembayaran Bunga
Pembayaran Tidak Terduga
ARUS KAS DARI AKTIVITAS INVESTASI
Arus Kas Masuk
Penerimaan Penjualan Aset Tetap
-
xxx xxx xxx
Jumlah Arus Masuk
xxx
Arus Kas Keluar
Pembayaran Perolehan Aset Tetap
165.000.000
xxx
Pembentukan Dana Cadangan
5.000.000
xxx
2.500.000
xxx
Jumlah Arus Keluar
Penyertaan Modal pada BUMD
172.500.000
xxx
Jumlah Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi
(172.500.000)
xxx
ARUS KAS DARI AKTIVITAS PENDANAAN
Arus Kas Masuk
Penerimaan Pinjaman dari Pemerintah Pusat
25.000.000
xxx
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
197
URAIAN
20X1
Jumlah Arus Masuk Arus Kas Keluar
xxx -
Jumlah Arus Keluar Jumlah Arus Kas Bersih dart Aktivitas Pendanaan
20X0 xxx
25.000.000
xxx
ARUS KAS DARI AKTIVITAS TRANSITORIS
Arus Kas Masuk
Penerimaan Perhitungan Pihak Ketiga Jumlah Arus Masuk
52.330.816
xxx
52.330.816
Xxx
Arus Kas Keluar Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga
52.221.084
Xxx
52.221.084
Xxx
Jumlah Arus Kas Bersih dart Aktivitas Transitoris
109.732
Xxx
Kenaikan (Penurunan) Bersih Kas Selama Periode
4.719.498
Xxx
Saldo Awal Kas
35.750.654
Xxx
Saldo Akhir Kas
40.470.152
35.750.654
Jumlah Arus Keluar
PENYUSUNAN CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN Laporan keuangan merupakan informasi yang kompleks dan disusun berdasarkan standar tertentu yang dapat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara penyusun dan pengguna laporan keuangan. Kesalahpahaman yang terjadi di kalangan pengguna laporan keuangan dapat disebabkan oleh persepsi dari pembaca laporan keuangan yang berbeda dengan penyusun laporan keuangan. Untuk menghindari kesalahpahaman tersebut, laporan keuangan harus disertai dengan Catatan atas Laporan Keuangan yang berisi informasi untuk memudahkan pengguna dalam memahami Laporan Keuangan. CaLK pada dasarnya harus mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1 1. Menyajikan informasi tentang kebijakan skal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian target Perda APBD, berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target; 2. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja keuangan selama tahun pelaporan; 3. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting lainnya; 4. Mengungkapkan informasi yang diharuskan oleh Standar Akuntansi Pemerintahan yang belum disajikan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan; 5. Mengungkapkan informasi untuk akun-akun aset dan kewajiban yang timbul sehubungan dengan penerapan basis akrual atas pendapatan dan belanja dan rekonsiliasinya dengan penerapan basis kas; 6. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang tidak disajikan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan.
1 Merujuk pada PP nomor 71 tahun 2010 paragraf 75.
198
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Format Catatan atas Laporan Keuangan dapat dilihat pada Tabel 10.4. Tabel 10.4 Format Catatan Atas Laporan Keuangan CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN TAHUN ANGGARAN…….. Bab I
Pendahuluan 1.1 Maksud dan tujuan penyusunan laporan keuangan 1.2 Landasan hukum penyusunan laporan keuangan 1.3 Sistematika penulisan catatan atas laporan keuangan
Bab II
Ekonomi makro, kebijakan keuangan dan pencapaian target kinerja APBD 1.1 Ekonomi makro 1.2 Kebijakan Keuangan 1.3 Indikator pencapaian target kinerja APBD
Bab III
Ikhtisar Pencapaian Kinerja Keuangan 1.1 Ikhtisar realisasi pencapaian target kinerja keuangan 1.2 Hambatan dan Kendala yang ada dalam pencapaian target yang telah ditetapkan
Bab IV
Kebijakan Akuntansi 1.1 Entitas pelaporan keuangan daerah 1.2 Basis akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan Pemda 1.3 Basis pengukuran yang mendasari penyusunan laporan keuangan Pemda 1.4 Penerapan kebijakan akuntansi berkaitan dengan ketentuan yang ada dalam standar akuntansi pemerintahan daerah
Bab V
Penjelasan Pos-pos Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 1.1 Rincian dan penjelasan masing-masing pos-pos pelaporan keuangan pemda 1.1.1 Pendapatan-LRA 1.1.2 Belanja 1.1.3 Transfer 1.1.4 Pembiayaan 1.1.5 Pendapatan-LO 1.1.6 Beban 1.1.7 Aset 1.1.8 Kewajiban 1.1.9 Ekuitas 1.2 Pengungkapan atas pos-pos aset dan kewajiban yang timbul sehubungan dengan penerapan basis akrual atas pendapatan dan belanja dan rekonsiliasinya dengan penerapan basis kas, untuk entitas pelaporan yang menggunakan basis akrual pada pemda
Bab VI Bab VII
Penjelasan atas informasi-informasi nonkeuangan pemda Penutup
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
199
10.6.2 Akuntansi Pendapatan a. Denisi Denisi Pendapatan-LRA adalah semua penerimaan oleh Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah lainnya yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Sedangkan denisi Pendapatan-LO adalah semua hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali b. Klasikasi Pendapatan Klasikasi pendapatan menurut PP no 71 tahun 2010 dan Permendagri 64 tahun 2013 yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD); Pendapatan Transfer; Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. c. Prinsip Akuntansi Pendapatan Daerah-LRA 1. Pendapatan-LRA diakui pada saat di terima pada rekening Kas Umum Daerah, atau Pendapatan kas yang diterima oleh bendahara penerimaan yang sebagai pendapatan negara/daerah dan hingga tanggal pelaporan belum disetorkan ke RKUN/RKUD, dengan ketentuan bendahara penerimaan tersebut merupakan bagian dari BUN/BUD, ataupun pada saat lainnya yang tersebut pada IPSAP Nomor 02 Tentang Pengakuan Pendapatan yang Diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah. 2. Koreksi atas pengembalian pendapatan yang sifatnya tidak berulang (non recurring) atas pendapatan tahun berjalan, dicatat sebagai pengurang pendapatan. Sedangkan koreksi atas pengembalian pendapatan periode sebelumnya, dicatat sebagai belanja tidak terduga yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih pada periode ditemukannya koreksi. 3. Pengembalian yang sifatnya normal (sistemik) dan berulang (recurring) atas penerimaan pendapatan periode berjalan atau sebelumnya dicatat sebagai pengurang pendapatan. 4. Akuntansi pendapatan dilaksanakan berdasarkan azas bruto yaitu dengan membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). d. Prinsip Akuntansi Pendapatan Daerah-LO Berdasarkan SAP (PP No 71 tahun 2010 dan Permendagri Nomor 64 Tahun 2013) prinsip-prinsip akuntansi pendapatan-LO adalah: 1. Pendapatan-LO diakui saat: (1) Timbulnya hak atas pendapatan; (2) Pendapatan direalisasi, yaitu adanya aliran masuk sumber daya ekonomi; Pendapatan-LO yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih pendapatan. Pendapatan-LO yang diperoleh sebagai imbalan atas suatu pelayanan yang telah selesai diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih imbalan. Pendapatan-LO yang diakui pada saat direalisasi adalah hak yang telah diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu adanya penagihan. 2. Transaksi pendapatan-LO dalam bentuk barang/jasa harus dilaporkan dalam Laporan Operasional dengan cara menaksir nilai wajar barang/jasa tersebut pada tanggal transaksi; 3. Akuntansi Pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan azas bruto.
200
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
e. Pencatatan Pendapatan Daerah-LRA di Buku Jurnal Jurnal atas Pendapatan-LRA dibuat dalam konteks pemerintah Daerah sebagai entitas Akuntansi Anggaran. Pendapatan yang dicatat disini adalah hanya pendapatan yang diterima secara tunai yang kode awalnya 4, 5, 6 dan 7. Perlu dicatat bahwa ketika ada transaksi terkait pendapatan, maka kemungkinannya adalah tunai atau kredit. Semua pendapatan selalu dicatat di buku jurnal nansial untuk menghasilkan Laporan Operasional (LO), sedangkan hanya yang menyangkut pendapatan tunai yang berkode 4, 5, 6 dan 7 yang juga dicatat sebagai jurnal realisasi anggaran di buku jurnal. Kode
Uraian Laporan Realisasi Anggaran
4
Pendapatan LRA
5
Belanja
6
Transfer
7
Pembiayaan
Contoh pencatatan realisasi pendapatan di buku jurnal: Estimasi Perubahan SAL
xxx
Pendapatan Pajak ....-LRA
xxx
f. Pencatatan Pendapatan Daerah-LO Pengakuan Pendapatan-LO dalam kaitannya pemda sebagai entitas akuntansi keuangan. Menurut Permendagri Nomor 64 Tahun 2013, pencatatan pendapatan LO dilakukan menggunakan buku jurnal nansial (LO dan Neraca) yang meliputi kolom tanggal, kode dan nama akun, debit danr kredit serta kolom keterangan. Semua pendapatan dengan kode 8 dan 9 dicatat menggunakan mekanisme double entry untuk nantinya menghasilkan Laporan Operasional. Kode
Uraian Laporan Operasional
8
Pendapatan LO
9
Beban
Contoh Jurnal penerimaan kas atas pajak dan langsung disetor ke kas daerah di buku jurnal nansial (LO dan Neraca): Kas di Kas Daerah
xxx
Pendapatan Pajak...-LO
xxx
Contoh pencatatan di buku jurnal nansial (LO dan Neraca) atas diterbitkannya surat ketetapan pajak tetapi kas belum diterima: Piutang Pajak Daerah
xxx
Pendapatan Pajak ....-LO
xxx
g. Penyajian Pendapatan LRA disajikan di Laporan Realisasi Anggaran (LRA) sedangkan Pendapatan LO disajikan di Laporan Operasional (LO).
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
201
10.6.3 Akuntansi Belanja dan Beban a. Denisi Belanja Daerah adalah semua pengeluaran oleh Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. (PP Nomor 71 Tahun 2010). Belanja adalah kewajiban pemerintah daerah yg diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. (Permendagri 13/2006). b. Klasikasi Belanja Menurut Permendagri Nomor 64 Tahun 2013, belanja dikelompokkan sebagai belanja operasi, belanja Modal dan belanja tak terduga. Berikut klasikasi belanja menurut Permendagri Nomor 64 Tahun 2013: (Permendagri No. 64 tahun 2013) 1. Belanja Operasi - Belanja pegawai - Belanja barang - Bunga - Subsidi - Hibah - Bantuan sosial 2. Belanja Modal 3. Belanja Tak Terduga c. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah. Pengeluaran melalui bendahara pengeluaran, pengakuan belanjanya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran yang disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan. Koreksi atas penerimaan kembali belanja yang terjadi pada periode dicatat sebagai pengurang belanja. Apabila diterima pada periode berikutnya, koreksi belanja dicatat sebagai pendapatan lain-lain LRA. Menurut Permendagri Nomor 64 Tahun 2013, belanja yang dikeluarkan melalui SP2D-UP/GU/ TU baru boleh diakui setelah SPJ bendahara pengeluaran untuk penggunaan dana UP/GU/TU mendapatkan pengesahan dari BUD. Belanja yang dikeluarkan melalui SP2D-LS dapat diakui pada saat SP2D-LS tersebut diterbitkan atau dicairkan, oleh karena itu, PPK-SKPD dapat segera membuat jurnal Belanja LS dengan menggunakan dokumen sumber SP2D-LS bersangkutan. d. Pencatatan Belanja Jurnal atas belanja dibuat dalam kaitannya pemerintah Daerah sebagai entitas Akuntansi, pencatatanya digunakan double entry yang akan menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Contoh pencatatan belanja di buku jurnal: Belanja Hibah
xxx
Estimasi Perubahan SAL
xxx
e. Penyajian Belanja akan dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) setelah akun Pendapatan.
202
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
a. Denisi Beban adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas, dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya kewajiban (PP Nomor 71 Tahun 2010 dan Permendagri Nomor 64 Tahun 2013). b. Klasikasi Beban 1) Beban Operasi Beban Pegawai; Beban Barang; Beban Bunga; Beban Subsidi; Beban Hibah; Beban Bantuan Sosial; Beban Penyusutan Aset Tetap/Amortisasi; Beban Penyisihan Piutang; Beban Lain-lain. 2) Beban Transfer Beban Bagi Hasil Pajak; Beban bagi Hasil Pendapatan lainnya; Beban Transfer Bantuan Keuangan ke Pemerintah Daerah Lainnya; Beban Transfer Bantuan ke Desa; Beban Transfer Bantuan Keuangan lainnya. 3) Beban Non Operasional Beban yang sifatnya tidak rutin, misalnya berasal dari: Desit penjualan aset non lancar; Desit penyelesaian kewajiban jangka panjang; Desit dari kegiatan non operasional lainnya. 1) Beban Luar Biasa Untuk mencatan beban atas kejadian luar biasa. Yang termasuk kejadian luar biasa adalah: Tidak bisa diramalkan pada awal tahun anggaran; Tidak diharapkan terjadi berulang-ulang; Kejadiannya diluar kendali pemerintah. c. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Beban diakui saat: Timbulnya kewajiban Adalah saat terjadinya peralihan hak dari pihak lain ke pemerintah tanpa diikuti keluarnya kas dari kas umum daerah. Terjadinya konsumsi aset Adalah saat pengeluaran kas kepada pihak lain yang tidak didahului timbulnya kewajiban dan/ atau konsumsi aset nonkas dalam kegiatan operasional pemerintah. Terjadinya penurunan manaat ekonomi atau potensi jasa Adalah saat terjadi penurunan nilai aset sehubungan dengan penggunaan aset bersangkutan/ berlalunya waktu. Koreksi atas Beban (penerimaan kembali) yang terjadi pada periode berjalan dicatat sebagai pengurang beban pada periode berjalan. Penerimaan kembali atas beban tahun sebelumnya akan dicatat sebagai pendapatan lain-lain pada periode berjalan.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
203
d. Pencatatan Beban Jurnal atas Beban dibuat dalam kaitannya pemerintah Daerah sebagai entitas Keuangan, pencatatanya digunakan Double entry yang akan menghasilkan Laporan Operasional (LO) dan Neraca Pemda. Contoh pencatatan jurnal untuk mencatat beban di buku jurnal nansial dengan mekanisme Pembayaran GU/TU di SKPD: Beban Barang dan Jasa .....................
xxx
Kas di Bendahara Pengeluaran
xxx
Kas di Bendahara Pengeluaran
xxx
RK PPKD
xxx
Contoh pencatatan jurnal untuk mencatat beban di buku jurnal nansial dengan mekanisme Pembayaran LS di SKPD: Beban Pegawai - LO
xxx
RK PPKD
xxx
e. Penyajian Beban dilaporkan dalam Laporan Operasional (LO).
10.6.4 Akuntansi Piutang a. Denisi Piutang adalah hak tagih pemerintah kepada pihak lain yang belum diterima pembayarannya. Hak tagih tersebut bisa berasal dari kewenangan pemda misalnya untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah, atau hak tagih karena memberikan pinjaman kepada pihak lain. b. Jenis Piutang Jenis Piutang adalah: 1) Piutang Pendapatan Adalah piutang atas pendapatan pemerintah yang berupa: Piutang Pajak; Piutang restribusi; Piutang hasil kekayaan daerah yang dipisahkan; Piutang lain-lain PAD yang sah; Piutang transfer pemerintah pusat; Piutang bantuan kekayaan; Piutang hibah; Piutang pendapatan lainnya. 2) Piutang Lainnya Termasuk piutang lain-lain adalah: Bagian lancar tagihan jangka panjang. 3) Pengakuan Telah diterbitkan surat ketetapan; dan/atau Telah diterbitkan surat penagihan dan telah dilaksanakan penagihan. c. Pencatatan Piutang Contoh pencatatan jurnal di buku jurnal nansial saat timbulnya hak tagih (piutang):
204
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Piutang Pajak Daerah
xxx
Pendapatan Pajak ....-LO
xxx
d. Penyajian Disajikan sebagai aset lancar di Neraca sebesar nilai yang jatuh tempo dalam tahun berjalan dan yang akan ditagih dalam 12 bulan ke depan berdasarkan surat ketentuan penyelesaian yang telah ditetapkan; Disajikan sebagai aset lainnya terhadap nilai yang akan dilunasi di atas 12 bulan berikutnya; Aset Lancar diungkapkan pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan. e. Penyisihan piutang tak tertagih Dalam lampiran I Permendagri 64/2013 dinyatakan bahwa piutang dicatat dan diukur sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value). Oleh karena itu, terhadap piutang yang diperkirakan tidak akan tertagih dilakukan penyisihan. Penyisihan piutang dilakukan melalui estimasi berdasarkan umur piutang (aging schedule). Contoh tabel penentuan besaran piutang yang akan disisihkan berdasarkan jenis dan umur piutang dapat dilihat pada tabel berikut: Contoh tabel kebijakan persentase penyisihan piutang berdasarkan jenis dan umur piutang. No
Jenis Piutang
Umur Piutang « 1 th
>1 s.d. 2 th
>2 s.d. 3 th
>3 th
1
Piutang ...
... %
... %
... %
... %
2
Piutang ...
... %
... %
... %
... %
3
Dst
... %
... %
... %
... %
Beberapa rujukan peraturan yang mungkin dapat dijadikan benchmark/dasar dalam menentukan besarnya penyisihan piutang tak tertagih yaitu : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201 Tahun 2010 tentang kualitas piutang kementerian/ lembaga dan pembentukan penyisihan piutang tak tertagih. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2014 tentang penentuan kualitas piutang dan pembentukan penyisihan piutang tidak tertagih pada kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 2 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak nomor Per-02/PJ/2012 tentang penggolongan kualitas piutang pajak dan cara penghitungan penyisihan piutang pajak. PMK nomor 201/2010 dan revisinya yaitu PMK 69/2014 merupakan peraturan induknya sedangkan Perdirjen Pajak no 2/2013 merupakan peraturan turunannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 69/2014 dinyatakan bahwa kualitas piutang ditetapkan dalam 4 (empat) golongan yaitu: (1) kualitas lancar; (2) kualitas kurang lancar; (3) kualitas diragukan; (4) kualitas macet. Dalam pasal 5 ayat (2) PMK 69/2014 disebutkan pula dasar penentuan kualitas piutang yaitu: a. Kondisi piutang pada tanggal laporan keuangan; b. Umur piutang pada tanggal laporan keuangan.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
205
Penentuan kualitas piutang yang dikelola oleh kementerian/lembaga dilakukan dengan ketentuan: a. Kualitas lancar apabila belum dilakukan pelunasan sampai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan. b. Kualitas kurang lancar apabila dalam jangka waktu 1(satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama tidak dilakukan pelunasan. c. Kualitas diragukan apabila dalam jangka waktu 1(satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan Kedua tidak dilakukan pelunasan. d. Kualitas macet apabila: Dalam jangka waktu 1(satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga tidak dilakukan pelunasan; atau Piutang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara/ Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Penentuan kualitas piutang yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara dilakukan dengan ketentuan: a. Kualitas lancar apabila piutang belum jatuh tempo. b. Kualitas kurang lancar apabila piutang tidak dilunasi pada saat jatuh tempo sampai dengan 1 (satu) tahun sejak jatuh tempo. c. Kualitas diragukan apabila piutang tidak dilunasi lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun sejak jatuh tempo. d. Kualitas macet apabila piutang tidak dilunasi lebih dari 3(tiga) tahun sejak jatuh tempo. Penentuan kualitas piutang tersebut tidak dilakukan terhadap belanja dibayar dimuka/uang muka belanja, piutang transfer ke daerah dan piutang kelebihan pembayaran subsidi dalam hal belanja dibayar dimuka/uang muka belanja, pembayaran transfer ke daerah dan kelebihan pembayaran subsidi dimaksud dikompensasikan di tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan pasal 7 ayat (5) PMK 69/2014 dinyatakan besaran penyisihan piutang tak tertagih yaitu: a. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan; b. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan; c. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan. Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih ditetapkan sebesar: a. 100% (seratus persen) dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia; b. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya; c. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir; d. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan. Nilai barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih ditetapkan sebesar: a. 100% (seratus persen) dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia; b. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya;
206
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
c. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir; d. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan.
10.6.5 Akuntansi Persediaan a. Denisi Aset dalam bentuk barang atau perlengkapan (supplies) yang diperoleh dengan maksud untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah atau barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dalam kurun waktu 12 bulan dari tanggal pelaporan. Contoh persediaan: Persediaan ATK Persediaan Benda Akun Persediaan obat-obatan Persediaan bibit Persediaan pupuk Persediaan bahan pembersih Persediaan bahan bangunan Persediaan amunisi b. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Persediaan dinilai dengan perhitungan sik pada akhir periode. Persediaan yang berasal dari pembelian, maka di nilai berdasarkan Biaya perolehan. Persediaan yang diperoleh dengan memproduksi sendiri maka dinilai berdasarkan biaya Standar. Persediaan yang diperoleh dengan cara lain seperti hibah atu rampasan dinilai sebesar Nilai wajar. Saldo persediaan tersebut dihitung berdasarkan harga pembelian terakhir. c. Pencatatan Persediaan Pencatatan persediaan dilakukan dengan menggunakan metode : a. Metode Periodik : untuk jenis persediaan yang penggunaannya sulit diidentikasi, seperti ATK (alat tulis kantor). Pencatatan dengan mentode ini hanya dilakukan pada saat terjadi penambahan, sehingga tidak meng-update jumlah persediaan. Jumlah persediaan akhir diketahui dengan melakukan stock opname pada akhir periode. b. Metode Perpetual : untuk jenis persediaan yang sifatnya continues dan membutuhkan kontrol yang besar, seperti obat-obatan. Pada metode ini, pencatatan dilakukan setiap ada persediaan yang masuk dan keluar, sehingga nilai atau jumah persediaan selalu ter-update. Adapun mekanisme penilaian persediaan sesuai dengan Permendagri 64/2013 hanya di perkenankan menggunakan metode FIFO (Pertama masuk, pertama keluar). Contoh jurnal yang dibuat di buku jurnal nansial (LO dan Neraca) saat pembelian persediaan menggunakan mekanisme UP: Beban Persediaan
xxx
Kas di Bendahara Pengeluaran
xxx
d. Penyajian Persediaan dilaporkan dalam Neraca dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
207
10.6.6 Akuntansi Aset Tetap a. Denisi Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. b. Klasikasi Aset Tetap Tanah Peralatan dan Mesin Gedung dan Bangunan Jalan, Irigasi, dan Jaringan Aset Tetap Lainnya Konstruksi dalam Pengerjaan c. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Aset tidak diakui jika pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin diperoleh pemerintah setelah periode akuntansi berjalan. Aset tetap dicatat sebesar Biaya Perolehan. Aset Tetap dicatat sebesar nilai wajar apabila biaya perolehan tidak memungkinkan digunakan. Biaya perolehan atas pembelian Aset meliputi: 1) Harga beli aset tetap 2) Semua biaya yang dikeluarkan sampai Aset Tetap siap digunakan, termasuk: biaya perjalanan dinas ongkos angkut biaya uji coba biaya konsultan, dll Pengeluaran belanja untuk aset tetap setelah perolehan dapat dibedakan menjadi dua: belanja untuk pemeliharaan yaitu belanja untuk mempertahankan kondisi aset tetap tersebut sesuai dengan kondisi awal. belanja untuk peningkatan yaitu belanja yang memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk peningkatan kapasitas, masa manfaat, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja. Belanja ini harus dikapitalisasi dan manambah nilai aset. d. Penyusutan a) Penyusutan adalah penyesuaian nilai sehubungan dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu aset. b) Selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan, seluruh aset tetap dapat disusutkan sesuai dengan sifat dan karakteristik aset tersebut. c) Terdapat 3 (tiga) jenis metode penyusutan yang dapat dipergunakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, yaitu Garis Lurus (Straight Line Method), Saldo Menurun Ganda (Double Declining Balance Method), Unit Produksi (Unit of Production). Namun demikian sesuai dengan tabel masa manfaat asset tetap dalam Permendagri Nomor 64/2013 hanya memberikan contoh metode garis lurus tanpa nilai residu. d) Adapun cata perhitungan metode penyusutan adalah sebagai berikut: a) Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Metode garis lurus merupakan metode yang paling umum digunakan dalam penyusutan. Metode garis lurus menghitung penurunan nilai aset dengan rumus: beban penyusutan =
harga perolehan – estimasi nilai sisa
estimasi masa manfaat b) Metode Saldo Menurun Ganda (Double Declining Method)
208
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Metode ini menghitung penurunan nilai aset dengan rumus: 100% beban penyusutan = x 2 x harga perolehan masa manfaat aset c) Metode Unit Produksi (Unit of Production Method) Metode unit produksi menghasilkan perhitungan alokasi jumlah beban penyusutan periodik yang berbeda-beda tergantung jumlah penggunaan aset tetap dalam produksi. Metode ini paling tepat digunakan jika unit manfaat dari aset bersifat spesik dan terkuantikasi. Metode ini menghitung penurunan nilai aset tetap dengan rumus: harga perolehan – estimasi nilai sisa beban penyusutan = x produksi tahun ini estimasi masa manfaat produksi e. Pencatatan Aset Tetap Pencatatan aset tetap dilakukan di buku jurnal nansial bersamaan dengan pencatatan belanja modal di buku anggaran jika belanja modal ini dilakukan secara tunai. Contoh pencatatan pembelian mobil ambulan secara tunai di buku jurnal nansial (LO dan Neraca): Mobil Ambulance
xxx
RK PPKD
xxx
Contoh pencatatan jurnal anggaran (LRA) atas belanja modal pembelian mobil ambulan secara tunai di buku jurnal: Belanja Modal ................
xxx
Estimasi Perubahan SAL
xxx
Selanjutnya jika Aset Tetap tersebut telah digunakan, maka di setiap akhir tahun harus dibuat jurnal penyusutan aset tetap di buku jurnal nansial. Contoh pencatatan penyusutan di buku jurnal nansial (LO dan Neraca): setiap akhir tahun: Beban Penyusutan ...
xxx
Akumulasi Penyusutan
xxx
f. Konstruksi Dalam Pengerjaan Konstruksi dalam pengerjaan adalah aset-aset tetap yang sedang dalam proses pembangunan. Konstruksi Dalam Pengerjaan mencakup peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta aset tetap lainnya yang proses perolehannya dan/atau pembangunannya membutuhkan suatu periode waktu tertentu dan belum selesai pada saat akhir tahun anggaran. Suatu aset berwujud harus diakui sebagai Konstruksi Dalam Pengerjaan jika: 1) Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan dengan aset tersebut akan diperoleh; 2) Biaya perolehan tersebut dapat diukur secara andal; 3) Aset tersebut masih dalam proses pengerjaan. Konstruksi Dalam Pengerjaan dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a) konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan; b) dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan tujuan perolehan.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
209
g. Penyajian Penyajian aset tetap dalam lembar muka neraca sebagai berikut: Aset Aset Tetap Tanah Peralatan dan Mesin Gedung dan Bangunan xxx Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx Aset Tetap Lainnya Akumulasi Penyusutan (xxx) Konstruksi dalam Pengerjaan Total Aset Tetap
xxx xxx
xxx xxx xxx
10.6.7 Akuntansi Investasi dan Pembiayaan Akuntansi Investasi a. Denisi Investasi adalah Aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomik seperti bunga, deviden dan royalti, atau manfaat sosial sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. b. Klasikasi Investasi diklasikasikan menjadi: Investasi jangka Pendek Diharapkan dapat segera dicairkan dan dimaksudkan untuk dimiliki selama setahun atau kurang ditujukan dalam rangka manajemen kas. Berisiko rendah atau bebas dari perubahan atau pengurangan harga yang signikan. Contoh : investasi dalam saham dan investasi dalam obligasi. Investasi Jangka Panjang Dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat sosial yang dimiliki lebih dari dua belas bulan. Sifat penanaman: permanen : Investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan contoh: Penyertaan modal Pemerintah daerah. non permanen : Investasi Jangka Panjang yang simaksudkan untuk dimiliki tidak berkelanjutan. contoh: Pinjaman Jangka Panjang kepada Entitas Lain, Dana Bergulir, Investasi dalam proyek pembangunan. c. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Investasi jangka pendek dicatat sebesar nilai perolehan. Investasi jangka panjang dicatat sebesar biaya perolehan termasuk biaya tambahan lainnya yang terjadi untuk memperoleh kepemilikan yang sah atas investasi tersebut. Untuk investasi jangka panjang metode pengukurannya adalah: a) Investasi permanen dicatat sebesar biaya perolehannya meliputi harga transaksi investasi berkenaan ditambah biaya lain yang timbul dalam rangka perolehan investasi berkenaan. b) Investasi nonpermanen: investasi yang dimaksudkan tidak untuk dimiliki berkelanjutan, dinilai sebesar nilai perolehannya.
210
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
investasi dalam bentuk dana talangan untuk penyehatan perbankan yang akan segera dicairkan dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan. penanaman modal di proyek-proyek pembangunan pemerintah daerah (seperti proyek PIR) dinilai sebesar biaya pembangunan termasuk biaya yang dikeluarkan untuk perencanaan dan biaya lain yang dikeluarkan dalam rangka penyelesaian proyek sampai proyek tersebut diserahkan ke pihak ketiga. c) Pengukuran investasi yang diperoleh dari nilai aset yang disertakan sebagai investasi pemerintah daerah, dinilai sebesar biaya perolehan, atau nilai wajar investasi tersebut jika harga perolehannya tidak ada. d) Pengukuran investasi yang harga perolehannya dalam valuta asing harus dinyatakan dalam rupiah dengan menggunakan nilai tukar (kurs tengah bank sentral) yang berlaku pada tanggal transaksi. d. Pencatatan Investasi Pencatatan Investasi dilakukan di buku jurnal nansial. Adapun contoh pencatatan investasi oleh Pemerintah Daerah di buku jurnal nansial sebagai berikut: Investasi Jangka Panjang ......................
xxx
Kas di Kas Daerah
xxx
Dalam pelepasan investasi jangka pendek, berdasarkan Dokumen Transaksi yang dimiliki PPKD, Fungsi Akuntansi PPKD mencatat “Kas di Kas Daerah” di debit serta “Pendapatan Bunga-LO” dan “Investasi Jangka Pendek” di kredit dengan jurnal: Kas di Kas Daerah
xxx
Pendapatan Bunga - LO
xxx
Investasi Jangka Pendek Berdasarkan Dokumen Perjanjian Utang, Fungsi Akuntansi PPKD menyiapkan bukti memorial terkait pengakuan bagian utang jangka panjang yang harus dibayar tahun ini. Setelah diotorisasi oleh PPKD, bukti memorial tersebut menjadi dasar bagi Fungsi Akuntansi PPKD untuk melakukan pengakuan reklasikasi dengan mencatat “Kewajiban Jangka Panjang” di debit dan “Bagian Lancar Utang Jangka Panjang” di kredit dengan jurnal: Kewajiban Jangka Panjang
xxx
Bagian Lancar Utang Jangka Panjang
xxx
e. Penyajian Investasi akan dilaporkan dalam Neraca dan diungkapkan dalan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Pemerintah Daerah.
Akuntansi Pembiayaan a. Denisi Setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup desit atau memanfaatkan surplus anggaran.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
211
Jenis Pembiayaan: Penerimaan pembiayaan mencakup: Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA); Pencairan dana cadangan; Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; Penerimaan pinjaman daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup: pembentukan dana cadangan; penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah; pembayaran pokok utang; pemberian pinjaman daerah. b. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Penerimaan pembiayaan akan diakui pada saat telah diterima di rekening kas umum daerah. Dan sesuai dengan IPSAP Nomor 3 menyebutkan bahwa pengakuan penerimaan pembiayaan ditentukan oleh BUN/BUD sebagai pemegang otoritas dan bukan semata-mata oleh RKUN/ RKUD sebagai salah satu tempat penampungan. Seperti halnya Penerimaan pembiayaan pada rekening khusus, yang dibentuk untuk menampung transaksi pembiayaan yang bersumber dari utang. Pengeluaran pembiayaan akan diakui pada saat telah dibayarkan dari rekening kas umum daerah. Dan sesuai dengan IPSAP Nomor 3 menyebutkan bahwa pengakuan pengeluaran pembiayaan ditentukan oleh BUN/BUD sebagai pemegang otoritas dan bukan sematamata oleh RKUN/RKUD sebagai salah satu sumber pengeluaran, seperti halnya Pengeluaran pembiayaan yang tidak melalui RKUN/RKUD yang diakui oleh BUN/BUD. c. Pencatatan Pembiayaan Jurnal pembiayaan pencatatanya digunakan double entry yang akan menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Contoh pencatatan Penerimaan Pembiayaan di buku jurnal: Estimasi Perubahan SAL
xxx
Penerimaan Pembiayaan
xxx
Contoh pencatatan Pengeluaran Pembiayaan di buku jurnal: Pengeluaran Pembiayaan
xxx
Estimasi Perubahan SAL
xxx
d. Penyajian Pembiayaan akan disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA).
212
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
10.6.8 Akuntansi Kewajiban a. Denisi Utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. b. Klasikasi Kewajiban Kewajiban diklasikasikan manjadi: 1) Kewajiban Jangka Pendek Adalah Kewajiban yang jatuh tempo kurang dari 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Jenis Kewajiban Jangka Pendek: Utang Perhitungan Fihak Ketiga (PFK); Utang Bunga; Bagian Lancar utang jangka panjang; Pendapatan diterima dimuka; Utang Beban; Utang jangka pendek lainnya. 2) Kewajiban Jangka Panjang Adalah Kewajiban yang jatuh tempo lebih dari 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Jenis Kewajiban Jangka Panjang: Utang Dalam Negeri; Utang Luar Negeri; Utang jangka panjang lainnya. c. Prinsip Pengakuan dan Pengukuran Kewajiban diakui jika besar kemungkinan sumber daya ekonomi akan dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban yang ada sampai saat pelaporan dan perubahan atas kewajiban tersebut mempunyai nilai penyelesaian yang dapat diukur dengan andal. Kewajiban diakui pada saat dana pinjaman diterima dan/atau pada saat kewajiban timbul. Kewajiban dicatat sebesar nilai nominal. Kewajiban dalam mata uang asing dijabarkan dan dinyatakan dalam mata uang rupiah. Menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal neraca. d. Pencatatan Kewajiban Transaksi kewajiban dicatat di buku jurnal nansial. Contoh jurnal timbulnya kewajiban: Kewajiban Jangka Panjang.....................
xxx
Kas di Kas Daerah
xxx
e. Penyajian dan Pelaporan Kewajiban akan dilaporkan di Neraca dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
213
10.7 Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 10.7.1. Pengertian Analisis laporan keuangan adalah merupakan suatu proses mengulas dan menganalisis laporan keuangan bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kondisi keuangan entitas untuk pengambilan keputusan, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih efektif. Analisis laporan keuangan dapat juga diartikan sebagai upaya mengidentikasi ciri-ciri keuangan dengan mengulas akun-akun laporan tersebut menjadi unit informasi yang lebih rinci dan melihat hubungan antar akun untuk mengetahui kondisi keuangan entitas sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Karakteristik analisis laporan keuangan adalah: Fokus pada laporan keuangan utama. Memuat analisis hubungan antarakun-akun dalam satu laporan keuangan maupun antar laporan keuangan, perbandingan dan kecenderungan akun-akun tersebut. Memuat implikasi dan prediksi: mengevaluasi dampak kejadian atau transaksi masa lalu sekaligus meramalkan prospek keuangan di masa depan. Dipengaruhi oleh kemampuan dan ketajaman analis. Arti penting analisis laporan keuangan memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan dapat digunakan untuk menilai kemampuan entitas memenuhi kewajiban termasuk penyediaan dana, mengevaluasi prestasi manajemen termasuk mengetahui kondisi keuangan entitas.
10.7.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari analisis laporan keuangan pemerintah daerah adalah: Meyakini ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengetahui kondisi keuangan pemerintah daerah. Mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya dan menyediakan dana kegiatan. Mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan program kerja. Mengetahui potensi pemerintah daerah dalam menghasilkan sumber daya. Adapun manfaat analisis laporan keuangan, antara lain sebagai berikut: Menyediakan tambahan penjelasan atas data dan informasi keuangan termasuk informasi yang tidak secara eksplisit disajikan di dalam laporan keuangan. Mengetahui kesalahan dan inkonsistensi dalam laporan keuangan. Menilai perkembangan dan pencapaian yang diperoleh oleh suatu entitas serta membuat proyeksi keuangan di masa mendatang. Mengevaluasi kondisi keuangan pemerintah daerah masa lalu, saat ini, dan perkiraan di masa yang akan datang. Mengetahui komposisi struktur keuangan pemerintah daerah, sehingga dapat memahami situasi dan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu entitas.
214
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
10.7.3 Metode dan Teknik Analisis Metode dan teknik analisis yang tepat diperlukan untuk melakukan analisis laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut dapat memberikan informasi maksimal dan para pemakai hasil analisis tersebut dapat menafsirkannya dengan mudah. Adapun tahapan analisis laporan keuangan adalah sebagai berikut: Memperoleh data keuangan dan pendukung yang diperlukan untuk periode analisis; Mengukur, menghitung dan melakukan kalkulasi dengan menggunakan rumus tertentu; sesuai dengan standar yang biasa digunakan secara cermat dan teliti; Menafsirkan hasil perhitungan dan pengukuran yang telah dibuat; Memberikan rekomendasi terkait dengan hasil analisis tersebut. Dalam praktik, secara umum terdapat tiga macam metode analisis laporan keuangan yang biasa dipakai, yaitu analisis horizontal, analisis vertikal dan analisis rasio. a. Analisis Horizontal Analisis horizontal merupakan analisis perbandingan antar perioda. Analisis ini juga dikenal dengan analisis kecenderungan (trend analysis). Analisis tren merupakan suatu teknik analisis mengidentikasi pola-pola dari trend (perubahan yang terjadi dalam beberapa periode) sebagai dasar evaluasi dan prediksi keadaan di masa datang. Analisis kecenderungan sederhana dapat digunakan untuk mengetahui tren suatu akun (naik atau turun) dengan membandingkan angkaangka untuk akun yang sama dari laporan beberapa tahun berurutan. Kelemahan dari analisis kecenderungan sederhana adalah tidak dapat diketahui secara langsung berapa rata-rata kenaikan per tahun. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, digunakananalisis kecenderungan bergerak (dari tahun-ke-tahun) untuk mengetahui rata-rata kenaikan per tahun. Teknik analisis mirip teknik analisis rasio komparatif lain, hanya melibatkan data beberapa tahun agar dapat diperoleh rata-rata kenaikan pertahunnya. Selanjutnya, rata-rata kenaikan per tahun tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi kenaikan yang normal untuk tahun berikutnya. Secara ringkas, karakteristik analisis horizontal adalah:
Bertujuan untuk mengetahui arah atau kecenderungan akun laporan keuangan; Membutuhkan data time series selama beberapa tahun; Dilakukan dengan membandingkan akun yang sama dari laporan beberapa periode; Analisis kecenderungan sederhana, dengan tahun dasar atau bergerak, membandingkan angka-angka untuk akun yang sama dari laporan beberapa periode; Analisis kecenderungan dengan diagram pencar dilakukan dengan penarikan garis kecenderungan yang mendekati (mengikuti) pola dari sebaran titik-titik dalam grak. b. Analisis vertikal Analisis vertikalmerupakan analisis untuk satu periode laporan keuangan, dengan cara melakukan perbandingan antara akun-akun dalam satu periode pelaporan keuangan. Beberapa contoh analisis vertikal yang dapat dilakukan sebagai berikut: Analisis atas akun di neraca; Analisis atas akun laporan realisasi anggaran (LRA); Analisis atas akun laporan arus kas (LAK); Analisis atas akun laporan operasional (LO); Analisis rasio.
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
215
c. Analisis Rasio Analisis rasio merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan akun-akun yang ada dalam satu laporan keuangan atau akun-akun antara laporan keuangan neraca dan laporan realisasi anggaran. Analisis rasio dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut: Likuiditas, untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membayar utang (kewajiban) jangka pendek. Rasio ini bisa diukur dengan rasio lancar dan rasio cepat. Solvabilitas, untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo. Rasio ini bisa diukur dengan aset terhadap utang. Leverage,untuk mengukur perbandingan antara ekuitas (kekayaan bersih pemerintah daerah) dengan total utang. Kemandirian, untuk mengukur tingkat kemandirian pemerintah daerah dalam mendanai aktivitas sebagai indikator tingkat partisipasi masyarakat lokal terhadap pembangunan daerah, indikator perkembangan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Rasio ini dapat diukur dengan membandingkan jumlah PAD terhadap jumlah DAU ditambah jumlah pinjaman (selain utang PFK dan utang pajak PPn/PPh).
Analisis Rasio yang Lain a. Analisis Aset 1). Rasio Lancar =Aktiva Lancar/Utang Lancar; 2). Rasio Kas= (Kas+Efek)/Utang Lancar; 3). Rasio Cepat= (AL-Persediaan)/Utang Lancar; 4). Rasio Solvabilitas = Total Aktiva/Total utang; 5). Rasio Utang thd Ekuitas = Total Utang/Jumlah Ekuitas Dana. b. Analisis Kewajiban 1). Rasio Utang per Kapita = Total Utang/Total Jumlah Penduduk; 2). Rasio Utang Terhadap Ekuitas = Total Utang/Jumlah Ekuitas Dana; 3). Rasio Utang Terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)= Total Utang/PDRB; 4). Rasio Utang Terhadap Pendapatan Pajak Daerah = Total Utang/Pendapatan Pajak Daerah; 5). Rasio Utang Terhadap Pendapatan Asli Daerah = Total Utang/Pendapatan Asli Daerah; 6). Rasio Utang Terhadap Pendapatan Daerah = Total Utang/Pendapatan Daerah. c. Analisis Belanja 1). Analisis Varians Belanja (selisih realisasi dan anggaran); 2). Rasio Belanja per Fungsi = Realisasi Belanja Fungsi…. /Total Belanja Daerah; 3). Rasio Belanja Operasi Terhadap Total belanja = Realisasi Belanja Operasi / Total Belanja Daerah; 4). Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja = Realisasi Belanja Modal/Total Belanja Daerah; 5). Rasio Belanja Langsng Terhadap Total Belanja = Total Belanja Langsung / Total Belanja Daerah; 6). Rasio Belanja Tidak Langsung Terhadap Total Belanja = Total Belanja Tidak Langsung/Total Belanja Daerah; 7). Rasio Esiensi Belanja = (Realisasi Belanja/Anggaran Belanja) x 100.
10.7.4 Kondisi Keuangan Pemerintah Daerah Kondisi keuangan pemerintah daerah merupakan kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban (jangka pendek, jangka panjang, operasional maupun pelayanan kepada masyarakat), mengantisipasi kejadian tak terduga dan menjalankan hak keuangannya secara esien dan efektif. Ritonga (2014) mengemukakan enam dimensi pembentuk kondisi keuangan pemerintah daerah yaitu: a. Solvabilitas jangka pendek: kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek. Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio solvabilitas jangka pendek = aset lancar/kewajiban lancar
216
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
b. Solvabilitas jangka panjang: kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio solvabilitas jangka panjang = aset total / kewajiban total c. Solvabilitas anggaran: kemampuan untuk memenuhi kewajiban operasional Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio solvabilitas anggaran = pendapatan toal / belanja total d. Solvabilitas layanan: kemampuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio solvabilitas layanan = belanja total / jumlah penduduk e. Fleksibilitas keuangan: kemampuan untuk mengatasi kejadian tak terduga Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio eksibilitas = (pendapatan total – DAK) / belanja total f. Kemandirian keuangan: kemampuan untuk melaksanakan hak-hak keuangan secara esien dan efektif Rumus yang dapat digunakan adalah: Rasio kemandirian = PAD total / belanja total
10.7.5 Keterbatasan Analisis Laporan Keuangan Akurasi analisis laporan keuangan sangat tergantung pada akurasi dan validitas angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Selain itu, pada analisis laporan keuangan itu sendiri terdapat keterbatasan yang inheren, antara lain: a. Sifat laporan keuangan adalah historis. Laporan keuangan menyajikan informasi mengenai transaksi dan kejadian pada masa lalu bukan kondisi saat ini. b. Informasi dalam laporan keuangan adalah bertujuan umum. Informasi dalam laporan keuangan tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi secara khusus bagi setiap kelompok pengguna laporan keuangan. Laporan keuangan disusun dengan menggunakan istilah-istilah teknis, dan pengguna laporan diasumsikan memahami bahasa teknis akuntansi dan sifat dari informasi yang dilaporkan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman dasar akuntansi dan Standar Akuntansi Pemerintahan. c. Penggunaan taksiran dalam laporan keuangan. Di dalam penyusunan laporan keuangan tidak dapat dihindari adanya penggunaan estimasi akuntansi, yang cenderung bersifat subyektif, misal estimasi masa manfaat atau umur ekonomis aset tetap, dan lain sebagainya. d. Hakikat laporan keuangan adalah informasi kuantitatif. Informasi laporan keuangan berupa informasi kuantitatif keuangan, sehingga hasil analisis laporan keuangan juga bersifat kuantitatif. Sedangkan informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja pemerintah bukan hanya informasi kuantitatif, tetapi juga informasi kualitatif. e. Laporan keuangan lebih menggambarkan kinerja keuangan. Analisis laporan keuangan lebih mengarah pada analisis kinerja keuangan. Meskipun APBD disusun dengan pendekatan kinerja, akan tetapi kinerja pelaksanaan program laporan kinerja instansi pemerintah.
10.7.6 Ilustrasi Analisis Laporan Keuangan Dengan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Sleman, lihat tabel dibawah, maka kita dapat melakukan analisis kemampuan Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memenuhi kewajiban mereka dengan menghitung solvabilitas jangka pendek dan solvabilitas jangka panjang
BAB X AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH BERBASIS AKRUAL
217
PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN NERACA KONSILIDASI PER 31 DESEMBER 2011 DAN 2010 (SETELAH KONVERSI) (AUDITAN) URAIAN ASET ASET LANCAR Kas Piutang Pajak Piuatang Retribusi Piutang Lainnya Persediaan
(dalam rupiah) 2011
2010
139,891,052,527.78 5,077,124,558.46 3,315,000,440.00 4,139,252,258.00 17,968,908,392.17
111,947,483,939.22 1,759,611,790.16 4,974,217,895.67 1,668,129,024.00 19,130,114,970.02
170,391,338,176.41
139,479,557,619.07
54,942,952,578.00 97,511,074,727.57
55,166,126,822.00 88,047,222,471.07
152,454,027,305.57
143,213,349,293,07
565,033,403,925.00 912,082,540,538.77 696,437,089,546.60 283,152,815,265.64 47,467,773,292.96 327,704,550.00
146,650,422,175.00 1,260,888,832,882.00 536,826,809,034.81 243,045,178,830.00 37,364,532,291.00 4,816,651,570.00
2,504,501,327,118.97
2,229,592,426,782.81
3,149,450,875.00 3,744,782,029.00 272,874,000.00
2,684,219,875.00 3,008,691,329.00 272,874,000.00
7,167,106,904.00
5,965,785,204.00
2,834,513,799,504.95
2,518,251,118,898.95
KEWAJIBAN KEWAJIBAN JANGKA PENDEK Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) Bagian Lancar Utang Jangka Panjang Utang Jangka Pendek Lainnya
639,299,235.96 183,018,851,43 3,669,289,037.57
380,058,213.17 199,315,476.55 1,611,385,397.00
Jumlah Kewajiban Jangka Pendek KEWAJIBAN JANGKA PANJANG Utang Kepada Pemerintah Pusat Utang Jangka Panjang Lainnya
4,491,606,360.96
2,190,759,086.72
316,581,850.32 268,900,000.00
499,599,901.75 268,900,000.00
Jumlah Kewajiban Jangka Panjang EKUITAS DANA Ekuitas Dana Lancar Ekuitas Dana Investasi
585,481,850.32
768,499,901.75
165,899,731,815.45 2,663,536,979,478.22
137,288,798,532.35 2,378,003,061,378.13
Jumlah Ekuitas Dana
2,829,436,711,293.67
2,515,291,859,910.48
JUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS DANA
2,834,513,799,504.95
2,518,251,118,898.95
Jumlah Aset Lancar INVESTASI JANGKA PANJANG Investasi Non Permanen Investasi Permanen Jumlah Investasi Jangka Panjang ASET TETAP Tanah Jalan, Irigasi dan Jaringan Gedung dan Bangunan Peralatan dan Mesin Aset Tetap Lainnya Konstruksi Dalam Pengerjaan Jumlah Aset Tetap ASET LAINNYA Sistem Informasi Aktiva lainnya Buit Operating Transper (BOT) Jumlah Aset Lainnya JUMLAH ASET
Keterangan: Rasio solvabilitas jangka pendek = aset lancar / kewajiban lancar = 170.391.338.176,41 / 4.491.606.360,.96 = 37,94% Rasio solvabilitas jangka panjang = aset total / kewajiban total = 139.479.557.619,07 / 2.190.759.086,72 = 63,67%
218
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
DAFTAR PUSTAKA Buku/Literatur DJPK, Modul Pengelolaan Barang Milik Daerah, 2014. DJPK, Modul Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah dan SKPD, 2014. DJPK,ModulSistem dan Prosedur Penatausahaan Perbendaharaan Daerah, 2014. Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Good Governence Democratization, Local Government Financial Management, Public Policy, Reinventing Government, Accountability Probity, Value for Money, Participatory Development, Serial Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta. Sumini, Penatausahaan Barang Milik Daerah, STAN, 2010. Sutaryo, Manajemen Aset Daerah, http:sutaryofe.staff.uns.ac.id/les/2011/10/manajemen-aset-daerah. pdf (25 Juni 2013). Halim, Abdul dan Muhammad Syam Kusu, Akuntansi Keuangan Daerah – SAP berbasis Akrual, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012. Mulyana, Budi, Modul Akuntansi Keuangan Daerah Berbasis Akrual, Berdasar SAP Akrual (PP 71/2010), 2012. Andy P Hamzah dan Nur Aisyah Kustiani, Dasar –dasar Akuntansi Pemerintah, STAN Press, Tangerang Selatan. Peraturan perundangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Nedara/Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Presiden (Perpres) No. 4 Tahun 2015, Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden (Perpres) No. 70 Tahun 2012, Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Pesiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK 78/PMK.06/ 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara. Peraturan Menteri Keuangan nomor 201 tahun 2010 tentang kualitas piutang kementerian/lembaga dan pembentukan penyisihan piutang tak tertagih. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2014 tentang penentuan kualitas piutang dan pembentukan penyisihan piutang tidak tertagih pada kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 2 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak nomor Per-02/PJ/2012 tentang penggolongan kualitas piutang pajak dan cara penghitungan penyisihan piutang pajak.Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
219
Permendagri Nomor 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Pertanggung jawaban Bendahara serta Penyampaiannya. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah jo. Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 1 s.d. 14. PMK 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah. Permendagri 13 tahun 2006 jo Permendagri 59 tahun 2007 dan Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. SE Ditjen BAKD Nomor 900/079/BAKD/2008. Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No 2 dan 3.
220
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT LANJUTAN (ADVANCED) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
221
MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Gedung Radius Prawiro Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 T + 62 21 384 7225 F + 62 21 350 6218 I www.djpk.depkeu.go.id
Transforming Administration Strengthening Innovation (TRANSFORMASI) Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Menara BCA Lantai 46 Jl. M. H. Thamrin 1 Jakarta 10310 T + 62 21 235 87 121/122/123 F + 62 21 235 87 120 I www.giz.de