MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Buku Pegangan Bagi Peserta rta Pelatihan Pengelolaan Keuangann Daerah Tingkat Eksekutif Edisi Tahun 2015
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Edisi Tahun 2015
i
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Pengarah Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Editor Hefrizal Handra Muhammad Shauqie Azar Reviewer Mariana Dyah Savitri Moza Pandawa Sakti Radies Kusprihanto Purbo Suratman Eko Arisyanto Thia Jasmina Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Publikasi ini didukung oleh Program Transforming Administration – Strengthening Innovation (TRANSFORMASI), suatu program kerjasama antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH yang ditugaskan oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ)
Jakarta, 2015
ii
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
KATA PENGANTAR Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Kemenkeu RI Kapasitas sumber daya manusia yang andal di seluruh pemerintah daerah merupakan salah satu kunci sukses agar pengelolaan keuangan daerah dapat esien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan kapasitas aparat pengelola keuangan daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) - Kementerian Keuangan sejak tahun 1981/1982 telah menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah (KKD). Disamping KKD, mulai tahun 2007, DJPK juga menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daerah (KKDK). Untuk menjawab perkembangan dan dinamika dalam pengelolaan keuangan daerah, penyelenggaraan KKD-KKDK terus disempurnakan. Salah satu bentuk penyempurnaan KKD-KKDK adalah kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD). Penyempurnaan format penyelenggaraan ini dimaksudkan agar Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah dapat menjangkau lebih banyak aparatur pengelola keuangan daerah dari tingkat teknis sampai dengan pengambil kebijakan strategis. Dengan Pelatihan ini, diharapkan agar aparatur pengelola keuangan daerah dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sesuai kewenangan dan kapasitas pada masing-masing tingkat jabatan. Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kegiatan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, DJPK telah menyediakan buku pegangan (handbook) pelatihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing tingkat jabatan, yang terdiri atas tingkat basic, intermediate, advanced, dan executive. Buku pegangan tingkat executive secara khusus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan top management dan para pengambil kebijakan strategis, yaitu kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, serta pejabat eselon I dan pejabat eselon II.Diharapkan dengan memahami konsep pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh, lebih banyak sumbangsih positif dan kontribusi yang dapat diberikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penyusun/editor buku pegangan serta the Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan Buku Pegangan tingkat executive ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pengelolaan keuangan daerah ke depan.
Jakarta, September 2015 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E
iii
DAFTAR ISI
iv
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI PENDAHULUAN 1. Abstraksi 2. Latar Belakang 3. Tujuan Instruksional Umum 4. Metode Pembelajaran
iii iv x 1 1 2 2
BAB I 1.1 1.2 1.3
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
4 5 11 19
BAB II 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Konsep Perencanaan Pembangunan Perencanaan Pembangunan Daerah Indikator Kinerja Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Serta Siklus Anggaran Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) Anggaran Berbasis Kinerja Latihan
22 24 28 33 49 62 66 71
BAB III 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
PENDAPATAN DAERAH Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Latihan
72 73 75 82 93 98
BAB IV 4.1. 4.2 4.3 4.4 4.5
BELANJA DAERAH Pengertian, Klasikasi, Struktur dan Perkembangan Belanja Standar Pelayanan Minimal (SPM) Analisis Standar Belanja Value for Money Latihan
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
100 103 117 125 134 136
BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
PEMBIAYAAN DAERAH Pengertian Pembiayaan Daerah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Pinjaman dan Obligasi Daerah Pengelolaan Desit Penyertaan Modal Daerah dan Public Private Kerjasama Antar Daerah (KAD) Latihan
138 139 140 144 151 152 157 163
BAB VI 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Pengertian Barang Milik Daerah (BMD) Perkembangan Regulasi Terkait Pengelolaan BMD Paradigma Pengelolaan BMD Organisasi dan Pejabat Pengelolaan BMD Tahapan Pengelolaan BMD Pengelolaan Barang Berupa Rumah Negara Latihan
164 166 167 168 169 173 183 193
BAB VII 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6
AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan Siklus Akuntansi Keuangan Daerah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Pengawasan Internal Pemeriksaan Keuangan di Indonesia Latihan
194 196 201 203 208 211 221
DAFTAR ISI
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 1.5 Gambar 1.6 Gambar 1.7 Gambar 1.8 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 2.11 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 4.1
vi
Perbandingan Jumlah DOB Sebelum dan Sesudah Desentralisasi 8 Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan 8 Skema Pembagian Urusan Konkuren Antar Tingkatan Pemerintahan 9 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan di Indonesia 12 Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa 15 Dana dari Kabupaten/Kota ke Desa 15 Pengalokasian Dana Desa 16 Perbedaan Postur Dana Transfer ke Daerah TA 2014 dan TA 2015 16 Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat dan Daerah 31 Pola Penetapan Indikator Kinerja 35 Alur Informasi Pengukuran Kinerja 37 Kaitan Antara Perencanaan dan Indikator Kinerja 43 Contoh Keselarasan Indikator Kinerja dan Program 44 Contoh Keselarasan Penjabaran Indikator Kinerja 44 Aspek, Fokus dan Indikator Kinerja Kunci Pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 48 Keterkaitan Antara Perencanaan Dengan Penganggaran 55 Alur Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Daerah 56 Siklus Anggaran Daerah 58 Perkembangan Jumlah APBD Berdasarkan Waktu Penetapannya, 2010-2014 60 Struktur Pendapatan Pemerintah Provinsi 2014 74 Struktur Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota 2014 75 Pendapatan Asli Daerah 76 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Provinsi Tahun 2014 76 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Kabupaten/Kota Tahun 2014 77 Hubungan Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota Terkait Dana Desa 96 Hubungan Keuangan Kabupaten/Kota dan Desa 97 Konversi Jenis Belanja di Penganggaran dan Pelaporan (LRA) 112
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 7.1 Gambar 7.2
Komposisi Belanja Provinsi Komposisi Belanja Kabupaten Komposisi Belanja Kota Tren Belanja Provinsi Tren Belanja Kabupaten Tren Belanja Kota Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan Muatan Rencana Pencapaian SPM Hubungan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran ASB Dalam Skema Keterkaitan Instrumen-instrumen Sistem ABK Posisi ASB Dalam Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah Kaitan Ekonomis, Esiensi, dan Keefektifan dalam Value for Money Struktur Pembiayaan Daerah Perbandingan Realisasi APBD 2011-2014 (I) Pergerakan Simpanan Dana Pemda di Perbankan Per Bulan Pergerakan SiLPA Pemda Tahun 2008 – 2012 Tipologi Pinjaman Daerah Prosedur Pinjaman ke PIP Prosedur Pinjaman ke Perbankan Perbedaan Barang Swasta dan Barang Milik Daerah (Pemerintah Daerah) Contoh Perbedaan Situasi BMD Dengan Menggunakan Paradigma Lama dan Paradigma Baru Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Penganggaran Kebutuhan BMD Skema Penghapusan BMD Alur Penyusunan Laporan Keuangan Keterkaitan Antar Laporan Keuangan
113 113 114 114 115 116 119 120 123 127 127 135 140 141 142 143 146 150 151 166 168 169 174 176 181 203 206
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10 Tabel 4.1 Tabel 6.1
Tabel 7.1 Tabel 7.2 Tabel 7.3 Tabel 7.4 Tabel 7.5 Tabel 7.6
viii
Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001-2014 Hirarki Sasaran Jenis Indikator Kinerja Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Contoh Indikator Kinerja Makro Contoh Indikator Kinerja Mikro Siklus Anggaran Daerah Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Tahun 2013-2015 Struktur Pendapatan Daerah Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Retribusi Daerah dan Penggolongannya Kekuatan dan Kelemahan Penetapan Kedua Metode Penetapan Target Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Jenis DBH dan Peraturan Terkait Daftar Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU Contoh Bobot Variabel Alur Pengalokasian Dana Desa Pendapatan Pajak Provinsi yang Dibagihasilkan Kepada Kabupaten/Kota Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Persamaan Dasar Akuntansi Contoh Neraca Aturan Debit Kredit Saldo Normal Akun-akun Neraca Format LPSAL Format LPE
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
12 13 40 41 42 59 65 74 75 77 78 81 84 89 89 96 97 124
173 201 201 202 202 204 205
DAFTAR KOTAK Kotak 1.1 Kotak 1.2 Kotak 2.1 Kotak 2.2 Kotak 2.3 Kotak 2.4 Kotak 2.5 Kotak 2.6 Kotak 2.7 Kotak 3.1 Kotak 4.1 Kotak 4.2 Kotak 5.1 Kotak 5.2 Kotak 5.3 Kotak 6.1 Kotak 6.2 Kotak 6.3 Kotak 6.4 Kotak 7.1 Kotak 7.2
Kekhawatiran terhadap Implementasi Anggaran Dana Desa 17 BAPPENAS: Tahun Depan Transfer Daerah Naik 20% 18 Buruknya Perencanaan dari Berita Media Indonesia 28 Branding Efektif Membangun Daya Saing Daerah dan Pemimpin 32 Indikator Makroekonomi: Tujuh Provinsi Raih Pertumbuhan Ekonomi yang Minim 41 Indikator Makroekonomi: Pemerintah Daerah Diminta Fokus Kendalikan Inasi 42 Indikator Indeks Pembangunan Manusia Belum Merata di Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2010 48 APBD Tekor Akibat Buruknya Perencanaan 54 Kemendagri: Tarik-menarik Kepentingan Picu APBD DKI Selalu Telat 61 Potensi PAD Banyak Tidak Tergarap 82 Stuktur Belanja APBD yang Kurang Optimal 116 Status Penyusunan dan Penentapan SPM untuk 15 Bidang 121 Setelah Berhemat Pemda Tasikmalaya Memiliki Sisa Anggaran Rp 3,8 Miliar 143 Ini Penyebab Banyaknya Proyek Infrastruktur KPS Tak Tuntas 156 Masalah Perkotaan Butuh Penanganan Terpadu 161 Ini Langkah Pemkab Bandung Cegah Disclaimer BPK 172 Polda Usut Penjualan Aset Negara 191 “Tangkap” Indikasi Penyimpangan Pengadaan 2012 Sudin Dikmen Jakarta Timur 192 Sekitar 10 Persen Terminal Bus Di Indonesia Tidak Efektif 193 60 Persen Laporan BPK Diproses KPK - BPK: 70 Persen Pemda Bermasalah 219 Terbanyak Sepanjang Sejarah, 116 Pemda dan 69 K/L Raih Opini WTP 220
DAFTAR ISI
ix
PENDAHULUAN
x
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Abstraksi Secara keseluruhan, modul ini membahas mengenai konsep dan regulasi di bidang pengelolaan keuangan daerah, mulai dari hubungan pusat dan daerah, perencanaan dan pengganggaran, pendapatan daerah, belanja daerah, pembiyaan daerah, pengelolaan barang milik daerah dan akuntansi keuangan daerah. Modul ini terdiri dari 7 bab dan pada setiap bab terdapat pedoman untuk mempelajarinya. Pada bagian akhir masing-masing bab terdapat soal-soal latihan yang ditujukan untuk mengetahui tingkat penyerapan dan pemahaman peserta terhadap materi pelatihan, sebagai feedback untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya. Modul dimulai dengan pendahuluan yang berisi abstraksi, latar belakang, tujuan instruksional umum, serta metode pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihan, yang dimaksudkan sebagai pengantar menuju pembelajaran materi modul selengkapnya. Pengertian-pengertian dasar berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah dibahas di setiap topik sebagai bekal untuk memahami dengan lebih baik materi pelatihan pada bab-bab selanjutnya. Bab I membahas tentang Hubungan Pusat dan Daerah; Bab II membahas tentang Perencanaan dan Penganggaran; Bab III membahas tentang Pendapatan Daerah; BAB IV membahas tentang Belanja Daerah; Bab V membahas tentang Pembiayaan Daerah; Bab VI membahas tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah; Bab VII membahas tentang Akuntansi Keuangan Daerah.
2. Latar Belakang Desentralisasi, termasuk desentralisasi skal di Indonesia dimulai tahun 2001 mengikuti gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998 dengan diberlakukannya UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam 14 tahun perjalanan desentralisasi, telah terjadi dua kali perubahan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan UU 32 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU 23 Tahun 2014. Sementara itu, terkait hubungan keuangan pusat dan daerah, baru terjadi satu kali perubahan dengan UU 33 Tahun 2004. Sejak Tahun 2001 pemberian kewenangan yang luas kepada daerah tetap tidak berubah hingga saat ini. Daerah memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaan sumber pendanaan yang ditransfer oleh Pusat, apalagi sumber pendanaan sendiri. Kewenangan yang luas tersebut menuntut pelayanan publik yang lebih berkualitas dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Tuntutan terhadap peningkatan kemampuan pendanaan daerah khususnya melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin mengemuka. Masyarakat juga menuntut terwujudnya good governance yang bertumpu pada kualitas, integritas, dan kompetensi aparatur pemerintah daerah. Namun tuntutan masyarakat tersebut belum seiring dengan kesiapan pemerintah daerah termasuk aparatur daerah untuk melaksanakannya secara optimal. Aparatur pemerintah daerah yang selama masa sentralisasi lebih berperan sebagai pembelanja sehingga relatif pasif dan lebih berfungsi sebagai spesialis, setelah diberlakukannya desentralisasi dituntut untuk berperan sebagai aktor penting yang harus aktif dan lebih berfungsi sebagai generalis. Peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep serta aspek teknis maupun yuridis berkaitan dengan pengelolaan keuangan
PENDAHULUAN
1
daerah, menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) sekaligus syarat yang mencukupi (sufcient condition) agar aparatur pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi baru tersebut dengan sebaik-baiknya. Salah satu aspek yang amat penting – jika tidak boleh dikatakan dominan – adalah pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis pengelolaan keuangan daerah. Untuk itu pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk para pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif menjadi sangat penting. Pelatihan termaksud merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparatur pemerintah agar mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang keuangan daerah secara optimal.
3. Tujuan Instruksional Umum Setelah mengikuti dengan aktif dan lulus dari pelatihan ini, peserta dapat mengetahui, memahami, dan menguasai konsep, struktur, regulasi, dan berbagai isu kebijakan pengelolaan keuangan daerah.
4. Metode Pembelajaran Setidaknya ada 5 metode pembelajaran utama yang dapat digunakan dalam penyampaian materi pendapatan daerah dalam latihan ini, yakni: 1. Ceramah, yaitu penyampaian materi latihan secara oral oleh Pelatih atau instruktur, digunakan terutama untuk konsep, teori, atau pengertian yang umumnya diberikan secara satu arah. Alat bantu yang sering digunakan dalam ceramah adalah slide atau power point yang berisi pokokpokok materi ajar. 2. Metode atau pendekatan partisipatif (participatory method atau participative approach), yaitu mengajak peserta pelatihan untuk terlibat aktif memberikan kontribusi dalam kegiatan pelatihan baik secara individu maupun berkelompok. Digunakan terutama untuk curah pendapat, investigasi pengetahuan dasar, berbagi pengalaman praktis (best practice sharing), koleksi isu-isu terkini, dan tanya-jawab. 3. Diskusi, yaitu pembahasan atau pencarian solusi bersama secara terpandu terhadap suatu bagian materi, isu, atau kasus, dengan penekanan kepada pendapat dan argumentasi. 4. Presentasi, yaitu penyampaian secara visual dan oral hasil diskusi, penugasan, atau kerja kelompok. Dalam kegiatan presentasi, diberikan kepada kelas kesempatan untuk menyampaikan tambahan informasi, saran, kritik, mapun sanggahan, sebagai pelengkap, pengkaya, dan peningkat penguasaan materi. 5. Latihan atau praktek, yaitu kegiatan untuk meningkatkan penguasaan aspek teknis materi pelatihan dengan menggunakan instrumen yang sesuai. Termasuk dalam teknik pembelajaran ini adalah observasi dan koleksi data pada obyek tertentu yang relevan dengan materi pelatihan.
2
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PENDAHULUAN
3
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
4
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan tentang hubungan antar tingkatan pemerintahan, hubungan keuangan antar level pemerintahan, serta hubungan antara APBN dan APBD. Sub Bab
Kata Kunci
1.
Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintah.
Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan.
2.
Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintah.
Pendelegasian Kewenangan Pendapatan, Kesenjangan Vertikal dan Horizontal, Bagan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
3.
Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah.
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Rondinelli, Denis, ‘What is Decentralization?”, Decentralization Brieng Notes, World Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org; 6. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http:// www.djpk.depkeu.go.id/.
1.1 Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan Dalam suatu negara, hubungan kewenangan antar tingkatan pemerintahan sangatlah penting. Hubungan tersebut menentukan oleh siapa dan bagaimana pengaturan kehidupan serta upayaupaya pemenuhan kewajiban maupun hak masyarakat di negara bersangkutan diselenggarakan. Pengaturan kewenangan yang jelas, akan menghindarkan tumpang tindih hak dan tanggung jawab, serta menghindarkan terabaikannya suatu urusan. Kejelasan pengaturan kewenangan, juga akan mengesienkan biaya penyelenggaraan kehidupan bernegara.
1.1.1 Bentuk Negara dan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintah Bentuk negara akan menentukan bagaimana kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam negara tersebut diatur. Dua bentuk negara yang terpenting di dunia sekarang ini adalah negara federal atau negara serikat (federal state), dan negara kesatuan (unitary state). Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang berwenang mengatur peri kehidupan secara internal. Masing-masing negara bagian biasanya memiliki sistem hukum sendiri. Negara bagian berhak membuat undang-undang negara yang berlaku di negara bagian tersebut, termasuk undnag-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
5
Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah provinsi dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan pemekaran provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China, Indonesia, Inggris, Jepang, Thailand. Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem pemerintahan daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland ataupun Wales. Di Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan daerah lainnya.
1.1.2 Bentuk Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah Ada 4 jenis bentuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yakni: 1. 2. 3. 4.
Devolusi; Desentralisasi; Dekonsentrasi (Desentralisasi Administrasi); Tugas Pembantuan.
Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU 23/2014) tentang Pemerintahan Daerah: 1. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity). Sebagai perbandingan terhadap denisi pada UU 23/2014, Rondinelli mengklasikasikan bentuk hubungan antar pemerintahan, sebagai berikut: 1. Deconsentration (dekonsentrasi), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi dapat dilakukan melalui dua bentuk yaitu eld administration dan local administration. Seterusnya local administration dapat dilaksanakan secara integrated dan unintegrated.
6
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2. Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations, adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. 3. Devolution to local government (devolusi), yaitu penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau disebut dengan desentralisasi teritorial. 4. Delegation to non-government institutions, yaitu penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepada organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebutan lain sebagai privatisasi, yaitu suatu bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s, tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian diswastakan, seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT). Di Indonesia, pembentukan pemerintahan otonom terkadang tidak disertai dengan pembentukan institusi dan kewenangan yang jelas. Belajar dari berbagai literatur terkait otonomi, sebuah organisasi pemerintahan yang otonom paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Organisasi yang legal; Memiliki kewenangan dan fungsi yang jelas; Paling sedikit mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga perwakilan konstituen; Memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri; Memiliki budget (anggaran) sendiri; Akuntabilitas ke konstituen dan peraturan perundang-undangan.
1.1.3 Praktek Desentralisasi di Indonesia Indonesia adalah negara kesatuan, yang dibentuk setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berlandaskan kepada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai bentuk negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa aturan yang lebih khusus mengenai pemerintah daerah dan kekuasaannya akan ditetapkan dengan undang-undang. Sejak masa kemerdekaan, ada tujuh undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan yang berbeda untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri RI, pada akhir tahun 2014 di Indonesia terdapat 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Setiap tingkatan pemerintahan daerah, diberi tanggung jawab tertentu menurut UU yang berlaku.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
7
Gambar 1.1
Perbandingan Jumlah DOB Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan Sesudah Desentralisasi 1999 UD AH
415 Kab.
8 (30,7%)
SEB EL UM
RA
Jumlah Penduduk 251.857.940 Jiwa
LIS
93 Kota
AS
59 Kota
RA
LIS
Data Kecamatan, Kelurahan dan Desa Berdasarkan Permendagri 18 Tahun 2013
13.110 (21,9%)
5.935 Kel.
AS
72.944 Desa
2.374 (40%)
5.480 Kec. NT
99
8.309 Kel.
1.514 (27,6%)
DE SE
I 19
6.994 Kec.
34 (57,6%)
234 Kab.
NKRI
DE SE
NT
181 (77,3%)
26 Prov
Luas Wilayah 1.913.578,68 km2
SES
34 Prov
I 19
59.834 Desa
99
Sumber: http://otda.kemendagri.go.id, diakses tanggal 2 Maret 2015
Menurut Pasal 9, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 urusan pemerintahan diklasikasikan ke dalam: 1. Urusan pemerintahan absolut; 2. Urusan pemerintahan konkuren; 3. Urusan pemerintahan umum. Gambar 1.2
Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan
Urusan Absolut
Laksanakan Limpahan Dekonsentrasi Sendiri ke Instansi ke Gubernur Vertikal
8
Urusan Konkuren
Urusan Pusat
Urusan Provinsi
Urusan Kab/Kota
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Urusan Umum
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan skal nasional; agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan Asas Dekonsentrasi. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas: 1. Urusan Pemerintahan Wajib, terbagi dua: a. Urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar; b. Urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. 2. Urusan Pemerintahan Pilihan. Gambar 1.3
Skema Pembagian Urusan Konkuren Antar Tingkatan Pemerintahan
Urusan Konkuren
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
Layananan Dasar Urusan Wajib Non Layananan Dasar
Urusan Pilihan
Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dapat: a. diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat; b. dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau kepada instansi vertikal yang ada di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi; c. ditugaskan kepada daerah berdasarkan Asas Tugas Pembantuan. Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; sosial.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
9
Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi: 1. tenaga kerja; 2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; 3. pangan; 4. pertanahan; 5. lingkungan hidup; 6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; 7. pemberdayaan masyarakat dan desa; 8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; 9. perhubungan; 10. komunikasi dan informatika; 11. koperasi, usaha kecil, dan menengah; 12. penanaman modal; 13. kepemudaan dan olah raga; 14. statistik; 15. persandian; 16. kebudayaan; 17. perpustakaan; 18. kearsipan. Pemerintahan daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintahan umum meliputi: 1. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; 3. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; 4. penanganan konik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; 7. pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal. Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, gubernur dan bupati/ wali kota dibantu oleh instansi vertikal, Gubernur bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur, Bupati dan walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum dibiayai dari APBN. Bupati/walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum pada tingkat kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.
10
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Secara umum menurut UU 23 Tahun 2014 terdapat pembagian urusan yang sangat jelas antar tingkatan pemerintahan. terkait dengan urusan konkuren, pembagian urusan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota, sudah dirinci oleh lampiran undang-undang. Artinya pembagian urusan konkuren tidak lagi diatur oleh perturan pemerintah yaitu PP 38 Tahun 2007, namun langsung diatur oleh undang-undang. Terkait dengan pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya fungsi berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/ kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya enam layanan dasar. Namun undang-undang ini memberikan kewenangan tambahan untuk provinsi. Fungsi utama pemerintah provinsi adalah dalam hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas daerah/regional. Provinsi juga menjalankan fungsi layanan yang tidak dapat dijalankan oleh pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi perencanaan makro regional, pengembangan dan penelitian sumber daya manusia, pengelolaan pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup, perdagangan dan promosi pariwisata, pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang.
1.2 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan 1.2.1 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) Hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain: 1. Pembagian kewenangan pendapatan (perpajakan); 2. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan vertikal (kesenjangan skal antara pusat dan daerah; 3. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan skal antar daerah). Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat ini terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian pendapatan pemerintah pusat (pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan skal pemerintah daerah yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan asli daerah. Dengan kata lain, transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan skal antara pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah dengan kapasitas skal juga disebabkan oleh ketimpangan skal horizontal (ketimpangan skal antar daerah) yang disebabkan oleh berbedanya potensi skal dan kebutuhan antar daerah. Disisi belanja, diberikannya kewenangan skal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih esien dan efektif. Pemerintah daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah pusat yang jauh. Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pemda akan lebih responsif dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/ retribusi tersebut. Skema hubungan keuangan antar level pemerintahan di Indonesia terkait pendapatan dapat dilihat pada Gambar 1.4.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
11
Gambar 1.4
Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan di Indonesia
Sumber Pendapatan Nasional 2
1
Pendapatan Pajak dan Bukan Pajak Pemerintah Pusat 3
4
5
Pendapatan Pemerintah Provinsi 6
7
Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota Sumber: Handra (2005) Catatan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah berdasarkan berbagai undang-undang. Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah daerah. Bagi hasil antara pusat dan daerah. Bantuan bersifat umum dari pusat ke daerah. Bantuan bersifat khusus dan jenis bantuan lainnya dari pusat ke daerah. Bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota.
7.
Bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten/kota.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer yaitu sekitar 82% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 49% dari pendapatan pemerintah provinsi selama periode -2014 (lihat Tabel 1.1). Namun jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 2010 komposisi dana transfer dari pusat menunjukkan penurunan, dengan kata lain kontribusi PAD semakin membaik. Tabel 1.1
Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 Pos Pendapatan
Provinsi
Kabupaten/ Kota
2010
2014
2010
2014
2010
2014
Pendapatan Asli Daerah
43,8%
48.4%
7,3%
11.2%
16,0%
22.9%
Dana Transfer dari Pusat
55,0%
49.0%
86,8%
81.5%
79,3%
71.9%
Dana Bagi Hasil (DBH)
22,9%
17.3%
16,4%
11.8%
18,0%
14.1%
Dana Alokasi Umum (DAU)
22,7%
13.9%
59,8%
55.6%
51,0%
42.0%
Dana Alokasi Khusus (DAK)
1,6%
0.8%
8,0%
5.6%
6,5%
4.3%
Dana Transfer Lainnya
7,8%
17.1%
2,5%
8.4%
3,8%
11.5%
Pendapatan Lainnya
1,2%
2.6%
5,9%
7.3%
4,7%
5.2%
Total Pendapatan
100,0%
100,0%
Sumber: Data diolah
12
Total
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
100,0%
Ada dua bentuk transfer yang telah dipraktekkan di Indonesia selama tiga dekade terakhir, yang pertama adalah dengan mentransfer sebagian pendapatan tertentu dari pajak pusat dan non-pajak kepada daerah penghasil. Hal ini biasa disebut pendapatan bagi hasil (Dana bagi hasil atau DBH). Sebagai contoh, pajak penghasilan pribadi yang dikelola oleh kantor pajak pusat harus dibagi ke daerah penghasil. Bentuk kedua dari transfer itu adalah bantuan pemerintah pusat untuk daerah. Ada dua bantuan utama di Indonesia, yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bantuan dengan tujuan umum dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan bantuan dengan tujuan khusus. Selain bantuan tersebut, ada juga bantuan untuk daerah otonomi khusus dan berbagai bantuan berjenis khusus yang disebut dana penyesuaian. Secara keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan negara selama periode 2001-2014 (lihat Tabel 1.2). Tabel 1.2
Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001-2014
Tahun Anggaran
PDB
Pendapatan Negara (PN)
Transfer ke Daerah
Ratio Transfer Thd PN
Ratio Transfer Thd PDB
Triliun Rupiah 2001
1.646,3
300,6
81,1
27%
4,9%
2002
1.821,8
298,5
98,2
33%
5,4%
2003
2.013,7
340,9
120,3
35%
6,0%
2004
2.295,8
403,1
129,7
32%
5,7%
2005
2.774,3
493,9
150,5
30%
5,4%
2006
3.339,2
636,2
226,2
36%
6,8%
2007
3.959,9
706,1
253,3
36%
6,4%
2008
4.951,6
979,3
292,4
30%
5,9%
2009
5.613,4
847,1
308,6
36%
5,5%
2010
6.446,9
992,2
344,8
35%
5,3%
2011
7.422,8
1.205,3
411,3
34%
5,5%
2012
8.241,9
1.332,3
480,6
35%
5,8%
2013
9.272,1
1.432,1
513,3
36%
5,5%
2014
10.384,0
1.633,1
596,5
37%
5.7%
Sumber: Data diolah Catatan: Data realisasi untuk tahun anggaran 2001 – 2013, untuk tahun anggaran 2014 merupakan data anggaran perubahan.
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer ke pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari pinjaman atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah hanyalah menjadi penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian dari transfer karena dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik. Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke dalam kategori pendapatan pemerintah daerah melainkan pengeluaran Pemerintah yang dilaksanakan oleh atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa bentuk hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam undang-undang pajak dan retribusi daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa provinsi juga menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
13
Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua undang-undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Indonesia. Pertama, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, yang diterapkan tahun anggaran 2001-2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang. Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 34% dari penerimaan negara atau sekitar 5,8% dari PDB selama periode 2002-2014. Seperti terlihat pada Tabel 1.2, jumlah transfer bervariasi dari 4,9-6,8 dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada TA 2006, yakni sebesar 6,8%.
1.2.2 Hubungan Keuangan Pusat, Daerah dan Desa Hubungan keuangan antara Pusat, Kabupaten dan Desa selama ini diatur oleh berbagai regulasi. Namun dengan diundangkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, hubungan keuangan itu diatur secara lebih baik. Pasal 72 UU No 6 Tahun 2014 dengan jelas menyebutkan pendapatan desa sbb: 1. pendapatan asli Desa, terdiri atas: a. hasil usaha; b. hasil aset; c. swadaya dan partisipasi; d. gotong royong; e. lain-lain pendapatan asli desa. 2. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa); 3. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 4. Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; 5. bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; 6. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; 7. lain-lain pendapatan Desa yang sah. Hubungan keuangan antara Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dengan Desa terlihat dari adanya (i) alokasi APBN untuk Desa, yang selanjutnya disebut Dana Desa, (ii) bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota ke Desa, (iii) alokasi dana Desa dari bagian Dana Perimbangan, (iv) Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran yang bersumber dari APBN yang disebut Dana Desa dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan mengefektiﮖan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Artinya belanja Kementrian/lembaga Pemerintah Pusat yang selama ini ditujukan untuk pembangungan Desa dalam berbagai program, direlokasikan menjadi Dana Desa yang merupakan transfer dari APBN ke Desa melalui Kabupaten/Kota Sebagai bagian dari Kabupaten/Kota yang otonom, Desa juga mendapat bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, yaitu paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah pajak dan retribusi daerah yang terpungut setiap tahunnya. Kemudian Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus membagikan ke Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterimanya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan terus ke Desa.
14
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 1.5
Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa
Belanja Negara • Belanja Pemerintah Pusat • Belanja K/L • Belanja Non K/L • Transfer ke Daerah dan Dana Desa • Transfer ke Daerah • Dana Perimbanagan • Dana Otonomi Khusus • Dana Keistimewaan DIY • Dana Transfer lainnya • Dana Desa • Suspen
Gambar 1.6
Pendapatan Kabupaten/Kota
Belanja Kabupaten/Kota
• Pendapatan asli Daerah • Pajak Daerah • Retribusi Daerah 10% • Hasil PKYD • LL PAD yang sah • Dana Perimbangan • Dana Bagi Hasil • Dana Alokasi Umum 10% • Dana Alokasi Khusus • Lain-lain pendapatan yang sah • Hibah • Dana Otsus • Dana Transfer Lainnya 100% • Dana Desa • Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
• Belanja Tidak Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Bunga • Belanja Subsidi • Belanja Hibah • Belanja Bantuan Sosial • Belanja Bagi Hasil ke Desa • Belanja Bantuan Keuangan ke Desa • Alokasi Dana Desa • Dana Desa • Belanja Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Modal
}
}
Dana dari Kabupaten/Kota ke Desa
Pendapatan Kabupaten/Kota
Belanja Kabupaten/Kota
• Pendapatan Asli Daerah • Pajak Daerah • Retribusi Daerah 10% • Hasil PKYD • LL PAD yang sah • Dana Perimbangan • Dana Bagi Hasil • Dana Alokasi Umum 10% • Dana Alokasi Khusus • Lain-lain Pendapatan yang Sah • Hibah • Dana Otsus • Dana Transfer Lainnya 100% • Dana Desa
• Belanja Tidak Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Bunga • Belanja Subsidi • Belanja Hibah • Belanja Bantuan Sosial • Belanja Bagi Hasil ke Desa • Belanja Bantuan Keuangan ke Desa • Alokasi Dana Desa • Dana Desa • Belanja Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Modal
}
}
• Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
Pendapatan Desa • Pendapatan Asli Desa • Hasil Usaha Desa, • Hasil Pengelolaan Aset Desa, • Swadaya dan Partisipasi, • Gotong Royong, • Lain-lain Pendapatan Asli Desa • Alokasi APBN {Dana Desa} • Bagi Hasil PAD Kabupaten/Kota • Alokasi Dana Desa {ADD} • Bantuan Keuangan dari Provinsi • Hibah
Khusus untuk Dana Desa Pemerintah Pusat mengatur formulanya dalam Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan revisinya. Terdapat dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di APBN sampai ke Desa melalui Pemerintah Kabupaten. Tahap pertama, Kementrian Keuangan menghitung besaran Dana Desa untuk masing-masing Kabupaten/Kota. Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung besaran Dana Desa untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Bagaimana formulasi untuk tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar berikut.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
15
Gambar 1.7
Pengalokasian Dana Desa
PENGALOKASIAN DANA DESA DALAM APBN-P 2015 (BERDASARKAN REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 60 TAHUN 2014) APBN
Transfer ke Daerah
Dana Desa
MENTERI KEUANGAN
BUPATI/WALIKOTA
DANA DESA PER KAB/KOTA
DANA DESA PER DESA
10% Formula
90% Alokasi Dasar
10% Formula
90% Alokasi Dasar
25% x Jumlah Penduduk Desa
25% x Jumlah Penduduk Desa
35% x Jumlah Penduduk Miskin Desa
35% x Jumlah Penduduk Miskin Desa
10% x Luas Wilayah Desa
10% x Luas Wilayah Desa
30% x IKK
30% x IKG
Keterangan: • Jumlah Penduduk adalah Jumlah penduduk Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS) • Jumlah Penduduk Miskin adalah Jumlah Penduduk Miskin Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS) • Luas Wilayah adalah Luas Wilayah Desa pada kabupaten/kota (sumber Kemendagri dan BPS) • IKK adalah IKK Kabupaten/Kota (sumber BPS)
Secara keseluruhan, perbedaan postur dana transfer ke daerah sebelum dan setelah diterapkan alokasi dana desa di tahun 2015 disajikan pada Gamber 1.8. Gambar 1.8
Perbedaan Postur Dana Transfer ke Daerah TA 2014 dan TA 2015
Postur Transfer ke Daerah TA 2014
Dana Bagi hasil
Dana Bagi hasil Dana Alokasi Umum
Dana Perimabanagn
Dana Alokasi Khusus Dana Otsus PAPUA
TRANSFER KE DAERAH
Dana Otsus
Dana Otsus & Penyesuaian
Dana Penyesuaian
Dana Otsus PAPUA BRT
Dana Keistimewaan DIY Tamb Penghasilan Guru Tunjangan Profesi Guru
Dana Transfer Ke Daerah
Dana Perimbangan
Dana Alokasi Umum
DBH pajak
DBH PBB
Dana Alokasi Khusus
DBH PBB
DBH PPh
Dana Otsus PAPUA
DBH PPh
DBH CHT
Dana Otsus PAPUA BRT
DBH CHT
DBH Pajak
Dana Otsus ACEH Dana Infras Otsus PAPUA Dana Infras Otsus Papua Barat
Postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2015
DBH SDA
DANA TRANSFER KE DAERAH DAN DESA
Kehutanan
Dana Otsus
Dana Inf. Otsus Papua Dana Keistimewaan DIY Yogyakarta
XXXX Perikanan Migas Panas Bumi
Dana Transfer Lainnya
Bantuan Op Sekoah Dana Insentif Daerah Dana P2D2
Dana Desa
Sumber: DJPK Kementerian Keuangan, 2014
16
Dana Otsus ACEH
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Inf. Otsus Papua Barat
DBH SDA Kehutanan XXXX Perikanan
Tamb penghasilan Guru Tunjangan Profesi Guru Bantuan Op Sekolah Dana Insentif Daerah Dana P2D2
Migas Panas Bumi
Kotak 1.1 Kekhawatiran terhadap Implementasi Anggaran Dana Desa Undang-Undang Desa telah disahkan oleh DPR pada 18 Desember 2013, dengan salah satu poin yang paling krusial adalah terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah, kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geogra. Diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam penjelasan Undang-undang Desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Jadi diperkirakan total dana untuk desa adalah Rp.104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia. Anggaran tersebut tentunya akan mempercepat akselerasi pembangunan desa yang di dalamnya terdapat dusun-dusun yang selama ini anggaran pembangunannya lebih banyak dari dana APBD kabupaten atau provinsi. Pembangunan desa akan mempercepat perputaran roda ekonomi di desa yang nantinya juga akan mempengaruhi wilayah-wilayah di atasnya. Namun, penetapan Undang-undang Desa ini juga menyimpan sejumlah kekuatiran, dan hal ini menjadi perhatian pada beberapa pemberitaan media, diantaranya sebagai berikut : Dengan Undang-undang Desa, pemberdayaan pemerintahan desa akan mendapat suplemen baru dalam membangun pemerataan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi perdesaan. Namun, di balik pengesahan Undang-undang Desa ini, kekhawatiran juga menyeruak. Lemahnya kinerja aparatur pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangan bisa menjadi ancaman serius. Potensi tindak pindana korupsi layaknya penyalahgunaan dana bisa saja terjadi di Bali. Undang-undang Desa juga akan memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan, ketika kebijakan yang diambil pemerintahan desa dituding tidak merata. Kepala desa bisa menjadi sasaran demo jika transparansi dalam penggunaan anggaran tak melibatkan publik. (Balipost) Anggota DPR sendiri dalam rapat paripurna pengesahan undang-undang itu sudah mengingatkan, Kementerian Dalam Negeri perlu memberi pembinaan dan penyuluhan kepada kepala desa dalam mengelola alokasi dana APBN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga meminta perhatian para kepala desa untuk mampu mengelola dan menggunakan anggaran desa dengan sebaik-baiknya. Mengingat pengalaman sebelumnya dalam kasus dana bantuan operasional sekolah (BOS), para lurah dan kepala desa memang patut waspada dengan “berkah” dana APBN itu. Mereka layak bergembira, tetapi harus menyadari konsekuensi yang selalu menyertai kucuran dana. Pengalaman para kepala sekolah yang berurusan dengan penegak hukum terkait pengelolaan dana BOS, patut menjadi pelajaran. Euforia dana pendidikan 20 persen akhirnya membawa masalah hukum. (Suara Merdeka) Undang-undang Desa menempatkan para kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), sama seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi. Kepala desa dengan tingkat pendidikan hanya tamat SMA apalagi SMP, diprediksi tidak akan mampu memainkan peran dan tanggung jawab sebagai KPA dengan baik. Kalau itu terjadi, Undang-undang Desa yang memberikan otonomi desa, bukannya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat, tapi bisa menjadi sumber konik di tengah masyarakat desa. “Pemberlakuan Undang-undang Desa, hanya akan menimbulkan masalah di tengah masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat desa,” kata anggota DPRD Sulawesi Tenggara, Nursalam Lada. Bupati Wakatobi, Hugua dalam keterangan terpisah menilai Undang-undang Desa sarat kepentingan politik anggota DPR RI yang mengesahkan undang-undang tersebut. “Anggota DPR RI mengesahkan Undang-undang Desa hanya untuk kepentingan politik mereka yang masih menjadi calon anggota legislatif agar bisa terpilih kembali jadi anggota DPR,” katanya di Kendari seperti dikutip Antara. Tambahan lagi, penerapan Undang-undang Desa menurut Hugua adalah pemberian keleluasaan setiap desa untuk membuat peraturan desa dan memungut retribusi untuk pendapatan desa. Peraturan desa yang akan dibuat masing-masing desa, sangat berpotensi berbenturan dengan peraturan daerah yang dibuat pemerintah kabupaten, bahkan bersinggungan dengan peraturan desa-desa bertetangga. Kalau itu terjadi ujarnya, maka konik sosial di tengah masyarakat desa akan sulit dihindari. (Harian Pelita)
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
17
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif Prawiradiningrat, mengingatkan agar para kepala desa ektra hati-hati mengelola dana perimbangan. Kucuran dana perimbangan itu rawan dikorupsi perangkat desa. “Jangan sampai setelah menerima duit miliaran rupiah lalu beberapa bulan kemudian berurusan dengan penegak hukum,” ujar Kornel. Kornel mencontohkan salah urus daerah selama era otonomi daerah telah menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan hukum. BPK berharap lurah dan kepala desa bisa membuat sistem pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan untuk meminimalkan penyimpangan. (Tempo) Masalah lainnya yang bisa timbul adalah dana untuk desa sekitar Rp 1 miliar seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dinilai bisa menjadi alat jualan politik. “Undang-undang itu bisa saja dijadikan jualan politik yang dimanfaatkan sejumlah oknum calon legislatif dan calon presiden untuk mencari simpati masyarakat pada Pemilu,” kata Pengamat Pemerintahan Universitas Hasanuddin, Adi Suryadi Culla di Makassar, Rabu (12/3/2014), seperti dikutip dari Antara. Menurutnya, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat serta sistem pengawasan yang ketat saat Undang-undang Desa tersebut diberlakukan sehingga tidak terjadi penyimpangan. “Pengawasan itu sangat penting, jangan sampai dalam implementasinya tidak sesuai dengan peruntukkan. Selama ini terjadi penyelewengan penggunaan anggaran disebabkan lemahnya regulasi dalam hal pengawasan,” ujarnya. “Perlunya perencanaan yang penting dari pihak desa yang dilakukan pada saat Musyawarah Rembug Pembangunan atau Musrembang desa,” ucapnya. Adi menambahkan, dana desa itu tentu sangat rawan dipolitisasi dalam pemilu 2014. (Kompas) (Sumber: disadur dari http://www.yipd.or.id/en/articles/potensi-dampak-negatif-undang-undang-desa. 24 Maret 2014)
Kotak 1.2 BAPPENAS: Tahun Depan Transfer Daerah Naik 20% Jumat, 17 April 2015 Bisnis.com, JAKARTA-- Pemerintah akan meningkatkan dana transfer daerah sebesar 15%-20% pada 2016 atau lebih dari Rp 100 triliun. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menuturkan saat ini penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016 memasuki tahap awal. Dalam RKP 2016, pagu indikatif belanja Kementerian/Lembaga ditetapkan sebesar Rp 807,7 triliun. “Masih indikatif. Pokoknya sesuai prioritas saja, untuk infrastruktur, pertanian, perhubungan konektivitas, industri, dan pariwisata. Industri tidak terlalu besar sih,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (17/4). Pagu indikatif tersebut hanya naik 1,5% atau Rp12,3 triliun dibandingkan belanja K/L dalam APBN-P 2015 Rp795,4 triliun. Menurut Andrinof, peningkatan tersebut mayoritas dialokasikan pada belanja infrastruktur. “Belanja infrastruktur naik signikan, tapi tersebar di Kementerian PU-Pera, Perhubungan, dan hampir semua K/L. Belum dijumlahkan semua,” tuturnya. Selain pagu belanja K/L, pemerintah juga akan meningkatkan dana transfer daerah pada 2016 sebesar 15%20% atau sekitar Rp 132,9 triliun. Dalam APBN-P 2015, dana transfer daerah dan dana desa mencapai Rp 664,6 triliun. “Bisa naik sekitar 15%-20%. Nanti mau dicek kemampuan menyerap kementerian/lembaga dan Pemda,” pungkas Andrinof. Dalama pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Januari lalu, Bupati se-Indonesia mengeluhkan kurangnya dana transfer pusat ke daerah. “Memang ruang skal yang kita punya sekarang ini sudah sehat. Nantinya akan kita coba di tahun depan untuk bisa masuk ke daerah,” kata Jokowi. Tahun ini, anggaran transfer daerah mencapai sekitar 45% dari total belanja negara, terdiri dari Dana Perimbangan Rp 521,28 triliun, Dana Otsus Rp 17,11 triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp 547,5 miliar, dana transfer lainnya Rp 104,41 triliun, dan Dana Desa Rp 20,76 triliun. Sumber: http://nansial.bisnis.com/read/20150417/9/423990/bappenas-tahun-depan-transfer-daerah-naik-20
18
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1.3 Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan Keuangan merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan daerah. Adalah kewajiban negara untuk menggunakan sumber daya sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Peraturan Daerah (perda) adalah instrumen aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Perda tentang pengelolaan keuangan merupakan salah satu instrument yuridis untuk mengawal dan menyelamatkan pengunaan dana masyarakat yang dikelola pemerintah. Dengan demikian pada pengelolaan keuangan akan mendapatkan jaminan kepastian hukum baik dalam membuat kebijakan maupun pelaksanaan pengeloaan keuangan daerah. Selain itu para pelaksana juga mendapatkan petunjuk pelaksanaan yang lebih jelas terhadap satu kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan uang negara (dana masyarakat). Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sebagaimana dijelaskan pada UndangUndang Nomor 23 tahun 2014 pasal 67 bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki kewajiban untuk diantaranya adalah: menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Daerah; menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Selain itu tuntutan pada kondisi dan praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan iklim investasi juga semakin besar sehingga pemerintah daerah bersama DPRD berkewajiban untuk menjalankan kegiatan pelayanan publik dan pengawasan yang baik. Dalam ketentuan pemerintaah dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Selain itu, Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta dengan kepentingan umum. 1. Permasalahan Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam mengelola keuangan daerah jaminan kepastian hukum merupakan hal yang penting bagi pengelola keuangan di pemda, pemerintah pusat, masyarakat, DPRD, investor maupun kreditor. Beberapa kasus pengelolaan keuangan yang tidak sesuai dengan perundangan dapat berakibat pada kerugian negara, kerugian masyarakat serta terhambatnya kegiatan pemerintahan. Selain itu para pengelola keuangan juga akan menanggung sanksi berat akibat kesalahan, penyimpangan prosedur maupun kelalaian pengelolaan leuangan. 2. Aspek Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengeloaan Keuangan Daerah Penyusunan peraturan daerah memiliki tiga aspek penting yaitu kewenangan, keterbukaan dan pengawasan. Aspek Kewenangan, yang berarti secara tegas dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota. Aspek Keterbukaan, dimana pembentukan Peraturan Daerah memberi kesempatan kepada masyarakat dari berbagai unsur baik praktisi, akademisi, maupun masyarakat terkait lainnya untuk berpartisipasi, baik dalam proses perencanaan, persiapan, penyusunan dan/atau dalam pembahasan Raperda dengan cara memberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau saran pertimbangan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aspek Pengawasan, yaitu upaya pengawasan preventif terhadap Raperda maupun pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah.
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
19
Selain itu Perda secara ekplisit harus menjabarkan dengan jelas dan rinci mengenai: siapa pelaksana aturan? kewenangan apa yang diberikan padanya? perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan
sanksi atas ketidak patuhan; persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana? apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang? Selain itu perlu pula dirumuskan: siapa yang berperilaku bermasalah? jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut?,
jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan? Beberapa peraturan kepala daerah yang harus dibuat antara lain:
peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah; peraturan kepala daerah tentang pengelolaan aset daerah; peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi berbasis akrual; peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur akuntansi berbasis akrual.
3. Mekanisme Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positif tentang undang-undang dasar pemerintahan daerah, undang-undang tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda. Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara jelas mendeskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana (law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat yang harus mematuhinya (rule occupant). Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/ kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan hirarki kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya. Misalnya wewenang menandatangani ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang mengeluarkan ijin atas nama Bupati dsb. Untuk merancang sebuah peraturan daerah, beberapa hal/kemampuan yang harus disiapkan sebagai berikut: analisa data tentang persoalan yang akan diatur (naskah akademik); kemampuan teknis perundang-undangan; pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan; hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus yang menjadi dasar dan
acuan tentang perda.
20
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
21
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
22
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini membahas mengenai konsep dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang mengacu pada sistem perencanaan pembangunan nasional. Pembahasannya diawali dengan konsep dasar perencanaan pembangunan, khususnya tentang denisi, elemen-elemen perencanaan, dan manfaat perencanaan. Pembahasan berikutnya adalah mekanisme perencanaan pembangunan daerah termasuk kelembagaan dan sinkronisasi perencanaan di pusat dan di daerah disertai dengan tahapan perencanaan daerah, dokumen yang dibutuhkan dalam perencanaan daerah dan indikator kinerja. Selanjutnya, bab ini juga memuat topik tentang penganggaran daerah, keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran daerah, siklus anggaran daerah dan pengertian tentang kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penganggaran daerah. Selain itu, topik mengenai penerapan anggaran berbasis kinerja di pemerintah daerah juga diberikan dalam bab ini. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Konsep Perencanaan Pembangunan
Konsep perencanaan, teori perencanaan, alokasi sumber daya, market failure.
2.
Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah
Sistem perencanan, dokumen perencanaan, sistematika perencanaan, rencana strategis.
3.
Indikator Kinerja
Keselarasan, kinerja, indikator kunci, input, output, outcomes, benet, impact, standar pelayanan minimal (SPM).
4.
Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran
Penganggaran daerah, penyusunan, kendala, sumber daya, siklus anggaran.
5.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
prakiraan maju, konsistensi, alokasi sumber daya, pemutakhiran, pagu belanja.
6.
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
Indikator kinerja, analisis standar belanja, komitmen, kondisi organisasi, plafon anggaran.
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan; 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention in The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); 7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 8. Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019; 9. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
23
14. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggunggjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah; 17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; 18. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 19. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 20. Surat Edaran Mendagri Nomor 050/20/SJ/2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah; 21. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jo Nomor 59 Tahun 2007 jo Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 22. SEMDN Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD); 23. Permendagri Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan; 24. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 25. Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 26. Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah; 27. Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 28. SE Nomor 270/M.PPN/11/2012; No. SE-33/MK.02/2012; No. 050/4379A/Sj dan No. SE 46/MPPPA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG; 29. Alimuddin, 2013. Kasus Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran SKPD. PPKED Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar. Tidak Diterbitkan untuk Umum; 30. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Jakarta; 31. Michael Todaro and Stephen Smith (2009). “Economic development”, Addison-Wesley, Tenth Edition; 32. Syafrizal, 2009.Teknik Perencanaan Pembangunan Daerah, 2009; 33. Tangkilisan (2003), Evaluasi Kebijakan Publik. Balairung & Co, Yogyakarta; 34. Conyers, Diana, and Hills, Peter. 1990. An Introduction to Development Planning in; 35. The Third World. New York. Brisbane. Toronto. Singapure: John Wiley & Sons Chichester; 36. Bates, R., & Holton, E. F. III (1995). Computerized work performance monitoring: A review of human resource issues. Human Resource Management Review; 37. Killick, Tony (1976) The possibilities of development planning, Oxford Economic Papers, vol 28; 38. Pulakos ,D.Elaine (2004) , Performance Management A roadmap for developing, implementing and evaluating performance management systems, SHRM Foundation, Virginia, USA.
2.1 Konsep Perencanaan Pembangunan 2.1.1 Denisi Perencanaan Menurut Conyers dan Hills (1984), perencanaan didenisikan sebagai proses yang kontinyu, terdiri dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan
24
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Sedangkan menurut Todaro (2000) dari sudut pandang ekonomi memandang perencanaan adalah upaya pemerintah secara sengaja untuk mengkoordinir pengambilan keputusan ekonomi dalam jangka panjang serta mempengaruhi, mengatur dan dalam beberapa hal mengontrol tingkat dan laju pertumbuhan berbagai variabel ekonomi yang utama untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada konteks perencanaan daerah, perencanaan merupakan suatu proses penyusunan visi, misi dan program dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan sumber daya yang dimiliki secara esien dan efektif serta mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari ketersedian sumber daya tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2.1.2 Elemen Perencanaan Merencanakan berarti memilih, dalam hal ini memilih berbagai alternatif tujuan agar tercapai kondisi yang lebih baik termasuk memilih cara/kegiatan untuk mencapai tujuan/sasaran dari kegiatan tersebut. Perencanaan merupakan alat untuk mengalokasikan sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal. Sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya dilakukan pengalokasian sumber daya sebaik mungkin. Konsekuensinya adalah pengumpulan dan analisis data serta informasi mengenai ketersediaan sumber daya yang ada menjadi sangat penting. Selain itu, perencanaan juga merupakan alat untuk mencapai tujuan/sasaran. Dalam hal ini, perencanaan membutuhkan sumber daya, dokumen perencanaan, organisasi, anggaran dsb. Selanjutnya, perencanaan berhubungan dengan masa yang akan datang. Implikasinya adalah perencanaan menjadi sangat berkaitan dengan proyeksi/prediksi, penjadwalan kegiatan, monitoring dan evaluasi.
2.1.3 Planning Versus Planner Planning dan planner memiliki pengertian berbeda, namun banyak kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat. Berikut beberapa contoh pemahaman yang kurang tepat terkait planning dan planner. Anggapan yang kurang tepat jika planning diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang disebut sebagai “planner”, dengan perkataan lain diluar perencana, tidak ada yang melakukan perencanaan. Jadi jika tidak ada perencana maka tidak ada perencanaan. Pemahaman yang lebih tepat adalah perencanaan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik kumpulan perorangan maupun organisasi. Dengan demikian di dunia ini penuh dengan perencana. Sementara itu, profesional planner adalah perencana yang – baik karena pekerjaan maupun pendidikannya – mempunyai tugas tertentu untuk ikut serta dalam proses perencanaan. Selain itu, anggapan yang kurang tepat terhadap planning adalah suatu proses untuk menghasilkan rencana, dalam artian dokumen secara sik yang berisi kumpulan temuan-temuan, usulan-usulan dan rekomendasi yang diperoleh dari proses perencanaan. Menurut sebagian pihak, produk dari perencanaan harus berbentuk dokumen rencana. Seharusnya pemahaman yang lebih tepat adalah pembuatan dokumen rencana bukanlah tujuan dari perencanaan. Tujuan utama dari perencanaan adalah untuk mencapai tujuan tertentu yang diidentikasikan sebelum pelaksanaan program/kegiatan dimulai. Dengan demikian rencana adalah alat untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Produk dari perencanaan, bisa berupa dokumen rencana, diagram organisasi, anggaran tahunan atau penentuan tugas yang tepat untuk orang-orang sesuai dengan bidangnya.
2.1.4 Mengapa Mempelajari Teori Perencanaan Perencana menghadapi berbagai kompleksitas data dan permasalahan. Untuk mengatasai permasalahan tersebut, perlu dipelajari teori perencanaan yang dapat memberi dasar pemahaman
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
25
tentang data apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana kita mengelolanya, dan bagaimana kita menggunakannya untuk mengambil suatu keputusan. Teori perencanaan juga mampu menjawab nilai dan pertanyaan yang sering ditanyakan kepada perencana yaitu: 1. What: apa yang seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan? Perencanaan tentang apa, sebutkan tujuan dari perencanaan tersebut, apa saja objek, sasaran, hasil akhir yang ingin dicapai dan sebatas mana ruang lingkup yang akan direncanakan?; 2. Why: mengapa perencanaan perlu dilakukan oleh suatu lembaga? Apa yang terjadi jika tidak ada perencanaan? Mengapa perencanaan yang selama ini kurang berhasil sehingga diperlukan perencanaan lanjutan. Mengapa perlu dibuat berdasarkan periode waktu tertentu?; 3. Who: siapa saja pelaku yang terlibat dalam kegiatan perencanaan, apakah mereka yang terlibat sudah sesuai dengan jenis perencanaan yang akan dilakukan?; 4. For whom: untuk siapa sebenarnya perencanaan ini dibuat, siapa saja mereka yang akan mendapatkan manfaat dari perencanan ini?; 5. How: bagaimana kita mencapai tujuan tersebut? Bagaimana proses perencanaan dijalankan? Apakah perencanaan sudah mempertimbangkan rasionalitas dan relevansi dengan tujuan atau kebutuhan? Dan bagaimana perencanaan bisa menjawab permasalahan yang dimiliki oleh organisasi? Bagaimana perilaku/ekspektasi yang rasional/pragmatis dalam melakukan perencanaan? Bagaimana mengunakan data dan informasi sebagai bahan perencanaan?
2.1.5 Penggunaan Teori Perencanaan Tujuan dari kebanyakan perencanaan adalah melayani kepentingan masyarakat sehingga memiliki justikasi yang sah secara hukum untuk melakukan perencanaan (legal justication for planning). Selain justikasi hukum, keadilan sosial sama dengan akses dan distribusi barang publik yang adil sebagai dasar justikasi moral. Menurut Dale (2004), fokus dalam Teori Perencanaan terbagi dua yaitu fokus pada substansi dan fokus pada proses. Ciri-ciri fokus pada substansi adalah object-centered, substantive, technical. Misalnya perencanaan ekonomi, perencanaan spasial, perencanaan sektor pertanian, perencanaan sosial dan sebagainya. Karakteristik fokus pada proses adalah prosedural, decision-centered, process-oriented, and institution-centered. Dalam perkembangannya, teori perencanaan mengalami beberapa perubahan dalam beberapa periode. Misalnya pada tahun 1930-1940-an terjadi perdebatan besar-besaran antara pendukung perencanaan oleh pemerintah (government planning) versus pendukung pasar bebas. Selanjutnya, pada tahun 1950-an mulai dikembangkan teknik perencanaan tertentu dan struktur alternatif institusional untuk mewujudkan tujuan/keinginan masyarakat. Perkembangan selanjutnya sudah lebih maju misalnya dalam bentuk deregulasi, privatisasi, dan sejenisnya; dan peran pemerintah dalam permasalahan ekonomi.
2.1.6 Mengapa Perencanaan Diperlukan Menurut Todaro (2009), perencanaan diperlukan karena adanya empat hal yaitu: kegagalan pasar, mobilisasi dan alokasi sumber daya, dampak psikologis dan dampak terhadap sikap/pendirian, serta bantuan luar negeri. Untuk mengatasi kegagalan pasar, maka diperlukan perencanaan yang berkaitan dengan adanya eksternalitas, penyediaan barang publik murni, monopoli, dan lainnya. Liberalisasi perdagangan terbukti melahirkan pasar yang tidak sehat dan mengacancam ketidakadilan. Munculnya pasar monopoli dan oligolopi menyebabkan tidak meratanya penguasaaan sumber daya yang dapat menyebabkan pengaturan harga. Jika terjadi pada barang kebutuhan pokok maka dampaknya akan langsung diterima oleh sebagaian besar penduduk.
26
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Perencanaan berkaitan dengan penguasaan dan mobilisasi sumber daya sehingga negara diperlukan perannya untuk mengatur pasar. Dalam mobilisasi dan alokasi sumber daya, perlu dibuat perencanaan yang baik karena adanya keterbatasan sumber daya, maka sumber daya seperti tenaga kerja, sumber daya alam, dan kapital sebaiknya tidak digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif atau bersifat coba-coba. Selain itu, proyek/investasi harus ditentukan secara cermat, dikaitkan dengan tujuan perencanaan secara keseluruhan. Dalam hal dampak psikologis terhadap sikap/perilaku, pernyataan tentang tujuan pembangunan ekonomi dan sosial seringkali mempunyai dampak psikologis dan diterima secara berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Agar tujuan pembangunan lebih mudah tercapai, maka diperlukan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat, baik dari kelompok/kelas/suku bangsa/agama yang berbeda. Perencanaan juga diperlukan untuk mengantisipasi perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh perubahan ekonomi makro dan juga perubahan kondisi sosial di masyarakat. Perubahan ekonomi sendiri juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat. Misalnya kekhawatiran masyarakat pada kondisi ekonomi jangka panjang, atau perbedaan pola konsumsi individu jangka pendek dan jangka panjang dipengaruhi dan mempengaruhi variabel-variabel ekonomi. Pola perubahan inilah yang menjadi dasar pertimbangan keputusan ekonomi pada jangka waktu tertentu. Sehingga dengan adanya perencanaan ekonomi yang baik, pemerintah bisa mengantisipasi perubahan kondisi tersebut dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perekonomian.
2.1.7 Mengapa Perencanaan Gagal Menurut Todaro (2009), faktor yang mempengaruhi suatu perencanaan adalah gap antara teori dengan kenyataan misalnya dalam hal market failure atau ketika terjadi government failure. Hal ini berkaitan dengan kapasitas administrasi, political will dan implementasi rencana. Penyebab kegagalan perencanaan dapat dilihat dari beberapa perspektif. Menurut Killick (1976) ada beberapa penyebab perencanaan gagal yaitu deciencies in the plans, inadequate resources atau ketidakcukupan dan reliabilitas data, adanya gangguan ekonomi yang tidak terantisipasi (unanticipated economic disturbances) baik eksternal maupun internal, kelemahan kelembagaan, ataupun lack of political will. Selain itu Grifn menyatakan bahwa gagalnya perencanaan disebabkan dua hal. Pertama adanya konik antar tujuan (goal conicts) menyebabkan timbulnya trade-off antara kebijakan. Misalnya inasi dengan pengangguran (stagasi), atau pemerataan dengan pertumbuhan. Kedua, masalah pengukuran dimana waktu antara kejadian dan ketersediaan data yang tidak sesuai dapat menyebabkan validitas peramalan serta model makro serta asumsi yang dipilih kurang tepat. Ketiga, masalah desain dimana kebijakan yang diambil; respon masyarakat; dan teori yang digunakan dapat menentukan apakah perencanaan tersebut gagal atau tidak. Sedangkan keempat, ditentukan time lag; pertimbangan politik versus ekonomi; dan adanya moral hazard. Dalam praktek perencanaan di daerah prioritas pembangunan dibangun dari visi kepala daerah, namun sangatlah penting juga untuk mempertimbangkan tuntutan masyarakat yang dinamis dan perubahan ekonomi lokal, nasional maupun global. Dalam kondisi konik antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pemerataan daerah para perencana daerah harus memahami betul dinamika masyarakat dan kondisi ekonomi makro sehingga konik pendapat bisa dijembatani melalui data yang lengkap dan akurat. Kebutuhan data sangat penting dalam perencanaan karena data yang susah diakses, tidak lengkap dan tidak valid akan menyebabkan perencanaan salah dan tidak tepat sasaran. Akses data yang mudah dan terbuka juga akan membantu perencana untuk mendapatkan informasi penting baik data mentah, hasil olahan maupun hasil penelitian. Selain itu analisis yang salah terhadap realitas sosial dan situasi ekonomi juga dapat meyebabkan kegagalan perencanaan.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
27
Kotak 2.1 Buruknya Perencanaan dari Berita Media Indonesia Metrotvnews.com, Jakarta: Direktur The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eny Sri Hartati menyebut buruknya perencanaan adalah kunci melempemnya penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Perencanaan tidak terorganisir dan terintegrasi dengan baik antara pusat dan daerah. Ini memberi ruang perdebatan di DPR,” ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Senin (28/1). Kondisi tersebut, lanjut Eny, membuat pembahasan anggaran tidak hanya berlangsung lama di DPR tetapi juga banyak perubahan dengan kapasitas DPR yang bisa memberikan aspirasi. Hal ini akan berdampak terhadap eksekusi anggaran Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) yang menjadi tidak fokus. “Antara program RKAKL dengan target jadi enggak jelas sehingga menyebabkan multi intepretasi yang mmebuka peluang maju-mundurnya program,” katanya. Belum lagi, pembahasan di DPR tidak tuntas sampai ke rincian program karena umumnya hanya membahas pagu besarannya. “Persetujuan dengan DPR itu enggak semuanya langsung ketok palu. Idealnya DPR kalau menyetujui di Oktober itu harusnya sudah selesai semua tapi itu kan hanya pagu besarannya sedangkan rinciannya masih dibahas sampai Maret,” katanya. Di sisi lain, ia menilai, keberadaan fungsi komisi dan badan anggaran malah menambah lama proses keputusan anggaran. Seharusnya hanya melalui satu pintu yakni komisi karena setiap pembahasan lebih intensif di situ. Eny menganggap, tugas Banggar sebagai penyelaras program lintas kementerian/lembaga ataupun lintas daerah seharusnya dimainkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Menyelaraskan atau mengkoordinasikan program lintas sektor dan daerah itu seharunya bukan tugas Banggar tapi Bappenas. Kalau tidak begitu, lalu tugas Bappenas apa,” katanya. Selain itu, keberadaan APBN perubahan juga membuat penyerapan anggaran bertambah buruk sebab banyak kementerian/lembaga yang memilih untuk menunggu hingga ada keputusan nal di APBN-P. “Contoh di 2012, APBN-P baru diputuskan Oktober. Kan enggak bisa memaksimalkan anggaran hanya dalam waktu 2 bulan,” katanya. (Anshar Dwi Wibowo/OL-9). Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/28/2/126674/Perencanaan-Buruk-Kunci-LemahnyaPenyerapan-Anggaran
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah 2.2.1 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ini ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tujuan dari UU SPPN adalah sebagai berikut: 1. Mendukung koordinasi antar pelaku; 2. Menjamin integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar pelaku; 3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; 4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; 5. Menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, esien, adil dan berkelanjutan.
28
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Secara umum harapan dari ditetapkannya SPPN adalah, pertama, membakukan fungsi perencanaan secara resmi dalam proses perencanaan pembangunan agar terdapat kepastian hukum atas fungsi perencanaan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Kedua, penetapan kepastian hukum pendekatan perencanaan baik secara politis, teknokratis, partisipatif, top down maupun bottom up. Ketiga, penetapan siklus tahapan perencanaan mulai dari penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat, Penetapan mekanisme perencanaan pembangunan mulai dari penyusunan RPJPN, RPJMN, RKP dan Renstra K/L hingga ke penyusunan RPJPD, RPJMD, RKPD dan Renstra SKPD.
2.2.2 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah, ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut: 1. Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional; 2. Perencanaan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya berdasarkan peran dan kewenangan masingmasing; 3. Perencanaan pembangunan daerah mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah; 4. Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah, nasional dan global; 5. Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, esien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kemudian disusun suatu perencanaan yang kemudian dituangkan dalam bentuk dokumen perencanaan. Ada lima dokumen perencanaan yang dibuat pemerintah daerah: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun; 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun; 3. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun; 4. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan RenstraSKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun; 5. Rencana Kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Sistematika rencana pembangunan daerah pada masing-masing dokumen perencanaan berdasarkan pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
29
a. Sistematika RPJPD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan; Gambaran umum kondisi daerah; Analisis isu-isu strategis; Visi dan misi daerah; Arah kebijakan; Kaidah pelaksanaan.
b. Sistematika RPJMD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan; Gambaran umum kondisi daerah; Gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan; Analisis isu-isu strategis; Visi, misi, tujuan dan sasaran; Strategi dan arah kebijakan; Kebijakan umum dan program pembangunan daerah; Indikasi rencana program prioritas disertai kebutuhan pendanaan; Penetapan indikator kinerja daerah; Pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan.
c. Sistematika Rencana Kerja Pemerintah Daerah paling tidak mencakup:
Pendahuluan; Evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu; Rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan; Prioritas dan sasaran pembangunan; Rencana program dan kegiatan prioritas daerah.
d. Sistematika Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah paling tidak mencakup:
Pendahuluan; Gambaran pelayanan SKPD; Isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi; Visi, misi, strategi dan tujuan sasaran, strategi dan kebijakan; Rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif; Indikator kinerja Utama SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran SKPD.
e. Sistematika Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan; Evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu; Tujuan, sasaran, program dan kegiatan; Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD; Dana indikatif beserta sumber daya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif; Sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan; Penutup.
Berbagai dokumen perencanaan tersebut harus saling terkait, dimana dokumen yang lebih teknis (jangka pendek) mengikuti atau memperhatikan dokumen yang lebih strategis (jangka panjang). Selain itu, dokumen perencanaan daerah juga harus memperhatikan dokumen perencanaan nasional. Hubungan antara RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD di daerah dengan RPJPN, RPJMN, RKP, Renstra KL dan Renja KL di tingkat pusat, dapat digambarkan sebagai berikut:
30
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 2.1
Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat dan Daerah RPJPD
20 Tahun Pedoman
Pedoman
Renja SKPD 1 Tahun
RPJMN
20 Tahun Pedoman
5 Tahun
Diacu
1 Tahun
Dijabarkan Diserasikan Musrenbang RKPD
5 Tahun
RKP
Diacu
Renstra K/L Pedoman
Renja K/L
1 Tahun
1 Tahun
KUA
RKA-SKPD
Diperhatikan
RPJMD
Renstra SKPD 5 Tahun
RPJPN
PPAS Dibahas Bersama DPRD
NOTA KESEPAKATAN DPRD DAN KEPALA DAERAH PEDOMAN PENYUSUSNAN RKA-SKPD TAPD RAPERDA APBD
KUA PPAS
= Kebijakan Umum APBD = Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara TAPD = Tim Anggaran Pemerintah Daerah RKA-SKPD = Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah 1 Tahun
Sumber: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 dan Permendagri 54 Tahun 2010 (diolah)
Dokumen-dokumen perencanaan tersebut umumnya disusun berdasarkan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Penyusunan Rencana, yaitu: menyusun rancangan rencana pembangunan nasional/daerah (RPJP, RPJM, RENSTRA, RENJA) melalui beberapa proses perencanaan. 2. Penetapan Rencana, yaitu: a. RPJP Nasional dengan Undang-Undang dan RPJP Daerah dengan peraturan daerah; b. RPJM Nasional dengan peraturan presiden dan RPJM Daerah dengan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah; c. RKP dengan peraturan Presiden dan RKPD dengan peraturan kepala daerah. 3. Pengendalian Pelaksanaan Rencana, yaitu melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan rencana tersebut. 4. Evaluasi Kinerja, yaitu melakukan evaluasi pada pelaksanaan rencana pada periode tertentu dan diakhir periode. Dalam tahap penyusunan rencana (formulasi), proses penyusunannya pada dasarnya melalui beberapa proses sebagai berikut: 1. Proses Politik: Pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah menghasilkan rencana pembangunan hasil proses politik, khususnya penjabaran visi dan misi dalam RPJM. 2. Proses Teknokratik: Perencanaan yang dilakukan oleh perencana profesional atau lembaga/unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan. 3. Proses Partisipatif: perencanaan yang melibatkan masyarakat (Stakeholders), antara lain melalui pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). 4. Proses Bottom up dan Top Down: Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
31
Bahan bahan dari hasil proses perencanaan dikumpulkan dan kemudian disusun menjadi naskah akademik. Naskah akademik merupakan bahan utama dalam menyusun peraturan perundangundangan tentang perencanaan daerah. Keberadaannya sangat diperlukan agar peraturan perundangundangan yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat. Penggunaan Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan, diharapkan akan dapat menghindari masalah yuridis di kemudian hari (Rusdianto, 2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang didukung dengan naskah akademik menunjukkan dokumen perencanaan tersebut merupakan hasil pemikiran yang dilandasi dengan kepentingan seluruh masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang tercakup dalam visi, misi, arah dan kebijakan pembangunan berdasarkan potensi sumberdaya yang tersedia. Semakin berkembang dan berubahnya pola kehidupan masyarakat serta beberapa permasalahan dalam pembuatan dan pelaksanaan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, maka naskah akademik memiliki posisi yang strategis dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan. Naskah akademik menjelaskan aspek losos, aspek sosiologis, yuridis dan aspek politik yang berkaitan dengan peraturan daerah yang akan dibuat. Disamping itu, naskah akademik memberikan pertimbangan bagi lembaga eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan mengenai peraturan yang akan dibuat. Kotak 2.2 Branding Efektif Membangun Daya Saing Daerah dan Pemimpin Selasa, 3 Februari 2015 VIVA.co.id - Branding kota, kabupaten, dan provinsi tidak dapat dipisahkan dari kepaduan identitas daerah dan identitas pemimpin. Kedua identitas ini bila menyatu akan membentuk brand yang kuat baik untuk mendapatkan posisi maupun citra brand suatu kota, kabupaten maupun provinsi. Brand yang kuat akan membantu seluruh pemangku kepentingan baik itu warga, jajaran pemerintah, wirausahawan, investor, pemerintah daerah lainnya melihat arah dan kebijakan pembangunan suatu daerah dan meresponnya dengan baik. “Calon pemimpin maupun pemimpin daerah yang tengah menjabat di suatu kota, kabupaten dan provinsi harus paham identitas daerah masing-masing. Identitas daerah yang dimaksud adalah identitas yang berdaya saing,” kata CEO Makna Informasi M. Rahmat Yananda kepada VIVA.co.idmelalui rilisnya, Selasa 3 Februari 2015. Sebelumnya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi UI (LPEM FEUI) bersama konsultan komunikasi dan riset media Makna Informasi meluncurkan Position Paper “Branding Tempat” di Kantor LPEM FEUI, Salemba, Jakarta, beberapa waktu lalu. Perpaduan identitas daerah dan gaya kepemimpinan yang sesuai merupakan langkah awal pembentukan brand suatu daerah. “Identitas yang berdaya saing mampu menempatkan daerah dalam posisi unik dan berbeda dengan daerah-daerah lainnya,” kata Rahmat Yananda. Kepemimpinan menjadi elemen penting untuk membangun brand suatu daerah. Pemimpin yang memiliki kebijakan dan program yang memadukan identitas daerah dan pemimpin mampu membangun brand tempat yang kuat. Misalnya brand Kota Bandung dan Kota Surabaya. “Brand Kota Bandung memang dikenal banyak pihak, tetapi Walikota Ridwan Kamil mampu mengantarkan brand Bandung sebagai kota kreatif atau smart city,” ungkap Rahmat. “Kota Surabaya adalah contoh yang juga menarik. Kegigihan Walikota Risma untuk menjadikan Surabaya sebagai ‘Kota Taman’ mulai membuahkan hasil. Surabaya sebagai kota pantai yang panas menjadi ‘sejuk’ karena telah hijau dan elok dipandang mata. Surabaya perlu menambah elemen brand baru berdaya saing. Upaya digitalisasi pelayanan publik merupakan terobosan yang tepat,” tambah Rahmat.
32
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Jelang Pemilukada serentak, para calon pemimpin daerah yang hendak maju perlu menyiapkan branding bagi tempat mereka akan bertarung baik itu kota, kabupaten dan provinsi. Branding tempat berisikan visi, misi, kebijakan dan program yang akan mereka implementasikan. “Strategi branding tempat juga dapat diturunkan menjadi pesan kampanye pembangunan suatu daerah dan pesan kampanye keunggulan kepemimpinan seorang kandidat. Jadi, lebih efektif dan esien,” kata Rahmat. Selain itu branding tempat juga merupakan perangkat yang memudahkan banyak pihak untuk ikut terlibat dalam membangun daerah, “Semua pemangku kepentingan dapat melihat, mengawasi dan juga merespon arah dan kebijakan pembangunan daerah tersebut,” kata penulis dan editor buku Branding Tempat: Membangun Kota, Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas ini. Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/585439-branding-efektif-membangun-daya-saing-daerah-danpemimpin
2.3 Indikator Kinerja 2.3.1 Konsep, Pengertian dan Pola Penetapan Indikator Kinerja Indikator kinerja mengandung dua kata, “indikator” dan “kinerja”, yang mempunyai dua pengertian yang saling terkait. Untuk dapat memahami pengertian indikator kinerja, kita perlu mengetahui arti dan keterkaitan kedua kata tersebut. Di bawah ini akan diuraikan pengertian dari masing-masing kata tersebut. Terdapat banyak pengertian atau denisi ‘indikator’, beberapa yang cukup baik diantaranya adalah sebagai berikut: 1. lndikator adalah statistik atau ukuran dari hal normatif yang menjadi perhatian kita yang membantu kita dalam membuat penilaian ringkas, komprehensif, dan berimbang terhadap kondisi atau aspek penting dalam suatu masyarakat (Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan, Amerika Serikat, 1969; 2. lndikator adalah variabel yang membantu kita dalam mengukur perubahan-perubahan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981); 3. lndikator adalah variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk kepada kita suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan (Green, 1992); 4. lndikator adalah suatu ukuran tidak langsung dari suatu kejadian atau kondisi. Misalnya berat badan bayi berdasarkan umur adalah indikator bagi status gizi bayi (Wilson & Sapanuchart, 1993). Dari beberapa denisi di atas rnenunjukkan bahwa ‘indikator’ adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan secara keseluruhan, tetapi kerap kali hanya memberi petunjuk (indikasi) tentang keadaan secara keseluruhan tersebut sebagai suatu perkiraan. Dapat dikatakan indikator bukanlah ukuran exact, melainkan indikasi dari keadaan yang disepakati bersama oleh anggota organisasi yang akan dijadikan sebagai alat ukur. Selanjutnya beberapa pengertian dan denisi dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan dalam memahami apa itu “kinerja” diberikan di bawah ini: 1. Kinerja adalah unjuk kerja dan prestasi kerja atau hasil kerja yang diwujudkan dalam melakukan suatu kegiatan atau program atau mencapai tujuan dan sasaran tertentu;
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
33
2. Kinerja adalah upaya dalam mencapai hasil dan capaiannya (accomplishment); 3. Kinerja adalah unjuk kerja, prestasi kerja, tampilan hasil kerja, capaian dalam memperoleh hasil kerja, tingkat kecepatan / efesiensi / produktivitas / efektivitas dalam mencapai tujuan. Jadi kinerja merupakan state of condition dari suatu pelaksanaan kerja dalam mencapai sesuatu yang diinginkan (tujuan, sasaran, hasil yang diinginkan, kondisi yang diinginkan, perubahan yang diinginkan);1 4. Kinerja adalah keluaran hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan angaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.2 Berdasarkan beberapa pengertian dan denisi di atas, maka ‘indikator kinerja’ dapat dipahami seperti di bawah ini: 1. lndikator kinerja adalah sesuatu yang dijadikan alat ukur kinerja atau hal yang dicapai;3 2. lndikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan dan sasaran yang telah ditetapkan. lndikator kinerja memberikan penjelasan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, mengenai apa yang diukur untuk menentukan apakah tujuan sudah tercapai;4 3. lndikator kinerja adalah sesuatu yang mengindikasikan terwujudnya kinerja yang diinginkan; 4. lndikator kinerja adalah ukuran kinerja yang digunakan untuk mengetahui perkembangan upaya dalam mencapai hasil dan hasil kerja yang dicapai; 5. lndikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan organisasi. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi/ unit kerja yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan strategis. Dengan demikian, tanpa indikator kinerja, sulit bagi kita untuk menilai kinerja (keberhasilan atau ketidakberhasilan) kebijakan/program/kegiatan dan pada akhirnya sulit juga untuk menilai kinerja instansi/unit kerja pelaksananya. Membuat “rencana kinerja” berarti membuat rencana mengenai outcome yang akan dihasilkan oleh organisasi. Rencana yang hanya berfokus mengenai penggunaan input, pemilihan kegiatan, dan output yang akan dibuat, baru merupakan “rencana kerja”. Instansi pemerintah belum disebut berkinerja sebelum dapat menunjukkan keberhasilan pencapaian outcome-nya. Namun demikian, ada kalanya outcome baru tercapai dalam beberapa tahun kemudian. Akibatnya, instansi pemerintah hanya akan bisa menunjukkan keberhasilan kinerjanya setelah outcome tersebut tercapai beberapa tahun kemudian. Untuk hal seperti ini, instansi pemerintah h a r u s mampu menunjukkan hubungan antara output-output dan aktivitas yang telah dikerjakan setiap tahunnya dengan kinerja yang baru akan diperoleh di masa yang akan datang. Selain itu, kapan kinerja tersebut dapat dicapai juga sudah harus direncanakan sejak awal. Apabila hal tersebut telah dipenuhi, instansi pemerintah tersebut telah dapat menyatakan output dan kegiatan tahunannya sebagai kinerja sementara dalam rangka mencapai kinerja sesungguhnya beberapa tahun kemudian.
1 Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja lnstansi Pemerintah, Edisi Kedua, LAN, 2004 2 Denisi dari ketentuan umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006. 3 Tim Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Deputi Bidang Penyelenggaraan Akuntabilitas BPKP 4 Pedoman Penyusunan dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN 2003
34
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Perlu dibedakan apa yang akan dihasilkan (kinerja) dengan apa yang akan dikerjakan (aktivitas) atau apa yang akan dibuat (output). Misal: “Terselenggaranya sosialisasi mengenai peraturan perundangundangan” merupakan aktivitas/kegiatan sosialisasi yang sering dianggap sudah merupakan kinerja. Seharusnya apa yang dihasilkan dari adanya sosialisasi tersebut yang dinyatakan sebagai kinerja. “Tersusunnya peraturan perundang-undangan” merupakan output yang juga sering dianggap sebagai kinerja. Seharusnya perubahan apa yang akan terjadi dengan adanya output tersebut yang direncanakan sebagai kinerja. Kinerja bukan juga merupakan sesuatu yang ‘disediakan’ atau ‘dibeli’, misalnya “Tersedianya seperangkat komputer/kendaraan’, tetapi apa yang dihasilkan dari adanya seperangkat komputer/kendaraan tersebut yang dijadikan sebagai kinerja, apakah jangka waktu yang penyelesaian pekerjaan jadi lebih cepat, atau tingkat keterlambatan pegawai yang berkurang dll. Hal yang perlu dibedakan juga adalah antara kinerja yang akan diukur dengan indikator kinerja yang akan digunakan untuk mengukur. Apabila “kinerja” menyatakan mengenai suatu kondisi, maka “indikator kinerja” merupakan alat yang dapat memberikan gambaran atau penilaian mengenai kondisi tersebut. Misal: “Meningkatnya disiplin pegawai” merupakan contoh kinerja yang akan diukur yang sering dianggap merupakan indikator kinerja. lndikator yang seharusnya digunakan adalah indikator yang dapat menggambarkan mengenai disiplin yang meningkat, misalnya “jumlah pegawai yang mendapatkan hukuman disiplin” atau “rata-rata hari kehadiran pegawai dalam satu tahun”. “Meningkatnya kualitas pelayanan” merupakan contoh lain kinerja yang akan diukur yang juga sering dianggap sebagai indikator kinerja. Seharusnya digunakan indikator yang dapat menggambarkan kualitas pelayanan yang meningkat, misalnya “jumlah komplain” atau “persentase komplain yang dapat diselesaikan”. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja adalah gambaran atau ciri-ciri atau ukuran yang menggambarkan status kinerja yang dihasilkan suatu kegiatan atau suatu proses. Pengukuran kinerja memerlukan penetapan indikator-indikator yang sesuai dan terkait dengan informasi kinerja (impact, outcome, dan output). Indikator ini berfungsi untuk memperjelas tentang: apa, bagaimana, siapa, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, menciptakan konsensus yang dibangun oleh pemangku kepentingan dan membangun dasar pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja program pembangunan. Pola penetapan indikator kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini: Gambar 2.2
Pola Penetapan Indikator Kinerja MISI (MISSION)
SISTEM INFORMASI (PENGUMPULAN DATA)
TUJUAN (GOAL)
INDIKATOR KINERJA
SASARAN (OBJECTIVE)
HASIL
STRATEGY
AKTIVITAS
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
35
2.3.2 Kriteria Indikator Kinerja Sebelum menetapkan seperangkat indikator kinerja, suatu organisasi perlu lebih dahulu untuk mengetahui kriteria indikator kinerja yang baik. Berikut adalah beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam membuat indikator kinerja yang baik: 1. Relevant: indikator terkait secara logis dan langsung dengan tugas institusi, serta realisasi tujuan dan sasaran strategis institusi. 2. Well-dened: denisi indikator jelas dan tidak bermakna ganda sehingga mudah untuk dimengerti dan digunakan. 3. Measurable: indikator yang digunakan diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati, dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas atau harga. a. Indikator kuantitas diukur dengan satuan angka dan unit. Contoh: jumlah penumpang internasional yang masuk melalui pelabuhan udara dan pelabuhan laut. b. Indikator kualitas menggambarkan kondisi atau keadaan tertentu yang ingin dicapai (melalui penambahan informasi tentang skala/tingkat pelayanan yang dihasilkan). Contoh indikator kualitas: proporsi kedatangan penumpang internasional yang diproses melalui imigrasi dalam waktu 30 menit. c. Indikator harga mencerminkan kelayakan biaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran kinerja. Contoh indikator harga: biaya pemrosesan imigrasi per penumpang. 4. Appropriate: indikator yang dipilih harus sesuai dengan upaya peningkatan pelayanan/kinerja. 5. Reliable: indikator yang digunakan akurat dan dapat mengikuti perubahan tingkatan kinerja. 6. Veriable: memungkinkan proses validasi dalam sistem yang digunakan untuk menghasilkan indikator. 7. Cost-effective: kegunaan indikator sebanding dengan biaya pengumpulan data.
2.3.3 Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja hanya bisa dilakukan jika sudah ada indikator kinerja dan target kinerja yang ditentukan pada tahap perencanaan suatu program atau kegiatan. Indikator kinerja dan target kinerja ditetapkan dan diajukan oleh lembaga/unit kerja, akan tetapi harus disepakati bersama-sama dengan instansi (agencies) dan parlemen dalam proses penganggaran. Hal ini akan mendukung pelaksanaan disiplin anggaran dikarenakan adanya komitmen bersama untuk mendukung pelaksanaan suatu program dan kegiatan dengan alokasi anggaran tertentu. Sedangkan lembaga audit, baik intern maupun ekstern, dilibatkan dalam verikasi indikator dan target kinerja, walaupun untuk tahap selanjutnya dapat dibentuk suatu badan untuk memonitor kinerja instansi secara eksternal dan independen seperti yang telah dilaksanakan oleh negara-negara yang telah menerapkan pengukuran kinerja. Target kinerja disusun setelah indikator kinerja ditetapkan. Dalam menetapkan target kinerja perlu diperhatikan standar kinerja yang dapat diterima (benchmarking). Salah satu cara menentukan standar kinerja adalah dengan mengacu pada tingkat kinerja institusi yang sejenis sebagai perwujudan best practice. Standar kinerja dan target kinerja perlu dinyatakan dengan jelas pada awal siklus perencanaan. Hal ini untuk menjamin akuntabilitas pencapaian kinerja. Kriteria dalam menentukan target kinerja menggunakan pendekatan ”SMART” yaitu : 1. Spesic: sifat dan tingkat kinerja dapat diidentikasi dengan jelas. 2. Measurable: target kinerja dinyatakan dengan jelas dan terukur baik bagi indikator yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan biaya. 3. Achievable: target kinerja dapat dicapai terkait dengan kapasitas dan sumber daya yang ada.
36
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4. Relevant: mencerminkan keterkaitan (relevansi) antara target output dalam rangka mencapai target outcome yang ditetapkan; serta antara target outcome dalam rangka mencapai target impact yang ditetapkan 5. Time bond: waktu/periode pencapaian kinerja ditetapkan. Jika pengukuran kinerja hanya ditekankan pada peningkatan akuntabilitas, hal ini dapat mempengaruhi pimpinan dengan hanya memberikan perhatian pada kinerja tertentu saja, dan bukan pada semua elemen kinerja penting yang dapat terukur dan relevan terhadap suatu kegiatan. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah adanya suatu permainan (gameship) atas penentuan suatu target kinerja. Oleh sebab itu pihak pimpinan harus diyakinkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat yang sangat berguna dalam membantu pihak pimpinan untuk meningkatkan kinerja lembaga secara keseluruhan. Sumbangan terbesar dari pengukuran kinerja diperoleh terutama dari peningkatan keinginan dan kebutuhan atas kinerja yang digunakan untuk selalu memperbaiki kinerja lembaga pemerintah, dan bukan sekedar pengukuran secara formal dan pelaporan kinerja. Pengukuran kinerja harus dilakukan secara esien dan efektif dengan membandingkan biaya dan manfaat atas sistem yang dibangun. Informasi kinerja yang berlebihan akan sangat tidak berguna dan harus dihindarkan karena suatu sistem pengukuran kinerja akan menjadi sulit dikelola dengan baik dan akan meningkatkan biaya pelaksanaannya. Jadi harus dipertimbangkan cost benet dari sistem pengukuran kinerja yang akan dikembangkan. Suatu sistem pengukuran kinerja diharapkan hanya mengukur kinerja yang strategis (key performance indicators), bukan menekankan tingkat komprehensif dan birokratis atas kinerja yang disusun. Kerangka pengukuran kinerja dimulai dari ”apa yang ingin diubah” (impact) yang kemudian membutuhkan rumusan ”apa yang akan dicapai” (outcome) guna mewujudkan perubahan yang diinginkan. Selanjutnya, untuk mencapai outcome diperlukan rumusan mengenai ”apa yang dihasilkan” (output), dan untuk menghasilkan output tersebut diperlukan ”apa yang akan digunakan”. Secara konseptual, alur informasi yang dibutuhkan dalam pengukuran kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini: Gambar 2.3
Alur Informasi Pengukuran Kinerja
METODE PENYUSUNAN
DAMPAK (IMPACT)
Pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh manfaat suatu kegiatan
Apa yang ingin diubah
MANFAAT (BENEFIT)
Nilai tambah yang diperoleh dari suatu hasil yang akan nampak dalam jangka menegah
Nilai tambah apa yang diinginkan
HASIL (OUTCOME)
Hasil nyata yang mencerminkan berfungsinya output dari suatu kegiatan
apa yang ingin dicapai
KELUARAN (OUTPUT)
Produk/Barang/Jasa akhir yang dihasilkan
apa yang dihasilkan (barang) atau dilayani (jasa)
KEGIATAN
Proses kegiatan menggunakan input menghasilkan output yang diinginkan
apa yang dikerjakan
Metode Pelaksanaan INPUT
Sumberdaya yang memberikan kontribusi dalam menghasilkan Output
apa yang digunakan dalam bekerja
Sumber: SEB Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan Nomor 0142/M.PPN/06/2009 tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran (diolah)
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
37
Jenis informasi atau indikator kinerja yang sering digunakan dalam pelaksanaan pengukuran kinerja organisasi meliputi: 1. Indikator input (input); adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk terlaksananya kegiatankegiatan untuk mencapai keluaran. Indikator ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran (dana), SDM, peralatan, material dan masukan lainnya yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumberdaya dapat dianalisis apakah alokasi sumberdaya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan. Contoh, jumlah dana yang dibutuhkan, tenaga yang terlibat, peralatan yang digunakan, jumlah bahan yang digunakan. 2. Indikator proses (process); merupakan ukuran tingkat esiensi organisasi dalam proses pencapaian keluaran. Indikator ini berkaitan dengan ketepatan atau akurasi dari pandangan-pandangan ekonomi, prosedur dan prinsip-prinsip. 3. Indikator keluaran (output); adalah sesuatu yang menunjukkan bentuk dan besaran produk secara langsung dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan; dapat berupa sik dan atau nonsik. Dengan membandingkan keluaran dapat dianalisis apakah kegiatan yang terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator pengeluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolak ukur dikaitkan dengan sasaran kegiatan yang terdenisi dengan sasaran kegiatan yang terdenisi dengan baik dan terukur. Oleh karena itu indikator ini harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan instansi. Contoh : a. Jumlah jasa/kegiatan yang direncanakan. Jumlah orang yang diimunisasi/vaksinasi. Jumlah permohonan yang diselesaikan. Jumlah pelatihan/peserta pelatihan. Jumlah jam latihan dalam sebulan. b. Jumlah barang yang akan dibeli/dihasilkan. Jumlah pupuk/obat/bibit yang dibeli. Jumlah komputer yang dibeli. Jumlah gedung/jembatan yang dibangun. Meter panjang jalan yang dibangun/rehab. 4. Indikator hasil (outcome); adalah sesuatu yang menunjukkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pengukuran indikator hasil sering kali rancu dengan pengukuran indikator keluaran. Indikator outcome lebih utama daripada sekedar output. Walaupun produk telah dicapai dengan baik, belum tentu secara outcome kegiatan telah tercapai. Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin kepentingan banyak pihak. Dengan indikator outcome instansi dapat diketahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat. Contoh: a. Jumlah % hasil langsung hal-hal positif. tingkat pemahaman peserta terhadap materi pelatihan. tingkat kepuasan dari pemohon/pasien (costumer). kemenangan tim dalam setiap pertandingan. b. Peningkatan langsung hal-hal yang positif. Kenaikan prestasi kelulusan siswa. Peningkatan daya tahan bangunan. Penambahan daya tampung siswa. c. Penurunan langsung hal-hal yang negatif.
38
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Penurunan tingkat kemacetan. Penurunan tingkat pelanggaran lalu lintas. 5. Indikator manfaat (benets); adalah memberikan gambaran capaian outcome yang memberikan manfaat bagi tercapainya tujuan kinerja. Manfaat tersebut baru tampak setelah beberapa waktu kemudian, khususnya dalam jangka menengah dan panjang. Indikator manfaat menunjukkan hal yang diharapkan untuk dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal (tepat waktu, lokasi, dana dan lain-lain). Contoh : a. Peningkatan hal yang positif dalam jangka menengah dan jangka panjang. % kenaikan lapangan kerja. Peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. b. Penurunan hal yang negatif dalam jangka menengah dan jangka panjang. Penurunan tingkat penyakit TBC. Penurunan tingkat kriminalitas. Penurunan tingkat kecelakaan lalulintas. 6. Indikator dampak (impact); memberikan gambaran pencapaian tujuan pembangunan daerah (yang tidak lain adalah hasil tertinggi yang dapat disumbangkan oleh semua program-program pembangunan daerah). Indikator ini memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari manfaat yang diperoleh dari hasil kegiatan. Seperti halnya indikator manfaat, indikator dampak juga baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah dan panjang. Contoh : a. Peningkatan hal yang positif dalam jangka panjang. % kenaikan pendapatan perkapita masyarakat. Peningkatan cadangan pangan. Peningkatan PDRB sektor tertentu. b. Penurunan hal yang negatif dalam jangka panjang. penurunan tingkat kemiskinan. penurunan tingkat kematian. Berikut adalah contoh indikator kinerja program (outcomes) dan indikator kinerja kegiatan (output/ keluaran) yang bersesuaian dari suatu Dinas Pendidikan yang diterapkan di dalam perencanaan pembangunan daerah: a. b. c. d.
Program: “Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun”. Indikator Kinerja Program: ”Angka Partisipasi Murni (APM)”. Kegiatan 1: “Pembangunan gedung sekolah”. Indikator Kinerja Kegiatan: ”Jumlah sekolah yang terbangun“. Kegiatan 2: “Pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, penjaga sekolah”. Indikator Kinerja Kegiatan: “Jumlah rumah dinas kepala sekolah yang terbangun”. Kegiatan 3: “Penambahan ruang kelas sekolah”. Indikator Kinerja Kegiatan: “Jumlah ruang kelas terbangun”.
Berbagai indikator kinerja tersebut mempunyai posisi yang berbeda pada setiap jenjang perencanaan pembangunan daerah. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) menjabarkan indikator kinerja masukan dan indikator kinerja keluaran (output) dengan tetap mengacu pada indikator kinerja hasil dan manfaat. Indikator kinerja hasil dan indikator kinerja manfaat tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 tahunan. Dalam jangka panjang, indikator kinerja yang ditetapkan merupakan indikator manfaat dan dampak. Sehingga ada keterkaitan antara indikator kinerja jangka pendek sampai indikator kinerja jangka panjang.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
39
Tabel 2.1
Hirarki Sasaran Jenis Indikator Kinerja Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Keteranagn: M Masukan K Keluaran H Hasil Mf Manfaat D Dampak
PERENCANAAN
TABEL HIRARKI SASARAN
Indikator M
K
H
Mf
Keterangan
D
RPJPD
Indikator keberhasilan strategi jangka panjang. Dasar pemikirannya : strategi jangka panjang yang ditetapkan akan dijabarkan dalam strategi & program 5 tahunan.
RPJMD
Indikator kegiatan program, dalam hal ini program lima tahunan.
20 tahunan
5 tahunan
RKPD
tahunan
Indikator kegiatan (M & K), indikator program ( H & Mf) dalam hal ini program tahunan.
Sumber: Penulis, 2014 (diolah dari berbagai sumber)
2.3.4 Penyusunan Indikator Kinerja Dalam menentukan indikator kinerja yang akan digunakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut: 1. Tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada penghitungan biaya keluaran (esiensi). Tujuan kebijakan dan pendekatan program juga harus dianalisis. 2. Indikator bisa diterapkan untuk: (a) Masukan-Ekonomis; (b) Keluaran-Esiensi; (c) HasilEfektivitas; (d) Kualitas; dan (e) Kepuasan Pelanggan. Bisa dikaitkan dengan kesepakatan kinerja antara menteri dan kepala lembaga dan para pejabat di bawahnya. 3. Indikator memerlukan denisi dan penafsiran yang hati-hati seringkali diformulasikan, diimplementasikan dan ditafsirkan dengan buruk. 4. Harus dikembangkan untuk masing-masing program/kegiatan – ada yang sulit misalnya pertahanan – beberapa lebih mudah misalnya penyelenggara jasa. Berikut ini beberapa langkah dalam menyusun indikator kinerja: 1. Susun dan tetapkan rencana strategis: visi, misi, tujuan dan sasaran dan cara mencapai tujuan/ sasaran (kebijakan, program dan kegiatan)! 2. Identikasi data/infomasi yang dapat dikembangkan menjadi indikator kinerja! Dalam hal ini data hendaknya relevan, akurat, lengkap dan kemampuan pengetahuan tentang bidang yang akan dibahas akan banyak menolong untuk menyusun dan menetapkan indikator kinerja yang tepat dan relevan. 3. Pilih dan tetapkan indikator kinerja yang paling relevan dan berpengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan/program/kegiatan!
2.3.5 Indikator Kinerja Makro dan Mikro Indikator perencanaan pembangunan dapat dibedakan menjadi indikator makro dan indikator mikro. Indikator makro berisi tentang variable-variabel kesejahteraan masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, seni budaya ditingkat nasional maupun regional yang menjadi acuan dalam penyusunan dokumen perencanaan. Indikator ini juga menjadi asumsi alokasi anggaran pemerintah dari setiap kegiatan sebagaimana dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
40
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tabel 2.2
Contoh Indikator Kinerja Makro 2009
2010
No
Indikator Kinerja
1
Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT (%)
6,40
5,08
6,20
4,25
2
Persentase Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk (%)
16,9
16,68
16,5
3
Pertumbuhan Ekonomi ADHK Tahun 2000 (%)
4,50
5,01
4
Indeks Disparitas 113,30 Wilayah
5
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
2011
Target Capaian Target Capaian Target
69,00
Target
Capaian
2012
2013
2014
5,00
4,16
5,80
5,50
5,40
15,26
15,5
13,85
15,0
14,5
14,0
4,50%
6,68
5,50%
-
5,50
6,00
6,00
115,85
115,10
115,14
114,70
115,14
114,40
114,10
113,80
71,06
69,50
71,62
70,10
72,15
70,10
770,50
71,00
Sumber: RPJMD Salah Satu Provinsi, 2009 - 2014
Kotak 2.3 Indikator Makroekonomi: Tujuh Provinsi Raih Pertumbuhan Ekonomi yang Minim 5 Februari 2015 Metrotvnews.com, Jakarta: Ada tujuh provinsi yang memiliki pertumbuhan di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,02 persen, paling terkecil diraih oleh Provinsi Aceh sebesar 1,65 persen. Hal itu diutarakan langsung Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, saat konferensi pers, di Gedung BPS, Jakarta (5/2/2014). “Tujuh provinsi yang pertumbuhannya sangat minim, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Papua, Riau, Kalimantan Timur, dan Aceh. Aceh yang paling rendah sebesar 1,65 persen,” ucap Suryamin. Suryamin menjelaskan, provinsi yang memiliki pertumbuhan di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia diraih Sulawesi Barat (Sulbar) yang mencapai 8,73 persen, diikuti Jambi sebesar 7,93 persen, Sulawesi Selatan sebesar 7,57 persen. Kemudian, ada Kepualauan Riau, Gorontalo, Bali, Maluku, Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tenggara (Sultra), Kalimantan Tengah (Kalteng), DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat (Sumbar), Maluku Utara (Malut), Papua Barat, Sumatera Utara (Sumut), DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah (Sulteng), Lampung, Jawa Barat (Jabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat (Kalbar). Sementara itu, dia mengungkapkan, struktur perekonomian 2014 secara spasial didominasi Pulau Jawa sebesar 57,39 persen, diikuti Pulau Sumatera 23,16 persen dan pulau-pulau laiinya yang kurang dari 10 persen. BPS telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 yang mencapai 5,02 persen secara year on year (YoY). “Untuk kuartal IV-2014 sebesar 5,01 persen, sedangkan sepanjang 2014 secarayear on year sebesar 5,02 persen,” kata Suryamin. Menurut Suryamin, kinerja ekonomi sepanjang 2014 dipengaruhi beberapa faktor dalam negeri, seperti, harga minyak mentah di pasar internasional turun rata-rata 9,05 persen, nilai tukar Rupiah turun terus-menerus 3,43 persen. Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/02/05/354428/7-provinsi-raih-pertumbuhan-ekonomi-yang-minim
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
41
Kotak 2.4 Indikator Makroekonomi: Pemerintah Daerah Diminta Fokus Kendalikan Inasi 6 Mei 2015 Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro Soemantri bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka membicarakan masalah pengendalian inasi di daerah. Menurut Bambang, fokus pengendalian inasi bukan hanya milik pemerintah pusat.Melainkan,tugas pemerintah daerah juga. “Kita fokus pada pengendalian inasi, pada akhir bulan ini ada pertemuan inasi daerah. Intinya ingin sosialisasikan kepada seluruh kepala daerah, gubernur, wali kota bahwa seolah-olah inasi ini adalah pusat. Padahal inasi langsung menyentuh kepentingan masyarakat di daerah,” kata Bambang seusai bertemu Presiden, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (5/5/2015). Bambang menekankan, pemda harus punya concern yang sama dengan pemerintah pusat terkait pengendalian inasi. Apalagi, pemda punya tim pengendali inasi daerah yang bertugas mengendalikan inasi di daerah mereka. “Gubernur BI selaku koordinator TPID berharap Presiden bisa memberikan arahan dan dorongan kepada daerah untuk memberikan kontribusi terkait inasi kepada pemerintah pusat,” imbuh dia. Keinginan pemda terlibat, kata Bambang, lantaran selama ini stabilitas harga sebagai salah satu pemicu inasi, selalu dikaitkan dengan pemerintah pusat. Padahal, kata Bambang, pemda bisa melakukan tindakan cepat mengatasi kenaikan harga. “Hal seperti itu yang mau didorong sehingga pemda punya peran untuk inasi,” tegas dia. Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/06/122970/pemerintah-daerah-diminta-fokus-kendalikan-inasi
Sementara itu, indikator mikro berkaitan dengan kinerja masing-masing SKPD dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang direncanakan. Indikator mikro ini memuat variabel-variabel pelayanan umum pemerintah daerah baik dari urusan wajib maupun urusan pilihan. Tabel 2.3 memberikan contoh indikator kinerja mikro. Tabel 2.3
Contoh Indikator Kinerja Mikro SASARAN STRATEGIS
URAIAN Meningkatnya Kesejahteraan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
42
DASAR TAHUN
TARGET TAHUNAN
INDIKATOR KERJA UTAMA
2014
2015
2016
2017
2018
2019
a. Persentase Penanganan Keluarga Miskin
0.34
0,34
0.35
0.39
0.43
0.47
b. Persentase Penanganan Penyandang cacat
1.02
1,15
1.65
1.76
1.88
2.00
c. Persentase Penanganan Anak Terlantar dan Anak Jalanan
1,06
1,16
1,21
1,38
1,43
1,58
Target Target Target Target Target
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
SASARAN STRATEGIS URAIAN
DASAR TAHUN
INDIKATOR KERJA UTAMA
2014
d. Persentase Penanganan Gelandangan Pengemis dan Eks Gelandangan Psikotis
17,12
TARGET TAHUNAN 2015
2016
2017
2018
2019
Target Target Target Target Target 21,25
31,95
42,14
58,01
99,38
Sumber: Renstra Dinas Sosial di Salah Satu Kabupaten, 2014
2.3.6 Kaitan Antara Perencanaan Pembangangunan Daerah dan Indikator Kinerja Indikator kinerja dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan di daerah. Berbagai dokumen perencanaan yang ada di daerah seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD atau Renja RKPD menjadi tidak efektif jika tidak memasukkan indikator kinerja sebagai alat pengendali keberhasilan pembangunan di daerah. Dalam berbagai literatur selalu disebutkan bahwa kriteria dokumen perencanaan yang baik adalah jika dokumen itu dapat dievaluasi sejauh mana keberhasilannya. Tingkat keberhasilan itu sangat tergantung pada ada tidaknya indikator kinerja yang akan mengukur capaian pelaksanaan perencanaan tersebut. Secara umum kaitan antara perencanaan dan indikator kinerja dapat dilihat pada bagan berikut. Gambar 2.4
Kaitan Antara Perencanaan dan Indikator Kinerja
PERENCANAAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMDA
KERANGKA ANGGARAN
KERANGKA REGULASI
EVALUASI KINERJA PEMDA
INDIKATOR KINERJA
Dalam perencanaan kinerja tahunan, indikator kinerja akan menjadi pemandu dalam menentukan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada suatu tahun tertentu. Sehingga setiap instansi harus merencanakan program dan kegiatannnya sesuai dengan ukuran keberhasilan yang telah ditetapkan. Selanjutnya program dan kegiatan itu harus diajukan usulan anggarannya dalam dokumen RKA K/L ataupun RKA SKPD. Dengan pendekatan ini maka diperoleh beberapa manfaat, yaitu: 1. Program dan kegiatan yang dilaksanakan suatu instansi pemerintah akan terkait langsung dengan ukuran keberhasilan instansi tersebut yang merupakan penjabaran dari tugas dan fungsi instansi; 2. Terdapat keselarasan antara indikator kinerja kegiatan dengan indikator kinerja utama instansi yang bersangkutan; 3. Anggaran hanya dipergunakan untuk program dan kegiatan yang memang akan mendukung keberhasilan instansi dalam upaya pelaksanaan tugas dan fungsi.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
43
Untuk mencapai ketepatan dalam pembuatan indikator kinerja, maka harus diperhatikan keselarasan program dengan kinerja yang akan diukur. Contoh keselarasan berbagai indikator kinerja dari suatu program pembangunan yang sama yang dilakukan oleh beberapa SKPD dapat dilihat di bawah ini. Gambar 2.5
Contoh Keselarasan Indikator Kinerja dan Program Program Peningkatan Produksi pertanian Kegiatan: Ekstentikasi Pertanian Kegiatan: Pembangunan Jalan dan Irigasi Pedesaan Kegiatan: Pembinaan Petani.
Pengairan Program Peningkatan Produksi Pertanian Kegiatan: Pembangunan Irigasi, Rehabilitasi Irigasi.
Koperasi Program Peningkatan Produksi Pertanian Kegiatan: Bina KUD, Kredit Pertanian.
Pertanian Program Peningkatan Produksi Pertanian Kegiatan: Perluasan Area Pertanian, Bina Kelompok Tani, Koperasi Intensikasi.
Bina karya Program Peningkatan Produksi Pertanian Kegiatan: Pembangunan Jalan Perdesaan Pembangunan Jembatan di Wilayah Pertanian.
Perindustrian Program Peningkatan Produksi Pertanian Kegiatan: Pelatihan Teknologi Pertanian.
Sumber: Penulis, 2014
Selanjutnya, indikator kinerja program tersebut dijabarkan menjadi indikator kinerja sasaran yang diharapkan dari program tersebut. Dalam penjabarannya juga penting untuk memastikan adanya keselarasan antar indikator kinerja tersebut. Gambar 2.6
Contoh Keselarasan Penjabaran Indikator Kinerja IK Sasaran: 1. PDRB Sektor Pertanian; 2. PeningkatanPendapatan Petani; 3. Peningkatan Produksi Pertanian.
Pengairan IK: 1. Luas Area Sawah Pengairan; 2. Panjang Saluran Pengairan yang Dibangun/Rehab.
Koperasi IK: 1. Jumlah Koperasi Tani yang Dibina; 2. SKIM Kredit.
Dinas Pertanian IK: 1. Luas Area Intensikasi &Ekstensikasi; 2. Peningkatan Produksi Pertanian; 3. Jumlah Petani.
Contoh Keselarasan Indikator Kinerja.
Sumber: Penulis, 2014
44
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Bina karya IK: 1. Panjang Jalan ke Wilayah Pertanian; 2. Jumlah jembatan yang Dibangun.
Perindustrian IK: Jumlah Petani yang Mengikuti Pelatihan Teknologi Pertanian.
2.3.7 Indikator Kinerja Utama (IKU) Menurut PERMENPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, yang dimaksud dengan indikator kinerja utama adalah ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi. Setiap instansi pemerintah wajib menetapkan indikator kinerja utama dilingkungannya masing-masing dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh informasi kinerja yang penting dan diperlukan dalam menyelenggarakan manajamen kinerja secara baik; 2. Untuk memperoleh ukuran keberhasilan dari pencapaian suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi yang digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja. Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas kinerja maka setiap instansi pemerintah dituntut untuk menetapkan indikator kinerja utama di lingkungan instansi masing-masing. Tuntutan demikian sangat beralasan karena sering kali terjadi ketidakselarasan dalam penetapan indikator kinerja sehingga menyebabkan hasil yang disajikan tidak sesuai dengan perencanaan instansi dengan instansi atasannya bahkan dengan perencanaan nasional. Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU) dilakukan di setiap instansi pemerintah, yang meliputi Kementerian Koordinator/Kementerian Negara/Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Sekretariat Jenderal Lembaga Tinggi Negara, dan Lembaga Lain yang menjalankan fungsi pemerintahan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, dan Pemerintah Kabupaten. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik di dalam tubuh instansi tersebut sehingga penyusunan Indikator Kinerja Utama dapat dilaksanakan dengan baik dan penerapannya dilakukan secara integratif di antara unit kerja di dalamnya. Indikator Kinerja Utama instansi pemerintah harus selaras antar tingkatan unit organisasi. Cakupan Indikator Kinerja Utama pada setiap tingkatan unit organisasi meliputi indikator kinerja keluaran (output) dan hasil (outcome) dengan tatanan sebagai berikut: 1. Indikator Kinerja Utama pada tingkat Kementerian Negara/Departemen/LPND/Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota sekurang-kurangnya adalah indikator hasil (outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi; 2. Indikator Kinerja Utama pada unit organisasi setingkat Eselon I adalah indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) unit kerja di bawahnya; 3. Indikator Kinerja Utama pada unit organisasi setingkat eselon ll/Satuan Kerja/SKPD/unit kerja mandiri sekurang-kurangnya adalah indikator keluaran (output). Selanjutnya berkaitan dengan pengambil keputusan dalam penetapan Indikator Kinerja Utama, maka ada beberapa aturan yang harus diikuti, yaitu: 1. Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Kementerian Koordinator/Departemen/Kementerian Negara/ Lembaga dan unit organisasi setingkat Eselon I serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya; 2. Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Lain yang menjalankan fungsi pemerintahan wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Lembaga Tinggi Negara, Lembaga Lain, dan unit organisasi setingkat Eselon I serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya; 3. Gubernur/Bupati/Walikota wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
45
Keberhasilan indikator kinerja secara makro pada suatu pemerintah daerah tidak hanya ditentukan oleh satu SKPD, tetapi juga dipegaruhi oleh keberhasilan SKPD lain. Oleh karena itu, Indikator Kinerja Utama pada level pemerintah daerah minimal harus pada tingkat indikator hasil (outcomes), dan secara bertahap ditingkatkan pada indikator manfaat (benets), dan dampak (impacts). Untuk tingkat unit kerja, indikator kinerja yang digunakan harus lebih rinci dan spesik namun tetap harus diperhatikan keselarasan dan keseimbangannya dengan indikator kinerja unit-unit kerja lainnya serta dengan tingkat instansi pemerintah. Dengan demikian, mulai dari bagian terkecil suatu organisasi sampai bagian terbesarnya sejak awal sudah selaras satu sama lain sehingga perencanaan instansi sampai perencanaan nasional dapat tercapai. Adapun hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam rangka pemilihan dan penetapan Indikator Kinerja Utama adalah sebagai berikut: 1. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah, Rencana Strategis, kebijakan umum dan/atau dokumen strategis lainnya yang relevan; 2. Bidang kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran lainnya; 3. Kebutuhan informasi kinerja untuk penyelenggaraan akuntabilitas kinerja; 4. Kebutuhan data statistik pemerintah; 5. Kelaziman pada bidang tertentu dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pemilihan dan penetapan kinerja utama di lingkungan instansi pemerintah hendaknya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dari instansi yang bersangkutan. Selain itu Indikator Kinerja Utama yang ditetapkan harus memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik dan cukup memadai guna pengukuran kinerja unit organisasi yang bersangkutan. D a l a m PERMENPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, karakteristik indikator yang baik dan cukup memadai untuk pengukuran kinerja unit organisasi yang bersangkutan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Spesik; Dapat dicapai; Relevan; Menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur; Dapat dikualikasi dan diukur.
Indikator Kinerja Utama merupakan suatu ukuran yang sangat penting dalam pencapaian kinerja instansi pemerintah. Di lingkungan instansi pemerintah, Indikator Kinerja Utama dapat digunakan untuk beragam kepentingan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perencanaan jangka menengah; Perencanaan tahunan; Penyusunan dokumen penetapan kinerja; Pelaporan akuntabilitas kinerja; Evaluasi kinerja instansi pemerintah; Pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan-kegiatan.
Instansi pemerintah dalam melaksanakan analisis dan evaluasi kinerja harus memperhatikan capaian Indikator Kinerja Utama untuk melengkapi informasi yang dihasilkan dalam pengukuran kinerja dan digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja. Analisis dan evaluasi tersebut perlu dilakukan secara berkala dan sederhana dengan meneliti fakta-fakta yang ada, baik berupa kendala, hambatan, maupun informasi lainnya. Indikator Kinerja Utama sebagai patokan keberhasilan dari tujuan dan sasaran strategis organisasi perlu disusun, diantaranya untuk mengetahui tingkat esiensi dan efektivitas kerja suatu instansi
46
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
pemerintah, oleh karenanya membutuhkan kecermatan agar Indikator Kinerja Utama memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas sesuai tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersangkutan. Penetapan Indikator Kinerja Utama pada dasarnya melalui beberapa tahapan, mulai dari pengkajian beragam referensi maupun dokumen penyusunan, hingga penetapan dan pengesahan Indikator Kinerja Utama. Penyusunan Indikator Kinerja Utama di lingkungan Pemerintah Daerah diawali dengan pengkajian beragam dokumen yang relevan, antara lain: 1. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis, kebijakan umum dan atau dokumen strategis lainnya yang relevan; 2. Bidang kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran lainnya; 3. Kebutuhan informasi kinerja untuk penyelenggaraan akuntabilitas kinerja; 4. Kebutuhan data statistik pemerintah; 5. Kelaziman pada bidang tertentu dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari hasil kajian tersebut kemudian disusun Indikator Kinerja Utama. Selanjutnya, Kepala Daerah menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Pemerintah Daerah. Dalam penyusunan Indikator Kinerja Utama Pemerintah Daerah, Kepala Daerah melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dari instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Sebagaimana penyusunan Indikator Kinerja Utama Pemerintah Daerah, penyusunan Indikator Kinerja Utama Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah juga membutuhkan kecermatan agar Indikator Kinerja Utama memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas sesuai tugas dan fungsi SKPD yang bersangkutan. Dalam penyusunan Indikator Kinerja Utama SKPD pun melalui beberapa tahapan yang sama, yaitu mulai dari pengkajian beragam referensi maupun dokumen, hingga penyusunan, penetapan, dan pengesahan Indikator Kinerja Utama oleh Kepala Daerah. Pengkajian dokumen dalam rangka penyusunan Indikator Kinerja Utama di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah pada prinsipnya mendasarkan pada dokumen dan referensi yang memiliki kaitan penting. Dari hasil kajian tersebut kemudian disusun Indikator Kinerja Utama SKPD. Selanjutnya, Kepala Daerah menetapkan Indikator Kinerja Utama SKPD yang bersangkutan. Dalam penyusunan Indikator Kinerja Utama SKPD dimaksud, pimpinan SKPD melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dari SKPD yang bersangkutan.
2.3.8 Indikator Kinerja Kunci (IKK) Indikator Kinerja Kunci (IKK) merupakan bagian dari sistem pengukuran kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal-hal yang diukur dalam IKK ini adalah masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat dan/atau dampak. Penentuan IKK didasari pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah dengan menilai capaian seperangkat Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk setiap urusan yang dibebankan kepada masing-masing daerah. Capaian setiap Indikator Kinerja Kunci untuk setiap urusan tersebut akan menunjukkan seberapa jauh suatu daerah mampu melaksanakan urusan yang didelegasikan Pemerintah kepada setiap daerah. Berdasarkan PP tersebut, IKK dari suatu pemerintah daerah berkaitan dengan tiga aspek pembangunan beserta fokusnya seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.7.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
47
Gambar 2.7
Aspek, Fokus dan Indikator Kinerja Kunci Pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Fokus Aspek Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi Kesejahteraan Sosial Seni Budaya dan Olahraga
Hasil Akhir INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
Pelayanan Umum
Daya Saing Daerah
Pelayanan Dasar Pelayanan Penunjang Kemampuan Ekonomi Daerah Fasilitas Wilayah/ Infrastruktur Iklim Berinvestasi Sumber Daya Manusia
Sumber: Penulis, 2014 (diolah)
Kotak 2.5 Indikator Indeks Pembangunan Manusia Belum Merata di Kabupaten/Kota di Indonesia, 2010 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator hasil akhir dari pembangunan daerah. Apabila dilihat dari data IPM per kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010, terlihat bahwa cukup banyak kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki IPM kurang dari 69 dan hanya beberapa kabupaten/kota memiliki IPM di atas 73 (lihat peta di bawah ini).
> 73 71 - 73 69 - 71 < 69 Data tidak tersed dia Indeks
Sumber: TNP2K
48
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.4 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Serta Siklus Anggaran 2.4.1 Konsep Perencanaan dan Penganggaran Sebagaimana dikemukakan pada bagian konsep perencanaan pembangunan daerah sebelumnya, bahwa perencanaan adalah suatu proses yang kontinyu, terdiri dari keputusan atau pemilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Ini berarti bahwa sebelum melaksanakan suatu kegiatan terlebih dahulu harus membuat perencanaan yang memuat tujuan yang akan dicapai dan cara mencapai tujuan tersebut. Penyusunan perencanaan tersebut mengindikasikan adanya organisasi yang terlibat, adanya dokumen yang digunakan di dalam perencanaan, adanya dukungan sumber daya untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan, dan adanya tujuan yang jelas yang akan dicapai. Organisasi yang terlibat dalam perencanaan, umumnya meliputi organisasi yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan, organisasi yang bertugas khusus dalam perencanaan, kelompok sasaran yang dituju dalam pelaksanaan rencana, organisasi yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya, dan pimpinan organisasi secara keseluruhan. Setiap proses penyusunan perencanaan tersebut harus dicatat dan didokumentasikan. Adapun isi dokemen tersebut, minimal memuat nama kegiatan, tujuan yang akan dicapai dari kegiatan tersebut yang meliputi indikator kinerja dan target kinerja, kelompok sasaran, penanggungjawab kegiatan, dan penggunaan sumberdaya. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat diimplementasikan dengan realistis dan di dukung dengan ketersediaan sumber daya. Pada umumnya sumberdaya terdiri atas sumber dana, sumber daya manusia, sumber daya material, dan sumberdaya peralatan. Pada umumnya tidak semua rencana yang telah disusun dapat dilaksanakan karena adanya keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, perlu dibuat skala prioritas dari sekian banyak rencana yang telah disusun agar memudahkan proses seleksi implementasi rencana. Pada umumnya, kendala sumber daya yang paling besar adalah ketersediaan dana. Oleh karena itu perlu dilakukan penyusunan anggaran, khususnya anggaran belanja. Tujuan penyusunan anggaran ini adalah untuk mengalokasikan dana yang tersedia secara ekonomis, esien dan efektif. Penggunaan dana secara ekonomis menuntut setiap penyusun anggaran untuk mencari harga atau biaya yang lebih murah dengan kualitas yang sesuai. Sedangkan penyusunan anggaran yang esien menuntut setiap penyusun anggaran untuk menganggarkan volume kebutuhan material yang paling rendah dengan tidak mengorbankan kualitas yang diharapkan. Disamping itu, penyusunan anggaran yang efektif menuntut setiap penyusun anggaran mengalokasikan sumber dana berdasarkan skala kebermanfaatannya. Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah yang secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational planning). Penyusunan kebijakan umum APBD (KUA) termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya keuangan. Untuk memahami arti penting anggaran daerah, maka harus diketahui cakupan aspek-aspeknya sebagai berikut:
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
49
1. Anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. 3. Disamping itu, anggaran daerah memiliki peran penting dalam sistem keuangan daerah. Peran anggaran daerah berdasarkan fungsi utamanya sebagai berikut (Mardiasmo, 2004) : a. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk: Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya. Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. b. Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk: Mengendalikan esiensi pengeluaran. Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda. Mencegah adanya overlapping, misunderstanding, dan salah sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas. Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. c. Anggaran sebagai alat kebijakan skal, digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi. d. Anggaran sebagai alat politik, digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggaran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atau pengguna dana publik untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat publik. e. Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi pemda yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja. f. Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat direalisasikan. g. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, esien dan efektif dalam mencapai target kinerja. Dalam rangka memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable. Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasional yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah). Anggaran dapat juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan ruang publik dalam arti bahwa proses penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya
50
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
digunakan sebagai dasar perumusan arah dan Kebijakan Umum Anggaran. Kelompok masyarakat yang terorganisir umumnya akan mencoba mempengaruhi anggaran untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisasir akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik yang ada. Jika tidak ada alat untuk menyampaikan aspirasi mereka, maka mereka akan melakukan tindakan-tindakan lain, misal, tindakan massa, melakukan boikot, vandalisme, dan sebagainya. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran nansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Dalam organisasi sektor publik pada umumnya, penganggaran merupakan suatu proses politik. Secara umum, penganggaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran ini dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategis telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi dan perencanaan strategis yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan rencana manajerial untuk pengambilan tindakan (managerial plan for action) guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran meliputi : 1. Aspek perencanaan; 2. Aspek pengendalian; 3. Aspek akuntabilitas publik. Penganggaran harus diawasi dimulai dari tahap perencanaan, kemudian berlanjut ke tahap pelaksanaan dan pelaporan. Proses penganggaran akan lebih efektif jika lembaga pengawas khusus yang bertugas mengontrol proses perencanaan dan pengendalian anggaran melakukan pengawasan. Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat tercakup dalam anggaran publik. Terdapat beberapa aspek kehidupan tidak tersentuh oleh anggaran tersebut, baik dalam skala nasional maupun lokal. Anggaran ini dibuat untuk membantu menentukan tingkat kebutuhan masyarakat, seperti listrik, air bersih, kualitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya terjamin secara layak. Tingkat kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh pemerintah melalui anggaran yang mereka buat. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dimiliki pemerintah merupakan uang rakyat, dan anggaran yang menunjukkan rencana pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat tersebut. Anggaran merupakan cetak biru (blue print) dari keberadaan sebuah negara dan arahan di masa yang akan datang. Di Indonesia, seiring dengan bergulirnya isu reformasi di bidang pemerintahan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 (yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) dan Undang-Undang Nomor 33/2004 yang ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 58/2005 dan beberapa revisi PP dan Permendagri pendukungnya, memberi paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
51
Perubahan ini terjadi karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas terhadap penyelenggaraan jalannya pemerintahan. Perubahan paradigma ini meliputi penyusunan anggaran berdasarkan pendekatan kinerja, dan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan kegiatan publik yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah, keterbukaan informasi dan tuntutan penghindaran dan pembersihan dari kegiatan-kegiatan yang berbau KKN. Dengan perubahan ini, penentuan strategis, prioritas serta kebijakan alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan daerah harus merupakan proses yang mengakar (bottom-up planning). Dengan sistem bottom-up planning, berbagai jenis barang dan jasa publik yang disediakan pemerintah ini diharapkan sesuai dengan preferensi dan prioritas di daerah yang bersangkutan. Sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter anggaran pemerintah harus disusun secara cermat, akurat, dan sistematis dengan menggunakan sistem anggaran yang baik. Pendekatan dalam penyusunan anggaran sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat, mengikuti kebutuhan dalam rangka peningkatan pelayanan publik, transparansi, dan akuntabilitas. Secara umum, terdapat dua pendekatan penyusunan anggaran, yaitu anggaran tradisional atau anggaran konvensional dan pendekatan baru yang dikenal dengan new public management (NPM). Anggaran tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Cara penyusunan anggaran menggunakan pendekatan incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah nilai moneter pada setiap program atau aktivitas; 2. Struktur dan susunan anggaran bersifat line item, yaitu penggunaan item-item penerimaan atau pengeluaran yang sama dalam setiap periode anggaran meskipun sebenarnya terdapat item-item yang sudah tidak relevan lagi untuk dipakai; 3. Anggaran tradisional bersifat spesik, tahunan dan menggunakan prinsip anggaran bruto. Pendekatan NPM merupakan pendekatan penyusunan anggaran yang fokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan pada kebijakan. Adapun ciri dari pendekatan tersebut adalah komparatif, terintegrasi, dan lintas departemen, proses pengambilan keputusan yang rasional, berjangka panjang, spesikasi tujuan dan adanya skala prioritas, analisis biaya manfaat, berorientasi pada input, output dan outcome, serta adanya pengawasan kinerja. Beberapa jenis pendekatan anggaran dalam NPM yaitu anggaran berbasis kinerja, zero based budgeting, dan planning, programming, and budgeting system. Untuk periode saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk menerapkan pendekatan penyusunan anggaran sesuai konsep NPM, yaitu anggaran berbasis kinerja atau performance based budgeting, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan anggaran terpadu (Unied Budget). Penyusunan anggaran dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil, yaitu: 1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dan dampak atas alokasi belanja yang ditetapkan. 2. Disusun berdasarkan sasaran yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran. 3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan rencana strategis kementerian/lembaga atau SKPD. Tujuan pembuatan anggaran yaitu untuk perencanaan secara konseptual yang terdiri atas formulasi kebijakan anggaran dan perencanan operasional anggaran. Sedangkan Fungsi anggaran dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu fungsi perancanaan, pengawasan, koordinasi, dan anggaran sebagai pedoman kerja. Keempat fungsi tersebut masing-masing memiliki tujuan yang telah ditetapkan yaitu:
52
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Fungsi Perencanaan Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen dan fungsi ini merupakan dasar pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Winardi memberikan pengertian mengenai perencanaan sebagai berikut: “Perencanaan meliputi tindakan memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dalam hal memvisualisasi serta merumuskan aktivitas-aktivitas yang diusulkan yang dianggap perlu untuk mencapai basil yang diinginkan”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum perusahaan melakukan operasinya, pimpinan dari perusahaan tersebut harus lebih dahulu merumuskan kegiatan-kegiatan apa yang akan dilaksanakan di masa datang dan hasil yang akan dicapai dari kegiatan-kegiatan tersebut, serta bagaimana melaksanakannya. Dengan adanya rencana tersebut, maka aktivitas akan dapat terlaksana dengan baik.
2. Fungsi Pengawasan Anggaran merupakan salah satu cara mengadakan pengawasan dalam perusahaan. Pengawasan itu merupakan usaha-usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun sebelumnya dapat dicapai. Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi prestasi kerja dan tindakan perbaikan apabila perlu. Aspek pengawasan yaitu dengan membandingkan antara prestasi dengan yang dianggarkan, apakah dapat ditemukan esiensi atau apakah para manajer pelaksana telah bekerja dengan baik dalam mengelola perusahaan. Tujuan pengawasan itu bukanlah mencari kesalahan akan tetapi mencegah dan memperbaiki kesalahan. Sering terjadi fungsi pengawasan itu disalah artikan yaitu mencari kesalahan orang lain atau sebagai alat menjatuhkan hukuman atas suatu kesalahan yang dibuat padahal tujuan pengawasan itu untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan rencana perusahaan.
3. Fungsi Koordinasi Fungsi koordinasi menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap individu atau bagian dalam perusahaan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menciptakan adanya koordinasi diperlukan perencanaan yang baik, yang dapat menunjukkan keselarasan rencana antara satu bagian dengan bagian lainnya. Anggaran yang berfungsi sebagai perencanaan harus dapat menyesuaikan rencana yang dibuat untuk berbagai bagian dalam perusahaan, sehingga rencana kegiatan yang satu akan selaras dengan lainnya. Untuk itu anggaran dapat dipakai sebagai alat koordinasi untuk seluruh bagian yang ada dalam perusahaan, karena semua kegiatan yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.
4. Anggaran Sebagai Pedoman Kerja Anggaran merupakan suatu rencana kerja yang disusun sistematis dan dinyatakan dalam unit moneter. Lazimnya penyusunan anggaran berdasarkan pengalaman masa lalu dan taksiran-taksiran pada masa yang akan datang, maka ini dapat menjadi pedoman kerja bagi setiap bagian dalam perusahaan untuk menjalankan kegiatannya.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
53
Kotak 2.6 APBD Tekor Akibat Buruknya Perencanaan MEDAN – Buruknya perencanaan anggaran dinilai sebagai penyebab utama tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan 2013. “Kalau perencanaan anggaran baik, realisasi antara minus dan plus anggaran itu hanya 10%. Kalau jauh bedanya, berarti ada sesuatu yang harus dievaluasi dari segi target penerimaan, dan belanja harus dilakukan audit,” ujar pengamat anggaran di Medan Elfenda Ananda, kemarin. Menurut Elfenda, evaluasi dan audit keuangan Pemko Medan itu perlu segera dilakukan, mengingat kas Pemko Medan sudah mengalami desit. Padahal, tidak ada situasi ekonomi yang gonjang-ganjing di Kota Medan sepanjang 2013. “Kalau situasi ekonomi saat ini kan stabil, makanya perlu kita lakukan peninjauan untuk audit pendapatan dan belanja, karena mungkin bisa jadi ada masalah,” kata Elfenda. Jika hal itu tidak dilakukan, dia khawatir bakal berdampak terhadap pembangunan Kota Medan. Sebab, jika tidak ada anggaran, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan. “Ke depan, Pemko Medan harus memperketat pengawasan dan harus ada audit khusus. Apakah neraca anggaran yang dibuat SKPD sudah benar, ke mana arus kas Pemko Medan, sehingga bisa ditemukan apakah ada penyalahgunaan anggaran atau tidak,” tandasnya. Diberitakan Kamis (29/8), anggaran Pemko Medan tahun ini habis hanya untuk bayar utang proyek 2012. Akibatnya, pembangunan sepanjang 2013 stagnan dan banyak yang terbengkalai. Ini diakui hampir semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) saat rapat pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) 2013 dengan Panitia Khusus (Pansus) DPRD. Menanggapi tekornya APBD ini, Sekretaris Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kota Medan Zulfan Nasution menepisnya. Dia memastikan kas Pemko Medan saat ini masih stabil. “Kas kami tidak kosong. Kalaupun ada rekanan yang membawa SPM (surat perintah membayar) kepada kami, bisa langsung dicairkan asal ada berkasnya,” ungkapnya. Menurut dia, tidak salah jika proyek tahun lalu dibayarkan tahun ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 37/2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2013, pengerjaan proyek tahun 2012 masih bisa dibayarkan tahun berikutnya. “Masalahnya banyak rekanan yang minta dicairkan tapi berkasnya tidak lengkap,” kata Zulfan. Selain itu, lanjutnya, masih banyaknya proyek 2012 yang belum dibayarkan akibat belum cairnya utang Pemprov Sumut kepada Pemko Medan sebesar Rp 572 miliar. Utang ini merupakan dana bagi hasil 2012 sebesar Rp 562 miliar, dan dana bantuan daerah bawahan (BDB) senilai Rp10 miliar. “Kalau bantuan daerah bawahan memang tidak ada limit waktu pembayaran, makanya hingga sekarang belum dibayar. Kalau dana bagi hasil memang harus dibayar Pemprov Sumut, tapi hingga sekarang belum juga dicairkan,” tandasnya. Terkait belum dicairkannya dana bagi hasil dan dana BDB itu, BPKD semestinya dari awal sudah mempersiapkan skenario anggaran. BPKD juga semestinya intens berkomunikasi, sehingga bisa diprediksi dengan cepat berapa anggaran riil yang bisa digunakan. “Kalau ada komunikasi yang baik antara BPKD dengan pemprov, tentu bisa diprediksi berapa penerimaan anggaran. kalau dalam semester pertama pembayaran dana bagi hasil, misalnya sudah telat, perencanaan anggaran bisa dikurangi dalam P-APBD dengan tidak memasukkan penerimaan dari sektor dana bagi hasil. Jadi, perencanaan anggaran menjadi profesional,” katanya. Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/326266lia, (Anggia nasution, Reza Shahab)
2.4.2 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan sebagai acuan bagi penganggaran pada dasarnya adalah proses untuk menyusun rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk suatu jangka waktu tertentu. Kebijakan Umum APBD (KUA) merupakan bagian dari dokumen perencanaan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan pembangunan dan pengambilan kebijakan di daerah. Dokumen ini mempunyai fungsi yang sangat strategis karena menyangkut pilihan terhadap program, kegiatan dan
54
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kebijakan yang akan dilaksanakan oleh suatu Pemerintah Daerah. Oleh karena itu proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan haruslah betul-betul melibatkan partisipasi masyarakat, berdasarkan data yang akurat dan peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat sehingga subtansi dari dokumen perencanaan mampu menjadi solusi dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bukan justru menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah dibuat secara berjenjang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam rangka untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. Karena RAPBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek (1 tahun) yang menghendaki adanya Kebijakan Umum APBD (KUA) sebagai formulasi kebijakan anggaran dan perencanaan operasional anggaran, maka penyusunan KUA termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran yang menjadi acuan dalam perencanaan operasional anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisa skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya berdasarkan Strategi dan Prioritas (SP). Oleh karena itu, penyusunan KUA dan SP harus didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan lima tahun. Sementara untuk perencanaan dan penganggaran daerah dalam satu tahun, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dari masing-masing Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) menjadi dasar untuk penyusunan KUA dan SP melalui tahapan Musrenbang. Secara umum keterkaitan perencanaan dengan penganggaran dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.8
RPJ PD
Keterkaitan Antara Perencanaan Dengan Penganggaran
RPJ MD
RKPD
Perencanaan
KUA PPAS
RKA SKPD
APBD
Keterkaitan
Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (diolah)
Upaya untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Sejak awal penyusunan rencana, besaran sumber daya nansial atau pagu anggaran indikatif sudah diketahui sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan di Musrenbang desa, kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten/Kota dan Provinsi. 2. Prioritas kegiatan untuk setiap SKPD sudah sama formasinya sejak dari hasil RKPD, Renja SKP, hingga Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. 3. RKPD dan Renja yang disusun berdasarkan hasil Musrenbang Kabupaten/Kota atau Provinsi serta hasil forum SKPD menjadi rujukan utama dalam penyusunan dan pembahasan kebijakan umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran SKPD. 4. DPRD maupun pemerintah daerah memahami bahwa pengawalan dan konsistensi prioritas kegiatan hasil perencanaan partisipasi sewaktu melaksanakan kegiatan penganggaran diperlukan. 5. Output setiap tahapan dalam proses penganggaran dapat diakses oleh setiap peserta perencanaan partisipatif. Setiap inkosistensi materi dengan hasil perencanaan partisipatif wajib disertai dengan penjelasan resmi dari pemerintah dan/atau DPRD (Asas Transparansi dan Akuntabilitas dalam good governance).
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
55
Secara skematis keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran dapat di lihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.9
Alur Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Daerah PERENCANAAN
RPJPD
PENGANGGARAN
RPJMD
RKPD
RPJPD
RPJMD
RKPD
Renstra SKPD
Renja SKPD
RPJPD
Renstra SKPD
Renja SKPD
Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (diolah)
2.4.3 Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda Pembangunan Bidang), menyatakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai salah satu dari tiga kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang dalam kebijakan pembangunan nasional. UndangUndang Nomor 6/2014 tentang Desa juga menyatakan pentingnya PUG dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Pengarusutamaan gender (PUG) ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan Gender diartikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki dan mendapatkan penghargaan yang setara sebagai manusia di dalam berbagai aspek kehidupan, dan sama-sama mendapatkan akses, mampu berpartisipasi dan memiliki kontrol serta mendapatkan manfaat dari intervensi pembangunan. Sedangkan gender itu sendiri adalah bukan kata lain dari perempuan; namun berkenaan dengan perempuan dan laki-laki serta hubungan di antara mereka, dan ketimpangan gender juga berdampak negatif terhadap laki-laki. Mandat untuk melaksanakan PUG oleh semua Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah telah dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG, pada tahun 2012 diluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender (Stranas PPRG) melalui Surat Edaran Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara PP dan PA. Di daerah, pelaksanaan PUG sebenarnya sudah diamanatkan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, namun penegasan untuk melaksanakan PPRG melalui analisis gender baru tercantum dalam Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 sebagai Perubahan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah.
56
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sejak dikeluarkannya Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tersebut, telah banyak provinsi dan kabupaten/kota yang melakukan inisiasi PPRG yang wujudnya adalah tersusunnya Anggaran Repsonsif Gender (ARG) bagi program-program dan kegiatan pada beberapa SKPD. Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif gender tersebut dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dilakukan untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan. Dalam konteks perencanaan daerah, Perencanaan Responsif Gender ini diintegrasikan dalam dokumen perencanaan (RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD). Pada tahap ketiga RPJPN, RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda Pembangunan Bidang); Pengarusutamaan Gender merupakan salah satu kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, telah terjadi penguatan dasar hukum pelaksanaan PUG baik pada tingkat UU maupun Peraturan Presiden. Untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan maka perencanaan pembangunan harus responsif gender. Perencanaan pembangunan yang responsif gender harus mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan, permasalahan dan pengalaman perempuan dan laki-laki baik dalam proses penyusunannya maupun dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks perencanaan daerah, Perencanaan yang responsif gender ini direeksikan dalam dokumen RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD. Perencanaan Responsif Gender diharapkan dapat menghasilkan Anggaran Responsif Gender, dimana kebijakan pengalokasian anggaran disusun untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Anggaran Responsif Gender ini diintegrasikan dalam dokumen KUA-PPAS, RKA SKPD dan DPA SKPD.
2.4.4 Rencana Kerja Pemerintah Daerah Berdasarkan UU Nomor 25/2004 dan UU Nomor 23/2014, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dimulai dengan kegiatan Bappeda menyusun rancangan awal RKPD. Selanjutnya, SKPD menyiapkan Rencana Kerja (Renja)-SKPD dan berpedoman pada Renstra-SKPD. Setelah RenjaSKPD tersusun, maka kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD. Di dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 dijelaskan bahwa RKPD merupakan penjabaran RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKPD merupakan acuan bagi daerah dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), dengan demikian Kepala Daerah dan DPRD dalam menentukan Kebijakan Umum APBD (KUA), serta penentuan Prioritas dan Pagu Anggaran Sementara (PPAS) didasarkan atas dokumen RKPD. KUA dan PPAS yang telah disepakati selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam proses penyusunan APBD. Dalam penyusunan RKPD, penyiapan dokumen perencanaan daerah berwawasan waktu 1 tahun sebagai penjabaran RPJMD untuk tahun yang bersangkutan. RKPD yang telah ditetapkan dimaksudkan untuk digunakan oleh SKPD untuk menyesuaikan rancangan Renja-SKPD menjadi Renja-SKPD yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan SKPD.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
57
RKPD memiliki kedudukan dan fungsi sebagai: 1. Acuan dalam penyusunan kerangka umum APBD; 2. Sigma program dan kegiatan dari seluruh Renja-SKPD di provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.
2.4.5 Penyusunan Rancangan APBD APBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek yang merupakan penjabaran perencanaan jangka menengah daerah. Pada dasarnya perencanaan jangka pendek merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah untuk jangka waktu satu tahun yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Sebagai bagian dari kebijakan anggaran, pemerintah daerah menyampaikan rancangan kebijakan umum APBD (KUA) tahun anggaran berikutnya yang sejalan dengan RKPD kepada DPRD. Rancangan KUA selanjutnya dibahas dan disepakati bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD sebagai landasan penyusunan RAPBD. Gambar 2.10 Siklus Anggaran Daerah Pembahasan & Kesepakatan KUA Antara KDH Dengan DPRD (Juni)
Penetapan SKPD (Mei) Musrenbang Kab/ Kota (Maret) Forum SKPD Penyususnan Renja SKPD Kab/Kota (Maret)
6
Pembahasan & Kesepakatan PPAS Antara KDH Dengan DPRD (Juli) Penyusunan RKA-SKPD & RAPBD (Juli-September)
7
8
5
9
4
10
3
Musrenbang Kecamatan (Februari) Musrenbang Desa (Januari)
Pembahasan dan Persetujuan Rancangan APBD dengan DPRD (Oktober-November)
11 2
12 1
13
Evaluasi Rancangan Perda APBD (Desember) Penetapan Perda APBD (Desember)
Penyusunan DPA SKPD (Desember)
Penyusunan DPA SKPD (Desember)
Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (diolah)
Selanjutnya, penyusunan APBD mendasarkan pada kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah harus diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam rangka penganggaran daerah yang diprioritaskan untuk urusan wajib, didasarkan pada Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan KUA yang telah disepakati menjadi Plafon dan Prioritas Anggaran (PPA). KUA dan PPA yang telah disepakati (Nota Kesepahaman) selanjutnya digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan operasional anggaran. Selanjutnya KUA dan PPA menjadi bagian dari pedoman bagi SKPD dalam penyusunan RKA-SKPD. Penyusunan RKA-SKPD merupakan bentuk pengalokasian sumber daya keuangan pemerintah daerah berdasarkan struktur APBD dan kode rekening yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
58
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.4.6 Siklus Anggaran Daerah Siklus penyusunan anggaran terdiri dari persiapan, penyusunan anggaran, pembahasan eksekutif dan legislatif, pengesahan/penetapan, pelaksanaan anggaran, penatausahaan anggaran, pertanggungjawaban anggaran, serta pengawasan anggaran. Berikut ini akan ditampilkan tabel yang akan memuat proses penyusunan anggaran. Secara lebih detail dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut: Tabel 2.4
Siklus Anggaran Daerah
No. Atitas Pelaksanaan 1. Pemda & DPRD
Sumber Renstrada Hasil Penjaringan Aspirasi Masyarakat, Laporan Kinerja Historis, Pokok-pokok Pikiran DPRD, Kebijakan Keuangan Daerah Arah Kebijakan Umum APBD
2.
Pemda
3.
Tim Anggaran Eksekutif
4.
Unit Kerja
5.
Unit Kerja
6.
Unit Kerja
7.
Unit Kerja
8.
Tim Anggaran Eksekutif
9.
Tim Anggaran Eksekutif
10.
Pemda
11.
Penilitian Anggaran Rancangan Perda APBD Legislatif dan Tim Anggaran Eksekutif
Dokumen Berita Acara (Nota) Juni*) Kesepakatan Pertengahan Juni (UU KN)
Berita Acara Kesepakatan Perda Pengelola Keuada, Arah Surat Edaran KDH Kebijakan Umum APBD, Strategi tentang Pendoman dan Prioritas APBD, Keputusan KDH Penyusunan tentang Standar Pelayanan, Tingkat Anggaran Unit Pencapaian Kinerja dan Standar Biaya Kerja Perda Struktur Organisasi Tata Kerja Pernyataan SE, KDH Anggaran Tujuan dan Sasaran Unit Kerja SE, Pernyataan KDH Anggaran Program Unit Kerja SE, KDH Pernyataan Anggaran Kegiatan Unit Kerja SE, KDH Pernyataan Anggaran Arah dan Kebijakan Umum APBD, Rancangan Perda Strategi dan Prioritas APBD, APBD Anggaran Unit Kerja Arah dan Kebijakan Umum APBD, Rancangan Perda Strategi dan Prioritas APBD, APBD Anggaran Unit Kerja Rancangan APBD Rancangan Perda APBD
Perda APBD
Juli Agustus
Agustus September September Oktober September Oktober September Oktober September Oktober Oktober November Minggu 1 Oktober (Psl. 20 UUKN No. 17/2003) November Desember
Sumber: Penulis, 2014
Berdasarkan tabel yang telah ditampilkan di atas, dapat diketahui jika siklus anggaran harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dari segi waktu dan tidak boleh mengesampingkan tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari penyusunan anggaran. Dalam proses penyusunan anggaran juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan partisipasi dari level bawah untuk memperoleh masukan yang tepat sasaran (pendekatan bottom-up). Gambar di bawah ini menunjukkan jumlah APBD yang telah disampaikan kepada Kemenkeu pada periode tahun 2010-2014. Terlihat bahwa jumlah APBD yang seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan semakin banyak di tahun 2014 dibandingkan tahun 2010. Untuk tahun 2014 (sd 19 Mei 2014), sebanyak 531 daerah telah menyampaikan APBD-nya kepada Kemenkeu. Dari 531 daerah tersebut, yang menetapkan APBD-nya tepat waktu (sebelum 31 Desember) sebanyak 354 daerah (67% daerah), meningkat dari tahun 2011 yg hanya 211 daerah (40%).
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
59
Gambar 2.11 Perkembangan Jumlah APBD Berdasarkan Waktu Penetapannya, 2010-2014 400
354 327
350
2744
li
1
Ju
ni
M ei
Ap ril
i ar nu Ja
11
2011 2012 2013 2014
D es em
be
rT h
Sb lm
-
M ar et
50
ar
100
ru
150
i
176 160 139 116 9276 62 43 622 60 47 600 41 30 24 1210 10 6 8 12 3 4
200
Ju
1 250 212241
Fe b
400
Sumber: DJPK, Kemenkeu
2.4.7 Peran DPRD Dalam Proses Penganggaran Kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi anggaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Berdasarkan pasal 317 dan 366, wewenang dan tugas DPRD yang terkait anggaran adalah membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah yang diajukan oleh gubernur/ bupati/walikota. Selain itu, terkait dengan fungsi pengawasan, DPRD juga berwenang dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan demikian dalam konteks APBD, posisi DPRD adalah untuk memberikan persetujuan (atau menolak) usulan dari kepala daerah dan kemudian mengawasi pelaksanaan APBD tersebut. Namun faktanya, kita sering mendengar pembahasan APBD di banyak daerah sering terhambat yang salah satunya disebabkan karena baik eksekutif dan legislatif daerah sama-sama berusaha mengusulkan alokasi anggaran untuk kegiatan yang akan dilakukan. Kasus terbaru, adalah perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta dan DPRD terkait dengan APBD DKI Jakarta tahun 2015 yang berakibat sampai dengan Maret 2015, APBD tersebut belum bisa dilaksanakan. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuduh adanya anggaran siluman yang tidak diusulkan oleh SKPD nya masuk dalam APBD 2015. Sementara pihak DPRD marah dan menolak usulan APBD versi gubernur karena tidak memasukkan usulan anggaran hasil kesepakatan dengan dewan. Mengapa hal-hal seperti ini terus terjadi? Salah satu penyebabnya adalah adanya persepsi yang keliru dengan menganggap kedudukan DPRD adalah sama seperti kedudukan DPR5. Kedudukan DPRD dan DPR berbeda dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang yang dimilikinya. DPRD sebagai bagian dari unsur pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi, tugas dam wewenangnya selain berdasarkan undang-undang juga harus berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai tatanan, patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. NSPK yang dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi lainnya. Sedangkan DPR tidak terikat dan tidak tunduk pada NSPK. 5 Tulisan Hendra Budiman dalam Blog Kompasiana http://politik.kompasiana.com/2015/03/01/batasan-kewenangan-dprdbidang-anggaran-704412.html.
60
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Satu contoh penerapan norma UU MD3 dan UU Pemda, DPRD mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP). Diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Semua peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, DPRD mengacu kepada Tata Tertib DPRD (berupa Peraturan DPRD) yang dibuatnya sendiri. Dalam Tatib DPRD tersebut, berisi sejumlah tugas dan kewenangan komisi dan Banggar dalam pembahasan rancangan APBD. Dalam pelaksanaanya pembahasan tersebut sering menjadi sangat detail dan teknis karena langsung menyangkut kegiatan yang akan dilakukan oleh SKPD. Selain itu juga DPRD berusaha memasukkan alokasi anggaran versi mereka dengan alasan ingin mengakomodir kepentingan masyarakat. Jika mengacu pada perundangan yang berlaku, maka seharusnya kewenangan DPRD dalam penganggaran hanya sebatas menyetujui atau menolak rancangan APBD yang diusulkan kepala daerah. Kewenangan memberi persetujuan (atau menolak) usulan APBD yang diajukan oleh kepala daerah sifatnya juga harus berdasarkan rasionalitas politis bukan teknokratis. Hal ini dinyatakan oleh pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013. Persetujuan DPR/ DPRD terhadap APBN/ APBD tidak mencakup pada pembahasan hingga kegiatan dan jenis belanja (atau satuan tiga). Jadi, DPR/DPRD memfokuskan pada strategi anggaran negara/daerah yang sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran. Kotak 2.7 Kemendagri: Tarik-menarik Kepentingan Picu APBD DKI Selalu Telat Liputan6.com, Jakarta Keterlambatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta menjadi sorotan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menurut Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar Moenek, dalam 3 tahun terakhir Pemprov DKI kerap terlambat menyusun APBD. “DKI Jakarta 2-3 tahun terakhir selalu terlambat,” kata Reydonnyzar di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu 8 April 2015. Dengan adanya keterlambatan penyusunan APBD, apalagi tahun anggaran 2015, Reydonnyzar menyatakan pihaknya telah memberikan teguran kepada Gubernur ataupun DPRD DKI. Sambil memberikan teguran, Kemendagri juga memfasilitasi keduanya untuk membahas APBD. “Mendagri sudah menegur 6 Januari lalu untuk Gubernur dan DPRD. Teguran sifatnya pembinaan. Sambil ditegur, kami juga melakukan fasilitasi dengan Gubernur dan DPRD,” tambah Reydonnyzar. Reydonnyzar menyebutkan ada sejumlah permasalahan antara Pemprov dengan DPRD DKI dalam menyusun APBD. Sehingga sampai hari ini, APBD tahun anggaran 2015 yang menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub) belum dapat dicairkan. “6 Januari lalu sudah ditegur agar mempercepat, tetapi mengapa terjadi keterlambatan yang akhirnya merugikan bagi daerah ini. Intinya sederhana, yakni karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pemimpin daerah dan dewan,” pungkas Reydonnyzar. Sumber: http://news.liputan6.com/read/2210200/kemendagri-tarik-menarik-kepentingan-picu-apbd-dki-selalu-telat#
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
61
2.5 Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) 2.5.1 Pengertian Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) Perencanaan dan penganggaran merupakan rangkaian kegiatan dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan dan berkesinambungan. Penyusunan rencana perlu memperhatikan sumber daya (pendanaan) yang tersedia, sehingga dalam pelaksanaannya, konsekuensi dan keterkaitannya dengan penganggaran perlu mendapat perhatian yang serius. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyusunan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM - MTEF – medium term expenditure framework) menjadi sangat penting untuk diterapkan. Menurut PP 21/2004 pasal 1 poin 5 dan Permendagri 13/2006 pasal 1 poin 35, KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada periode/tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Dengan demikian, perencanaan berbasis KPJM bukan hanya mempertimbangkan kinerja masa lalu untuk menyusun rencana dan anggaran tahun berjalan tetapi juga memperhitungkan kinerja yang akan dicapai setelah perencanaan dan penganggaran tahun berjalan.
2.5.2 Landasan Hukum KPJM Dasar hukum KPJM dalam penganggaran negara dan daerah diatur dalam: 1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam penjelasan Bab I Nomor 6 yang berbunyi bahwa ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintergrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah. 2. PP 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga. RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja (pasal 4). 3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya (pasal 37). 4. Permendagri No 13 tahun 2006 jo Nomor 59 tahun 2007 jo Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. RKA disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja (Pasal 90 ayat 2).
2.5.3 Tujuan dan Manfaat KPJM Tujuan teknis KPJM adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perencanaan program dan kegiatan. Peningkatan tersebut dapat menciptakan esiensi dan efektitas perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan. Tujuan lainnya adalah menciptakan konsistensi antara perencanaan dengan penganggaran. Disamping itu akan tercipta kesinambungan RKA SKPD dan
62
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kepala SKPD dapat mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan satu atau dua tahun sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun anggaran berjalan. Tujuan lain KPJM adalah peningkatan kinerja program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mengubah paradigma birokrasi dari administrasi ke budaya manajerial dan meningkatkan prediktibilitas sumber daya/input. Secara umum manfaat yang diperoleh dari KPJM meliputi: Berperan dalam memelihara keberlanjutan skal (scal sustainability) dan meningkatkan disiplin skal. Meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran. Mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis. Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal.
2.5.4 Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyusunan KPJM Dalam rangka penyusunan KPJM perlu diketahui dan diperhatikan beberapa faktor berikut ini, yaitu:
1. Kapasitas Fiskal Jangka Menengah Faktor pertama yang perlu mendapat perhatian serius jika akan menyusun KPJM adalah kemampuan atau kapasitas skal daerah dalam jangka menengah. Kapasitas skal tersebut antara lain: yang berkaitan dengan penerimaan/pendapatan daerah, yaitu tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto – PDB); yang berkaitan dengan pengeluaran, yaitu rasio total pengeluaran terhadap PDB; yang berkaitan dengan surplus/desit pembiayaan, yaitu rasio desit anggaran terhadap PDB; dan yang berkaitan dengan saldo utang, yaitu ratio saldo utang terhadap PDB.
2. APBD Jangka Menengah Setelah mengetahui kapasistas skal jangka menengah kemudian disusunlah proyeksi pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah jangka menengah yang konsisten dengan pencapaian sasaran targettarget skal yang meliputi proyeksi pendapatan, proyeksi belanja, dan proyeksi surplus/desit dan pembiayaan daerah. Proyeksi pendapatan disusun berdasarkan jenis pendapatan yang mencakup seluruh pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah dan selain pendapatan asli daerah. Proyeksi belanja daerah sekurang-kurangnya menunjukkan: proyeksi belanja berdasarkan fungsi dan atau bidang strategis, yang memisahkan antara belanja modal dengan belanja operasional; proyeksi program-program pemberdayaan masyarakat; dan proyeksi program investasi yang membutuhkan dana yang relatif besar. Dari hasil proyeksi belanja ini dapat dipagu total belanja daerah yang akan didistribusikan ke masing-masing SKPD. Proyeksi surplus/desit dan pembiayaan dimaksudkan untuk menunjukkan kedisiplinan pemerintah daerah dalam menjamin keberlanjutan skal daerah. Perencanaan yang baik dan terarah atas besaran desit dan pembiayaan akan dapat menciptakan kapasistas keuangan pemda baik pula sehingga pemda dapat melihat ruang bagi pengeluaran di masa yang akan datang.
3. Indikasi Pagu SKPD Berdasarkan proyeksi belanja jangka menengah dapat dilakukan pendistribusian belanja ke masingmasing SKPD untuk mengetahui indikasi pagu belanja jangka menengah setiap SKPD. Proses ini merupakan tahapan yang sangat strategis dalam menentukan kuat tidaknya keterkaitan dan konsistensi antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Berdasarkan indikasi pagu belanja SKPD, maka setiap SKPD menyusun atau menjabarkan rincian pagu tersebut ke dalam masing-masing program dan kegiatan. Yang dimaksud dengan “indikasi pagu” adalah bahwa informasi belanja yang diperlukan untuk membelanjai suatu program atau kegiatan yang tercantum di dalam dokumen rencana dan hanya merupakan indikasi yang akan dibelanjakan dan bersifat tidak kaku.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
63
2.5.5 Metode Penyusunan KPJM Dalam proses penyusunan proyeksi KPJM dapat dilakukan melalui beberapa metode berikut ini: 1. Metode teknis, yaitu meramalkan pengeluaran di masa mendatang atas dasar kebijakan dan program yang dilaksanakan hingga saat ini; 2. Metode ketat (stringent), yaitu proyeksi pengeluaran yang memperhitungkan biaya dari kebijakan/ program yang sudah ada hingga saat ini dan adanya penghematan (saving) dari program yang tidak prioritas; 3. Metode komprehensif, yaitu proyeksi pengeluaran yang dilakukan dengan memasukkan semua kebijakan dan program baru serta biaya yang diperlukan selama jangka menengah. Setiap penyusunan KPJM juga perlu mempertimbangan proyeksi pengeluaran dalam KPJM yaitu: a. Dampak dari kebijakan atau program kegiatan yang dilaksanakan pada tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya; b. Rasionalisasi pengeluaran dalam rangka peningkatan dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan (saving); c. Ruang gerak untuk menampung kebijakan baru. Kriteria yang menyebabkan program dan kegiatan dapat dianggarkan dalam KPJM daerah adalah sebagai berikut: 1. Beban target capaian program sesuai dengan kondisi riil daerah yang mengharuskan mengerjakan program dan kegiatan guna mewujudkan kewajiban daerah; 2. Sifat kegiatan yang berkelanjutan. Beberapa kegiatan SKPD adalah kegiatan pelayanan yang tidak dapat berhenti dalam setiap tahun anggaran. Langkah-langkah penyusunan penganggaran program dan kegiatan melalui KPJM daerah adalah sebagai berikut: a. Langkah 1 : Spesikasi nama dan capaian program; b. Langkah 2 : Identikasi kegiatan; c. Langkah 3 : Spesikasi indikator dan tolok ukur serta target kinerja kegiatan; d. Langkah 4 : Spesikasi tahapan pelaksanaan kegiatan; e. Langkah 5 : Identikasi kebutuhan barang dan jasa pada setiap tahap; f. Langkah 6 : Kalkulasi kebutuhan barang dan jasa dengan harga satuan; g. Langkah 7 : Perhitungan kebutuhan belanja tahun n+1. Secara umum, penyusunan KPJM dapat di lihat pada tabel berikut:
64
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tabel 2.5
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Tahun 2013-2015 Keterangan
Pelaksanaan Anggaran
Penyusunan Anggaran
Prakiraan Maju
2013
2014 (n)
2015 (n+1)
Program Peningkatan Sumber Daya Aparatur Dengan Target Kinerja 200 Orang Pengelola Keuangan Kegiatan Pelatihan Keuangan Daerah Target Kinerja Keluaran Kegiatan Capaian Kinerja Hasil
Rp100 juta
Rp210 juta
Rp115 juta
50 orang
100 orang
50 orang
50 orang (25%)
150 orang (75%)
200 orang (100%)
Sumber: Penulis, 2014
2.5.6 Penerapan Konsep KPJM Dalam Penganggaran Daerah Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), perencanaan merupakan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam konteks otonomi daerah disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Ketiga dokumen perencanaan tersebut pada dasarnya merupakan perencanaan strategis karena di dalamnya memuat masalah-masalah yang bersifat strategis yang segera memerlukan pemecahan sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Permasalahan strategis ditandai dengan beberapa hal (Wahyudi dalam Wasistiono, 2010), yakni: 1. Berorientasi ke masa depan; 2. Berhubungan dengan unit bisnis/pelayanan yang sangat kompleks; 3. Memerlukan perhatian dari manajemen puncak (kepala daerah); 4. Berhubungan dengan visi organisasi (pemerintah darerah); 5. Melibatkan sejumlah alokasi sumberdaya yang besar dari organisasi (pemerintah daerah). Berkaitan dengan kondisi tersebut pemerintah daerah disamping harus berkir strategis, juga memerlukan berbagai informasi yang lengkap dan aktual guna tersusunnya dokumen-dokumen perencanaan tersebut. Khusus untuk perencanaan jangka menengah di dalamnya termuat visi, misi kepala daerah terpilih. Setelah itu, berdasarkan misi yang telah ditetapkan akan disusun strategi untuk pencapaiannya yang berupa program kerja lima tahunan guna mewujudkan misi yang telah dijanjikan. Capaian dari setiap misi yang diharapkan memberikan kontribusi yang besar atas tercapainya visi kepala daerah sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye pemilihan kepala daerah. Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan tersebut informasi dari akuntansi menajemen pemerintahan daerah merupakan hal yang sangat penting, bahkan dibutuhkan sejak tahap awal. Pada tahap perencanaan strategis (penyusunan RPJM dan RKPD) pemerintah daerah membuat alternatifalternatif program yang dapat mendukung strategi organisasi. Program-program tersebut diseleksi kemudian dipilih dan disesuaikan dengan prioritas dan sumber daya yang dimiliki. Akuntansi manajemen pemerintahan berperan memberikan informasi dalam rangka menentukan besaran biaya program, biaya satuan aktivitas, dan evaluasi kinerja periode sebelumnya sehingga pemerintah daerah dapat menentukan anggaran yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Dalam kaitan dengan hal tersebut, KPJM disusun dengan maksud untuk menyelaraskan perumusan kebijakan pengeluaran dengan kemampuan penyediaan dana dan pengeluaran pemerintah yang lebih
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
65
mencerminkan prioritas pemerintah, memelihara kelanjutan skal dan meningkatkan disiplin skal, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran serta mendorong pengalokasian sumber dana agar rasional dan realistis. Tujuan KPJM adalah menjamin konsistensi dan kesinambungan kebijakan, yaitu kebijakan tidak akan berubah, kecuali karena berdasarkan hasil evaluasi dan kebijakan yang telah ditetapkan dijamin pendanaannya. Menurut Nordiawan (2006), pengintegrasian proses penyusunan KPJM ke dalam mekanisme penganggaran tahunan secara garis besar mencakup tahapan sebagai berikut: 1. Tahun pertama dari proyeksi KPJM digunakan sebagai dasar dan proses penyiapan anggaran tahunan berikutnya. Dalam hal ini yang harus dilakukan pertama kali adalah memutakhirkan standar biaya dari estimasi belanja multi tahun yang disiapkan pada tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan anggaran, dan evaluasi pengeluaran. Estimasi tersebut harus memperhitungkan adanya penghematan yang dapat dicapai oleh program atau kegiatan yang berlanjut selama periode perencanaan. Hasil pemutakhiran proyeksi tahunan sebelumnya tersebut merupakan estimasi pengeluaran untuk kebijakan yang sedang berjalan yang menjadi baseline dari rencana pengeluaran pada tahun anggaran yang sedang dipersiapkan. 2. Pagu belanja untuk SKPD. Setelah total belanja daerah untuk tahun anggaran yang sedang dipersiapkan ditetapkan, maka terlihat kesenjangan bagi kebijakan baru. Dengan batasan kendala skal yang ada kemudian SKPD berjuang untuk mendapatkan alokasi anggaran untuk melaksanakan kebijakan dan program yang termuat di dalam renstra SKPD atau kebijakan dan program baru. Setelah masing-masing SKPD mendapatkan pagu kemudian menuangkannya ke dalam program dan kegiatan yang dilaksanakan pada tahun anggaran yang sedang dipersiapkan. Kebijakan dan program yang berlanjut harus terpisah secara jelas dari kebijakan dan program yang baru. Estimasi belanja SKPD dalam jangka menengah, paling tidak harus menunjukkan: a. Tingkat belanja saat ini. Jika dikaitkan dengan belanja program dan kegiatan maka harus diinformasikan belanja program dan kegiatan hingga saat ini. b. Tambahan belanja yang diperlukan untuk menyediakan tingkat dan kualitas layanan yang sama di masa yang akan datang (misalnya menjaga rasio guru dan murid dalam satu kelas pada suatu jenjang pendidikan). c. Tambahan pengeluaran atau saving apabila cakupan dan kualitas pelayanan yang diubah berdasarkan keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. 3. Penyusunan KPJM. Setelah program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang sedang dipersiapkan selesai disusun maka tahap selanjutnya adalah penyusunan KPJM, khususnya prakiraan maju untuk tahun-tahun berikutnya. KPJM/prakiraan maju yang disusun tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran untuk tahun berikutnya. Demikian secara bergulir tahun pertama dari KPJM akan menjadi dasar menyusun anggaran untuk tahun anggaran yang sedang dipersiapkan, dan pada tahun terakhir KPJM ditambahkan proyeksi untuk satu tahun berikutnya.
2.6 Anggaran Berbasis Kinerja 2.6.1 Dasar Hukum Anggaran Berbasis Kinerja Pemda Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada pemerintah daerah didasarkan pada ketentuan hukum sebagai berikut: 1. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
66
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jo Nomor 59 Tahun 2007 jo No 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 4. Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
2.6.2 Konsep Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap SKPD. Menurut (Marc and Jim, 2005) ABK dapat diartikan sebagai prosedur atau mekanisme untuk memperkuat keterkaitan antara dana yang diberikan kepada instansi/lembaga pemerintah dengan outcome (hasil/dampak) dan/atau output (keluaran), melalui pengalokasian anggaran yang didasarkan pada informasi “formal” tentang kinerja. Informasi kinerja “formal” mencakup informasi mengenai ukuran kinerja (performance feature), ukuran biaya untuk masing-masing kelompok output dan outcome, dan penilaian atas efektitas dan esiensi belanja melalui berbagai alat analisis. ABK yang efektif akan mengindentikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan bagaimana, keterkaitan tersebut dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan program secara efektif. Jika terjadi perbedaan antara rencana dengan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan ouput/outcome untuk menentukan efektivitas dan esiensi pelaksana program. Keunggulan ABK menurut Bastian (2006) yaitu: 1. Memungkinkan pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan; 2. Merangsang partisipasi dan memotivasi satuan kerja melalui proses pengusulan dan penilaian anggaran yang bersifat faktual; 3. Membantu fungsi perencanaan dan mempertajam pembuatan keputusan; 4. Memungkinkan alokasi dana secara optimal dengan didasarkan esiensi satuan kerja; 5. Menghindarkan pemborosan.
2.6.3 Tujuan Anggaran Berbasis Kinerja Tujuan Penyusunan ABK adalah untuk meningkatkan esiensi alokasi dan produktivitas dari belanja pemerintah. Sedangkan menurut Vanlandingham, Wellman, Andrews, 2005, tujuan dan manfaat penyusunan anggaran berbasis kinerja sebagai berikut : 1. Meningkatkan akuntabilitas agensi dengan memfasilitasi misi dan pendenisian tujuan, evaluasi kinerja, dan pemanfaatan informasi kinerja dalam perencanaan dan pengambilan keputusan penganggaran (increase agency accountability by facilitating mission and goal denition, performance evaluation, and the use of performance information in planning and budgeting decision-making); 2. Meningkatkan eksibilitas anggaran agensi dengan memfokuskan proses apropriasi legislatif pada keluaran, bukan input (increase agency budget exibility by focusing the legislative appropriation process on outcomes, not input); 3. Menyempurnakan koordinasi, menghilangkan duplikasi program, dan menyajikan informasi yang tepat untuk mengambil keputusan;
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
67
4. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pemerintah, dengan asumsi jika masyarakat lebih tertarik pada hasil dibanding proses; 5. Mengembangkan incentive agensi menjadi lebih esien dan efektif. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya penyusunan ABK pada pemerintah daerah antara lain: 1. Esiensi pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan kerja dan kegiatan terhadap biaya; 2. Mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan; 3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik; 4. Mengubah paradigma dan kinerja lembaga berdasarkan besar dana yang menjadi penilaian berdasarkan pencapaian kinerja yang diukur dengan indikator-indikator substantif yang dihasilkan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan secara esien, efektif, dan ekonomis dan sejalan dengan kebijkan organisasi.
2.6.4 Elemen Anggaran Berbasis Kinerja Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap alokasi biaya yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja Pemerintah Daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya kinerja penyusunan anggaran perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu tentang elemen atau persyaratan penerapan anggaran kinerja, yaitu analisis standar belanja, indikator kinerja, dan standar biaya.
Analisis Standar Belanja Analisis standar belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. ASB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh SKPD dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap usulan anggaran belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai melalui program atau kegiatan. ASB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung dengan cermat karena akan menjadi bahan seleksi atas usulan anggaran setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang melampaui ASB akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang telah ditetapkan. Apabila anggaran program atau kegiatan lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien. Jadi dengan adanya ASB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan atau yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, ASB sudah dapat digunakan untuk mengukur esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD. Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, ASB juga merupakan standar atau pedoman yang bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang direncanakan oleh setiap SKPD. ASB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dalam upaya pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan ASB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapain kinerja program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping itu, dalam rangka menilai usulan anggaran belanja, ASB dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan
68
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kesesuaian antara program atau kegiatan yang direncanakan oleh suatu SKPD dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan. Penerapan ASB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain : (1) mendorong setiap SKPD untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan atau kegiatannya, (2) menghindari adanya belanja yang kurang efektif dalam upaya pencapaian kinerja karena didasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas, (3) mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi, (4) SKPD mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Indikator Kinerja Tolok ukur kinerja atau indikator kinerja merupakan komponen lainnya yang harus dikembangan untuk dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap SKPD. Indikator kinerja/keberhasilan untuk setiap jenis pelayanan pada bidang-bidang kewenangan yang diselenggarakan oleh SKPD ditetapkan dalam bentuk standar pelayanan yang ditetapkan oleh masing-masing daerah. Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan indikator kinerja yang diharapkan dapat dicapai oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangannya. Selanjutnya untuk penilaian kinerja dapat digunakan ukuran penilaian didasarkan pada indikator sebagai berikut : 1. Masukan (Input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besarnya sumber-sumber: dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan/atau kegiatan. 2. Keluaran (Output) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. 3. Hasil (Outcome) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. 4. Manfaat (Benet) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi kinerja masyarakat dan Pemerintah Daerah dari hasil. 5. Dampak (Impact) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.
Standar Biaya Standar biaya merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, selain ASB dan indikator kinerja. Standar biaya adalah harga satuan barang atau jasa yang berlaku di masing-masing daerah. Penetapan standar biaya akan membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau kegiatan bagi daerah yang bersangkutan. Pengembangan standar biaya harus dilakukan secara kontinyu sesuai dengan perubahan harga yang terjadi di masing-masing daerah, minimal sekali setahun.
2.6.5 Faktor Kunci Keberhasilan Anggaran Berbasis Kinerja Keberhasilan penerapan ABK ditentukan oleh beberapa faktor kunci, diantaranya: 1. Suatu Proses Penerapan awal ABK tidaklah langsung sempurna di dalam pelaksanaannya tetapi biasanya dimulai dengan berbagai kelemahan, baik di dalam penentuan standar biaya/harga, indikator kinerja, maupun penetapan ASB. Namun kelemahan yang terjadi tersebut tidaklah harus dipertahankan tetapi senantiasa dilakukan penyempurnaan sesuai kondisi yang dihadapi organisasi dalam hal ini Pemerintah Daerah. Penyempurnaan standar biaya, indikator kinerja, dan ASB harus dilakukan secara terus menerus, minimal sekali setahun.
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
69
2. Menumbuhkan Komitmen Meskipun disadari besarnya manfaat penerapan ABK, namun di dalam implementasinya sering terjadi kelemahan yang terjadi di dalam penyusunan elemen ABK, yaitu standar biaya/harga, indikator kinerja, dan ASB dapat menumbuhkan kemalasan dan apriori di dalam melanjutkan dan menyempurnakan penerapan ABK. Untuk itu, sangat diharapkan komitmen kuat dari setiap anggota organisasi, terutama Gubernur/Bupati/ Walikota dan pimpinan SKPD serta yang terlibat langsung di dalam penyusunan ABK untuk menyempurnakan penyusunan ABK dan evaluasi kinerja kegiatan, program dan oragnisasi. 3. Disesuaikan dengan Organisasi Penyusunan elemen ABK (standar biaya/harga, indikator kinerja, dan ASB) tidak boleh hanya meniru organisasi lain (Pemda atau SKPD lain) tetapi harus disusun sendiri sesuai dengan kondisi organisasi dan kondisi riil yang dihadapi oraganisasi. Ini tidak berarti, bahwa organisasi tidak boleh hanya melihat atau mempelajari keberhasilan dan kegagalan penerapan anggaran kinerja organisasi lain tetapi semua indikator keberhasilan dan kegagalan organisasi serta kondisi organisasi menjadi bahan pertimbangan untuk penyempurnaan penyusunan ABK.
2.6.6 Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Dalam kaitan penyusunan ABK perlu diperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, aktivitas utama dalam penyusunan ABK, peranan legislatif, siklus perencanaan dan penganggaran daerah, struktur APBD, dan penggunaan ASB. Prinsip-prinsip utama dan sifat-sifat yang dikandung dalam teknik Anggaran Kinerja (Mardiasmo, 2002) meliputi : 1. Penekanan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output yang diukur dengan beberapa indikator. Elemen utama value for money, yaitu: a. Ekonomis, yaitu perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga terendah dan atau dalam praktek berarti “meminimalkan penggunaan sumberdaya dalam melaksanakan suatu kegiatan”; b. Esien, yaitu pemanfaatan input minimal untuk mencapai hasil yang maksimal atau prakteknya berarti “melaksanakan sesuatu dengan benar”; c. Efektif, yaitu mencapai tujuan dan sasaran dengan target yang ditetapkan secara maksimal atau prakteknya berarti “melakukan hal yang benar”; 2. Pengutamaan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. 3. Penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran dan indikator yang telah ditetapkan. 4. Penerapan transparansi, akuntabilitas, dan terbukanya ruang bagi partisipasi publik, untuk memastikan bahwa berbagai fungsi dan tanggungjawab pengelola keuangan daerah dijalankan dengan baik dan bahwa setiap keputusan yang menyangkut keuangan daerah benar-benar didasarkan bagi kepentingan seluruh masyarakat. 5. Kegiatan sebagai dasar usulan anggaran yang bersifat bottom-up. Kegiatan diajukan oleh unit teknis atau unit terbawah SKPD yang mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan sesuai tupoksinya serta apa target dan indikator kinerjanya.
70
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6. Pendelegasian wewenang secara berjenjang dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan dengan memberikan perhatian yang cukup bagi keberlanjutan dalam penggunaan sumberdaya bagi setiap kegiatan, hasil-hasil yang diperoleh serta manfaat yang ditimbulkan. Terkait dengan proses penyusunan ABK, maka dilakukan beberapa aktivitas terkait dengan penyusunan anggaran tersebut. Aktivitas utama dalam penyusunan ABK adalah mendapatkan data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses mendapatkan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian tentang berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapakan. Perolehan dan penyajian data kuantitatif juga akan menjelaskan bagaimana manfaat setiap program bagi rencana strategis. Sedangkan proses pengambilan keputusannya melibatkan setiap level dari manajemen pemerintahan. Pemilihan dan prioritas program yang akan dianggarkan tersebut akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja yang diharapkan dapat dicapai. Berkaitan dengan penyusunan ABK untuk setiap program dan kegiatan SKPD, setiap penyusun ABK perlu mengetahui dan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Penentuan program dan kegiatan harus mengacu pada program dan kegiatan yang ada dalam RPJMD dan RKPD. 2. Menentukan indikator dan target kinerja program dan kegiatan. 3. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang plafon anggaran sementara atas kegiatan yang relevan agar penyusunan anggaran kegiatan yang tidak melebihi plafon anggaran. 4. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang analisa standar belanja dari kegiatan yang relevan agar penyusunan anggaran per satuan kegiatan (misalnya anggaran bangunan per m2, anggaran diklat per orang peserta per jam) tidak melebihi analisa standar belanja. 5. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang standar biaya/harga yang berlaku agar penyusunan anggaran harga satuan tidak melebihi standar biaya/harga yang telah ditetapkan. 6. Menyusun anggaran kegiatan dengan ketentuan tidak boleh melebihi analisis standar belanja dan plafon anggaran.
2.7 Latihan 1. Jelaskan pengertian perencanaan! 2. Jelaskan secara singkat pentingnya perencanaan dalam pembangunan daerah! 3. Jelaskan secara singkat tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional! 4. Jelaskan secara singkat prinsip-prinsip perencanaan pembangunan daerah! 5. Jelaskan secara singkat mekanisme perencanaan pembangunan daerah! 6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan indikator kinerja! 7. Jelaskan peran indikator kinerja dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah! 8. Jelaskan secara singkat keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran! 9. Jelaskan tujuan dan manfaat kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM)! 10. Jelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan KPJM! 11. Jelaskan secara singkat konsep anggaran berbasis kinerja! 12. Jelaskan tujuan penerapan anggaran berbasis kinerja!
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
71
BAB III PENDAPATAN DAERAH
72
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Diskripsi : Bab ini menjelaskan konsep dan struktur pendapatan daerah, regulasinya, peranan PAD dengan perekonomian daerah. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah
Strutur Pendapatan, Permendagri, Standar Akuntansi Pemerintahan.
2.
Pendapatan Asli Daerah.
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Lain-lain PAD yang Sah.
3.
Dana Perimbangan
DBH, DBH-Pajak, DBH-SDA, DAU, DAK
4.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Hibah, Dana Darurat, Dana Penyesuaian, Dana Otonomi Khusus.
5.
Latihan
Bahan Bacaan: 1.Nick Devas (1989); 2.Mardiasmo (2007), Perpajakan; 3.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 5.Peraturan Pemerintah Nomor 55/2005 (Dana Perimbangan); 6.Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download pada link: http://www.anggaran. depkeu.go.id; 7.Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download pada link: http://www.djpk.depkeu.go.id/.
3.1 Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah merupakan semua sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, antara lain pajak daerah dan retribusi daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, serta pendanaan dari pemerintah pusat, yang disebut juga sebagai dana transfer, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Struktur Pendapatan Daerah sangat tergantung kepada regulasi yang berlaku. Saat ini terdapat dua versi struktur Pendapatan Daerah, yaitu versi Permendagri 13/2006 dan versi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Tidak ada perbedaan mendasar dari kedua versi ini, kecuali penempatannya sebagaimana terlihat pada tabel. Permendagri 13/2006 saat ini dipakai oleh semua Pemerintah Daerah untuk APBD, sedangkan SAP dipakai untuk realisasi APBD.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
73
Tabel 3.1
Struktur Pendapatan Daerah
Struktur Pendapatan Daerah versi Permendagri 13/2006
Struktur Pendapatan Daerah versi SAP
Pendapatan Asli Daerah (PAD): 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; 4. Lain-lain PAD yang Sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD): 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; 4. Lain-lain PAD yang Sah.
Dana Perimbangan: 1. DBH; 2. DAU; 3. DAK.
Pendapatan Transfer: 1. Transfer Pemerintah Pusat – Dana Perimbangan: DBH; DAU; DAK. 2. Transfer Pemerintah Pusat – Lainnya: Dana Otonomi khusus; Dana Penyesuaian. 3. Transfer Pemerintah Provinsi: Pendapatan Bagi Hasil; Pendapatan Bagi Hasil Lainnya.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah: 1. Hibah; 2. Dana Darurat; 3. Dana Otonomi Khusus; 4. Dana Penyesuaian; 5. Bagi Hasil Pajak Provinsi; 6. Bantuan Keuangan dari Provinsi; 7. Pendapatan lain-lain yang Sah.
Lain-lain Pendapatan yang Sah: 1. Pendapatan Hibah; 2. Pendapatan Dana Darurat; 3. Pendapatan Lainnya.
Pendapatan pemerintah provinsi di tahun 2014 ini secara rata-rata memperlihatkan keseimbangan antara PAD dan Dana Perimbangan (lihat gambar 3.1). Secara umum pemerintah provinsi mengelola sumber-sumber PAD yang potensial terutama dari pajak provinsi. kondisi seperti ini sudah berlangsung cukup lama hingga sekarang (perhatikan juga tabel struktur pendapatan daerah tahun 2008-2010). Gambar 3.1
Struktur Pendapatan Pemerintah Provinsi 2014 60% 50%
48%
50%
40% 30% 20% 10%
2%
0% P PAD
1 Transfer dari Pusat
Lainnya
Sumber: Data DJPK, Ringkasan APBD 2014 diolah.
74
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sangat berbeda dengan Pemerintah Provinsi, pendapatan daerah Kabupaten/Kota di tahun 2014 ini secara rata-rata memperlihatkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Dana Perimbangan (lihat gambar 3.2). Secara umum Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber-sumber PAD yang relatif marginal dibandingkan dengan sumber-sumber PAD provinsi. kondisi seperti ini juga sudah berlangsung lama hingga sekarang (perhatikan juga tabel struktur pendapatan daerah tahun 20082010). Namun di tahun 2014, terdapat peningkatan peranan PAD dari rata-rata 7% di tahun 2008-2010 menjadi sekitar 11% di tahun 2014. Perubahan diduga disebabkan dengan adanya pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke Pemerintah Kabupaten/Kota. Gambar 3.2
Struktur Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota 2014 90%
82%
80% 70% 60% 50% 40% 30% 11%
20%
7%
10%
1%
0% P PAD
Transfer dari Pusat
Transfer dari Prov
Lainnya
Sumber: Data DJPK, Ringkasan APBD 2014 diolah.
Tabel 3.2
Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 Pos Pendapatan
Provinsi
Kabupaten/Kota
Pendapatan Asli Daerah
44%
7%
Dana Transfer dari Pemerintah Pusat
55%
87%
Dana Bagi Hasil (DBH)
22%
17%
Dana Alokasi Umum (DAU)
23%
60%
Dana Alokasi Khusus (DAK)
2%
8%
Dana Otsus dan Penyesuaian
8%
2%
Pendapatan Lainnya
1%
6%
100%
100%
Total Pendapatan Sumber: Data Diolah
3.2 Pendapatan Asli Daerah 3.2.1 Pengertian, Sumber-Sumber dan Dasar Hukum PAD Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber Pendapatan Daerah yang pengelolaannya diserahkan kepada daerah otonom, guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. PAD adalah desentralisasi skal di sisi pendapatan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Besaran PAD sangat penting karena menggambarkan kemandirian daerah di sisi pendapatan.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
75
Dengan jumlah PAD yang semakin besar, diharapkan Pemda memiliki sumber pendapatan yang dapat digunakan lebih banyak untuk meningkatkan investasi/belanja modal pemerintah daerah untuk peningkatan layanan publik. Gambar 3.3
Pendapatan Asli Daerah
Pajak Daerah
Retribusi Daerah Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain PAD yang Sah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas: 1. 2. 3. 4.
pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Secara umum, pajak daerah merupakan sumber PAD yang dominan. Namun bagi pemerintah provinsi, pendapatan dari Pajak Daerah amat sangat dominan, dimana 86% sumber PAD adalah dari Pajak Daerah (lihat Grak). Sementara itu untuk Pemerintah Kabupaten/Kota, Pajak Daerah berkontribusi sebesar 50% dari total PAD (lihat Gambar 3.4). Gambar 3.4
Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Provinsi Tahun 2014 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% PAD
76
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
86%
2%
Hasil Kekayaan Lain-lain PAD yang Dipisahkan 3%
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
9%
Gambar 3.5
Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Kabupaten/Kota Tahun 2014
60% 50%
50% 40%
27%
30% 17%
20% 10%
5%
0% Pajak Daerah Retribusi Daerah
Hasil Kekayaan yang Dipisah Lain-lain PAD
Dasar Hukum PAD Secara berurutan, dasar hukum pemungutan PAD oleh Pemerintah Daerah adalah sbb: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah; 5. Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi daerah.
3.2.2 Pajak Daerah Jenis pajak daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu UU 28 Tahun 2009. Berikut jenis pajak daerah menurut UU: Tabel 3.3
Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Pajak Provinsi
1. 2. 3. 4. 5.
Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; Pajak Rokok.
Pajak Kabupaten/Kota 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Parkir; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; PBB Perdesaan Perkotaan; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
BAB III PENDAPATAN DAERAH
77
3.2.3 Retribusi Daerah Menurut UU 28 Tahun 2009 Tabel 3.4
Retribusi Daerah dan Penggolongannya Jasa Umum
Jasa Usaha
Perizinan Tertentu
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan; 2. Retribusi Persampahan/ Kebersihan; 3. Retribusi KTP dan Akte Capil; 4. Retribusi Pemakaman/ Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 10. Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang; 11. Retribusi Penyedotan Kakus; 12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 13. Retribusi Pelayanan Pendidikan; 14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; 15. Retribusi Pengendalian lalulintas.
1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir/ Pertokoan; 3. Retribusi Tempat Pelelangan; 4. Retribusi Terminal; 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir; 6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa; 7. Retribusi Rumah Potong Hewan; 8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; 10. Retribusi Penyeberangan di Air; 11. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
1. Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 2. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 3. Retribusi Izin Gangguan; 4. Retribusi Izin Trayek; 5. Retribusi Izin Usaha Perikanan; 6. Retribusi Perpanjangan IMTA.
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012.
Khusus untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola pajak dan retribusi tertentu. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap skal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undangundang (Closed-List). Dengan kata lain, Pemerintah Daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tidak tercantum dalam undang-undang ini. 3. Daerah berwenang menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang. 4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang ini. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Berbeda dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya (UU 34 Tahun 2000), UU ini menambah kewenangan daerah sebagai berikut:
78
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Penambahan Jenis Pajak Daerah. Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah yang baru, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. 2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah. Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Perlu dicatat bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012, terdapat penambahan 2 jenis retribusi yaitu Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 32 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. 3. Perluasan Basis Pajak Daerah. Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, termasuk kendaraan pemerintah; b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga. 4. Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah. Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan. 6. Bagi Hasil Pajak Provinsi. Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat. 7. Earmarking. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.
3.2.4 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Kekayaan daerah dapat dikelompokkan kepada kekayaan yang dipisahkan dan kekayaan yang tidak dipisahkan. Kekayaan yang dipisahkan adalah berupa penyertaan modal daerah ke perusahaan swasta, BUMD dan BUMN. Sedangkan kekayaan yang tidak dipisahkan adalah segala jenis aset yang dikuasai dan dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
79
Penyertaan modal daerah ke perusahaan dan kelompok usaha tentunya memungkinkan memberikan pendapatan dividen/bagian laba kepada Pemerintah Daerah. Sehingga jenis pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: 1. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; 3. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
3.2.5 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, adalah pendapatan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2. jasa giro; 3. pendapatan bunga; 4. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; 5. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; 6. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 7. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; 8. pendapatan denda pajak; 9. pendapatan denda retribusi; 10. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; 11. pendapatan dari pengembalian; 12. fasilitas sosial dan fasilitas umum; 13. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; 14. pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
3.2.6 Penetapan Target PAD di APBD Target PAD dapat ditetapkan dengan dua cara: 1. Berdasarkan realisasi PAD sebelumnya (pendapatan histori); 2. Berdasarkan potensi PAD (tidak histori).
80
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tabel 3.5
Kekuatan dan Kelemahan Penetapan Kedua Metode Penetapan Target Kelebihan
Menetapkan Target Berdasarkan Realisasi Sebelumnya (Histori)
Menetapkan Target Berdasarkan Potensi
Lebih sederhana perhitungannya. Target bisa dilakukan dengan cepat dalam bentuk incremental.
Target bisa ditetapkan lebih akurat mendekati potensi.
Kelemahan Target tidak sesuai dengan potensi yang sesungguhnya karena hanya berdasarkan realisasi tahun-tahun sebelumnya. Jika selama ini target telah ditetapkan jauh dibawah potensi, maka realiasi tidak menggmbarkan kinerja yang sesungguhnya. Memerlukan biaya tambahan studi potensi yang komprehensif untuk mengukur potensi. Jika perhitungan potensi menggunakan metode yang salah, target menjadi kurang realistis.
Perhitungan Potensi Perhitungan potensi sangat diperlukan terutama untuk: mengetahui besarnya kapasitas PAD suatu daerah; menetapkan target penerimaan yang lebih akurat; mengukur kinerja administrasi penerimaan daerah secara lebih baik; perencanaan penerimaan daerah yang lebih baik. Perhitungan potensi pendapatan dari suatu pajak ataupun retribusi pada dasarnya adalah merupakan estimasi, karena tidak ada potensi yang pasti. Sementara itu, estimasi pada dasarnya adalah seni dan ilmu untuk memprakirakan masa depan. Estimasi adalah tahap awal, dan hasilnya merupakan basis bagi seluruh tahapan pada perencanaan. Untuk melakukan estimasi secara umum dapat digunakan metode kualitatif ataupun kuantitatif. Estimasi dengan metode kualitatif didasarkan kepada data kualitatif dan mesti dilakukan oleh ahli/ pakar dalam bidangnya dan berpengalaman. Sedangkan estimasi dengan metode kuantitatif dapat dikelompokkan kepada 2 model, yaitu: 1. Metode Kausalitas (Cause Effect Methods atau metode sebab akibat) dengan alat utamanya korelasi dan regresi. 2. Metode Runtut Waktu (Time Series Analysis), metode ini mencoba mengamati suatu variabel dikaitkan dengan unsur waktu. Alat utama tren dan indeks musim. Kedua pendekatan ini saling melengkapi dan dimaksudkan untuk jenis penggunaan yang berbeda. Pendekatan kausalitas (ekspalanatoris) mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat di antara input dengan output dari suatu system. Meskipun demikian metode kuantitatif baru dapat digunakan jika tersedia informasi tentang masa lalu dan informasi tersebut harus dapat dikuantitatiﮖan dalam bentuk data numerik.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
81
Kotak 3.1 Potensi PAD Banyak Tidak Tergarap Padang Lawas, 6 April 2015 METROSIANTAR.com, PALAS – Potensi penghasilan asli daerah (PAD) di Kabupaten Padang Lawas masih banyak yang belum tergarap. Contohnya, untuk PAD dari retribusi jasa Kir kendaraan umum bisa didapatkan, tapi tak tergarap karena alatnya saja belum ada. Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kabupaten Padang Lawas, Ali Irfan Hasibuan dalam perbincangan dengan Metro Tabagsel, kemarin mengatakan, potensi PAD di dinas perhubungan memang banyak. Hanya, untuk saat ini, potensi itu belum tergarap maksimal. Retribusi jasa Kir dikatakannya, hanya salah satunya. Banyak lagi potensi lain yang bisa menjadi pundi-pundi PAD di daerah ini. Bahkan, digambarkannya, timbangan kendaraan saja bisa menghasilkan uang. Belum lagi, jika untuk perencanaan yang lebih besar, ada terminal atau bandar udara. “Makanya, sekarang harus tancap gas. Saya sudah siapkan 16 proposal untuk diajukan ke provinsi dan ke pusat. Kita tidak boleh tak kerja. Soalnya, PAD di Dishub ini didapatkan kalau ada kerja,” terangnya. Itu masih dari sektor perhubungan. Artinya, masih ada juga dari sektor komunikasi dan informatika. Semua itu, menurutnya, harus ditata ulang. Hanya, ia mengaku optimis, jika usulan terus disampaikan ke provinsi atau pusat, bukan tak mungkin harapan itu akan terwujud. Misalnya, bisa saja alat uji petik kendaraan atau uji Kir itu dibuat dari dana provinsi atau pusat. “Makanya, saya pikir, koneksi yang penting dibangun sekarang, baik ke provinsi maupun ke pusat,” tambahnya. Dengan begitu, ia yakin, Dinas Perhubungan akan menjadi dinas penghasil yang akan bisa ikut menyetorkan PAD dalam jumlah besar ke Pemkab Palas. “Makanya, saya minta kabid saya juga bergerak. Masing-masing cari koneksi. Saya berbagi wewenang dengan kabid,” jelasnya. Berapa potensi PAD yang bisa didapatkan? Sayang, hal ini belum tergambar. Sebab, masih kajian dan survei potensi itu. (lay) Sumber: http://www.metrosiantar.com/2015/04/06/184831/potensi-pad-banyak-tidak-tergarap/
3.3 Dana Perimbangan 3.3.1 Konsep dan Peranan Dana Perimbangan di Indonesia Dana Perimbangan adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dana Perimbangan adalah instrumen kebijakan desentralisasi skal yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan skal (vertikal dan horizontal). Dana perimbangan secara keseluruhan dapat dipandang sebagai pengisi kesenjangan skal vertikal. Kesenjangan yang dimaksud disebabkan karena kapasitas skal yang dimiliki oleh seluruh Pemerintah Daerah tidak mencukupi untuk mendanai seluruh kebutuhan belanja Pemda. Kapasitas skal daerah yang sangat rendah terlihat dari kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Sementara itu kebutuhan belanja daerah dapat terlihat secara jelas dengan besarnya tanggungjawab daerah untuk mendanai berbagai urusan. Selain itu dana perimbangan juga ditujukan untuk mengatasi ketimpangan horizontal, yaitu ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah. Daerah mempunyai kapasitas skal yang berbeda satu sama lain karena perbedaan kondisi perekonomian daerah. Selain itu juga terdapat perbedaan kebutuhan skal untuk mendanai layanan yang harus disediakan. Hal ini menimbulkan ketimpangan
82
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
skal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan skal horizontal ini, Pemerintah Pusat harus mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selain DAU adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk bidang yang merupakan prioritas nasional seperti pendidikan dasar, layanan kesehatan dasar, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, sarana prasarana pedesaan, dll. DAK akan menjadi pendapatan daerah, namun harus dibelanjakan untuk kegiatan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Untuk mengatasi ketimpangan skal Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi
Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: 1. dana bagi hasil; 2. dana alokasi umum; 3. dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. bagi hasil pajak; 2. bagi hasil sumber daya alam. Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat diketegorikan sebagai transfer yang bersifat umum karena penggunaannya tidak diatur oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah jenis transfer bersifat spesik yang penggunaannya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan diatur dalam regulasi berikut 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan 3. Berbagai Peraturan Menteri Keuangan terkait dana perimbangan.
3.3.2 Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan pendapatan pemerintah yang dibagihasilkan dengan daerah/ wilayah dimana lokasi pendapatan itu dihasilkan sesuai dengan proporsi tertentu atas dana yang sudah dikumpulkan (proportionality of collection). Pengertian dan denisi dari DBH ini juga mengindikasikan bahwa fokus dari DBH adalah untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Ketimpangan Vertikal disebabkan oleh penguasaan sumber pendapatan oleh pusat jauh melebihi penguasaan sumber pendapatan oleh daerah, sehingga daerah tidak akan dapat membiayai urusannya tanpa adanya transfer/bagi hasil atas pendapaan pusat tersebut. Ketimpangan vertikal juga bisa diartikan sebagai kesenjangan antara potensi sumber pendapatan daerah dengan kebutuhan pendanaan urusan daerah.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
83
Dibandingkan dengan jenis dana transfer lainnya DBH merupakan dana transfer yang relatif penting didalam menjamin tingkat desentralisasi (high degree of decentralization) melalui unconditionality dalam penggunaan dana. Dana transfer DBH umumnya bersifat unconditional (bebas digunakan oleh penerima). Penggunaan DBH yang diatur dan diarahkan juga akan mengaburkan tujuan dari alokasi dana bagi hasil itu sendiri. DBH yang diterapkan selama ini memiliki issue terkait dengan: 1) proporsi bagi hasil, 2) penentuan total penerimaan yang dibagihasilkan, 3) eligibility untuk daerah penerima DBH, dan 4) alokasi periode PNBP (pool revenue) yang dibagihasilkan. Tabel 3.6
Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Jenis DBH dan Peraturan Terkait Papua dan Nanggroe Aceh UU 33 Tahun 2004 Papua Barat Darrussalam Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah Bagi Hasil Pajak PPh Individu 80 20 80 20 80 20 PBB-P3 10 90 10 90 10 90 CHT 1) 98 2 98 2 98 2 Bagi Hasil SDA Minyak Bumi 85 15 30 70 30 70 Gas 70 30 30 70 30 70 Pertambangan Umum 20 80 20 80 20 80 Kehutanan 20 80 20 80 20 80 Perikanan 20 80 20 80 20 80 Geothermal 20 80 20 80 20 80
Catatan: 1) basis daerah adalah provinsi Sumber: Aceh PEER (Worldbank 2006), Undang-Undang Nomor21 Tahun 2001
Tabel 3.6 menggambarkan proporsi bagi hasil untuk pemerintah pusat dan total proporsi bagi hasil untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Khusus bagi hasil pajak PPh Individu dan bagi hasil cukai dan hasil tembakau, yang dimaksud dengan proporsi bagi hasil daerah adalah bagi hasil untuk level pemerintahan provinsi. Proporsi bagi hasil pajak cukup besar untuk pajak-pajak yang selayaknya diklasikasikan sebagai pajak daerah, namun demikian proporsi bagi hasil untuk daerah relatif rendah untuk pajak yang termasuk sebagai pajak pusat. PBB-P2 dan BPHTB dialihkan menjadi dengan UU 28/2009. pajak daerah dalam perkembangannya merupakan proses panjang yang dimulai melalui mekanisme bagi hasil terutama dengan proporsi bagi hasil PBB dan BPHTB yang memang sudah besar untuk daerah. Untuk bagi hasil sumber daya alam (SDA), proporsi bagi hasil juga terkait dengan pengelolaan sumber daya alam terkait oleh daerah. Penetapan provinsi Papua, Papua Barat, dan provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagai wilayah yang memperoleh otonomi yang diperluas (otonomi khusus), berimplikasi pada penetapan bagi hasil SDA untuk minyak bumi dan gas yang lebih besar untuk daerah. Dasar pelaksanaan DBH Pajak tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 tentang Dana Perimbangan. Selanjutnya untuk pelaksanaan DBH Cukai Hasil tembakau merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 dan amanat MK 54/PUU-VI/2008. Sebagai pedoman mekanisme Penyaluran Dana Transfer pada umumnya dan DBH pajak khususnya telah diterbitkan PMK No. 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer dan PMK No 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah.
84
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3.3.3 Dana Alokasi Umum (DAU) Konsep DAU Dana Alokasi Umum (DAU) diberbagai Negara disebut General Purpose Grants adalah salah satu jenis transfer yang menjadi pendapatan umum bagi penerimanya. Jenis transfer ini juga disebut unconditional grant dimana grant yang diberikan tidak dikaitkan dengan persyaratan apapun oleh sipemberi. Unconditional grant bukanlah satu-satunya bentuk transfer antar pemerintahan. Terdapat berbagai jenis transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah yang dipraktekkan di dunia antara lain seperti grant untuk bidang tertentu (specic grant), matching grant, grant untuk menutupi desit (decit grant) dan kondisi tak terduga (emergency grant), dll. Unconditional grant yang penggunaannya bebas adalah bentuk transfer dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi skal yang memberikan keleluasaan kepada daerah penerima untuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas daerah (local priorities). Dengan kata lain, tujuan pemberian grant ini adalah untuk mendukung ketersediaan dana bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi yang telah didesentralisasikan. Tujuan pemberian grant ini sangat berbeda dengan tujuan berbagai jenis specic grants yang biasanya diberikan kepada daerah untuk pencapaian tujuan nasional (national priorities) tertentu yang pelaksanaan tugasnya sudah menjadi tanggungjawab daerah. Dengan sifatnya yang bebas digunakan, unconditional grant pada umumnya juga digunakan sebagai instrumen utama pemerataan kemampuan skal antar daerah. Sehingga jenis tranfer ini juga dinamai equalization grant (grant pemerataan). Program pemerataan kemampuan skal dipraktekkan oleh banyak negara di dunia, baik negara federasi maupun negara kesatuan. Program ini dapat dianggap sebagai upaya untuk menempatkan daerah-daerah pada posisi skal yang sama untuk menjalan tugasnya. Program pemerataan skal dilakukan dengan berbagai cara didasarkan kepada prinsip tertentu dan sasaran yang ingin dicapat oleh negara tersebut. Di Kanada, sebagai contoh, sasarannya adalah untuk memberdayakan setiap provinsinya dapat menyediakan pelayanan publik pada tingkat yang relatif sama kepada seluruh penduduknya dengan pengenaan tingkat pajak yang relatif sama pula. Demikian juga halnya dengan Australia dimana sasaran yang dideklarasikan adalah untuk mengoreksi ketidakmerataan skal horizontal (ketidak merataan antar negara bagian) untuk menyediakan pelayanan dengan standar nasional tertentu kepada penduduknya Meskipun beberapa negara memiliki sasaran yang hampir sama untuk program pemerataan skalnya, namun penerapannya bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Australia dan Kanada memiliki sasaran pemerataan skal yang sama, namun metode yang digunakan dalam mengalokasikan dana sangat berbeda. Sistem di Kanada hanya mengupayakan pemerataan kapasitas skal tanpa mempertimbangkan kebutuhan skal dari provinsi-provinsinya. Sedangkan sistem pemerataan skal di Australia mengakomodasi keduanyanya (kapasitas skal dan kebutuhan skal). Sistem Pemerataan Fiskal di Australia dikenal sebagai salah satu sistem yang paling komprehensif di dunia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa program pemerataan skal dirancang untuk membantu daerah yang rendah pendapatannya dan/atau tinggi biaya penyediaan pelayanannya dengan pengorbanan daerah yang tinggi pendapatannya dan/atau rendah biaya pelayanannya (Walsh & Thomson, 1994). Meskipun demikian, tidak akan pernah ada sistem pemerataan skal yang sempurna. Yang terjadi pada prakteknya adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan skal diantara daerah yang se-level sampai ke tingkat yang dapat diterima (acceptable level).
BAB III PENDAPATAN DAERAH
85
Dalam praktek di berbagai negara, ada dua cara untuk mengalokasikan equalisation transfer ke daerah yaitu dengan formula dan tanpa formula. Bagaimanapun juga pengalokasian dengan formula memiliki banyak kelebihan. Diantaranya yang paling peting sebagaimana yang dijelaskan Ma(1997) adalah terhindarinya upaya untuk melakukan lobi oleh Pemerintah daerah. Dengan penggunaan formula diharapkan terjadinya sistem alokasi yang adil dan transparan. Pengunaan formula sudah dilakukan oleh banyak negara maju seperti Australia, Inggris, Kanada, Jerman, Swiss dan Jepang. Namun, formula memerlukan ketersediaan data yang dapat diandalkan untuk memperkirakan kebutuhan belanja dan kapasitas skal daerah. Sistem grant pemerataan di Inggris, misalnya, menggunakan sekitar 30 variabel dalam tujuh kategori belanja pemerintah daerah untuk mengestimasi kebutuhan belanjanya6. Commonwealth Grant Commission (CGC) di Australia, sebagai contoh, menggunakan sekitar 11 kategori belanja dengan 5 variabel pada setiap kategori untuk mengukur kebutuhan skal negara bagiannya7. Perhitungan yang sangat komprehensif di Australia dan di Inggris adalah hasil dari pengembangan sistem dalam beberapa dekade. Sumber dana dari equalization transfer biasanya ada dua macam. Pertama dari penerimaan pemerintah pusat dan kedua dari kumpulan dana tertentu di level negara bagian/provinsi/daerah. Di beberapa negara seperti Inggris, Jepang dan Korea, sumber dana equalisation transfer adalah penerimaan pemerintah pusatnya. Namun di Jerman, sumber transfer adalah kumpulan dari penerimaan negara bagian yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembayaran pemerataan antar negara bagian (Ma, 1997 & Spahn, 1997). Lotz (1997, p.200) menyebut model jerman sebagai model Robin-Hood dimana sumber daya diambil dari wilayah yang kaya dan diberikan ke wilayah miskin tanpa adanya dana dari Pemerintah Pusat. Dalam menentuan jumlah dana yang ditransfer untuk pemerataan, beragam cara dipraktekkan di dunia. Di beberapa negara jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat. Namun di negara tertentu, jumlah yang di transfer sepenuhnya merupakan kewenangan dari pemerintah pusat untuk menentukannya. Yang menjadi perhatian disini adalah adalah keandalan (reliability) dan prediktabilitas dari dana. Apabila jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat, maka reliable dan predictable dari jumlah dana akan mengikuti kondisi penerimaan negara. Namun jika jumlah yang ditransfer ditentukan oleh pemerintah pusat, akan ada ketidakpastian dalam hal jumlah yang akan ditransfer. Indonesia sejak tahun 2001 telah mendistribusikan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan sasaran untuk memeratakan kemampuan skal antar daerah, sebagaimana tertulis pada pasal 1 ayat 18 UU 25/1999 dan juga pasal 1 ayat 21 UU 33/2004 sebagai berikut: Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi ketimpangan skal horizontal (horizontal scal imbalance). Itu berarti DAU juga disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah. Daerah yang “miskin” (kemampuan keuangan yang rendah) akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang “kaya” (kemampuan keuangan yang tinggi).
6 Lihat Devas (1994), Davey (1989), and Ma (1997). 7 Lihat Commonwealth Grant Commission (2002).
86
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sebagai general purpose grant, keberadaan DAU dilandasi oleh prinsip cathegorical equity (keadilan kategori) menyatakan bahwa seluruh warga negara dimanapun berada berhak mendapatkan pelayanan dasar (seperti pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, infrastruktur daerah, dll) pada standar minimum tertentu. Oleh karena pelayanan dasar adalah merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah, maka Pemda yang “miskin” harus diberi bantuan dana agar dapat menyediakan pelayanan dasar dengan standar minimum tersebut. Artinya pengalokasian DAU yang optimal adalah dapat memeratakan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai penyediaan pelayanan dasar tertentu pada standar minimum nasional.
Formula DAU (Alokasi Dasar dan Fiscal Gap) Dasar hukum Dana Alokasi Umum: 1. UUD 1945 Pasal 18A ayat (2): Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang. 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Bab V Pasal 22 Ayat (1): Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. DAU adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dari denisi yang diberikan UU 33/2004, jelas bahwa DAU merupakan instrumen transfer yang ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan skal antar daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurangkurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU adalah bagian 10% untuk Provinsi dan bagian 90 persen untuk Kabupaten/Kota. Pengalokasian DAU didasarkan atas formula dengan konsep Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal. 1. Variabel DAU Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Variabel kebutuhan skal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayahdarat dan perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Variabel kapasitas skal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH Pajak dan DBH SDA. 2. Formula DAU dalam Kerangka Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini: DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) Alokasi Dasar ≈ Belanja Gaji PNSD Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal (KbF) – Kapasitas Fiskal (KpF)
BAB III PENDAPATAN DAERAH
87
a. Kebutuhan Fiskal (KbF): Rumusan tentang kebutuhan skal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut: KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5IPDRB/kap) Dimana: TBR = Total Belanja Rata-rata APBD; IP = Indeks Jumlah Penduduk; IW = Indeks Luas Wilayah; IPM = Indeks Pembangunan Manusia; IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi; IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita; α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variabel; α1 + α2 + α3 + α4 + α5 = 100%. b. Kapasitas (KpF): KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA DBH Pajak = PBB + BPHTB + PPh + CHT Keterangan: PAD: Pendapatan Asli Daerah; DBH: Dana Bagi Hasil; PBB: Pajak Bumi dan Bangunan; BPHTB: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; PPh: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29, PPh WPOPDN; CHT: Cukai Hasil Tembakau; SDA: Sumber Daya Alam 3. Data Perhitungan DAU a. Alokasi Dasar (AD). Dalam penghitungan besaran DAU, alokasi dasar dihitung berdasarkan Belanja Pegawai PNS Daerah dengan memperhatikan kebijakan perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan ke-13 dan mempertimbangkan formasi CPNSD. Gaji PNSD terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, dan Tunjangan Beras. b. Kebutuhan Fiskal. Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut dengan:
jumlah penduduk; luas wilayah; Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK); Indeks Pembangunan Manusia (IPM); Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita.
c. Kapasitas Fiskal. Kapasitas skal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
88
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Bagi Hasil Pajak; Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. d. Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU. Tabel 3.7 Daftar Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU No 1.
2.
3.
Keterangan Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal
Kapasitas Fiskal
Jenis
Waktu
Penyedia Data
Gaji PNSD
T- 1/2
Daerah dan Kemenkeu
Formasi PNSD
T -1/2
Menpan/BKN
Penduduk
T -1
BPS
Luas Wilayah
T- 1
Kemendagri/ Bakorsutanal
IKK
T -1
BPS
IPM
T -2
BPS
PDRB Per Kapita
T–2
BPS
Total Belanja Rata-rata
T-2
Daerah dan Kemenkeu
PAD
T -2
Daerah dan Kemenkeu
DBH Pajak
T- 2
Kemkeu
DBH SDA
T-2
Kemkeu
e. Bobot untuk masing-masing variabel: Bobot masing-masing variabel untuk provinsi dan kabupaten/kota, tidak ditetapkan dalam UU ataupun PP, melainkan ditentukan kemudian sebagai bagian dari upaya untuk mengoptimalkan pemerataan skal antar daerah. Sebagai contoh, bobot variabel pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: Tabel 3.8 Contoh Bobot Variabel No
Jenis Indeks
Bobot Provinsi
Kabupaten/ Kota
1.
Indeks Jumlah Penduduk (IP)
30,0%
30,0%
2.
Indeks Luas Wilayah (IW)
15,0%
13,5%
3.
Luas Perairan
30,0%
35,0%
4.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
30,0%
30,0%
5.
Indeks PDRB per Kapita
15,0%
16,5%
6.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
10,0%
10,0%
3.3.4 Dana Alokasi Khusus DAK (Dana Alokasi Khusus) adalah salah satu jenis dana transfer (grant) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah di Indonesia. Secara umum terdapat dua jenis grant dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, yaitu: 1. General Purpose Grant (Grant Bersifat Umum); 2. Specic Grant (Grant Bersifat Khusus).
BAB III PENDAPATAN DAERAH
89
Grant bersifat umum (general purpose grant) atau bantuan tanpa syarat (unconditional grant) yang di Indonesia disebut Dana Alokasi Umum (DAU) adalah jenis bantuan yang bebas digunakan oleh si penerima. Tidak ada arahan terhadap penggunaan dana tersebut dan umumnya ditujukan untuk pemerataan kemampuan skal antar daerah. Sementara itu Specic Grant sesuai namanya merupakan grant bersifat khusus atau bantuan bersyarat (conditional grant). Grant spesik biasanya ditujukan untuk membiayai bidang tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah otonom, namun Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pemberi. Specic grant sangat beragam jenisnya dengan berbagai tujuan yang dirancang oleh si pemberi, diantaranya: 1. Untuk mencapai tujuan nasional tertentu, namun fungsi dan kewenangannya urusannya telah didesentralisasikan ke daerah otonom; 2. Untuk mempengaruhi pola belanja daerah penerima; 3. Untuk mengakomodasi spillover benet (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tetangga). Bantuan spesik dapat digunakan oleh pemberi (pemerintah pusat) untuk tujuan dan prioritas nasional, misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah. Karena pusat tidak dapat mendikte daerah untuk penggunaan dana bantuan umum, maka pusat dapat melakukannya dengan menyediakan bantuan spesik. Bantuan spesik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah. Dengan penggunaannya yang spesik dan mensyaratkan dana pendamping dari sumber pendapatan daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus dibelanjakan oleh daerah untuk bidang yang diinginkan pusat. Lebih spesik lagi, bantuan dapat disediakan oleh si pemberi untuk mengakomodasi beban pembiayaan bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang menyediakan pelayanan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesik tentunya juga dapat disediakan oleh pusat untuk mengakomodasi kekhususan daerah, yang terkait dengan ketidakmampuan daerah tersebut untuk membiayai pelayanan khusus. Berbagai jenis specic grant (bantuan khusus) dipraktek didunia, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5.
Grant untuk program/kegiatan/pelayanan tertentu (specic grant); Grant yang mengharuskan dana pendamping dari penerima (matching grant); Grant untuk menutupi desit (decit grant); Grant untuk membantu daerah menghadapi situasi darurat/emergensi (emergency grant); Grant untuk belanja modal (capital grant).
Kemudian dari sisi penentuan jumlah bantuan spesik yang akan ditransfer ke daerah, dapat pula dikelompokkan pada dua jenis (lihat Bergvall, et al, 2006): 1. Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan dari awal dan realisasinya sama dengan pagu anggaran); 2. Open-ended grant (jumlah jumlah akhir dari grant ditentukan oleh realisasi belanja daerah dan biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah). Dengan variasi yang demikian, pemerintah dapat memilih jenis bantuan khusus sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Untuk tujuan mencapai standar pelayanan minimum nasional di seluruh daerah, jenis bantuan yang paling direkomendasi adalah bantuan khusus tanpa dana pendamping, yang diikuti dengan spesikasi penggunaan dana bagi standar pelayanan minimum. Untuk tujuan mengakomodasi spillover benet (pelayanan yang disediakan suatu daerah yang juga dimanfaatkan penduduk daerah lain) direkomendasikan jenis bantuan khusus dengan dana pendamping (matching grant), dengan tingkat dana pendamping yang bervariasi. Bagi daerah yang tingkat spillover benet nya tinggi, dana pendamping tentunya lebih rendah. Sedangkan untuk tujuan mempengaruhi pola
90
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
belanja daerah di bidang yang merupakan prioritas nasional disarankan untuk menggunakan openended matching grant (bantuan khusus dengan dana pendamping dengan jumlah akhir yang dapat saja lebih kecil ataupun lebih besar dari pagunya). Open-ended grant mengisyaratkan bahwa jumlah bantuan yang diterima oleh setiap daerah ditentukan oleh realisasinya untuk bidang yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu. Dana Alokasi Khusus (DAK) di Indonesia diatur oleh UU 33/2004 dan PP 55/2005. Namun demikian pengaturan yang sama juga ada di UU 32/2004. Dari peraturan tersebut DAK di Indonesia dapat dikatakan sebagai specic matching grant, yaitu bantuan yang bersifat khusus dengan mensyaratkan dana pendamping. Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak ditentukan apakah DAK ini merupakan close-ended grant atau open-ended grant. Dalam prakteknya selama ini DAK merupakan close-ended grant dalam arti jumlah yang akan diterima oleh daerah untuk satu tahun anggaran sudah ditentukan dari awal tahun anggaran. Seterusnya apabila daerah tidak bisa menggunakan DAK sebagaimana ketentuan teknisnya, sisa DAK diakhir tahun anggaran akan menjadi SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) dan dapat digunakan untuk tujuan yang sama pada tahun anggaran berikutnya. Dengan itu dapat dipahami bahwa DAK di Indonesia tidak mencakup berbagai jenis specic grant lainnya seperti bantuan khusus tanpa dana pendamping, bantuan desit, bantuan emergensi, dll. Apa sesungguhnya tujuan DAK di Indonesia? Tujuan DAK menurut UU 32/2004 dan UU 33/2004 adalah untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Seterusnya dijelaskan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan (kriteria umum, kriteria teknis dan kriteria khusus). Dengan demikian tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Sebagai tambahan dari regulasi tersebut, DAK juga diatur oleh PP 55/2005 tentang dana perimbangan yang membatasi DAK hanya untuk kegiatan yang bersifat sik, sebagaimana tertulis pada pasal 60 ayat 3 yang berbunyi sbb: DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan sik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas. Pembatasan DAK lebih lanjut di PP 55/2005 mengakibatkan tidak adanya DAK untuk kegiatan yang bersifat non-sik. Terdapat tiga kriteria yang akan menentukan daerah penerima serta jumlah DAK yang akan diterima daerah, yaitu: 1. Kriteria Umum. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional mendapatkan alokasi DAK. 2. Kriteria Khusus a. Ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yaitu otonomi khusus NAD dan Papua; b. Karakteristik wilayah: daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara-negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk ketegori ketahanan pangan; c. Hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR menambah karakteristik wilayah yaitu: daerah rawan banjir/lonsor, daerah penampung dan penerima pengungsi, daerah penerima transmigrasi, daerah pasca konik, daerah rawan pangan/kekeringan dan daerah yang memiliki pulau terluar.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
91
3. Kriteria Teknis. Ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis, yang dicerminkan dengan indikatorindikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana/prasarana pada masingmasing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK, antara lain: Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan PMK 06/PMK.07/2012, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap I : disalurkan sebesar 30% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling cepat pada bulan Februari setelah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) menerima Perda APBD tahun anggaran berjalan, laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan realisasi penyerapan DAK tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan dana pendamping; 2. Tahap II : disalurkan sebesar 45% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap I tahun anggaran berjalan yang secara kumulatif telah mencapai 90%; 3. Tahap III : disalurkan sebesar 25% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap II tahun anggaran berjalan.
3.3.5 Berbagai Isu dan Permasalahan Dana Perimbangan Berikut berbagai permasalahan dana perimbangan yang teridentikasi dari berbagai studi sebelumnya. Permasalahan DAU: Persoalan utama, yang sampai sekarang selalu menjadi perdebatan adalah terkait formula DAU sejak tahun 2001, adalah menghitung kebutuhan skal untuk penyediaan pelayanan dasar pada standar minimal nasional tersebut. Ketidaktersediaan data mengakibatkan kebutuhan skal diukur (diproksikan) dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, serta Indeks Pembangunan Manusia; Sedangkan Kapasitas skal daerah dihitung dengan menjumlah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH; Formula DAU terdistorsi dengan adanya variabel Alokasi Dasar (AD) yang dihitung berdasarkan kebutuhan belanja pegawai daerah (UU 33/2004). Formula DAU tidak menjadi lebih baik dari formula DAU yang diatur oleh UU 25/1999. Dengan adanya Alokasi Dasar, berakibat daerah yang besar jumlah pegawainya diberi insentif dengan DAU, sehingga mendorong daerah untuk semakin banyak mengusulkan pengangkatan pegawai; Formula DAU mendorong terjadinya pemekaran karena adanya insentif pada variable perhintungan kebutuhan skal seperti variabel IPM, PDRB Per kapita dan IKK yang tidak terbagi seperti variabel jumlah penduduk dan luar wilayah. Sehingga ketika sebuah daerah baru telah dihitung daerah otonom lainnya, daerah tersebut mengambil porsi DAU seluruh daerah; Berbagai kritik juga muncul terhadap formula DAU ini, seperti one size ts all formula, penggunaan Indeks Williamson yang sangat rumit, kurangnya transparansi karena berubahubahnya bobot variabel, penggunaan PAD dalam penghitungan kapasitas skal yang dinilai men-discourage daerah untuk meningkatkan PAD, dan berbagai kritik lainnya; Telah banyak pula telaah yang dilakukan oleh ahli baik dari dalam maupun luar negeri mengenai kemungkinan penerapan formula DAU yang baru yang lebih sederhana namun juga lebih akuntabel. Meskipun demikian, dari berbagai telaah yang ada, nampaknya belum secara komprehensif dan dalam mengulas kelebihan maupun kelemahan dari setiap alternatif, serta alternatif strategi untuk mengurangi risiko perubahan yang akan terjadi. Beberapa hasil penelitian juga menjelaskan problematika DAK, antara lain: Jumlah DAK yang relatif sedikit dengan bidang DAK yang sangat banyak mengakibatkan DAK sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan urusan daerah yang menjadi prioritas nasional;
92
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Petunjuk teknis yang terlalu rinci mengakibatkan daerah sama sekali tidak punya diskresi untuk menyesuaikan DAK dengan kondisi daerah; Petunjuk teknis yang sering terlambat dikeluarkan oleh kementerian teknis berakibat DAK terlambat dilaksanakan karena harus menunggu perubahan APBD; Secara umum, formula penetapan alokasi DAK yang relatif kompleks menyebabkan hampir tidak ada pengambil kebijakan di tingkat daerah yang mengetahui secara jelas bagaimana teknis perhitungan alokasi DAK. Pemerintah daerah umumnya hanya melakukan evaluasi jumlah alokasi DAK yang diterimanya dengan membanding DAK yang diterima oleh pemerintah daerah di sekitarnya (neighboring municipalities); Perencanaan program daerah selama ini mengasumsikan DAK sebagai salah satu sumber penerimaan yang stabil, walaupun jumlah DAK yang akan diterima oleh daerah, relatif kurang dapat diprediksi dibandingkan dengan jenis transfer lainnya, seperti DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH). Namun di level daerah ditemukan bahwa kegiatan yang mendapat pembiayaan DAK umumnya tidak mendapatkan tambahan anggaran (kecuali untuk dana pendamping) dari sumber lainnya di daerah, seperti dari PAD; Permasalahan pembiayaan kegiatan DAK umumnya tidak pada terjadinya tumpang tindih program yang dibiayai dengan DAK, tetapi lebih pada target dan cakupan program daerah yang kurang optimal. Besaran DAK yang diterima antar bidang umumnya sangat beragam, dan relatif belum ada kesinambungan dengan program prioritas perencanaan daerah. Beberapa problematika terkait DBH, antara lain: Jumlah DBH yang beruktuasi, khususnya DBH SDA, yang diakibatkan oleh harga internasional yang beruktuasi berakibat ketidakpastian pendapatan daerah; DBH yang dihitung berdasarkan realisasi berakibat penyaluran DBH yang terakhir dilakukan di tahun anggaran berikutnya dan menjadi SiLPA daerah penerima. Penyaluran DBH berpotensi mengakibatkan penumpukan SiLPA daerah; DBH menimbulkan ketimpangan skal antar daerah. Daerah yang memiliki SDA memiliki pendapatan DBH SDA yang sangat besar. Demikian juga daerah yang aktivitas perekonomiannya besar seperti kota-kota metropolitan dan provinsi besar mendapatkan DBH pajak yang sangat besar. Sedangkan daerah yang tidak memiliki SDA dan kabupaten yang dominan daerah perdesaan menjadi sangat tergantung kepada PAD.
3.4 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1. hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2. dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; 3. dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4. dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; 5. bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
3.4.1 Dana Otonomi Khusus Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan undang-undang otonomi khusus. Ada dua undang-
BAB III PENDAPATAN DAERAH
93
undang yang mengatur Otonomi Khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (jo) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otonomi khusus merupakan dana yang khusus diberikan untuk percepatan pembangunan di daerah. Alokasi Dana Otsus untuk Papua ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari plafon DAU Nasional pertahunnya dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dari Alokasi tersebut, ditetapkan bahwa Provinsi Papua mendapatkan proporsi 70% (tujuh puluh persen) dan sisanya untuk Provinsi Papua Barat. Selain dana Otsus, kepada Provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Infrastruktur yang besarnya disesuaikan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Dana Otsus untuk Provinsi Aceh adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 % (dua persen) plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 % (satu persen) plafon DAU Nasional. Sedangkan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi besarnya sama dengan untuk provinsi Papua dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Penyaluran Dana Otsus tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh serta Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan sekaligus, yaitu: Tahap I : 30 % dari alokasi (Maret); Tahap II : 45 % dari alokasi (Juli); Tahap III : 25 % dari alokasi (Oktober).
3.4.2 Dana Penyesuaian Dana Penyesuaian, adalah dana transfer yang bersifat adhoc. Pada dasarnya dana penyesuaian ini bertujuan untuk menampung program-program tertentu yang tidak tertampung dalam denisi dana perimbangan, terutama tidak tertampung dalam denisi DAK di Indonesia. Berbagai program prioritas Pemerintah yang menjadi tugas pemerintah daerah dan menimbulkan beban keuangan di daerah namun tidak tertampung dalam dana perimbangan, dimunculkan dalam bentuk dana penyesuaian. Sebagai contoh adalah dana penyesuaian dialokasikan untuk tambahan tunjangan kependidikan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), muncul karena adanya UU Guru dan Dosen yang mengharuskan Pemerintah untuk menyediakan tambahan dana untuk membayar guru yang sudah disertikasi. Demikian juga Dana BOS yang muncul sebagai kebijakan untuk memberikan bantuan operasional ke sekolah dasar, namun harus disalurkan sebagai bagian dari Dana Transfer ke daerah mengingat sekolah dasar adalah merupakan urusan Pemda. Berikut contoh berbagai jenis Dana Penyesuaian di APBN dan APBNP 2010
94
Data Tambahan tunjangan guru PNSD; Dana Insentif Daerah; Kurang Bayar DAK 2008; Kurang Bayar Dana Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP);
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah; Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah; Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan. Sedangkan Dana Penyesuaian pada tahun 2011 di APBN dan APBNP adalah:
Data Tambahan penghasilan guru PNSD; Dana Insentif Daerah; Tunjangan Profesi Guru; Bantuan Operasional Sekolah; Dana Penyesuaian Infrsatruktur Daerah (DPID); Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat Tahun 2008.
Dana Penyesuaian untuk tahun 2013:
Data Tambahan penghasilan guru PNSD; Dana Insentif Daerah; Tunjangan Profesi Guru; Bantuan Operasional Sekolah; Dana Penyesuaian lainnya.
3.4.3 Dana Desa Dana Desa yang dimaksud disini adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan untuk Desa melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Pada UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang dimaksud dengan Dana Desa ini adalah pendapatan desa yang berasal dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pasal 72 ayat 1 poin b). Pendapatan Desa menurut Pasal 72 UU No 6 Tahun 2014 adalah sbb: 1. pendapatan asli Desa, terdiri atas: a. b. c. d. e.
hasil usaha; hasil aset; swadaya dan partisipasi; gotong royong; lain-lain pendapatan asli Desa.
2. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 3. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 4. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/ Kota; 5. bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; 6. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; 7. lain-lain pendapatan Desa yang sah. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dana Desa adalah pendapatan yang diteruskan ke Desa. Terdapat dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di APBN sampai ke Desa melalui Pemerintah Kabupaten. Tahap pertama, Kementerian Keuangan menghitung besaran Dana Desa untuk masingmasing Kabupaten/Kota. Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung besaran Dana Desa untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Kedua hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2014. Bagaimana formulasi untuk tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar berikut.
BAB III PENDAPATAN DAERAH
95
Tabel 3.9
Alur Pengalokasian Dana Desa ALUR PENGALOKASIAN DANA DESA
APBN
APBD
APBDesa
Menteri Keuangan
Bupati/Walikota
ALOKASI PER KAB/KOTA
ALOKASI PER DESA
Jumlah Desa
30% X Jumlah Penduduk Desa
30% X Jumlah Penduduk
50% x JUmlah Penduduk Miskin Desa
50% X Jumlah Penduduk Miskin
20% X Luas Wilayah Desa
20% X Luas Wilayah
Indek Kesulitan Geogras (IKG)
Indek Kemahalan Konstruksi (IKK)
Alokasi DD per Kab/Kota = Jumlah Desa x Rata-rata DD per Provinsi
Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa Gambar 3.6
Hubungan Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota Terkait Dana Desa
Belanja Negara • Belanja Pemerintah Pusat • Belanja K/L • Belanja Non K/L • Transfer ke Daerah dan Dana Desa • Transfer ke Daerah • Dana Perimbanagan • Dana Otonomi Khusus • Dana Keistimewaan DIY • Dana Transfer lainnya • Dana Desa • Suspen
96
Pendapatan Kabupaten/Kota
Belanja Kabupaten/Kota
• Pendapatan asli Daerah • Pajak Daerah • Retribusi Daerah 10% • Hasil PKYD • LL PAD yang sah • Dana Perimbangan • Dana Bagi Hasil • Dana Alokasi Umum 10% • Dana Alokasi Khusus • Lain-lain pendapatan yang sah • Hibah • Dana Otsus • Dana Transfer Lainnya 100% • Dana Desa • Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
• Belanja Tidak Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Bunga • Belanja Subsidi • Belanja Hibah • Belanja Bantuan Sosial • Belanja Bagi Hasil ke Desa • Belanja Bantuan Keuangan ke Desa • Alokasi Dana Desa • Dana Desa • Belanja Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Modal
}
}
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 3.7
Hubungan Keuangan Kabupaten/Kota dan Desa
Pendapatan Kabupaten/Kota
Belanja Kabupaten/Kota
• Pendapatan asli Daerah • Pajak Daerah • Retribusi Daerah 10% • Hasil PKYD • LL PAD yang sah • Dana Perimbangan • Dana Bagi Hasil • Dana Alokasi Umum 10% • Dana Alokasi Khusus • Lain-lain pendapatan yang sah • Hibah • Dana Otsus • Dana Transfer Lainnya 100% • Dana Desa • Bantuan Keuangan Provinsi • Bagi Hasil Pajak Provinsi
• Belanja Tidak Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Bunga • Belanja Subsidi • Belanja Hibah • Belanja Bantuan Sosial • Belanja Bagi Hasil ke Desa • Belanja Bantuan Keuangan ke Desa • Alokasi Dana Desa • Dana Desa • Belanja Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Modal
}
}
Pendapatan Desa • Pendapatan Asli Desa • Hasil Usaha Desa, • Hasil Pengelolaan Aset Desa, • Swadaya dan partisipasi, • Gotong Royong, • Lain-lain Pendapatan asli Desa • Alokasi APBN {Dana Desa} • Bagi Hasil PAD kabupaten/Kota • Alokasi Dana Desa {ADD} • Bantuan keuangan dari provinsi • Hibah
3.4.4 Bagi Hasil Pajak Provinsi Sebagaimana diamanatkan oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satu sumber pendanaan Pemerintahan Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lebih lanjut, pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah tersebut diatur dengan Undang-undang tersendiri, yang saat ini adalah UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU 28/2009 tersebut, pendapatan pajak provinsi yang harus dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.10 Pendapatan Pajak Provinsi yang Dibagihasilkan Kepada Kabupaten/Kota Jenis Pajak
Proporsi Bagi Hasil Provinsi
Kab/Kota
1. Pajak Kendaraan Bermotor
70%
30%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
70%
30%
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
30%
70%
4. Pajak Rokok
30%
70%
5. Pajak Air Permukaan
50%
50%
20%*
80%*
*) untuk air permukaan yang berada hanya pada 1 kabupaten/kota
BAB III PENDAPATAN DAERAH
97
Selanjutnya bagian kabupaten/kota dialokasikan per kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut, dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
3.5 Latihan 1. Jelaskan pengertian pendapatan daerah! 2. Jelaskan mengapa PAD penting dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah! 3. Apa strategi untuk meningkatkan PAD Kabupaten/Kota? 4. Jelaskan fungsi strategis dana transfer dalam membangun daerah! 5. Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan membangun kemandirian daerah? 6. Apa yang dimaksud dengan ketimpangan horizontal dan ketimpangan vertikal? 7. Jelaskan peranan dana perimbangan terkait dengan kebutuhan skal daerah! 8. Jelaskan perbedaan dasar hukum dana perimbangan dengan dasar hukum dana otonomi khusus! 9. Jelaskan tujuan dana transfer untuk mendukung kesinambungan skal nasional! 10. Jelaskan perbedaan antara Dana Desa dengan Alokasi Dana Desa!
98
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB III PENDAPATAN DAERAH
99
BAB IV BELANJA DAERAH
100
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Modul ini menjelaskan tentang pengertian, klasikasi dan struktur belanja daerah, konsep standar pelayanan minimal dan keterkaitannya dengan belanja daerah, konsep analisa standar belanja dalam penentuan anggaran belanja daerah dan regulasi-regulasi terkait belanja daerah. No
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Pengertian, klasikasi dan struktur belanja daerah
pengeluaran kas daerah; komponen kewajiban daerah; pengurangan kekayaan daerah; urusan wajib; urusan pilihan; urusan dilaksanakan bersama; belanja langsung; belanja tidak langsung; belanja pegawai; belanja barang dan jasa; belanja modal; belanja bunga; belanja subsidi; belanja hibah; belanja bantuan sosial; belanja bagi hasil; belanja bantuan keuangan; belanja tidak terduga.
2.
Standar Pelayanan Minimal dan keterkaitannya dengan belanja daerah
Standar Pelayanan Minimal; hak dan kewajiban, urusan wajib; layanan publik.
3.
Analisa Standar Belanja
Anggaran Berbasis Kinerja; Analisa Standar Belanja; penilaian kewajaran; beban kerja; standar; biaya total; biaya rata-rata; activity based costing
Bahan Bacaan: 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Tahun 2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemberdayaan Perempuan di Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006;
BAB IV BELANJA DAERAH
101
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 64 Tahun 2013 tentang Akuntansi Berbasis Akrual; 18. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005; 19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal; 21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 22. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; 23. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-283 Tahun 2011 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; 24. PERMENDAGRI Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Petujuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; 25. PERMENDAGRI Nomor 62 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota; 26. PERMENDAGRI Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM); 27. Ammons, David N. (1995). (Ed.) Accountability for Performance: Measuring and Monitoring in Local Government. Washington D.C.: International City/County Management Association; 28. Bernstein, David J. (2001). “Local Government Measurement Use to Focus on Performance and Results,” Evaluation and Program Planning, vol. 24, pp: 95-101; 29. Breman, David R. (2002). “State-Local Relations: Authority, Finances, Cooperation,” in The Municipal Year Book, 2002. Washington D.C.: International City/County Management Association; 30. Dom, Catherine (2002). “Education Reform in the Context of Decentralization,” Report prepared for Decentralized Strategy for Education Finance (DSEF) project. British Council and World Bank. Jakarta; 31. Eko Subowo, 2007. Kebijakan SPM Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005. 32. Ferrazzi, Gabe (2002a). “Legal Standing and Models of Local Government Functions in Selected Countries: Implications for Indonesia,” GTZ. Jakarta; 33. Ferrazzi, Gabe (2002b). “Obligatory Functions and Minimum Service Standards: A Preliminary Review of the Indonesian Approach,” GTZ. Jakarta; 34. Friedman, Joel (2002). “Minimum Service Standards: Current Status and Planned Activities at the Ministry of Home Affairs,” Research Triangle Institute Perform Project. Jakarta; 35. Panduan Pengintegrasian Standar Pelayanan Minimum dalam Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan GIZ, 2011; 36. Achieving value for money in the delivery of public services. Seventeenth Report of Session 2005–06. Ordered by The House of Commons to be printed 30 November 2005; 37. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah; 38. ---------------, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta; 39. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta; 40. Ritonga, Irwan Tauq, 2010., Analisis Standar Belanja, Konsep Metode Pengembangan, dan Implementasi di Pemerintah Daerah, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
102
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4.1. Pengertian, Klasifikasi, Struktur dan Perkembangan Belanja 4.1.1 Pendahuluan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan demikian banyak kewenangan kepada Daerah. Kewenangan tersebut didukung oleh kemampuan ‘sumber daya’ sebagaimana terdapat dalam Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan yang merupakan sub sistem dari sistem Pemerintahan Daerah. Dukungan dan keberadaan perimbangan keuangan tersebut dititikberatkan pada pendapatan penerimaan Daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan, sehingga Pemerintah dapat lebih berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan serta memaksimalkan potensi - potensi penerimaan yang ada. Pendapatan dan lain-lain sumber penerimaan daerah hanyalah salah satu aspek yang harus mendapatkan perhatian. Aspek lainnya, menyangkut belanja daerah yang merupakan semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Kedua pos tersebut akan nampak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam kenyataannya, belanja merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian pendapatan maupun pembiayaan dalam sistem APBD berbasis kinerja. Pengelolaan APBD oleh Pemerintah Daerah adalah faktor kunci keberhasilan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan dua peran utamanya, yaitu: (1) memberikan pelayanan kebutuhan dasar; dan (2) kebutuhan pengembangan usaha masyarakat. Oleh karenanya UU No 23 Tahun 2014 memberikan kepada daerah kewenangan yang seluas-luasnya agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sampai sekarang belum ada road map yang menunjukkan bagaimana mewujudkan kewenangan dan tanggung jawab manajerial dalam mengelola manajemen publik pada tataran daerah dari sudut pandang manajemen modern. Banyak Kepala Daerah dan DPRD belum paham bagaimana membuat kebijakan untuk memperkuat perekonomian daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang akan merugikan perekonomian daerah. Ini adalah masalah pemahaman tentang kinerja yang belum merata dan dimengerti dengan baik oleh pemerintah daerah maupun DPRD. Kualitas APBD adalah bagian dari kinerja pemerintah daerah, karena mencerminkan bagaimana daerah itu membelanjakan uangnya dengan baik dan benar. Kinerja dan pengukuran kinerja saat ini masih belum dipahami secara merata oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah. Pemerintahan di daerah dijalankan ‘as business as usual’ sehingga resources yang sangat terbatas tidak dapat memberikan dampak yang optimal bagi masyarakat. Padahal dengan kewenangan yang sangat luas seperti yang ada pada Bab V UU No 23 Tahun 2014 daerah diberi ruang untuk mengembangkan kretivitas dan inovasi. Daerah dapat menggunakan pendekatan yang tidak konvensional untuk melaksanakan kewenangan tersebut, seperti pendekatan kewirausahaan agar memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Sejalan dengan peran APBD sebagai salah satu motor penggerak kegiatan ekonomi daerah harus diarahkan agar memberikan outcomes (dampak) yang benar-benar mampu mengatasi kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Apalagi APBD sebagian besar pemerintah daerah itu hanya sebagian kecil saja bertumpu pada pendapatan asli daerah. Peran pusat dalam mengalokasikan dana untuk mencukupi kebutuhan anggaran masih sangatlah besar.
BAB IV BELANJA DAERAH
103
Kecenderungan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Overhead Cost pemerintah daerah yang tinggi. Ini telah menyerap sebagian resources yang sangat terbatas untuk pembiayaan eksekutif dan legislatif daerah. Akibatnya tinggal sedikit resources yang tersisa untuk kegiatan pelayanan. Ini dapat dilihat pada belanja publik yang tidak terlampau besar dibandingkan dengan belanja aparatur. Belanja publik tersebut ternyata tidak diarahkan untuk membangkitkan ekonomi daerah tetapi cenderung untuk membuat proyek monumental yang dianggapnya dapat meningkatkan gengsi daerah. Bidang-bidang yang nyata-nyata berperan dalam meningkatkan kemampuan rakyat untuk berusaha dan memecahkan persoalan sosial ekonomi yang dihadapi rakyat kurang mendapat perhatian yang memadai seperti pertanian, peternakan, dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Rencana-rencana alokasi dana dalam APBD adalah cerminan kebijakan daerah sering disusun secara kurang transparan dan kurang aspiratif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mampu menghasilkan output (produk dan kebijakan), hasil (intermediate outcomes) dan dampak (nal outcomes) yang dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi serta kurang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Manajemen resources berupa penggunaan input dan pengelolaannya untuk menghasilkan output dan outcome masih belum mengedepankan inovasi dan kreatitas dan tidak fokus. Jika praktek penyelenggaraan daerah masih mengandalkan cara-cara lama yang mengandalkan pada birokrasi Weberian namun dalam implementasi tidak konsisten maka akan berpengaruh pada kinerja, contoh yang kasat mata adalah dalam mengalokasikan pos belanja daerah. Prinsip yang penting sesuai dengan sistem dan prosedur dan mengabaikan apa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan pemerintahan dan apa benet yang dinikmati masyarakat adalah bukan jamannya lagi. Pemerintah nasional telah mempunyai komitmen dalam mengadopsi cara-cara penyelenggaraan pemerintahan gaya entrepreneurial yang merupakan salah satu doktrin New Public Management (NPM) karena berkembangnya kesadaran bahwa resources yang dimiliki adalah sangat terbatas sementara tuntutan masyarakat atas pelayanan publik semakin tinggi. Untuk itu, belanja daerah harus diarahkan agar mampu memikat kalangan masyarakat terutama swasta terdorong ikut serta dalam memajukan ekonomi daerah. Sudah saatnya pola-pola belanja daerah yang tidak memiliki dampak bagi kemaslahatan rakyat banyak ditinggalkan, apalagi pembelanjaan yang semata-mata untuk mencari keuntungan oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah, rakyat semakin sadar dan paham bahwa mereka hanya akan memilih pemimpin daerah yang dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepala Daerah yang tidak mampu mengemban kepercayaan rakyat melalui karya yang bermaslahat maka akan ditinggalkan oleh konstituennya.
4.1.2 Pengertian Belanja Daerah Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
104
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Alokasi belanja yang tepat mempunyai peranan cukup penting untuk mencapai stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Di samping itu, belanja juga merupakan alat informasi bagi masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat kontrol dan akuntabilitas kinerja pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut permasalahan yang masih dihadapi oleh pemerintah adalah; Pertama, Alokasi anggaran belanja pada sektor tertentu belum sejalan dengan tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Kedua, Ketersediaan anggaran baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang masih minim sehingga sering menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ketiga, Inesiensi dalam mengalokasikan dan membelanjakan anggaran. Keempat, Proses/prosedur pelayanan belum transparan dan terstandarisasi.
4.1.3 Klasikasi Belanja Daerah Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang telah mengalami perubahan pertama melalui Permendagri Nomor 59 tahun 2007 serta perubahan kedua melalui Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah diklasikasikan berdasarkan: Urusan; Fungsi; Organisasi; Program dan Kegiatan; Kelompok. 1. Belanja menurut urusan adalah pengeluaran yang dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari : Urusan wajib; Urusan pilihan; Urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. a. Belanja penyelenggaraan urusan wajib Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Klasikasi belanja menurut urusan wajib pemerintah daerah mencakup: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
Pendidikan; Kesehatan; Pekerjaan Umum; Perumahan Rakyat; Penataan Ruang; Perencanaan Pembangunan; Perhubungan; Lingkungan Hidup; Pertanahan; Kependudukan dan Catatan Sipil;
BAB IV BELANJA DAERAH
105
11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 26)
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; Sosial; Ketenagakerjaan; Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah; Penanaman Modal; Kebudayaan; Kepemudaan dan Olah Raga; Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;\ Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian; Ketahanan Pangan; Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; Statistik; Kearsipan; Komunikasi dan Informatika; Perpustakaan.
b. Belanja penyelenggaraan urusan pilihan Selain urusan wajib, pemerintah daerah bisa menyelenggarakan urusan pilihan sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah yang mendukung usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik lainnya. Klasikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Pertanian; Kehutanan; Energi dan Sumber Daya Mineral; Pariwisata; Kelautan dan Perikanan; Perdagangan; Industri; Ketransmigrasian.
c. Belanja menurut urusan pemerintahan dilaksanakan bersama Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang diklasikasikan menurut urusan wajib dan urusan pilihan. 2. Klasikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
106
Pelayanan Umum; Ketertiban Dan Ketentraman; Ekonomi; Lingkungan Hidup; Perumahan dan Fasilitas Umum; Kesehatan; Pariwisata dan Budaya; Pendidikan; Perlindungan Sosial.
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Klasikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masingmasing pemerintah daerah. Misal: Belanja Dinas Pendidikan, Belanja Dinas Kesehatan, Belanja Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan sebagainya. 4. Klasikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Misal: Belanja Program Peningkatan Produksi Pertanian, Belanja Kegiatan Pembinaan Petani, dll. 5. Klasikasi belanja daerah menurut kelompok belanja terdiri dari kelompok belanja tidak langsung dan kelompok belanja langsung. Masing-masing kelompok belanja tersebut terdiri dari jenis belanja yang berbeda, yang dijelaskan pada bagian berikut: a. Belanja tidak langsung Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, meliputi : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Belanja Pegawai; Bunga; Subsidi; Hibah; Bantuan Sosial; Belanja Bagi Hasil; Bantuan Keuangan; Belanja Tidak Terduga.
1) Belanja pegawai Belanja Pegawai merupakan belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang atau dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS), pejabat negara, pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS yang ditetapkan berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kompensasi tersebut sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Selain itu, uang representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan juga dianggarkan dalam belanja pegawai. Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya. Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampaui beban kerja normal. Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil. Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki resiko tinggi.
BAB IV BELANJA DAERAH
107
Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi sebagaimana diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan langka. Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi. Tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberian uang makan. Kriteria untuk semua pemberian tambahan penghasilan tersebut ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. 2) Belanja Bunga Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. 3) Belanja Subsidi Belanja Subsidi adalah alokasi anggaran berupa bantuan biaya produksi yang diberikan kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan agar harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat. Belanja Subsidi ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD yang dasar pelaksanaannya lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. 4) Belanja Hibah Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus. Uang dan barang yang diberikan dalam bentuk hibah harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah dan dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD. Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Hibah kepada pemerintah dapat diberikan dalam rangka menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah dan harus dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap akhir tahun anggaran. Hibah kepada pemerintah daerah lainnya dapat diberikan dalam rangka menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan layanan dasar umum sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hibah dapat diberikan kepada perusahaan daerah dalam rangka menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dapat diberikan untuk meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 5) Bantuan Sosial Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat. Bantuan sosial tersebut diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Untuk optimalisasi fungsi APBD sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pengalokasian bantuan sosial tahun demi
108
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
tahun harus menunjukkan jumlah yang semakin berkurang agar APBD berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengurangan jumlah bantuan sosial bertujuan agar dana APBD dapat dialokasikan mendanai program dan kegiatan pemerintahan daerah yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan esiensi dan efektitas perekonomian. Dengan demikian dapat dihindari adanya diskriminasi pengalokasian dana APBD yang hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu saja. 6) Belanja Bagi Hasil Belanja Bagi Hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 7) Belanja Bantuan Keuangan Belanja bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan dan kepada partai politik. Bantuan keuangan yang bersifat umum peruntukan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah/pemerintah desa penerima bantuan, sedangkan bantuan keuangan yang bersifat khusus peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan. Pemerintah daerah pemberi bantuan bersifat khusus dapat mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau anggaran pendapatan dan belanja desa penerima bantuan. Dalam rangka menghindari duplikasi penganggaran, baik dalam APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota, maka urusan pemerintahan daerah yang bukan merupakan kewenangan provinsi atau kabupaten/kota tidak dapat dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPD provinsi atau kabupaten/kota, namun dapat dianggarkan pada Belanja Bantuan Keuangan, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Bantuan keuangan tersebut disalurkan ke kas daerah/desa yang bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pemerintah kabupaten/kota menganggarkan alokasi dana untuk desa dan desa adat yang diterima dari APBN dalam jenis belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa dalam APBD kabupaten/kota untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk pemerintah desa dalam jenis belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota setelah dikurangi DAK sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. 8) Belanja Tidak Terduga Belanja Tidak Terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa/tanggap darurat dalam rangka pencegahan dan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan dan ketertiban di daerah dan tidak diharapkan
BAB IV BELANJA DAERAH
109
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang didukung dengan bukti-bukti yang sah. Pihak yang melakukan penganggaran belanja tidak langsung ditentukan oleh jenis belanjanya. Belanja pegawai dianggarkan pada belanja organisasi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga hanya dapat dianggarkan pada belanja SKPKD. b. Belanja langsung Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: 1) Belanja pegawai Belanja pegawai pada kelompok ini meliputi pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. 2) Belanja barang dan jasa Belanja barang dan jasa merupakan pengeluaran untuk pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah, termasuk barang yang akan diserahkan atau dijual kepada masyarakat atau pihak ketiga. Pembelian/pengadaan barang dan/atau jasa mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai, pemeliharaan, jasa konsultansi, lain-lain pengadaan barang/jasa, dan belanja lainnya yang sejenis serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat atau pihak ketiga. 3) Belanja modal Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah dianggarkan pada belanja masing-masing SKPD terkait. Pengelompokan belanja daerah yang digunakan untuk pelaporan realisasi anggaran (LRA) sedikit berbeda dengan yang telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan dan Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada
110
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pemerintah Daerah, belanja daerah diklasikasikan menurut klasikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Klasikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Berikut adalah klasikasi belanja daerah menurut ekonomi (jenis belanja): Belanja Operasi: a) Belanja Pegawai; b) Belanja Barang; c) Bunga; d) Subsidi; e) Hibah; f) Bantuan Sosial. Belanja Modal a) Belanja Aset Tetap; b) Belanja Aset Lainnya. Belanja Lain-lain/Tak Terduga 4) Transfer Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Kelompok Belanja pada PP 71 tahun 2010 maupun Permendagri 64 Tahun 2013 ditujukan untuk pelaporan (Laporan Realisasi Anggaran). Sedangkan Permendagri 13 tahun 2006 pengelompokan belanja untuk penganggaran. Pengertian dari kelompok belanja berdasarkan Permendagri 64 Tahun 2013 umumnya tidak berbeda dengan Permendagri 13 Tahun 2006, hanya beberapa belanja saja yang memang berbeda atau memang tidak tercantum dalam Permendagri 13 Tahun 2006. Berikut beberapa denisi menurut PP 71 Tahun 2010 dan Permendagri 64 Tahun 2013: Belanja Daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah daerah. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Belanja Lain-lain/Tak Terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. Transfer Keluar adalah pengeluaran uang dari entitas pelaporan ke entitas pelaporan lain seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh pemerintah daerah. Implikasi dari perbedaan kelompok belanja di penganggaran dan pelaporan (LRA), menyebabkan perlu dilakukannya konversi kelompok belanja, sebagaimana yang dicontohkan dalam Lampiran IV Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 melalui gambar di bawah ini.
BAB IV BELANJA DAERAH
111
Gambar 4.1 Kode 6 61 511 512 513 514 515
Konversi Jenis Belanja di Penganggaran dan Pelaporan (LRA) Kodekasi Akun Anggaran Uraian
517 518 52 521
BELANJA Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kab/Kota dan Desa Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/Kab/Kota dan Desa Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung Belanja Pegawai
522
Belanja Barang dan Jasa
516
523 5 2 3 01 5 2 3 02 5 2 3 03
Belanja Modal Belanja Modal Pengadaan Tanah Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Berat Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan Darat Bermotor 5 2 3 04 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan Darat Tidak Bermotor 5 2 3 05 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan Air Bermotor 5 2 3 06 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan Di Air Bermotor 5 2 3 07 Belanja Udara 5 2 3 08 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Bengkel Belanja Modal Pengadaan Alat-alat 5 2 3 09 Pengolah Pertanian Dan Peternakan 5 2 3 10 Belanja Modal Pengadaan Peralatan Kantor 5 2 3 11 Belanja Modal Pengadaan Perlengkapan Kantor 5 2 3 12 Belanja Modal Pengadaan Komputer 5 2 3 13 Belanja Modal Pengadaan Moboulair 5 2 3 14 Belanja Modal Pengadaan Peralatan Dapur 5 2 3 15 Belanja Modal Pengadaan Penghias Ruangan Rumah Tangga 5 2 3 16 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Studio 5 2 3 17 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Komunikasi 5 2 3 18 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Ukiran 5 2 3 19 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Kedokteran 5 2 3 20 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Laboratorium 5 2 3 21 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan 5 2 3 22 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jembatan 5 2 3 23 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jaringan Air 5 2 3 24 Belanja Modal Pengadaan Penomoran Jalan, Taman dan Hutan Kota 5 2 3 25 Belanja Modal Pengadaan Instalasi Listrik dan Telepon 5 2 3 26 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/Pembelian*) Bangunan 5 2 3 27 Belanja Modal Pengadaan Buku/Kepustakaan 5 2 3 28 Belanja Modal Pengadaan Barang Bercorak Kesenian, Kebudayaan 5 2 3 29 Belanja Modal Pengadaan Hewan/Ternak dan Tanaman 5 2 3 30 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Persenjataan/Keamanan Sumber: Lampiran Permendagri 64 Tahun 2013
112
Kodekasi Akun Laporan Realisasi Anggaran Kode Uraian 6 BELANJA 61 Belanja Operasional 511 Belanja Pegawai 512 Belanja Barang dan Jasa 513 Belanja Bunga 514 Belanja Subsidi 515 Belanja Hibah 516
Belanja Bantuan Sosial
52 521 522 523
525 53 531 6
Belanja Modal Belanja Modal Tanah Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Aset Tetap Lainnya Belanja Tak Terduga Belanja Tak Terduga TRANSFER
61
Transfer Bagi Hasil Pendapatan
611
Transfer Bagi Hasil Pajak Daerah
612
Transfer Bagi Hasil Pendapatan Lainnya Transfer Bantuan Keuangan Transfer Bantuan Keuangan ke Pemerintah Daerah Lainnya Transfer Bantuan Keuangan ke Desa Transfer Bantuan Keuangan Lainnya
524
62 621 622 623
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar di atas menjelaskan konversi dari nomenklatur penganggaran ke nomenklatur LRA. Sebagai contoh, Belanja Bagi Hasil pada anggaran dikonversi menjadi Belanja Transfer Bagi Hasil Pendapatan dan Belanja Bantuan Keuangan pada anggaran dikonversi menjadi Belanja Transfer Bantuan Keuangan. Ke depan mestinya antara pengelompokan belanja di anggaran ataupun di laporan (LRA) itu sama, sehingga memudahkan Pemerintah Daerah dalam melakukan pelaporan.
4.1.4 Komposisi dan Perkembangan Belanja Daerah Komposisi Belanja pada diagram di bawah ini terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal, Belanja Sosial dan Hibah, Belanja Transfer, dan Belanja Lainnya. Pada TA 2013, Komposisi Belanja Provinsi (Gambar 4.2) cukup merata antara 6 jenis Belanja tersebut. Jika kebanyakan daerah Belanja Pegawai mendominasi komposisi belanja, secara kumulatif pada TA 2013 ini, Belanja Barang dan Jasa mendapat porsi yang lebih besar yaitu sebesar 24%. Porsi Belanja Modal berada pada urutan kedua sebesar 20%, Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial dan Hibah pada urutan ketiga sebesar 18%. Belanja Transfer dan Belanja Lainnya pada urutan terakhir sebesar 10%. Gambar 4.2
Komposisi Belanja Provinsi 10% 18% 10%
18%
24%
Belanja Pegawai Belanja Barang & Jasa Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah Transfer Belanja Lainnya
20%
Sumber: DJPK
Cukup berbeda dengan komposisi Belanja Provinsi, komposisi Belanja Kabupaten (Gambar 4.3) di dominasi Belanja Pegawai sebesar 49%. Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa menempati urutan kedua dan ketiga masing-masing sebesar 25% dan 18%. Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, Belanja Transfer dan Belanja Lainnya hanya mendapatkan porsi kurang dari 5%. Gambar 4.3
Komposisi Belanja Kabupaten Komposisi Belanja Kabupaten TA 2013 3% 1% 4%
25% 49% 18%
Belanja Pegawai Belanja Barang & Jasa Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah Transfer Belanja Lainnya
Sumber: DJPK
BAB IV BELANJA DAERAH
113
Komposisi Belanja Kota (Gambar 4.4) mirip dengan Komposisi Belanja Kabupaten. Belanja Pegawai masih mendominasi sebesar 49%. Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa mendapatkan porsi yang hampir sama, masing-masing sebesar 26% dan 21%. Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, Belanja Transfer dan Belanja Lainnya hanya mendapatkan porsi kurang dari 5%. Gambar 4.4
Komposisi Belanja Kota Komposisi Belanja Kota TA 2013 0% 1% 3%
26%
Belanja Pegawai Belanja Barang & Jasa Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah Transfer Belanja Lainnya
49%
21%
Sumber: DJPK
Berdasarkan Gambar 4.5 di bawah ini, dapat dilihat pada TA 2013 seluruh belanja mengalami kenaikan. Selain Belanja Transfer dan Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, dari TA 2008 hingga TA 2013 seluruh belanja mengalami kenaikan yang tidak signikan. Sebagai contoh, Pada TA 2008 nilai Belanja Pegawai sebesar Rp22,4 Triliun menjadi Rp24,5 Triliun pada TA 2009 kemudian menjadi Rp27,2 Triliun pada TA 2010. Demikian juga untuk Belanja Modal, pada TA 2008 bernilai Rp18,9 menjadi Rp24,2 Triliun pada TA 2009 kemudian menjadi Rp25,1 Triliun pada TA 2010. Belanja Transfer dan Belanja Bantuan Sosial dan Hibah merupakan belanja yang sempat mengalami penurunan. Namun, untuk Belanja Bantuan Sosial dan Hibah yang sempat mengalami pernurunan dari TA 2009 ke TA 2010 yaitu dari Rp13,1 Triliun menjadi Rp8,1 Triliun, kembali mengalami kenaikan yang signikan. Pada TA 2010, nilai Belanja Bansos dan Hibah yang hanya sebesar Rp8,1 Triliun mengalami kenaikan hingga Rp39,03 Triliun pada TA 2013. Transfer yang sempat mengalami penurunan pada dari TA 2011 ke TA 2012 yaitu dari sebesar Rp19,1 Triliiun menjadi Rp18,5 kemudian mengalami kenaikan secara teratur hingga pada TA 2013 menjadi Rp20,4 Triliun. Gambar 4.5
Tren Belanja Provinsi Tren Belanja Provinsi
60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 2009
2010
2011
2013
Belanja Pegawai
Belanja Barang & Jasa
Belanja Modal
Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
Sumber: DJPK
114
2012
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Berdasarkan Gambar 4.6 di bawah ini, ada dua jenis belanja yang konsisten mengalami kenaikan nilai dari TA 2008 hingga TA 2013, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa. Sebagai contoh, Pada TA 2008 nilai Belanja Pegawai adalah sebesar Rp 101,3 Triliun naik menjadi Rp114,5 Triliun pada TA 2009 kemudian menjadi Rp 138,5 Triliun pada TA 2010. Pada TA 2008 nilai Belanja Barang dan Jasa adalah sebesar Rp 37,7 12 Triliun naik menjadi Rp40,7 Triliun pada TA 2009 kemudian menjadi Rp42,1 Triliun pada TA 2010. Belanja Modal, Belanja Transfer dan Belanja Lainnya merupakan jenis belanja yang sempat mengalami penurunan namun kemudian naik kembali. Belanja Modal sempat mengalami penurunan dari TA 2009 ke TA 2010, yaitu dari Rp 64,01 Triliun menjadi Rp 56,5 Triliun. Kemudian mulai dari TA 2010 hingga TA 2013, nilai Belanja Modal secara konsisten naik. Pada TA 2010, nilai Belanja Modal sebesar Rp56, Triliun naik hingga menjadi Rp 102 Triliun pada TA 2013. Belanja Transfer mengalami penurunan dari TA 2010 hingga TA 2012, yakni sebesar 1,3 Triliun. Kemudian dari TA 2012 ke TA 2013 mengalami kenaikan sebesar Rp1,2 Triliun. Belanja Lainnya sempat mengalami penurunan dari TA 2008 ke TA 2009 sebesar Rp0,16 Triliun. Kemudian dari TA 2009 secara konsisten naik hingga TA 2013 mencapai nilai Rp16,3 Triliun. Jenis Belanja Bantuan Sosial dan Hibah merupakan jenis belanja yang mengalami penurunan secara konstan dari TA 2009 hingga TA 2013, yakni sebesar Rp5,9 Triliun. Gambar 4.6
Tren Belanja Kabupaten Tren Belanja Kabupaten
50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0
2008 Transfer Belanja Modal
2009
2010
2011
Belanja Pegawai Belanja Bansos dan Hibah
2012
2013
Belanja Barang & Jasa Tahun
Sumber: DJPK
Tren Belanja Kota (Gambar 4.7) memiliki kemiripan dengan Tren Belanja Kabupaten. Dua jenis belanja yang konsisten mengalami kenaikan dari TA 2008 hingga TA 2013 adalah Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa. Dari TA 2008 hingga TA 2013, nilai Belanja Pegawai mengalami kenaikan sebesar Rp26,6 Triliun. Nilai Belanja Barang dan Jasa juga secara konsisten naik sebesar Rp11,6 Triliun dari TA 2008-TA 2013. Belanja Modal dan Belanja Lainnya sempat mengalami penurunan kemudian naik kembali. Belanja Modal sempat mengalami penurunan dari TA 2009 ke TA 2010 sebesar Rp1,5 Triliun. Kemudian dari TA 2010 hingga TA 2013, Belanja Modal secara konsisten naik sebesar Rp14,8 Triliun. Belanja Lainnya sempat mengalami penurunan dari TA 2010 ke TA 2011 sebesar Rp0,07 Triliun. Kemudian dari TA 2011 hingga TA 2013, Belanja Lainnya mengalami kenaikan sebesar Rp0,46 Triliun. Belanja Bantuan Sosial dan Hibah dan Belanja Transfer memiliki kesamaan yaitu dari TA 2011 hingga TA 2013 mengalami penurunan. Penurunan yang signikan terjadi pada Belanja Transfer dari TA 2011 ke TA 2012, yaitu sebesar Rp0,067 Triliun atau 61%.
BAB IV BELANJA DAERAH
115
Gambar 4.7
Tren Belanja Kota Tren Belanja Kota
12000000 10000000 80000000 60000000 40000000 20000000 0
2008
2009
Transfer Belanja Barang & Jasa
2010
2011
2012
Belanja Bansos dan Hibah Belanja Pegawai
2013
Belanja Modal Tahun
Sumber: DJPK
Kotak 4.1 Stuktur Belanja APBD yang Kurang Optimal Berdasarkan data Kementerian Keuangan pada tahun 2009-2013, secara umum proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk provinsi di kisaran 20% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 50%) namun kecenderungannya menurun. Sedangkan proporsi belanja modal relatif kecil, meskipun mengalami peningkatan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. Untuk dapat mengoptimalkan belanja daerah untuk pembangunan daerah, perlu lebih dioptimalkan Belanja Modal pemerintah daerah. 50% 45%
46.52%
43.46%
46.52%
44.12%
41.94%
40% 35% 27.60%
30% 25% 20%
22.53% 199.21%
22.92% 21..04%
24.83%
23.22% 200.65%
200.93%
199.17% %
15%
9.78%
10%
111.74%
1 12.01%
9.78%
1 12.30%
5% 0% 2009
Jenis Belanja Daerah (dalam miliar rupiah)
2010
2011
2012
2013
2009
2010
2011
2012
2013
Belanja Pegawai
180,439
198,562
229,081
261,153
296,540
Belanja Barang dan Jasa
79,600
82,007
104,221
122,225
148,012
Belanja Modal
114,598
96,179
113,523
137,438
175,578
Belanja Lain-lain
40,594
50,110
48,449
71,071
86,953
Total
415,232
426,857
495,274
591,887
707,083
Sumber: Bahan Presentasi “Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah”, Pilot Test Modul PKD, Surabaya, DJPK Kementerian Keuangan, 16 Februari 2015.
116
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4.2 Standar Pelayanan Minimal (SPM) 4.2.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang dilaksanakan sejak akhir tahun 90an dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Berbagai perubahan mendasar pengelolaan pemerintahan telah dilakukan termasuk peningkatan pelayanan publik. Belum lengkapnya peraturan maupun petunjuk teknis dari Kementerian/Lembaga untuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyebabkan masih rendahnya upaya pemerintah daerah untuk menerapkan SPM sebagai realisasi penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Dengan memperhatikan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki daerah, maka yang perlu didorong dan diutamakan adalah penerapan SPM sebagai pelaksanaan urusan wajib sekaligus perwujudan penyediaan pelayanan publik yang bersifat dasar. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan penyusunan SPM oleh Kementerian/Lembaga dan penerapannya oleh Pemerintahan Daerah. Salah satu isu utama penerapan SPM di daerah adalah terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dan belum dituangkannya SPM dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pengintegrasian SPM dalam perencanaan dan penganggaran akan memastikan prioritas dan komitmen pemda dalam mengalokasikan belanja langsung terutama untuk pelayanan dasar.
4.2.2 Denisi dan Manfaat Standar Pelayanan Minimal Denisi Standar, Standar Pelayanan, dan SPM Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur (UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 20). Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal (Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 6). Penekanan kata “minimal” dalam istilah SPM ini mengacu pada batas minimal tingkat cakupan dan kualitas pelayanan dasar yang mampu dicapai oleh setiap daerah sesuai batas waktu yang ditetapkan Pemerintah. Pemerintah Daerah harus mampu mencapai tingkat cakupan yang minimal sama atau bahkan lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah untuk masing-masing indikator SPM masing masing Kementerian/Lembaga terkait.
Manfaat SPM Keberadaan SPM memberikan manfaat kepada semua pihak baik Pemerintah Pusat/Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Masyarakat. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka SPM diharapkan dapat
BAB IV BELANJA DAERAH
117
menjadi suatu ukuran yang sangat diperlukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Masyarakat/ Konsumen itu sendiri untuk menilai kinerja pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. 1. Manfaat SPM bagi Pusat/Provinsi a. Menjamin bahwa pelayanan umum dalam bidang pemerintahan yang esensial menjangkau masyarakat secara seimbang pada skala nasional atau provinsi. b. Memudahkan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan wajib oleh Kabupaten/Kota. c. Memudahkan identikasi kebutuhan daerah untuk meningkatkan kinerjanya dalam pelayanan minimal (melalui pembinaan, pelatihan, dan lain-lain). 2. Manfaat SPM bagi Kabupaten/Kota a. Memudahkan penentuan pelayanan dan segi intensitas, jangkauan, kualitas, esiensi, dan dampak. b. Memudahkan pelaporan pemerintah daerah tentang pelayanan kepada pihak lain (Pusat, DPRD, dan Masyarakat). c. Memudahkan pertukaran informasi antar daerah guna meningkatkan dan menyempurnakan pelayanan. d. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasi kelembagaan Pemerintah Daerah, kualikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat. 3. Manfaat SPM bagi Masyarakat a. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/ masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan. b. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, karena dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya. c. Meningkatkan kualitas pelayanan. Keberadaan standar pelayanan dapat membantu unitunit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu pelayanan. Terakhir standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
4.2.3 Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan SPM Penyusunan SPM menganut beberapa prinsip sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pasal 3 sebagai berikut: 1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. 2. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
118
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional. 4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian. 5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
4.2.4 Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan dan Ruang Lingkup Rencana Pencapaiannya Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan terdiri dari 2 (dua) jenis urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tidak semua bagian dari urusan wajib adalah pelayanan dasar. Namun, setiap pelayanan dasar termasuk dalam bagian urusan wajib. SPM ditetapkan berdasarkan pelayanan dasar tertentu, dimana pelayanan dasar tersebut adalah bagian dari urusan wajib, dan urusan wajib merupakan bagian dari urusan pemerintahan. Berikut digambarkan posisi SPM dalam urusan pemerintahan (Gambar 4.8). Gambar 4.8
Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan Urusan Pemerintah Urusan Wajib Perlawanan Dasar
Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar.
Sumber: Permendagri Nomor 6/2007 pasal 1(8)
Ruang Lingkup Rencana Pencapaian SPM SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Besaran dan batas waktu pencapaian SPM ditetapkan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga yang selanjutnya menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM berdasarkan data dasar pelayanan publik yang tersedia. Selanjutnya rencana pencapaian SPM dan target tahunan diintegrasikan dalam dokumen perencanaan (RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD) dan dokumen penganggaran (KUA PPA dan RKA-SKPD).
BAB IV BELANJA DAERAH
119
Gambar 4.9
Muatan Rencana Pencapaian SPM Urusan Pemerintahan Urusan Mutlak
Urusan Bersama Urusan Pemerintahan
Urusan Wajib
Pelayanan Dasar Penetapan SPM (Juknis/Pedoman) Rencana Pencapaian SPM di Daerah Batas waktu Pencapaian SPM (Nasional dan Daerah)
Pengintegrasian SPM dalam Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
Mekanisme Pembelanjaan Penerapan SPM
Sistem Penyampaian Informasi Rencana dan Realisasi Penerapan SPM
Ruang lingkup muatan Rencana Pencapaian SPM secara lebih rinci di daerah seperti dalam Gambar 4.9 meliputi: 1. Batas waktu pencapaian SPM secara nasional dan jangka waktu pencapaian SPM di daerah; Batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan masing-masing Kementerian/Lembaga menjadi batas waktu maksimal dari jangka waktu rencana pencapaian dalam penerapan SPM di daerah. Pemerintah daerah dapat menetapkan rencana pencapaian SPM lebih cepat dari batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah. Rencana pencapaian SPM dalam batas waktu tertentu dijabarkan menjadi target tahunan pencapaian dan penerapan SPM. Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM dituangkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. 2. Pengintegrasian rencana pencapaian SPM dalam dokumen perencanaan dan penganggaran; Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang dituangkan dalam RPJMD dan dijabarkan dalam target tahunan pencapaian SPM. Rencana pencapaian SPM menjadi salah satu faktor dalam menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran (PPA). 3. Mekanisme pembelanjaan penerapan SPM; Nota kesepakatan tentang KUA dan PPA yang disepakati bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD wajib memuat target pencapaian dan penerapan SPM. Selanjutnya, nota kesepakatan tentang KUA dan PPA menjadi dasar penyusunan RKA-SKPD dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran tahunan berdasarkan tingkat prestasi kerja yang mengacu pada rencana pencapaian dan penerapan SPM. Penyusunan RKA-SKPD program dan kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM mengacu pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, Analisis Standar Belanja (ASB), dan satuan
120
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
harga. RKA-SKPD yang disahkan oleh kepala SKPD menggambarkan secara rinci dan jelas progam dan kegiatan dalam rangka pencapaian dan penerapan SPM. Pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah dibebankan pada APBN, sedangkan pendanaan yang berkaitan dengan rencana pencapaian dan penerapan SPM yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah dibebankan pada APBD. 4. Sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada masyarakat; Rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya merupakan bagian dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), LKPJ, dan ILPPD. Rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya dipublikasikan kepada masyarakat. Kotak 4.2 Status Penyusunan dan Penentapan SPM untuk 15 Bidang Sampai saat ini, pemerintah pusat telah menetapkan 15 bidang yang memiliki SPM. Berikut status penyusunan dan penetapan SPM di 15 bidang tersebut. Diharapkan baik pemerintah pusat maupun pemernitah daerah dapat memenuhi target pencapaian di 15 bidang tersebut sesuai dengan periode target yang telah ditetapkan.
No.
Bidang
1 2 3 4
Kesehatan Sosial*) Lingk. Hidup*) Pemdagri
5
Permahan Rakyat*) PP & PA*) KB & KS Pendidikan Dasar PU & PR Ktnagakerjaan*) Kominfo Kethanan Pangan*) Kesenian*) Perhubungan*) Penanaman Modal*) Jumlah
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Status Penyusunan dan Penetapan 15 Bidang SPM Tahun Juknis Juknis/ Jenis Jumlah Target Penetapan Panduan Pedoman Pelayanan Indikator Pencapaian Oprs Pembiayaan 2008 v 2009 4 18 2015 2008 v 2010 4 7 2015 2008 v 2012 4 4 2013 2008/2012 v 2012 3 11 2014/2015/ 2020 2008 v 2010 2 3 2025 2010 2010 2010
v v v
2010 2010 2011
5 3 2
8 9 27
2014 2014 2014
2010 2010 2010 2010
v v v v
Proses 2010 2011 2010
8 5 2 4
23 8 6 7
2014 2016 2014 2015
2010 2011 2011
v v v
2011 2013 2012
2 4 7
7 26 10
2014 2014 2014
14
8
59
174
*) SPM diterapkan ditinkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Sumber: Bahan Ajar ToMaT PKD, 2015
BAB IV BELANJA DAERAH
121
4.2.5 Hubungan Rencana Pencapaian SPM dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di Daerah Alur Perencanaan dan Penganggaran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan bahwa setiap daerah diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembangunan daerah yang terdiri dari: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk periode dua puluh tahun; 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode lima tahunan; 3. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode tahunan. Selain itu, setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diwajibkan untuk menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) untuk periode lima tahunan dan Rencana Kerja (Renja) SKPD untuk periode tahunan. Selanjutnya, dengan berpedoman pada dokumen perencanaan, pemerintah daerah menyusun dokumen penganggaran daerah yang dimulai dengan menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) yang selanjutnya diterjemahkan dalam dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang penyusunannya bersumber dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.
Hubungan Rencana Pencapaian SPM Dalam Perencanaan dan Penganggaran di Daerah Hubungan Rencana Pencapaian SPM dalam Perencanaan dan Penganggaran di Daerah dapat ditunjukkan melalui Gambar 4.9. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65/2005 tentang Pedoman dan Penyusunan Standar Pelayanan Minimal, dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa: Penyusunan rencana lima tahunan pencapaian SPM di tingkat Pemerintah Daerah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Rencana lima tahunan pencapaian target SPM ini dituangkan menjadi rencana tahunan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), serta Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD). Dalam proses penyusunan penganggaran, digunakan instrumen pendukung anggaran yang lain seperti Standar Satuan Harga dan Analisis Standar Belanja (ASB); Selanjutnya target tahunan pencapaian SPM yang telah dimuat dalam dokumen RKPD dan Renja SKPD dituangkan dalam Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Tingkat pencapaian target SPM di daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri dan kemampuan keuangan di masingmasing daerah.
122
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 4.10 Hubungan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran RPJPD
RPJMD
RKPD
Rencana Pencapaian SPM di Daerah
Penetapan SPM oleh K/L
Renstra SKPD
KUA & PPA
RAPED
APBD
Target Tahunan Pencapaian SPM di Daerah
Renja SKPD
RKA SKPD
Rincian APBD
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 65/2005
Rencana Pencapaian SPM Dalam RPJMD dan Renstra SKPD Rencana Pencapaian SPM (Target 5 Tahun) termuat dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah. Dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah daerah terdiri dari: RPJMD dan Renstra SKPD. RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun dan Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. RPJMD dan Renstra SKPD memiliki kaitan subtansi yang sangat erat sehingga penyusunan kedua dokumen rencana tersebut dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan awal RPJMD menjadi pedoman SKPD dalam menyusun Renstra SKPD. Subtansi rancangan awal RPJMD antara lain: kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah daerah serta indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan menjadi acuan Kepala SKPD merumuskan kegiatan dalam rancangan Renstra SKPD. Pengintegrasian indikator SPM dalam perencanaan jangka menengah dilakukan pada waktu penyusunan Rancangan Renstra SKPD. Indikator SPM menjadi masukan (input) dalam melakukan analisis gambaran pelayanan SKPD. Masing-masing SKPD yang sudah memiliki SPM, wajib memasukan indikator SPM sebagai masukan dalam menganalisis gambaran umum pelayanan SKPD. Analisis gambaran pelayanan SKPD dimaksudkan untuk menunjukan peran SKPD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sumberdaya SKPD dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi-fungsinya, capaian kinerja yang telah dihasilkan melalui pelaksanaan Renstra SKPD periode sebelumnya, capaian kinerja antara Renstra SKPD dengan RPJMD periode sebelumnya, hambatan dan permasalahan yang perlu diantisipasi.
Rencana Pencapaian SPM Dalam RKPD dan RENJA SKPD Dokumen perencanaan pembangunan tahunan daerah terdiri dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja (Renja) SKPD. RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun dan Renja SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 1 (satu) tahun.
BAB IV BELANJA DAERAH
123
Penyusunan RKPD dimulai dari penyusunan rancangan awal RKPD dan berakhir pada penetapan RKPD. Tahapan penyusunan rancangan RKPD provinsi dan kabupaten/kota mencakup kegiatan: Evaluasi rancangan awal RKP dan rancangan awal RKP tahun rencana; Verikasi dan integrasi rancangan Renja SKPD; Penyelarasan penyajian rancangan RKPD. Penyelarasan penyajian rancangan RKPD dilakukan melalui proses sbb: 1. Pengintegrasian SPM dalam perencanaan tahunan daerah dilakukan pada waktu penyusunan Renja SKPD. 2. Untuk menganalisis kinerja pelayanan SKPD digunakan beberapa indikator, antara lain mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Indikator Kinerja Kunci (IKK) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008, dengan sasaran target sesuai dengan Renstra SKPD dan/atau berdasarkan atas hasil analisis standar kebutuhan pelayanan. 3. Analisis kinerja pelayanan SKPD berupa pengkajian terhadap capaian kinerja pelayanan SKPD dengan kinerja yang dibutuhkan sesuai dan dampak yang ditimbulkan atas kinerja pelayanan tersebut serta mengidentikasi permasalahan yang dihadapi untuk penyusunan program dan kegiatan dalam rangka peningkatan pelayanan SKPD sesuai dengan tugas dan fungsi.
4.2.6 Lingkup, Tahap dan Langkah Penyusunan SPM di Daerah Tahapan penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada penjelasan Permendagri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut menguraikan secara umum pentahapan dan pertimbangan penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah, namun belum secara rinci menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilaksanakan di setiap tahap. Langkah-langkah penyusunan rencana pencapaian SPM dibagi kedalam 4 lingkup utama, 7 tahap dan 18 langkah. Tabel 4.1
Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM
TAHAPAN I.
Memulai Proses
LANGKAH-LANGKAH 1. Internalisasi SPM di masing-masing SKPD 2. Koordinasi penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah
II. Menyusun Rencana Pencapaian SPM di Daerah
3. Menemukenali Indikator SPM 4. Pengumpulan data dan informasi pencapaian SPM 5. Menentukan tingkat capaian SPM (baseline) 6. Menentukan target capaian SPM 7. Menyusun program dan kegiatan prioritas 8. Menghitung kebutuhan pembiayaan
124
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
LINGKUP UTAMA I. MENENTUKAN BATAS WAKTU PENCAPAIAN SPM DI DAERAH
TAHAPAN
LANGKAH-LANGKAH
III. Integrasi SPM dalam Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah (PRJMD dan Renstra SKPD)
9. Memastikan indikator SPM dalam analisis pelayanan SKPD
IV. Integrasi SPM dalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (RKPD dan Renja SKPD)
11. Memastikan target tahunan SPM dalam analisis pelayanan SKPD
V
13. Memastikan Indikator SPM dalam KUA dan PPAS
Integrasi SPM dalam Penganggaran Tahunan (KUA, PPAS dan RKASKPD)
10. Perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan indikatif
LINGKUP UTAMA II. PENGINTEGRASIAN RENCANA PENCAPAIAN SPM DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
12. Perumusan rencana program, kegiatan dan pendanaan
14. Penentuan target capaian SPM dan pendanaan indikatif dalam RKASKPD.
VI Pengendalian dan Evaluasi Pencapaian SPM
15. Mekanisme pengendalian pencapaian SPM
VII. Penyampaian Informasi Pencapaian SPM
17. Penyusunan laporan pencapaian SPM di daerah
16. Evaluasi pencapaian SPM
III. MEKANISME PEMBIAYAAN PENERAPAN SPM
IV. SISTEM PENYAMPAIAN INFORMASI PENCAPAIAN SPM DI DAERAH
18. Memasukkan laporan pencapaian SPM dalam LPPD, LKPJ dan ILPD
4.3 Analisis Standar Belanja 4.3.1 Pendahuluan Tuntutan untuk transparansi dan akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah semakin meningkat. Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut, dilakukan dengan cara pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, esien, dan efektif. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan secara ekonomis, esien, dan efektif adalah dengan menyusun analisis standar belanja (ASB). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 38 ayat 2 menyebutkan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Di antara komponen-komponen ABK, indikator kinerja, SPM, dan ASB merupakan instrumen penganggaran yang sangat penting. Penyusunan ASB penting dilakukan untuk menghindari ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan sejenis dalam suatu program dan antar SKPD. Ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan sejenis antar program dan antar SKPD bisa disebabkan antara lain oleh:
BAB IV BELANJA DAERAH
125
a. Tidak jelasnya denisi suatu kegiatan; b. Perbedaan output kegiatan; c. Perbedaan lama waktu pelaksanaan; d. Perbedaan target group; e. Perbedaan kebutuhan sumberdaya; f. Beragamnya perlakuan objek/rincian objek/item belanja; g. Adanya pemborosan anggaran. Masalah klasik dalam penyusunan anggaran adalah besaran anggaran dipengaruhi oleh “siapa” yang mengajukan kegiatan. Misalnya kegiatan seminar yang sama (jumlah pembicara, jumlah peserta dan tempat serta konsumsi yang sama) dilaksanakan oleh satuan kerja di tingkat kabupaten, di tingkat kecamatan dan di tingkat kelurahan/desa; maka biasanya nilai anggaran akan berbeda dan cenderung di tingkat yang lebih tinggi mempunyai anggaran yang lebih besar. Selain itu besaran anggaran juga dipengaruhi oleh “nama” kegiatan. Kegiatan sama dengan nama yang berbeda seperti sarasehan, lokakarya, seminar, konferensi; biasanya dengan nama yang semakin asing atau berbau internasional akan cenderung mendapatkan anggaran yang relatif lebih besar. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap alokasi biaya yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja keseluruhan Pemerintah Daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap pelaksanaan APBD tersebut. Selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya kinerja penyusunan anggaran perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu tentang elemen atau persyaratan penerapan anggaran kinerja. Selain indikator kinerja, dan standar biaya, unsur atau elemen penting yang harus ada dalam penerapan ABK adalah analisis standar belanja. Analisis Standar Belanja (ASB) dikembangkan hanya untuk kegiatan belanja langsung sifatnya strategis yang datanya berasal dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)-Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang didasarkan pada pertimbangan bahwa dokumen ini merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sehingga hasilnya dapat diharapkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, eksekutif dan legislatif.
4.3.2 Dasar Hukum ASB Dasar hukum pengembangan Standar Analisis Belanja adalah: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 298 ayat (3): ”Belanja Daerah untuk pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”; 2. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 39 ayat (2) : “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal”; 3. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 93 ayat 1 disebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal; 4. Permendagri 13 Tahun 2006 Pasal 89 Huruf e: “Dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format RKA-SKPD, analisis standar belanja, dan standar satuan harga”. Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menerbitkan pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) berdasarkan prinsip-prinsip kinerja dengan
126
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Surat Edaran (SE) Kepala Daerah. Isi Surat Edaran Kepala Daerah, yakni: a. Kebijakan Umum APBD (KUA); b. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara; c. Format RKA-SKPD; d. Kode Rekening APBD; e. Analisis Standar Belanja (ASB); f. Standar Satuan Harga. Gambar 4.11 ASB Dalam Skema Keterkaitan Instrumen-instrumen Sistem ABK RENSTRA
Pelayanan Publik
RENJA
Urusan Wajib
ABK
SPM
Tolak Ukur Kinerja
ASB
Urusan Lainnya
Pelayanan Publik
4.3.3 Apa yang Terjadi Jika ASB Tidak Ada? 1. Plafon anggaran kegiatan pada Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) ditetapkan menggunakan “intuisi”. 2. Kewajaran beban kerja dan biaya suatu kegiatan sulit diketahui yang dapat berakibat pada suburnya praktik-praktik korupsi (mark-up anggaran). 3. Penyusunan dan penentuan anggaran menjadi subjektif. 4. Dua atau lebih kegiatan yang sama mendapat alokasi yang berbeda. 5. Penyusunan anggaran menjadi terlambat. 6. Tidak memiliki argumen yang kuat jika “dianggap” melakukan pemborosan. Gambar 4.12 Posisi ASB Dalam Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah Perencanaan Input
Proses
Pelaksanaan Output
Input
Proses
Pengawasan/Pengendalian Output
Input
Proses
Output
Arah dan Kebijakan Umum Strategi dan Prioritas • Renstrada • Dokumen perencanaan lainnya • Penjaringan aspirasi • Kinerja masa lalu • Kebijakan pemerintah pusat
Program Keg. Anggaran APBD Tolak Ukur Kinerja ASB Standar biaya
Akuntansi Perda APBD
Laporan Pelaksanaan APBD Dokumen
Evaluasi Kinerja
Catatan Triwulan
Hasil Evaluasi
Akhir Tahun
BAB IV BELANJA DAERAH
127
4.3.4 Pengertian Analisis Standar Belanja Analisis Standar Belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu dan kewajaran biaya di unit kerja dalam satu tahun anggaran. Dengan kata lain, ASB merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam satu tahun anggaran. Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu, misalnya indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia, dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan disebut sebagai ASB. ASB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung dengan cermat karena akan menjadi bahan seleksi atas usulan anggaran setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang melampaui ASB akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang telah ditetapkan. Apabila anggaran program atau kegiatan lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien. Jadi dengan adanya ASB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan atau yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, ASB sudah dapat digunakan untuk mengukur esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD. Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, ASB juga merupakan standar atau pedoman yang bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang direncanakan oleh setiap SKPD. ASB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dalam upaya pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan ASB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapain kinerja program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping itu, dalam rangka menilai usulan anggaran belanja, ASB dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan kesesuaian antara program atau kegiatan yang direncanakan oleh suatu SKPD dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan.
4.3.5 Manfaat Analisis Standar Belanja (ASB) ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi lebih logis serta mendorong dicapainya esiensi secara terus-menerus. Hal tersebut dikarenakan adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktekpraktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas. Sejalan dengan hal tersebut, implementasi ASB dalam sistem anggaran memiliki banyak manfaat, yaitu: 1. Penetapan plafon anggaran dan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif (tidak lagi berdasarkan “intuisi”). 2. Dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan. 3. Meningkatkan esiensi dan keefektifan dalam pengelolaan Keuangan Daerah atau meminimalisir. terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inesiensi anggaran. 4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas.
128
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5. 6. 7. 8.
Penyusunan anggaran menjadi lebih tepat waktu. ASB memberikan kepastian terjaganya hubungan antara input dan output (target kinerja). Memiliki argumen yang kuat jika “dianggap” melakukan pemborosan. Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
4.3.6 Beberapa Pertimbangan Dalam Menyusun ASB Dalam menyusun ASB terdapat beberapa pertimbangan yang dapat dipergunakan, yaitu : 1. Pemulihan biaya (cost recovery) Pemulihan Biaya berhubungan dengan penetapan biaya (fee) kepada pengguna untuk menutupi sebagian atau seluruh biaya yang timbul dalam menghasilkan suatu produk atau jasa. 2. Keputusan-keputusan pada tingkat penyediaan jasa Keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajer pada tingkat penyediaan jasa menentukan besarnya biaya suatu produk atau jasa yang diberikan kepada pengguna. Biaya yang dikeluarkan dikategorikan wajar dan relevan jika perubahan tingkat penyediaan jasa mendorong terjadinya penyesuaian total biaya penyediaan jasa tersebut. Sebagai contoh, tingkat penyediaan jasa yang lebih rendah bisa mengurangi jumlah penggunaan orang pertahun dan biaya-biaya terkait. Hal ini akan mempunyai implikasi pada tingkat dan fungsi fungsi biaya overhead dalam mendukung program pemenuhan personil. 3. Keputusan-keputusan berdasarkan benet/cost Mengkaji dampak keputusan (manfaat-biaya) atas berbagai alternatif tindakan yang akan diambil, misalnya dampak diluncurkan atau dibatalkannya suatu program. Biaya-biaya yang relevan untuk keputusan-keputusan ini adalah biaya yang akan berubah diantara pilihan-pilihan yang bersaing. 4. Keputusan investasi Keputusan ini adalah keputusan yang menyangkut perolehan aset, yang merupakan salah satu bentuk dari keputusan benet/cost. Keputusan ini biasanya didukung oleh siklus penghitungan biaya (life-cycle costing) yang menghitung atau memprediksi seluruh biaya modal dan operasional dari suatu aset selama umurnya. Hal ini membantu para pembuat keputusan dalam menetapkan kapan dan dengan apa untuk mengganti aset.
4.3.7 Penilaian Kewajaran Dalam ASB Penilaian kewajaran dalam Analisis Standar Belanja meliputi dua aspek: penilaian kewajaran beban kerja dan penilaian kewajaran biaya. Secara terperinci dapat diuraikan seperti berikut: 1. Penilaian Kewajaran beban kerja a. Mengkaitkan secara logis antara program/kegiatan yang diusulkan dengan strategi dan prioritas APBD. b. Mensinkronkan atau menyesuaikan antara program/kegiatan yang diusulkan dengan tugas pokok dan fungsi satuan kerja yang bersangkutan. c. Kapasitas satuan kerja dalam melaksanakan program atau kegiatan pada tingkat pencapaian yang diinginkan dan dalam jangka waktu satu tahun anggaran. 2. Penilaian Kewajaran Biaya a. Mengaitkan antara biaya yang dianggarkan dengan target pencapaian kinerja (standar biaya). b. Mengaitkan antara standar biaya dengan harga yang berlaku. c. Mengaitkan antara biaya yang dianggarkan, target pencapaian kinerja dengan sumber dana.
BAB IV BELANJA DAERAH
129
4.3.8 Prinsip Dasar Penyusunan ASB Beberapa hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam penyusunan ASB, yakni, penyederhanaan (modelling), mudah diaplikasikan, mudah di up-date atau tidak mudah basi, eksibel, berlaku umum untuk spesikasi output dan kebutuhan sumber daya yang sama. Secara terperinci dapat diuraikan seperti berikut: 1. Penyederhanaan (modelling), penyusunan ASB bertujuan membuat model belanja untuk objekobjek kegiatan yang menghasilkan output yang sama. 2. Mudah diaplikasikan, model yang dibuat tidak sulit untuk diterapkan SKPD. 3. Mudah di up-date atau tidak mudah basi, model yang dibuat mudah untuk diperbaharui dalam arti jika ditambahkan data-data baru tidak mengubah formula model tersebut secara keseluruhan. 4. Fleksibel, model yang dibuat dengan menggunakan konsep belanja rata-rata dan memiliki batas minimum belanja dan batas maksimum belanja. 5. Berlaku umum untuk spesikasi output dan kebutuhan sumber daya yang sama.
4.3.9 Pendekatan Penyusunan ASB Ada 3 (tiga) pendekatan yang digunakan dalam penyusunan analisis standar belanja, yaitu: aktivitas berbasis biaya (activity based costing-ABC), regresi sederhana (ordinary least square: ols) dan metode diskusi kelompok (focused group discussion). 1. Pendekatan ABC Pendekatan Activity Based Costing (ABC) merupakan suatu teknik untuk mengukur secara kuantitatif biaya dan kinerja suatu kegiatan (the cost and performance of activities) serta teknik mengalokasikan penggunaan sumber daya dan biaya kepada masing-masing objek biaya (operasional maupun administrasi) dalam satu kegiatan. Pendekatan ABC bertujuan untuk meningkatan akurasi biaya penyediaan barang dan jasa yang dihasilkan dengan menghitung biaya tetap (xed cost) dan biaya variabel (variabel cost), sehingga total biaya dengan pendekatan ABC adalah: Biaya Total = Biaya Variabel + Biaya Tetap Proses evaluasi dan penilaian kewajaran biaya dengan pendekatan ABC dilakukan atas dasar biayabiaya per kegiatan dan bukan atas dasar alokasi bruto (gross allocations) pada suatu organisasi atau unit kerja (SKPD). Langkah-langkah yang ditempuh dalam menggunakan pendekatan ABC, adalah: a. Mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan output yang sama dalam satu kelompok. b. Menentukan aktivitas-aktivitas apa saja yang akan menyebabkan timbulnya biaya dalam satu kegiatan. c. Menentukan cost driver yang merupakan faktor-faktor yang mempunyai efek terhadap perubahan total biaya dalam satu kegiatan, atau variabel-variabel yang menjadi penyebab munculnya perbedaan biaya dalam melaksanakan suatu kegiatan tertentu.
130
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2. Pendekatan Regresi Sederhana (Ordinary Least Square: OLS) Analisis regresi sederhana adalah suatu teknik yang digunakan untuk membangun suatu persamaan yang menghubungkan antara variabel tidak bebas (Y) dengan variabel bebas (X) sekaligus untuk menentukan nilai ramalan atau dugaannya. Dalam regresi sederhana, variabel tidak bebas merupakan total biaya dari suatu kegiatan, sedangkan variabel bebas merupakan cost driver dari kegiatan tersebut. Penggunaan regresi sederhana dalam menyusun ASB berguna untuk membuat model (persamaan) regresi untuk peramalan belanja dari suatu kegiatan. Peramalan belanja dilakukan dengan cara menghitung rata-rata belanja, batas minimum belanja, dan batas maksimum belanja, serta menghitung prosentase alokasi kepada masing-masing objek belanja. 3. Pendekatan Diskusi Kelompok Terarah (Focused Group Discussion) Sesudah yang menghasilkan belanja rata-rata, maksimum dan minimum dari sekelompok kegiatan yang sama atau mirip, selanjutnya dapat dilakukan diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD). Pendekatan atau metode diskusi kelompok terarah dalam penyusunan ASB digunakan untuk memperoleh masuk-masukan dari SKPD tentang aktivitas dan output dari suatu kegiatan, dan juga masukan-masukan tentang cost driver dari suatu kegiatan. Hal tersebut dapat dilakukan sebelum dan sesudah mengumpulkan dan mengolah data, misalnya data bersumber dari RKA-SKPD. Hasil yang diharapkan dari pendekatan metode diskusi ini adalah kesepahaman tentang aktivitas, output dan cost driver dari suatu kegiatan antara penyusun dan SKPD dalam penyusunan ASB. Namun dalam kesempatan ini, penghitungan ASB hanya akan membahas pendekatan atau metode regresi.
4.3.10 ASB dan Peraturan Kepala Daerah ASB yang merupakan pedoman bagi SKPD dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah perlu dibuatkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah. Berikut adalah contoh Peraturan Kepala Daerah terkait ASB.
BAB IV BELANJA DAERAH
131
PERATURAN GUBERNUR XXX NOMOR TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS STANDAR BELANJA PEMERINTAH PROVINSI XXX GUBERNUR XXX,
132
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah yang efektif, esien dan akuntabel; b. bahwa adanya ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan sejenis dalam suatu program dan antar SKPD; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b diatas, maka perlu ditetapkan Peraturan Gubernur XXX tentang Analisis Standar Belanja
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 15. Peraturan Daerah Provinsi XXX Nomor X Tahun 200X tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN GUBERNUR XXX TENTANG ANALISIS STANDAR BELANJA PEMERINTAH PROVINSI XXX
Pasal 1 Analisis Standar Belanja adalah standar yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi XXX. Pasal 2 Analisis Standar Belanja dimaksudkan dalam Peraturan Gubernur ini meliputi bimbingan non teknis pegawai, bimbingan teknis pegawai, pendidikan dan pelatihan prestasi siswa dan masyarakat, sosialiasi, forum komunikasi/koordinasi, kajian bersama, rapat kerja, penyusunan laporan pertanggung jawaban keuangan. Pasal 3 Analisis Standar Belanja adalah sebagai alat ukur belanja kegiatan dan penyetaraan nama kegiatan yang berlaku sama untuk seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi XXX Pasal 4 Penerapan Analisis Standar Belanja bertujuan untuk meningkatkan esiensi dan efektitas pelaksanaan kegiatan dan pengendalian anggaran. Pasal 5 (1) Penyetaraan kegiatan merupakan pengelompokan kegiatan yang mempunyai ciri dan jenis yang sama atau hampir sama dalam rangka penyusunan rencana belanja. (2) Penyetaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini. Pasal 6 (1) Analisis Standar Belanja ini dipergunakan untuk menentukan besaran biaya setiap kegiatan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi XXX (2) Perhitungan Analisis Standar Belanja sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini. Pasal 7 Tatacara Penerapan Analisis Standar Belanja sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini. Pasal 6 Rencana Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi XXX yang belum ada/belum diatur penyetaraan dalam Analisis Standar Belanja ini, ketentuan besaran total belanja dan sebaran obyek belanja kegiatan ditetapkan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur. Pasal 8 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah. Ditetapkan di XX pada tanggal ……………… GUBERNUR XXX
XXXXXXXXXXXX
BAB IV BELANJA DAERAH
133
4.4 Value for Money 4.4.1 Pengantar Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian diratikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 telah menjadi peletak dasar pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia. Implikasi kedua undang-undang tersebut bagi pemerintah pusat dan daerah khususnya dibidang sistem keuangan, adalah perlunya dilakukan reformasi anggaran (budgeting reform), sistem pembiyaan (nancing reform), sistem akuntansi (accounting reform), sistem pemeriksaan laporan keuangan daerah (audit reform), serta sistem manajemen keuangan daerah. Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah dikelolanya uang rakyat secara transparan dengan mendasarkan konsep Value for Money (VFM) agar tercipta akuntabilitas publik (public accountability). Sektor publik sering dinilai sebagai sarang inesiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana dan instansi yang selalu merugi. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik memperhatikan Value for Money (VFM) dalam menjalankan aktitasnya. Tujuannya adalah agar semua program dan kegiatan yang dijalankan dengan menggunakan anggaran belanja pemerintah bisa memberikan manfaat yang paling besar bagi masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, Value for Money (VFM) merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah dalam mencapai good governance, yaitu tatakelola pemerintah daerah yang transparan, partisipatif, ekonomis, esiensi, efektif, responsif dan akuntabel. Dengan demikian, pencapaiaan good governance mensyaratkan Value for Money (VFM) tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
4.4.2 Denisi Value for Money (VFM) Value for Money (VFM) adalah istilah digunakan untuk menilai apakah sebuah suatu organisasi termasuk tentunya lembaga sektor publik telah memperoleh manfaat yang maksimum (the maximum benet) atau belum dari barang-barang dan jasa yang tersedia atau dimiliki. Value for Money (VFM) tidak hanya mengukur biaya-biaya yang berkaitan dengan barang-barang dan jasa tersebut tetapi juga memperhatikan kombinasi mutu, biaya, penggunaan sumber daya, kesesuaian dengan tujuan organisasi, ketepatan waktu dan kenyamanan untuk menilainya. Pencapaian penerapan Value for Money (VFM) dalam suatu organisasi memerlukan suatu pertimbangan dalam perencanaan dan proses penganggaran (budgeting processes) pada semua tingkat. Dalam penerapannya dibidang pemerintahan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk merencanakan dan mengimplemetasikan program-program dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik.
4.4.3 Elemen Dasar Value for Money (VFM) Ukuran keberhasilan penerapan value for money (VFM) dalam pemberian pelayanan kepada publik (masyarakat) didasarkan pada tiga kata kunci yang biasa disingkat tiga E yaitu: ekonomis, esien dan efektif. Namun dalam konteks dan konsep sustainabilitas, tiga E tersebut dapat dikembangkan menjadi 5 E yaitu ditambah dengan dua E: ekologis dan equity (adil). Secara skematis hubungan tiga E yang pertama dalam Value for Money adalah seperti Gambar 4.13 berikut:
134
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 4.13 Kaitan Ekonomis, Esiensi, dan Keefektifan dalam Value for Money Value for Money Ekonomi
#Input
Efisiensi
S Input
Keefektifan
Output
Outcome
1. Ekonomis diartikan bahwa pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah. Ekonomis merupakan perbandingan jumlah input dengan nilai input. Ekonomis =
Input harga Input
2. Esiensi diartikan menyelesaikan sesuatu pekerjaan atau kegiatan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya yang lebih sedikit. Atau dengan kata lain menggunakan input yang lebih sedikit untuk sebuah pekerjaan atau kegiatan dalam memberikan pelayanan. Esiensi merupakan perbandingan antara output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Sumber daya yang dimaksud meliputi: a. Modal termasuk uang atau biaya; b. staf; c. lahan (space); d. Konsep esiensi juga merupakan konsep yang bersifat relatif, tidak absolute dan juga terkait dengan produktitas. Esiensi =
Output Input
Untuk memperbaiki esiensi dapat dilakukan tindakan : a. Meningkatkan output untuk jumlah input yang sama. b. Meningkatkan output dengan proporsi kenaikan output yang lebih besar dibandingkan proporsi kenaikan input. c. Menurunkan input untuk jumlah output yang sama. d. Menurunkan input dengan proporsi penurunan yang lebih besar dibandingkan proporsi penurunan output. 3. Efektitas atau keefektifan diartikan menyelesaikan pekerjaan atau kegiatan dalam pemberian pelayanan kepada publik yang lebih baik dengan menggunakan sumber daya yang sama atau lebih sedikit. Efektitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output (target/result). Dengan kata lain, efektitas atau keefektifan merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Efektitas =
Outcome Output
BAB IV BELANJA DAERAH
135
4.5 Latihan 1. Jelaskan klasikasi belanja daerah menurut Permendagri 13 Tahun 2006 jo Permendagri 59 Tahun 2007 jo Permendagri 21 Tahun 2011! 2. Jelaskan perbedaan belanja daerah berdasarkan urusan wajib dan urusan pilihan! 3. Jelaskan jenis-jenis belanja daerah berdasarkan kelompok belanja! 4. Menurut Anda, anggaran untuk partai politik masuk ke dalam jenis belanja apa? Jelaskan alasan Anda! 5. Jelaskan Klasikasi Belanja Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2010 dan Permendagri Nomor 64 Tahun 2013! 6. Jelaskan manfaat yang diperoleh dari adanya SPM di pemerintah daerah! 7. Jelaskan bagaimana hubungan rencana pencapaian SPM dalam perencanaan dan penganggaran di daerah! 8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Analisis Standar Belanja! 9. Jelaskan manfaat apa saja yang diperoleh dari tersedianya ASB! 10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Value for Money! 11. Jelaskan manfaat implementasi Value for Money!
136
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB IV BELANJA DAERAH
137
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
138
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Diskripsi : Bab ini menjelaskan konsep dan berbagai sumber pembiayaan daerah dan regulasinya. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Pengertian Pembiayaan Daerah
Financing, struktur pembiayaan, penerimaan pembiayaan, pengeluaran pembiayaan.
2.
SILPA, Dana Cadangan
Sisa lebih, realisasi anggaran, beda SilPA dan SILPA.
3.
Pinjaman dan Obligasi Daerah
Pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah dan panjang, Penerimaan umum daerah, DSCR.
4.
Pengelolaan Desit
Batas maksimal desit, batasan kumulatif pinjaman negara.
5.
Penyertaan Modal Daerah dan Public Private Partnership
Perusda/BUMD, BUMN, BOT, BTO, BOO, Kontrak sewa, dll.
6.
Latihan
Bahan Bacaan: 1. Mardiasmo (2007), Perpajakan; 2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 4. PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 5. PP 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah; 7. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010, Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Panduan Bagi Investor Dalam Investasi Di Bidang Infrastruktur; 8. Anton Tarigan, 2010, Kerjasama Antar Daerah (KAD) Untuk Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah, Direktorat Otonomi Daerah Bappenas.
5.1 Pengertian Pembiayaan Daerah Pembiayaan dapat diartikan penyediaan dana (nancing) untuk tujuan tertentu. Pembiayaan dalam konteks keuangan negara dimaksudkan sebagai penyediaan dana untuk menutupi desit ataupun pemanfaatan kelebihan dana untuk investasi/penyertaan modal dan untuk dana cadangan. Di perbankan konvensional pembiayaan biasa disebut kredit untuk memperoleh barang/jasa dengan membayar cicilan atau angsuran sesuai sesuai dengan perjanjian. Dalam perbankan syariah, pembiayaan dipakai untuk mendenisikan pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain. Pembiayaan sebagai bagian dari APBD di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh PP 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada Pasal 15 di sebutkan bahwa Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan Daerah; 2. Belanja Daerah; 3. Pembiayaan.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
139
Sebelumnya (di era orde baru) APBD terdiri dari Pendapatan dan Belanja, dimana pendapatan dan belanja daerah harus balance dan pinjaman daerah merupakan bagian dari pendapatan daerah. Struktur di PP Nomor 105 Tahun 2000 dilanjutkan oleh PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah hingga sekarang. Pengertian Pembiayaan Daerah dalam peraturan pemerintah tersebut adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Sebagai konsekuensi dari struktur tersebut, terdapat dua istilah penting yang harus dipahami yaitu pendapatan dan penerimaan. Banyak orang awam yang menganggap bahwa pendapatan dan penerimaan adalah dua kata sama maknanya, padahal sangat berbeda dalam konteks anggaran daerah. Perbedaannya antara lain bahwa pendapatan adalah penerimaan dana yang secara rutin akan diterima oleh daerah, yang sudah menjadi hak daerah dan tidak perlu dibayar kembali atau penerimaan yang tidak akan mengurangi kekayaan daerah. Sedangkan dalam kata penerimaan terkandung kewajiban untuk membayar kembali atau berkonsekuensi pengurangan kekayaan daerah tertentu. Pembiayaan (Neto)
+/-
Penerimaan pembiayaan
+
Pengeluaran pembiayaan
-
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto yang negatif harus sama dengan desit anggaran (pendapatan - belanja). Sebaliknya, jumlah pembiayaan neto yang positif harus sama dengan surplus anggaran (pendapatan - belanja) Gambar 5.1
Struktur Pembiayaan Daerah
Penerimaan Pembiayaan
Pengeluaran Pembiayaan
SiLPA pencairan dana cadangan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan penerimaan pinjaman penerimaan kembali pemberian pinjaman
pembentukan dana cadangan penyertaan modal pemerintah daerah pembayaran pokok utang pemberian pinjaman
5.2 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa anggaran yang tidak tergunakan di tahun anggaran berkenaan, namun dapat digunakan di tahun berikutnya. Dalam realisasi APBD terdapat dua macam SiLPA, pertama adalah SiLPA yang menjadi salah satu penerimaan pembiayaan yang
140
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
dikenal dengan SiLPA tahun sebelumnya. Kedua adalah hasil penjumlahan surplus/defisit dengan netto pembiayaan yang disebut SiLPA tahun berkenaan. SiLPA tahun berkenaan merupakan suatu indikator yang cukup krusial dalam realisasi APBD. SiLPA tahun berkenaan yang merupakan selisih positif antara surplus/defisit dengan netto pembiayaan akan menunjukkan kinerja realisasi anggaran secara keseluruhan. Semakin tinggi SiLPA tahun berkenaan, maka semakin rendah kinerja pengelolaan APBD secara keseluruhan. SiLPA tahun berkenaan (atau sering juga disebut sebagai surplus penerimaan) menunjukkan besarnya dana publik yang tidak tergunakan dalam belanja maupun tidak tergunakan dalam transaksi pembiayaan. Dengan demikian, SiLPA tahun berkenaan betul-betul menunjukkan total dana idle pada akhir tahun yang telah berjalan. Dalam realisasi APBD terdapat dua jenis SiLPA. Pertama, SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan sisa penggunaan anggaran tahun sebelumnya dan merupakan bagian dari penerimaan pembiayaan. Kedua, SiLPA tahun berkenaan yang merupakan sisa penggunaan anggaran pada tahun berjalan dan akan menjadi salah satu penerimaan pembiayaan di tahun berikutnya. Dalam anggaran, SiLPA tahun sebelumnya cenderung dianggarkan lebih rendah dari realisasi. SiLPA tahun berkenaan mempunyai pergerakan yang meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2009-2012), bahkan besaran SiLPA tahun 2012 hampir mencapai dua kali lipat tahun 2009 (dari Rp52 triliun menjadi Rp 97 triliun). Kondisi ini menunjukkan gejala yang kurang baik karena semakin besar SiLPA tahun berkenaan maka menjadi indikasi semakin besar pula dana yang tidak digunakan dalam memenuhi pelayanan dasar kepada masyarakat. Gambar berikut ini menunjukkan perkembangan realisasi APBD per bulan dari tahun 2011 sd 2014 (triwulan I). Pada gambar tersebut terlihat bahwa realisasi APBD cenderung meningkat di akhir tahun anggaran. Gambar 5.2
Perbandingan Realisasi APBD 2011-2014 (I)
110 90
%
70 50 30 10 -10
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
2014
4,0
7,3
11,7
2013
4,1
8,4
13,6
20,5
26,9
34,3
44,8
50,6
57,6
66,6
75,5
96,1
2012
4,9
2011
4,8
8,3
13,3
20,2
26,3
34,6
42,8
50,8
58,7
66,6
75,5
96,2
8,4
14,0
20,3
26,8
34,1
42,4
54,4
58,8
67,1
76,1
98,8
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Walaupun secara nasional SiLPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang cukup besar, namun jika dilihat dari data APBD yang masuk maka akan terlihat bahwa terdapat beberapa daerah yang mempunyai nilai negatif atau lebih kecil dari nol. SiLPA tahun berkenaan yang bernilai negatif mempunyai arti bahwa pemda belum bisa menutup belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan pada tahun tersebut, sehingga nilai tersebut akan menjadi beban pada tahun berikutnya. Beberapa kondisi
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
141
tersebut mencerminkan masih belum optimalnya proses manajemen pengelolaan keuangan daerah, sehingga perlu aktivitas yang terus menerus dan sinergi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi tersebut. Dana idle merupakan dana yang tidak atau belum digunakan oleh pemerintah daerah (pemda). Dana idle yang dapat dipantau oleh pemerintah pusat setiap bulannya adalah dana idle pemda yang disimpan di perbankan. Dana pemda di perbankan merupakan akumulasi dana pemda baik yang berupa dana cadangan, investasi dan dana idle. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik berikut Gambar 5.3
Pergerakan Simpanan Dana Pemda di Perbankan Per Bulan
MILIAR RUPIAH
2011
2012
2013
2014
230.000 210.000 190.000 170.000 150.000 130.000 110.000 90.000 70.000 50.000
JAN
FEB
MAR APR
MEI
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Mayoritas APBD sejak dirancang hingga ditetapkan, khususnya pada awal tahun anggaran, lebih banyak berada pada posisi desit, dan SiLPA pada posisi yang relatif normal (bahkan pada umumnya bersaldo Nihil). Namun bila sudah masuk dalam tahap laporan realisasi APBD, SiLPA justru jumlahnya menjadi relatif besar. Artinya, pengelolaan keuangan pemerintah daerah terkesan belum profesional. SiLPA yang relatif besar tersebut umumnya ditimbulkan oleh kesalahan perkiraan pendapatan yang relatif kecil sedangkan belanja tidak sepenuhnya terealisasnya. Oleh karena itu, tidak aneh jika realisasi SiLPA di sebagian besar daerah terus bertambah besar dan jumlah keseluruhannya bahkan melampaui batas maksimum kumulatif desit APBD dalam satu tahun anggaran.
SilPA dan SILPA Perlu dibedakan antara SilPA (dengan huruf i kecil) dan SILPA (dengan huruf i besar/kapital). SiLPA (dengan huruf i kecil) adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, yaitu selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Misalnya realisasi penerimaan daerah tahun anggaran 2013 adalah Rp 571 milyar sedangkan realisasi pengeluaran daerah adalah Rp 524 milyar, maka SiLPA-nya adalah Rp 47 milyar. Sedangkan SILPA (dengan huruf i besar/kapital) adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan, yaitu selisih antara surplus/desit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup desit anggaran yang terjadi. Jika angka SILPA-nya positif berarti bahwa ada pembiayaan netto setelah dikurangi dengan desit anggaran, masih tersisa (misalnya Rp 2 milyar). Dengan kata lain bahwa secara anggaran masih ada dana dari penerimaan pembiyaan yang Rp 2 milyar tersebut yang belum dimanfaatkan untuk membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. Jika SILPA bernilai negatif berarti bahwa pembiayaan netto belum dapat menutup desit anggaran yang terjadi. Untuk itu perlu dicari jalan keluarnya, misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber penerimaan pembiayaan yang lain seperti utang dan lain sebagainya, atau dengan mengurangi belanja dan atau pengeluaran pembiayaan sehingga angka SILPA ini sama dengan nol.
142
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Grak berikut menunjukkan pergerakan SiLPA pada tahun 2008 sd 2012. Secara nasional terlihat adanya kenaikan SiLPA sejak tahun 2009, dengan peningkatan yang mencapai Rp 44,8 triliun sampai dengan tahun 2012 (atau meningkat 85,5% dalam kurun waktu empat tahun). Sebagian SiLPA ini merupakan dana idle yang disimpan oleh Pemda di perbankan. Dalam hal ini, pemerintah melakukan pemantauan dana idle pemda dengan indikator besarnya dana pemda yang disimpan di bank umum dan BPR dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan giro. Gambar 5.4
Pergerakan SiLPA Pemda Tahun 2008 – 2012 Pergerakan SILPA tahun 2008 s.d. 2012
97.026 78.317 68.216
2008
52.234
56.574
2009
2010
2011
2012
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Kotak 5.1 Setelah Berhemat Pemda Tasikmalaya Memiliki Sisa Anggaran Rp 3,8 Miliar Senin, 24 November 2014 TRIBUNNEWS.COM.TASIKMALAYA,-Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Tasikmalaya Idi S Hidayat mengatakan, setelah melakukan penghitungan esiensi dana operasional pegawai negeri sipil (PNS) di wilayahnya, pemerintah daerah setempat kini memiliki sisa anggaran mencapai Rp 3,8 miliar. Langkah ini sesuai instruksi pemerintah pusat melalui Menteri PAN-RB untuk melakukan penghematan anggaran operasional pegawai. “Kita sudah menghitung pengurangan atau penghematan anggaran operasional PNS. Hasilnya kita punya sisa anggaran mencapai Rp 3,8 miliar,” kata Idi saat ditemui di Bale Kota Tasikmalaya, Senin (24/11/2014). Menurut Idi, pengurangan biaya operasional itu terdiri dari pemotongan anggaran kunjungan pegawai ke luar daerah, rapat tak menggunakan fasilitas hotel, dan penghapusan beberapa anggaran operasional pegawai lainnya. Keputusan ini mulai berlaku bagi kepala daerah dan unsur pejabat eselon lainnya. “Misalkan ke Jakarta biasa Rp 1 juta, sekarang jadi Rp 400.000. Ke Yogyakarta biasa Rp 700.000, sekarang menjadi Rp 350.000,” kata Idi. Jumlah sisa anggaran ini, kata Idi, akan dialokasikan untuk anggaran infrastruktur di wilayahnya. Seperti untuk saluran irigasi dan pembangunan jalan di tiap kampung dan kelurahan. “ Penggunanya nanti akan sesuai instruksi Pak Presiden dan Pak Menteri untuk infrastruktur,” ungkap dia. Diberitakan sebelumnya, Menteri PAN-RB Yuddy Crysnandi mendatangi kepala daerah Kabupaten dan Kota Tasikmalaya saat hari libur pada Sabtu (22/11/2014) kemarin. Kedatangan Yuddy untuk menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo terkait kondisi pasca kenaikan harga BBM dan perubahan sikap sederhana bagi pejabat dan PNS di seluruh daerah di Indonesia. Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/11/24/
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
143
5.3 Pinjaman dan Obligasi Daerah Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah yang dilakukan harus merupakan inisiatif pemerintah daerah. Pinjaman Daerah dapat dikategorikan kepada pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek ditujukan untuk menutupi kekurangan arus kas daerah. Sedangkan pinjaman jangka menengah dan panjang ditujukan membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan, atau membiayai kegiatan investasi berupa pengadaan prasarana dan/ atau sarana daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun menghasilkan penerimaan bagi APBD. Untuk pinjaman jangka menengah dan jangka panjang wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, pinjaman yang dilakukan harus memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan, yakni taat pada peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, esien dan efektif, serta kehati-hatian. Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari: 1. Pemerintah Pusat; 2. Pemerintah Daerah lainnya; 3. Lembaga Keuangan Bank; 4. Lembaga Keuangan Non Bank; 5. Masyarakat.
Pro dan Kontra Pinjaman Melakukan pinjaman selalu menimbulkan pro dan kontra. Berbagai argumen muncul untuk mendukung Pemerintah melakukan pinjaman. Demikian juga sebaliknya, banyak argumen untuk menentang Pemerintah melakukan pinjaman. Kalangan yang menganjurkan Pemerintah melakukan pinjaman antara lain didasarkan argument berikut:
Decit Financing (Membiayai Desit). Accelerate Economic Growth (Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi). To Support Balance of Payment (Mendukung Neraca Pembayaran). Long Term Benet of the Project (Manfaat Jangka panjang dari proyek)
Negara berkembang umumnya memerlukan dana untuk membiayai desit anggaran yang tidak bisa dihindari karena kebutuhan untuk membangun lebih cepat jauh lebih besar dari kapasitas pendanaan dari pendapatan rutin. Desit diperlukan untuk membangun infrastruktur dan layanan yang dibutuhkan masyarakat. Desit yang dibiayai dengan pinjaman juga dipandang sebagai sebuah kebijakan skal yang ekspansif untuk menstimulasi perekonomian atau dalam rangka mendorong pertumbuan ekonomi (accelerate economic growth).
144
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Selain itu untuk pinjaman, terutama pinjaman luar negeri, biasanya juga dalam rangka mendukung neraca pembayaran (to support balance of payment). Negara berkembang yang mengalami dalam desit neraca perdagangan (current account decit) karena mengimpor lebih banyak barang modal, sedangkan ekspor lebih banyak dalam bentuk row meterial. Desit neraca perdagangan dapat dikompensasi dengan surplus neraca modal dengan cara mengundang investasi asing langsung (foreign direct investment) atau dengan melakukan pinjaman luar negeri. Terakhir, argumen yang cukup baik untuk melakukan pinjaman adalah proyek dengan manfaat jangka panjang (long term benet of the project). Suatu proyek pembangunan yang bermanfaat jangka panjang akan lebih adil jika dibiayai dengan pinjaman dari pada hanya dibiayai dengan pendapatan pajak tahun ini. Generasi berikutnya yang mendapat manfaat juga akan ikut membayar jika proyek tersebut dibiayai dengan pinjaman.
Pengeluaran publik seringkali tidak produktif dan tidak esien. Pertanggungjawaban penggunaan pinjaman oleh institusi publik relatif rendah. Pinjaman yang tidak produktif menjadi beban dimasa datang. Crowding-out.
Di sisi lain, kalangan yang menentang Pemerintah untuk melakukan pinjaman mengemukakan juga berbagai argumen, terutama terkait dengan tidak produktifnya dan inesiennya penggunaan dari dana pinjaman tersebut. Pinjaman yang kurang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan tidak dapat meningkatkan pendapatan Negara, justru akan menimbulkan beban bagi belanja Negara di masa datang. Beban hutang yang semakin menumpuk dan tidak diikuti oleh kemampuan Negara untuk membayar dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi makro. Selain itu, pinjaman Negara yang berlebihan dapat mengakibatkan berkurangnya ketersediaan dana untuk dipinjam swasta, sehingga tingkat bunga naik (crowding-out). Untuk itu pembatasan terhadap pinjaman harus dilakukan, baik setiap tahunnya maupun akumulasi pinjaman Negara.
Dasar Hukum Pinjaman Daerah Terkait dengan pinjaman daerah, ada beberapa peraturan terkait yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah; 4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No. 005/M. PPN/06/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Desit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah; 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. Berdasarkan peraturan di atas, ada tiga jenis pinjaman yang dapat dibuat oleh daerah, yaitu: 1. Pinjaman Dalam Negeri yang berasal dari: a. penerusan pinjaman dalam negeri, atau b. pinjaman Daerah, atau c. obligasi daerah. 2. Pinjaman yang berasal dari Luar Negeri yang merupakan penerusan pinjaman Luar Negeri. BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
145
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pinjaman daerah yaitu: a. b. c. d.
Harus merupakan inisiatif Pemda. Pemda tidak boleh memberi jaminan atas utang yang dibuat pihak lain. Aset daerah tidak bisa menjadi jaminan utang, kecuali yang dibiayai oleh Obligasi daerah. Tercatat dalam APBD.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, dapat digambarkan tipologi pinjaman daerah sebagai berikut: Gambar 5.5
Tipologi Pinjaman Daerah Pemda, BUMN, Perusahaan Daerah
Luar Negeri Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman Dalam Negeri Pemerintah
Penerusan PLN
Penerusan PDN Pemda Peminjam
Pinjaman Daerah Pemerintah, Pemda, Bank, LK Non- Bank
Obligasi Daerah Publik
Sumber: PP 10/2011, PP 30/2011, PP 1/2008
Penerusan pinjaman, baik yang bersumber dari dalam dan luar negeri, begitu pula Pinjaman Daerah, harus tertuang dalam Surat Perjanjian. Pinjaman daerah yang berupa penerusan pinjaman luar negeri (PPLN) ada di bawah wewenang Menteri Keuangan yang dikuasakan pada Direktur Sistem Manajemen Investasi (Dit. SMI) Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Dit. SMI ini dahulunya adalah Dit. Pengelolaan Investasi yang digabungkan dengan Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman. Sebelumnya, PPLN dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman. Dengan asumsi denisi yang konsisten, maka dalam PP 30/2011 menyatakan bahwa Pinjaman jangka panjang adalah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang: (a) menghasilkan penerimaan langsung, (b) menghasilkan penerimaan tidak langsung, (c) memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Sampai saat ini pinjaman daerah dominan berupa Penerusan Pinjaman. Dari total pinjaman outstanding pada akhir tahun 2011, pinjaman dari PIP mempunyai porsi sekitar 17%. Sementara itu realisasi penerusan pinjaman pada TA 2012 adalah sebesar Rp 2,2 triliun atau 25,6% dari pagu APBNP 2012 yang dianggarkan sebesar Rp 8,4 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan data TA 2011 yang mencatatkan realisasi PPLN sebesar Rp 4,2 triliun atau 36% dari pagu APBNP 2011.
146
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Berdasarkan empat dokumen Perjanjian Induk Pinjaman Dalam Negeri yang ditandatangani pada tahun 2010, 2011 dan 2012, sampai dengan 31 Desember 2012 telah ditandatangani sebanyak 83 individual loan agreement dengan total nilai IDR 2,569.36 milyar. Terhadap pinjaman tersebut, sampai dengan triwulan IV tahun 2012 telah dilakukan penarikan dana sebesar Rp 1,792.05 milyar.
Prinsip dan Persyaratan Pinjaman Daerah di Indonesia Prinsip-prinsip umum pinjaman daerah di Indonesia diatur secara khusus dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005. Secara sistematis, prinsip-prinsip pinjaman daerah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutupi kekurangan kas; 2. Pinjaman daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan; 3. Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, kecuali dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi obligasi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; 4. Pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain; 5. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah; 6. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah; Menteri Keuangan mengelola pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah pusat yang dapat berasal dari pinjaman luar negeri maupun selain pinjaman luar negeri. Pengaturan mengenai batas pinjaman daerah tidak terlepas dari pengaturan mengenai batas kumulatif desit yang diatur oleh pemerintah secara bersamaan dengan batas maksimum pinjaman daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Desit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Persyaratan pinjaman secara garis besar dapat dibagi berdasarkan jenis pinjaman daerah. Penjelasan persyaratan tersebut dapat dijelaskan berikut ini : 1. Pinjaman Jangka Pendek. Persyaratan umum bagi pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman jangka pendek adalah sebagai berikut: a. Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek sudah dianggarkan dalam APBD tahun bersangkutan. b. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda, misalnya gaji pegawai. c. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman. 2. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang. Ada empat kondisi yang menjadi persyaratan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang, yaitu: a. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah pendapatan umum APBD tahun sebelumnya.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
147
PU = PD – (DAK + DD + DP + PL) dengan PU
=
Pendapatan Umum APBD
PD
=
Jumlah Pendapatan Daerah
DAK
=
Dana Alokasi Khusus
DD
=
Dana Darurat
DP
=
Dana Pinjaman
PL
=
Pendapatan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu
Secara umum, formula Pendapatan Umum APBD di atas menunjukkan besaran pendapatan APBD yang tidak dibatasi penggunaannya. Besaran pendapatan umum ini adalah besarnya pendapatan daerah yang masih memiliki ruang kebebasan bagi pemerintah daerah untuk menggunakannya. Hal ini untuk mengantisipasi akan adanya kewajiban yang timbul dari pemerintahan daerah akibat adanya pinjaman daerah. b. Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk nilai Indeks DSCR (Debt Service Coverage Ratio) harus minimal lebih besar atau sama dengan 2,5. Formula Indeks DSCR tersebut secara prinsip menggambarkan berapa kali lebih besar pendapatan daerah yang tidak dibatasi penggunaannya dari besaran kewajiban pinjaman daerah pada setiap tahun anggaran. Semakin besar nilai indeks ini, semakin besar kemampuan skal setiap daerah dalam membayar kewajiban pinjaman daerah berupa pembayaran cicilan pokok, bunga dan biaya lainnya. DSCR = PAD + DAU + (DBH-DBHDR) – BW> 2,5 P + B + BL dengan PAD
=
Pendapatan Asli Daerah
DAU
=
Dana Alokasi Umum
DBH
=
Dana Bagi Hasil
DBHDR
=
Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi
BW
=
Belanja Wajib yaitu belanja pegawai dan belanja DPRD dalam tahun anggaran yang bersangkutan
P
=
Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan
B
=
Bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan
BL
=
Biaya lainnya (biaya komitmen, biaya provisi, dan lain-lain) yang jatuh tempo
c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat dan atau pihak luar negeri, serta pemberi pinjaman lain. d. Mendapat persetujuan DPRD. Persetujuan DPRD ini juga termasuk berkaitan dengan apakah pinjaman tersebut terus dipinjamkan dan/atau diteruskan sebagai penyertaan modal kepada BUMD.
148
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pemerintah Daerah dapat pula mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yakni dengan menerbitkan instrumen Obligasi Daerah. Penerbitan Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan pemerintah daerah dan diterbitkan di pasar modal domestik. Pemerintah pusat tidak menjamin penerbitan Obligasi Daerah. Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.
Pinjaman Daerah ke Pemerintah Pusat Salah satu sumber pinjaman dari pemerintah pusat yaitu Dana Investasi Pemerintah, termasuk di dalamnya dana yang dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dan menjadi operator investasi Pemerintah. Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Investasi di bidang pembangunan infrastruktur sebagai salah satu fokus dari investasi PIP didasarkan pada alasan filosofis bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Salah satu bentuk investasi langsung PIP adalah pemberian pinjaman kepada pemda. Pinjaman yang diberikan PIP kepada pemda dibatasi hanya untuk pembangunan infrastruktur dasar, antara lain mencakup: Ketenagalistrikan, Jalan/Jembatan, Transportasi, Pasar, Rumah sakit, Terminal, dan Air Bersih. PIP adalah bentuk tindak lanjut UU Perbendaharaan Negara yang mengamanatkan pemerintah melaksanakan investasi jangka panjang yang memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lainnya (Pasal 41). Dengan mengeluarkan PP 8/2007 tentang Investasi Pemerintah yang kemudian diubah dengan PP 1/2008 yang memuat perluasan bentuk investasi pemerintah. Unit yang semula ditunjuk sebagai pelaksana PP 8/2007 adalah Satker Sementara Badan Investasi Pemerintah yang berada di bawah Dit. Pengelolaan Dana Investasi, Ditjen Perbendaharaan. Unit ini berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) dengan status bertahap. Selanjutnya untuk menegakkan azas Good Governance pemerintah memisahkan fungsi regulator dan operator untuk pengelolaan investasi negara. Fungsi regulator tetap dipegang oleh Direktorat Pengelolaan Dana Investasi, sedangkan fungsi operator dilaksanakan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang berasal dari Satker Sementara BIP. PIP kemudian menjadi BLU penuh pada tahun 2009. PIP mendapatkan pembinaan teknis oleh Ditjen Perbendaharaan dan pembinaan administrasif oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
149
Gambar 5.6
Prosedur Pinjaman ke PIP
PROSEDUR PINJAMAN PIP PERSIAPAN DI DAERAH 1) Memastikan bahwa Proyek yang diususlkan telah masuk pada RPJMD. 2) Memastikan Perencanaan proyek telah diselesaikan (DED,Master Plan). 3) Memastikan status tanah proyek milik Pemda yang dibuktikan dengan sertikat. 4) Adanya peranan pendanaan dari APBD atas pembangunan proyek. 5) Adanya persetujuan dari DPRD atas rencana pinjaman. 6) Adanya pertimbangan Menteri Dalam Negeri atas rencana pinjaman.
PENGAJUAN USULAN PINJAMAN KE PIP 1) Mengajukan surat Permohonan kepada Kepala PIP. 2) Pembahasan Teknis antara Pejabat Teknis Pemda dan PIP. 3) Presentasi kepala Daerah Di PIP (sangat dianjurkan unsur pimpinan DPRD didikutsertakan). 4) Menyampaikan Proposal, studi kelayakan dan dokumen pendukung berdasarkan surat dari PIP. 5) Tim Analis PIP melakukan penelitian kelayakan proyek. 6) PIP meminta analisis Keuangan Pemerintah Daerah kepada DJPK.
PERSETUJUAN PINJAMAN 1) Tim Analisis Manyampaikan hasil Analisa ke Kepala PIP untuk mendapatkan persetujuan diterima/ ditolak, atas: • Pinjaman sampai RP 100 M dengan jangka waktu sampai 5 tahun persetujuan oleh Kepala PIP. • Pinjaman di atas 100 M - 500 M dengan jangka waktu diatas 5-10 tahun mendapatkan persetujuan Dewan Pengawas PIP. • Di atas 500 M dan jangka waktu di atas 10 tahun mendapatkan persetujuan Komite Investasi Pemerintah Pusat (KIPP). 2) Penyampaian Indicative offer Kepada Pemda. 3) Persetujuan Pemda terhadap Indicative offer yang ditawarkan PIP. 4) Persetujuan pinjaman. 5) Penandatanganan perjanjian perizinan.
SYARAT EFEKTIF PINJAMAN 1) Perda tentang Pinjaman Daerah. 2) Surat pernyataan Kepala Daerah bersedia dipotong DAU dan atau DBH secara langsung. 3) Surat Kuasa Kepala Daerah kepada Dirjen PK untuk melakukan pemtongan DAU dan atau DBH. 4) Surat pernyataan tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari Gubernur/Bupati/ Walikota. 5) Legal Opinion dari Biro/Kabag Hukum Pemerintah Daerah. 6) Penyaluran Dana Pinjaman.
Sumber: Bahan Presentasi Kasubdit Pinjaman Daerah DJPK pada ToMAT (Training of Master Trainer) 15 Januari 2015
150
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 5.7
Prosedur Pinjaman ke Perbankan
PROSEDUR PINJAMAN PERBANKAN PEMDA
MENDAGRI
MENKEU
PERBANKAN
1. Merencanakan kegiatan dan menyiapkan proposal 2. Meminta persetujuan DPRD 3. Menyampaikan rencana pinjaman kepada Mendagri untuk mendapatkan pertimbangan 4. Melakukan Koordinasi dengan Menkeu 5. Berkoordinasi dengan Mendagri dalam rangka memberikan pertimbangan 6. Memberikan pertimbangan 7. Mengajukan Usulan pinjaman kepada perbankan setelah mendapat pertimbanagan Mendagri 8. Melakukan penilaian atas usulan pinajaman sesuai ketentuan perundang-undangan 9. Memberikan Persetujuan pinjaman 10. Penandatanganan Perjanjian Pinjaman
Sumber: Bahan Presentasi Kasubdit Pinjaman Daerah DJPK pada ToMAT (Training of Master Trainer) 15 Januari 2015.
5.4 Pengelolaan Defisit Salah satu fungsi anggaran pembiayaan adalah bagaimana membiayai desit anggaran. Jika Pemerintah Daerah mengalami desit, maka pembiayaan netto harus positif sebesar desit. Artinya penerimaan pembiayaan harus jauh lebih besar dari pengeluaran pembiayaan. Desit anggaran dapat dibiayai dengan SilPA yang cukup besar, pencairan dana cadangan, penjualan saham (dari penyertaan modal) daerah, dan melakukan pinjamaan (penambahan pinjaman). Membiayai desit dengan SilPA, dana cadangan dan penjualan saham daerah tidak memiliki konsekuensi kewajiban di masa mendatang, karena tidak harus dibayar. Artinya Pemerintah boleh desit sebesar apapun jika dibiayai dengan ketiga sumber pembiayaan tersebut. Sehingga tidak perlu ada kontrol terhadap desit yang dibiayai dengan ketiga sumber tersebut. Namun pembiayaan desit dari ketiga jenis sumber tersebut umumnya tidak bisa diandalkan untuk pembangunan infrastruktur yang berskala besar yang membutuhkan dana dalam jumlah yang sangat besar pula.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
151
Sementara itu desit yang dibiayai dengan pinjaman/obligasi akan menimbulkan kewajiban untuk membayar kembali pinjaman/obligasi tersebut di masa datang pada saat jatuh tempo. Untuk itu pembiayaan desit dengan pinjaman/obligasi daerah harus dikontrol dan dikelola dengan baik agar tidak memberatkan keuangan daerah di masa mendatang. Pembatasan terhadap pembiayaan desit dengan pinjaman/obligasi untuk keuangan negara maupun daerah ada di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Total desit Anggaran Negara (termasuk total desit seluruh) yang dapat dibiayai dengan penarikan pinjaman tiap tahunnya dibatasi maksimum sebesar 3% PDB (Produk Domestik Bruto). Pembatasan dalam UU ini sejalan dengan kesepakatan internasional (Mastricht Treaty 1992). Pembatasan dalam UU juga terkait dengan total Hutang Negara (termasuk total hutang seluruh daerah) yang tidak boleh melebihi 60% GDP. Kontrol terhadap desit APBN setiap tahunnya ada dalam UU APBN yang tentunya mengacu kepada UU 17/2003. Sedangkan kontrol terhadap desit seluruh daerah yang dapat dibiayai dengan pinjaman/obligasi dilakukan oleh Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan setiap bulan Agustus menetapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai batas maksimal defisit APBD dan batas maksimal pinjaman daerah dalam rangka pengendalian batas maksimal defisit tersebut. Jika di UU APBN ditetapkan desit 2% PDB, maka kumulatif desit seluruh daerah tidak boleh melebihi 1% PDB. Sebagai contoh untuk tahun anggaran 2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.07/2012 menetapkan batas maksimal kumulatif defisit seluruh APBD untuk Tahun Anggaran 2013 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari perkiraan PDB Tahun Anggaran 2013. Angka itu lebih rendah dari batas maksimal yang diizinkan UU 17/2003. Mestinya total desit seluruh daerah diperbolehkan maksimal hingga 1,3% PDB karena desit APBN 2013 ditetapkan hanya 1,7% PDB. Berdasarkan pagu total desit seluruh daerah tersebut, Menteri Keuangan kemudian menentukan batas maksimal defisit APBD 2013 untuk masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari perkiraan pendapatan daerah tahun anggaran 2013 tersebut. Pemerintah daerah wajib melaporkan rencana defisit APBD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebelum APBD ditetapkan. Dalam hal defisit APBD yang akan ditutup dengan pinjaman melebihi pagu tersebut, maka defisit APBD tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.
5.5 Penyertaan Modal Daerah dan Public Private Partnership 5.5.1 Penyertaan Modal Daerah Di dalam pengeluaran pembiayaan ada rekening penyertaan modal daerah yang merupakan salah satu bentuk keleluasaan bagi Pemda untuk memanfaatkan surplus, penyediaan layanan daerah melalui perusahaan daerah dan investasi untuk menggerakkan perekonomian daerah. Penyertaan modal daerah adalah penempatan dan/atau penanaman dana dan/atau pemisahaan kekayaan daerah dalam bentuk uang dan/atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Penyertaan modal daerah dapat terjadi dalam tiga bentuk: 1. Penyertaan modal ke Perusahaan Daerah/BUMD; 2. Penyertaan modal ke Perusahaan Milik Negara/BUMN; 3. Penyertaan modal ke Perusahaan Milik Swasta atau kelompok usaha masyarakat. Penyertaan modal ke Perusahaan Daerah atau membentuk BUMD yang bertugas untuk menyediaan layanan daerah yang relatif lebih komersial adalah sesuatu yang diperbolehkan, dengan harapan
152
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Perusda/BUMD dikelola secara profesional dan lebih leluasa mengelola dana serta mendapatkan pendanaan secara komersial. Pembentukan Perusda seperti PDAM, PD Pasar tentunya dimaksudkan agar layanan tersebut dikelola secara lebih profesional. Penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berlokasi di daerah ataupun ke Perbankan daerah adalah bentuk partisipasi daerah untuk menggerakkan roda perekonomian lokal. Sementara itu penyertaan modal ke perusahaan swasta biasanya dimaksudkan untuk kerjasama penyediaan layanan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah.
5.5.2 Public Private Parnership (Kerjasama Pemerintah Swasta/KPS) Opsi lain untuk sumber pembiayaan pembangunan adalah melalui Publik Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Public-Private Partnership (Kerjasama Pemerintah dengan Swasta) selanjutnya disingkat adalah suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta. Beberapa ciri-ciri KPS adalah: pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah dalam jangka waktu tertentu. pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi tersebut, fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak swasta selama masa kontrak. KPS tetap harus didasarkan prinsip transparansi dan kompetisi agar: Jaminan “harga pasar”, tol, retribusi, dan sebagainya yang terendah. Memperbaiki kemungkinan diterimanya proyek tersebut oleh masyarakat umum. Meningkatkan kesediaan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah. Menurunkan biaya pendanaan. Mengurangi resiko kegagalan proyek. Meningkatkan kemudahan memperoleh perijinan untuk proyek. Membantu untuk menarik pihak swasta yang lebih berkualitas dan berpengalaman. Melindungi pejabat pemerintah dari tuduhan melakukan “KKN”. Meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Semua proyek KPS di Indonesia harus dilakukan lewat proses pengadaan yang kompetitif yang didahului oleh suatu proses yang struktural yang pada umumnya termasuk proses pra-kualikasi. Saat ini, KPS diatur melalui Peraturan Presiden yaitu Perpres Nomor 67 Tahun 2005. Ada anjuran agar dipayungi oleh undang-undang khusus, misal: BOT Law atau PPP Law karena Perpres kurang kuat. Memang dimungkinkan diatur dengan Perpres karena tidak dilarang oleh UU yang berlaku.
Berbagai Bentuk KPS 1. Kontrak Pelayanan. Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. Beberapa contoh kontrak adalah kontrak pembersihan jalan, pengumpulan dan pembuangan sampah, pemeliharaan jalan, pengerukan kali, jasa mobil derek. 2. Kontrak Manajemen. Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
153
panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/xed fee. Beberapa contoh kontrak manajemen adalah perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landll), pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant), pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah). 3. Kontrak Sewa (lease). Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (xed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun. Beberapa contoh kontrak sewa (lease) adalah taman hiburan (entertainment complex), terminal Udara/bandara, armada bis atau transportasi lainnya. 4. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT. BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun. Beberapa variasi dengan “tema” sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-Lease-Transfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (BuildTransfer-Operate), CAO (Contract-Add-Operate), DOT (Develop-Operate-Transfer), ROT (RehabOperate-Transfer), ROO (Rehab-Operate-Own) Development. Beberapa contoh Kontrak BOT adalah Pembangkit Listrik (Independent Power Producer/IPP), Jalan Toll, Terminal Udara (Airports), Bendungan& bulk water supply, Instalasi Pengolahan Air (water/waste water treatment plant), Pelabuhan Laut (Seaports), Fasilitas IT (Information Technology). 5. Kontrak Konsesi. Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggungjawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun. Tidak ada batasan tentang cara pelaksanaan KPS dalam suatu proyek di Indonesia, meskipun dengan syarat cara yang dipakai tersebut harus dapat menfasilitasi pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak yang dinilai paling baik dalam proses pengelolaannya. Di sejumlah negara, keputusan untuk melaksanakan suatu proyek berdasarkan KPS dan pemilihan pelaksanaan KPS adalah ditentukan berdasarkan analisis “Value for Money” (VFM). Analisis VFM yang tradisional menentukan apakah dengan pendekatan KPS, penyaluran jasa dan infrastruktur dapat dilakukan secara lebih efektif dan eisien dalam hal biaya dibandingkan dengan pendekatan sektor publik yang standar, sebagaimana dimaksud dengan Pembanding Sektor Publik atau Public Sector Comparator (PSC). Meskipun demikian, pendekatan tradisional ini berasal pada asumsi yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di Indonesia. Contohnya, analisis tradisional VFM menggunakan PSC secara implisit yang mengasumsikan bahwa pembangunan infrastruktur oleh sektor publik/pemerintah merupakan pilihan yang realistis. Namun hal itu mungkin tidak berlaku di Indonesia karena adanya keterbatasan terhadap dana dan kapasitas dari pemerintah. Pada dasarnya KPS bukanlah menambah sumber pembiayaan bagi Negara tetapi menggeser sebagian beban pembiayaan ke pihak swasta dan masyarakat dengan imbalan pembangunan infrastruktur yang lebih cepat dan lebih berkualitas. KPS bukanlah obat ajaib untuk mengatasi segala kesulitan
154
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
keuangan dalam membangun infrastruktur. KPS harus dipandang sebagai salah satu metode procurement yang memiliki kerumitan tersendiri tetapi menyuguhkan beberapa keunggulan dalam public service delivery. Jika dikaitkan dengan langkah kedua dalam mengatasi masalah infrastruktur daerah yaitu (ii) memperbaiki manajemen perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur, maka kelebihan KPS sesuai dengan hal ini. Pertama, KPS adalah output-based contract. Perusahaan pelaksana terikat kontrak untuk menyediakan pelayanan publik dengan indikator output yang jelas. Dalam model input-based, pemerintah mengalokasikan dana dengan output yang tidak ditentukan di awal. Karena KPS mensyaratkan unsur pemerintah terlibat dalam konsorsium pelaksana, maka diharapkan akan meningkatkan kapasitas pemda dalam menyediakan pelayanan publik.8 Kedua, KPS mensyaratkan proses yang memenuhi good corporate governance (GCG). Sejak proses penentuan investasi, ketika pemerintah memutuskan apakah proyek tersebut dibutuhkan, kemudian ke tahap melakukan exercise dari berbagai pilihan investasi (swasta, publik, KPS?)9 dan jika diputuskan sebagai KPS maka akan masuk ke proses prekualikasi, bidding, kontrak, nancial closing, dan monev pelaksanaan. Semuanya harus memenuhi standar GCG untuk mendapatkan pemenang kontrak terbaik. Ketiga, KPS didasarkan pada periode full project life-cycle. Perencanaan KPS dilakukan dalam periode satu masa “hidupnya”, sehingga kontrak KPS umumnya mencakup periode 20-30 tahun. Hal ini memungkinkan kalkulasi yang komprehensif dan pembiayaan yang lebih esien, karena pelaksana mempunyai horison waktu yang lebih panjang untuk mencapai skala ekonomi yang lebih baik.10 KPS juga menjamin keberlangsungan proyek karena kewajiban penyediaan dana digeser pada pihak pelaksana yang mencari lenders/sponsors. Keempat, proyek KPS relatif lebih aman dari intervensi politik. Hal ini disebabkan risiko politik yang ditanggung pemerintah, sehingga pemerintah harus konsisten jika tidak ingin menanggung kompensasi kerugian. Kekurangan dari KPS adalah: tingkat kompleksitas yang relatif tinggi menyebabkan proses yang lebih lama, menuntut kapasitas tertentu SDM sektor publik agar mampu mendesain dan bernegosiasi dengan baik, memerlukan biaya persiapan yang cukup tinggi, dan untuk beberapa sektor cukup sulit dilakukan karena sifat risiko yang sulit ditangani. Tetapi contoh dari berbagai negara berkembang lainnya menunjukkan bahwa KPS untuk barang publik lokal bisa berhasil dan menjadi salah satu alternatif pembangunan infrastruktur. Peraturan yang ada sekarang sudah memadai hanya mungkin perlu beberapa kelengkapan sesuai dengan sifat proyek KPS. Masalah yang lebih penting adalah ketiadaan sistem yang memberikan kejelasan prosedur dan pemimpin proses.
8 Contoh 1: air minum, maka kontrak akan memuat indikator output seperti: kualitas air minum (kadar kandungan bakteri dan zat-zat tertentu), debit air per detik, keandalan aliran air setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun, jangkauan daerah pelayanan, kecepatan pemasangan koneksi baru, kecepatan perbaikan, dan sebagainya. Contoh 2: proyek Kereta Api, maka kontrak akan memuat beberapa klausul seperti: jumlah penumpang yang dapat diangkut setiap harinya dalam distribusi waktu yang disetujui, spesikasi kecepatan angkut, kenyamanan dan keselamatan kereta, dan tingkat keandalan operasional dan perawatan fasilitas. 9 Dua prinsip penting yang umum dipakai adalah: (1) Value for Money (VFM) di mana pemerintah memutuskan jenis investasi berdasarkan manfaat (utility) tertinggi yang didapat dari kombinasi biaya, esiensi, dan efektivitas proyek. (2) Public Sector Comparator (PSC) adalah estimasi biaya jika proyek tersebut dilakukan dengan skema publik. 10 Contoh: proyek konstruksi yang selesai dalam waktu 4 tahun, maka kontraktor cenderung akan memilih material yang lebih murah asal tidak rusak selama masa konstruksi + garansi (misalnya 1-2 tahun setelah serah terima proyek). Tetapi pada proyek KPS, pembangun akan memilih material yang paling optimal untuk selama masa hidup proyek, misalnya 25 tahun. Harga material ini pasti lebih mahal dibandingkan dengan material yang masa pakainya 5 tahun, tetapi dalam periode 25 tahun, biaya total material kedua akan lebih murah.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
155
Kotak 5.2 Ini Penyebab Banyaknya Proyek Infrastruktur KPS Tak Tuntas Selasa, 24 Februari 2015 JAKARTA, KOMPAS.com - Kendati banyak program percepatan pembangunan infrastruktur mulai direalisasikan pemerintah, namun tak sedikit yang tak kunjung tuntas dan masih terus berjalan. Sebut saja proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 2 x 1.000 Megawatt di Batang, Jawa Tengah, proyek terminal Cruise Tanah Ampo Bali, proyek jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi dan proyek kereta ekspres layang Bandara Soekarno-Hatta-Halim Perdanakusuma. Keempat proyek tadi adalah merupakan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Skema KPS ditempuh karena pembangunan infrastruktur tidak bisa dilakukan dan hanya mengandalkan anggaran negara, melainkan harus melibatkan stake holder, di antaranya perusahaan swasta. Namun demikian, menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, mangkraknya proyek infrastruktur KPS disebabkan oleh empat faktor utama. Pertama adalah semua proyek mangkrak kurang persiapan, dan tidak melalui studi kelayakan (feasibility study) yang siap tender. “Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM) dan manajemen KPS belum siap pada tataran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Ketiga, tidak ada satu lembaga KPS terpusat, karena tercerai berai di Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Koordinator Ekonomi,” beber Bernardus kepada Kompas.com, Senin (23/2/2015) Faktor keempat, lanjut dia, adalah manajemen pemerintah yang tidak handal secara komersial menangani tender internasional. “Sampai hari ini penjaminan pemerintah masih nol, kecuali pembangkit Batang, yang juga masih belum jalan. Partisipasi ekuitas melalu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) pun hanya sebatas pinjaman (lending). Belum mampu membangun project nancing di Indonesia,” tutur Bernardus. Oleh karena itu, menurut Bernardus, Presiden Joko Widodo harus membentuk unit kerja khusus yang bertanggung jawab langsung untuk mempersiapkan dan manjalankan tender KPS, baik untuk solicited maupun unsolicited, termasuk proyek prioritas. “Sebaiknya unit kerja khusus ini tidak diisi birokrat, melainkan pejabat yang handal secara komersial, memahami dan diterima di lingkungan infrastruktur internasional, dan mampu melaksanakan majemen tender KPS secara komersial,” tandas Bernardus. Selain itu, organ pembiayaan infrastruktur pemerintah, dalam hal ini PT SMI, harus mampu melakukan dobrakan dan memperlihatkan kepemimpinannya menjadi pionir perubahan. “Mereka harus melakukan gebrakan persiapan proyek dan membantu percepatan proyek unggulan. Ambil kesempatan, dan ambil keputusan, termasuk keputusan komersial KPS,” pungkas Bernardus. Sumber: http://properti.kompas.com/index.php/read/2015/02/24/090000021/
156
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5.6 Kerjasama Antar Daerah (KAD) Kerjasama antar daerah (KAD) terkadang sangat diperlukan untuk mewujudkan pelayanan daerah yang baik. KAD terutama dilakukan dengan pertimbangan esiensi, efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan untuk bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Namun untuk mewujudkan KAD memerlukan langkah dan upaya. Kerjasama Antar Daerah (KAD) hanya dapat terbentuk dan berjalan apabila didasarkan pada adanya kesadaran saling membutuhkan untuk mencapai satu tujuan. Oleh karena itu, inisiasi Kerjasama Antar Daerah (KAD) baru dapat berjalan dengan efektif apabila telah ditemukan kesamaan isu, kesamaan kebutuhan atau kesamaan permasalahan. Kesamaan inilah yang dijadikan dasar dalam mempertemukan daerah-daerah yang akan bermitra. Kerjasama bisa meningkat atau lebih efektif dalam perjalanannya apabila ada dukungan dari pihak luar khususnya pendanaan, permintaan dan dukungan dari masyarakat. Namun hal utama yang harus mendasari sebuah kerjasama adalah adanya komitmen dari masing-masing Pemerintahan Daerah. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen untuk bekerjasama dalam penanganan isu-isu yang telah disepakati, dan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibanding kepentingan masing-masing daerah. Komitmen tersebut perlu dimiliki oleh para pejabat, baik pada level teknis, manajerial, maupun pimpinan, sehingga langkah-langkah yang diperlukan, termasuk pemangkasan birokrasi dalam kerjasama. Kerjasama Antar Daerah (KAD) diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konik kepentingan antar-daerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Kebutuhan akan Kerjasama Antar Daerah di Indonesia baru dirasakan oleh daerah pada sekitar tahun 1990-an. Muncul inisiatif dari daerah perkotaan sekunder di Indonesia untuk melaksanakan kerjasama pada daerah yang berbatasan. Awalnya, pemicu dari kebutuhan ini lebih pada keperluan akan integrasi pengelolaan infrastruktur perkotaan. Namun dalam perkembangannya kerjasama ini berkembang pada aspek-aspek yang lebih luas, seperti aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Kerjasama Antar Daerah daerah ini dapat diinisiasi oleh pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. Beberapa contoh kerjasama antar daerah antara lain: 1. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo (Subosuko) 2. Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul) 3. Kotamadya Malang-Kabupaten Malang 4. Kota Semarang-Kendal-Kabupaten Semarang-Purwodadi (Kedung Sepur) 5. Wilayah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) 6. Purbalingga-Banyumas-Cilacap-Kebumen (Barlingmas Cakep) 7. Pacita-Wonogiri-Gunung Kidul (Pawonsari) (Sumber: http://www.academia.edu/8274045 oleh Denny Hernawan)
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
157
Isu-isu strategis yang berkaitan dengan pentingnya KAD (Anton Tarigan,2010) adalah : 1. Peningkatan Pelayanan Publik. KAD diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan publik. Efektivitas dan esiensi dalam penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sebagainya juga menjadi isu yang penting, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Yang dimaksud peningkatan pelayanan publik adalah juga pembangunan infrastrukutur, mencakup jaringan jalan, pembangkit listrik, dan sebagainya. 2. Kawasan Perbatasan. Kerjasama keamanan di kawasan perbatasan juga menjadi salah satu isu strategis. Selain dalam hal keamanan, kerjasama di kawasan perbatasan juga difokuskan pada pengembangan wilayah, karena daerah-daerah di kawasan perbatasan ini sebagian besar adalah daerah tertinggal. 3. Tata Ruang. Keterkaitan tata ruang antar daerah diperlukan dalam hal-hal yang dapat mempengaruhi lebih dari satu daerah, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, dan sebagainya. 4. Penanggulangan Bencana dan Penanganan Potensi Konik. Usaha mitigasi bencana dan tindakan pasca bencana, apabila bercermin dari pengalaman di NAD, Alor dan Nabire, serta daerah lainnya, ternyata keadaan ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang baik antar daerahdaerah yang berdekatan. 5. Kemiskinan dan Pengurangan Disparitas Wilayah. Keterbatasan kemampuan, kapasitas dan sumber daya yang berbeda-beda antar daerah menimbulkan adanya disparitas wilayah dan kemiskinan (kesenjangan sosial). Melalui kerjasama antar daerah, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas daerah dalam penggunaan sumber daya secara lebih optimal dan pengembangan ekonomi lokal, dalam rangka menekan angka kemiskinan dan mengurangi disparitas wilayah. 6. Peningkatan peran Provinsi. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengisyaratkan perlunya peningkatan peran provinsi, termasuk dalam memfasilitasi penyelesaian permasalahanpermasalahan antar daerah. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan provinsi dalam menyelenggarakan/mendorong kerjasama antar daerah (local government cooperation). Peranan ini terutama dalam kapasitas provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dan sebagai fasilitator dan katalisator Kerjasama Antar Daerah (KAD). 7. Pemekaran Daerah. Kerjasama Antar Daerah (KAD) dapat menjadi salah satu alternatif lain untuk meningkatkan efektivitas dan esiensi penyelenggaraan pelayanan publik selain kebijakan pemekaran daerah. Hal ini mengingat kebijakan pemekaran memerlukan lebih banyak sumber daya dibanding Kerjasama Antar Daerah (KAD), dan perkembangan daerah otonom baru tidak selalu memberikan hasil seperti yang diinginkan.
Regulasi KAD Berbagai bentukan kerjasama yang telah berkembang selama ini, belum didasarkan oleh peraturan perundang-undangan tertentu, namun lebih didasarkan oleh kesadaran untuk melakukan kerjasama. Dalam perkembangannya memang diperlukan payung hukum, meskipun pelaksanaan teknis kerjasama itu sendiri akan sangat tergantung dari karakteristik daerah-daerah yang terkait. Peraturan perundangan tersebut diperlukan sebagai pedoman penyelenggaraan untuk daerah-daerah yang akan membentuk kerjasama dan sebagai pedoman penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Regulasi pertama setelah desentralisasi yang mengatur tentang Kerjasama Antar Daerah (KAD) adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. Setelah itu, dimulai penyusunan PP mengenai Kerjasama Antar Daerah (KAD) yang kemudian disahkan pada tahun 2007, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah.
158
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PP 50/2007 memang sangat dinantikan oleh daerah. Dalam PP ini, yang dimaksud dengan kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Adapun objek kerja sama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Menurut PP tersebut, penyelenggaraan Kerjasama Antar Daerah hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip esien; efektif; sinergi; saling menguntungkan; kesepakatan bersama; itikad baik; mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI; persamaan kedudukan; transparan; adil; dan kepastian hukum. Untuk tata cara kerjasama antar daerah diatur hal-hal sebagai berikut: 1. Kepala daerah atau salah satu pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja sama kepada kepala daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu. 2. Apabila para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama tersebut dapat ditingkatkan dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama yang paling sedikit memuat: a. subjek kerja sama; b. objek kerja sama; c. ruang lingkup kerja sama; d. hak dan kewajiban para pihak; e. jangka waktu kerja sama; f. pengakhiran kerja sama; g. keadaan memaksa; dan h. penyelesaian perselisihan. 3. Kepala daerah dalam menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama melibatkan perangkat daerah terkait dan dapat meminta pendapat dan saran dari para pakar, perangkat daerah provinsi, Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait. 4. Kepala daerah dapat menerbitkan Surat Kuasa untuk penyelesaian rancangan bentuk kerja sama. Adapun Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dalam hubungannya dengan DPRD, rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari DPRD dengan ketentuan apabila biaya kerja sama belum dianggarkan dalam APBD tahun berjalan dan/atau menggunakan dan/atau memanfaatkan aset daerah. Akan tetapi kerja sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan biayanya sudah dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat persetujuan dari DPRD. Untuk penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan kerjasama, diharapkan dapat diselesaikan dengan musyawarah. Akan tetapi, apabila kata mufakat tidak dapat dicapai, maka untuk kerjasama antar daerah- daerah yang terdapat dalam satu provinsi, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan dengan keputusan Gubernur provinsi tersebut. Sementara untuk kerjasama antar Provinsi, dapat dilakukan dengan keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 ini juga diatur mengenai pembentukan Badan Kerjasama. Badan Kerjasama ini dapat dibentuk untuk Kerjasama Antar Daerah (KAD) yang dilakukan secara terus-menerus atau berlangsung dalam waktu minimal 5 tahun. Badan Kerjasama ini bukan bagian dari perangkat daerah dan dibentuk dengan keputusan bersama Kepala Daerah. Tugas Badan Kerjasama ini termasuk pengelolaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah (KAD). Selain itu, Badan Kerjasama juga dapat memberikan masukan atau saran mengenai langkahlangkah yang diperlukan apabila ada permasalahan dalam pelaksanaan kerjasama. Adapun untuk biaya penyelenggaraan Badan Kerjasama ini menjadi tanggung jawab bersama Kepala Daerah-daerah yang terkait dengan kerjasama.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
159
Model Kerjasama Antar Daerah (KAD) Berikut berbagai contoh model-model Kerjasama Antar Daerah (Anton Tarigan, 2010): 1. Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama ini cukup esien dan lebih eksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainability kerja sama yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena itu, bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu strategis. 2. Fee for Service Contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati kedua daerah. 3. Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah- pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan. 4. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut. 5. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isuisu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi. Adapun dalam rangka pengembangan perekonomian wilayah, model kerjasama yang dapat dijalankan adalah sebuah badan kerjasama yang independen atau terpisah dari kelembagaan pemerintah daerah, dan dikelola secara profesional dengan prinsip manajemen bisnis murni. Hal ini karena badan semacam ini dapat bergerak lebih eksibel dan terpisah dari birokrasi yang kadang menghambat inovasi-inovasi strategi perdagangan. Model kerjasama ini perlu didukung dengan strategi-strategi tertentu dalam menghadapi era globalisasi, karena peningkatan daya saing wilayah pada hakikatnya saat ini tidak hanya diperlukan dalam konteks daya saing diantara wilayah lain, melainkan juga dalam konteks internasional.
160
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kotak 5.3 Masalah Perkotaan Butuh Penanganan Terpadu Kamis, 8 September 2014 Kawasan terbangun perkotaan telah meluas melewati batas administrasi kota dan membentuk kawasan Metropolitan semisal Jabodetabek, Sarbagita, Maminasata, Kartamantul, Kedungsepur, Banjarbakula, dan Bandung Raya yang merupakan satu kesatuan sistem perkotaan. Permasalahan di perkotaan terkait lingkungan, transportasi, pengelolaan sampah, drainase, penyediaan air bersih, pengelolaan air limbah, dll yang merupakan kebutuhan dasar pelayanan terhadap masyarakat perkotaan bukan hanya menjadi beban satu kota, melainkan menjadi persoalan perkotaan yang terpadu. Itu sebabnya, penangannya pun membutuhkan sistem terpadu yang melibatkan kota-kota di sekitarnya yang berdekatan. Demikian hal penting yang disampaikan Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri dalam Rapat Teknis Revitalisasi Badan Kerja Sama Kawasan Metropolitan, pada 5 s.d.7 Mei 2014, di Surakarta. “Bersamaan dengan pesatnya perkembangan Kawasan Perkotaan, tumbuh pula berbagai persoalan pada kawasan perkotaan, yakni lingkungan, transportasi, pengelolaan persampahan, drainase, penyediaan air bersih, dan pengelolaan air limbah yang merupakan kebutuhan dasar pelayanan terhadap masyarakat perkotaan,” jelas Dr. H. Muh. Marwan, M.Si dalam sambutannya. “Persoalan tersebut saling berkaitan erat dan tidak terbatas oleh batas administrasi. Jadi tidak bisa dilihat sebagai persoalan satu kota, melainkan sistem perkotaan yang terpadu,” tambahnya. Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah untuk mengoptimalkan peran kelembagaan kerjasama Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten (Subosukawonosraten) dalam peningkatan kerjasama antardaerah. Sementara itu, peserta rapat yang hadir terdiri dari: Pemerintah Pusat yang diwakili unsur Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri dan Bappenas; Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh perwakilan dari Bappeda dan Setda yang membidangi kerja sama antardaerah serta SKPD terkait, pada provinsi dan kabupaten/kota yang tergabung dalam kerjasama antardaerah Subosukawonosraten; serta praktisi perkotaan. Sebagaimana diketahui, suatu sistem perkotaan dengan kawasan perkotaan di sekitarnya, memiliki potensi timbulnya berbagai permasalahan yang bersifat lintas daerah, di mana permasalahan perkotaan tidak dapat lagi diatasi secara internal suatu kota, namun harus diselesaikan secara bersama antardaerah yang bersangkutan melalui mekanisme kerja sama. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 196 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah, dikelola bersama oleh daerah terkait. Menurut Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, pengelolaan bersama yang dimaksud dalam UU tersebut perlu dilakukan melalui mekanisme kerja sama antardaerah. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang terintegrasi antarwilayah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat perkotaan. Namun demikian, mantan Kepala Litbang Kemendagri itu juga mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kerja sama antardaerah tersebut. Faktorfaktor tersebut, yaitu: political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif; komunikasi yang intensif secara formal maupun informal untuk memudahkan pelaksanaan kerja sama antardaerah; sumberdaya manusia yang kurang profesional dan komitmen turut menyebabkan kurang sinerginya antara pihak-pihak yang terlibat; dan sumber daya nansial.
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
161
Permasalahan kerja sama antardaerah adalah adanya perbedaan kebijakan yang diterapkan para pelaku kerja sama baik ditingkat perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan. Hal tersebut menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan kerja sama, baik perumusan kerja sama baru maupun implementasi kerja sama yang telah ada. ”Karena itu, solusi yang perlu dilakukan adalah melakukan peningkatan koordinasi secara aktif dan komunikasi antara kabupaten/kota sebagai pelaku kerja sama,” demikian beliau menjelaskan. Selain itu, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si juga menegaskan, untuk mendorong keberhasilan dalam melaksanakan kerja sama dimaksud, dibutuhkan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) yang dapat menjadi wadah koordinasi dan forum komunikasi antarpimpinan daerah dalam mengatasi permasalahan kawasan perkotaan. “Dengan hal itu, diharapkan adanya esiensi, efektivitas, dan sinergi dalam pengelolaan kawasan perkotaan,” imbuh beliau. Manajemen kerja sama yang semakin baik akan menghasilkan kinerja kerja sama yang semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kerja sama tersebut diharapkan adanya beberapa hal perbaikan. Pertama, sasaran kerja sama yang jelas. Kedua, perencanaan teknis secara detail yang memadai pada setiap obyek yang dikerjasamakan. Ketiga, perencanaan pendanaan yang detail sehingga memudahkan dalam musyawarah antardaerah dalam menentukan sharing pendanaan antardaerah. Keempat, perencanaan kelembagaan dalam merealisasikan kerja sama. Kelima, koordinasi yang insentif antarperangkat daerah pelaksana masing-masing obyek kerja sama sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang difasilitasi oleh lembaga kerja sama. Keenam, adanya dukungan dan dorongan pimpinan daerah dan DPRD dalam merealisasikan sasaran kerja sama. Ketujuh, adanya kesadaran masing-masing daerah untuk mengutamakan kepentingan peningkatan pelayanan bagi masyarakat luas. “Oleh karena itu, tantangan bagi badan atau lembaga kerja sama di masa yang akan datang adalah mewujudkan manajemen kerja sama yang lebih memadai. Tanpa perbaikan manajemen kerja sama, keberhasilan kerja sama di masa mendatang akan sulit untuk diwujudkan,” demikian beliau menyimpulkan.[ds/hny] Sumber: http://bangda.kemendagri.go.id/webbangda
162
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5.7 Latihan 1. Jelaskan pengertian pembiayaan, jelaskan juga perbedaan antara penerimaan pendapatan dan penerimaan pembiayaan! 2. Jelaskan perbedaan antara pinjaman jangka pendek dengan pinjaman jangka panjang! 3. Jelaskan sumber-sumber pinjaman daerah! 4. Jelaskan bagaimana desit yang dibiayai pinjaman dikontrol oleh Pemerintah agar pengelolaan keuangan negara dilakukan secara hati-hati! 5. Apa tujuan Kerjasama Pemerintah Swasta dan jelaskan manfaatnya! 6. Kerjasama Pemerintah Swasta harus didasarkan prinsip transparansi dan kompetisi agar mengurangi resiko kegagalan proyek, jelaskan! 7. Jelaskan berbagai bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta! 8. Jelaskan berbagai bentuk kerjasama antar Pemerintah Daerah!
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH
163
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
164
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan pengertian tentang barang milik daerah (BMD), perkembangan regulasi pengelolaan BMD, paragdima pengelolaan BMD, organisasi dan pejabat pengelolaan BMD, tahapan pengelolaan BMD serta pengelolaaan BMD berupa rumah negara. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1.
Pengertian Barang Milik Daerah
Barang Milik Daerah.
2.
Perkembangan Regulasi Terkait Pengelolaan Barang Milik Daerah
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3.
Paradigma Pengelolaan Barang Milik Daerah
Good Governance, Esien, Efektif dan Nilai Tambah.
4.
Organisasi dan Pejabat Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pengelola, Pengguna, Pengurus, Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, Kepala SKPD, Penyimpan Barang, Pengurus Barang.
5.
Tahapan Pengelolaan Barang Milik Daerah
Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian.
6.
Pengelolaan BMD Berupa Rumah Negara
Rumah Negara, Penghunian, Pengalihan Hak, Pengalihan Status
Bahan Bacaan: 1. Anonim, 2007. Modul 2; Penyusunan Rencana Pengadaan dan Pemeliharaan Aset/Barang Milik Daerah, Lembaga Administrasi Negara dan Departemen Dalam Negeri; 2. Kemenkeu. 2010. Modul Pokok-Pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah; 3. Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Good Governence Democratization, Local Government Financial Management, Public Policy, Reinventing Government, Accountability Probity, Value for Money, Participatory Development, Serial Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah; 7. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2012, Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 8. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK 78/PMK.06/ 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara; 9. Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; 10. Sumini, Penatausahaan Barang Milik Daerah, STAN, 2010; 11. Sutaryo, Manajemen Aset Daerah, http:sutaryofe.staff.uns.ac.id/les/2011/10/ manajemen-asetdaerah.pdf (25 Juni 2013); 12. Suwanda, Dadang (2013). Optimalisasi Pengelolaan Aset Pemda, PPM-Manajemen, Jakarta; 13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 14. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
165
6.1 Pengertian Barang Milik Daerah (BMD) Apa yang disebut dengan barang milik daerah (BMD)? Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (39) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 1 ayat (2), Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Yang dimaksud barang dalam hal ini adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang spesikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan lainnya yang sah adalah barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian yang lebih rinci dan teknis mengenai Barang Milik Daerah ini dijelaskan dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik daerah pada pasal 3 bahwa : 1. Barang milik daerah meliputi: a. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD; b. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Barang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. b. c. d.
Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian /kontrak; Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penggunaan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 untuk menjelaskan secara teknis tentang Barang Milik Daerah ini mengacu kepada pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 bahwa menjelang terbitnya peraturan yang baru maka peraturan yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Selanjutnya berdasarkan pasal 111, penjelasan teknis terkait pengelolaan barang milik daerah harus disesuaikan dengan peraturan baru ini paling lambat pada tahun 2016. Gambar 6.1
Perbedaan Barang Swasta dan Barang Milik Daerah (Pemerintah Daerah)
Sumber: antaranews.com
166
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.2 Perkembangan Regulasi Terkait Pengelolaan BMD Regulasi terbaru tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Latar belakang munculnya peraturan ini adalah bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 sebagai dasar hukum pengelolaan BMD selama ini masih memiliki banyak kekurangan. Beberapa kekurangan tersebut di antaranya adalah belum adanya aturan khusus mengenai pengelolaan BMN/D yang meliputi sewa BMN/D, kerja sama pemanfaatan, maupun BMN yang terletak di luar negeri. Selain itu, masih terdapat multitafsir terutama dalam hal Badan Layanan Umum dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tidak sesuai dengan dinamika pengelolaan BMN/D sekarang. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan atas peraturan tentang pengelolaan BMN/D. Hal ini juga didukung oleh temuan pemeriksaan BPK serta adanya kasus-kasus kecurangan terkait pengelolaan BMN/D. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, maka Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 sudah tidak berlaku lagi. Pokok-pokok penyempurnaan yang dilakukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, meliputi : 1. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D; 2. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain; 3. Penguatan dasar hukum pengaturan; 4. Penyederhanaan birokrasi; 5. Pengembangan manajemen aset negara; 6. Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi. Dengan perubahan tersebut, diharapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ini mampu: (1) mengakomodir dinamika pengelolaan BMN/D, (2) meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D, (3) mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan Pengguna dan Pengelola, dan (4) memiliki harmonisasi dengan peraturan terkait lainnya. Peraturan terbaru ini dapat menjadi dasar pengaturan yang lebih luas untuk menerapkan kebijakan secara lebih eksibel dalam pelaksanaan pemanfaatan BMN/D serta menyediakan skema baru sebagai alternatif dalam rangka pemanfaatan BMN/D di penyediaan infrastruktur. Tata cara pemanfaatan BMN/D pada peraturan ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 78/PMK.06/2014. Ada beberapa ketentuan tambahan yang baru diatur di PP 27 Tahun 2014 yaitu : 1. Pengelolaan BMN/D pada Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah (Pasal 96 dan Pasal 97) Aset yang dikelola oleh Badan Layanan Umum dan Badan Layanan Umum Daerah merupakan bagian dari kekayaan negara. Permasalahannya saat ini, BLU dan BLUD tersebut adalah “barang baru” yang baru berkembang pesat dalam lima tahun terakhir yang berkembang akibat urgensi pemerintah untuk meningkatkan pelayanan ke masyarakat. Maka dari itu, seiring dengan peningkatan jumlah BLU/BLUD dalam lingkup keuangan negara, BMN/D yang berada di bawah penguasaan BLU/BLUD ini juga perlu diatur pengelolaannya dalam peraturan pemerintah terkait Pengelolaan BMN/D. Akuntabilitas dan transparansi BLU/BLUD perlu dijaga dan ditingkatkan guna maksimalisasi pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. 2. Penambahan aturan terkait BMN/D berupa Rumah Negara (Pasal 98) Selama ini ada banyak sekali kasus di beberapa Kementerian/Lembaga yang berhubungan dengan penggunaan Rumah Negara yang tidak sesuai dengan tujuannya. Misalnya ada Rumah Negara
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
167
dihuni oleh pensiunan secara tidak taat asas dan bahkan dimanfaatkan dengan jalan disewakan kepada Pihak Lain. Hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah. Pengawasan dan pengendalian atas Rumah Negara perlu diatur secara spesik sebagai bagian dari pengelolaan BMN/D. Dengan demikian, penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian BMN/D berupa Rumah Negara akan mempunyai payung hukum yang kuat. 3. PNBP dari pengelolaan BMN/D (Pasal 1 ayat (13) dan Pasal 107 ayat (c) PNBP yang diperoleh dari pengelolaan BMN/D terutama dari pemanfaatannya merupakan bagian yang perlu diperhatikan. Selama ini PNBP terkesan menjadi sumber penerimaan yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Padahal sesungguhnya PNBP memiliki potensi yang cukup besar apabila dapat dikelola dengan efektif. Porsi PNBP dari pemanfaatan BMN/D dimasukkan dalam klasikasi PNBP lain-lain. Di antara seluruh jenis PNBP di APBN, PNBP Lain-lain adalah yang paling besar tingkat kebocorannya. Hal utama yang menyebabkan ini adalah ketiadaan regulasi yang memungkinkan Pemerintah melakukan pengawasan atas PNBP jenis tersebut. Akibatnya, pemungut PNBP di masing-masing K/L biasanya menyimpan sendiri dengan tidak menyetorkannnya ke Kas Umum Negara. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan terkait PNBP atas pengelolaan BMN/D adalah langkah penting yang seharusnya telah sejak lama diberlakukan oleh Pemerintah.
6.3 Paradigma Pengelolaan BMD Paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara telah memunculkan optimisme baru dalam penataan dan pengelolaan aset negara. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2014 pasal 3 ayat (1), bahwa pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, esiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pengelolaan aset Daerah yang lebih profesional dan modern dengan mengedepankan good governance diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara/daerah. Pengelolaan aset Negara/daerah tidak lagi sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berkir dalam menangani aset negara/daerah, dengan bagaimana meningkatkan esiensi, efektitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara/ daerah dalam peraturan baru bertambah besar yang mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara). Gambar 6.2
Contoh Perbedaan Situasi BMD Dengan Menggunakan Paradigma Lama dan Paradigma Baru Paradigma Lama
Paradigma Baru
Nilai Tambah
Sumber: id.berita.yahoo.com
168
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.4 Organisasi dan Pejabat Pengelolaan BMD 6.4.1 Pendahuluan Perkembangan paradigma pengelolaan pemerintah daerah dan paradigma pembangunan semakin menegaskan tentang pentingnya aplikasi prinsip Tata Kelola Kepemerintahan Yang Baik (good governance) dalam penyelenggaraaan pemerintahan di daerah. Dalam kerangka good governance diperlukan prinsip-prinsip dalam pengelolaan antara lain : esien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, produktif, dan akuntabel. Untuk mewujudkan pengelolaan aset daerah yang baik juga diperlukan adanya sinergi antara keuangan dan aset, sehingga organisasi pengelola aset menjadi satu wadah antara pengelola barang dan keuangan. Salah satu keuntungan bersatunya pengelolaan antara barang dan keuangan adalah menjadikan penatausahaan keduanya lebih mudah, sehingga masalahmasalah perbedaan perlakuan atau pencatatan diantara kedua hal tersebut dapat diminimalisir. Salah salah satu hal lain yang paling penting dalam pengelolaan barang milik daerah adalah adanya kelembagaan yang berkualitas yang mampu mengelola aset daerah dengan baik dan sesuai dengan peraturan yang ada. Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah institusi termasuk sumber daya manusia yang mengelola barang milik daerah tersebut. Peranan institusi ini sangat berpengaruh terhadap baik buruknya pengelolaan barang milik daerah karena sebagus apapun sistem yang tersedia, bila tidak didukung oleh kualitas kelembagaan yang baik maka pengelolaan barang milik daerah tidak akan berjalan dengan baik.
6.4.2 Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Struktur Organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dapat digambar sebagai berikut: Gambar 6.3
Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pemegang Kekuasaan Pengelolaan BMD) Pasal 5 ayat (1)
Ditetapkan sesuai Pasal 5 ayat (2) huruf d
Sekretaris Daerah (Pengelola BMD) Pasal 5 ayat (3)
Kepala Biro/Bag. Perlengkapan (Pembantu Pengelola BMD) Permendagri No. 17/2007 Pasal 5 ayat 2 huruf b
Kepala SKPD (Pengguna BMD) Pasal 8 ayat (1)
Kepala UPT Daerah (Kuasa Pengguna BMD) Permendagri No. 17/2007 pasal 5 ayat 2 huruf d
Pengurus barang
Penyimpan barang
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
169
Struktur organisasi di atas memperlihatkan bahwa pada hakekatnya penanggung jawab dari keseluruhan pengelolaan barang milik daerah adalah Kepala Daerah. Secara operasional Kepala Daerah dibantu oleh: 1. Sekretaris Daerah selaku pengelola BMD; 2. Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola barang milik daerah selaku pembantu pengelola BMD; 3. Kepala SKPD selaku pengguna BMD; 4. Kepala UPT Daerah selaku Kuasa Pengguna BMD; 5. Penyimpan barang milik daerah; 6. Pengurus barang milik daerah. Nomenklatur Pembantu Pengelola BMD tidak terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun ada dalam Permendagri Nomor 17/2007. Berhubung belum terbitnya peraturan teknis yang baru maka sesuai dengan pasal 110 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tersebut maka struktur Pembantu Pengelola BMD masih relevan. Demikian juga dengan jabatan Kuasa Pengguna Barang BMD juga tidak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun istilah itu ada dalam Permendagri Nomor 17/2007. Struktur di atas juga menjelaskan bahwa pengelolaan barang milik daerah tidaklah ditangani oleh satu SKPD, namun menjadi tanggung jawab semua SKPD dalam mengelola barang yang ada pada SKPD masing-masing, dimana kepala SKPD menjadi pejabat penanggungjawabnya.
6.4.3 Tugas dan Wewenang Pihak-Pihak yang Melaksanakan Pengelola Barang 1. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Kepala Daerah (Gebernur/Bupati/Wali Kota) sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah berwenang dan bertanggungjawab dalam : a. menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. menetapkan Penggunaan, Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan; c. menetapkan kebijakan pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah; d. menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan Barang Milik Daerah; e. mengajukan usul Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: f. menyetujui usul Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang Milik Daerah sesuai batas kewenangannya; g. menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan; h. menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. 2. Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Sekretaris Daerah selaku Pengelola Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggung jawab: a. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik Daerah; b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan Barang Milik Daerah; c. mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota; d. mengatur pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang Milik Daerah; e. mengatur pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur/ Bupati/Walikota atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; f. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milik Daerah; g. melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik Daerah.
170
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit adalah pembantu pengelola barang milik daerah bertanggungjawab mengkoordinir penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah yang ada pada masing-masing SKPD; 4. Sesuai dengan pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, kepala SKPD adalah Pengguna Barang Milik Daerah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sebagai berikut: a. mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran Barang Milik Daerah bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; b. mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan Barang Milik Daerah yang diperoleh dari beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan perolehan lainnya yang sah; c. melakukan pencatatan dan Inventarisasi Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; d. menggunakan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; e. mengamankan dan memelihara Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; f. mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan; g. menyerahkan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya dan sedang tidak dimanfaatkan Pihak Lain, kepada Gubernur/ Bupati/Walikota melalui Pengelola Barang; h. mengajukan usul Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Daerah; i. melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian atas Penggunaan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; dan j. menyusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang. 5. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 pasal 5 ayat (2) huruf d, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah selaku kuasa pengguna barang milik daerah, berwenang dan bertanggung jawab: a. mengajukan rencana kebutuhan barang milik daerah bagi unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan; b. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; c. menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi unit kerja yang dipimpinnya; d. mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; e. melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang ada dalam penguasaannya; dan f. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) yang berada dalam penguasaannya kepada kepala satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. 6. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 Pasal 6 ayat (6), Penyimpan barang bertugas menerima, menyimpan dan menyalurkan barang yang berada pada pengguna/kuasa pengguna. Secara detail tugas penyimpan barang meliputi: a. Menerima, menyimpan, dan menyalurkan BMD; b. Meneliti dan menghimpun dokumen pengadaan barang yang diterima; c. Meneliti jumlah dan kualitas barang yang diterima sesuai dengan dokumen pengadaan; d. Mencatat BMD yang diterima dalam buku/kartu gudang; e. Mengamankan BMD yang ada dalam persediaan; f. Membuat laporan penerimaan, penyaluran dan stok/persediaan BMD kepada kepala SKPD.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
171
7. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 Pasal 6 ayat (7), Pengurus barang bertugas mengurus barang milik daerah dalam pemakaian pada masing-masing pengguna/kuasa pengguna. Secara detail tugas penyimpan barang meliputi: a. Mencatat seluruh BMD yang berada di masing-masing SKPD yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang sah dalam KIB (kartu inventaris barang), KIR (kartu inventaris ruangan), BI (buku inventaris), dan BII (buku induk inventaris), sesuai kodekasi dan penggolongan BMD; b. Melakukan pencatatan BMD yang dipelihara/diperbaiki dalam kartu pemeliharaan; c. Menyiapkan LBPS (Laporan Barang Pengguna Sesmesteran) dan LBPT (Laporan Barang Pengguna Tahunan) serta laporan inventarisasi 5 tahunan yang berada di SKPD kepada pengelola; d. Menyiapkan usulan penghapusan BMD yang rusak atau tidak digunakan lagi. Kotak 6.1 Ini Langkah Pemkab Bandung Cegah Disclaimer BPK INILAHCOM, Bandung - Pemerintah Kabupaten Bandung bertekad meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Laporan Hasil Pemerksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) 2014. Pemkab Bandung yakin opini disclaimer tak akan lagi mereka sandang, seperti pada LHP BPK 2013 lalu. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bandung Soan Nataprawira mengatakan, opini disclaimer yang terjadi pada 2013 lalu, karena pengelolaan aset tidak berjalan optimal. Padahal pada tahun sebelumnya, Pemkab Bandung mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). DPRD Kabupaten Bandung bahkan sempat meminta kepada Pemkab untuk meningkatkan menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Soan mengakui adanya ketidaktertiban dalam tata kelola administrasi. Namun dia yakin tahun ini Pemkab Bandung tak akan kembali mendapat opini disclaimer. “Harus diakui jika pengelolaan aset pada 2013 lalu kurang tertib. Terutama masalah administrasi. Jadi kami terus berupaya memperbaikinya,” kata Soan, Minggu (4/1/2015). Banyaknya aset daerah milik Pemkab Bandung, kata Soan, membuat pengelolaannya sulit dilakukan. Ditambah tidak diiringi kompetensi manajemen yang baik. “Seperti aset milik Dinas Pendidikan yang tersebar di ratusan sekolah, sehingga banyak yang tidak terinventarisasi. Memang harus ada yang kompeten dalam mengelolanya. Tapi sekarang sudah kami periksa kembali,” ujarnya. Pada 2014, lanjut dia, Pemkab Bandung telah melakukan penguatan manejerial pelaporan keuangan. Khususnya untuk masalah pengelolaan aset agar LHP BPK Kabupaten Bandung 2014 bisa lebih baik lagi. Penguatan ini, salah satunya dengan pendidikan dan pelatihan manajemen pengelolaan aset bagi para pengelola aset di lingkungan Pemkab Bandung. Tak hanya itu saja, kata dia, Pemkab pun menggandeng BPKP untuk memberi pelatihan. “Pengelolaan aset kami perbaiki terus. Apalagi dalam pelaporan keuangan dan pertanggungjawabannya. Biar tidak terulang seperti tahun lalu,” ujarnya. Dengan semua upaya yang telah dilakukan, kata Soan, paling tidak BPK tidak kembali memberikan opini disclaimer. Opini WDP dinilai merupakan hal yang wajar karena masih belum mungkin mendapat opini WTP. “Targetnya tidak muluk-muluk, yang penting lebih baik dari tahun lalu. Kami juga realistis untuk meraih opini WTP harus melewati WDP,” ujarnya. Karut-marutnya pengelolaan aset Pemkab Bandung ini pun mendapat sorotan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA mensinyalir adanya ketidakberesan pada 717 kendaraan dinas yang tak jelas keberadaannya. Keberadaan aset yang tak jelas tersebut, berpotensi merugikan negara sebesar Rp 55,4 miliar. [hus] Sumber: http://m.inilahkoran.com/read/detail/2167426
Beberapa penyempurnaan yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 terkait dengan Kewenangan dan Tanggung Jawab Pengelola dan Pengguna BMN/D adalah : 1. Adanya pendelegasian kewenangan. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan oleh Pengelola BMN kepada Pengguna BMN (Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4)) dan dari Pengguna Barang kepada Kuasa
172
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pengguna Barang (Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4). Pendelegasian kewenangan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan esiensi pengelolaan BMN/D. Pendelegasian bisa dilakukan pada setiap tahapan pengelolaan BMN; 2. Adanya penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMN sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN (Bab Pemusnahan).; 3. Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMD sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMD terkait dengan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (Bagian Ketujuh pasal 38 dan pasal 39); 4. Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru berupa penyusun laporan Barang Milik Negara/Daerah oleh Pengguna dan Pengelola BMN/D secara semesteran dan tahunan (pasal 87 dan pasal 88).
6.5 Tahapan Pengelolaan BMD Tahapan Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 meliputi Perencanaan kebutuhan dan penganggaran, Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan pemeliharaan, Penilaian, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran dari siklus logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang disesuaikan dengan siklus perbendaharaan. Komponen siklus pengelolaan BMD pada PP baru ini sedikit lebih panjang dibandingkan dengan yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Perbandingan cakupan pengelolaan Barang Milik Daerah dari kedua peraturan ini dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 6.1
Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Peraturan Pemerintah No. 6/2006 (Pasal 3 ayat 2) 1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Penghapusan 8. Pemindahtanganan 9. Penatausahaan 10. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
Peraturan Pemerintah No 27/2014 (Pasal 3 ayat 2) 1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Pemindahtanganan 8. Pemusnahan 9. Penghapusan 10. Penatausahaan 11. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
Perubahan yang dilakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor27/2014 adalah penambahan kegiatan Pemusnahan dalam Siklus Pengelolaan BMN/D. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan sik dan/atau kegunaan Barang Milik Negara/Daerah. Kegiatan Pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam peraturan pemerintah sebelumnya. Munculnya kegiatan pemusnahan diharapkan mendorong terjadinya peningkatan esiensi pengelolaan BMN/D sekaligus meningkatkan akuntabilitas Pengelola maupun Pengguna BMN/D. Dengan munculnya kegiatan Pemusnahan maka kegiatan Penghapusan otomatis menjadi akhir (ending point) dari siklus pengelolaan BMN/D. Siklus pengelolaan BMN/D menurut Peraturan Pemerintah Nomor7/2014 tersebut dapat di lihat pada gambar berikut:
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
173
Gambar 6.4
Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Perolehan Lain
Perencanan Kebutuhan Penganggaran
APBN/D
REGULER: PENGAMANAN DAN PEMELIHARAAN PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pendaftaran
PENETAPAN STATUS PENGGUNAAN
SIKLUS PENGELOLAAN BMN/D
INSIDENTIL: PEMANFAATAN
BMN/D
PENILAIAN
- Sewa - Pinjam Pakai - Kerja Sama Pemanfaatan - Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
PENATAUSAHAAN
PEMUSNAHAN
PEMINDAHTANGANAN
Penjualan Hibah Tukar Menukar Penyertaan Modal
PENGHAPUSAN
Penjelasan lebih lanjut setiap tahapan pengelolaan barang milik daerah masih mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 sebelum terbitnya peraturan pelaksana yang lebih baru. Berikut adalah teknis tahapan pengelolaan BMD berdasarkan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007: 1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran Ketentuan Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Barang Milik Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintan Nomor 27 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah (menjelang terbitnya peraturan pelaksana yang terbaru). Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan merumuskan rincian kebutuhan barang milik daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan yang akan datang dan harus mencerminkan kebutuhan riil terhadap Barang Milik Daerah oleh masing-masing SKPD. Perencanaan kebutuhan dan penganggaranya memiliki beberapa tujuan antara lain: a. Untuk memenuhi kebutuhan standar akan barang/inventaris bagi setiap personil untuk melaksanakan tugas dan pekerjaannya. b. Untuk memenuhi kebutuhan akan barang/inventaris guna menunjang pengembangan organisasi dan atau penambahan personil pada SKPD yang bersangkutan; c. Untuk mengganti barang-barang yang rusak, dihapuskan, dijual, hilang, dihibahkan atau sebab lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga memerlukan penggantian;
174
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
d. Untuk menjaga tingkat persediaan barang (terutama terhadap barang stok pakai habis) untuk perkiraan pemakaian pada satu tahun mendatang; e. Pertimbangan perkembangan teknologi; seperti pembelian komputer, scanner dan sebagainya. Perencanaan kebutuhan ini meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan Barang Milik Negara/Daerah dan selanjutnya merupakan dasar bagi SKPD dalam mengusulkan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran dengan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan/atau standar harga. Rencana kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah ini disusun dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dengan mekanisme pembelian (solusi aset), Pinjam Pakai, Sewa, sewa beli (solusi non aset) atau mekanisme lainnya yang dianggap lebih efektif dan esien sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara/Daerah. Perencanaan kebutuhan BMD harus memperhatikan pengadaan barang yang telah lalu, keadaan yang sedang berjalan, dan tindakan pemenuhan kebutuhan BMD di masa mendatang. Hal ini dilaksanakan dengan dua pertimbangan utama. Pertama, derajat kepentingan (urgensi) pemenuhan BMD yang dapat dikategorikan menjadi Tingkat Kepentingan Tinggi, Tingkat Kepentingan Sedang, dan Tingkat Kepentingan Rendah. Kedua, kondisi kesiapan BMD untuk digunakan, yang dapat dikategorikan menjadi Kondisi Baik, Kondisi Rusak Ringan, dan Kondisi Rusak Berat. Dimensi derajat kepentingan pemenuhan BMD dan kondisi BMD berpengaruh pada rencana tindakan yang harus dilaksanakan. Hubungan derajat kepentingan dan kondisi BMD dijelaskan dalam bentuk matriks berikut ini: 1. Perencanaan Kebutuhan Penting\ Kondisi
Baik (B)
Rusak Ringan (RR)
Rusak Berat (RB)
Tinggi (T)
Pemeliharaan Ringan (PR)
Pemeliharaan Sedang (PS)
Pemeliharaan Berat (PB) Penggantian (G)
Sedang (S)
Pemeliharaan Ringan (PR)
Pemeliharaan Sedang (PS)
Pemeliharaan Berat (PB) Penggantian (G)
Rendah (R)
Pemeliharaan Ringan (PR) Pemanfaatan (M)
Pemeliharaan Sedang (PS) Pemanfaatan (M) Pemindahtangan (P)
Penghapusan (H)
Penetapan standar kebutuhan terhadap Barang Milik Daerah oleh masing-masing SKPD dilakukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah setelah berkoordinasi dengan dinas teknis terkait. Penetapan Standar kebutuhan oleh Gubernur/Bupati/Walikota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sedangkan penetapan standar harganya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kaitan perencanaan kebutuhan dengan standar sarana dan standar harga dalam proses penganggaran dapat dijelaskan dengan skema berikut ini.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
175
Gambar 6.5 Penganggaran Kebutuhan BMD Penganggaran Kebutuhan BMD
Pengadaan baru
Ketersediaan barang
Perencanaan Kebutuhan
1. Standar sarana dan prasarana 2. Standar harga
Pemeliharaan
Data Barang yang dipakai
Proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMD menggunakan beberapa dokumen meliputi: a. Perencanaan dan Penganggaran disusun dalam Rencana Anggaran SKPD; b. Perencanaan dan Penganggaran disusun berdasarkan standardisasi BMD, standarisasi kebutuhan BMD dan standarisasi harga; c. Kuasa Pengguna mengajukan usul rencana kebutuhan barang (RKBMD) kepada Pengguna untuk disampaikan kepada Pengelola Barang; d. Usulan tersebut ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan BMD (RKBMD) setelah dibahas oleh Pengelola bersama Pengguna dengan memperhatikan hasil inventarisasi barang yang dikuasai pengguna barang 2. Pengadaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I) lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. K/L/D/I adalah instansi/institusi pengguna APBN/APBD. Pelaksanan pengadaan barang dapat dibedakan menjadi pelaksanaan secara swakelola dan pelaksanaan dari penyedia barang. Pelaksanaan pekerjaan secara swakelola merupakan pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri. Pelaksanaan secara swakelola biasanya untuk pekerjaan pelayanan publik yang menjadi tugas pokok (bersifat rutin) instansi pemerintah. Swakelola dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu: a. Swakelola pengguna barang/jasa, yaitu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pengguna anggaran sendiri; b. Swakelola bekerjasama dengan instansi pemerintah lain; c. Swakelola untuk kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah. Pelaksana pengadaan dari penyedia barang merupakan pelaksanaan pekerjaan dilakukan melalui badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa. Penyedia barang/jasa antara lain pengusaha kecil, pengusaha non kecil, atau pengusaha asing. Berdasarkan pengadaannya, barang dan jasa diklasikasikan menjadi Pengadaan barang jasa lainnya, Pengadaan pekerjaan konstruksi, dan Pengadaan jasa konsultansi. Pengadaan barang dan jasa lainnya dilaksanakan dengan metode-metode antara lain: a. Metode Pelelangan Metode Pelelangan Umum Metode Pelelangan Sederhana
176
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
b. Metode Penunjukan Langsung c. Metode Pengadaan Langsung d. Metode Sayembara/Kontes Pengadaan jasa konsultasi dilaksanakan dengan metode-metode antara lain: a. Seleksi Motode Seleksi Umum Seleksi Sederhana b. Metode Penunjukan Langsung c. Metode Pengadaan Langsung d. Metode Sayembara/Kontes Pengadaan jasa konstruksi dilaksanakan dengan metode-metode antara lain: a. Metode Pelelangan Metode Pelelangan Umum Metode Pelelangan Terbatas b. Metode Pemilihan Langsung c. Metode Penunjukan Langsung d. Pengadaan Langsung Metode pelelangan sederhana, metode seleksi sederhana, dan metode pemilihan langsung digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang memiliki karakteristik antara lain: a. Untuk pengadaan Barang/Jasa yang bersifat tidak kompleks/sederhana; b. Untuk pengadaan barang / jasa lainnya atau pekerjaan konstruksi dengan nilai tidak lebih dari Rp 5 milyar; c. Untuk pengadaan jasa konsultasi dengan nilai tidak lebih dari Rp 200 juta; d. Metode pemilihan penyedia secara pascakualikasi; e. Pengumuman pengadaan minimal 4 hari kerja. Metode pengadaan langsung digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang memiliki karakteristik antara lain: a. Untuk pengadaan barang/jasa lainnya atau pekerjaan konstruksi dengan nilai tidak lebih dari Rp 200 juta dengan sifat untuk memenuhi Kebutuhan Operasional K/L/D/I, menggunakan teknologi sederhana, memiliki risiko kecil, dan/atau penyedia orang perorangan dan/atau badan usaha kecil; b. Untuk pengadaan Jasa Konsultasi dengan sifat untuk memenuhi kebutuhan operasional K/L/ D/I dan nilai pengadaan tidak lebih dari Rp 50 juta; c. HPS (harga perkiraan sendisri) harus dilampiri harga pembanding minimal dari 2 penyedia barang/jasa. Metode Sayembara merupakan metode pengadaan untuk memperlombakan gagasan/ide dan kontes merupakan metode pengadaan memperlombakan barang tertentu. Untuk sayembara dan kontes, harga atau biayanya tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan dan harus dievaluasi tim yuri/ahli. Pelelangan terbatas digunakan untuk pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks dan jumlah penyedia yang terbatas, biasanya untuk pekerjaan yang bersifat kompleks dengan nilai lebih dari Rp 100 milyar. 3. Penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran Penerimaan BMD harus dilengkapi dengan dokumen pengadaan barang, berita acara pemeriksaan pekerjaan dan berita acara serah terima pekerjaan. Setelah serah terima, dilakukan penyimpanan BMD. Penyimpanan disesuaikan dengan sifat dan jenis barang untuk penempatan pada gudang
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
177
penyimpanan. Kegiatan penyimpanan BMD meliputi merawat, mengadministrasikan, melakukan opname sik, dan menyusun laporan pengurusan barang. Penyaluran merupakan kegiatan melakukan pengiriman barang dari gudang ke unit kerja. Penyaluran dapat dilakukan sesuai rencana penggunaan untuk memenuhi kebutuhan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi. Kegiatan pokok penyaluran barang meliputi menyerahkan barang kepada unit kerja, mengadministrasikan penyaluran barang, dan melaporkan realokasi penyaluran barang. Alur kegiatan penerimaan, penyimpanan dan penyaluran barang dapat diringkas sebagai berikut: a. Proses penerimaaan barang dari penyedia. Barang yang diterima harus diperiksa dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Barang oleh Panitia Pemeriksa Barang. b. Penyimpan barang wajib melaksanakan tugas administrasi penerimaan BMD yaitu menyimpan dalam gudang/tempat penyimpanan serta mencatatnya dalam Kartu Barang Gudang. c. Pengurus Barang akan mencatat dalam KIB dan KIR. 4. Penggunaan Penggunaan Barang Milik Daerah (BMD) adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. Status penggunaan BMD dapat diringkas sebagai berikut: a. Status penggunaan BMD ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota; b. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan memperhatikan: Digunakan untuk menyelenggarakan Tupoksi; Menunjang penyelenggaraan Tupoksi instansi yang bersangkutan. c. Penetapan status penggunaan atas BMD yang digunakan oleh selain SKPD dapat dilakukan sepanjang sesuai tugas pokok dan fungsi dan/atau dalam menjalankan penugasan pemerintah sebagai pelaksanaan kewajiban pelayanan umum. Secara rinci, penggunaan BMD ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 25. Penggunaan BMD tersebut diawali dengan penetapan status penggunaannya terlebih dahulu oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota dengan tata cara sebagai berikut: a. Pengguna Barang melaporkan Barang Milik Daerah yang diterimanya kepada Pengelola Barang disertai dengan usul Penggunaan; b. Pengelola Barang meneliti laporan dari Pengguna Barang dan mengajukan usul Penggunaan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk ditetapkan status penggunaannya. Ada beberapa kelonggaran yang ditawarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dalam hal penetapan status penggunaan barang milik daerah ini yaitu : a. Barang Milik Negara/Daerah juga dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah tapi dioperasikan oleh Pihak Lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan (pasal 18). b. Barang Milik Daerah yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan Barang Milik Daerah tersebut setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota (pasal 19 ayat (2)). c. Barang Milik Daerah dapat dialihkan status penggunaannya dari Pengguna Barang kepada Pengguna Barang lainnya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi berdasarkan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota. (pasal 21 ayat (1)). d. Pengalihan status Penggunaan Barang Milik Daerah dapat pula dilakukan berdasarkan inisiatif dari Gubernur/Bupati/Walikota, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada Pengguna Barang. (pasal 21 ayat (2)).
178
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5. Penatausahaan Kepala SKPD (melalui penyimpan/pengurus barang) wajib melakukan penatausahaan BMD yang ada pada pengguna masing-masing. Penatausahaan BMD meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik daerah yang berada di bawah penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang. Pengguna/Kuasa pengguna barang wajib melaksanakan pembukuan dan mencatat BMD pada Daftar Barang Pengguna (DBP)/(DBKP) yang disediakan secara teratur dan menyimpan bukti kepemilikannya. Format pencatatan barang dengan klasikasi sebagai berikut: a. KIB A – Tanah b. KIB B – Peralatan dan mesin c. KIB C – Gedung dan bangunan d. KIB D – Jalan, Irigasi dan Jaringan e. KIB E – Aset tetap lainnya f. KIB F – Kontruksi dalam pengerjaan g. KIR (Kartu Inventaris Ruangan) Inventarisasi merupakan tindakan untuk melakukan penghitungan, pengurusan, penyelenggaraan, pengaturan, pencatatan data dan pelaporan barang milik daerah dalam unit pemakaian. Kegiatan inventarisasi menghasilkan buku inventaris. Pengguna Barang melakukan sensus BMD setiap 5 tahun sekali, yang dilakukan serentak seluruh Indonesia. Inventarissasi meliputi kegiatan pendataan, labeling, dan pengelompokan aset. Laporan hasil inventarisasi disampaikan kepada Pengelola Barang. Inventarisasi dilakukan untuk : a. memberikan keyakinan sik atas barang yang terdapat dalam dokumen invetaris; b. mengetahui kondisi terkini barang; c. tercapainya tertib administrasi: sehingga untuk barang yang sudah rusak berat dapat diusulkan untuk dilakukan penghapusan; pertanggungjawaban atas barang-barang yang tidak diketemukan/ hilang; pencatatan barang-barang yang belum dicatat dalam dokumen inventaris. d. melakukan pendataan atas masalah yang muncul, seperti sengketa tanah, kepemilikan yang tidak jelas, inventaris yang dikuasai pihak ketiga; e. memberikan informasi nilai aset daerah sebagai dasar penyusunan Neraca Awal Daerah. Sasaran inventarisasi adalah BMD yang: a. dibeli/ diperoleh dengan seluruhnya dari dana APBD; b. dibeli/ diperoleh dengan sebagian dari dana APBD; c. dibeli/ diperoleh dari dana diluar APBD, misalnya barang hibah, hasil sitaan, dll; d. belum jelas pemiliknya tetapi dikuasai dan dikelola oleh pemerintah daerah. Kegiatan pelaporan adalah penyampaian menyampaikan Laporan Barang Semesteran dan tahunan dari Pengguna Barang kepada Kepala Daerah melalui Pengelola Barang. Selanjutnya, Pembantu Pengelola Barang menyusun Laporan BMD untuk penyusunan Neraca Pemerintah Daerah. 6. Pemanfaatan Pemanfaatan merupakan pendayagunaan BMD yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Bentuk-bentuk Pemanfaatan misalnya Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama pemanfaatan, Bangun guna serah (BGS), dan Bangun serah guna (BSG).
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
179
Kerja Sama Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/ pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. Kerja Sama Pemanfaatan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 pasal 31, 32, dan 33. Bentuk lainnya adalah Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) yaitu kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tentang KSPI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2014 pasal 38 dan 39. Perlaksana Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas Barang Milik Daerah diatur sebagai berikut: a) Untuk BMD berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang, pelaksananya adalah Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota b) Untuk BMD berupa sebagian tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna Barang atau BMD selain tanah dan/atau bangunan, pelaksananya adalah Pengguna Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota. Bangun Guna Serah adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Bangun Serah Guna adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Pertimbangan dilaksanakannya pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dalam bentuk BSG atau BGS adalah Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi sementara dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah tidak tersedia atau tidak cukup tersedia untuk penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut. 7. Pengamanan dan pemeliharaan Pengamanan adalah kegiatan tindakan pengendalian dalam pengurusan barang milik daerah dalam bentuk sik, administratif dan tindakan upaya hukum. Bentuk pengamanan meliputi: a. Pengamanan Adminisrasi: pembukuan, inventarisasi, pelaporan BMD; b. Pengamanan Fisik: mis. Penyimpanan, pemagaran dll; c. Pengamanan Hukum: sertikasi tanah, bukti status kepemilikan BMD. Pemeliharaan merupakan kegiatan atau tindakan yang dilakukan agar semua barang milik daerah selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pengguna Barang mongkoordinir dan bertanggung jawab atas pemeliharaan BMD di bawah penguasaannya. Pemeliharaan dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang dan Pejabat yg ditunjuk. Pemeliharaan dilaksanakan dgn berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB). Kuasa Pengguna Barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang untuk dilaporkan kepada Pengguna Barang secara periodik. 8. Penilaian Penilaian BMD dilakukan dalam rangka Penyusunan Neraca Pemda, Pemanfaatan dan Pemindahtanganan BMD. Penilaian BMD dlm rangka penyusunan neraca Pemda, berpedoman pada SAP oleh Tim yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan dapat melibatkan penilai independen. Penilaian BMD dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan yg berupa tanah dan/atau
180
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
bangunan oleh Tim berdasarkan nilai transaksi dgn estimasi terendah menggunakan nilai NJOP. Penilaian BMD dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan yang berupa selain tanah dan/atau bangunan oleh Tim, berdasarkan nilai transaksi. Hasil penilaian BMD ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah. 9. Penghapusan Penghapusan merupakan tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan/atau pengelola dari tanggung jawab administrasi dan sik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Tujuan Penghapusan meliputi: a. Menghindari biaya pemeliharaan yang lebih besar; b. Mengurangi penggunaan ruangan untuk gudang/tempat penyimpanan barang-barang rusak, tidak terpakai, dan kadaluwarsa; c. Mengurangi beban dalam penatausahaan barang. Penghapusan BMD dilakukan berdasarkan tiga kondisi meliputi pemindahtangan, pemusnahan, dan alasan lain. Kondisi ini disajikan pada skema berikut ini. Gambar 6.6 Skema Penghapusan BMD
Pemindahtanganan
Penjualan
Hibah
Tukar-Menukar
PMP
Tidak dapat digunakan PENGHAPUSAN
Pemusnahan
Tidak dapat dimanfaatkan Tidak dapat dipindahtangankan Pelaksanaan UU, seperti (UU Kepabeanan, selundupan, dll)
Alasan lain
Putusan Pengadilan
Force majeure
Pemerintah digugat, kalah, hapuskan Bencana Alam, Kebakaran
Berdasarkan dokumen sumbernya, penghapusan BMD dapat dibedakan menjadi: a. Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Kuasa Pengguna. Penghapusan ini dilakukan untuk BMD sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna/kuasa pengguna barang. Penerbitan Surat Keputusan Penghapusan dari Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah. b. Penghapusan dari Daftar Barang Milik Daerah. Penghapusan ini untuk BMD yang sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. Penerbitan Surat Keputusan Penghapusan dari Kepala Daerah.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
181
10. Pemindahtanganan Pemindahtangan merupakan pengalihan kepemilikan BMD sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. Bentuk Pemindahtanganan BMD meliputi: a. Penjualan b. Tukar-menukar c. Hibah d. Penyertaan Modal Pemerintah 11. Pembinaan, pengendalian dan pengawasan Pembinaan merupakan usaha atau kegiatan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi. Pembinaan pengelolaan BMD dilaksanakan oleh Mendagri. Pengendalian merupakan usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengendalian pengelolaan BMD dilaksanakan oleh Kepala Daerah. Pengelola Barang melaksanakan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, untuk penertiban penggunaan Barang. Gubernur/ bupati/walikota dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan BMD. Hasil audit tersebut disampaikan kepada gubernur/bupati/ walikota untuk ditindaklanjuti. Pengawasan merupakan usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau kegiatan, apakah dilakukan sesuai peraturan perundangundangan. Pengawasan dilaksanakan oleh: a. kepala SKPKD ( UU No 1 Th 2004 Psl 43 (2), sesuai yang diatur dalam kebijakan Kepala Daerah; b. Sekda selaku Pengelola Barang (Permendagri No 17 Psl 6 (2) ); c. Kepala SKPD selaku Pengguna Barang (Permendagri No 17 Psl 6 (4) ), PP 6 Th 2006 Psl 8 (2). Pemeriksaan pengelolaan BMD dilaksanakan oleh: a. BPK (Undang-Undang Nomor 15 Th 2004 Psl 2 (1) dan (2) serta Psl 3(1); b. Inspektorat selaku APIP pada Pemda. 12. Pembiayaan Pembiayaan digunakan untuk membelanjai kegiatan seperti; penyediaan blanko/buku inventaris, tanda kodekasi/kepemilikan, pemeliharaan, penerapan aplikasi sistim informasi barang daerah (simbada) dengan komputerisasi, tunjangan/insentif penyimpan dan/atau pengurus barang dan lain sebagainya. Honorarium dapat diberikan dalam bentuk: a. Insentif bagi Pejabat/pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang milik daerah yang menghasilkan pendapatan dan penerimaan daerah. b. Tunjangan bagi Penyimpan barang dan pengurus barang dalam melaksanakan tugas yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. Pembiayaan untuk keperluan pengelolaan barang daerah agar direncanakan dan diajukan setiap tahun melalui APBD. 13. Tuntutan Ganti Rugi (TGR) TGR merupakan kerugian daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan BMD. TGR dierapkan dalam bentuk pengenaan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. TGR barang tidak dapat dilakukan atas dasar sangkaan atau dugaan, akan tetapi harus didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya dan dalam pelaksanaanya tidak perlu menunggu Keputusan Pengadilan Negeri. Kepala Daerah harus berusaha memperoleh pengantian atas semua kerugian yang diderita oleh daerah dan sedapat mungkin diusahakan dengan jalan/upaya damai
182
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TGR dapat diproses melalui majelis TGR. Hasil akhirnya berupa Surat keputusan Pembebanan Ganti Rugi dalam bentuk pemotongan gaji/penghasilan dan jika dianggap perlu dengan penagihan paksa dan Kepala Daerah dapat melakukan tindakan sementara berupa pemberhentian pegawai yang bersangkutan dari jabatannya. Majelis Pertimbangan TGR dibentuk dengan susunan personil: a. Sekda, selaku Ketua merangkap anggota; b. Inspektur, selaku Wakil Ketua Satu merangkap anggota; c. Asda yang membidangi selaku Wakil Ketua Dua merangkap anggota; d. Kepala Biro/Bagian Keuangan/Badan Pengelola Keuangan, selaku Sekretaris; e. Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit Pengelola Barang, selaku Anggota; f. Kepala Biro/Bagian Hukum, selaku anggota; g. Kepala Biro/Bagian Kepegawaian, selaku anggota. Majelis Pertimbangan TGR memiliki tugas : a. Mengumpulkan, menatausahakan, menganalisis serta mengevaluasi setiap kasus TGR yang diterima; b. Memproses dan melaksanakan penyelesaian TGR; c. Memberikan saran/pertimbangan TGR kepada Kepala Daerah atas setiap kasus yang menyangkut TGR; d. Menyiapkan laporan Kepala Daerah mengenai perkembangan penyelesaian kasus kerugian Daerah secara periodik kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi keuangan Daerah. 14. Problema pengelolaan BMD: a. Neraca pemda seharusnya menyajikan aset yang memiliki manfaat ekonomi masa depan. Aset yang tidak memiliki manfaat masa depan harus dihapus dan diakui sebagai beban pengahapusan asset dalam Laporan Operasional. Berdasarkan kondisi riil pada awal penerapan akuntansi berbasis akrual, besar kemungkinan neraca pemda masih menyajikan asset-asset yang sebenarnya sudah tidak memiliki manfaat masa depan dan seharusnya dihapus dari neraca. Oleh karena itu, pemda seharusnya segera menginventarisir BMD yang sudah tidak bermanfaat, melakukan penghapusan, dan mengakui beban penghapusan BMD dalam Laporan Operasional. Implikasinya, beban penghapusan aset akan disajikan dalam jumlah sangat signikan pada awal-awal tahun penerapan akuntansi akrual. b. Saat pengalihan PBB P2 dari Ditjen Pajak ke Pemda, terdapat saldo awal piutang yang sebenarnya sudah terlunasi sehingga piutang ini seharusnya dihapus; namun, mekanisme penghapusan piutang harus mengikuti mekanisme penghapusan BMD. Solusinya, Pemda harus berkoordinasi dengan Ditjen Pajak untuk merekonsiliasi data piutang PBB P2 agar piutang yang sudah terlunasi dapat dihapus. Persoalannya, penghapusan ini apakah terkategori sebagai penghapusan BMD ataukah sebagai koreksi pembukuan.
6.6 Pengelolaan Barang Berupa Rumah Negara 6.6.1 Denisi dan Landasan Hukum Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Denisi ini dikutip dari pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994. Denisi yang sama juga dapat dilihat dalam Peraturan Presiden No 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara dan yang terbaru adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengelolaan Rumah Negara, selain oleh 3 (tiga) peraturan diatas, juga diatur diatur dalam beberapa peraturan lainnya seperti :
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
183
a. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara. b. Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK 06/2010 Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara. Khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tidak banyak memuat ketentuan tentang pengelolaan Ruumah Negara. Peraturan ini hanya memuat beberapa prinsip-prinsip dasar yang merupakan penegasan terhadap peraturan-peraturan sebelumnya sebagaimana diuraikan dalam pasal 98 ayat (1) sampai ayat (5) sebagai berikut : 1. Rumah Negara merupakan Barang Milik Negara/Daerah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat negara dan/atau pegawai negeri. 2. Pengelolaan Barang Milik Negara berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pengelola Barang, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, atau Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang rumah negara golongan III dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Rumah Negara. 3. (3) Pengelolaan Barang Milik Daerah berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Rumah Negara. 4. Ketentuan mengenai tata cara Penggunaan, Pemindahtanganan, Penghapusan, Penatausahaan, pengawasan dan pengendalian Barang Milik Negara berupa Rumah Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 5. Ketentuan mengenai tata cara Penggunaan, Pemindahtanganan, Penghapusan, Penatausahaan, pengawasan dan pengendalian Barang Milik Daerah berupa Rumah Negara diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
6.6.2 Pengadaan, Penetapan Status dan Penggolongan, Serta Peruntukan Rumah Negara Pengadaan Rumah Negara sebagaimana diatur dalam Perpres No 11/2008 maupun Permen PU No 22 Tahun 2008 dapat dilakukan dengan cara : 1. 2. 3. 4.
pembangunan; pembelian; tukar menukar atau tukar bangun; atau hibah.
Pengadaan rumah negara ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar tipenya harus sesuai dengan peruntukan bagi bagi pejabat dan pegawai negeri. Standar tipe dan kelas rumah negara bagi pejabat dan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2008 sebagai berikut: 1. Tipe Khusus diperuntukan bagi Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala Lembaga Tinggi Negara, dan Pejabatpejabat yang jabatannya setingkat dengan Menteri, dengan luas bangunan 400 m2 dan luas tanah 1000 m2; 2. Tipe A diperuntukan bagi Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Badan, Deputi, dan Pejabat yang jabatannya setingkat Eselon I atau Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/e dan IV/d, dengan luas bangunan 250 m2 dan luas tanah 600m2;
184
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. Tipe B diperuntukan bagi Direktur, Kepala Biro, Inspektur, Kepala Pusat, Kakanwil, Asisten Deputi, Sekretaris Direktorat Jenderal, Sekretaris Badan, dan Pejabat yang jabatannya setingkat Eselon II atau Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/d dan IV/e, dengan luas bangunan 120m2 dan luas tanah 350m2; 4. Tipe C diperuntukan bagi Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Pejabat yang jabatannya setingkat Eselon III atau Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/a sampai dengan IV/c, dengan luas bangunan 70m2 dan luas tanah 200m2; 5. Tipe D diperuntukan bagi Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian, Kepala Sub Bidang, Pejabat yang jabatannya setingkat Eselon IV atau Pegawai Negeri Sipil Golongan III/a sampai dengan III/b, dengan luas bangunan 50m2 dan luas tanah 120m2; 6. Tipe E diperuntukan bagi Kepala Sub Seksi, Pejabat yang jabatannya setingkat atau Pegawai Negeri Sipil Golongan II/d kebawah, dengan luas bangunan 36m2 dan luas tanah 100m2. Penggolongan dan peruntukan Rumah Negara diatur dalan pasal 1 angka (5), (6), dan (7) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005. Ada 3 (tiga) penggolongan rumah negara beserta peruntukannya yaitu: 1. Rumah Negara Golongan I, adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut, serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut. Rumah negara yang memiliki fungsi secara langsung melayani atau terletak dalam lingkungan suatu instansi, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan, dan laboratorium otomatis ditetapkan sebagai rumah golongan ini. Rumah negara golongan ini juga dapat disebut sebagai rumah Jabatan; 2. Rumah Negara Golongan II, adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara. Rumah negara golongan ini juga dapat disebut sebagai rumah instansi; 3. Rumah Negara Golongan III, adalah Rumah Negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya. Penetapan status golongan Rumah Negara ini dilakukan dengan ketentuan diatur dalam pasal 7 Permen PU Nomor 22 Tahun 2008 sebagai berikut: 1. Rumah Negara golongan I dan II, penentuannya dilakukan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan. 2. Rumah Negara golongan III, penentuannya dilakukan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Cipta Karya.
6.6.3 Penghunian Rumah Negara Ketentuan tentang penghunian rumah negara oleh Pejabat atau Pegawai Negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1994 pasal 7, 8, 9, dan 10, jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2005 sebagai berikut: 1. Harus memiliki Surat Izin Penghunian yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan. Pemilik Surat Izin Penghunian wajib menempati Rumah Negara selambatlambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak Surat Izin Penghunian diterima (pasal 8) 2. Suami dan istri yang masing berstatus Pegawai Negeri, hanya dapat menghuni satu Rumah Negara, kecuali apabila suami istri tersebut bertugas dan bertempat tinggal di daerah yang berlainan (pasal 9)
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
185
3. Kewajiban dan larangan bagi penghuni rumah negara adalah sebagai berikut (pasal 10) : a. Penghuni Rumah Negara wajib membayar sewa rumah, memelihara rumah dan memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya. b. Penghuni Rumah Negara dilarang menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain, mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah; dan menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya. Ketentuan lebih lanjut tentang penghunian Rumah Negara ini diatur dalam Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2008 pasal 8 hingga pasal 11. Beberapa ketentuan tersebut antara lain : 1. Penghunian rumah negara oleh pejabat atau pegawai negeri dilakukan berdasarkan surat izin penghunian yang diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan ketentuan : a. Untuk Rumah Negara Golongan I/ Rumah jabatan, surat izin diberikan oleh Pimpinan Instansi yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk. b. Untuk Rumah Negara Golongan II, surat izin diberikan oleh Pejabat Eselon I atau pejabat yang ditunjuk. c. Untuk Rumah Negara Golongan III yang terletak di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, surat izin diberikan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya dalam hal ini Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan, sedang untuk Tumah Negara yang terletak di luar DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi surat izinnya dari dilakukan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang membidangi rumah negara. 2. Persyaratan penghunian Rumah Negara Golongan I sebagai berikut : a. menduduki jabatan di lingkungan instansi yang bersangkutan sesuai dengan tersedianya rumah jabatan dilingkungan instansi tersebut; b. mendapatkan surat izin penghunian dari Pimpinan Instansi atau pejabat yang ditunjuk olehnya; c. membuat surat pernyataan untuk mentaati kewajiban dan larangan; d. untuk rumah negara yang berbentuk rumah susun sudah mempunyai perhimpunan penghuni rumah susun yang ditetapkan Pimpinan Instansi. 3. Persyaratan penghunian Rumah Negara Golongan II sebagai berikut: a. berstatus pegawai negeri; b. mendapatkan surat izin penghunian dari Pejabat Eselon I atau pejabat yang ditunjuk; c. membuat surat pernyataan untuk mentaati kewajiban dan larangan; d. belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari negara berdasarkan peraturan yang berlaku; e. tidak sedang menghuni Rumah Negara Golongan II lainnya atau Rumah Negara Golongan III atas nama suami-isteri; f. untuk rumah negara yang berbentuk rumah susun sudah mempunyai perhimpunan penghuni yang ditetapkan Pimpinan Instansi. 4. Persyaratan penghunian Rumah Negara Golongan III sebagai berikut : a. pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, janda/duda pegawai negeri, janda/duda pahlawan, pejabat negara atau janda/duda pejabat negara. Dalam hal penghuni telah meninggal dunia, surat izin penghunian diberikan kepada anak sah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mendapatkan surat izin penghunian dari Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan atau pejabat yang ditunjuk, atau Kepala Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang membidangi rumah negara untuk rumah negara yang terletak di luar DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; c. membuat surat pernyataan untuk mentaati kewajiban dan larangan, d. belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari negara berdasarkan peraturan yang berlaku;
186
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
e. tidak menghuni Rumah Negara Golongan II lainnya; f. untuk rumah negara yang berbentuk rumah susun sudah mempunyai perhimpunan penghuni yang ditetapkan Pimpinan Instansi. Dalam penjelasan dari Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2008 terkait dengan penghunian Rumah negara ini ditegaskan tentang Mulai Berlaku dan dan Berakhirnya Penghunian Rumah Negara dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Hak penghunian rumah negara mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya sebagaimana tercantum dalam keputusan penunjukan penghunian rumah negara dan berakhir pada waktu penghuni yang bersangkutan tidak berhak lagi menempati rumah negara; 2. Penghuni Rumah Negara Golongan I yang tidak lagi memegang jabatan tertentu, harus mengosongkan rumah negara yang dihuni selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak tidak memegang jabatan tersebut; 3. Penghuni Rumah Negara Golongan II yang berhenti karena pensiun, diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat tanpa menerima hak pensiun, meninggal dunia, mutasi ke daerah atau instansi, berhenti atas kemauan sendiri, melanggar larangan penghunian rumah negara, izin penghuniannya dicabut, dan yang bersangkutan wajib mengosongkan rumah negara yang dihuninya selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diterima keputusan pencabutan izin penghunian; 5. Penghuni Rumah Negara Golongan III yang diberhentikan tidak dengan hormat izin penghuniannya dicabut dan wajib mengosongkan rumah negara yang dihuninya selambatlambatnya 2 (dua) bulan sejak diterima keputusan pencabutan izin penghunian.
6.6.4 Pengalihan Status Rumah Negara Rumah Negara yang telah ditetapkan status golongannya sebagaimana diijelaskan di atas, juga dapat dialihkan statusnya dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 12, pasal 13, pasal 14 sebagai berikut : 1. Rumah Negara Golongan II dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III dengan syarat : a. umur rumah negara paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak dimiliki oleh negara atau sejak ditetapkan perubahan fungsinya sebagai rumah negara; b. status hak atas tanahnya sudah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. rumah dan tanah tidak dalam keadaan sengketa berdasarkan surat pernyataan dari instansi yang bersangkutan; d. penghuninya telah memiliki masa kerja sebagai pegawai negeri paling singkat 10 (sepuluh) tahun; e. penghuni rumah memiliki Surat Izin Penghunian (SIP) yang sah dan suami atau istri yang bersangkutan belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. penghuni menyatakan bersedia mengajukan permohonan pengalihan hak paling singkat 1 (satu) tahun terhitung sejak rumah tersebut menjadi Rumah Negara Golongan III dengan ketentuan karena kelalaian mengajukan permohonan tersebut kepada penghuni dikenakan sanksi membayar sewa 2 (dua) kali dari sewa setiap bulannya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. untuk rumah negara yang berbentuk Rumah Susun sudah mempunyai perhimpunan penghuni yang ditetapkan Pimpinan Instansi; h. hasil kajian Pejabat Eselon I Rumah Negara Golongan II dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
187
2. Pengalihan status Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III dilakukan berdasarkan usul pengalihan status dari Pimpinan Instansi yang bersangkutan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Cipta Karya. 3. Pengalihan status Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III dalam hal luas tanah dan bangunan melebihi standar tipe dan kelas bangunan, pangkat dan golongan pegawai negeri, maka untuk kelebihan luas tanah dan bangunan harus mendapatkan izin tertulis dari Pejabat Eselon I yang bersangkutan. 4. Rumah Negara Golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III adalah: a. Rumah Negara Golongan II yang berfungsi sebagai mess/asrama sipil dan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian; b. Rumah negara yang masih dalam sengketa. 5. Rumah Negara Golongan I dapat diubah status golongannya menjadi Rumah Negara Golongan II oleh Pimpinan Instansi yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Cipta Karya, bila golongannya tidak sesuai lagi karena adanya perubahan atau penggabungan organisasi, dan/atau sudah tidak memenuhi fungsi sebagaimana ditetapkan semula. 6. Rumah Negara Golongan II dapat diubah statusnya menjadi Rumah Negara Golongan I oleh Pimpinan Instansi yang bersangkutan, bila untuk memenuhi kebutuhan rumah jabatan dengan ketentuan rumah tersebut secara teknis memenuhi syarat sebagai rumah jabatan berdasarkan tipe dan kelas rumah negara, serta tersedianya rumah pengganti.
6.6.5 Pengalihan Hak Rumah Negara Rumah Negara juga dapat dialihkan haknya dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Permen PU Nomor 22 Tahun 2008 pasal 15 sampai dengan pasal 21. Beberapa ketentuan tersebut antara lain: 1. Rumah negara yang dapat dialihkan haknya adalah Rumah Negara Golongan III. 2. Rumah negara yang tidak dapat dialihkan haknya adalah: a. Rumah Negara Golongan I; b. Rumah Negara Golongan II yang ditetapkan sebagai mess/asrama; c. Rumah Negara Golongan III yang masih dalam sengketa; atau d. Rumah Negara Golongan III yang berbentuk rumah susun yang belum mempunyai perhimpunan penghuni. 3. Pengalihan Hak Rumah Negara golongan III dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya dalam hal ini Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan atau pejabat yang ditunjuk setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. 4. Direktur Jenderal Cipta Karya dalam hal ini Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan : a. melakukan pertimbangan atas permohonan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III; b. melakukan pengawasan pelaksanaan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III; c. mengangkat Panitia Penaksir harga pengalihan hak Rumah Negara Golongan III beserta ganti rugi atas tanahnya seluruh Indonesia dengan ketentuan bahwa Panitia Penaksir untuk menetapkan harga taksiran pengalihan hak Rumah Negara Golongan III beserta ganti rugi atas tanahnya untuk DKI Jakarta, dan Panitia Penilai harga taksiran penjualan Rumah Negara Golongan III beserta ganti rugi atas tanahnya di seluruh Indonesia diangkat oleh Direktur Jenderal Cipta Karya.
188
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5. Direktur Jenderal Cipta Karya sebagai pelaksanaan tugas pembantuan menunjuk seluruh Kepala Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang membidangi rumah negara untuk melakukan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III masing-masing untuk rumah yang berada dalam lingkungan wewenangnya dengan ketentuan bahwa setiap pengalihan hak yang dilakukan harus terlebih dahulu memperoleh pertimbangan Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan. 6. Persyaratan penghuni yang dapat mengajukan permohonan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III sebagai berikut : a. Pegawai negeri : • mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; • memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; • belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pensiunan pegawai negeri : • menerima pensiun dari Negara; • memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; • belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Janda/duda pegawai negeri : • masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara, yang: (a) almarhum suaminya/ istrinya sekurang-kurangnya mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun pada Negara; atau (b) masa kerja almarhum suaminya/istrinya ditambah dengan jangka waktu sejak yang bersangkutan menjadi janda/duda berjumlah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. • memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; • belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Janda/duda pahlawan, yang suaminya/isterinya dinyatakan sebagai pahlawan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku: • masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara; • memiliki Surat izin Penghunian yang sah; • belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku. e. Pejabat negara atau janda/duda pejabat negara: • masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara; • memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; • belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Apabila penghuni rumah negara sebagaimana disebutkan diatas meninggal dunia, maka pengajuan permohonan pengalihan hak atas rumah negara dapat diajukan oleh anak sah dari penghuni yang bersangkutan dan apabila ia tidak mempunyai anak sah maka rumah kembali ke Negara.
6.6.6 Beberapa Permasalahan Pengelolaan Rumah Negara Berbagai ketentuan yang baru saja disampaikan di atas sering menjadi persoalan dalam pengelolaan Rumah Negara. Ada kasus, pejabat yang sudah pensiun tapi masih menempati rumah negara golongan II. Permasalahan lain yang sering terjadi berkaitan dengan Rumah Negara ini adalah : 1. Banyak Rumah Negara yang belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya: banyak rumah negara yang tidak dihuni (kosong). Di beberapa daerah di Indonesia, masih banyak rumah dinas yang tidak dihuni (kosong). Jika hal ini dibiarkan terlalu lama, maka dapat berdampak pada rusaknya rumah tersebut, yang akhirnya akan membebani Negara untuk membiayai perbaikan rumah tersebut.
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
189
2. Banyak praktek pungutan tak resmi oleh penghuni lama kepada penghuni baru yang akan menempati rumah dinas. Di beberapa daerah di Indonesia khususnya di kota besar, banyak terjadi praktek pungutan liar oleh penghuni lama kepada penghuni yang baru. Hal ini tentunya bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Praktik seperti ini terjadi karena adanya keinginan penghuni lama untuk mendapatkan uang pengganti/kompensasi atas biaya yang selama ini telah mereka keluarkan untuk merawat atau merenovasi rumah. Hal ini dapat membebani pegawai/ pejabat baru yang ingin menempati rumah dinas. Dan dapat menimbulkan mindset seolah-olah rumah dinas tersebut telah dibeli dan menjadi milik pribadi penghuninya, yang jika dibiarkan akan berdampak pada sulitnya menginstruksikan penghuni tersebut untuk keluar dari rumah tersebut ketika habis haknya. 3. Masih banyak rumah dinas yang dihuni oleh orang yang sebenarnya tidak lagi berhak menghuni rumah dinas tersebut. Misalnya, pegawai yang sudah pensiun atau mutasi. 4. Di daerah tertentu khususnya di kota besar, jumlah rumah dinas tidak sepadan dengan jumlah pegawai.
190
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kotak 6.2 Polda Usut Penjualan Aset Negara Published On: Sen, Apr 29th, 2013 Modus | By Deddy Lie Polda Usut Penjualan Aset Negara FAJARSUMATERA - Seorang oknum pejabat Kabupaten Tulangbawang berdalih pelepasan aset negara, nekad menjual mesin truk tangki air senilai puluhan juta, kasusnya kini ditangani Polda Lampung. Informasi yang dihimpun Fajar Sumatera di kalangan penyidik, mengungkapkan oknum pejabat Kab.Tuba berinitial AA yang menjabat Kepala BKD diduga telah menjual aset negara dan barang inventaris milik Pemkab Tuba berupa mesin truk tangki air. Modus operandi adalah penghapusan aset negara dan dum (dijual untuk dipakai dikalangan pegawai). Padahal sesuai ketentuan, penghapusan asset dan inventaris barang-barang milik negara ada aturan yang harus dipatuhi. Diantaranya melalui izin DPRD setempat, lelang yang diatur sesuai undang-undang. Kasus ini mencuat karena oknum pejabat tersebut saat menjual aset negara tidak melalui mekanisme yang benar. Dia menabrak ketentuan yang berlaku, sehingga saat menjual barang dan asset negara tanpa melalui prosedur, sehingga ada indikasi menggelapkan asset negara untuk kepentingan pribadi. Secara terpisah Herwan Saleh anggota DPRD Kab.Tuba dari Fraksi Golkar menyatakan, pihak Dewan sama sekali belum pernah membahas persoalan penghapusan asset dan penjualan atau dum maupun lelang barang-barang milik Pemkab Tuba sebelum pemekaran menjadi tiga kabupaten. Karena itu adanya kasus penjualan asset berupa mesin truk tangki air, pihak Dewan sama sekali tidak tahu menahu dan merasa terkejut. Karena setiap penghapusan asset negara milik Pemkab Tuba harus melalui mekanisme yang benar dan melalui prosedur, kata dia. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana FH Unila Tisnata saat dihubungi terpisah menyatakan, kalau penjualan atau penghapusan asset Negara tanpa prosedur atau ketentuan sesuai undangundang, dianggap menghilangkan barang milik Negara sehingga pelaku dapat didakwa sebagai penggelapan atau pencurian barang inventaris Negara, katanya. Penghapusan asset maupun penjualan melalui dum ada aturan seperti lelang secara terbuka setelah mendapat izin dari DPRD setempat dan persetujuan Bupati. Kemudian diumumkan secara terbuka di media massa. Kalau menjual asset Negara tanpa mekanisme dan prosedur yang benar, namanya mencuri atau penggelapan, sehingga dapat dikenai pasal penggelapan, ujar dosen senior FH Unila ini. (FS-Ilham/Subhan).
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
191
Kotak 6.3 “Tangkap” Indikasi Penyimpangan Pengadaan 2012 Sudin Dikmen Jakarta Timur
Suku Dinas Pendidikan Menengah Kota Administarasi Jakarta Timur diindikasikan melakukan penyimpangan Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) dalam proses pelaksanaan pengadaan peralatan praktek SMAN/SMKN tahun anggaran 2011 – 2012, dan kasus ini telah dilaporkan ke Jampidsus Kejaksaan Agung Republik Indonesia oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) beberapa waktu yang lalu dikarenakan adanya indikasi penyimpangan/pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara serta dunia pendidikan di Ibu Kota Negara Jakarta. Pengadaan peralatan praktek SMAN/ SMKN Sudin Dikmen Jakarta Timur anggaran 2011 terdiri dari pengadaan peralatan praktek Kimia virtual 4 dimensi dan peralatan praktek Biologi virtual 4 dimensi berdasarkan pengumuman lelang Nomor 1110/Pan-PBJ/X/2011 dimana pelaksanaan pengadaan ini diindikasikan digrogotin oleh oknum yang memperkaya diri. Pengadaan peralatan praktek Biologi virtual 4 dimensi pengumuman lelang harga perkiraan sendiri (HPS) Rp. 1.822.520.700,- (Milyar) diindikasikan perencanaan pengadaan peralatan praktek tersebut by design karena harga perkiraan sendiri yang jenisnya berbeda namun nilai harga perkiraan sendiri kedua alat praktek ini sama tidak berbeda harganya. Untuk peralatan Kimia vitual 4 dimensi pemenangnya/pelaksananya CV. Usaha Niaga Jaya dengan penawaran Rp. 2.058.861.420,- (Milyar) melebihi HPS sebesar Rp. 236.340.720,- begitu juga untuk pengadaan peralatan praktek Biologi virtual 4 dimensi dimenangkan CV. Bina Mitra Mandiri dengan harga sebesar Rp. 2.059.200.000,- (Milyar) lebih tinggi dari HPS Rp. 236.679.300,sehingga kerugian negara/Pemprov DKI Jakarta dan dunia pendidikan diperkirakan senilai Rp.472.000.000,-. Disaat pelaksanaan tahun 2011 /2012 tentang pengadaan peralatan praktek SMAN/SMKN Sudin Dikmen Jakarta Timur ada diindikasikan bebeapa item tidak sesuai dengan SPEK (Quantity dan Quality) oleh karena itu selayaknya proses pengadaan peralatan praktek Kimia dan Biologi di audit serta diperiksa oleh pihak yang berwenang agar dunia pendidikan dapat merubah kehidupan berbangsa dan bernegara terhindar dari perbuatan tindak pidana korupsi yang sangat rawan dan rentan terhadap moral anak-anak bangsa generasi kedepan. Sumber: www.radarnusantara.com, Kamis, 13 Juni 2013
192
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kotak 6.4 Sekitar 10 Persen Terminal Bus Di Indonesia Tidak Efektif TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Proyek pembangunan terminal bus yang asal bangun tanpa melihat posisi yang strategis membuat 10 persen terminal angkutan antar kota tersebut tidak esien. Dana miliaran rupiah pun sia-sia. “Sebanyak 10 persen dari 400-an terminal bus antar kota di Indonesia “mangkrak” tidak terpakai, karena jaraknya terlalu jauh. Bus-bus lebih suka berhenti dan mengambil penumpang di terminal bayangan,” kata Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Kementerian Perhubungan, Sudirman Lambali di Jakarta, Selasa (25/1). Menurut Sudirman, hal ini terjadi karena pemerintah daerah terlalu memaksakan pembangunan terminal tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Beberapa terminal, jelasnya, berada jauh di pusat kota atau jalan raya. Sebagai salah satu contoh adalah Terminal Mangkang, Semarang yang sama sekali tidak dilirik oleh bus-bus besar antar kota, karena jaraknya yang jauh dari perkotaan. Bus-bus yang keluar masuk di kota itu lebih memilih Terminal Terboyo yang jaraknya didekat kota. Selain itu, Sudirman menyebutkan, beberapa kota yang terminalnya tidak terpakai antara lain kota Kediri (Jawa Timur), Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), Pangkalpinang (Bangka Belitung) dan beberapa kota lainnya. Sumber: http://www.tribunnews.com/bisnis/2011/01/25/sekitar-10-persen-terminal-bus-di-indonesia-tidak-efektif
6.7 Latihan 1. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup dari pengelolaan Barang Milik Daerah? 2. Jelaskan perubahan paradigma pengelolaan aset daerah! 3. Jelaskan aturan perundangan tentang pengelolaan Barang Milik Daerah dan apa substansi utama yang terdapat di dalamnya! 4. Jelaskan secara singkat organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah! 5. Jelaskan tanggung jawab dan wewenang para Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah! 6. Jelaskan permasalahan yang sering timbul terkait dengan pengelolaan rumah negara!
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
193
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
194
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi: Bab ini menjelaskan tentang Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan, Siklus Akuntansi, Jenis dan Bentuk Laporan Keuangan, serta Pengawasan dan Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Daerah. Tujuan: Setelah mempelajari bab ini, peserta: 1. Mampu menjelaskan prinsip akuntansi dan pelaporan; 2. Mampu menjelaskan Standar Akuntansi Pemerintahan; 3. Mampu menjelaskan konsep dasar akuntansi pemerintahan; 4. Mampu menjelaskan Jenis dan Bentuk Laporan Keuangan; 5. Mampu menjelaskan fungsi dari pengawasan internal dan kaitannya dengan kinerja dan keuangan. No.
Sub Bab
Kata Kunci
1
Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan
Pengertian Akuntansi Pemerintahan, Karakterisitik Akuntansi Pemerintahan, Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan PP 71 Tahun 2010, Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP), Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP).
2
Siklus Akuntasi Pemerintahan
Persamaan dasar akuntansi, aturan debit kredit, siklus akuntansi.
3
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Jenis dan fungsinya)
Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Catatan atas Laporan Keuangan.
4
Pengawasan Internal, dan Pemeriksaan Keuangan
Pengawasan internal, pemeriksaan keuangan, opini terhadap laporan keuangan.
Bahan Bacaan: 1. Arens, Alvin A and James K Loebbecke, Auditing, An Integrated Approach. Prentice Hall International, Englewood Cliffs, 5th edition, 2010; 2. Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga, Jakarta (IB); 3. BPK RI, 2007, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara; 4. DJPK, 2012, Handbook Akuntansi Pemda; 5. Mulyana, Budi, Handbook Akuntansi Keuangan Daerah Berbasis Akrual, Berdasar SAP Akrual (PP 71/2010), 2012; 6. Halim, Abdul dan Muhammad Syam Kusu, Akuntansi Keuangan Daerah – SAP berbasis Akrual, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012; 7. Freeman, Robert J. dan Craig D. Shoulders. 2003. Governmental and Nonprot Accounting. Person Education, Prentice Hall. 7 th Edition; 8. Mardiasmo, 20XX, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta; 9. A.A. Gde Manunjaya. 1999. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC. Azrul Azwar. 1988. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi kedua. Jakarta: PT. Bina Rupa Aksara; 10. Dee Ann Gillies. 1989. Nursing Management. Philadelphia: WB. Saunders Company; 11. Eleanor J. Sullivan dan Phillip J. Decker. 1985. Effective Management in Nursing. California: Addison-Wesley Publishing Company;
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
195
12. Isa, H. Moh. 1980. Beberapa Bacaan tentang Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depkes RI. T. Hani Handoko. 1995. Manajemen. Edisi kedua. Yogyakarta: BPFE; 13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 15. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Daerah; 17. PP 60/2008; 18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 19. Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 1 s/d 10; 20. Interpretasi Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) Nomor 2 dan 3; 21. Permendagri 13 Tahun 2006 jo Permendagri 59 tahun 2007 jo Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah jo Permendagri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Permendagri No 23 Tahun 2007; 23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2007 tentang Norma Pengawasan dan Kode Etik Pejabat Pengawas Pemerintah; 24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Daerah; 25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan; 26. Surat Edaran Ditjen BAKD No.900/079/BAKD/2008.
7.1 Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan Akuntansi pemerintahan adalah sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak berkepentingan atas berbagai alternatif tindakan (Halim, 2007). Menurut PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sistem akuntansi pemerintah merupakan serangkaian prosedur mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah daerah. Akuntansi dan pelaporan keuangan akan dipengaruhi oleh lingkungan operasionalnya. Di lingkungan pemerintah perlu dipertimbangkan berbagai hal terkait akuntansi dan pelaporan keuangan, antara lain: 1. Struktur Pemerintahan dan Pelayanan yang diberikan; 2. Keuangan Pemerintah yang penting bagi pengendalian, antara lain, Anggaran, Investasi dalam aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, Kemungkinan penggunaan akuntansi dana untuk pengendalian, Penyusutan nilai aset sebagai sumber daya ekonomi karena digunakan dalam operasional pemerintah.
7.1.1 Reformasi Akuntansi Pemerintahan di Indonesia Akuntansi Pemerintahan di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan mendasar yang pertama kali dilakukan yaitu pada tahun 1998 yang disebut reformasi yang diikuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan UU tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan secara beriturut-turut:
196
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah; 5. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/ SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001; 6. Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan UU dan peraturan-peraturan tersebut, pengelolaan keuangan daerah di era reformasi berubah drastis, dan Pemerintah Daerah dituntut semakin akuntabel dan transparan antara lain dengan: 1. Keharusan untuk menghasilkan berbagai laporan keuangan pada akhir tahun anggaran yang terdiri atas: a. b. c. d.
Laporan Perhitungan APBD. Nota Perhitungan APBD. Laporan Arus Kas. Neraca Daerah.
Padahal sebelumnya, Pemda hanya menyiapkan laporan perhitungan APBD. 2. Terjadinya perubahan struktur APBD dimana pinjaman daerah tidak lagi masuk dalam akun Pendapatan (yang menunjukkan hak pemda), tetapi masuk dalam akun Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak pemda). 3. Anggaran daerah yang mulai disusun untuk mencapai kinerja tertentu (anggaran berbasis kinerja). 4. Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya adalah Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan kepala daerah apabila 2 (dua) kali mengalami penolakan dari DPRD. 5. Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Terkait dengan akuntansi, pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 dan Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002 serta aturan-aturan penerusnya menuntut perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah. Perkembangan selanjutnya, sejalan dengan diterbitkannya paket UU tentang Keuangan Negara, yakni UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka sebagai konsekuensinya adalah penyesuaian dan amandemen atas peraturan perundangan sebelumnya. Selain itu muncul peraturan perundangan yang diamanatkan oleh UU terdahulu, seperti PP 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP yang berpayung hukum dengan UU yang telah diamandemen tentu harus menyesuaikan dan atau mengalami perubahan atau revisi. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000, misalnya, diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Begitu juga dengan peraturan yang lebih teknis, seperti Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002, diganti dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
197
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Kemudian dikeluarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai perubahan pertama. Selanjutnya dikeluarkan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur penggunaan basis akrual dalam sistem akuntansi keuangan pemerintah, maka saat ini dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai penganti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menggunakan basis kas menuju basis akrual (cash toward accrual). Pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 diamanatkan bahwa penggunaan basis akrual dalam sisten akuntansi keuangan pemerintah, dilaksanakan paling lambat tahun 2015. Untuk mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah (PUSAP). Dalam kaitan dengan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah, ada kemungkinan terjadi perubahan dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004, ada kemungkinan dilakukan revisi terhadap PP 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang juga berimplikasi kepada perubahan sistem akuntansi keuangan daerah.
7.1.2 Standar Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) menyatakan bahwa SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dalam PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdapat 3 (tiga) Lampiran yaitu: 1. Lampiran I tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual; 2. Lampiran II tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual; dan Lampiran; 3. III tentang Proses Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. Lampiran I Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual berisi: 1. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan; 2. PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan; 3. PSAP 02 Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas; 4. PSAP 03 Laporan Arus Kas; 5. PSAP 04 Catatan Atas Laporan Keuangan; 6. PSAP 05 Akuntansi Persediaan; 7. PSAP06 Akuntansi Investasi; 8. PSAP 07 Akuntansi Aset Tetap; 9. PSAP 08 Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan; 10. PSAP 09 Akuntansi Kewajiban; 11. PSAP 10 Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang tidak dilanjutkan; 12. PSAP 11 Laporan Keuangan Konsolidasian; 13. PSAP 12 Laporan Operasional. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dikembangkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah konsep dasar penyusunan dan
198
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
pengembangan SAP. SAP merupakan acuan bagi KSAP, penyusun laporan keuangan, pemeriksa, dan pengguna laporan keuangan dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan. Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat IPSAP, adalah penjelasan, klarikasi, dan uraian lebih lanjut atas PSAP. Sistem Akuntansi Pemerintahan pada Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Sehingga Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah Daerah harus diatur dengan peraturan gubernur/ bupati/walikota yang mengacu pada Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah tersebut.
Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Menurut PP 71 tahun 2010, Prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan dimaksudkan sebagai ketentuan yang dipahami dan ditaati oleh pembuat standar dalam menyusun standar, penyelenggara akuntansi dan pelaporan keuangan dalam melakukan kegiatannya, serta pengguna laporan keuangan dalam memahami laporan keuangan yang disajikan. Delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah yaitu:
Basis akuntansi Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis akrual untuk pengakuan pendapatan-LO, beban, aset, kewajiban, dan ekuitas. Basis akrual untuk LO berarti bahwa pendapatan diakui pada saat hak untuk memperoleh pendapatan telah terpenuhi walaupun kas belum diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan dan beban diakui pada saat kewajiban yang mengakibatkan penurunan nilai kekayaan bersih telah terpenuhi walaupun kas belum dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Pendapatan seperti bantuan pihak luar/asing dalam bentuk jasa disajikan pula pada LO. Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas, maka LRA disusun berdasar basis kas, berarti pendapatan dan penerimaan pembiayaan diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan; serta belanja, transfer dan pengeluaran pembiayaan diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Namun demikian, jika anggaran disusun dan dilaksanakan berdasarkan basis akrual, maka LRA disusun berdasarkan basis akrual. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan.
Prinsip Nilai Historis Aset dicatat sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan untuk memperoleh aset tersebut. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban di masa yang akan datang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah. Nilai historis lebih dapat diandalkan daripada penilaian lain karena lebih obyektif dan dapat diverikasi. Dalam hal tidak terdapat nilai historis, dapat digunakan nilai wajar aset atau kewajiban terkait.
Prinsip Realisasi Bagi pemerintah, pendapatan basis kas yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintah suatu periode akuntansi akan digunakan untuk membayar utang dan belanja dalam periode tersebut. Mengingat LRA masih merupakan laporan yang wajib disusun, maka pendapatan atau belanja basis
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
199
kas diakui setelah diotorisasi melalui anggaran dan telah menambah atau mengurangi kas. Prinsip penandingan biaya-pendapatan (matching-cost with revenue principle) dalam akuntansi pemerintah tidak mendapat penekanan sebagaimana dipraktikkan dalam akuntansi komersial.
Prinsip Substansi Mengungguli Bentuk Formal (Substance Over Form) Infomasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitas. Apabila substansi transaksi atau peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK).
Prinsip Periodisitas Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber daya yang dimilikinya dapat ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah tahunan, namun periode bulanan, triwulanan, dan semesteran juga dianjurkan.
Prinsip Konsistensi Perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian yang serupa dari periode ke periode oleh suatu entitas pelaporan (prinsip konsistensi internal). Hal ini tidak berarti bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari satu metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh atas perubahan penerapan metode ini dungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Prinsip Pengungkapan Lengkap Laporan keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau Catatan atas Laporan Keuangan.
Prinsip Penyajian Wajar Laporan keuangan menyajikan dengan wajar Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL), Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Dalam rangka penyajian wajar, faktor pertimbangan sehat diperlukan bagi penyusun laporan keuangan ketika menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian seperti itu diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya, pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau pendapatan yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban atau belanja yang terlampau tinggi, sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral dan tidak andal.
200
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
7.2 Siklus Akuntansi Keuangan Daerah Topik ini menjelaskan tentang persamaan dasar akuntansi dan aturan debit dan kredit, serta menjelaskan tentang siklus akuntansi.
7.2.1 Persamaan Dasar Akuntansi Konsep dasar yang digunakan dalam prinsip akuntansi adalah persamaan dasar akuntansi, yaitu : Tabel 7.1
Persamaan Dasar Akuntansi
KEKAYAAN DAERAH
=
SUMBER - SUMBERNYA
ASET
=
KEWAJIBAN
Sisi kiri
=
Sisi kanan
Sisi debit
=
Sisi kredit
+
EKUITAS
Persamaan dasar ini akan mendasari seluruh proses dalam siklus akuntansi, mulai dari pencatatan transaksi, pengklasikasian, sampai pada penyusunan laporan keuangan seperti neraca. Secara garis besar, laporan neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah daerah pada tanggal tertentu. Struktur neraca tersebut bisa dibuat dalam bentuk berimbang antara sisi kiri yaitu aset dengan sisi kanan yaitu kewajiban dan ekuitas. Tabel 7.2
Contoh Neraca PEMERINTAH KOTA ABC NERACA PER 31 DESEMBER 20XX Uraian
Jumlah
Uraian
Aset
Jumlah
Utang
Aset Lancar
10.601.661.888
Utang Jangka Pendek
11.506.643.910
Investasi Jangka Panjang
3.648.306.899
Utang Jangka Panjang
4.138.819.678
Aset tetap
409.820.181.389
Ekuitas
Dana Cadangan
Ekuitas
409.622.859.318
Aset Lain-lain
1.198.172.729
Total Aset
425.268.322.906
Total Kewajiban dan Ekuitas
425.268.322.906
Berdasarkan Neraca Pemerintah Kota ABC diatas dapat dilihat kekayaan pemerintah daerah, sedangkan kewajiban dan ekuitas menunjukkan sumber dana atas kepemilikan aset atau kekayaan tersebut. Kekayaan pemerintah daerah bisa berupa aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap dan aset lainnya. Dalam hal ini sumber dana untuk memperoleh aset tersebut diklasikasikan menjadi dua sumber utama, yaitu dari utang pemerintah daerah dan kekayaan bersih pemerintah daerah sendiri yang disebut ekuitas.
7.2.2 Aturan Debit dan Kredit Aturan debit dan kredit akan membantu kita dalam mencatat informasi ke dalam buku besar. Aturan ini dapat dipahami secara lebih mudah dengan melihat penggunaannya pada akun-akun bentuk T yang tercakup dalam persamaan akuntansi berikut ini:
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
201
Aturan Debit Kredit Tabel 7.3
Aturan Debit Kredit Aturan Debit Kredit
Aktiva Akun- akun Aktiva Debit untuk Penambahan
Kewajiban Akun-akun Kewajiban
=
Kredit untuk Pengurangan
Debit untuk Pengurangan
+
Kredit untuk Penambahan
Ekuitas Akun-akun Ekuitas Debit untuk Pengurangan
Kredit untuk Penambahan
Dalam akun-akun dari persamaan akuntansi di atas aturan debit dan kredit untuk Aset berlawanan arah dengan kewajiban dan ekuitas. Apabila suatu akun Aset bertambah, maka akun tersebut didebit dan jika berkurang, maka akun yang bersangkutan dikredit, sebaliknya, untuk akun kewajiban dan ekuitas dikredit untuk penambahan dan didebit untuk pengurangan. Saldo normal (normal balance) dari suatu akun adalah posisi yang bertambah menurut aturan debit dan kredit. Sebagai contoh adalah saldo normal dari akun kas adalah saldo debit, karena suatu Aset bertambah dengan mencatat pada posisi debit. Oleh karena itu, saldo normal adalah pada sisi yang positif, dimana saldo normal dari Aset adalah pada sisi debit, sebaliknya kewajiban dan ekuitas mempunyai saldo normal pada sisi kredit atau disebut akun-akun bersaldo kredit. Saldo-saldo normal dari akun-akun neraca digambarkan sebagai berikut:
Saldo Normal Akun-Akun Neraca Tabel 7.4
Saldo Normal Akun-akun Neraca Saldo Normal Akun-akun Neraca
Aktiva Akun- akun Aktiva Saldo Normal Debt
=
Kewajiban Akun-akun Kewajiban
+
Saldo Normal Debt
Ekuitas Akun-akun Ekuitas Saldo Normal Debt
Ekuitas biasanya terdiri atas beberapa akun. Setiap akun ekuitas akan mempunyai saldo normal pada sisi kredit, apabila akun tersebut merupakan unsur penambahan dalam ekuita contohnya yaitu pendapatan. Tetapi, apabila suatu akun merupakan unsur pengurangan dalam ekuitas, maka akun ini akan mempunyai saldo normal pada sisi debit misalnya akun beban.
7.2.3 Siklus Akuntansi Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dalam satu rangkaian proses yang disebut siklus akuntansi pemerintah daerah. PPKD adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Kepala SKPKD) yang bertugas mengelola APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah. Nama SKPKD sangat beragam antar daerah. Ada yang memberi nama DPKD (Dinas Pengelola Keuangan Daerah), ada DPPKD (Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah), ada DPPKAD (Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah). Siklus akuntansi merupakan tahap-tahap/langkah-langkah yang harus dilalui dalam suatu sistem akuntansi, termasuk akuntansi pemerintah daerah. Langkah-langkah tersebut meliputi 5 Langkah Utama Plus Dua Langkah Penyelesaian, yaitu:
202
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Menganalisis transaksi berdasarkan bukti pembukuan dan mencatat transaksi dalam Buku Jurnal Finansial atau dan Buku Anggaran. 2. Mencatat penyesuaian akhir tahun berdasarkan bukti memorial di Buku Jurnal Finansial. 3. Melakukan posting ke Buku Besar; 4. Menyusun Neraca Saldo setelah penyesuaian; 5. Menyusun laporan keuangan berdasarkan Neraca Saldo Setelah Penyesuaian; 6. Membuat Jurnal penutup; 7. Menyusun Neraca saldo setelah penutupan. Gambar 7.1
Alur Penyusunan Laporan Keuangan
7.3 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 7.3.1 Jenis dan Bentuk Laporan Keuangan Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, laporan keuangan menyediakan informasi mengenai sumber dan penggunaan sumber daya keuangan/ekonomi, transfer, pembiayaan, sisa lebih/ kurang pelaksanaan anggaran, saldo anggaran lebih, surplus/desit-Laporan Operasional (LO), aset, kewajiban, ekuitas, dan arus kas suatu entitas pelaporan.
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Unsur yang dicakup dalam laporan realisasi anggaran terdiri dari Pendapatan, Belanja, Transfer, dan Pembiayaan.
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
203
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan tersebut terdiri dari Saldo anggaran lebih, dikurangi Penggunaan Saldo Anggaran Lebih sebagai Penerimaan Pembiayaan Tahun Berjalan dijumlahkan dengan Sisa Lebih atau Kurang Pembiayaan Anggaran, Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya, dan Lain-lain. Format LPSAL sebagai berikut: Tabel 7.5
Format LPSAL PEMERINTAH DAERAH LAPORAN PERUBAHAN SALDO ANGGARAN LEBIH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0
NO.
URAIAN
20X1
20X0
1
Saldo Anggaran Lebih Awal
XXX
XXX
2
Penggunaan SAL sebagai Peneriamaan Pembiayaan Tahun Berjalan
(XXX)
(XXX)
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
3 4 5
Subtotal (1 - 2) Sisa lebih/kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SiKPA) Subtotal (3 + 4)
6
Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya
XXX
XXX
7
Lain-lain
XXX
XXX
XXX
XXX
8
Saldo Anggaran lebih Akhir (5 + 6 + 7)
Sumber: PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Laporan Operasional (LO) Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan akun-akun luar biasa. Masing- masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih; 2. Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih; 3. Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang dari/oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil; 4. Akun Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa yang terjadi karena kejadian atau transaksi yang bukan merupakan operasi biasa.
Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
204
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Format LPE sebagai berikut: Tabel 7.6
Format LPE
PEMERINTAH PROVINSI KABUPATEN/KOTA LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 NO.
URAIAN
20X1
20X0
1
EKUITAS AWAL
XXX
XXX
2
SURPLUS/DEFISIT-LO
XXX
XXX
3
DAMPAK KUMULATIF PERUBAHAN KEBIJAKAN/KESALAHAN MENDASAR:
4
KOREKSI NILAI PERSEDIAAN
XXX
XXX
5
SELISIH REVALUASI ASET TETAP
XXX
XXX
6
LAIN-LAIN
XXX
XXX
7
EKUITAS AKHIR
XXX
XXX
Sumber: PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Neraca Unsur yang dicakup dalam neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dan Masing-masing unsur didenisikan sebagai berikut: 1. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah daerah, sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya; 2. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah daerah; 3. Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah daerah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah daerah.
Laporan Arus Kas (LAK) Laporan arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan Aktivitas Operasi, Aktivitas Investasi, Aktivitas Pendanaan, dan Transitoris yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas pemerintah daerah selama periode tertentu. Unsur yang dicakup oleh laporan arus kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas daerah dari 4 aktivitas: 1. 2. 3. 4.
Aktivitas Operasi; Aktivitas Investasi; Aktivitas Pendanaan; Aktivitas Transitoris.
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
205
Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Catatan Atas Laporan Keuangan mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Menyajikan informasi tentang ekonomi makro, kebijakan skal/keuangan dan pencapaian target perda APBD, berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target; 2. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja selama tahun pelaporan; 3. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-ransaksi dan kejadian-kejadian penting lainnya; 4. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.
7.3.2 Keterkaitan antar Laporan Keuangan Laporan keuangan yang disusun Pemerintah Daerah memiliki keterkaitan antara laporan yang satu dengan laporan yang lainnya. Bentuk keterkaitan antar laporan keuangan dapat dilihat pada: Gambar 7.2
Keterkaitan Antar Laporan Keuangan
Laporan Operasioanal Pendapatan Beban Surplus/Desit Opr Kegiatan non operasional Surplus/Desit LO
LRA 500 (200) 300 60 360
Pendapatan Belanja Surplus/(Desit) Pembiayaan SILPA
Laporan perubahan Ekuitas Ekuitas Awal
Surplus/(Desit) LO
Ekuitas Akhir
Aset
1.000 360 1.360
450 (0) 450 1.000 1.450
Laporan perubahan SAL SAL Awal
Penggunaan SAL
SILPA
SAL Akhir
100 (30) 1.450 1.520
Neraca
Kewajiban
Ekuitas
2.000 640 1.360
Sumber: diolah penulis
7.3.3 Penyusunan Laporan Keuangan SKPD Sistem Akuntansi SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan unit pemerintahan di lingkungan pemda selaku pengguna anggaran, yang dapat berbentuk dinas, badan, dan kantor ataupun satuan. Sebagai pengguna anggaran, SKPD harus menyelenggarakan sistem akuntansi guna menghasilkan laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang dikelolanya. Di dalam sistem pengelolaan APBD mengharuskan seluruh penerimaan uang oleh SKPD disetorkan ke rekening Kas Umum Daerah dan pengeluaran dilakukan dari rekening Kas Umum Daerah. Istilah
206
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kas Umum Daerah sering juga disebut Kas Daerah atau sering disingkat Kasda. Pengelola Kasda adalah PPKD yang secara otomatis adalah BUD. Dengan demikian, walaupun SKPD telah memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), aliran kas masuk ke pengguna anggaran yang berasal dari pendapatan daerah harus disetorkan ke Kas Daerah. Demikian juga untuk setiap pembayaran belanja SKPD, uang yang digunakan adalah uang yang berasal dari Kas Daerah yang dibayarkan baik dengan cara pembayaran langsung (LS) oleh BUD ke pihak penerima pembayaran ataupun melalui bendahara pengeluaran SKPD dengan mekanisme uang persediaan/tambah uang persediaan (UP/GU/TU). Mekanisme di atas akan menimbulkan hubungan antara SKPD dengan PPKD (selaku BUD). Untuk tujuan akuntansi, hubungan antara berbagai SKPD dan PPKD selaku BUD dapat dipandang dari dua aspek berikut : 1. Aspek hubungan keuangan; hubungan antara SKPD dan PPKD dapat dipandang sebagai hubungan antara kantor pusat dan kantor cabang. PPKD diperlakukan sebagai kantor pusat, sementara itu SKPD-SKPD diperlakukan sebagai kantor cabang; 2. Aspek pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran; hubungan antara SKPD dan PPKD sebagai entitas yang mandiri, sehingga SKPD dan PPKD masing-masing mempunyai tanggung jawab untuk menyusun laporan keuangannya masing-masing. Hubungan kantor pusat dan cabang yang diaplikasikan pada akuntansi di SKPD dan PPKD ini dapat dilihat dengan digunakannya akun Rekening Koran PPKD (RK-PPKD) pada setiap SKPD. Sementara itu, PPKD menggunakan akun Rekening Koran SKPD (RK-SKPD). Dengan demikian, akun RKSKPD dan akun RK-PPKD merupakan akun resiprokal yang mencerminkan hubungan timbal-balik keuangan antara PPKD (selaku BUD) dan SKPD (selaku pengguna anggaran).
Struktur Anggaran SKPD Transaksi anggaran apa saja yang akan terjadi di SKPD, hal itu sudah tergambar di dalam anggaran (DPA) SKPD yang bersangkutan. Dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam hal penganggaran dan pelaksanaannya antara PPKD dan Kepala SKPD, maka tidak akan terjadi tumpang tindih (overlap) penganggaran antara PPKD dan SKPD. Penganggaran pendapatan dan belanja yang tidak dianggarkan di dalam DPA PPKD, akan dianggarkan di dalam DPA SKPD. Sementara itu, penganggaran pembiayaan seluruhnya merupakan kewenangan PPKD sehingga anggaran pembiayaan tidak akan muncul di dalam DPA SKPD. Dengan demikian struktur anggaran SKPD sebagaimana tertuang di dalam DPA SKPD terdiri dari: 1. Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD); 2. Anggaran Belanja Tidak Langsung; 3. Anggaran Belanja Langsung. Perlu diingat bahwa tidak semua SKPD memiliki kewenangan untuk memungut PAD. Kewenangan untuk memungut PAD berupa pajak daerah berada pada SKPKD sedangkan SKPD tertentu memiliki kewenangan untuk memungut retribusi.
7.3.4 Penyusunan Laporan Keuangan PPKD Sistem Akuntansi PPKD Di dalam Pasal 98 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dinyatakan sebagai berikut:
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
207
1. Pada SKPKD disusun RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) -SKPD dan RKA-PPKD.; 2. RKA-SKPD memuat program/kegiatan yang dilaksanakan oleh PPKD selaku SKPD; 3. RKA-PPKD digunakan untuk menampung: a. pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan hibah; b. belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; dan penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah. Berdasarkan aturan tersebut di atas, sistem akuntansi yang harus diselenggarakan di SKPKD terdiri dari: 1. Sistem Akuntansi SKPD (SKPKD dalam kapasitas selaku SKPD), menghasilkan laporan keuangan SKPD berupa LRA, LO, LPE dan Neraca serta CaLK selaku SKPD pada umumnya. 2. Sistem Akuntansi PPKD terdiri dari: a. Sistem Akuntansi PPKD sebagai BUD, menghasilkan laporan keuangan PPKD berupa LRA, LO, LPE, dan Neraca, serta CaLK selaku PPKD; b. Sistem Akuntansi Konsolidator Pemda, menghasilkan laporan keuangan Pemda (laporan keuangan gabungan) secara lengkap berupa LRA, Laporan Perubahan SAL, LO, LPE, Neraca, LAK, dan CaLK.
Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Konsolidasian) Proses penyusunan laporan keuangan konsolidasian sesungguhnya merupakan pekerjaan sederhana secara logika, karena pada dasarnya hanya menjumlahkan akun-akun yang sifatnya sama di dalam laporan keuangan dari seluruh SKPD ditambah dengan akun-akun yang ada dalam laporan keuangan PPKD. Khusus untuk penggabungan neraca, ada akun yang harus dieliminasi yaitu akun resiprokal yang hanya mencakup dua akun, yaitu akun RK-PPKD lawan RK-SKPD. Problem dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasian lebih kepada volume pekerjaan yang relatif besar, sehingga membutuhkan energi ekstra, kecermatan, ketelitian dan tentunya kesabaran dalam melakukan verikasi dan rekonsiliasi. Problem tersebut mungkin bisa diatasi secara signikan dengan menggunakan software aplikasi akuntansi, namun perlu diingat bahwa software itu hanya sekedar tools atau alat bantu yang tidak sepenuhnya bisa menggantikan tugas-tugas tenaga akuntansi.
7.4 Pengawasan Internal Seringkali sulit membedakan antara fungsi pengawasan internal dengan pemeriksaan eksternal. Meskipun di Indonesia hal itu jelas dilakukan oleh instansi yang berbeda, seringkali pihak yang diawasi/diperiksa tidak menyadari perbedaan keduanya. Tidak sedikit pegawai instansi tertentu mengeluh soal melayani aparat pengawasan/pemeriksaan yang datang berkali-kali. Aparat di sebuah dinas di daerah misalnya mengatakan ketika ada kasus, mereka pernah didatangi berbagai instansi pengawasan/pemeriksaan dalam satu tahun, ada pemeriksa dari inspektorat kabupaten, Inspektorat Provinsi, inspektorat Jenderal Kemendagri, BPKP dan BPK. Memang di Indonesia terdapat berbagai institusi pengawasan/pemeriksa, sebut saja BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal Kementrian/Lembaga dan Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten, namun sesungguhnya terdapat perbedaan fungsi diantara mereka. Secara umum tugas dan fungsi instansi tersebut dapat dikelompokkan kepada Pengawas Internal dan Pemeriksa Eksternal. Inspektorat dan BPKP adalah instansi pengawasan internal, sedangkan BPK adalah pemeriksa eksternal khususnya pemeriksa keuangan. Secara singkat perbedaan di antara instansi tersebut dalam kaitan dengan pekerjaan pemeriksaan adalah sebagai berikut :
208
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. BPK adalah pemeriksa eksternal institusi publik yang tugas dan kewenangannya diatur dalam konstitusi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. 2. BPKP adalah institusi pengawas internalnya Presiden yang bertugas melakukan pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan dalam bentuk audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan esien. 3. Inspektorat Jenderal adalah institusi pengawas internalnya Menteri untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Menteri, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Inspektorat Provinsi adalah institusi pengawas internalnya Gubernur (Pemerintah Provinsi) yang melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintah Provinsi. 5. Inspektorat Kabupaten/Kota adalah institusi pengawas internalnya Bupati/Walikota (Pemerintah Kabupaten/kota) yang melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintah Kabupaten/Kota. Secara umum, aparat pengawasan internal pemerintah bertugas untuk menjaga agar Pemerintahan berjalan dengan baik dan akuntabel untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam anggaran dan dokumen perencanaan dan sekaligus mencegah (preventif) agar tidak terjadi kesalahan dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur pemerintah. Dalam menjalankan fungsinya aparatur pengawas internal lebih berfungsi sebagai supervisor dan jika diperlukan melakukan pemeriksaan (audit) serta melakukan reviu/evaluasi terhadap sistem. Namun saat ini, aparat pengawas internal justru banyak berfungsi sebagai auditor (pemeriksa) sehingga terkesan melakukan peranan yang sama dengan pemeriksa eksternal. Berbeda dengan pengawas internal, pemeriksa eksternal umumnya berfungsi memberikan opini terhadap laporan keuangan dan efektitas organisasi. Biasanya aparatur pemeriksa eksternal ini disebut sebagai auditor yang menjalankan fungsi audit (memeriksa). Audit adalah suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara obyektif yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Arens, et.al., 2010). Di Indonesia saat ini ada Akuntan Publik (External Auditor/Independent Auditor) untuk sektor bisnis dan BPK untuk sektor publik (pemerintahan). Namun terkadang BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) juga bertindak sebagai pemeriksa ekternal terhadap Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah jika ditugasi Presiden untuk melakukan audit tertentu terkait projek tertentu. Pengawasan intern merupakan sebuah proses, yang diwujudkan oleh pimpinan organisasi maupun anggotanya, yang dirancang untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi seperti: 1. Efektivitas dan esiensi dari kegiatan operasional; 2. Keandalan laporan keuangan; 3. Ketaatan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Kata kuncinya adalah: 1. Pengawasan intern merupakan sebuah proses, yang menjadi suatu media menuju akhir, bukan berarti akhir itu sendiri;
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
209
2. Pengawasan intern dipengaruhi oleh personil. Hal tersebut bukanlah hanya suatu kebijakan yang berbentuk manual dan format tertulis, tetapi merupakan sekelompok individu pada tiap tingkat organisasi; 3. Pengawasan internal dapat diharapkan untuk memberikan kepastian yang sesuai, bukan kepastian yang absolut kepada keseluruhan tingkat manajemen; 4. Pengawasan intern dimaksudkan untuk mempercepat tercapainya sasaran yang terpisah-pisah tetapi juga untuk keseluruhan tujuan organisasi. Pengawasan Internal dikenal juga mencakup dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian secara terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan esien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas yang diperuntukan untuk itu. Dengan kata lain pengawasan internal adalah proses untuk mengamati secara terus menerus pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi jika terjadi kesalahan dan penyimpangan. Pengawasan pada prinsipnya adalah fungsi manajemen dimana peran dari personal yang sudah memiliki tugas, wewenang dan menjalankan pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan agar supaya berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan misi organisasi. Di dalam manajemen organisasi yang modern, fungsi pengawasan ini biasanya dilakukan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI). Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi manajemen yang lain, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Pengawasan adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi, umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpanganpenyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan esien dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya. Dalam perkembangan manajemen publik modern, elemen yang sangat penting dalam pengawasan internal saat ini adalah setiap unit dalam Pemerintahan melakukan manajemen resiko (risk management) dan penjaminan mutu (quality assurance). Dalam prinsip risk management, setiap satuan kerja harus aware dengan resiko dan sebaiknya mereka harus mendenisikan sendiri risiko mereka dan mengidentikasi faktor-faktor yang akan menghalangi mereka mencapai target/tujuan organisasi (memitigasi sendiri). Demikian juga dengan penjaminan mutu, sebaiknya organisasi melakukan langkah-langkah agar mutu layanan mereka terjamin. Aparat pengawas internal bertindak sebagai supervisor dan katalisator agar terjadi proses self-assessment terhadap resiko dan penjaminan mutu di dalam organisasi. Pemeriksaan (audit) internal justru dipandang sebagai sebagai langkah terakhir, tidak perlu ada pemeriksaan kalau semua berjalan baik. Dengan kata lain, pemeriksaan internal akan dilakukan jika benar-benar diperlukan. Namun hal ini memerlukan capacity building bagi pengawas internal di Indonesia. Dalam proses pengawasan setidaknya terdapat lima tahapan, yaitu: 1. penetapan standar pelaksanaan; 2. penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; 3. pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata;
210
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4. pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpanganpenyimpangan; 5. pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan. Bila fungsi pengawasan dilaksanakan dengan tepat, organisasi akan memperoleh manfaat berupa: 1. Dapat mengetahui sejauh mana program sudah dilaukan oleh staf, apakah sesuai dengan standar atau rencana kerja, apakah sumberdaya telah digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Fungsi pengawasan akan meningkatkan esiensi dan efektitas program/kegiatan. 2. Dapat mengetahui adanya penyimpangan pada pemahaman staf dalam melaksanakan tugastugasnya. 3. Dapat mengetahui apakah waktu dan sumber daya lainnya mencukupi kebutuhan dan telah dimanfaatkan secara esien. 4. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan. 5. Dapat mengetahui staf yang perlu diberikan penghargaan, dipromosikan atau diberikan pelatihan lanjutan.
7.5 Pemeriksaan Keuangan di Indonesia Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemeriksaan (keuangan negara) didenisikan sebagai proses identikasi masalah, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut ayat 1 pasal 4 undang-undang tersebut, jenis-jenis pemeriksaan adalah Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Ayat 2 pasal 4 UU yang sama menyatakan bahwa pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Selanjutnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) menyatakan bahwa pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini tentang kewajaran laporan keuangan. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) di Indonesia atau basis komprehensif selain prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia. Selain untuk memberikan opini, pemeriksaan keuangan juga ditujukan untuk mengidentikasi kemungkinan adanya kelemahan dalam sistem pengendalian intern Sistem Pengendalian Intern (SPI) serta mengidentikasi kemungkinan adanya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Dasar hukum pemeriksaan keuangan meliputi: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
7.5.1 Ruang Lingkup Pemeriksaan Keuangan Ruang lingkup pemeriksaan meliputi: 1. Anggaran dan realisasi pendapatan, belanja dan pembiayaan;
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
211
2. Posisi aset, kewajiban dan ekuitas; 3. Arus kas dan saldo kas akhir sesuai dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dalam laporan realisasi anggaran dan ekuitas dalam neraca; 4. Pengungkapan informasi yang diharuskan seperti disebutkan dalam SAP; 5. Selain itu, pemeriksaan juga menguji efektivitas pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaporan keuangan dalam Laporan Keuangan.
Standar Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sesuai Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. SPKN memuat persyaratan profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional. Tujuan Standar Pemeriksaan ini adalah untuk menjadi ukuran mutu bagi para pemeriksa dan organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. SPKN ini berlaku bagi: 1. Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan; 3. Aparat Pengawas Internal Pemerintah, satuan pengawasan intern maupun pihak lainnya dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam menyusun standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Pentingnya Pernyataan Manajemen Kewajaran laporan keuangan sangat ditentukan kualitas berbagai asersi manajemen yang terkandung dalam laporan keuangan karena dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim pemeriksa BPK akan menguji asersi manajemen (Kepala Daerah dan para Kepala SKPD/SKPKD/PPKD) atas laporan keuangan pemerintah daerah. Asersi (assertion) adalah pernyataan manajemen yang terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit. Berdasarkan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/K/1-III.2/5/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, asersi yang diuji mencakup 5 aspek, yaitu: (1) keberadaan dan keterjadian, (2) kelengkapan, (3) hak dan kewajiban, (4) penilaian dan pengalokasian, dan (5) penyajian dan pengungkapan. Masing-masing asersi dijelaskan sebagai berikut. 1. Asersi Keberadaan dan Keterjadian (existence or occurrence) berhubungan dengan aspek: a. Apakah Aset, kewajiban dan ekuitas yang tercantum dalam neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CaLK) memang benar-benar ada (exist) per tanggal neraca? b. Apakah pendapatan serta belanja yang dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan CaLK memang benar-benar telah terjadi (occurred) selama periode pelaporan? c. Apakah transaksi operasional, investasi, pembiayaan dan transaksi non anggaran yang mempengaruhi kas yang dilaporkan dalam Laporan Arus Kas (LAK) dan CaLK memang benar-benar telah terjadi (occurred) selama periode pelaporan? 2. Asersi Kelengkapan (completeness) berhubungan dengan jaminan bahwa semua transaksi dan rekening yang seharusnya telah disajikan dalam laporan keuangan memang telah tercermin
212
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
dalam laporan keuangan dan tidak ada hal-hal yang material (signikan) yang tertinggal dan tidak diungkapkan; 3. Asersi Hak dan Kewajiban (rights and obligation) berhubungan dengan keyakinan bahwa Aset yang disajikan dalam laporan keuangan memang benar-benar hak entitas dan bahwa hutang yang disajikan dalam laporan keuangan memang benar-benar kewajiban entitas per tanggal laporan keuangan; 4. Asersi Penilaian (valuation) berhubungan dengan keyakinan bahwa akun-akun yang disajikan dalam laporan keuangan telah mencerminkan nilai yang semestinya; 5. Asersi Penyajian dan Pengungkapan (presentation and disclosure) berhubungan dengan jaminan bahwa akun-akun yang disajikan dalam laporan keuangan telah diklasikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan secara semestinya. Sebagai contoh, Neraca Kabupaten AAA tanggal 31 Desember 2011 mencantumkan rekening kas sebesar Rp. 99.800.765.000. Pada hakikatnya manajemen membuat dua asersi eksplisit (keberadaan dan penilaian), yaitu: 1. Bahwa kas tersebut benar-benar ada pada tanggal 31 Des 2012; 2. Bahwa jumlah kas tersebut yang benar adalah Rp 99.800.765.000. Selain dua asersi eksplisit manajemen juga membuat tiga buah asersi implisit (kelengkapan, hak dan kewajiban, serta penyajian/pengungkapan) sebagai berikut: 1. Bahwa semua kas yang seharus dilaporkan memang telah dimasukkan dalam jumlah tersebut secara lengkap; 2. Bahwa semua kas yang dilaporkan pada tanggal 31 Desember 2012 tersebut adalah milik Kabupaten AAA; 3. Bahwa tidak ada batasan apapun terhadap penggunaan kas yang dilaporkan tersebut.
7.5.2 Pengendalian Intern Dalam Pemeriksaan Keuangan Pengendalian merupakan proses yang dilakukan oleh manajemen pemerintahan yang memberikan jaminan memadai bahwa tujuan pemerintahan dapat tercapai. Pengendalian intern dalam kenyataannya terdiri dari prosedur standar, kebijaksanaan, struktur organisasi, sistem informasi dan monitoring yang menjamin secara memadai bahwa tujuan pemerintahan dapat berjalan secara efektif, esien dan ekonomis, peraturan perundangan dipatuhi dan pelaporan disajikan secara handal. Dalam pemeriksaan keuangan, agar suatu pemeriksaan dapat dilaksanakan secara efektif dan esien, maka langkah pertama yang harus dilakukan pemeriksa dalam pekerjaan pemeriksaannya adalah memahami dan menguji berjalannya SPI pada entitas yang diperiksa. Pemerintah (auditan) harus menjamin SPI yang dibuat sudah efektif agar opini yang diberikan baik. Pada konteks inilah terdapat hubungan antara pengendalian intern dengan pemeriksaan. Jika pengendalian intern dianggap efektif oleh pemeriksa, maka pemeriksa dapat mengurangi aktivitas pelaksanaan pengujian yang ekstensif. Sebaliknya jika pengendalian intern dianggap lemah, maka pemeriksa harus melakukan pengujian substantif dengan ekstensif. Dalam kondisi SPI sangat lemah, pemeriksa dapat memberikan opini tidak memberikan pendapat (disclaimer). Unsur-unsur SPI Pemerintah dijelaskan dalam pasal 3 PP 60 Tahun 2008: 1. 2. 3. 4. 5.
lingkungan pengendalian; penilaian risiko; kegiatan pengendalian; informasi dan komunikasi; pemantauan pengendalian intern.
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
213
Walaupun dalam mengevaluasi SPIP, auditor harusnya mengevaluasi keseluruhan unsur tersebut, namun dalam pelaksanaan pemeriksaannya, pemeriksa lebih banyak mengevaluasi unsur kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan penilaian risiko.
7.5.3 Temuan dan Laporan Hasil Pemeriksaan Temuan Pemeriksaan (TP) atas laporan keuangan yang diperiksa merupakan permasalahan yang ditemukan oleh pemeriksa yang perlu dikomunikasikan kepada pihak yang terperiksa. Permasalahan tersebut meliputi: 1. Ikhtisar Koreksi Ikhtisar Koreksi merupakan rekapitulasi koreksi atau penyesuaian (adjustments) yang diusulkan tim pemeriksa kepada pemerintah daerah. Koreksi pemeriksaan yang dimasukkan tersebut merupakan koreksi terhadap LKPD yang di atas nilai TE dan secara keseluruhan di atas nilai materialitas. Koreksi pemeriksaan tersebut menggambarkan penyajian LKPD yang tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan dan kecukupan pengungkapan. Jurnal koreksi hanya pada akun utama pada LKPD. Penyesuaian pada buku dan sistem akuntansi dilakukan kemudian. Selain itu, koreksi terhadap kecukupan pengungkapan merupakan koreksi pada catatan atas laporan keuangan LKPD. 2. Kelemahan Sistem Pengendalian Intern Kelompok temuan kelemahan SPI dibagi dalam subkelompok temuan berikut ini: a. Temuan kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan yang mengungkap kelemahan sistem pengendalian terkait kegiatan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi keandalan pelaporan keuangan dan pengamanan atas aset; b. Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja mengungkap kelemahan pengendalian terkait dengan pemungutan dan penyetoran penerimaan negara/daerah serta pelaksanaan program/kegiatan pada entitas yang diperiksa dan dapat mempengaruhi esiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan serta membuka peluang terjadinya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; c. Kelemahan struktur pengendalian intern mengungkap kelemahan yang terkait dengan ada/ tidak adanya struktur pengendalian intern atau efektivitas struktur pengendalian intern yang ada dalam entitas yang diperiksa dan berpengaruh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern secara keseluruhan. 3. Ketidakpatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundangan-undangan Kelompok temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dibagi dalam subkelompok berikut ini: a. Temuan kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah; b. Temuan potensi kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah yaitu mengungkap adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa datang; c.. Temuan kekurangan penerimaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah yang mengungkap adanya penerimaan yang sudah menjadi hak negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundangundangan; d. Temuan administrasi yang mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset maupun operasional perusahaan, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian atau potensi
214
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
kerugian negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah, tidak mengurangi hak negara/ daerah, (kekurangan penerimaan), tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana; e. Temuan Indikasi Tindak Pidana mengungkap adanya perbuatan yang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diancam dengan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan.
7.5.4 Tanggapan Manajemen Atas Temuan Setelah draf Temuan Pemeriksaan disusun oleh pemeriksa, maka langkah-langkah berikutnya atas Temuan Pemeriksaan meliputi: 1. Pembahasan Konsep Temuan Pemeriksa Dengan Pejabat Entitas yang Berwenang Setelah Konsep Temuan Pemeriksaan disampaikan ketua tim pemeriksa kepada pemerintah daerah, tim pemeriksa membahas temuan tersebut dengan pejabat pemerintah daerah yang berwenang antara lain kepala daerah/sekretaris daerah atau PPKD. 2. Perolehan Tanggapan Resmi dan Tertulis Pemeriksa memperoleh tanggapan resmi dan tertulis atas Konsep Temuan Pemeriksaan dari pejabat pemerintah daerah yang berwenang dalam hal ini kepala daerah/sekretaris daerah atas nama kepala daerah. Tanggapan tersebut akan diungkapkan dalam Temuan Pemeriksaan atas LKPD. 3. Penyampaian Temuan Pemeriksaan Atas LKPD Pemeriksa dalam hal ini Ketua Tim menyampaikan Temuan Pemeriksaan atas LKPD kepada kepala daerah dan/atau sekretaris daerah. Penyampaian Temuan Pemeriksaan atas LKPD tersebut merupakan akhir dari pekerjaan lapangan pemeriksaan LKPD. Hal ini merupakan batas tanggung jawab pemeriksa terhadap kondisi laporan keuangan yang diperiksa. Pemeriksa tidak dibebani tanggung jawab atas suatu kondisi yang terjadi setelah tanggal pekerjaan lapangan tersebut. Oleh karena itu, tanggal penyampaian temuan pemeriksaan tersebut merupakan tanggal laporan hasil pemeriksaan atau tanggal surat representasi pemerintah daerah.
7.5.5 Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Hasil pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa dituangkan secara tertulis ke dalam suatu bentuk laporan yang disebut dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). LHP merupakan bukti penyelesaian penugasan bagi pemeriksa yang dibuat dan disampaikan kepada Pemberi Tugas, yakni BPK-RI. Laporan tertulis berfungsi untuk: (1) Mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pejabat pemerintah, yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Membuat hasil pemeriksaan terhindar kesalah pahaman; (3) Membuat hasil pemeriksaan sebagai bahan untuk tindakan perbaikan oleh instansi terkait dan (4) Memudahkan tindak lanjut untuk menentukan apakah tindakan perbaikan yang semestinya telah dilakukan.
Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan LHP menyatakan opini BPK-RI atas kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Opini pemeriksaan BPK terhadap LKPD menggunakan opini standar sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yaitu: a. Wajar Tanpa Pengecualian (unqualied opinion). Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan standar akuntansi keuangan (SAK) di Indonesia.
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
215
b. Wajar Dengan Pengecualian (qualied opinion). Pendapat Wajar Dengan Pengecualian, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, kecuali dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. c. Pendapat Tidak Wajar (adverse opinion). Pendapat Tidak Wajar menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia. d. Menolak Memberikan Pendapat (disclaimer opinion). Pernyataan Menolak Memberikan Pendapat menyatakan bahwa pemeriksa tidak memberikan pendapat atas laporan keuangan, jika bukti pemeriksaan tidak cukup untuk membuat kesimpulan.
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Pemerintah Kota/ Kabupaten tidak menjamin pejabat daerah itu bebas dari kasus korupsi. Opini WTP hanya penilaian atas baiknya tata kelola keuangan yang dilakukan oleh pemprov/pemkot/pemkab. WTP tidak menjamin tidak ada korupsi. Sumber: http://inspektorat.purworejokab.go.id/wtp-bukan-berarti-bebas-korupsi/2012
Perkembangan opini pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah pada periode tahun 2006 sd 2012 dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 7.3.
Perkembangan Pemberian Opini BPK 2009-2013
65%
66%
67%
WTP
61%
WDP
59%
TW TMP
30% 22%
3%
10%
23%
23% 18%
13% 6%
5%
2%
15% 9% 1%
2009
2010
2011
2012
2013
(504) LHP
(522) LHP
(524) LHP
(524) LHP
(524) LHP
Sumber: BPK RI
216
2%
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Sesuai dengan hal di atas, maka selain kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan dan kecukupan pengungkapan, opini didasarkan pula kepada kepatuhan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian intern yang berpengaruh terhadap laporan keuangan. Laporan yang memuat kepatuhan dan sistem pengendalian intern dapat dilaporkan terpisah.
Laporan Kepatuhan Atas Pengendalian Intern Pemeriksa harus melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai “kondisi yang dapat dilaporkan”. Beberapa contoh “kondisi yang dapat dilaporkan” seperti yang dirumuskan dalam SPAP adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada pemisahan tugas yang memadai sesuai dengan tujuan pengendalian yang layak. 2. Tidak ada reviu dan persetujuan yang memadai untuk transaksi, pencatatan akuntansi atau output dari suatu sistem. 3. Tidak memadainya berbagai persyaratan untuk pengamanan Aset. 4. Bukti kelalaian yang mengakibatkan kerugian, kerusakan atau penggelapan Aset. 5. Bukti bahwa suatu sistem gagal menghasilkan output yang lengkap dan cermat sesuai dengan tujuan pengendalian yang ditentukan oleh entitas yang diperiksa, karena kesalahan penerapan prosedur pengendalian. 6. Bukti adanya kesengajaan mengabaikan pengendalian intern oleh orang-orang yang mempunyai wewenang, sehingga menyebabkan kegagalan tujuan menyeluruh sistem tersebut. 7. Bukti kegagalan untuk menjalankan tugas yang menjadi bagian dari pengendalian intern, seperti tidak dibuatnya rekonsiliasi atau pembuatan rekonsiliasi tidak tepat waktu. 8. Kelemahan dalam lingkungan pengendalian, seperti tidak adanya tingkat kesadaran yang memadai tentang pengendalian dalam organisasi tersebut. 9. Kelemahan yang signikan dalam desain atau pelaksanaan pengendalian intern yang dapat mengakibatkan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berdampak langsung dan material atas laporan keuangan. 10. Kegagalan untuk melakukan tindak lanjut dan membentuk sistem informasi pemantauan tindak lanjut untuk secara sistematis dan tepat waktu memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam pengendalian intern yang sebelumnya telah diketahui. Dalam melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan, pemeriksa harus mengidentikasi “kondisi yang dapat dilaporkan” yang secara sendiri-sendiri atau secara kumulatif merupakan kelemahan yang material. Pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut dalam perspektif yang wajar.
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundangan, Kecurangan (fraud) dan Ketidakpatutan (abuse) Standar Pemeriksaan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di BPK. Dalam hal pemeriksa menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi atau kemungkinan telah terjadi, maka BPK harus menanyakan kepada pihak yang berwenang tersebut dan/atau kepada penasihat hukum apakah laporan mengenai adanya informasi tertentu tentang penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut akan mengganggu suatu proses penyidikan atau proses peradilan. Apabila laporan hasil pemeriksaan akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan tersebut, BPK harus membatasi laporannya, misalnya pada hal-hal yang telah diketahui oleh umum (masyarakat).
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
217
Selain ketiga laporan tersebut di atas, BPK dapat menyampaikan laporan tambahan sesuai dengan kebutuhan. Contoh: pemeriksa dapat menyampaikan hasil transparansi skal pada pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
7.5.6 Tidak lanjut Hasil Temuan Pemeriksaan Terkait dengan hasil temuan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, maka pejabat Pemerintah Daerah wajib menindaklanjutinya sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 UU 15 Tahun 2004, yang selengkapnya berbunyi: 1. Pejabat wajib menindak lanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP). 2. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam LHP. 3. Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan kepada BPK selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari setelah LHP diterima. 4. BPK memantau tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 5. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan perundang - undangan dibidang kepegawaian. 6. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Hasil pemantauan BPK terhadap tindak lanjut disampaikan kepada DPRD untuk diawasi bagaimana tindak lanjutnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 21 UU 15 Tahun 2004 yang berbunyi lengkap sebagai berikut: 1. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. 2. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. 3. DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. 4. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3). Terkait dengan upaya untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut, beberapa Pemerintah Daerah menyikapinya dengan membentuk Peraturan Kepala Daerah sebagai pedoman untuk tindak lanjut bagi seluruh pejabat SKPD. Sebagai contoh, Walikota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Walikota No. 92 Tahun 2012 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK.
218
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kotak 7.1 60 Persen Laporan BPK Diproses KPK - BPK: 70 Persen Pemda Bermasalah MANADO, 12 Mei 2015 – Tata kelola keuangan pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, parah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan, 70 persen Pemda bermasalah. Dari 538 Pemda, hanya 30 persen atau 156 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Selebihnya, atau 382 daerah, potensi merugikan negara bahkan korupsi. Yang mengejutkan, kata dia, terdapat 280 pemerintah daerah yang laporan keuangannya, harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Jadi, laporan keuangan kita masih bermasalah dalam hal tata kelola. Belum sampai ke upaya penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, jelas di UndangUndang Dasar, selain tata kelola, keuangan negara juga harus untuk kemakmuran rakyat,” beber Ketua BPK RI Harry Azhar Azis, saat menjadi pembicara dalam Silahturahim Umat Islam oleh Majelis Umat Islam (MUI) Sulut, di Graha Gubernuran, kemarin. Saking banyaknya temuan indikasi penyalahgunaan keuangan negara yang dilapor ke KPK, sebanyak 60 persen total kasus ditangani komisi antirasuah itu, berasal dari laporan BPK. “Kalau ada yang sudah jelas-jelas merugikan uang negara, kita langsung laporkan ke penegak hukum,” tegasnya. Seharusnya, kata Harry, Pemda semakin terbuka dan bertanggung jawab mengelola keuangan. Kemakmuran rakyat harus diutamakan. Apalagi, aset senilai Rp 2.000 triliun berputar di Pemda. Sedangkan aset pemerintah pusat Rp3.500 triliun, aset BUMN Rp 4.500 triliun, aset BUMD Rp 758 triliun. Jadi total hampir Rp11 ribu triliun. “Kalau dibagi ke daerah, hampir 60 persen di Pulau Jawa, 23 persen di Sumatera, 10 persen Kalimantan, dan Sulawesi 4 persen. Di Sulut sekitar 1 sampai 2 persen. Papua 1 atau 2 persen,” urai Harry. Dana ini, kata dia, harus diperjuangkan agar masyarakat sejahtera. Karena ujung dari pengelolaan keuangan negara adalah mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Ukurannya yaitu opini yang disampaikan BPK. Seharusnya, dengan total aset Pemda yang mencapai Rp2.000 triliun, program-program pembangunan di daerah sudah menunjukkan peningkatan kemakmuran rakyat,” jelasnya. Acara yang dipandu Direktur JPNN/CEO Manado Post, Suhendro Boroma ini berlangsung menarik. Banyak peserta mengajukan pertanyaan. Harry ditanyakan soal hubungan opini BPK dan kesejahteraan rakyat. “Pada tahun 2016 nanti, mulai dicanangkan hubungan hasil pemeriksaan keuangan dengan kesejahteraan rakyat. Seharusnya, saat raih WTP, kemiskinan dan pengangguran turun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik,” jelasnya. Namun, kata dia, WTP suatu daerah tidak selalu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tergantung kasusnya. “Ada daerah yang raih WTP beberapa tahun, tapi rakyat miskin bertambah. Tapi ada pula yang jadi sejahtera. Jadi beda-beda kasusnya,” jelasnya. Saat menjabat anggota DPR-RI dulu, dia berjuang agar ukuran kemakmuran rakyat ada Undang-Undang (UU). “Namun hingga sekarang UU-nya belum ada. Karena setiap kita, bisa beda tafsirnya soal kemakmuran,” sebutnya. Harry menyayangkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini yang tertinggal dari negara lain. Menurut dia, hal ini erat kaitannya dengan pengelolaan keuangan. Dia contohkan Singapura dan Malaysia. “Tahun 1960-an, Singapura Indonesia kurang lebih sama. Namun saat ini, Singapura 10 kali lebih sejahtera dari Indonesia. Malaysia juga sama, sekarang Malaysia tiga kali lebih kaya dari kita. Wajar Malaysia pandang sebelah mata Indonesia. Karena psikologi orang kaya pandang sebelah mata orang miskin,” tuturnya. Untuk itu, kata Harry, setiap rupiah yang dikelola harus diperhatikan. “Kita harus serius memperhatikan tiap rupiah yang dikelola. Sejauh mana bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tambahnya. Sumber: http://manadopostonline.com/read/2015/05/12/BPK-70-persen-Pemda-bermasalah/9116
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
219
Kotak 7.2 Terbanyak Sepanjang Sejarah, 116 Pemda dan 69 K/L Raih Opini WTP Kamis, 12 September 2013 JAKARTA, Jaringnews.com - Kementerian Keuangan hari ini mengumumkan 116 Pemerintah Daerah dan 69 kementerian/lembaga telah memproleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga) mereka. Jumlah ini merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah, dan lonjakan besar apabila dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2006, dimana hanya ada tujuh K/L dan empat pemda yang meraih opini WTP. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan, M. Chatib Basri dalam cara pembukaan Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Tahun 2013, di Kementerian Keuangan, Jakarta, hari ini (12/9). Turut hadir dan membuka Rakernas tersebut Wakil Presiden RI, Boediono, bersama sejumlah menteri kabinet. “Target Pemerintah tentu saja, semua K/L dan Pemda harus meraih WTP. Kalau Anda kasih target, harus yang paling tinggi,” kata Menteri Keuangan, M. Chatib Basri, dalam jumpa pers seusai acara pembukaan. Menurut Chatib Basri, peningkatan K/L dan Pemda yang meraih opini WTP dari BPK merupakan cermin dari keberhasilan Indonesia bangkit dari krisis 1997. Pasca krisis tersebut, menurut dia, Indonesia telah berhasil melakukan reformasi ekonomi lewat perumusan dan implementasi peraturan secara spesik. Salah satunya ialah dengan terbitnya UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ini, kata, Chatib Basri, menjadi dasar pengelolaan keuangan negara secara tertib dan esien, termasuk pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara. Peningkatan perolehan opini WTP oleh K/L terlihat dari data bahwa sejak tahun 2007 terdapat peningkatan yang signikan, berturut-turut dari 16 (2007) menjadi 35 (2008), 45 (2009), 53 (2010), 67 (2011) dan 69 (2012). Hal yang sama terjadi pada Pemda. Berturut-turut sejak tahun 2007 adalah 4 (2007), 13 (2008), 15 (2009), 34 (2010), 67 (2011) dan 116 (2012). Chatib Basri menambahkan, peningkatan ini tidak terlepas dari keputusan pemerintah yang mulai tahun 2005 menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai pertanggungjawaban pengelolaan keuangan pemerintah. Sebelumnya, pertanggungjawaban hanya berupa Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang disampaikan kepada DPR dan dibahas untuk menjadi UU dua tahun sesudah berakhirnya anggaran. LKPP yang disusun berdasarkan laporan keuangan K/L, menurut Chatib Basri telah berhasil mendorong peningkatan kualitas laporan keuangan K/L dan Pemda. Chatib Basri bahkan memberikan catatan bahwa K/L yang mengelola anggaran dan aset besar seperti Mahkamah Agung, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PU, BPN telah berhasil memperoleh opini WTP dari sebelumnya Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Sumber: http://jaringnews.com/ekonomi/umum/48367/terbanyak-sepanjang-sejarah-pemda-dan-k-l-raih-opini-wtp
220
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
7.6 Latihan 1. Jelaskan perbedaan antara akuntansi berbasis kas dengan akuntansi berbasis akrual dan jelaskan juga implikasi akuntansi berbasis akrual terhadap laporan keuangan! 2. Diskusikan dan jelaskan tentang siklus akuntansi dan laporan apa saja yang bisa dihasilkan dari siklus tersebut! 3. Diskusikan dan jelaskan perbedaan antara pengawasan internal dan pemeriksaan keuangan, meliputi: a. Denisi; b. Tujuan; c. Lingkup pekerjaan. 4. Jelaskan peranan DPRD dalam pengawasan keuangan daerah!
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
221
222
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
223
MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Gedung Radius Prawiro Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 T + 62 21 384 7225 F + 62 21 350 6218 I www.djpk.depkeu.go.id
Transforming Administration Strengthening Innovation (TRANSFORMASI) Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Menara BCA Lantai 46 Jl. M. H. Thamrin 1 Jakarta 10310 T + 62 21 235 87 121/122/123 F + 62 21 235 87 120 I www.giz.de