MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Buku Panduan Bagi Pelatih Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah Tingkat Eksekutif Edisi Tahun 2015
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Edisi Tahun 2015
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Pengarah Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Editor Hefrizal Handra Muhammad Shauqie Azar Reviewer Mariana Dyah Savitri Moza Pandawa Sakti Radies Kusprihanto Purbo Suratman Eko Arisyanto Thia Jasmina Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Publikasi ini didukung oleh Program Transforming Administration – Strengthening Innovation (TRANSFORMASI), suatu program kerjasama antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH yang ditugaskan oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ) Jakarta, 2015
ii
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
KATA PENGANTAR Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Kemenkeu RI Kapasitas sumber daya manusia yang andal di seluruh pemerintah daerah merupakan salah satu kunci sukses agar pengelolaan keuangan daerah dapat esien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan kapasitas aparat pengelola keuangan daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) - Kementerian Keuangan sejak tahun 1981/1982 telah menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah (KKD). Disamping KKD, mulai tahun 2007, DJPK juga menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daerah (KKDK). Untuk menjawab perkembangan dan dinamika dalam pengelolaan keuangan daerah, penyelenggaraan KKD-KKDK terus disempurnakan. Salah satu bentuk penyempurnaan KKD-KKDK adalah kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD). Penyempurnaan format penyelenggaraan ini dimaksudkan agar Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah dapat menjangkau lebih banyak aparatur pengelola keuangan daerah dari tingkat teknis sampai dengan pengambil kebijakan strategis. Dengan Pelatihan ini, diharapkan agar aparatur pengelola keuangan daerah dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sesuai kewenangan dan kapasitas pada masing-masing tingkat jabatan. Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kegiatan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, DJPK telah menyediakan buku pegangan (handbook) pelatihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing tingkat jabatan, yang terdiri atas tingkat basic, intermediate, advanced, dan executive. Buku pegangan tingkat executive secara khusus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan top management dan para pengambil kebijakan strategis, yaitu kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, serta pejabat eselon I dan pejabat eselon II.Diharapkan dengan memahami konsep pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh, lebih banyak sumbangsih positif dan kontribusi yang dapat diberikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penyusun/editor buku pegangan serta the Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan Buku Pegangan tingkat executive ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pengelolaan keuangan daerah ke depan.
Jakarta, September 2015 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E
iii
DAFTAR ISI
iv
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
iii iv
BAB I 1.1 1.2 1.3 1.4
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
2 4 5 7 13
BAB II 2.1 2.2 2.3 2.4
PENDAPATAN DAERAH Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
14 16 17 19 25
BAB III 3.1 3.2 3.3 3.4
BELANJA DAERAH Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
26 28 29 31 38
BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4
PEMBIAYAAN DAERAH Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
40 42 43 44 49
BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
50 52 53 54 59
BAB VI 6.1 6.2 6.3 6.4
AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH Alur Pembelajaran Penjelasan Ringkasan Materi Latihan
60 62 63 65 70
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Daftar Gambar Gambar 1.1 Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat dan Daerah Gambar 1.2 Keterkaitan Antara Perencanaan Dengan Penganggaran Gambar 1.3 Alur Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Daerah Gambar 2.1 Struktur Pendapatan Pemerintah Provinsi 2014 Gambar 2.3 Struktur Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota 2014 Gambar 2.4 Pendapatan Asli Daerah Gambar 2.5 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Provinsi Tahun 2014 Gambar 2.6 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Kabupaten/Kota Tahun 2014 Gambar 3.1 Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1(8) Gambar 3.2 Kaitan Ekonomis, Esiensi, dan Keefektifan dalam Value for Money Gambar 4.1 Pembiayaan Daerah Gambar 4.2 Tipologi Pinjaman Daerah Gambar 5.1 Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Gambar 5.2 Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Gambar 6.1 Alur Penyusunan Laporan Keuangan
9 12 13 20 20 21 21 22 35 36 45 47 55 55 67
Daftar Tabel Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 5.1
Struktur Pendapatan Daerah Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Retribusi Daerah dan Penggolongannya Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Jenis DBH dan Peraturan Terkait Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
19 20 22 23 25 54
Daftar Kotak Kotak 5.1
Pengelolaan Aset di Kabupaten Bandung
58
DAFTAR ISI
v
vi
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Deskripsi Umum Panduan Bagi Pelatih Tingkat Eksekutif 1.
Penjelasan Umum
Buku Panduan Bagi Pelatih ini terdiri dari 6 bab yang keseluruhannya memerlukan waktu sekitar 18 sesi (45 menit per sesi). Bab 1 Perencanaan dan Penganggaran harus diberikan pada awal pelatihan. Bab-bab lainnya tidak harus diberikan secara berurutan.
2.
Pelatih
Pelatih materi ini sebaiknya: 1. Seseorang yang telah menguasai dan memahami dengan baik konsep-konsep keuangan negara dan daerah, ilmu perpajakan, dan juga menguasai berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan desentralisasi skal di Indonesia; 2. Menguasai berbagai metode pelatihan yang partisipatif.
3.
Peserta
Peserta pelatihan ini adalah pegawai pemerintah daerah yang bekerja sebagai: 1. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; 2. Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; 3. Pejabat Eselon II (Sekda, Kepala Dinas/Badan, Asisten Sekda, Staf Ahli), Kepala Kantor dan Pejabat Eselon III Senior yang bekerja Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota; 4. Internal auditor (pemeriksa internal) senior di pemerintah daerah.
4.
Penilaian Peserta
Penilaian terhadap peserta pelatihan dapat dilakukan dengan: 1. Menilai keaktifan peserta (langsung dilakukan oleh pelatih ketika pelatihan berlangsung); 2. Memberikan tes tertulis di akhir pelatihan.
1
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Peserta memahami dan mampu menjelaskan konsep dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di daerah berdasarkan regulasi yang ada serta menguasai isu dan permasalahan yang berkaitan dengan kinerja pembangunan daerah. WAKTU 4 Sesi (180 menit)
KATA KUNCI Perencanaan pembangunan daerah, penganggaran daerah, RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKDP, Renja SKPD, KUA, PPAS, RKA-SKPD, APBD, Anggaran Berbasis Kinerja, dan SPM. METODE 1. Ceramah; 2. Diskusi Kelompok.
MEDIA 1. Spidol; 2. Laptop; 3. Infocus; 4. Powerpoint yang atraktif; 5. Pertanyaan Kunci. BAHAN BACAAN 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga; 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat;
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
3
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah; 13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; 14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 15. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download pada link http://www.djpk.depkeu.go.id/; 16. Handout untuk peserta dengan topik Perencanaan dan Penganggaran.
1.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Ceramah dan Diskusi Pengantar Perencanaan Pembangunan Daerah (30 menit)
Kegiatan 2 Diskusi Kelompok dan Presentasi Perencanaan Pembangunan Daerah (60 menit)
Kegiatan 3 Ceramah dan Diskusi (Tanya Jawab) Penganggaran Daerah (60 menit)
Kegiatan 4 Latihan Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran (30 menit) Catatan: Kegiatan 1 dan 2 yang memerlukan waktu 90 menit, sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah).
4
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Konsep dan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami konsep dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah.
Pelatih menjelaskan konsep dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah selama 15 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan peserta terkait dengan: Pentingnya perencanaan pembangunan daerah yang baik. Tahapan perencanaan pembangunan daerah. 2. Kegiatan II: Diskusi Kelompok (60 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami berbagai tata cara dan proses perencanaan pembangunan di daerah serta isu dan permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah lainnya.
Pelatih menjelaskan rencana diskusi kelompok dan membagi peserta ke dalam 6 kelompok (@ maksimal 5 peserta per kelompok). Setiap kelompok diminta untuk berdiskusi hal-hal berikut: Tata cara, tahapan dan proses perencanaan pembangunan jangka panjang, menengah dan tahunan di daerahnya masing-masing. Identikasi isu dan permasalahan yang dihadapi dalam proses perencanaan di daerah terkait. Kemudian setiap kelompok akan menggambarkan tata cara, tahapan dan proses perencanaan pembangunan daerah serta menuliskan poin-poin isu dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan daerah di kertas ipchart. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menjelaskan hasil diskusinya kepada kelompok lain. Kelompok lain kemudian diperbolehkan untuk menyanggah, memberi komentar dan bertanya. Pelatih bertindak sebagai fasilitator diskusi dan juga memberikan penjelasan tambahan jika perlu. Pelatih perlu mengelola waktu agar setiap kelompok mendapatkan porsi waktu yang berimbang, baik dalam menyampaikan hasil diskusinya ataupun dalam menyanggah pendapat kelompok lain.
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
5
3. Kegiatan III: Konsep Penganggaran dan Keterkaitannya Dengan Perencanaan (45 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami konsep dan siklus penganggaran daerah dan keterkaitannya dengan perencanaan pembangunan daerah, konsep penyusunan APBD yang berbasis kinerja serta konsep penganggaran dengan kerangka pengeluaran jangka menengah.
Pelatih menjelaskan secara ringkas selama 15 menit mengenai: Konsep dan siklus penganggaran serta keterkaitannya dengan perencanaan; Konsep penyusunan anggaran yang berbasiskan kinerja; Konsep penganggaran dengan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM). Selanjutnya pelatih mengadakan sesi tanya jawab/diskusi terkait dengan penganggaran dan keterkaitannya dengan perencanaan pembangunan daerah dengan penekanan pada keterlibatan aktif peserta. Pelatih akan menentukan secara acak peserta yang berhak bertanya dan peserta yang akan memberikan pandangannya terhadap pertanyaan dari peserta sebelumnya. Pada sesi tanya jawab/ diskusi ini pelatih hanya berperan sebagai fasilitator dengan mendorong peserta untuk bertukar pendapat. 4. Kegiatan IV: Diskusi Kelompok (45 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami tahapan pengangaran daerah serta isu dan permasalahan yang muncul dalam proses penganggaran.
Pada kegiatan ini, pelatih membagi peserta ke dalam 6 kelompok (@ maksimal 5 peserta per kelompok). Setiap kelompok diminta untuk: Menggambarkan tahapan proses penganggaran tahunan untuk menyusun APBD; Menentukan tiga tahapan yang dianggap paling menghambat/bermasalah pada proses penganggaran tahunan; Membahas penyebab tahapan-tahapan tersebut bermasalah; Membahas pengalaman dalam menyelesaikan masalah tersebut. Setiap kelompok menyajikan hasil diskusi pada kertas ipchart. Setiap kelompok kemudian akan mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain mempunyai kesempatan untuk bertanya ataupun memberi masukan.
6
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1.3 Ringkasan Materi 1. Perencanaan Pembangunan Daerah 1.1 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004. Menurut Undang-undang No 25 tahun 2004, tujuan dari Undang-undang SPPN adalah sebagai berikut: 1. Mendukung koordinasi antar pelaku; 2. Menjamin integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar pelaku; 3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; 4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; 5. Menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, esien, adil dan berkelanjutan. Secara umum harapan dari ditetapkannya SPPN adalah: pertama, membakukan fungsi perencanaan secara resmi dalam proses perencanaan pembangunan agar terdapat kepastian hukum atas fungsi perencanaan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Kedua, penetapan kepastian hukum pendekatan perencanaan baik secara politis, teknokratis, partisipatif, top down maupun bottom up. Ketiga, penetapan siklus tahapan perencanaan mulai dari penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat, Penetapan mekanisme perencanaan pembangunan mulai dari penyusunan RPJPN, RPJMN, RKP dan Renstra K/L hingga ke penyusunan RPJPD, RPJMD, RKPD dan Renstra SKPD.
1.2 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut : 1. Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional; 2. Perencanaan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya berdasarkan peran dan kewenangan masingmasing; 3. Perencanaan pembangunan daerah mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah; 4. Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah, nasional dan global; 5. Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, esien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut disusun suatu perencanaan yang kemudian dituangkan dalam bentuk dokumen perencanaan. Ada lima dokumen perencanaan yang dibuat pemerintah daerah:
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
7
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun. 3. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. 4. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan RenstraSKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. 5. Rencana Kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Sistematika rencana pembangunan daerah pada masing-masing dokumen perencanaan berdasarkan pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: 1. Sistematika RPJPD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Pendahuluan; b. Gambaran umum kondisi daerah; c. Analisis isu-isu strategis; d. Visi dan misi daerah; e. Arah kebijakan; f. Kaidah pelaksanaan. 2. Sistematika RPJMD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Pendahuluan; b. Gambaran umum kondisi daerah; c. Gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan; d. Analisis isu-isu strategis; e. Visi, misi, tujuan dan sasaran; f. Strategi dan arah kebijakan; g. Kebijakan umum dan program pembangunan daerah; h. Indikasi rencana program prioritas disertai kebutuhan pendanaan; i. Penetapan indikator kinerja daerah; j. Pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan. 3. Sistematika Rencana Kerja Pemerintah Daerah paling tidak mencakup: a. Pendahuluan; b. Evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu; c. Rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan; d. Prioritas dan sasaran pembangunan; e. Rencana program dan kegiatan prioritas daerah. 4. Sistematika Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah paling tidak mencakup: a. Pendahuluan; b. Gambaran pelayanan SKPD; c. Isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi; d. Visi, misi, strategi dan tujuan sasaran, strategi dan kebijakan; e. Rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif; f. Indikator kinerja Utama SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran SKPD. 5. Sistematika Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Pendahuluan; b. Evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu; c. Tujuan, sasaran, program dan kegiatan;
8
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
d. e. f. g.
Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD; Dana indikatif beserta sumber daya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif; Sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan; Penutup.
Berbagai dokumen perencanaan tersebut harus saling terkait, dimana dokumen yang lebih teknis (jangka pendek) mengikuti atau memperhatikan dokumen yang lebih strategis (jangka panjang). Selain itu, dokumen perencanaan daerah juga harus memperhatikan dokumen perencanaan nasional. Hubungan antara RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD di daerah dengan RPJPN, RPJMN, RKP, Renstra KL dan Renja KL di tingkat pusat, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1 Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat dan Daerah
Sumber: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 dan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010
2. Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Serta Siklus Anggaran 2.1 Konsep Perencanaan dan Penganggaran Sebagaimana dikemukakan pada bagian konsep perencanaan pembangunan daerah sebelumnya, bahwa perencanaan adalah suatu proses yang kontinyu, terdiri dari keputusan atau pemilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Ini berarti bahwa sebelum melaksanakan suatu kegiatan terlebih dahulu harus membuat perencanaan yang memuat tujuan yang akan dicapai dan cara mencapai tujuan tersebut. Penyusunan perencanaan tersebut mengindikasikan adanya organisasi yang terlibat, adanya dokumen yang digunakan di dalam perencanaan, adanya dukungan sumber daya untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan, dan adanya tujuan yang jelas yang akan dicapai. Organisasi yang terlibat dalam perencanaan, umumnya meliputi organisasi yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan, organisasi yang bertugas khusus dalam perencanaan, kelompok sasaran yang dituju dalam pelaksanaan rencana, organisasi yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya, dan pimpinan organisasi secara keseluruhan.
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
9
Setiap proses penyusunan perencanaan tersebut harus dicatat dan didokumentasikan. Adapun isi dokemen tersebut, minimal memuat nama kegiatan, tujuan yang akan dicapai dari kegiatan tersebut yang meliputi indikator kinerja dan target kinerja, kelompok sasaran, penanggungjawab kegiatan, dan penggunaan sumberdaya. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat diimplementasikan dengan realistis dan di dukung dengan ketersediaan sumber daya. Pada umumnya sumberdaya terdiri atas sumber dana, sumber daya manusia, sumber daya material, dan sumberdaya peralatan. Pada umumnya tidak semua rencana yang telah disusun dapat dilaksanakan karena adanya keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, perlu dibuat skala prioritas dari sekian banyak rencana yang telah disusun agar memudahkan proses seleksi implementasi rencana. Pada umumnya, kendala sumber daya yang paling besar adalah ketersediaan dana. Oleh karena itu perlu dilakukan penyusunan anggaran, khususnya anggaran belanja. Tujuan penyusunan anggaran ini adalah untuk mengalokasikan dana yang tersedia secara ekonomis, esien dan efektif. Penggunaan dana secara ekonomis menuntut setiap penyusun anggaran untuk mencari harga atau biaya yang lebih murah dengan kualitas yang sesuai. Sedangkan penyusunan anggaran yang esien menuntut setiap penyusun anggaran untuk menganggarkan volume kebutuhan material yang paling rendah dengan tidak mengorbankan kualitas yang diharapkan. Disamping itu, penyusunan anggaran yang efektif menuntut setiap penyusun anggaran mengalokasikan sumber dana berdasarkan skala kebermanfaatannya. Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah yang secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran (budget operational planning). Penyusunan kebijakan umum APBD (KUA) termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya keuangan. Untuk memahami arti penting anggaran daerah, maka harus diketahui cakupan aspek-aspeknya sebagai berikut: 1. Anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. 3. Disamping itu, anggaran daerah memiliki peran penting dalam sistem keuangan daerah. Peran anggaran daerah berdasarkan fungsi utamanya sebagai berikut (Mardiasmo, 2004) : a. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk: Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan; Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya; Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun; Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. b. Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk: Mengendalikan esiensi pengeluaran; Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda; Mencegah adanya overlapping, misunderstanding, dan salah sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas;
10
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. c. Anggaran sebagai alat kebijakan skal digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi. d. Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggaran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atau pengguna dana publik untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat publik. e. Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi pemda yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja. f. Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat direalisasikan. g. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, esien dan efektif dalam mencapai target kinerja. Dalam rangka memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable. Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasional yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah). Secara umum, penganggaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran ini dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategis telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi dan perencanaan strategis yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan rencana manajerial untuk pengambilan tindakan (managerial plan for action) guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran meliputi : 1. Aspek Perencanaan; 2. Aspek Pengendalian; 3. Aspek akuntabilitas publik. Untuk periode saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk menerapkan pendekatan penyusunan anggaran sesuai konsep NPM, yaitu anggaran berbasis kinerja atau performance based budgeting, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan anggaran terpadu (Unied Budget). Penyusunan anggaran dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil, yaitu : 1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dan dampak atas alokasi belanja yang ditetapkan; 2. Disusun berdasarkan sasaran yang mau dicapai dalam satu tahun anggaran; 3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan rencana strategis kementerian/lembaga atau SKPD.
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
11
2.2 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan sebagai acuan bagi penganggaran pada dasarnya adalah proses untuk menyusun rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk suatu jangka waktu tertentu. Kebijakan Umum APBD (KUA) merupakan bagian dari dokumen perencanaan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan pembangunan dan pengambilan kebijakan di daerah. Dokumen ini mempunyai fungsi yang sangat strategis karena menyangkut pilihan terhadap program, kegiatan dan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh suatu pemerintah daerah. Oleh karena itu proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan haruslah betul-betul melibatkan partisipasi masyarakat, berdasarkan data yang akurat dan peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat sehingga subtansi dari dokumen perencanaan mampu menjadi solusi dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat bukan justru menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah dibuat secara berjenjang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam rangka untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. Karena RAPBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek (1 tahun) yang menghendaki adanya Kebijakan Umum APBD (KUA) sebagai formulasi kebijakan anggaran dan perencanaan operasional anggaran, maka penyusunan KUA termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran yang menjadi acuan dalam perencanaan operasional anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya berdasarkan Strategi dan Prioritas (SP). Oleh karena itu, penyusunan KUA dan SP harus didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan lima tahun. Sementara untuk perencanaan dan penganggaran daerah dalam satu tahun, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dari masing-masing Rencana Kerja Satuan kinerja Pemerintah Daerah (Renja-SKPD) menjadi dasar untuk penyusunan KUA dan SP melalui tahapan Musrenbang. Secara umum keterkaitan perencanaan dengan penganggaran dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 1.2 Keterkaitan Antara Perencanaan Dengan Penganggaran
RPJ PD
RPJ MD
RKPD
Perencanaan
KUA PPAS
RKA SKPD
APBD
Keterkaitan
Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (diolah)
Upaya untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran perlu memperhatikan hal-hal berikut ini : 1. Sejak awal penyusunan rencana, besaran sumber daya nansial atau pagu anggaran indikatif sudah diketahui sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan di Musrenbang desa, kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi. 2. Prioritas kegiatan untuk setiap SKPD sudah sama formasinya sejak dari hasil RKPD, Renja SKP, hingga rencana kerja dan anggaran (RKA) SKPD.
12
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3. RKPD dan Recana Kerja (Renja) yang disusun berdasarkan hasil Musrenbang kabupaten/kota atau provinsi serta hasil forum SKPD menjadi rujukan utama dalam penyusunan dan pembahasan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran SKPD. 4. DPRD maupun pemerintah daerah memahami bahwa pengawalan dan konsistensi prioritas kegiatan hasil perencanaan partisipasi sewaktu melaksanakan kegiatan penganggaran diperlukan. 5. Output setiap tahapan dalam proses penganggaran dapat diakses oleh setiap peserta perencanaan partisipatif. Setiap inkosistensi materi dengan hasil perencanaan partisipatif wajib disertai dengan penjelasan resmi dari pemerintah dan/atau DPRD (Asas Transparansi dan Akuntabilitas dalam good governance). Secara skematis keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran dapat di lihat pada gambar berikut ini: Gambar 1.3 Alur Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Daerah PERENCANAAN
RPJPD
PENGANGGARAN
RPJMD
RKPD
RPJPD
RPJMD
RKPD
Renstra SKPD
Renja SKPD
RPJPD
Renstra SKPD
Renja SKPD
1.4 Latihan 1. Jelaskan pengertian perencanaan! 2. Jelaskan secara singkat pentingnya perencanaan dalam pembangunan daerah! 3. Jelaskan secara singkat tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional! 4. Jelaskan secara singkat prinsip-prinsip perencanaan pembangunan daerah! 5. Jelaskan secara singkat mekanisme perencanaan pembangunan daerah! 6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan indikator kinerja! 7. Jelaskan peran indikator kinerja dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah! 8. Jelaskan secara singkat keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran! 9. Jelaskan tujuan dan manfaat kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM)! 10. Jelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan KPJM! 11. Jelaskan secara singkat konsep anggaran berbasis kinerja! 12. Jelaskan tujuan penerapan anggaran berbasis kinerja!
BAB I PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
13
BAB II PENDAPATAN DAERAH
14
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Peserta memahami dan mampu menjelaskan konsep dan struktur pendapatan daerah, regulasinya, peranan PAD dengan perekonomian daerah, serta berbagai isu terkait kebijakan di bidang pendapatan daerah. WAKTU 4 Sesi (180 menit)
KATA KUNCI Struktur Pendapatan, Pajak daerah, Retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, Lain-lain PAD yang sah, DBH, DBHPajak, DBH-SDA, DAU, DAK, Hibah, dana darurat, dana penyesuaian, dana otonomi khusus. METODE 1. Ceramah; 2. Diskusi Kelompok.
MEDIA 1. 2. 3. 4. 5.
Spidol; Laptop; Infocus; Powerpoint yang atraktif; Pertanyaan Kunci.
BAHAN BACAAN 1. Nick Devas (1989); 2. Mardiasmo (2007), Perpajakan; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 (Dana Perimbangan); 6. Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download pada link http://www.anggaran.depkeu.go.id; 7. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download pada link http://www. djpk.depkeu.go.id/; 8. Handout untuk peserta dengan topik Pendapatan Daerah.
BAB II PENDAPATAN DAERAH
15
2.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Presentasi dan Diskusi Pengantar Pendapatan Daerah (30 menit)
Kegiatan 2 Diskusi Kelompok dan Presentasi Pendapatan Asli Daerah (60 menit)
Kegiatan 3 Presentasi dan Diskusi kelompok Dana Perimbangan (60 menit)
Kegiatan 4 Presentasi dan Diskusi Lain-Lain Pendapatan (30 menit)
Catatan: Kegiatan 1 dan 2 yang memerlukan waktu 90 menit, sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah); Kegiatan 3 dan 4 yang memerlukan waktu 90 menit, sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah).
16
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahamistruktur pendapatan daerah.
Pelatih menjelaskan pengertian dan struktur pendapatan daerah selama 10 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 20 menit untuk berdiskusi dengan peserta terkait dengan: Perbedaan struktur pendapatan daerah versi Permendagri dengan versi SAP. Perbedaan kontribusi PAD antara kabupaten/kota dan propinsi. 2. Kegiatan II: Pendapatan Asli Daerah (60 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami berbagai isu dan permasalahan pengelolaan PAD.
Pelatih menjelaskan konsep dasar PAD selama 15 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 45 menit untuk diskusi kelompok. Pelatih membentuk 3 kelompok yaitu kelompok Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan PAD non Pajak dan Retribusi. Setiap kelompok diminta untuk berdiskusidan mengidentikasi isu dan permasalahan kebijakan sesuai dengan nama kelompok selama 15 menit. Kemudian, setiap kelompok menyampaikan hasil diskusi dengan cara masing-masing anggota bebas menyampaikan pandangannya. Jika ada satu peserta yang menyampaikan, peserta lainnya boleh menambahkan dari hasil diskusi kelompok. Kelompok lain kemudian boleh menyanggah dan menambahkannya. Pelatih bertindak sebagai fasilitator diskusi dan juga memberikan penjelasan tambahan jika perlu. Pelatih perlu mengelola waktu agar setiap kelompok mendapatkan porsi waktu yang sama, baik dalam menyampaikan hasil diskusinya ataupun dalam menyanggah pendapat kelompok lain.
BAB II PENDAPATAN DAERAH
17
3. Kegiatan III: Dana Perimbangan (60 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami fungsi dana perimbangan (DAU, DBH dan DAK) dan berbagai permasalahan dalam kebijakan dana perimbangan.
Pelatih menjelaskan secara ringkas selama 20 menit perbedaan DBH, DAU dan DAK, peranan masing-masing dana perimbangan. Peserta kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok (kelompok DAU, kelompok DAK dan kelompok DBH). Masing-masing kelompok diminta untuk mengidentikasi dan mendiskusikan berbagai persoalan kebijakan di jenis dana perimbangan tersebut. Ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap kelompok, (i) apa saja permasalahan di jenis dana tersebut?, (ii) bagaimana kaitan permasalahan tersebut dengan regulasi saat ini?, (iii) apa rekomendasi kebijakan untuk permalasahan tersebut?. Setelah berdiskusi selama 12 menit, masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusinya (melalui juru bicara, satu atau dua orang) dalam waktu 3 menit, kemudian tanggapan dari kelompok yang lain diberikan waktu masing-masing 2 menit. Terakhir pelatih memberi tanggapan terhadap hasil diskusi kelompok tersebut. 4. Kegiatan IV: Presentasi dan Diskusi: Lain-lain Pendapatan Daerah (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami berbagai isu dan permasalahan terkait Lain-lain Pendapatan Daerah di Indonesia.
Instrutur menjelas berbagai jenis lain-lain pendapatan daerah secara ringkas selama 7 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu untuk berdiskusi dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk dijawab oleh peserta dan didiskusikan. Berikut pertanyaannya: Apa saja jenis lain-lain pendapatan daerah yang berkelanjutan (ada terus) dan berpotensi untuk meningkat terus? Apa saja jenis lain-lain pendapatan daerah yang bersifat adhoc (kadang ada kadang tidak)? Bagaimana mengoptimalkan lain-lain pendapatan daerah yang berkelanjutan dan berpotensi?
18
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.3 Ringkasan Materi 1. Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Struktur Pendapatan Daerah sangat tergantung kepada regulasi yang berlaku. Saat ini terdapat dua versi struktur Pendapatan Daerah, yaitu versi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan versi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Tidak ada perbedaan mendasar dari kedua versi ini, kecuali penempatannya sebagaimana terlihat pada tabel. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 saat ini dipakai oleh semua pemerintah daerah untuk APBD, sedangkan SAP dipakai untuk realisasi APBD. Tabel 2.1 Struktur Pendapatan Daerah Struktur Pendapatan Daerah versi Permendagri 13 Tahun 2006
Struktur Pendapatan Daerah versi SAP
Pendapatan Asli Daerah (PAD): 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; 4. Lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD): 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; 4. Lain-lain PAD yang sah.
Dana Perimbangan: 1. DBH; 2. DAU; 3. DAK.
Pendapatan Transfer: 1. Transfer Pemerintah Pusat – Dana Perimbangan: DBH; DAU; DAK. 2. Transfer Pemerintah Pusat – Lainnya: Dana Otonomi khusus; Dana Penyesuaian. 3. Transfer Pemerintah Provinsi: Pendapatan Bagi Hasil; Pendapatan Bagi Hasil Lainnya.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah: 1. Hibah; 2. Dana Darurat; 3. Dana Otonomi Khusus; 4. Dana Penyesuaian; 5. Bagi Hasil Pajak Provinsi; 6. Bantuan Keuangan dari Provinsi; 7. Pendapatan lain-lain yang Sah.
Lain-lain Pendapatan yang sah: 1. Pendapatan Hibah; 2. Pendapatan Dana Darurat; 3. Pendapatan Lainnya.
BAB II PENDAPATAN DAERAH
19
Gambar 2.1 Struktur Pendapatan Pemerintah Provinsi 2014 60% 50%
48%
50%
40% 30% 20% 10%
2%
0% P PAD
1 Transfer dari Pusat
Lainnya
Sumber: Data DJPK, Ringkasan APBD 2014 diolah.
Gambar 2.3 Struktur Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota 2014 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% P PAD
Transfer dari Pusat
Transfer dari Prov
Lainnya
Sumber: Data DJPK, Ringkasan APBD 2014 diolah.
Tabel 2.2 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 Pos Pendapatan
Provinsi
Pendapatan Asli Daerah
44%
7%
Dana Transfer dari Pemerintah Pusat
55%
87%
Dana Bagi Hasil (DBH)
22%
17%
Dana Alokasi Umum (DAU)
23%
60%
Dana Alokasi Khusus (DAK)
2%
8%
Dana Otsus dan Penyesuaian
8%
2%
Pendapatan Lainnya
1%
6%
100%
100%
Total Pendapatan Sumber: Data Diolah
20
Kabupaten/Kota
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber pendapatan daerah yang pengelolaannya diserahkan kepada daerah otonom, guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. PAD adalah desentralisasi skal di sisi pendapatan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Besaran PAD sangat penting karena menggambarkan kemandirian daerah di sisi pendapatan. Gambar 2.4 Pendapatan Asli Daerah
Pajak Daerah
Retribusi Daerah Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain PAD yang Sah
Gambar 2.5 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Provinsi Tahun 2014 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pajak Daerah PAD
86%
Retribusi Daerah Hasil Kekayaan Lain-lain PAD yang Dipisahkan 2%
3%
9%
BAB II PENDAPATAN DAERAH
21
Gambar 2.6 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Kabupaten/Kota Tahun 2014 60% 50%
50% 40%
27%
30% 17%
20% 10%
5%
0% Pajak Daerah Retribusi Daerah
Hasil Kekayaan yang Dipisah Lain-lain PAD
Dasar Hukum PAD Secara berurutan, dasar hukum pemungutan PAD oleh Pemerintah Daerah adalah sbb: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 4. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 5. Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jenis pajak daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Berikut jenis pajak daerah menurut Undang-Undang: Tabel 2.3 Pengelompokan Jenis Pajak Daerah Pajak Provinsi 1. 2. 3. 4. 5.
Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; Pajak Rokok.
Pajak Kabupaten/Kota 1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame; 5. Pajak Penerangan Jalan; 6. Pajak Parkir; 7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 8. Pajak Air Tanah; 9. Pajak Sarang Burung Walet; 10. PBB Perdesaan Perkotaan; 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
22
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tabel 2.4 Retribusi Daerah dan Penggolongannya Jasa Umum
Jasa Usaha
Perizinan Tertentu
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan; 2. Retribusi Persampahan/ Kebersihan; 3. Retribusi KTP dan Akte Capil; 4. Retribusi Pemakaman/ Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 10. Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang; 11. Retribusi Penyedotan Kakus; 12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 13. Retribusi Pelayanan Pendidikan; 14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; 15. Retribusi Pengendalian lalulintas.
1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir/ Pertokoan; 3. Retribusi Tempat Pelelangan; 4. Retribusi Terminal; 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir; 6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa; 7. Retribusi Rumah Potong Hewan; 8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; 10. Retribusi Penyeberangan di Air; 11. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
1. Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 2. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 3. Retribusi Izin Gangguan; 4. Retribusi Izin Trayek; 5. Retribusi Izin Usaha Perikanan; 6. Retribusi Perpanjangan IMTA.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Kekayaan daerah dapat dikelompokkan kepada kekayaan yang dipisahkan dan kekayaan yang tidak dipisahkan. Kekayaan yang dipisahkan adalah berupa penyertaan modal daerah ke perusahaan swasta, BUMD dan BUMN. Sedangkan kekayaan yang tidak dipisahkan adalah segala jenis aset yang dikuasai dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Penyertaan modal daerah ke perusahaan dan kelompok usaha tentunya memungkinkan memberikan pendapatan dividen/bagian laba kepada pemerintah daerah. Sehingga jenis pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: 1. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; 3. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah adalah pendapatan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
BAB II PENDAPATAN DAERAH
23
1. 2. 3. 4. 5.
hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; jasa giro; pendapatan bunga; penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; 6. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 7. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; 8. pendapatan denda pajak; 9. pendapatan denda retribusi; 10. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; 11. pendapatan dari pengembalian; 12. fasilitas sosial dan fasilitas umum; 13. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; 14. pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dana Perimbangan adalah instrumen kebijakan desentralisasi skal yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan skal (vertikal dan horizontal). Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh pemerintah pusat dan hanya digunakan untuk bidang yang merupakan prioritas nasional seperti pendidikan dasar, layanan kesehatan dasar, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, sarana prasarana pedesaan, dll. DAK akan menjadi pendapatan daerah, namun harus dibelanjakan untuk kegiatan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: 1. dana bagi hasil;dana alokasi umum; 2. dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. bagi hasil pajak; 2. bagi hasil sumber daya alam. Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat diketegorikan sebagai transfer yang bersifat umum karena penggunaannya tidak diatur oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah jenis transfer bersifat spesik yang penggunaannya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan diatur dalam regulasi berikut: 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 2. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan; 3. Berbagai Peraturan Menteri Keuangan terkait dana perimbangan.
24
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Tabel 2.5 Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Jenis DBH dan Peraturan Terkait Undang-Undang Papua dan Nanggroe Aceh Nomor 33 Tahun 2004 Papua Barat Darrussalam Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah Bagi Hasil Pajak PPh Individu 80 20 80 20 80 20 PBB-P3 10 90 10 90 10 90 1) 98 2 98 2 98 2 CHT Bagi Hasil SDA Minyak Bumi 85 15 30 70 30 70 Gas 70 30 30 70 30 70 Pertambangan Umum 20 80 20 80 20 80 Kehutanan 20 80 20 80 20 80 Perikanan 20 80 20 80 20 80 Geothermal 20 80 20 80 20 80 Catatan: 1) basis daerah adalah provinsi Sumber: Aceh PEER (Worldbank 2006), Undang-Undang Nomor21 Tahun 2001.
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1. hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2. dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; 3. dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4. dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; 5. bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
2.4 Latihan 1. 2. 3. 4. 5.
Jelaskan pengertian pendapatan daerah! Jelaskan mengapa PAD penting dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah! Apa strategi untuk meningkatkan PAD Kabupaten/Kota? Jelaskan fungsi strategis dana transfer dalam membangun daerah! Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan membangun kemandirian daerah? 6. Apa yang dimaksud dengan ketimpangan horizontal dan ketimpangan vertikal? 7. Jelaskan peranan dana perimbangan terkait dengan kebutuhan skal daerah! 8. Jelaskan perbedaan dasar hukum dana perimbangan dengan dasar hukum dana otonomi khusus! 9. Jelaskan tujuan dana transfer untuk mendukung kesinambungan skal nasional! 10. Jelaskan perbedaan antara Dana Desa dengan Alokasi Dana Desa!
BAB II PENDAPATAN DAERAH
25
BAB III BELANJA DAERAH
26
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Peserta memahami dan mampu menjelaskan konsep dan klasikasi belanja daerah, dan pentingnya kualitas belanja daerah yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. WAKTU 3 Sesi (135 menit)
KATA KUNCI Klaskasi belanja daerah, urusan wajib, urusan pilihan, value for money, SPM, analisa standar belanja.
METODE 1. Ceramah; 2. Diskusi Kelompok.
MEDIA 1. Spidol; 2. Laptop; 3. Flipchart; 4. Kertas/karton kecil berbagai ukuran dan bentuk; 5. Infocus; 6. Powerpoint yang atraktif; 7. Pertanyaan Kunci. BAHAN BACAAN 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat; 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; BAB III BELANJA DAERAH
27
11. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang/ Daerah; 12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah; 18. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download pada link http://www.djpk.depkeu.go.id/; 19. Handout untuk peserta dengan topik Belanja Daerah.
3.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Presentasi dan Diskusi Pengantar Pendapatan Daerah (30 menit)
Kegiatan 2 Diskusi Kelompok dan Presentasi Pendapatan Asli Daerah (60 menit)
Kegiatan 3 Presentasi dan Diskusi kelompok Dana Perimbangan (60 menit)
Kegiatan 4 Presentasi dan Diskusi Lain-Lain Pendapatan (30 menit) Catatan: Kegiatan 1 dan 2 yang memerlukan waktu 90 menit, sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah).
28
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Ceramah dan Diskusi Pengantar Belanja Daerah, Klasikasi Belanja Daerah dan Standar Pelayanan Minimal (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami klasikasi belanja daerah dan pentingnya SPM dalam penentuan belanja daerah.
Pelatih menjelaskan pengertian dan klasikasi belanja daerah, konsep standar pelayanan minimal, serta konsep value for money secara umum selama 15 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan peserta terkait dengan: Ketimpangan alokasi belanja daerah antar kelompok belanja atau antar jenis belanja daerah; Pentingnya penerapan SPM dalam berbagai kegiatan pemerintah terutama yang menyangkut urusan wajib; Pelaksanaan program dan kegiatan pemda yang mencapai value for money. 2. Kegiatan II: Diskusi Kelompok (60 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami isu-isu penting belanja di daerah berdasarkan komposisi dan trend pertumbuhan belanja daerah serta keterkaitan SPM dengan alokasi belanja yang disediakan.
Pelatih menjelaskan rencana diskusi kelompok dan membagi peserta ke dalam 6 kelompok (@ maksimal 5 peserta per kelompok). Setiap kelompok diminta untuk berdiskusi isu-isu yang terkait dengan belanja pemerintah daerah dengan acuan sebagai berikut: Berdasarkan data belanja daerah TA 2014, diskusikan bagaimana komposisi belanja daerah di provinsi/kab/kota; Bagaimana komposisi belanja Bagaimana trend pertumbuhan belanja daerah tahun 2008-2014?; Bagaimana dampak komposisi dan trend belanja tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat?; Bagaimana keterkaitan SPM dengan besarnya alokasi belanja daerah yang disediakan di bidang/sektor tersebut?; Apa yang dapat dilakukan untuk membuat alokasi belanja lebih optimal?. Kemudian, setiap kelompok menuliskan hasil diskusi pada ipchart dan menjelaskannya kepada kelompok lain. Kelompok lain kemudian boleh menyanggah, menambahkan, memberi komentar,
BAB III BELANJA DAERAH
29
atau bahkan bertanya kepada kelompok penyaji. Pelatih bertindak sebagai fasilitator diskusi dan juga memberikan penjelasan tambahan jika perlu. Pelatih perlu mengelola waktu agar setiap kelompok mendapatkan porsi waktu yang berimbang. 3. Kegiatan III: Ceramah Pengertian dan Pentingnya Analisa Standar Belanja (15 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami pengertian analisa standar belanja dan pentingnya ASB dalam penentuan alokasi belanja daerah.
Pelatih menjelaskan secara ringkas selama 15 menit konsep analisa standar belanja (ASB) dan pentingnya ASB dalam penyusunan anggaran yang berbasiskan kinerja. 4. Kegiatan IV: Diskusi Kelompok Penerapan ASB di daerah (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan ASB di berbagai daerah.
Pada kegiatan ini, pelatih membagi peserta ke dalam 6 kelompok (@ maksimal 5 peserta per kelompok). Kemudian pelatih meminta setiap kelompok untuk berdiskusi dan bertukar pandangan mengenai isu dan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan ASB di berbagai daerah. Peserta kemudian meringkas hasil diskusi dalam bentuk poin-poin permasalahan penerapan ASB di daerah dan menuliskannya di kertas metaplan/ karton segi empat yang disediakan. Caranya adalah dengan menuliskan satu poin isu pada masingmasing kertas dan kemudian menempelkan pada ipchart yang disediakan per kelompok. Selanjutnya setiap kelompok berkesempatan untuk mengunjungi dan melihat ipchart hasil diskusi dari kelompok lain.
30
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
3.2 Ringkasan Materi 1. Pengertian Belanja Daerah Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Klasikasi Belanja Daerah Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang telah mengalami perubahan pertama melalui Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 serta perubahan kedua melalui Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah diklasikasikan berdasarkan: 1. 2. 3. 4. 5.
Urusan; Fungsi; Organisasi; Program dan Kegiatan; Kelompok.
1.Belanja menurut urusan adalah pengeluaran yang dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari : a. Urusan wajib; b. Urusan pilihan; c. Urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Klasikasi belanja menurut urusan wajib pemerintah daerah mencakup: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum; 4) Perumahan Rakyat; 5) Penataan Ruang; 6) Perencanaan Pembangunan; 7) Perhubungan;
BAB III BELANJA DAERAH
31
8) Lingkungan Hidup; 9) Pertanahan; 10) Kependudukan dan Catatan Sipil; 11) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 12) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; 13) Sosial; 14) Ketenagakerjaan; 15) Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 16) Penanaman Modal; 17) Kebudayaan; 18) Kepemudaan dan Olah Raga; 19) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;\ 20) Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian; 21) Ketahanan Pangan; 22) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; 23) Statistik; 24) Kearsipan; 25) Komunikasi dan Informatika; 26) Perpustakaan. Belanja penyelenggaraan urusan pilihan Selain urusan wajib, pemerintah daerah bisa menyelenggarakan urusan pilihan sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah yang mendukung usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik lainnya. Klasikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup: 1) Pertanian; 2) Kehutanan; 3) Energi dan Sumber Daya Mineral; 4) Pariwisata; 5) Kelautan dan Perikanan; 6) Perdagangan; 7) Industri; 8) Ketransmigrasian. Belanja menurut urusan pemerintahan dilaksanakan bersama Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang diklasikasikan menurut urusan wajib dan urusan pilihan. 2.Klasikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: a. Pelayanan Umum; b. Ketertiban dan Ketentraman; c. Ekonomi; d. Lingkungan Hidup; e. Perumahan dan Fasilitas Umum; f. Kesehatan; g. Pariwisata dan Budaya;
32
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
h. Pendidikan; i. Perlindungan Sosial. 3. Klasikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masingmasing pemerintah daerah. Misal: Belanja Dinas Pendidikan, Belanja Dinas Kesehatan, Belanja Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan sebagainya. 4. Klasikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Misal: Belanja Program Peningkatan Produksi Pertanian, Belanja Kegiatan Pembinaan Petani, dll. 5. Klasikasi belanja daerah menurut kelompok belanja terdiri dari kelompok belanja tidak langsung dan kelompok belanja langsung. Masing-masing kelompok belanja tersebut terdiri dari jenis belanja yang berbeda, yang dijelaskan pada bagian berikut: a. Belanja tidak langsung Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, meliputi : 1) Belanja Pegawai; 2) Bunga; 3) Subsidi; 4) Hibah; 5) Bantuan Sosial; 6) Belanja Bagi Hasil; 7) Bantuan Keuangan; 8) Belanja tidak terduga. b. Belanja langsung Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: 1) Belanja pegawai; 2) Belanja barang dan jasa; 3) Belanja modal.
3. Denisi Standar, Standar Pelayanan, dan SPM Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur (UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 20). Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
BAB III BELANJA DAERAH
33
berhak diperoleh setiap warga secara minimal (Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 6). Penekanan kata “minimal” dalam istilah SPM ini mengacu pada batas minimal tingkat cakupan dan kualitas pelayanan dasar yang mampu dicapai oleh setiap daerah sesuai batas waktu yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah daerah harus mampu mencapai tingkat cakupan yang minimal sama atau bahkan lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah untuk masing-masing indikator SPM masing masing kementerian/lembaga terkait.
4. Manfaat SPM Keberadaan SPM memberikan manfaat kepada semua pihak baik pemerintah pusat/provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah, maka SPM diharapkan dapat menjadi suatu ukuran yang sangat diperlukan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat/ konsumen itu sendiri untuk menilai kinerja pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah. 1. Manfaat SPM bagi Pusat/Provinsi a. Menjamin bahwa pelayanan umum dalam bidang pemerintahan yang esensial menjangkau masyarakat secara seimbang pada skala nasional atau provinsi; b. Memudahkan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan wajib oleh kabupaten/kota; c. Memudahkan identikasi kebutuhan daerah untuk meningkatkan kinerjanya dalam pelayanan minimal (melalui pembinaan, pelatihan, dan lain-lain). 2. Manfaat SPM bagi Kabupaten/Kota a. Memudahkan penentuan pelayanan dan segi intensitas, jangkauan, kualitas, esiensi, dan dampak; b. Memudahkan pelaporan pemerintah daerah tentang pelayanan kepada pihak lain (pusat, DPRD, dan masyarakat); c. Memudahkan pertukaran informasi antar daerah guna meningkatkan dan menyempurnakan pelayanan; d. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasi kelembagaan pemerintah daerah, kualikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat. 3. Manfaat SPM bagi Masyarakat a. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/ masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan; c. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, sosial dan lainnya; d. Meningkatkan kualitas pelayanan. Keberadaan standar pelayanan dapat membantu unitunit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat
34
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu pelayanan. Terakhir standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
5. Prinsip-Prinsip Dalam Penyusunan SPM Penyusunan SPM menganut beberapa prinsip sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pasal 3 sebagai berikut: 1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; 2. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota; 3. Penerapan SPM oleh pemerintahan daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional; 4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian; 5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
6. Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan terdiri dari 2 (dua) jenis urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tidak semua bagian dari urusan wajib adalah pelayanan dasar. Namun, setiap pelayanan dasar termasuk dalam bagian urusan wajib. SPM ditetapkan berdasarkan pelayanan dasar tertentu, dimana pelayanan dasar tersebut adalah bagian dari urusan wajib, dan urusan wajib merupakan bagian dari urusan pemerintahan. Berikut digambarkan posisi SPM dalam urusan pemerintahan (Gambar 3.2.1). Gambar 3.1 Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1(8) Kedudukan SPM Dalam Urusan Pemerintahan Urusan Pemerintah Urusan Wajib Pelayanan Dasar
Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar.
BAB III BELANJA DAERAH
35
7. Denisi Value for Money (VFM) Value for Money (VFM) adalah istilah digunakan untuk menilai apakah sebuah suatu organisasi termasuk tentunya lembaga sektor publik telah memperoleh manfaat yang maksimum (the maximum benet) atau belum dari barang-barang dan jasa yang tersedia atau dimiliki. Value For Money(VFM) tidak hanya mengukur biaya-biaya yang berkaitan dengan barang-barang dan jasa tersebut tetapi juga memperhatikan kombinasi mutu, biaya, penggunaan sumber daya, kesesuaian dengan tujuan organisasi, ketepatan waktu dan kenyamanan untuk menilainya. Pencapaian penerapan Value for Money (VFM) dalam suatu organisasi memerlukan suatu pertimbangan dalam perencanaan dan proses penganggaran (budgeting processes) pada semua tingkat. Dalam penerapannya dibidang pemerintahan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk merencanakan dan mengimplemetasikan program-program dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Dalam konteks otonomi daerah, Value for Money (VFM) merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah dalam mencapai good governance, yaitu tatakelola pemerintah daerah yang transparan, partisipatif, ekonomis, esiensi, efektif, responsif dan akuntabel. Dengan demikian, pencapaiaan good governance mensyaratkan Value for Money (VFM) tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
8. Elemen Dasar Value for Money (VFM) Ukuran keberhasilan penerapan value for Money (VFM) dalam pemberian pelayanan kepada publik (masyarakat) didasarkan pada tiga kata kunci yang biasa disingkat tiga E yaitu: ekonomis, esien dan efektif. Namun dalam konteks dan konsep sustainabilitas, tiga E tersebut dapat dikembangkan menjadi 5 E yaitu ditambah dengan dua E: ekologis dan equity (adil). Secara skematis hubungan tiga E yang pertama dalam value for money adalah seperti Gambar 3.2 berikut: Gambar 3.2 Kaitan Ekonomis, Esiensi, dan Keefektifan dalam Value for Money Value for Money Ekonomi
#Input
Esiensi
S Input
Keefektifan
Output
Outcome
9. Pengertian Analisis Standar Belanja Analisis Standar Belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu dan kewajaran biaya di unit kerja dalam
36
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
satu tahun anggaran. Dengan kata lain, ASB merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam satu tahun anggaran. Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu, misalnya indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia, dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan disebut sebagai ASB. ASB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung dengan cermat karena akan menjadi bahan seleksi atas usulan anggaran setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang melampaui ASB akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang telah ditetapkan. Apabila anggaran program atau kegiatan lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien. Jadi dengan adanya ASB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan atau yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, ASB sudah dapat digunakan untuk mengukur esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD. Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, ASB juga merupakan standar atau pedoman yang bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang direncanakan oleh setiap SKPD. ASB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dalam upaya pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan ASB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapain kinerja program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping itu, dalam rangka menilai usulan anggaran belanja, ASB dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan kesesuaian antara program atau kegiatan yang direncanakan oleh suatu SKPD dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan.
10. Manfaat Analisis Standar Belanja (ASB) ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi lebih logis serta mendorong dicapainya esiensi secara terus-menerus. Hal tersebut dikarenakan adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktekpraktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas. Sejalan dengan hal tersebut, implementasi ASB dalam sistem anggaran memiliki banyak manfaat, yaitu: 1. Penetapan plafon anggaran dan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif (tidak lagi berdasarkan “intuisi”); 2. Dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan; 3. Meningkatkan esiensi dan keefektifan dalam pengelolaan Keuangan Daerah atau Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inesiensi anggaran; 4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas; 5. Penyusunan anggaran menjadi lebih tepat waktu; 6. ASB memberikan kepastian terjaganya hubungan antara input dan output (target kinerja); 7. Memiliki argumen yang kuat jika “dianggap” melakukan pemborosan; 8. Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
BAB III BELANJA DAERAH
37
11. Dasar Hukum ASB Dasar hukum pengembangan Standar Analisis Belanja adalah: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 298 ayat (3):” Belanja Daerah untuk pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 39 ayat (2) : “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. 3. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 93 ayat 1 disebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. 4. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 89 Huruf e: “Dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format RKA-SKPD, analisis standar belanja, dan standar satuan harga”.
3.4 Latihan 1. Jelaskan klasikasi belanja daerah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jo Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 jo Permendagri Nomor 21 Tahun 2011! 2. Jelaskan perbedaan belanja daerah berdasarkan urusan wajib dan urusan pilihan! 3. Jelaskan jenis-jenis belanja daerah berdasarkan kelompok belanja! 4. Menurut Anda, anggaran untuk partai politik masuk ke dalam jenis belanja apa? Jelaskan alasan Anda! 5. Jelaskan Klasikasi Belanja Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2010 dan Permendagri Nomor 64 Tahun 2013! 6. Jelaskan manfaat yang diperoleh dari adanya SPM di pemerintah daerah. 7. Jelaskan bagaimana hubungan rencana pencapaian SPM dalam perencanaan dan penganggaran di daerah! 8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Analisis Standa Belanja! 9. Jelaskan manfaat apa saja yang diperoleh dari tersedianya ASB! 10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Value for Money! 11. Jelaskan manfaat implementasi Value for Money!
38
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
BAB III BELANJA DAERAH
39
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
40
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Peserta memahami dan mampu menjelaskan konsep dan berbagai sumber pembiayaan daerah serta regulasinya.
WAKTU 2 Sesi (90 menit)
KATA KUNCI Sisa lebih, realisasi anggaran, pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah dan panjang, penerimaan umum daerah, DSCR, batas maksimal desit, batasan kumulatif pinjaman negara, Perusda/BUMD, BUMN, BOT, BTO, BOO, kontrak sewa, kerjasama antar daerah. METODE 1. Ceramah; 2. Diskusi kelompok.
MEDIA 1. 2. 3. 4. 5.
Spidol; Laptop; Infocus; Powerpoint yang atraktif; Pertanyaan kunci.
BAHAN BACAAN 1. Nick Devas (1989); 2. Mardiasmo (2007), Perpajakan; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah; 8. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010, Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Panduan Bagi Investor Dalam Investasi di Bidang Infrastruktur; 9. Anton Tarigan, 2010, Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah, Direktorat Otonomi Daerah Bappenas.
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
41
4.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Ceramah dan Diskusi Konsep dan Struktur Pembiayaan Daerah (20 menit)
Kegiatan 2 Presentasi dan Diskusi (Falling Leaves) Pinjaman dan Obligasi Daerah (40 menit)
Kegiatan 3 Quis Penyertaan Modal, KPS dan KAD (30 menit)
Catatan: Bab ini sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah).
42
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Presentasi dan Diskusi Konsep dan Pengertian Pembiayaan Daerah (20 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami konsep dan struktur pembiayaan daerah.
Pelatih menjelaskan pengertian dan struktur pembiayaan daerah selama 10 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 10 menit untuk berdiskusi dengan peserta terkait dengan: Sumber pembiayaan desit di daerah; SiLPA daerah yang cenderung meningkat terus. 2. Kegiatan II: Presentasi dan Falling Leaves: Pinjaman dan Obligasi Daerah (40 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami konsep dan mekanisme pinjaman daerah.
Pelatih menjelaskan sumber dan regulasi pinjaman daerah selama 10 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 30 menit untuk mendiskusikan berbagai permasalahan/hambatan melaksanakan pinjaman daerah, termasuk mekanismenya dengan metode falling leaves. Kepada peserta diminta untuk menuliskan permasalahan yang dihadapi pada selembar kartu. Peserta harus diingatkan untuk menyiapkan penyelesan terkait dengan tulisannya pada kartu tersebut. Kemudian pelatih mengajak peserta untuk berdiri membentuk lingkaran dan memegang kartu tersebut. Seterusnya peserta diminta menjatuhkan kartu tersebut ketengah lingkaran. Lalu pelatih punya kesempatan pertama untuk mengambil kartu yang mau dimintakan penjelasan. Selanjutkan intruktur mempersilahkan setiap peserta untuk melakukan hal yang sama sampai waktu habis. 3. Kegiatan III: Kuis Penyertaan Modal, KPS dan KAD (30 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta mengetahui berbagai bentuk penyertaan modal daerah, Kerjasama Pemerintah-Swasta dan Kerjasama Antar Daerah.
Pelatih menyiapkan 10 pertanyaan dengan powerpoint untuk dijawab oleh peserta. Setiap peserta diberikan kertas untuk menuliskan jawaban dari No 1 sampai 10. Kemudian pelatih menampilkan pertanyaan satu persatu dan meminta peserta untuk menuliskan jawaban di kertas. Setelah selesai, peserta diminta untuk bertukar lembar jawaban dan saling mengoreksi. Intruktur mengeluarkan jawaban satu persatu dan terakhir bertanya siapa peserta yang mendapat skor tertinggi mulai dari 10. Peserta dengan skor tertinggi diberi hadiah (pelatih menyiapkan hadiah murah meriah).
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
43
Berikut pernyataan dan jawaban: Pemerintahan Daerah boleh melakukan penyertaan modal ke BUMN. (benar); Pemerintahan Daerah tidak boleh melakukan penyertaan modal ke Perusahaan swasta. (salah) Penyertaan Modal Daerah harus ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. (salah) BOT adalah singkatan dari Bangun-Operasi-Terima. (Salah) ROT adalah singkatan dari Rehap-Operate-Transfer. (betul) KPS harus didasarkan prinsip transparansi dan kompetisi agar mengurangi resiko kegagalan proyek. (betul) KPS harus dipayungi dengan dengan Peraturan Daerah. (salah) Semua bentuk KAD harus mendapat persetujuan DPRD. (salah) KAD dapat dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan PAD. (salah) KAD diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007. (benar)
4.3 Ringkasan Materi 1. Pengertian Pembiayaan Daerah Pembiayaan dapat diartikan penyediaan dana (nancing) untuk tujuan tertentu. Pembiayaan dalam konteks keuangan negara dimaksudkan sebagai penyediaan dana untuk menutupi desit ataupun pemanfaatan kelebihan dana untuk investasi/penyertaan modal dan untuk dana cadangan. Pembiayaan sebagai bagian dari APBD di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada Pasal 15 di sebutkan bahwa Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan Daerah; 2. Belanja Daerah; 3. Pembiayaan. Pembiayaan (Neto)
+/-
Penerimaan pembiayaan
+
Pengeluaran pembiayaan
-
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto yang negatif harus sama dengan desit anggaran (pendapatan - belanja). Sebaliknya, jumlah pembiayaan neto yang positif harus sama dengan surplus anggaran (pendapatan - belanja).
44
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 4.1 Pembiayaan Daerah
Penerimaan Pembiayaan
Pengeluaran Pembiayaan
SiLPA pencairan dana cadangan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan penerimaan pinjaman penerimaan kembali pemberian pinjaman
pembentukan dana cadangan penyertaan modal pemerintah daerah pembayaran pokok utang pemberian pinjaman
2. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa anggaran yang tidak tergunakan di tahun anggaran berkenaan, namun dapat digunakan di tahun berikutnya. Dalam realisasi APBD terdapat dua macam SiLPA, pertama adalah SiLPA yang menjadi salah satu penerimaan pembiayaan yang dikenal dengan SiLPA tahun sebelumnya. Kedua adalah hasil penjumlahan surplus/defisit dengan netto pembiayaan yang disebut SiLPA tahun berkenaan.
SilPA dan SILPA Perlu dibedakan antara SilPA (dengan huruf i kecil) dan SILPA (dengan huruf i besar/kapital). SiLPA (dengan huruf i kecil) adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, yaitu selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Misalnya realisasi penerimaan daerah tahun anggaran 2013 adalah Rp571 milyar sedangkan realisasi pengeluaran daerah adalah Rp524 milyar, maka SiLPA-nya adalah Rp47 milyar. Sedangkan SILPA (dengan huruf i besar/kapital) adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan, yaitu selisih antara surplus/desit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup desit anggaran yang terjadi.
3. Pinjaman dan Obligasi Daerah Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah yang dilakukan harus merupakan inisiatif pemerintah daerah. Pinjaman daerah dapat dikategorikan kepada pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek ditujukan untuk menutup kekurangan arus kas daerah, sedangkan pinjaman jangka menengah dan panjang ditujukan membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan, atau membiayai kegiatan investasi berupa pengadaan prasarana dan/atau sarana daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun menghasilkan penerimaan bagi APBD.
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
45
Untuk pinjaman jangka menengah dan jangka panjang wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, pinjaman yang dilakukan harus memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan, yakni taat pada peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, efisien dan efektif, serta kehati-hatian. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari: 1. 2. 3. 4. 5.
Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah lainnya; Lembaga Keuangan Bank; Lembaga Keuangan Non Bank; Masyarakat.
Pro dan Kontra Pinjaman Melakukan pinjaman selalu menimbulkan pro dan kontra. Berbagai argumen muncul untuk mendukung pemerintah melakukan pinjaman. Demikian juga sebaliknya, banyak argumen untuk menentang pemerintah melakukan pinjaman. Argumen Pro:
Decit Financing (Membiayai Desit). Accelerate Economic Growth (Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi). To Support Balance of Payment (Mendukung Neraca Pembayaran). Long Term Benet of the Project (Manfaat Jangka Panjang dari Proyek).
Argumen Cons:
Pengeluaran Publik seringkali tidak produktif dan tidak esien. Pertanggungjawaban penggunaan pinjaman oleh institusi publik relatif rendah. Pinjaman yang tidak produktif menjadi beban dimasa datang. Crowding-out.
Dasar Hukum Pinjaman Daerah Terkait dengan pinjaman daerah, ada beberapa peraturan terkait yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah; 4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 005/M. PPN/06/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan Pengajuan Usulan Serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Desit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah; 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
46
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Berdasarkan peraturan yang berlaku, dapat digambarkan tipologi pinjaman daerah sebagai berikut: Gambar 4.2 Tipologi Pinjaman Daerah Pemda, BUMN, Perusahaan Daerah
Luar Negeri Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman Dalam Negeri Pemerintah
Penerusan PLN
Penerusan PDN Pemda Peminjam
Pinjaman Daerah Pemerintah, Pemda, Bank, LK Non- Bank
Obligasi Daerah Publik
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008.
Persyaratan pinjaman secara garis besar dapat dibagi berdasarkan jenis pinjaman daerah. Penjelasan persyaratan tersebut dapat dijelaskan berikut ini :
a. Pinjaman Jangka Pendek Persyaratan umum bagi pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman jangka pendek adalah sebagai berikut: Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek sudah dianggarkan dalam APBD tahun bersangkutan; Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda, misalnya gaji pegawai; Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.
b. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang Ada empat kondisi yang menjadi persyaratan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang, yaitu: Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah pendapatan umum APBD tahun sebelumnya; Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk nilai Indeks DSCR (Debt Service Coverage Ratio) harus minimal lebih besar atau sama dengan 2,5; Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat dan atau pihak luar negeri, serta pemberi pinjaman lain; Mendapat persetujuan DPRD.
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
47
4. Pengelolaan Desit Salah satu fungsi anggaran pembiayaan adalah bagaimana membiayai desit anggaran. Jika pemerintah daerah mengalami desit, maka pembiayaan neto harus positif sebesar desit, artinya penerimaan pembiayaan harus jauh lebih besar dari pengeluaran pembiayaan. Desit anggaran dapat dibiayai dengan SilPA yang cukup besar, pencairan dana cadangan, penjualan saham (dari penyertaan modal) daerah, dan melakukan pinjamaan (penambahan pinjaman).
5. Penyertaan Modal Daerah dan Public Private Partnership Penyertaan modal daerah dapat terjadi dalam tiga bentuk: 1. Penyertaan modal ke Perusahaan Daerah/BUMD; 2. Penyertaan modal ke Perusahaan Milik Negara/BUMN; 3. Penyertaan modal ke Perusahaan Milik Swasta atau kelompok usaha masyarakat. Opsi lain untuk sumber pembiayaan pembangunan adalah melalui Publik Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Public-Private Partnership (Kerjasama Pemerintah dengan Swasta) selanjutnya disingkat adalah suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta.
Berbagai Bentuk KPS 1. 2. 3. 4.
Kontrak Pelayanan; Kontrak Manajemen; Kontrak Sewa (lease); Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT. Beberapa variasi dengan “tema” sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-Lease-Transfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (Build-Transfer-Operate), CAO (Contract-Add-Operate), DOT (Develop-Operate-Transfer), ROT (Rehab-Operate-Transfer), ROO (Rehab-Operate-Own) Development; 5. Kontrak Konsesi.
Model Kerjasama Antar Daerah (KAD) Berikut berbagai contoh model-model Kerjasama Antar Daerah (Anton Tarigan, 2010): 1. Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. 2. Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati kedua daerah. 3. Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan. 4. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih
48
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut. 5. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isuisu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.
4.4 Latihan 1. Jelaskan pengertian pembiayaan, jelaskan juga perbedaan antara penerimaan pendapatan dan penerimaan pembiayaan! 2. Jelaskan perbedaan antara pinjaman jangka pendek dengan pinjaman jangka panjang! 3. Jelaskan sumber-sumber pinjaman daerah! 4. Jelaskan bagaimana desit yang dibiayai pinjaman dikontrol oleh Pemerintah agar pengelolaan keuangan negara dilakukan secara hati-hati! 5. Apa tujuan Kerjasama Pemerintah Swasta dan jelaskan manfaatnya? 6. Kerjasama Pemerintah Swasta harus didasarkan prinsip transparansi dan kompetisi agar mengurangi resiko kegagalan proyek, jelaskan! 7. Jelaskan berbagai bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta! 8. Jelaskan berbagai bentuk kerjasama antar Pemerintah Daerah!
BAB IV PEMBIAYAAN DAERAH
49
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
50
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Peserta memahami dan mampu menjelaskan pengertian barang milik daerah, tata cara pengelolaan milik daerah dan regulasi yang terkait dengan BMD. WAKTU 2 Sesi (90 menit)
KATA KUNCI Barang Milik Daerah, siklus pengelolaan BMD, pengadaan, pengunaan, pemanfaatan, aset daerah, rumah dinas, pemusnahan, penghapusan.
METODE 1. Ceramah; 2. Diskusi.
MEDIA 1. 2. 3. 4. 5.
Spidol; Laptop; Infocus; Powerpoint yang atraktif; Pertanyaan Kunci.
BAHAN BACAAN 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 78/ PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara; 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; 9. Handout untuk peserta dengan topik Barang Milik Daerah.
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
51
5.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Ceramah dan Diskusi Pengantar Barang Milik Daerah dan Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Daerah (15 menit)
Kegiatan 2 Ceramah dan Diskusi Struktur Organisasi dan Pejabat Pengelola BMD (15 menit)
Kegiatan 3 Diskusi Kelompok Penerapan Pengelolaan BMD di masing-masing daerah (60 menit)
Catatan: Kegiatan 1 dan 2 yang memerlukan waktu 30 menit, sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan (tidak dipisah).
52
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Ceramah dan Diskusi Pengantar Barang Milik Daerah(15 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami pengertian dan tata cara pengelolalaan barang milik daerah.
Pelatih menjelaskan pengertian barang milik daerah, tata cara pengelolaan barang milik daerah dan perubahan paradigm pengelolaan BMD selama 15 menit. 2. Kegiatan II: Ceramah dan Diskusi Struktur Organisasi dan Pejabat Pengelola BMD(15 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami struktur organisasi dan pejabat pengelola BMD serta wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pelatih menjelaskan struktur organisasi dan pejabat pengelola BMD serta wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing selama 15 menit. 3. Kegiatan III: Diskusi Kelompok Penerapan Pengelolaan BMD di daerah(60 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan pengelolaan BMD di berbagai daerah.
Pada kegiatan ini, pelatih membagi peserta ke dalam 6 kelompok (@ maksimal 5 peserta per kelompok). Kemudian pelatih meminta setiap kelompok untuk berdiskusi dan bertukar pandangan mengenai isu dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan BMD di berbagai daerah. Peserta kemudian meringkas hasil diskusi dalam bentuk poin-poin permasalahan penerapan pengelolaan BMD di daerah dan menuliskannya di kertas metaplan/karton segi empat yang disediakan. Caranya adalah dengan menuliskan satu poin isu pada masing-masing kertas dan kemudian menempelnya di ipchart yang disediakan per kelompok. Selanjutnya setiap kelompok berkesempatan untuk mengunjungi dan melihat ipchart hasil diskusi dari kelompok lain.
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
53
5.3 Ringkasan Materi 1. Tahapan Pengelolaan Barang Milik Daerah Tata cara pengelolaan Barang Milik Daerah yang baru saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah semakin berkembang dan kompleks. Peraturan yang lama belum dapat dilaksanakan secara optimal karena adanya beberapa permasalahan yang muncul serta adanya praktik pengelolaan yang penanganannya belum dapat dilaksanakan dengan peraturan pemerintah tersebut. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran dari siklus logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang disesuaikan dengan siklus perbendaharaan. Komponen siklus pengelolaan BMD pada PP baru ini sedikit lebih panjang dibandingkan dengan yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Perbandingan cakupan pengelolaan Barang Milik Daerah dari kedua peraturan ini dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 5.1 Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 (Pasal 3 ayat 2)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 (Pasal 3 ayat 2)
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Penghapusan 8. Pemindahtanganan 9. Penatausahaan 10. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 2. Pengadaan 3. Penggunaan 4. Pemanfaatan 5. Pengamanan dan pemeliharaan 6. Penilaian 7. Pemindahtanganan 8. Pemusnahan 9. Penghapusan 10. Penatausahaan 11. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
Perubahan yang dilakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 adalah penambahan kegiatan Pemusnahan dalam Siklus Pengelolaan BMN/D. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan sik dan/atau kegunaan Barang Milik Negara/Daerah. Kegiatan Pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam peraturan pemerintah sebelumnya. Munculnya kegiatan pemusnahan diharapkan mendorong terjadinya peningkatan esiensi pengelolaan BMN/D sekaligus meningkatkan akuntabilitas Pengelola maupun Pengguna BMN/D. Dengan munculnya kegiatan Pemusnahan maka kegiatan Penghapusan otomatis menjadi akhir (ending point) dari siklus pengelolaan BMN/D. Siklus pengelolaan BMN/D menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2014 tersebut dapat di lihat pada gambar berikut :
54
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PENGAMANAN DAN PEMELIHARAAN PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pendaftaran
Gambar 5.1 Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
PENATAUSAHAAN
2. Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Struktur Organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dapat digambar sebagai berikut: Gambar 5.2 Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pemegang Kekuasaan Pengelolaan BMD) Pasal 5 ayat (1) Ditetapkan sesuai Pasal 5 ayat (2) huruf d
Sekretaris Daerah (Pengelola BMD) Pasal 5 ayat (3)
Kepala Biro/Bag. Perlengkapan (Pembantu Pengelola BMD) Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 Pasal 5 ayat 2 huruf b
Kepala SKPD (Pengguna BMD) Pasal 8 ayat (1) Kepala UPT Daerah (Kuasa Pengguna BMD) Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 pasal 5 ayat 2 huruf d
Pengurus Barang
Penyimpan Barang
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
55
Struktur organisasi di atas memperlihatkan bahwa pada hakekatnya penanggung jawab dari keseluruhan pengelolaan barang milik daerah adalah Kepala Daerah. Secara operasional Kepala Daerah dibantu oleh: 1. Sekretaris Daerah selaku pengelola BMD; 2. Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola barang milik daerah selaku pembantu pengelola BMD; 3. Kepala SKPD selaku pengguna BMD; 4. Kepala UPT Daerah selaku Kuasa Pengguna BMD; 5. Penyimpan barang milik daerah; 6. Pengurus barang milik daerah. Nomenklatur Pembantu Pengelola BMD tidak terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun ada dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007. Berhubung belum terbitnya peraturan teknis yang baru maka sesuai dengan pasal 110 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tersebut maka struktur Pembantu Pengelola BMD masih relevan. Demikian juga dengan jabatan Kuasa Pengguna Barang BMD juga tidak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 namun istilah itu ada dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007. Struktur di atas juga menjelaskan bahwa pengelolaan barang milik daerah tidaklah ditangani oleh satu SKPD, namun menjadi tanggung jawab semua SKPD dalam mengelola barang yang ada pada SKPD masingmasing, dimana kepala SKPD menjadi pejabat penanggungjawabnya.
3. Tugas dan Wewenang Pihak-Pihak yang Melaksanakan Pengelolaan Barang 1. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Kepala Daerah (Gebernur/Bupati/Wali Kota) sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah berwenang dan bertanggungjawab dalam: a. Menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. Menetapkan Penggunaan, Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan; c. Menetapkan kebijakan pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah; d. Menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan Barang Milik Daerah; e. Mengajukan usul Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; f. Menyetujui usul Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang Milik Daerah sesuai batas kewenangannya; g. Menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan; h. Menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. 2. Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Sekretaris Daerah selaku Pengelola Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggung jawab: a. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik Daerah; b. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan Barang Milik Daerah; c. Mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota; d. Mengatur pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang Milik Daerah;
56
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
e. Mengatur pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur/ Bupati/Walikota atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; f. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milik Daerah; g. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik Daerah. 3. Sesuai Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit adalah pembantu pengelola barang milik daerah bertanggungjawab mengkoordinir penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah yang ada pada masing-masing SKPD; 4. Sesuai dengan pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, kepala SKPD adalah Pengguna Barang Milik Daerah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sebagai berikut : a. Mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran Barang Milik Daerah bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; b. Mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan Barang Milik Daerah yang diperoleh dari beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan perolehan lainnya yang sah; c. Melakukan pencatatan dan Inventarisasi Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; d. Menggunakan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; e. Mengamankan dan memelihara Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; f. Mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan; g. Menyerahkan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya dan sedang tidak dimanfaatkan Pihak Lain, kepada Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pengelola Barang; h. Mengajukan usul Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Daerah; i. Melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian atas Penggunaan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya; j. Menyusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang. 5. Sesuai Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 pasal 5 ayat (2) huruf d, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah selaku kuasa pengguna barang milik daerah, berwenang dan bertanggung jawab: a. Mengajukan rencana kebutuhan barang milik daerah bagi unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan; b. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; c. Menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi unit kerja yang dipimpinnya; d. Mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; e. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang ada dalam penguasaannya; f. Menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) yang berada dalam penguasaannya kepada kepala satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
57
6. Sesuai Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 Pasal 6 ayat (6), Penyimpan barang bertugas menerima, menyimpan dan menyalurkan barang yang berada pada pengguna/kuasa pengguna. Secara detail tugas penyimpan barang meliputi: a. Menerima, menyimpan, dan menyalurkan BMD; b. Meneliti dan menghimpun dokumen pengadaan barang yang diterima; c. Meneliti jumlah dan kulaitas barang yang diterima sesuai dengan dokumen pengadaan; d. Mencatat BMD yang diterima dalam buku/kartu gudang; e. Mengamankan BMD yang ada dalam persediaan; f. Membuat laporan penerimaan, penyaluran dan stok/persediaan BMD kepada kepala SKPD. 7. Sesuai Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 Pasal 6 ayat (7), Pengurus barang bertugas mengurus barang milik daerah dalam pemakaian pada masing-masing pengguna/kuasa pengguna. Secara detail tugas penyimpan barang meliputi: a. Mencatat seluruh BMD yang berada di masing-masing SKPD yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang sah dalam KIB (kartu inventaris barang), KIR (kartu inventaris ruangan), BI (buku inventaris), dan BII (buku induk inventaris), sesuai kodekasi dan penggolongan BMD; b. Melakukan pencatatan BMD yang dipelihara/diperbaiki dalam kartu pemeliharaan; c. Menyiapkan LBPS (laporan barang pengguna sesmesteran) dan LBPT (laporan barang pengguna tahunan) serta laporan inventarisasi 5 tahunan yang berada di SKPD kepada pengelola; d. Menyiapkan usulan penghapusan BMD yang rusak atau tidak digunakan lagi. Kotak 5.1 Pengelolaan Aset di Kabupaten Bandung Kepala Bagian Pengelolaan Aset mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Asisten Administrasi dalam merencanakan teknis operasional, merumuskan kebijakan dan koordinasi teknis administratif penyusunan rumusan kebijakan dan pengkoordinasian Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah melalui koordinasi analisa kebutuhan, pelayanan inventarisasi dan penghapusan serta pengembangan pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian aset pemerintah daerah.
Beberapa penyempurnaan yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 terkait dengan Kewenangan dan Tanggung Jawab Pengelola dan Pengguna BMN/D adalah : 1. Adanya pendelegasian kewenangan. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan oleh Pengelola BMN kepada Pengguna BMN (Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4)) dan dari Pengguna Barang kepada Kuasa Pengguna Barang (Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4). Pendelegasian kewenangan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan esiensi pengelolaan BMN/D. Pendelegasian bisa dilakukan pada setiap tahapan pengelolaan BMN; 2. Adanya penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMN sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN (Bab Pemusnahan); 3. Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMD sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMD terkait dengan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (Bagian Ketujuh pasal 38 dan pasal 39); 4. Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru berupa penyusun laporan Barang Milik Negara/Daerah oleh Pengguna dan Pengelola BMN/D secara semesteran dan tahunan (pasal 87 dan pasal 88).
58
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
5.4 Latihan 1. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup dari pengelolaan Barang Milik Daerah? 2. Jelaskan perubahan paradigma pengelolaan aset daerah! 3. Jelaskan aturan perundangan tentang pengelolaan Barang Milik Daerah dan apa substansi utama yang terdapat di dalamnya! 4. Jelaskan secara singkat organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah! 5. Jelaskan tanggung jawab dan wewenang para Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah! 6. Jelaskan permasalahan yang sering timbul terkait dengan pengelolaan rumah negara!
BAB V PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
59
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
60
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
TUJUAN Setelah mempelajari bab ini, peserta: 1. Memahami konsep dasar akuntansi pemerintahan dan Standar Akuntansi Pemerintahan; 2. Mengetahui Siklus Akuntansi dan Laporan Keuangan Keuangan Pemerintah Daerah; 3. Mampu menjelaskan fungsi dari pengawasan internal dan pemeriksaan keuangan. WAKTU 3 Sesi (135 menit)
KATA KUNCI Karakterisitik Akuntansi Pemerintahan, Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP), persamaan dasar akuntansi, aturan debit kredit, siklus akuntansi, Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Catatan atas Laporan Keuangan, pengawasan internal, pemeriksaan keuangan, opini terhadap laporan keuangan. METODE 1. Ceramah/Presentasi; 2. Diskusi bersama; 3. Diskusi kelompok; 4. Quis. MEDIA 1. Spidol; 2. Metaplan; 3. Laptop; 4. Infocus; 5. Powerpoint yang atraktif; 6. Pertanyaan kunci. BAHAN BACAAN 1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 2. Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 1 s/d 10; 3. PMK Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan; 4. Permendagri Nomor 13 tahun 2006 jo Permendagri Nomor 59 tahun 2007 jo Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 5. SE Ditjen BAKD No.900/079/BAKD/2008; 6. Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 2 dan 3; 7. Mulyana, Budi, Handbook Akuntansi Keuangan Daerah Berbasis Akrual, Berdasar SAP Akrual (PP 71/2010), 2012; 8. Prof Abdul Halim dan Muhammad Syam Kusu, Akuntansi Keuangan Daerah – SAP berbasis Akrual, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012; 9. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download pada link http://www.djpk.depkeu.go.id/; 10. Handout untuk peserta dengan topik Akuntansi Keuangan Daerah.
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
61
6.1 Alur Pembelajaran Kegiatan 1 Presentasi dan Diskusi Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan (20 menit)
Kegiatan 2 Presentasi dan Diskusi Kelompok Siklus akuntansi dan Laporan Keuangan Pemda (45 menit)
Kegiatan 3 Quiz (Diskusi kelompok) Pengawasan Internal dan Pemeriksaan Keuangan (45 menit)
Kegiatan 4 Ceramah dan Diskusi Kesimpulan (25 menit)
62
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.2 Penjelasan 1. Kegiatan I: Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan (20 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami konsep dan standar akuntansi Pemerintahan.
Pelatih menjelaskan konsep dasar akuntansi pemerintahan dan memperkenalkan standar akuntasi pemerintahan (SAP) dan peranannya selama 10 menit. Kemudian pelatih menggunakan sisa waktu 10 menit untuk berdiskusi dengan peserta terkait dengan SAP. 2. Kegiatan II: Siklus Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemda (45 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami siklus akuntansi dan berbagai jenis laporan keuangan yang harus dihasilkan.
Pelatih menjelaskan persamaan dasar akuntansi dan siklus akuntansi selama 10 menit. Kemudian pelatih membentuk 3 kelompok dan memberikan kartu yang telah dipersiapkan sebelumnya (pelatih harus menyiapkan kartu metaplan yang sudah ditulis tahapan dan siklus akuntansi sebanyak tiga rangkap) untuk disusun masing-masing kelompok di pinboard (10 menit). Selanjutnya hasil dari ketiga kelompok dibandingkan dan didiskusikan mana yang paling tepat (10 menit). Terakhir, pelatih menyiapkan board yang sudah ditulis jenis-jenis laporan keuangan, kemudian mendiskusikan jenis laporan keuangan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta terkait apa isi laporan keuangan dan siapa yang harus menyiapkan laporan tersebut (SKPKD saja atau juga SKPD) (15 menit). 3. Kegiatan III: Pengawasan Internal dan Pemeriksaan Keuangan (45 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami peranan pengawasan internal dan pemeriksaan keuangan perimbangan.
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
63
Pelatih menjelaskan secara ringkas selama 15 menit perbedaan antara pengawasan internal dan pemeriksaan keuangan. Selanjutnya peserta kembali dikelompokkan seperti semula untuk secara berkelompok menjawab 10 pertanyaaan yang sudah disiapkan secara berturut-turut dengan pilihan 3 jawaban yaitu (a. internal audit b. pemeriksa eksternal, c. dua-duanya). Kemudian pelatih memperlihatkan jawabannya dan memberi hadiah untuk pemenang ataupun hukuman untuk kelompok yang paling rendah nilainya (15 menit). Kemudian pelatih mengajak peserta untuk mendiskusikan pertanyaan tertentu (15 menit). Berikut contoh pertanyaan (Jawabannya tiga pilihan, a. internal auditor b. pemeriksa eksternal, c. duaduanya): 1. Siapa yang mendorong terwujudnya proses agar pimpinan organisasi maupun anggotanya mencapai tujuan organisasi? 2. Siapa yang memberi opini terhadap laporan keuangan? 3. Siapa yang melakukan pemeriksaan dengan tujuan agar jangan terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat daerah? 4. Siapa yang melaporkan temuan pemeriksaan kepada Kepala SKPD dan kepada Kepala Daerah? 5. Siapa yang menyampaikan laporan pemeriksaan kepada DPRD? 6. Siapa yang melaporkan temuan pemeriksaan kepada pihak penegak hukum? 7. Siapa yang harus menguasai standar akuntansi pemerintahan? 8. Siapa yang melakukan pemeriksaan agar dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan? 9. Siapa yang memeriksa kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan? 10. Siapa yang boleh menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sesuai Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2007? 4. Kegiatan IV: Rangkuman dan Kesimpulan (20 menit)
Tujuan: Setelah mengikuti kegiatan ini peserta memahami pengertian dan tata cara pengelolalaan barang milik daerah.
Pelatih mendiskusikan proses akuntansi sehingga menghasilkan laporan keuangan dan opini dari pemeriksa keuangan terhadap laporan keuangan Pemda (15 menit).
64
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6.2 Ringkasan Materi 1. Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan Akuntansi pemerintahan adalah sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak berkepentingan atas berbagai alternatif tindakan (Halim, 2007). Akuntansi dan pelaporan keuangan akan dipengaruhi oleh lingkungan operasionalnya. Di lingkungan pemerintah perlu dipertimbangkan berbagai hal terkait akuntansi dan pelaporan keuangan, antara lain: a. Struktur pemerintahan dan pelayanan yang diberikan; b. Keuangan pemerintah yang penting bagi pengendalian, antara lain, anggaran, investasi dalam aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, kemungkinan penggunaan akuntansi dana untuk pengendalian, penyusutan nilai aset sebagai sumber daya ekonomi karena digunakan dalam operasional pemerintah.
Standar Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) menyatakan bahwa SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdapat 3 (tiga) Lampiran yaitu: a. Lampiran I tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual; b. Lampiran II tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual; c. Lampiran III tentang Proses Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Sehingga Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah daerah harus diatur dengan peraturan gubernur/ bupati/walikota yang mengacu pada Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah tersebut.
Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Menurut Peraturan Pemerintah 71 tahun 2010, prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan dimaksudkan sebagai ketentuan yang dipahami dan ditaati oleh pembuat standar dalam menyusun standar, penyelenggara akuntansi dan pelaporan keuangan dalam melakukan kegiatannya, serta pengguna laporan keuangan dalam memahami laporan keuangan yang disajikan. Delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah yaitu: a. Basis akuntansi; Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis akrual untuk pengakuan pendapatan-LO, beban, aset, kewajiban, dan ekuitas. Basis akrual untuk LO berarti bahwa pendapatan diakui pada saat hak untuk memperoleh pendapatan telah terpenuhi walaupun kas belum diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan dan beban diakui pada saat kewajiban yang mengakibatkan penurunan nilai kekayaan bersih telah terpenuhi walaupun kas belum dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Pendapatan seperti bantuan pihak luar/asing dalam bentuk jasa disajikan pula pada LO.
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
65
b. c. d. e. f. g. h.
Prinsip Nilai Historis; Prinsip Realisasi; Prinsip Substansi Mengungguli Bentuk Formal (Substance Over Form); Prinsip Periodisitas; Prinsip Konsistensi; Prinsip Pengungkapan Lengkap; Prinsip Penyajian Wajar.
2. Siklus Akuntansi Keuangan Daerah Persamaan Dasar Akuntansi Konsep dasar yang digunakan dalam prinsip akuntansi adalah persamaan dasar akuntansi, yaitu : KEKAYAAN DAERAH
=
SUMBER - SUMBERNYA
ASET
=
KEWAJIBAN
Sisi kiri
=
Sisi kanan
Sisi debit
=
Sisi kredit
+
EKUITAS
Aturan Debit dan Kredit Aturan Debit Kredit Aktive Akun- akun Aktiva Debit untuk Penambahan
Kredit untuk Pengurangan
=
Kewajiban Akun-akun Kewajiban Debit untuk Pengurangan
+
Kredit untuk Penambahan
Ekuitas Akun-akun Ekuitas Debit untuk Pengurangan
Kredit untuk Penambahan
Siklus Akuntansi Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dalam satu rangkaian proses yang disebut siklus akuntansi pemerintah daerah. PPKD adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Kepala SKPKD) yang bertugas mengelola APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah. Siklus akuntansi merupakan tahap-tahap/langkah-langkah yang harus dilalui dalam suatu sistem akuntansi, termasuk akuntansi pemerintah daerah. Langkah-langkah tersebut meliputi 5 Langkah Utama + 2 Langkah Penyelesaian, yaitu: 1. Menganalisis transaksi berdasarkan bukti pembukuan dan mencatat transaksi dalam Buku Jurnal Finansial atau dan Buku Anggaran; 2. Mencatat penyesuaian akhir tahun berdasarkan bukti memorial di Buku Jurnal Finansial; 3. Melakukan posting ke Buku Besar; 4. Menyusun Neraca Saldo setelah penyesuaian; 5. Menyusun laporan keuangan berdasarkan Neraca Saldo Setelah Penyesuaian; 6. Membuat Jurnal penutup; 7. Menyusun Neraca Saldo setelah penutupan.
66
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Gambar 6.1 Alur Penyusunan Laporan Keuangan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Unsur yang dicakup dalam laporan realisasi anggaran terdiri dari pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan. 2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan tersebut terdiri dari Saldo Anggaran Lebih, dikurangi Penggunaan Saldo Anggaran Lebih sebagai Penerimaan Pembiayaan Tahun Berjalan dijumlahkan dengan Sisa Lebih atau Kurang Pembiayaan Anggaran, Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya, dan Lain-lain. 3. Laporan Operasional (LO) Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan akunakun luar biasa. 4. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 5. Neraca Unsur yang dicakup dalam neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dan Masing-masing unsur didenisikan sebagai berikut: a. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah daerah, sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat, serta
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
67
dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. b. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah daerah. c. Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah daerah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah daerah. 6. Laporan Arus Kas (LAK) Laporan arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasi, aktivitas investasi, aktivitas pendanaan, dan transitoris yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas pemerintah daerah selama periode tertentu. 7. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK)
3. Pengawasan Internal dan Pemeriksaan Keuangan Seringkali sulit membedakan antara fungsi pengawasan internal dengan pemeriksaan eksternal. Meskipun di Indonesia hal itu jelas dilakukan oleh instansi yang berbeda, seringkali pihak yang diawasi/diperiksa tidak menyadari perbedaan keduanya. Tidak sedikit pegawai instansi tertentu mengeluh soal melayani aparat pengawasan/pemeriksaan yang datang berkali-kali. Aparat di sebuah dinas di daerah misalnya mengatakan ketika ada kasus, mereka pernah didatangi berbagai instansi pengawasan/pemeriksaan dalam satu tahun, ada pemeriksa dari Inspektorat Kabupaten, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Jenderal Kemendagri, BPKP dan BPK. Secara singkat perbedaan di antara instansi tersebut dalam kaitan dengan pekerjaan pemeriksaan adalah sebagai berikut : 1. BPK adalah pemeriksa eksternal institusi publik yang tugas dan kewenangannya diatur dalam konstitusi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. 2. BPKP adalah institusi pengawas internalnya Presiden yang bertugas melakukan pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan dalam bentuk audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan esien. 3. Inspektorat Jenderal adalah institusi pengawas internalnya Menteri untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementrian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Menteri, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Inspektorat Provinsi adalah institusi pengawas internalnya Gubernur (Pemerintah Provinsi) yang melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintah Provinsi. 5. Inspektorat Kabupaten/Kota adalah institusi pengawas internalnya Bupati/Walikota (Pemerintah Kabupaten/kota) yang melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengawasan internal merupakan sebuah proses, yang diwujudkan oleh pimpinan organisasi maupun anggotanya, yang dirancang untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi seperti:
68
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Efektivitas dan esiensi dari kegiatan operasional; 2. Keandalan Laporan keuangan; 3. Ketaatan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Pemeriksaan Keuangan di Indonesia Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan (keuangan negara) didenisikan sebagai proses identikasi masalah, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut ayat 1 pasal 4 undang-undang tersebut, jenis-jenis pemeriksaan adalah Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Ayat 2 pasal 4 UU yang sama menyatakan bahwa pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan LHP menyatakan opini BPK-RI atas kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Opini pemeriksaan BPK terhadap LKPD menggunakan opini standar sesuai Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yaitu: 1. Wajar tanpa pengecualian (unqualied opinion). Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan standar akuntansi keuangan (SAK) di Indonesia. 2. Wajar dengan pengecualian (qualied opinion). Pendapat wajar dengan pengecualian, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, kecuali dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. 3. Pendapat tidak wajar (adverse opinion). Pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia. 4. Menolak memberikan pendapat (disclaimer opinion). Pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakan bahwa pemeriksa tidak memberikan pendapat atas laporan keuangan, jika bukti pemeriksaan tidak cukup untuk membuat kesimpulan.
Pendekatan Dalam Menyelesaikan Temuan Beberapa pendekatan dan cara-cara praktis penyelesaian temuan adalah: 1. Penjelasan Sebagai Pembelaan Temuan material dapat diselesaikan tanpa menjatuhkan sanksi kepada auditan melalui penjelasan sebagai pembelaan. 2. Janji Auditan Melakukan Perbaikan Jika temuan yang diajukan oleh pemeriksa menyangkut perbaikan SPI maka jika auditan meyakini bahwa pemeriksa memang benar dan beralasan kuat maka auditan dapat berjanji melakukan perbaikan. Misalnya jika terdapat prosedur yang kurang baik dalam pembayaran gaji anggota DPRD, maka auditan dapat berjanji bahwa kejadian tersebut tidak akan diulangi di masa yang akan datang. Contoh lain, misal ditemukan oleh pemeriksa bahwa pemerintah daerah tidak memiliki Kartu Aset Tetap sehingga semua aset tetap yang dimiliki tidak tercatat dengan baik. Akibatnya aset tetap tersebut mudah sekali hilang atau digelapkan. Temuan seperti ini dapat diselesaikan dengan janji melakukan perbaikan atas SPI.
BAB VI AKUNTANSI PEMERINTAHAN DAERAH
69
3. Perbaikan Atas Temuan Administratif Pelaporan Jika temuan pemeriksa merupakan temuan administratif misalnya terjadi kesalahan pencatatan dan pelaporan yang tidak menimbulkan kerugian negara, maka auditan dapat langsung menerima temuan tersebut jika memang demikian adanya. 4. Penyelesaian di Tempat Jika terdapat kerugian negara misalnya jika kesalahan ini bukan kesengajaan maka auditan dapat melakukan pembayaran ke kas daerah atau pemerintah pada saat proses pemeriksaan dilakukan. Dengan demikian pemeriksa dapat mengeluarkan temuan tersebut dari laporan hasil pemeriksaan. Akan tetapi jika kesalahan ini mengandung unsur kecurangan maka pemeriksa dapat memandang kasus tersebut sebagai kasus korupsi dan terdapat unsur tindak pidana. Hanya saja, beda kesalahan dengan kecurangan adalah tipis. Kecurangan adalah kesalahan yang disengaja dan ada unsur merugikan negara. Sedangkan kesalahan adalah hal yang tidak disengaja mungkin karena auditan tidak memahami peraturan perundangan yang berlaku.
6.4 Latihan 1. Jelaskan perbedaan antara akuntansi berbasis kas dengan akuntansi berbasis akrual dan jelaskan juga implikasi akuntansi berbasis akrual terhadap laporan keuangan! 2. Diskusikan dan jelaskan tentang siklus akuntansi dan laporan apa saja yang bisa dihasilkan dari siklus tersebut! 3. Diskusikan dan jelaskan perbedaan antara pengawasan internal dan pemeriksaan keuangan, meliputi: a. Denisi; b. Tujuan; c. Lingkup pekerjaan. 4. Jelaskan peranan DPRD dalam pengawasan keuangan daerah!
70
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
71
MA
CAR
A DA N A R A KÇ
A
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Gedung Radius Prawiro Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 T + 62 21 384 7225 F + 62 21 350 6218 I www.djpk.depkeu.go.id
Transforming Administration Strengthening Innovation (TRANSFORMASI) Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Menara BCA Lantai 46 Jl. M. H. Thamrin 1 Jakarta 10310 T + 62 21 235 87 121/122/123 F + 62 21 235 87 120 I www.giz.de