Lumbung Desa: Melawan Liberalisasi Pangan Oleh Koesnadi Wirasapoetra
(Sekretaris Jenderal Sarekat Hijau Indonesia) Heboh beras plastik baru-baru ini adalah salah satu fenomena orientasi pangan mulai dari produksi dan konsumsi. Bahan pangan yang diindikasi dari teknologi berbahan plastik – potret nyata produsen untuk melakukan perluasan pasar dan kondisi pangan masa depan.
Arsitektur Lumbung Padi Kampung Naga Jawa Barat
Perempuan Dayak Kalteng Panen Padi
Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang dikelola, diperdagangkan, dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Persoalan pangan sudah sejak lama dipikirkan di masa kemunculan kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak sedikit sejarah mencatat, persoalan pangan menjadi penentu kelanggengan atau kejayaan suatu kekuasaan. Sampai hari ini, ketika terbit Indonesia di era Globalisasi kondisi pangan semakin meruntuhkan akar budaya bangsa. Sjahrir (1986) mengatakan, bahwa, siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai orang (kekuasaan). Bagaimanakah perjalanan pangan di Indonesia? Pangan dan Akar Kebudayaan Bangsa Bahan pangan di Indonesia, maupun di dunia, tidak terlepas dari akar kebudayaan manusia hidup. Peradaban ini yang memberikan banyak pelajaran berharga dalam menciptakan bahan pangan untuk masa depannya. Di Indonesia sangat beragam suku bangsa, beragam pula bahan pangan yang diKonsumsi. Dengan sistem lokal yang berjalan ribuan tahun, maka rakyat Indonesia mampu memberikan sumbangan atas krisis pangan. Tersedianya bahan pangan yang cukup, tidak terlepas dari budaya dan politik akan pemanfaatan sumber-sumber agraria di Indonesia. Menurut catatan BPS tahun 2010, di Indonesia ada sekitar lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, atau tepatnya 1.340 suku bangsa tersebar di Pulau Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, dan Pulau Jawa. Jumlah terbesar kelompok suku berada di Pulau Jawa mencapai 41%, jumlah ini bermigrasi ke beberapa daratan seperti ke Malaysia dan Suriname. Suku Sunda, suku Melayu dan suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di negara ini. Demikian pula suku Baduy dan suku Banten yang sementara pihak menganggap mereka sebagai bagian dari keseluruhan suku Sunda. Contoh lain percampuran suku bangsa adalah Suku Betawi yang merupakan suku bangsa hasil percampuran berbagai suku bangsa pendatang baik dari Nusantara maupun Tionghoa dan Arab yang datang dan tinggal di Batavia pada era kolonial. Kita kenal dengan bahan pangan suku-suku di Indonesia, mulai dari Sagu, Jagung, Singkong, Umbi-umbian, Talas, Pisang, sampai Beras. Suku Dayak Punan adalah suku yang dikenal berburu dan meramu, bahan pangannya sagu, dan talas atau umbi-umbian, diperoleh dari hutan dimana mereka tinggal. Berburu salah satu aktivitasnya untuk mendapatkan bahan pangan berupa daging. Orang Punan mengenal beras atau nasi sekitar awal tahun 1960-an, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, di mana Suku Punan belajar dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
1
makan nasi dari tentara Indonesia. Kemudian orang Punan belajar berladang dengan suku Dayak Kenyah yang telah lama memiliki teknologi budaya pangan. Begitu juga suku-suku lainnya dalam melakukan pemenuhan kebutuhan bahan pangan. Bagi Suku Dayak, berladang adalah tradisi atau kebudayaan yang secara turun temurun dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Begitu juga suku-suku di Sulawesi (suku Kantu, Kaili dlsb), di Sumatera suku Batak, Minang, Melayu dlsb. Peradaban bahan pangan tidak terlepas dari akar budaya suku-suku asli di Indonesia. Krisis pangan merupakan bagian dari terancamnya akar budaya bangsa Indonesia. Tanam Paksa, Sejarah Kebijakan Pangan di Indonesia Kebijakan bahan pangan sudah berjalan sejak jaman kerajaan Sriwijaya, Mataram dan Majapahit. Kehadiran kerajaan kuno di Nusantara ditandai dengan masuknya pengaruh dari luar, yaitu pengaruh dari Islam, Hindu, dan Budha. Merekalah yang pertama kali membangun sistem pemerintahan, sistem sosial, dan membangun kebudayaan baru. Mereka di antaranya seperti Kerajaan Yawa Dwipa (200 SM), Kerajaan Kutai Kertanegara (400 SM, tertua), kemudian disusul kemunculan Srivijaya dan Majapahit. Darimana pun mereka berasal, atau dari pengaruh agama manapun mereka dibesarkan, kekuatan pertanian (pangan) menjadi penentu kekuasaan. Catatan sejarah melalui bukti prasasti ataupun arisp-arsip kuno menyebutkan dua kata kunci yang berhubungan dengan pangan, yaitu pertanian dan perikanan (maritim). Mengapa kerajaan besar seperti Sriwijaya maupun Majapahit harus melakukan ekspansi hingga menguasai seluruh wilayah Nusantara? Perluasan ini merupakan bagian dari proses penguasaan dan ekspansi, bukan untuk hasrat politik, tetapi penguasaan sumber-sumber kekayaan alam. Tidak jauh berbeda dengan beberapa negara yang melakukan ekspansi ke Nusantara seperti Portugis, Belanda, Jepang ketika masa kolonial. Tetapi masa Era Kemerdekaan, ekspansi negara-negara maju ke negara berkembang, bukan sekedar mencari bahan pangan dan rempah-rempah, sudah jauh dari kebutuhan industrialisasi seperti; eksploitasi minyak dan gas bumi, bahan tambang emas, batu bara dan lain sebagainya. Aktivitas tanaman pangan di masa itu lebih condong pada jenis tanaman untuk pemenuhan kebutuhan karbohidratnya. Misalnya seperti padi dan jagung. Tetapi kedua jenis tanaman tersebut tidak merata tersebar di seluruh wilayah, tergantung dari budaya tanaman pangan lokal seperti di Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Papua. Tanaman padi nampaknya lebih dominan ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di wilayah Maluku hinga Ternate tidak banyak penemuan pertanian kuno yang menunjukkan ciri khas bekas penggunaan teknologi tanaman padi. Di Ternate itu pun baru mulai ditanami beras setelah masuk ke era kemerdekaan. Mengingat perdagangan tanaman pangan masih didominasi oleh jenis tanaman kebutuhan pokok, maka jenis tanaman seperti rempah-rempah dan komoditi untuk bumbu-bumbu masakan relatif belum terlalu dominan. Pada masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pola kebijakan tanaman pangan lebih banyak difokuskan pada jenis tanaman pangan utama seperti beras, jagung, dan beberapa jenis tanaman perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang lebih laku untuk diperdagangkan. Pemerintah Hindia Belanda bahkan pernah menerapkan kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel oleh Van den Bosch yang lebih memfokuskan pada jenis tanaman pertanian utama seperti padi. Diversifikasi ditekan untuk lebih memfokuskan memperbesar kuantitas produksi tanaman padi. Sekalipun akhirnya mendapatkan pertentangan dan dihapuskan, tetapi tetap tidak merubah pola diversifikasi. Rakyat pribumi tidak memiliki banyak pilihan untuk menanam lebih banyak jenis tanaman lain, kecuali jenis tanaman yang laku untuk diperdagangkan. Secara keseluruhan VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pihak kolonial lebih memfokuskan pada jenis tanaman pangan utama dan jenis tanaman industri. Diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya sudah mulai diterapkan sejak lama, tetapi ditekan (dibatasi) untuk hanya ditanam jenis tanaman utama seperti padi dan jagung. Budidaya perikanan darat yang sudah dikembangkan oleh sejumlah kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi tidak berkembang. Rakyat pribumi tidak diperkenankan memiliki empang sendiri, kecuali empang yang komoditinya telah dipesankan oleh pemerintah kolonial. Di masa pendudukan Jepang agaknya tidak banyak berbeda dengan masa pemerintah kolonial sebelumnya. Jepang mengambil alih seluruh aset-aset pertanian, perkebunan, bahkan perikanan laut yang sebelumnya telah dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Jepang pun berorientasi pada dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
2
jenis tanaman utama yang dalam jangka pendek diperuntukkan untuk mendukung suplai makanan ke pasukan Jepang di Asia Pasifik. Kehadiran Jepang yang cukup singkat itu pula lebih banyak diisi didominasi oleh aktivitas politik di dalam negeri dan berkonsentrasi untuk menghadapi tekanan sekutu di Pasifik. Praktis tidak ada sesuatu yang baru di bidang pertanian selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956. Program swasembada beras dilaksanakan melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953-1956. Sebuah cikal bakal dari BULOG dan diambil dari inisiatif lumbung-lumbung di pedesaan yang berjalan dikonsolidasikan untuk ketahanan pangan Bangsa Indonesia. Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor. Politik Pangan dan ancaman sumber agraria Sistim politik demokrasi liberal akan memberikan pengaruh kuat terhadap sistem ekonomi yang liberal pula. Liberalisasi atau disebut pasar bebas, telah tinggal landas setelah reformasi terjadi yang dipengaruhi oleh arus kuat perdagangan antar negara – di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari refleksi 10 tahun reformasi, bahwa, hasil reformasi politik di Indonesia, setelah tumbangnya Era Orde Baru di bawah kepemimpinan rezim Soeharto, hanya menghasilkan 2 catatan penting, pertama: telah dilakukannya privatisasi terhadap sektor-sektor vital di Indonesia yang didukung oleh lahirnya Undang-Undang Privatisasi, misalnya; Telkom, Bulog, Migas dan lain sebagainya. Kedua; telah berhasil melahirkan sistem demokrasi liberal – atau kritikan KH. Hasyim Mujadi, dikenal dengan Demokrasi sembako. Artinya sistem demokrasi di serahkan pada sistem pasar. Sementara di sisin lain, obral murah aset sumberdaya alam Indonesia kepada investor terjadi yang didukung oleh perundang-undangan dihasilkan era reformasi. Undang-Undang Sumberdaya Air, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang lainnya yang memindahkan aset produktif rakyat kepada tangan-tangan korporasi untuk dieksploitasi besar-besar, tanpa memperdulikan dampak dan resiko kelestarian lingkungan hidup dan alih fungsi lahan-lahan produktif untuk pangan jadi pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), perkebunan kelapa sawit dan menghisapan sumber-sumber air bersih untuk sektor swasta. Paska reformasi yang menghasilkan 2 kunci utama kapitalisme global menguasai Indonesia dengan cara privatisasi dan sistem demokrasi pasar, tidak berdiri sendiri. Rancangan ini telah dibangun sejak era Soeharto, dengan masa jabatan terakhir menandatangani Letter of Inten (LoI) yang didalamnya terkandung privatisasi dan pencabutan subsidi pada sektor-sektor publik seperti; pangan, BBM, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Dampak dari LoI adalah Indonesia harus tunduk atas semua kesepakatan yang tertuang dalam LoI – IMF – seperti soal BBM, dlsb. Hal ini yang memberatkan rakyat dan mengancam krisis ekonomi dan social di Indonesia. Berdasarkan catatan Biro Pusat Statsitik tahun 2012, Indonesia masih impor 10 bahan pangan dari berbagai negara, seperti; beras, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gading sapi, ayam, garam, singkong, kentang. Negara-negara pengimpor diantaranya; Thailand, Vietnam, Australia, Amerika serikat, Kanada, Jerman, Kores selatan, Arab Saudi, Argentina dan Brazilia.
dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
3
Tabel 1: 10 bahan komoditi pangan Import tahun 2012 No 1 2 3
Komoditi Beras Jagung Kedelai
4 5 6
Biji Gandum Tepung Terigu Gula Pasir
7
Daging Sapi
8 9 10
Daging Ayam Garam Singkong Kentang
Jumlah (ton) 1.8juta 1.7 juta 1.9juta
Nilai (US$) 945,6 juta 501,9 juta 1.2 Miliar
6,3 juta 479,7 ribu 91,1 ribu
2,3 miliar 188,8 juta 62 juta
40.338
156,224 juta
6.797 kg 2.2 juta 13.3 ribu 54,1 ribu
34,8 108 3,4 36,4
ribu juta juta juta
Negara Importir Vietnam, Thailand, India, Pakistan, China, Argentina, Pakistan, Brazil, Amerika Serikat Amerika Serikat, Malaysia. Afrika selatan, Uruguay, Kanada Kanada, Amerika Serikat, Ukraina Srilangka, Ukraina, Belgia, Australia Thailand, Australia, Malaysia, Korea Selatan, Selandia Baru Australia, Selandia baru, Amerika Serikat, Kyrgiztan, Singapura Malaysia, Belgia Australia, Selandia Baru, China, Jerman. Thailand, China, Vietnam Australia, Amerika Serikat, Kanada, Saudi Arabia, China
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS): 2013 Dampak yang paling terasa, bahwa kebijakan liberalisasi pangan dan peminggiran sistem pangan lokal. Belum lagi usai problem produksi petani tersebut, dalam 20 tahun terakhir dan semakin gencar dalam tahuntahun terakhir ini petani dihadapkan pada persaingan tidak fair karena dibukanya pasar bebas (liberalisasi) atas produk-produk pertanian, termasuk didalamnya produk-produk pangan. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan World Trade Organisation–Badan Perdagangan Dunia–mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam prakteknya memaksa rakyat dari negara-negara berkembang untuk memenuhi pangan negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi perdagangan. Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan tampak dalam pencabutan subsidi untuk petani, privatisasi badan usaha logistik dan penurunan tarif impor produk pangan, bahkan tarif 0% untuk beberapa komoditi. Kebijakan pangan nasional dengan demikian telah mengabaikan potensi dan kemampuan rakyat dalam mengelola sistem pangan secara mandiri. Dapat dimengerti sistem pangan dunia saat ini adalah mudah dan sekaligus kompleks. Mudah bila kita mempertimbangkan pentingnya pangan dalam keberlanjutan kehidupan manusia. Setiap orang butuh makanan; akses yang memadai, aman dan makanan bergizi adalah suatu hak dasar manusia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), kaum perempuan pedesaan bertanggung-jawab untuk separuh produksi pangan dunia dan antara 60 sampai 80 persen dari negeri-negeri berkembang. Ini sangat sederhana, tetapi berkait (secara) mendasar dalam sistem pangan dunia. Merujuk pada seruan WTO pada tahun 1999: ”kemunduran di Seattle”, pertemuan keempat WTO tingkat menteri Menteri di Doha (9-15 November 2001) meluncurkan satu putaran dari liberalisasi perdagangan. Pemenang “putaran Pembangunan Doha” yang baru ini jelas korporasi-korporasi transnasional (TNC) yang mendominasi perekonomian global. Ini termasuk pertanian dan industri-industri pengolahan pangan, di mana berbagai merger dan akuisisi memperlihatkan pemusatan pengawasan pada tangan-tangan segelintir korporasi global. Korporasi pemasok bibit disatukan dengan perusahaan kimia-tanaman (agrochemical) dan bio-tehnologi, secara efektif mempertajam sistem pangan dunia, yang melahirkan Revolusi Hijau di Indonesia yang memberikan beban utang luar negeri untuk sarana irigasi dan teknologi pertanian dan hilangnya kearifan lokal petani dalam tradisi pertanian lestari. Ini tidak hanya konsolidasi dari seluruh rantai pangan, tetapi pengawasan melalui seluruh rantai pangan yang seperti korporasi-korporasi lakukan dapat mengklaim dirinya “hidup dari planet”. Klaim ini justru memberikan tekanan, sebenarnya yang mau dikatakan korporasi bahwa orang-orang kurang dapat menghidupi dirinya tanpa korporasi-korporasi raksasa.
dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
4
Pada kondisi lainnya, Indonesia menghadapi AFTA tahun 2015 ini, di mana penduduk Indonesia adalah ke-4 terbesar didunia, oleh karena itu Indonesia akan selalu menjadi sasaran empuk target pasar dari berbagai produk negara-negara dunia. Pada saat ini, karena daya beli masyarakat kita lemah, maka aneka jenis produk yang datang, adalah berbagai produk kualitas rendah (kw) yang berasal dari China dengan harga sangat murah. Bahkan jaring pemasarannya sudah sampai pada pedagang kaki lima di seluruh Indonesia. Akibatnya, semua produksi sejenis yang ada di dalam negeri menjadi hancur terbukti banyaknya berbagai pabrik berbahan plastik dan tekstil serta alat-alat pertukangan, mainan anak-anak gulung tikar. Ini semua adalah dampak dari berlakunya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sejak 2010. Semua para pengusaha korban gulung tikar mengatakan kita tidak bisa bersaing dengan harga produk kw China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Belum terjadinya AFTA (Asean Free Trade Area) 2015, para produsen di Indonesia sudah tidak mampu bersaing di pasar dalam negerinya sendiri menghadapi barangbarang impor dari China. Negara-negara China, Jepang, India, Thailand, Singapore, Malaysia, Vietnam telah melakukan serangan produksinya ke Indonesia jauh sebelum AFTA 2015. Liberalisasi Pangan dan Alih Fungsi Lahan Produktif
Burgger atau sejenis seperti junk food; makanan siap saji dan berbagai jenis bahan makanan yang ditransfer dari gaya hidup Eropa, Amerika dan di negara belahan lainnya. Orientasi bahan pangan ini tidak terlepas dari upaya pasar mengembangkan produk bahan pangan yang bisa dikonsumsi negara-negara maju – agar terjadi transaksi perdagangan yang meluas dan menjadi satu kebutuhan bahan pangan di negara dunia ketiga. Model seperti ini bukan diversifikasi pangan, tetapi lebih memunculkan gaya hidup perkotaan yang terus masuk ke pedesaan. Pagi-pagi, seorang ibu yang hidup di kota Jakarta dengan nasi goreng, nasi putih dan lauk pauknya, di papua biasa di temukan sagu, singkong (casbie), di Madura biasa nasi jagung, di Kalimantan bisa juga nasi, singkong atau talas. Di Kota Palembang sarapan selain nasi bisa juga ditemui sarapan pempek Palembang. Potret sarapan pagi menu gaya Indonesia yang beranekaragam suku dan bangsa yang hidup di bumi Indonesia. Tetapi gaya sarapan pagi di era liberalisasi tidak banyak ditemukan diversifikasi jenis makanan. Biasanya gaya hidup perkotaan sudah ditemukan sarapan berupa roti bakar, roti biasa dengan selai atau indomie goreng, indomie rebus dengan berbagai cita rasa yang sudah dikemas. Perubahan ini sudah mulai masuk ke pedesaan, dimana, gaya hidup praktis dan atau tidak ditemukan kembali akar budaya bangsa Indonesia. Hal ini terjadi, bisa dipengaruhi dengan gaya hidup atau sistem pasar bahan pangan yang diciptakan oleh pasar bebas dengan “trade mark” gaya hidup Modern. Era liberalisasi setiap produsen menguasai lahan-lahan pertanian, perikanan dan peternakan untuk memasok kebutuhan bahan baku produksi yang dipasarkan. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan VOC jaman kolonial. Bedanya, VOC dulu bekerja dengan tekanan (jajahan), saat ini bekerja dengan perijinan yang diberikan oleh Pemerintah sejak era orde baru. Fakta-faktanya di Indonesia, laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku industri pangan berbahan dasar CPO (Cruid Plam Oil) untuk bahan pangan meluas di Indonesia mencapai lebih 9 juta hektar, target sampai tahun 2020 mencapai 15 juta hektar. Angka ini selain melakukan monopoli bahan pangan gaya hidup Barat, perkebunan sawit juga banyak mengkonversi lahan-lahan potensial untuk cadangan bahan pangan Indonesia, seperi beras, jagung, singkong dlsb. Hadirnya perkebunan kelapa sawit menggusur lahan produktif yang berdampak pada sulitnya mencari lahan potensial untuk produksi pangan di Indonesia. Ini terjadi sejak awal tahun 1990 menuju 2000, ketika kita mengenal yang namanya globalisasi, bahan pangan sudah mulai dikembangkan dengan gaya hidup produsen minyak sawit (Palm oil) yang mencoba pengaruhi kebijakan lokal, nasional sampai international, bahwa Palm Oil atau CPO merupakan salah satu bahan pangan dunia yang dapat menciptakan berbagai bahan makanan seperti; mentega, minyak goreng, pasta dlsb. Sampai organisasi international yang membidangi pangan, menyebutkan bahwa CPO salah satu bahan dasar bahan pangan, yang didukung oleh kebijakan international organisasi perdagangan dunia atau WTO. Orientasi gaya hidup ini memiliki dampak yang luar biasa, selain gaya hidup yang praktis dan nyaris boros belanja dapur, sampai perubahan alih fungsi lahan produktif untuk bahan pangan lokal menjadi kegunaan dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
5
lain, seperti; perluasan pabrik-pabrik produsen yang ada di Indonesia yang menggunakan lahan-lahan produktif sawah (penghasil beras) menjadi menyusut. Menurut catatan BPN tahun 2010, alih fungsi lahan produktif setiap tahun mencapai 100.000 hektar sawah untuk kegunaan lain seperti pabrik-pabrik dan perumahan. Penjelasan yang paling rasional terhadap fenomena tersebut salah satunya karena adanya peningkatan jumlah dan areal perusahaan perkebunan secara besar-besaran selama 10 tahun terakhir, terutama kelapa sawit. Areal perkebunan besar kelapa sawit yang telah mencapai 9 juta hektare pada 2013, pada satu sisi, mungkin perlu diapresiasi. Muhammad AS Hikam menuliskan beberapa catatan kritiknya atas kondisi kebijakan pangan di Indonesia yang menganut liberal sejak jaman Orde baru sampai reformasi. Estimasi alih fungsi lahan selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai 602,4 ribu hektare atau 60 ribu hektare per tahun (Data Badan Pertanahan Nasional, 2005). Walaupun konsistensi data dari berbagai sumber yang berbeda masih perlu diverifikasi kebenarannya, bukti kasat mata di lapangan telah banyak menunjukkan laju konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain yang cukup pesat, mulai dari perumahan dan pemukiman, industri dan kebutuhan perkotaan lain hingga lapangan golf, terutama di daerah penyangga kota-kota besar. Ancaman nyata dari laju konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain adalah penurunan produksi pangan, terutama pangan pokok seperti beras. Produksi padi yang mencapai 69 juta ton GKG pada 2014 atau menurun 1,99 persen dibandingkan dengan produksi 2013 menjadi bukti kuat bahwa penurunan produksi pangan telah berada pada lampu merah. Titik pangkal masalahnya bukan terletak pada ketiadaan perangkat hukum yang melindungi lahan sawah, melainkan lebih pada komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang dimiliki Indonesia. Pada tingkat strategis, Indonesia memiliki UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. UU tersebut sebenarnya merupakan amanat dari UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, yang sampai saat ini sulit dilaksanakan karena hanya belasan provinsi yang telah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seperti disyaratkan. Dari sekitar 500 daerah otonom yang ada di Indonesia, pasti tidak terlalu banyak kabupaten/kota yang telah menyelesaikan RTRW. Pemerintah Pusat tidak mampu memberikan sanksi yang tegas terhadap provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mematuhi UU No. 26/2007 yang sebenarnya dibuat untuk kepentingan bersama dan kemaslahatan seluruh warga Indonesia. Dalam suatu proses transformasi ekonomi, konversi sawah produktif menjadi kegunaan lain lumrah terjadi dan tidak dapat dihindarkan, terutama apabila perangkat kelembagaan yang ada tidak mampu mencegah atau mengendalikannya secara baik. Sistem insentif dan kebijakan pertanahan di Indonesia nampaknya tidak terlalu mendukung untuk terciptanya pengawasan yang berlapis yang mampu mengendalikan laju konversi sawah produktif tersebut. Perumusan dan kebijakan RTRW di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seakan tidak mendukung upaya pengendalian alih fungsi sawah produktif menjadi kegunaan lain. Fenomena otonomi daerah (Otda) sampai saat ini masih belum dapat menjadi jawaban ampuh untuk mengendalikan laju konversi lahan. Secara legal formal, Indonesia telah memiliki perangkat hukum berupa UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang seharusnya mampu menanggulangi persoalan kepastian hukum di bidang alih fungsi lahan sawah. Karena laju konversi lahan sawah dan alih fungsi dan kepemilikan lahan pertanian terus terjadi, banyak yang berpendapat bahwa UU No. 41/2009 tersebut mandul akibat belum adanya peraturan pelaksanaan UU itu. Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan, dan PP No. 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No. 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Aturan lebih teknis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga telah diundangkan.
dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
6
Gerakan “Lumbung Desa”, Melawan Liberalisasi Lumbung Desa, berangkat dari sebuah tradisi lokal yang mengupayakan agar penduduk setempat memiliki rasa gotong royong dan kepekaan sosial terhadap sesamanya. Hal ini diajarkan dari basis religius sejak berabad-abad lamanya. Sistem lumbung dikenal ketika kosa kata lumbung atau artinya tempat penyimpan, pengawetan dan pengendalian bahan makanan secara tradisional. Lumbung istilah umumnya, bagi orang Dayak diberi nama yang berbeda, begitu juga orang Papua dan Sulawesi.
Lumbung Orang Dayak Kenyah Di Pulau Jawa tidak banyak lumbung-lumbung desa berdiri, sudah semakin berkurang jumlahnya. Tetapi di beberapa daerah pedesaan Jawa tengah, Jogyakarta, Jawa Timur masih banyak ditemui. Tetapi di beberapa desa di Pulau Kalimantan masih banyak ditemui Lumbung-lumbung padi yang berdiri di setiap samping atau areal khusus di bangun lumbung padi warga dan desa. Meski dihancurkan dan kemudian dilupakan oleh rezim penguasa, ratusan ribu bahkan jutaan komunitas yang tersebar di Nusantara masih memiliki dan menjalankan sistem pangan komunitas yang khas dengan jenis tanaman pangan yang beragam baik di sawah maupun ladang. Di Kalimantan suku-suku Dayak masih memiliki budaya lumbung pangan bersama di setiap desa, di Sumatera Utara, Di Sumatera selatan, Sulawesi dan Papua tradisi menyimpan bahan makanan baik sendiri sendiri maupun bersama dalam satu tempat masih berjalan. Masih menemukan sistem pengelolaan sumber-sumber agraria, pembenihan secara mandiri, pengembangan tehnologi budidaya, penyimpanan, pengolahan termasuk juga sistem distribusi atau pengaturan perdagangan yang dijalankan secara mandiri dan lebih adil. Walaupun demikian, tantangan berat Indonesia menghadapi jumlah penduduk. Menurut sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk mencapai 238,5 juta jiwa. Indonesia menjadi negara terbesar ke-4 di dunia dalam jumlah penduduk di bawah China, India, dan Amerika Serikat. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata tercatat sekitar 1,5 persen per tahun atau penduduk Indonesia bertambah sekitar 32,5 juta jiwa selama 10 tahun terakhir. Dengan laju sebesar itu, Indonesia merupakan kontributor ke-5 terbesar bagi pertambahan penduduk dunia, setelah China, India, Brasil dan Nigeria. Jumlah penduduk Indonesia akan mendekati 400 juta jiwa pada 2045, yaitu pada saat 100 tahun Indonesia merdeka. Kondisi masa depan Indonesia semakin sulit menghadapi 100 tahun merdeka, bila rakyat Indonesia tidak melakukan perlawanan atas orientasi globalisasi, maka krisis pangan melanda berkepanjangan. Inisiatif melakukan perlawanan atas orientasi globalisasi–sudah banyak dilakukan melalui praktek dan revitalisasi Lumbung Pangan Rakyat (LPR). Istilah Lumbung dikenal sebuah penyimpan–pengawet dan menjadi satu tradisi bagi komunitas local, baik di Jawa maupun luar Jawa. Bagi para petani, lumbung difungsikan sebagai sebuah lembaga atau paguyuban komunitas lokal, yang mengawal sistem pengendalian resiko krisis pangan bagi anggotanya melalui partisipasi awal secara adil. Material yang akan dilumbungkan bisa gabah (padi) atau hasil bumi lainnya seperti jagung, gandum, sagu kering dan lain sebagainya bersifat tahan lama. Siapapun anggota komunitas yang tergabung dalam paguyuban lumbung ini berhak memperoleh akses pinjaman bahan pangan, misalnya untuk memenuhi dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
7
kebutuhan pangannya di kala cadangan pangan rumah tangganya tidak tersedia lagi alias menipis. Modal lumbung terus dipupuk dengan menerapkan simpanan wajib bagi anggotanya sehingga ke depan memberi peluang bagi lumbung untuk memperkuat modalnya. Kekuatan ini memungkinkan lumbung membuka peluang usaha berbasis lokal yang memberi lapangan kerja bagi anggotanya, sehinggga dapat meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Proses transformasi pemahaman lumbung melalui pendidikan di komunitas pedesaan dan anggota masyarakat. Dari komunitas inilah lahir tokoh-tokoh perubahan atau aktivis lumbung (pangan berdaulat) yang bisa dijadikan sumber informasi dan referensi bagi komunitas lain yang ingin mengusahakan lumbung sebagai upaya untuk membangun kekuatan baru kedaulatan pangan lokal. Selanjutnya, lumbung-lumbung dari komunitas-komunitas ini akan saling berjejaring dalam rangka membangun kekuatan bersama sekaligus saling bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing anggotanya. Melalui lumbung ini pula terbangun relasi saling memahami dan menghargai antara produsen dan konsumen. Kepercayaan yang terbangun dari kedua belah pihak lebih substantif, sehingga tidak terjebak pada kepercayaan semu seperti halnya kepercayaan melalui harga-harga komoditas dan orientasi pangan. Kepekaan, kebersamaan dan solidaritas konsumen terhadap produsen diwujudkan dalam status keanggotaannya sehingga secara tersistem mereka saling membutuhkan dan menguntungkan. Bagi petani sebagai produsen pangan yang tergabung dalam lumbung, konsumen ini menjadi pasar alternatif yang penetapan-penetapan harga transaksinya berbasis kemanusiaan. Di Indonesia ada sekitar 77.000 desa/kelurahan. Bila ada 20.000 desa yang memiliki lumbung pangan, dan tiap desa itu memiliki 100 kepala keluarga (500 jiwa), maka anggota lumbung sudah mencapai lebih dari 2.000.000 keluarga. Kemudian, apabila tiap keluarga menyimpan 10 kg beras per bulan, maka lumbung bisa menghasilkan simpanan/cadangan bahan pangan sebesar 20 juta kilogram beras atau setara dengan 20.000 ton. Jumlah cadangan bahan pangan akan bertambah besar ketika perkembangan lumbung pangan di Indonesia bertambah. Jadi, lumbung yang dibangun komunitas lokal di pedesaan merupakan bagian dari organisasi urusan bahan pangan untuk menghadapi krisis pangan dan kesejahteraan umum masyarakat.
dok. Koesnadi Wirasapoetra/“Lumbung Desa” Melawan Liberalisasi Pangan/2015
8