LONG CU YA SIM Saduran : Kwao La Yen HO CIN HIONG brangkat pulang ka Gakciu dengan menyewa satu kreta yang ditarik kalde dari Seekiau, di sepanjang jalan dirawatin oleh Hui Yan dan terbantu oleh Kek Cie, sedang dari gunung Gu-tok-san sampai di sana (See-kiau), digendong oleh selirnya dengan bergantian sama anak lelakinya. Tentang riwayatnya ThoCin Hiong ditawan kawanan brandal sampai tertolong, dituturkan dalam Kang Ou I Jin, Pendekar Silat nomor pertama. Di tengah jalanan tidak terjadi apa-apa yang penting, pada suatu hari dia sampai diluar pintu kota Barat dari Gak-ciu, di mana terletak rumahnya itu popio sayhu, tetapi sepanjang ampir dua tahun, keadaan rumah tangganya Cin Hi-sudah terjadi perubahan besar kira ampir satu tahun berselang, nyonya Tho Cin Hiong SimCu Nio telah wafat karena sakit ulu-ati, dan itu waktu baru saja Siu Hun menikah dengan Nio Teng Hui beberapa bulan. Ini Nio Teng Hui berasal dari Seecie, bilangan provinsi Oupak, pada suatu waktu lantaran satu urusan ia dateng ka Gakciu dan dapat lihat pada SiuHun dan lantas jatuh cinta. Ketika cari tau ia mendapat keterangan bahwa itu gadis yang ia cintakan ayahnya justru lagi ditawan oleh kawanan rampok di Shoatang dan di rumah cuma tinggal sang ibu dan satu adik perempuan, sedang ia punya satu engko justru lagi pergi berguru ilmu silat di Kunlunsan. Ia lantas gunakan ini ketika baik buat majukan lamaran pada sang ibu. Nyonya Cin Hiong itu waktu lagi bingung, lantaran dalam rumah tidak ada orang lelakinya,tidak sempat mencari tau lebih jauh tentang itu pemuda yang melamar anak perempuannya, hanya bikin saja satu perjanjian bahwa Nio Teng Hui punya lamaran bisa diterima, bila ia mau masuk karumahnya keluarga Tho, tegasnya dipungut mantu. Nio Teng Hui terima ini perjanjian, hingga tidak lama ia lantas menikah pada Siu Hun dan berdiam dalam rumah keluarga Tho. Nio Teng Hui paham ilmu silat dan ilmu silatnya termasuk klas satu, karena ia muridnya Tiat Lo Han dari gunung Cek-cio-san di Cenghay tapel wates dengan provinsi Kamsiok. TiatLo Han termasuk pada cabang Kunlun, tetapi bukan satu guru dengan Tiau-see Su-thay dan Hong-tin Siangjin. Bermula Tiat Lo Han sanget sayang pada Nio Teng Hui yang sangat pintar dan giat belajar, tetapi belakangan dengan pelahan ia dapat kenyataan muridnya dalam beberapa hal tidak jujur dan tidak bisa diandailin, hingga ia tidak mau turunkan lagi ilmu silat yang lebih tinggi, sabaliknya saban-saban kasih ingetan pada sang murid bahwa orang hidup dalam dunia paling perlu musti berlaku jujur, sebab kajujuran paling terutama, jangan mengandail sama ilmu silat tinggi, sebab ilmu yang paling tinggi ada lagi yang lebih tinggi, cuma kajujuran saja tidak bisa dikelahkan. Rupanya Nio Teng Hui pun merasa bahwa sang guru mulai mencurigai dirinya, hingga biar pun ia tinggal lebih lama,tidak bisa harep dapat ilmu pelajaran lebih tinggi, lalu ia mencari alesan buat balik pulang ka tempat kelakhirannya di Seecie.Tiat Lo Han lihat sang murid
tidak bisa dididik buat jadi orang jujur, tidak mau menahan lebih lama, tetapi sebagai peringetan pengabisan kali, dengan samar ia bilang bahwa sesuatu muridnya musti berlaku jujur dan tidak boleh bikin kecewa namanya cabang Kunlun, sebagai pembela dari fihak bener dan musuh dari fihak setedan jahat; sedang murid-murid dari cabang Kunlun yang melanggar ini pelaturan, semuanya akan dihukum dengan bengis oleh orang-orang dan cabang Kunlun sendiri, terutama oleh yang menjadi guru dari orang tersebut; sebagai satu guru yang menyinta muridnya ia tetep mengharep supaya NioTeng Hui jadi seorang yang akan bikin namanya cabang Kunlun bertambah gilang-gumilang. Itu waktu sudah tentu saja Nio Teng Hui tidak berani membantah, padahal ia ingin supaya salekasnya bisa berlalu dari dampingnya sang guru.Tiat Lo Han yang bisa tebak muridnya punya pikiran, lalu menghela napas panjang, kamudian berkata: “Aku tidak putus mengharep supaya kau bisa bikin tambah gilang-gumilang namanya cabang kita; akan tetapi kita punya pelaturan harus dipegang keras, seandai katakau berlaku salah, terpaksa aku musti turun tangan, biar pun aku punya kecintaan terhadap kau ada sangat besar. Aku harep kau suka inget baik-baik aku punya pesanan.” Tatkala Teng Hui melihat mertuanya balik kembali atas pertulungannya Hui Yan dan Kek Cie bersama lainlain ahli silat jempolan, biar pun dalam hatinya merasa tidak enak, sebab ia tidak bisa jadi raja lagi di dalam rumah, tetapi di lakhirnya unjuk kagirangan besar, bisa bertemu dengan sang mertua lelaki dan tuaku yang lebih dulu la belum pernah lihat rupanya, terlebih lagi terhadap Hui Yan,yang berjasa besar dalam ini urusan, berlaku sangat hormat. Oleh karena itu juga, bukan saja Cin Hiong dan Kek Cie tidak merasa asing pada itu mantu dan moayhu yang baru dikenal, malah Hui Yan pun tidak menaro curiga apa-apa. Cumasaja Cin Hiong dan Kek Cie merasa sedih sekali atas kamatiannya sang istri dan sang ibu.Malah Hui Yan yang jujur sedihkan itu madu, biar pun diwaktu hidupnya tidak pernah berlaku manis padanya. Kek Cie berdiam satu bulan di rumahnya, kasehatan sangayah bertambah hari bertambah baik dengan bantuannya obat dan Hong-tin Siangjin; akhir-akhir Cin Hiong bisa berjalan,sekali pun musti pake tongkat. Kek Cie lantaran mau teruskan pelajarannya di Kunlun-san, setelah melihat ayahnya mulai jadi sehat, serta mendapat rawatannya Hui Yan yang menyinta dengan sungguh-sungguh,lalu pamitan buat balik kembali ka Kunlunsan. Sedari Kek Cie brangkat pergi, pelahan-pelahan dalam rumah-tangga keluarga Tho terjadi perubahan. Cin Hiongmulai merasa tidak setuju sama kelakuannya sang mantu hingga seringkali ia kasih ingetan pada Teng Hui supaya berlaku lebih jujur; tetapi Teng Hui punya tabeat memang dasarnya buruk, bukannya ia turut nasehatnya sang mertua, sabaliknya ia sering gosok istrinya supaya berfihak padanya, gosokan mana dilakukan di atas bantal kalau mau tidur. Ia tau bahwa istrinya sangat benci pada Hui Yan, maka gosokan dimulai dari ini jurusan. Siu Hun yang benci pada Hui Yan, dalam segala perkara ia sengaja cari-cari orang punya kesalahan,biar pun ia tau sampai baik ayahnya
yang masih sakit bergantung banyak sama Hui Yanpunya pengrawatan. Hui Yan yang sangat cinta pada suaminya, seberapa bisa menahan sabar, sebab kalau ia tidak bisa menahan sabar,niscaya suaminya yang masih sakit bisa jadi telahntar, terutama dari sebab nyonya Cin Hiong sudah meninggal dunia, Siu Hun yang lebih sayang pada suaminya sendiri, sudah tentu saja suker diharep bisa merawatin pada sang ayah, sedang Swat Ceng pun lebih menurut pada encinya, biarpun ia suka merawatin, ia rasa tidak seperti ia yang rawatin sendiri. Tetapi sesegera jau ia tidak ceritakan ini pengalaman pada suaminya, cuma merasa sedih saja di dalam hati. Pada suatu hari lantaran CinHiong sudah lebih seger dan kuat, ia pergi jalan-jalan kedalam kota buat ketemukan ia punya kenalan lama. Ia berpergian lama juga, baru ia balik pulang ka rumahnya. Tatkala ia sampai didepan pintu rumah mendadak ia dengar di sabelah dalam ada suara ribut-ribut Seperti suaranya orang-orang perempuan yang lagi ribut-mulut. Tersurung oleh perasaan yang ingin tau, ia bertindak masuk ka dalam rumah dengan tindakan indap-indap sembari pasang kuping. “Cis, perempuan, tidak tau malu! sudah diusir pergi masih tebel muka balik lagi ka sini!”kata suaranya Siu Hun dengan menghina. “Tetapi aku balik lagi ka sini buat merawatin kau punya ayah yang sakit,” kata suaranya Hui Yan dengan sedih. “Sekarang ayah sudah baik dansehat, tidak perlu lagi sama kaupunya rawatan!” kata lagi suaranya Siu Hun dengan ketus. “Kalau kau anggep begitu,”kata lagi suara Hui Yan dengan sasenggukan dan sember, “aku bersedia buat lantas berlalu dari sini.” “Sekarang juga kau musti lantas pergi dari sini!” “Lebih baik kau lantas pergi,” kadikngeran Swat Cengcampur mulut, supaya keadaan rumah tangga jadi lebih tentrem. Tentang perkara merawatin ayah aku pun bisa.........” Cin Hiong pikir sudah waktunya buat ia campur tangan, maka dengan tindakan yang sengaja dibikin berat ia melangkah masuk ka dalam pertengahan dalam, di mana itu percekcokan terjadi. Semua orang yang berada di situ, Hui Yan, SiuHun dan Swat Ceng jadi terpranjat dan tinggal bungkem. Ia mengawasin pada SiuHun dengan sorot mata tajem kamudian menanya: “Apa yang kau orang lagi bicarakan? Kenapa jadi ribut?” Buat saketika lamanya SiuHun jadi kamekmek dan tidak bisa menjawab. Swat Ceng tundukin kepala dengan perasaan bingung. Hui Yan buru-buru menyusut air matanya dan dengan cepet ia berkata: “Tidak apaapa, kita orang lagi membicarakan urusan rumah-tangga, yang bukan jadi urusannya orang lelaki.” Cin Hiong tau selirnya baik hati, sengaja maurahasia dengan berkata begitu akan tetapi ia sudah dengar terang apa yang kedua anakperempuannya telah ucapkan, maka ia berkata lagi pada anak-perempuannya yang besaran: “Apa kau tau kalau bukannya kau punya Ie punya daya upaya aku
tidak nanti bisa balik pulang ka sini? Dengan hak apakau mau usir pergi kau punya Ie, yang telah menulungin kau punya ayah, yang telah ukir kau punya kepala?” “Aku ada punya hak atau tidak, itulah aku tidak tau, tetapi aku tidak bisa tinggal sama-sama itu perempuan,” kata SiuHun dengan kepala batu. Mendengar omongannya ia punya anak yang sangat kurang1ajar, sudah berani bahasakan “itu perempuan” pada Hui Yan yang jadi ia punya bini muda dan itu ucapan kurangajar diucapkan di hadapannya,ia anggep anaknya tidak pandang mata padanya sebagai satu ayah,hingga darahnya jadi meluap. “Kau jangan kurang ajar di sini!” kata ia dengan gusar. “Kau tau ini rumah siapa? Aku yang berkuasa di sini. Kau mengarti?” Cin Hiong rupanya masih mau ucapkan perkatahan pedes, tetapi buru-buru Hui Yan ajak ia pergi ka kamarnya dengan saparo diseret. “Buat apa ladenin orang muda,” kata Hui Yan dengan suara membujuk tatkala dia sudah berada di dalam kamar. “Seumpamanya urusan tidak jadi beres, biarlah aku saja yang menyingkir dari sini. Sebab didalam kota ada tinggal aku punya adik perempuan dan moayhu, sama siapa aku bisa menumpang.” “Duluan ketika kau diusir tentu kau menumpang tinggal sama dia,” kata Cin Hiong dengan uring-uringan. “Cuma heran selamanya kau belum pernah ceritakan hal ini padaku.” “Perkara yang sudah liwat buat apa dibicarakan,” kata Hui Yan dengan membujuk. “Perhubungan ayah dengan anak ada lebih rapet dari perhubungan kau dan aku.” “Apa gunanya anak yang tidak sayang dan hormat pada orang tuanya! Aku bersengsara dalam tawanannya kaum brandal,bukannya ia yang menghindarkan!” kata Cin Hiong dengan sengit. Esokannya Nio Teng Hui da-teng minta bicara sama mertuanya, dan ia kasih tau bahwa Hui Yan musti berlalu dari ini rumah, kalau tidak, Siu Hun bersama Swat Ceng yang akan berlalu. Dengan gusar CinHiong kasih tau Siu Hun dan Swat Ceng boleh pergi persetan; akan tetapi Hui Yan musti tinggal di sini. Tatkala sang mantu mau berlalu, buru-buru di-tahan oleh Hui Yan, ia kasih pi-kiran buat tidak sampaikan CinHiong punya ucapan dan putusan di waktu gusar, besok siang ia akan dapat jawaban yang pasti tentang ini urusan.Teng Hui purapura kasih tau yang ia tidak campur dalam ini urusan, malah ia sudah membujukin istrinya supaya bikin abis ini persetorian. Cin Hiong menyautin dengan satu jengekan di idung. Tatkala Teng Hui berlalu,Hui Yan membujukin suaminya supaya bersabar dan jangan pandang ini urusan terlalu besar; tetapi Cin Hiong ang-gep anak perempuannya terlalu kurang ajar dan mantunya berpura-pura dan palsu, biar bagimana juga, ia tidak nanti kasihkan Hui Yan berlalu dari ini rumah. Akhir-akhir dengan banyak susah Hui Yan berhasil membujukin suaminya supaya pindah tinggal di rumah adik perempuannya — Hun Yan. Ia kasih tanggungan Hun Yan dan suaminya sangat manis dan tidak akan terjadi perkara yang tidak menyenangkan. “Terhadap sama kau dia berlaku sungkan dan manj
a,”kata Cin Hiong; “akan tetapi terhadap aku seorang lain, masatah bisa disamakan dengan kau?” “Kau bukannya seorang lain,hanya suamiku !” kata HuiYan. “Dengan memandang pada-ku, pasti sekali dia akan perlakukan kau sama dengan aku,” membujukin Hui Yan. “Tetapi, biar bagimana juga, tidak leluasa seperti tinggal dalam rumah sendiri,” kata Cin Hiong sambil menghela napas. Di hari yang berikutnya, TengHui dateng lagi buat mendengar kabar pasti. Hui Yan cegah suaminya bicara sama sang mantu, sebab ia kuatir terjadi percekcokan. Maka ia sendiri yang pergi ketemukan pada Teng Hui dan kasih tau ia ber-sama Cin Hiong yang akan berlalu dari ini rumah, karena ia sendiri mau merawatin terus pada Cin Hiong yang belum sembuh betul. Liau Teng Liong dan istrinya terima dengan manis pada itu tangmui yang tidak beruntung. Dia berperasaan halus, sama sekali tidak mau menanyakan apa-apa, tambahan lebih dulu dia sudah tau duduknya perkara dari Hui Yan,ketika duluan ia diusir pergi dari rumah keluarga Tho, sepanjang waktu Cin Hiong masih berada dalam tawanan kawanan rampok di Shoatang. Oleh karena Teng Liong berlaku hormat dan manis, Cin Hiong pun jadi tidak kikuk berdiam di rumah lain.Paribahasa ada bilang, perkara baik tersiarnya sajengkal, perkara, busuk tersiarnya sadikpa, perkara Siu Hun dan Teng Hui tidak akur sama orang tuanya dalam sedikit waktu sudah tersiar ka mana-mana, malah oleh orang-orang yang iseng dibumbuin lagi, hingga kadikngerannya jadi terlebih heibat.Cuma saja umumnya orang suka bawa cerita kanan dan kiri dan menyela buat lampiaskan napsunya, tetapi ampir tidak ada yang mau capein hati buat betulkan apa yang tidak betul. Kabetulan lantaran satu urusan penting, Tiausee Suthay liwat ka Pakkhia dan mampir karumahnya ia punya murid yang bernama Sou Lian Kou,ia pesan sang murid kalau pergi ka Selatan musti mampir dan tengokin pada Kiau Hui Yan dirumahnya Tho Cin Hiong yang baru ditulungin dari tangannya kawanan begal di Shoatang. Seterusnya Tiau-see Suthay tuturkan riwayatnya Hui Yan dan perhubungan dengan ia nya. Oleh karena Sou Lian Kou seringkali bikin perjalanan mengumbara buat menjalankan tujuannya satu hiapkek,membela fihak yang lemah dan menentangin fihak yang lebih kuat dan jahat, maka tidak lama sedari gurunya brangkat pergi, ia sendiri pun brangkat bikin perjalanan ka Selatan dengan menyamar sebagai satu buseng atau satu pemuda yang meyakinkan ilmu militair. Sebagaimana biasa ia campur tangan dalam urusan yang ia rasa tidak patut dengan berdiri di fihaknya orang yang dicurangin. Dengan bantuannya ilmu silat yang tinggi, selamanya ia bisa tulung fihak yang lemah dapatkan kapuasan. Suatu hari ia sampai di bilangan provinsi Oulam, oleh karena gurunya bilang keluarga Tho tinggal di Limsu terletak sepanjang lembah tengah Tongteng dan sabelah luarnya pintu kota Barat dari kota Gak-ciu, maka ia menuju ka ini jurusan buat mencari keterangan; akan tetapi apa yang ia dapat dengar di sepanjang jalan, semuanya membikin hatinya sangat mendongkol. Kalau ia kumpul dari berbagi-bagi keterangan yang ia dapat
kumpul, pertama, Cin Hiong dan selirnya, Hui Yan, lantaran tidak bisa akur dengan anak mantunya, sudah tidak berdiam lagi di rumahnya dikampung Limsu, kadua, sekarang Cin Hiong dan selirnyasudah pindah tinggal sama LiauTeng Liong dan istrinya, sebab istrinya Liau Teng Liong ada adik perempuannya Hui Yan. Sebagaian kabar bilang, Cin Hiong dan selirnya diusir oleh anak perempuannya yang digosok suaminya; tetapi sebagaian kabar bilang, Cin Hiong berlalu dari itu rumah atas kahendak sendiri, karena anak perempuannya tidak bisa akur dengan Hui Yan. Sou Lian Kou pikir, duduknya perkara yang betul, niscaya ia akan bisa dapat keterangan dari Hui Yan sendiri. Ia dapat keterangan Liau Tengliong dan istrinya berumah didalam kota Gakciu, maka dengan tidak ayal lagi ia menuju ka dalam kota dan mencari rumahnya Liau Teng Liong. Hui Yan merasa sangat heran ketika mendengar ada satu buseng cakep mencari padanya buat satu urusan sangat penting, maka ia ajak suaminya buat ketemukan itu buseng muda dan cakep. Tatkala itu buseng muda melihat Hui Yan keluar dengan dianterin oleh satu lelaki tua, dengan lantas ia bisa badik, itulah Hui Yan yang dianterkan oleh suaminya. Ia kasih satu tanda rahasia yang cuma dikenal saja di antara murid-murid-nya Tiau-see Suthay. Hui Yan lantas membales itu tanda, kamudian berkata: “Suheng ini tentu muridnya Tiau-see Su-thay?” “Aku ini kau punya sucie, sebab aku inilah yang disebut Sou Lian Kou dari Pakkiah,” kata ini buseng cakep dengan tidak terduga. “Ya, ya, aku sudah dengar tentang kau; tetapi ketika aku berguru pada suhu di gowa Hui-in-tong, kau sudah lama balik pulang ka Pakkiah,” kata Hui Yan yang hilang sama sekali kecurigaannya. “Sucie apa dateng dari Kieliansan, dan bagimana keadaannya Beng-ji?” “Bukan, aku dateng dari Pakkiah,” sahut Sou Lian Kou yang menyamar. “Aku sengaja dateng ka sini, sebab suhu yang perintah. Rupanya ia ingin tau bagimana sumoay punya keadaan sekarang.” “Terima kasih; baik juga,” sahut Hui Yan dengan cepet sambil tundukin kepala. “Suhu punya keadaan tentu semakin sehat dan waras.” “Suhu punya keadaan seperti biasa,” sahut Sou LianKou. “Cuma sekarang aku sangat ingin tau sumoay punya keadaan, supaya bisa dilaporkan pada suhu yang sengaja perintahkan padaku dateng kesini.” Cin Hiong yang masih sangat mendongkol terhadap anak perempuannya yang puthau (durhaka) dan mantunya yang palsu, lalu ceritakan dengan terus terang apa yang sudah terjadi, sabaliknya ia menyatakan tidak puas sama Hui Yan punya sikap yang sanantiasa mengalah saja. Sou Lian Kou menanyakan lagi beberapa keterangan yang ia rasa masih belum terang betul.Cin Hiong yang memberi keterangan sajelasnya, karena Hui Yan tinggal bungkem. Sou Lian Kou mendengarin dengan paras muka yang tidak berubah. Setelah Tho Cin Hiong menutur sampai di akhirnya, ia berpaling pada Hui Yan dan berkata: “Sumoay, apa kau suka anter aku pergi ka Limsu buat ketemu pada Siu Hun?”
“Tetapi apa perlunya?” membantah Hui Yan. “Perlunya ada banyak!” sahut Lian Kou. “Seumpamanya kau tidak suka pergi menganterin, aku pun bisa pergi sendiri.” “Kalau ia tidak mau pergi menganterin,” turut campur bicara Cin Hiong, “aku sendiri nanti anterin padamu ka sana.” “Tidak perlu terima kasih kau punya baik hati,” kata Lian Kou. “Biar aku akan perg isendirian saja.” “Aku tidak pernah bilang tidak mau menganterin kau ka sana,” kata Hui Yan dengan cepet. “Barusan aku cuma menanyakan apa perlunya. Lantaran kau bilang perlunya banyak,biar aku saja yang menganterin kau pergi ka sana.” “Kalau kau mau menganterin, itulah yang aku harep. Mari, kita pergi ka sana sekarang juga.” Dari sebab itu dua perempuan paham ilmu hui-hengsut, biar pun di waktu siang hari, marika tidak berani keluarkan seantero ilmu kapandaiannya, berjalan cepet seperti terbang, tetapi biar bagimana juga ada lebih cepet dari jalan-nya orang biasa. Tidak antara lama kamudian marika sudah sampai di kampung Limsu. Sou LianKou merandaik dan diturutin oleh Hui Yan, yang memandang ka orang punya dengan sorot mata menanya. “Sumoay, sabentar kau cuma perlu ajar aku berkenalan dengan Siu Hun dan suaminya, tetapi tidak perlu campur bicara,” kata Lian Kou. “Sekarang mari kita meneruskan perjalanan ka sana.” Tatkala dia sampai di rumahnya Tho Cin Hiong dulu,ternyata pintu depannya dikunci dari dalam. Hui Yan lalu mengetok pintu, berselang lama juga baru dibukain. Orang yang membuka pintu ternyata Nio Teng Hui, suaminya SiuHun. Setelah melihat pada Hui Yan bersama satu buseng cakep, di paras mukanya kalihatan sedikit perasaan kaget, tetapi buru-buru ia menanya pada Hui Yan: “Oh, kiranya Ie! mau ketemukan Siu Hun? Ia sekarang ada di dalam, nanti aku kasih tau padanya. Mari masuk dan duduk di pertengahan, sepanjang waktu aku kasih ia kabar tentang kau punya kadatengahn.” Hui Yan dan Lian Kou ucapkan terima kasih, sambil mengikutin masuk ka dalam dan berduduk di pertengahan. Dalam pikirannya Hui Yan, begitupun Lian Kou, merasa sangat heran mengapa tidak ada bujang yang membukai pintu. Belakangan satu bujang lelaki membawain dua cangkir air teh buat tetamu, barulah dia mengarti, lantaran mau irit ongkos cuma memakai satu bujang saja. Akan tetapi dia menunggu lama sekali barulah klihatan Siu Hun muncul. “Kau mau apa? Dateng kesini ada urusan apa?” begitulah menanya Siu Hun sesegera lekas ia menampak pada Hui Yan. Orang yang ditanya jadi kamekmek dan tidak bisa memberi jawaban dengan lantas. Sou Lian Kou melihat itu tingkah laku yang sangat kurang ajar jadi sangat mendongkol. “Kau ini yang bernama Siu Hun! melihat kau punya kelakuan yang kurang ajar dan sombong, tidak heran kalau kau sudah berani usir kau punya ayah buat kasih tempat pada kau punya laki!” bertreak Lian Kou dengan sengit. “Ini Hui Yan yang sudah tulungin kau punya
bapa, tetapi kau sudah usir pergi seperti satu anjing!” “Kau ini siapa? Kenapa campur orang punya urusan rumah tangga?” menanya SiuHun dengan angkuh. “Aku bernama Sou LianKou dari Pakkiah dan sekarang bikin perjalanan dengan menyamar sebagai satu lelaki,” sahut orang yang ditanya dengan jemu. “Kalau kau mau tau, Hui Yan ada aku punya sumoay. Sedang kau punya urusan rumah tangga yang sangat bagus, semua orang yang berdarah angat, kacuali binatang yang berdarah dingin, ada hak buat turut campur!” “Tetapi aku tidak suka kau campur tangan dalam kita orang punya urusan tidak perduli kau ini siapa!” sahut SiuHun dengan sombong. “Aku musti campur dalam ini urusan yang melanggar kebajikannya manusia! Kau ini ada satu anak yang sangat puthau (durhaka) dan bermuka sangat tebel! Pendek, ini urusan sedari aku dengar kabar saja sudah jadi sangat mendongkol, sekarang tambahan menyaksikan kau punya tingkah laku yang sangat jumawa, pasti saja jadi sangat sebel dan darahku jadi mendidi...” “Brenti, sudah cukup! Sekarang juga berlalu dari aku punya rumah!” kata Siu Hun dengan mendongkol, tetapi tidak urung paras mukanya berubah merah lantaran liangsimnya timbul. “Aku lantas akan berlalu pada sasudahnya kasih hajaran pada ini anak durhaka! Tetapi aku dengar kabar kau ada faham ilmu silat, maka lebih baik kau keluar dari dalam rumah supaya aku leluasa kasih hajaran padamu.” Hui Yan mau menyegah supaya jangan terjadi kaributan,dan ia sampai tau ilmu silatnya Siu Hun ada sangat rendah,hingga kalau diserang oleh Lian Kou niscaya Siu Hun jadi cilaka; akan tetapi pada sabelumnya ia sempat menyegah, tiba-tiba dari dalam rumah berlompat keluar Nio Teng Hui, Siu Hun punya suami, gerakannya ada begitu gesit, tidak berbeda sebagai satu kucing. Ia pikir kalau Nio Teng Hui yang bertempur sama Lian Kou,sedikitnya ada lebih berimbang, hingga ia urungkan niatannya yang semula. “Kau punya kadatengahn disini, rupanya dengan sengaja mau cari setori,” kata Nio Teng Hui pada Sou Lian Kou. “Biarlah, aku sebagai suaminya Siun Hun berdiri di fihaknya buat meladenin pada kau yang menyeruduk seperti satu kerbo gila!” “Memang kau ada hak buat membelakan kau punya istri,sebagai gantinya aku akan kasih hajaran padamu,” kata LianKou dengan adikm. “Mari keluar, aku akan kasih hajaran lebih dulu padamu, kamudian baru gilirannya kau punya istri yang jadi rusak disebabkan kau punya hasutan!”sembari berkata begitu ia berlompat ka lataran rumah sembari gapaikan tangannya. “Gampang saja mau kasih hajaran pada orang lain, jangan-jangan kau sendiri yang terguling atau dibikin mampus!”kata Teng Hui yang juga lantas berlompat ka lataran rumah. Oleh karena Lian Kou sudah lihat gerakannya Teng Hui sebagai seorang yang berilmu tinggi, malah gerakannya banyak mirip dengan ilmu silat dari cabangnya— cabang Kunlun, maka lebih dulu ia sudah berhati-hati, tatkala Teng Hui sudah berlompat keluar dari dalam rumah, lalu ia kasih tanda dari cabang Kunlun, supaya fihak lawanannya tau ia dari cabang
Kunlun. “Ya, ya,aku pun dari cabang Kunlun,”kata Teng Hui sembari membales kasih tanda sebagaimana layiknya; “akan tetapi biarpun dari satu cabang, tak urungaku musti bikin kau terguling,karena kau terlalu menghina pada istriku.” “Itulah kau jangan kuatir, sebab pasti sekali aku akan kasih hajaran pada ini murid dari cabang Kunlun yang sudah menyimpang dari jalan lempang. Aku cuma kasih kau tau saja bahwa orang yang kasih hajaran padamu bukan orang dari lain cabang.” Setelah berkata begitu, LianKou lantas menyerang padaTeng Hui dengan seruh, sebab ia ingin salekasnya bikin beres ini urusan, kamudian akan kasih ajaran pada orang yang paling berdosa. Itu waktu Hui Yan dan SiuHun pun sudah keluar dari dalam rumah, sebab yang tersebut duluan mau lihat ilmu silatnya Lian Kou, seumpamanya kateter ia berniat membantuin sedang Siu Hun merasa sangat kuatir suaminya yang ia sangat sayang kana dirubuhkan oleh Lian Kou. Malah SwatCeng pun keluar, lantaran ia dengar suara ribut-ribut. Ternyata Nio Teng Hui bukan satu lawanan empuk, karena sesuatu cara bersilat yang Lian Kou gunakan, Teng Hui ada kenal baik, malumlah lantaran dari satu cabang. Oleh karena Lian Kou ingin supaya urusan lekas tamat, lalu ia gunakan ilmu silat tiat-see-hiu, yang cuma bisa dilawan oleh ilmu tongcu-kungoan-it-khi-kang, yaitu samacem ilmu khikang yang cuma bisa diyakinkan oleh seorang yang sama sekali tidak pernah campur sama perempuan. TengHui tidak kenal tiat-see-hiu, selainnya itu ia sudah menikah,sudah tentu taruh kata ia sudah meyakin tongcu-kungoan-it-khikang jadi tidak ada gunanya lagi. Beruntung Lian Kou tidak mau menyerang ka jurusan ulu-ati yang bisa berakhir dengan kamatian, hanya ia menyerang ka jurusan Teng Huipunya pundak kanan. Dalam saat itu juga Teng Hui rubuh dengan mengeluarkan satu treakan ngerih. Siu Hun memburu pada suaminya yang rubuh, buat dapat kapastian apatah suaminya binasa atau tidak. TernyataTeng Hui cuma patah tulang pundaknya dan pingsan. Lian Kou menghamperin dan berkata pada Siu Hun: “Sekarang kau punya giliran,sebab kau yang paling berdosa! Dari sebab kau pandai ilmu silat, berdiri dan bersedia buat tangkis aku punya serangan.” Kui Yan buru-buru dateng menyelak sambil berkata: “Ini satu kau kasih ampun saja. Suaminya sudah dapat kau punya hajaran keras, aku rasa sudah sampai cukup.” Belum sempat Lian Kou menyaut, Siu Hun sudah berlompat bangun dan berseruh: “Kau sudah bikin suamiku cilaka dan sekarang giliran kubikin pembalesan padamu !” Hui Yan tidak kaburu menyega, Siu Hun sudah maju menyerang pada Lian Kou, cuma saja dia satu sama lain punya ilmu silat terpaut sangat jauh, seringkali lantaran gusarnya Siu Hun menyerang dengan tidak lindungin diri sendiri, kalau saja Lian Kou mau, niscaya Siu Hun sudah binasa dalam sedikit tempo. Hui Yan mengarti Lian Kou tidak mau binasakan Siu Hun punya, jiwa, maka ia cuma berkata saja: “Sucie, harep suka kasihanin padanya, sebab ayah dan engkonya semua sangat cinta
padanya.” Lian Kou tidak menyaut, tetapi ia tangkis serangannya Siu Hun sebagai kucing permaenkan tikus. Pada satu kali, pada sabelumnya Hui Yan kaburu menyegah, Lian Kou dengan gunakan tiga jeriji tangannya ketok Siu Hun punya lengan kanan, siapa seperti orang yang terpagut uler berbisa mengeluarkan satu jeritan keras dan terus rubuh ka muka bumi. Hui Yan dan Swat Ceng dengan berbareng memburu pada orang yang rubuh, ternyata Siu Hun punya lengan kanan tulangnya patah, sedang uratnya pun putus, hingga buat seumur hidupnya tinggal cacat dan itu lengan tidak akan bisa digunakan lagi. Hui Yan dan Swat Ceng terbantu oleh itu bujang lelaki,angkut Siu Hun dan suaminya ka dalam rumah, diam-diam tinggalin sabungkus obat bubuk buat luka, supaya luka-lukanya Siu Hun dan suaminya lekas menjadi sembuh. Kamudian Hui Yan ajak Lian Kou balik pulang ka rumahnya Liau Teng Liong. Sou Lian Kou cuma nginep tiga malem, kamudian ia pamitan pada Hui Yan dan tuan rumah suami istri, karena ia mau meneruskan perjalanannya ka Selatan. Ia pesan pada Hui Yan, di waktu baliknya tentu ia akan mampir lagi. Pada Cin Hiong ia minta maaf lantaran sudah kasih hajaran keras pada Siu Hun yang sudah melanggar wet kebajikan bangsa. manusia; tetapi ini urusan ia yang tanggung jawab buat segala buntutnya di lain hari. Nio Teng Hui sedari kana Sou Lian Kou punya tiatseehiu, biar pun di bagian yang keras dan tidak jadi binasa; tetapi tulang pundaknya jadi remuk, hingga ketika lukanya sudah jadi rapet kembali, tangan kanannya jadi keplek. Sedang Siu Hun lantaran tulang dan urat-urat lengan kanannya jadi patah dan putus lantaran diketok oleh Lian Kou, biar pun lukanya sudah sembuh lantaran,obat bubuknya Hui Yan, seumur hidupnya tinggal sengkok dan tidak bisa digunakan lagi. Sudah tentu saja dia sangat sakit hati pada Sou Lian Kou, yang marika anggep sudah turut campur lain orang punya urusan. Bagi Siu Hun terhadap Sou Lian Kou tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia tidak bisa pikir suatu jalan buat bikin pembalesan. Tetapi ada lain sekali bagi Nio Teng Hui, yang biasa mengurek dan batinnya memang buruk. Ia tidak segan berbuat perkara heibat, asal saja bisa sampaikan ia punya maksud. Ia pikir kalau minta tulung pada orang-orang dari. Cabang Kunlun, yang senantiasa berbuat jujur, bukan saja ia akan mendapat bantuan, tetapi sabaliknya akan dapat comelan, terutama ia punya guru sendiri, Tiat Lo Han, jangan harep bakal mendapat bantuan. Ia dapat kabar Him Jin Lip binasa dalam tangannya Kim-gan-tiao Ho Piu, ketika dia mau menulungin pada Cin Hiong, ia punya mertua, yang ditawan oleh kawanan penyamun di Shoatang, antaranya teritung Him Jin Lip sendiri. Gurunya Him Jin Lip, terkenal dengan nama pertapahannya Co-pao Toojin dan bertapa di atas gunung Hoasan, yang terletak dalam bilangen provinsi Siamsay. Oleh karena Co-pao Toojin adadari cabang Kongtong dan muridnya binasa di tangannya Kim-gantiao Ho Piu dari cabang Siaolim yang membantu pada orang-orang dari cabang Kunlun. Inilah ada satu ketika bagus buat obor Co-pao Toojin supaya baleskan ia
punya sakit hati terhadap Sou Lian Kou yang termasuk pada cabang Kunlun. Setelah lukanya sudah sembuh, pada istrinya ia bilang mau pergi ka Utara buat berobat ia punya pundak yang rusak. Ia pesan istrinya kalau orang tanyakan padanya supaya dikasih keterangan begitu. Di hari yang berikutnya NioTeng Hui lantas bikin perjalanan ka Utara dengan bekalan secukupnya; tetapi setelah jauh dari rumahnya ia lantas menuju ka Hoasan dalam bilangan provinsi Siamsay. Pada suatu hari ia sampai dibawah kaki gunung Hoasan. Ia tanyakan ampir semua penduduk tani di sakiternya itu tempat, tetapi tidak satu yang kenal pada Co-pao Toojin. Ia pikir tempat kadiamannya orang yang berilmu tinggi, tidak terlalu gampang dicari, sebab tidak bergaul dengan.orang yang kabanyakan. Kalau satu waktu terpaksa musti berurusan sama orang-orang dalam dunia, selamanya gunakan nama pedengan. Dengan begitu sudah tentu saja tidak dikenal oleh kabanyakan orang. Teng Hui pikir jika ia ubek-ubekan mencari di atas gunung Hoasan, akhirnya tentu ketemu. Ia brangkat naek gunung dengan membekal makanan kering dan air, sebab ia tau ini perjalanan tentu lama. Suatu hari ketika ia sudah naek sampai di tengahtengahnya itu gunung yang sangat lebat utannya, ia menjadi sangat heran ketika mendengar suaranya suling yang biasa ditiupoleh anak angon-gombala. Sebab ia pikir di atas gunung yang begini tinggi cara bagimana ada orang yang mamiara heiwan. Justru ia lagi berpikir dari dinding lamping gunung sabelah depan, kalihatan mendatengin satu kerbo besar dan gemuk, diblakangnya ada berduduk dengan anteng satu gombala sembari meniup suling. Itu gombala kira berumur tujuh atau delapan tahun, jika dilihat dari romannya dan potongan tubuhnya. Nio Teng Hui maju beberapa tindak mengandang di depan orang punya perjalanan. “Siauko, terima aku yang amat rendah punya hormat,” kata ia sambil menyoja dan kadua tangannya ampir mengenakan muka bumi. “Kalau boleh aku menumpang tanya, tempat pertapahannya Co-pao Toojin dimana?” Itu anak angon brenti meniup sulingnya, memandang pada Nio Teng Hui dari atas sampai kabawah, dari bawah balik lagi ka atas. “Kau ini siapa ?” menanya ia akhir-akhir. “Cari Co-pao Too-jin ada urusan apa ?” “Aku Nio Teng Hui dari kampung limsu, asal dari Seecie dalam bilangan provinsi Ou-pak,” sahut Teng Hui dengan hormat. “Sedang aku dateng cari Co-pao Toojin membawa suatu kabar penting buat ia nya.” “Tidak ada kabar penting buat orang pertapahan!” kata itu anak dengan sikap kurang senang. “Orangorang pertapahan tidak urus salah atau benarnya perkara di dalam dunia. Kau punya kadatengahn tidak lain membawa “salah dan benarnya” urusan di dalam dunia. Maka aku kasih pikiran supaya kau lekas balik pulang, sebab kau tidak nanti bisa bertemu dengan Co-pao Toojin yang tidak ingin campur tau urusan di dalam dunia.” Teng Hui yang bandail tidak mau mundur mentahmentah, kalau jauh-jauh dengan membuang banyak tempo dan tenaga, ia tidak bisa sampaikan maksudnya,
itulah sangat kecewa dan buat selama-lamanya ia tidak bisa membales sakit hati. Ia pikir ini anak angon tentu orangnya Co-pao Toojin, dan itu omongan , tentu ia yang telah hajarin, maka kalau ia ucapkan omongan pedes buat mengobor,tentu ini anak akan sampaikan pada Copao Toojin, dengan begitu sedikitnya ia akan mendapat ketika buat bertemu sama Co-pao Toojin. Ia sengaja tertawa bergelak-gelak, kamudian ia keluarkan satu suara jengekan dari lobang idung. “Orang pertapahan yang sangat alim!” kata ia seperti orang bicara sendirinya. “Tetapi murid sendiri tidak bisa lindungin dan nama baiknya cabang tidak bisa belakan! Satu orang pertapahan yang sangat bagus!” “Apa kau bilang ?” menanya itu anak angon. “Aku bilang muridnya Co-pao Toojin dibunuh orang dan keagungannya cabang Kongtong diiles-iles dan masuk ka pecomberan; tetapi Co-pao Too-jin berlaga tidak dengar dan tidak lihat, malah orang yang sengaja dateng memberi kabar dari tempat jauh telah dilawan dengan alesan kosong!” kata Teng Hui yang sengaja mengobor. “Aku sengaja dipesan buat ucapkan itu semua perkatahan,” kata itu anak angon. “Sebab beberapa bulan yang lalu, guru besar Pek-leng Cinjin telah perintahkan satu muridnya membawa satu surat buat melarang suhu campur tau urusan dunia supaya tinggal selamat dan jauh dari bahaya, aku inget ada beberapa baris sairan yang kira-kira berbunyi begini: “Kalau mau diri tinggal selamet dan jauh dari bahaia, “harus kunci rapet pintu gowa “dalam dunia punya urusan benar dan salah, “tulikan kuping dan butakan mata.” “Selainnya itu ada diterangkan juga tentang binasanya HimJin-lip lantaran salahnya sendiri,hingga tidak ada alesan buat belakan padanya. Inilah sebabnya guruku terus kerem diri di dalam gowa.dan tidak mau campur urusan dunia. Tidak suatu orang yang ia mau ketemukan. Oleh karena itu juga, tidak ada gunanya kau mau ketemukan padanya. Sedang aku sendiri dilarang keras anterkan orang yang mau bertemu padanya.” Sahabis berkata begitu, itu anak angon jalankan. Ia punya kerbo tunggangan dan tiup lagi suling yang ia bekal. Nio Teng Hui buat saketika lamanya jadi tidak berdaya dan membisu.. Belakangan ia kejer itu gombala dan berkata: “Biar pun kau tidak mau anterkan aku pada gurumu, tetapi sedikitnya kau suka kasih tau di mana tempat pertapahannya, agar aku bisa pergi ketemukan sendiri padanya.” Itu anak angon golengkan kepala. “Kau boleh cari sendiri saja!”kata ia. Nio Teng Hui berpikir apa yang ia musti berbuat. Kalau ia kuntit itu anak angon terang sekali ia tidak bisa cari tempatbertapahannya Co-pao Toojin, karena ia memangnya tidak suka kasih tau sang guru punya tempat pertapahan; menurut dugahannya itu tempat pertapahantentu tidak jau dari sini, asal saja ia bisa berlaku teliti dan sabar tentu bisa ketemu. Ia pandang sakiternya itu tempat buat ciptakan dugadugahannya itu tempat pertapahan kira-kira terletak di
sabelah mana. Ternyata di situ tempatnya tidak cukup luas buat satu gowa atau pun tempat tingalnya seorang pertapahan, biar yang paling sadikrhana sekali pun.Ia inget itu gombala dateng dari lamping gunung sabelah atas,lalu ia maju ka itu jurusan buat melihat keadaan tempat di sana. Sasampainya ternyatautan cemara yang sangat lebat diselang seling sama pohon pek yang tidak terlalu besar, jika ditilik dengan teliti, orang bisa dapat anggepan bahwa itu ada perbuatannya manusia, bukannya ciptahan alam yang sawajarnya. Buat saketika ia berpikir, kamudian ia bertindak menghamperin ka jurusan pohon pek yang salahng-seling diantara pohon cemara. Ia menurutin itu pohon pek buat maju ka jurusan dalam; tetapi semakin dalam ia lihat keadaannya sama saja, semuanya utan cemara yang sangat lebat diselang-seling oleh pohon-pohon pek, malah ia jadi kesasar dan tidak bisa keluar lagi dari itu utan, sebab keadaannya semua sama dania jadi tidak tau musti keluar dari mana. Setelah ia ubek-ubekan didalam itu utan beberapa jam lamanya, bukan saja ia tidak bisa ketemukan itu tempat pertapahan yang ia cari, malah ia tidak bisa keluar lagi dari dalam itu utan cemara, yang keadaannya semua sama saja. Saking cape dan lapar lalu ia berduduk di atas tanah buat mengaso dan bikin hilang laparnya dengan memakan makanan kering yang ia bekal. Setelah jadi seger kembali, lantaran hilang capenya dan perut tidak lapar lagi. Ia celingukan buat memperhatikan keadaan di sakiternya, dengan pelahan ia mendapat kenyataan bahwa derekan pohon-pohon pek di hadapannya ada yang menjurus ka kanan, kamudian terus lempang ka depan, tetapi jika tidak ambil perduli pada derekan pohon-pohon pekyang lempang, hanya terus saja ka jurusan kanan, selamanya ada derekan pohon pek yang biluk ka jurusan kanan. Ini keadaan sudah membikin Teng Hui yang cerdik jadi berceket. Buat mendapat kapastian ia balik ka jurusan blakang, di itu jurusan sekalipun ada derekan pohon-pohon pek yang membiluk ka kanan, tetapi cuma enam kali biluk ka kanan, lantas semuanya berderek lempang ka depan,begitu pun keadaan yang disabelah kirinya, cuma itu satu derekan yang terus membiluk ka kanan tidak ada putusnya. Tatkala ia balik lagi ka tempat di mana barusan ia mengaso dan makan makanan kering, ternyata saban lima pohon pek yang menjurus ka kanan, cabangnya Yang sabelah kanan dipapas hingga daonnya tidak lebat seperti yang di sabelah kiri. Ini pendapatahn sudah membikin Nio Teng Hui jadi girang, karena ia pikir akhir-akhir ia akan ketemukan tempat pertapahannya Co-pao Toojin. Lantaran sangat kagirangan keadaannya yang lesu bersumanget lagi. Ia rnulai lagi pengosutannya dengan menurutin derekan pohon-pohon pek yang membiluk ka kiri, dengan tidak memperdulikan pada derekan yang lempang, ternyata saban lima pohon pek yang membiluk ka kanan, pasti cabangnya yang sabelah kanan dipapas, hingga daonnya tidak gomplok seperti yang sabelah kiri, sekarang Teng Hui sudah mempunyai tujuan yang pasti, ia terus mengikutin derekan pohon pek yang membiluk ka kanan dengan tidak ambil perduli derekan yang lempang, akhir-akhir ia keluar dari itu utan cemara dan sampai disatu lapangan yang rata. Di
sabelah sananya itu lapangan terdiri satu greja, yang tembok-temboknya disapu kapur warna kuning, hingga sudah membikin Teng Hui jadi sangat girang, sebab ia anggep sekarang ia sudah ketemukan tempat pertapahannya Co-pao Toojin, dengan tidak bersangsi lagi ia lintasin itu lapangan dan menghamperin pada itu greja. Akan tetapi sasampainya ia seperti kana diguyur satimba air dingin, karena kadua pintunya itu greja ditutup rapet, keadaannya begitu sunyi sebagai juga satu greja kosong. Teng Hui tidak jadi putus harepan lalu maju dan mengetok pintu. Lama sekali tidak dapat penya'utan, tetapi ia mengetok terus dengan sabar, akhir-akhir kesabarannya dapat upahan. Pintu dibuka oleh satu bocah yang bersamahan umur dengan itu gombala kerbo. Tatkala melihat pada Teng Hui lantas saja unjuk paras muka heran dan kaget. “Cara bagimana kau bisa dateng kesini ?” menanya ia dengan suara gegetun. “Kau punya kadatengahn ka sini mau ada urusan apa?” “Aku bisa dateng ka sini dengan menurutin derekan pohon pek yang membiluk ka kanan,” sahut Teng Hui dengan sabenernya. “Sedang aku punya kadatengahn ka sini, perlu ingin bertemu dengan suhu.” “Suhu lagi berpegian dan tidak ada di dalam greja,” sahut itu bocah dengan pendek. “Kalau begitu aku akan tunggu sampai ia balik pulang.” “Belum tentu kapan ia akan balik poalang. Lagian kau akan menunggu di mana? Sebab dalam greja tidak bisa terima orang asing.” “Kalau dalam greja tidak bisa terima orang asing, aku akan menunggu dalam utan cemara.” “Di sana tidak ada tempat buat berlindung.” Sahabisnya berkata begitu ia lantas tutupkan lagi pintu greja yang ia cuma buka sabelah. Teng Hui tau Co-pao Toojin tentu ada di dalam greja, cuma tidak mau ketemukan padanya. Ia pikir kalau mau bikin pembalesan sakit hati, harus ngalamkan kasengsarahan yang paling heibat, di lain fihak ia bisa unjuk pada Co-pao Toojin tentang kakerasan hatinya. Ia lantas balik lagi ka dalam utan cemara, mencari tempat baik buat liwatkan malem. Beruntung ia ada bekal banyak pakean. tebel buat di perjalanan hingga itu waktu ia bisa gunakan buat hindarkan diri dari serangan angin dan hawa dingin. Beruntung itu waktu sudah liwat musim ujan, hingga ia tidak usa kuatir serangannya air ujan. Ia masih sedia makanan kering buat satu minggu lamanya. Menurut ia seumpamanya bekalan makanannya sudah abis masih juga belum bisa bertemu Co-pao Toojin ia akan berpuasa sampai sesegera jauh ia bisa tahan, tetapi biar bagimana juga ia tidak nanti berlalu dari itu tempat dengan tangan kosong. Ini sudah terjadi, dalam tuju hari pertama ia masih bisa tahan dengan tidak makan dan minum, tetapi, seterusnya ia jadi begitu lemes dan tidak bisa bergerak. Sapuluh hari kamudian ia jadi pingsan dan tidak tau apa yang telah terjadi atas dirinya. Pada waktu ia sedar lagi dari pingsannya, ia mendapat kenyataan bukan reba di atas tanah bawahnya pohon cemara, hanya diatas satu pembaringan yang memakai kasur empuk dan selimut, sedang kepalanya pun berada di atasnya satu bantal yang lemas dan
empuk. Ia berklisik dengan niatan berbangkit, tetapi tidak bisa, sebab tubuhnya sangat lemah. Itu waktu satu tangan mamegang pundaknya, sebagai melarang ia bergerak. Ia melekin lagi matanya da nmengawasin ka jurusan itu lengan yang mamegang pundaknya. Ternyata itu lengan sangat kecil sebagai lengannya satu anak-anak, dengan pelahan ia mendapat kenyataan, itu lengan ada bahu tangannya itu bocah yang membukain pintu greja, tatkala ia baru dateng ka situ. “ Sekarang aku berada di mana ?” menanya ia dengan suara lemah. “Kau sekarang berada dalam greja,” sahut itu boca, “tetapi oleh karena kau punya keadaan sangat lemah, tidak boleh banyak bergerak dan tidak boleh banyak omong. Kau berada di dalam utan cemara setengah bulan lamanya, aku saban hari perhatikan kau punya keadaan, ku tika kau jadi pingsan aku lekas kasih tau pada suhu; tetapi ia tidak bilang apa-apa. Semakin lama kau punya keadaan semakin heibat dan saban hari aku kasih tau pada suhu, dan baru kamaren sore ia kasih perintah supaya aku angkut kau kedalam greja dan direbahkan disini dengan dikasih sedikit bubur encer dan obat yang suhu kasihkan. Tetapi sekarang kau punya keadaan masih belum kuat, maka harus tinggal rebah dan tidak boleh banyak omong.” Tiga hari lamanya Teng Hui tinggal rebah dengan dikasih makan bubur encer tercampur obat. Akhirnya ia bisa berbangkit dan minta itu bocah kasih tau bahwa ia minta mengadikp pada Co-pao Toojin. Itu bocah balik kasih kabar bahwa gurunya bersedia buat bicara padanya di esok pagi. Di pagi yang berikutnya TengHui salin pakean bresih yang ia ada bekal dan itu bocah anterkan ia pergi ka satu kamar laindengan meliwatin satu pertengahan Samcengtian, satu pertengahan sembayang di mana ada dipuja Lie Lo-cu, Goan-sieThian-hun dan sebagainya. Ketika ia masuk ka dalam suatu kamar, yang letaknya di sabelah sampingnya Sam-ceng-tian, ternyata di atas suatu krosi depannya suatu meja, ada berduduk satu saykong yang rambut dan kumisnya sudah dauk dan kira berumur anampuluhtahun. Teng Hui dengan lantas berlutut dan menyoja di hadapannya itu saykong. “Murid Nio Teng Hui memberi hormat pada suhu supaya selamat panjang umur,” kata ia dengan suara marendah. “Kau ini bukantah muridnya Tiat Lo Han dari cabang Kunlun?” menanya itu saykong tua. “Suhu punya perkatahan ada bener sekali,” sahut Teng Hui. “Aku dengar kabar kau sudah menikah pada anaknya ThoCin Hiong,” kata lagi itu saykong. “Apa ini kabar betul?” “Betul.” “Apa sebabnya kau ingin bertemu sama pinto?” “Muridnya dateng membawa kabar tentang kamatiannya susiok Him Jin-lip, yang binasa ditangannya Kim-gantiao Ho Piu, satu orang dari cabang Siaolim, ketika sakawanan orang-orang dari cabang Kunlun pergi menulungin pada mertuaku diShoatang.” “Ini hal pun aku sudah tau dan binasanya Him Jinlip ada salahnya sendiri.” “Tetapi orang-orang dari ca-bang Kunlun bilang suhu
marikanya tidak bikin pembalesan lantaran takut.” “Siapa yang bilang pinto takut?” “Belum lama ka rumah kita ada dateng Sou Lian Kou muridnya Tiau-see Suthay dari cabang Kunlun buat campur tangan dalam kita punya urusan rumah tangga. Bukan saja aku punya pundak telah dibikin patah, malah istriku lengan kanannya dibikin patah tulangnya dan dibikin putus urat-uratnya, hingga buat selama-lamanya kita jadi cacat. Tatkala itu aku jadi jengkel dan bilang mau berguru pada orang dari cabang Kongtong buat bikin pembalesan. Sou Lian Kou lantas jebikan bibirnya dengan suara menghina berkata : “Lihat itu Him Jin-lip bukantah murid dari cabang Kongtong, biar pun ia telah binasa di tangannya orang dari cabang Siaolim, sampai sekarang gurunya tidak berani bikin pembalesan! Ini ada satu tanda ilmu cabang Kongtong jauh lebih rendah dari cabang Kunlun. Maka jika kau mau bikin pembalesan dengan minta bantuannya orang-orang dari cabang Kongtong, aku sama sekali tidak takut!” “Masatah ia berani ucapkan itu macem perkatahan? Apa bukannya kau punya karangan sendiri?” “Apa, yang barusan aku ucapkan masih belum heibat, masih ada lagi ucapan yang lebih keras, tetapi aku tidak berani ulangkan, sebab kuatir suhu jadi murka.” “Apa ia sudah bilang?” menegeskan Co-pao Toojin. “Kau boleh ulangkan saja, aku tidak jadi gusar.” “Ia telah kata: “Lihat saja Co-pao Toojin, biar pun ia punya murid yang paling disayang, HimJin-lip, sudah binasa, toh ia tidak berani bikin pembalesan apa-apa.” Co-pao Toojin tidak berkata apa-apa; tetapi omongannya Teng Hui sedikit banyak sudah menusuk hatinya. “Selainnya itu, apa lagi kau punya maksud, makanya ingin bertemu sama pinto” menanya ia dengan umpetkan perasaan amarahnya. “Aku ingin juga suhu obatin aku punya pundak yang sudah remuk tulangnya, kamudian berguru ilmu silat pada suhu,” sahut Teng Hui. “Mari kasih aku preksa kau punya pundak yang telah remuk tulangnya,” kata Co-pao Toojin. Teng Hui kasih lihat ia punya pundak kanan. Co-pao Toojin preksa dengan teliti, kamudian golengkan kepala sambil berkata: “Kau punya pundak sudah dilukai oleh ilmu tiat-see-hiu dan tidak bisa disembuhkan lagi .Beruntung orang menyerang kau punya pundak, kalau dibagian ulu-ati niscaya kau sudah binasa dengan lantas. Selainnya itu, kalau penyerang gunakan tenaga lebih banyak niscaya kau punya pundak jadi putus sama sekali dan bukannya remuk tulangnya saja.” Sasudahnya berpikir sabentar ia berkata lagi: “Aku ada mempunyai suatu cara buat mengajar samacem ilmu yang sangat lihay buat seorang yang cuma bisa gunakan sabelah tangannya.” Teng Hui jadi sangat girang dan buru-buru berlutut dan menjura di depannya Co-pao Toojin. Mulai dari itu waktu Co-pao Toojin obatin pundaknya Nio Teng Hui supaya jangan merasa sakit kalau digerakin, kamudian ia ajarin padanya samacem ilmu silat yang cuma gunakan satu tangan dan dua kaki. Oleh karena Nio Teng Hui memangnya sudah paham ilmu silat, tambahan sangat pintar dan rajin. Cuma anam bulan ia sudah paham betul itu pelajaran baru.
“Sekarang kau boleh pulang dan bikin pembalesan pada itu orang yang bikin patah kau punya pundak,” kata Co-pao Too-jin. “Aku tidak mau campur urusan di dalam dunia.” Nio Teng Hui jadi sangat girang, karena dari itu bocah ia sudah dapat kabar bahwa Co-pao Toojin sudah suruan padanya pergi cari semua susioknya dengan membawa surat, jadinya Co-pao Toojin punya omongan cuma purapura saja tidak mau campur urusan dalam dunia. Ia balik pulang kakampung istrinya di Limsu, kamudian ia cari Hui Yan di rumahnya Teng liong, dan pesan kalau Sou Lian Kou dateng ,minta ia mampir di Limsu, sebab ia ada urusan penting yang mau dibicarakan. Kiau Hui Yan dengar beberapa lamanya Nio Teng Hui mengilang, sekarang muncul lagi mendadak minta Lian Kou dateng padanya, tentulah ada apa-apa yang luar biasa. Co-pao Toojin dengan sasungguhnya telah suruan itu bocah pergi mencari pada ia punya ampat sutee, Pang Hui-in,Ko Ban-seng, Siau Yu-liam dan Biau Ie-lim, tetapi cuma Siau Yu-liam yang diketemukan, lain-lainnya ditinggalin saja suratnya Co-pao Toojin. Sedang Siau Yuliam ketika membaca suratnya Co-pao Too-jin, berulangulang kerutkan halisnya sambil golengkan kepala. “Bilang pada kau punya guru,” kata ia akhir-akhir' pada itu boca, “perkara merebutkan nama bukannya urusannya orang pertapahan. Aku sudah lama tawar. dalam urusan nama dan keuntungan, maka biarpun bukannya orang pertapahan aku sudah lama tidak tergerak lagi dalam itu urusan. Selainnya itu, jangan lupa guru kita punya pesanan, terutama itu sairan yang berbunyi: “Kalau mau diri tinggal selamet dan jauh dari bahaia, “harus kunci rapet pintugowa “dalam dunia punya urusanbenar dan salah, “tulikan kuping dan butakan mata.” “Maka kasih tau pada kau punya guru, bahwa.aku mau turut betul guru kita punya pesanan, hingga terpaksaaku tidak bisa membantu padanya.” Belakangan ada dateng Kok Ban-seng, suteenya CopaoToojin yang kadua, ka itu greja Cie-inkwan, di mana Co-pao Toojin bertapa; tetapi Kok Ban-seng punya kadatengahnpun bersifat mau membujukin pada Co-pao Toojin supaya turut pesanannya marika punya guru Pekleng Cinjin diturut biar betul. Cuma saja Co-pao Toojin sudah timbul amarahnya, segala omonganyang sehat dan waras tidak bisa masuk, sabaliknya ia ngambekdan bilang Kok Banseng berfihak pada orang luar, jika tidak suka membantu, tidak urung ia akan lakukan sendiri. Kok Ban-seng yang tadinya bermaksud membujukin Co-pao Toojin, sekarang jadi serba salah, kalau tidak membantu suhengnya marah, kalau membantu melanggar sang guru punya pesanan. Ia pikir mau berdiam terus di dekatnya Co-pao Toojin dengan maksud memberi advies bila ada perlunya.Tetapi ia lupa bahwa siapa yang berdekatan dengan tinta, akhirnya kana kacipratan warna item. Ia punya maksud baik sabaliknya jadi binasakan diri sendiri. Co-pao Toojin dengan diiringkan Kok Ban-seng menuju ka Limsu buat ketemukan Nio Teng Hui, yang ia sudah didik, sedikitnya bisa jadi pembantunya. Cuma sayang dia punya kadatengahn sudah lambat dan Nio
Teng Hui sudah binasa di tangannya Sou Lian Kou. Seperti duluan sudah dibilang, sasampainya di Lirnsu ia lantas pergi mencari Kiau Hui Yan di rumahnya Liau Teng Liong, dengan menantang ia minta Lian Kou dateng ka rumahnya, kalau ia itu balik dari perjalanannya. Beberapa hari sedari Teng Huidateng ka rumahnya Teng Li-ong, kabetulan Lian Kou balik pulang dari perjalanannya ka Selatan, ia mampir di rumahnya Teng Liong buat tengokin Hui Yan dan suaminya. Dengan heran ia dikasih tau bahwa Teng Hui cari padanya dan malah ia itu pesan supaya ia —Lian Kou — pergi ka rumahnya di kampung Limsu, akhirnya Hui Yan tambahkan: “Kalau Sucie pergi ketemukan padanya musti hati-hati, sebab kalihatannya ia telah pelajarkan samacem ilmu silat buat bikin pembalesan padamu, sekali pun tangan kanannya masih tetap kempreng.” “Aku haturkan banyak terima kasih atas sumoay punya perhatian,” kata Lian Kou; “tetapi pada waktu aku pergi ka kampung Limsu, sumoay jangan turut pergi ka sana.” Sabetulnya Hui Yan sangat ingin turut pergi, karena seumpama perlu ia bisa kasih pertulungan pada ia punya sucie, lagian ia pikir permusuhan antara ia punya sucie dan Nio Teng Hui asal mulanya dari ia punya u-rusan. Cuma saja Sou LianKou berkeras tidak mau ditemenin, dengan apa boleh buat ia tahan napsu kainginannya. Sou Lian Kou tetep berdandan sebagai buseng, itu waktu ia sediakan segala kaperluan buat bertempur, haturkan selamat berpisah pada Hui Yan, Cin Hiong, Teng Liong dan Hun Yan, kamudian ia lantas menuju ka kampung Limsu buat mencari pada Teng Hui. Tatkala ia sampai di depan rumahnya keluarga Tho, ternyata pintu depannya terpentang, LianKou minta bertemu pada NioTeng Hui dengan memberi tau ia punya nama, dan itu bujang yang duluan sudah pernah lihat Lian Kou dan tau apa yang telah terjadi, mukanya jadi pucat dan dengan apa boleh buat masuk ka dalam memberi kabar pada majikan lelakinya. Teng Hui ketika mendengar bahwa Lian Kou telah dateng, hatinya merasa sangat girang, sebab ia pikir sekarang sudah tiba waktunya buat ia bikin pembalesan. Ia kasih tau pada itu bujang supaya tetamu suka menunggu sabentar, karena ia mau berpakean. Sabenarnya ia berdandan dengan singset buat bertempur dan sedia segala senjata yang perlu. Tatkala ia keluar ternyata Sou Lian Kou lagi duduk menunggu di pertengahan depan dan berdandanan dengan serba ringkes, sebagaimana biasanya orang yang mau bertempur. Ketika melihat Teng Hui keluar ia lantas berbangkit dari tempat duduknya dan menanya: “Aku dengar kau mamesen pada aku punya sumoay, bila aku balik dari perjalanan salekasnya dateng ka sini. Apa betul?” “Tidak salah!” sahut Teng Hui dengan sombong. “Sekarang aku sudah dateng; kau mau apa?” “Aku mau bikin peritungan pada kau yang sudah bikin kita laki-istri jadi cacat buat seumur hidup.” “Itu aku sudah duga lebih dulu, dan sekarang aku akan meladenin kau di sabelah luar.” Sahabisnya berkata begitu, Lian Kou lantas berlompat keluar lataran rumah, di mana ia berdiri menunggu di
atas angin. Dalam hatinya berpikir, Teng.Hui yang sudah tidak bisa gunakan lengan kanannya, setelah mengilang lebih dari setengah tahun lamanya, sekarang mendadak mau bikin pembalesan tentang sakit hati yang dulu, tentu ia sudah pelajarkan ilmu yang sangat lihay, maka ia harus sangat berhati-hati terhadap ini orang yang sudah cacat. Belum sempat ia berpikir lebih jauh, Teng Hui pun sudah berlompat keluar dari dalam rumah, dengan gerakan yang sangat enteng dan gesit, berbeda jauh dengan. gerakannya di tempo yang lalu. Lian Kou semakin hati-hati, sebab dugahannya sudah berbukti. Ia tidak mau menyerang lebih dulu, sebab lebih dulu ia ingin lihat cara bagimana TengHui akan menyerang padanya. Teng Hui anggep gurunya Co-pao Toojin, punya ilmu silat yang diturunkan padanya, ada sangat baru dan gerakannya tidak terduga dan tidak gampang ditangkis. Maka menurut anggepannya tentu ia bisa bikin Sou Lian Kou terguling dan binasa. Oleh karena itu juga, dengan tidak banyak omong lagi ia maju menyerang seperti angin cepetnya. Betul saja dalam saketika lamanya Sou LianKou jadi sangat ripuh, sebab biar pun Teng Hui cuma menyerang dengan gunakan sabelah lengan kirinya, tetapi gerakannya ada begitu cepet dan tidak terduga, sedang ia punya kadua kaki saban-saban mengambil tempat lowongan guna mendesek pada lawanannya, hingga dalam saketika lamanya Lian Kou jadi sangat ripuh buat membela diri. Oleh karena Lian Kou sudah mendapat pimpinannya guru jempolan, ilmu silatnya sangat mateng, biar pun ia sangat ripuh buat tangkis serangannya musuh yang dateng sebagai angin tufan cepatnya, tetapi ia tidak jadi bingung dan keder. Lebih dulu ia berdaya melindungin diri dari serangannya musuh dengan sampurna, dan tidak mau menyerang dengan sembarangan, hanya melihat ketika yang baik buat turun tangan. Serangannya Teng Hui yang sebagai angin tufan, lantaran terus menerus. bisa ditangkis oleh lawannya, dalam hatinya jadi sangat ibuk, sebab ia sangat takut sama Lian Kou punya tiat-see-hiu yang sangat lihay,kalau saja Lian Kou mendapat ketika, niscaya ia akan gunakan itu ilmu silat buat jatuhkan padanya, sedang ia tidak bisa tangkis itu ilmu yang sangat lihay. Sekarang Lian Kou sudah jajakin Teng Hui punya cara bersilat yang ia belum kenal, dengan pelahan tapi tentu ia membales menyerang, hingga Teng Hui yang tadinya menyerang, pelahan-pelahan berbalik musti melindungkan diri, Lian Kou sekarang sudah berniat pasti musti binasakan ini manusia jahat supaya di dalam dunia kurang satu manusia busuk dan perkara onar lebih sedikit terjadinya. Buat sekarang ia tidak mau berlaku kasihan lagi. Teng Hui lantaran melihat iapunya serangan terus menerus bisa ditangkis oleh Lian Kou, semakin keras ia menyerang dengan mengaluarkan seantero ilmu kapandaiannya; tetapi rupanya Lian Kou sudah bisa jajakin ilmunya, bukan saja sesuatu serangan ia bisa tangkis dengan bagus, malah sekarang mulai berbalik menyerang, hingga hatinya jadi semakin ibuk, sebab ia sangat kuatir ilmu tiat-see-hiu yang ia tidak bisa tangkis, hingga gerakannya jadi salah dan memberi ketika buat Lian Kou menyerang dengan telahk. Dalam saat itu juga, Teng Hui jatuh rubuh dengan berlumuran darah,
sebab LianKou sudah serang dadanya dengan ilmu tiatseehiu hingga remuk dan hatinya pun turut pecah berarakan. Bisa dikata ia binasa dalam saat itu juga. Lian Kou setelah binasakan pada Nio Teng Hui lantas berpaling pada Tho Siu Hun yang menyaksikan itu pertempuran sama Tho Swat Ceng dan dengan adikm ia berkata : “Sekarang kau sudah jadi janda; tetapi menurut aku,lebih baik kau tidak mempunyai suami yang begitu buruk hatinya. Aku tau kau lantaran selalu dengarin ia punya gosokan, tambahan kau punya kabencian terhadap Hui Yan sumoay, sampai jadi renggang dengan ayah sendiri. Salahnjutnya aku harep kau bisa mendusin,serta mengarti perhubungan ayah dengan anak tidak bisa dibandingkan dengan perhubungan suami-istri. Kalau kau merasa penasaran aku selamanya bersedia dan menunggu di Pakkiah.” Siu Hun mengarti ia tidak nanti bisa bikin pembalesan, bukan saja lantaran ilmu silatnya sangat rendah, malah tangan kanannya pun sudah kempreng, hingga itu waktu ia cuma bisa mengucurkan air mata dan rawat mait suaminya. Sou Lian Kou pulang karumahnya Liau Teng Liong buat kasih tau pada ia punya sumaoy tentang apa yang sudah terjadi, ternyata Hui Yan dengan menggelap mengikutin pada Lian Kou, hingga semua yang telah teijadi ia sudah saksikan dengan mata sendiri. Makadi tengah perjalanan ia sudah ketemukan Lian Kou dan kasihtau dengan terus terang bahwa ia sudah lihat dengan mata sendiri apa yang telah terjadi. “Aku merasa girang bertemu kau di sini,” kata Lian Kou, “karena aku boleh tidak usa membuang tempo masuk ka dalam kota. Menurut aku punya pemandangan Teng Hui tentu sudah obor cabang Kongtong buat bermusuh dengan kita, banyakan Co-pao Toojin yang muridnya, Him Jin-lip, dibinasakan oleh Ho Piu susiok. Aku sangat kuatir tentang kaselametannya kau punya suami dan kau sendiri, sebab ini percidrahan asalnya terjangkit dari perkara menulungin kau punya. suami. Maka kau orang berdua harus sekali berhati-hati. Sekarang aku mau pergi ka Kiat-lou-san buat kasih kabar pada Koan-siang supek dan terus ka Go-bie-san buat kabarkan ini urusan pada Tiang-biesusiok, kamudian aku akan berdaya buat kasih kabar pad aHo Piu susiok di Hengsan. Buat sekarang kau harus salekasnya balik pulang ka rumahnya Teng Liong dan kau bersama suamimu harus berhati-hati sekali.” Sahabisnya berkata begitu dengan tidak membuang tempo, lagi Lian Kou brangkat menuju ka jurusan provinsi Sucoan, karena ia pikir letaknya Go-bie-san ada lebih dekat dari Kiat-lou-san, dari Go-bie-san baru kamudian ia menuju kaKiat-lousan. Perjalanan dariOulam ka Sucoan ada sangat suker, karena banyak sekali sungei dan gunung, hingga seorang yang berkapandaian seperti Lian Kou satu bulan lebih baru sampai; tetapi tatkala ia sampai di Go-bie-san, dari tootong yang menjaga gowa, ia dapat kabar kira satu bulan yang lalu ada; dateng Kim-gan-tiao HoPiu, yang ajakin gurunya pergi jalan-jalan ka Kiat-lou-san buat. mencari pada Koan-siang Loojin, kamudian dia bertiga akan bikin perjalanan ka segala penjuru. Sou Lian. Kou pikir kalde ia musti susul pada itu tiga
supek dan susiok, tentu suker ketemu, sebab satu bulan di muka sudah menuju ka Kiat-lou-san di Hunlam; sedang kalau ia mau pergi ka Kie-lian-san buat memberi kabar pada gurunya, Tiau-see Suthay, letaknya terlalu jauh. Maka ia pikir ada lebih baik jika ia balik pulang ka Gakciu, buat menemenin pada Kiau Hui Yan, agar kalau terancem bahaya ia bisa: lantas memberi bantuan. Karena berpikir begitu, dengan tidak bersangsi lagi ia lantas pamitan dan brangkat pulang ka Gakciu. Cuma saja ia sudah katinggalan sama jalannya. perkara. Sebab kira sapuluh hari sedari brangkat menuju ka Go-bie-san, Co-pao Toojin bersama Kok Ban-seng telah dateng karumahnya Liau Teng Liongdan minta bertemu sama Kiau Hui Yan, siapa memang sudah; berhati-hati sedari brangkatnya Sou Lian Kou, maka ia keluar ketemukan itu dua tetamu dengan pakean sacara ringkes dan bekal semua senjata yang perlu. Ketika melihat pada Co-pao Toojin dalam hatinya sudah menduga, tetapi ia terus marendah dan berlaku hormat. “Tootiang dateng dari mana dan minta bertemu sama aku ada urusan apa?” menanya ia dengan hormat. Co-pao Toojin mengawasin pada Hui Yan saketika lamanya kamudian ia menanya : “Kau ini yang bernama Hui Yan? Aku yang disebut Co-pao Toojin gurunya Him Jin-lip yang binasa dalam tangannya Ho Piu, dan juga gurunya Nio Teng Hui yang binasa dalam tangannya Sou Lian Kou.” “Benar, aku bernama Kiau Hui Yan, yang duluan pergi menulungin suamiku di Shoatang,” sahut orang yang ditanya. “Kalau Tootiang sudah tau duduknya perkara, mencari padaku ada urusan apa ?” “Pertama dari sebab kau yang menyebabkan binasanya aku punya kadua murid terutama terbinasanya Him Jin-lip; kadua, aku mau menanyakan di mana adanya Sou Lian Kou, yang binasakan muridku Nio Teng Hui.” “Tootiang kliru jika timpakan kesalahan padaku,” kata Hui Yan dengan sabar, “Aku punya kadatengahn ka Gutoksan perlunya buat menulungin suamiku yang ditawan, selainnya itu, bukan aku yang binasakan kau punya murid Him Jin-lip, siapa sabetulnya tidak akan binasa jika itu waktu ia tidak berada di sana. Betul Nio Teng Hui binasa di tangannya Lian Kou, tetapi itu kabinasahan ia yang cari sendiri, karena ia yang menangtang dan pada waktu Lian Kou tidak ada ia sengaja dateng ka sini dan mamesen supaya Lian Kou dateng padanya jika ia sudah dateng. Dengan begitu, aku tidak lihat di mana letaknya aku punya kesalahan, yang kau sengaja timpakan padaku.” “Kau punya mulut sangat lemes dan pintar sekali bicara,”kata Co-pao Toojin dengan kerutkan halis; “tetapi aku anggep binasanya Him Jin-lip ada dari kau punya lantaran, maka aku sengaja dateng ka sini buat memberi hajaran, hingga bisa terbukti bahwa orang-orang dari cabang Kong-tong bukannya takut urusan.” “Apa Tootiang sudah timbang dengan mateng ini perbuatan yang sekarang mau dilakukan ada dengan sapantasnya ?'' menanya Hui Yan dengan taba. “Kau punya tingkahtan sedikitnya satu tingkaht lebih tinggi dari padaku. Apa kau tidak merasa turun derajat kalau musti bertempur sama aku? Sebab sudah pasti aku tidak akan bertunduk padamu, karena itu bukan kabiasahan
dari orang-orang cabang Kunlun.” “Jadi kau akan melawan ?” “Aku akan membela diri sampai saberapa jauh yang bisa.” “Nanti dulu, suheng,” menyelak Kok Ban-seng yang mau membujukin kalau ada ketika bagus, “ini Kiau Hui Yan muridnya Tiau-see Suthay,yang sapantaran sama kau, masa pantas kau turun tangan terhadap ia nya ?” “Mundur, Sutee, aku mau kasih hajaran pada muridmurid dari cabang Kunlun yang sombong.” Sembari berkata begitu ia maju menyerang pada Hui Yan, siapa sabisanya membela diri dengan sangat hatihati sebab ia tau baik justru bertanding dengan seorang yang ilmu silatnya lebih tinggi. Setelah berjalan dua puluh jurusan, Co-pao Toojin dapat kenyataan Hui Yan sangat hati-hati dan ilmu silatnya sangat rapih dan tidak gampang buat lantas bikin jatuh padanya. Justru pada waktu ia mau menyerang lagi dengan ilmu silat yang lebih tinggi buat bikin kelang kabut lawanannya punya pembelahan, mendadak berlompat dateng satu orang dengan sabelah lengannya menangkis iapunya serangan, dan ia rasakan tangkisan itu lengan sangat berat hingga ia mundur dua tindak ka blakang. Tatkala ia awasin orang yang dateng menyelak ternyata seorang berumur kira-kira anam-puluh tahun, tetapi sikapnya masih gagah dan rambut serta kumisnya masih itam, kalau dilihat salahwatan seperti seorang yang baru berumur lima puluh tahun. “Kau ini siapa dan kenapa dateng menyelak?” menanya ia. “Aku ini Ho Piu dari Heng-san, terkenal dengan nama julukan. Kim-gan-tiao,” sahut orang yang ditanya. “Makanya aku dateng menyelak, sebab Hui Yan bukannya kau punya tandingan. Tidak pantas seorang tua yang seperti kau musti bertempur sama anak-anak!” “Oh, kau ini Kim-gan-tiao Ho Piu yang sudah binasakan aku punya murid Him Jin-lip. Kabetulan sekali, karena memang aku lagi cari kau!” “Aku selamanya ada di Hengsan, kalau kau mau mencari padaku, selamanya aku belum pernah mengumpet. Ini hari bersama dua kawan kabetulan aku dateng ka sini buat mencari Hui Yan, tetapi tidak nyana lagi diserang olehmu. Him Jin-lip betul aku yang binasakan, maka kalau kau mau bikin pembalesan harus dilakukan terhadap diriku!” Co-pao Toojin punya amarah sudah liwat takerannya, maka ialantas menyerang dengan seruh pada Ho Piu, hingga Hui Yan buruburu berlompat keluar dari kelangan pertandingan. Ternyata di samping ada lagi dua orang lain yang berdiri menyaksikan, ia kenalin satunya Koan-siang Loojin dan yang lainnya Tiang-bie Toojin; tetapi semua tinggal mengawasin saja sebagai penonton. Ho Piu bersilat dengan cepet, tetapi gerakan kakinya ampir tidak kadikngeran sama sekali. Ini satu kali Co-pao Toojin ketemukan tandinganyang keras, biar pun sudah berselang lima puluh jurusania tidak bisa tarik keuntungan sedikit pun. Setelah berselang lagi tiga puluh jurusan kadua fihak masih seger dan gesit, masihngmasihng masih tinggal utu, sebagaimana bermula dia bertanding, hal mana sudah membikin kadua fihak jadi lebih sengit dan menyerang terlebih cepet, oleh karena
cepetnya kadua fihak menyerang dan menangkis, itu dua orang kalihatannya seperti bergulet menjadi satu, mendadak kadikngeran Ho Piu bersurak hahaha! kamudian kadikngeran Co-paoToojin menjerit dan terus rubu ka muka bumi dengan muntakan darah hidup dari mulutnya dan tidak bisa berkutik lagi. Ho Piu sekali pun tinggal berdiri tetapi tidak bergerak, kadua matanya tinggal terbuka lebar tetapi tidak berkesip. Kok Ban-seng melihat suhengnya rubu, maju mau menyerang pada Ho Piu, ia jadi terpental mundur kablakang karena Koan-siang Loojin kebutkan ia punya tangan baju yang gerombongan. Kalau orang yang ilmunya rendah niscaya sudah terbanting ka muka bumi, biarpun itu kebutan tangan baju dilakukan dengan pelahan. Ternyata Ho Piu pun sudah putus jiwa, cuma ia tinggal berdiri dan tidak rubuh sebagaimana lawannya. “Sekarang apa permusuhan sudah berakhir atau masih mau diteruskan ?” menanya Koan-siang Loojin sambil mengawasin pada Kok Ban-seng. Kok Ban-seng sabenarnya mau menyegah Co-pao Toojin punya perbuatan yang ia tidak setuju; tetapi lantaran terhadap pada suheng ia tidak berani berkeras, sedang barusan ia rasakan kebutan tangan bajunya itu orang tua, tidak berbeda sebagai satu gunung yang menimpa, kalau bukannya ia ada mempunyai laykang yang tanggu, niscaya ia sudah terbanting dengan keras ka atas bumi. Lagian itu waktu ia cuma sendirian saja dan tidak berkawan. “Perkara permusuhan cabang dengan cabang aku sendiri tidak bisa ambil putusan,” kata ia. “Buat sekarang ijinkan aku merawat maitnya aku punya suheng yang telah melanggar perintahnya kita punya guru.” “Itulah permintahan yang sangat pantas,” kataKoansiang Loojin sambil manggutkan kepala. *** Belakangan ketika dipreksa maitnya Ho Piu semuanya tinggal keras dan utu, cuma dibagian lambung sabelah kiri, dekat geginjel, terdapat satu tanda biru sabesarnya uang gobangan, kalau itu tanda biru dipijit, dari dalam mengeluarkan darah mati. Menurut Koan siang Loojin inilah kamatiannya Ho Piu. Sedang Co-paoToojin dadanya toblos oleh Ho Piu punya ilmu it-cie-sian, biar pun tidak usa disangsikan lagi ilmu khikangnya sampai tinggi. Di sini bisa ternyata kalihayannya ilmu it-cie-sian dari cabang Siaolim. Tatkala Sou Lian Kou sampai di Gakciu, Koan-siang Loo-jin dan Tiang-bie Toojin sudah brangkat pulang ka masihng-masihng punya gunung, sedang maitnya Ho Piu pun sudah dikubur atas ongkosnya LiauTeng Liong. Lian Kou cuma dengar itu riwayat sedih dar iHui Yan, kamudian ia pun balik pulang ka Pakkiah. *** Tho Siu Hun pada sasudahnya sang suami binasa, ilang satu tukang mengobor, pikirannya berbalik menyesel dengan bercucuran air mata ia minta ampun pada ayahnya dan Hui Yan di rumahnya Teng Liong dalam kota, kamudian dengan menangis ia membujukin ayahnya dan ibu tirinya supaya balik, tinggal lagi di Limsu, marika punya rumah lama. Cin Hiong dan Hui Yan lantaran melihat Siu Hun punya maksud yang sungguhsungguh,
lalu balik tinggal lagi ka dia punya rumahtinggal lama. *** Setelah Tho Cin Hiong menutup mata, Hui Yan yang tidak mempunyai anak telah ambil putusan pasti mau pergi ka Kie-lian-san gowa Hui-in-tongakan mengikutin gurunya Tiau-see Suthay, yang berbudi besar, dan berkumpul lagi sama Beng-ji, biar pun satu binatang buas, tetapi begitu baik dan berbudi malebihkan manusia yang kabanyakan. T A M M A T