Etlisi42tahun2013
Jurnal
llmu Pemerlntahan ENTRALISASI ASI M ETRIS SOLUSI ATAU PROBLEM
D ES
KEN ISCAYAAN TATANAN ASI M ETRIS
:
REFLEKSI METODOLOGIS PENATAAN PEMERINTAHAN IN DONESIA Purwo Santoso DIMENSI POLITIK DESENTRALISASI ASIMETRIS: SOLUSI ATAU PROBLEM? Syamsuddin Haris
DESENTRALISASI ASIMETRIS DI INDONESIA KAJIAN DARI ASPEK KONSTITUSI Saldi Isra
DESENTRALISASI ASIMETRIS DAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA Irfan Ridwan Maksum OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN MASALAHNYA Andy Ramses
,[,ilT')i ! ! ,tlf :'
_S'
-r
-a
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
l-ll
Daftar Isi
iii
Keniscayaan Tatanan Asimetris: Refleksi Metodologis Penataan Pemerintahan Indonesia Oleh: Purwo Santoso
r-23
{/
Dimensi Politik Desentralisasi Asimetris, solusi atau problem? Oleh: Syamsuddin Haris
25-43
Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Kajian Dari Aspek Konstitusi Oleh: Saldi Isra
45-66
Desentralisasi Asimetris dan Pusat-Daerah di Indonesia
67-82
otonomi Khusus Dalam Bingkai Hubungan
Oleh: Irfan Ridwan Maksum
Otonomi Khusus Papua dan Masalahnya Oleh: Andy Ramses
Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang Menyisakan Sejumlah Catatan
83-103
105-1 19
Oleh: Robert Endi Jaweng
Desentralisasi Asimetris Aceh dan permasalahannya OIeh: Djohermansyah Djohan Pemerintahan Provinsi
DKI Jakarta Desentralisasi Asimetrik dan Masalahnya Andy Ramses
Oleh: Simao de Assuncao dan
JURNAI,'I,MU PEMERINIAHAN INDONES'A
121-136
137 -151
Keniscayaan Tatanan Asimetris: Refleksi Metodologis Penataan Pemerintahan Indonesiar Oleh: Purwo Santoso2
Abstract, asymmetrical format of local government ser up, which is currently proposed as a alternative framework in restructuring governance inlndonesia, is notwell-received given the orthodoxyof stat.-"..rtii" analysis which has beep adopted for axiologicai reaso.,r the Integrity of """.rring indonesia as a nation state. But given the absen". o? epistemJlogicat reflection within the study, the mainstream of the study has teen typiJaly state-centric and adhere to merely legalistis-administrative approach. To uncover this, the line of discourse of Indonesia as a nation-state is traced,
and reveals insensitive to the daily live politics which in operarion as the art of governing. There has been discursive practice which effectively shape differense sens of unity, namely unity in terms of nation-building u" oppo"" to state formation. The willingness to scientifically accept accepl univity of Indonesia in teims of the art of managing cross-cutting affilication among
different set
of sub-national nationhood become prequisite for taking
assymetrical format as an imperative.
Keywords: Decentralization, aqtmmetrical format
Pengantar
L
Ditulis ulang dari makaiah yang disarnpaikan dalam Seminar Nasional Desentralisasi Asimetris
danMasalahnya' yangdiselenggarakan melalui kerja samaMasyarakatllmu pemerintahanlndonesia (MIPI) dengan Sekolah Tinggi IImu pemerintahan Abdi IVegara (STIP_AN), diselenggarat"o prau tanggal 20 Juni 2013 di Granada Ballroom, Gd. Menara tos, .lt. TB
simatupang Kav
l, cilandak,
Jakarta Selatan. Ketika penulisan ulang naskah berlanagsung, penulis diminta memberikan kesaksian dalam persidangan gugatan pembatalan klausul tertentu dalam undang-undang pembentukan r.;pi"s JawaTengah. Isi makalah ini disajikan dalam persidangan pada ianggai lg Agustus 2018. 2' Guru besar Ilmu Pemerintahan' dan ketua Jurusan Politik & pemerintahan pada Fakultas Ilrnu Sosial dan IImu Politik, Universitas Gadjah Mada, yogyaharta.
Kenlscoyoon Tolonon Asimelris: Refleksi Melodologis Penolqon Pemerinlohqn lndonesio
-
Asimetrisme dalam penataan daerah, kini semakin santer diperdebatkan dalam komunitas ilmu pemerintahan di Indonesia. Asimetrisme dalam penataan sebetulnya sudah dipraktekkan, ditandai oleh adanya daerah propinsi-propinsi yang berstatus khusus atau istimewa: Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papua maupun Papua Barat. Hanya saj a, selama ini ada kengganan untuk menjadikan asimetrisme sebagai kaidatr penataan. Asirnetrisme, baru diterima sebagai eskepsi: diterima karena ketiadaan alasan untuk menolak; bukan diterima sebagai keniscayaan. Tirlisan ini bermaksud untuk melacak sumber keengganan ini. Rute pelacakan yang ditempuh di sini bersifat metodologis, membidik nalar keilmuan yang mendasari keengganan itu. Yang hendak ditunjukkan dalam telaah ini adalah bahwa keengganan tidak sebatas persoalan pemerintahan. Lebih dari itu, keengganan ini menandai adanya permasalahan ke-ilmuan yang perlu ditindaklanjuti oleh Masyarakat Ilmu Peinerintahan Indonesia. Nanti akan ditunjukkan, salah satu kunci persoalannya adalah terpakunya kajian ilmu pemerintahan pada perspektif keilmuan yang state-centric yang juga yuridisformalistik.s Perspektif ini memudahkan pemerintah bekerja, namun tidak menjamin selesainya masalah kebangsaan dan negeraanyang harus digelutinya. Dominasi wacana yang bersifat state-centric ini sangat terasa pada masa pemerintahan Orde Baru, namun terus saja berlanjut pada periode pasca-1998, masa di mana pemikiran liberal yang mensyara-tkan peran negara begitu kuat mencengkeram pemikiran pemerintahan di negeri ini. Pada saat ini pula agenda desentralisasi besar-besaran direalisasikan.a Ketika mencermati dominasi sebuah diskursus, dalam hal ini diskursus tata pemerintahan yang berwatak state-centric, kita perlu ingat bahwa dominasi ini tidak terjadi dalam vacuum. Oleh karena itulah kaitan ant-ara wacana dengan konteks kelangsungannya penting dan menarik untuk diungkap' Dalam pewacanaan tersebut ada nilai tertentu yan$ begitu dijunjung tinggi ataupun didiskreditkan. Dalam membahas penataan daerah, nilai sentral yang menggerakkan pewacanaan adalah kesatuan Indonesia. Dalam pewacanaan yang berlangsung, kesatuan Indonesia ini difahami sedemikian rupa sebagai justifies sebagai kerangka penataan pemerintahan. Pada saat yang sama, pandangan yang state-centric lalu mapan sebagai acuan dalam memandang persoalan. Selain ini, ada nalar tertentu yang membimbing penarasiannya suatu hal: dalam Poin yang hendak dikedepankan disini bukan irrelevansi hukum dan administrasi melainkan adanya kecurigaan bahwa ilmu pemerintahan diperlakukan sebagai ilmumya pemerintah menguasai rakyat, dan hukum serta administrasi yang berperan sebagai instrumen pemerintahan justru kita baca secara terbalik sebagai kaidahnya. Perspektiftersebut sangat dominan di masa Orde Baru' 4. Nordholt, Henk Schulte and Gerry van Klinken, "Pendahuluan" in Nordholt, Henk Schulte and Garry van Klinken (eds.), 2OO7, Politik Lokal di Indonesia (trans. Renegotiating boundaries local politics in post-Suharto Indonesia by Bernard Hidayat), Jakarta: KITLV and YOI' hal. 2I
3.
JURNAI. ILMU
P
E MERI NT AH
AN'NDONES'A
Keniscoyoon Tqlonqn Asimelris:
Refleksi Metodologis penoloqn pemerinlohon lndonesio
hal irri hubrrngan pemerintah nasional dengan pemerintah lokal. Ketidaksadaran akan nalar inilah yang pada gilirannya menggiring kita melakukan kesalahan dalam mengambil pegangan, tanpa kita sadari kesalahan itu. Dalam
kaitan ilmu, Ilmu pemerintahan taking for granted kerangka penalaran yang sudah menjadi m a i n stre am' dan pada s aat yang sama menghasilkan kebekuan da-lam pengkajian. sebaliknya' telaah ini harus realistis karena usulan penerapan asimetrisme sebagai prinsip penataan hanya dapat ,literima oleh dalam mainstream kajian kalau problerrratika dibalik kemapanan penalaran yang mapan ini dikemukakan. Kita perlu membongkar imajinasi kita tentang kesatuan Indonesia. untuk memulai perrrbongkai-an wacana Indonesia sebagai Negara Kesatuan, harus ingat bahwa sebetuinya ada dua konotasi di balik istilah tersebut. yang pertama adalah 'kesatuan negara' dan yang kedua adalah ,kesatuan daram ikatan kebangsaan. Masing,masing konotasi merujuk pada jembatan konsep yang dtpakai untuk melakukan kajian dalam artikel ini. yang pertama merujuk fenomena state-formation, sedangkan yang kedua merujuk pada konotasi yang pertama dan nation-building. oleh karena itu, assessmen/ terhadap kedua konsep kunci ditaruh dalam bingkai yang mewadahi kedua-duanya: Indonesia sebagai sebuah nation-stafe. Dengan meletakkan keduanya rlalam bingkai besar nation-state ini, kepincangan yang diakibatkan oleh reproduksi makrra (konotasi) tertentu, maupun yang dikarenakan penekanan pada salah satu konsep, bisa dirujukkan. Yang jelas, ketika membicarakan kesatuan Indonesia, dengan nyaman kita bisa berangkat dari premis Indonesia sebagai sebuah nation-state, dan oleh karenanya konsep ini handal untuk membingkai kontestasi wacana dalam satu alur. Dalam literatur, konsep negara-bangsa telah diterirna sebagai sesuatu yang glren. Bersandingnya kedua konsep ('bangsa'dan .negara) merupakan fenomena yang muncul dalam kcnteks sosio-historis yang spesifik pada masa modern, lebih khusunya pasca Treaty of westphalia padi tarrun 164g. Meskipun sejak periode tersebut, format polity di dunia perlahan-lahan mulai didominasi oleh model negara-bangsa' patut dicatat bahwa pada dasarnya kedua konsep tersebut merepresentasikan dua entitas yang bekerja dengan logika yang berb.du. point yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa, kalJah kajian ini berangkat dari premis Indonesia sebagai sebuah nation-stafe, harus dicamkan betul bahwa postur Indonesia berbeda sama sekali dengan postur nation-stafe di Eropa yang selama ini menjadi rujukan teorisasi. Di sana, diberlakukan kaidah: one natlon in one sfafe, sedangkan di Indonesia nationhood yang ada tidaklah (belum?) tunggal.
Dalam diri Indonesia, ada satu state dengan nationhoodyangberagam dan terfragmentasi' Ekspresi nationhood ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain' Berangkat dari premis ini, tidaklah berlebihan kalau ilmu pemerinthan mengembangkan teorisasi nation-state yang berbeda dengan kalian baku pada
JURNAL
ILMU PEMERINTAH AN'NDONES'A
&
R
err e ks
i
M ero do r o s
rs
t.,T;#:;'JJ; }HJ:fff
,il#:i:
tataran internasional. Ketika kita fahami Indonesia sebagai sebuah nation-state dengan watak tersebut di atas, kita temukan bahwa dimensi state-formationlebih
membingkai pemikiran/pengkaj ian mainstream ilmu pemerintahan, sedangkan dimensi nation-building yang kehirauan utamanya adalah nationhood seakan tidak lagi relevan. Di sini kita menengarai adanya bias yang penting untuk diungkap. Pelacakan sumber bias ini akan membantu kita mendudukkan perscalan, dan pada saatyang sama menjadi alasan pembenar bagi pemberlakuan asimetrisme sebagai kaidah penataan daerah.
l-
Tapak Bias Dalam pengkajian: supremasi wacana state-formation atas wacana Nation-building Asimetrisme tidak pernah menjadi acuan penataan pemerintahan karena alas wacana y€rng tersedia tidak membuka ruang untuk itu. Alas wacana yang tersedia adalah grand narative di seputar persoalan state-fortnation. padasaat yang sama, entah karena alasan apa, nation-buildingtidak lagi meqiadi narasi penting dalam pemikiran pemerintahan di Indonesia. Yang jelas, eksistensi Indonesia sebagai sebuah nation sfafe sebetulnya dapat dirunut:dari perl'alanan sejarah Indonesia, dan literatur yang menyajikan hal itu juga sangat banyak. Hanya saja, data dan narasi sejarah seakan tidak relevan bagi kajian pemerintahan karena tidak ada wadah untuk menarasikannya. yang jelas, pewacanaan tentang penataan pemerintahan selalu berirnpit dengan justifikasi tentang apa yang dilakukan/ tidak dilakukan pemerintah, dan berimpit juga dengan justifikasi tentang cara pemerintah melakukannya. Studi desentralisasi di Indonesia pada umumnya berkutat dalam bingkai pewacanaan state-fortnation, beranjak dari konsepluahsasi Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat. Ini tidak salah. Hanya saja, dalam narasi yang terus-menerus digulirkan, negara dengan serta-merta dan tanpa sedikitpun keraguin dibayangkan sebagai ekspresi kedaulatan rakyat. Jelasnya dalam mainstreamstudipemerintahan, kedaulatanrakyattidaklagiperlu diperjuangkan lagi realisasinya karena diasumsikan sudah secara tuntas dikonversi menjadi
kedaulatan negara. Tidak pembedaan antara negara dan bangsa, karena kepentingan pemerintah menyediakan justifikasi dirinya berkerja penuh untuk bangsanya. Yang menarik untuk dicatat, dalam alur narasi yang bergulir, cukuplah dengan berlakukan nalaryuridis-formal dan memberlakukan sederetan prosedural, dengan entengnya diyakini bahwa konversi dari kedaulatan rakyat
menJadi kedaulatan negara berlangsung sempurna. Yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa, dimensi kerakyatan lalu hilang dalam pemikiran, dan yang mengedepan pada saat yang sama, adalah
dimensi kenegaraan. Seakan-akan hal ini membolehkan kita untuk begitu saja melupakan rakyat ketika membicarakan pemerintahan. Implikasinya,
JURNAI. I LMU
P E ME RI
NT AH AN'NDONES'A
Keniscoyoon lolonon Asimelris:
Refleksi Melodologis penoloon pemerinlohon lndonesio
ketika desentralisasi difikirkan, yang dianggap perlu dilakukan para pernikir desentralisasi penggunaan otoritas negara. yang lebih serius lagi, kejanggaran (hilangnya rakyat dan dimensi kerakyatan) ini tidak terasa lagi ketika desentralisasi dimaknai secara sangat terbatas, sekedar sebagai domain yuridisadministratif. Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan tidak difahami sebagai aktualisasi gagasan kedaulatan rakyat yang harus dijabarkan dalam bahasa birokrasi/administrasi pemerintahan. sejalan dengan hilangnya dimensi kerakyatan, berrangsungnya proses mobilisasi nilai kesatuan melalui politik pewacanaan. Nalar publik di negeri ini
dibingkai dalam wacana 'NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati,. diungkap di sini adalah bahwa, di batik pernyataan populer untuk menggarisbawahi bersatu kita dalam ikatan NKRI, sebetulnya ada dua konotasi dari "kesatuan". Yang pertama, kesatuan dalam konotasi normatif,. Di sini berlaku pengandaian bahwa pemberlakuan suatu prosedur dan aturan stancar yang seragarnlah menjadi penentunya. Esensi kesatuan ada pada instrumen Yang perlu
penyatunya:
birokrasipemerintahandankoherensinalarhukumyangditegakkan.
Dalam konotasi kedua, kesatuan difahami endapan pengalaman beibangla atau efek dari collective engagemenlyang berlangsung sepanjang sejarah. Dr situ terus menerus berlangsung pertautan tibal-balik dan siiang menyilang antara beragam elemen yang berbeda, dan betapapun tidak terungkap secara skematis, mewadahi semangat untuk pencapaian tujuan-tujuan besar secara bersama-sama. Di titik inilah mobilisasi bias mulai berlangsung. Proses mobilisasi makna terlihat dari acuannya adalah kesatuan sebagai realita normatif. Terlepas dari kelangsungan mobilisasi bias dibalik dominannya pewacanaan tadi ada sejumlah hal peting. Pertama, dimensi kebangsaan (nationhood) selama ini tidak mengemuka, karena diasumsikan sosok dan postur Indonesia sebagai sebuah bangsa, aianggap sudah settled atau final. Sepeninggal Presiden Sukarno, nation buitding tidak lagi menjadi lssue pemerintahan. Dalam kerangka berfikir yang dikenal dengan istilah developmental state, Indonesia telah meletakkan pernbangunan ekonomi yang dipimpin oleh birokrasi dan teknokrasi pemerintahan (sfafe -Ied economic developent), dan untuk itu dilakukannya mobilisasi wacana yang wataknya state-centric. Kerangka pemikiran pemerintahan yang disiapkan waktu itu hanya berjalan dalam single track: state-formation. Negara diasumsikan telah berdiri tegak diatas kckohnya nationhood Indonesia. Crde Baru menggeser alur pemikiran dengan jargon "politik sebagai panglima,' menjadi "ekonomi sebagai panglima". Ketika mobilisasi wacana ini dibarengi dengan represi, maka artikulasi perpolitikan berbasis nationhood berada dalam kekangan. Ilanya saja, asumsi bahwa nation-buildingtidak lagi relevan difikirkan pada masa sekarang, tidaklah realistik. Apalagi ketika fit. *..r"ermati efek dari desentralisasi yang diiangsungkan pasca Orde Baru ini. Ketika desentralisasi diikuti dengan penjaminan hak daerah untuk menjadi pengusul pembentukannya,
JURNAL ILMU PEMERINTA,HAN'NDOi"'ES;,A
R
e
r
r
ek
s
i
M e r o d o ro s
is
r. f;*T :;"JJ;
#,Tff l,*'ll"jli:
maka yang kita saksikan adalah melonjaknya jumlah Daerah Otonom Baru (DoB). Berlipatduanya jumlah DoB dalam kurun waktu yang relatif pendek adalah akibat dari proses nation-buitding yang hanya boleh diwadahi dalam bingkai yuridis-administratif: pembentukan DoB. Jelasnya, ketidakmautahuan memikirkan proses nation-buildingjustru berimbas pada- pemindahan beban pada proses state-formation. Naskah inr ditulis dengan keyakinan bahwa, pengembalian dimensi nationhood dan mengkaitkan hal itu dengan statehood Indonesia, niscaya akan membuka rute baru penataan pemerintahan daerah yang lebih membuat nyaman berbagai fihak di negeri ini. Kedua, asumsi bahwa nation-building tidaklah relevan lagi diagendakan mereka dalam bingkai pemikiran yuridis-administratif yang meigeaepan 9"1"T penglihatannya adalah penduduk, dan yang nam anya governrhg adalah melakukan administrasi kependudukan. Dalam administrasi kependudukan nilai solodaritas kolektif, dan solidaritas lirrtas agama, lintas su-ku, lintas daerayr kehilangan relevansi. Jelasnya, kita biasa buru-buru membuat loncatan asumsi bahwa nation yang menjadi penyangga tatanan politik modern, adalah sebuah entitas yang tunggar (yang sering disederhakan sebagai jumrah penduduk). Tidak perlu penyegaran dalam benak kita bahwa, Indonesia adalah sebuah bangsa yang tetap saja memiliki beragam ikatan etnis, ikatan kesukuan, solidaritas penutur bahasa dan solidaritas pemeluk agama. Asumsi bahwa Indonesia adalah one nation within one state tidak bisa ditegakkan lagi, dan tidak perlu dipaksakan keberadaannya. Lebih dari itu, sebagai sebuah balgsa, Indonesia seakan menggantikan berbagai ekspresi nasionalisme yang skalanya sub-nasional: ikatan keagamaan, kedaerahan, kesukuan dan sebagainya. Kalau kita telaah secara historis, asumsi ini memang merepotkan" Secara administratif, beragarn elemen ini disatukan ,lalarn satu wad.ah yang bernama Niegara Kesatua' Republik Indonesia atau NKRI. sungguhpun demitian, sejauh ini Indonesia belum pernah secara sosiologis meleburkan berbagai atribut dalam kesatuan yang homogen, dan dengan begitu hanya rnemiliki satu versi kewarganegaraan atanJ ciuic nationalisme. Kelahiran Indonesia sebagai sosok negara moJern-selak masa penjajahan Hindia Belanda hingga sekarang-tidak dengan serta merta disertai oleh peleburan berbagai sosok nationhooayang sudah ada sebelumnya. Yang diwariskan adalah sesanti bhinneka tungal lka. Paparan di atas menur{ukkan adanya hegemoni state*formation ataswacana nation-building. sungguhpun demikian, kita tidak bisa dengan serta merta mengatakan bahwa nation-building di Indonesia sudah tuntas. Dalam coraknya sebagai bangsa yang beragam, harus juga diakui bahwa nation-buirding yang berlangsung adaiah sesuai yang terprogram secara jelas. Aktualisasinya memunculkan tantangan governability tersendiri, dan simplifikasi yang berlangsung berlebihan berpotesi rnelahirkan rnasalah tersediri. pembelokan persoalan national building menjadi persoalan state formation, juga bisa
JURNAI"
I I-NIU P E ME RI
NTAH AN'NDONESI,A
Kenlscoyoon Tolonqn Asimelris: lelleksi Metodologis Penqloon Pemerinlohqn lndonesio
berbahaya. Mari kita cermati ilustrasi berikut ini. Tidak banyak yang merasakan adanya kejanggalan ketika bergulir narasi besar (grand narative) bahwa Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, ditandai dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan. Kaiaulah tidak lTAgustus di hari berikutnlra, ketika telah memiliki konstitusi. Reproduksi narasi sejarah bahr,va Indonesia pada pertengahan bulan Agustus tahun 1945 ini sedikit banyak mengecoh, karena Indonesia difaharni eksistensi dan kehadirannya hanya sebagai entitas yuridis adimistratif. Kalaulah narasi tersebut memiliki kebenaran, maka jangkauannya hanya di dalam domain yuridis-administratif. Secara sosiologis, apalagi secara kultural, Indonesia telah menyejarah pada saat itu. Bergulirnya grand narative di dalam kajian ilmu pemerintahan di Indonensia ini seakan menutup mata terhadap kenyataan macam kontribusi dan peran vital jejaring dan interaksi antar muslim yang telah berlangsung lama dalam menyatukan negeri ini.s LeLrih dari itu, penuturan itu menghasilkan amnesia sejarah.
Dalam narasi sejarah, Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, digambarkan wilayah dari kerajaan-kerajaan Pulau, yang di satu sisi terlibat dalam kerjasama dan konflik dengan sesamanya, dan pada saat yang sama mendapat terpaan pengaruh besar dari bangsa-bangsa lain di Asia yakni India dan Cina.6 Denys Lombard menggunakan istilah 'persilangan budaya untuk menjelaskan hal itu.7 Tentu saja, kawasan ini merupakan wilayah pengaruh kekuasaan kolonial Eropa. Catatan penting yang bisa kita petik dari literatur sejarah ini adalah bahwa nasionalisme adalah kemasan atas reaksi terhadap bekerjanya kolonialisme ataupun ekspansi teritorial bangsa-bangsa Eropa.s Oleh Ricklefs, perjalanan sejarah Indonesia dalam periode 1630-1800 disebut sebagai era perjuangan merebut hegemoni, yang jllstru diikuti depgan pembentukan negara jajahan pada periode lBOO-i9lO. Baru setelah berlangsungnya dialektika dari kedua hal itulah bergulir konsepsi ke-Indonesia-an.e Sehubungan dengan narasi Lentang nation-building tersebut di atas, Ricklefs memberikan catatan penting. Gagasan tentang Indonesia hadir dan menyejarah dalam periode yang relatif singkat, yakni antara l9OO-1942, meskipun jauh-jauh hari sebelum itu kawasan Nu.santara waktu itu sudah terajut oleh jejaring dan solidaritas muslim. Telaah f)enys Lombard, dengan rujukan empiris di Jawa memberikan petunjuk penting, bahr,r,'a negeri ini mewarisi tatanan konsentris dari kerajaan-kerajaan di masa lalu. Konsentrasi kekuasaan, yang ditandai dengan sebagai
5.
Lombard, Denys, 1990,"4/usa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1990 D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Drs. I.P. Soewarsha dan disunting penerjemahanya oleh Drs. M. Habib Mustopo; Penerbit Usaha Nasional Surabaya. 7. Lombard, op.cit.
6.
B. Hall, op.cit. Perhatikan juga aiur kajian Parakitri T. Simbolon, Merladi Indonesia, Peneibit Buku Kompas,20O6. 9. R-icklefs, M.C., 2001, Sejarah Indonesia Modern: 72OO-2OO4, Serambi.
JURNAI. ILMU PEMERINTAHAN /NDONESIA
n
e rr e r
s
r
rr,'
e r o a o ro g
i
s
p
e
I;r:rli.J.T :,f,r;ffl
,1
:'nJ[
kota sebagai pusat kekuasan' arlalah keniscayaan sejarah karena terah terpatri
:i":filJ!:i:f i"1Tffi
i:ii*#J;fi
:Tlx.ha,vang".*..n..,.nssuns hingga sekarang tetaprah men,lambakan konse#;??Xt":i:fl pentingnya bukan hanya imajinasi namun j'ga hadirnya imajinasi tentang trroo.r."i. sebagai suatu nation_state, ini. tidak" a"rrg.rr'""rta nationhood yang telah merta menghapuskan teoitr lautr jahulu *n.rrio"g..r1 Di sini kita taiu kita memitiki u:l."y"il" y;;-;;apis_rapisi bahwa,
inffi:ffii
_,lir\r,,ationhood). Ke_rndonesia_ r._r"r"iran ;ff:ffi;11-.i:::lakan,,,J.,gr,,r,,,gr"" karangan musrim, dan Tirlisan ini tidak bermaksud
rndonesia .g.i sebuah ".t yang berlebihan "i"t._,fi dan berbahaya
:; ffiHiT:X?"r::rf T::-ffilffiJ ,.t
ketik u
^*u*
u..rg pernah berkuasa di
f*:lE*TI;:,?;n-S"*fn***:,"XXan,dandaramobsesinya kita berurusan dengan dua ;;,',;;,
ffi:#flx:n
ini dikonrirm asi
d ;;;;:igH;:Hl :?f"ff;:i ngat berp engaru h "r3r' ."".:'.r,il ;;; r_"ls .neseri,
sa
tentan!ra.am"*;ffir,Tfrf.:lil:f
m.*._;,*i::fl.f#;
il'?:3,ff pemerintahan menyisakan problematika yang o.rrt;.,rua yang hanyalah ,negara,, au., prO* kita hiraukan tentang negeri. Dalam periode Indonesia "r.t,-anai -.Gu, ,.r"n f;"ruTr. kajian yang menunjukkan bagaimana pendekatan srare-..rirr" yang berc;r; sentralistis mendominasi' baik dan seragam *.rp,rn praktek pemerintahan ]
*"u; ilJXffii:::i'ff,TJft
.
-.rrggambark., .r.,t'" kebangsaa""E".'."T;i;;;:Ji:T.:i;ntil,:T,Tsentasipuncakekspresi nesara integraristik. Negara dibavanlk""
".o"s;;l;";::"?:il i::::fir[:,:l-.
10. Lombard, op. cit. IL Kita diingatkan oleh Benedict Anderson bahwa nasio -r2' Mcvev, Ruth r, "rhe Beamte"",*,-,,, r'11;lTtlif#ffi::ff"t.BacaAnderson,B.R.o.G.,op.cir.
fff'T.fg"* ,?"'il:r33*,;;y',;;1""!!,): ;:i:;;:'+f::* :::i:,:X:::::l;? l,?l;.,"''A:*t ,.rndonesia,s New orcter ; a Bureaucratic il.:-I:T.,pyictt y., BureaucralicAuthoritarian Politv,,a Neopatrimonial
-\!6rrrrL what vvlratr.'rrlerencesf)oesltMake?"uLtu*a.,a".;;;;;;nuTi"f"o".f, Regime or a - Regime: Diffel op.cit.,pp. t67-t86. 14. AmienRaisdany.E Mangunwijava adalah ri'a di a'tara sedikit tokoh yang mendobrak kejumutan 1;.y.1g J".e.;;ili 0".,J",J",1' oo,"i.o,,.t buku y p, *:n kecil yang oituris ff ::11T" Republik rndonesia Mangunw,i*",
il"iil;;#Jil1f;_ffili;1,f
sirikat,r"fi.i"i6."_"#?.j:?,i:,$e,;:,hat
J U RN AL I LM
,.ir., id#,,ra4.nuiu
IJ PE M E RI NTAHA
N,NDONES'4
Keniscoyoon Tolonon Asimelris:
Refleksl Melodologis penolqon pemerintohon lndonesio
yaitu sebagai perwuiudan paling sempurna dari kehendak kolektif dari entitas yang disebut bangsa. Kehendak kolektif ini hanya bisa dipahami oleh negara dan meialui negara. pun, beragam individu maupun elemen yang membentuk kolektifitas ini hanya bisa memahami kehendak kolektif tersebut r.r"t.lri negara, di mana birokrasi, baik sipil maupun militer merupakan instrumen utamanya. Y-ang perlu dikedepankan di sini, kalaulah visi erof. bupomo tersebut merupakan keniscayaan bagi kesatuan Indonesia, kita tidak boleh menutup mata terhadap kenl's1att bahwa realita Indonesia belum serapi yang beliau bayangkan . Nationbuilding sangat diperlukan, dan teorisari yang sensitif terhadap persoalan nationhood sangatlah diperlukan. Proses tersingkirnya konotasi kesatuan sebagai proses pembangunan kebangsaan atau nation-building bisa dirunut t. tahun 1g5o-an, saat dibubarkannya Republik Indonesia serikat {RIS). Dalam diskursus yang berkembang saat itu federalisme diasosiasikan dengan upaya deuide et impera Belanda yang sedang susah payah menegakkan kekuasaan liolonialnya di Indonesia' wacana semacam ini telah direproduksi secara sistematis, ter.utama pada masa Orde Baru' Dalanr buku-buku pelajaran sekolah, sejak dari Sekolah Dasar, narasi tentang periode RIS memberikan gambaran periode tersebut sebagai periode penuh ancalnan perpecahan dan disint.egrasi serta tidak sesuai dengan negara-bangsa yang clicita-citakan dalam proklamasi 17 Agustus tg4b. Narasi yang sama memunculkan gambaran bahwa bent.uk negara L"rrgr. yrrg dicita-citakan adaiah negara trresatuan dalam bingkai state-formation, di mana kontrol dilalankan secara terpusat dari Jakarta. a.daiah penentu utanranya. Sehubungan dengan bergulirnya narasi historis tersebut di atas, perlu ditegaskan bahwa federalisme memang betul-betul dipakai tselanda untuk memecah belah Indonesia. Pada saat itu keutuhan Indonesia harus diperjuangkan habis-habisan. Namun, hendaknya hal tersebut tidak berujung pada pengunci_ matian asosiasi federalisme dengan deuide et impera. Diskursus potitil o.r, pemerintahan yang berlaku sampai sekarang berwatak hegemonik, dan hegemoni ini masih'rs Salah satu implikasi penting dari hegemoni ini adalah bertahannya diskursus yang selaiu mengasosiasikan federalisme dengan perpecahan. Karena hegemoni wacana tersebut, orang yang menyuarakannyacara berfikir federalistik bisa segera dilabeli pemecah belah bangsa, bukan peiuang t srtu.n a..rgrn,,rte VanS berf;da: ypng mengembangkan ikatan trans-lotahtas dalam y-ang terobsesi mencapai tujuan nasional karena pemikirannya outward lookingpatuidicermati bahwa dari tingkat lokal, pilar penyangga federalisme adalah keinginan untuk memperkuat instalasi supra-lokal agar bisa optimal dalam menjalankan strategi
15' Lihat Panggaben, samsu Rizal' "Fedcraiisasi rian Demokraiisasi di Indonesia" dalam Politik,Vol. l, No. 3 - Maret 1998, yogyakarta: FISIpOL IIGM JURNAI, ILMU
PE
MERI NTAH
AN'NDONES'A
Jurnal sosial
!
Kenlscoyoon lqlqnqn Asimelris: Refleksi Melodologis Penoloqn Pemerlnlohon lndonesio
pengembangan bersama yang berwatak outward looking.rG Jelasnya, yang sebetulnya menjadi persoalan adalah cara kita memandang persoalan. Issuenya sebetulnya bukan federalisme ataukah format kesatuan, melainkan inward Iooking ataukah outward looking. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa federalisme tidaklah terlalu menjadi persoalan ataupun menjadi sumber perpecahan ketika nation hood dari bangsa yang bersangkutan betul-betui dimatangkan. Mobilisasi bias dengan mudah kita terasa dalam pewacanaan yang bergulir. 'Integrasi nasional' disamarkan, kalaulah tidak dipelesetkan, menjadi 'integrasi organisasi negara. Efektifitas dan efisiensi kontrol rezirn administratif negara diasumsikan secara otomatis menghasilkan kesamaan imajinasi kolektifitas yang disebut kebangsaan. Lebih parah lagi, kalaulah ada imajinasi kolektifitas kebangsaan yang berbeda dari yang imajinasi penguasa, hal tersebut lebih sering diartikan sebagai, insubordinasi ketirnbang ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemerirr.tahan oleh negara. Yang jelas, reproduksi wacana .yang berlangsung secara terus menerus dan dibarengi potensi penggunaan "instrumen koersif negara ini, telah berhasil mengunci imajinasi sebagian besar orang Indonesia tentang Indonesia sebagai negara-bangsa yang "sesungguhnya'. Sangatlah tragis jika yang ikut terkunci mati adalah pemikiran para ilmuwan yang membidangi masalah pemerintahan.rT Kesediaan untuk keluar dari cara berfikir yang legalistif-normatif tidak diartikan tidak nasionalis ataupun tidak patriotik. Yang menjadi persoalan sebetulnya adalah apakah pemikirannya berwawasan ke dalam, yang kemudian mengedepankan ego untuk sub-nasional.
2.
Keraputran Aksiologis: Kealphaan Refleksi Epistemologis
Adanya bias dalam pewacanaan di atas bisa dibaca sebagai politisasi pemerintah. Namun, hal itu bisajuga dibaca sebagai konsekuensi dari kerapuhan metodologis dalam pengkajian yang berlangsung. Adanya kejanggalan dibalik praktek pewacanaan yang berlangsung, tersedia bukti akan adanya keilmuan, baik dapi sisi epistemologis maupun aksiologis, yang penting untuk kita camkan. Secara aksiologis, memang ada alasan kuat untuk mereproduksi sfafecentrism serta konsistensi pada pendekatan yuridis-formal. State-centrism bisa kita maknai sebagai ungkapan dedikasi untuk memastikan keutuhan Indonesia terjaga. Ilmu pemerintahan yang dikembangkan tidak direlakan menjadi biang keladi disintegrasi Indonesia. Hanya saja, tidak tersedia penJelasan 16. Tentang dinamika negara dan pemerintahan daerah di Indonesia pada periode awal Indonesia modern lihat emelen, Sita van and Remco Raben (eds.), 2Oll, Antara Daerah dan.Negara: Indonesla Tahun 195o-an, Jakarta: YOI and KITLV-Jakarta 17. Lihat Dhakidae, Daniel, 2OO3, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
JURNA I. I LM U
PE MERI NTA
HAN'NDONES'A
Kenlscoyoon Tolonon Asimelris: Refleksi
Metodologis Penqloqn Pemerinlohon lndonesio
yang memuaskan mengapa peniafti.inan kesatrian Indonesia dalam rute nation-building tidak lagi dikcur'bangkara idianggap selesai). Yang jelas, bahwa "membabibutanya' pewacanaan varig state-centric ini membuka kemungkinan bercokolnya kepentingan-kepentingaar terseluLrung (vested interest)
Yang ingin ditunjukkar: disini a"dala-h bahr,r'a kealphaan kita melakukan refleksi kritis justru membrlat sisteln aciministrasi pemerintahan dan kerangka yuridis-admintratif yang berlaku semakin tidak dapat dianda.lkan. Kasus pemekaran wilayah (pembentukan l)aerah C)tonom Baru) dapat dijadikan ilustrasi. Telaah secara seksama tentang bagaimana proses pembentukan DOB menunjukkan bahwabirokrasi pemer=intahan rnasih rnenjadi pilarpenyangga tata pemerintahan. Sungguhpun demiliian, irirokr"asi yang selama ini kita asumsikan
,URNAI LMU I
P
E
MERI NTAH
AN'NDONES'A
Ref
reksiMerodorosisr.ff ,i,ffi :I"";:,H,Tff
l,i:'il.ji
sebagai instrumen untuk mengendalikan misi pemerintahan, sebetulnya tida hanya menjadi penyalur kepentingan pusat di daerah melainkanjuga sebaliknyr Yang terlihat di sini adalah bahwa apa yang dibayangkan sebaga-i kepentinga nasional sebetulnya telah berhasil dibajak oleh office politics yang dimainka dibalik kesan formalnya birokrasi kita. Di satu sisi eksponen penyelenggar pemerintahan nasional mengeiuhkan pertambahan daerah otonom baru, c sisi yang sama tambahan daerah otonomi baru itupun keputusannya sendir Jelasnya, asumsi bahwa birokrasi nasional punya kendali terhadap birokrar 'daerah hanya benar sepanjang telaahnya dibatasi pada tataran formal administratif' Pemerintah pusat justru berhasil dibuat tidak berkutik untul
memenuhi beranak-pinaknya aspirasi untuk mendidikan daerah otonon baru' Birokrasi yang biasanya berposisi menjadi instrumen untuk meiakukar rpenataan dengan logika yang sentralistik, dalam prakteknya justru menjadi fihal yang harus berubah. Artinya, sangatlah riskan sekiranya telaah dan ienataar pemerintahan di negeri ini terbelenggu oleh peran birokrasi dan pemikt"r, y.rr1 'birokratis.
semakin kokoh legalisme dan administratisme kita kenakan, semakin kerut telaah yang kita hasilkan. Lebih dari itu, semakin kita mengalami kesulitar: dalam menjelaskan kompleksitas permasalahan, semakin kita kecanduan dengan legalisme dan administratifme itu. sebagai ilustrasi, dalam kerangka fikir birokratis yang masih menjadi mainstream saat ini, desentralisasi dimaknai sebagai pelimpahan kewenang.r, dari pemerintah pusat (puncak hierarkhi birokrasi) ke level yang lebih rendah (bawahan). Telaah politis tentang proses pembentukan DoB, sebetulnya secara diam-diam membantah claim"yuridisadministratif, bahwa otonomi daerah adalah pemberian (tepatnya pelimpahan kewenangan dari) pemberian pemerintah nasional. Dalam fratiet nya, daerah yang berjuang untttk mendapatkan pengakuan, dan pemerintah nasional tidak kuasa membendung permintaan. pemberian otonomi lih.r",r" untuk papua, sama sekali tidak terjelaskan oleh premis yuridis-administratif. proses penibentukan DoB pada umumnya lebih meqielaskan watak asertif daerah, daii pada watak delegatif-nya pemerintah nasionar. Maraknya kasus yang ..anehini memberi isyaratbahwakerangkafikirnormatifyangmendasari itaimyundis-administratif ini tidak memadai. Dan kalau langkah-langkah penataan daerah terus saja berkutat dengan kacamata kuda formalistik dan administratif ini, maka semakin tidak bisa diandalkan problem soluingyang ditawarkan. Yangjelas' kegagalan membedakannya, memiliki implikasi serius: salah urus dalam menyelenggarakan pemerintahan dan gagal dalam menjaga kesatuan sendiri' Harusadapertanggungiawabankeilmuanuntukmanakalaladiatasklaimitu kebenaran keilmuan itu justru terlahir dari ketidakbeseran penyelenggaraan
JA
RN AL
I
LMU
P EME
RI NTAH AN
INDONESIA
(eniscoyoon Tolonon Asimelris: Refleksl Metodologis penoloon pemerinlohon lndonesio
pemerintahan'r8 Ini adalah domain yang harus dikawal secara seksama oleh Masyarakat Ilmu pemerintahan Indonesia. yang jelas, pemerintahan bukan hanya mekanisme pemberlakuan tatanan yuridis dan regularisasi melalui sistem administrasi. Pemerintahan adalah juga the art of governing.rs
Kalaulah kita tidak rnemperlebar pembahasan tentang pemerintahan sebagai persoalan art, kita faham bahwa problematika keilmuan mengedepan tatkala rivalitas dalam teorisasi kesatuan Indonesia tidak terkelola seuagai dialog, kalaulah bukan dialektika.2o Keduanya sama-sama kita praktekan dan sama-sama memiliki manfaat. proses state-making berorientasi pada, dan berkontribusi bagi lahirnya tertib administrasi yang diharapkan berujung pada kinerja pemerintahan yang efektif dan efisien. sementara proses nation-building
berorientasi pada terciptanya sebuah imajinasi bersama tentang beragam elemen sebagai sbbuah entitas yang disebut bangsa.2l studi pemerintahan akan sangat menggairahkanjika Indonesia senantiasa kita bayangtan sebagai ekspre-
untuk mengekspresikan kebangsaan, yang pada gilirannva berkontribusi pada reproduksi imajinasi kolektif kebangsaan bagi agen-agen yang terlibat didalamnya. Dengan begitusfafe -formation d,art nation-builcling iut
;;il"*
otonomt Daerah Z *"t"i"i i;;il#l dalam Internasional ke XI, diseleiggarakan oleh Yayasan PERCIK salatiga pada tanggal 2t-23 Juli
19' Istilah ini merupakan salah satu definisi paling tua dari politik. otto von Bismarck, perdana t&oh dunia y".r!-*"rrggunakan definisi tni. Dia membayangkan politik sebagai penggunaan k_cntror a"r.- -'""yiakat melalui pernbuatan dan utoutusan-keputusan menteri Kekaisaran Prusia merupakan salah satu
koleklif. Lihat Heywood, Andrew, 2ao2, politics-2"d Edition, palgrave, fl:l;tuu"" 20' Kecenderungan meniumbuhkan kedua proses ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun merupakan
implikasi yang paling mungkin muncul t<etika ka;ian politik dan pemerintahan mainstream saat ini menempatkan -negara_u".g""i;;a:o;sfale) sebagai unit dasar poltf;n Terlebih lagi ketika dinamika di negarainegara Eiopa, yan! menlaai refleksi utama pengembangan teori dan konsep tersebut, mengandaikan bihwa naiion dan"stare"sebagai entitas tunggal. Asuminya: one nation in one state. implikasinya, di sebagian besar negara_rr.g".".e.opu, pro"""lifub, iuilding . seringkali berimpit dengan proses state-builcllng meskipuritera"pit u"..g"--"lrr"" ail""" Jrrr. 2l Anderson' B'R'O'G', lggg' Komunitas-konunitas Imaiiner: Renungan Tetttang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, diterbitkan atas kerja sama pustaka pelajar dan insist press yang menJadi
IU RNAL ILMU PE ME RI NTAHA,N
INDONES/A
R
e
f
I
e ks
i
M e Io d o Io s
I
s, "
ff T:;'J..; : #,Tffl,i
lil
bisa mengantarkan pada kebuntutan pemikiran, dan dalam sit'asi seperti ini the art of governaning niscaya menjadi dambaan. Kalau tidak mat a keperh untuk memobilisasi makna akan terasa lebih mendesak ragi. Refleksi tersebut di atas mengharuskan kita berani mengakui bahu,,a ket kesatuan Indonesia dikunci mati pemaknaannya,yang sebetrrrnya terancam o disintegrasi di sini adalah keutuha' dan kebLrlJtan sistem berbasis komar para penyelenggara negara. yang sebeturnya berada dalam posisi teranc: adalah kenyamanan untuk berfikir dengan yu.rrg sudah_sudah, yang seak membolehkan kita menutup mata "r.u. terhadap perubahan lingkungan starteg sekali lagi' keengganan untuk berubah a..rga.r alasan yang bersifat doktrir perpotensi membahayakan Indonesia, dan reformurasi doktrin haruslah dilakur untuk itu. Reformulasi doktriner sangailah diperrukan kalau kita semp merenungkan kekhasan cara kerja yang birokratik. Yang tidak banyak disadari aJalah bahvra, di daram cara berfik ir state-centt 'itu inherenl asumsi
bahwa rakyat itu terkotak-kotak secara administratif I '"dalam satuan-satuan teritorial dan saat yang sama terkotak-kotak secar sektoral' Ini sebetulnya adalah carl 1,"d. birot'rasi-pemerintah dalam setiap tl ]
kanakanc"."k;:,;:?:tr#Hff
i:#*nlf
:fi :;: jTff:r,[:;:?11:
oleh keinginan untuk mengimbangi, karaurah lain' Pada saat yang sama, yang secara tidak mengungguli bangsa_bangsa d'iam-diam berrangsung sebeturnya adalah kelatahan kita dalam men"e.uskan tradisi pemerintahan koroniar. Demi
JURNAT I LMIJ
P E M E Ri
NTAH AN'NDONESIA
l(enlscoyoon Tolqnqn Aslmelrls:
tclleksl Metodologls Penqloon pemerlnlohon lndoncrlo
efektifitas pemerintahannya, pemerintah kolontal mengandalkan birokrasl sebagql instrumen pengendali luasnya dan beranekagamanya kondisi teritori negara ini. Kalaulah di dalam kelatahan ini tersembunyi kearifan, pe-nting Juga untuk dicatat bahwa pemerintah kolonial Belanda telah memperlihatkan sensitifitasnya terhadap keragarnan landscape kebangsaan. Sungguh ironis ketika kesadaran untuk menjalankan pemerintahan dl Indonesia yang didasarkan pada keberagamannya justru datang ciarl pemerintahan kolonial di negeri ini. Pemerintah kolonial dengan sadar membedakan pola pemerintahan di Jawa dan sekitarnya yang relatif "matang" terpapar oleh pengaruh internaslonal dengan daerah lain. Ada Inlandsche Gementee Otdonantte - IGO untuk Jawa dan Inlandsche Gementee Ordonantle Buttengewesten - IGOB untuk luar Jawa. Anehnya,Justrupadasaatlndonesiamerdeka, pembedaanttufldaklagtdtlakukan. Alasannya kira-kira, state - fonnailonlebth mendesak untuk dllakukan. Yang Jelas,sejauh ini ilmu pernerlntahan leblh terasah untuk membaca persoalan dari kacamata pemerintah darl pada kacamata ralryat. Sebaliknya, karena dahsy'atya kapasitas diskurstf yang state-cenfuic lnl, negara Justrrr merepotkan negara itu sendirl. Se4fata makan tuan t Untuk ttu, ktta ambfl lagt contoh pembentukan daetah otonom baru dl atas. Harrs dtakul bahwa, dlbaltk meluapnya aspirasi pembentukan daerah otonom baru lnl sebetulnya terslfat kepatuhan, dan bahkan pemanf,aatan, logtka state-cenfrlc ltu sendlrl. Jelasnya, Justru karena faham bahwa nalar yang btsa dlterlma pemertntah adalah nalar shte-formailon, maka kekuatan-kekuatan lokal Justru membahasakan tuntutan perlindungan bagi ikatan/solidaritas sub-naslonal lnl dalam loglka yang ada, dan pada $ilirannya pemerintah Justru tersudut oleh banyaknya daerah otoncm baru yang harus dibentuk. Ketidakpedullan pada nalar rakyat pada gtlirannya Justru membuat terkepung oleh rakyat ltu sendlrl. Perlu diakul bawa, ilmu pemerintahan sebetulnya lkut mernutar hlstorlografl versl tertentu. Justru llmu pemerlntahan btsa lclta Jega nranfaatnya keilka ttdak kita asumsikan berada dalam ra.cuum, Kalau klta telaah secara seksama klta akan tahu betapa Ilmu Pemerlntahan, hadlr berkernbang sebagat tlmunya Penguasa dalarn menguasal ralryatnya. Domlnannya wacana state formatlon dan pada saat yang sama termarglnalkannya wacana natton-butldtttg sebagalmana dlpaparkan dl atas, telah menJadlkan klta tldak senslUf akan hal !tu. pembelaan akan kepenttngan ralcyat ktta anggap tldak relevan karena, dalam cara berflklr legal-formal dhn admlnstratif, negara adalah alat yang sempurna untuk mewuJudkan kepentingan ralryat. Asumsl lnl tldak btsa dltegakkan dalam praktek. Ilmu pemerlntahan secara dtam-dlam berlrepbang sebagat tlmu untuk memastlkan pemerlntahan beke{a sesual dengrrn amanat atasan dan amanat atasan. Tttik licin yang menggellnctrkan adalah premls bahwa dalam menyuguhkan lrebenaran, llmu pemerlntahan harus menyaJtkan Justlflkasl konslsten dengan atrasannya
IURNAL ILMU
PEMERIAJIAH.AN'NDONES'A
,f,
e
r.r
e
kri,
M
ero.no'
"
n',
*f&Tffi$ffiH$ffi
ffiltgl
kaidah positivisme22. Yang menjadi basis keberaniannya, adalah rlrukffiat$6shlf Atas dasar narasi nor:matif hukum positif itulah ilmu pernepintaharxao€r@Str netral, namun sebetulnya,berpihak pada obyek kajian yang dtpilih$>A: d&rtrt€a$ (bukan rakyat)' oleh karena itu, agar ilmu p"*.ri.rt"han ldbihibr.etrrndnfaattggi peningkatan kuaiitas pemerintahan (daram hal ini kualitds,thtd pe*neffir.hdeeJn maka ilmu pemerintahan tidak perru berpretensi netral. rcataurahrtr@{ b€i{fifid stir l8o' fokus kajiannya bisa digeser pada koeksistensi dani i,r,ftorBlaeilrqobb rakyat' Agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas pemarintahapflitrrs&ngpq ilmu pemerintahan tidak har.us netral dan tidak terjebak daiar,nlir€amghowch jerat formalitas administrasi'2' Ketidaknetralan ilmu pemerinta,ham&Hrocd ini justru diperlukan, tepatnya untu-k melakukan reteoi'isasi,tehtalrrBbs€hqihdch pemerintahan, dengan memperkaya sudut pandang. yang d,ikernbaftri*qsuo*a hanya pandangan p ej abat pemerintah melainka.r plndangan rakyatdryEqgdA ini tersirat dari berbagai wacana yang bergulir diaatam masyara,kdti t6rmEsuk juga dalam narasi or:al yang tidak tereproduksi melalui saluranrr*E*ntsqpcog pidato pejabat dan kurikulum pemerintah. , ,;1 il,,.edsb errsrsd !
3-
Keniscayaan Tatanan Asimetr-is: .Taking Nation-building seriously
rjj.,.tJl {IsrJoqg1gm
,.,,:j i;
r r:tfu.n:q r{o}noc
,:ii i r{jorj synqsulsrn
sebagaimana disebutkan di atas, telaah ilmu perne.i.rtarr.ni il:g,'.j#ffiX'; bergulir, tidaklah kedap terhadap jargon 'NKRI harga matir. Fraseirhutg&-data ini memiliki dua konotasi. Daram konotasi pertama, kesatuan acialah,+rilatr$ftog kita junjung tinggi, dan karena sebegitu pentingnya niiai itu, .rnirka,t4OapUh kita lakukan demi optimalnya aktualisasinya. apa"r<arr begitu kita, mef4{aff11d NRI harga mati? Tidakl Yang berkembang adalah konotasi kedua, ydltqiruure.ffi gangu apa yang sudah mapan!". Kalau diteruskan, jangan ganggu,,lrbruhpgnan yang ada, karena mengusik mereka yang menikmatinya. yang,Je*abrpldryw tersebut berpotensi, dan daram batas tertentu terah mengunci=matir,teoriFii4si{dhir pemikiran pemerintahan. Hal ini, justru sekali lagi, menegaskau,,irbffisdlalssd karena kenyamanan dalam klaim harga-mati itu kita laru rnenghada$r4{6ugmq mendudukkan persoaran. sebaliknya, perlu alternatif dan terobosaw pcnarcoaa , :,: iij :ti.;:hsqaqib
ffil97B'P.,'e',,tarIlmuPemerintahan,Yogyakart"iB"d""|../';;ffi1fiffi UGM'
sejumlah kajian pem-erintahin yang berusaha keluar dari-ie'J.^u,u' yuridis formgl ini ma5ih terbatas melihat pemerintahan sebagal pr"oses koordinasi yang *'."it t..t"tas pada remu#$Ali6ilf6?S pemerintahan formal' dan belum b...t"tht menukik pada p.Jses s.rta lembaga pgmertdianhriryarrgJ meskipun seringkali tidak bersifat informal,.,memiliki pengaruh yang t
syafiie, tsgl,,ptu,i;i*W#, -i""r Pemerintahanr, Bresco: Bandung . | .., 1; t!.i l;yil.rrsaele 23. Point ini disampaikan_ penulis pada saat pidato-pertgukuhan sebagai guru beqar tdi.E{ldiifr€hat Universitas Gadjah Mada. Lihat Santoso, purwo, 2Oll, Ilmu Sosial Trar. Gu,ru Besar rr*" p.lit* UGM.Naskah tersedia cii:-http://rib..,s-.^".idlj;ftxii;i,ij,tri;rT$qH*btgll ppr l050o0r'pdf, dan http://www.acaclemia.edu/r686103/Irmu_sosiar_Transiormatif.
JUfi NAL
|LMU pEMEntNrA.}raAd ilVbdf,,tfiJ4.
--
feqis.e
g y.,ooo
;
Iqlsins
n, As
irnetr,isl
Rellek*1, MelpdBlc:gisrP,enotq.dn,peme{,inloihqnj
}ndohebid
aggrkesatuan.tetap,teriaga, 'dan:keru.uritan yangikita hadapi semakingo *erinable! iiir';Rllisan ini pengajak irita' mendalaili konotasi pertan-ra,,, ' Justr.,ur il{ap.enq he-satuan kita kunci irnati sebagai : nilai yang sangat esensiall, rnakarrmobilipasi lq4e.qtifitaq justru harus dilakukan,sebebagai,uentut< k;";""r;; tn" p* *n* tefsebut':Kritisisme'yang dia.1'ukani oleh,,pemrlis terhzidap pendekatarr yu.rid.is,3 fu56a1;'dal'arr|kajian clan praktek pemerintahan .di trndonesia, dapittrd{iadlftard entry poin untuk mengajak,pe'r,rbaca,menju4j,ung tinggi pusaka ydng,diwdr:iskan dari' pe{ala nan sejarah pembarlgunan i kebung*".n inaon."i.,itu, ssneiiril qf.akni sesSnti: BhinnekaTungppl lka'rRasa horrnZlt kita pada para pelaku,sejarah j{istn* h-ar''-rs'kitatunjtrkkan pada keseriusanliita datam *"-"ritJ=,"r;;;';;;a*ri.*ri sef,qdiri. , ,, :r,: it:;, ,,. , , .: , , ir..r.,i!.:i!i; ll:ii::I.,i{ r bhinneka tunggal-;,rfra',itur adalah :formura yang ',r:sesanti ditemrikiih ,qa;ri pergulatan para pendahulu kita;.5.lang.telahrrneniti lintasanrsejarah-i{u isendiri, Ajaran lang,dil.rristalkan dapi perJalanan rsejarah itu:adalah, pentingmytu&ital ngnyempurnakan, d iri r dararn,kol€ktivitas yang, ber:agam, d an, kesbdrairrl llnm,w mgr'rgrinra dan bahkan mengambr-iLimanfaat dar; keralaman itulah yarn$,r,ner{ridikUnqi t kejqraa! . dalam kesatuannya,Dalam r kcrnteks -irri, terlalui teriobsesi l kita .
dengan 'tertib 'administrasi ketapian itat'a,,pemerint4handari satu,isisi.,i:,,fu]gfi. mg4iadikan pelajaran dari peqjalanan seiarah ini luput dari perha,,tiar,r;ir ilr,;,.i:!r:;i: ; 1r; Dengal,rnendalami konotasi pertama dalarn memaknai NKRI harga,rc,ratirtadi;1 Bhinneka Tunggat Ikakita perlakukan,sebagau ekspresi kearifan bangsa,r.kr.lani bukan proposisi. teoritik, bahwa ku.nci,persatuan Indonesia adalah kecangg,ihan: mengelola keragaman, khusunya rrenca.ti titik-temu pemikiran, bukan.=Ii*,r,* dan kepatuhan likiran yang telah diputuskan komandan dan dijabarkan ke dalan,r, serangkaian konranclo' Pointnya di sini buhaniah irrelevansi kepemimpinan,i melainkan urgensi untuk mengembangkan kepeniimpinan berbasis ide; ,danr pada saat yang sama urgensi untuk tidak terpaku pacla sosok. 2a Acla:r.de-ide dasar yang kita .jadikan rujukan, dan ada pura ide-icie operasional ),ang,r ic,iarir w.aktu ke waktu perlu rumuskan dan disempurnakan.Dalam kerangka.;iniiaht kini dicanangkan gagasan 'asimetri desentralisasi'sebagai
instrumentasi.ipolitik
Perlu ditegaskan
di sini bahwa, gagasan 'asimetri desentralisasir
,\).
,adara**, al4si
ini, hendak dletakkan ide dasar,yhngi Ya"11 d aerah ad
;:i:,:.:::tr: i::y:l:?:"g", f:" : _T:i:1TT]. o:i*aan
al
ah
m emp
erte-;;;
;; ;ffi;iil:
final'dan'siap pakai', dan tidak pula obat .serba g.rrr..; Sebagai agenda setting, khususnya dalam pencarian alternatif kerangka ini' kita pe-rlu dari pral
delah (GBHN' Repelita'
IURNAI. II.M U
P
E
MERI NT A H
AN'NDONES'A
R
er, e ks
i
M
ero d o
I
os
is r
"
f;t::;'JJ; : ;l;J;il;l ,tl:
tata pemerintahan, desentralisasi asimetris perlu diletakkan dalam bentar pengalaman historis kita. Artinya, ada urgensi untuk mengawal historiol yang memungkinkan asimetrisme ini terus kita tekuni. Hal ini pentino ur kita camkan mengingat, perjalanan sejarah kita timbul dan tenggelarr gagasan itu. Ada periode dimana keragaman kita rayakan, dan ada kalanya b keragaman kita rakuti. Tantangannya, daram bahasa parakritri si;;;ir", harus keluar dari asumsi-asumsi kosong (delusion over delttsion).2s Dari telaah l<esejarahan kita tahu bahwa dari masa ke masa ada ..prc politik" untuk menyatukan negeri ini. Kuncinya aclalah penempaan nasionalis Dalam perjalanan sejarah, nasionalisme telah menjadi energi pembangkit en kolektif manakalala kekuatan eksternal menindas bangsa ini, dan nasionalis yang dilahirkan dari tekanan eksternal itu kehilangan relevansi manakal tekanan eksternal ini tidak mudah dirasakan. Kemiskinan refleksi historis dal kajian pemerintahan selama ini menjadrkan kita alpha bahwa nasionalisme yi berkembang di negeri ini pada dasarnya adalah reaksi terhadap pengaruh asi yakni kolonialisme atau perluasan teritori negara-negara Eropa. oleh kart itu, kalauiah kita merdeka, sebetulnya kita baru ,merdeka dari,,dan belr 'merdeka untuk'.26Hadirnya nasionalisme sebagai reaksi ini, menjadikan k gegabah dalam merawat proyek politik tersebut. Dalam istilah Romo Sindhuna persatuan Indonesia tidak cukup kita rawat clengan sakralisasi, dan kita pe mengembangkan kemerdekaan yang mempersatukan.2T Dalam konteks asimetrisme menyediakan pegangan dalam memperjuangkan .kemerdekai untuk'. Dengan kata lain, keragaman akan relatif mudah kita kembangk manakala kita sanggup mengenrbangkan wawacan vang bercorak o,ttvt Iooking' Di sini' kehendak untuk berbagi (sharing) tidak nenjacli pembatal untl maJu dan memperoleh hal yang lebih besar/baik. Hadirnya Indonesia sebagai sebuah nation-stafe tidak boleh lagi deugi gegabah kita asumsikan sebagai hal yang final. Jangan sampai karena sumpi Pemuda sudah kita terima sebagai sejarah y..rg bangsa ini par kemerdekaannya, maka kita lalu take for grania-".rg.ntarkan ftrp^tnya tidak lagi berikhti sekuat {enaga) bahwa Indonesia berbangsa satu, bertanah-air satu, berbahar satu: Indonesia. r)alarn konteks ini, sejarahwan legendaris Alm. prof Sartor Kartodirdjo mengingatkan kita : Being a new nation' the neecl was keenly felt to have a national identity by constrrctin{ a nationar history. Being furly aware of the ract that sharing a cornnton experience in the past as citizen of a nation state, national history can be regardecl as a syrabol of national iclentitv. 25' simbolon' Parakifri r.; "lnclonesia Mernasuki Millenium Ketiga,,, dalam Kristar-rto, J.B. (ecl Tahun Nusaulara, Konrpas. 26. Sirrdhunata. "Demitologisasi persatuan Nasional,,, dalam Kristanto. J.B. {ed.), 2ooo, 100 .raht Nttsantara, Kompas. 2OOO, 1 OO
27. tbid.
J U R,N
AL ILMU
PEM
E RINT AH
AN INDONESI,
ls:
f $H-",it^i.l:J:f
lo
;,:"rl;H;l'f
;.,nerinrohonrndonesio
view in tiils perspective, nationar history functions as a fundamental basis ofnationar education, beinga oi""poxnn and inspiration as wen. At this time, when the nalion "ou.i, is a"r"i a dangerous process of desintegration, more than -the ever before, "ri"r", spirit of nationarism is very much needed to solidify the unity of the nation. For this purpose, national history has to be"revitalized and national consciousness awakened. ..- on the one be hand, objectivity in constructing national be obsetwed. on the otierhuna, iotor*ur criticism
y::T,#:;t
must
Pesan penting dari
kutipan di atas adalah bahwa, dalam ketidak-menentuan saat ini, j,rstru penting u'tuk :l!1ffi:ffiilJ#:"[:H",1;fl"".s-i1 Untuk itu keperluan untuli obyektif tidak membatalk"r, k h...rsan untuk kja1: Kalaulah kita tahu bahw'a embrio imaji'asi korektif sebagai sebuah entitas sejarah vans sansat panlang, daram setiap antara p oritik, ekonomi, o"" u"
*'u
i:ffifitrU;l;f":ffiffitt'#
n;i",lHlffi
,,1?:: ;;y1.ffi wilayah negeri ini'2e Fakta ini seharu"nyii", dijadikan sebagai materi ".*."* refleksi kritis ten-tang pembangunan kebang".rn Indonesia. Karaulah serama ini imajinasi kolektif dibangun] direkatkan, a"r, oireproaursi engagemenlyang terus menerus meralui proses antara berbagai elemen bangsa yang beragam. "t..i.gi untuk J'.,,gr.o,roisikan muncurnya pora Beragam entitas yang sekarang,membentuk bangsa yang kita kenar sebagai Indonesia, pada masa itu tidak triaup di bawah yang tunggar' seperti.regara ".8 .r, payung kerembagaan
'::t*::;t*
l:::ifiiflTffi#iXj*
yang kita di antara mereka lebih lido.ong-or.rr kenar saat ini. pada saat itu, interaksi kebutuhan ,rr.,.rr. melihat keluar dari entah aorongln tersebut u.t.rp. politik, ekonomi, -otivasi Tidak dipungkiri pura bahwa daram perjaranan sejarahnya, terjadi konflik' bahkan yar,g tidak jarang beraarah, di antara b*b"g"j beragam di indonesia. Entah "-rrg"t yang o.tlm bentuk perang suku, perang ;;;;; antar kerajaan, dsb' Namun fakta ini tidak m.r1a membatalkan fakta lain bahwa imajinasi "tttalebih kolektifitas yang berkelanjutan memungkinkan ilibangun dari bawah oleh mereka yang secara rangsung berinteraksi satu sama lain, dan bukan sekedar
Ii,ruXnffff"'
,s@
H i s to r iog
29' Dibalik kajian tentane konflik identitas, o";t"" Jan Tulyani Hidayah men"unjukkan auguitunuiuiui"
rap hy,Kanisius, hal. 5.
r-,
o,ilkukan-Thung
*1*,
Ju Lan, Dgdi S. Adhuri, Achmad Fedyani Saifuddin au,ui iun nrgi.-ai-rul,,nuntun rimur,
et ar ,20t0, Ktaiin, ini"),,o,i llT;iT;;ii:i:;i:::,t::,!:lill',i;-'li1ll'"J;;""",,r*
IURNAL ILMU P E ME RI NTAHAN
INDONES/A
rerah terjadi interaksi
aon Konrrik rdenritas: Lokatitas
R
dipaksakan dari
e
rI
ek
s
i
M e ro d o Io s
i
s r.,T;r3
:;J.T 3 ;l;tTff I f, I **i:
atas.3o
Kalaulah ada yang sharing memori kolektif (ke-Indonesiaan) melalui
reproduksi narasi kepahlawanan, narasi sumpah pemuda dan sejenisnya, tidak bisa diingkari bahwa mereka juga mereproduksi ingatan kolektif dalam lingkup yang lebih sempit dari Indonesia. Pada saat itu, mereka terus merawat berbagai bentuk tatanan sosial yang ada, sebagaimana mereka merawatnya dimasa-masa sebelumnya. Sejalan dengan hal itu, mereka juga merawat berbagai bentuk loyalitas dan solidaritas sosial; baik dalam ikatan adat, agama maupun ikatan kedaerahan. Poin utama yang ingin disampaikan di sini adalah melalui refleksi kritis atas sejarah Nusantara dan Indonesia, kita menemukan bahwa embrio imajinasi tentang kolektifitas kebangsaan selama ini telah tersebar dan menjadi praktek dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pra-syaratnya adalah bairwa elemen yang beragam ini diberikan kebebasan dan didorong untuk mendefinisikan kebutuhan mereka dan diarahkan untuk mencari pemenuhan atas kebutuhan tersebut melalui interaksi dari pihak lain, atau dengan kata lain mengembangkan mentalitas yang outward-Iooiring. Hal ini selama ini menjadi sesuatu yang ditabukan karena hegemoni rezirn administratif-birokratis lebih mengedepankan keseragaman prosedur dan mekanisme dengan merawat mentalitas inwardIooking. Harus diakui bahwa ada tantangan kompleksitas yang begitu besar yang harus dihadapi untuk membingkai keragaman di Indonesia sekaligus keluar dari kungkungan hegemoni pendekatan sentralistis dan formal- administratif. Di satu sisi, tidak mengejutkanjika orang merasa skeptis untuk mempersatukan Indonesia tanpa adanya kepemimpinan yang kuat dan terpusat, ketika melihat keragaman masyarakat Indonesia. Di sisi yang lain, interpretasi tentang kesatuan nasional dalarn konotasi negara unitarian dengan pemerintah terpusat juga terbukti tidak mampu memelihara imajinasi kolektif kebangsaan secara berkelanjutan. Dalam situasi semacam itu, asimetrisme desentralisasi ditawarkan sebagai alternatif solusi untuk membingkai keragaman kebangsaan Indonesia dalam sebuah wadah negara modern
4.
Kesimpulan.
Dalam penataan pemerintahan daerah di Indonesia, asimetrisme adalah keniscayaan sejarah Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation-state). Dalam kerangka penataannya,Indonesia tidak semestinya direduksi sekedar sebagai organisasi pemerintahan yang bekerja atas nama negara, dan bekerja 30' Jika kita melihat proses terbentuknya European lJnion
kitajuga akan melihat bahwa prakarsa utama datang dari dua negara yang dalam kurun waktu kurang dari 2 abad terlibat dalam 4 perang besar sebagai pihak yang bermusuhan, yaitu prancis dan Jerman.
JURNAI ILMU PEMERINTA,H AN'NDONES'A
Keniscoyoon Tolonon Asimelris:
Refleksi Melodologis penotoon pemerinlohon lndonesio
dengan nalar birokrasi. Dalam menata pemerintahannya, Indonesia instrumen hukum dan administrasi memang diperrukan, namun instrumen pendayagunaan instrumen-instrumen lain tidak hanya diperlukan namunjuga termanifestasikan dalam nalar publik yang bergulir. sebagaimana dicontohkan di atas, teorisasi dibalik penataan pemerintahan berwat ak state-centric dan:nanya mengenal logika yudidis-administratif, narnun dalam praktek sebetulnya tidak berdaya menolak politisasi ikatan kedaerahan dan tekanan dari bawah. Jelasnya, pengandaian bahwa tertib pemerintahan ditentukan kesamaan norma yang diberlakukan secara terpusat, tidaklah memadai. Penataan, memerlukan sentuhan the art of governing' dimana ketertiban tananan bersumber pada naluri berbangsa, bukan sekedar proses pemberlakuan norma hukurn dan irosedur administratif. Terkungkungnya kerangka penataan dalam s t at e - c enttzsm menandai adanya bias epistimologis dalam ilmu pemerintahan di Indonesia, khususnya ketika membahas desentrlisasi. seakan, penetaan mengharuskan mereautsi negara sekedar sebagai birokrasi yang hanya mau tau nala r birokratis, dan pada saat yang sama insensitif terhadap kenyataan bahwha birokrasi pemerintahan sebetulnya gagap (Jawa: kewalahan) dalam mengelola dinamika yang terjadi.pengkajian yang mengandaikan telah cukupnya ilmu pemerintahan bersandar paaa p.naekatan yuridis dan administratif di satu sisi menandai orientasi keilmuannya adalah memfasilitasi pemerintah Lrerkuasa, bukan sebaliknya, menjamin rakyat melalui berbagai ekspresi kebangsaannya yang menyejarah, menjadi penentu negara. Dalam kealphaan rnembingkai pewacanaan yang mengaktualisasi beragam dan berlapis rasa kebangsaan yang ada, ternyata berrangsung proses reproduksi memori kolektifyang sugguhp'n berwatak informar, mampu menyediakan rujukan bersama cli setiap lokalitas. Kita patut bersyukur atas munculnya kesadaran baru bahwa domain inforrnal ini semakln luas dan mendalam kita kaji' Koreksi metodoiogis ini rnenghasilkan thesis bahwa yang berrangsung di Indonesia adalah gejala shadow state. Bahwa sosok dan praktek informal, dalam banyak kasus berhasil tidak hanya membayang-bayangi sosok formal rnelainkan juga mendiktekan kepentingan dan kehendaknya. Kealphaan kaiian ilmu pemerintahan membaca fakta-fakta yang menyejarah ini' harus kita bayar mahal dengan membiarkan kajian tata pemerintahan yang ada gagap daram rnengantisipasi berbagai gej;la, seperti pemekaran (pembentukan daerah otonom baru)" penguatan identitas lokal, konflik antar daerah dan sejenisnya. singkatnya, refleksi kesejarahan ini diharapkan menggulirkan perdebatan tentang kerangka penataan daerah di Indonesia. Lebih dari itu, mengingat entitas itu memiliki perbedaan satu sama lain secara sangat signifikan, maka tata pemerintahan Indonesia haruslah hirau dengan keragaman yang ada. Sesanti Bhinneka Tunggalllra, bukanlah suatu kebetulan, melainkan endapan perjalanan bangsa ini. Lebih dari itu, keseriusan Indonesia untuk bersatu ditunjukkan oieh keseriusan kita mengelola keragaman.
JURNAI. II,MU PEA,,IER/NTAHAN
/NDONES',4
Kenlscoyoon Tqlqnon Asimelrls:
Refleksi Metodologls Penoloqn Pemerinlohon lndonesio
Daftar Pustaka Anderson, B.R.O.G., 1999, Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dan Insist Press. Bemelen, sita van and Remco Raben (eds.), 2orl, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Thhun 195o-an, Jakarta: YOI and KITLV - Jakarta. Dhakidae, Daniel, 2OO3, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Drs. I.P. Soewarsha dan disunting penerjemahanya oleh Drs. M. Habib Mustopo; penerbit Usaha Nasional Surabaya. Heywood, Andrew; 2OO2, Politics -2"d Edition, palgrave. Kartodirdjo, Sartono, 2OOI, Indonesia n Historiography Kanisius. Kencana, Inu Syafiie, L992, Pengantar IImu Pemerintahan, Bresco: Bandung. King, DwightY., "Indonesia's New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Differences Does It Make?" dalam Anderson, B.R.O.G. dan Audrey Kahin (eds.), 2OlO, Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Singapore: Equinox Publishing. Lombard, Denys, l99O,Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, IggO. MangunwUaya, Y.8., f999, Menuju Republik Indonesia Serikat,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mariun, 1978, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Yogyakarta: Badan penerbitan FISIPOL UGM. Mcvey, Ruth T, "The Beamtenstaat in Indonesia (lg7z)" dalam Anderson, B.R.O.G. dan Audrey Kahin (eds.), 2OtO, Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Singapore: Equinox publishing. Nordholt, Henk Schulte and Gerryvan Klinken, "pendahuluan" in Nordholt, Henk Sclrulte and Garryvan Klinken (eds.), 2OO7, Politik Lokal di Indonesia(trans. Renegotiating boundaries local politics in post-Suharto IndonesiabyBernard Hidayat), Jakarta: KITLV and YOI. Panggaben, Samsu Rizal, "Federalisasi dan Demokratisasi di Indonesia' dalam Jurnal sosial Politik, vol. l, No. 3 - Maret 1998. yogyakarta: FISIpoL uGM. Ricklefs, M.C., 2OOl, Sejarah Indonesia Modern: |2OO-2OO4. Serambi. Santoso, Purwo, 2oro, Dinamika Politik Lokal Di Indonesia : Ada Apa Dengan
l0 Tahun otonomi Daerah ?, makalah disampaikan dalam
seminar Internasional ke XI, diselenggarakan oleh Yayasan PERCIK Salatiga pada tanggal 2I-23 Juli 2OlO. 2011, IImu Sosial Transformatif, pidalo pengukuhan Guru Besar Ilmu Politik ucM.Naskah tersedia di: http: //lib.ugm.ac.idldigitasi/
JURNAI ILMU PEMERINTAHAN INDONES/A
Keniscoyoon Tolonon Asimelris:
Refleksi Metodologis Penoloon pemerinlohon lndonesio
upload/2238-ppllo5ooot.pdf, dan http://www.academia.edu/1686103/ Ilmu_Sosial_!ransformatif. simbolon, Parakitri r., 2006, Menjadi Indonesia, penerbit Buku Kompas "Indonesia Memastrki Miiienium Ketiga", dalam Kristanto, J.B. (ed.), 2OOO,LOO Tahun Nusantara. Kompas. sindhunata, "Demitolcgisasi Persatuan Nasional", dalam Kristanto, J.B. (ed.), 2OOO,LOO Thhun Nusantara, Kompas. Thung Ju Lan et. al., 2OlO, Klaim, Kontestasi dan KonITik ldentitas: Lokalitas vis - a - vis Nasionalitas, Jakarta: IAI Anderson, B.R.O.G., lggg, Komunitaskomunitas Imajiner: Renungan Tentang AsaL-usul dan penyebaran Nasionalisme, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dan Insist press.
JURNAI'TMU
P
EMERINT AH
AN'NDONESIA