LIFE HISTORY Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun
Tetni seorang anak perempuan berusia 16 tahun, yang tinggal dalam keluarga yang serba kekurangan. Ia, orang tuannya dan empat saudaranya lagi tinggal dalam rumah kontrakkan, yang biasanya digunakan pemilik kontrakkan tersebut untuk gudang tempat penyimpanan padi. Untuk membayar kontrakkan ini pun mereka harus menyicil akibat ekonomi yang tidak mampu. Pekerjaan ibu Tetni adalah patani (aron yang bekerja di ladang orang lain yang berpenghasilan per harinya Rp20000), sedangkan ayahnya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Jika ayahnya mau membuat keranjang, baru ia bekerja dan hasil dari membuat keranjang ini ia gunakan untuk keperluannya sendiri tanpa memikirkan anak dan istrinya. Terkadang keluarga ini hanya makan dengan garam dan cabe yang digiling, akibat ibunya tidak memiliki uang, untuk menyalakan api memasak saja pun mereka harus membakar sendal swalo yang tidak bagus lagi agar apinya menyala, dengan demikian uang pengeluaran mereka berkurang karena tidak membeli minyak tanah lagi. Anak seusia Tetni seharusnya berada di sekolah merasakan bangku pendidikan, namun lain halnya dengan Tetni, jika anak seusianya pada pagi hari pergi ke sekolah, tapi Tetni pergi ke ladang membantu ibunya, dengan menjaga adiknya karena ia masih mempunyai adik bayi yang masih menyusui. Tetni anak yang paling besar dari enam bersaudaranya, adiknya yang nomor dua ikut dengan neneknya, selain membantu ibunya ke ladang, Tetni juga harus berhenti sekolah demi adikadiknya yang laki-laki biar lanjut sekolah, awalnya Tetni tetap berkeras untuk sekolah namun ia sudah mulai tidak tahan melihat ayahnya yang sering memukuli ibunya setiap kali ayahnya mendengar adiknya menangis dan jika makanan belum siap, melihat itu akhirnya Tetni
Universitas Sumatera Utara
memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah, ke ladang dan menjaga adiknya. Akibat
perbuatan
ayahnya
terhadap
ibunya
dan
saudara-
saudaranya Tetni tidak mau berbicara (bercakapan) dengan ayahnya kalau tidak ada hal yang penting yang mau dibicarakan. Perkawinan ibunya dan ayahnya sudah berusia 18 tahun namun sejak perkawinan itu ibu Tetni tidak pernah mendapat tanggung jawab atau biaya hidup dari suaminya, yang lebih parahnya ketika ibu Tetni sakit pendarahan ayahnya tidak mau peduli, dan membiarkan ibunya terbaring di rumah tanpa dibawa ke rumah sakit. Perkawinan orang tua Tetni akibat dijodohkan, dan selama ayah Tetni masih anak muda, ibu Tetni melihatnya sangat baik oleh sebab itu ibu Tetni bersedia menikah dengan ayah Tetni ketika datang melamarnya. Sekarang juga ayah Tetni masih sering memarahi dan mukul ibu Tetni jika tidak memiliki uang, pernah suatu ketika ayah Tetni marah kepada ibu Tetni, lantas Tetni membela ibunya, dengan melawan ayanya, yang ada malah Tetni juga dapat pukulan, oleh sebab itu sampai saat ini Tetni masih menaruh benci pada ayahnya. Hingga saat ini Tetni hanya bisa melihat kawan-kawan sebayanya pergi ke sekolah, padahal dapat dibilang Tetni termasuk anak yang pintar di sekolah, ia selalu masuk sepuluh besar ketika ia masih sekolah dulu, namun sekarang Tetni hanya dapat membantu ibunya ke ladang, mengerjakan pekerjaan rumah, menjaga adiknya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk meringankan beban ibunya.
Universitas Sumatera Utara
LIFE HISTORY Note : I (6-12 tahun) Nama : Mitra br Karo Usia : 11 tahun
Mitra seorang anak yang berusia 11 tahun, namun bila dilihat dari pekerjaan yang ia kerjakan kita tidak akan menduga kalau Mitra adalah anak yang berusia 11 tahun. Mitra hidup dalam keluarga yang berekonomi rendah, di mana ibunya bekerja sebagai petani, sedangkan ayahnya hanya mengasuh sapinya yang dua ekor, dalam membiayai kehidupan keluarga ibunya mencari sendiri, jikalaupun ayahnya mendapatkan uang tidak pernah diberikan ke rumah, ia pergunakan untuk keperluannya sendiri dan untuk berjudi. Awal pernikahan orang tua Mitra disebabkan perjodohan, karena diiming-imingi pergi ke Jakarta, dan disana telah disediakan toko untuk usaha mereka makanya ibu Mitra mau menerima lamaran dari ayah Mitra, namun sejak perkawinannya ibu Mitra tidak penah mendapat biaya atau nafkah hidup dari suaminya yang ada malah uang ibu Mitra yang dicuri ayah Mitra ketika ia tidak memiliki uang. Mitra anak kedua dari tiga bersaudara, saudaranya yang pertama dan yang ketiga adalah laki-laki, oleh sebab itu ibunya selalu mengajarkan Mitra agar hormat dan menghargai saudara laki-lakinya karena kalau Mitra tidak menghormati dan menghargai saudara laki-lakinya maka ayahnya akan marah, bukannya hanya itu kedua orang tua Mitra akan digunjingkan oleh masyarakat karena anak-anak mereka tidak bisa rukun satu sama lainnya, selain itu Mitra selaku anak perempuan diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyuci, mambersihkan rumah, dan mengambil air, setelah pekerjaan ini selesai ia harus ke ladang untuk membantu ibunya, jika di ladang ada sayur-sayuran yang mau dijual maka Mitra akan pulang duluan dari ladang untuk berjualan sayur-sayuran yang ia ambil tadi di “jambu”, dan hasil dari penjualannya ini ia berikan kepada ibunya,
Universitas Sumatera Utara
namun terkadang diminta oleh ayahnya, dengan janji akan dikembalikan nanti menjadi dua kali lipat. Akibat pengajaran yang diberikan orang tua Mitra kepada anak-anaknya mengakibatkan saudara laki-laki Mitra yang paling besar sering menggangunya, mengejeknya, bahkan terkadang membuatnya sampai menangis, dan jika Mitra mengadu kepada ibunya, yang hanya dilakukan ibunya hanya mengatakan “jangan begitu nak sama saudara perempuanmu kan kasian dia, padahal dia yang menyuci bajumu, harusnya kau sayang padanya” namun bila Mitra melakukan kesalahan Mitra akan dimarahi bahkan terkadang dicubit sambil mengatakan “malu nak kalau anak perempuan tidak tahu pekerjaan rumah, bisa-bisa orang akan mengatakan kalau mamak tidak becus dalam mendidik anak”. Melihat ayahnya yang mau memukul ibunya jika mereka bertengkar Mitra menjadi takut, dan kalau ia mau mengeluh tentang saudara lakilakinya yang nakal, yang mau mengganggunya,ia tidak pernah berani kepada ayahnya takut kalau nanti ayahnya akan memukulnya, jadi ia hanya mengadu kepada ibunya. Jika pekerjaannya tidak selesai maka saudara laki-lakinya sering mengancam dengan mengatakan kalau nanti Mitra akan diadukan kepada ayahnya, dan kalau sudah demikian Mitra hanya bisa menangis. Mitra dan keluarganya tinggal dalam rumah yang sederhana, tanah rumah yang mereka tinggali itu adalah harta warisan yang diberikan saudara laki-laki ibu Mitra, kalau keluarga dari ayah Mitra tidak peduli dengan kehidupan Mitra, seperti bagaimana ayahnya yang tidak mau tahu tentang biaya keluarganya (anak-anak dan istrinya). Sampai saat ini Mitra tetap melakukan rutinitas yang ia lakukan seperti biasa, karena kalau tidak ia lakukan maka yang kasihan adalah ibunya yang harus mengeluarkan uang lagi untuk jajannya dan kedua saudaranya, namun jika Mitra jualan sayur-sayuran maka ibunya tidak perlu lagi mengeluarkan uang dari kantongnya untuk jajan anak-anaknya, layaknya seorang anak yang seharusnya masih bermain-main dengan teman-temannya maka tidak jarang juga Mitra bermain-main sambil berjualan, biasanya ia bermain dengan anak-anak yang jualan juga, nah setelah pukul delapan malam ia
Universitas Sumatera Utara
pulang dan sesampai di rumah, ia langsung lagi belajar mengerjakan PR yang diberikan gurunya di sekolah, kebetulan rumah Mitra tidak jauh dari “jambur”, jadi ibunya tidak perlu menjemput ia pulang dari berjualan. Bila jualan Mitra tidak habis maka besok sorenya ia akan berjualan lagi.
Universitas Sumatera Utara
GAMBAR 1.
GAMBAR 2. GAMBAR 1, 2. Anak Perempuan Sedang Berjualan Sayur-Sayuran di Jambur Pada Sore Hari.
Universitas Sumatera Utara
GAMBAR 3. Anak laki-laki Sedang Membuat Tutup Keranjang, Di Depan Halaman Rumahnya.
GAMBAR 4. Anak Keluarganya.
Perempuan
Sedang
Memasak
Makanan
Untuk
Universitas Sumatera Utara
GAMBAR 5.
GAMBAR 6. Gambar 5, 6. Anak-anak Sedang Bermain-main Tampak Hanya Beberapa Saja Anak Perempuan Yang Ikut Bermain.
Universitas Sumatera Utara