UPACARA “NENGGET” di KALANGAN SUKU KARO (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo)
Skripsi Oleh:
HELENTA BR TARIGAN 040901011
Guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 2009
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dimana atas Rahmat dan Karunianya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan sekaligus dalam penyusunan skripsi yang berjudul: “UPACARA NENGGET DI KALANGAN SUKU KARO ( Studi Deskriptif tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran)”. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini atas izin dan kehendak-Nya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi berbagai hambatan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga motivasi dari keluarga dan teman-teman yang memberi semangat bagi penulis ketika penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan dan doa dari berbagai pihak. Disini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 3. Salam hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Harmona Daulay, S.Sos.,M.Si, yang selalu memberi motivasi dan membimbing penulis dengan sepenuh hati dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kak…karena tanpa bimbingan yang kakak berikan, aku tak berarti apa-apa, semoga rencana kakak melanjutkan studi untuk mendapat gelar Doktor dapat berjalan dengan baik. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4. Drs Sismudjito, M.Si, selaku dosen wali penulis, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses perkuliahan bagi penulis. 5. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu Dra Rosmiani, MA, selaku sekertaris Departemen Sosiologi, dan selaku ketua penguji dalam ujian komprehensif penulis, sekaligus yang memberi ide bagi penulis untuk mengkaji permasalahan tentang upacara nengget di kalangan masyarakat Karo ini. Terima kasih buk… atas perhatian yang ibuk berikan kepada penulis dalam proses perkuliahan dan sampai kepada penulisan skripsi ini. 6. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Hendry Sitorus selaku reader dalam ujian komprehensif ini dan kesempatan yang diberikan buat penulis, untuk ikut penelitian lapangan, karena pengalaman penelitian itu menjadi modal bagi penulis untul melakukan penelitian terhadap tugas akhir penulis. 7. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen-dosen di FISIP USU, khususnya Dosen Sosiologi yang telah banyak memberikan berbagai materi pelajaran selama penulis menjalani perkuliahan di Departemen Sosiologi, FISIP USU. 8. Terima kasih dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta, Ayahanda: Alm. Preksa Tarigan. Semoga ayahanda di beri tempat yang terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, dan saat ini harapan ayahanda telah terkabul karena ananda sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi sebagaimana yang sering ayahanda ucapkan sewaktu ananda masih kecil dan terima kasih atas curahan kasih sayang yang ayahanda berikan sewaktu anada masih kecil. Ibunda : Rasita Br Ginting, yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan perhatian kepada penulis. Terima kasih bunda… buat kasih sayang yang tak bisa ditandingi oleh apapun, ananda bersyukur Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kepada Allah karena telah dilahirkan dari rahim wanita yang kuat, yang selalu mendoakan dan pemberi motivasi buatku. Skripsi ini ananda persembahkan buat ibunda tercinta. 9. Terima kasih buat abang tuaku: Jhonson Tarigan, yang selalu berdebat dengan penulis…makasih tua...! atas bimbingan dan kasih sayang yang kam berikan selama ini, dan buat kakak iparku Flora Br Saragi di Jambi, moga apa yang kita harapkan dapat terwujud. 10. Buat kakakku Erma Wati Br Tarigan…makasih kak atas semua curahan kasih sayang… perhatian yang tidak pernah terlewatkan…sehingga menambah kedewasaan bagi penulis …dan buat abang iparku Elmedia Kembaren, moga makin sukses aja. 11. Buat abang tengahku Petrus Tarigan, makasih bang atas kerja kerasndu selama ini, aku tahu kam belum memikirkan pernikahan karena aku belum selesai kuliah… dan sekarang saatnya kam harus memikirkan pendamping hidup…supaya ada teman mamak kita.. dan terima kasih buat abangku yang paling kecil Charles Tarigan di Jambi…yang selalu mengkwatirkan penulis, memberi nasehat buat penulis… “ngo danci baba eda ndai bang!” kami setuju-setuju aja kok. 12. Buat kakakku Ester Lina Br Tarigan… yang cerewet sedunia, tapi baik hati dan sering memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Makasih ya kak!, karena ketegasan yang kakak tanamkan, penulis semakin dewasa dan tidak cengeng, tapi cerewetnya dikurang dikit lagi ya. 13. Terima kasih Buat keluarga besarku, mama tua, mami tua, mama tengahku semua, mami tengahku semua, dan buat mama dan mami udaku. Makasih atas motivasinya selama ini dan penulis bangga berada di tengah-tengah kalian. Terutama buat mami tengah Eli Sabarita Br Sembiring yang tidak pernah lupa memotivasi penulis tiap kali bertemu, dan buat mama tengahku Mejuah-juah Ginting yang selalu membanggakan penulis sehingga penulis semakin termotivasi. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
14. Buat Pak udaku dan Bik udaku yang cakep dan gaul… yang selalu membela dan mendukung
penulis ketika ada yang menyalahkan
penulis….dan selalu memperhatikan ibunda penulis…sehingga membuat penulis lebih lega dan fokus dalam mengerjakan skripsi ini. 15. Buat adik-adikku semua….putra, dedi, tanta yang baik hati, minto yang punya semangat tinggi, sri yang cool, oki, joy, ika, vijai, melda, alem yang modis, nova, andre, andi, sara yang pintar, rohit, simanis ide, si kecil febri….karena kenakalan… dan kelucuan kalian membuat hari-hari kakak semakin bewarna dan… jangan lupa rajin belajar ya…karena hadiah tetap ada bagi yang dapat juara. Buat adikku liasta yang mau kuliah…tetap bersemangat dan selalu optimis. 16. Buat sahabatku tina, yanti, ferika, yang selalu memotivasi… menghibur dan
selalu
siap
mendengarkan
setiap
keluhan
penulis.
Makasih
friend…pertemuan ini akan menjadi sejarah yang indah dalam hidupku… semoga persahabatan kita tetap abadi… juga buat sahabatku anie bersama bang badia dan si kecil zarel…aku selalu merindukan kalian. 17. Buat teman-teman di sosiologi ‘04’…, seninaku jeni dan rosma, mestika, banta, florence, juni, nova, 18. Buat teman-teman IMKA FISIP USU…Barry, adis, meche, herlina, maja, harry, putri, salmen, lia, irma, vina, salsa, hema, eka, via, evi, riko, syahfery, tomy, friska, boby, dan semuanya yang tidak bisa penulis tuliskan satu
persatu.
…tetap
semangat
membangun
IMKA…kembangkan
kebudayaan Karo dan jangan malu jadi orang Karo. 19. Buat rekan-rekan staf pengajar di bimbingan Calon Abdi Negara Wira Bharata Yudha: Pak Ridwan Banjar, Jimmy Situmorang, Yohanna Tobing selaku sekertaris Lembaga, Pak AKBP. Djasihol Sihotang selaku kepala Lembaga, yang telah memberi semangat dan motivasi bagi penulis dan terima kasih juga buat rekan-rekan pengajar yang lain yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Penulis
Helenta Br Tarigan
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Abstraksi Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadat yang umumnya dilaksanakan melalui upacara-upacara tradisional. Salah satu upacara tradisional yang masih di yakini oleh masyarakat setempat adalah upacara nengget yaitu upacara yang dilakukan secara rahasia kepada keluarga yang tidak memiliki keturunan, hanya memiliki anak perempuan, atau pun sebaliknya. Peneliti merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan ini karena masyarakat umumnya mempersalahkan perempuan (isteri) jika tidak memiliki keturunan. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah pihak yang paling berpengaruh dalam proses reproduksi. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Karo yaitu patrilineal. Dengan berlakunya budaya patriarkhi, menyebabkan adanya diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih tinggi (dominan), sedangkan perempuan berada di bawah laki-laki (subordinat). Permasalahan perempuan sebagai salah satu isu gender telah menjadi isu yang aktual pada dekade ini. Gugatan terhadap kesetaraan gender yang termaktub dalam inpres no. 9 tahun 2000 telah mengukuhkan permasalahan gender dengan fokus pemberdayaan yang menasional. Tulisan ini mengungkapkan gambaran perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan dalam masyarakat Karo, yang berhubungan dengan proses upacara nengget yang mereka terima. Permasalahanpermasalahan perempuan terjadi di berbagai lingkup kehidupan, demikian halnya pada masyarakat Karo, khususnya di daerah pedesaan. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana persepsi isteri yang pernah terkena ritual nengget di desa Kuta Rayat. Bagaimana pandangan isteri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi di desa Kuta Rayat. Bagaimana nengget di lihat dari perspektif gender dan ketidakadilan gender. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang pernah mengalami ritual nengget dalam penelitian ini sebanyak 10 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketidakadilan yang dialami oleh informan, baik berupa stereotipe, misalnya adanya anggapan bahwa perempuan yang tidak memiliki keturunan adalah perempuan nakal, liar, kurang merawat diri dan lain-lain. Dominasi laki-laki (suami), disebabkan karena masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan. Subordinasi, dimana perempuan (isteri) harus patuh dan mengalah kepada laki-laki (suami). Marginalisasi yang di terima perempuan yang tidak memiliki keturunan, merasa minder karena mendapat cemoohan dari masyarakat dan perempuan tidak berhak atas aksesnya terhadap kekayaan. Kekerasan yang dialami perempuan yang pernah terkena ritual nengget bersifat psikis maupun fisik, disebabkan karena adanya anggapan laki-laki lebih berkuasa dan dapat mengontrol perempuan. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarkhi yang tumbuh subur dalam masyarakat, dan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tidak adanya sosialisasi gender terhadap perempuan (istri) membuat mereka beranggapan bahwa gender adalah kodrat yang harus di jalani.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul Halamam Persetujuan Kata Pengantar Abstraksi Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Matriks BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah……………………………………………….…..1
1.2.
Perumusan Masalah………………………………………………….…….2
1.3.
Tujuan Penelitian…………………………………………………………..3
1.4.
Manfaat Penelitian…………………………………………………….…...4
1.5.
Defenisi Konsep………………………………………...………………..10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patriarkhi Dalam Perspejtif Budaya Karo………………………………...…14 2.2. Patriarkhi dan Budaya Karo………………………………………………….16 2.3. Konsep Gender……………………………………………………………….17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian……………………………………………………..………...27 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
3.2. Lokasi Penelitian…………………………………………………….……….27 3.3. Unit Analisa Data……………………………………………………………28 3.4. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………...29 3.5. Teknik Analisa Data………………………………………………………….30 3.6. Jadwal Penelitian……………………………………………………..………31 3.7. Keterbatasan Penelitian……………………………...……………………….31 BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian…………………………………………….…….33 4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/Kuta Rayat Jauh sebelum Tahun 1990 ………………………………………………33 4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah……………………………………………….35 4.1.3. Komposisi penduduk………………………………………………………37 4.1.4. Sarana dan Prasarana……………………………………………………….40 4.2. Penyajian dan Interpretasi Data………………………………………………41 4.2.1. Profil Informan Isteri yang Pernah Terkena Ritual Nengget………………41 4.2.1.1. J Br Surbakti………..……………………………………………..……...41 4.2.1.2. J Br Sitepu…………………..…………………………………..………..42 4.2.1.3. K E Br Perangin-angin……………………..…………………….………43 4.2.1.4. M Br Sitepu…………………..………………………………………….44 4.2.1.5. M Br Ginting…………………..………………………………….……..45 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.2.1.6. T Br Sitepu……………………..………………………………….…….46 4.2.1.7. B Br Ginting………………………………………………………..…….48 4.2.1.8. J Br Tarigan………………………………………………………………49 4.2.1.9. S Br Sitepu………………………………………………………….……50 4.2.1.10. SLN……………………………………………………………………..51 4.3. Pengalamam Isteri Dalam Upacara Nengget…………………………..…….53 4.3.1. J Br Surbakti ( terkejut bercampur emosi ketika turangkuku menyiramku dan memukulkan kepalaku………………….……………………………….……53 4.3.2. J Br Sitepu ( kaget dan sedih) ……………………………………..….……54 4.3.3. K E Br Perangin-angin ( malu secara membatin/ mela tendi)…………...…55 4.3.4. M Br Sitepu (pingsan waktu disengget)………….……………………………56 4.3.5. M Br Ginting (bersamaan dengan upacara cabur bulung)………..….……57 4.3.6. T Br Sitepu (disuruh menggendong ayam)…………………………………57 4.3.7. B Br Ginting (muncul melalui mimpi)………...…………………………...58 4.3.8. J Br Tarigan (merasa terharu)………………………………………………59 4.3.9. S Br Sitepu (disuruh merokok)………………………………………..……60 4.3.10. SLN (mengaku menyesal berdiri)………………………………...……….61 4.4. Pandangan Isteri tentang Perkawinan dan Budaya Patriarkhi…………..……62 4.4.1. J Br Surbakti……………………...………………………………………...62 4.4.2. J Br Sitepu……………………………...…………………………………..65 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.4.3. K E Br Perangin-angin……………………………..………………………67 4.4.4. M Br Sitepu………………………………..………………………………69 4.4.5. M Br Ginting…………………………….……………………….……….70 4.4.6. T Br Sitepu………………………………………………………….………72 4.4.7. B Br Ginting……………………………………………………….……….74 4.4.8. J Br Tarigan……………………………………...…………………………76 4.4.9. S Br Sitepu………………………………………………………………….77 4.4.10. SLN………………………………………………………………………..78 4.5. Pandangan Isteri tentang Bias Gender dalam Upacara Nengget……………..83 4.5.1. J Br Surbakti………………………………………………………………83 4.5.1.1. Stereotipe…………………………………………………………………83 4.5.1.2. Kekerasan………………………………………………………..……….84 4.5.1.3. Subordinasi……………………………………………………………….85 4.5.1.4. Marginalisasi…………………………………………………..…………86 4.5.1.5. Dominasi ………………………………………………………………...87 4.5.2. J Br Sitepu……………………………………………………………..….87 4.5.2.1. Stereotipe………………………………………………………….……..87 4.5.2.2. Kekerasan…………………………………………………….…….……88 4.5.2.3. Subordinasi…………………………………………………………..…..88 4.5.2.4. Marginalisasi……………………………………………………….……89 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.2.5. Dominasi …………………………………………….…………….……89 4.5.3. K E Br Perangin-angin……………………………………….….………90 4.5.3.1. Stereotipe………………………………………………………..….…..90 4.5.3.2. Kekerasan……………………………………………………….………91 4.5.3.3. Subordinasi………………………………………………………...……92 4.5.3.4. Marginalisasi………………………………………………….…...…….93 4.5.3.5. Dominasi……………………………………………………….…..……93 4.5.4. M Br Sitepu…………………………………………………….…..…….94 4.5.4.1. Stereotipe…………………………………………………….………….94 4.5.4.2. Kekerasan……………………………………………………\..…..……95 4.5.4.3. Subordinasi………………………………………………………..….…96 4.5.4.4. Marginalisasi………………………………………………………….…96 4.5.4.5. Dominasi……………………………………………………………..….97 4.5.5. M Br Ginting………………………………………………………..……97 4.5.5.1. Stereotipe…………………………………………………………….…97 4.5.5.2. Kekerasan………………………………………………………….……98 4.5.5.3. Subordinasi………………………………………………………….…..98 4.5.5.4. Marginalisasi…………………………………………………………….99 4.5.5.5. Dominasi………………………………………………………………..100 4.5.6. T Br Sitepu………………………………………………………………100 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.6.1. Stereotipe……………………………………………………………….100 4.5.6.2. Kekerasan………………………………………………………………101 4.5.6.3. Subordinasi……………………………………………………………..101 4.5.6.4. Marginalisasi…………………………………...……………………….102 4.5.6.5. Dominasi………………………………………………………………..102 4.5.7. B Br Ginting……………………………………………………………...103 4.5.7.1. Stereotipe………………………………………………………………..103 4.5.7.2. Kekerasan…………………………………………………………….…104 4.5.7.3. Subordinasi…………………………………………………………..….104 4.5.7.4. Marginalisasi………………………………………...………………….105 4.5.7.5. Dominasi……………………………………………..…………………106 4.5.8. J Br Tarigan………………………………………………..……..……..106 4.5.8.1. Stereotipe…………………………………………………………………….….106 4.5.8.2. Kekerasan…………………………………………...…………….…….107 4.5.8.3. Subordinasi……………………………………………...………………108 4.5.8.4. Marginalisasi…………………………………..………………………..109 4.5.8.5. Dominasi…………………………………………..…………………....109 4.5.9. S Br Sitepu………………………………………………………………..110 4.5.9.1. Stereotipe………………………………………………………….…….110 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.9.2. Kekerasan………………………………………...……………….…….110 4.5.9.3. Subordinasi……………………………………………………….……..111 4.5.9.4. Marginalisasi……………………………………..……………….…….112 4.5.9.5. Dominasi………………………………………………………………...112 4.5.10. SLN…………………………………………………………………..….113 4.5.10.1. Stereotipe…………………………………………………………..….113 4.5.10.2. Kekerasan……………………………………………….……………..114 4.5.10.3. Subordinasi…………………………………………………………….114 4.5.10.4. Marginalisasi………………………………………..…………………115 4.5.10.5. Dominasi…………………………………………..……………..……115 4.6. Analisa Data Isteri yang Pernah Mengalami Upacara Nengget…..………..119 4.6.1. Analisa Nilai-Nilai Patriarkhi dalam Masyarakat Karo…………..………119 4.6.2. Analisa Gender………………..………………………………………….125 4.6.3. Nengget dalam Struktur Patriarkhi dan Isu Kesetaraan dan Keadilan Gende…………………………………………………………………………...132 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….136 5.1. Kesimpulan……………………………..…………………………………..136 5.2. Saran …………………………….…….…………………………………..137 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR TABEL Judul
Halaman
Tabel 1
Jadwal Penelitian
31
Tabel 2
Persentase Penduduk Menurut Suku
39
Tabel 3
Tingkat Pendidikan Penduduk
39
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR MATRIKS
Judul Halaman
Matriks 4.1
Usia informan Isteri yang pernah mengalami ritual nengget
Matriks 4.2
Alasan informan di sengget
62
Matriks 4.3
Persepsi isteri tentang perkawinan dan budaya patriarkhi
80
Matriks 4.4
Ketidakadilan gender yang di alami oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami ritual nengget
52
116
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas upacara tradisional merupakan aspek yang sering dibahas oleh para ahli ilmu sosial. Hal ini biasa terjadi karena upacara tradisional terutama yang berkaitan dengan sistem kepercayaan atau religi adalah salah satu unsur kebudayaan paling sulit berubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan lain. Dalam masyarakat tradisional, kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa upacara tradisional yang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan dan sudah menjadi tradisi yang bersifat turun temurun. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Salah satu bagian dari kebudayaan adalah sistem religi (sistem kepercayaan) yang didalamnya termuat sistem upacara, baik berupa upacara tradisional maupun upacara yang modern. Dalam upacara tradisional tersebut pada umumnya bertujuan untuk menghormati, mensyukuri, memuja, memohon keselamatan pada tuhan melalui mahluk halus dan leluhurnya (Depdikbud 1995:1) Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia sebagai makluk sosial. Upacara tradisional tersebut dapat berupa selamatan, sesaji, atau ritual yang menyangkut selingkaran hidup, seperti perkawinan, upacara kehamilan, kelahiran dan kematian. Umumya kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati karena didalamnya termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi (Koenjaraningrat 1998:203204). Demikian juga halnya pada masyarakat Karo masih banyak terdapat upacara-upacara tradisional yang berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Adapun ritual-ritual yang dipercayai oleh masyarakat Karo antara lain: upacara Erlau-lau (upacara yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan) , Erpangir Kulau (mandi kembang) , Perumah Begu (memanggil roh orang yang telah meninggal) , Raleng Tendi (memanggil roh orang yang sakit karena dianggap rohnya diganggu makhluk halus) ,Cawir Bulung (upacara penjodohan terhadap dua orang anak kecil disebabkan karena salah satu dari anak tersebut Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memiliki masalah dalam hal kesehatan), Nengget (upacara yang dilakukan untuk mengejutkan seseorang yang belum memiliki keturunan atau belum sesuai dengan yang diharapkan) dan lain sebagainya. Walaupun suku Karo sudah menganut agama Islam dan agama Kristen, namun konsep-konsep kepercayaan atau religi purba masih hidup terutama di pedesaan (Simanjuntak, 2003:15). Suku Karo mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya diciptakan oleh Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci adalah Tuhan yang memiliki kuasa kemuliaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Tuan Padukah Ni Aji (panggilan untuk tuhan). Sebagai penguasa dunia makluk halus ia bernama Tuan Banuang Holing (panggilan untuk tuhan). Selain Dibata kaci-kaci dan kedua penjelmaannya, orang batak Karo masih mengenal penguasa lain, yaitu: Sinimataniari sebagai penguasa matahari dan Beru Dayang sebagai penguasa bulan pelangi. 1 Pada masyarakat Karo kepercayaan tersebut dinamakan dengan pemena, yaitu kepercayaan suku Karo terhadap benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, dan perwujudan kepercayaan tersebut dilaksanakan melalui ritual-ritual dan upacara-upacara tradisional. Salah satu upacara tradisional yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah upacara “nengget”. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, 1
Dikutip dari: Posman Simanjuntak, Berkenalan dengan Antropologi, Jakarta,2003, Erlangga, Hal 15-16.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
karena alasan tertentu, dengan tujuan tertentu (Prints, Darwan 2004:157). Adapun alasan diadakannya upacara nengget didasarkan pada beberapa keadaan yang isengget (dikejutkan), misalnya: •
Tidak ada anak
•
Tidak ada anak laki-laki
•
Tidak ada anak perempuan
•
Hanya memiliki satu anak baik laki-laki maupun perempuan.
Pelaku
nengget
tersebut
adalah
suami
dari
saudara
perempuan
suaminya/ipar (turangku) dari masing-masing yang disengget, yang dalam keadaan sehari-hari mereka rebu ( pantangan untuk berbicara langsung, bersentuhan anggota badan, duduk berhadap-hadapan, dan lain-lain) dan untuk berbicara harus menggunakan perantara atau menggunakan kata nina turangku. Ini menunjukkan rasa hormat, sopan, keseganan yang tinggi diantara mereka yang rebu. Dalam keadaan biasa mereka akan menghindari bertatapan langsung. Menurut cerita orang tua dulu, orang yang rebu tidak bersedia duduk dalam satu papan dalam satu rumah adat, begitulah penghayatan masalah rebu ini pada masyarakat Karo. Namun, dalam upacara nengget hal ini diabaikan sama sekali karena rebunya (turangku) malah memanggil namanya dengan bahasa kasar, seperti menyatakan engko (engkau), padahal untuk halusnya harus menyatakan “kam”.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Masyarakat Karo percaya bahwa dengan melakukan upacara nengget tersebut keinginan-keinginannya akan terkabul. Menurut kepercayaan suku Karo, seseorang yang tidak memiliki keturunan ataupun sudah memiliki keturunan namun belum sesuai dengan yang diharapkan disebabkan karena ada pihak-pihak yang mempunyai unek-unek
terhadap pasangan tersebut. Misalnya, apabila
kalimbubu (pihak pemberi dara) merasa tidak dihormati (tersinggung) akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, misanya, padi tidak tumbuh, tidak ada keturunan, anak sakit dan lain-lain. Sehingga pada masyarakat Karo, kalimbubu harus dihormati dan dijaga perasaannya, karena kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah artinya Tuhan yang dapat dilihat. Pelaksanaan upacara nengget dilakukan apabila suatu keluarga belum memiliki keturunan dan sudah melangsungkan perkawinan lebih kurang 3 tahun. Ada juga keluarga yang melakukan adat nengget ini pada keluarga yang sudah memiliki keturunan, tetapi mengharapkan anak laki-laki bagi keluarga yang sudah memiliki anak perempuan atau sebaliknya. Namun dari hasil survey sementara pelaksanaan upacara nengget di desa Kuta Rayat ini, lebih cenderung dilakukan untuk keluarga yang belum memiliki anak laki-laki. Anak laki-laki pada masyarakat Karo sangat dianggap penting. Hal ini disebabkan karena suku Karo menganut kekerabatan patrilineal. Garis keturunan patrilineal adalah “…. yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja dan karena itu mengakibatkan bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
ibunya jauh di luar batas itu (Koenjaraningrat,1967:124, dalam Siska hal 4). Garis keturunan laki-laki akan musnah atau hilang kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkannya. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa. Dalam proses pelaksanaan upacara nengget, pihak yang disengget adalah suami dan istri, namun pada pelaksanaanya perempuan lah yang menjadi korban dalam upacara nengget tersebut. Alasanya karena perempuan yang dianggap tidak bisa memberikan keturunan. Hal ini dapat dilihat, ketika perempuan disiram, dimaki, diangkat/digendong oleh rebunya , padahal untuk sehari-hari mereka tabu untuk berbicara langsung apalagi bersentuhan anggota badan. Dalam upacara tersebut perempuan (istri) akan disuruh menggendong batu dengan gendongan bayi. Batu yang digendong tersebut memiliki makna simbolik bagi pihak yang melaksanakan upacara nengget, yaitu harapan agar perempuan tersebut dapat memberikan keturunan. Dari proses upacara tersebut dapat dilihat bahwa perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan. Bagi masyarakat Karo, anak adalah harta yang paling berharga, sehingga apabila perempuan (istri) tidak dapat memberikan keturunan bukanlah perempuan yang baik untuk ukuran umum. Adanya anggapan bahwa alam telah melengkapi perempuan untuk melahirkan anak; hanya perempuan yang bisa mengandung , memiliki anak dan menyusui. Akal sehat mengatakan kepada kita menjadi ibu pastilah “alami” (Fakih, 2002:38-39). Konsekuensi selanjutnya, karena menjadi ibu dipandang sebagai keadaan alami, maka tidak menjadi ibu didefenisikan sebagai penyimpangan. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Perempuan yang terpaksa tidak mempunyai anak dilihat (dan melihat dirinya sendiri) sebagai orang yang terkutuk. Stigma “mandul” di beberapa Negara membawa stigma terbesar dan diseluruh dunia, perempuan yang tidak bisa memiliki anak melakukan segala cara agar membuat dirinya subur, rela berjalan diatas batu bara yang terbakar di kawasan Asia selatan, pasrah kepada trauma fertilisasi in vitro di kawasan utara (Fakih, 2002:40-41), dan masyarakat Karo mengadakan ritual atau upacara nengget agar memperoleh keturunan. Bahkan pada zaman dahulu, pada masyarakat Nias, bila seorang wanita tidak sukses di waktu melahirkan maka ia akan dicela atau dicemoohkan dengan istilah sombuyu sumane (yang lemah). Kalau dia mati disaat melahirkan maka dia tidak akan dikubur secara wajar, bahkan tidak akan ditaruh di dalam peti mati. Keluarganya sekedar membuang mayatnya melalui lobang lantai dari atas rumah (rumah suku Nias selalu bertiang), dan mayatnya dibiarkan dimakan babi. 2 Menurut laporan change, “tradisi budak dimana perempuan melahirkan anak bersinggungan dengan pengertian baru”. Seorang perempuan yang tidak melahirkan
anak
merupakan
“objek
rasa
kasihan,
kutukan
atau
cemooh”.melahirkan anak adalah “keperempuanannya”. Tekanan sosial dan emosional untuk membuktikan kesuburannya terjadi sedemikian dahsyat, sampaisampai seorang perempuan mandul bisa menjadi gila. Anak-anak merupakan
2
Dikutip dari Bambowo Laiya, M.A, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarakat desa di Nias-Indonesia, Jakarta,1983,Gadjah mada university press, Hal 37.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kekayaan seorang perempuan, sekaligus menjadi beban yang mungkin harus diatasinya sendiri (Fakih, 2002:42). Hal ini disebabkan karena adanya stereotipe yang terbangun bagi perempuan. Streotipe adalah label-label atau cap negatif yang diberikan masyarakat kepada perempuan. Adapun pelabelan ini terjadi karena budaya didalam masyarakat kita mempunyai label-label tertentu terhadap keberadaan eksistensi dan peran perempuan (Daulay, Harmona 2007:108). Hal ini tergambar dalam konteks feminim dan maskulin yang berkorelasi pada perbedaan pemberian penghargaan antara maskulin (laki-laki)dan feminim (perempuan). Adanya perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan menyebabkan adanya perbedaan penghargaan sosial yang diterima laki-laki dan perempuan. Perbedaan perlakuan ini biasanya dikonstruksikan secara sosial melalui proses sosialisasi dan lama kelamaan menjadi tradisi yang tumbuh secara turun temurun. Isu gender akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, bahkan dewasa ini semakin banyak ilmuan atau peneliti memfokuskan diri pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perempuan. Isu gender di Indonesia termaktub dalam inpres no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (pug) yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan gender. Peneliti melihat bahwa didalam pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh masyarakat Karo tidak terlepas dari kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang tidak memiliki Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
keturunan. Dari hasil survey sementara, ada lebih kurang 10 keluarga yang sudah pernah melaksanakan upacara nengget di desa Kuta Rayat. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji
permasalahan-permasalahan perempuan pada
masyarakat Karo yang berhubungan dengan ritual atau upacara nengget tersebut, dimana secara umum masyarakat akan menyalahkan perempuan apabila belum memiliki keturunan. 1.2 Perumusan Masalah Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus di mulai, kemana harus pergi, dan dengan apa (Arikanto, 2002:22). Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana persepsi istri yang pernah terkena “nengget”? 2. Bagaimana pandangan istri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi? 3. Bagaimana “nengget” ini dilihat dari perspektif gender dan ketidak adilan gender?
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: •
Untuk mengetahui bagaimana persepsi istri yang pernah mengalami ritual nengget.
•
Untuk mengetahui bagaimana pandangan istri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi.
•
Untuk mengetahui bagaimana nengget dilihat dari perspektif gender dan ketidak adilan gender.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis • Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu sosiologi. • Hasil diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang peduli akan kesetaraan gender.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
1.4.2 Manfaat Praktis •
Untuk memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihakpihak yang terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi refrensi untuk kajian atau penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Penulis •
Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai kasus tersebut dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir ilmiah dan rasional dalam menghadapi segala macam persoalan sosial yang ada dalam masyarakat.
1.5. Defenisi Konsep Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi, suatu abstraksi mengenai gejala atau realita atas suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala. Disamping mempermudah dan memfokuskan penelitian konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti kasus
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tersebut serta menghindari timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian.
Konsep-konsep penting dalam penelitian ini adalah: •
Upacara nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, karena alasan tertentu, dengan tujuan tertentu (Prints: Darwan 2004:157). Alasan nengget ini dilakukan apabila suatu keluarga belum memiliki anak, tidak memiliki anak laki-laki, tidak memiliki anak perempuan, dan hanya memilki satu anak.
•
Rebu berarti pantang, tidak pantas, dilarang, tidak dapat, tidak diizinkan, melakukan sesuatu hal atau perbutan. Rebu pada masyarakat Karo dapat di bagi dalam 3 kelompok, yaitu rebu antara mami dengan kela berarti antara ibu mertua dengan menantu lakilakinya, rebu antara bengkila dan permain berarti ayah mertua dengan
menantu
perempuannya,
dan
antara
orang
yang
berturangku. Rebu antara berturangku mamiliki dua pengertian yakni: kalau ego adalah seorang pria, maka turangku berarti istri
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
dari saudara laki-laki istri dan jika ego adalah seorang wanita, maka turangku berarti suami dari saudara perempuan suami. •
Tendi adalah roh yang melekat pada tubuh setiap orang. Masyarakat Karo percaya bahwa tubuh manusia terdiri dari tiga bagian yaitu tendi (roh), begu (roh jahat, hantu), dan tubuh, dimana ketiga bagian ini menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh.
•
Suku Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi tanah Karo. Suku Karo adalah salah satu suku bangsa batak yang mendiami dataran tinggi Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) keseluruh pelosok tanah air. Suku Karo yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman, Kabupaten Karo.
•
Kalimbubu adalah pihak keluarga laki-laki (ayah saudara dan keturunan) dari perempuan yang dikawini/ pihak pemberi dara.
•
Anak beru adalah keluarga pihak laki-laki
yang kawin dengan
pihak perempuan/ pihak penerima dara. •
Senina/ sembuyak berarti saudara, setingkat dalam satu kelompok marga atau klan.
•
Gender adalah perbedaan peran ,perilaku, perangai antara laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan (Daulay, Harmona 2007:4). Dalam konteks ini, perbedaan perlakuan yang di terima oleh laki-laki dan perempuan suku Karo yang berhubungan dengan upacara nengget akibat budaya patriarkhi. •
Budaya Patriarkhi adalah suatu sistem sosial dimana dalam tata kekeluargaan sang Ayah menguasi semua anggota keluarganya, semua harta dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat keputusan penting. Dalam konteks ini, laki-laki dalam masyarakat Karo memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga perempuan diasumsikan harus mengalah, mengabdi dan patuh terhadap keputusan-keputusan laki-laki.
•
Diskriminasi Gender adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
•
Ketidakadilan gender adalah perbedaan-perbedaan gender yang melahirkan kondisi diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan, khususnya terhadap perempuan.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Patriarkhi Dalam Perspektif Budaya Karo Pada masyarakat Karo segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan dapat di kelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis kekerabatan, yaitu: •
Senina (saudara semarga antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan)
•
Anak beru ( pihak penerima dara)
•
Kalimbubu (pihak pemberi dara)
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Dalam adat ngeluh (adat orang hidup), suku karo mengenal 5 (lima) jenis merga/klen besar yaitu: • Ginting • Tarigan • Sembiring • Karo-karo • Perangin-angin Kelima jenis klen tersebut memiliki beberapa jenis subklen. Klen terdiri dari klen besar dan klen kecil. Klen kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini ( satu keturunan/ satu nenek), sedangkan klen besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang sampai generasi ke-20. Dan di ikat oleh rakut sitelu (senina, kalimbubu, anak beru), serta memiliki 8 jenis tutur 3 (tutur siwaluh) untuk menentukan dan mengatur panggilan (term of addres) yang harus digunakan seseorang terhadap para kerabatnya sesuai status kekerabatan masingmasing. Etnis Karo merupakan salah satu etnis di dalam masyarakat Indonesia yang menganut sistem patriarkhi. Sebagai etnis yang menganut sistem patriarkhi, etnis Karo mengambil garis keturunan dari pihak laki-laki. Perhitungan hubungan
3
Tutur adalah tingkatan hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
berdasarkan satu ayah disebut sada bapa. Hal ini sesuai dengan pendapat Juliet Mitchell (1994), yang mendiskripsikan patriarkhi dalam satu term psikoanalisis yaitu “the law of the Father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa dan proses simbolik lainnya. Dalam sistem patriarkhi, keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang “Ayah” dimana laki-laki lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan dan perempuan cenderung mengalah pada suami. Ini merupakan tindakan yang dilakukan perempuan untuk mempertahankan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Gambaran patriarkhi pada masyarakat karo, juga dapat dilihat ketika perempuan atau istri bekerja keras menyiapkan makanan untuk keluarga atau mengurus anak-anaknya, sementara laki-laki atau suami asyik berkumpul bersama temannya di warung kopi membicarakan masalah dunia. 2.2. Patriarkhi Dan Budaya Karo Pada mulanya kata “patriarkhi” memiliki pengertian sempit, menunjukkuan pada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga. Yang mutakhir, istilah “patriarkhi”mulai digunakan diseluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarkhi adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
pemerintah, dalam militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, dan pada dasarnya perempun tercabut dari akses terhadap kekuasaan itu. 4 Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo adalah menganut sistem patriarkhi. Sosialisasi patriarkhi yang diberikan tampak dari penarikan garis keturunan yang ditanamkan dalam keluarga, yaitu diambil dari pihak laki-laki. Dimana semua anak dalam keluarga menyandang marga suaminya. Dalam sistem kebudayaan Karo dapat dilihat bahwa laki-laki merupakan pihak yang diutamakan dan pihak yang dianggap penting. Masyarakat Karo percaya bahwa selain sebagai penerus marga (keturunan), dan sebagai penerima harta warisan, anak laki-laki juga berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuanya. Hal ini menyebabkan laki-laki mendominasi perempuan. Menurut Heidi Hartman, seorang ahli feminis sosialis, patriarkhi adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan memempati posisi subordinat. Menurutnya , patriarkhi adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan untuk menolak feminitas dan secara
4
Dikutip dari : Julia cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta,2002, Pustaka Pelajar hal. 64-65.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan . 5 Konsekwensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan. 2.3. Konsep Gender Gender berasal dari bahasa Perancis gendre, dan latin dikenal genus, (tipe biologis), yang menunjuk pada perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki berdasarkan segi anatomi. Laki-laki dan perempuan diasumsikan kepada bentuk yang secara biologis berbeda. Secara historis, konsep gender pertama sekali digulirkan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui).
Peredaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang
berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya (Daulay, Harmona 2007:108). Gender itu sendiri tidak terlepas dari stereotipe-stereotipe seks yang melekat, misalnya seorang perempuan lebih cocok bekerja di sektor domestik, dikarenakan ia adalah sosok yang lemah dan begitu juga sebaliknya. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata seks (Fakih,1999:7). Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap 5
Efrina Ramli, “ Sosialisasi anak laki-laki dalam system patriarkhi”, skripsi jurusan Sosiologi USU, Medan, 2002. Tidak diterbitkan.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
suatu kelompok tertentu, namun stereotipe cenderung merugikan perempuan. Adapun pelabelan itu terjadi karena budaya didalam masyarakat kita mempunyai label-label terhadap keberadaan
eksistensi dan peran perempuan. Hal ini
tergambar dalam konteks feminin dan maskulin yang berkorelasi pada pembagian kerja maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan) (Daulay, Harmona 2007:108). Sejarah perbedaan gender (gender diffrences) manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak
hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui proses ajaran keagamaan maupun kenegaraan (Fakih,1999:9). Dalam masyarakat Karo, proses sosialisasi gender sudah di perkenalkan kepada anak sejak kecil, diarahkan dan dibedakan sesuai dengan keberadaan status kewanitaan dan kelelakian. Anak laki-laki dalam masyarakat Karo mempunyai fungsi sosial yang sangat luas sebagai pelanjut silsilah keluarga, sebagai penerima harta warisan, dan sebagai penentu dalam pengambilan keputusan. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender Inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam pelbagai ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif. Kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih 2004:1213). Dalam pelaksanaan upacara nengget dapat dilihat ketidakadilan gender yang disosialisasikan secara turun temurun dan perempuan merupakan korban (pihak yang dirugikan). Berikut merupakan proses pelaksanaan upacara nengget (dikutip dari: Prints, Darwan, Adat Karo, Hal. 160): Yang ikut dalam peserta upacara nengget terdiri dari: 1. Kalimbubu , yaitu pihak pemberi dara, pihak yang harus dihormati. Kalimbubu dalam masyarakat karo disebut sebagai “dibata ni idah” artinya tuhan yang dapat dilihat, sehingga harus dijaga benar-benar agar kalimbubu jangan sampai berkecil hati. 2. Puang kalimbubu, kalimbubu dari kalimbubu ego; jadi termasuk golongan yang harus dihormati dan
disegani.
3. Anak beru, yaitu golongan penerima dara atau wife takers. Adapun proses pelaksanaan nengget ini, dimana secara rahasia kalimbubu dan anak beru musyawarah untuk melakukan nengget apabila anak belum ada atau Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
belum ada anak laki-laki maka inisiatif datang dari kalimbubu. Sebaliknya, bila yang belum ada adalah anak perempuan, maka inisiatif datang dari anak beru. Untuk itu dicarilah hari baik (tik-tik wari) menurut kepercayaan tradisional Karo. Tik-tik wari dapat dilakukan oleh pihak keluarga, dengan melihat kalender Karo dan menyesuaikannya dengan hari yang dianggap baik berdasarkan pentunjuk yang terdapat pada kalender tersebut. Namun, sebagian keluarga meminta bantuan Guru (dukun) untuk melihat hari baik untuk pelaksanaan nengget tersebut. Apabila sudah ditemukan, maka kalimbubu dan anak beru memberitahukan hal itu kepada sanak saudara dan kepada keluarga yang disengget, kecuali pada pihak yang akan disengget. Rombongan nengget berangkat dari suatu tempat terentu, misalnya dari rumah kalimbubu atau anak beru, dan ada kalanya keluarga-keluarga itu menggabungan diri di tengah perjalanan demi menjaga kerahasiaan upacara nengget. peralatan-peralatan nengget dipersiapkan, tumba beru-beru (sejenis mangkok besar) diisi lau simalem-malem (air suci) dan diserahkan pada turangkunya (suami dari adik/kakak suaminya). Mereka ini dalam kehidupan sehari-hari rebu (pantang berbicara secara langsung ). Dengan tiba-tiba, pihak yang disengget akan disiram oleh turangkunya dengan lau simalem-malem (air suci), sambil berkata “ e maka, mupus anak (dilaki/diberu) ningku si (anu) adi lang la kita rebu rasa lalap”, yang berarti: itulah maka lahirkanlah anak (laki-laki/perempuan), kalau tidak sampai kapanpun Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kita tidak rebu. Kemudian istri disuruh mengendong batu dengan gendongan bayi. Selesai acara tersebut, maka pihak yang disengget (suami dan istri) disuruh makan satu piring seperti layaknya pengantin baru, dimana pada masyarakat karo dikenal dengan istilah mukul. Kemudian dilanjutkan dengan musyawarah (runggu) dan ditanyalah unek-unek yang disengget kepada kalimbubu, sembuyak dan anak beru. Demikianlah proses upacara nengget yang biasa dilakukan oleh masyarakat Karo. Selain dari pelaksanaan nengget diatas ada kalanya upacara tersebut dilaksanakan pada waktu acara nurun-nurun (upacara kematian), ini dikenal dengan istilah lentarken yaitu dengan menggendong atau mengangkat pihak yang disengget oleh rebunya masing-masing. Pelaksanaan lentarken ada dua macam yaitu: 1. Mayat masih ada pada waktu nurun-nurun (upacara kematian) yang mayatnya
belum dikuburkan,
ketika
sedang
menari-nari rebunya
menangkap dan mengangkat, menggendong pihak yang dilentarken tersebut, sambil berkata “emaka mupus anak (dilaki/diberu) ningen e….(anu), adi lang la kita rebu rasa lalap”. Artinya: itulah maka lahirkanlah anak (laki-laki/perempuan) kalau tidak sampai kapanpun kita tidak rebu. 2. Setelah pulang dari kuburan, menuju ke rumah. Tiba-tiba di tengah jalan pihak yang disengget ditarik, digendong oleh rebunya dan dilanjutkan dengan makian. Pelaksanaannya hampir sama dengan diatas. Sesampainya Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
di rumah suami istri iosei (dipakaikan dengan pakaian adat karo), suami dipakaikan pakaian perempuan dan istri berpakaian laki-laki. Dari proses pelaksanaan upacara nengget tersebut diatas dapat dilihat bahwa perempuan adalah pihak yang dipersalahkan dan dianggap pihak yang tidak dapat memberikan keturunan. Dalam rangka melihat fenomena perempuan yang tidak bisa melahirkan maka kita dapat melihat analisis dari sisi konsepsi isu perempuan yaitu: • Stereotipe sosial. Adanya persepsi bahwa alam telah melengkapi perempuan untuk melahirkan anak, hanya perempuan yang bisa mengandung, memiliki anak dan menyusui. Karena menjadi ibu dipandang sebagai keadaan alami bagi perempuan maka tidak menjadi ibu di defenisikan sebagai penyimpangan. Perempuan yang terpaksa tidak memiliki anak dilihat (dan melihat dirinya sendiri) sebagai orang yang terkutuk.6 Hal ini membuat perempuan yang tidak bisa melahirkan menganggap dirinya tidak berarti. Adapun stereotipe-stereotipe sosial yang diberikan masyarakat kepada perempuan yang tidak bisa melahirkan antara lain adanya anggapan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan nakal, kurang merawat diri, terlalu kurus sehingga tidak subur, terlalu gemuk
6
Dikutip dari Julia cleves mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta.2002, Rifka Annisa WCC hal.38-40. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
sehingga peranakannya dikelilingi oleh lemak dan lain sebagainya. Adanya stereotipe-stereotipe tersebut tentu saja merugikan kaum perempuan. • Kekerasan. Kekerasaan adalah suatu tindakan yang menyakitkan atau tindakan penyerangan yang menimbulkan luka, trauma, dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban. Kekerasaan terhadap wanita bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan politik dan kekerasan sosial budaya. Kekerasan yang dialami perempuan yang tidak bisa melahirkan biasanya bersifat psikis. Pada psikis dan mental mereka akan mengalami stress dan defresi yang tentu saja berkorelasi pada penyakit fisik seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan lainlain. Beban mental yang diterima oleh perempuan yang tidak melahirkan akan diremehken oleh masyarakat, sehingga dalam masyarakat Karo dikenal dengan tradisi “nengget”, yang tujuan akhirnya adalah memperoleh keturunan. Dan tidak jarang juga laki-laki pada masyarakat Karo akan melakukan poligami apabila tidak memiliki anak atau hanya memiliki anak perempuan saja. Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Karo adalah patrilineal. Berdasarkan jumlah isteri dikenal istilah monogami dan poligami. Perkawinan poligami biasanya terjadi karena: tidak mendapat keturunan, tidak
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memperoleh keturunan laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, meneruskan hubungan kekeluargaan (Prints, Darwan 2004:76).
•
Subordinasi
Subordinasi merupakan hubungan kekuasaan antara kelompok superior dengan kelompok yang tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan hubungan tuan dan bawahan, dimana sang tuan melakukan eksploitasi. 7 Dalam hal ini biasanya perempuanlah menempati posisi subordinat.
Anggapan bahwa melahirkan
anak adalah keadaan alami bagi perempuan sehingga perempuan yang tidak melahirakan mendapat posisi yang kurang penting. Dalam kondisi ini, tidak jarang laki-laki akan melakukan poligami dengan alasan ingin mendapatkan keturunan. Padahal belum tentu perempuan yang bermasalah dengan hal reproduksi. Dalam masyarakat Karo, suami yang menikah lagi dengan alasan tidak mempunyai keturunan ataupun tidak mempunyai keturunan laki-laki dianggap wajar dan biasanya dimaklumi. Karena dalam masyarakat karo anak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih penting dibandingkan perempuan. Hal
7
Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, hal.82, USU press, medan, 2007.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
ini sesuai dengan pepatah India yang menyatakan “ membesarkan seorang anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain”. 8 •
Marginalisasi.
Marginalisai merupakan usaha membatasi/ pembatasan, peminggiran yang terjadi terhadap perempuan. Dalam hal ini perempuan yang tidak melahirkan atau belum bisa memberikan keturunan yang diharapkan oleh suaminya, akan merasa minder dengan kondisi yang dialaminya. Marginalisasi dalam bidang ekonomi juga dialami perempuan pada masyarakat Karo, hal ini dapat dilihat dari status kepemilikan harta benda yang umumnya dibuat atas nama suaminya. •
Dominasi
Dominasi adalah kedudukan berkuasa/ menguasai dari kelompok jenis kelamin tertentu (laki-laki) terhadap jenis kelamin lainnya (perempuan). Kedudukan ini diperoleh akibat adanya hal-hal tertentu seperti stereotipe, karakteristik seksual, dan lain-lain yang menyebabkan terjadinya perluasan Kontrol yang dilakukan oleh laki-laki. Dalam masyarakat karo, laki laki umumnya lebih dominan dibandingkan perempuan dalam berbagai hal misalnya, laki-laki sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, pemilik modal, dan sebagainya. Dalam hal jumlah anak yang diinginkan biasanya ditentukan oleh laki-laki, inilah yang menyebabkan laki laki nomor satu dan perempuan dinomor duakan. 8
Julia Cleves Mosse, Gender & pembangunan, Hal.67, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Aquinas yang memandang perempuan sebagai pribadi sekuler. Perempuan hanya dibutuhkan laki-laki sebagai teman atau menolong penciptaan baru (pro-creation), sebagaimana Aristoteles mengatakan bahwa laki-laki memberikan kontribusi formatif dalam fungsi reproduksi dan perempuan hanya menerima pasif sperma laki-laki. 9 Berdasarkan konsepsi isu perempuan tersebut, maka terbangun pula perbedaan peran gender yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ward yang merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin dan feminim dalam suatu budaya terentu, peran gender sangat berkaitan dengan stereotipe jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran laki-laki berlawanan dengan perempuan, hal ini sejalan dengan pendapat Ruble yang menjelaskan bahwa peran gender adalah stereotipe jenis kelamin yang mengacu kepada kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakter jenis kelamin perempuan. 10
9
A. Nunuk P.Murniati, Getir Gender, hal.XXXIV, Indonesia Tera, Magelang, 2004. Dikutip dari:Sri,supriyantini, “hubungan antara pandangan peran gender dengan keterlibatan suami dalam kegiatan rumah tangga”, Medan,2002. Digitized by USU digital library. 10
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati. Penelitian deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang diteliti dan berusaha memberi gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi pokok penelitian. Berkenaan dengan ini akan menggambarkan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
atau mendeskripsikan pandangan perempuan, khususnya yang belum memiliki keturunan terhadap upacara “nengget” yang sering dilakukan pada masyarakat tersebut. 3.2. Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman , Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera utara. Pemilihan lokasi ini disebabkab karena: •
Peneliti melihat bahwa di desa ini masyarakat masih aktif melaksanakan upacara nengget bagi kelurga yang belum memiliki keturunan ataupun sudah memiliki keturunan, namun tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
•
Peneliti melihat bahwa masyarakat di desa ini terbuka dan ramah, sehingga memudahkan bagi peneliti mendapat informasi
dan data-data yang
berhubungan dengan upacara “nengget” ini.
3.3. Unit Analisa Data Adapun yang menjadi unit analisis dalam subyek penelitian ini adalah seluruh warga Desa Kuta rayat, Kecamatan Naman , Kabupaten Karo. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah kaum perempuan (istri) yang belum mempunyai anak, hanya memiliki anak perempuan, hanya memiliki anak laki-laki, Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
hanya mempunyai satu orang anak baik laki-laki maupun perempuan dan sudah pernah melakukan upacara nengget di desa Kuta Rayat tersebut. Informan dipilih atas pertimbangan dan kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun kriteria informan dalam penelitian ini adalah : • Informan Kunci yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Perangkat desa dan tokoh masyarakat desa Kuta Rayat, atau warga masyarakat biasa yang mengerti mengenai adat nengget. Informan dipilih yang dianggap mengerti upacara nengget. • Informan utama yaitu istri yang terlibat langsung dalam adat/ upacara nengget tersebut.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1
Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama
yang diperoleh di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara:
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
•
Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi , dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Burngin, Burhan 2001:143). Yang dimaksud dalam hal ini bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati apa yang terjadi pada objek penelitian.
•
Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada informan yang telah ditentukan . wawancara mendalam, yaitu peneliti melakukan komunikasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kepada informan.
2
Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-
sumber dari data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dan untuk tahap yang mendukung data penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapatkan suatu landasan teori
yang kuat untuk
mendukung penulisan ini dari berbagai literatur seperti buku-buku, internet, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.5. Teknik Analisa Data Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat di analisa selanjutnya (Moleong, 1993:103). Analisa data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara, ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah kemudian tahap selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan pengolahan atau analisa dan penulisan laporan penelitian.
3.6.Jadwal Penelitian
Tabel Jadwal kegiatan Penelitian Kegiatan
Bulan
Bulan
Bulan
Bulan
Bulan
Bulan
Bulan
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
pra penelitian: -penyusunan proposal -perbaikan proposal persiapan: -pengurusan izin
ke-1
ke-2
X
X
ke-3
ke-4
ke-5
ke-6
ke-7
X X
-persiapan instrument penelitian Penelitian: -observasi -wawancara Pasca penelitian: -analisis data Penyusunan laporan
X
X X
X X X X X
3.7. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah. Kendala yang dihadapi peneliti adalah terbatasnya waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan karena padatnya aktivitas informan. Masyarakat di desa Kuta Rayat ini pada umumnya bermata pencaharian bertani, sehingga peneliti harus menunggu informan siap untuk diwawancarai dan peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan. Selain kendala tersebut dalam proses wawancara, ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yang dianggap oleh informan tidak perlu dipertanyakan lagi. Alasan informan mengatakan seperti itu karena menurutnya itu sudah menjadi Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kodrat bagi perempuan dan informan mengatakan bahwa semua orang juga sudah tahu, misalnya: yang bertanggung jawab mengurus anak adalah perempuan (istri), sebagai istri harus mengabdi kepada suami, istri bertugas dan bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena sistem kebudayaan dalam masyarakat karo sangat patriarkhi, sehingga mempersulit
peneliti
untuk
memperdalam
pertanyaan-pertanyaan
yang
berhubungan dengan hal tersebut. Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan berbagai informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat Jauh Sebelum Tahun 1900 Menurut cerita orang tua/ nenek moyang pembentukan dan pembangunan kampung Toraja Berneh dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu: •
Golongan kalimbubu ( karo mergana/ bermarga karo-karo)
•
Golongan kalimbubu puang taneh
•
Golongan anak beru
•
Golongan guru ( dukun)
Adapun fungsi dari golongan-golongan tersebut diatas adalah sebagai berikut: 1. Golongan kalimbubu/ karo mergana, berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan , termasuk peralatan bidang keamanan dan lain-lain. 2. Golongan kalimbubu puang taneh, berfungsi sebagai hakim tertinggi dan penasehat.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
3. Golongan anak beru, berfungsi sebagai pelaksana pembentukan/ pembangunan kampung Toraja Berneh, pelaksana pembangunan rumah darurat, pelaksana keamanan, pelaksana perhubungan, dan pelaksana adat dan seni budaya. 4. Golongan guru (dukun), berfungsi sebagai penentu kapan waktu dimulai pelaksanaan pembentukan kampung Toraja Berneh, yang sekarang dikenal dengan Kuta Rayat. Selain itu Guru juga berfungsi menyelidiki tanda-tanda
penyakit
yang
bakal terjadi
yang
merupakan menjadi penghalang dalam pembentukan kampung nantinya, sehingga guru juga harus menyediakan obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit yang dianggap bakal muncul. Dari hasil keputusan musyawarah ke empat golongan tersebut, maka anak beru mulai melaksanakan hasil keputusan itu. Keputusan pertama dimana kalimbubu karo mergana menunjuk tempat pembentukan kampung Toraja Berneh yang diadakan di lingkungan Tambak Emas lebih kurang 1 km sebelah timur dari desa ini. Kondisi desa ini awalnya bagaikan hutan belantara yang di huni oleh binatang buas dan berbisa, sehingga golongan anak beru dibekali obat-obatan oleh kalimbubu karo mergana seperti obatan-obatan dan semapang kuno. Setelah selesai penebangan maka dibuatlah perumahan darurat dan mereka pun menanam padi disana.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Setelah kampung Toraja Berneh di Tambak Emas didiami puluhan tahun, maka terjadi persengketaan antara kampung Toraja Berneh dengan kampung lain yang menimbulkan peperangan. Akibat kejadian itu maka terjadilah perpindahan ke Pedeleng kira-kira 0,5 km ke sebelah Tenggara dari desa ini, namun setelah didiami puluhan tahun maka terjadi pula perpindahan ke Lau Njulu yaitu 0,5 km kesebelah Utara disebabkan karena terjadinya peperangan. Perkampungan Toraja Berneh di Lau Njulu ini berada di sebelah kanan pembangunan jalan Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat yang dibangun oleh pemerintah orde baru, dan puluhan tahun kemudian pindah lagi kira-kira 0,5 km ke Selatan dari Lau Njulu tersebut. Perpindahan tersebut membawa dampak yang baik, karena sarana lalu lintas dari Toraja Berneh Kabupaten Karo ke Telagah Kabupaten Langkat semakin baik dan semakin sering di lalui. Demikianlah sejarah terjadinya kampung Toraja Berneh, yang sekarang lebih dikenal dengan Desa Kuta Rayat.
4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah 4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis Kondisi iklim di desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran sangat sejuk dan berhawa dingin. Hal ini disebabkan karena letaknya berada di ketinggian 7001420 meter diatas permukaan laut. 4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Batas-batas wilayah desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Kabupaten Karo adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kebayaken 2. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Kuta Gugung 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Negara 4. Sebelah Tenggara berbatasan dengan desa Singarang-Garang Luas wilayah administratif dari desa Kuta Rayat adalah sekitar 14,21 km2 atau sekitar 16,18% dari luas keseluruhan dari Kecamatan Naman Teran. Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 97 Km dari Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara. Kecamatan Naman Teran di bentuk atas dasar Perda No. 04 tahun 2005, dimana Kecamatan Simpang Empat di mekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu, Kecamatan Simpang Empat (sebagai kecamatan induk), Kecamatan Naman Teran (hasil pemekaran), dan Kecamatan Merdeka (hasil pemekaran). Kecamatan Naman Teran dengan luas + 87 ,82 Km2 berada pada ketinggian rata-rata 1300-1600 m di atas permukaan laut dengan temperature 16 C-17 C.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.1.3. Komposisi Penduduk 4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Tabel 4.1 Persentase Penduduk Menurut Suku No.
Jumlah
Persentase (%)
1.
Karo
1500
85
2.
Jawa
178
10
3.
Batak Toba
87
5
Jumlah
1765
100
Sumber: Kantor kepala Desa kuta Rayat, 2009 Dari matriks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta rayat tidak hanya di huni oleh suku Karo saja, namun bersifat heterogen. Suku Karo merupakan penduduk mayoritas di desa Kuta Rayat ini yang terdiri dari 1500 jiwa atau 85% dari jumlah keseluruhan penduduk, disusul oleh suku jawa sebanyak 10% atau sekitar 178 jiwa dan suku batak toba sebanyak 5 % atau 87 jiwa. Suku Jawa dan Suku Batak Toba merupakan suku pendatang ke desa Kuta Rayat
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tersebut, namun sebagian ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga bukan lagi dianggap sebagai pendatang.
4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Dilihat dari segi agama, di desa Kuta Rayat para penduduk memeluk jenis agama yang berbeda, namun dalam kehidupan sehari-hari, perilaku umat beragama tercipta secara rukun dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Adapun jenis agama yang dianut oleh penduduk desa Kuta Rayat ini dapat dilihat dalam matriks berikut: Tabel 4.2 Persentase Penduduk Menurut Agama No.
Agama
Jumlah
Persentase (%)
1.
kristen protestan
794
45
2.
Islam
706
40
3.
Katolik
265
15
Jumlah
1765
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2009 Berdasarkan matriks diatas dapat dilihat bahwa penduduk di desa Kuta Rayat menganut agama yang tidak jauh beda antara Kristen protestan yaitu 45 % dan penganut agama islam sebanyak 40%, sedangkan 15% lagi dianut oleh agama Khatolik.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.1.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Mata pencaharian adalah jenis pekerjaan yang sedang atau pernah dilakukan seseorang yang mencirikan pekerjaan yang dilaksanakan dalam tujuan untuk memenuhi kelangsungan hidup. Di tinjau dari segi mata pencaharian, penduduk desa Kuta Rayat pada umumnya bekerja sebagai petani lading, selain itu juga penduduk ada yang bekerja sebagai PNS, ABRI/POLRI, dan juga sebagai pegawai swasta.
Tabel 4.3 Mata pencaharian penduduk No.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase (%)
1.
Bertani
1500
85
2.
PNS, ABRI/POLRI
177
10
3.
Pegawai Swasta
88
5
Jumlah
1765
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2009 Dari matriks diatas terlihat bahwa jenis mata pencaharian yang mayoritas sebanyak 85 % yaitu sebagai petani, karena walaupun penduduk membuka warung tetapi mereka tidak terlepas dari aktivitasnya sebagai petani.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.1.3.4. Komposisi Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Penduduk No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
1.
Tidak Tamat SD
177
10
2.
SD
353
20
3.
SMP
530
30
4.
SMA
618
35
5.
Perguruan Tinggi
88
5
Jumlah
1765
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Kuta Rayat, 2009 Berdasarkan matriks diatas dapat diasumsikan bahwa pendidikan di desa Kuta Rayat ini masih rendah. Hal ini dilihat dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 1765 jiwa, namun hanya 5% yang melanjut ke perguruan tinggi.
4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Kesehatan Sarana kesehatan yang terdapat di desa Kuta Rayat hanya berjumlah 1 buah yaitu puskesmas. Pada umumnya jika masyarakat mengalami penyakit ringan, seperti demam, flu, batuk maka akan berobat ke puskesmas, namun jika penyakit
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
yang dialmi penduduk bersifat serius maka biasanya penduduk memilih melakukan pengobatan ke kota Berastagi atau ke ibukota Tanah Karo yaitu Kabanjahe. 4.1.4.2. Sarana Ibadah Penduduk desa Kuta Rayat melaksanakan aktivitas keagamaannya di rumah ibadat yang ada di desa Kuta Rayat ini. Adapun sarana ibadah yang dijadikan sebagai tempat untuk menjalankan ritual keagamaan adalah satu buah mesjid untuk peribadatan penduduk yang beragma Islam, satu buah geraja untuk peribadatan agama Kristen Protestan, dan agama Khatolik biasanya menjalankan ibadah mereka ke gereja di desa tetangga yaitu desa Singgarang-garang, karena di desa Kuta Rayat ini belum ada rumah ibadah bagi agama Khatolik.
4.1.4.3. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan yang ada di desa Kuta Rayat ini sangat terbatas, yaitu satu sekolah untuk taman kanak-kanak dan satu buah sekolah untuk sekolah dasar. Hal ini berarti tidak terdapat sarana pendidikan untuk SMP dan SMA. Anak yang ingin melanjutkan pendidikannya ke SMP biasanya sekolah di Desa Sigaranggarang, Naman bahkan ada yang ke Berastagi atau Kabanjahe, sedangkan siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke SMA biasanya sekolah di Berastagi dan Kabanjahe dan ada sebagian kecil ke SMAN 1 Simpang Empat di desa Sibintun. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.2. PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA Untuk mendapatkan data mengenai Upacara Nengget di kalangan Suku Karo, maka peneliti melakukan wawancara terhadap perempuan (istri) yang pernah mengalami ritual Nengget di desa Kuta Rayat, kecamatan Naman Teran ini. Adapun informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut: 4.2.1. Profil Informan Istri yang Pernah Terkena Ritual Nengget 4.2.1.1. J Br Surbakti J Br Surbakti, lahir di desa Bulan Baru pada tahun 1964, dan saat ini sudah berusia 45 tahun. Informan memiliki 4 orang anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki dari hasil pernikahannya dengan bapak bermarga Tarigan. Dari ke empat putrinya tersebut, dua diantaranya sudah berumah tangga yaitu anak ke dua dan ketiga, dan memiliki satu orang cucu dari anak ke duanya. Kedua anaknya yang sudah berumah tangga, juga tinggal di desa ini, sehingga sering berkunjung ke rumah informan.
J Br Surbakti bekerja sebagai petani
bersama suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluargannya. Dengan bekerja sebagai petani, informan memiliki penghasilan lebih kurang RP 1.5000.000 perbulannya. Ketika peneliti berkunjung ke rumah ibu informan, untuk melakukan wawancara, peneliti melihat bahwa informan makan sirih (nyuntil), hal ini Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menunjukkan ciri khasnya sebagai perempuan Karo. Pendidikan terakhir J Br Surbakti adalah SMP dan menganut agama Islam, meskipun informan menganut agama Islam tetapi masih memegang adat dan tradisi yang ada dalam masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari upacara tradisisonal yang masih dilakukan terhadapnya, misalnya ibu informan ini pernah mengalami ritual nengget 11 tahun yang lalu. Pelaksanaan nengget yang dialaminya di sebabkan karena keluarganya belum di karunai anak laki-laki, saat itu ibu ini sudah memiliki 3 orang putri. Hal ini berarti anaknya yang paling bungsu belum lahir. Upacara nengget yang dialaminya tidak lain bertujuan agar memperoleh anak laki-laki karena dalam masyarakat Karo anak laki-laki sangat di harapkan. 4.2.1.2. J Br Sitepu J Br Sitepu penganut agama Islam dan sudah berusia 39 tahun, memiliki tiga orang putra. Saat peneliti datang kerumahnya untuk melakukan wawancara, informan sedang memasak, namun menyuruh peneliti untuk menunggu di ruang tamu. Suasana rumah yang asri dan dihiasi oleh perabot-perabot yang mewah menunjukkan bahwa pemilik rumah ini termasuk orang yang memiliki ekonomi yang baik. Wanita yang menikah 15 tahun yang lalu, bekerja sebagai petani dan biasannya dia menyuruh buruh ( aron) untuk mengerjakan lahannya. Dengan bekerja sebagai petani dia memiliki penghasilan lebih dari RP 3000.000 perbulannya.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Wanita tamatan SMK ini pernah mengalami ritual nengget sebanyak 2 kali. Hal ini disebabkan karena belum memiliki anak laki-laki dari hasil pernikahannya dengan suaminya yang bermarga sembiring. Upacara nengget yang pertama dialaminya di rumahnya sendiri, saat itu informan sedang memasak dan secara tiba-tiba datang pihak yang menenggetnya. Informan mengaku sangat terkejut, sedangkan nengget yang kedua kalinya dialaminya ketika acara memasuki rumah baru yang di tempatinya sekarang dan pelaksanaanya diadakan di jambur. Adapun alasan pihak anak beru menengget informan tersebut disebabkan karena dia belum memiliki keturunan perempuan dari pernikahannya. 4.2.1.3. K E Br Perangin-angin Wanita bependidikan diploma tiga akademi perawat ini memiliki seorang suami yang berprofesi sebagai guru SD di desa Kuta Rayat tersebut. Hasil pernikahan dengan suaminya yang bermarga Tarigan, delapan tahun yang lalu dikaruniai oleh 3 (tiga) orang anak perempuan. Dengan membuka praktek kesehatan di desa Kuta Rayat dan ditambah dengan gaji suaminya sebagai PNS, ibu K E Br perangin-angin mengaku memiliki penghasilan lebih kurang Rp 3.000.000 di setiap bulannya. Ketika peneliti berkunjung, informan sedang memeriksa pasien anak-anak yang di gigit anjing. Awalnya informan menganggap peneliti adalah pasien, dan saat itu juga informan menyuruh peneliti untuk menunggu. Peneliti melihat informan memeriksa pasien secara teliti, kemudian menyuntik pasien dan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memberikan obat yang harus di minum oleh pasien tersebut. Setelah pasien pergi, peneliti menjelaskan maksud kedatangan dan menanyakan apakah ibu ini memang benar sudah pernah mengalami ritual nengget. Dengan wajah yang bersahabat, wanita 32 tahun ini membenarkan, dan bersedia untuk memberikan informasi-informasi yang di ketahuinya. Penganut agama Kristen protestan ini, mengalami ritual nengget ketika memasuki rumah baru dan saat itu informan telah mengandung anak bungsunya dan saat itu usia kandungannya menginjak 8 bulan. Upacara tersebut dilaksanakan karena belum di karuniai anak laki-laki dan adanya harapan keluarga agar anak yang sedang dikandungnya itu adalah laki-laki. Informan mengaku khawatir dengan kondisi yang dialaminya sekarang, sehingga melanjutkan pendidikannya kebagian kebidanan dengan alasan apabila suaminya menikah lagi maka informan sudah siap mengurus dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. 4.2.1.4. M Br Sitepu Wanita berusia 28 tahun ini mengaku menikah pada usianya yang ke 19 tahun, dimana informan tersebut memiliki warung di depan rumahnya. Peneliti melihat bahwa penganut agama Islam ini sangat sibuk mengurus warungnya. Dari hasil mengelola warungnya M Br Sitepu mengaku memiliki penghasilan Rp 1500.000 perbulan. Di usia pernikahannya yang 9 tahun, informan juga belum dikaruniai anak, namun dari hasil informasi yang diperoleh peneliti dari masyarakat setempat bahwa M Br Sitepu ini mengadopsi anak laki-laki dan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
peneliti juga melihatnya menggendong anak tersebut ketika dalam proses wawancara. Karena kesibukan wanita berpendidikan SMA ini maka proses wawancara dilakukan ketika informan sedang mencuci pakaian kemudian dilanjutkan lagi ketika informan menggendong anaknya. Walaupun demikian, M Br Sitepu tetap memberi informasi-informasi yang di pertanyakan oleh peneliti, sehingga proses wawancara pun berjalan dengan baik. Alasan diadakannya ritual nengget terhadap informan disebabkan karena belum memiliki keturunan, dan dalam proses nengget yang dialaminya, informan mengaku pingsan dan tidak sadarkan diri disebabkan saat itu dengan tiba-tiba pihak turangku mengangkatnya. Proses nengget yang dialaminya bersamaan dengan pelaksanaan acara memasuki rumah baru. 4.2.1.5. M Br Ginting Pada tanggal 13 Januari 2009, sekitar jam 14.00 wib, peneliti berkunjung ke rumah salah satu informan. Sebelumnya peneliti kurang begitu yakin kalau informan berada di rumah, karena umumnya masyarakat di desa ini pada siang hari berada di ladang. Ternyata informan juga baru pulang dari ladang, untuk makan siang. Kebetulan saat itu informan tidak membawa nasi keladang, sehingga peneliti dapat melakukan wawancara dan informan juga bersedia di wawancarai dengan senang hati. M Br Ginting adalah wanita berusia 35 tahun. Informan mengaku sudah membina rumah tangga selama 10 tahun, dari hasil pernikahannya dengan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
suaminya yang bermarga Karo-karo, informan dikaruniai 3 orang anak laki-laki. Pendidikan terakhir informan adalah SPG (sekolah pendidikan guru), akan tetapi informan tidak berprofesi sebagai guru melainkan bekerja sebagai petani bersama suami. dengan bekerja sebagai petani penganut agama Kristen Protestan ini mengaku memiliki penghasilan lebih kurang Rp 2000.000 perbulan Informan mengaku pernah terkena ritual nengget bersamaan dengan pelaksanaan acara cawir bulung (upacara penjodohan terhadap dua orang anak kecil disebabkan karena salah satu dari anak tersebut mengalami masalah dalam hal kesehatan) antara anaknya dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, dimana dalam masyarakat Karo hubungan antara anak laki-lakinya dengan anak perempuan saudara laki-lakinya adalah bertutur impal. Adapun alasan informan ini disengget disebabkan karena dia belum memiliki anak perempuan, dan demikian juga sebaliknya anak saudara laki-lakinya semuanya perempuan. Sehingga pada saat acara cawir bulung tidak hanya informan saja yang di sengget, tetapi isteri dari saudara laki-lakinya/ iparnya. 4.2.1.6. T Br Sitepu Pagi yang cerah ini, peneliti menyaksikan kesibukan masing-masing penduduk di Desa Kuta Rayat. Para petani sudah bersiap-siap pergi ke ladang, anak sekolah bergegas berangkat ke sekolah, tidak ketinggalan yang berprofesi sebagai guru, dan beberapa orang tua yang minum di kedai kopi juga melakukan aktivitasnya masing-masing dengan bermain catur, membaca Koran, bahkan ada Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
yang membahas tentang serangan Israel ke Palestina yang menyebabkan perdebatan diantara mereka. Peneliti terus berjalan menuju rumah salah satu informan, sebenarnya peneliti tidak tahu letak rumah informan yang ingin di wawancarai namun dengan modal bertanya kepada warga masyarakat, dan sebelumnya memang sudah di jelaskan kila 11, akhirnya peneliti sampai di tempat tujuan. Pada awalnya informan berbohong ketika peneliti menanyakan, apakah informan pernah mengalami ritual nengget, saat itu informan mengatakan tidak pernah. Namun akhirnya informan mengaku, setelah peneliti menjelaskan tujuan untuk menyelesaikan skripsi dan mengatakan bahwa beberapa informan sudah di wawancarai. Saat itu informan menyuruh peneliti duduk, dan kemudian menanyakan kembali tujuan tersebut. Informan bernama T br Sitepu, dan memiliki toko pupuk di desa ini, informan mengelola usaha ini dengan suaminya yang bermarga Tarigan. Saat berkunjung, informan sangat sibuk sehingga peneliti harus menunggu beberapa lama, informan juga menjelaskan bahwa pagi hari biasanya banyak pembeli ke toko mereka. Setelah menunggu sekitar 45 menit akhirnya perempuan berusia 38 tahun ini bersedia untuk di wawancarai dan sambutannya menjadi hangat karena peneliti di hidangkan teh manis hangat dan makanan ringan. Informan mengaku menikah 15 tahun yang lalu, namun sampai saat ini belum juga di karuniai anak, 11
Kila maksudnya sapaan pada masyarakat Karo untuk suami dari saudara perempuannya ayah baik berdasarkan hubungan kekeluargaan maupun berdasarkan tutur.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
dan mengaku pernah mengalami ritual nengget ketika memasuki rumah baru. Penganut agama Kristen Protestan ini berprofesi sebagai distributor pupuk dan pestisida mengaku memiliki penghasilan lebih kurang Rp 3.000.000 perbulan. 4.2.1.7. B Br Ginting Siang itu peneliti ditemani oleh bibi 12 berkunjung ke rumah salah satu informan karena letaknya yang jauh dari tempat tinggal peneliti selama proses penelitian berlangsung. Informan bernama B Br Ginting dan berusia 28 tahun. Saat berkunjung informan sedang makan sirih, dan kemudian menawarkan kepada peneliti, akhirnya dalam proses wawancara dilakukan sembari makan sirih sehingga suasananya semakin santai. Informan mengaku menikah pertama kalinya di usianya yang ke 21 tahun. Namun pernikahan dengan suami pertamanya hanya bertahan selama 2 tahun saja, hal ini disebabkan karena ketidaksepahaman antara keduanya. Informan memiliki satu orang anak laki-laki dari hasil pernikahannya dengan suami pertamanya. Setelah satu tahun bercerai dengan suami pertamanya, wanita ini menikah lagi dengan salah satu pemuda di desa ini juga dan usia pernikahannya sudah 4 tahun. Penganut agama Islam ini pernah terkena ritual nengget sebanyak 2 kali, hal ini disebabkan karena dia belum memiliki keturunan di pernikahan keduannya. Wanita tamatan SMA ini mengalami ritual nengget yang pertama pada saat 12
Bibi maksudnya sapaan dalam masyarakat Karo untuk saudara perempuan ayah, baik berdasarkan hubungan kekeluargaan maupun berdasarkan tutur. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memasuki rumah baru, namun karena belum berhasil juga maka informan disengget kembali ketika upacara kematian ayah mertuannya. Hal ini lah yang di kenal dengan istilah lentarken dalam masyarakat Karo, jenis lentarken ini adalah ketika mayat masih ada. Dengan profesinya sebagai wiraswasta, informan mengaku memiliki penghasilan Rp 2000.000 setiap bulan. 4.2.1.8. J Br Tarigan Sehabis magrib, kira-kira pukul 18.50 wib, peneliti berkunjung ke rumah J Br Tarigan. Ini merupakan ke tiga kalinya peneliti datang ke tempat ini karena tidak bertemu dengan informan. Pagi tadi peneliti juga sudah berkunjung ke tempat ini, namun tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang berada di rumah. Hal ini tidak membuat semangat peneliti berkurang karena pada siang harinya peneliti kembali berkunjung ke rumah perempuan yang berusia 40 tahun ini, namun yang ada saat itu hanya anaknya saja. Peneliti menanyakan keberadaan
ibu J Br
Tarigan, sekaligus member tahu maksud kedatangan peneliti. Dari hasil informasi yang di dapat dari anak informan, peneliti tahu bahwa penganut agama Kristen ini pulang berada di ladang dan sore baru pulang. Ketika peneliti mengetuk pintu rumah informan, informan mempersilakan masuk dan mempersilahkan duduk, mungkin informan sudah tahu maksud kedatangan peneliti. Saat itu informan sedang duduk bersama suami dan anakanaknya di sofa yang sederhana sembari minum teh manis. Wawancara pun mulai dilakukan, informan memilki 5 orang anak, dan kesemuanya adalah perempuan. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Informan mengaku sudah membentuk rumah tangga selama 19 tahun, saat berumah tangga usia informan 21 tahun. Informan pernah mengalami ritual nengget di sebabkan karena belum memiliki anak laki-laki. ritual nengget yang dialami wanita tamatan SMP ini berlangsung 8 tahun yang lalu, ketika mbengket rumah ( memasuki rumah baru). Informan memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja sebagai petani bersama dengan suaminya dan informan mengaku memiliki penghasilan lebih kurang Rp 2000.000 perbulan. Pengasilan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan kelima anak-anaknya. 4.2.1.9. S Br Sitepu Wanita tamatan SMA ini adalah seorang petani dan sekaligus membuka warung di rumahnya. Informan gigih bekerja karena dia harus memenuhi kebutuhan anaknya seorang diri karena satu tahun yang lalu suaminya telah meninggal dunia akibat kecelakaan. S Br Tarigan mengalami ritual nengget 7 tahun yang lalu, dimana pihak yang menengget sebelumnya sudah bermusyawarah untuk melakukan ritual nengget tersebut kepadanya. Pelaksanaan nengget yang dialaminya berlangsung di rumahnya. Saat itu informan mengaku sangat terkejut atas kedatangan kerabat-kerabatnya yang menenggetnya. Dan ketika itu informan mengaku kepalanya dipukul, disiram bahkan di suruh merokok oleh rebunya. S Br Sitepu berusia 38 tahun memiliki 3 orang anak perempuan dan mempunyai 1 orang anak laki-laki. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Ketika peneliti berkunjung kerumah informan, peneliti disambut dengan baik, kebetulan saat itu peneliti diantar oleh salah satu putri di desa ini. Walaupun informan ingin pergi keladang, namun masih memberikan informasi dengan semangat, sehingga semua pertanyaan selesai dijawab dan peneliti mendapatkan informasi yang diinginkan. Penganut agama islam ini mengaku bahwa ritual nengget yang dialaminya membuahkan hasil, hal ini disebabkan karena sebelumnya informan belum memiliki anak laki-laki dan setelah pelaksanaan upacara nengget yang dialaminya informan memiliki keturunann laki-laki. 4.2.1.10. SLN Hari selasa, tepatnya pukul 10.00 wib peneliti berkunjung ke rumah SLN, peneliti sebenarnya sudah pernah melewati rumah informan ketika berkunjung ke rumah B Br Ginting, tetapi belum tahu persis posisinya. Cahaya matahari yang bersinar, hembusan angin yang mendayu dan suara kicauan burung mengingatkan peneliti akan kampung halaman, hal ini membuat kerinduan yang mendalam terhadap sang bunda. Namun peneliti terus berjalan menuju rumah informan, saat itu informan sedang mencuci pakaian dan menyuruh peneliti menunggu di warung dekat rumahnya. Hampir 15 menit peneliti menunggu, akhirnya informan datang dengan senyuman hangat. Peneliti pun memulai pembicaraan dengan meminta maaf terlebih dahulu apabila mengganggu aktivitas informan, namun informan membantah merasa terganggu.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
SLN memiliki 3 orang anak, yaitu 2 orang perempuan dan satu orang lakilaki.Wanita berusia 31 tahun ini bekerja sebagai petani dan memiliki penghasilan Rp 1.500.000 perbulan. Istri dari T.Ginting ini mengaku pernah mengalami ritual nengget 5 tahun yang lalu. Upacara nengget yang dialaminya berlangsung ketika informan mengadakan pesta adat pernikahannya, karena di awal pernikahan hanya dilakukan berdasarkan agama. Informan menganut agama Islam, adapun alasan pihak keluarga melakukan ritual nengget terhadap informan, disebabkan karena pada waktu itu informan mengaku belum memilki keturunan laki-laki. Informan mengaku sangat malu ketika dia diangkat secara bergantian oleh rebunya. Informan yang sudah melangsungkan pernikahannya 12 tahun yang lalu mengakui bahwa ritual nengget yang dialaminya membuahkan hasil. Matriks 4.1 Usia Informan Istri Yang Pernah Mengalami Upacara Nengget NO
INFORMAN
USIA
STATUS
1
J Br Surbakti
45
Kawin
2
J Br Sitepu
39
Kawin
3
K E Br Perangin-angin
32
Kawin
4
M Br Sitepu
28
Kawin
5
M Br Ginting
35
Kawin
6
T Br Sitepu
38
Kawin
7
B Br Ginting
28
Kawin
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
8
J Br Tarigan
40
Kawin
9
S Br Sitepu
38
Janda
10
SLN
31
Kawin
4.3. PENGALAMAN ISTRI DALAM UPACARA NENGGET Pengalaman nengget yang dialami oleh informan antara yang satu dengan yang lainnya hampir sama namun tetap ada perbedaannya . berikut ini akan dipaparkan pengalaman istri dalam upacara nengget pada masing-masing informan:
4.3.1.
J Br Surbakti,
terkejut bercampur emosi ketika turangkuku
menyiramku dan memukulkan kepalaku J Br Surbakti pernah mengalami ritual nengget 11 tahun yang lalu, hal ini disebabkan karena informan belum memiliki keturunan laki-laki. Adapun yang terlibat dalam ritual ini adalah rakut sitelu (kalimbubu, anak beru dan sembuyak), namun yang paling berperan adalah kalimbubu karena inisiatif tersebut muncul dari kalimbubu. Sembuyak berfungsi untuk melihat situasi/ melihat keluarga yang mau disengget sehingga pihak yang disengget tidak merasa curiga atas kedatangan mereka nantinya, sedangkan anak beru berfungsi sebagai juru masak sekaligus Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menyediakan keperluan-keperluan dalam proses ritual negget tersebut. Adapun proses pelaksanaan nengget yang dialaminya adalah seperti yang diungkapkannya dari hasil wawancara sebagai berikut: “Sore itu anak-anak saya pergi ke warung… dan tiba-tiba pihak anak beru datang kerumah mengatakan bahwa dia mendengar informasi tentang anak yang hilang di kampung ini,… Saya sangat terkejut mendengar informasi itu karena anak-anakku pun tidak bersamaku. Saya kawatir sehingga ada keinginan untuk mencarinya, namun dilarang oleh anak beru yang datang… yang katannya lah udah di cari keluarga yang lain. Waktu itu aku sangat sedih karena aku dilarang ikut mencari anakku sendiri. Tiba-tiba datang kalimbubu… mereka memulai pembicaraan dengan menanyakan masalah-masalah pertanian, tak lama kemudian secara diam-diam datang turangkuku menyiramkan air ketubuhku sambil memukulkan kepalaku. Waktu itu aku sangat terkejut bercampur emosi dan dia berkata: “lahirkanlah anak laki-laki kalau tidak sampai kapanpun kita tidak akan rebu” dan akhirnya keluarga besar ( sangkep ngeluh) berkumpul. Aku pun menangis karena ada anggapan bahwa aku berbeda dengan yang lainnya dan setelah itu pihak anak beru membawa makanan yang sebelumnya sudah disiapkan dan kami pun makan bersama”. Informan mengaku merasa terharu karena masih ada pihak yang peduli terhadap kondisi yang dialaminya, seperti penuturannya dibawah ini. “pertamanya ada perasaan emosi dan marah, namun akhirnya setelah aku tahu… aku terharu karena masih ada perhatian dan keingin tahuan pihak kalimbubu terhadap kondisi yang aku alami”.
4.3.2. J Br Sitepu, kaget dan sedih J Br Sitepu pernah mengalami ritual nengget sebanyak 2 kali, hal ini disebabkan karena informan belum memiliki keturunan perempuan. Pelaksanaan upacara nengget yang pertama dilaksanakan di rumahnya, di mana pada saat itu Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
informan sedang memasak dan tiba-tiba datang sembuyak untuk melihat situasi dan memulai bercerita. Hal ini dilakukannya agar menghindari kecurigaan informan. Tak berapa lama kemudian datang lah pihak anak beru membawa air, kemudian dengan tiba-tiba mereka menyiram tubuh informan dan berkata : “lahirkanlah anak perempuan, malulah tendi mu agar lahir anak perempuan”. Demikianlah acara nengget yang pertama kali dialaminya dan dilanjutkan dengan acara makan. Dan pelaksanaan nengget yang kedua dilaksanakan ketika informan memasuki rumah baru. “aku untuk kedua kalinya di sengget ketika kami memasuki rumah baru, dimana ketika tegun (acara) anak beru berbicara… dan dilanjutkan dengan acara menari. Pada saat menari turangku ku mendekatiku dan tiba –tiba dia menangkap tanganku dan berkata: “ lahirkanlah anak perempuan man sinutu cimpa 13 dan malu lah tendimu tidak memiliki anak perempuan” seperti itulah turangkuku bergantian berkata sambil menangkap tanganku, padahal seharusnya kan kami tidak bisa saling berbicara apalagi sampai bersentuhan. Pertamanya aku sangat kaget dan sedih, namun akhirnya aku terharu karena ada kepedulian anak beru terhadap kondisi saya”.
4.3.3. K E Br Perangin-angin, malu secara membatin (mela tendi) K E Br Perangin-angin mengalami ritual nengget ketika memasuki rumah baru dan saat itu informan mengandung anaknya yang ketiga, dimana usia kandungannya menginjak 8 bulan. Adapun alasan informan disengget disebabkan karena informan belum memiliki keturunan laki-laki. Dan informan mengaku bahwa rakut sitelu dan seluruh warga masyarakat desa Kuta Rayat ikut 13
Man sinutu cimpa artinya untuk menumbuk (membuat) cimpa. Cimpa adalah makan tradisional Karo. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menyaksikan pelaksanaan tersebut karena pelaksanaanya bersamaan dengan acara memasuki rumah baru. Pelaksanaan nengget yang dialaminya adalah sesuai penuturannya sebagai berikut: “ketika menari hendak memasuki rumah baru, pihak turangkuku dan juga bengkila manangkap tanganku dan kemudian mereka memberikan bulang-bulang 14 dan juga pisau kepadaku sambil berkata “maka lahirkanlah anak laki-laki kalau tidak sampai kapanpun kita tidak rebu” sambil menyebut namaku. Ketika disengget ada perasaan malu secara membatin (mela tendi), namun aku merasa bahwa ada kepedulian dari pihak keluarga”. Dan dari pelaksanaan nengget ini, masyarakat akan menganggap perempuanlah yang bersalah, tapi menurut saya seharusnya bibitnya dari laki-laki, karena perempuan sebagai tabung saja, jadi yang paling menentukan adalah laki-laki”.
4.3.4. M Br Sitepu, pingsan waktu disengget M Br Sitepu pernah mengalami upacara nengget ketika memasuki rumah baru. Alasan informan disengget karena belum memiliki keturunan, namun beberapa bulan yang lalu peneliti mendengar dari masyarakat bahwa informan mengadopsi anak laki-laki. Dari hasil wawancara, informan mengaku tidak sadarkan diri disebabkan karena informan terkejut. “aku disengget oleh rebuku, waktu itu acara anak beru untuk berbicara dan dilanjutkan dengan menari, ketika menari aku didekati oleh turangkuku dan tiba-tiba dia mengangkat dan menggendongku sambil membawaku lari kedalam mobil, saat itu aku sangat terkejut dan akhirnya aku pingsan dan tidak sadarkan diri, disitu saya tidak
14
Bulang-bulang adalah pakaian tradisional karo, berbentuk seperti selendang dan biasanya dipakai oleh laki-laki dalam setiap upacara perkawinan/ adat.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tau lagi apa-apa karena ketika aku sadar ternyata sudah sampai dirumah”. Menurut pandangan informan bahwa nengget ini dilakukan untuk memancing yang disengget agar mendapatkan keturunan karena dengan disengget maka tendi (roh) akan mela (malu) jika belum memiliki keturunan, dan informan juga berpendapat bahwa sebenarnya keduanya dipersalahkan walaupun dalam pelaksanaannya lebih di fokuskan pada perempuan. “nengget biasannya dilakukan agar tendi yang disengget malu jika belum memilki keturunan, namun yang saya alami malah menambah penyakit karena ketika saya disengget saya syok dan pingsan”
4.3.5. M Br Ginting, bersamaan dengan upacara cabur bulung M Br Ginting pernah mengalami ritual nengget disebabkan karena informan belum memiliki keturunan perempuan. pelaksanaan nengget tersebut dilaksanakan ketika acara cabur bulung 15 putranya dengan anak perempuan saudara laki-lakinya. Pelaksanaan nengget yang dialminya direncanakan oleh anak beru, namun sebelumnya sudah dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan kalimbubu, dan juga dihadiri oleh sembuyak/sukut. Adapun proses nengget yang dialaminya adalah seperti penuturannya berikut:
15
Cabur bulung adalah suatu upacara perkawinan semu yang dilakukan antara kalimbubu dengan putra anak beru-nya, disebabkan karena salah satu dari anak tersebut mengalami masalah dalam hal kesehatan. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
“ketika acara menari untuk anak beru, tiba-tiba turangkuku mendekati aku kemudian dia menangkap tanganku sekaligus ikut menari sambil berkata “malulah tendimu agar kamu memiliki anak perempuan” kata-kata itu berkali-kali di ucapkannya, kemudian dia melanjutkan dengan perkataan “kalau kamu tidak memiliki anak perempuan, sampai kapan pun kita tidak rebu”. Dalam pelaksanaan nengget tersebut informan mengaku malu, segan, dan sedih karena menurutnya dalam adat karo, orang yang rebu seharusnya tidak bisa saling berbicara, apalagi sampai bersentuhan. 4.3.6. T Br Sitepu, disuruh menggendong ayam T Br Sitepu mengalami ritual nengget karena belum memiliki keturunan, dan saat ini usia perkawinannya sudah 15 tahun. Pelaksanaan nengget yang dialaminya bersamaan dengan acara memasuki rumah baru, sehingga seluruh kerabat (sangkep ngeluh) hadir dalam acara tersebut. Adapun fungsi rakut sitelu dalam proses tersebut adalah dimana kalimbubu merupakan pihak mempunyai inisiatif untuk melakukan ritual tersebut, sembuyak fungsinya menemani yang akan disengget, dan anak beru berfungsi sebagai pihak yang menyediakan keperluan-keperluan untuk ritual nengget sekaligus sebagai pelaksana. Proses nengget yang dialami oleh informan adalah sebagai berikut: “sebelum berangkat ke jambur, semua kerabat dekat berkumpul diruam yang baru dan sama-sama berangkat kejambur. Aku dan suamiku rose lengkap ( mengenakan pakaian tradisional/ adat Karo lengkap), dan ditengah perjalanan impal (pariban) suami saya juga sudah rose lengkap, kemudian pihak kalimbubu menyuruh impal suamiku tersebut berjalan beriringan bersama kami. Sesampainya di jambur kami pun menari dan turangkuku ikut menari kearah saya, tiba-tiba dia menangkap tanganku padahal dalam keadaan sehari-hari kami rebu dan tidak pernah saling berbicara apalagi saling Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
bersentuhan. Saat itu turangkuku terus menangkap tangan saya sambil terus menari, kemudian dia menyuruh saya menggendong ayam dengan gendongan bayi, katanya agar saya mempunyai keturunan, kemudian turangku saya berkata “jeralah tidak punya anak kalau tidak sampai kapanpun kita tidak akan rebu” dan saya tetap menggendong ayam tersebut sampai acara selesai.” Informan mengaku merasa malu dan tidak bisa berbuat apa-apa pada saat mengalami ritual nengget tersebut, seperti penuturannya berikut ini: “sebenarnya saya tidak begitu yakin, karena banyak saya lihat yang sudah disengget di desa ini dan kebanyakan tidak berhasil, namun saya tidak bisa berontak karena masyarakat percaya… dan adatnya memang seperti itu, dan jika saya berontak maka masyarakat akan menyalahkan saya…”.
4.3.7. B Br Ginting, muncul melalui mimpi B Br Ginting pernah mengalami ritual nengget dua kali. Alasan informan disengget karena informan belum memiliki keturunan dari pernikahannya dengan suami keduanya. Pernikahan dengan suaminya yang kedua sudah berlangsung selama 4 tahun. Pertama kali informan disengget ketika memasuki rumah baru dan nengget yang kedua kalinya dialaminya ketika ayah mertuannya meninggal dunia. Berikut ini merupakan proses nengget yang dialami informan sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 januari 2009: “nengget pertama yang saya alami berasal dari inisiatif anak beru dan upacara nengget yang kedua merupakan hasil musyawarah antara kalimbubu dan anak beru. Pelaksanaan nengget yang pertama bertepatan ketika kami memasuki rumah baru, pada waktu acara makan turangkuku mendekati saya dan tiba-tiba dia mengangkat saya, dia berkata; “jika kamu tidak melahirkan, sampai kapanpun kamu kumaki dan tidak tidak akan rebu” kemudian turangkuku Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menyiramku dengan air sampai tubuhku basah. Sedangkan nengget yang kedua, pelaksanaanya diadakan ketika ayah mertua saya meninggal dunia, ketika menari pihak kalimbubu mendekati saya dan berkata: “malu kalau tidak punya anak” sambil mengangkat saya sambil bergantian. Dan ketika menari pihak anak beru, rebu saya mendekati saya sambil menyebut nama saya sambil berkata: “maka lahirkan lah anak, jika tidak sampai kapan pun kita tidak rebu” padahal dalam keadaan sehari-hari tidak bisa seperti itu, dan pada waktu itu juga aku disuruh menggendong sumpit 16 yang berisi telur, pisang dan digendong dengan gendongan bayi kemudian di mantel, layaknya saya menggendong bayi. Dan beberapa hari setelah pelaksanaan nengget tersebut saya bermimpi, dimana dalam mimpi itu dikatakan bahwa kalimbubu harus nunggahi lau meciho 17 kepada saya, sehingga saya menyampaikan isi mimpi itu kepada keluarga dan akhirnya kalimbubu pun menunggahi lau meciho kepadaku. Dan saat ini sudah nampak hasilnya karena saat ini saya sudah mengandung selama 2 bulan”.
4.3.8. J Br Tarigan, merasa terharu J Br Tarigan pernah mengalami ritual nengget 8 tahun yang lalu, ketika memasuki rumah baru. Alasan informan disengget karena belum memilki keturunan laki-laki. Informan mengatakan bahwa yang berperan disini adalah kalimbubu dan anak beru sedangkan sembuyak hanya sebagai pelengkap saja. Ide pelaksanaan nengget ini dari kalimbubu, kemudian kalimbubu menyampaikan ide tersebut kepada anak beru dan mereka pun bermusyawarah dan bersepakat untuk menentukan tanggal yang baik, sedangkan sembuyak berfungsi untuk menemani pihak yang disengget ketika pelaksanaannya. Adapun proses nengget yang dialami informan adalah sesuai dengan hasil wawancara berikut ini:
16 17
Sumpit adalah tempat nasi pada zaman dahulu dan terbuat dari rumput yang sudah di anyam. Nunggahi lau meciho artinya menuangkan air putih ke mulut seseorang ( memberi minum).
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
“ketika menari, pihak yang menengget sudah mengambil ancangancang dan semakin mendekat kearah saya, kemudian turangkuku tiba-tiba menangkap tanganku sambil berkata: “jika kamu tidak melahirkan anak laki-laki sampai kapan pun kita tidak rebu…dan akan selalu kamu kunamai”begitulah turangku dan ayah mertua saya berkata sambil bergantian.” Informan mengaku bahwa dalam pelaksanaan nengget yang dialaminya informan merasa malu, namun akhirnya informan terharu karena ada anggapan bahwa keluarga masih peduli terhadap dirinya. 4.3.9. S Br Sitepu, disuruh merokok S Br Sitepu mengalami ritual nengget 8 tahun yang lalu, hal ini disebabkan karena waktu itu informan belum memiliki anak laki-laki. Pihak yang menengget adalah kalimbubu, anak beru, sukut dan puang kalimbubu. Anak beru bertugas untuk mempersiapkan keperluan-keperluan untuk nengget dan menyiapkan makanan, dan dananya dari kalimbubu, sukut sebagai pendamping yang disengget. Adapun proses ritual nengget yang dialami oleh informan adalah sebagai berikut: “awalnya pihak anak beru, kalimbubu, dan sukut serta puang kalimbubu bermusyawarah untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk menengget dan mempersiapkan semua peralatanperalatan yang diperlukan, setelah ada kesepakatan bersama dan setelah tiba waktunya maka pihak kalimbubu datang dengan tibatiba, kemudian saya disiram sampai basah dan kemudian di mandikan , setelah selesai saya disuruh duduk sambil makan… setelah selah selesai makan, saya disuruh merokok, dan kemudian saya dipakaikan bulang-bulang, dan selanjutnya saya disuruh mengikatkan pisau di pinggang saya, kemudian dia berkata: “makanya jeralah tidak melahirkan anak laki-laki, dan mulai sekarang terkabul lah apa yang kamu harapkan”. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Demikianlah proses nengget yang dialami oleh informan. Dan informan mengaku bahwa pelaksanaan nengget yang dialaminya membuahkan hasil karena informan sudah memiliki keturunan laki-laki. 4.3.10. SLN, mengaku menyesal berdiri SLN mengalami upacara nengget 5 tahun yang lalu, pelaksanaannya bersamaan dengan acara pesta adat perkawinanya. Informan sudah membina rumah tangga selama 12 tahun, namun pesta adatnya baru dilaksanan lima tahun yang lalu. Saat itu informan sudah memiliki dua orang anak perempuan dan belum memiliki anak laki-laki. Adapun pihak yang menenggetnya adalah orang-orang yang dianggap rebu yaitu turangku dan bengkila nya. Berikut ini merupakan proses nengget yang dialami oleh informan: “ pelaksanaannya diadakan ketika kami melangsungkan pesta adat perkawinan kami, karena awal kami menikah belum dibuat acara adat. Ketika acara pihak anak beru memberi nasat-nasihat kepada kami dan dilanjutkan dengan acara menari, tiba-tiba datang turangkuku kearahku dan mengangkat aku sambil berkata “jika kamu tidak melahirkan anak laki-laki sampai kapanpun kita tidak rebu dan kamu tetap kunamai” dan berkali-kali diiha menyebut nama saya, padahal dalamkeadaan sehari-hari kami tidak bisa saling menyapa, apalagi sampai bersentuhan. Setelah selesai acara menari turangku saya menyerahkan pisau kepada saya, itu memiliki makna agar tendi saya merasa malu. Dalam pelaksanaan nengget tersebut saya merasa malu yang mendalam, dan jika aku tahu seperti itu mungkin aku tidak mau berdiri, aku sedih sambil menangis” Demikian lah proses nengget yang dialami oleh informan, dan informan juga mengaku bahwa saat ini informan sudah memiliki keturunan laki-laki. Matriks 4.2 Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Alasan Informan Di Sengget NO
INFORMAN
ALASAN/PENYEBAB
1
J Br Surbakti
Belum memiliki anak laki-laki
2
J Br Sitepu
Belum memiliki anak perempuan
3
K E Br Perangin-angin
Belum memiliki anak laki-laki
4
M Br Sitepu
Belum memiliki keturunan
5
M Br Ginting
Belum memiliki anak perempuan
6
T Br Sitepu
Belum memiliki keturunan
7
B Br Ginting
Belum memiliki pernikahan ke dua
8
J Br Tarigan
Belum memiliki anak laki-laki
9
S Br Sitepu
Belum memiliki anak laki-laki
10
SLN
Belum memiliki anak laki-laki
keturunan
dari
4.4. PANDANGAN ISTRI TENTANG PERKAWINAN DAN BUDAYA PATRIARKHI 4.4.1. J Br Surbakti Informan mengaku bahwa pihak pengambil keputusan dalam keluarga adalah suami, karena walaupun informan diikutkan dalam mengambil suatu keputusan, namun tetap saja keputusan itu berdasarkan keinginan suami. Mengenai masalah pembagian tugas antara informan dengan suaminya dapat dilihat dari ungkapan informan berikut ini:
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
“kalau pekerjaan ke ladang saya bersama-sama suami mengerjakannya, kalau pekerjaan rumah itu saya kerjakan sendiri namun karena anak-anak saya sudah besar jadi bisa membantuku, dan pekerjaan rumah kan… memang seharusnya dikerjakan oleh perempuan (istri), karena dalam budaya Karo sudah diajarkan bahwa perempuan bertugas untuk mengerjakan pekerjaan tersebut dan jika suami diikutkan maka masyarakat akan mencemooh saya. Saya juga setuju dengan konsep istri sebagai sirukat nakan 18 dalam masyarakat karo, karena itu sudah menjadi tradisi yang diajarkan oleh nenek moyang kita”. Adapun tujuan informan berumah tangga adalah supaya mempunyai teman/pendamping hidup. Informan mengaku bahwa masalah anak awalnya belum terfikirkan, hanya saja setelah berumah tangga baru timbul keinginan supaya mempunyai anak. Informan mengatakan bahwa anak adalah harta yang paling berharga, berikut ini merupakan ungkapan informan mengenai makna anak: “anak adalah harta yang paling berharga, karena kalau tidak ada anak maka kita sebagai istri tidak akan berharga, dan akan mudah timbul permasalahan dengan suami”. Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal, sehingga anakanak dalam keluarga mengikuti marga suami. Dalam keluarga informan yang paling bertanggung jawab adalah perempuan (isteri). “kalau menurut agama seharusnya yang bertanggung jawab terhadap keluarga adalah laki-laki, tetapi secara umum dalam masyarakat Karo adalah perempuan, dan dalam prakteknya di keluarga saya sendiri pun saya lah yang lebih bertanggung jawab”. Dari hasil wawancara di atas jelas terlihat bahwa budaya/ tradisi yang dibangun dalam masyarakat bersifat diskriminatif, dimana perempuan menjadi korban dari ketidakadilan tersebut. Begitu juga halnya pada keluarga yang belum 18
Sirukat nakan artinya istri sebagai penyendok nasi untuk suami.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memiliki keturunan, informan mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat dan pihak keluarga laki-laki (suami) akan menyalahkan perempuan. Hal ini juga akan menimbulkan perubahan romantisasi suami terhadap istri. “jika dalam keluarga tidak mempunyai keturunan, akan timbul kebosanan suami dirumah… karena hanya istri saja yang mau dilihatnya…dan menurut saya itu wajar saja, karena sesuai adat istiadat dalam masyarakat Karo bahwa anak adalah ikatan yang paling kuat untuk mempertahankan rumah tangga.” Dalam masyarakat, perempuan (isteri) juga diajarkan agar mengalah kepada suami untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga. Namun informan mengaku tidak akan setuju jika seorang suami ingin menikah lagi dengan alasan tidak memiliki keturunan, karena menurutnya belum tentu perempuan yang bersalah. Informan mengatakan apabila suatu keluarga belum memiliki keturunan maka keluarga pihak laki-laki akan mempengaruhi agar suami menikah lagi, dan informan juga mengaku bahwa jika keluarganya pun seperti itu maka informan akan menyarankan agar menikah lagi untuk memperoleh keturunan. Menurut informan kedudukan anak laki-laki dalam masyarakat Karo adalah sebagai penerus marga, karena menurutnya jika tidak ada anak laki-laki maka marga akan masap (hilang), selain itu anak laki-laki juga berfungsi sebagai penerima harta warisan karena menurut informan jika tidak ada anak laki-laki maka harta warisan akan beralih atau tidak dikuasai oleh marga yang sama. Pada masyarakat Karo anak laki-laki dan anak perempuan tidak menadapat perlakuan yang sama. Informan mengatakan bahwa anak perempuan akan berpindah ke Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
keluarga suaminya, sedangkan anak laki-laki lah sebagai penerus keluarga sehingga dibedakan dalam menerima harta warisan. “harta warisan akan menjadi milik anak laki-laki, karena anak perempuan suatu saat akan berpindah ke keluarga suaminya, sedangkan laki-laki lah sebagai penerus keluarga… dan kalau pun perempuan memperoleh warisan itu hanya sebagai pembere (pemberian) saudara laki-lakinya saja, dan itu tidak bisa dijual tanpa persetujuan saudara laki-lakinya… dan pada generasi berikutnya tanah itu akan diminta kembali oleh anak dari saudara laki-lakinya tersebut, jadi itu biasanya hanya bisa dipakai sepanjang usianya saja”. Dari hasi wawancara diatas dapat dilihat bahwa anak laki-laki lebih diutamakan dari pada anak perempuan, padahal perempuan memiliki beban yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dilihat ketika anak dalam keluarga berperilaku tidak sesuai dengan aturan atau norma dalam masyarakat, maka pihak yang akan dipersalahkan adalah perempuan (istri) karena dianggap tidak bisa mendidik anak. Masyarakat menganggap bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab dan tugas perempuan (istri). 4.4.2. J Br Sitepu Mengenai pembagian tugas antara informan dan suaminya adalah dimana untuk pekerjaan ke ladang, di kerjakan secara bersama-sama, dan untuk pekerjaan rumah adalah tanggung jawab informan. Informan mengatakan bahwa istri lah yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah karena itu sudah menjadi kewajiban istri.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
“ kalau mengerjakan pekerjaan rumah itu kan memang sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab seorang istri, dan semua orang juga sudah tahu akan tanggung jawab itu, jadi menurut saya kalau pertanyaan seperti itu tidak ditanyapun kita sudah tahu… dan saya sangat setuju dengan konsep istri sebagai sirukat nakan , karena itu merupakan adat istiadat” Tujuan informan berumah tangga adalah untuk memperoleh keturunan, karena menurutnya anak adalah penerus keturunan dan sebagai pengikat keutuhan rumah tangga, karena menurut informan jika tidak memiliki anak maka keluarga tidak akan harmonis. Penarikan garis keturunan dalam keluarga informan mengikuti marga suaminya. Dalam keluarga J Br Sitepu yang memiliki tanggung jawab utama dalam keluarganya adalah suaminya. Informan juga mengaku bahwa yang mengambil keputusan dalam keluarga adalah suaminya, namun informan tetap dilibatkan. Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa budaya patriarkhi dalam masyarakat di junjung tinggi dan dianut oleh masyarakat. Informan mengaku tidak merasa wajar jika suami tidak betah di rumah karena belum memiliki keturunan, karena seorang istri pun tidak menghendaki tidak memiliki keturunan. Informan juga mengatakan bahwa istri harus mengalah kepada suami dalam batas yang wajar. Informan mengaku tidak setuju dengan tindakan suami yang menikah lagi dengan alasan belum memiliki keturunan. “saya tidak setuju jika suami menikah lagi dengan alasan tidak memiliki keturunan, karena sebagai istri kita juga tidak mengharapkan seperti itu… jadi menurut saya itu bukan kesalahan perempuan (istri), hanya saja yang Maha Kuasa belum memberikan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
keturunan, tetapi biasanya pihak keluarga suami akan menghasut agar dia menikah lagi” Menurut informan kedudukan anak laki-laki dalam masyarakat Karo sangat dihormati dan di utamakan. Hal ini disebabkan karena laki-laki sebagai penerus keturunan dan penerima harta warisan, sehingga anak laki-laki dan anak perempuan tidak mendapat perlakuan yang sama. Menurut informan pihak yang berkewajiban merawat anak adalah perempuan (istri) karena perempuan lah yang melahirkan dan lebih tahu tentang anak dibandingkan laki-laki (suami), sehingga jika dalam keluarga anak berperilaku tidak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat maka pihak yang dipersalahkan adalah perempuan (istri). Informan mengaku bangga terhadap anak laki-laki. 4.4.3. K E Br Perangin-angin Tujuan informan berumah tangga agar mendapat kebahagiaan dan supaya ada teman untuk bertukar pikiran. Menurutnya makna anak adalah sebagai tempat curahan kasih sayang. “anak adalah sebagai tempat curahan kasih sayang, karena kalau tidak ada anak maka kita bisa diceraikan oleh suami dan dia akan menikah lagi dengan alasan ingin mendapatkan keturunan… karena kalau dia tidak memiliki keturunan maka marganya akan hilang”. Dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga biasanya dilakukan dengan musyawarah, dan pembagian tugas antara informan dengan suaminya yaitu disektor publik bersama karena informan membuka praktek kesehatan, sedangkan suaminya berprofesi sebagai guru dan untuk pekerjaan rumah biasanya dominan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
dikerjakan oleh informan, namun kadang-kadang informan meminta bantuan kepada suaminya. Menurut informan pihak yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah adalah istri. “ yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah adalah istri, karena sebagai istri kita harus bisa mengatur dan mengurus semua kepentingan keluarga… kalau kita lihat faktanya perempuan(istri) bagaikan pembantu dalam rumah tangga, namun kalau kita bilang seperti itu pantang”. Menurut informan konsep istri sebagai sirukat nakan, baik dan wajar, karena menurutnya itu lah kodrat dan tugas yang harus dilakukan sebagai istri dan seorang istri juga harus tahu apa-apa saja yang dibutuhkan dalam rumah tangga tersebut. Informan mengatakan apabila suatu keluarga belum memiliki anak, maka masyarakat
umumnya
mempersalahkan
perempuan,
karena
masyarakat
menganggap bahwa perempuan lah yang tidak bisa memberikan keturunan. Hal ini dapat dilihat ketika perempuan yang di suruh berobat. Menurut informan anak mempengaruhi romantisasi suami, jika dalam keluarga belum dikaruniai anak biasanya suami tidak betah dirumah. Informan merasa bahwa itu tidak wajar, namun faktanya memang seperti itu. “sebenarnya tidak wajar suami tidak betah dirumah walaupun belum di karuniai anak… tapi faktanya laki-laki akan menyalahkan perempuan, kan banyak teman-temannya akan berkata “udahlah…ganti aja”. Makanya saya pun melanjutkan pendidikan agar menjaga-jaga, karena walaupun nantinya suami saya dihasut oleh keluarganyauntuk menikah lagi, saya sudah siap menerima konsekwensinya dan sebagai istri kita harus mengalah kepada suami untuk menjaga keharmonisan, karena kalau kita berkeras hati dapat menimbulkan perceraiaan”. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Informan mengaku tidak setuju terhadap keputusan suami yang ingin menikah lagi dengan alasan tidak memiliki keturunan karena informan sendiri pun tidak siap untuk dimadu, namun informan mengatakan bahwa pihak keluarga suami biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap perceraian/ suami menikah lagi. Menurut informan terdapat banyak perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, misalnya dalam hal menerima warisan, anak lakilaki didik lebih keras dibandingkan anak perempuan, biasanya perempuan disuruh membantu pekerjaan rumah sedangkan laki-laki umumnya dibuat bagaikan raja. Merawat anak adalah pekerjaan dan tanggung jawab perempuan (istri) karena menurut informan bahwa seorang ibu harus bisa menjaga anaknya dalam waktu 24 jam, sehingga jika anak berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan maka masyarakat akan menyalahkan ibunya. 4.4.4. M Br Sitepu Informan mengatakan bahwa istri harus mengalah kepada suami dalam batas yang wajar, kecuali jika suami melakukan kekerasan fisik, maka istri juga harus melawannya. Menurutnya bahwa pihak ketiga sangat berpengaruh terhadap retaknya rumah tangga yang dapat menimbulkan perceraian. Laki-laki dalam masyarakat adalah sebagai penerus keturunan dan penerima harta warisan sedangkan perempuan (istri) berkewajiban merawat anak karena merupakan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, oleh karena itu jika anak berperilaku tidak baik maka perempuan (istri) akan dianggap tidak becus mengurus dan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menjaga anaknya, namun jika anak tersebut dapat dibanggakan maka masyarakat akan melihat bahwa itu adalah kehebatan ayahnya. Dan informan juga mengatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang berbeda, karena menurutnya seperti itulah tradisinya. Mengenai konsep istri sebagai sirukat nakan juga dianggap informan baik, karena menurutnya itu sudah menjadi kodrat bagi perempuan, sehingga harus di jalani dan harus di terima. Informan mengatakan bahwa masyarakat umumnya menyalahkan perempuan bila tidak mempunyai keturunan. Hal ini juga akan menyebabkan perubahan romantisasi suami terhadap istri, misalnya suami akan malas pulang kerumah, namun menurut informan itu sebenarnya tidak wajar. “ menurut saya tidak wajar jika laki-laki tidak betah dirumah karena alasan tidak memiliki keturunan, karena belum tentu perempuan yang bersalah, jadi… harus di periksa ke medis terlebih dahulu dan kalau memang perempuan yang bermasalah… menurut saya wajar-wajar saja kalau kalau laki-laki menikah lagi”. Alasan informan berumah tangga karena sudah dianggapnya sebagai kodrat yang memang harus dijalankan, dan umumnya orang yang sudah dewasa akan berumah tangga. Adapun makna anak bagi informan adalah
sesuai dengan
ungkapannya berikut ini: “makna anak adalah untuk melanjutkan keturunan dan sebagai penerima harta warisan, dan jika tidak ada anak maka kita pun tidak bersemangat, selain itu agar suami betah di rumah, karena kalau tidak ada anak suami biasanya malas di rumah”. Menurut informan yang mempunyai tanggung jawab utama dalam keluarga adalah suami, namun menurutnya perempuan juga harus ikut mengambil bagian, Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
karena tidak bisa hanya berharap terhadap suami. Dalam mengambil keputusan biasanya informan bermusyawarah dengan suami, namun keputusan tetap ada di tangan suami. Dalam hal pembagian tugas, pekerjaan di sektor publik dikerjakan bersama-sama sedangkan untuk urusan rumah biasanya hanya dikerjakan sendiri dan menurutnya itu sudah menjadi tanggung jawab sebagai istri. 4.4.5. M Br Ginting Informan berpendapat bahwa sebagai istri harus mengalah kepada suami, karena menurutnya jika perempuan tidak
mengalah akan menimbulkan
perkelahian. Informan menambahkan bahwa pihak keluarga suami sangat berpengaruh terhadap perceraian apabila dalam keluarga tersebut belum di karuniai anak, karena menurutnya pihak keluarga juga ikut keberatan apabila tidak mempunyai anak. Dalam hal kedudukan dalam masyarakat, antara anak laki-laki dan perempuan dibedakan dan laki-laki umumnya adalah pihak yang diutamakan. Hal ini disebabkan karena laki-laki sebagai penerus keturunan dan penerima harta warisan sedangkan anak perempuan nantinya akan berpindah ke keluarga suaminya dan perempuan akan memperoleh warisan dari suaminya. Perempuan (istri) memiliki tanggung jawab untuk mengurus anak karena menurutnya perempuan lah yang memiliki kepedulian dan kasih sayang kepada anak, sehingga apabila anak berperilaku tidak baik maka masyarakat akan menyalahkan
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan (istri) karena istri dianggap tidak bisa mendidik anak, padahal jika anak tersebut baik maka masyarakat akan membanggakan ayahnya. M Br Ginting berumah tangga, dengan tujuan supaya mempunyai pendamping hidup, dan makna anak baginya adalah sebagai penerus keturunan dimana dalam keluarganya semua anaknya menyandang marga suaminya. Tanggung jawab utama dalam keluarga berada di tangan suaminya karena baginya suami adalah sebagai kepala rumah tangga, namun untuk mengambil keputusan dilakukan bersama, tetapi biasnya lebih dominan istri. Untuk pekerjaan di sektor publik dikerjakan bersama sedangkan untuk urusan rumah dikerjakan oleh informan dan kadang-kadang informan meminta bantuan kepada anak-anaknya. Menurut informan yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah adalah perempuan (istri), karena sudah menjadi kewajiban istri, begitu juga halnya dengan konsep istri sebagai sirukat nakan di tanggapi baik oleh informan karena menurutnya seperti itu lah tradisisnya. Informan mengatakan apabila suatu keluarga belum di karuniai anak maka umumnya masyarakat akan menyalahkan perempuan karena perempuan lah yang dianggap kurang subur, dan ini akan mengakibatkan perubahan romantisasi terhadap istri karena laki-laki (suami) tidaka akan betah dirumah. Namun menurut informan suami yang tidak betah dirumah disebabkan karena belum memiliki keturunan adalah wajar-wajar saja karena laki-laki (suami) mengharapkan memiliki keturunan dan pada umumnya itulah yang di cari oleh laki-laki. Oleh Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
karena itu, informan setuju jika laki-laki (suami) menikah lagi dengan alasan karena tidak memiliki keturunan. “ menurutku wajar saja jika laki-laki ( suami) menikah lagi karena tidak memiliki keturunan… karena tanpa anak maka akan hilang ketururnan dari keluarga tersebut, padahal ada kita lihat kasus yang dalam pernikahan pertama tidak memiliki keturunan, tapi begitu dia menikah lagi dia mempunyai anak”.. 4.4.6. T Br Sitepu Budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan juga dapat dilihat dari pandangan masyarakat setempat terhadap keluarga yang tidak memiliki keturunan. Berikut ini penuturan dari informan: “bila suatu keluarga belum memiliki keturunan… masyarakat akan menyalahkan perempuan karena menurut mereka perempuan lah yang tidak bisa memberikan keturunan, padahal menurut saya walaupun perempuan yang disalahkan itu tidak akan menyelesaikan masalah, dan menurut saya yang harus dilakukan adalah mencari jalan keluar, mungkin dengan cara berobat”. Informan mengaku bahwa sampai sejauh ini hubunganya dengan suaminya masih baik-baik saja, walaupun informan belum memiliki keturunan, justru pihak keluarga dan masyarakat lah yang mempermasalahkannya. Menurutnya tidak wajar laki-laki (suami) merasa tidak betah di rumah disebabkan karena belum memiliki keturunan dan sebagai pasangan suami istri tidak bisa saling menyalahkan. Menurut informan, istri harus mengalah kepada suami, tetapi informan tidak setuju jika laki-laki (suami) menikah lagi dengan alasan tidak memiliki keturunan, karena menurutnya belum tentu perempuan yang bersalah. Namun pihak orang tua laki-
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
laki (suami) biasanya akan mempengaruhi anaknya agar menikah lagi karena umumnya mereka akan menyalahkan pasangan anaknya. Perbedaan perlakuan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan disebabkan karena anak laki-laki sebagai penerus keturunan sedangkan anak perempuan nantinya akan berpindah ke keluarga suaminaya, sehingga sosialisasi yang diberikan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan juga berbeda. Informan mengatakan bahwa mengurus dan merawat anak adalah tanggung jawab perempuan (istri). “yang bertanggung jawab untuk merawat anak adalah perempuan karena itu memang sudah kodratnya, dan hanya perempuanlah yang tahu mengurus anak dan mengerti kemauan anak… karena hanya perempuanlah yang tahu siapa ayah dari anak tersebut”. Informan mengatakan karena merawat dan mendidik anak adalah kewajiban perempuan (istri), sehingga jika anak bertindak tidak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat maka pihak yang di persalahkan adalah perempuan (istri) karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya. Tujuan informan berumah tangga adalah supaya mempunyai teman hidup, bisa saling menyayangi dan karena seperti itulah kodratnya. Makna anak baginya, supaya ada yang meneruskan keturunan dan ada yang menyayanginya sewaktu sudah tua nanti. Laki-laki (sumi) mempunyai tanggung jawab utama dan sekaligus sebagai pengambil keputusan dalam keluarga karena menurutnya laki-laki lah sebagai kepala keluarga. Pekerjaan disektor publik di kerjakan bersama sedangkan untuk urusan domestik dikerjakan oleh informan karena menurutnya sudah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
menjadi tanggung jawab sebagai istri. Informan berpendapat bahwa konsep istri sebagai sirukat nakan adalah baik, karena baginya sudah menjadi tanggung jawab istri. “ menurut saya konsep istri sebagai sirukat nakan memang baik karena itu kan… memang tanggung jawab kita sebagai perempuan… namun harapan saya maunya suami juga dapat membantu istrinya… dan kalau memeng tidak di bantu, paling tidak dia menghargai hasil karya istrinya”.
4.4.7. B Br Ginting Anak mempengaruhi romantisasi suami terhadap istri, karena informan mengatakan suami tidak akan betah di rumah jika belum memiliki keturunan, dan menurut informan hal semacam itu wajar saja karena menurutnya laki-laki (suami) memang membutuhkan keturunan. Informan berpendapat bahwa wajar jika lakilaki (suami) menikah lagi dengan alasan belum memiliki keturunan atau hanya memiliki anak perempuan saja, karena jika laki-laki tidak memiliki keturunan maka garis keturunannya akan hilang (masap) dan pihak keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap keinginan suami untuk menikah lagi. Bagi informan sebagai istri harus mengalah kepada suami, tujuannya agar tidak terjadi masalah dalam keluarga. Dalam masyarakat terdapat perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, hal ini disebabkan karena masyarakat menganut sistem patriarkhi yang lebih mengutamakan laki-laki. Menurut informan yang bertugas merawat anak adalah perempuan (istri) karena sudah menjadi Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tanggung jawab perempuan dan sudah menjadi kodrat bagi perempuan, sehingga menurutnya perempuan bertanggung jawab terhadap perilaku anak. Tujuan informan berumah tangga adalah agar mempunyai teman hidup, dapat saling menyayangi, dan dapat memperoleh keturunan. Makna anak baginya adalah sebagai penerus keturunan dan sebagi pengikat rumah tangga karena tanpa anak mudah menimbulkan perceraian. Menurut informan suami dan istri harus memiliki tanggung jawab dalam keluarga, karena dalam adat juga sudah di ajarkan seperti itu. Demikian juga halnya dalam mengambil keputusan, menurutnya antara suami dan istri harus bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Pembagian tugas antara informan dengan suaminya, dimana pekerjaan di sektor publik di kerjakan bersama sedangkan pekerjaan di sektor domestik di kerjakan oleh informan, karena menurutnya pekerjaan itu merupakan tanggung jawab perempuan (istri). Istri bertugas untuk merawat anak dan harus melayani dan tunduk kepada suami. Informan juga mengatakan bahwa apabila pasangan suami istri belum di karuniai anak, maka pihak yang umumnya di persalahkan masyarakat adalah perempuan, karena perempuanlah yang dianggap memiliki masalah dalam hal reproduksi. 4.4.8. J Br Tarigan Masyarakat pada umumnya menyalahkan perempuan apabila pasangan tersebut belum memilki keturunan karena ada anggapan masyarakat bahwa perempuan lah yang paling berpengaruh. Informan mengaku merasa wajar jika Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
suami tidak betah di rumah apabila belum di karuniai anak, namun sebagai istri harus mengalah kepada suami, karena menurutnya seperti ituah yang paling baik. Menurut informan wajar jika laki-laki (suami) menikah lagi apabila tidak memiliki keturunan. “menurut saya wajar saja jika laki-laki menikah lagi karena belum memiliki ketururnan… karena kalau dia tidak punya keturunan maka akan hilang ketururnanya dan banyak kita lihat suami yang kawim lagi karena alasan itu, akhirnya dia memiliki keturunan dari istri keduanya”. Tujuan informan berumah tangga adalah supaya ada teman berbagi, dan makna anak baginya supaya erat hubungan perkawinan. Suami memiliki tanggung jawab utama dalam keluarga karena laki-laki (suami) adalah kepala keluarga, sehingga pengambil keputusan dalam keluarga adalah suami dan walaupun perempuan di ikutsertakan namun keputusan tetap ada di tangan suami, istri ikut kehendak suami. Informan mengaku bahwa pembagian tugas antara dirinya dengan suaminya sebanding, dan pekerjaan rumah juga harus dikerjakan bersama. Informan melihat bahwa konsep istri sebagai sirukat nakan adalah baik karena menurutnya seperti itulah sewajarnya. Informan juga mengatakan bahwa pihak ketiga sangat berpengaruh terhadap perceraian pasangan suami istri akibat tidak memiliki keturunan. Berikut ini merupakan ungkapan informan: “keluarga memiliki pengaruh terhadap suami menikah lagi karena tidak memiliki keturunan, misalnya ada ungkapan dari keluarga “untuk apa harta banyak kalau tidak punya anak… jadi mau kau kemanakan nanti semua hartamu itu” seperti itulah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
ungkapan dari pihak keluarga… jadi laki-laki akan diusahakan oleh keluarganya agar menikah lagi”. Demikian juga halnya dengan perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam masyarakat. Berikut ini merupakan ungkapan informan: “jika tidak ada anak laki laki maka keturunan/ marga suami akan hilang, dan apabila tidak ada satupun anak laki-laki dalam keluarga maka anak perempuan pun kasihan… karena dia tidak akan disegani… dan dia harus bisa menampilkan diri kepada turang-turangnya (saudara laki-lakinya) yang tidak satu darah, selain itu perbedaan juga terjadi karena anak perempuan nantinya akan pindah ke keluarga suaminya sedangkan anak laki-laki dalam masyarakat Karo sampai empat keturunan pun akan memiliki ikatan yang kuat dan saling bersilaturahmi”. Menurut informan yang bertanggung jawab merawat dan mendidik anak adalah perempuan (ibu) sehingga jika anak bertindak tidak baik maka masyarakat akan menyalahkan ibunya , sedangkan anak laki-laki adalah harapan keluarga sebagai penerus keturunan dan melindungi saudara-saudara perempuannya. 4.4.9. S Br Sitepu Pada masyarakat Karo anak laki-laki adalah sebagai penerus keturunan, sehingga laki-laki lebih di istimewakan dibanding perempuan. Mendidik dan merawat anak adalah kewajiban perempuan (istri), sehingga jika anak bertindak menyimpang maka pihak yang dipersalahkan adalah perempuan (istri). Tujuan informan berumah tangga supaya dapat membina keluarga untuk masa depan, dan makna anak baginya adalah sebagai penerus keturunan suaminya. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Yang mempunyai tanggung jawab utama dalam keluarga sebelumnya adalah suaminya, namun sekarang informan sendiri karena lebih kurang 1 tahun yang lalu suami informan meninggal dunia. Begitu juga dalam mengambil keputusan, dimana sebelumnya ditentukan oleh suaminya namun sekarang beralih kepadanya. Informan mengatakan bahwa perempuan lah yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah, karena informan menganggap bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan( istri). Menurut informan konsep istri sebagai sirukat nakan sangat baik karena merupakan budaya dan tanggung jawab istri, dimana perempuan
sudah
resmi
menjadi
istri
suaminya.
Masyarakat
akan
mempersalahkan perempuan apabila belum memiliki anak, dan pihak mertua biasanya akan memisahkan anaknya dengan menantunya. Menurut informan, wajar jika laki-laki (suami) merasa tidak betah di rumah apabila tidak memiliki anak karena menurutnya suami akan merasa sunyi jika yang ada hanya istri. Sebagai istri harus mengalah kepada suami, karena menurut informan agama mengajarkan agar istri mengabdi kepada suami. Informan mengatakan bahwa wajar saja laki-laki menikah lagi apabila belum memiliki keturunan dan campur tangan pihak keluarga suami juga berpengaruh terhadap perceraian, dimana menurut informan orang tua akan menyuruh anaknya untuk mencari yang lain. 4.4.10. SLN
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Tujuan informan berumah tangga, karena menurutnya menikah adalah kebiasaan setiap orang, sehingga jika tidak menikah akan dianggap tidak normal. Anak dalam keluarga informan menarik garis keturunan suami, dan informan mengatakan bahwa yang memiliki tanggung jawab utama dalam keluarga adalah laki-laki (suami) karena suami adalah sebagai kepala keluarga. Demikian juga halnya dalam mengambil keputusan, semua keputusan dalam keluarga ditentukan oleh laki-laki (suami) , karena walaupun perempuan diikutsertakan
hanya
dianggap sebagai pelengkap saja. Pekerjaan di sektor publik dikerjakan bersama sedangkan untuk pekerjaan rumah hanya informan yang mengerjakannya, akan tetapi menurutnya itu adalah hal yang wajar saja karena pekerjaan rumah merupakan tugas dan kewajiban istri. Demikian juga halnya dengan konsep istri sebagai sirukat nakan, informan mengatakan bahwa konsep itu baik karena menurutnya perempuan (istri) memang harus menyiapkan makanan untuk suaminaya. Menurut informan apabila dalam keluarga tidak ada anak, maka romantisasi suami akan mengalami perubahan, namun informan tidak setuju jika suami tidak betah di rumah dengan alasan tidak memiliki anak, sebab istri juga tidak mengharapkan hal itu. Informan mengatakan bahwa perempuan (istri) harus mengalah kepada laki-laki (suami) untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga. Berikut ini ungkapan informan tentang laki-laki (suami) yang menikah lagi karena tidak memiliki keturunan: “ kalau memang sudah berusaha berobat… dan ternyata masih belum punya keturunan juga maka saya setuju saja suami menikah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
lagi, karena suami kan mengharapkan memiliki keturunan…jadi kita juga harus ikhlas untuk mengijinkan suami menikah lagi”. Bahkan informan juga menganggap wajar jika laki-laki (suami) menikah lagi jika dalam keluarga belum ada anak laki-laki yang dilahirkan. “….sebenarnya dari hati tidak begitu setuju… namun kalau belum ada anaknya laki-laki terpaksa juga di setujui, karena kalau dia tidak mempunyai anak laki-laki maka marganya akan hilang dan tidak akan disegani karena orang akan sepele. Bahkan jika tidak ada anak laki-laki dalam keluarga maka anak perempuannya juga kurang dihargai”. Menurut informan pihak yang seharusnya merawat anak adalah perempuan (istri) karena merupakan tugas dan tanggung jawab sebagai istri, oleh karena itu jika anak berbuat tidak baik maka yang dipersalahkan adalah ibunya. Anak perempuan dan anak laki-laki disosialisaikan secara berbeda, karena menurut informan anak laki-laki adalah sebagai penerus keturunan sedangkan anak perempuan nantinya akan berpindah ke keluarga suaminya. Matriks 4.3. Persepsi Isteri Tentang Perkawinan dan Budaya perkawinan No
Informan
1
J Br Surbakti
Makna Perkawinan
Budaya Patriarkhi
-
Agar mempunyai pendamping hidup
-
Laki-laki pengambil keputusan
-
Supaya mempunyai keturunan
-
Istri melayani dan mengabdi kepada suami
-
Pekerjaan tanggung isteri
rumah jawab
-
Laki-laki
sebagai
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
penerus keturunan 2
3
J Br Sitepu
K E Br Perangi n-angin
-
-
-
4
M Br Sitepu
Untuk melanjutkan keturunan sebagai pengikat keutuhan rumah tangga.
Supaya mendapat kebahagiaan dan ada teman untuk bertukar pikiran Untuk memperoleh keturunan sebagai tempat curahan kasih sayang
-
Laki-laki keluarga
kepala
-
Laki-laki dominan dalam mengambil keputusan
-
Pekerjaan publik tugas bersama, pekerjaan domestik tugas isteri
-
Laki-laki keturunan
-
Laki-laki penerima harta warisan
-
Istri sebagai sirukat nakan adalah kodrat
-
Isteri bertanggung jawab mengerjakan pekerjaan rumah dan merawat anak
-
Laki-laki keluarga
-
Perempuan mengabdi dan melayani laki-laki
penerus
kepala
-
Sudah kodrat
menjadi
-
Laki-laki keluarga
kepala
-
Untuk mendapat ketururnan
-
Laki-laki dominan menentukan keputusan
-
Malayani, mengabdi, mengerjakan pekerjaan rumah
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kodrat perempuan 5
6
M Br Ginting
T Br Sitepu
-
Supaya memiliki pendamping hidup
-
Laki-laki keluarga
-
Memiliki ketururnan
-
Istri harus menghormati, melayani, mengabdi dan dan mengalah
-
Laki-laki wajar menikah lagi jika belum memilki keturunan atau belum mempunyai anak laki-laki
-
Laki-laki kepala rumah tangga
-
Laki-laki pengambil keputusan
-
Pekerjaan rumah tanggung jawab dan kodrat perempuan
-
Pekerjaan public tugas bersama, domestic tugas isteri
-
Istri bertugas merawat, melayani dan mengabdi kepada suami
-
Kodrat
-
Memiliki hidup
-
7
8
9
B Br Ginting
J Br Tarigan
S Br Sitepu
teman
Memilki keturunan
-
Mempunyai hidup
-
Mandapat keturunan
-
Dapat menyayangi
-
Supaya ada teman berbagi
-
Laki-laki pengambil keputusan
-
Untuk memperoleh ketururnan
-
Laki-laki sebagai pelanjut ketururnan
-
Laki-laki penerima harta warisan
-
Laki-laki
-
teman
kepala
saling
Untuk mendapatkan
kepala
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kebahagiaan -
10
SLN
Untuk memperoleh keturunan
-
Kodrat
-
Untuk memperoleh keturunan
keluarga -
Laki-laki pengambil keputusan
-
Istri bertugas merawat anak, dan mengalah kepada suami
-
Laki-laki keluarga pengambil keputusan
-
Istri mengabdi dan melayani suami
kepala dan
4.5. PANDANGAN ISTERI TENTANG BIAS GENDER DALAM UPACARA NENGGET Keseluruhan informan mengetahui tentang isu gender dan konsep kekerabatan patriarkhi, hal ini disebabkan karena dalam sistem kebudayaan pada masyarakat Karo juga menganut konsep kekerabatan patriarkhi. Demikian halnya dengan isu gender, dimana pada umumnya terdapat perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Berikut ini merupakan persepsi istri terhadap bias gender dalam upacara nengget. 4.5.1. J Br Surbakti 4.5.1.1. Stereotipe
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Menurut informan, perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan pada umumnya akan mendapat cap-cap negatif dari masyarakat. Cap-cap negatif yang diberikan biasanya berupa cemoohan ( pembicaraan dari orang ke orang). “apabila perempuan (istri) belum bisa memberikan keturunan…biasanya masyarakat akan membicarakan kekurangannya, biasanya pembicaraan ini antara orang ke orang dan biasanya fisiknya akan dihina, misalnya jika perempuan yang belum memiliki ketururnan itu gemuk maka akan ada omongan dari masyarakat yang mengatakan “ gimana mau punya anak, ususnya aja udah dikelilingi oleh lemaknya” dan jika perempuan tersebut kekurusan maka timbul omongan masyarakat yang mengatakan perempuan itu kurang sehat atau tidak subur, dan lainlain”. Namun informan tidak setuju dengan cap-cap negatif yang diberikan masyarakat kepada perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan, kecuali jika yang mengatakan itu adalah tim medis. Informan mengatakan bahwa perempuan harus lembut dan penyabar, karena menurutnya perempuan akan menjadi bagian dari keluarga lain. Selain itu, perempuan juga harus patuh, penurut, dan harus mengalah agar keharmonisan keluarga tetap terjaga, sehingga anak perempuan harus diinternalisasikan sebagai pengabdi dan pelayan, sekaligus harus mengalah kepada saudara laki-lakinya. Bagi informan perempuan harus bisa menjaga penampilan, namun perempuan tidak baik keluar malam, karena masyarakat akan menyalahkan orang tuanya dan dianggap tidak bisa mendidik anak kecuali anak laki-laki. Informan mengatakan bahwa laki-laki harus selalu menjadi sosok yang keras, tegas dan pelindung, karena menurutnya laki-laki harus bisa melindungi Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan, sehingga bagi informan anak laki-laki tidak pantas menangis jika ada masalah karena akan dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah. Demikian juga halnya dengan laki-laki yang suka merawat diri, menurut informan laki-laki seperti itu adalah laki-laki yang tidak normal. 4.5.1.2. Kekerasan Menurut informan yang termasuk sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah pemukulan dan dimarahi atau dengan makian. Informan mengatakan tidak setuju dengan tindakan kekerasan terhadap perempuan. “ saya tidak setuju jika laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, karena menurutku… perempuan itu memiliki perasaan dan jika ada kesalahan harus di didik bukan malah di pukul atau di marahi”. Informan mengaku pernah mengalami tindak kekerasan dari suaminya. Adapun bentuk kekerasan yang dialaminya adalah secara psikis yaitu dimarahi dan informan mengaku merasa sedih dan pernah menangis, namun kadang-kadang informan melawan dengan omongan. Adapun penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga informan adalah karena suami lapar, ada masalah dengan anak-anak, adanya perbedaan pendapat dan sebagainya. 4.5.1.3. Subordinasi Menurut informan, laki-laki lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin dan pengambil keputusan dalam lingkungan keluarga sekaligus dilingkungan masyarakat, alasanya karena sudah menjadi tradisi. Informan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
mengaku merasa setuju jika ada pembagian tugas antara suami dan istri secara jelas, misalnya laki-laki (suami) di sektor publik sedangkan perempuan (istri) disektor domestik. “saya setuju jika laki-laki yang mencari nafkah buat keluarga dan perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena agama juga mengajarkan seperti itu… namun dalam prakteknya tidak seperti itu …biasanya pekerjaan ke ladang dikerjakan bersama, tetapi pekerjaan rumah hanya di urus oleh istri saja”. Informan merasa setuju jika laki-laki mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan perempuan, yang umumnya diberlakukan pada perusahaan/ pabrik karena menurutnya pekerjaan-pekerjaan yang berat biasanya di kerjakan oleh lakilaki. Informan merasa tidak setuju jika hanya laki-laki saja yang mandiri sedangkan perempuan bergantung kepada suami. “menurut saya laki-laki harus mandiri, tapi saya tidak setuju jika perempuan bergantung kepada laki-laki (suami)… keduanya harus mandiri, karena dalam masyarakat Karo perempuan juga harus mandiri bahkan dalam pelaksanaannya perempuan lebih dominan”. Informan mengatakan bahwa istri harus melayani dan mengabdi kepada suami, karena itu sudah menjadi tanggung jawab istri. Untuk mendapatkan pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan harus disamakan atau disesuaikan dengan kemampuannya, demikian juga halnya dengan keikutsertaan perempuan dalam kancah politik, perempuan harus didukung jika mampu karena menurut informan tidak semua perempuan lemah, tidak rasional dan emosional. 4.5.1.4. Marginalisasi Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Marginalisasi yang dialami oleh perempuan yang tidak memiliki keturunan, biasanya terjadi karena adanya perasaan minder. Hal ini sesuai dengan penuturan informan berikut ini: “perempuan yang tidak mempunyai anak biasanya merasa terpinggirkan ketika ada orang lain yang memukul anaknya, dan orang tua akan berkata “janganlah kau pukul anakmu ini…karena kalau kamu tidak punya anak maka kamu tidak berharga” dan ketika perempuan yang tidak memiliki anak mendengar perkataan itu maka dia akan merasa minder”. Demikian juga halnya dalam akses terhadap kekayaan atau harta benda. Perempuan biasanya pihak yang terpinggirkan secara ekonomi, hal ini disebabkan karena semua harta benda yang ada dibuat atas nama laki-laki (suami), sehingga jika terjadi perceraian maka harta kekayaan tersebut berada di tangan laki-laki (suami). “harta benda yang kami miliki… semuanya atas nama suami, karena dalam suku Karo biasanya pun seperti itu dan biasanya dalam masyarakat Karo…jika terjadi perceraian maka harta itu menjadi hak milik suami…mungkin perhiasan aja yang bisa di bawa oleh perempuan (istri)”.
4.5.1.5. Dominasi Dominasi laki-laki (suami) dalam rumah tangga terlihat berdasarkan pihak pengambil keputusan dalam keluarga. Dalam keluarga informan pihak pengambil keputusan adalah laki-laki (suami), karena walaupun perempuan di ikutsertakan hanya sebagai pelengkap saja. Hal ini disebabkan karena laki-laki lah sebagai
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kepala keluarga. Oleh sebab itu, perempuan (isteri) harus patuh dan mengalah kepada suami. 4.5.2. J Br Sitepu 4.5.2.1. Stereotipe Menurut informan, tidak baik jika diberikan cap-cap negatif terhadap perempuan yang tidak memiliki keturunan. Bagi informan perempuan harus lembut dan mengalah untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga, dan perempuan juga harus bisa merawat diri karena jika perempuan (istri) tidak bisa merawat diri maka suaminya tidak akan betah di rumah. Perempuan tidak baik keluar malam, karena sebagai perempuan harus bisa menjaga harkat dan martabatnya. Menurut informan laki-laki harus kuat, tegas, dan pelindung karena jika laki-laki tidak tegas dan tidak bisa melindungi maka orang tidak akan segan, oleh karena itu laki-laki dalam keluarga tidak diperbolehkan menangis jika menghadapi masalah. Laki-laki yang suka merawat diri (pesolek) dianggap informan sebagai laki-laki yang kurang normal.
4.5.2.2. Kekerasan Bentuk –bentuk kekerasan menurut informan adalah kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Adapun yang dimaksud informan kekerasan fisik berupa pemukulan, sedangkan kekerasan psikis berupa makian (dimarahi). Menurut Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
informan kekerasan terhadap perempuan tidak baik, karena perempuan adalah makhluk yang lemah yang seharusnya dilindung dan di sayangi. Informan mengaku pernah mengalami kekerasan psikis dari suaminya, penyebabnya biasanya diawali dengan perdebatan sampai berbicara keras dan kasar dikarenakan perbedaan pendapat. Informan mengaku menangis ketika mengalami kekerasan, dan kadang-kadang informan melawan dengan omongan (membantah). “kekerasan yang saya alami...biasanya dengan omongan, di marahi dengan bahasa yang kasar, biasanya masalahnya karena perbedaan pendapat, misalnya jika saya membantah kata-katanya maka suami akan emosi… saya menangis, namun kalau menurut saya sudah kelewatan maka saya akan melawan dengan cara membantahnya”
4.5.2.3. Subordinasi Menurut informan, laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin dilingkungan keluarga sekaligus masyarakat dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki lah sebagai kepala keluarga. Informan merasa setuju jika perempuan di tempatkan disektor domestic sedangkan laki-laki bekerja di sektor publik. Laki-laki wajar mendapatkan upah yang lebih besar di bandingkan perempuan, Karena menurut informan umumnya pekerjaan yang membutuhkan tenaga biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Bagi informan laki-laki dan perempuan harus sama-sama mandiri dan istri harus melayani dan mengabdi kepada suami karena merupakan tugas dan tanggung jawab perempuan (istri). “ laki-laki itu harus mandiri dan bertanggung jawab, tetapi perempuan pun tidak bisa hanya bergantung kepada suami karena Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan juga harus bisa mandiri dan harus bisa membantu suami untuk menncari nafkah”. Dalam hal pendidikan antara anak laki-laki dan anak perempuan mendapat perlakuan yang sama, hanya saja harus disesuaikan dengan kemampuan anak, namun terdapat perbedaan cara pandang yang diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan, misalnya jika anak perempuan keluar malam maka akan di cap sebagai perempuan yang tidak baik, sedangkan anak laki-laki dianggap wajar. Informan mendukung jika perempuan terjun ke kancah politik, karena menurutnya dapat memajukan kaum perempuan. oleh karena itu, informan tidak setuju dengan label-label yang menganggap perempuan tidak rasional, emosional, dan lemah karena sebagian perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. 4.5.2.4. Marginalisasi Marginalisasi yang dialami informan terfokus dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena akses terhadap kekayaan dikuasai oleh suami informan. Namun menurut informan hal itu wajar-wajar saja karena baginya laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga. 4.5.2.5. Dominasi Menurut informan laki-laki lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin baik di lingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat, karena laki-laki sebagai kepala keluarga. Sehingga menurutnya, wajar saja jika laki-laki mendominasi perempuan dan perempuan sewajarnya mengabdi kepada suami. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.3 K E Br Perangin-angin 4.5.3.1. Stereotipe Masyarakat umunya akan memberikan cap-cap negatif kepada perempuan (isteri) yang tidak memiliki ketururnan, yang tentu saja merugikan kaum perempuan. “biasanya masyarakat akan menilai negatif perempuan yang tidak memiliki keturunan… misalnya adanya ungkapan yang mengecap bahwa itu adalah dosanya, karena dianggap masyarakat… liar sewaktu masa remaja, selain itu akan ada omongan yang mengatakan “memang itu penyakit turunan, karena ada juga keluarganya yang tidak memiliki keturunan” seperti itulah contoh-contoh cap negatif yang diberikan masyarakat terhadap perempuan yang tidak memiliki anak”. Menurut informan, perempuan yang tidak memiliki keturunan tidak bisa dipersalahkan karena menurutnya tidak ada satu orang perempuan yang menginginkan keadaan semacam itu. Perempuan harus lembut, patuh serta mengalah kepada suami, karena dalam ajaran agama juga di ajarkan demikian, namun perempuan juga harus melihat kondisi, artinya jika laki-laki
sudah
kelewatan maka perempuan juga harus bisa mengambil tindakan. Merawat diri bagi perempuan (istri) sangat penting umtuk menjaga suami agar tetap betah di rumah, namun perempuan tidak baik keluar malam karena jika terjadi apa-apa kepadanya maka yang akan dipersalahkan adalah ibunya dan dipandang negative dalam masyarakat. Laki-laki harus menjadi sosok yang keras, tegas dan pelindung bagi saudara-saudara perempuannya, sehingga laki-laki yang pesolek dianggap
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
tidak normal oleh infoman dan anak laki-laki juga tidak di biarkan menangis jika menghadapi masalah, kecuali jika dalam kondisi duka cita. 4.5.3.2. Kekerasan Isu gender bagi informan adalah dimana laki-laki mendapat posisi (peran) yang lebih baik dibandingkan perempuan. Salah satu yang termasuk bentuk-bentuk ketidak adilan gender yaitu kekerasan yang dialami oleh salah satu jenis kelamin tertentu, namun lebih cenderung dialami oleh perempuan. Menurut informan yang termasuk kekerasan adalah penyiksaan fisisk, dimarahi, kekerasan seks (suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seks, sementara istri tidak siap), dan suami yang meminta uang secara paksa kepada istrinya. Informan tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. “menurut saya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga itu harus dihilangkan…karena kekerasan itu kan tidak sesuai dengan kemanusian…dan seharusnya juga laki-laki bisa menghargai istrinya”. Informan mengaku pernah mengalami kekerasan dalam bentuk psikis yaitu di marahi oleh suaminya, namun informan mengaku tidak pernah melawan dan diam saja. Hal ini dilakukannya untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. “jika suami memarahi saya…biasanya saya diam saja dan tidak mau memancing emosinya, saya tidak mau menambah masalah…karena menurutku jika dilawan justru dia akan semakin marah dan bisa-bisa dia akan memukul saya”.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Penyebab kekerasan yang dialami oleh informan cendrung karena anak nakal, jika informan memarahi anak-anaknya, maka suaminya justru memarahi informan. 4.5.3.3. Subordinasi Menurut informan yang cocok menempati posisi sebagai pemimpin, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat adalah Lakilaki, karena menurutnya laki-laki lah sebagai kepala keluarga sehingga lebih bijaksana. Informan setuju dengan konsep yang menempatkan perempuan di sektor domestik sedangkan laki-laki disektor publik, Karena agama juga mengajarkan demikian namun karena tuntutan ekonomi maka perempuan (istri) juga diharapkan membantu suami bekerja disektor publik. Oleh karena itu, laki-laki (suami) harus mandiri dan perempuan (istri) juga tidak bisa hanya bergantung kepada suami, karena menurut informan kita tidak tahu masalah yang akan dihadapi kedepan. Demikian halnya dengan pemberian upah yang umumnya dibedakan antara laki-laki dan perempuan, menurut informan wajar jika terjadi perbedaan karena biasanya pekerjaan yang lebih membutuhkan tenaga biasanya di kerjakan oleh laki-laki. Informan mengatakan bahwa istri harus melayani dan mengabdi kepada suami karena merupakan tanggung jawab istri, namun dalam hal pendidikan seharusnya masyarakat lebih mengutamakan anak perempuan. Adapun alasan informan mengatakan demikian, karena perempuan dalam masyarakat Karo tidak mendapat warisan sehingga pendidikan merupakan harta yang paling berharga Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
yang dapat dimiliki oleh perempuan. Begitu juga dengan keterlibatan perempuan di kancah politik sangat didukung oleh informan. “saya melihat bahwa keterlibatan perempuan dalam politik sangat baik…karena tanpa didampingi oleh perempuan maka pemerintahan tidak akan bagus… menurutku politik kan sama aja dengan rumah tangga, jika tidak ada perempuan maka rumah tangga akan hancur dan anak-anak tidak akan terawat, demikian juga halnya dengan politik”. Namun informan setuju dengan anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan cenderung tidak rasional.
4.5.3.4. Marginalisasi Menurut informan marginalisasi yang dialami oleh perempuan diakibatkan karena adanya pembagian wilayah kerja antara laki-laki dan perempuan yang berbeda, dimana ada anggapan bahwa laki-laki bekerja mencari nafkah sedangkan perempuan mengurus pekerjaan rumah. Dengan adanya persepsi tersebut laki-laki lah yang berhak atas alat-alat produksi, bahkan walaupun dalam prakteknya perempuan ikut membantu suami untuk mencari nafkah, tidak berarti pekerjaan di sector domestik berkurang, karena informan juga beranggapan bahwa pekerjaan rumah adalah tugas dan tanggung jawab perempuan (isteri), namun harta kekayaan biasanya berada di tangan laki-laki. 4.5.3.5. Dominasi Dominasi laki-laki dalam keluarga disebabkan karena budaya patriarkhi yang dianut oleh masyarakat. Budaya patriarkhi adalah budaya dominasi laki-laki Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
atau keutamaan laki-laki di bandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena dalam budaya tersebut laki-laki sebagai penerus keturunan, dan menjadi keutamaan dalam keluarga sebagai penerima harta warisan. Kedudukan laki-laki yang berada pada nomor satu menyebabkan perempuan berada dibawah kontrol laki-laki dan perempuan harus mengalah dan patuh terhadap aturan yang telah di tetapkan. 4.5.4. M Br Sitepu 4.5.4.1. Stereotipe Perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan biasanya di anggap sepele dan kurang dihargai oleh masyarakat, namun informan merasa tidak setuju dengan tindakan masyarakat tersebut. “saya tidak setuju jika masyarakat menganggap bahwa perempuan yang tidak memiliki anak tidak berharga apalagi menyepelekannya… karena mereka kan tidak merasakan apa yang sebenarnya yang saya rasakan”. Informan mengatakan bahwa istri harus lembut dan penyabar, karena jika istri tidak sabar maka akan menimbulkan permasalahan-permasalahan. Dan untuk menjaga keharmonisan dalan keluarga maka perempuan (istri) harus patuh dan mengalah terhadap laki-laki (suami). Informan mengatakan perempuan (istri) harus bisa merawat diri agar suami betah di rumah, namun perempuan tidak baik keluar malam karena akan di cap negatif oleh masyarakat. Sebaliknya laki-laki harus tegas dan bisa melindungi perempuan, karena jika tidak maka orang lain tidak akan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
segan kepadanya, sehingga bagi informan laki-laki tidak wajar menangis jika menghadapi masalah. Namun informan merasa wajar jika laki-laki suka merawat diri dalam batas yang wajar, tetapi jika sudah melebihi perempuan dianggap informan sebagai laki-laki yang kurang normal.
4.5.4.2. Kekerasan Yang termasuk tindakan kekerasan menurut informan adalah pemukulan, dimarahi, dan pemaksaan dalam melakukan hubungan seks. Informan mengatakan merasa tidak setuju dengan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. “saya tidak setuju dengan kekerasan dalam rumah tangga …dan tidak sesuai dengan hati nuraniku, karena rumah tangga itu dibentuk kan tujaunnya agar dapat saling mengasihi dan menyayangi, bukan malah kekerasan yang terjadi”. Informan mengaku pernah mengalami tindak kekerasan secara psikis yaitu dengan cara memarahi informan. “saya pernah mengalami kekerasan dengan cara dimarahi, tetapi kekerasan fisisk tidak pernah… dan biasanya kalau dia sudah marah dilampiaskannya dengan cara menghancurkan barangbarang yang ada dirumah, misalnya dia memecahkan gelas, membantingkan kursi ke lantai, menghancurkan meja dan perabot-perabot lainnya”.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Namun informan mengaku labih memilih diam daripada melawan karena menurutnya jika dilawan maka suami akan semakin emosi dan marah. Adapun penyebab informan mengalami tindak kekerasan disebabkan karena informan belum memiliki ketururnan. “penyebab suami saya marah…karena dulu kami belum punya anak dan dia sering pergi dari rumah dan sering dia tidak pulang kerumah…ketika dia pulang saya menanyakan dia dari mana dan kenapa dia tidak pulang, dia tidak menjawab pertanyaan saya… malahan dia marah sambil mengancurkan perabot-perabot rumah kami”.
4.5.4.3. Subordinasi Menurut informan bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin karena laki-laki lah sebagai kepala keluarga. Namun informan tidak setuju jika hanya suami saja yang bekerja mencari nafkah sedangkan perempuan (istri) hanya mengerjakan pekerjaan rumah saja. Menurut informan tugas mengerjakan pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan (istri) namun istri juga harus ikut bekerja diluar rumah dengan suami. “laki-laki itu harus mandiri…tetapi perempuan (istri) tidak bisa hanya bergantung kepada suami, perempuan juga harus mandiri… karena kalau kita bergantung sepenuhnya kepada suami nantinya kita bisa kecewa” Informan mengatakan bahwa istri memiliki kewajiban untuk mengabdi dan melayani suami supaya istri disayangi dan agar suami tidak meninggalkan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan (istri). Namun untuk mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak bisa di bedakan, sehingga informan mendukung perempuan yang ikut terjun ke dunia politik dengan harapan perempuan bisa setara dengan laki-laki. Menurutnya tidak semua perempuan lemah, emosional dan tidak rasional, hal ini dilihatnya dari perempuan suku Karo yang biasanya lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dibandingkan laki-laki. 4.5.4.4. Marginalisasi Marginalisasi yang dialami oleh perempuan yang tidak memiliki keturunan dianggap sepele oleh orang lain. Hal ini disebabkan bahwa adanya pandangan bahwa melahirkan adalah kodrat bagi perempuan, sehingga perempuan yang tidak memiliki keturunan biasanya dianggap kurang baik. Pandangan tersebut menyebabkan perempuan (isteri) yang tidak memiliki merasa terpinggirkan dan merasa minder. Demikian halnya dengan akses terhadap kekayaan informan mengaku bahwa harta benda yang mereka miliki di buat atas nama suami, dengan alasan suami adalah kepala keluarga. 4.5.4.5. Dominasi Masyarakat Karo yang mengutamakan laki-laki dalam berbagai aspek, membuat kedudukan perempuan berada dibawah kedudukan laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki adalah sebagai kepala keluarga sekaligus pihak pengambil keputusan. Informan mengaku jika terjadi permasalahan dengan suami, biasanya informan mengalah. Karena menurutnya jika di lawan akan menimbulkan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kekerasan, dan ini tidak terlepas dari tradisi dalam masyarakat yang menganggap perempuan yang telah menikah adalah milik suaminya dan suami berhak atas dirinya.
4.5.5. M Br Ginting 4.5.5.1. Stereotipe Keluarga yang belum memiliki keturunan akan di tanya oleh masyarakat kenapa belum mempunyai anak, biasanya dengan ungkapan “apakah kamu tidak ingin memilki anak seperti orang lain?”, selain itu masyarakat akan mengusulkan pasangan tersebut agar mengadopsi anak dengan tujuan agar nantinya mereka memperoleh keturunan dari rahimnya sendiri. Informan mengaku merasa setuju dengan pandangan masyarakat, menurutnya jika keluarga tersebut mengadopsi anak maka ada kemungkinan melahirkan anak dari rahimnya sendiri. Menurut informan perempuan harus lembut, patuh dan mengalah kepada suami agar keharmonisan tetap terjaga karena menurutnya jika perempuan tidak mengalah akan menimbulkan perkelahian. Demikian juga anak perempuan harus di internalisaikan sebagai pengabdi dan pelayan sekaligus mengalah kepada saudara laki-lakinya, tujuannya agar nantinya setelah menikah juga terbiasa dalam keluarga suaminya. Perempuan (istri) harus bisa merawat diri agar suami betah dirumah dan perempuan tidak baik keluar malam karena menurut informan masyarakat akan mengecap sebagai perempuan yang liar dan tidak akan dihormati. Anak laki-laki Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
harus menjadi sosok yang tegas dan dapat melindungi perempuan, karena jika tidak maka tidak akan disegani oleh orang lain dan anak laki-laki tidak di perbolehkan menangis dalam keluarga informan, namun informan tidak mempersalahkan laki-laki yang suka merawat diri. 4.5.5.2. Kekerasan Menurut informan yang termasuk tindakan kekerasan adalah penyiksaan fisisk, di marahi, meminta uang secara paksa. Kekerasan terhadap perempuan tidak sesuai dengan hati nurani informan, tetapi informan mengaku tidak pernah mengalami tindakan kekerasan dalam keluarga walaupun dalam bentuk psikis. 4.5.5.3. Subordinasi Informan mengatakan bahwa laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin dari pada perempuan karena menurutnya sudah menjadi kebiasaan. Namun informan mengaku setuju jika laki-laki bekerja di sektor publik sedangkan perempuan di sektor domestik tujuannya agar pembagian tugas jelas. Informan tidak mempermasalahkan perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan yang umumnya diberlakukan dalam masyarakat karena menurutnya laki-laki biasanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tenaga. Informan setuju jika laki-laki mandiri dan tidak mempermasalahkan jika perempuan (istri) bergantung kepada suaminya, namun informan mengatakan bahwa istri harus mengabdi dan melayani suami, karena menurutnya itulah alasan laki-laki menikahi perempuan. menurut informan anak laki-laki lebih diutamakan untuk mendapat Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
pendidikan, alasannya karena anak perempuan nantinya setelah menikah menjadi bagian keluarga orang lain. Informan tidak mempersalahkan jika perempuan ikut terlibat dalam politik, tapi menurutnya perempuan cenderung lemah, tidak rasional dan emosional. 4.5.5.4. Marginalisasi Dalam keluarga informan laki-laki (suami) yang memegang akses terhadap kekayaan, menurutnya hal ini tidak menjadi masalah karena laki-laki (suami) adalah sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab utama dalam keluarga. Marginalisasi yang dialami oleh perempuan yang tidak memiliki keturunan, akan tersingkir jika suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. Karena dalam masyarakat Karo, suami menikah lagi dengan alasan tidak mempunyai keturunan akan di dukung oleh masyarakat.
4.5.5.5. Dominasi Posisi laki-laki sebagai pemimpin dan sebagai kepala keluarga berarti keputusan-keputusan dalam keluarga dan masyarakat ditentukan oleh laki-laki. Dalam kondisi ini, perempuan akan patuh terhadap aturan yang ada dan mengalah walaupun tidak sesuai dengan keinginannya. Informan mendukung hal tersebut, dimana menurutnya perempuan sebaiknaya mengabdi dan melayani suami sekaligus mengalah untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.6. T Br Sitepu 4.5.6.1. Stereotipe Menurut informan stereotipe yang diterima oleh perempuan (istri) yang tidak bisa melahirkan biasanya berupa cemoohan-cemoohan dari masyarakat, namun informan tidak setuju dengan stereotipe tersebut karena baginya tidak ada yang bisa disalahkan karena hanya Yang maha Kuasa yang tahu. Namun perempuan (isteri) wajib mengalah dan lembut kepada laki-laki (suami) supaya tidak terjadi masalah dalam keluarga dan baginya perempuan penting untuk merawat diri agar suami betah dirumah. Perempuan tidak baik keluar malam karena masyarakat akan mengecapnya sebagai wanita nakal, sedangkan laki-laki harus tegas dan bisa melindungi perempuan agar di segani oleh orang lain. Informan menganggap wajar jika laki-laki suka merawat diri asalkan tujuannya tidak negatif. 4.5.6.2. Kekerasan Menurut informan, pemukulan, siksaan batin, dan memita uang secara paksa adalah bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, tetapi informan tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga. Informan mengaku pernah mengalami tindak kekerasan yang sifatnya secara psikis yaitu dimarahi oleh suami, namun informan pernah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
membalasnya dengan omongan jika merasa tidak salah dan informan biasanya diam jika merasa dirinya salah. Penyebab dari kekerasan yang dialaminya, karena apa yang informan lakukan tidak sesuai dengan harapan suaminya. 4.5.6.3. Subordinasi Laki-laki lebih di utamakan sebagai pemimpin dilingkungan masyarakat sekaligus dilingkungan keluarga karena laki-laki adalah sebagai kepala rumah tangga. Menurut informan tidak sesuai jika laki-laki saja yang bekerja di sektor publik tetapi juga harus dibantu oleh perempuan (istri). “menurut saya jika dilingkungan desa tidak baik jika pekerjaan di sektor publik hanya di kerjakan oleh laki-laki (suami) saja… tetapi juga harus dibantu oleh perempuan (istri).., melihat kondisi ekonomi masyarakat, namun untuk pekerjaan rumah memang sudah kodratnya menjadi tugas dan tanggung jawab perempuan”. Informan juga setuju jika laki-laki mendapatkan upah yang lebih besar dari perempuan karena menurutnya pekerjaan yang berat biasanya dikerjakan oleh lakilaki, dan laki-laki harus mandiri tetapi perempuan juga harus bisa membantu lakilaki (suami) dan tidak bisa hanya bergantung kepada laki-laki (suami). Perempuan (istri) memiliki tanggung jawab untuk melayani dan mengabdi kepada laki-laki (suami), namun dalam hal pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan tidak bisa di bedakan dan harus disesuaikan dengan kemampuannya. Informan tidak setuju jika perempuan dianggap lemah, emosional dan tidak rasional, oleh karena itu informan mendukung perempuan yang ikut ambil bagian dalam politik. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.6.4. Marginalisasi Perempuan (istri) yang tidak memiliki ketururnan mengalami marginalisasi ketika masyarakat memberikan sindiran-sindiran, hinaan-hinaan, atau ucapanucapan yang menyudutkan. Informan mengaku tidak setuju dengan hal tersebut, karena menurutnya tidak ada yang bisa dipersalahkan. Demikian juga dalam kepemilikan harta kekayaan, umumnya tanah, rumah, kendaraan dan lain-lain di buat atas nama laki-laki (suami) karena laki-laki sebagai kepala keluarga. 4.5.6.5. Dominasi Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya struktur budaya patriakhat. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah dari pada laki-laki. Didalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan di berbagai bidang kehidupan dan dalam keluarga, kedudukan suami lebih dominan. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan informan bahwa laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin baik dilingkungan keluarga sekaligus dilingkungan masyarakat, laki-laki sebagai pengambil keputusan dan laki-laki. dalam situasi perempuan cenderung mengalah, karena adanya anggapan bahwa laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, sehingga isteri harus melayani dan mengabdi kepada suami.
4.5.7. B Br Ginting 4.5.7.1. Stereotipe Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Adapun stereotipe yang diberikan masyarakat kepada perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan akan dianggap mandul, dianggap isteri yang kurang merawat diri dan dianggap kurang sehat. Informan menganggap bahwa stereotipe yang diberikan masyarakat adalah hal yang wajar saja. “ perempuan yang tidak memiliki anak akan dianggap sebagai perempuan mandul… dianggap kurang merawat diri… perempuan yang kurang sehat, dan banyak lagi, namun saya beranggapan wajar saja jika masyarakat mengatakan seperti itu, karena memang perempuan itu belum memiliki keturunan… mau di bilang apa?”. Menurut informan perempuan dikodratkan sebagai makhluk yang halus, lembut, penyabar dan mengalah kepada laki-laki, sehingga anak perempuan harus diinternalisaikan terhadap hal tersebut agar terbiasa. Perempuan harus bisa merawat diri agar suami tidak bosan, tetapi menurut informan perempuan tidak wajar keluar malam karena akan dianggap perempuan liar. Laki-laki adalah sosok yang tegas dan keras sehingga diharapkan mampu melindungi perempuan, dan laki-laki tidak diperbolehkan menangis jika menghadapi masalah karena laki-laki harus kuat dan tegar. Informan mengganggap wajar jika laki-laki suka merawat diri, asalkan tidak berlebihan dan tidak memiliki maksud yang kurang baik. 4.5.7.2. Kekerasan Bentuk-bentuk kekerasan menurut informan adalah pemukulan , dimarahi, meminta uang secara paksa, dan pemaksaan untuk melakukan hubungan seks. Informan mengaku pernah mengalami tidak kekerasan secara fisik yaitu pemukulan dan juga kekerasan psikis ( dimarahi). Menurut informan tindakan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
kekerasan tidak baik, karena setiap masalah dapat dibicarakan secara baik-baik tanpa menggunakan kekerasan. Ketika informan mengalami kekerasan maka tindakan yang dilakukannya sesuai dengan ungkapannya berikut ini: “ketika saya mengalami kekerasan dari suami…saya melihat masalahnya…kalau menurut saya sudah kelewatan maka saya juga melawannya, misalnya ketika dia memukul saya maka saya akan membalasnya dengan cara memukulnya lagi, namun kalau hanya dengan omongan maka saya diamkan saja, agar masalah tidak semakin banyak”. Penyebab kekerasan biasanya karena informan membantah perkataannya dan sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. 4.5.7.3. Subordinasi Laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin dibandingkan perempuan karena menurut informan sudah menjadi kodrat. Informan tidak setuju jika laki-laki ditempatkan pada sektor publik sedangkan perempuan disektor domestik, menurutnya selain urusan domestik perempuan juga harus bisa membantu laki-laki (suami) bekerja di sektor publik. “saya tidak setuju jika hanya laki-laki saja yang bekerja disektor publik…karena dalam masyarakat Karo tidak ada seperti itu, kita tidak bisa hanya mengandalkan laki-laki (suami) saja…karena kalau kita hanya mengandalkan laki-laki saja akan menimbuhlkan masalah, sedangkan kalau pekerjaan rumah itu kan memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai istri”. Dalam hal perbedaan upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan dianggap wajar oleh informan karena biasanya laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan. Perempuan harus bisa mengabdi dan mengalah kepada laki-laki Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
(suami), namun dalam hal pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan tidak bisa dibeda-bedakan dan harus disesuaikan dengan kemampuannya. Informan mendukung perempuan yang ikut berkiprah di dunia politik, karena menurutnya inilah kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sehingga laki-laki tidak dapat melakukan penindasan lagi terhadap perempuan. Menurut informan tidak semua perempuan lemah, emosional, dan tidak rasional, karena menurutnya jika masyarakat tetap berfikir seperti itu maka kedudukan perempuan akan semakin tersudutkan. 4.5.7.4. Marginalisasi Marginalisai yang dialami oleh perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan tidak terlepas dari stereotipe yang diberikan oleh masyarakat terhadap perempuan. Adanya stereotipe yang mengatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa melayani suaminya dan memberikan keturunan kepada suaminya, mengakibatkan perempuan yang terpaksa tidak memiliki keturunan dianggap bukan isteri yang baik dan tepat. Dalam hal ini perempuan akan mengalami marginalisasi disebabkan karena pihak keluarga laki-laki akan mendukung suaminya untuk menikahi perempuan lain. Begitu juga halnya dengan penguasaan terhadap kekayaan, informan mengatakan bahwa harta kekayaan yang dimiliki dibuat atas nama suami. Dalam situasi seperti di atas menyebabkan perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan tidak berhak menguasai akses kekayaan yang mereka miliki. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.5.7.5. Dominasi Dominasi laki-laki (suami) dalam keluarga informan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, dimana informan mengaku bahwa pihak pengambil keputusan dalam keluarga di tentukan oleh laki-laki. Dan tidak jarang perempuan (isteri) akan mengalami tindak kekerasan dari suami ketika perempuan (isteri) berusaha mempertahankan pendapatnya, hal ini juga pernah di alami oleh informan. Kondisi ini terjadi karena laki-laki (suami) sadar bahwa budaya yang tumbuh dalam masyarakat adalah budaya yang mengutamakan laki-laki. Oleh karena itu, menurut informan perempuan (isteri) lebih baik mengalah jika berhadapan dengan masalah tersebut.
4.5.8. J Br Tarigan 4.5.8.1. Stereotipe Masyarakat umunya memberikan pelabelan-pelabelan negatif terhadap perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan. Berikut ini merupakan ungkapan informan: “jika dalam keluarga tidak ada anak maka orang-orang akan berkata “apa yang mau di pertahankan suaminya kalau sampai sekarang pun belum ada keturunanya?,ada juga yang mengatakan “untuk apalah dipertahankannya lagi?” begitulah omonganomongan yang muncul dari masyarakat”.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Informan tidak setuju dengan ungkapan-ungkapan yang di katakanan oleh masyarakat, karena menurutnya untuk apa dipermasalahkan jika pasangan itu sendiri tidak mempermasalahkannya. Perempuan harus lembut, penyabar dan sebaiknya mengalah kepada laki-laki untuk menghidari munculnya masalah. Perempuan harus diinternalisasikan sebagai pengabdi dan pelayan karena seperti itu lah kodratnya, dan perempuan (isteri) diharapkan bisa merawat diri agar suami betah di rumah dan tidak bosan. Menurut informan perempuan tidak baik keluar malam karena akan dianggap sebagai perempuan yang liar, sedangkan laki-laki diharapkan menjadi sosok yang tegas, keras dan dapat melindungi saudara-saudara perempuannya. Hal ini dianggap penting, karena jika laki laki tidak tegas maka akan di sepelekan orang lain. Informan mengaku tidak suka melihat laki-laki yang suka merawat diri/ pesolek karena menurutnya tidak normal. 4.5.8.2.Kekerasan Informan mengatakan yang termasuk jenis kekerasan adalah pemukulan dan dimarahi, informan mengaku tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Informan mengaku pernah mengalami tindak kekerasan secara fisik dan psikis. “saya pernah mengalami tindakan kekerasan dari suami…jika menurut saya tidak sesuai… biasanya saya lawan dengan omongan, namun kalau hanya masalah kecil aja biasanya saya diamkan, penyebab kekerasan karena saya melarang suami untuk menghadiri pesta peradatan keluarga yang menurut saya tidak terlalu dekat… hal itu lah yang akan menyebabkan suami marah, dan kadang-kadang kami berbeda pendapat… suami biasanya Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
memukul saya kalau saya membantah dan melawan apa yang di bilangnya”.
4.5.8.3. Subordinasi Laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga menurut informan laki-laki lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin dibandingkan perempuan. Mengenai pembagian tugas antara suami dan istri dapat dilihat dari hasil wawancara dengan informan. “saya tidak setuju jika hanya laki-laki (suami) saja yang bekerja disektor publik…menurut saya kita harus bekerjasama…tidak mungkin kita biarkan dia sendiri…dan untuk pekerjaan domestik jika anak belum dewasa… maka itu adalah kewajiban kita sebagai istri” Informan mengaku merasa setuju dengan konsep yang biasanya memberikan upah yang lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan. informan juga mengatakan bahwa perempuan (istri) tidak bisa hanya bergantung kepada suami. “laki-laki harus mandiri… tetapi aku tidak setuju jika perempuan hanya bergantung kepada laki-laki (suami) keduanya harus bekerjasama, agar keluarga semakin harmonis dan tidak menimbulkan permasalahan dalam keluarga”. Informan setuju jika anak perempuan diinternalisasikan sebagai pengabdi, pelayan dan harus mengalah kepada saudara laki-lakinya, karena menurut informan sudah menjadi kodrat bagi perempuan, namun dalam hal pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan tidak bisa dibedakan. Informan mendukung Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan yang ikut dalam politik agar perempuan semakin maju, dan bagi informan walaupun perempuan lemah, emosional bukan berarti tidak diberi kesempatan untuk maju, namun perempuan harus di dukung dan di didik. 4.5.8.4. Marginalisasi Informan mengatakan bahwa perempuan yang tidak memiliki keturunan biasanya mengalami marginalisasi ketika ada acara keluarga, menurutnya dalam acara keluarga tersebut misalnya pesta perkawinan, arisan dan lain-lain, setiap orang tua akan menceritakan anak-anaknya masing-masing. Pada saat itulah perempuan yang tidak memiliki keturunan merasa terpinggirkan karena tidak ada anak yang bisa diceritakannya. Selain itu, informan juga mengatakan bahwa perempuan Karo biasanya mengalami marginalisasi dalam hal penguasaan ekonomi karena semua kekayaan dianggap miliki laki-laki (suami). 4.5.8.5. Dominasi Dominasi laki-laki dalam masyarakat terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, politik, dan lain-lain. Sesuai dengan ungkapan informan bahwa umumnya masyarakat lebih mendukung anak laki-laki dalam mendapat pendidikan karena adanya persepsi bahwa anak perempuan suatu saat akan menjadi bagian dari keluarga lain. Demikian halnya dalam kepemilikan harta benda, menurutnya laki-laki lah sebagai penerima warisan sebagai penerus keturunan. Pengambilan keputusan dalam masyarakat Karo ditentukan oleh laki-
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
laki, oleh karena itu perempuan dituntut agar patuh terhadap aturan yang ditetapkan laki-laki.
4.5.9. S Br Sitepu 4.5.9.1.Stereotipe Pelabelan negatif yang diterima oleh perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan yaitu di cap mandul dan dianggap perempuan nakal, namun informan mengaku tidak setuju dengan pelabelan yang di berikan oleh masyarakat, karena menurutnya tidak semua seperti itu. Perempuan harus lembut dan mengalah kepada laki-laki (suami) agar keluarga lebih rukun dan harmonis. Bagi informan anak perempuan harus diinternalisasikan sebagai penurut,patuh dan megalah kepada saudara laki-lakinya karena menurut informan agama juga mengajarkan demikian. Perempuan di anjurkan agar dapat merawat diri, namun tidak baik keluar malam karena dapat menimbulkan prasangka buruk. Laki-laki (suami) harus tegas dan dapat membimbing keluarga, dan tidak wajar jika menangis ketika menghadapi masalah. Demikian juga halnya dengan laki-laki yang suka merawat diri, menurut informan akan dianggap aneh jika sudah melampaui batas-batas yang dianggap wajar. 4.5.9.2. Kekerasan
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Menurut informan yang termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah pemukulan, dimarahi dan dimaki. Informan mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak baik dan harus dimusnahkan, informan tidak pernah mengalami kekerasan secara fisik, namun pernah dimarahi dan informan mengaku memilih diam saja dan sabar. Setelah mengalami kekerasan biasanya informan menangis, penyebab informan mengalami kekerasan karena terdapat perbedaan pendapat, dan apa yang dilakukan oleh informan kadang-kadang tidak sesuai dengan harapan suaminya. 4.5.9.3. Subordinasi Informan mengatakan bahwa laki-laki lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. “menurut saya laki-laki lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin di bandingkan perempuan, karena kalau perempuan yang menjadi pemimpin kurang dihargai, sedangkan laki-laki lebih dihargai…karena harkat dan martabatnya lebih tinggi dibandingkan perempuan”. Informan mengaku merasa tidak setuju jika hanya laki-laki saja yang bekerja di sektor publik, akan tetapi perempuan juga harus terlibat. “saya tidak setuju jika hanya suami saja yang bekerja…karena ini kan desa bukan kota, jadi kita pun harus bekerja dan membantu suami, kalau masalh pekerjaan rumah itu kan memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab istri”. Informan mengatakan tidak setuju dengan perbedaan upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan karena menurutnya pekerjaan yang dikerjakan oleh Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
laki-laki sama beratnya dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan. oleh karena itu, perempuan harus mandiri dan tidak boleh hanya bergantung kepada laki-laki (suami). “kalau perempuan bergantung kepada suami itu adalah perempuan yang bodoh…karena mungkin saja kita tidak selamanya bersamanya, misalnya kalau terjadi perceraian…suami meninggal dunia, jadi kita juga harus mandiri dan tidak boleh hanya mengandalkan suami”. Walaupun perempuan (istri) mandiri, tetapi harus mengabdi dan melayani suami karena merupakan tanggung jawab sebagai istri. Untuk mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan tidak bisa dibedakan, menurut informan harus disesuaikan dengan kemampuannya. Informan mengaku setuju jika perempuan ikut terjun ke dunia politik agar dapat member kemajuan bagi perempuan. Namun informan mengatakan setuju dengan pandangan masyarakat secara umum dimana perempuan itu lemah, emosional dan cenderung tidak rasional. “saya setuju dengan pandangan masyarakat yang mengatakan perempuan lemah, dan emosional, apalagi perempuan di pedesaan karena kalau perempuan yang didesa banyak yang dipikirkan nya…dia juga harus membantu suami untuk mencari nafkah…jadi pikirannya sudah bercabang”. 4.5.9.4. Marginalisasi Stereotipe sosial yang diberikan oleh masyarakat terhadap perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan mengarah kepada marginalisasi yang dialami oleh perempuan. Anggapan perempuan nakal, kurang merawat diri, Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan liar membuat perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan merasa minder dan termarginalisasi, karena kurang dihargai dalam masyarakat. Demikian halnya dalam penguasaan atas kekayaan, dalam masyarakat Karo laki-laki adalah pihak yang dominan sedangkan perempuan mengalami marginalisasi. Berdasarkan posisi laki-laki yang dominan, maka perempuan di harapkan mampu mengabdi dan mengalah kepada suami. 4.5.9.5. Dominasi Dalam masyarakat Karo laki-laki lebih dihormati dari pada perempuan. Isteri yang tidak bisa menurunkan anak laki-laki, membuat laki-laki (suaminya) boleh mengawini perempuan lain lagi untuk mendapatkan anak laki-laki. Perempuan bekerja keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak (kedai minum) sambil main catur atau kartu. Laki-laki dalam masyarakat Karo adalah pihak pengambil keputusan, hal ini berarti bahwa kehormatan, kekayaan dan keturunan merupakan hak laki-laki. hal ini sesuai dengan pandangan informan bahwa yang lebih cocok menempati posisi sebagai pemimpin adalah lak-laki, karena harkat dan martabatnya dalam masyarakat lebih tinggi dibandingkan perempuan dan menurutnya laki-laki lebih disegani dari pada perempuan. 4.5.10. SLN 4.5.10.1. Stereotipe
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Informan mengatakan bahwa stereotipe-stereotipe yang umumnya diterima oleh perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan berupa sindiran-sindiran dari masyarakat. “perempuan yang tidak memiliki keturunan biasanya mendapatkan sindiran-sindiran, misalnya ada ungkapan masyarakat yang mengatakan “untuk apa banyak harta kalau belum punya anak, kalau aku seperti dia maka udah ku cari wanita lain karena kita kerja kan untuk anak” seperti itulah omongan orang lain.” Informan mengatakan jika seperti itu keadaannya maka harus diterima dan sebagai istri harus lembut dan penyabar, karena jika tidak sabar maka akan mudah menimbulkan permasalahan. Perempuan harus diinternalisasikan sebagai pengabdi dan pelayan karena menurut informan agama dan adat juga mengajarkan demikian. Perempuan tidak baik keluar malam karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan laki-laki harus tegas dan bisa melindungi perempuan. 4.5.10.2. Kekerasan Menurut informan yang termasuk kekerasan adalah pemukulan atau penyikasaan fisik, dan mengatakan tidak setuju dengan tindakan tersebut. Informan mengaku tidak pernah mengalami tindak kekerasan secara fisik, namun pernah di marahi. Penyebabnya karena anak nakal, dan kadang-kadang masalah ekonomi sehingga suami mudah emosi. 4.5.10.3. Subordinasi
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin karena menurut informan laki-laki adalah kepala keluarga. Namun informan mengaku tidak setuju jika hanya laki-laki saja yang bekerja di sektor publik, menurutnya perempuan (isteri) juga harus membantu karena perempuan harus mandiri seperti laki-laki, sedangkan untuk urusan rumah merupakan tanggung jawab perempuan (isteri). Perempuan (isteri) harus mengabdi dan melayani suami. “sebagai isteri kita harus mengabdi dan melayani suami …karena dia kan suami kita dan sekaligus sebagai kepala keluarga dan kalau kita mau mendapatkan surga kita harus melaksanakan tanggung jawab kita”. Demikian juga dalam pemberian upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, informan mengaku setuju jika laki-laki memperoleh upah yang lebih besar, karena menurutnya laki-laki biasanya mengerjakan pekerjaan yang lebih berat. Namun dalam memperoleh pendidikan tidak bisa dibedakan karena perempuan juga memiliki hak untuk maju. 4.5.10.4. Marginalisasi Marginalisasi atau proses peminggiran terhadap perempuan yang tidak memiliki keturunan di mulai dari pemberian-pemberian stereotipe oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari konsep yang mengatakan bahwa hamil, melahirkan dan mempunyai anak adalah kodrat bagi perempuan, sehingga jika perempuan (isteri) tidak memiliki anak dianggap tidak dapat menjalankan kodratnya sebagai perempuan. Sehingga perempuan (isteri) dianggap “objek rasa kasihan, kutukan atau cemoohan”, dan dalam kondisi ini perempuan ( isteri) yang tidak memiliki Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
keturunan mengalami peminggiran. Demikian halnya dalam akses terhadap kekayaan, dalam masyarakat Karo kekayaan di wariskan melalui garis patrilineal dimana laki-laki adalah pihak yang menguasai. Informan mengaku bahwa harta kekayaan yang mereka miliki berada di tangan suami, dengan asumsi bahwa lakilaki adalah kepala keluarga. 4.5.10.5. Dominasi Melalui pendidikan keluarga, anak laki-laki dididik untuk agresif, pergi ke luar, bermain diluar rumah. Sementara anak perempuan dididik untuk memasak, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani ayah dan saudara laki-laki. Proses sosialisasi menyebabkan laki-laki di layani dan perempuan melayani. Apabila perempuan terpaksa bekerja di luar rumah, maka ia akan tetap terikat pekerjaan rumah. Hal ini sesuai dengan pendapat informan yang mengatakan bahwa pekerjaan rumah adalah tugas dan tanggung jawab perempuan (isteri) karena menurutnya sudah kodrat perempuan. dominasi laki-laki dalam keluarga membentuk aturan yang tidak tertulis bahwa perempuan harus patuh dan mengalah kepada laki-laki. Matriks 4.4. Ketidak adilan gender yang di terima oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami ritual negget No 1
Informan
Stereotipe
Kekerasan
J Br -Tidak Surbakti memiliki keturunan
Mengalami kekerasan psikis.
Subordinasi -Laki-laki pemimpin
Marginalisasi
Dominasi
-Adanya perasaan minder karena
-Laki-laki pengambil
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
mendapat cemoohan, -Dianggap kegemukan -kekurusan -nakal sewaktu muda
2
J Br Sitepu
-Pr baik adalah lembut, melayani, mengabdi kepada suami -Pr harus mengalah dan tidak baik keluar malam.
3
K E Br -Dianggap PeranginPr liar, angin memiliki dosa, penyakit turunan. -Pr harus lembut, sabar, mengabdi. -Pr tidak baik keluar malam, karena dianggap wanita
Penyebab, suami lapar, perbedaan pendapat, ada masalah dengan anak-anak.
-perempuan bertugas mengerjakan pekerjaan rumah, melayani dan mengabdi kepada suami
mendapat cemoohan. -Laki-laki sebagai penerima harta warisan.
keputusan.
Mengalami kekerasan psikis penyebab, perbedaan pendapat diawali dengan perdebatan sampai berbicara kasar dan keras.
-Laki- laki lebih pantas menjadi pemimpin. -Perempuan di sektor domestik.
Mengalami marginalisasi dalam hal penguasaan atas kepemilikan harta kekayaan.
-Laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan -Laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin -Laki-laki kebanggaa n keluarga.
Pernah mengalami kekerasan psikis, penyebab karena anak nakal.
-Pr lemah, -Laki-laki di emosional, sektor publik tidak rasional dan perempuan di sektor -Laki-laki domestik. pemimpin -Pr -Isteri termarginalisas mengabdi i dalam dan melayani aksesnya suami terhadap kekayaan.
-Pr wajib mengalah kepada laki-laki.
-Laki-laki keutamaan keluarga dan penerima harta warisan, -Pr harus mengalah kepada laki-laki.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
nakal. 4
M Br Sitepu
-Dianggap sepele, tidak dihargai -Pr harus patuh dan mengalah -Harus merawat diri, dan tidak baik keluar malam.
5
6
M Ginting
Br -Tidak memiliki anak dianggap tidak tahu arti anak.
T Br Sitepu
-Tidak memiliki keturunan mendapat cemooohan -Pr wajib lembut, mengalah, bisa merawat diri dan tidak baik
Mengalami kekerasan psikis yaitu tu dimarahi, dibentak, sambil menghancur kan perabot rumah, penyebab ketika suami tidak pulang dan isteri menanyakan dari mana.
-Laki-laki pemimpin
Tidak pernah mengalami tindak kekerasan.
-Laki-laki pemimpin
-Pr bertugas megerjakan pekerjaan di sektor domestik -Pr bertugas membantu suami di sektor publik
-Laki-laki kepala keluarga
-Tidak mendapat warisan
-Pr wajib mengalah dan patuh.
-Laki-laki memegang akses terhadap kekayaan
-Laki-laki pemimpin, pengambil keputusan
-Pr tersingkir ketika suami menikah lagi.
-Pr patuh, megalah, melayani dan mengabdi kepada suami.
-Mengalami marginalisasi ketika mendapat sindiran, hinaan, dan ucapan yang menyudutkan. -Tanah, rumah, kendaraan dan kekayaan lainnya di buat atas nama
-Laki-laki pemimpin, pengambil keputusan, kepala keluarga
-Laki-laki pengambil keputusan
-Pr harus mengalah
-Pr di sektor domestik -Pr patuh, magabdi dan melayani suami.
Mengalami kekerasan psikis, penyebab, apa yang dilakukan isteri tidak sesuai dengan keinginan suami.
-Mengalami marginalinasi karena dianggap tidak dapat menjalankan kodratnya
-Pr lebih rendah dari laki-laki -Laki-laki kepala keluarga -Pekerjaan rumah tanggung jawab isteri
-Pr mengalah dan wajib melayani dan mengabdi
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
keluar malam. 7
B Ginting
Br -Dianggap Pr mandul dan kurang merawat diri - Pr harus melayani dan mengabdi kepada suami.
8
J Br Tarigan -Tidak memiliki keturunan kurang dihargai -Pr harus lembut, merawat diri, mengalah, mengabdi, dan tidak baik keluar malam.
9
S Br Sitepu
-Tidak memiliki keturunan dianggap mandul, Pr nakal -Pr tidak baik keluar malam dan
Mengalami kekerasan psikis dan fisik, penyebab karena perbedaan pendapat dan sudah menjadi kebiasaan yang sulit di hilangkan.
-Kodrat Pr bekerja di sektor domestik
Mengalami kekerasan psikis dan kekerasan fisik, penyebab kekerasan psikis ketika berbeda pendapat, sedangkan kekerasan fisik terjadi karena isteri membantah suami.
-Laki-laki kepala keluarga
Mengalami kekerasan Psikis karena perbedaan pendapat, tindakan isteri tidak sesuai dengan
-Laki-laki pemimpin
suami.
kepada suami.
-Mengalami marginalisasi ketika dianggap isteri yang tidak baik dan tidak tepat
Laki-laki kepala keluarga, pengambil keputusan, keutamaan dalam keluarga dan masyarakat .
- Mengalami marginalisasi dalam acara keluarga, ketika masing masing keluarga menceritakan anak-anaknya
-Laki-laki dominan dalam pendidikan, kepemilikia n ekonomi, pengambil keputusan juga berada di tangan laki-laki.
- Laki-laki pemimpin yang harus -Mengalami dihormati marginalisasi dan di layani. terhadap kepemilikan kekayaan.
-Pr harus mengabdi, mengalah -Kodrat perempuan pengabdi dan pelayan
-Pr lemah, emosional, ldan tidak rasional, karena pikirannya bercabang.
-Laki-laki menguasai alat-alat produksi.
-Adanya perasaan minder karena stereotipe yang diterima seperti Pr nakal, liar. -Pr tidak berhak atas
Laki-laki sebagai pemimpin, pengambil keputusan, dan yang berkuasa atas harta kekayaan.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
10
SLN
harus lembut.
keinginan suami.
Tidak memiliki keturunan dianggap tidak dapat menjalanka n kodrat .
Mengalami kekerasan psikis, karena anak nakal dan dianggap kurang mampu mendidik anak.
akses terhadap kekayaan. -Laki-laki pemimpin
-Akses terhadap kekayaan -Pr mengabdi dikuasai oleh dan laki-laki. mengalah kepada -Mengalami suami. marginalisasi ketika mendapat stereotipe
Laki-laki dilayani dan perempuan melayani, perempuan harus patuh dan mengalah kepada laki-laki.
4.6. ANALISA DATA ISTERI YANG PERNAH MENGALAMI UPACARA NENGGET 4.6.1. Analisa Nilai-Nilai Patriarkhi dalam Masyarakat Karo Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang diluar clan (merganya). Sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwaharwah leluhur mereka (prints, 2004:71). Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Menurut Prof.Dr. Hazairin, S.H. (dalam Darwan Prinst, Adat karo), perkawinan itu terbagi atas tiga rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan menjamin ketenangan (kolte), kebahagiaan (welvaare), dan kesuburan (vruchtbaarheid). Perkawinan dalam masyarakat Karo berfungsi untuk: 1. Melanjutkan hubungan kekeluargaan 2. Menjamin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada kekeluargaan 3. Melanjutkan keturunan dengan melahirkan anak laki-laki dan perempuan 4. Menjaga kemurnian suatu keturunan 5. Menghindari berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain 6. Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan Salah satu tujuan perkawinan pada masyarakat manusia dari masa ke masa adalah untuk memperoleh anak yang akan dapat melangsungkan garis keturunan, terutama masyarakat yang mengenal sistem marga, seperti masyarakat Karo. Hal ini sejalan dengan ungkapan J Br Surbakti yang mengatakan bahwa: “jika dalam keluarga tidak mempunyai keturunan, akan timbul kebosanan suami dirumah… karena hanya istri saja yang mau dilihatnya…dan menurut saya itu wajar saja, karena sesuai adat istiadat dalam masyarakat Karo bahwa anak adalah ikatan yang paling kuat untuk mempertahankan rumah tangga.”
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa sistem budaya yang di bangun dalam masyarakat adalah bersifat patriarkhi dan masyarakat umumnya menjunjung nilai-nilai patriarkhi tersebut. Oleh karena itu jika suatu keluarga telah melangsungkan perkawinan, akan tetapi belum memiliki keturunan maka rakut sitelu akan melakukan ritual nengget terhadap keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut, yang tujuan akhirnya agar keinginan-keinginan dapat terkabul. Adapun alasan dari pelaksanaan nengget yang dilakukan oleh masyarakat karo adalah: 1. Tidak ada anak 2. Tidak ada anak laki-laki 3. Tidak ada anak perempuan 4. Hanya memiliki satu anak baik laki-laki maupun perempuan Berdasarkan informasi dari keseluruhan informan , para istri yang pernah mengalami ritual nengget mengatakan bahwa masyarakat akan cenderung menyalahkan perempuan (isteri) jika dalam keluarga tersebut belum memiliki keturunan. Bahkan , walaupun keluarga tersebut telah memiliki keturunan namun belum sesuai dengan harapan laki-laki (suami) maka masyarakat umumnya mentoleransi tindakan laki-laki (suami) untuk menikah lagi, hal ini karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan (istri) lah yang paling berpengaruh dalam
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
hal ini. Pada masyarakat Karo, Seorang suami dapat menjalankan poligami, dan di toleransi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu bila: • Tidak mendapat keturunan sama sekali Diatas telah di utarakan bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh anak demi kelangsungan keturunan. Bila sepasang suami-isteri tidak mendapatkan keturunan, mungkin disebabkan karena: sang suami mandul, atau sang istri mandul. Biasanya yang di percayakan untuk mengetahui masalahmasalah kemandulan ini adalah orang tua atau guru (dukun). Jika ternyata laki-laki (suami) yang mandul maka orang tua biasanya mengambil inisiatif dalam hal ini. Sang istri dari sang suami yang mandul itu di-approach dengan baik diberi penjelasan betapa pentingnya anak dalam suatu keluarga untuk melangsungkan garis keturunan. Oleh karena itu sang istri dimohon dengan sangat agar dia mau mengadakan hubungan seks dengan salah seorang saudara sang suaminya. Tahap kedua adalah meng-approach salah seorang saudara sang suami, agar dia mau meniduri istri saudaranya demi kelangsungan keluarga serta ketururnan saudaranya. Setelah keduanya bersepakat maka orang tua menentukan waktu dan tempat untuk melakukan hubungan seks tersebut secara rahasia. Dalam bahasa Karo peristiwa ini disebut ipetangkoken yaitu “melakukan sesuatu pekerjaan secara mencuri, secara diam-diam, secara rahasia”. Orang tua mengatur berapa lama keduanya harus tidur bersama, biasanya kalau sang wanita telah hamil ( atau dalam bahasa Karo disebut mehuli dagingna), hubungan itu diputuskan. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Namun, jika istri yang mandul dan telah dilakukan berbagai cara agar mendapat keturunan, misalnya pihak keluarga sudah melakukan nengget terhadap istri yang belum memiliki keturunan tetapi tidak berhasil juga maka orang tua (setelah berunding dengan anak beru, senina serta kalimbubu) memohon kesediaan sang isteri untuk mengizinkan suaminya kawin lagi dengan wanita lain, supaya garis keturunan suaminya jangan sempat putus atau punah. Dalam hal ini lah poligami dapat diizinkan dan ditoleransi pada masyarakat Karo. Hal ini sesuai dengan ungkapan B Br Ginting yang mengatakan bahwa anak mempengaruhi romantisasi suami terhadap isteri, menurutnya hal ini wajar karena laki-laki membutuhkan ketururnan. Informan mengatakan wajar jika lakilaki (suami) menikah lagi dengan alasan belum memiliki keturunan atau hanya memiliki anak perempuan saja, karena menurutnya jika laki-laki tidak memilki ketururnan maka garis keturunannya akan masap (hilang). Dari ungkapan diatas dapat diketahui bahwa perempuan dalam masyarakat Karo mengalami ketidak adilan, hal ini disebabkan karena tumbuh suburnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan lakilaki dan mengesampingkan kepentingan perempuan. • Tidak mendapatkan anak laki-laki Stelsel kekerabatan pada masyarakat karo adalah stelsel kekerabatan patrilineal, dimana terdapat perbedaan antara laki-laki (sang suami) dan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan (sang istri) dalam kedudukannya dalam keluarga, kedudukan laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki (suami ) adalah sebagai kepala keluarga. Anak laki-laki mendapat kedudukan yang sangat penting sebagai penerus ketururnan, karena garis keturunan dalam masyarakat Karo adalah garis ke-ayah-an, garis marga dari sang ayah. Dengan kata lain, tidak adanya anak laki-laki dalam suatu menyebabkan garis keturunan/garis marga sang ayah akan lenyap dan tidak pernah bertindak sebagai anak beru dari hasi perkawinan dengan anak sendiri. Oleh karena itu, jika laki-laki (suami) berniat menikah lagi dengan alasan ingin memperoleh anak lakilaki, tindakannya itu dapat dizinkan dan ditoleransi pada masyarakat Karo. • Tidak mendapat anak perempuan Ada suatu ucapan dalam bahasa Karo yang berbunyi: “uga suina pe la erkalimbubu, suin denga la er anak beru, sabap lalit si ndungi dahin”, yang berarti: “betapa sedihnya pun tidak mempunyai kalimbubu, lebih sedih lagi tidak mempunyai anak beru, sebab tak ada yang menyelesaikan pekerjaan”. Dengan perkataan lain, keluarga tersebut tidak mempunyai anak beru yang akan bertindak sebagai pekerja untuk melayaninya serta menyelesaikan segala pekerjaan dan persoalan yang timbul. Karena keluarga ini hanya mempunyai anak laki-laki , maka dia hanya bertindak sebagai penerima dara atau anak beru, sedangkan dia sendiri tidak Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
mempunyai anak beru. Oleh karena, jika sang suami ingin menikah lagi dengan wanita lain untuk memperoleh anak perempuan , maka tindakannya untuk berpoligami dapat di mengerti serta diizinkan dan di toleransi oleh masyarakat Karo. • Kematian isteri Bila seorang suami kematian isteri, maka dalam adat Karo mengizinkan mengawini salah seorang saudara perempuan sang isterinya sebagai pengganti almarhumah. Perkawinan ini dalam bahasa Karo disebut gancih abu yang berarti “ganti abu”. Perkawinan ini malah di anjurkan oleh kaum kerabat, apalagi jika almarhumah meninggalkan beberapa anak yang masih kecil, yang masih memerlukan kasih sayang dan pelayanan. Andaikata wanita itu menolak, maka bila sang suami ingin mengawini wanita lain sebagai teman hidupnya, maka masyarakat Karo dapat mengerti dan dapat memberikan toleransi atas keinginan/ tindakannya berpoligami. Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa dalam sistem kebudayaan dan adat istiadat dalam masyarakat menggambarkan ketidak adilan yang diterima oleh laki-laki- dan perempuan, dimana perempuan merupakan pihak yang dirugikan. Masyarakat
umumnya
hanya
melihat
kepentingan
laki-laki
saja
tanpa
menghiraukan perasaan perempuan. Ketidak adilan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan dalam hal ini menimbulkan diskriminasi gender. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
4.6.2. Analisa Gender Secara historis konsep gender pertama kali di bedakan oleh sosiolog asal Inggris, yaitu Ann Oakley yang membedakan konsep gender dengan seks. Seks adalah pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yaitu maskulin dan feminim. Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah sejauh tidak melahirkan ketidak adilan gender, namun faktanya perbedaan gender tersebut melahirkan berbagai ketidak adilan yang pada umumnya merugikan kaum perempuan. Gender pada dasarnya hanya pandangan eksternal yang telah terpola secara khusus, sifatnya berbias subjektif, sehingga hidup yang mereka jalani tidak terlepas dari stereotipe yang mereka terima secara umum. Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya selalu merugikan dan menimbulkan ketidak adilan ( Fakih,1999:16). Ketidakadilan yang diterima oleh perempuan dalam masyarakat Karo meliputi berbagai ketidakadilan, misalnya dalam mendapatkan pendidikan umumnya lebih diutamakan anak laki-laki karena adanya anggapan bahwa anak perempuan akan beralih menjadi keluarga lain sedangkan anak laki-laki lah sebagai penerus keturunan. Selain itu, dalam masyarakat kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga menurut kebanyakan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
orang, laki-laki lah yang cocok menempati posisi sebagai pemimpin baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat karena laki-laki adalah kepala keluarga. Hal ini tidak terlepas dari stereotipe yang diberikan masyarakat terhadap perempuan, yaitu adanya pandangan bahwa perempuan lemah , emosional dan cendrung tidak rosional. Pandangan atau stereotipe tersebut menyebabkan laki-laki mendominasi perempuan, dan perempuan berada pada posisi subordinat atau dibawah kendali laki-laki. Ada juga yang berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi “perawan tua” (kamanto, 2004:116). Demikian halnya terhadap perempuan yang tidak memiliki keturunan, umumnya mereka mengalami berbagai ketidak adilan. Ketidak adilan yang mereka terima berupa stereotipe, kekerasan, subordinasi, marginalisasi, dan dominasi lakilaki (suami). • Stereotipe Stereotipe terhadap perempuan terjadi pada level dan sigma masyarakat, seperti peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan. Akar dari stereotipe yang melahirkan ketidak adilan ini berawal dari kebijakan yang dilahirkan dari budaya patriarkhi, dimana laki-laki mendapatkan kekuasaan penuh untuk dapat mengatur fungsi dan peran perempuan dalam keluarga. Adapun stereotipe yang umumya diterima oleh perempuan (istri) yang tidak memiliki keturunan yaitu disebut sebagai wanita mandul, wanita nakal, Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
atau masyarakat akan menghina fisik perempuan tersebut, misalnya dianggap kegemukan atau kekurusan, bahkan ada yang dianggap kurang merawat diri. Stereotipe-stereotipe yang diberikan tersebut tentu saja merugikan perempuan karena sifatnya berupa dugaan-dugaan yang tidak terbukti. Demikian pula dengan stereotipe yang berpandangan bahwa perempuan sebagai perawat, dan bertanggung jawab mengurus anak-anak dalam keluarga, sehingga apabila anak dalam keluarga berperilaku menyimpang dari norma-norma yang ada dalam masyarakat maka pihak yang di persalahkan adalah perempuan (isteri) karena dianggap tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai ibu. Hal ini sesuai dengan ungkapan informan, yang mengatakan bahwa merawat anak adalah pekerjaan dan tanggung jawab perempuan (isteri) karena menurut informan bahwa seorang ibu harus bisa menjaga anaknya dalam waktu 24 jam, sehingga jika anak berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan maka masyarakat akan menyalahkan ibunya. Salah satu contoh norma yang berlaku dalam masyarakat adalah dimana perempuan dianggap tidak baik keluar malam, karena akan dianggap sebagai perempuan nakal, perempuan liar dan lain sebagainya. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa perempuan (isteri) dalam masyarakat Karo memiliki beban atau tanggung jawab yang besar terhadap keluarga dan masyarakat umumnya menganggap hal tersebut sebagai tugas perempuan (isteri). Berikut ini merupakan ungkapan salah satu informan:
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
“ yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah adalah isteri, karena sebagai isteri kita harus bisa mengatur dan mengurus semua kepentingan keluarga… kalau kita lihat faktanya perempuan (isteri) bagaikan pembantu dalam rumah tangga, namun kalau kita bilang seperti itu pantang” Dari ungkapan informan diatas, dapat di lihat bahwa perempuan (isteri) sadar bahwa mereka berada pada posisi yang kurang menguntungkan, namun karena budaya yang tumbuh subur dalam masyarakat membuat mereka beranggapan bahwa hal itu kodrat yang harus mereka jalani. • Kekerasan Adapun salah pemahaman yang banyak terjadi dalam masyarakat diantaranya, masih dominannya nilai patriarkhi dalam masyarakat ( nilai-nilai yang mengutamakan kepentingan laki-laki), nilai-nilai yang berpihak pada laki-laki lah, yang kemudian membuat aturan tidak tertulis “istri adalah milik suami” atau dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah istri sebagai sirukat nakan. Dengan kata lain perkawinan dipandang sebagai penyerahan diri seorang istri sepenuhnya terhadap suaminya dan sudah menjadi tugas seorang istri untuk melayani suami dalam segala hal. Hal ini lah yang menyebabkan suami merasa “berhak” untuk menggunakan kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa isteri melalui bentakan, hinaaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Keseluruhan informan mengaku pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka. Kekerasan yang umumnya diterima berupa kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Kekerasan fisisk terhadap perempuan dalam Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
rumah tangga dapat berupa berupa dorongan, cubitan, tendangan, jambakan, pukulan, cekikan, luka bakar, kekerasan dengan senjata tajam dan lain-lain. Kekerasan fisik terjadi biasanya berawal dari adanya pertengkaran yang berujung dengan pemukulan suami terhadap istri, karena seorang laki-laki akan merasa rendah diri apabila ia mengalah terhadap apa yang mereka yakini benar dan tindakan kekerasan yang dilakukannya untuk mempertahankan hak-haknya sebagai laki-laki atau sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan kekerasan psikis/mental dalam rumah tangga merupakan suatu tindakan yang kasat mata, tidak nampak namun dapat berakibat sangat fatal. Yang merupakan kekerasan psikis/mental dalam rumah tangga ini diantaranya adalah penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang isteri mengunjungi keluarga atau teman-temannya , mengancam akan menggembalikan ke orang tua dan lain-lain. • Subordinasi Pandangan gender bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, emosional dan cenderung tidak rasional menyebabkan perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu ( Fakih, 1999:15). Adanya anggapan bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin membuat perempuan harus turut, patuh dan mengalah kepada laki-laki (suami) dalam Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
berbagai hal. Perempuan berada pada posisi subordinat menyebabkan perempuan senantiasi mengabdi dan harus berada di bawah kendali suami. Informan berpendapat bahwa laki-laki adalah sebagai kepala keluarga yang harus dihormati, dan dihargai sehingga perempuan berkewajiban untuk melayani dan patuh terhadap suami. stereotipe yang mengatakan bahwa perempuan lemah menyebabkan informan merasa setuju jika adanya perbedaan upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan, yang umumnya di berlakukan di sektor publik. Dengan adanya stereotipe tersebut, tentu saja merugikan perempuan karena hasil kerjanya tidak dihargai sesuai dengan penghargaan yang di berikan terhadap laki-laki. • Marginalisasi Dalam proses sosialisasi perempuan cenderung dihubungkan dengan kegiatan domestik , dimana kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan yang kurang “penting” dalam perkembangan masyarakat modern yang bertumpu pada proses produksi dan birokasi. Asosiasi semacam ini telah memproduksi ketimpangan gender yang terus menerus, karena dalam proses sosialisasi perempuan disosialisasikan ke dalam suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang kemudian pilih-pilihannya ditentukan oleh laki-laki atau dalam kerangka struktur yang patriakat. Marginalisasi yang dialami oleh perempuan (isteri) dalam masyarakat Karo juga terlihat dalam penguasaan alat-alat produksi, dimana informan secara keseluruhan mengatakan bahwa harta benda yang mereka miliki dibuat berdasarkan atas nama suami. Dengan kata lain, jika terjadi perceraian Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
antara suami isteri maka harta kekayaan akan jatuh ketangan laki-laki. Hal ini lah yang menyebabkan perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan merasa termarginalisasi. Pada masyarakat Karo perceraian antara suami dan isteri akan dapat diizinkan dan di toleransi oleh anak beru, senina dan kalimbubu salah satunya adalah jika tidak mendapat keturunan. Selain itu, marginalisasi yang dihadapi oleh perempuan (isteri) yang tidak mempunyai keturunan karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan yang tidak memiliki keturunan la merga yang berarti tidak berharga. • Dominasi Patriarkhi merupakan sebuah sistem otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki mengejawatah melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi. Lembaga keluarga di pandang sebagai institusi otoritas sang “ Bapak”, dimana pembagian
kerja
berdasarkan
gender
dan
oposisi
terhadap
perempuan
disosialisasikan dan di produksi. Ideologi patriarkhi tumbuh subur dalam keluarga yang menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki pada sistem ini menjadi tokoh penting dan dominan dalam keluarga dalam berbagai bidang, baik kekuasaan maupun aksesnya terhadap ekonomi. Perempuan hanya dianggap sebagai warga kelas dua, menjadi seorang ibu rumah tangga biasa dan pekerjaan sekundernya dipandang dengan sebelah mata, karena adanya pembatasan kebudayaan, yaitu adanya persepsi bahwa
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
perempuan dan laki-laki mempunyai tingkatan yang lebih rendah daripada laki-laki (soetrisno, 1997:105). Demikian halnya dalam masyarakat Karo, dimana laki-laki mendominasi perempuan dalam berbagai hal. Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dimulai dalam pengambilan keputusan, dimana berdasarkan hasil informasi dari informan yang pernah mengalami ritual nengget mengatakan bahwa umumnya laki-laki (suami) lah yang mengambil keputusan dalam keluarga, dan seandainya perempuan (isteri) di ikutsertakan hanya sebagai pelengkap saja karena keputusan tetap berada di tangan laki-laki (suami). Demikian halnya dalam penerimaan harta warisan, laki-laki merupakan pihak yang berhak karena dianggap laki-laki lah sebagai penerus keturunan sedangkan perempuan akan berpindah menjadi bagian dari keluarga lain. 4.6.3. Nengget dalam Struktur Patriarkhi dan Isu Kesetaraan dan Keadilan Gender Pelaksanaan upacara nengget yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo, bertujuan untuk mewujudkan harapan-harapan yang belum tercapai. Dimana dalam proses pelaksanaan upacara nengget tersebut perempuan adalah pihak yang dipersalahkan. Hal ini disebabkan karena struktur patriarkhi yang terbangun dalam masyarakat dan menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Ketidakadilan yang diterima oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami nengget mencakup berbagai aspek ketidakadilan. Ketidakadilan yang diterima oleh keseluruhan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
informan mulai dari mendapat cemoohan dari masyarakat berupa pemberian stereotipe-stereotipe yang menyudutkan, seperti menghina fisik perempuan yang dianggap kekurusan atau kegemukan dan hal ini dianggap memiliki pengaruh terhadap terhambatnya sistem reproduksi bagi perempuan, selain itu perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan juga mendapat cap-cap negatif, seperti adanya anggapan perempuan nakal, perempuan liar, perempuan yang memiliki dosa, perempuan yang tidak tahu pentingnya arti anak, penyakit turunan, dan lain sebagainya. Stereotipe yang di terima oleh perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan tidak terlepas dari dominasi laki-laki di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat, laki-laki memiliki posisi sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pengambil keputuasan, laki-laki sebagai pemimpin, dan laki-laki menguasai kepemilikan ekonomi, dan lain sebagainya. Laki-laki mendominasi menyebabkan perempuan tersubordinasi, yaitu perempuan (isteri) harus mengabdi dan melayani suami, perempuan (isteri) harus mengalah dan patuh kepada suami, pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan (isteri), dan lain sebagainya. Laki-laki dominan dan perempuan tersubordinasi menyebabkan perempuan (isteri) mengalami marginalisasi, misalnya perempuan yang tidak memiliki keturunan termarginalisasi ketika mendapat cemoohan-cemoohan dari masyarakat karena dianggap tidak dapat menjalankan kodrat sebagai perempuan (isteri) yang baik. Perempuan (isteri) yang pernah mengalami ritual nengget juga mengalami marginalisasi atas aksesnya terhadap kekayaan dan kepemilikan ekonomi. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Kedudukan laki-laki yang dominan, menyebabkan laki-laki cenderung melakukan kekerasan terhadap perempuan (isteri), kekerasan yang diterima oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami ritual nengget berupa kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan terjadi karena laki-laki sadar bahwa posisi mereka dalam masyarakat lebih tinggi dibandingkan perempuan. Demikianlah bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang diterima oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami upacara nengget. Masyarakat adalah pihak yang peduli terhadap pelaksanaan nengget, hal ini sesuai dengan informasi yang diberikan oleh informan J Br Surbakti, yang mengatakan bahwa keluarga besar dan masyarakat merasa keberatan jika suatu keluarga tidak memiliki keturunan ataupun sudah memiliki keturunan, namun belum sesuai dengan yang diharapkan. Masyarakat adalah pihak yang memiliki inisiatif untuk pelaksanaan nengget ini, sementara pihak yang disengget tidak mengetahui jika mereka akan disengget dan apabila dalam proses upacara tersebut, pihak yang disengget sadar bahwa dirinya disengget maka mereka pasrah menerima perlakuan-perlakuan dari pihak yang menenggetnya. Tindakan ini dilakukan untuk menghargai dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat. Hal ini dinamakan oleh Durkheim sebagai “fakta sosial”. Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, yang telah baku ataupun tidak, yang dapat melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu (Kamanto 2000: 6). Contoh yang diberikan Durkheim sebagai fakta sosial adalah Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, kaidah ekonomi. Dari contoh tersebut, maka upacara nengget adalah bagian dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Karo. Fakta sosial ini lah yang menyebabkan isteri yang pernah mengalami ritual nengget menerima setiap perlakuan pihak yang menenggetnya, karena bilamana individu melanggarnya maka akan terkena sanksi. Hal ini sesuai dengan ungkapan informan K E Br Perangin-angin yang mengatakan bahwa pekerjaan rumah, merawat anak, melayani suami adalah tanggung jawab perempuan (isteri), karena menurutnya jika isteri melimpahkan tugas itu kepada laki-laki (suami) maka akan mendapat sanksi berupa cemoohan dari masyarakat. Adat istiadat yang terbangun dalam masyarakat ini merupakan bagian dari fakta sosial yang mengharuskan perempuan (isteri) agar patuh terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut: • Keseluruhan informan sudah menganut agama, namun kepercayaan pemena masih dilaksanakan, seperti melaksanakan ritual nengget dengan tujuan agar memperoleh keturunan sesuai dengan yang diharapkan. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa masyarakat umumnya akan mempersalahkan perempuan jika dalam keluarga tidak memiliki keturunan. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah pihak yang paling berpengaruh dalam proses reproduksi. • Dalam proses upacara nengget, keseluruhan informan mengku merasa terkejut, malu, marah dan emosi karena mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari rebu nya masing-masing. Namun setelah informan tahu, bahwa ritual tersebut dilakukan dengan tujuan agar keinginan terkabul, maka akhirnya mereka merasa terharu karena ada anggapan bahwa pihak keluarga masih peduli terhadap kondisi yang mereka alami. Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
• Budaya patriarkhi yang tumbuh dalam masyarakat menimbulkan berbagai ketidakadilan yang di terima oleh perempuan Karo. Ketidakadilan yang di peroleh meliputi berbagai aspek kehidupan. Misalnya perempuan yang tidak memiliki keturunan akan di cap sebagai perempuan mandul, nakal, perempuan liar dan dianggap kurang merawat diri. Dengan adanya stereotipe tersebut menyebabkan perempuan termarginalisasi secara sosial dan berpengaruh kepada aksesnya terhadap kepemilikan ekonomi. Hal ini juga
akan
menimbulkan
dominasi
laki-laki,
yang
memposisikan
perempuan dalam kelas subordinat. Posisi perempuan yang berada di bawah laki-laki menyebabkan laki-laki menguasai perempuan dan mengganggapnya sebagai hak milik yang dapat digunakan sesuka hatinya, sehingga apabila tindakan perempuan tidak sesuai dengan yang diharapkannya, maka laki-laki cenderung melakukan kekerasaan. • Secara umum, informan menganggap bahwa budaya patriarkhi dan diskriminasi gender yang mereka terima, dianggap sebagai kodrat yang harus di jalani dan dianggap tanggung jawab yang harus di laksanakan.
5.2. SARAN • Sosialisasi gender sangatlah di butuhkan di Desa Kuta Rayat ini, supaya perempuan memahami keberadaan dirinya, dan dapat meminimalkan Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
bahkan meniadakan ketidak adilan gender. Bias gender yang tumbuh dan mentradisi di desa Kuta Rayat ini dapat di lakukan dengan meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, sehingga mereka sadar bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Demikian halnya terhadap lakilaki, bahwa perempuan tidak bisa di persalahkan jika belum memiliki keturunan, dan laki-laki hendaknya sadar bahwa perempuan bukan “objek” yang bisa di perlakukan sesuka hati. • Pemberdayaan perempuan perlu di tingkatkan di desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran
dengan tujuan untuk meningkatkan dan
mengembangkan pola pikir mereka, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Kristi, dan kawan-kawan, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1998. Alpian, Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, Gramedia, Jakarta, 1985. Bambowo, Laiya, M.A, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias, Indonesia,Jakarta,1983, Gajah Mada University press, Hal.37. Bangun, Teridah, Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, Kesain blanc, Jakarta,1986 . Daulay, Harmona, Perempuan dalam Kemelut Gender,USU press, Medan, 2007. …………………, Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran, Galang press, Yogyakarta, 2001. Efrina Ramli, Sosialisasi Anak Laki-Laki dalam Sistem Patriarkhi, skripsi unpublished sarjana Fisip USU, Medan, 2002.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Imanuel, Imanta, Kedudukan Perempuan Batak Karo dalam Memperoleh Harta Warisan Setelah Penetapan Keputusan MA nomor 179/K/Sip 1961, skripsi, unpublished sarjana Fisip USU , medan,1999. Jurnal Penelitian Sosiologi, Harmoni Sosial, Departemen Sosiologi, Fakiltas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara vol 1, no 2, Januari 2007, ISSN 1970-4115, Medan. Limbong, Yulianus, SSN, Orat Tutur Karo, ulih sabar,medan,1995. Luhulina, Sudiarti, Achie, Pemahaman Bentuk Tindak Kekerasan Perempuan dan Alternative Pemecahannya, PT. Alumni, Jakarta,2000. Mansour, Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2004. Moleong, Lexy J,Dr, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006. Mosse, Cleves, Julia, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2002. Murniati,A, Nunuk P, Getir Gender, Indonesia Tera, Magelang, 2004. Prints, Darwan, Adat Karo, Bina media perintis, medan, 2004. Putro, Brahmana, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, Ulih sabar, Medan.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Simanjuntak, Posman, Berkenalan dengan Antropologi, Erlangga, Jakarta, 2003. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi edisi kedua, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Tarigan, Guntur, Hendri, Percikan Budaya Karo, Yayasan Merga Silima, Bandung,1988. Wahyudhi, Gender dan Komunikasi Perempuan Pedesaan, Bitra Indonesia, Jakarta,2002.
Situs Internet/Website: http:/library.usu.ac.id/download/Fisip/Guru.pdif. Guru Dalam Masyarakat Karo oleh Sri Alem br Sembiring. Diakses tanggal 18 November 2008. http://www.geocities.com/putra karo/nengget.html. Nengget Oleh Putra Karo. Diakses tanggal 25 Oktober 2008.
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009
Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009. USU Repository © 2009