Topik Utama LESSON LEARN DAN UPAYA PENGEMBANGAN UNDERGROUND COAL GASIFICATION DI INDONESIA Subijanto* dan Herdiana Prasetyaningrum ** *PT Odira Energi Persada, **Sekretariat Badan Litbang ESDM
[email protected]
SARI Sumber daya batubara Indonesia yang demikian besar selama ini masih lebih banyak diekspor daripada dimanfaatkan sebagai sumber energi di dalam negeri. Dengan dominasi sumber daya batubara yang ada berupa batubara peringkat rendah yang berada pada kedalaman lebih dari 100 meter, teknologi Underground Coal Gasification (UCG) sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Sampai saat ini, studi dan pengembangan UCG di dunia terus berkembang. PT. Odira Energi Persada menangkap peluang tersebut. Melalui salah satu studi yang telah dilakukan, bahwa potensi UCG ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik di wilayah kerja migas (Blok Karang Agung) dengan kapasitas 250 MW yang dapat dioperasikan selama 20 tahun. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi telah mengamanatkan batubara tergaskan sebagai salah satu sumber energi baru, saat ini pemanfaatannya belum 'terlihat'. Agar hal tersebut dapat diwujudkan perlu segera perangkat kebijakan/regulasi secara menyeluruh untuk pengembangan UCG di Indonesia. Lesson learn yang dapat di-sharing oleh Odira selain regulasi, hal penting lain adalah Pemerintah 'wajib' membuat Peta UCG. Peta tersebut berguna untuk menentukan zona atau wilayah yang boleh dikembangkan UCG dan wilayah-wilayah yang secara struktur geologi tidak memungkinkan UCG dioperasikan. Selain itu juga peta tersebut dapat digunakan untuk optimalisasi potensi sehingga CBM dan UCG bisa saling mendukung. Kata kunci : batubara peringkat rendah, regulasi, UCG
1. PENDAHULUAN Sumber daya batubara Indonesia diperkirakan mencapai 159,7 miliar ton. Jumlah tersebut terdiri dari 119,4 miliar ton dari tambang terbuka dan 40,3 miliar ton dari tambang bawah tanah. Sebanyak 32 miliar ton di antaranya termasuk ke dalam kategori cadangan yang siap tambang (mineable) (Ditjen Mineral dan Batubara, 2013). Pada tahun 2009, produksi batubara Indonesia mencapai 254 juta ton, dengan ekspor mencapai 198 juta ton dan permintaan domestik
4
mencapai 56 juta ton. Pada tahun 2012, produksi batubara meningkat menjadi 386 juta ton, ekspor mencapai 304 juta ton (Gambar 1). Pada tahun 2013, berdasarkan data statistik energi dunia yang dikeluarkan oleh British Petroleum (BP), dari segi produksi batubara, Indonesia berada pada posisi ke empat setelah Cina, Amerika, dan Australia dengan produksi 258,9 juta ton. Dengan melihat angka ekspor dan produksi tersebut, lalu bagaimana sebenarnya pemanfaatan batubara di Indonesia?
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, penjualan batubara di Indonesia (domestik) di tahun 2012 sebesar 82 juta ton atau 27% dari total produksi. Angka ini tentu sangat kecil dibanding angka ekspornya. Batubara di pasar domestik lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar di sektor pembangkit listrik, industri, usaha kecil, dan rumah tangga. Penambangan dan pemanfaatan batubara di Indonesia maupun di dunia masih memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Kerusakan akibat penambangan dan polusi hasil pembakaran, seperti CO 2 , SO x , NO x , dan partikulat juga terus menjadi fokus yang harus diperhatikan oleh negara-negara di dunia. Melihat potensi batubara yang dimiliki Indonesia, sudah saatnya digunakan teknologi yang ramah lingkungan, seperti UCG. Teknologi ini diharapkan dapat mendukung Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang mengamanatkan bahwa peran batubara dalam konsumsi energi nasional pada tahun 2025 sebesar 33% ( Gambar 2).
Selain Perpres tersebut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga mengamanatkan tentang kewajiban pemrosesan dan pemurnian mineral dan batubara (peningkatan nilai tambah) harus dilakukan di Indonesia. Selain itu Rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah disetujui oleh DPR di awal tahun ini juga menargetkan pasokan energi dari batubara sebesar 30,7% .
2. SEJARAH UCG Konsep UCG pada awalnya dikembangkan di Inggris oleh Sir William Siemens. Konsep tersebut kemudian dikembangkan di Uni Soviet (sekarang Federasi Rusia) dan teknologi UCG berhasil ditemukan pada tahun 1930. Pada tahun 1939, Uni Soviet berhasil mengoperasikan pembangkit listrik dari UCG di Ukraina, namun selama perang dunia pembangkit ini tidak dioperasikan. Kemudian mulai dipergunakan secara komersial di Cekungan Donetz pada tahun 1954 dan di Cekungan Kuznetz pada
400
Produksi
Ekspor
350
Domestik
DMO Batubara
juta ton
300 250 200 150 100 50 0 Produksi Ekspor Domestik DMO Batubara
2008 240 187 53 0
2009 254 198 56 0
2010 275 208 67 64,9
2011 353 273 80 66,3
2012* 386 304 82 67,3
2013** 391 306 85 74,3
Gambar 1. Produksi, ekspor, domestik dan DMO batubara Indonesia Catatan : *) realisasi 2012 **) rencana 2013 Sumber : Potensi dan Peluang Investasi Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
5
Topik Utama tahun 1962 oleh perusahaan Podzemgaz (sekarang bernama Promgaz). Teknologi UCG telah memperlihatkan hasil yang secara teknis dan komersial dapat dipertanggungjawabkan serta sangat menguntungkan. Pada tahun 1974, lisensi untuk memanfaatkan teknologi UCG diberikan kepada perusahaan Amerika Serikat dan mereka saat ini sedang mengembangkan teknologi bersama-sama negara-negara lainnya (Australia, Spanyol dan Belgia), di samping Jepang dan Cina.
3. KONSEP UCG UCG merupakan proses gasifikasi yang mengubah batubara di bawah tanah (in situ) menjadi gas. Cara untuk mendapatkan gas tersebut, yaitu dengan melakukan pengeboran ke dalam lapisan batubara (kedalaman 100-600 m), kemudian menginjeksikan udara atau oksigen pada sumur tersebut. Di sisi lain, dilakukan juga pengeboran untuk mengambil gas dan panas yang terbentuk dari proses gasifikasi (Gambar 3). Gas-gas yang diambil ini dapat digunakan sebagai bahan dasar industri, sedangkan panasnya digunakan untuk penggerak turbin pada pembangkit listrik.
Pada teknik UCG, di bawah tanah terjadi dua proses kimia, yaitu pirolisis dan gasifikasi (Gambar 4). Pirolisis disebut karbonisasi, devolatisasi atau dekomposisi termal. Pada proses ini, batubara dikonversikan menjadi char dan menghasilkan tar, minyak, molekul hidrokarbon rendah dan gas. Gasifikasi terjadi pada waktu air tanah, O2, CO2 dan H2 bereaksi dengan char. Pada prinsipnya, gas utama yang dihasilkan adalah CO2, CH4, H2, CO dan O2. CH4 (metana) adalah produk yang dihasilkan oleh proses pirolisis dan terjadi pada temperatur rendah dan tekanan tinggi. Pada waktu terjadi proses pembakaran batubara dan adanya aliran air tanah, akan dihasilkan produk ikutan, seperti benzen, toluen, etill-benzen dan xylen ( BTEX ), fenol, abu batubara dan tar, hidrokarbon aromatik dan sulfida, NOx, NH3, boron (B), sianida, CO dan H 2 S. Gas yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk pembangkit listrik, pembangkit skala industri, maupun bahan kimia bersih yang dapat digunakan di dunia farmasi dan bahan bakar alternatif (Gambar 5). Komposisi dan nilai kalori dari gas yang dihasilkan tergantung dari kondisi geologi dari lapisan batubara, kualitas batubara, komposisi
Gambar 2. Cetak Biru Bauran Energi Nasional
6
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama
Gambar 3. Proses produksi UCG (Sumber : Clean Coal Technology) 0,118 MMBTU/Mscf). Apabila dalam proses injeksi, terdapat uap dalam jumlah tertentu dan terjadi dekomposisi bahan organik dari batubara, nilai kalori yang didapat dari proses gasifikasi dengan injeksi udara dapat mencapai 1.1001.200 kcal/m3 ( 0,123 MMBTU/Mscf - 0,168 MMBTU/Mscf) (Gambar 6). Apabila yang diinjeksikan adalah udara diperkaya dengan oksigen, nilai kalori dari gas dapat mencapai 1.750 kcal/m3 (0,197 MMBTU/Mscf ) atau kadang-kadang lebih. Gas yang dihasilkan dari 1 ton batubara berkisar antara 52,97 Mcf194,21 Mcf.
Gambar 4. Proses produksi UCG (Sumber : Cougar Energy ASX) dari working agent untuk gasifikasi dan prosedur teknis gasifikasi dan juga pembersihan gas (purification of gas) dari berbagai komponen. Secara teoritis, nilai kalori gas yang didapat dari injeksi udara selama gasifikasi karbon dapat melampaui 1.050 kcal /m3 (44x103 J/m3 atau
Untuk dapat melakukan proses gasifikasi batubara bawah tanah dengan teknologi UCG, diperlukan persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Batubara harus peringkat subbituminus atau peringkat yang lebih rendah 2) Batubara berada di bawah tanah antara 100600 m (lebih baik/preferable > 300 m) 3) Ketebalan batubara > 5m 4) Kandungan abu kurang dari 60% 5) Terdapat diskontinuitas minimal di lapisan batubara 6) Bukan akuifer air yang baik
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
7
Topik Utama
Gambar 5. Pemanfaatan gas yang dihasilkan dari proses UCG, antara lain untuk pembangkit listrik, industri, dan farmasi
Gambar 6. Nilai kalori yang didapat dari proses gasifikasi dengan injeksi udara
8
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama Berikut adalah beberapa keuntungan yang diperoleh apabila batubara di bawah tanah dieksploitasi dengan teknologi UCG, keuntungan tersebut antara lain adalah: 1) Cadangan batubara dalam (deep coal resource) yang tidak ekonomis apabila ditambang secara konvensional menjadi lebih ekonomis jika digasifikasi dengan memanfaatkan teknologi UCG 2) Lebih efisien dan biaya investasi lebih murah dari penambangan konvensional 3) Mengurangi emisi SO2 dan CO2 4) Menggantikan penambangan bawah tanah yang penuh risiko 5) Ramah lingkungan 6) Meningkatkan nilai tambah batubara sebagai bahan bakar yang dapat menggantikan minyak dan gas bumi
4. STATUS PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI UCG Negara-negara yang telah menerapkan dan melakukan uji coba Teknologi UCG antara lain Rusia, Amerika Serikat, Australia, Uzbekistan, Cina, Selandia Baru, dan beberapa negara di Eropa. Sedangkan yang telah memanfaatkannya pada skala komersial yaitu Australia, Cina, Rusia, Afrika Selatan, India, Kanada dan Selandia Baru (Gambar 7). Di Rusia, jumlah batubara yang telah dimanfaatkan dengan teknologi UCG mencapai 15 juta ton batubara, jumlah tersebut telah menghasilkan 50 milyar m3 (1,766 Tcf) gas, atau 1 ton batubara menghasilkan 117,7 Mcf gas. Perusahaan yang menjalankan operasional pemanfaatan UCG ini adalah Podzemgaz. Pada saat ini, Rusia telah menjalankan proses komersial UCG di 12 lokasi yang berbeda dengan kedalaman kurang dari 200 m dan umumnya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan industri. Di Amerika Serikat telah dilakukan percobaan gasifikasi sebanyak 50.000 ton batubara. Namun, teknologi ini nampaknya tidak berkembang pesat, karena terkalahkan oleh
keberadaan shale gas yang biaya produksi gas sebesar US$ 3,75 per mmBtu, biaya ini jauh lebih lebih murah dibanding dengan UCG, yaitu US$ 6 per mmBtu (Peter Kelly-Detwiler, Forbes, 2012). Meskipun demikian, Laurus Energy sebuah perusahaan yang berkecimpung di UCG memiliki proyek di Cook Inlet Alaska yang menghasilkan gas sintesis yang cukup untuk bahan bakar pembangkit 100 MW dan saat ini juga sedang melakukan penyelidikan di Alberta dan Wyoming. Di Australia, teknologi UCG memperlihatkan hasil yang sangat menjanjikan dan mereka sedang mempersiapkan produksi komersial di kota Chincilla, yang terletak 350 km sebelah barat Brisbane, proyek ini pertama kali mulai beroperasi pada tahun 2000. Carbon Energy telah menyelesaikan 100 hari studi skala komersial yang sukses di Bloodwood Creek pada tahun 2008. Di Cina, dari tambang batubara Suncan dengan memanfaatkan teknologi UCG, mampu memasok 20.000 m 3 gas per hari untuk keperluan 10.000 rumah tangga dan industri dengan harga yang relatif murah. Saat ini Cina memiliki sekitar 30 proyek gasifikasi batubara bawah tanah (UCG) dalam fase persiapan. Di India gasifikasi bawah tanah rencananya digunakan untuk mengakses sekitar 350 miliar ton batubara. Pada tahun 2007, India menyusun laporan status gasifikasi batubara bawah tanah, laporan ini diharapkan dapat menarik minat berbagai perusahaan terbesar di negara itu untuk melakukan investasi. Di Afrika Selatan, perusahaan Sasol dan Eskom telah memiliki fasilitas percontohan UCG yang telah beroperasi selama beberapa waktu. Dua perusahaan tersebut memiliki informasi dan data UCG yang berharga. Proyek percontohan dan studi saat ini juga sedang berjalan di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa Barat dan Timur, Jepang, Indonesia, Vietnam, India, Australia dan Cina.
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
9
Gambar 7. Perkembangan UCG di dunia (http://globalenergysystemsconference.com/)
Topik Utama
10
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama 5. LESSON LEARN DAN UPAYA ODIRA UNTUK PENGEMBANGAN UCG Pada tahun 2013, produksi batubara Indonesia menempati peringkat ke-9 dari seluruh produksi batubara dunia, yaitu sebesar 28,017 miliar (BP, 2013; Tabel 1). Produksi batubara Indonesia tersebut merupakan batubara jenis lignit dan subbituminus, atau dengan kata lain batubara peringkat rendah.
Kriteria sumber daya batubara untuk proses gasifikasi adalah jenis batubara peringkat subbituminus atau peringkat yang lebih rendah. Hal tersebut berarti dapat dipenuhi oleh miliaran ton batubara di Indonesia. Oleh karena itu, teknologi UCG dipandang sangat cocok untuk dikembangkan di Indonesia mengingat sumber daya batubara didominasi oleh batubara peringkat rendah (58,7% Lignit, 26,7% Subbituminus) (Gambar 8).
Tabel 1. Produksi batubara dunia di tahun 2013
NO
Negara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Amerika Serikat Rusia Cina Australia India Jerman Ukraina Kazakstan Indonesia
Antrasit dan bituminus (juta ton) 108.501 49.088 62.200 37.100 56.100 48 15.351 21.500 -
Subbituminus dan lignit (juta ton) 128.794 107.922 52.300 39.300 4.500 40.500 18.522 12.100 28.017
Total (juta ton) 237.295 157.010 114.500 76.400 60.600 40.548 33.873 33.600 28.017
Total Dunia (%) 26,6 17,6 12,8 8,6 6,8 4,5 3,8 3,8 3,1
Sumber: BP, 2013
Gambar 8. Peta potensi batubara Indonesia
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
11
Topik Utama PT. Odira Energi Persada (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Odira) menangkap peluang dikembangkannya UCG melalui beberapa proses studi yang dimulai sejak tahun 2004. Mengingat peluang dikembangkannya CBM (Coal Bed Methane) yang sepertinya kurang menarik khususnya di Sumatera, Odira waktu itu memandang bahwa UCG akan menjadi bisnis penting pada 3-5 tahun mendatang. Pandangan tersebut didasari oleh kebutuhan energi yang terus meningkat, sebagai akibat peningkatan perekonomian dan daya beli masyarakat. Dari hasil studi Odira, menunjukkan bahwa tidak semua lapisan batubara yang ada di Indonesia dapat diambil dan diolah melalui Surface Coal Gasification (SCG) dan pertambangan konvensional. Wilayah kerja pada pengembangan SCG dan penambangan konvensional membutuhkan wilayah yang sangat luas, jauh lebih luas dibanding dengan teknik UCG, sehingga UCG dapat menjadi alternatif. Selain itu, gasifikasi lebih efisien dibanding batubara yang langsung dibakar di pembangkit listrik.
Angin segar sepertinya didapatkan, mengingat draft kebijakan energi nasional menargetkan bauran energi primer nasional pada tahun 2025, yaitu minyak bumi kurang dari 25%, batubara minimal 30%, gas bumi minimal 22%, dan energi baru dan terbarukan minimal 23%. Ini artinya, target energi berasal dari batubara cukup tinggi. Pemanfaatan batubara di Indonesia sendiri (pasar domestik) selama ini banyak digunakan untuk pembangkit listrik dan berbagai industri, seperti industri besi, baja, kertas, keramik, dan lainnya (Tabel 2). Teknik UCG ini tentunya dapat menjadi salah satu terobosan dan sekaligus solusi bagi Indonesia sebagai salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik, sehingga dapat meningkat daya saing industri untuk menjalankan produksinya. Berangkat dari keinginan mencari terobosan dan peluang untuk pemanfaatan sumber daya batubara yang cukup potensial melalui teknologi UCG ini, pada tahun 2005, Odira melakukan studi dan penelitian UCG di Ombilin, Sumatera Barat (Gambar 9). Dari studi tersebut diperoleh hasil
Tabel 2. Pemanfaatan batubara domestik per jenis industri (ton)
Tahun
Industri Besi dan Baja
Pembangkit Listrik
Industri Keramik dan Semen
Industri Kertas
Briket
Lain-Lain
Total
2000
30.893
13.718.285
2.228.583
780.676
36.799
5.545.609
22.340.845
2001
220.666
19.517.366
5.142.737
822.818
31.265
2.628.333
28.363.185
2002
236.802
20.018.456
4.684.970
499.585
24.708
3.792.481
29.257.003
2003
201.907
22.995.614
4.773.621
1.704.498
24.976
9.573.234
39.273.851
2004
119.181
22.882.190
5.549.309
1.160.909
22.436
6.347.709
36.081.734
2005
221.309
25.669.226
5.152.162
1.188.323
28.216
9.091.501
41.350.736
2006
299.990
27.758.317
5.300.552
1.216.384
36.018
14.383.808
48.995.069
2007
282.730
32.420.000
6.443.864
1.526.095
25.120
20.772.192
61.470.000
2008
245.949
31.041.000
6.842.403
1.251.000
43.000
14.049.899
53.473.262
2009
256.605
36.570.000
6.900.000
1.170.000
61.463
11.336.932
56.295.000
2010
335.000
34.410.000
6.308.000
1.742.000
80.400
24.124.600
67.000.000
Lain-lain: termasuk industri tekstil, keramik, batu bata, makanan, kimia, ban, pelapisan logam, dan lainnya. Sumber: Potensi dan Peluang Investasi Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014
12
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama
Gambar 9. (a) Lokasi cadangan batubara di Lapangan Ombilin dan (b) Lokasi cadangan batubara di lapangan Ombilin II. perhitungan besarnya cadangan dan pemanfaatannya untuk Pembangkit listrik sebagai berikut: – Sumberdaya gas UCG lapangan Ombilin II adalah sebesar 53,5 x 0,167 Tscf = 8,94 Tscf. sedangkan sumberdaya gas UCG lapangan Ombilin III adalah sebesar 7,35 Tscf . – Dengan sumberdaya gas UCG sebesar 8,94 Tscf di Ombilin II, gas UCG tersebut dapat membangkitkan pembangkit listrik dengan kapasitas 100 MW untuk selama kira-kira 99 tahun. – Dengan sumberdaya gas UCG sebesar 7349 Bscf di Ombilin III, gas UCG tersebut dapat membangkitkan pembangkit listrik dengan kapasitas 100 MW untuk selama kira-kira 82 tahun.
jika dilakukan pemboran di titik tertentu dikhawatirkan gas akan mengalir ke permukaan melalui patahan yang ada sehingga akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Lesson learn dari lapangan Ombilin ini adalah bahwa tidak semua potensi batubara yang terdapat pada suatu lokasi dengan kedalaman dan kualitas batubaranya memenuhi kriteria untuk dapat digasifikasi secara insitu, apabila kondisi geologinya tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, gasifikasi batubara dengan teknologi UCG tidak dapat dilaksanakan. Kata kuncinya adalah untuk pengembangan teknologi UCG, struktur geologi suatu lapangan/daerah menjadi priotitas utama untuk diketahui/ dievaluasi secara teliti agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Usaha untuk mengembangkan teknologi UCG di lapangan Ombilin tidak dapat diteruskan karena faktor geologi, yaitu terdapatnya banyak patahan di daerah tersebut. Secara struktur geologi patahan-patahan tersebut banyak yang menembus sampai ke permukaan. Sehingga,
Odira berusaha mengungkap potensi batubara yang potensial untuk pengembangan UCG di Indonesia. Pada tahun 2010, Odira melakukan studi di daerah Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin, Sumatera Selatan. Daerah ini dipilih karena menurut data Badan Geologi, wilayah ini memiliki sumberdaya batubara peringkat
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
13
Topik Utama rendah cukup besar (Gambar 10). Selain itu di daerah tersebut terdapat ketersediaan data seismik dan data pengeboran sumur migas hasil kegiatan operasi minyak dan gas bumi.. Daerah studi Odira tepatnya berada di Blok PSC Migas Karang Agung, Sumatera Selatan (Gambar 11). Bermodalkan data seismik dan pemboran sumur migas yang ada di bagian selatan Blok Karang Agung tersebut (Gambar 12), Odira melakukan pemetaan lapisan batubara Formasi Muara Enim yang mempunyai potensi untuk dilaksanakannya gasifikasi dengan memanfaatkan teknologi UCG. Hasil pemetaan batubara Formasi Muara Enim pada daerah studi (Gambar 13), ketebalannya berkisar antara 0 - 14 meter dan terdapat pada kedalaman sekitar 100 - 400 meter. Berdasarkan peta tersebut besarnya sumberdaya batubara di Formasi Muara Enim dapat dihitung. Hasil perhitungan sumberdaya batubara tersebut masing-masing pada Zona I yaitu sebesar 1.058.788.291,98 ton dan pada Zona II sebesar 1.170.080.963,21 ton. Distribusi ketebalan dan penyebarannya ditunjukkan pada Gambar 13.
Hasil studi dan penelitian sumber daya batubara pada Formasi Muara Enim di Blok Karang Agung tersebut telah dikonsultasikan dengan Clean Coal Limited (CCL) dari Inggris (anggota UCG Association). Hasil konsultasi dengan CCL tersebut bahwa: 1) Secara umum ekploitasi batubara dengan teknologi UCG adalah dari setiap 100 juta ton sumberdaya batubara dapat menghasilkan panas (gas) hingga 500 MW, dan membangkitkan listrik dengan kapasitas sebesar 200 - 250 MW selama 20 tahun. 2) Pada Zona I dapat dibangkitkan listrik dengan kapasitas 250 MW selama 20 tahun, dengan asumsi nilai kalori batubara pada zona tersebut sebesar 20 MJ/kg atau 4.777 kkal/ kg dengan batubara yang cukup tebal. 3) Dengan asumsi nilai kalori batubara sebesar 20 MJ/kg pada ketebalan batubara 8 meter dan pada kedalaman yang konstan, yaitu 275 meter maka biaya produksi listrik rata-rata untuk fase komersial hingga 20 tahun ke depan kurang dari US $ 5 c/kWh. Saat ini Odira telah siap mengembangkan UCG, namun semua kesiapan ini masih membutuhkan
Gambar 10. Peta sebaran batubara peringkat rendah di Indonesia
14
M&E, Vol. 12, No. 2, Juni 2014
Topik Utama
Gambar 11. Lokasi Blok PSC Migas PT. Odira Energy Karang Agung, Sumatera
Gambar 12. Usulan Wilayah kerja UCG di Blok PSC, PT. Odira Energy Karang Agung
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
15
Thickness 14 m 13 m 12 m 11 m 10 m 9m 8m 7m 6m 5m 4m 3m 2m 1m 0m
Topik Utama 6. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Cadangan batubara pada kedalaman antara 100-600 meter yang jumlahnya cukup banyak untuk dapat diproduksikan menjadi bahan bakar dan bahan baku industry lainnya dengan teknologi UCG dan diharapkan mampu menggantikan minyak dan gas bumi dalam memenuhi pasokan energi nasional. Namun, untuk mempermudah implementasi teknologi UCG di Indonesia, masih harus dipenuhi berbagai persyaratan dan peraturan. Peraturan tersebut antara lain kerangka hukum UCG; wilayah kerja; izin eksplorasi; hak sewa; izin untuk memulai operasi; royalti; keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja; konservasi dan masalah lingkungan dan persyaratan komersial lainnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,, 2014, Potensi dan Peluang Investasi Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dengan telah lengkapnya seluruh perangkat kebijakan, diharapkan teknologi UCG dapat dikembangkan dan dapat dimanfaatkan secara masif di Indonesia sehingga hasilnya dapat memenuhi target Pemerintah dalam pemenuhan
pasokan energi untuk dalam negeri guna menjamin ketahanan energi Nasional. Berangkat dari pengalaman Odira, penulis mengusulkan kepada pemerintah selain masalah regulasi di atas, hal lain yang tidak kalah penting adalah menyediakan peta potensi batubara yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi UCG (Peta UCG).
http://www.bp.com/en/global/corporate/about-bp/ energy-economics/statistical-review-ofworld-energy.html. 2014. BP Statistical Review of World Energy. Diunduh 8 Juli 2014. h t t p : / / w w w. c o a l - u c g . c o m / current%20developments.html, Diunduh 8 Juli 2014. http://globalenergysystemsconference.com, Status of Underground Coal Gasification (UCG) as a Commercial Technology. Diunduh 8 Juli 2014. PT
Odira Energi Persada, 2014, Pengembangan UCG, Presentasi di Badan Litbang ESDM.
Dr. Alan Bayrak, Underground Coal Gasification (UCG), Workshop Prepared for Odira Energy, Jakarta 18 -19 May 2011. Rohan Courtney OBE, Founding Director, UCG Partnership. Licencing, Regulatory and Reserve Valuation Issues, UCG Training Course1/09-London 18th September.
Untuk membuat Peta tersebut pemerintah dapat memanfaatkan data seismik dan sumur-sumur migas yang sudah ada hasil kegiatan eksplorasi/ eksploitasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Dengan adanya Peta UCG tersebut, pemerintah dapat menentukan zona atau wilayah mana saja teknologi UCG boleh dikembangkan dan yang paling penting adalah wilayah-wilayah yang secara struktur geologi tidak memungkinkan diterapkannya teknologi UCG.
Lesson Learn dan Upaya Pengembangan UCG di Indonesia ; Subijanto dan Herdiana Prasetyaningrum
17