Topik Utama DIFUSI TEKNOLOGI: DAYA GUNA HASIL INOVASI LEMBAGA LITBANG DAN PERGURUAN TINGGI ANTARA KEINGINAN DAN KENYATAAN Hermansyah dan Herdiana Prasetyaningrum Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM
[email protected]
SARI Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari berapa besarnya sumbangan hasil penelitian dan pengembangan dalam menggerakkan ekonomi bangsa tersebut. Pada era pengetahuan ini, negara yang hanya mengandalkan sumber daya alam hanya menjadi objek dari negara yang justru tidak mempunyai sumber daya alam, tetapi mempunyai keunggulan dari sisi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan dan regulasi alih teknologi kekayaan intelektual dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan (difusi) mengamanahkan dan mengatur pemanfaatan tersebut, baik secara komersial maupun nonkomersial untuk pembangunan ekonomi. Akan tetapi, faktanya kita belum banyak merasakan suatu hasil penelitian dan pengembangan dimanfaatkan secara besar-besaran. Ibarat pepatah, kepalanya dilepas, tetapi buntutnya dipegang. Secara operasional, kebijakan ini belum berjalan, apalagi diharapkan berhasil untuk mendukung pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan. Upaya untuk memotivasi para inventor, terutama para peneliti di lingkungan lembaga kelitbangan pemerintah telah dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan menerima dan memberikan royalti kepada para peneliti. Perlu dukungan dan goodwill dari pengelola keuangan negara untuk memberikan ruang kepada para inventor/inovator agar bisa bergerak lebih leluasa, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan termanfaatkannya hasil-hasil penelitian dan pengembangan dapat dirasakan oleh masyarakat maupun industri serta terwujudnya pembangunan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata kunci : difusi teknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi , hasil penelitian dan pengembangan, lembaga penelitian dan pengembangan, inovator, inventor
1. LATAR BELAKANG Teori difusi inovasi telah ada sejak tahun 1950an di Amerika Serikat, yang awalnya ditujukan untuk memahami difusi teknologi pertanian. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, teori difusi ini juga digunakan di bidang lain. Pada tahun 1962, Everret M. Rogers memformulasikan teori difusi inovasi hasil riset yang dilakukan kepada para petani dengan
mengadopsi teknik baru dalam pertanian dalam sebuah buku berjudul "Diffusion of Innovations". Difusi yaitu proses suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran dan pada kurun waktu tertentu kepada ‘anggota’ dari suatu sistem sosial (Rogers, 1983). Dalam buku tersebut Rogers menyampaikan pemikiran proses difusi inovasi, yaitu 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
47
Topik Utama a. Inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. b. Saluran komunikasi: 'alat' untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. c. Jangka waktu: proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. d. Sistem sosial: kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Buku Rogers ini kemudian dijadikan landasan pemahaman tentang inovasi, karakteristik inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di masyarakat. Kebijakan difusi teknologi itu sendiri di Indonesia telah dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 (UU 18/2002). UU tersebut mendefinisikan difusi teknologi sebagai kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih
ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. Setelah 13 tahun, sejauh mana hasil inovasi telah didifusikan di Indonesia? Seperti diketahui bahwa Lembaga Litbang (LL) dan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia merupakan dapur riset dan inovasi. Hal ini dibuktikan sejak Kementerian Negara Riset dan Teknologi menetapkan tahun 2008 sebagai Tahun Inovasi dengan melahirkan Business Innovation Center (BIC). Tujuan pendirian BIC ini adalah mengoptimalkan pemberdayaan inovasi di Indonesia melalui pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pembangunan nasional. BIC juga menjembatani Akademisi, Pelaku Bisnis, dan Pemerintah (ABG) melalui kompetisi "Inovasi Indonesia" dengan harapan dalam kurun waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan di negara lain, khususnya di lingkungan ASEAN. Jumlah proposal yang masuk atau ikut serta dalam "kompetisi" tersebut sejak tahun 2008 cukup banyak. Kontributor terbesar (Gambar 1) dalam kompetisi tersebut berasal dari Lembaga Penelitian Ristek (warna merah paling bawah), Lembaga Penelitian Kementerian (warna jingga), dan
Gambar 1. Kumulasi proposal yang ikut dalam seleksi Inovasi Indonesia paling prospektif 2008-2015 (BIC, 2013)
48
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama Perguruan Tinggi (warna kuning). Sebagian besar hasil inovasi ini telah dipatenkan. Menengok dari salah satu motivasi didirikannya BIC, yaitu agar hasil-hasil litbang tidak hanya masuk laci atau cuma jadi tambahan koleksi perpustakaan, maka seluruh inovasi yang telah masuk dalam BIC pun pasti diharapkan dapat didifusikan ke masyarakat dan industri dalam negeri. Namun, apakah ini lantas mudah saja dilakukan? Sejauh mana perangkat regulasi yang ada dapat mempercepat dan berpihak kepada difusi teknologi? Sejauh mana hasil inovasi dapat digunakan masyarakat? Sejauh mana kapasitas hasil inovasi dapat diproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat? Sejauh mana para inovator mendapatkan imbalan yang setimpal dengan hasil inovasinya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada bagian berikut beberapa aspek terkait dibahas meliputi perangkat regulasi, beberapa contoh implementasi hasil litbang, model pembagian royalti di beberapa LL dan PT.
2. PERANGKAT REGULASI DIFUSI TEKNOLOGI DAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU) Dukungan regulasi untuk difusi teknologi terdapat dalam UU 18/2002, PP 20/2005, dan Permen Ristek 04/M/PER/III/2007. UU 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sis Nas P3 IPTEK) telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 16 ayat 4 UU tersebut, walaupun membutuhkan waktu hampir 3 tahun kemudian setelah diundangkannya UU 18/2002. Kelengkapan lainnya, walaupun membutuhkan waktu hampir dua tahun setelah PP 20/2005, juga diterbitkan Peraturan Menteri Negara Riset
dan Teknologi Republik Indonesia Nomor: 04/M/ PER/III/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan, dan Hasil Pengelolaannya, sebagai amanat dari pasal 12 ayat 2 PP 20 tahun 2005. Di sisi lain, sebagai amanah Pasal 29 UU 17/ 2003, yaitu ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan dalam undangundang yang mengatur perbendaharaan negara, maka Pemerintah bersama DPR menetapkan UU 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Setahun kemudian, sebagai amanah Pasal 69 ayat (7) UU 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pemerintah mengeluarkan PP 23/ 2005 tentang Pengelolan Keuangan Badan Layanan Umum (belakangan PP tersebut diubah menjadi PP 74/ 2012). Setahun kemudian, berturut-turut diterbitkan payung hukum peraturan pelaksanaan terkait operasional BLU sebanyak 10 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dari periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut: 3 PMK di tahun 2006, 3 PMK di tahun 2007, 1 PMK di tahun 2008, 2 PMK di tahun 2009, dan 1 PMK di tahun 2011 (Gambar 2). Pada bagian ini yang ingin ditunjukkan adalah bahwa UU 18/2002 sampai saat ini belum didukung/mempunyai peraturan pelaksanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa difusi teknologi 'mati suri' jika dibandingkan dengan BLU. Dengan demikian, amanah bahwa setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya (Pasal 13 ayat 4 UU 18/2002), belum bisa diwujudkan. Bahkan, lebih jauh lagi apa yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 (UU 2/2002) bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
49
Topik Utama intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, belum mempunyai landasan hukum operasional. Selain kewajiban di atas, yang menjadi kendala adalah hak dari PT atau LL tersebut. Walaupun, Pasal 16 ayat 2 telah menjelaskan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri. Akan tetapi, dalam prakteknya hal ini tidak mudah, terutama terkait dengan UU 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang belum sejalan dengan semangat reformasi yang ada dalam UU 18/2002. Pasal 4 pada UU 20/1997 menyatakan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara. Kemudian, Pasal 5 menyebutkan: Seluruh PNBP dikelola dalam sistem Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini yang sangat kontradiktif dengan Pasal 16 ayat 2 UU 18/ 2002. Ketika berbicara adanya aliran dana masuk ke sebuah instansi pemerintah (lembaga litbang pemerintah), maka UU PNBP inilah yang bekerja. Berikut ini ada sebuah contoh kasus 'kerumitan' PNBP. Salah satu Lembaga Litbang mempunyai sebuah pilot plant Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), PLTMH ini (Gambar 3) on-grid, artinya listrik yang dihasilkannya terhubungan dengan grid PLN, setiap bulannya hasil 'penjualan' listrik tersebut disetor secara langsung ke Kas Negara. Walupun tujuan utamanya adalah menguji kehandalan hasil litbang (PLTMH), bukan 'menjual' listrik. Excess power dari upaya implementasi tersebut adalah adanya PNBP. Ketika salah satu trafo dari sistem PLTMH rusak, PT. PLN mengambil inisiatif untuk memperbaiki trafo tersebut, karena kalau menunggu diperbaiki oleh lembaga litbang tersebut selain membutuhkan waktu, juga anggarannya harus
Gambar 2. Perbandingan perangkat regulasi SisNas P3 IpTek (PP 20/ 2005) dan Badan Layanan Umum (PP 23/2005)
50
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama Sejauh ini, hasil inovasi iptek yang ada di lembaga litbang maupun PT boleh dibilang memiliki konteks yang berbeda. Di satu sisi, iptek diteliti dan dikembangkan dalam konteks akademik, di mana prinsip kebenaran ilmiah merupakan prinsip yang dipegang oleh para peneliti. Di sisi lain, pengguna iptek bekerja dalam situasi di mana berlaku kaidah-kaidah persaingan pasar, nilai-nilai demokratik, dan norma-norma sosial (ARN 2010-2014). Perbedaan konteks inilah yang akhirnya menyulitkan sebuah hasil inovasi dapat digunakan di masyarakat. Gambar 3. Pilot plant PLTMH kapasitas 100 kW on-grid pada saluran irigasi dicari terlebih dahulu, karena belum dianggarkan dan lembaga litbang tersebut bukan sebagai unit pengguna PNBP. Karena PT. PLN telah memperbaiki trafo tersebut, mereka memotong biaya perbaikan trafo tersebut, sehingga jumlah pembayaran (setoran) pada bulan berikutnya minus biaya perbaikan trafo. Apa yang terjadi? dari hasil audit internal, lembaga litbang tersebut diminta menyetorkan uang yang dipotong oleh PT. PLN tersebut. Padahal uang itu tidak pernah 'disentuh' bahkan tidak sedikitpun 'mengalir' ke lembaga tersebut. Padahal, kalau mengacu kepada UU 18/2002 lembaga litbang tersebut berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari pelayanan jasa teknologi tersebut untuk mengembangkan diri, maupun mengembangkan teknologi, apalagi hanya sekedar biaya perawatan. 3. HASIL INOVASI DI MASYARAKAT Sejauh ini, masyarakat memang belum banyak menikmati hasil inovasi dari para peneliti/inovator baik dari PT atau LL. Beberapa hal yang menjadi kendala, antara lain masyarakat belum mengenal hasil inovasi, hasil inovasi tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat, dan masyarakat/industri (pengguna) belum percaya dengan produk dalam negeri.
Untuk menjembatani hal tersebut, diperlukan mediasi yang berperan menyelaraskan dua konteks tersebut agar bertemu pada satu muara. Media tersebut adalah sebuah lembaga yang menghubungkan hasil inovasi dari para peneliti di LL dan PT dengan kebutuhan di masyarakat (mediator). Salah satu lembaga yang sudah ada sebagai mediator adalah BIC. BIC sebagai salah satu jembatan untuk mengomersialisasikan hasil litbang dari para inovator, telah merangkum informasi keberhasilan para inovator yang telah masuk dalam Inovasi Indonesia Paling Prospektif selama kurun waktu 2008-2013 (Inovasi Indonesia 100-105) saja. Melalui survei diketahui bahwa terdapat 270 inovasi telah dimanfaatkan masyarakat tanpa dimediasi oleh BIC. Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan oleh BIC, faktor kunci keberhasilan suatu karya inovasi untuk dimanfaatkan atau bahkan dikomersialkan, bukan karena faktor kebaruan atau kecanggihan atau besarnya dukungan finansial, melainkan semangat sang inovator yang terus menunjukkan aktualisasi diri hingga reputasinya meningkat di masyarakat seiring keberhasilannya menuai hasil inovasi (BIC, 2013). Setelah hasil inovasi ini dimediasi oleh BIC, banyak permintaan produk inovasi kepada para inovator. Jika sang inovator merupakan peneliti dari LL pemerintah atau PT, tentu saja mereka akan menemui kendala dalam memproduksi masal hasil inovasi mereka. Selain itu,
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
51
Topik Utama bagaimana perjanjian antara sang inovator dengan badan usaha, apabila produk inovasi mereka sudah dipatenkan atas nama lembaga, bagaimana pembagian royalti antara lembaga dengan sang inovator. Di sinilah diperlukannya peranan peraturan pelaksanaan terkait hal tersebut.
Lalu, sejauh apa pengelolaan hasil inovasi tersebut selama ini? Pada bagian berikut akan diulas tentang pengelolaan hasil inovasi sebagaimana diatur dalam PP 20/ 2005.
Seperti yang tercantum dalam UU 18/2002 bahwa badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud, badan usaha bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh PT dan LL (pasal 9 ayat 1 dan 2).
Dalam melaksanakan kewajiban mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, PT dan LL wajib membentuk unit kerja yang melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dihasilkan PT dan LL (pasal 16 dan 17 PP 20/2005).
Sinergi antara LL dan PT yang melibatkan inovator dengan badan usaha dalam menjalin kemitraan untuk memproduksi hasil inovasinya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: – Produk hasil inovasi terbukti dapat bekerja dengan baik – Harga produk terjangkau – Biaya produksi rendah/efisien dan dapat diproduksi di dalam negeri – Produk hasil inovasi dapat diperoleh dengan mudah atau dipasarkan secara terbuka, artinya produk telah diproduksi massal berikut jaringan distribusinya Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, sebagai pembuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara juga harus menjamin adanya keberpihakan terhadap proses alih teknologi ini. Sejauh ini, hasil inovasi para inovator membutuhkan modal besar untuk dikembangkan dan diproduksi secara massal. Oleh karena itu, peran badan usaha sangat menentukan keberhasilan komersialisasi hasil inovasi secara masif. Untuk hal tersebut, sarana yang sudah diberikan pemerintah sebagaimana telah diatur dalam PP 35/ 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi, berupa insentif perpajakan dan kepabeanan.
52
4. PENGELOLAAN HASIL INOVASI
PT dan LL dalam melaksanakan tugas dimaksud berpedoman kepada prosedur kerja pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang ditetapkan oleh PT dan LL. Selain prosedur kerja pengelolaan, pedoman tersebut juga mencakup ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, rincian tugas, tata kerja unit kerja (pasal 18 dan 19 PP 20/2005). Mekanisme alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan melalui (pasal 20 PP 20/2005): a. lisensi b. kerja sama c. pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau d. publikasi Sedangkan, pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan (pasal 35, 36, dan 37 PP 20/ 2005): a. dibebankan kepada dan menjadi tanggung jawab penerima alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan. b. dapat dibiayai oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. c. dapat dilakukan dan/atau mengikutsertakan pihak lain.
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama PT dan LL Pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan diri. Penggunaan pendapatan secara langsung tersebut penggunaannya diatur pada pasal 38 PP 20/2005 (Gambar 4). Kemudian, pasal 39 PP 20/2005 menyebutkan bahwa dalam penggunaan pendapatan tersebut, pimpinan PT dan LL pemerintah wajib mengirimkan rencana kerja pendapatan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan secara lengkap dan transparan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum awal tahun anggaran. Bentuk dan pelaporannya juga diatur telah disebutkan dalam PP 20/2005. Walaupun telah diatur sedemikian rupa, khususnya penggunaan pendapatan dari alih teknologi dan pemanfaatan hasil litbang, sangat disayangkan bahwa hal ini tidak didukung oleh Peraturan Pelaksanaan yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Lain halnya dengan PP 23/ 2005 tentang Pengelolan Keuangan Badan Layanan Umum yang lebih dahulu 1 (satu) bulan diundangkan sebelum PP 20/2005 satu tahun kemudian langsung didukung oleh Peraturan Pelaksanaan
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian perangkat regulasi. Lalu bagaimana implementasi pengelolaan hasil inovasi di kalangan inovator yang berasal dari PT dan LL? Dalam pelaksanaan pasal 38 PP 20/2005, penggunaan pendapatan dari hasil litbang tidak dapat digunakan oleh inovator pada tahun berikutnya, sehingga menyulitkan inovator untuk mengembangkan produknya lebih lanjut, karena harus menunggu pendapatan di tahun berjalan. Kemudian, jika pendapatan berasal dari penggunaan produk inovasi, belum ada Mata Anggaran Keuangan (MAK) yang menyebutkan besaran royalti bagi inovator. Selain itu, jika pelaporan PNBP ke Kementerian Keuangan terlalu besar, justru kementerian tersebut akan memangkas anggaran litbang, sehingga peneliti sulit untuk mengembangkan hasil inovasinya. Meski peraturan pelaksanaan BLU sudah lebih jelas, persyaratan lembaga litbang/lembaga penelitian di PT menjadi BLU seringkali tidak bisa terpenuhi, yang pada akhirnya lebih memilih menjadi UPT karena pertanggungjawaban keuangannya lebih mudah. Selain itu, aturan BLU dianggap terlalu "rigid" untuk LL yang pelayanan litbangnya bersifat tidak standar dan tidak rutin (dinamis).
Gambar 4. Penggunaan pendapatan secara langsung dari hasil alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan litbang (pasal 38 PP 20/2005)
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
53
Topik Utama Dalam diskusi PP 20/2005 tentang Alih Teknologi dan Pemanfaatan Hasil Litbang bersama LPPM Jabodetabek, yang diselenggarakan oleh Kementerian Ristek pertengahan tahun 2013, selain ketidakefektifan PP 20/2005 di atas, ketidakberanian PT dan LL untuk keluar dari "comfort zone" dan tidak adanya sinergi antara A-B-G juga menjadi penyebab sulitnya alih teknologi dan pemanfaatan hasil litbang terlaksana. Untuk sebab yang terakhir ini diperlukan terobosan dan perubahan agar PT dan LL dapat keluar dari comfort zone dan tercapai sinergi antara A-B-G. Pada pasal 47 PP 20/2005, ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana kerja dan pelaporan atas pelaksaaan penggunaan pendapatan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh PT dan LL pemerintah tertulis akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun hal ini juga belum diatur oleh Kementerian Keuangan, sehingga LL dan PT membuat aturan sendiri di dalam lembaga tersebut. Aturan yang dibuat sendiri ini tak serta merta membuat LL/PT dapat menerapkannya, karena ada ketakutan tersendiri bahwa pendapatan tersebut dijadikan temuan oleh auditor. Ketakutan tersebut, antara lain ketidakjelasan berhak atau tidaknya peneliti PNS atas HKI nya yang terjual. Hal ini membuat para inovator menjadi tidak termotivasi untuk terus mengembangkan hasil inovasinya hingga siap diproduksi massal. Kendala-kendala lain yang dihadapi dalam alih teknologi dan pemanfaatan hasil inovasi, baik dari PT dan LL pemerintah adalah: a. Belum adanya peraturan yang mengatur tentang royalti. Walaupun dalam UU 14/2001 disebutkan bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut (pasal 12 ayat (3)). b. belum adanya target dari LL dan PT dalam suatu indikator kinerja alih teknologi.
54
c. khusus untuk PT belum memasukkan kegiatan alih teknologi dalam SKS. d. belum adanya suatu mekanisme inisiasi suatu penelitian yang disesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itu diusulkan suatu program yang dapat mengintegrasikan kekuatan litbang nasional yang melibatkan LL dan PT. Program ini meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi (Hermansyah, 2014). e. perlu dibentuknya suatu unit kerja yang khusus menangani alih teknologi dan pemanfaatan hasil penelitian dengan menempatkan SDM yang mempunyai jiwa kewirausahaan. Sejauh ini, di Badan Litbang ESDM beberapa hasil inovasi telah dimanfaatkan (lihat artikel Sumaryono dalam edisi ini). Perkembangan terakhir setelah dibentuknya Tim Inkubator Bisnis di Lingkungan Badan Litbang ESDM, ada 7 (tujuh) hasil litbang yang sedang diinkubasi agar secara bisnis hasil inovasi ini layak untuk dikomersialkan. Secara umum, hasil litbang masih dalam tahap prototipe dan usulan HKI. Setelah mendapatkan HKI, hasil inovasi tersebut hanya menambah koleksi daftar paten dari suatu lembaga litbang. Untuk mengembangkan suatu prototipe sampai ke pasar, harus dipastikan kesiapan teknologinya sampai dengan perhitungan tekno-ekonominya, sehingga prototipe tersebut siap diimplementasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat dan atau industri. Sebelum hasil inovasi ini diluncurkan ke masyarakat dibutuhkan adanya proses inkubasi terutama aspek bisnisnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya sebuah prototipe masih membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mewujudkannya menjadi produk yang komersial. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di LL dan PT dapat bekerja sama dengan badan usaha atau lembaga penunjang untuk mengembangkan prototipenya sampai masuk ke ranah komersial, dan hal ini bisa menumbuhkan industri baru. Apabila difusi teknologi ini terjadi, inovator akan memperoleh royalti atau imbalan sesuai
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama dengan proporsi kontribusi yang pembagiannya disepakati oleh pihak-pihak yang berkolaborasi. Walaupun beberapa LL dan PT telah menerbitkan pembagian royalti kepada para inovator, namun hal ini belum selesai Payung hukum yang ditunggu-tunggu terkait pembagian royalti berasal dari Kementerian Keuangan. Salah satu inovasi Badan Litbang ESDM, yaitu pembakar siklon (cyclone burner) yang sudah diimplementasikan pada industri kecilmenengah dengan jumlah lebih dari 50 unit. Inovasi ini (Gambar 5) berturut-turut telah mempunyai prestasi, yaitu Pemenang Ristek Medco Energi Award (2007), 100 Inovasi Indo-
Pembakaran 2 ton batubara/jam
Implementasi pembakar siklon untuk steam boiler pada industri kimia
nesia Paling Prospektif (2008), Anugerah Ristek Inovatif (2010). Inovasi ini berupa silinder dengan bahan bakar batubara berukuran -30 mesh, tepung batubara dimasukkan secara tangensial dengan pusaran turbulensi tinggi. Pembakaran cepat, bekerja pada temperatur 1.100-1.500°C. Inovasi ini ditujukan untuk menyubtitusi pembakar berbahan bakar BBM dengan batubara. Biaya investasi untuk kapasitas pembakar dengan pasokan 800 kg batubara/jam yang setara dengan 500 liter solar/jam (1 liter solar setara 1,6 kg batubara) dapat dikembalikan dalam waktu 1 (satu) minggu dari penghematan
Api pembakaran sempurna masuk ke rotary
Implementasi pembakar siklon untuk smelter (reverberatory furnace) peleburan aluminium 1.000°C
Gambar 5. Beberapa contoh implementasi inovasi pembakar siklon
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
55
Topik Utama Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Melalui LPDP ini Pemerintah berupaya mendorong riset strategis dan/atau inovatif yang implementatif dan menciptakan nilai tambah melalui pendanaan riset yang diberi nama Program Bantuan Dana Riset Inovatif Produktif (RISPRO). Bantuan Dana RISPRO diberikan untuk Kelompok Periset yang berasal baik dari PT maupun LL yang ingin mengkomersialisasikan dan/atau mengimplementasikan hasil riset sebelumnya yang telah teruji layak secara teknologi. Dengan kata lain, riset-riset yang mendapat Bantuan Dana RISPRO adalah riset yang telah terbukti secara teknologi (proven technology) dan siap memasuki tahap scaling up menuju komersialisasi/implementasi. Oleh karena itu, dalam Bantuan Dana RISPRO dipersyaratkan adanya mitra. Mitra dapat berasal dari lembaga pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk lembaga swadaya masyarakat atau korporasi yang dapat bertindak sebagai regulator/implementator hasil riset atau kelompok masyarakat yang dapat bertindak sebagai pengguna hasil riset. Sudah ada 30 proposal dari kelompok periset yang diberi kesempatan oleh LPDP yang telah melalui proses seleksi secara online, untuk menunjukkan kemampuan mengimplementasikan hasil-hasil riset mereka agar dapat dirasakan oleh masyarakat dan berdampak kepada pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan. Salah satunya adalah pengembangan purwarupa sistem penggerak dan motor listrik untuk mobil listrik nasional yang diberikan kepada Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan dana sekitar Rp2 miliar. Pengembangan purwarupa sistem penggerak dan motor listrik untuk mobil listrik nasional bermitra dengan PT Pindad dan PT LEN dengan dana Rp. 1.285.945.000. Sedangkan dengan Pengembangan purwarupa sistem penyedia energi listrik pada mobil listrik nasional bermitra dengan PT Pudak Science dan PT Nipress dengan dana Rp. 1.260.224.400 (Harahap, 2013).
5. MODEL PEMBAGIAN ROYALTI DI BEBERAPA LL/PT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mungkin baru satu-satunya LL pemerintah yang memperoleh royalti dari dua paten para penelitinya yang telah digunakan oleh PT. Inti dan PT. Tiga Pilar Sejahtera. Dua paten tersebut adalah mesin perisalah (notulensi otomatis dari bahasa lisan ke tulisan) dan Biskuneo (biskuit yang mengandung nutrisi lengkap khusus untuk korban bencana (ANTARA News, 2014). Selama ini BPPT hanya boleh melakukan riset hingga menghasilkan prototipe, sedangkan proses produksi dan pemasaran dari hasil riset tersebut dilakukan sektor industri yang hasilnya dimasukkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sejak tahun 2006 BPPT membentuk BPPT Enjiniring (BE) dengan Peraturan Kepala BPPT No 170/KP/BPPT/IV/ 2006 tanggal 21 April 2006. BE mengemban tugas memasyarakatkan kajian teknologi BPPT melalui pelayanan jasa teknologi melaksanakan manajemen proyek dan kontrak kerja serta administrasi umum layanan jasa teknologi. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 158/KMK.05/2007, tanggal 20 Maret 2007, Pusat Pelayanan Teknologi / BPPT Enjiniring pada BPPT ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dengan status BLU Penuh. Melalui KMK ini BE mengelola PNBP yang diperoleh, misalnya untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas riset. BPPT hingga saat ini memiliki 156 paten, 10 hak cipta, 9 hak merk, dan 18 desain industri. Ada beberapa produk yang sudah digunakan oleh masyarakat seperti hujan buatan, pesawat tanpa awak (drone) yang sedang dalam proses produksi di PTDI. Sampai saat ini, jumlah mitra yang telah bekerja sama dengan BE sebanyak 117 mitra yakni, 24 mitra asing, 24 mitra BUMN, 31 mitra pemerintah 38 mitra swasta.
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
57
Topik Utama Sedangkan jumlah kontrak kerja sama sebanyak 295 kontrak kegiatan senilai Rp 373,7 miliar (ANTARA News, 2014). Sesuai dengan UU 18/2002 dan PP 20/2005 dan sambil menunggu peraturan pelaksanaannya, beberapa LL dan PT telah membuat kebijakan dan mengatur pembagian royalti melalui Surat Keputusan pimpinan tertinggi instasi tersebut (Tabel 1). Apa yang dilakukan oleh LL dan PT ini merupakan terobosan dari kebuntuan terhadap implementasi UU 18/ 2002 dan PP 20/ 2005. BPPT juga telah membagi royalti kepada instansi induk, unit kerja dan inventor pada produk tersebut di atas. Model ini mungkin bisa dijadikan acuan bagi LL pemerintah lain yang mempunyai paten yang telah/dapat dikomersialkan. Walaupun beberapa LL dan PT telah menetapkan sistem pembagian royalti, yang menjadi tantangan adalah dari paten-paten yang
dihasilkan tersebut, karena belum berorientasi kepada kebutuhan pasar, cenderung belum ada/ banyak yang berminat. Untuk itu, sinergi ABG adalah suatu keniscayaan. Dukungan pemerintah untuk mewujudkan sinergi antara Pemerintah, LL dan PT, serta Badan Usaha tidak bisa ditawar lagi agar Indonesia mempunyai sistem inovasi yang kuat untuk menggerakkan dan menumbuhkembangkan ekonomi nasional yang berbasis iptek. Merujuk berbagai laporan riset (a.l. Global Competitiveness Report), terdapat beberapa penyebab sulit berkembangnya kegiatan litbang, iptek, dan inovasi, yaitu partisipasi badan usaha/ swasta dalam litbang masih sangat kecil, pembiayaan litbang pemerintah hanya sekitar 0,066% dari GDP, ketidaksiapan Indonesia berinovasi dan belum ada kemandirian dalam pengembangan teknologi, serta keengganan pelaku bisnis swasta berinvestasi dalam kegiatan
Tabel 1. Pembagian royalti di beberapa LL/PT Persentase Pembagian Royalti (%) No
Lembaga
Lembaga Induk
Unit Kerja
Inventor
Dasar Kebijakan
1.
UI
25
25
50
Keputusan Rektor UI No. 1571/SK/R/UI/2009
2.
IPB
30
30
40
SK Rektor IPB
3.
BPPT
30
30
40
SK KA BPPT 281/Kp/KA/XI/2002
4.
KEMENTAN
20-40
25-50
10-35
Lisensi
20-40
25-50
10-35
Non Lisensi
20-40
35-50
10-30
5.
BATAN
6.
LIPI
7.
40
60
s.d Rp. 200 jt
30
30
40
Rp. 200-500 jt
35
35
30
> Rp. 500 jt
40
40
20
UNPAD
15
15
70
Permentan 53/2006
SK Kepala BATAN No. 414/KA/IX/1999
SK Kepala LIPI
www.unpad.aci.id/archives/9103
Sumber: Riswandi (2013)
58
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama litbang (Santosa, 2014). Sebagai pemecahan akar permasalahan tersebut, yaitu melalui "de-bottlenecking" sistematik pada hambatanhambatan struktural yang menyebabkan "lingkaran setan": efektivitas kegiatan litbang pemerintah yang rendah, sehingga pelaku bisnis swasta enggan melakukan investasi dalam inovasi, karena kurang didukung atau sebaliknya. Solusi terpenting yang harus dilakukan adalah dengan merealisasikan amanat PP 20/2005, demand driven. Langkah yang paling penting adalah penetapan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan rencana kerja dan pelaporan atas pelaksanaan penggunaan pendapatan alih teknologi kekayaan intelektual yaitu hak lembaga litbang menggunakan sebagian pendapatan PNBP untuk memotivasi para peneliti melalui pembagian royalti secara sah dan legal. Hal tersebut tentu saja perlu didukung dengan kemudahan bagi LL/PT untuk mengelola PNBP secara mandiri. PNBP yang besar tidak boleh dijadikan alasan untuk memangkas anggaran operasional litbang, karena tidak akan memotivasi litbang untuk berprestasi. Jika peneliti dan kegiatan litbang sudah berhasil termotivasi mencapai prestasi PNBP demi vested interest "sendiri" diharapkan juga akan meningkatkan motivasi dan komitmen untuk melayani bisnis/industri sebagai sumber PNBP. Motivasi dan komitmen litbang yang tinggi pasti akan menjadi magnet bagi bisnis/industri untuk memperoleh bantuan teknis litbang, yang lebih kompeten dan lebih murah dibanding memiliki litbang sendiri, atau tergantung pada sumber asing (Santosa, 2014). Menurut Tampubolon (2013), secara umum politik hukum iptek belum memberikan dukungan signifikan dalam meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Pengaturan dan penerapan prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan alih teknologi belum memberikan kepastian hukum, dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Beberapa prinsip peraturan perundang-undangan tersebut, antara lain: prinsip kemandirian, prinsip privatisasi, prinsip berorientasi jangka panjang, dan prinsip "lex
specialis derogat legi generali". Secara umum, prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan, meskipun sebagian telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Konsepsi politik hukum iptek dalam mendorong inovasi untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional adalah perubahan paradigma pengembangan iptek: dari supply push menjadi serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh PT dan LL pemerintah (UU Sisnas P3 Iptek Juncto PP Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan). Hal ini merupakan konsekuensi pelaksanaan asas lex specialis derogat legi generali, yang menjadi roh dan terobosan dalam mendorong pelaksanaan alih teknologi dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional. (Tampubolon, 2013) 6. KESIMPULAN Sinergi A-B-G dan Peraturan Pelaksanaan untuk implementasi PP 20/ 2005 seperti telur dengan ayam, mana yang lebih dahulu. Karena masih adanya polemik terhadap hal tersebut, dari pengamatan penulis banyak hasil-hasil litbang yang hanya mengisi rak-rak perpustakaan dan dikelola secara perorangan oleh inventor, sehingga pemanfaatannya sangat terbatas. Suatu invensi tidak bisa berlangsung sepanjang zaman, artinya ada suatu masa di mana hasil inovasi tersebut sangat diperlukan, artinya ada time to market-nya. Sehingga apabila parameter tersebut terlampaui, maka invensi tersebut boleh dikatakan sudah kadaluarsa. Perlu adanya goodwill dari Pengelola Keuangan Negara untuk ikut mendorong terwujudnya pembangunan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari pengalaman penulis bekerja di institusi litbang selain peraturan terkait dengan pemanfaatan pendapatan alih teknologi dan pemanfaatan hasil penelitian, juga diperlukan peraturan khusus penggunaan keuangan negara dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan.
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
59
Topik Utama Apabila dilakukan evaluasi setelah hampir . sepuluh tahun perjalanan PP 20 dan PP 23/ 2005 ini diberlakukan. Evaluasi PP 20/2005 adalah apakah tujuan alih teknologi pemanfaatan hasil litbang dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara dapat dicapai. Sedangkan PP 23/ 2005 evaluasinya berbasis pada tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat sudah tercapai. Agar implementasi PP 20/2005 dan PP 35/2007 lebih efektif, LL seyogyanya diberikan hak untuk menggunakan sebagian pendapatan PNBP untuk memotivasi para peneliti melalui pembagian royalti secara sah dan legal dengan didukung adanya MAK tersendiri. Selain itu, LL/ PT sangat menunggu terbitnya PMK terkati dengan pengelolaan keuangan untuk pembagian royalti dan operasional litbang yang unik dan khusus. Hal tersebut perlu dilakukan karena SisNas P3 Iptek bisa bersinergi jika masingmasing pilarnya termotivasi untuk memajukan iptek nasional. Sosialisasi kepada salah satu pilar SisNas P3 Iptek yaitu Badan Usaha tentang adanya keringanan pajak atau insentif terhadap keterlibatan mereka bersama LL/ PT dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan perekayasaan. LL/PT dalam mengembangkan hasil inovasi untuk fokus dan bekerja sama dengan badan usaha (sebagai off taker), khususnya dalam menyelesaikan persoalan nyata yang dihadapi masyarakat atau dengan kata lain memenuhi kebutuhan masyarakat. Penggabungan Kementerian Ristek dengan Dikti diharapkan dapat lebih menyinergikan
60
pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan terutama di lingkungan LL yang selama ini di bawah koordinasi Kementerian Ristek dan PT yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. DAFTAR PUSTAKA Antaranews, 2014, BPPT peroleh royalti Rp1,5 miliar dari paten, Kamis, 24 April 2014, http:/ /www.antaranews.com/berita/430987/bpptperoleh-royalti-rp15-miliar-dari-paten, diunduh 24 Oktober 2014. Business Innovation Center, 2013, 105 Inovasi Indonesia, Onemedia Progression Adwork, Jakarta. Diskusi PP 20/2005 tentang Alih Teknologi dan Pemanfaatan Hasil Litbang bersama LPPM Jabodetabek, Friday, May 31, 2013, http:// www.ristek.go.id/index.php/module/ News+News/id/13583, diunduh 24 Oktober 2014. Harahap,R., F., 2013, Wow, Satu Judul Riset Bakal Dikucuri Rp 2 Miliar,Selasa, 24 Desember 2013 - 17:16 wib, http:// news.okezone.com/read/2013/12/24/373/ 916980/wow-satu-judul-riset-bakal-dikucurirp2-miliar. Hermansyah, Prasetyaningrum, H., 2014, Program Kemandirian Teknologi Energi Untuk Penerapan Hasil Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Energi Nasional, Majalah Mineral & Energi, Volume 12/No. 4 - Desember 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Dan Pengembangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolan Keuangan Badan Layanan Umum.
M&E, Vol. 13, No. 1, Maret 2015
Topik Utama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Suprapto, 2012, http://ocw.stikom.edu/course/ download/2012/11/19-03-2012.17.00.47 _759_410205008_Etika-Profesi-S1SK_P1_Pert6_1.pdf, diunduh 20 Februari 2015.
Riswandi, Budi Agus, 2013, Pengelolaan Kekayaan Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi (PT), Paparan Direktur Eksekutif Pusat HKI, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta & Anggota Arbitrase dan Mediasi HKI (BAM HKI) Jakarta.
Tampubolon, S., 2013, Politik Hukum Iptek di Indonesia, Kepel Press, Universitas Janabadra Yogyakarta.
Rogers, E.M., 1983, Diffusion of Innovations,The Free Press, Third Edition. Santosa, K., 2014, De BottleNecking Inovasi Indonesia, Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi "Solusimu, Ayo Berinovasi!", diterbitkan pada 24 Januari 2014, Business Innovation Center.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997, tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Difusi Teknologi: Daya Guna Hasil Inovasi Lembaga Litbang....; Hermansyah dan Herdiana P
61