Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Pemetaan Legislasi Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi pada Sistem Inovasi Nasional Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta
Abstract Capacities in conducting research, technology development and diffusion of its products are essensial in establishing or strengthening National Innovation System (NIS). For implementation of these capacities, synchronized policies and regulations in related development sectors are required, including regulations on tax and finance, science and technology, human resource, education, infrastructure, and macro economy. All policies and regulations have to be comprehensively and integratively synchronized in order to create a conducive ecosystem for NIS. Efforts in identifying, mapping, and analyzing all of related policies and regulations are needed for formulating a new, simpler, and implementable policy and/or regulation to increase productivity of NIS. Abstrak Kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi menjadi syarat utama dalam upaya mewujudkan atau penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Untuk operasionalisasinya, kemampuan ini memerlukan sinkronisasi kebijakan dan legislasi di berbagai sektor secara lebih komprehensif dan intergratif. Kebijakan dan legislasi di bidang keuangan/perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun di bidang ekonomi pada umumnya, merupakan enam pilar kebijakan yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk memperkuat SINas. Upaya untuk mengidentifikasikan, memetakan, serta melakukan analisis terhadap berbagai kebijakan dan legislasi yang tersebar di berbagai sektor dan jenjang pemerintahan ini perlu dilakukan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan formulasi rekomendasi kebijakan yang dapat diimplementasikan. Implementasi kebijakan dan legislasi yang tepat, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan produktivitas SINas. Kata Kunci: kebijakan, regulasi, adopsi teknologi, insentif pajak, paten, hak atas kekayaan intelektual
1. Pendahuluan
interaksi dengan dunia usaha dan industri sebagai pengguna teknologi.
Pemetaan legislasi terkait kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi merupakan upaya koherensi kebijakan dan penggalangan kompetisi dan kerjasama untuk membangkitkan industri berbasis inovasi. Peningkatan pengelolaan dan interaksi antar elemen pendukungnya, termasuk interaksi antara sesama lembaga pengembang teknologi, seperti Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), kementerian, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi, maupun melakukan
Upaya tersebut semestinya dapat dilakukan sehingga inovasi dapat terwujud dalam proses produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Upaya untuk mewujudkan inovasi secara bersistem inilah yang dapat disebut dengan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Pada dasarnya penguatan SINas dilakukan untuk tujuan peningkatan kemampuan daya saing nasional, yaitu dengan melakukan transformasi bertahap dari perekonomian yang berbasis keunggulan 28
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian kreatif yang berkeunggulan kompetitif.
mengamanahkan agar lembaga litbang memiliki tanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang iptek serta menggali potensi pendayagunaannya, sedangkan badan usaha dan industri bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan iptek yang dihasilkan oleh perguruan tinggi atau lembaga litbang, ataupun mendorong kerjasama antara pengembang dan pengguna teknologi.
Melalui penguatan SINas, berbagai aktor yang terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) diharapkan berkolaborasi dalam satu jaringan, sehingga inovasi iptek yang dihasilkan dapat diterapkan dalam aktivitas keseharian dan bernilai guna bagi masyarakat.
Memang sudah banyak argumen yang dipakai untuk menjelaskan tentang mengapa interaksi dan komunikasi antara sesama lembaga-lembaga pemerintah masih terkendala. Paling tidak terdapat 2 (dua) argumen mendasar untuk menjawab kendala intraksi dan komunikasi tersebut.
Namun sebagaimana diketahui, kegiatan sinergi atau kolaborasi, baik antar aktor, maupun lembaga pelaku litbang, hingga saat ini belum optimal dan masih jauh dari harapan. Hasil penelitian yang tidak aplikatif, keengganan badan usaha untuk berinovasi, iklim usaha yang tidak kondusif, ketidakmampuan produk invensi dalam negeri berkompetisi dengan produk serupa yang berasal dari impor, orientasi jangka pendek, maupun kuatnya isu sektoralisme adalah merupakan kendala yang pada umumnya menjadi faktor penghambat bagi upaya penguatan SINas, termasuk upaya mendorong peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan adopsi teknologi badan usaha atau industri nasional.
Pertama, bisa dilihat dari sisi koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor, yang sering hanya diterjemahkan sebagai pelaksanaan rapat koordinasi semata, dan dengan mengadakan rapat tersebut, dianggap bahwa kewajiban koordinasi dan sinkronisasi telah tertunaikan. Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan seharusnya berbuah peningkatan efektivitas pencapaian sasaran kegiatan, efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya (anggaran, tenaga, sarana dan prasarana), dan terbangunnya semangat kebersamaan, tumbuhnya sikap profesionalisme, serta semakin kokohnya jiwa nasionalisme.
Lembaga litbang atau perguruan tinggi, termasuk lembaga penelitian yang berada di daerah, pada umumnya masih dianggap belum banyak memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kemampuan daya saing nasional. Kekayaan intelektual dan teknologi yang dihasilkan lembaga litbang atau perguruan tinggi selama ini seakanakan belum berperan dalam upaya peningkatan keunggulan dan martabat bangsa. Komersialisasi, maupun alih teknologi, kekayaan intelektual, dan hasil litbang, baik dalam bentuk lisensi, kerjasama, pelayanan jasa iptek, dan publikasi, juga masih belum dirasakan hasilnya secara nyata dalam masyarakat. Pada sisi lain, badan usaha dan organisasi bisnis masih belum merasa yakin sepenuhnya apakah produk litbang yang dihasilkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam negeri dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas.
Kedua, sinkronisasi belum optimal dari berbagai bidang secara lintas sektor, terutama yang terkait erat dengan kebijakan penguatan SINas. Bidang ini mencakup keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun pada bidang ekonomi. Mungkin saja karena sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tersebut masih lemah sehingga koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor juga menjadi turut melemah. Tetapi mungkin saja hal itu terjadi sebaliknya, karena koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor belum optimal sehingga mengakibatkan sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tadi turut menjadi melemah. Namun apapun yang menjadi kendalanya, tentu upaya kolaborasi maupun kerjasama dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di antara kelembagaan iptek harus terus dikembangkan secara lebih intensif lagi di masa mendatang.
Dalam kaitan tersebut, UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 29
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Berkaitan dengan hal ini, RPJMN 2010 -2014 menegaskan bahwa kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antarsektor dan lintas sektor, inter temporal (antar waktu); dan nasional-daerah (inter-teritorial), daerah-daerah, dan internasional. Dalam perspektif hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan SINas di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang sejalan, dengan sasaran dan milestones yang terukur, serta komitmen sumberdaya yang memadai baik pada tataran pembangunan nasional maupun daerah sebagai platform bersama.1
Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang kepada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat. Namun pengaturan yang berhubungan dengan royalty maupun benefit sharing di sektor atau di bidang lain belum tersedia. Tersebarnya kebijakan dan legislasi ke berbagai sektor pemerintahan memerlukan adanya identifikasi dan analisis kebijakan, terutama untuk mengetahui seberapa banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINas. Selain itu, perlu dilakukan pengelompokan peraturan perundang-undangan, baik yang mempengaruhi aktivitas pengembang (supply side), atau yang mempengaruhi pihak pengguna dalam memutuskan penerapan iptek (demand side), maupun yang mempengaruhi mekanisme alih dan interaksi antara pengembang dan pengguna (linkage area).
Dari sisi legislasi meskipun sejauh ini berbagai penguatan SINas sudah dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan. Namun hal tersebut dinilai belum cukup, karena peraturan perundangundangan tersebut pada kenyataannya belum dapat diterapkan, karena secara substansial banyak peraturan-peraturan yang belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis yang terkait. Sebagai contoh, dalam upaya untuk meningkatkan peran aktif kelembagaan bisnis dalam rangka penguatan SINas dalam lingkup kebijakan bidang iptek telah dirintis legislasi yang cenderung mengatur di dua sisi, sisi demand side maupun linkage area. Kebijakan untuk mendorong penerapan teknologi badan usaha dengan memberikan fasilitas/insentif fiskal dan non fiskal bantuan teknis, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha dalam Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Namun ketentuan ini belum dapat diimplementasikan secara kongkrit karena secara substansi belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan.
Dengan melihat kenyataan di atas, sinkronisasi dan harmonisasi legislasi menjadi agenda yang sangat penting untuk diprioritaskan sehingga upaya mendorong dunia usaha untuk berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan adopsi teknologi dapat diaktualisasikan. Untuk itu, pemetaan legislasi dapat dilakukan dalam lingkup lintas sektor yang terkait erat dengan penguatan SINas seperti bidang keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi. Keenam bidang tersebut merupakan enam pilar yang dianggap sangat terkait dan mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, dan secara umum dapat dikatakan sebagai enam pilar dalam SINas. Kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas di suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam kerangka kebijakan penguatan SINas. Namun kenyataannya, tersebarnya kebijakan inovasi di berbagai sektor dan bidang pemerintahan, menjadikan upaya pemetaan, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan legislasi menjadi krusial. Upaya ini seharusnya menjadi agenda penting dalam upaya mendorong dunia usaha untuk berperan aktif dalam kegiatan
Demikian juga halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil 1
Peraturan Peresiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014.
30
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
penelitian dan pengembangan. Selanjutnya perekayasaan, inovasi ataupun difusi teknologi dapat diaktualisasikan secara nyata dalam masyarakat.
temuan dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Hambatan dalam proses difusi teknologi ini yang dicoba untuk diatasi melalui penguatan SINas. Jika semula pengembangan dan penggunaan iptek hanya melibatkan lembaga pengembang dan lembaga pengguna, maka melalui SINas diupayakan adanya keterlibatan lembaga intermediasi, fasilitasi, dan regulasi secara lebih aktif. Keterlibatan pemerintah bukan dimaksudkan sebagai keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan pengembangan iptek atau penggunaan iptek, meskipun hal ini seringkali tidak dapat dihindari, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatan dalam bentuk penciptaan ekosistem yang kondusif dan fasilitasi keberjumpaan pihak pengembang dan pengguna iptek.
2. Penguatan Sistem Inovasi Nasional Sistem Inovasi Nasional (SINas) adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat. 2 Definisi SINas dalam perpres tersebut sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Freeman, sebagaimana dirujuk oleh OECD (2007). Menurut Freeman, SINas adalah jaringan antara institusi publik dan swasta yang aktivitas dan interaksinya memprakarsai, mendatangkan, memodifikasi, dan menyebarkan atau menerapkan teknologi baru.
Ekosistem yang kondusif bagi kegiatan iptek antara lain berwujud dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan iptek, peningkatan kapasitas adopsi industri, dan pemanfaatan hasil penemuan iptek oleh dunia industri. Selain itu, SINas dalam keberlanjutan kegiatan iptek juga didorong oleh kebutuhan agar penelitian dan pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Sebaliknya pula, informasi terkait dengan kebutuhan pihak pengguna (industri atau masyarakat) diharapkan menjadi tersampaikan kepada pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dengan diterimanya kebutuhan teknologi yang diperlukan industri oleh pihak pengembang, dan pada saat bersamaan hasil pengembangan iptek oleh pihak pengembang juga relevan dengan kebutuhan pihak pengguna, maka terbangun suatu kesinambungan dalam kegiatan iptek dari tahapan penelitian hingga penggunaannya.
Keberadaan SINas yang demikian itu sesungguhnya hendak menghubungkan institusi atau pihak yang mengembangkan iptek dengan institusi atau pihak yang menggunakan iptek. Oleh karena kegiatan pengembangan iptek dalam praktiknya banyak dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian, sementara penggunaan iptek dalam proses rekayasa suatu produk dikerjakan oleh industri, maka yang dapat terjadi kemungkinan ketidakpaduan antara teknologi yang dikembangkan dengan teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna. Ini artinya aktivitas pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian cenderung berhenti pada laporan hasil penelitian, dan kalaupun masih ada tahapan berikutnya biasanya berhenti pada penerbitan artikel pada jurnal ilmiah, sedangkan kegiatan produksi di dunia industri lebih banyak masih mempertahankan teknologi mapan yang sudah dikenal sebelumnya dengan sedikit yang mau mempertimbangkan dan mengadopsi 2
Model SINas yang merupakan jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, dan masyarakat atau industri tersebut tergambarkan sebagai berikut:
Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional
31
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Gambar 1. Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)
Berdasarkan Gambar 1, tampak bahwa adanya keberlanjutan dari kegiatan iptek yang diharapkan dari SINas. Bermula dari informasi akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pengguna, dilakukanlah penelitian dan pengembangan oleh pengembang (perguruan tinggi, lembaga penelitian). Selanjutnya temuan yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan tersebut, karena memiliki relevansi dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, maka lebih berpeluang untuk dimanfaatkan oleh pihak pengguna. Sementara pihak pemerintah sendiri, dalam hal ini akan meberikan dukungan dalam bentuk regulasi , intermediasi, dan fasilitasi.
3. Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi Sebelum dibahas masalah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, terlebih dahulu diuraikan tentang teknologi itu sendiri. Adanya penjelasan definisi teknologi yang lebih awal akan memudahkan pemahaman tentang perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Dari segi istilahnya, teknologi berasal dari kata Yunani techne, yang artinya ketrampilan atau seni. Dari kata ini antara lain diturunkan kata-kata teknik dan teknologi. Teknik adalah cara, metoda, atau kemampuan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan keterampilan dalam bidang tertentu. Teknologi memiliki beberapa arti, antara lain, (1) penerapan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis; (2) cabang ilmu pengetahuan mengenai penerapan ilmu tersebut; dan (3) kumpulan semua cara dari sesuatu kelompok sosial dalam memenuhi obyek material dari kebudayaannya (Rifai, 1986).
Bagi Indonesia, pentingnya SINas adalah untuk menjembatani sisi supply dan demand teknologi. SINas di sini akan menjadi suatu jaringan rantai pemasok teknologi yang mengaitkan antara institusi publik pemasok teknologi dan sektor swasta pengguna teknologi, sehingga manfaat nyata dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan iptek dapat dirasakan masyarakat.
Definisi lainnya tentang teknologi, yang diberikan oleh Pamuntjak (1994), ialah pengetahuan tentang pemakaian alat-alat dalam proses pembuatan 32
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
barang-barang. Sukito (1984) menyebut teknologi sebagai teknik, atau suatu daya-upaya sistematis, yang menggunakan penemuan-penemuan ilmiah.
Keterkaitan penemuan ilmiah dan teknik, sehingga mempunyai nilai-nilai praktis, terbaca dengan jelas dari definisi teknologi yang diberikan Besari (2008) di atas. Disebutkan bahwa teknogi itu merupakan sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas. Hal ini berarti proses inovasi teknologi itu dikatakan tercapai dan berhasil apabila telah diproduksi atau diterapkan. Oleh karenanya, pengembangan suatu teknologi mesti diorientasikan pada keterterapannya.
Dari sejarah evolusinya, apa yang dikatakan sebagai teknologi sebenarnya dipahami secara berbedabeda oleh masyarakatnya sesuai perkembangan teknologi itu sendiri. Besari (2008) mencatat, pada mulanya terminologi teknologi dipakai untuk menyatakan alat bantu (means) manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Pada tahap ini teknologi merupakan benda-benda yang konkrit (hardware), baik itu berkaitan dengan perkakas maupun peralatan. Pemahaman teknologi yang demikian kemudian berubah pada masa-masa berikutnya, bahwa teknologi, selain berbentuk benda-benda yang konkrit, juga dipahami meliputi metode, proses, dan sistem, semisal cara bercocok tanam, proses produksi, dan sistem pemerintahan. Jadi di sini, bentuk teknologi itu juga mencakup halhal yang sifatnya abstrak (software dan brainware). Atas dasar inilah Besari (2008) kemudian mendefinisikan teknologi sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang ditransformasikan ke dalam produk, proses, jasa, dan struktur organisasi yang pada dasarnya merupakan seperangkat instrumen ekspansi kekuasaan manusia sehingga dapat menjadi sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas.
Istilah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, pada dasarnya merupakan istilah yang menggambarkan penerapan dari teknologi atau hasil-hasil penemuan di masyarakat. Sekalipun demikian, masing-masing dari ketiga istilah tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda terkait pemanfaatan teknologi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek menyebutkan perekayasaan adalah kegiatan penerapan iptek dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya dan estetika; inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembang-kan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan iptek yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi; dan difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.3
Dari berbagai uraian definisi teknologi di atas bisa disimpulkan bahwa teknologi itu terkait dengan teknik dan ilmu pengetahuan ataupun penemuanpenemuan ilmiah; dan untuk menggambarkan tingkat keterkaitan yang tinggi, Sukito (1984) bahkan menyebutnya sebagai teknik yang menggunakan penemuan ilmiah. Meski demikian, pada mulanya sebenarnya tidaklah terjadi hubungan di antara teknik dan penemuan ilmiah. Hanya saja, bila tidak terjadi hubungan, maka penemuan-penemuan ilmiah tidak akan mempunyai nilai-nilai praktis. Adalah pendekatan industrial yang kemudian saling mendekatkan keduanya, sehingga lambat-laun nilai-nilai praktis amat mempengaruhi kegiatan ilmiah. Karena kuatnya keterpengaruhan nilai-nilai praktis dalam kegiatan ilmiah inilah sehingga teknologi juga didefinisikan sebagai penggunaan industrial dari ilmu (industrial application of science).
Dengan demikian, kesemua istilah perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi itu dimaksudkan sebagai kegiatan memanfaatkan atau menggunakan hasil-hasil penemuan iptek. Pemanfaatan dan penggunaan hasil-hasil penemuan teknologi tersebut bisa berupa desain dan rancang bangun, pengembangan penerapannya dalam suatu produk dan proses, maupun penerapannya dalam kegiatan produksi.
3
33
Pasal 1 butir ke 8, 9 dan 10 UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
4. Hasil Penelitian Tidak Aplikatif
Ketiga, invensi yang dihasilkan sering belum dipatenkan, padahal untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari penyalahgunaan pihak lain, pihak industri memerlukan invensi yang dilindungi secara hukum, yaitu invensi yang telah dipatenkan. Sedikitnya jumlah paten peneliti (inventor) dalam negeri menunjukkan belum siapnya hasil penelitian atau invensi yang dihasilkan untuk diterapkan atau diproduksi secara massal. Menurut data di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dari 1993-Juni 2006 hanya 212 invensi yang terdaftar di Ditjen HKI yang berasal dari inventor dalam negeri, dan 18.331 invensi berasal dari luar negeri. Secara persentase, berarti invensi dari dalam negeri hanya 1,14 persen, dan dari luar negeri sebesar 98,8 persen (Gambar 2).4
Tidak aplikatifnya hasil penelitian yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian merupakan masalah yang sekarang ini sedang dihadapi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan iptek di dalam negeri. Kondisi semacam ini sebenarnya dapat ditolerir apabila penelitian tersebut termasuk sebagai penelitian dasar. Dalam penelitian dasar, keterterapan hasil memang bukan yang diutamakan, melainkan penjelasan secara ilmiah terhadap prinsip, alasan, dan mekanisme yang mendasari fenomena atau fakta yang diteliti. Penelitian dasar berguna dalam mendukung penelitian lanjutan dan juga pengembangan ilmu pengetahuan. Faktor keterterapan hasil suatu penelitian akan menimbulkan persoalan manakala penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terapan. Sebagai penelitian lanjutan, penelitian terapan sudah barang tentu menghendaki adanya invensi baru yang dihasilkan, dan faktor keterterapan hasilnya dengan demikian menjadi suatu keharusan. Oleh karenanya, jelas akan bermasalah apabila dalam penelitian yang sifatnya terapan itu ternyata hasilnya juga tidak bisa atau siap untuk diterapkan. Banyak faktor yang sebenarnya memengaruhi kenapa sebagian besar hasil penelitian tidak bisa atau siap untuk diterapkan. Pertama, pelaksanaan kegiatan penelitian masih didorong oleh alasan menggugurkan kewajiban sebagai tenaga pendidik, peneliti, atau perekayasa. Sebagaimana contoh, setiap pendidik di perguruan tinggi terikat kepada Tridharma, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan juga banyak yang asal dikerjakan. Hasil akhir yang diinginkan adalah digunakannya hasil tersebut untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat saja.
Gambar 2. Paten yang diberikan pada 1993-Juni 2006 (http://www.dgip.go.id)
Statistik pendaftaran paten memang tidak menggambarkan jumlah besaran invensi. Sebab, dijumpai juga invensi yang sebenarnya digunakan dalam kegiatan industri tetapi oleh penemunya tidak dipatenkan. Namun demikian, invensi yang telah mendapatkan paten setidaknya menunjukkan kesiapan invensi tersebut untuk dipakai oleh pihak
Kedua, penelitian dilakukan dengan tidak memerhatikan kebutuhan pihak pengguna (industri). Sebagai dampaknya, hasil dari penelitian yang dilakukan tidak sesuai kebutuhan di pihak pengguna, sekalipun penelitian tersebut sebenarnya menghasilkan invensi yang baru. Kemampuan untuk mengomunikasikan invensi yang dihasilkan seringkali perlu lebih diperhatikan lagi.
4
34
Data ini diambil dari http://www.dgip.go.id pada tahun 2007, dan sengaja ditampilkan kembali di sini dikarenakan data yang sekarang tersedia di laman yang sama tidak memisahkan paten yang diajukan dan diperoleh oleh inventor domestik dengan inventor asing.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
lain. Terhadap invensi yang dipatenkan itu, hanya inventornya yang dibolehkan untuk menggunakan invensi tersebut secara komersial. Pihak lain hanya dibolehkan menggunakan invensi tersebut apabila penggunaannya tidak untuk kepentingan komersial, semisal penggunaan dalam penelitian. Atas dasar ini, badan usaha atau industri tentu akan memertimbangkan jaminan perlindungan hukum terhadap invensi tersebut sebelum menggunakannya dalam kegiatan produksi.
Selain itu penggunaan teknologi yang baru, yang mesti dimulai dengan keberanian mencoba, dianggap belum tentu memberikan keuntungan yang lebih baik dari penggunaan teknologi yang lama. Ini berarti masih ada keraguan dari pihak pengguna mengenai prospek keuntungan yang bakal diperoleh dari penggunaan teknologi yang baru tersebut. Oleh karena tidak mau menanggung resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi yang baru itu sehingga kalangan badan usaha dan industri menjadi enggan untuk berinovasi dengan mencoba invensi yang dihasilkan.
Dalam beberapa kasus dijumpai situasi yang bertolak dari pernyataan di atas, adakalanya suatu invensi dialihkan lebih dulu kepada penggunanya baru kemudian oleh penggunanya dipatenkan. Hal ini berarti permohonan paten diajukan bukan oleh peneliti atau pengembangnya, melainkan oleh penggunanya. Meski demikian, tetap saja pengguna (badan usaha dan industri) memerlukan jaminan hukum terhadap invensi yang akan dipakainya.
6. Komunikasi Tersumbat. Dua permasalahan yang dihadapi, yaitu belum aplikatifnya hasil penelitian dan keengganan badan usaha untuk berinovasi menunjukkan teknologi yang dihasilkan dari kegiatan penelitian seringkali tidak diketahui oleh pihak pengguna di badan usaha dan industri, atau kalaupun diketahui ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
5. Keengganan Badan Usaha untuk Berinovasi
Pada sisi lain, informasi berkenaan dengan kebutuhan teknologi tidak tersampaikan kepada pihak pengembang, di perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Dengan demikian, pengembang dan pengguna berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam bahasa Rama Prihandana, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia, “saya sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam dunia saya, anda tidak dibutuhkan” (Kadiman, 2008). Informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh pengguna dan apa yang dihasilkan oleh pengembang, dengan begitu tersumbat. Akibatnya sudah bisa diduga, bahwa apa yang dihasilkan oleh pihak pengembang akan menjadi sulit untuk diterima pihak pengguna.
Permasalahan dalam penggunaan invensi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat disebabkan pula faktor keengganan badan usaha. Kurangnya minat dunia usaha maupun industri untuk berinovasi atau menggunakan teknologi atau invensi terbarukan merupakan permasalahan dalam proses inovasi di Indonesia. Merujuk pada survei Bank Indonesia 2010, ternyata hanya 2 persen saja dari 29.469 industri besar dan sedang yang intensif berinovasi, sedangkan 20 persen memiliki tingkat inovasi sedang dan 78 persen lagi tingkat inovasinya rendah.5 Oleh karena minimnya tingkat inovasi di dunia usaha ini, maka hasil-hasil teknologi dari pihak pengembang teknologi banyak yang tidak terpakai.
Permasalahan demikian mudah ditemui, karena memang masih jarang hasil-hasil penelitian yang diupayakan untuk diterapkan. Sebagian besar dari hasil penelitian, kalaupun masih dianggap perlu untuk ditindaklanjuti, kebanyakan berhenti pada penerbitan di jurnal ilmiah, dan sebagian lagi ada yang mengupayakan pendaftaran paten. Meski sangat membantu dalam memublikasikan temuantemuan dalam penelitian, penerbitan dalam jurnal ilmiah sejauh ini tidak banyak membantu dalam mengomunikasikannya dengan dunia usaha dan industri. Pengguna atau pembaca jurnal-jurnal
Keengganan berinovasi tersebut antara lain disebabkan karena sudah merasa puas dan nyamannya badan usaha dan industri dengan teknologi yang digunakannya. Sebagai implikasinya, selama teknologi yang ada tersebut masih belum sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, maka penggunaan teknologi yang lebih baru dianggap tabu oleh sebagian kalangan di badan usaha. 5
Kompas, 30 September 2011, “Inovasi di Dunia Usaha Masih Minim”.
35
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
ilmiah sejauh ini terbatas pada kalangan akademis. Begitu juga penyebaran jurnal ilmiah sendiri, sebagian besar masih terbatas pada lingkup perguruan tinggi bersangkutan, dan kalaupun menyebar keluar biasanya hanya di perpustakaanperpustakaan.
7. Kebijakan Legislasi Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi Kebijakan keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan upaya mendorong perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Keenam bidang kebijakan tersebut merupakan enam pilar dalam upaya penguatan SINas.
Upaya untuk mengembangkan komunikasi dapat dilakukan oleh pihak perguruan tinggi dan lembaga litbang, maupun juga pihak dunia usaha dan industri, atau juga lembaga yang terpisah dari keduanya, semisal pemerintah dan lembaga intermediasi, seperti Sentra HKI.
7.1. Keuangan dan Perpajakan Kebijakan keuangan umumnya dimaknai sebagai kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Bidang keuangan yang berkaitan dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi lebih berupa fasilitas dan insentif dari pemerintah yang dapat dinilai dengan uang. Karena sifatnya fasilitas dan insentif, maka ia berhubungan dengan kemauan (will) pemerintah dalam mendukung kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Dari fasilitas dan insentif yang disediakan itu, paling tidak bisa diketahui bagaimana iktikad dan keberpihakan pemerintah dalam mendorong tumbuhnya inovasi teknologi.
Keberadaan sentra-sentra HKI pada perguruan tinggi tentu sangat membantu dalam upaya mengomunikasikan hasil-hasil penelitian yang ada di perguruan tinggi bersangkutan kepada dunia usaha dan industri. Namun demikian, karena tidak semua perguruan tinggi memiliki sentra HKI, maka upaya yang dilakukan itu belum banyak menampakkan hasilnya. Oleh karenanya, pemberian hibah bagi pendirian dan pengembangan (bagi yang sudah memiliki) sentra HKI perlu terus dilakukan. Selain itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempertemukan pihak pengembang dan pengguna industri juga perlu diintensifkan lagi. Sejauh ini sudah dilakukan upaya semisal penyelenggaraan pameran industri, pameran produk-produk daerah, pameran batik, dan sebagainya. Sebagian dari kegiatan tersebut juga dilakukan oleh pihak-pihak swasta, terutama asosiasi industri. Pada umumnya, kegiatan-kegiatan bertemakan pameran tersebut diselenggarakan di daerah-daerah sentra pengembangan industri. Akibatnya, di daerah-daerah yang tingkat perkembangan industrinya rendah cenderung jarang diadakan pameran-pameran industri. Padahal, dalam pemerintahan berdasarkan otonomi daerah sekarang ini dikehendaki adanya upaya peningkatan pengembangan potensi di tiap-tiap daerah. Oleh karenanya, kegiatan berupa mempertemukan pengembang dan pengguna semacam pameran, yang ditujukan untuk meningkat-kan pengolahan dan pengembangan potensi daerah, perlu diselenggarakan secara menyebar dan bergantian di semua daerah.
Dari sisi pengembang dan pengguna teknologi, berbagai fasilitas dan insentif di bidang keuangan yang disediakan pemerintah menjadi daya dorong eksternal untuk melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Sebagai daya dorong eksternal, berbagai fasilitas dan insentif yang ada jelas ikut memengaruhi keputusan pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi. Sejauh ini berbagai fasilitas dan insentif yang bernilai uang sudah disediakan pemerintah untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi, seperti insentif pembebasan bea masuk atas impor barang yang diperuntukkan bagi keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan insentif pembebasan bea masuk ini, yang dimungkinkan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, peneliti di dalam negeri tentu memperoleh keringanan dan kemudahan dalam mendapatkan barang-barang kebutuhan penelitian
36
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
dan pengembangan yang harus didatangkan dari luar negeri.
ialah tidak dikecualikannya dana penelitian yang diperoleh peneliti dari obyek yang terkena pajak penghasilan. Padahal, besaran dari pengenaan pajak itu jika dikumpulkan pun tidaklah seberapa, dikarenakan alokasi anggaran riset di Indonesia yang tersebar dalam berbagai kementerian memang tidak besar. Oleh karena itu, ke depannya, untuk mendukung aktivitas riset, dana riset yang didapatkan peneliti perlu dikecualikan untuk dikenakan pajak.
Selain itu, insentif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek juga diberikan dalam bentuk pengecualian objek pajak. Pengenaan pajak terhadap sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. Pengecualian ini dimungkinkan melalui UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang Implementasinya Diperjelas dengan PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Persoalan lainnya terkait dengan fasilitas dan insentif riset, pengembangan, dan penerapan iptek, ialah tersebarnya ketentuan fasilitas dan insentif tersebut dalam berbagai peraturan perundangundangan. Bagi pihak pengembang maupun pengguna teknologi, keberadaan ketentuan yang demikian itu tentu akan merepotkan dalam memahaminya secara utuh. Agar penggunaannya itu menjadi mudah, maka perlu dibuatkan semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) teknis, sehingga segala fasilitas dan insentif apa saja yang bisa didapatkan dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi, menjadi mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
Insentif juga diberikan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha dan daerah-daerah tertentu, yaitu dalam bentuk pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal. Ketentuan yang demikian tertuang dalam PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Ketentuan serupa, yang diatur dalam PP No. 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, juga menyediakan fasilitas perpajakan khusus kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Adanya insentif dan fasilitas semacam ini jelas menjadi perangsang bagi dunia usaha dan industri untuk mengembangkan usahanya pada bidangbidang usaha dan daerah-daerah atau kawasan tertentu.
Barangkali karena ketiadaan juklak itu sehingga petugas pelaksana sampai kebingungan dalam melayani kegiatan yang berkenaan dengan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Tertahannya lima mobil irit bahan bakar milik Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sampai 2,5 bulan, jelas menunjukkan bermasalahnya pelayanan masuk dan keluar barang-barang yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan iptek. Padahal, mobil-mobil tersebut diikutkan dalam kejuaraan Shell EcoMarathon di Malaysia. Dua mobil super irit yang diikutkan UGM bahkan mendapatkan penghargaan inovasi teknik terbaik satu dan tiga, sedangkan dua mobil dari ITB masing-masing mendapatkan peringkat kedua di kelas Urban Concept dan Communication Award. Akibat tertahannya mobil tersebut, pihak UGM harus menyiapkan dana sebesar Rp. 120 juta untuk membayar bea sewa kontainer selama 2,5 bulan.6
Dari uraian tersebut, fasilitas dan insentif disediakan bagi pengembang dan pengguna teknologi untuk terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Namun demikian, yang masih terabaikan dari sisi insentif itu
6
37
http://www.tempointeraktif.com, diakses 15 Oktober 2011.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Fakta demikian menunjukkan, masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi tidak melulu pada soal regulasi yang mengaturnya. Kesiapan aparat dan birokrasi dalam memahami dan melaksanakan perangkat regulasi yang ada, justru sangat menentukan terlaksana dan tidaknya apa yang menjadi keinginan pembuat regulasi.
Namun demikian, karena kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi itu sangat bergantung pada kemauan dan kesanggupan pihakpihak yang terlibat, maka keberadaan legislasi tentu sekedar mengarahkan saja. Terkecuali pada kegiatan yang, setidaknya sebagiannya, didanai oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, atau juga diberikan fasilitas dan insentif tertentu,7 maka pemerintah tidak bisa memaksakan pihak yang terlibat dalam kegiatan iptek untuk mengembangkan atau menerapkan teknologi tertentu. Oleh karena itu, sekalipun undang-undang sudah memberikan arahan dan batasan mengenai peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan dan jaringan yang menghubungkan kesemua unsur tersebut, realisasi dari arahan petunjuk itu akan bergantung pada kemauan dan kesanggupan masing-masing pihak atau unsur kelembagaan.
Selain itu, terkait dengan dukungan pendanaan oleh pemerintah bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, pemerintah tampaknya perlu memberi perhatian yang lebih terhadap riset-riset dasar. Hal ini disebabkan pada riset dasar itu tidak ada prospek nilai ekonomi yang secara langsung diterima, kecuali hanya kepuasan secara akademik. Karena tidak langsung memberikan nilai tambah ekonomi, maka riset dasar menjadi kurang menarik perhatian bagi dunia usaha dan industri untuk ikut mendanainya. Sedangkan pada riset terapan, dikarenakan lebih tertuju pada manfaat-manfaat praktisnya, maka hasilnya pun jauh lebih bernilai secara ekonomis dibanding riset dasar; dan karenanya dunia usaha dan industri relatif lebih mau terlibat, antara lain dengan menyumbangkan dananya. Oleh karena itulah, dukungan pemerintah terhadap riset dasar mesti lebih diprioritaskan. Sekalipun tidak menyumbangkan nilai ekonomi secara langsung, tetapi dalam jangka panjang hasilhasil riset dasar akan sangat berguna, termasuk dalam memandu riset terapan.
Meski begitu, ada beberapa materi muatan dalam perundang-undangan di bidang iptek yang sebenarnya dapat ditingkatkan lagi keberdayaannya sehingga berpengaruh lebih maksimal bagi peningkatan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Di antara materi muatan UU No. 18 Tahun 2002, ialah yang berkenaan dengan pembentukan Sentra HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Sebagai unit kerja yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI jelas mempunyai kedudukan dan peran strategis dalam upaya melindungi dan mengelola pemanfaatan kekayaan intelektual yang ada di suatu perguruan tinggi dan lembaga litbang.
7.2. Iptek Dalam bidang iptek, upaya optimalisasi regulasi yang ada terus dilakukan dan dikembangkan untuk mendukung kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Melalui UU No. 18 Tahun 2002 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, ditentukan peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek. Dari perguruan tinggi dan lembaga litbang, badan usaha dan industri, pemerintah, sampai lembaga penunjang, kesemuanya sudah diarahkan peran dan tanggung jawab yang diembannya. Bahkan, agar kesemua unsur kelembagaan tersebut menghasilkan kinerja yang maksimal, ditekankan pula pentingnya suatu jaringan hubungan interaktif, dan diarahkan pula pola hubungan dalam jaringan tersebut.
Dalam upaya melindungi kekayaan intelektual yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat membantu peneliti di perguruan tinggi dan lembaga litbang bersangkutan untuk mendapatkan hak-hak kekayaan intelektualnya
7
38
Sebagai contoh, inventor yang telah diberikan paten, oleh pemerintah dilindungi hak-hak eksklusifnya dalam menggunakan invensinya itu. Di sini, karena inventor mendapatkan fasilitas dan insentif dari pemerintah, yaitu berupa jaminan perlindungan dalam penggunaan penemuannya, maka pemerintah punya kuasa untuk memaksa inventor untuk melaksanakan penemuannya itu di Indonesia.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
(HKI). Bagi kebanyakan peneliti, upaya mendapatkan HKI terlalu merepotkan. Selain itu, dalam menjalankan fungsi pengelolaan perlindungan ini, Sentra HKI juga akan menjadi bank data sekiranya ada klaim dari pihak lain terhadap kekayaan intelektual yang dikelolanya.
dialokasikan pemerintah, asalkan ada, dianggap sebagai anggaran yang cukup memadai itu. Barangkali karena materi muatan yang demikian itu sehingga alokasi anggaran penelitian dan pengembangan iptek masih sangat kecil. Dana riset di Indonesia termasuk yang terkecil di dunia. Sejauh ini, porsi dana riset Indonesia hanya 0,1 persen dari Gross Domestic Product (GDP), dengan besaran 10 triliun rupiah, atau 0,8 persen dari APBN. Dana yang ada itupun tersebar dalam berbagai kementerian.8
Sedangkan sebagai unit kerja yang mengelola pemanfaatan teknologi yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat menjembatani penggunaan teknologi tersebut oleh dunia usaha dan industri. Selain memperkenalkan teknologi yang ada itu kepada dunia usaha dan industri. Sentra HKI dalam menjalankan fungsi pengelolaan pemanfaatan ini juga bisa memberikan panduan mengenai pemanfaatan yang dapat dilakukan, dan mengelola hak-hak (HKI) peneliti dan perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam alih teknologi kepada dunia usaha dan industri.
7.3. Ekonomi Dalam bidang ekonomi yang secara umum merupakan aktivitas manusia atau badan usaha yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Beberapa instrumen kebijakan sudah dibuat untuk mendukung perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, seperti kebijakan penanaman modal, perindustrian, paten, UMKM, dan persaingan usaha yang sehat. Kewajiban perusahaan penanaman modal asing untuk menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia merupakan contoh kebijakan penanaman modal yang dimaksudkan terjadinya alih teknologi.
Oleh karena itu, untuk mendukung perlindungan dan penerapan teknologi, perlu diupayakan perbaikan berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI. Di luar aspek regulasi, pemberdayaan Sentra HKI dalam pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang perlu diupayakan dalam bentuk dukungan pendanaan oleh pemerintah. Hibah atau insentif pembentukan Sentra HKI, dan berbagai stimulan yang sifatnya penguatan kelembagaan Sentra HKI, perlu dilakukan secara terus menerus. Hal ini menjadi perlu dilakukan karena strategisnya fungsi Sentra HKI dalam mendukung penerapan teknologi, termasuk melalui alih teknologi, sehingga keberdayaannya perlu terus ditingkatkan.
Dalam kaitannya denga paten, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten perlu dibenahi lagi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, “pemegang paten wajib melaksanakan patennya di Indonesia”. Ini berarti, semua invensi yang didaftarkan hak patennya di Indonesia wajib untuk diproduksi atau diterapkan dalam kegiatan industri di Indonesia. Hal ini jelas merupakan ketentuan yang strategis, sebab dapat mendorong terjadinya alih teknologi ke dalam negeri sekaligus juga mendukung perkembangan industri di dalam negeri. Dari telaah perimbangan antara hak dan kewajiban, ketentuan yang demikian merupakan bentuk perimbangan atas kuatnya hak-hak individual yang dimiliki oleh pemegang hak paten.
Materi muatan lainnya yang perlu diberdayakan lagi adalah berkenaan dengan pembiayaan dalam kegiatan pemanfaatan teknologi. Pasal 27 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2002 menegaskan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akeselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek”. Meski ketentuan ini memberikan ruang bagi penyediaan pendanaan riset, namun ketentuan ini dapat pula dipandang sebagai keraguan pembentuk undang-undang dalam mengatur alokasi anggaran penelitian. Ini artinya, berapapun anggaran yang
Ketentuan tentang pelaksanaan paten sebenarnya sudah ada sejak UU Paten pertama (UU No. 6 Tahun 1989), dan tetap dipertahankan dalam UU Paten 8
39
Sebagaimana diungkapkan Ketua Komite Inovasi Nasional, Prof. Zuhal, Media Indonesia, 15 Juli 2011, “Kasihan, Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia”.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
berikut-berikutnya (UU No. 13 Tahun 1997 dan UU No. 14 Tahun 2001). Yang berbeda antara UU Paten yang pertama dengan UU Paten yang berikutnya, ialah dalam hal adanya pengecualian dari kewajiban melaksanakan invensi tersebut. Pada UU Paten pertama, yaitu UU Tahun 1989, disebutkan bahwa setiap paten harus dilaksanakan. Namun dalam UU Paten Tahun 1997, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten ini diberikan pengecualian, yaitu dalam hal pelaksanaannya secara ekonomi hanya layak dibuat dengan skala regional. Ini artinya, dengan alasan skala produksi yang masih regional, pemegang paten dapat tidak melaksanakan patennya di Indonesia. Dalam UU Paten Tahun 2001, ketentuan serupa tetap dipertahankan, bahwa pelaksanaan paten dapat dikecualikan untuk pembuatan produk atau penggunaan proses yang hanya layak dilakukan secara regional. Untuk mendapatkan pengecualian ini, di dalam UU Paten Tahun 1997 dan 2001 disebutkan harus melalui permohonan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.
Selain itu, karena kewajiban melaksanakan paten di Indonesia ini merupakan bagian dari upaya mengimbangi hak individual yang diberikan oleh negara, maka seharusnya juga bila dalam UU Paten dibuatkan sistem atau lembaga yang dapat mengawasi pelaksanaan paten tersebut. Selama ini, sistem yang agaknya berfungsi untuk melakukan hal itu adalah pembayaran biaya tahunan (annual fee) dalam pemeliharaan paten. Melalui pembayaran biaya tahunan, sedikit banyak akan diketahui paten yang diterapkan dan tidak dalam kegiatan industri. Logikanya, suatu paten yang tidak diterapkan dalam industri tentu tidak akan dibayarkan biaya tahunannya, karena hanya akan menghabiskan biaya saja bila biaya tahunan itu justru tetap dibayarkan. Namun hal ini dapat menjadi tidak logis, karena tidak dihindari pula suatu kenyataan bahwa orang akan tetap mendaftarkan biaya tahunan meski tidak memproduksinya di Indonesia, lebih-lebih karena oleh UU Paten yang berlaku sekarang, pihak yang bersangkutan diberikan hak eksklusif untuk mengimpornya. Sebagai pemilik monopoli dalam menyelenggarakan pengadaan produk di Indonesia, maka tentu bukan suatu hal yang memberatkan pemegang paten bila sekedar tetap membayar biaya tahunan.
Menurut Penjelasan Ketentuan Angka 9 UU Paten Tahun 1997 tentang Perubahan Pasal 18 UU Paten Tahun 1989 dan Penjelasan Pasal 17 UU Paten Tahun 2001, ketentuan ini untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan paten, sebab tidak semua jenis invensi yang diberi paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan, seperti industri di bidang farmasi dan elektronik. Apabila yang dimintakan pengecualian dari kewajiban melaksanakan paten tersebut terkait dengan obat atau farmasi, maka instansi yang berwenang adalah Departemen Kesehatan, sedangkan bila terkait bidang elektronik maka instansi tersebut adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Oleh karena itu, agar pelaksanaan paten di Indonesia benar-benar terealisasi, dan maksud dibentuknya UU Paten yaitu untuk mengembangkan industri dalam negeri juga dapat terwujud, sebaiknya dalam UU Paten yang dibentuk perlu mengatur agar diadakan suatu lembaga ataupun sistem yang berfungsi mengawasi pelaksanaan paten tersebut. Untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya industri di dalam negeri, maka kegiatan mengimpor sebaiknya tidak dimasukkan sebagai hak eksklusif, dan kalau tetap harus dimasukkan sebagai hak eksklusif sebaiknya diberikan batasan mengenai impor yang dapat dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan baru pengecualian impor tertentu sebagai hak eksklusif, yaitu impor produk farmasi. Ini artinya, importasi dapat dilakukan oleh siapa saja.
Berkaitan dengan adanya pengecualian itu, seharusnya ditetapkan batasan jangka waktunya. Sebab, jika pengecualian tersebut berlangsung terus menerus dengan tanpa batasan waktu, maka dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan dibentuknya UU Paten, yaitu terjadinya alih teknologi (bila penemuannya berasal dari luar negeri) dan berkembangnya industri di dalam negeri (Aulia, 2009).
Beberapa alasan yang setidaknya dapat digunakan untuk mendukung usulan ini adalah, pertama, importasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, agar berbagai produk yang diimpor 40
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
pasaran dalam negeri.11 Peningkatan produk impor ini juga tidak lepas dari perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, sehingga upaya menghambat, atau paling tidak menekan, masuknya produk asing ke dalam negeri, yang biasanya dilakukan melalui pengenaan tarif atau pembatasan kuota, sudah tidak dapat dilakukan lagi, karena bertentangan dengan isi perjanjian perdagangan. Begitu juga pembatasan pelabuhan yang dibolehkan dalam melakukan kegiatan impor, tampaknya juga tidak bisa menekan masuknya produk impor.
tersebut tidak dijual di dalam negeri dengan harga yang tinggi, maka sebaiknya tidak dilakukan secara monopoli oleh pemegang hak patennya saja. Kedua, importasi suatu produk yang diberi paten sebenarnya pada mulanya (UU Paten Tahun 1989) tidaklah dimasukkan sebagai hak eksklusif. Alasan yang dipakai saat itu adalah, bahwa unsur yang terpenting dalam sistem paten terletak pada aspek perlindungan hukum terhadap pemanfaatan hak tersebut di Indonesia, sehingga wajar bila persoalannya dipisahkan dari masalah impor, yang seperti juga ekspor, merupakan masalah tata niaga.9
Adanya peningkatan impor tersebut pada satu sisi sebenarnya bisa menjadi momentum bagi industri dalam negeri untuk memperbaiki daya saingnya sehingga dapat lebih kompetitif. Namun demikian, pada sisi lain, dengan kondisi infrastruktur yang jauh dari ideal, terutama pada jalur transportasi dan listrik, jelas menjadi sulit bagi industri dalam negeri untuk bersaing secara kompetitif. Biaya yang diperlukan untuk memenuhi infratsruktur transportasi dan listrik itu menjadi berlipat-lipat dari biaya yang seharusnya. Kondisi ini pada perkembangnnya jelas menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing dengan industri dari luar negeri, yang pada umumnya memiliki keunggulan di dua bidang itu, di samping keunggulan dalam bidang sumber daya manusia.
Selain itu pemisahan ini juga diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan paten dan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, serta kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.10 Ketiga, apabila UU Paten ditelaah secara keseluruhan, maka importasi suatu produk sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab, suatu invensi yang diberikan paten di Indonesia wajib untuk dilaksanakan pula di Indonesia, dan apabila tidak dilaksanakan dalam waktu tiga tahun maka paten yang diberikan dianggap batal demi hukum. Dengan demikian, impor suatu produk yang diberi paten jelas tidak diperlukan lagi, karena produk tersebut pasti akan diproduksi di Indonesia.
Oleh karena itu perlu diupayakan pembatasan impor, sembari di dalam negeri sendiri dilakukan perbaikan struktur dan infrastruktur industri. Upaya dalam membatasi impor tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan dengan pembatasan kuota atau pengenaan tarif yang tinggi, sebab sudah tidak dibenarkan lagi dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), di mana Indonesia merupakan bagian dari pesertanya sehingga terikat untuk memberlakukannya. Salah satu upaya yang dapat dibenarkan oleh GATT, ialah melalui tindakan pengamanan (safeguard measures).
Keharusan produksi di dalam negeri ini pula yang sebenarnya menjadi tujuan dari pembentukan UU Paten, yaitu untuk meningkatkan dan mengembangkan industri nasional. Digolongkannya kegiatan mengimpor sebagai hak eksklusif dalam paten, justru bisa menyebabkan pelaksanaan paten di dalam negeri tidak berjalan baik; dan kalaupun tetap terlaksana, maka patut diduga akan ada pelaksanaan paten yang sekedar menggugurkan kewajiban hukum saja, sementara penyediaannya secara massal tetap didatangkan dari luar negeri (Aulia, 2009). Masalah dalam kegiatan ekonomi (produksi dan distribusi) dalam kaitannya dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah semakin meningkatnya produk impor yang membanjiri
9 10
11
Penjelasan Pasal 20 UU Paten Tahun 1989. Penjelasan Pasal 21 UU Paten Tahun 1989.
41
Studi Bank Indonesia yang tertuang dalam Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014 menunjukkan laju pertumbuhan impor cenderung lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor. Pada tahun 2005 rata-rata pertumbuhan tahunan impor 18,11 persen, lebih besar dari ekspor, 16,86 persen. Pada tahun 2007 ekspor tumbuh 8,04 persen dan impor 8,90 persen. Begitu juga pada tahun 2008, ekspor tumbuh 15,24 persen dan impor 15,47 persen.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Apa yang disebut dengan tindakan pengamanan adalah “tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.12 Dalam tindakan pengamanan industri di dalam negeri itu, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menaikkan tarif masuk ataupun membatasi kuota impor. Hal ini berarti tarif bea masuk dan restriksi kuantitatif (kuota) masih tetap dibenarkan untuk dikenakan, tetapi hanya sebatas sebagai pelaksanaan tindakan pengamanan.
Dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010), investasi yang berlangsung di Indonesia ternyata 91,23 persen berlokasi di Pulau Jawa, 6,79 persen di Sumatera, sisanya menyebar ke daerah lain. Selain itu, investasi tersebut kebanyakan berada pada sektor sekunder, yaitu 78,15 persen, sedangkan tersier 13,21 persen, dan primer 8,61 persen. Hal ini berarti investasi yang berlangsung kebanyakan ada pada sektor perdagangan, dan tidak pada kegiatan industri (pengolahan) atau jasa.13 Berdasarkan fakta demikian, pemerintah perlu mengupayakan penyebaran investasi ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi investasi di daerah atau kawasan tertentu, justru akan semakin memperlebar kesenjangan pembangunan antar daerah. Instrumen kebijakan sebaiknya diarahkan pada penyebaran investasi ini. Perangkat regulasi yang berkenaan dengan investasi harus diarahkan pada penyebaran investasi ke berbagai wilayah, sehingga perkembangan pembangunan juga tidak terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja.
Sejauh ini upaya melindungi industri dalam negeri melalui safeguard sudah dilakukan. Hanya saja safeguard yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia masih sedikit sekali, yaitu terhadap keramik (ceramic tableware), dextrose monohydrate, dan paku. Padahal, dengan membludaknya produk impor sekarang ini, termasuk pada buah-buahan yang akhir-akhir ini sangat meresahkan karena menyebar luas hingga pasar tradisional, dan pada saat yang bersamaan industri dalam negeri berkembang lamban (sebagian pihak menyebut telah terjadi gejala deindustrialisasi), maka patut diduga kalau industri dalam negeri sedang mengalami kerugian akibat lonjakan produk impor. Oleh karena itulah, perbaikan dalam pengenaan safeguard perlu dilakukan oleh pemerintah.
7.4. Ketenagakerjaan Dalam upaya meningkatkan kegiatan yang berkenaan dengan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, diperlukan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat. Hal ini dikarenakan dalam tahap implementasinya nanti tenaga kerja juga yang menentukan bagaimana kegiatan perekayasaan, inovasi, atau difusi teknologi dikerjakan. Dalam menyiapkan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat itu, tidaklah cukup upaya dilakukan sebatas mendorong pertumbuhan investasi baru sehingga memberikan kesempatan kerja. Lebih dari itu, diperlukan dorongan besar untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki etos membangun ketrampilan, kerja keras dalam lingkup pribadi, komunitas, dan ikatan sosial (Suparno, 2009).
Masalah lainnya lagi yang berkenaan dengan upaya meningkatkan kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah distribusi investasi yang sekarang berlangsung. Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif termasuk yang tinggi. Nilai investasi secara nasional, juga menunjukkan pencapaian yang tinggi. Namun demikian, yang menjadi permasalahan sekarang adalah tidak meratanya penyebaran investasi itu.
12
Berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang ada sudah mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Sebagai contoh, adanya instrumen kebijakan yang ditujukan bagi pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan.
Pasal 1 butir ke-1 Keppres No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor.
13
42
Ahmad Erani Yustika, “Jebakan Investasi”, Kompas, 6 Juli 2010.
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Meski demikian, upaya lainnya di bidang ketenagakerjaan yang diarahkan untuk mendukung penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi, perlu terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan peran konsultan rekayasa. Sebagaimana diketahui, dalam pembangunan di Indonesia, terutama semenjak orde baru, banyak digunakan dana utang (loan) dari luar negeri. Kebanyakan utang tersebut datang ke Indonesia dalam bentuk rencana dan rancangan yang sudah jadi, termasuk dalam metode pelaksanaannya dan keterlibatan tenaga ahli (expert) asing. Dari perspektif inovasi, proses desain dan rekayasa beserta nilai tambah yang berasal dari luar negeri, atas biaya bangsa Indonesia, tentu tidak memberikan nilai tambah dan transfer teknologi bagi bangsa Indonesia (Besari,2008).
pengaturan organisasi dan prosedur di pabrikpabrik yang diperlukan untuk mencapai dan memeprtahankan daya saing internasional di suatu industri (Thee, 1996). Usaha teknologi lokal oleh mitra lokal pada suatu perusahaan patungan ternyata lebih terhambat dibanding pada perusahaan nasional. Sebab, dalam suatu perusahaan patungan, minat alih teknologi oleh mitra asing terbatas pada kerekayasaan produksi, yaitu pengoperasian pabrik yang sudah ada secara mulus. Sepanjang pabrik dapat dioperasikan secara mulus dan menghasilkan laba yang cukup memadai, maka penguasaan keahlian teknologi lokal oleh para mitra lokal mendapat prioritas yang rendah. Sedangkan pada perusahaan nasional, upaya penguasaan keahlian teknologi tidak hanya pada perekayasaan produksi, tetapi juga pelaksanaan proyek pemantapan kecakapan produksi (Thee, 1996).
Oleh karena itulah, perlu dibuatkan aturan yang mengharuskan desain dan rekayasa proyek yang didanai dari utang luar negeri berlangsung di dalam negeri, dengan jumlah tenaga ahli yang terbatas, dan harus dilakukan dengan kerja sama (join operation) bersama konsultan dalam negeri (Besari, 2008). Adanya aturan semacam ini dimaksudkan agar kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi itu dilakukan di dalam negeri, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia. Aturan yang demikian juga dimaksudkan untuk lebih memberdayakan ahli (konsultan) dari Indonesia sendiri untuk lebih terampil dalam kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, dan semakin terlibat dalam pembangunan nasional.
Oleh karena itu, agar tenaga kerja dalam negeri mendapatkan keahlian teknologi, maka dalam suatu perusahaan patungan harus diupayakan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan penguasaan teknologi yang ditujukan bagi mitra dan tenaga kerja lokal. Upaya ini, yang disebut sebagai upaya memahami, mengasimilasi dan menguasai teknologi, perlu dilakukan dalam konteks proses inovasi di dalam negeri, dikarenakan Indonesia, seperti juga negara-negara berkembang lainnya, adalah pengimpor teknologi dari negara-negara maju. Oleh karenanya, upaya yang diperlukan di sini adalah perlunya mengembangkan kemampuan untuk menggunakan teknologi secara efektif dan efisien. Kemampuan atau penguasaan teknologi ini tidak bisa dicapai secara otomatis, tapi harus dengan upaya teknologi, yaitu investasi dari seluruh sumber daya perusahaan yang terfokus dan berkelanjutan 14.
Selain itu, dalam suatu perusahaan patungan antara mitra lokal dan mitra asing, mesti dibuat sistem yang mendorong mitra lokal mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam penguasaan kecakapan teknologi.
Dengan upaya ini, penguasaan teknologi dalam perusahaan patungan itu tidak semata dikuasai oleh tenaga kerja asing, tetapi juga tertular dan tersebar kepada tenaga kerja domestik. Upaya ini pada masa
Kemampuan teknologis adalah kemampuan untuk memanfaatkan suatu teknologi secara efektif dan meliputi kemampuan untuk memilih teknologi yang tepat guna untuk menghasilkan sesuatu barang dan untuk menjalankan proses produksi secara efisien. Selain itu, kemampuan teknologi juga meliputi kemampuan mengadakan perubahan-perubahan dalam barang-barang yang dihasilkan, dalam proses-proses produksi dan dalam pengaturan-
14
43
Wawancara Kusmayanto Kadiman dengan Thee Kian Wie, “Nalar Ekonomi vs Nalar Teknologi, dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008)
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
sekarang perlu mendapat perhatian lebih karena relokasi perusahaan asing, dengan alasan efisiensi produksi dan pemasaran terus berlangsung.
beban yang sangat berat untuk bisa bersaing dengan produk impor. Kalau sudah tidak bisa bersaing, ancaman gulung tikar menjadi sangat terbuka.
7.5. Infrastuktur
Berbagai regulasi yang ada sebenarnya sudah diarahkan untuk mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Kegiatan penelitian berkenaan dengan riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapalan, jelas sangat mendukung bagi berkembangnya aktivitas pengembangan teknologi transportasi. Begitu juga dengan tuntutan untuk menggunakan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya dalam industri transportasi agar industri dalam negeri menjadi semakin berkembang.
Dalam upaya meningkatkan kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, infrastruktur jelas berperan sangat penting. Adanya infrastruktur yang baik dapat mendorong aktivitas rekayasa, inovasi dan difusi teknologi menjadi berkembang. Sebaliknya pula, infrastruktur yang tidak baik turut menghambat upaya penerapan teknologi. Hal ini dikarenakan dukungan infrastruktur itu akan sangat memengaruhi biaya produksi dan biaya pengangkutan. Apabila infrastruktur tidak baik, maka biaya produksi menjadi membengkak dan biaya transportasi pun meningkat. Hal ini berdampak pada daya beli masyarakat yang menjadi sangat rendah. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keharusan produk tersebut bersaing dengan produk sejenis yang berasal dari luar negeri. Karena keunggulan infrastruktur, dan tentu saja bidang-bidang lainnya, sehingga produk impor malah menjadi lebih laku di pasaran domestik, sementara produk dari dalam negeri tidak mampu bersaing.
Persoalan utama dalam infrastruktur adalah pada keseriusan dalam membenahi dan membangun jalur-jalur transportasi yang semakin terintegrasi antar-wilayah, bukan pada regulasinya. Infrastuktur lainnya yang sangat memengaruhi kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi, ialah berkenaan dengan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek. Penyediaan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek yang lebih memadai, karenanya perlu diupayakan. Terhadap pusat-pusat penelitian yang dipunyai pemerintah, yang memiliki kelengkapan fasilitas, sebaiknya harus diperluas lagi penggunaannya oleh masyarakat.
Kondisi infrastuktur itu, baik yang berkaitan dengan transportasi maupun listrik, menunjukkan perbedaan sangat tajam kalau diperbandingkan antar daerah. Di Jawa kondisinya relatif lebih maju, sementara di luar Jawa pada umumnya yang relatif bagus hanya di perkotaan saja. Padahal, untuk menunjang keberhasilan produksi suatu teknologi, dibutuhkan infrastruktur yang baik dari hulu hingga hilir. Jika ada di antara yang hulu dan hilir itu yang tidak baik, akan berakibat pada bertambahnya biaya produksi dan pengangkutan.
Keberadaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), misalnya, mesti diperluas penggunaannya. Meski sudah ada Peraturan Menteri Riset dan Teknologi yang mengatur penggunaan Puspiptek, yaitu Permenristek No. 02/M/PER/IV/2010, masih banyak yang belum mengetahui keberadaan Puspiptek. Oleh karenanya, sosialisasi dalam bentuk pameran, yang dimaksudkan untuk mengenalkan Puspitek perlu dilakukan, terutama di perguruan tinggi dan komunitas peneliti dan pencinta ilmu pengetahuan. Pengenalan berbagai produk iptek yang dikelola Puspitek dalam acara berlabelkan “Ranking 1” di salah satu stasiun televisi swasta nasional, bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya mengenalkan Puspitek kepada masyarakat luas.
Oleh karena itu, perbaikan infrastruktur menjadi sangat mendesak dilakukan. Terlebih lagi perdagangan bebas yang telah diratifikasi oleh Indonesia sudah mulai berlaku, misalnya untuk wilayah ASEAN dan Cina. Dalam perdagangan bebas ini, berbagai produk domestik harus bersaing dengan produk impor, yang relatif sudah tidak mendapatkan halangan lagi untuk memasuki pasaran dalam negeri, kecuali tarif yang sebenarnya sudah semakin menurun. Kalau infrastruktur tidak diperbaiki, industri dalam negeri jelas memikul 44
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
Adanya keterbukaan dalam aksesibilitas pusatpusat penelitian yang memiliki fasilitas yang memadai itu tentu bisa menjadi solusi dalam menjawab keterbatasan fasilitas pendukung di sebagian besar lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Dalam hal ini, peneliti yang tersebar dalam berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang, dapat memanfaatkan fasilitas penelitian yang ada di pusat-pusat penelitian yang memadai.
kegiatan penelitian iptek sendiri belum intensif dilakukan. Sekarang ini kritik terhadap kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi banyak disampaikan. Aktivitas perguruan tinggi yang lebih banyak pada bidang pengajaran, ditengarai telah menjadikan perguruan tinggi kurang responsif terhadap persoalan kemasyarakatan. Pada masa sekarang, peluang bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek sebenarnya sangat terbuka. Beralihnya pengelolaan sebagian kegiatan penelitian dan pengembangan iptek dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (DP2M) kepada perguruan tinggi dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), merupakan peluang yang besar bagi perguruan tinggi dalam meningkatkan perannya sebagai pengembang iptek. Namun demikian, tradisi meneliti yang tidak merata antar perguruan tinggi, ditambah lagi dengan banyak fasilitas penelitian yang tidak memadai, membuat desentralisasi pengelolaan penelitian dan pengembangan iptek bisa menjadi tidak efektif.
7.6. Pendidikan Peran penting pendidikan adalah sebagai “eskalator sosial ekonomi dan sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.15 Maju dan tidaknya suatu masyarakat dan bangsa, secara sosial maupun ekonomi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang dikembangkan di masyarakat dan bangsa itu. Peranan pendidikan yang demikian itu sangat terlihat sekali dalam jenjang pendidikan tinggi. Dalam pendidikan tinggi, perguruan tinggi punya kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, selain juga kewajiban dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Ketiganya, merupakan darma yang harus diselenggarakan oleh setiap perguruan tinggi, dikenal sebagai tridarma perguruan tinggi. Hanya saja memang, dari ketiga bidang tersebut, bidang pendidikan dan pengajaran masih menjadi yang paling menonjol.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan dalam meneliti ini adalah dengan menugaskan peneliti-peneliti unggul di perguruan tinggi ‘berperingkat internasional’ untuk membina penelitian yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang tradisi penelitiannya belum berkembang baik. Adanya pembinaan dari pihak eksternal ini penting sekali untuk melihat secara lebih obyektif kegiatan penelitian yang berlangsung di suatu perguruan tinggi, sehingga diketahui kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi.
Kebanyakan perguruan tinggi Indonesia masih dominan berperan sebagai universitas pengajaran (teaching university). Istilah universitas riset (research university), yang sekarang ini banyak digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia, belum terlalu lama digunakan oleh perguruan tinggi Indonesia sebagai identitasnya. Adanya perubahan sebutan ini, setidaknya menunjukkan perubahan orientasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dari yang sebelumnya lebih terkonsetrasi pada pengajaran, kemudian diarahkan untuk mengembangkan aktivitas riset. Meskipun juga harus dikatakan bahwa belum banyak sebenarnya perguruan tinggi yang berani menggunakan universitas riset sebagai identitasnya, disebabkan
15
Selain itu, penyelenggaraan magang bagi dosendosen di perguruan-perguruan tinggi yang tidak memiliki rekam jejak penelitian yang bagus di perguruan tinggi yang reputasi penelitiannya bagus juga perlu dilakukan. Upaya semacam ini setidaknya bisa menjembatani kesenjangan kualitas antar perguruan tinggi dalam menghasilkan penelitian yang berkualitas. Pengalaman yang diperoleh selama menjalani magang tentu menjadi pengalaman berharga ketika dosen yang bersangkutan kembali ke perguruan tinggi asalnya. Adanya program magang, sekaligus juga bisa menyegarkan kinerja dosen yang kebanyakan
Dikemukakan oleh Anies Baswedan pada Kompas, 25 April 2011, edisi pendidikan.
45
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
terjebak dalam suasana rutinitas pekerjaan di lingkungannya.
Pertama, permasalahan dan kendala yang dihadapi lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam upaya komersialisasi kekayaan intelektual dan hasil kegiatan litbang ke sektor industri dan dunia usaha, antara lain adalah, hasil penelitian banyak yang tidak siap diterapkan, keengganan badan usaha dan industri untuk berinovasi, dan tersumbatnya komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi menyebabkan berbagai hasil litbang maupun produk invensi dalam negeri sulit bersaing dengan produk serupa yang berasal dari impor.
Kritik yang juga sering disampaikan adalah tidak siapnya lulusan perguruan tinggi dalam pekerjaan praktis. Hal ini diperparah dengan jumlah pengangguran yang tinggi, yang sebagian besarnya merupakan lulusan pendidikan tinggi. Kombinasi lulusan yang tidak siap bekerja dan jumlah lulusan yang menganggur ini menunjukkan adanya masalah serius yang sedang dihadapi perguruan tinggi sekarang ini. Padahal, sebagai pendidikan profesional (professional education), pendidikan tinggi strata satu mengemban tugas dalam menyiapkan lulusan yang siap bekerja.
Kedua, berbagai produk legislatif yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dapat dikelompokkan dalam bidang keuangan /perpajakan, iptek, ekonomi, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan pendidikan. Dalam bidang keuangan, kebijakan yang dibuat adalah dalam bentuk pemberian fasilitas dan insentif kepada pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi. Pada bidang iptek, kebijakan dibuat dalam bentuk penegasan peran dan tanggungjawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek, serta penciptaan suatu jaringan hubungan interaktif. Pada bidang ekonomi, kebijakan dibuat untuk meningkatkan kegiatan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Termasuk dalam bidang ekonomi ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk invensi teknologi. Pada bidang ketenagakerjaan, kebijakan yang dibuat ditujukan pada pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan, serta juga jabatan fungsional peneliti. Pada bidang infrastruktur, kebijakan yang dibuat diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi transportasi, termasuk riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapalan. Selain itu, di bidang infrastruktur ini kebijakan juga ditujukan untuk mendorong perkembangan industri transportasi, dengan penggunaan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya. Di bidang pendidikan, kebijakan yang dibuat ditujukan untuk menegaskan tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan iptek.
Pada pendidikan jenjang strata dua dan tiga, perguruan tinggi bertugas memberikan pendidikan keilmuan (scientific education) ketimbang pendidikan profesional, sekalipun dalam pendidikan keilmuan itu pasti berperan juga dalam mendukung profesionalisme dalam pelaksanaan pekerjaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mendukung penyiapan lulusan yang siap bekerja ialah dengan menugaskan peserta didik untuk magang di tempat kerja. Sejauh ini, magang dalam masa studi hanya dikenali dalam jurusan teknik. Sedangkan pada jurusan lainnya, magang dianggap tidak lumrah. Meskipun ada, sangat sedikit fakultas hukum, misalnya, yang menugaskan mahasiswanya untuk magang di lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan lain sebagainya. Padahal, adanya magang, sekalipun misalnya hanya dua minggu, bisa mengenalkan peserta didik pada dunia pekerjaan. Oleh karena itulah, perangkat regulasi sebaiknya disiapkan untuk mendukung model-model kegiatan yang dapat meningkatkan kompetensi perguruan tinggi dan dosen dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, sekaligus juga model-model kegiatan yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik pada dunia pekerjaan. 8. Penutup Dari pembahasan di atas, pemetaan legislasi iptek dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINas menggaris bawahi beberapa hal, serta kebijakan regulasi yang diperlukan.
Ketiga, perbaikan dalam regulasi perlu terus dilakukan untuk mendukung kegiatan penelitian, 46
Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 28-47
pengembangan dan penerapan teknologi. Pada bidang keuangan, upaya regulasi yang masih harus dilakukan adalah insentif pengecualian dana penelitian yang diperoleh peneliti sebagai bagian dari obyek penghasilan yang dikenakan pajak. Pada bidang iptek, upaya regulasi yang perlu disiapkan ialah yang berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI, serta penegasan alokasi pendanaan penelitian oleh pemerintah. Di bidang ekonomi, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penetapan batasan jangka waktu dalam pengecualian penerapan paten dikarenakan skala produksi yang masih terbatas; penghapusan, atau paling tidak pembatasan, hak eksklusif inventor dalam melakukan impor; optimalisasi penggunaan tindakan pengamanan (safeguard) dalam mengamankan industri dalam negeri dari lonjakan impor; dan distribusi investasi yang menyebar ke berbagai daerah dan wilayah di Indonesia. Pada bidang ketenagakerjaan, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penegasan pengerjaan desain dan rekayasa di dalam negeri terhadap proyek-proyek yang didanai pemerintah; serta penegasan penyelenggaraan kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan kecakapan teknologi oleh mitra dan tenaga kerja lokal dalam setiap perusahaan patungan yang melibatkan pihak luar negeri. Di bidang infrastruktur, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah percepatan pembangunan infrastruktur, baik itu jalan, listrik, maupun fasilitas penelitian. Di bidang pendidikan, upaya regulasi perlu dilakukan pada pembinaan pengelolaan penelitian di perguruan tinggi oleh peneliti-peneliti handal dan teruji; magang bagi dosen, terutama dosen muda, di perguruan tinggi yang memiliki tradisi penelitian yang bagus; dan magang bagi peserta didik di dunia kerja.
dan penerapan iptek yang tersebar di dalam berbagai perundang-undangan. Hal ini akan memudahkan pemahaman berbagai regulasi yang ada itu.
Oleh karena itu berbagai upaya mendorong perkembangan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi perlu dilakukan secara komprehensif, integratif, dan berkesinambungan.
Rifai, T.B. 1986. Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi. Gramedia, Jakarta
Selain itu, pembentukan produk kebijakankebijakan pendukung termasuk juga petunjuk pelaksanaaan teknis, yang memuat berbagai kebijakan dalam penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, juga perlu dilakukan. Kebijakan yang lebih operasional ini dapat menjadi instrumen pelaksanaan kebijakan penelitian, pengembangan
Suparno, E. 2009. Strategi Ketenagakerjaan Nasional: Sebuah upaya meraih keunggulan kompetitif global. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Daftar Pustaka Aulia, M.Z. 2009. Politik Hukum dalam Pembentukan UndangUndang Paten. Tesis S2 pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Bank Indonesia. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014. Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Jakarta Besari, M.S. 2008. Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi. Salemba Teknika, Jakarta. Habibie, B.J. 1988. Penerapan Teknologi Canggih di Negara Berkembang: Kasus Indonesia. Dalam D. Noer dan I. Alisjahbana (editor): Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke-21. Dian Rakyat, Jakarta. Idrati, M.F. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius, Yogyakarta. Kadiman, K. 2008. Simfoni Inovasi: Cita & Realita. Foresight, Jakarta Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010 Nasution, B. 1999. Reformasi Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi. Makalah Diskusi Pembangunan Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Fakultas Hukum USU Medan, 25 September 1999. OECD, 2007, National Innovation Systems. Organisation for Economic Co-operation and Development, Paris. Pamuntjak, A. 1994. Dasar Pokok Alih Teknologi. Dalam Amir Pamuntjak et al. Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih Teknologi. Djambatan, Jakarta.
Sukito, W. 1984. Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi, Pengantar dalam Cendekiawan dan Politik. LP3ES, Jakarta.
Thee Kian Wie. 1996. Industrialisasi di Indonesia: beberapa Kajian. LP3ES, Jakarta.
47