KERJASAMA PENDIDIKAN ANTARA PERGURUAN TINGGI DAN INDUSTRI
wordpress.com
I.
Latar Belakang
Drucker (1993:34-35) berkata bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mutlak karena sumberdaya manusia yang terdidik menjadi sumber keunggulan dari negara tersebut. Menurutnya, “An abundant and increasingly supply of highly educated people has become the absolute prerequisitive of social and economic development in our world. It is rapidly becoming a condition of national survival… The uneducated is fast becoming an economic liability and unproductive. Society must be an “educated society” today – to progress, to grow, even to survive.
Randy R. Wrihatnolo
Kata pendidikan saja tidak cukup untuk membangun sumber keunggulan, tetapi membutuhkan predikat yang bermutu, sehingga pendidikan yang bermutulah yang menentukan arah keberhasilan membangun manusia yang unggul. Pendidikan bermutu membutuhkan proses pembelajaran yang berstandar dan diselenggarakan secara berkesinambungan dan sistematis. Proses pembelajaran yang berstandar akan membawa peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan agama, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan dan kecakapan hidup untuk meningkatkan nilai tambah bagi diri dan masyarakatnya (Cut Zahri Harun, 2008:619). Penulis merangkum berbagai pendapat bahwa pendidikan adalah faktor penentu (determinan) dari keunggulan kompetitif. Pendidikan adalah faktor penentu arah keberhasilan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang penulis hayati sebagai upaya menciptakan manusia Indonesia yang cerdas, sejahtera, terlindungi, dan bersolidaritas tinggi.1 Negara harus mengembangkan manusia Indonesia sebagai sumberdaya manusia yang vital. Bahkan secara tegas dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
sapadunia.files.wordpress.com.
40 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 40
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:24 AM
bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 2 Oleh karena itu, pendidikan sebagai tumpuan membentuk manusia unggul seharusnya menjadi prioritas tertinggi agar Negara dapat membangun keunggulan kompetitifnya. Mempersiapkan manusia unggul berarti mempersiapkan sumberdaya manusia sejak usia sekolah. Dalam jenjang pendidikan berarti menyiapkan mereka sejak duduk di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Mempersiapkan manusia unggul berarti mempersiapkan peserta didik sejak usia mereka antara 7 hingga 18 tahun. Lebih dari itu, mencetak bangsa unggul berarti memperhatikan mereka sedari dini hingga mereka menapaki usia produktif dan mendidik mereka sampai menjadi manusia unggul. Pendidikanlah yang dapat mendorong pembangunan sumberdaya manusia yang ahli dan berpengetahuan serta memiliki akses tidak hanya kepada ekonomi nasional namun juga ekonomi global. Hal ini dikarenakan pendidikan khususnya pendidikan menengah mampu mendorong pengembangan kemampuan berpikir formal, mendorong kemampuan memecahkan masalah abstrak dan berpikir kritis, dan membekali peserta didik dengan muatan yang relevan dengan dunia kerja (Keith Lewin dan Françoise Caillods, 2001:62).
II.
Persoalan Pendidikan versus Kesempatan Kerja
Sayangnya, apa yang dibayangkan secara konseptual di atas belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Kondisi di atas paling tidak digambarkan tiga fakta berikut. Pertama, World Economic Forum melaporkan peringkat dayasaing negara-negara di dunia dalam laporannya berjudul Global Competitiveness Report (GCR). Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi ke-72 dari 102 negara (WEF, 2004:xiv). Pada laporan GCR 2008/2009 Indonesia tercatat menempati ranking ke-55 dari 131 negara (WEF, 2008:10). Penilaian tersebut menunjukkan bahwa daya-saing Indonesia yang rendah merupakan fakta yang perlu diperbaiki. Daya-saing yang rendah ini merupakan akibat iklim berusaha domestik yang kurang kondusif, yang bermuarakan pada kualitas penyelenggaraan yang lemah karena faktor sumberdaya manusia yang buruk.
Kedua, angkatan kerja Indonesia sejak tahun 1988 hingga tahun 2008 senantiasa menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduknya, namun secara kualitas tidak terserap dengan baik ke dalam pasar kerja. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang cenderung fluktuatif selama periode 1988 hingga 2008. Jika pada tahun 1995 pernah mencapai angka 7,24 persen, maka pada pada tahun 2000 sempat menurun menjadi 6,08 persen dan kemudian melonjak menjadi 11,24 persen per November 2005. Sayangnya, kesuksesan menurunnya TPT ternyata tidak diikuti peningkatan kualitas penyerapannya. Hal ini diindikasikan oleh pendidikan angkatan kerja yang terserap ke lapangan
Gambar 1. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Tahun 1988-2008
Sumber: BPS, Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta: BPS, 2008. Data seri tahun 1988 hingga 2008 (per Februari) diolah.
41 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 41
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:31 AM
bersifat regulasi dan langkah tindak nyata3 ternyata berhasil menciptakan kesempatan kerja baru bagi para penganggur yang diindikasikan oleh menurunnya TPT hingga mencapai angka 8,46 persen per Februari 2008. Sektor yang memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja adalah industri manufaktur, namun sebagian besar masih pekerja lulusan pendidikan menengah. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri sektor industri manufaktur di Indonesia yang lebih membutuhkan pekerja terampil (skilled-worker) dibandingkan pekerja berpengetahuan (knowledged-worker). Sementara sektor jasa seperti perbankan, perhotelan, perdagangan, pemerintahan, dan industri penelitian dan pengembanganya memberikan kontribusi terbesar dalam hal penyerapan pekerja berpengetahuan. Padahal potensi penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi ke dalam sektor industri -dalam arti luas yang bermakna perusahaan- yang sudah maju masih sangat besar.
kerja. Jika penyusun membandingkan wajah pengangguran di tahun 2002 (per November 2002) dengan tahun 2007 (per Februari 2007), maka penulis menemukan bahwa pengangguran dengan pendidikan tinggi --terutama universitas dan diploma I/II-- antara tahun 2002 dan 2007 ternyata pertambahannya meningkat lebih tinggi dibandingkan pengangguran kelompok tidak/belum pernah sekolah dan belum/tidak tamat SD. Ketiga, dalam kurun waktu 1988 hingga 2008, jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi ternyata meningkat 10 kali lipat padahal kesempatan kerja untuk mereka hanya meningkat 8 kali lipat. Sementara itu dalam hal sama untuk angkatan kerja berpendidikan dasar ke bawah meningkat 5 kali lipat padahal kesempatan kerjanya hanya meningkat 1 kali lipat. Kesempatan kerja ternyata lebih terbuka bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi daripada angkatan kerja berpendidikan dasar. Padahal, upah yang diterima pekerja lulusan pendidikan tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lulusan pendidikan dasar.
Sektor industri yang sudah maju (advanced industry) berpotensi menyerap tenaga kerja berpendidikan tinggi, karena sektor industri maju mempertimbangkan (1) peningkatan efisiensi produksi, (2) peningkatan kualitas produksi, (3) proses produksi yang ramah lingkungan, dan (4) responsif terhadap kebutuhan pasar. Persyaratan demikian hanya dapat dipenuhi apabila industri mempekerjakan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Sayangnya, angkatan kerja berpendidikan tinggi yang siap pakai adalah sangat langka. Oleh sebab itu, suatu perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan tinggi bermutu dan menjamin lulusannya siap pakai adalah sangat dibutuhkan keberadaannya. Namun, perguruan tinggi semacam itu juga ternyata masih langka di Indonesia.
Gambar 2. Peningkatan Kesempatan Kerja dibandingkan Peningkatan Pendidikan Angkatan Kerja dalam 20 Tahun (1988-2008)
9
10
8 6 5
4 3
3
Berdasarkan dua identifikasi permasalahan di atas, maka penulis mengajukan dua perumusan masalah. Pertama, penulis melihat bahwa faktor manusia dalam pembangunan belum memperoleh perhatian serius karena masih jarangnya perguruan tinggi yang memperhatikan seksama kecenderungan dunia kerja dan perkembangan industri. Perguruan tinggi kurang menghasilkan lulusan yang siap kerja. Kedua, penulis memandang bahwa penyelenggara perguruan tinggi kurang menerapkan konsep dan model penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dapat memberikan kompetensi “layak pakai” bagi lulusannya. Berkenaan dengan persoalan di atas, maka penulis selanjutnya akan membahas pentingnya faktor manusia dan pendidikan dalam pembangunan; dan menjelaskan pentingnya kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri/perusahaan.
4
3 2 Universitas
Diploma
SMTA Kejuruan
SMTA Umum
SMTP
SD dan SD ke Bawah
1
Pendidikan Angkatan Kerja Kesempatan Kerja Menurut Kelompok Pendidikan Sumber: BPS, Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta: BPS, 2008. Data seri tahun 1988 hingga 2008 (per Februari) diolah.
III. Faktor Manusia dan Pendidikan Dalam Pembangunan
Lonjakan TPT pada tahun 2005 merupakan dampak ikutan kondisi krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998 dan masih terasa dampaknya hingga tahun 2005an. Berbagai kebijakan Pemerintahan Presiden Yudhoyono yang meluncur pada pada tahun 2006 hingga 2007 baik yang
Berbagai studi pembangunan mulai dari pendekatan pembangunan (ekonomi) neo-klasik seperti Solow (1958:27), Kendrick (1990:41), dan Becker (1994:22) menekankan bahwa
42 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 42
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:31 AM
faktor manusia adalah faktor yang penting selain pemanfataan teknologi serta pengembangan dan modal serta pembentukannya. Model pembangunan ekonomi klasik mendapatkan pembenaran ketika pendekatan korporasi yang dipelopori oleh HarodDomar (1972:54) meletakkan pandangannya pada peran penting perdagangan internasional dan perusahaan multi-nasional sebagai penggerak utama pembangunan. Model ini banyak dikenal di negara-negara maju yang juga dikenal sebagai negara OECD (Overseas Economic Cooperation and Development). Model ini dengan baik diungkapkan oleh Arthur Lewis dalam Robert L. Tignor (2005:61) yang menempatkan manusia sebagai faktor penting kemajuan ekonomi suatu negara. Aliran ini percaya bahwa perekonomian negara semakin cepat maju apabila negara menempatkan pembangunan industri sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan. Hal ini berarti menempatkan faktor sumberdaya manusia dan korporasi sebagai pemegang kuncinya. Pembangunan kualitas sumberdaya manusia merupakan proses jangka panjang. Ia harus dimulai sejak dini warga negara masih menapaki jenjang pendidikan asar hingga merajut ke jenjang pendidikan menengah dan memperdalamnya di jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan skala jenjang pendidikan, maka penyiapan jenjang pendidikan menengah sangat penting dalam pembentukan calon-calon angkatan kerja yang handal.4 Pengembangan kualitas sumberdaya manusia antara jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi merupakan tahap terpenting dalam pembentukan keterampilan dan kemampuan manusia. Sanjay Lal (1995:34-39) menemukan bahwa pendidikan menengah sangat menentukan kemana arah lulusannya setelah itu ke dalam pasar kerja. Daya serap pasar kerja sangat ditentukan oleh kemampuan yang dibentuk semasa menempuh pendidikan menengah. Pendidikan tinggi akan semakin menempati titik pentingnya ketika pengetahuan dan keterampilan memerlukan penajaman pengalaman teknis yang lebih terarah (Bernard Meyer, 1998:92). Berkenaan dengan persoalan tersebut, penulis mencoba mengulas apa saja yang penting ketika kita mencoba menghubungkan antara aspek pendidikan dan pasar kerja dalam dimensi kerjasama pendidikan. Karena di sinilah sumber muasal penciptaan manusia yang unggul. Dalam kasus Indonesia, menciptakan manusia yang unggul sangat penting, karena hal ini dapat memutus rantai permasalahan dapat bermula dari lemahnya penghayatan moral dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini kemudian menimbulkan masalah krisis kualitas manusia Indonesia sehingga menghasilkan manusia Indonesia dengan penguasaan ilmu yang rendah sehingga tidak mempunyai kompetensi untuk mengisi pembangunan. Masalah kualitas manusia Indonesia yang berkompetensi rendah itu menjadikan manusia Indonesia tidak mampu mengelola sumberdaya nasional secara efektif, sehingga menimbulkan masalah kesejahteraan rakyat Indonesia. Krisis kesejahteraan rakyat ini menciptakan peluang terjadinya
43 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 43
krisis moral dan norma. Hamzah Haz (2003:24) demikian juga Todaro (2004:411) menyimpulkan bahwa rantai masalah akan terus berlanjut dan berputar-putar apabila tidak diintervensi.5 Gambar 3. Rantai Permasalahan Pembangunan Penghayatan Moral dan Norma Lemah
Kesejahteraan Rakyat Buruk
Penguasaan Ilmu Rendah
Pengelolaan Sumberdaya Nasional Lemah
Sumber: Hamzah Haz (2003:7). Lebih lanjut Hamzah Haz (2003:7) berpendapat bahwa peningkatan moral dan norma dapat dilakukan melalui pendidikan. Penguasaan ilmu dapat ditingkatkan melalui pendidikan yang tepat guna hingga perguruan tinggi. Pengelolaan sumberdaya nasional akan lebih efektif apabila para pemimpin bangsa paham tentang makna pendidikan dalam konteks pembangunan. Dan kesejahteraan rakyat dapat tumbuh apabila masyarakat semakin cerdas dalam menyikapi situasi dan beradaptasi dalam situasi yang sedang terjadi secara bijaksana, dan hal ini bisa muncul apabila seluruh warga masyarakat memahami keterampilan hidup yang tentunya diperoleh dari proses pendidikan (Hamzah Haz, 2003:24-41). Rantai dapat diputus apabila salah satu titiknya diintervensi dengan efektif.
IV. Kerjasama Pendidikan Perguruan Tinggi dan Industri/Perusahaan Michael Porter (1990) mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa bergeser dari hal-hal yang sifatnya kasat mata seperti sumberdaya alam, ke arah penciptaan dan asimilasi pengetahuan. Ia juga mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa saat ini sangat ditentukan oleh kapasitas belajarnya. Konsep keunggulan kompetitif Porter mensyaratkan penciptaan dan asimilasi pengetahuan ini sebagai ujung tombak inovasi atau tumbuhnya pengetahuan baru. Inovasi inilah yang akan memberikan keunggulan kompetitif. Bangsa yang tenggelam dengan kejayaan masa lalu dan sulit berinovasi, tidak akan pernah mencapai suatu keunggulan kompetitif. Porter (1990:63) dengan tegas menuliskan bahwa kesejahteraan suatu bangsa harus diciptakan, bukan diwariskan. Keunggulan bangsa bahkan oleh Naisbitt (1994:106) diramalkan salah satunya justru bangkit
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:36 AM
dunia usaha; dan (5) sistem manajemen yang mandiri (Norbert Meyer dan Lutz Refardt, 1998).
dari menggobalnya perusahaan multinasional. Kelak, menurut Naisbitt, persaingan antar-negara tidak terjadi lagi, namun yang terjadi adalah persaingan antar-perusahaan multinasional dalam kancah global, misalnya persaingan antara Petronas dan Pertamina dalam memperebutkan hak pengelolaan eksplorasi minyak di Iran.6
Konsep kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi menjadi pusat keunggulan (center of excellent). Lembaga penyelenggara meliputi satu unit lembaga perguruan tinggi yang mempunyai pusat-pusat pelatihan keunggulan (training center) yang menyebar di beberapa tempat. Konsep ini digagas oleh Bockelmann (2001). Penyebaran pusat-pusat keunggulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa potensi pasar kerja bukan berada di satu tempat saja, namun berada di beberapa tempat.8 Pusat keunggulan merupakan pusat pelatihan yang memanfaatkan teknologi tinggi. Teknologi tinggi yang diadopsikan harus teknologi yang dapat menjadikan para mahasiswa berlatih dan membiasakan diri melakukan proses produksi yang memanfaatkan tingkat akurasi tinggi. Lembaga penyelenggara harus mempertimbangkan keuntungan dari jasa pelatihan yang diberikan. Untuk itu lembaga penyelenggara harus mempertimbangkan bahwa: (1) pelatihan dilakukan sesuai permintaan dan relevan dengan kompetensinya; (2) meningkatkan kualitas pekerja dan pekerjaan mandiri; (3) memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu; (4) menyediakan investasi dan biaya operasional untuk ruang kelas, ruang kantor, dan perabotannya.
Beberapa bentuk kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri pada dasarnya dapat diikuti oleh munculnya universitas perusahaan (corporate university) di tahun 1960an di Amerika Serikat. Universitas perusahaan merupakan kepanjangan tangan atau disponsori perusahaan tertentu untuk menjalankan misi perusahaan induknya, yaitu menjalankan penelitian dan pengembangan dan menyediakan tenaga kerja bermutu yang dibutuhkan perusahaan/industri (Peter Jarvis, 2001:30-31). Bentuk-bentuk kerjasamanya pada awalnya lebih bersifat kebutuhan dibandingkan keilmuan semata (Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie, 1999:140). Konsep penyelenggaraan kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri di Indonesia dekat dengan model sambung-sesuai (link and match) yang digagas oleh Wardiman Djojonegoro (1990). Konsep ini bukan hal baru khususnya di Jerman dan Amerika Serikat.7 Di Indonesia, konsep ini diadopsi menjadi konsep “teaching factory” yang didalamnya mengandung makna kerjasama antara perguruang tinggi, sekolah menengah kejuruan, dan industri. Model ini secara relatif tidak mempunyai standar. Namun terdapat ciri-ciri sebagai berikut: (1) digerakkan industri yang dipandu oleh kebutuhan pasar (deman driven); (2) menghasilkan kompetensi yang memenuhi standar dan diakui secara nasional; (3) menawarkan beragam daftar, keluaran dan penyampaian yang mudah; (4) mengintegrasikan antara pelatihan, pendidikan, dan
Kedua, bidang kerjasama harus spesifik. Gert W. Thoma (2000) mengatakan bahwa lembaga penyelenggara harus menjalin kerjasama dengan dunia industri (pabrikan) dalam bentuk proyek percontohan, dimana lembaga penyelenggara (perguruan tinggi) dan industri (1) melakukan penilaian kualitas produk, diversifikasi produk, perbaikan proses produksi dan bahkan mendukung dalam pemasaran. Mahasiswa akan dilibatkan dalam proses ini; (2) melakukan sub-kontrak dengan industri untuk melakukan proses produksi; (3) menerapkan penelitian dan pengembangan yang melibatkan mahasiswa. Oleh karena itu, bidang kerjasama antara perguruan tinggi penyelenggara dan lembaga mitranya (perguruan tinggi luar negeri) harus spesifik, misalnya bidang mekatronik, mesin mobil, elektronika, atau furnitur. Ketiga, sertifikasi berstandard internasional. Lulusan pendidikan tinggi didik untuk memenuhi kualifikasi sarjana yang bersertifikat dengan standard internasional yang diakui dan dibutuhkan dunia industri. Meyer (2000) mengatakan bahwa untuk itu diperlukan pelatihan bagi para mahasiswa dengan standard minimal pendidikan seperti: (1) kemampuan manajemen organisasi, komunikasi, dan pemasaran; dan (2) mengikuti pelatihan bersertifikasi ISO (seperti ISO 9000, 9001, 9002, dan 14000); (3) memaksa pemerintah untuk membebaskan lembaga penyelenggara dalam negeri dari beberapa persyaratan yang membatasi ruang gerak pengelolaan keuangan internal.9
www1,istockphoto.com
44 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 44
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:37 AM
Gambar 4. Lembaga Pendidikan yang Hanya Memberikan Gelar
Sumber: Kedaulatan Rakyat, 12 Mei 2007. Terjemahan: “Orang itu gelarnya Dr, Ir, Drs, MM, MA, MSc. Hebat ‘kan?” “Jangan heran, sebab ijazahnya semua palsu, semua membeli, tesisnya menyontek.”
Keempat, para pihak yang terlibat dalam kerjasama harus menyusun rencana bisnis (bussiness plan). Status kerjasama semua pihak harus sudah jelas dan dibuatkan akta perjanjian kerjasamanya. Perguruan tinggi akan bertindak sebagai lembaga pembina. Sementara itu lembaga binaan industri yang merupakan kepanjangan tangan dari kebutuhan industri akan bertindak sebagai tempat pelatihan yang berperan melakukan pelatihan proses produksi. Dengan adanya rencana bisnis maka perguruan tinggi diajak berpikir lebih realitas tentang rencana kerja mereka yang harus dimanajemeni dengan baik (Andreas Koenig, 2000). Kelima, fasilitasi untuk berwirausaha. Bentuk keterampilan yang disediakan oleh lembaga penyelenggara perlu mempertimbangkan kebutuhan industri kecil-menengah. Sektor ini merupakan sektor yang mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan industri kecil-menengah difokuskan sesuai tingkat keahlian untuk tenaga kerja industri skala tersebut, memberikan jasa konsultasi dan pelayanan dalam bidang teknologi dan administrasi bisnis dalam skala tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar mahasiswa lulusannya selain dijamin memasuki pasar kerja juga mempunyai kemampuan mendirikan sendiri usaha mereka apabila mereka memilih berwirausaha sendiri (Michael H. Wagner, 1999).
45 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 45
V.
Analisis dan Rekomendasi
Menurut pendapat penulis, industri manufaktur masih berpotensi menyediakan kesempatan kerja yang sangat luas, namun angkatan kerja berpendidikan tinggi yang tersedia di pasar kerja masih langka. Meski prospek kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi cenderung meningkat dibandingkan kesempatan kerja lulusan pendidikan yang lebih rendah, namun prospek ini belum sepenuhnya dianggap sebagai peluang “bisnis” bagi sejumlah lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Hal ini dibuktikan oleh perguruan tinggi yang masih mengutamakan ijazah dan gelar dibandingkan memberikan jaminan mutu “pasti bekerja” (Gambar 4). Analisis berikutnya adalah adanya kenyataan jumlah penganggur lulusan pendidikan tinggi yang ternyata masih tinggi. Jika pun ada kesempatan kerja bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi, maka upahnya pun sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi mereka senjang dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada. Sebagai akibatnya, pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Umum dan SLTA Kejuruan lebih dipilih oleh dunia kerja daripada lulusan pendidikan tinggi. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia perguruan tinggi.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:43 AM
Catatan
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis merekomendasikan perlunya mengajak bahkan “memaksa” dunia perguruan tinggi untuk melakukan kerjasama pendidikan dengan industri/ perusahaan. Dengan “memaksa” melakukan kerjasama pendidikan, maka penyelenggara perguruan tinggi akan belajar beberapa hal.
Uraian aslinya adalah: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV. 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3 Lihat pencapaian pembangunan nasional dalam Bappenas, Laporan Perkembangan Empat Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 20042009) Tahun 2008, Bappenas, 2008. 4 Jenjang pendidikan formal ditempuh sejak pendidikan dasar, penidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan masa tersingkat dari jenjang pendidikan yang diselenggarakan dan yang ditempuh oleh warga negara. Baca UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 5 Todaro menyebutnya sebagai vicious cycle (lingkaran setan) yaitu suatu situasi yang merlibatkan sejumlah persoalan pelik yang tidak diinginkan dan saling memperparah satu sama lain sehingga seakan-akan tidak bisa diatasi dan seolah-olah merupakan proses tanpa ujung yang berlangsung terus-menerus. 6 Baca Kompas, 12 Agustus 2008. 7 Baca Mark Allen (editor), The Corporate University Handbook: Designing, Managing, and Growing a Succesfull Program: With Examples from Motorola, Schwab, Toyota, and Others Leading-Edge Organizations, New York: Amacom, 2002. 8 Potensi pasar kerja berada di lima provinsi, yaitu Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 9 Seperti kebebasan untuk tidak mengikuti ketentuan PNBP, Keppres 80/2004, dan pembebasan bea masuk impor barang mewah bagi barang modal berteknologi tinggi dari lembaga mitra luar negeri. 10 Kolom ”Gaji Lulusan Perguruan Tinggi Kecil”, Kompas, 12 Agustus 2008. 1
Pertama, perguruan tinggi akan memperbaiki manajemen pendidikan mereka agar go-industrial society dan bahkan gointernational untuk menjadikan manajemen mereka lebih baik, ditinjau dari pengelolaan akademis, pendidikan mahasiswa, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi akan lebih efektif menyelenggarakan proses pendidikan yang berguna. Kedua, kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri akan menjadikan perguruan tinggi lebih mandiri. Apa yang disediakan perguruan tinggi pun akan menemukan titik temunya dengan kebutuhan industri/perusahaan. Perguruan tinggi akan dengan leluasa mengembangkan penelitian dan pendidikan, sementara itu industri akan memperoleh manfaat yang diperlukannya dari perguruan tinggi baik dalam bentuk hasil penelitian maupun penyediaan tenaga kerja yang berkuallifikasi. Dan ketiga, konsep Tri Darma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat berjalan setali tiga uang sekaligus apabila kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri/perusahaan dapat diwujudkan secara efektif. Kerjasama pendidikan harus berada dalam tiga area itu.
VI. Kesimpulan Tulisan ini mengajarkan kepada kita bahwa, pertama, pendidikan merupakan wahana terpenting untuk meningkatkan kapasitas manusia dalam pembangunan dan sekaligus merupakan cara terbaik untuk memutus persoalan pembangunan. Kedua, kerjasama pendidikan antara pendidikan tinggi dan industri/perusahaan merupakan salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kapasitas manusia. Ketiga, bangsa yang unggul ditandai oleh kehadiran industri/ perusahaan multinasional yang mempunyai dayasaing global. Oleh karena itu, kerjasama pendidikan antara pendidikan tinggi dan industri/perusahaan yang terbaik adalah ditujukan untuk mencetak angkatan kerja yang dapat mengisi kebutuhan industri/perusahaan. Randy R. Wrihatnolo adalah staf pada Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral, Bappenas.
46 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 46
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:44 AM
Daftar Bacaan
Andreas Koenig, The Assesment of Institutional Set-up for the Training Center, Geneva: KfW, 2000. Bernard Meyer, Peluang Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Manufaktur, UNIDO, 1998. Cut Zahri Harun, Sumberdaya Pendidikan Merupakan Penunjang Utama dalam Menghasilkan Manusia Unggul melalui Program Sekolah Binaan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Juli 2008, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Dietrich Bockelmann, Sector and Pre-feasibility Study Regarding The Indonesian-German Institute, Geneve: Kredinstalt fur Wiederaufbau (KfW), 2001. Gary Stanley Becker, Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, Chicago: University of Chicago Press 1994. Gert W. Thoma, Indonesian-German Programme on Economic and Human Resource Development, Jakarta: GTZ, 2000. Hamzah Haz, Menggerakkan Kekuatan Bangsa, Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden RI, 2003. Hans Meyer, The Assesment of Potential Teaching Factory and the Training Center, Jakarta: GTZ, 2000. H. Meadows, The Limits to Growth, New York: Universe Books, 1972. John Kendrick, Personal Productivity: How to Increase You Satisfaction in Living, Vancouver: McGraw-Hill 1990. John Naisbitt, Patricia Aburdan, Megratrends 2000, New York: Penguin Books, 1994. Keith Lewin dan Françoise Caillods, Financing The Development of Secondary Education in Developing Countries, dalam Journal “Prospects” volume XXXI, no. 1, March 2001 (UNESCO: Paris). Mark Allen (editor), The Corporate University Handbook: Designing, Managing, and Growing a Succesfull Program: With Examples from Motorola, Schwab, Toyota, and Others Leading-Edge Organizations, New York: Amacom, 2002. Michael Porter, The Competitive Advantage of Nations, New York: Free Press, 1990. Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Bab 2, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Michael H. Wagner, Advanched Manufacturing Technology for Smale and Medium Scaled Industry, Hamburg: GTZ, 1999. Norbert Meyer dan Lutz Refardt, Economic Development Through Qualification: A Teaching Factory, Bonn: BfZ, 1998. Peter F. Drucker, The Post Capitalist Society, Singapore: McGraw and Hill, 1993. Peter Jarvis, University and Corporate University: The Higher Learning Industry in Global Society, London: Kogan Page Limited, 2001.
47 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 47
Robert Solow, Growth Theory: An Exposition, New York: Wilkinson Publisher, 1958. Robert L. Tignor, W. Arthur Lewis and the Birth of Development Economics, Princeton University Press, 2005. Sanjay Lal, Industrialisasi di Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, dan Thailand, New York: UNIDO, 1995. Sheila Slaughter, Larry L.Leslie, Academic Capitalism: Politics, Policies, and The Entrepreneurial University, London: Johns Hopkins University Press, 1999. Wardiman Djojonegoro, Pendekatan Link and Match dalam Pengembangan Universitas Unggulan, Keynote Speech Seminar Nasional Profesionalisme Perguruan Tinggi. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), 1990.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:48 AM