Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
EKSISTENSI TOKOH PEREMPUAN DALAM DONGENG SNEEWITTCHEN KARYA GRIMM BERSAUDARA Devi Ambarwati Puspitasari Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya Abstract Sneewittchen story by Grimm brother is a story that focuses on women characters. To reveal the existence of women in the story, Existentialism; a theory by Jean Paul Satre is used in the analysis. The form of existence in this story is Atheis existent. Sneewittchen character is the depiction of threatening forms to the beauty and immortality of her step mother (die Königin). These threatening need to be destroyed by killing Sneewittchen. In Atheis existent, killing is permitted in the sense of keeping one’s existence. Keywords: evil, threatening forms, freedom
Pendahuluan Istilah eksistensi menjadi sebuah istilah yang semakin akrab di telinga akhir-akhir ini. Setiap orang ingin diakui eksistensinya dengan berbagai cara. Untuk menunjukkan eksistensinya beberapa orang bahkan melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, misalnya saja dengan berbagai usaha memecahkan rekor hingga tercatat di Museum Rekor Indonesia seperti yang dilakukan tidak hanya oleh individu saja, tetapi juga institusi. Jika ditanya mengenai alasan ingin tedaftar dalam catatan MURI, maka akan muncul jawaban bahwa adanya keinginan agar masyarakat mengetahui akan eksistensinya. Eksistensi atau aktualisasi diri menurut istilah Sarte dalam Hasan (1996: 43) merupakankebutuhan tertinggi yang ingin dicapai setiap individu. Setiap individu dipastikan memiliki kebutuhan terhadap pengakuan keberadaannya dalam masyarakat, yang kemudian menjadi salah satu bagian dari masyarakat itu sendiri. Sebagai sebuah fenomena dalam masyarakat, hal itu tentu juga mempengaruhi kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai salah satu perwujudan kebudayaan sekaligus merupakan cerminan keadaan sosial sebuah masyarakat menjadi sebuah alat yang dapat dipergunakan untuk mencermati gejala sosial yang muncul. Oleh karena itu,artikel ini akan berusaha mencermati gejala sosial tersebut melalui salah satu karya sastra yang diasumsikan berbicara mengenai eksistensi, khususnya dalam sudut pandang perempuan dalam dongeng Sneewittchenkarya Grimm bersaudara. Dongeng mempunyai kekuatan yang besar untuk terus hidup dan tetap populer ditengah masyarakat modern. Umumnya, cerita-cerita di dalam dongeng di berbagai negara muncul tanpa diketahui siapa pengarangnya dan kapan cerita tersebut terjadi. Sejak ratusan tahun silam, dongeng hidup sebagai hiburan untuk anak-anak yang diceritakan oleh orang tua mereka. Tanpa disadari, dongen telah menjadi salah satu bentuk warisan budaya dari orang dewasa kepada anak-anak. Kegiatan tersebut terus berlanjut dan berulang, seakan menjadi suatu kebiasaan yang dilakuakan oleh manusia dan dongen menjadi bagian dari budaya suatu tempat atau daerah. 28
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Kekuatan dan kepopuleran dongen yang terus hidup di era modern salah satunya terletak pada eksistensi tokoh-tokoh perempuan yang dimiliki dongeng tersebut. Eksistensi tokoh perempuan dapat hidup di dalam pemikiran masyarakat modern melalui level imajenasi. Secara umum, dongeng sebenarnya meninggalkan kesan imajenatif di dalam otak manusia, karena terdapat begitu banyak hal atau peristiwa yang tidak ada di dalam kehidupan seharihari masyarakat modern. Kesan tersebut tercipta karena perbedaan peristiwa pada masa lampau dan masa kini, serta kemustahilan terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam dongeng tersebut di era modern. Namun, eksistensi tokoh perempuan di dalam dongeng sesuangguhnya adalah bentuk realitas kehidupan manusia. Ratusan tahun silam atau pun era modern seperti saat ini, eksistensi tokoh perempuan tetap bagian di dalam kehidupan manusia (Lüthi, 1970: 59-60). Salah satu dongeng yang memiliki kekuatan untuk terus hidup dan populer di era modern ini adalah kumpulan dongeng karya Grimm bersaudara. Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), dan Rapunzel adalah beberapa dongeng populer yang berasal dari Jerman dan telah dikumpulkan serta ditulis dalam bentuk buku kumpulan dongeng. Grimm bersaudara adalah orang pertama yang membukukan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang ditulis dalam versi asli cerita rakyat Jerman. Buku kumpulan dongeng tersebut terdiri dari dua jilid, yaitu Kinder und Hausmärchen Band 1 (Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 1) dan Kinder und Hausmärchen Band 2 (Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 2). Buku tersebut diterbitkan tahun 1812 di Jerman dan ditulis dalam bahasa Jerman. Pada tahun 2012 lalu, buku kumpulan dongeng milik Grimm bersaudara telah berusia 200 tahun dan hampir semua orang di dunia telah mengenal dongeng-dongeng dari Jerman tersebut. Sejak September tahun 2012, Goethe Institut, lembaga kursus resmi bahasa Jerman yang bertempat hampir di seluruh dunia, mengadakan sebuah acara berupa pameran dongeng karya Grimm bersaudara di seluruh dunia, termasuk tiga kota besar di Indonesia. Surabaya merupakan kota kesepuluh di Indonesia yang menjadi tuan rumah pameran dongeng tersebut. Dalam pameran 200 tahun kumpulan dongeng Grimm tersebut, Goethe Institut (GI) Indonesia menerbitkan satu buku kumpulan dongeng Grimm yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Dalam buku kumpulan dongeng tersebut, GI Indonesia menampilkan sembilan dongeng Grimm terpopuler. Sembilan dongeng tersebut dipilih dari 210 dongeng Grimm lainnya, karena berdasarkan survey yang dilakukan di seluruh dunia, kesembilan dongeng tersebut yang paling dikenal masyarakat dunia. Dongeng-dongeng tersebut adalah Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), Rapunzel, Dornröschen (Putri Tidur), Hänsel und Gretel (Hensel dan Gretel), Rötkapchen (Si Tudung Merah), Froshkönig (Pangeran Kodok), Frau Hölle (Mama Hulda), dan Die Bremmer Stadtmusikkanten (Pemusik dari Bremen). Berdasarkan kesembilan urutan dongeng Grimm terpopuler yang diterbitkan GI tersebut, Sneewittchen (Putri Salju) menempati urutan pertama sebagai dongeng terpopuler di dunia. Sebagai salah satu dongeng Grimm bersaudara yang paling mendunia, Sneewittchen dikenal masyarakat dunia sebagai SnowWhite. Dari waktu ke waktu, Sneewittchen hadir dengan berbagai versi cerita. Salah satu versi yang paling terkenal di dunia adalah SnowWhite and the seven dwarfs (putri salju dan tujuh kurcaci) yang dipopulerkan dalam film kartun produksi Walt Disney. Sneewittchenatau yang lebih dikenal sebagai SnowWhite bermula sebagai dongeng anakanak, kemudian tahun 1916 ia hadir melalui film bisu karya sutradara J. Searle Dawley. 29
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Seperempat abad setelah kahadiran SnowWhite versi Dawley, Disney Animated Feature kemudian menghadirkan SnowWhite and the seven dwarfs pada tahun 1937 dalam bentuk kartun hitam putih. Cerita SnowWhite versi Disney inilah yang secara tidak langsung berjasa menjadikan Sneewittchen karya Grimm bersaudara terkenal di penjuru dunia sampai saat ini. Berbagai karya yang mengangkat cerita Sneewittchen terus hadir dalam bentuk film, novel, pementasan drama, musik, bahkan video games. Baru-baru ini Apple Inc. menghadirkan Hidden Objects - Snow White sebagai salah satu fitur game di produk smart phone tebarunya yang mendunia. Pada Mei tahun 2012 lalu, Snow White and the Huntsman garapan sutradara Rupert Sanders lahir merajai deretan film Box Ofice dunia. Film fantasi Amerika yang paling baru ini pun juga mengambil seting cerita dari dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara. Sekian banyak versi cerita Sneewittchen, baik yang ditulis dalam bentuk buku, maupun yang difilmkan, memiliki beberapa plot cerita yang berbeda-beda, terutama pada bagian ending atau penutup. Sebagian besar versi cerita Sneewittchen diakhiri dengan pernikahan Sneewittchen dengan pangeran tampan yang telah menyelamatkannya dari apel beracun melalui sebuah ciuman. Beberapa versi penutup cerita yang lain pun hadir, salah satu versi penutup cerita yang terbaru ada di dalam film Snow White and the Huntsman. Di dalam film ini, terjadi perang antara prajurit Revena TheEvil Queen (ratu jahat) dengan prajurit Duke Hammond, dimana Snow White juga ikut berperang mengendarai kuda putih. Di akhir cerita, sang Ratu berhasil dibunuh oleh Snow White sendiri dengan cara menikamkan pedang ke jantung sang Ratu. Versi asli dari dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara memiliki ending yang berbeda, yaitu sepatu besi yang panas membara. Sang Ratu dipaksa menari menggunakan sepatu besi yang telah dipanaskan dengan bara api, sehingga akhirnya ia mati. Namun, meski ending cerita pada hampir setiap versi berbeda, semua versi tersebut pada prinsipnya tetap meiliki kesamaan untuk memberi kesan keaslian dongeng secara utuh. Setiap versi selalu memiliki ratu jahat, cermin ajaib, 7 kurcaci, apel beracun, pangeran tampan, dan tentu saja Sneewittchen atau Putri Salju. Berbagai karya yang lahir dari dongeng-dongeng karya Grimm bersaudara membuktikan bahwa dongeng Grimm bersaudara mampu hidup dan tetap terkenal di era modern. Selain itu proses pewarisan dongeng Grimm bersaudara dari generasi ke generasi pun terus berlangsung, ia hidup ditengah-tengah masyarakat dunia dan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan apa yang menyebabkan dongeng-dongeng Grimm bersaudara tersebut dapat terus hidup di era modern.Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Grimm bersaudara mampu menciptakan karakter yang unik dan abadi melalui tokoh-tokoh dalam dongengnya, seperti yang disampaikan oleh O’Neill (1999) dalam artikelnya yang berjudul Guardians in Grimm Brother’s Fairy Tales dan Toguchi (2007) dalam artikelnya yang berjudul Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters. N.J. Girardot (2006) dalam laporan penelitiannya, Initiation in Grimm Brother’s Fairy Tales, menyebutkan bahwa dibalik dongeng-dongeng dunia yang sangat sederhana namun indah sesungguhnya sarat dengan inisiasi, termasuk dongeng-dongeng Grimm bersaudara. Berbagai penelitian yang menunjukkan eksistensi dongeng karya Grimm bersaudara di era modern tersebut tak lepas dari pencitraan tokoh-tokohnya. Pencitraan tokoh utama dalam dongen terpopuler karya Grimm bersaudara, Sneewittchen, sangatlah menonjol. 30
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Sneewittchendan die Königin (ibu tiri atau ratu jahat) adalah dua tokoh utama perempuan dalam dongeng ini. Kedua tokoh digambarkan dengan karakter yang berbeda dan pemikiran yang berbeda namun juga memiliki kemiripan. Sebagai perempuan kedua tokoh mengalami proses perkembangan pemikiran yang mengarah pada bentuk kesadaran akan aktualisasi dirinya. Meskipun dongeng ini ditulis lebih dari 200 tahun yang lalu, namun fenomena eksistensi yangt terdapat di dalamnya masih sangat relevan dengan yang terjadi saat ini di lingkungan kita sendiri. Kisahan terjadi di negara yang memang dalam realita jauh lebih maju di banding negara kita. Namun hal yang terjadi dalam cerita rekaan itu bisa saja sedang terjadi dalam realitas kita saat ini. Eksistensi yang dibicarakan dalam artikel ini dilihat melalui sudut pandang Jean Paul Sartre, sebagai salah seorang pionir eksistensialisme. Sartre mengungkapan beberapa taraf bentuk kesadaran eksistensi manusia sebagai individu; being in-itself, being for-itself, dan being for-others. Dalam hierarki ini maka bentuk kesadaran tertinggi seorang individu adalah ketika ia sudah mencapai kesadaran eksistensi level being for-others (Hasan, 1996: 88). Menurut Sartre, manusia ‘ada’ sebagai dirinya sendiri (being in-itself) dengan kesadaran. Dengan demikian maka ‘ada’ tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia berbeda dari benda-benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-benda lain yaitu Ada sekaligus merupakan esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi. “Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existentialism”, manusia tidaklah lain selain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri, inilah asas pertama eksistensialisme (Hassan, 1996:103). Ini berarti bahwa manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan pernah berhenti dengan keinginan-keinginannya. Sebagai eksistensi yang ditandai dengan keterbukaan menjelang masa depannya maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya tersebut, ia memiliki kebebasan untuk memilih yang baik dan kurang baik untuk dirinya sendiri. Pilihan itu adalah pilihannya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Hal ini merupakan salah satu hal yang menyebabkan manusia selalu dalam kecemasan. karena ia harus selalu memilih. Menurut Sartre, kecemasan ini muncul karena sebenarnya manusia menyadari bahwa apa pun pilihan yang diambil pada akhirnya merupakan keputusan yang menyangkut seluruh kemanusiaan, dengan pertimbangan bahwa pilihan yang kita ambil merupakan pilihan yang seharusnya dipilih oleh manusia lainnya. “I am responsible for myself and for anyone else. I am creating a certain image of man of my own choosing. In choosing myself, I choose man” (Hassan, 1996:104). Dengan penghayatan yang demikian, maka bagi Sartre, manusia menghayati eksistensinya sebagai kesendirian mutlak. Manusia menciptakan dirinya sendiri, memikul tanggung jawab lebih dari sekedar terhadap dirinya sendiri; akan tetapi tidak dapat menemukan tempat berpijak atau bergantung yang dapat memberikan kepastian. Oleh karena itu pulalah, maka bagi Sartre kebebasan itu mutlak dan tanpa kebebasan eksistensi menjadi sesuatu yang absurd. Tanpa kebebasan manusia hanya akan menjadi esensi belaka (Hassan, 1976:106). 31
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Sartre adalah pendukung kebebasan mutlak. Ia juga kemudian merumuskan kenyataankenyataan yang menyebabkan kurangnya kebebasan. Sartre menyebutkan beberapa kefaktaan (facticity) yang tidak bisa ditiadakan. Pertama, tempat manusia berada. Tempat yang didiami manusia memberi struktur kepada manusia. Eksistensi manusia yang selalu menghuni tempat dikuatkan oleh kenyataan kita sebagai tubuh. Tempat yang didiami itubisa menjadi landasan tindakan-tindakan kita, tetapi juga bisa menghambat kebebasan. Kefaktaan lain adalah masa lalu. Masa lalu bisa dilupakan sesaat, atau disusun menurut kehendak manusia. Namun manusia tidak mungkin meniadakan masa lalunya. Manusia yang ada saat ini adalah akibat dari masa lalunya. Akan tetapi manusia tidak mutlak ditentukan oleh masa lalunya, seperti yang dipahami oleh determinisme. Lingkungan (Umwelt) juga merupakan salah satu kefaktaan yang tidak bisa diingkari. Yang disebut dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu, benda atau alat, yang berada dalam lingkungan. Lingkungan di sekitar manusia merupakan kefaktaan sekaligus merupakan kemungkinan-kemungkinan. Manusia memiliki kebebasan memilih untuk memberi makna atau manfaat pada benda-benda di sekitarnya atau meninggalkannya tanpa arti sama sekali. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa akhirnya kebebasan manusialah yang memungkinkan untuk memberi makna seperti yang diinginkan. Kefaktaan lainnya adalah kenyataan bahwa ada sesama manusia, masing-masing dengan eksistensinya. Dengan kata lain, kehadiran orang lain adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal. Manusia muncul dihadapan manusia lainnya tentunya dengan latar belakang yang menentukan cara manusia lain menanggapinya. Padahal latar belakang atau masa lalu adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipilih. Kefaktaan yang terakhir adalah maut. Dalam setiap eksistensi harus diakhiri dengan tibanya maut, dengan demikian maut merupakan halangan bagi kebebasan manusia. Bagi Sartre, maut merupakan sesuatu yang absurd karena muncul diluar dugaan dan pilihan kita. Selain itu maut juga tidak memberi makna apa-apa pada eksistensi, karena begitu maut tiba maka eksistensi pun berakhir. Dengan kata lain, maut adalah sesuatu yang berada di luar eksistensi. Ketika manusia mati, ia tidak mati untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain yang ditinggalkannya. Merekalah yang memberi arti pada kematian, bukan manusiabagi kematiannya sendiri. Namun bagaimana pun fakta-fakta ini melekat pada eksistensi, kebebasan eksistensial tidak dapat dikurangi. Konsekuensi dari kebebasan yang tak terbatas ini adalah tanggung jawab yang tak terbatas juga. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa meskipun keputusan itu adalah keputusan pribadi, namun pada akhirnya merupakan suatu keputusan yang menyangkut kemanusiaan juga. Tanggungg jawab ini merupakan beban eksistensial yang tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan tanggung jawab itu tentunya menyangkut orang lain yang sebenarnya asing dan merupakan hambatan terhadap eksistensi. Dengan memakai istilah sang Diri dan sang Liyan, Beauvoir mengemukakanbahwa dalam eksistansialime laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan perempuan disebut sang Liyan. Jika bagi Sartre sang Liyan merupakan ancaman bagi sang Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas dan berkemungkinan, ia harus mensubordinasi perempuan (Tong, 2006: 255-256). Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa meski dongeng Sneewittchen lahir lebih dari 200 tahun silam, fenomena eksistensi perempuan yang tersirat begitu halus dan bahkan 32
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
hampir tidak disadari dalam pewarisannya selama ratusan tahun ini menarik untuk diungkap. Dibalik sebuah dongeng yang hidup di tengah masyarakat dunia, begitu sederhana, dan terkesan remeh, ternyata menyimpan pesona eksistensi perempuan dalam level imajinatif di dalamnya. Faktanya, pesona dongeng yang begitu bermakna tersebut tidak tersampaikan secara sempurna pada proses pewarisannya selama ini. Dongeng dianggap begitu remeh, tanpa disadari bahwa ‘pelajaran’ pertama yang diterima setiap anak di dunia ini adalah dongeng yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan penjelsan di atas, pesona dan misteri sebuah dongeng perlu untuk digali, agar pewarsan dongeng pada masa-masa selanjutnya dapat diiringi dengan kebermaknaan yang mendalam dan agar tidak dianggap remeh. Dongeng juga merupakan bentuk karya sastra yang sarat makna. Di dalam dongeng Sneewittchen terdapat tokoh Sneewittchendan die Königin yang berjuang sebagai perempuan untuk mengatasi ketersubordinasian mereka dengan caranya masing-masing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk eksistensi pada tokoh perempuan dalam dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara. Pembahasan Bentuk Eksistensi Being In-ItselfTokoh Perempuan dalam Dongeng Sneewittchen Menurut Sartre, manusia ‘ada’ sebagai dirinya sendiri (being in-itself) dengan kesadaran. Dengan demikian maka ‘ada’ tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia berbeda dari benda-benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-benda lain yaitu Ada sekaligus merupakan esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi. “Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existentialism”, manusia tidaklah lain selain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri, inilah asas pertama eksistensialisme (Hassan, 1996:103). Bentuk eksistensi being in-itself yang diutarakan oleh Sarte ini tergambarkan melalui kutipan berikut. Über ein Jahr nahm sich der König eine andere Gemahlin. Es war eine schöne Frau, aber sie war stolz und übermütig, und konnte nicht leiden, daß sie an Schönheit von jemand sollte übertroffen werden. Sie hatte einen wunderbaren Spiegel, wenn sie vor den trat und sich darin beschaute, sprach sie »Spieglein, Spieglein an der Wand, wer ist die Schönste im ganzen Land ?« so antwortete der Spiegel »Frau Königin, Ihr seid die Schönste im Land.« Da war sie zufrieden, denn sie wußte, daß der Spiegel die Wahrheit sagte(Grimm, 1857: 259). Artinya: Setelah satu tahun, sang raja menikahi seorang perempuan dan menjadikannya ratu. Perempuan itu sangat cantik, tapi dia sangat angkuh. Dia tidak mau kecantikannya terkalahkan oleh siapapun. Dia juga mempunyai sebuah cermin ajaib. Setiap kali dia berdiri di depan cermin tersebut dan berkata,”cermin, cermin di dinding. Siapakah yang tercantik diseluruh negri?” maka menjawablah cermin ajaib itu, “Ratu, anda lah yang tercantik di seluruh negri.” Ratu sangat senang, karena ia tahu, bahwa cermin ajaib selalu mengakatakan kebenaran. 33
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Bentuk eksistensi being in-itself pertama kali ditunjukkan oleh die Königin,ibu tiri Sneewittchen. Die Königin memang seorang perempuan yang cantik jelita, bahkan tercantik di seluruh negri. Hal tersebut dibuktikan melalui penyataan cermin ajaib yang selalu mengatakan kebenaran. Die Königin dijadikan permaisuri oleh raja, yaitu ayah Sneewittchen, karena ia adalah perempuan tercantik. Die Königin menyadari betul bahwa ia memiliki perbedaan diantara perempuan-perempuan lainnya dan perbedaan itu merupakan anugrah yang menjadikannya seorang pemenang. Ia menyadari bahwa kecantikannya adalah hal yang sangat berharga dan tidak ingin ditandingi oleh perempuan lain, maka ia selalu memiliki kecemasan akan ancaman berupa hadirnya orang lain yang lebih cantik darinya. Ia selalu bertanya kepada cermin ajaib siapa wanita tercantik di dunia untuk menghilangkan kecemasannya tersebut. Sesuai dengan definisi yang diutarakan oleh Sarte, being in-itself adalah eksistensi yang dimiliki individu dan yang membedakannya dengan benda atau orang lain. Die Königin telah memiliki eksistensi tersebut dalam ketubuhannya. Ia memang terlahir sebagai perempuan cantik tanpa harus berusaha terlebih dahulu dan belum ada yang menandingi. “Ada” dalam diri sendiri memiliki konsekuansi berupa kecemasan, karena “Ada” juga ditentukan oleh kefaktaan. Fakta lingkungan yang terjadi adalah die Königin bukanlah satu-satunya perempuan yang hidup di dunia. Selalu ada kemungkinan keberadaan perempuan lain yang menandingi kecantikannya. Ketika hal itu terjadi, maka eksistensi yang ada dalam dirinya sendiri akan runtuh. Being in-itself juga dimiliki oleh Sneewittchen sebagai gandis yang cantik jelita, bahkan tercantik di seluruh negeri dan mengalahkan kecantikan sang ratu, ibu tirinya sendiri. Ilustrasi tersebut digambarkan melalui kutipan berikut. Sneewittchen aber wuchs heran und wurde immer schöner, und als es sieben Jahre alt war, war es so schön wie der klare Tag, und schöner als die Königin selbst. Als diese einmal ihren Spiegel fragte »Spieglein, Spieglein an der Wand, wer ist die Schönste im ganzen Land ?« so antwortete er »Frau Königin, Ihr seid die Schönste hier, aber Sneewittchen ist tausendmal schöner als Ihr.« (Grimm, 1857: 259). Artinya: Namun Sneewittchen terus tumbuh besar dan menjadi semakin cantik, dan saat ia berumur tujuh tahun, ia menjadi semakin cantik hari itu, dan bahakan lebih cantik dari sang ratu. Ketika itu juga, sang ratu kembali bertanya kepada cermin ajaib, “cermin cermin di dinding, siapakah yang tercantik di seluruh negri?” kemudian menjawablah cermin ajaib itu, “ratu, Anda lah yang tercantik di sini, tapi Sneewittchen seribu kalli jauh lebih cantik dari Anda”. Sama halnya seperti sang ratu, Sneewittchen juga memiliki eksistensi dalam dirinya sendiri. Ia terlahir dan tumbuh sebagai perempuan yang cantik jelita. Keberadaan yang dimilikinya tersebut menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya. Bahkan kini keberadannya menjadi musuh dan ancaman bagi lingkunganya. Bentuk eksistensi being in-itself yang dimiliki Sneewittchen dan die Königin menunjukkan pada kita bahwa keberadaan individu dalam kefaktaan adalah suatu hukum alam yang bertalian. Eksistensi adalah anugrah yang memberikan esensi pada indivdu, tetapi
34
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
eksistensi bukanlah keabadian. Eksistensi memiliki konsekuensi dan setiap individu bertanggung jawab penuh atas konsekuensi tersebut. Sneewittchen memiliki eksistensi sebagai perempuan yang cantik, sehingga konsekuensinya keselamatan jiwanya terancam. Die Königin telah kehilangan eksistensinya sebagai perempuan tercantik di seluruh negri, sehingga ia harus mencari cara untuk mendapatkan kembali eksistensinya.
Bentuk Eksistensi Being For-ItselfTokoh Perempuan dalam Dongeng Sneewittchen Being for-itself menurut Sarte adalah bentuk keberadaan yang diperuntukkan untuk diri sendiri. Indivdu memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana ia ‘ada’ dengan cara atau jalan apa pun. Keinginan-keingan individu untuk mencipatakan keberadaan untuk dirinya sendiri menuntut usaha untuk memperolehnya. Namun, individu tidak akan pernah berhenti dengan keinginan-keinginanya untu menciptakan ‘ada’ tersebut, karena eksistensi hanya akan berhenti saat kefaktaan yang menghalangi, salah satu kefaktaan tersebut adalah maut. Gambaran bentuk eksistensi being for-itself milik sarte tersebut diilustrasikan melalui kutipan berikut. Und als gerade ein junger Frischling dahergesprungen kam, stach er ihn ab, nahm Lunge und Leber heraus, und brachte sie als Wahrzeichen der Königin mit. Der Koch mußte sie in Salz kochen, und das boshafte Weib aß sie auf und meinte, sie hätte Sneewittchens Lunge und Leber gegessen (Grimm, 1857: 230) Artinya: Dan saat seekor babi muda terlihat berlari-lari di depannya, maka dibunuhlah babi itu, diambilnya paru-paru dan hati babi muda itu, dan dibawanya kepada sang ratu seolah-olah paru-paru dan hati itu benar miliki Sneewittchen. Oleh sang ratu dimasaknya paru-paru dan hati tersebut, kemudian dimakannya dengan gembira, ia mengira telah memakan paru-paru dan hati Sneewittchen. Kutipan diatas merupakan bentuk tanggung jawab die Königinuntuk mempertahankan eksistensinya. Ilustrasi di atas menceritakan kejadian setelah pemburu tidak jadi membunuh Sneewitchen dan melepaskannya di hutan. Pemburu harus pulang membawa paru-paru dan hati Sneewittchen agar sang ratu percaya bahwa ia telah membunuhnya. Maka saat ia melihat babi muda, dibunuhlah babi itu dan diambilnya paru-paru dan hatinya, seolah-olah itu adalah paru-paru dan hati manusia. Ratu pun percaya dan memakannya dengan bahagia, ia mengira telah memakan paru-paru dan hati Sneewittchen. Ilustrasi ini apabila dikaitan dengan inisiai ritus devosi pribadi yang disampaikan oleh Eliade melalui teori Trium Inisiation miliknya (1968: 225-237), yaitu kepercayaan yang menyangkut hubungan antara makhluk dan penciptanya melalui ritus dan ritual, ternyata memiliki kaitan dengan usaha untuk memperoleh eksistensi being for-itself. Ritus yang berkaitan dengan ilustrasi cerita di atas adalah suatu kepercayaan dimana apabila seseorang berhasil membunuh musuhya dan memakan jantung atau bagian tubuhnya yang lain, atau menaruh penggalan kepalnya di atas benteng istana, dan lain sebagainya, ia akan memiliki kekuatan atau kelebihan yang dimiliki musuhnya tersebut. Memakan bagian tubuh dipercaya merupakan bentuk persembahan pada roh yang mendiami diri untuk menyerap sari pati roh manusia yang baru dibunuh tersebut. 35
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Die Königin adalah perempuan mistis pelaku sihir dan pengikut kepercayaan tersebut. Dengan memakan paru-paru dan hati Sneewittchen, ia percaya bawa kecantikan Sneewittchen yang seribu kali melampaui dirinya itu akan masuk dan menjadi miliknya. Sesuai dengan teori eksistensi being for-itself milik Sarte, bahwa individu melakukan segala cara untuk menciptakan keberadaan untuk diriya sendiri. Die Königin ingin seribu kali lebih cantik dari sebelumnya, sehingga membunuh Sneewittchen saja tidak cukup. Membunuh Sneewittchen hanya menghilangkan musuh atau ancaman bagi eksistensinya, namun tidak membuatnya seribukali lebih cantik dari sebelumnya. Maka ia melakukan halhal yang mebuatnya lebih cantik, yaitu dengan memakan paru-paru dan hati Sneewittchen agar ia memperoleh keinginannya tersebut, cantik untuk dirinya sendiri.
Bentuk Eksistensi Being For-Others Tokoh Perempuan dalam Dongeng Sneewittchen Being for-others adalah bentuk eksistensi tertinggi menurut pandangan Sarte. Pembuktian keberadaan individu yang berada pada level ini menunjukkan eksistensi puncak yang dimilikinya. Diantara kefaktaan, Umwelt, dan orang lain yang melingkari individu, eksistensi akan mendudukkannya pada suatu keberbedaan yang memberinya kemenangan (Hasan, 1996: 128-132). Gambaran eksistensi level tertinggi ini tersuguhkan pada prolog cerita dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara. Pada pembukaan cerita, kita disuguhkan miniatur keseluruhan cerita. Ibu kandung Sneewittchen yang sedang menjahit, salah satu kerajinan tangan yang dilakukan oleh perempuan, mengindikasikan kedewasaannya dan kemahirannya. Jari ibu kandung Sneewittchen tertusuk jarum, kemudian darahnya menetes ke salju sebanyak tiga tetes. Saat itu pula ia berdoa dan berharap dikaruniai seorang anak yang memiliki kulit seputih salju, bibir semerah darah, dan rambut sehitam kayu. Ilustrasi tersebut tergambar pada kutipan berikut ini. Und wie sie so nähte und nach dem Schnee auf-blickte, stach sie sich mit der Nadel in den Finger, und es fielen drei Tropfen Blut in den Schnee. Und weil das Rote im weißen Schnee so schön aussah,,dachte sie bei sich 'hätt ich ein Kind so weiß wie Schnee, so roth wie Blut, und so schwarz wie daß Holz an dem Rahmen’ (Grimm, 1857: 228). Artinya: Dan saat dia menjahit, salju turun begitu indahnya, dia memandanginya dengan takjub, sampai tanpa sengaja jarinya tertusuk jarum, sehingga tiga tetes darahnya jatuh di atas salju. Dikarenakan warna darah yang begitu merah terlihat sangat indah di atas salju yang putih, ia pun berdoa dalam hati, “sungguh bahagia jika aku memiliki seorang anak yang kulitnya seputih salju, bibirnya semerah darah, dan rambutnya sehitam kayu bingkai jendela.” Sebuah istana adalah suatu tempat yang dianggap layaknya surga bagi semua orang. Segala macam kemegahan dan kenikmatan ada di dalamnya. Raja dan ratu yang memimpinpun tak ubahnya seperti dewa, dimana semua perkataan raja adalah perintah dan melanggar perintahnya adalah kejahatan. Dilahirkan dan hidup di tengah-tengah kemegahan dan kenikmatan istana adalah impian semua orang. Sebagai seorang istri, permaisuri, dan ratu yang hidup dalam kemegahan istana, die Königin belum merasa berada dalam 36
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
kesempurnaan. Raja tak akan selamanya hidup dan pewaris tahta di kemudian hari haruslah lahir dari lagi. Sebelum dilahirkan, Sneewittchen sudah dilatar belakangi oleh masalah eksistensi yang dialami ibunya. Karena tak kunjung memiliki anak, ibu Sneewitchen pun dipenuhi oleh kekhawatiran yang menyertainya setiap hari. Saat ia menjahit, tangannya memegang jarum tapi pikiranya melayang. Pandangannya menerawang jauh melintasi jendela istana tempat ia menjahit. Hingga akhirnya jarinya tertusuk jarum dan darahnya menetes ke atas salju di tepian jendela. Saat itulah ia berdoa, agar ia segera memiliki anak yang cantik, memiliki kulit seputih salju, bibir semerah darah, dan rambut sehitam kayu. Anak itulah yang kelak diharapkan meneruskan tahta kerajaan dan menjadikan sang ratu mencapai eksistensi teringginya dalam being for-others. Dalam pandangan Sartre, being for-othersadalah keberadaan di tengah-tengah orang lain dan kefaktaan yang ada. Namun, orang lain merupakan ancaman bagi eksistensi Liyan (perempuan). Liyan selalu dipandang sebagai objek pengamatan Diri (laki-laki). Dalam hal ini, ibu Sneewittchen adalah Liyan yang sedang menjadi pengamatan sang Diri, yaitu suaminya. Eksistensinya untuk orang lain (being for-others) tercapai melalui kelahiran Sneewittchen. Selain ibu kandung Sneewittchen, ibu tirinya pun juga mengalami perjuangan untuk mendapatkan eksistansi di tengah keberadaan orang lain dan kefaktaan yang ada. Ibu tiri Sneewittchen, die Königin, hidup di tengah kefaktaan lingkungan bahwa ia telah bertambah tua dan kecantikannya memudar. Di lingkungannya hidup seorang gadis muda, Sneewittchen, yang seribu kali lebih cantik darinya. Kefaktaan inilah yang hendak diperangi olehnya degan jalan membunuh Sneewittchen, seperti pada kutipan berikut. ...wenn sie Sneewittchen erblickte, kehrte sich ihr das Herz im Leibe herum, so haßte sie das Mädchen. Und der Neid und Hochmut wuchsen wie ein Unkraut in ihrem Herzen immer höher, daß sie Tag und Nacht keine Ruhe mehr hatte. Da rief sie einen Jäger und sprach »bring das Kind hinaus in den Wald, ich wills nicht mehr vor meinen Augen sehen. Du sollst es töten und mir Lunge und Leber zum Wahrzeichen mitbringen«(Grimm, 1857: 229). Artinya: ...saat ia melihat Sneewittchen, hatinya merasa sakit, sehingga ia membenci gadis itu. Rasa iri dan kedengkian semakin tumbuh tinggi seperti gulma dalam dirinya, sehingga siang dan malam tak sedetikpun ia tenang. Maka dipanggilnya seorang pemburu istana dan berkata, “bawa anak itu ke hutan, aku tidak mau melihatnya lagi. Kamu harus membunuhnya dan bawakan aku paru-paru dan hatinya sebagai bukti.” Kutipan di atas menceritakan kebencian die Königin kepada Sneewittchen yang telah mengalahkan kecantikannya. Die Königintak kuasa lagi menerima kenyataan, bahwa kini ia tak lagi menjadi perempuan terantik di seluruh negri. Maka berpikirlah ia, bagaimana cara untuk mendapatkan eksistensinya kembali. Ia menyuruh seorang pemburu untuk membawa Sneewittchen ke hutan dan membunuhnya.Melalui pembunuhan tersebut, ia akan menghilanngkan ancaman bagi eksistensinya. Namun sayangnya usaha tersebut belum membuahkan hasil, sehingga ia melakukan percobaan pembunuh untuk kedua kalinya seperti pada kutipan berikut: 37
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
...wie sie es umbringen wollte... und kleidete sich wie eine alte Krämerin, und war ganz unkenntlich... Sneewittchen hatte kein Arg...aber die Alte schnürte geschwind und schnürte so fest, daß dem Sneewittchen der Atem verging, und es für tot hinfiel (Grimm, 1857: 232). Artinya: ...bagaimana cara membunuhnya...maka ia berpakaian seperti seorang pedagang keliling yang tua renta dan tidak bisa dikenali... Sneewittchen sama sekali tidak curiga, tapi nenek tua itu mengikat ikat pinggang itu dengan cepat dan sangat kencang, sampai Sneewittchen tidak bisa bernafas dan mati terjatuh. Ketika ternyata Sneewittchen masih hidup, die Königin kembali mencoba membunuhnya dengan menyamar sebagai penjual ikat pinggang, kemudian mengikat Sneewitchen sampai kehabisan napas dan jatuh seperti yang diilustasikan pada kutipan di atas. Saat usaha untuk membunuh Sneewittchen ini gagal, sang ratu kembali mencoba membunuhnya dengan sisir beracun seperti pada kutipanberikut: ...und mit Hexenkünsten, die sie verstand, machte sie einen giftigen Kamm. Dann verkleidete sie sich und nahm die Gestalt eines andern alten Weibes an. So ging sie hin über die sieben Berge zu den sieben Zwergen...Das arme Sneewittchen dachte an nichts, und ließ die Alte gewähren, aber kaum hatte sie den Kamm in die Haare gesteckt, als das Gift darin wirkte, und das Mädchen ohne Besinnung niederfiel (Grimm, 1857: 233). Artinya: ...dan dengan mantra sihir yang ia bisa, ia membuat sebuah sisir beracun Kemudian ia berpakain dan menyamar sebagai wanita tua renta kembali, tetapi dengan wajah yang lain. Kemudian ia pergi ke gunung tempat tujuh kurcaci... Sneewittchen yang polos tidak curiga apa pun, ia membiarkan wanita tua itu menyisir rambutnya, tapi wanita itu menancapkannya sisir itu di rambutnya, saat itulah racun itu menempel, dan gadis itu kembali jatuh. Saat usaha ketiga ini gagal, keinginan die Königinuntuk membunuh Sneewittchensmakin kuat. Emosi dan rasa iri telah megusai dirinya. Baginya eksistensi dirinya adalah hal terpenting melebihi apa pun di dunia ini. Sebagai individu, ia memiliki kebebasan mutlak untuk meraih eksistensinya. Ia bebas melakukan segala cara, termasuk membunuh ancaan bagi dirinya tersebut. Oleh karena itu, ia tetap terus mencoba membunuh Sneewittchen dengan apel beracun dan usahaya yang terakhir ini mebuahkan hasil seperti tampak pada kutipan berikut: Darauf ging sie in eine ganz verborgene einsame Kammer, wo niemand hinkam, und machte da einen giftigen Apfel...Der Apfel war aber so künstlich gemacht, daß der rote Backen allein vergiftet war. Sneewittchen lusterte den schönen Apfel an, und als es sah, daß die Bäuerin davon aß, so konnte es nicht länger widerstehen, streckte die Hand hinaus und nahm die giftige Hälfte. Kaumaber hatte es einen Bissen davon im Mund, so fiel es tot zur Erde nieder (Grimm, 1857: 234-235).
38
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Artinya: Untuk itu ia pergi ke sebuah kamar rahasia, dimana seorang pun tak dapat masuk, dan membuat sebuah apel beracun... Apel itu dibuat sangat menggiurkan, tapi bagian yang berwarna kemerahan adalah bagian yang beracun. Sneewittchen tergiur untuk memakan apel beracun itu, dan saat melihat petani itu juga makan apel itu, ia tak dapat lagi menahan keinginannya. Diambilnya apel di tangannya itu kemudian digitnya. Namun baru ia akan mengunyah sedikit apel di mulutnya itu, ia jatuh ke tanah dan mati. Berbeda dengan ibu kandung Sneewittchen yang mencapai eksistensi dengan sendirinya, die Königin harus berjuang untuk mendapatkannya, yaitu dengan cara menghilangkan ancaman bagi eksistensinya, yaitu Sneewittchen. Semua usaha pembunuhan yang diakukan oleh die Königin tersebut adalah bentuk usaha meraih eksistensi being for-others. Saat ancaman dalam bentuk keberadaan orang lain hadir, individu harus menandingi keberadaan ancaman tersebut, jika tidak maka individu itu akan kalah. Jika keberadaan ancaman itu tak tertandingi, maka jalan satu-satunya untuk mencapai eksistensi being forothers adalah dengan memerangi ancaman tersebut.
Penutup Eksistensi ada dan hidup di dalam tiap individu dan juga di dalam sebuah karya sastra, salah satunya di dalam dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara. Hidup selama 200 tahun, dongeng Sneewittchen menggambarkan bentuk-bentuk eksistensi perempuan melalui tokoh Sneewittchen, ibu kandungnya, dan ibu tirinya (die Königin). Sesuai dengan teori Sarte yang mengungkapkan tiga level eksistensi, yaitu being in-itself, being for-itself, dan being for-others, tiga tokoh perempuan tersebut menggabrakan ketiga level eksistensi tersebut. Being in-itself digambarkan melalui kecantikan Sneewittchen dan ibu tirinya (die Königin). Being for-itself digambarkan ketika die Königin berambisi membunuh Sneewittchen dan memakan paru-paru dan hatinya. Prolog dongeng yang menceritakan dilema ibu kandung Sneewittchen yang ingin memiliki anak dan usaha-usaha die Königin untuk membunuh Sneewittchen agar menjadi perempuan tercantik di seluruh negrimenggambarkan bentukbentuk eksistensi being for-others. Ketiga bentuk eksistensi tersebut bersembunyi dibalik kesederhanaan salah satu dongeng karya Grimm bersaudara tersebut.
Daftar Rujukan Eliade, Mircea. 1968.’Rites and Symbols of Initiation’ dalam Myth and Reality Voll. XXIII. New york: Harper Torchbook. Girardot, N. J. 2006. ‘Initiations in Grimm Brother’s Fairy Tales’dalam The Journal of American Folklore Vol. 90. New York: JStor. Grimm, Jacob. & Grimm, Wilhem. 1857. Kinder- Und Hausmärchen Band 1. Göttingen: Verlag der Dieterichschen Buchhandlung. Hassan, Fuad. 1996. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. 39
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Lüthi, Max. 1970. ‘Once Upon a Time: On The Nature of fairy Tales’ dalam Cultural Anthropology Vol VIII. New York: Frederick Ungar Publishing Co. O’Neill, Thomas.1999. ‘Guardians in Grimm Brother’s Fairy Tales’dalam The Journal of American FolkloreVol. 90. New York: Jstor. Toguchi, Hideo. 2007. ‘Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters’ dalam The Journal of American Folklore Vol. 90. New York: Jstor. Tong, Rosemarie Putnam. 2005. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition. Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.
40