Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
PEREMPUAN SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA Dian Arlupi Utami dan Rr Nanik Setyowati Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya Abstract Woman is a unique figure. Woman in household life is not only as victims but also perpetrators of violence as well as household. Women may commit acts of violence on children, husband is triggered by a variety of family issues from the trivial to severe levels. However, many cases were found that women are also victims of violence that can also be performed by children or husbands or other family members in their household. The issue of household violence affecting women in both age children, adolescents and adults is what will be written sequentially in this article as a reference material, inputs for observers of the social problems of women in particular cases. Recognize the characteristics of victims of violence, and implement appropriate remedial action type of abuse is needed. Cooperation of various parties such as family, community and government is needed so that women as victims and perpetrators of violence can be minimized. Keywords: Women, Perpetrators and Victims, Household Violence
Pendahuluan Perempuan merupakan makhluk yang unik, perempuan itu mempunyai kekuatan dan juga lemah lembut. Dibalik kelemahlembutannya bisa berlaku keras dan melakukan kekerasan dalam rumah tangganya dengan melakukan tindakan kekerasan pada anak, suami atau anggota keluarga lain dalam keluarganya. Namun dibalik kekuatannya, yang seringkali kuat dalam menghadapi begitu banyak cobaan dan kerasnya hidup dia juga merupakan makhluk yang lemah sehingga begitu tak berdaya dan mudah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangganya yang dipicu oleh berbagai persoalan keluarga dari yang tingkatnya ringan sampai yang berat. Tindak kekerasan dapat menimpa siapapun dan di manapun. Namun, bila ditelusuri secara seksama dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada perempuan dan pada anak dengan pelaku kekerasan pada anak adalah perempuan, cenderung meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual. Beberapa masalah yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini adalah: (1) pengertian kekerasan; (2) bentukbentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan; (3) perempuan sebagai pelaku kekerasan dalam kehidupan rumah tangga; (4) perempuan sebagai korban kekerasan dalam kehidupan rumah tangga; dan peran pemerintah dalam mengatasi kekerasan yang dialami perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
88
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Pembahasan Pengertian Kekerasan Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal yang bersifat, berciri keras; perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; dan paksaan. Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. Sebagaimana yang didefinisikan oleh Kandish Sanford dalam (Fakih, 1997:6) bahwa: ”All type of illegal behavior, or either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of on individual”. Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encyclopedia of Crime and Justice mendefinisikan “Violence” sebagai :“…a general term referring to all types of behaviour, either threatened or actual, that result in or are intended to result in the damage or destruction of property or the injury or death of an individual (Fakih, 1997). Bertolak belakang dari latar belakang di atas, nampak bahwa kekerasan atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama harus bertentangan dengan undang-undang, tidak dibedakan dalam jenis-jenisnya secara khusus baik berupa ancaman saja maupun merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik, atau menyebabkan kematian pada seseorang. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan, seperti layaknya terdapat dalam delik material. Definisi ini sangat luas sekali, karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” disamping suatu tindakan nyata. Pengertian kekerasan yang lain seperti yang didefinisikan sebagai berikut la violencia di Kolombia, the vendetta barbaricana di Sardinia, Italia, la vida vale nada (life is worth nothing) di El Savador, violence dalam bahasa Inggris berarti kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara etimologi, kata ”violence” merupakan gabungan dari kata ”vis” yang berarti daya atau kekuatan dan ”latus” yang berasal dari kata ”ferre” yang berarti membawa. Jadi kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan ataupun tekanan berupa fisik maupun non fisik atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander yang dikutip oleh Rika Saraswati (2006) bahwa :”In general, violence is aggresive behavior with the intent to cause harm (physical or psychological). The word intent is central; physical or psychological harm that occurs by accident, in the absence of intent, is not violence” (dalam Diah Septita 2010). Kekerasan merupakan istilah yang berarti kehancuran, kemarahan dan rasa sakit. Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan yang terjadi pada semua keluarga antara pasangan, antara anak dan orangtua, antara saudara kandung bahkan yang menimpa seorang pembantu. Sebagian besar yang menjadi korban adalah perempuan, baik usia anak, remaja maupun dewasa dan lanjut usia. Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan. Termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
89
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Penganiayaan Anak (Child Abuse) (KTA) Perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada dibawah tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacat. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional. Sindroma pasca cedera yang bukan karena aksiden. Biasa sebagai penyebab kematian karena cedera pada tahun pertama kehidupan. Bila ada dugaan ke arah kekerasan pada anak, maka riwayat serta penilaian yang teliti menjadi sangat penting. Untuk itu perlu diadakan pemeriksaan, sebagai berikut: 1) Ambil data-data polisi, korban dokter dan perawat terkait; 2) Anamnesis meliputi hal-hal: umur, urutan kejadiaan, jenis penderaan, oleh siapa, kapan, di mana, dengan apa, berapa kali, akibat pada anak, orang yang ada di sekitar, waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS, kesehatan sebelumnya, trauma serupa waktu lampau, riwayat penyakit lampau, pertumbuhan fisik dan psikis dan siapa yang mengawasi sehari-hari; 3) Pemeriksaan fisik yang meliputi: gizi, higiene, tumbuh kembang anak, keadaan umum, fungsi vital, keadaan fisik umum, daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada, perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga, mulut dan kelamin kasus berat bisa dipotret, raba dan periksa semua tulang; 4) Pemeriksaan penunjang; 5) Dugaan sexual abuse: tanda trauma dan secret vagina, tanda trauma anal, selaput dara, labia minora dan posterior fourchette dan pengambilan bahan untuk lab. sesuai prosedur. Ketika melihat beberapa hal seperti di bawah ini, maka harus dipikirkan telah terjadi kekerasan pada anak, bila dijumpai hal-hal antara lain: riwayat dan beratnya kerusakan fisik tidak sebanding; waktu yang lama antara kejadian dengan mencari pengobatan; riwayat trauma berulang dengan perawatan di rumah-sakit yang berbeda; tanggung-jawab orang tua tidak memadai; riwayat berubah-ubah atau berbeda dari orang yang berbeda; curigai telah terjadi kekerasan pada anak serta pikirkan pemeriksaan lebih intensif bila dijumpai hal-hal berikut ini; jejak sekitar mulut; jejak sekitar kelamin atau anus; tandatanda cedera berulang; patah tulang panjang pada anak usia dibawah 3 tahun; cedera yang tidak lazim : sundutan rokok, jeratan tali, luka lama dan lain-lain; luka bakar dengan batas tegas: setrikaan dan lain-lain; perdarahan selaput jala mata; perdarahan dibawah selaput otak berganda; robekan pada organ dalam perut; Apabila peluang yang meningkat akan risiko cedera yang mematikan, laporkan kasus atau dugaan kasus tindak kekerasan pada anak kepada fihak berwajib sesuai peraturan yang ada. Jika yang terjadi adalah kekerasan seksual maka harus dilakukan pemeriksaan seperti ini: ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait; anamnesis; umur; status perkawinan; haid: siklus, terakhir; penyakit kelamin dan kandungan; penyakit lain sepert ayan dll; pernah bersetubuh; waktu persetubuhan terakhir, pakai kondom; waktu kejadian; tempat kejadian; apakah korban melawan; apakah korban pingsan; apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi; periksa pakaian yang meliputi hal-hal berikut ini; robekan lama/baru/ memanjang/melintang; kancing putus; bercak darah, sperma, lumpur dll; pakaian dalam rapih atau tidak; benda-benda yang menempel sebagai trace evidence. Lakukan pemeriksaan badan berkaitan dengan hal-hal umum, dan genetalia. Hal-hal umum meliputi: rambut/wajah rapi atau kusut; emosi tenang atau gelisah; tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik; tanda kekerasan di mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam, punggung; Trace evidence yang menempel pada tubuh; perkembangan seks sekunder; tinggi dan berat badan; dan pemeriksaan rutin lainnya. Genitalia meliputi: 90
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
rambut kemaluan yang melekat jadi satu; bercak sperm; vulva bekas kekerasan; bibir vagina; selaput dara; frenulum labia dan komisura posterior; vagina dan serviks; tandatanda penyakit kelamin. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah-tangga, baik antara suami-istri maupun orang-tua-anak. Pada umumnya korban adalah istri atau anak. Pelaku tindak kekerasan terhadap anak bisa ayah atau ibu atau keduanya. Salah satu peristiwa yang kerap dialami perempuan dan anak diantaranya adalah perkosaan: yaitu hubungan seksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya, dan merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan / dorongan untuk menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum / keluarga, dapat dijadikan alat untuk teror dan sebagainya. Perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan. Jika sudah terjadi kekerasan, maka akan dilakukan suatu tindakan dengan ruang lingkup dan sasaran pelayanan sebagai berikut. Ruang lingkup dan sasaran pelayanan meliputi pelayanan darurat dan biasa. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat dilakukan dengan penatalaksanaan korban/pasien KTP, penatalaksanaan terhadap perlakuan salah/ penderaan terhadap anak dan KDRT melalui pelayanan medis; melaksanakan kegiatan mediko legal; melakukan pengobatan dengan pendekatan psikososial. Sedangkan pelayanan Non Instalasi Gawat Darurat dilakukan dengan melakukan proses penyelidikan bila diperlukan; melakukan pendampingan dalam masa pemulihan; melakukan bantuan hokum; mencarikan rumah aman bila diperlukan. Perempuan korban kekerasan fase akut akan mengalami rasa takut atas berbagai hal dan reaksi emosional lainnya seperti shock, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan dirinya, kacau, bingung, histeris dan lain-lain. Perempuan yang mengalami KDRT memiliki ciri-ciri antara lain: cedera bilateral atau berganda; beberapa cedera dengan beberapa penyembuhan; tanda kekerasan seksual; keterangan yang tidak sesuai dengan cederanya; keterlambatan berobat; berulangnya kehadiran di RS akibat trauma. Sedangkan anak perempuan yang mengalami kekerasan akan memiliki ciri-ciri: gejala fisik penganiayaan emosional sering tidak jelas; ekspresi wajah, gerak-gerik, bahasa badan, dapat mengungkapkan perasaan sedih, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakuatan, atau amarah yang terpendam. Anak yang mengalami kekerasan dapat didiagnosa di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Non Gawat Darurat. Pelayanan di IGD meliputi: wawancara riwayat cedera / luka; pemeriksaan fisik; pemeriksaan radiologis; pemeriksaan hematologis; membuat laporan medis resmi. Sedangkan pelayanan Non Instalasi Gawat Darurat meliputi: pengambilan foto berwarna; pemeriksaan fisik saudara kandung; skrining perilaku; skrining tumbuh kembang anak balita. Kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan psikis dalam kategori ringan hingga berat. Bentuk kekerasan terdiri dari kekerasan seksual; fisik; psikis; gabungan seksual dan fisik, dan penelantaran (pendidikan, gizi, emosi). Tempat kekerasan bisa terjadi di rumah tangga; tempat kerja atau sekolah; daerah konflik atau pengungsian; jalanan. Berdasarkan umur, kekerasan bisa sebelum lahir (abortus, pemukulan perut); bayi: pembunuhan dan penelantaran, penyalahgunaan fisik, seks dan psikis; pra remaja (perkawinan usia anak, 91
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
inses, fisik, seks, psikis, pelacuran, pornografi); remaja dewasa: kekerasan, pemaksaan seks, inses, pembunuhan oleh pasangan, pelacuran, pelecehan seks; usia lanjut : fisik, seks, psikis. Perempuan yang mengalami kekerasan kemungkinan besar bisa mengalami trauma. Berikut beberapa trauma yang dialami perempuan yang mengalami kekerasan dilihat dari sifat dan jenis penyebab dan akibatnya seperti table berikut ini. Sifat penyebab
Jenis penyebab
Akibatnya
Mekanik
Benda tumpul
Luka memar Luka lecet Luka robek Kombinasi
Benda tajam
Luka tusuk Luka iris Luka bacok
Senjata api
Gun Shot gun
Fisik
Suhu tinggi
Api / Udara Benda padat Benda cair
Suhu rendah
Udara
Kematian jaringan
Arus listrik
AC
Rangsangan Jantung
DC / petir
otot,
saraf.
Efek panas Efek mekanik Kimia
92
Asam kuat
Kulit kering, keras, coklat, sesuai aliran cairan
Basa kuat
Kulit pucat, teraba licin
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Trauma bisa terjadi di wajah dengan ciri-ciri seperti dalam table berikut ini. Jaringan
Jenis
1. Jaringan lunak
Memar / lecet, bisa dengan bekuan darah
Lokasi
Tato karena trauma Luka tusuk Luka robek Luka kelupas 2. Patah tulang muka
Terbuka
1/3 atas
Tertutup
1/3 tengah 1/3 bawah
Kekerasan yang berupa luka bakar memiliki gejala dan penyebab seperti di bawah ini. Derajat
Tanda – Gejala
Penyebab
I
Kemerahan Pucat bila ditekan
Jilatan api atau benda panas dalam waktu sangat pendek
Kemerahan
Jilatan api cukup lama,
Cairan merembes
Air panas
II
Nyeri Gelembung jaringan Pucat Kering Masih lembek bila ditekan III
Kering
Kobaran api
Keras tidak elastis
Sengatan listrik
Bisa tampak pembuluh Air panas balik yang tersumbat (tercelup)
cukup
lama
Bahan kimia keras
Perempuan sebagai Pelaku Kekerasan dalam Kehidupan Rumah Tangga Perempuan sebagai pelaku kekerasan dalam kehidupan rumah tangga seringkali kekerasannya ditujukan pada anak, suami atau anggota keluarga yang lainnya. Dalam tulisan ini dibatasi pada kekerasan yang dilakukan pada anak yang dilakukan oleh 93
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
perempuan dalam hal ini bisa saja ibu, nenek, bibi atau anggota keluarga lainnya sebagi pelakunya. Pada dasarnya secara alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disentuh, diibelai dan dipeluk adalah kebutuhan utama anak pada ibunya. Dari hal inilah anak dapat percaya diri, tumbuh dengan cinta kasih terhadap diri maupun pada orang lain, dan yang terpenting perasaan aman dan nyaman. Itulah sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, beresiko mengalami masalah-masalah emosi, bahkan kejiwaan: mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan merasa tidak aman. Namun pada kenyataannya hal-hal yang seharusnya diberikan oleh ibu tidak ditemukan oleh si anak, justru yang yang diterima sebaliknya, yaitu berbagai bentuk kekerasan yang didapatnya dari ibu, nenek atau anggota keluarga lainnya. Ibu dapat juga sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya sering kali adalah anak-anak. Data Komisi Nasional Perlindungan anak sebanyak 70% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh perempuan seperti ibu kandung, ibu angkat, ibu guru, nenek, maupun tante. Pelaku ini umumnya sering mendapat kekerasan dari lelaki terutama suami mereka. Pada tahun 2010 sebanyak 15% pelaku kekerasan pada anak dilakukan oleh ibu kandung dan ayah kandung 13,96% (www.menkokesra.go.id,2010, kemiskinan penyebab kekerasan pada anak, diakses 22 Me1 2013 ). Berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, anak merupakan individu yang berumur dibawah usia 18 tahun. Kekerasan terhadap anak adalah tindakan yang dilakukan pada mereka yang berumur di bawah 18 tahun sehingga menyebabkan kondisi fisik dan mentalnya terganggu. Kekerasan sebagai salah satu bentuk agresi memiliki definisi yang beragam. Salah satu definisi sederhana seperti yang diungkapkan oleh Huraerah (2006) yaitu segala bentuk tindakan yang cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, verbal, kemarahan atau permusuhan. Masing-masing bentuk kekerasan memiliki faktor pemicu dan konsekuensi yang berbeda-beda. Penderaan anak atau penganiyayaan anak atau kekerasan pada anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung (guard) pada seorang anak (individu berusia di bawah 18 tahun ) secara fisik, seksual, dan emosional. UNICEF mendefinisikan bahwa kekerasan pada anak adalah: semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Berita tentang kekerasan pada anak seringkali menghiasi layar televisi ataupun media massa lainnya. Dari tahun ke tahun, tingkat kekerasan pada anak di Indonesia semakin meningkat. Dalam sebuah berita dilansir tingkat kekerasan pada anak mencapai 65% (Kompasiana. com, 2013 , Arinda Putri , Let’s Save Our Children, diakses 18 Mei 2013). Kekerasan tersebut beraneka ragam bentuknya, mulai kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai dengan kekerasan seksual. Bahkan tidak sedikit anak yang menghembuskan nafas terakhir akibat berbagai bentuk kekerasan tersebut. Dan menurut hasil penelitian kekerasan anak di Indonesia termasuk yang tersadis (Metro.news.viva.co.id, 2010, Kekerasan Anak di Indonesia Tersadis Sedunia, diakses 19 Mei 2013 ). Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan sejak Januari hingga September 2010 ada sebanyak kasus kekerasan terhadap anak 2.044 kasus. Pada 2009 jumlah kasusnya 1.998, tahun 2008 sebanyak 1.826 kasus, Pada 2007 sejumlah 1.510 kasus dengan kekerasan pada fisik yang paling mendominasi jumlahnya mencapai 642 kasus dan 527 kekerasan seksual dan kekerasan 94
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
psikis 341 kasus .Pada tahun 2012 kekerasan pada anak naik 30% dengan 3.871 kasus dengan 91% kekerasan yang dialami dalam keluarga dan 80,2% dialami di masyarakat. kasus (Metro.news.viva.co.id, 2010, Kekerasan Anak di Indonesia Tersadis Sedunia, diakses 19 Mei 2013 ). Terdapat banyak teori berkaitan dengan kekerasan pada anak, diantaranya teori yang berkaitan dengan stress di dalam keluarga. Stress dalam keluarga tersebut bisa dari anak, orang tua atau situasional (Liunir, 2013). Stress berasal dari anak misalnya anak dengan fisik, mental, perilaku berbeda, anak dengan penyakit menahun, anak balita. Stress dari orang tua misalnya gangguan jiwa, orang tua korban kekerasan pada masa lalu, orang tua terlalu perfect dengan harapan pada anak terlalu tinggi dan orang tua dengan disiplin tinggi. Faktor penyebab terjadinya kekrasan pada anak (1) anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah lakum, autis, terlalu lugu, temperamen lamah, ketidaktahuan anak pada haknya, terlalu tergantung pada orang dewasa, (2) kemiskinan keluarga (3) keluarga broken home, (4) keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua tidak realistis, anak tidak diinginkan, (5) ganguan mental salah satu orang tua (6) pengulangan sejarah kekerasan (7) kondisi lingkungan sosial yang buruk (Liunir, 2013). Ada banyak faktor yang melatar belakangi kenapa anak menjadi korban dalam banyak kondisi. Salah satu faktor terkuat adalah karena anak merupakan pihak yang seringkali diposisikan lemah, tidak memiliki cukup kekuatan dan keberanian membela diri dan melindungi diri. Kondisi riil tersebut, seolah-olah memberikan keuntungan bagi para pelaku kekerasan terhadap anak. Belum lagi faktor ekonomi yang sering mendesak seseorang bertindak di luar batas kemanusiaan. Misal seorang ibu di Sulawesi yang membunuh anak kembarnya dengan menenggelamkan anaknya di bak mandi sampai anaknya meninggal. (Kompasiana.com, 2013, Arinda Putri, Let’s Save Our Children, diakses 18 Mei 2013). Kasus lain adalah kematian anak bernama Indah Sari 3,5 tahun di Serpong Tangerang oleh ibunya akibat disetrika, disiram dengan air panas, bahkan dibakar hidup-hidup (Vivanews.com,Senin 27 September 2010, diakses 22 Mei 2013). Begitu rentannya perempuan terhadap stress, deperesi sehingga mudah emosi dan anak sebagai sasaran pelampiasan. Kasus itu adalah salah satu contoh bagaimana kondisi ekonomi keluarga, tidak kooperatifnya ibu dan ayah dalam keluarga, tekanan hidup yang begitu kuat atau dalam kondisi lainnya kuat mendera seseorang dapat mendorong terjadinya tindak kekerasan pada anak. Kekerasan pada anak dengan alasan apapun tidaklah dibenarkan. Sebagi ibu, orang tua haruslah dapat meredam emosi, menjaga sikap dan mencari solusi atas berbagai masalah dalam keluarga sehingga anak tidak menjadi objek pelampiasan. Anak hidup dengan bentakan, tangisan, kata-kata keras dan menyakitkan akan mempengaruhi psikis anak yang akan berakibat buruk bagi perkembangan kejiwaan anak tersebut di kemudian hari. Pendidikan agama sering terabaikan oleh orang tua dan anak. Pendidikan agama yang ditanamkan pada diri seseorang sejak dini akan membentuk perilaku dan sikap seseorang dalam memahami konsep dirinya dengan baik. Faktor lainnya adalah kenakalan anak yang juga seringkali menjadi penyebab kemarahan orang tua terutama ibu sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi maka orang tua dalam hal ini ibu tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma 95
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
pada anak. Akibat lain adalah kekerasan pada anak akan merasa rendah diri, prestasi di sekolah menurun, hubungan sosial dan pergaulan dengan teman-temannya menjadi terganggu hal ini akan mempengaruhi percaya diri anak yang terbangun sejak dini. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal di dalam dirinya. Akibat lain anak akan cemas, mimpi buruk, depresi dan masalah kejiwaan lainnya. Perempuan sebagai Korban Kekerasan dalam Kehidupan Rumah Tangga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan banyak terjadi di masyarakat, tindakan KDRT mudah terjadi, bila tidak ada payung hukum korban akan terus berjatuhan. Apalagi, akibat komunikasi kurang baik dalam keluarga dan kesibukan masyarakat perkotaan, mulai memudarkan hubungan sosial sekalipun dengan keluarga sendiri. Komunikasi kurang baikpun bisa jadi sebagai penyebab kekerasan sangat mudah terjadi. Pada keadaaan tertentu, terkadang muncul konflik bila satu di antara anggota keluarga ini merasa tidak nyaman dengan anggota keluarga lainnya, atau malah perlakuan kekerasan tersebut secara sengaja dilakukan karena ada kesempatan di depan mata. Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memperlihatkan pada 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75%). Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Selama 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 100%, yaitu menjadi 14.020 kasus dibanding tahun sebelumnya yang cuma 7.787 kasus. Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengungkapkan hal itu pada laporan tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) sepanjang 2004 (Kompasiana.com.2013). Angka-angka di atas harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, di mana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angka-angka tersebut hanya didapatkan dari jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke 303 organisasi peduli perempuan. Data juga mengungkapkan, rata-rata mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang KDRT. Momentum hari anti kekerasan terhadap perempuan yang diperingati dunia setiap tanggal 25 November, disambut dengan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tahun ini, momentum tersebut dijadikan ajang evaluasi. Dalam rangka memperingati hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan telah melakukan konsultasi dengan para penegak hukum dari lingkungan kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pengacara untuk melakukan review terhadap pelaksanaan UU Nomor 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pada saat ini sudah berlaku selama sembilan tahun. Komnas Perempuan dalam siaran persnya menyimpulkan, kendati ada niat baik dari para penegak hukum menggunakan UU baru ini dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, masih terlalu banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri yang mengakibatkan terhambatnya penerapan UU ini. Perbedaan persepsi ini menyangkut pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan dan elemen-elemennya, cakupan “rumah tangga”, peran dan kualifikasi pendamping korban, peran pemerintah, hak pelaporan oleh komunitas, serta pengelolaan dana denda yang harus 96
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
dibayarkan pelaku. Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban KDRT untuk menjalankan proses hukum sampai tuntas, sehingga banyak perkara yang ditarik kembali setelah mulai diproses oleh polisi. Akibatnya, persentase perkara KDRT yang sampai ke meja persidangan sangat kecil dibandingkan total kasus KDRT yang terjadi di masyarakat. Padahal, walaupun perbuatan itu dilakukan suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak, namanya kekerasan tetap kekerasan. Itu tindakan kriminal yang harus mendapat hukuman Kekerasan dalam rumah tangga bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mendiamkan istri untuk menyakiti psikisnya, atau bentuk lain seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan. Sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan, penjambakan dan lain-lain. Perlindungan hukum untuk kekerasan non fisik sangat sulit karena polisi membutuhkan bukti untuk visum sebagai pegangan. Jadi jika yang terluka hatinya, tidak kelihatan. Padahal, definisi kekerasan adalah yang membuat sakit badan maupun hati perempuan. Kadang-kadang ada perempuan yang tidak sadar tindakan suaminya merupakan bentuk kekerasan. Misalkan istri tidak diperbolehkan bergaul dengan orang lain atau keluarganya sendiri. Bentuk KDRT yang banyak dikenal selama ini hanya kekerasan fisik. Padahal sebenarnya tidak sebatas itu. Kekerasan yang dimaksudkan di sini bukan saja kekerasan fisik, tetapi juga bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata seperti kata-kata yang melecehkan, meremehkan dan sebagainya. Paling tidak terdapat lima bentuk KDRT, yaitu fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi, dan sosial. Kekerasan fisik mudah dikenali dengan memar-memar. Kekerasan emosional atau psikologis lebih sulit dikenali, karena yang terluka ada di dalam. Namun, gejalanya bisa kita amati. Sebut saja ketika istri yang biasanya ceria, riang, dan suka bergaul, tiba-tiba menjadi orang yang pendiam, murung dan tidak berani ke luar rumah. Kekerasan seksual lebih sulit dikenali karena kejadiannya di tempat yang sangat tersembunyi. Para istri yang mengalami kekerasan seksual enggan menceritakan atau melaporkan hal ini karena dianggap mencoreng muka sendiri. Yang termasuk kekerasan di bidang seksual ini adalah tindakan pemaksaan terhadap istri untuk melakukan hubungan seksual marital rape (perkosaan terhadap istri sah). Yang termasuk kekerasan ekonomi adalah memaksa istri untuk bekerja melebihi kapasitasnya dan/atau menghambur-hamburkan penghasilan yang diperoleh istri. Termasuk di dalamnya memaksa istri untuk melacur. Sedangkan kekerasan sosial adalah sikap atau tindakan membatasi pergaulan istri. Misalnya saja, istri dikungkung dalam rumah dan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan di luar seperti ikut arisan. KDRT biasanya merujuk pada suatu pola perilaku. Satu kali peristiwa pemukulan suami terhadap istri biasanya dianggap bukan KDRT. Pemukulan itu baru dianggap KDRT bila dilakukan lebih dari sekali dan biasanya berulang-ulang. Tindakan kekerasan terhadap istri, meskipun hanya satu kali jika tidak ditangani secara serius bisa berulang kembali. Lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT sebenarnya menganut paham extended family (keluarga dalam arti yang luas), bukan nucleus family (keluarga inti). Dalam konteks itu, ruang lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi a. suami, istri, dan anak; b. orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap di rumah tangga, dan c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tanggaitu. Jadi, kekerasan yang terjadi akibat majikan memukul atau menyakiti pembantu rumah tangga (PRT) dapat 97
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
dikategorikan sebagai KDRT. Untuk menghapus atau setidaknya meminimalisasi kekerasan dalam rumah tangga memang memerlukan kesadaran semua pihak. Saling mengingatkan akan hak setiap orang untuk hidup nyaman dan aman adalah satu satu cara yang baik dan powerful, dengan kata lain, terdapat ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut baik di sektor domestic maupun publik. Tidak menutup kemungkinan adanya dark number walaupun pemerintah telah menjamin hak perempuan dalam berbagai produk hukum.Begitu juga dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tidak menjamin serta merta dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik, merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat peradilan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan hubungan antar individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, serta dikukuhkan oleh persoalan ketergantungan ekonomi, dan masa depan, serta status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup rapat kasus domestiknya. Dengan sistem budaya patriarki, laki-laki akan merasa bahwa dirinya memiliki kekuasaan dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Mahar yang tinggi dan tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi keluarganya serta adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, membuat kaum `adam` merasa memiliki kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan, memperlakukan apa saja terhadap perempuan. Apalagi di beberapa daerah, masih ada adat yang mengkultuskan garis laki-laki secara tegas sehingga garis keturunan keluarga, warisan dan sebagainya jatuh ke tangan laki-laki. Adat kebiasaan seperti itu memang sulit untuk dihilangkan karena sudah diakui dan diterapkan secara turun temurun. Sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga hanya dinilai sebagai masalah internal sehingga para tetangga maupun sanak famili tidak sepantasnya ikut campur. Seorang perempuan berstatus istri saja diperlakukan seperti itu, apalagi hanya seorang pembantu rumah tangga yang level derajatnya jauh lebih rendah dapat dipastikan akan mendapat perlakuan yang lebih buruk. Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah tidak layak diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya. Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Mereka lebih banyak mendiamkan permasalahannya untuk menutupi aib keluarganya. Korban kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dimana posisinya yang tersubordinat enggan untuk melakukan pengaduan. Bagi mereka, membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk memutuskan pengaduan atas kelakuan suami mereka. Korban akan berpikir seribu kali untuk melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Keadaan tertekan dan ketergantungan hidup biasanya yang menjadi alasan terbesar.
98
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Peran Pemerintah dalam mengatasi Kekerasan yang Dialami Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi pehatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dalam implementasinya, apabila negara tidak menjamin perlindungan hukum terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain UDHR dan CEDAW, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (IESCR), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT) adalah dokumen HAM Internasional yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, dimana para korban KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. Beberapa dokumen HAM regional yang dapat dijadikan andasan bagi korban KDRT antara lain The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR), the American Convention on Human Rights (ACHR), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (Inter-American Convention on Violence Against Women), dan the African Charter on Human and Peoples Rights (African Charter). Hal ini lebih dipertegas lagi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan umum UU PKDRT Pasal 1 angka 2 yang berbunyi sebagai berikut: Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikanoleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Artinya kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi masalah privat atau masalah pribadi keluarga namun juga merupakan tanggung jawab negara dalam hal perlindungannya. Negara berkewajiban dalam hal perlindungan dan penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga dengan memberikan paying hukum bagi korbab tindakan kekerasan dalam rumah tangga baik itu kepada perempuan karena mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak sebagai korban kekerasan anggota keluarganya baik itu ibu, ayah atau anggota keluarga lainnya.
Penutup Perempuan dengan berbagai situasi dan faktor dapat menjadi pelaku dan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Upaya untuk mereduksi meningkatnya kekerasan di Indonesia harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh orang tua, guru, masyarakat dan Pemerintah. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik anak serta menyayanginya, kekerasan dalam bentuk apapun bukan solusi yang arif terhadap anak. Peran guru dituntut dapat memberikan, menanamkan nilai-nilai kebaikan, norma, agama, budi pekerti sehingga anak tidak saja pandai tapi juga mentalnya kuat. Guru harus paham kondisi siswanya dengan berlaku arif, bijaksana dan toleransi. Masyarakat dituntut untuk sadar dan dapat berkerja sama untuk memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak dan orang misalnya pengelola stasiun TV dengan menayangkan program-program pendidikan keluarga, pendidikan agar perilaku masyarakat juga terdidik. Pemerintah wajib
99
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan rumah tangga khususnya perempuan dan anak.
Rujukan Pustaka Fakih, Mansour. 1997. Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender. Jogjakarta : PKBI Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak Jakarta : Nuansa Liunir, 2013. Kekerasan Terhadap Anak : Permasalahan dan Pemecahannya. Protap IGD RS M. Djamil, Padang : 2001/2002 Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD). Dalam Pedoman Pelayanan Gawat Darurat. Ed 2. Depkes RI 1995. Septita H, Diah. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Rumah Tangga. Bali : Tesis Universitas Udayana. Tim 2002. Manajemen Terpadu Penatalaksanaan KTP dan KTA di Rumah Sakit. Ditjen Yanmed Depkes RI Tojo, Parjaman.1999. Kedokteran Forensik. Bandung :FK Universitas Padjajaran Rujukan Undang-Undang : UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dokumen HAM Internasional dan Regional Rujukan Internet : Ayah Bunda. 2013.” Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Dampaknya”dalam http://www.ayahbunda.co.id/artikel/terbaru/contoh. Diakses 18-05-2013 KesraNews. 2010.” Kemiskinan Penyebab Kekerasan Pada http://www.menkokesra.go.id/content. Diakses 22-05-2013
Anak”
dalam
Khaerudin. 2011.” Perkosaan, Kekerasan Seksual Terbanyak di Indonesia” dalam http ://nasional.kompas.com/red. Diakses 18-05-013 Putri, Arinda. 2013.”Let’s Save Our Children” dalam http://sosbud.kompasiana.com/ 2013/03/16/lets-save-our-children-54. Diakses 18-05-2013 Prillawito, Eko. 2010.”Kekerasan Anak di Indonesia Tersadis Sedunia”. dalam http://metro.news.viva.co.id/news/read/17984.Diakses 22-05-2-13 Wasti, Muthiara Ryan. 2013. :”Miris Kekerasan Terhadap Anak di Keluarga” dalam http://jakarta.kompasana.com/sosial-budaya.Diakses 22-05-2013
100