Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
PENGARUSUTAMAAN GENDER DI SEKOLAH MENENGAH ATAS: KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN GENDER DAN KEMITRASEJAJARAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Oksiana Jatiningsih dan Listyaningsih Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Abstract The aim of this research is to describe (1) School policy of gender education to expand the awareness of gender equality. (2) the alternatives of school policies in the practice of gender education. The research take place in SMA 15 and SMA 18. The subjects of the research are the headmaster, vice principal, counseling teachers, and students. The data collection is done by using several techniques such as Focus Group Discussion, documentation and questionnaire. The finding of the research are (1) the school is waiting the precise operational policy about PUG. (2) gender education become a part of counseling programs in a school. In terms of that, a book entitled “Building a Gender Equality and Personal Androgenus” was made. Keywords: counseling programs, gender, androgenus
Pendahuluan Pengarus-Utamaan Gender (PUG) merupakan perwujudan dari komitmen global tentang penghormatan hak-hak asasi manusia, berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Di Indonesia, komitmen ini dituangkan dalam Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Melalui PUG antara lain diharapkan dapat ditingkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kepada laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, kontrol, partisipasi, serta manfaat dari setiap sektor pembangunan. Di bidang pendidikan, melalui permendiknas nomor 84 tahun 2008 dinyatakan bahwa PUG bidang pendidikan merupakan strategi untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Melalui PUG diharapkan dapat diciptakan pendidikan yang responsif gender melalui penataan materi atau bahan ajar, proses pembelajaran di kelas, dan lingkungan fisik sekolah, sebagaimana dinyatakan dalam permendiknas tersebut: “Proses pembelajaran perlu ditingkatkan agar sepenuhnya responsif gender yang antara lain ditunjukkan oleh (i) materi bahan ajar yang pada umumnya masih bias gender; (ii) proses pembelajaran di kelas yang belum sepenuhnya mendorong partisipasi aktif secara seimbang antara siswa laki-laki dan perempuan; dan (iii) lingkungan fisik sekolah yang belum menjawab kebutuhan spesifik anak laki-laki dan perempuan. Di samping itu pengelolaan pendidikan juga perlu dilaksanakan ke arah adil gender atau memberikan peluang yang seimbang bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.”
65
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Melalui permendiknas ini dihimbau agar setiap satuan pendidikan mengintegrasikan gender dalam seluruh aktivitas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi seluruh kebijakan dan program pendidikan. Melalui program PUG di bidang pendidikan, dilaksanakan beberapa kegiatan yang dimaksudkan untuk membangun pendidikan yang responsif gender melalui sosialisasi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender (Suryadi dan Idris, 2004:13). Salah satu kegiatan yang telah dilaksanakan adalah melakukan capacity building dengan cara membangun dan memperluas pemahaman gender pada para pengambil keputusan, perencana, pengelola, serta pelaksana pendidikan. Mendekonstruksi nilai-nilai gender yang patriarkhi menuju nilai-nilai gender egalitarian tidaklah mudah. Hal ini bukan saja karena masyarakat masih kuat memegang erat esensi konstruksi gender yang tradisional bahwa perempuan adalah isteri dan ibu (Kusujiarti, 1997:91), tetapi juga karena sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk mensosialisasikan dan “membentuk” anak itu sendiri juga masih banyak diwarnai oleh nuansa nilai-nilai gender yang tradisional, sehingga ada kecenderungan pendidikan (sekolah) justru menjadi “penghambat” proses penumbuhan kesetaraan gender di masyarakat. Laki-laki dan perempuan diharapkan dapat menjadi mitra sejajar dalam berbagai aktivitas pembangunan, sehingga sudah selayaknya apabila nilai-nilai gender yang disosialisasikan kepada anak saat ini adalah nilai-nilai gender egalitarian. Kesadaran terhadap nilai-nilai yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan anti diskriminasi terhadap perempuan atau laki-laki harus ditumbuhkan. Nilai-nilai gender patriarkhi yang menciptakan dikotomi dan menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tidak setara harus dikritisi dan didekonstruksi, karena dalam konstruksi gender yang tradisional (patriarkhi) posisi perempuan dan laki-laki banyak ditempatkan secara tidak seimbang dan tidak adil. Kultur kelaki-lakian yang mendominasi hampir segala aspek kehidupan telah menyebabkan masyarakat begitu saja menerima, melegitimasi, dan menerapkan kultur tersebut dalam kehidupannya (Yaqin, 2005:112). Nilai-nilai gender tradisional telah menghegemoni pikiran dan perilaku setiap orang, sehingga daya kritis individu dan masyarakat untuk melihat fenomena ketidakadilan dalam sistem nilai tersebut cenderung “mati.” Untuk memutus mata rantai perkembangan perlakuan yang tidak adil, perlu upaya bersungguhsungguh dan terus-menerus untuk membangun kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam rangka itu, pendidikan, khususnya sekolah, memiliki peran yang sangat strategis untuk menumbuhkan dan mengembangkan wawasan dan kesadaran nilai gender yang egalitarian. Di sekolah guru berperan penting dalam sosialisasi gender, makin rendah jenjang pendidikan, makin kuat dan strategis peran tersebut, sebab pada masa-masa tersebut, konstruksi nilai seorang anak relatif lebih mudah dipengaruhi dan dibentuk oleh orang yang lebih dewasa. Sayang sekali, masih banyak guru yang memiliki konstruksi gender yang cenderung tradisional (Jatiningsih, Narwati, dan Setyowati, 2002:6, Jatiningsih dan Setyowati, 2004:48; Sari, 2008:32) sehingga interaksinya dengan siswa pun masih diwarnai oleh nilai gender tradisional. Lebih lanjut juga terungkap bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan gender yang memadai dan sensitivitas gender terhadap materimateri dalam buku bacaan yang bias gender. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang mengemukakan bahwa pengetahuan dan identitas gender seseorang mempengaruhi nilai-nilai dan sikap dalam dirinya (Helgeson, 2009:167).
66
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Perangkat pembelajaran yang ada dan digunakan di sekolah yang bias gender semakin memperburuk keadaan tersebut. Muthali’in (2001:95) mengemukakan bias gender di SD terjadi dalam interaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, media, dan materi pembelajaran yang dimuat dalam buku-buku pegangan untuk siswa. Buku teks di sekolah terdiri atas gambaran-gambaran yang stereotip tentang laki-laki dan perempuan. Pesan-pesan tertulis dan ilustrasi yang dikemukakan dalam buku-buku teks di jenjang SMP pun sering stereotipe dan bias gender (Logsdon dalam Saptari dan Holzner, 1997:218; Koblinsky, Cruse, Sugawara, 1978:452; Baron, Graziano dan Stangor, 1995:185, Setyowati dan Jatiningsih, 2005:10). Bentuk bias gender itu juga berupa jumlah tokoh laki-laki yang lebih banyak ditampilkan dalam daripada perempuan (Burr, 2002:62). Bias gender materi ini pun masih dapat ditemukan pada buku-buku teks di jenjang SMA. Padahal selain informasi tertulis atau muatan kurikulum yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat atau ilustrasiilustrasi dalam buku teks, di dalamnya juga terkandung muatan tersembunyi (hidden curriculum) yang berupa nilai-nilai yang diharapkan tertanam pada diri anak dan akan dipelajari oleh anak (Shaw, 1989:296; Renzetti dan Curran, 1989:88). Buku-buku yang dibaca anak dapat mempengaruhi sikap dan opininya (Kagan dan Lang, 1978:55). Lebih lanjut, kalimat-kalimat yang dibaca anak bisa berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa (Murniati, 1992:28). Karena itu jika informasi yang disampaikan bersifat bias gender, maka hal tersebut akan berdampak pada perolehan belajar siswa. Buku-buku adalah bagian dari upaya sosialisasi gender. Konsistensi informasi bias gender pada buku yang ditemukan anak secara berkelanjutan pada berbagai jenjang pendidikan yang dilaluinya akan semakin mengukuhkan konstruksi gender tradisional yang dimilikinya, sehingga tanpa upaya yang bersungguh-sungguh dan terus-menerus, kesetaraan gender dan kemitra-sejajaran laki-laki dan perempuan akan menjadi mimpi saja. Sosialisasi gender adalah proses belajar untuk menjadi individu sesuai dengan peran dan harapan sosial masyarakatnya. Ada beberapa teori yang menjelaskan bagaimana sosialisasi gender terjadi, yaitu social learning theory, social/cognitive development theory, dan gender schema theory. Social learning theory menekankan pada peran lingkungan dalam membentuk sikap dan perilaku anak yang diperoleh melalui pemodelan (observasi) dan penguatan (hadiah dan hukuman), sedangkan social/cognitive development theory menekankan pada peran aktif individu dalam menginterpretasikan informasi-informasi baru dari lingkungannya untuk diintegrasikan dalam dirinya sesuai dengan identitas gendernya. Gender schema theory yang mengombinasikan elemen-elemen dari social learning theory dan social/cognitive development theory dalam mendeskripsikan bagaimana individu belajar untuk mencapai katagori atau skema peran gender ketika ia memproses informasi baru (Helgeson, 2009:170). Skema gender adalah kontruksi atau struktur kognitif yang digunakan sebagai cara untuk mengorganisasikan atau memproses informasi berdasarkan katagori gender (Stockard, 2006:219; Helgeson, 2009:169; Lips, 2008:91). Seiring dengan pengembangan kecakapan berpikir kritis, pengalaman dan informasi baru tentang gender yang diterima oleh anak dapat menjadi pengetahuan baru yang memungkinkannya memperoleh referensi dalam mengonstruksi pemahamannya untuk diintegrasikan ke dalam skema gendernya. Dalam rangka dekonstruksi gender, informasi dan fakta gender, terutama yang memiliki nuansa berbeda (kontradiktif) dengan konstruksi gender yang sudah ada dapat menjadi alternatif berpikir dan pilihan bagi subjek yang sudah dewasa (Eccles, 1995:187). Perubahan dalam struktur kognitif sosial seseorang bergantung pada tersedianya stimuli sosial yang tepat (Eccles, 1995:175-176). Stuktur tersebut hanya akan berubah bila konteks sosial memberikan informasi yang bertentangan dengan skema sosial yang ada. Dalam fungsi inilah, sekolah berperan untuk 67
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
mempersiapkan anak agar memiliki wawasan gender egalitarian yaitu wawasan gender yang didasarkan akan nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Faktanya, problem bias gender dalam pendidikan masih banyak terjadi. Apakah yang sebenarnya telah terjadi dan berlangsung dalam dunia pendidikan? Bagaimanakah para pelaku pendidikan (tenaga kependidikan) menata „warna“ kehidupan di sekolah? Guru dan kepala sekolah bukan saja menjadi model bagi anak, tetapi tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang diciptakannya pun mempunyai peran penting dalam mengondisikan lingkungan dan situasi belajar yang kondusif bagi upaya transformasi nilai gender menuju kesetaraan dan keadilan gender. Berdasarkan pemikiran di atas, permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimanakah kebijakan sekolah dalam pendidikan untuk menumbuhkan kesetaraan gender? (2) Bagaimanakah alternatif kebijakan yang mungkin dirumuskan?
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif yang dilanjutkan dengan pengembangan kebijakan pendidikan gender di sekolah. Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan (Juni-Desember 2010). Kegiatan penelitian diawali dengan diskusi terfokus untuk mengetahui kebijakan tentang pendidikan gender di sekolah. Setting penelitian ini adalah sekolah menengah atas. Lokasi penelitian adalah SMAN 15 untuk katagori sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan SMAN 18 untuk katagori sekolah berstandar nasional. Subjek dalam penelitian ini adalah dua kepala sekolah, dua wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, dua orang ahli, sepuluh guru Bimbingan dan Konseling (BK), dan 19 siswa. Variabel dalam penelitian ini adalah kebijakan sekolah dalam menumbuhkan kesetaraan gender, yaitu program-program sekolah yang disusun dalam rangka penanaman kesadaran gender dan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan pada siswa. Variabel yang lain adalah alternatif kebijakan pendidikan gender ialah alternatif kegiatan yang diusulkan dalam rangka pelaksanaan pendidikan gender menuju kesetaraan gender. Data dikumpulkan dengan menggunakan diskusi, dokumentasi, dan angket. Data validasi ahli dan ujicoba produk dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Analisis ini untuk mengetahui kelayakan produk. Analisis didasarkan pada indikator kejelasan isi atau materi, kemenarikan tampang, keterbacaan, dan kemudahan penggunaannya. Untuk mempertajam analisis, analisis juga dilakukan secara deksriptif kualitatif.
Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pendidikan Gender di Sekolah Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada awal kegiatan penelitian di SMAN 15 dan SMAN 18 dimaksudkan sebagai kegiatan need asessment untuk 68
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
mendapatkan data tentang program-program atau jenis-jenis kegiatan sekolah dan pelaksanaan program pendidikan gender dan peran sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan guru BK) dalam menyelenggarakan pendidikan gender. Berdasarkan kegiatan tersebut terungkap bahwa program pendidikan tentang gender yang dirancang untuk merespon kebijakan pemerintah ternyata belum ada baik di SMAN 15 maupun di SMAN 18. Kepala sekolah dan guru-guru menganggap bahwa di sekolahnya sudah dilaksanakan pendidikan gender, meskipun belum terprogram secara khusus. Mereka mengemukakan bahwa pendidikan gender diaplikasikan melalui pembelajaran yang berbasis pada prinsip belajar aktif pada siswa; setiap siswa baik laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan keaktifan mereka dalam semua kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelas. Dalam berbagai aktivitas sekolah, siswa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk terlibat di dalamnya. Pilihan pribadi dan minat setiap siswa menjadi barometer utama siswa dalam mengikuti kegiatan (ekstrakurikuler) sekolah. Kepala sekolah dari kedua sekolah ini mengungkapkan bahwa belum ada kebijakan lebih lanjut dari pemerintah tentang PUG, karena itu mereka “menanti saja” kebijakan operasional itu untuk sekolah. Guru-guru tidak peka dan sadar untuk merespon fenomena bias gender di sekolah. Hal-hal yang lebih operasional terkait dengan pelaksanaan pendidikan gender di sekolah misalnya yang melibatkan kepekaan dan kesadaran gender guru dalam merespon situasi-situasi bias gender dan materi-materi bias gender pada buku tidak muncul. Guru-guru membenarkan apa yang dikemukakan kepala sekolah terkait dengan “kecukupan” sekolah dalam melaksanakan pendidikan gender dan merasa telah bertindak tidak bias gender. Mereka mengemukakan bahwa mereka memberikan kesempatan yang sama kepada siswa laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi mengikuti pelajaran, menjadi ketua kelas atau ketua organisasi sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler. Namun mereka tidak pernah mempertanyakan mengapa kelompok siswa dengan jenis kelamin tertentu cenderung memiliki karakteristik tertentu atau lebih aktif berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu daripada kelompok siswa pada jenis kelamin yang lain. Mereka pun belum “tergerak” untuk mencari cara agar siswanya memiliki karakter yang “ideal” sehingga siswa laki-laki dan perempuan dapat berkembang optimal sebagai mitra sejajar dalam berbagai aspek kegiatan. Problem ini sangat mungkin disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap konsep gender, sehingga mereka pun menjadi tidak peka untuk menangkap fenomena bias gender dan tidak memiliki kesadaran untuk merespon secara positif situasi-situasi bias gender dalam rangka penciptaan pengalaman belajar menuju kesetaraan gender sesuai dengan tatanan kehidupan egalitarian. Alternatif Kebijakan Pendidikan Gender di Sekolah Berdasarkan hasil wawancara dengan guru-guru Bimbingan Konseling (BK) terungkap bahwa berkaitan dengan masalah kedisiplinan, ketelitian, tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah dan inisiatif dalam melakukan sesuatu, perempuan lebih unggul daripada laki-laki. Sedangkan dalam hal kepemimpinan siswa laki-laki lebih kuat mentalnya, lebih tegas serta lebih cepat dalam mengambil keputusan dalam memimpin organisasi. Mengapa hal tersebut terjadi -- ada perbedaan karakter -- tampaknya belum menjadi perhatian sekolah. Sebagaimana dikemukakan, bagaimana secara khusus mempersiapkan laki-laki dan perempuan agar menjadi pribadi yang ideal (berkarakter) androgenus yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan egalitarian juga belum menjadi perhatian sekolah.
69
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Berkaitan dengan hal tersebut dan dalam rangka merespon kebijakan PUG, disepakati bahwa kegiatan yang dapat “dimasuki” kebijakan gender adalah kegiatan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah, terutama pada siswa kelas X. Pertimbangannya, semua siswa akan mendapatkan kesempatan belajar gender, rombongan belajar sesuai dengan kelas dan jam pelajaran, dan dapat diatur fleksibel oleh guru sesuai dengan kurikulum yang disusun. Disepakati bahwa pendidikan gender bisa dijadikan alternatif materi atau pokok bahasan dalam tema pengembangan diri. Pengembangan ini merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian siswa yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karier, serta kegiatan ekstrakurikuler. Alternatif kegiatan lain yang mungkin dipilih adalah menciptakan kegiatan khusus semacam pelatihan untuk siswa, misalnya khusus untuk siswa baru. Namun hal ini tidak menjadi pilihan, karena akan melibatkan jumlah siswa yang besar, dan hanya melibatkan mereka pada waktu yang singkat saja. Kegiatan ini pun menuntut sumber daya manusia yang siap untuk melatih siswa dalam kegiatan pelatihan tersebut, dan kebutuhan ini belum tersiapkan dengan baik. Kegiatan ekstrakurikuler Pramuka juga dapat dijadikan alternatif. Namun karena tidak semua siswa mengikuti kegiatan ekstra ini, maka untuk tahap awal kegiatan belajar melalui BK dapat dijadikan alternatif utama. Tujuan umum pengembangan diri adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangannya. Sedangkan tujuan khusus pengembangan diri adalah menunjang pendidikan berkarakter siswa dalam mengembangkan (1) bakat; (2) minat; (3) kreativitas; (4) kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan; (4) kemampuan kehidupan keagamaan; (5) kemampuan sosial; (6) kemampuan belajar; (7) wawasan dan perencanaan karir; (8) kemampuan pemecahan masalah; dan (9) kemandirian. Pendidikan gender dapat dirancang sebagai bagian dari kegiatan pengembangan diri di sekolah. Kegiatan pengembangan diri di SMAN 15 dan di SMAN 18 dilaksanakan secara terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan yang dilaksanakan secara terprogram yaitu yang dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan siswa secara individual, kelompok dan atau klasikal melalui kegiatan bimbingan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan kegiatan yang tidak terprogram dilaksanakan melalui kegiatan (1) rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti upacara bendera, senam, ibadah khusus bersama, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri; (2) spontan yaitu kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antri dan mengatasi pertengkaran; (3) keteladanan yaitu kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi , berbahasa yang baik, rajin membaca, datang tepat waktu, dan sebagainya. Dalam aktivitas penelitian ini, kegiatan pendidikan gender ditempatkan sebagai kegiatan yang dilaksanakan secara terprogram melalui aktivitas BK. Setiap sekolah dapat merancang pelaksanaan kegiatan BK. Kegiatan BK secara klasikal dilaksanakan di dalam kelas untuk kelas X difokuskan pada materi pemahaman diri, kelas XI fokus materi tentang pemantapan penjurusan dan kelas XII fokus materinya tentang studi lanjut dan karier. Setelah mencermati kurikulum BK, belum ada materi tentang gender. Oleh karena itu materi tentang gender yang dikembangkan ini dapat dimasukkan pada materi pemahaman diri untuk kelas X. Di samping kegiatan-kegiatan tersebut di SMAN 15 ada kegiatan khusus untuk anak perempuan yang dilakukan secara rutin pada 70
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
hari jumat ketika siswa laki-laki melaksanakan sholat jumat yaitu keputrian. Materi dalam kegiatan yang didesain khusus untuk siswa perempuan ini berpusat pada persoalan perempuan, terkait dengan virginitas, dan berpacaran yang sehat, belum mencakup relasi yang lebih luas dengan laki-laki yang diwarnai oleh kesadaran relasi gender yang setara. Pendidikan gender ini penting diberikan pada siswa agar mereka nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dan memiliki wawasan kesetaraan gender. Paket materi yang dikembangkan dimaksudkan untuk meletakkan dasar pemahaman pentingnya kesetaraan gender dan menjadi pribadi androgenus.
Hasil Uji Coba Produk Bersama-sama dengan alternatif kebijakan yang diusulkan, dalam penelitian ini diajukan juga perangkat pelaksanaan kebijakan tersebut dalam pelaksanaan pendidikan gender. Materi yang dikembangkan diformat dalam bentuk buku saku dan diberi judul “Membangun Kesetaraan Gender dan Pribadi yang Androgenus”. Perangkat yang dikembangkan mencakup buku saku dan Lembar Kerja. Materi ini bukan buku ajar yang digunakan oleh guru untuk mengajar, namun dapat dijadikan sebagai referensi tambahan guru dalam melaksanakan pendidikan gender. Buku saku ini diharapkan dapat membantu siswa memahami konsep-konsep dasar gender dan posisi dirinya dalam membentuk pribadi yang androgenus untuk mewujudkan kesetaraan gender. Melalui pribadi yang androgenus ini diharapkan siswa dapat menjadi individu yang tidak memilah secara kuat karakteristik feminin-maskulin, sehingga diharapkan padanya terdapat karakter yang “utuh” sebagai hasil adopsi silang karakter positif lawan jenisnya. Buku yang diharapkan dapat memberikan informasi dasar (awal) dalam membentuk pemahaman konsep gender dan relasi yang egalitarian ini terdiri atas tiga bagian yaitu: (1) memahami peran seks dan peran gender; (2) Peranku; (3) Menjadi Pribadi yang Androgenus, serta Lembar Kerja yang diharapkan dapat memandu siswa berpikir lebih lanjut dalam rangka membangun pemahamannya tentang konsep gender dan relasi yang egalitarian. Materi ini telah dikonsultasikan kepada dua orang ahli. Tidak ada kesalahan substansial. Hasil penilaian mereka terhadap sajian materi berada pada kriteria layak, meskipun masih diperlukan revisi dan penambahan dalam beberapa hal, misalnya sajian gambar. Dengan demikian materi ini layak untuk digunakan. Hasil ujicoba materi kepada guru BK dan siswa menunjukkan bahwa materi ini pun layak dipergunakan. Kebijakan khusus tentang pendidikan gender baik di SMAN 15 maupun SMAN 18 sampai saat ini belum ada. Kepala sekolah dan guru-guru menganggap bahwa di sekolahnya sudah melaksanakan pendidikan gender meskipun belum terprogram secara khusus tetapi dalam implementasi kegiatan apapun di sekolah tidak membedakan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama. Meskipun demikian dalam kenyataannya, tanpa disadari siswa laki-laki masih mendominasi menjadi ketua kelas baik di SMAN 15 maupun SMAN 18. Secara umum masih ada pandangan bahwa ketua kelas laki-laki lebih tegas dan lebih bertanggung jawab. Namun fenomena ini belum menjadi perhatian sekolah. Wajar saja, untuk menangkap bias gender, seseorang penting telah memiliki pemahaman dan kemampuan evaluasi yang kritis, serta sensitif dan responsif gender. Diduga hal ini 71
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
belum dimiliki oleh kepala sekolah dan guru-guru di sekolah ini. Inferensi ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang mengungkap bahwa pengetahuan gender yang masih kurang pada guru menyebabkannya tidak sensitif gender atas bias gender dalam materi dan interaksinya (Jatiningsih dan Setyowati, 2004:48; Setyowati dan Jatiningsih, 2005:62; Jatiningsih, Narwati, dan Setyowati, 2002:6, Sari, 2008:32). Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang mengemukakan bahwa pengetahuan dan identitas gender seseorang mempengaruhi nilai-nilai dan sikap dalam dirinya (Helgeson, 2009:167). Karena itu dalam rangka membangun pendidikan yang responsif gender, para guru yang bertindak sebagai aktor dalam sosialisasi gender ini terlebih dahulu perlu dijadikan “melek gender.” Para pelaku pendidikan (kepala sekolah dan guru) adalah pencipta lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah yang kondusif bagi penciptaan lingkungan belajar gender yang berperspektif gender merupakan salah satu upaya yang harus diciptakan dalam kerangka pelaksanaan PUG di bidang pendidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam social learning theory bahwa dalam mempelajari gender, lingkungan berperan penting dalam membentuk keterampilan dan perilaku anak (Helgeson, 2009:166). Kondisi ini menuntut setiap pelaku pendidikan di sekolah paham, sensitif, dan sadar gender. Tanpa itu anak akan “meniru” hal-hal yang bias gender yang teramati oleh mereka selama interaksi di sekolah berlangsung. Pada akhirnya hal ini akan memperkuat skema gender tradisional yang mungkin telah kuat tertanam pada diri anak. Dengan kata lain sekolah berperan dalam menguatkan, bukan mendekonstruksi gender, menuju penciptaan gender yang egalitarian. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan referensi dalam rangka menumbuhkan dasar kesadaran gender ini adalah buku saku tentang “Membangun Kesetaraan Gender dan Pribadi yang Androgenus”. Berdasarkan penilaian para ahli dan pengguna diketahui bahwa materi ini layak dipergunakan sebagai buku saku siswa dalam rangka meletakkan dasar untuk menumbuhkan karakter androgenus dan kesadaran serta relasi gender yang setara. Melalui materi tersebut siswa dapat membedakan konsep kodrat dan gender, membedakan peran kodrat dan gender, mengidentifikasi karakter diri, mengevaluasi karakter diri, dan merancang pengembangan karakter diri menuju pribadi berkarakter androgenus yang diperlukan untuk mengembangkan kehidupan yang egalitarian. Materi yang disampaikan pada buku saku ini memang belum fokus ke arah pengembangan pribadi yang androgenus, namun diharapkan dapat dikembangkan dalam rangka meletakkan dasar pemahaman awal siswa tentang konsep dan peran gender serta karakter androgenus. Untuk pengembangan lebih lanjut berkaitan dengan karakterkarakter androgenus diperlukan pengkajian lebih lanjut, termasuk oleh sekolah yang bersangkutan. Kehadiran informasi alternatif dalam buku saku ini dapat dijadikan sebagai informasi baru bagi anak yang dapat diintegrasikan dalam skema gendernya. Melalui kecakapan berpikir kritis pada anak, serta intensitas guru dalam melakukan penguatanpenguatan yang dekonstruktif, materi-materi ini dapat menjadi stimulus bagi upaya penciptaan kesetaraan gender, sesuai dengan yang dikemukakan oleh social cognitive theory (Hegelson, 2009:168). Dalam prakrik, buku saku yang dikembangkan bagi siswa didesain untuk dapat dijadikan bacaan lepas siswa ketika guru BK membahas tentang pengembangan diri, namun juga dapat dijadikan sebagai bahan bagi guru. Di proses diskusi ketika guru membahas materi ini dapat terjadi diskusi yang lebih mendalam berkaitan dengan materi yang dipelajari. Namun tentu ini sangat terkait dengan kesensitifan gender guru yang bersangkutan. Hal ini belum dikaji dan diantisipasi dalam penelitian ini. Lembar kerja yang dikembangkan
72
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
bersama-sama dengan buku saku ini dapat dijadikan sebagai sumber diskusi lebih lanjut bersama guru di kelas BK. Dalam konteks yang lebih luas, upaya mengembangkan kesadaran gender pada anak sangat terkait dengan keseluruhan proses pembelajaran di sekolah, tidak hanya pada kegiatan BK. Dua aspek penting dalam interaksi individu dengan lingkungan sosialnya adalah cummulative continuity dan interactional continuity (Lips, 2008:95). Proses interaksi yang terjadi di kelas dan di luar kelas dalam kehidupan sehari-hari merupakan sumber dan pengalaman belajar yang penting bagi siswa. Setting sekolah dan kelas yang berperspektif gender ini menjadi konteks yang penting dalam menjamin terciptanya proses kontinuitas kumulatif (cummulative continuity) yang menyediakan bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang berperspektif gender dalam sosialisasi gender di sekolah. Proses yang berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan ini akan menggelinding seperti bola salju yang dapat menguatkan sistem nilai gender tertentu pada siswa. Penguatan secara terus-menerus untuk menumbuhkan kepekaan dan kesadaran gender juga sangat diperlukan. Respon guru terhadap materi atau fenomena bias gender yang ada pada materi sekolah misalnya, merupakan peristiwa penting yang dapat membawa anak ke arah kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan kaca mata gender, sebagaimana halnya yang (seharusnya) dilakukan gurunya. Interaksi sosial yang berlangsung dua arah antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa merupakan pengalaman belajar yang penting yang akan menjadi referensi kognitif siswa dalam membangun konstruksi gendernya. Selanjutnya, kontinuitas interaksi (interactional continuity) yang merujuk pada interaksi dua arah antara person dan lingkungan sosial akan dapat mempromosikan reaksi-reaksi tertentu yang dapat berfungsi menguatkan atau melemahkan karakter atau perilaku gender tertentu. Buku saku gender ini diharapkan dapat mengawali pendidikan gender. Buku ini bukanlah buku sakti yang dapat mengajari siswa untuk menjadi pribadi yang androgenus menuju tatanan kehidupan yang egalitarian. Kontinuitas proses pendidikan yang berperspektif gender melalui berbagai aktivitas di kelas dan di sekolah serta setting lingkungan sekolah yang berperspektif gender, yang tentu saja melibatkan agen-agen sosialisasi gender yang paham, sensitif, dan sadar gender merupakan hal penting dalam penciptaan pendidikan yang berperspektif gender.
Penutup Simpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian adalah: (1) Sekolah belum merespon secara formal kebijakan PUG di bidang pendidikan. Mereka cenderung pasif, menanti kebijakan lebih lanjut yang akan digulirkan oleh pemerintah. Sekolah merasa bahwa telah melaksanakan pendidikan yang tidak bias gender. Sikap-sikap yang responsif terhadap fenomena bias gender yang terjadi belum muncul, hal ini terkait dengan pemahaman, kesensitifan, dan kesadaran gender guru dan para pengambil kebijakan di sekolah. (2) Pendidikan gender dapat dititipkan sebagai bagian dari kegiatan Bimbingan dan Konseling (BK) sekolah, yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan kepribadian siswa. Kegiatan ini fleksibel mengikuti irama kegiatan di sekolah masing-masing, karena ternyata antara sekolah satu dengan yang lain memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan jumlah waktu pertemuan yang digunakan untuk BK. Karena itu materi yang dikembangkan untuk pendidikan gender ini pun dikemas sederhana dan singkat sebagai 73
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
buku saku yang dapat dimanfaatkan siswa (dan guru) dalam memahami konsep-konsep dasar gender dan kesetaraan gender, serta mengenal karakter androgenus.
Daftar Rujukan Baron, Reuben M. dan William G. Graziano, 1995. Sosial Psychology. Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Burr, Vivien, 2002. Gender and Social Psychology. New York: Routledge. Eccles, Jacquelynne Parsons, 1995. “Gender-Role Socialization”. In Reuben M. Baron, William G. Graziano, dan Charles Stangor, Social Psychology (p160-191). Chicago: Holr, Rinehart dan Winston Inc. Helgeson, Vicki S., 2009. The Psychology of Gender. Boston: Pearson. Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Jatiningsih, Oksiana, dan Nanik Setyowati, 2004. Pendidikan gender di SMP: Sosialisasi gender pada Anak dalam Rangka Penyiapan Anak menuju Tatanan Masyarakat yang Egalitarian dan Demokratis. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Lembaga Penelitian UNESA. Jatiningsih, Oksiana, Dwi Retnani Sih Narwati, dan Nanik Setyowati, 2002. Pengembangan Model Pendidikan di SD: Studi untuk meningkatkan Pemahaman Gender pada Anak dalam Rangka Penyiapan Anak menuju Tatanan Masyarakat Egalitarian. Laporan Penelitian. tidak dipublikasikan. Surabaya: Lembaga Penelitian UNESA. Kagan, Jerome, dan Cynthia Lang, 1997. Psychology and Education: An Introduction. New York: Harcourt Brace Javanovich, Inc. Koblinsky, Sally Gentry, Donna F. Cruse, dan Alan I. Sugawara, 1978. "Sex Role Stereotypes and Children's Memory for Story Content." in Child Development Nomor 2 Volume 49, Juni. Chicago: University of Chicago Press. Kusujiarti, Siti, 1997. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa." Sangkan Paran Gender. Editor: Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lips, Hilary, 2008. Sex and Gender. An Introduction. Boston: McGraw Hill. Murniati, A.P., 1992. “Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan” dalam Citra Wanita dan Kekuasaannya. Seri Siasat Kebudayaan. Editor: Budi Susanto (halaman 19-37). Yogyakarta: Kanisius. Muthali’in, Achmad, 2001. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
74
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.
Pedoman
Renzetti, Claire M. dan Daniel J. Curran, 1989. Women, Men, and Society. The Sociology of Gender. Boston: Allyn and Bacon. Saptari, Ratna, and Brigitte Holzner, 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sari, Maya Mustika Kartika, dan I Made Suwanda, 2008. Pendidikan Gender pada Anak Usia Dini: Studi tentang Guru sebagai Agen Sosialisasi Gender di Sekolah. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasi. Surabaya: lembaga Penelitian UNESA. Setyowati, Rr. Nanik dan Oksiana Jatiningsih, 2005. Pendidikan Gender bagi Calon Guru SD dalam Rangka Penyiapannya menjadi Agen Sosialisasi Gender di Sekolah dalam Rangka Pendekonstruksian Nilai Gender pada Anak menuju Tatanan Kehidupan yang Egalitarian. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Lemlit UNESA. Shaw, Beverley, 1989. "Sexual Discrimination and the Equal Opportunities Commission: Ought School to Eradicate Sex Stereotyping?" Journal Of Philosophy of Education. Volume 23, Nomor 2. Halaman 295-302. Great Britain: The Philosophy of Education Society. Staockard, Jean, 2006. “Gender Socialization” dalam Handbook of Sociology of Gender. Editor: Janet Salman Chafetz. Houston: Springer. Suryadi, Ace dan Ecep Idris, 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: Genesindo. Yaqin, M. Ainul, 2005. Pendidikan Multikultural. Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
75