Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
PEREMPUAN WARANGGANA LANGEN TAYUB DI MASYARAKAT AGRARIS Anik Juwariyah Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Abstract The aim of this writing is to analyze women position who work as waranggana (singer) in Agrarian society. Theory of Social Constructions by Peter L.Berger and Thomas Luckmann is used to analyze this study. The data collection is done by using several techniques such as interview, observation, library research, and recording. The setting of this research is in Nganjuk regency. Nganjuk is one of the Agrarian society whose community keep Langen Tayub alive. Nganjuk also known as a district that has a lot of waranggana. The study shows that female waranggana or taledhek become the core character in langen tayub art. She must keep up appearances, looks attractive and do various movements, including saweran. This action cause female waranggana was mocked up in her daily live. In the Agrarian society waranggana also plays as a mediator between society and danyang desa. Keywords: saweran, erotic dance, agrarian society Pendahuluan Pada masyarakat agraris, sebagian masyarakat khususnya perempuan masih ada yang berprofesi sebagai waranggana (penari Langen Tayub). Bentuk profesi ini di masyarakat agraris masih menjadi sebuah profesi yang menjanjikan, dalam arti dapat menjadi penopang hidup keluarga dan dapat diandalkan. Sepanjang sejarah profesi waranggana atau taledhek atau penarti Tayub, mengalami pasang surut.Pada sekitar tahun 1960 an, profesi taledhek sangat memilukan, Tayub awal mulanya dipentaskan dari rumah ke rumah dalam bentuk ngamen/mbarang. Pada tahun 1960-an Tayub merupakan bentuk kesenian yang dipandang negatif sebagaimana dijelaskan oleh Geertz (1960:397) berikut ini. Taledek, tandak merupakan perempuan penari dan penyayi jalanan, yang bermain baik disewa maupun dengan berjalan dari pintu ke pintu sepanjang jalan di kota, pasar, bahkan di desa-desa. Seringkali seperti pengemis dan memang dianggap demikian. Riasan dibedaki dengan tabal-tebal, sebagai bentuk perkembangan dari pola penari topeng lama. Mereka diberi ongkos 10 sen/ 1 tali agar lekas pergi. Beberapa yang agak trampil menari tari Srimpi dan Bedaya tiruan yang jelek yang dicampur dengan unsur dari sumber rakyat. Terkadang mereka terdiri dari 2-3 gadis dan 6 pengiring gamelan. Kalau ditanggap ongkosnya Rp. 1 – Rp. 2,5 per setengah jam penampilan. Gadis-gadis itu kadang-kadang juga jadi pelacur. Bentuk kesenian ini hampir seluruhnya berada di lingkaran Abangan. Penelitian Juwariyah, dkk (1997), menunjukkan bahwa perempuan dukuh Ngrajek desa Sambirejo kabupaten Nganjuk yang berprofesi waranggana mempunyai penghasilan yang tinggi. Mereka berinvestasi dengan membangun rumah, menggarap sawah dan memelihara binatang sapi. Sebagian besar juga sudah memiliki mobil. Rumah waranggana kelihatan lebih bagus dan menonjol dibandingkan rumah penduduk desa pada umumnya. Meskipun 1
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
demikian, mereka terkadang masih mendapatkan cibiran dan tanggapan yang negatif dari masyarakat. Hal itu terkait dengan profesinya yang menuntut untuk pulang malam, bahkan sampai pagi, atau terkait hubungannya dengan penggemar, penayub dan pejabat. Pro kontra itu tampaknya masih berlangsung hingga sekarang. Di satu sisi mereka menjadi idola di sisi yang lain mendapat celaan. Posisi sentral yang disandang waranggana pada pertunjukan Langen Tayub menjadikan pusat perhatian. Dengan menjadi pusat perhatian, waranggana selalu berusaha menjaga penampilannya agar selalu menarik, dari berbagai sudut pandang, misalnya tata rias dan busana, tarian dan lantunan tembang-tembang.Tariannya meskipun tidak sempurna/indah, paling tidak dapat mengikuti alunan irama dari tembang/ gendhing yang ada.Gerakan tarian waranggana terkadang menggemaskan dan bahkan tidak jarang sedikit menggoda. Seorang penari Langen Tayub/waranggana dituntut untuk dapat menarikan satu tarian wajib yaitu tari gambyong, karena tarian ini menjadi pembuka pertunjukan Langen Tayub.Kewajiban waranggana untuk dapat menarikan tari gambyong tampaknya ada hubungannya, hal itu dapat disimak dari beberapa tulisan berikut. Menurut Widyastutieningrum (2005: 3-5) istilah Gambyong atau tari Gambyong mulai digunakan dalam serat Centhini yang ditulis abad XVIII. Tarian ini diperkirakan merupakan perkembangan dari tari tledhek atau Tayub. Menurut serat Sastramiruda tari Tayub ada sejak zaman Kerajaan Jenggala (abad XII), tari tledhek dikenal sejak zaman Demak (abad XV), yang disebut tledhek mbarangan. Bentuk pertunjukan tari taledhek yang menampilkan penari dengan menyanyi tampaknya merupakan bentuk pertunjukan yang telah dilakukan sejak zaman Hinduisme. Ketika itu bentuk pertunjukan ini disebut “angigel angidung”. Tahun 1817, Rafles menulis mengenai adanya seorang taledhek atau ronggeng yang menari dengan sehelai selendang yang disampirkan pada salah satu bahu dengan sebuah kipas di tangan. Ronggeng itu mengiringi tari dengan menyanyi. Tarian ini merupakan tarian untuk hiburan laki-laki, baik untuk golongan atas maupun golongan bawah. Suatu pesta belum lengkap kalau belum nanggap ronggeng. Awal mula istilah Gambyong tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Penari taledhek yang bernama Gambyong itu juga disebutkan dalam buku Cariyos Lelampahanipun Suwargi R.Ng.Ronggowarsito (1803-1873), yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu. Sedyawati juga menyebutkan bahwa gambyong mulanya nama seorang waranggana yang amat pandai menari dan amat lincah. Nama lengkapnya Mas Ajeng Gambyong, sedangkan nama tariannya adalah Glondrong. Atas usaha K.R.M.T Wreksadiningrat, tari tersebut diperkenalkan kepada umum dan ditarikan oleh seorang waranggana. Ketika itu tari Gambyong diperhalus dengan kaidah-kaidah tari keraton, sehingga tari Gambyong mempunyai bentuk yang berbeda dengan sebelumnya. Disitulah terjadi perpaduan tari rakyat dan tari keraton. Bentuk tari ini kemudian berkembang dalam masyarakat. Menurut Widyastutieningrum (2005: 5-6) tari Gambyong sering ditampilkan di Mangkunegaran pada zaman Jepang, untuk menjamu tamu para pejabat tentara Jepang yang datang di Mangkunegaran (kira-kira tahun 1942-1945). Hal ini mendorong Nyi Bei Mintoraras untuk menyusun tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950. Tari Gambyong ini berbeda dengan bentuk tari Gambyong sebelumnya, baik dalam susunan tari, iringan tari, rias dan busananya. Bentuk tari Gambyong Pareanom disusun berdasarkan tari Srimpi, 2
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Golek, dan Gambyong. Selain itu juga digarap dengan kaidah-kaidah tari istana. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kemunculan Gambyong Pareanom ini mendorong hadirnya susunan tari Gambyong lainnya. Sumardjo Hardjoprasanto menyusun tari Gambyong Pangkur pada tahun 1962. S. Ngaliman menyusun tari Gambyong Gambirsawit tahun 1970, tari Gambyong Pareanom tahun 1972 dan tari Gambyong Pancerana tahun 1981. Sutjiati Djoko Suhardjo menyusun tari Gambyong Pareanom pada tahun 1974, S.Maridi menyusun tari Gambyong Ayun-Ayun tahun 1969, tari Gambyong Pangkur tahun 1975, tari Gambyong Pareanom tahun 1975, dan tari Gambyong Sala Minulya tahun 1979. Di Mangkunegaran Nyi Bei Mintoraras menyusun tari Gambyong Padhasih tahun 1956, tari Gambyong Sumyar tahun 1970, dan tari Gambyong Campursari tahun 1970. Nora Kustantina Dewi dan Rusini menyusun tari Gambyong Pareanom tahun 1979. Sunarno menyusun tari Gambyong Mudhatama tahun 1989, dan Wahyu Santoso Prabowo menyusun tari Gambyong Dewandaru tahun 1992. Perkembangan selanjutnya tari Gambyong disajikan bukan hanya untuk menyambut tamu, tetapi juga untuk berbagai hajatan yaitu dalam acara perayaan, perkawinan, pembukaan, peresmian, lomba atau festival. Di Kabupaten Nganjuk juga beberapa kali diadakan lomba menari tari Gambyong untuk kalangan waranggana/penari Langen Tayub, karena tarian ini merupakan tarian wajib yang harus dikuasai oleh seorang waranggana. Gambyong Pareanom yang dilakukan oleh seluruh waranggana yang mengisi acara. Mereka yang menarikan tari Gambyong sekaligus merupakan tledhek Langen Tayub. Dalam peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia di pendopo Kabupaten Nganjuk, tari Gambyong menjadi tarian pembuka bagi resepsi tersebut. Selain untuk pembukaan pementasan Langen Tayub, tari Gambyong sangat populer di kalangan masyarakat Nganjuk, karena sering digelar lepas dari kesenian Langen Tayub pada hajatan perkawinan. Setiap pertunjukan Langen Tayub di kabupaten Nganjuk selalu diawali dengan sajian tari Gerakan tari Gambyong tergolong lincah dan cenderung erotis. Secara lahiriah tari Gambyong menampilkan tentang sosok wanita yang olah keprigelan meliputi tregel/prenes (lincah), kenes (genit), kewes (lemah gemulai), dan luwes (tidak canggung). Nyi Bei Mardusari menambahkan bahwa tari Gambyong itu menampilkan rasa berag/gembira (Widyastutieningrum, 2005: 8). Berdasarkan uraian di atas jelaslah mengapa tarian pembukaan untuk pementasan Langen Tayub menggunakan tari Gambyong, karena memang asal usulnya tari Gambyong adalah dari tarian yang ditarikan oleh tledhek, kemudian mendapat sentuhan dari kalangan istana/kraton. Di wilayah Jawa Timur yang termasuk dalam wilayah kebudayaan Jawa Wetanan/Jawa Timuran, Mandalungan tarian pembuka untuk pementasan Langen Tayub kadang-kadang tidak menggunakan tari Gambyong tetapi tari Remo putri. Penari Remo putri tersebut juga berperan sebagai penari Tayub. Ketika zaman Jepang, di Mangkunegaran sering digunakan untuk menyambut tamu dari Jepang. Sejak itulah muncul berbagai varian tari Gambyong yang disajikan untuk menyambut tamu. Sebagai tarian pembukaan pada pementasan Langen Tayub tari Gambyong juga berfungsi untuk menyambut tamu/atau para hadirin yang menghadiri hajatan. Soedarsono dalam Wiedyastutiningrum (2007: viii), mengungkapkan bahwa tradisi pertunjukan Tayub ternyata memiliki awal sejarah yang sangat tua. Bila menyimak dari data yang terdapat dari berbagai kakawin, misalnya Kakawin Gathotkacasraya dari abad ke-12, telah termuat berita singkat tentang Tayub. Merunut prasasti Taji dari tahun 823
3
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Saka, walaupun tidak disebutkan bernama Tayub, tetapi tari hiburan pribadi ini telah biasa dilakukan oleh masyarakat, termasuk para pejabat kerajaan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa asal usul Tayub memiliki sejarah yang sudah tua dan muncul dalam masyarakat biasa maupun masyarakat di kalangan istana atau kerajaan. Tayub yang berada di Nganjuk merupakan pertunjukan Tayub yang berkembang di masyarakat biasa. Tayub awal mulanya dipentaskan dari rumah ke rumah dalam bentuk ngamen/mbarang. Popularitas Tayub sebagai salah satu bentuk pertunjukan hiburan di kalangan masyarakat petani pedesaan Jawa, justru mendorong kemunculan sejumlah rombongan pengamen kesenian rakyat tersebut. Sejumlah rombongan pengamen Tayub tersebut secara profesional berkeliling dari desa ke desa menampilkan pertunjukan hiburan dan mereka mendapatkan bayaran. Dari sinilah keberadaan Tayub berubah ke arah komersial (Koentjaraningrat, 1942: 211, Soedarsono,1990: 7, Irianto, 2005: 4). Tak jarang kelompok Tayub juga menyelenggarakan pertunjukan di tempat terbuka seperti di sawah, lapangan, pasar atau bahkan terminal. Orang-orang pria yang ingin menari dengan tledek harus membayar. Kegiatan menayub seperti ini oleh masyarakat biasa disebut sebagai Janggrungan. Presentasi tanggapan pentas Tayub semakin meningkat setelah sejumlah bangsawan atau bupati pada zaman penjajahan Belanda sering mengundang para pengamen Tayub pada hajatan mereka. Di arena pementasan tak jarang para Bupati dan bangsawan memamerkan kekayaan mereka dengan memberi uang kepada pengrawit, dan penari. Jumlah uang yang diberikan diumumkan pada para hadirin oleh pembawa acara, sehingga mereka akan malu kalau memberikan uang dalam jumlah yang sedikit (Irianto, 2005: 4-5). Kebiasaan inilah yang sekarang berkembang dengan istilah sawer. Sawer yang diberikan oleh bupati atau bangsawan juga masih dilakukan oleh pejabat publik yang berpengaruh. Pertunjukan Tayub dalam rangka Gelar Budaya Daerah dari kabupaten Ngawi yang digelar Taman Budaya Jawa Timur tanggal 14 April 2012, Sukatno sebagai Kepala Taman Budaya Jawa Timur memberikan sawer kepada semua penari Tayub yang tampil malam itu. Pemberian sawer kepada semua penari Tayub ini akan menambah kewibawaannya sebagai Kepala Taman Budaya Jawa Timur sekaligus simbol kepedulian pejabat terhadap kesenian rakyat. Kewajiban memberikan sawer tidak hanya berlaku untuk para pejabat, semua yang ikut ngibing harus memberikan sawer juga. Pembawa acara bahkan mengingatkan kepada penayub wanita yang ikut juga naik di panggung dengan mengatakan :”Jangan lupa sawernya bapak-ibu, kalau mau disenengke juga harus mau nyenengke” maksud dari ucapan ini adalah setelah penayub dipuaskan dengan menari bersama penari Tayub imbalannya adalah memberikan sawer kepada mereka. Sawer bisa diberikan kepada penari Tayub atau kepada pengrawit. Pemberian sawer dilakukan dengan cara meletakkan uang di baki dan adapula yang diberikan langsung kepada penari Tayub. Dengan dukungan kekuasaan bupati yang menonjol, maka penyelenggaraan Tayub dipandang sebagai simbol penambah kewibawaan kabupaten. Popularitas Tayub kian berkembang hingga zaman penjajahan Jepang. Sekitar tahun 1965 Tayub terus berkembang seiring agenda politik PKI melalui syair-syair yang ditembangkan para tledhek. Lekra yang merupakan organisasi kesenian dibawah naungan PKI berhasil merekrut seniman Tayub. Keberhasilan PKI merekrut seniman Tayub disebabkan dua hal: 1. Kesenian rakyat ini tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat petani pedesaan yang beraliran abangan. Masyarakat abangan biasanya lebih mengakomodir segala bentuk kesenian rakyat, daripada masyarakat santri, karena berpegang pada ajaran agama (Islam), yang menganggap haram pertunjukan Tayub yang menyediakan minuman keras; 2. Para 4
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
tledhek dianggap oleh sebagaian masyarakat sebagai penggoda laki-laki, maka keberadaannya selalu dianggap negatif. Bertolak dari hal itu PKI kemudian merekrut untuk mengembangkan Tayub, padahal dibalik itu ada maksud PKI untuk menempatkan Tayub sebagai salah satu alat kampanyenya melalui syair-syair yang ditembangkan tledhek. Setelah PKI dilarang, Tayub juga mengalami kevakuman. Baru sekitar 1970an (Zaman Orde Baru) aktivitas Tayub kembali hidup kembali sampai sekarang. Pemerintah menganggap bahwa Tayub bisa berfungsi sebagai media strategis pembawa pesan pembangunan (Widodo,1995: 1-34) Penelitian ini menggunakan teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckmann.Teori Konstruksi sosial ini mempunyai tiga tahapan yaitu tahap internalisasi, pbjektivasi dan eksternalisasi.Tahap internalisasi masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Berger dan Luckmann (1990: 87) menyatakan bahwa dalam internalisasi, individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia dalam hal ini para pelaku Langen Tayub di Kabupaten Nganjuk dan mentranformasikan kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Subyektivitas itu tersedia secara objektif bagi orang yang menginternalisasi dan bermakna, tidak peduli apakah ada kesesuaian antara kedua makna. Dalam konteks ini internalisasi dipahami dalam arti umum, yakni merupakan dasar bagi pemahaman mengenai sesama dan bagi pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial ( Berger dan Luckmann, 1990: 186). Dikatakan Berger dan Luckman setelah mencapai taraf internalisasi inilah individu menjadi anggota masyarakat. Proses untuk mencapai taraf itu dilakukan dengan sosialisasi. Di acara bersih desa, berkumpullah warga desa bukan hanya yang tinggal di wilayah tersebut saja, tapi juga warga masyarakat yang tinggalnya di rantau. Blumer dalam Poloma (2000: 259-260) menyatakan: “Aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan dimana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan”. Berdasarkan konsep ini, maka masyarakat pedesaan dengan aktivitas bersih desanya, akan menginternalisasikan ke dalam dirinya dan menjadikannya sebuah makna. Selanjutnya masyarakat memanfaatkannya untuk pengarahan, dan pencerahan aktivitas dan tindakannya di masa mendatang. Bersih desa yang penyelenggaraannya setahun sekali menjadi kegiatan yang sangat bermakna bagi masyarakat desa. 5
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Dalam tahap objektivasi masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Sesuai tahap eksternalisasi Berger dan Luckmann, individu khususnya para seniman Langen Tayub mencurahkan segala pikiran, tenaga dan waktunya sebagaimana konsep eksternalisasinya Peter Berger dan Luckmann, yang menyatakan bahwa “Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni: pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger,1991:4-5). Individu seniman Tayub sebagai anggota komunitas penggemar Langen Tayub dan sebagai anggota masyarakat melakukan aktivitas fisik yang berhubungan dengan pagelaran Langen Tayub, menghadiri pertunjukan yang dilakukan di berbagai tempat meskipun jauh dari tempat tinggalnya,menampilkan pertunjukan Langen Tayub, melakukan komunikasi dengan dinas terkait, dalam hal ini Dinas pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, melakukan pelatihan dan pengembangan kemampuan berkesenian. Dalam berbagai kesempatan dinas pariwisata dan kebudayaan daerah kabupaten Nganjuk mengadakan pelatihan kepada anggota Hiprawarpala (Himpunan Pramugari, Waranggana dan Pengrawit Langen Beksa) berbagai materi berkesenian seperti pelatihan gendhinggendhing, latihan tari, juga masalah etika dalam berkesenian Langen Tayub. Sebelum dibina Disparbudda, dinas kebudayaan ketika era Orde Baru juga sering melakukan pembinaan. Berger dalam Manuaba (2009: 66) menyatakan bahwa ketiga tahapan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) dari teori konstruksi sosial Peter Berger dan Luckmann memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain. Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektivasi masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi manusia merupakan produk masyarakat. Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan dunia sosial (sebagai produknya), tetap merupakan hubungan yang dialektis. Manusia dan dunia sosialnya berinteraksi satu sama lain. Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi merupakan momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Masyarakat adalah produk manusia (society is a human product); masyarakat adalah kenyataan objektif (man is an objective reality); dan manusia adalah produk sosial (man is a social product).
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan peneliti sebagai instrumen utama dalam proses penelitian.Peneliti memilih penelitian kualitatif dengan tujuan agar dapat mengetahui fenomena waranggana Langen Tayub dalam kondisi yang alamiah dalam kehidupan keseharian di masyarakat. Paradigma penelitian ini menggunakan paradigmainterpretatif. Paradigmainterpretatif yaitu pendekatan yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap “socially meaningfull action” melalui 6
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan seharihari yang wajar atau alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka (Salim,2001:42). Faham ini berpendapat bahwa kebenaran suatu ilmu pengetahuan didasarkan pada hasil interpretasi dari subjek penelitian. Denzim dan Yvonna S. Lincoln (2009:670) menyatakan bahwa interpretasi konstruksionis selalu berpegang pada materi-materi empiris yang reliabel atau dapat dipercaya. Realiabilitas sendiri mencakup empat komponen utama, yakni kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subjektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Konsep Setting atau latar mencakup ruang (tempat), waktu, dan suasana terjadinya peristiwa (Supratno, 2010: 301, Sudjiman, 1986: 46; Herusatoto, 1985: 27). Latar penelitian ini adalah tempat dimana pertunjukan digelar atau dipentaskan, beserta waktu dan suasana pementasan berlangsung. Setting dalam penelitian ini adalah di kabupaten Nganjuk.Penentuan Nganjuk sebagai latar penelitian dengan pertimbangan, Nganjuk merupakan salah satu daerah agraris yang masyarakatnya masih memelihara Langen Tayub. Nganjuk dikenal sebagai kota yang mempunyai potensi waranggana yang banyak, dan Langen Tayub di beberapa wilayah sampai sekarang masih hidup subur dalam masyarakat dan masih sering dipentaskan. Data yang ada di kantor Sub Dinas Kebudayaan dan Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tahun 2008 menunjukkan bahwa sampai saat ini seniman Langen Tayub yang ada di Nganjuk dan mempunyai nomor induk terdiri dari: waranggana 61 orang, pengrawit 64 orang, dan pramugari 49 orang. Dari 61 orang waranggana, sebagian besar (sekitar 45 %) berasal dari desa Sambirejo kecamatan Tanjunganom. Daerah ini memang dikenal sebagai daerah penghasil waranggana terbanyak di Kabupaten Nganjuk. Menurut penuturan Herminten, salah seorang waranggana dari dukuh Ngrajek, saat ditemui peneliti di acara gembyangan waranggana tgl 25 Nopember 2011 di dukuh Ngrajek, menyatakan bahwa sekarang ini jumlah waranggana yang berasal dari dukuh Ngrajek dan Sambirejo yang senior ada 11 orang dan yunior ada 6 orang. Nama-nama waranggana yang senior : Musrini, Sriatun, Damiatun, Supartin, Minatun, Herminten, Nyami, Sumini, Suharti, Suyati/Tiwuk, dan Kasmiatun. Sedangkan yang yunior : Mami, Kasmiati, Marni, Yani, Narmi, Menik. Ada salah satu waranggana senior yang baru meninggal dunia karena sakit kanker payudara enam bulan yang lalu, yaitu Sumiatun. Sedangkan yang yunior ada satu yang sudah tidak lagi menekuni profesi ini karena menikah, yaitu bernama Nonik. Penelitian ini dilakukan, di lokasi yang jumlah seniman Langen Tayubnya banyak dan di wilayah yang masih sering menyajikan pementasan Langen Tayub. Kedua lokasi
7
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
merupakan daerah agraris sehingga dapat merepresentasikan posisi seni pertunjukan dalam masyarakat agraris (Juwariyah, 2012).
Pembahasan Sawer dalam Langen Tayub Sawer merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan dari pementasan Langen Tayub. Sawer dalam konteks Langen Tayub merupakan tanda ucapan terima kasih penayub kepada waranggana. Dalam beberapa waktu, sawer menjadi salah satu hal yang berkonotasi negatif karena terkait dengan penyampaian sawer yang kurang sopan, yaitu dimasukkan di dada waranggana. Pihak dinas pariwisata dan kebudayaan mencoba untuk mengubah cara pemberian sawer ini dengan cara diberikankan lewat berjabat tangan. Pada Langen Tayub Nganjuk ada dua macam sawer, yaitu sawer untuk waranggana dan sawer untuk pengrawit. Di beberapa wilayah, sawer dalam seni pertunjukan bentuknya berbeda-beda. Sawer pada pertunjukan Langen Tayub di Tengger Jawa Timur dilakukan bukan hanya penayub, melainkan seluruh lapisan penonton mulai anak-anak, remaja putri,para pemuda, bapak-bapak, ibu-ibu juga nenek-nenek. Di awal pertunjukan saat tarian pembukaan, yaitu tari Ngremo masyarakat memberikan sawer secara sukarela kepada penari Ngremo, dengan naik ke panggung pementasan. Penari Ngremo disini juga berperan sebagai penari Tayub, namun dengan berganti busana kebayak. Menurut Hastuti (2002: 60), pada budaya Sunda istilah sawer diartikan sebagai suatu tindakan melontarkan bendabenda kecil dalam jumlah banyak, ke arah atas sehingga jatuh bertebaran di tanah. Dalam oprasionalisasinya biasanya yang disebut sawer ialah uang logam dan beras kuning yang ditebarkan. Pada acara yang berkaitan dengan upacara adat pengantin, disebut sawer penganten, untuk kitanan dinamakan sawer sunatan, untuk upacara pupak puser bayi dinamakan sawer orok. Di Nganjuk bentuk sawer, selain dari penayub untuk waranggana dan pengrawit, ada juga sawer yang dilakukan anggota keluarga pengantin khususnya yang perempuan. Bentuk sawer seperti ini terdapat di Desa Tempuran Kecamatan Ngluyu. Mereka melakukan sawer dengan cara mengelilingi waranggana dan pengantin putra yang sedang menari. Masingmasing memasukkan uang ke dalam baskom yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dan jumlah uang sawer tidak ditentukan atau sukarela. Sawer yang diberikan keluarga perempuan ini merupakan ucapan terima kasih kepada seluruh crew pelaksana pementasan Langen Tayub, yaitu untuk pengrawit, pramugari dan waranggana. Di Nganjuk sawer seperti ini seperti uang wajib yang diberikan kepada modin/orang yang memimpin acara selamatan. Menurut Hastuti (2002: 58) dalam tesisnya yang berjudul: “Sawer pada Pertunjukan Topeng dalam Konteks Hajatan di Kabupaten Indramayu Jawa Barat”, menyebutkan bahwa sawer sebagai sebuah bentuk budaya yang lekat dengan pertunjukan rakyat, pada hakekatnya merupakan sesuatu yang bersifat imbal jasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sawer mempunyai arti meminta uang kepada penonton (Moeliono, 1990: 789). Pendapatan waranggana dari uang sawer terkadang melebihi jumlah honor yang meraka terima atas jasanya menari di pertunjukan Langen Tayub. Untuk waranggana kelas A, dengan honor sebesar Rp.700,000,00 dan sawernya apabila penayub banyak bisa 8
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
mendapatkan sawer lebih dari Rp.500,000,00. Dengan jumlah penghasilan yang sebesar itu, dapat dikatakan bahwa penghasilan waranggana dengan pengrawit maupun pramugari jauh sekali perbedaannya. Pengrawit dalam satu malam biasanya hanya mendapatkan honor antara Rp.100,000,00 sampai Rp.150,000,00. Pramugari mendapatkan honor Rp.200,000,00 – Rp.250,00,00. Untuk itu uang sawer yang ada di baki atau di baskom dikumpulkan dan dibagi untuk seluruh pengrawit. Jumlah honor pelaku Langen Tayub di Nganjuk memang tidak dapat dipatok dengan honor yang pakem, karena terkadang jumlah honor yang diterima tergantung orang yang mempunyai hajat, kalau yang mempunyai hajat kaya atau dermawan, mereka dapat menerima honor yang lebih besar. Kehadiran sawer telah memposisikan pertunjukan topeng tidak hanya sebagai seni tontonan (performing arts), tetapi juga sebagai seni yang diperansertai (art of participation). Hal itu tampak terutama ketika lagu-lagu permintaan penonton dilantunkan dan kemudian penonton dapat menikmatinya sambil berjoged di atas panggung. Selain itu penonton dapat berkali-kali naik panggung untuk menarik dalang topeng keluar panggung, sementara iringan tetap bertalu-talu dengan irama deder (cepat) (Hastuti, 2002: 175).Jumlah sawer yang diberikan penayub kepada waranggana sangat bervariasi. Penayub yang loma dan mempunyai status sosial yang tinggi akan memberikan sawer dalam jumlah yang besar, misalnya Rp.50,000,00 atau bahkan Rp.100,000,00. Sementara yang lain ada yang memberi Rp, 20,000,00; Rp.10,000,00. Untuk sawer yang diberikan kepada pengrawit (yang diletakkan di baskom), minimal Rp.5,000,00. Dalam konteks Langen Tayub pemberian sawer merupakan bentuk hubungan timbal balik yang menguntungkan, di satu sisi penayub memberikan sawer untuk memesan gendhing dan menari dengan waranggana. Waranggana sebagai orang yang menerima sawer menyediakan jasa melantunkan gendhing dan kesediaan menari dengan penayub. Posisi Waranggana Langen Tayub di Masyarakat Agraris Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap pelaku Langen Tayub, dapat dikatakan bahwa status sosial para pelaku Langen Tayub tergolong dalam status yang diperjuangkan/Achieved status. Menurut Nasikun, status yang diperjuangkan adalah “Kedudukan yang diperoleh seseorang melalui usaha-usaha yang sengaja. Kedudukan ini diperoleh dengan berbagai cara dan terbuka bagi siapa saja yang mampu berusaha”. Para seniman Langen Tayub memperjuangkan status sosial mereka dengan tidak mengenal waktu. Pementasan Langen Tayub yang sering dilakukan pada malam hari, menjadikan mereka pekerja malam yang seringkali pulang sampai larut malam bahkan menjelang pagi. Tidak jarang mereka melewati lokasi yang jauh dari tempat tinggal mereka, sampai di wilayah yang melewati pegunungan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka (baca:waranggana) kadang-kadang masih mendapatkan cibiran dari lingkungan sekitarnya karena pekerjaannya di malam hari dan pulang sampai larut malam, bahkan menjelang pagi. Di arena pementasan, waranggana juga harus mempunyai kepercayaan dan tekad yang tinggi untuk terus menjalani profesinya, karena selama bekerja ia harus berada di lingkungan banyak laki-laki yang tak jarang para penayub tersebut dalam keadaan mendem/mabuk. Waranggana harus tetap menjaga keberadaannya sampai para penayub menari semua. Ia juga harus menjaga kondisinya agar tidak sampai ikut terbawa mabuk atau hilang kesadarannya, karena waranggana merupakan pusat dari pertunjukan Langen Tayub. Meskipun dalam satu profesi, yaitu seniman Langen Tayub, namun ada perbedaan yang sangat menonjol diantara mereka. Waranggana pada umumnya status sosialnya termasuk 9
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
tinggi. Hal ini dapat dimaklumi karena penghasilan waranggana paling tinggi, apabila dibandingkan dengan pramugari dan pengrawit. Waranggana kelas A, dengan honor sekali pentas Rp.700,000,00 dan penghasilan tersebut belum termasuk fee atau saweran yang mereka terima dari para penayub. Apabila digabung dengan uang saweran/fee, waranggana dapat mengantongi honor Rp.1,000,000,00. Dengan demikian dapat diketahui dalam satu bulan yang ramai dengan pementasan, para waranggana mempunyai penghasilan yang sangat tinggi untuk ukuran masyarakat desa. Bukti dari status yang tinggi tersebut adalah banyaknya investasi yang dimiliki para waranggana baik dalam bentuk rumah, kendaraaan roda empat, sawah maupun binatang piaraan (sapi, ayam dan kambing). Di Desa Sambirejo, rumah para waranggana terlihat menyolok dan bagus-bagus apabila dibanding dengan rumah penduduk yang lain. Lain halnya dengan pelaku Langen Tayub yang berperan sebagai pramugari dan pengrawit. Seorang pramugari yang termasuk terkenal dalam satu kali pementasan mendapatkan honor sebesar Rp.250,000,00. Sedangkan seorang pengrawit mendapatkan Rp.100,000,00. Penghasilan itu belum ditambah dengan saweran yang memang diperuntukkan bagi pengrawit dan pramugari. Saweran yang diberikan kepada pengrawit dan pramugari adalah saweran yang diletakkan dalam baskom/tempat lainnya. Jumlah saweran tersebut akan dibagi kepada seluruh pengrawit yang ada, termasuk untuk pramugari. Kadang-kadang mereka juga mendapat tambahan fee dari waranggana. Meskipun mendapat tambahan fee, penghasilan mereka masih jauh dengan penghasilan waranggana. Sementara itu dalam posisinya sebagai anggota masyarakat, (khususnya masyarakat agraris) perempuan waranggana Langen Tayub masih dianggap sebagai profesi yang penting, seperti kisah Darsini. Darsini bisa dikatakan orang yang baik, para tetangganya tidak mempermasalahkan profesinya sebagai penari Langen Tayub. Di event/kegiatan yang berhubungan dengan kesenian di desanya, dia sering menjadi tempat jujukan. Banyak orang-orang atau anak-anak yang minta tolong padanya. Bahkan ada satu hal yang menarik, dari profesinya sebagai penari Langen Tayub di desanya. Pada setiap penyelenggaraan bersih desa atau nyadran yang diadakan di punden, dia menjadi tokoh sentralnya. Masyarakatnya mendaulat dia menjadi perantara atau media komunikasi dengan mbah Danyang. Apabila bersih desa tidak menghadirkan dia, mbah Danyangnya bisa marah. Ketika bersih desa berlangsung, masyarakat menyampaikan keinginannya kepada mbah Danyang melalui Darsini, dengan cara memberikan sawer/uang yang diberikan kepada Darsini, sambil menitipkan pesan, misalnya mohon kesembuhan, dan lain lain. Kemudian Darsini menyampaikan kepada mbah Danyang dengan cara diucapkan langsung ketika nyadran sambil memesan gendhing untuk didendangkan. Uang yang terkumpul kemudian diberikan kepada para pengrawit yang mengiringi pementasan Langen Tayub. Mengetahui perannya yang sangat dibutuhkan masyarakat desanya seperti itu, Darsini tidak serta merta menjadi sosok yang sombong. Dia tetap menjalani kehidupannya dengan biasa. Di luar kegiatannya sebagai penari Langen Tayub yang kadang-kadang mengalami pasang surut, Darsini juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani. Dia bertani layaknya masyarakat desa yang lain. Taledhek /Waranggana Langen Tayub dan Gerak Erotis Menurut Sutarno (2002: 20) ledhek yang istilahnya berasal dari ngledhek, artinya menggoda, yang dipentingkan penampilannya harus dapat mengikat penonton dan penayub. Ia harus sumeh, genit, dan tidak jarang gerakannya menarik birahi para penonton, 10
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
misalnya mengerlingkan mata, memperlihatkan betisnya, dan gerakan yang erotis. Gerakan tledhek yang demikian itu tentu akan membuat penonton mendapat hiburan yang segar serta penayub merasa puas. Hal ini membuat penayub tidak segan-segan akan membayar (sawer) uang lebih banyak. Gerakan erotis yang ditonjolkan dalam tari Tayub untuk hiburan juga disebutkan dalam Serat Centini sebagai berikut. Ni Madu anyandhak payung, sinumpah mungser neng tengah, tangan nglintir gagang payung, munyer payung ingubengan, kekicatan kencetipun, sarwi mingkis-mingkis sinjang, kempol ciklok akelaban, anggonjang wijanganipun, oyek payudaraniro, angincong alis nerutus, kang kasangkut liringiro, samya anjrik surak burung, sarwi nglungken darbekipun (Soeradipoera, 1913)
Terjemahannya : Ni madu mengambil payung, payung akan dibuat berputar di tengah, tangannya memegang tangkai payung, berputarlah paying itu ke segala penjuru, tumitnya diangkat dengan cepat, dengan menarik-narik kainnya, betis dan belakang lututnya tampak sempurna, bahunya bergoyang, bergomcang buah dadanya, alisnya diangkat terus menerus,
11
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
yang terkena lirikannya, bersorak gembira bersama, serta memberikan apa yang dimiliki, Contoh deskripsi gerak tari yang dilakukan waranggana Langen Tayub terlihat pada Tabel 1. Uraian gerak tari waranggana pada Gendhing Arjosari disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Uraian Gerak Waranggana NO
1
2
3
4
12
NAMA GERAK
Goyangan
Lembehan
URAIAN GERAK DESKRIPSI KEPALA
Pinggul bergoyang dan berputar – putar
Kedua tangan melenggang ke depan dan ke belakang, pinggul bergoyang
Ukel Penthanga n
Tangan kanan diukel kemudian tangan kiri menthang ke samping dan sebaliknya
Ukel Lembehan
Kedua tangan melenggang ke depan dan ke belakang sambil pergelangan tangan diukel, pinggul bergoyang
Toleh kanan - toleh kiri
Geleng – geleng
Menghadap ke depan
Geleng – geleng
BADAN
Pinggul bergoyang goyang dan berputar – putar
TANGAN Tangan mengepal dan ditekuk disamping pinggul sambil digerakkan ke depan dan ke belakang
KAKI
Jalan ditempat dan bergoyang mengikuti gerakan badan
Badan digoyang ke samping kiri dan kanan
Tangan melenggang lenggang ke depan dan belakang
Melangkah ke kanan dan kekiri sambil bergoyang mengikuti goyangan pinggul
Tegak
Tangan kanan diukel, tangan kiri penthangan ke samping dan sebaliknya, tangan kiri ukel, tangan kanan penthangan ke samping kanan
Melangkah ke kanan dan kekiri sambil bergoyang mengikuti goyangan pinggul
Badan digoyang ke samping kiri dan kanan
Tangan melenggang lenggang ke depan dan belakang, pergelangan tangan diukel secara bergantian
Melangkah ke kanan dan kekiri sambil bergoyang mengikuti goyangan pinggul
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
5
Jogetan
Posisi tangan kanan ditekuk ke samping sejajar pinggul. Pinggul bergoyang da kaki lampah telu
Tabel 2. NO
NAMA GERAK
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Menghadap ke depan
Kedua tangan penthangan ke samping sejajar pinggul
Pinggul digoyang
Lampah telu
Uraian Gerak Tari Waranggana pada Gendhing Arjosari URAIAN GERAK DESKRIPSI KEPALA
BADAN
TANGAN
KAKI
Ukelan Tangan
Kedua tangan diukel secara bergantian dan badan digoyang samping kanan dan kiri
Kepala geleng ke kanan dan kiri bersamaan dengan tangan
Goyang ke kanan da kiri secara bergantian bersamaan dengan kepala dan tangan
Ukel pergelangan tangan kanan dan kiri secara bergantian
Kaki digerakan atau digoyang mengikuti gerakan badan
Goyangan
Badan digoyang sesuai irama dengan kedua tangan ukel di depan dada digerakkan secara bergantian
Kepala kether ke samping kiri dan kanan
Badan/pinggul digoyang
Ukel utuh
Bergerak maju mundur
3
Selut
Kedua tangan selut/ ukel bergantian dengan tempo yang lambat sebagai gerakan penghubung
Menghadap ke depan dan kemudian menunduk ketika tangan ukel
Tegak
Tangan di ukel ke dalam kemudian keluar secara bergantian
Sedikit mendhak
4
Ukel seblak sampur
Tangan kiri diukel dan tangan kanan seblak sampur
Toleh kiri dan kanan
Tegak
Tangan kiri Ukel utuh, tangan kanan seblak sampur
Mendhak kemudian gejug kaki kiri
Lembehan ukel
Kedua tangan diukel secara bergantian sambil digerakkan naik turun, badan digoyang samping kanan dan kiri
Manggutmanggut dan Gedheg
Bahu dan pinggul digoyanggoyang
Ukel utuh dan digerakkan naik turun, samping kanan - kiri
Bergerak maju mundur
Ukel Penthanga n
Kedua tangan ukel kemudian tangan kiri menthan kesamping, begitu sebaliknya
Tegak
Tangan kiri ukel, tangan kanan menthan ke samping. Begitu sebaliknya
Mendhak
1
2
5
6
Toleh kiri dan kanan
13
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
7
NO
8
9
10
Goyang lembehan
NAMA GERAK
Putar pinggul
Lembehan tangan yang diikuti dengan goyangan pinggul
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Toleh kanan dan hadap depan
Pinggul bergoyang ke kanan da kiri
Lembehan tangan / tangan diayun ke depan dan ke belakang
Jalan ditempat dan sedikit mendhak mengikuti gerakan badan.
URAIAN GERAK DESKRIPSI KEPALA Pinggul dan pergelangan tangan diputar bersamaan. Kedua tangan lurus ke serong atas
Saggah egol
Saggah kanan dan kiri yang diikuti egolan
Goyang dobel step
Pinggul bergoyang diikuti dengan dobel step ke samping kanan dan kiri
Hadap kanan
Hadap kanan dan kiri secara bergantian
Hadap depan
BADAN
TANGAN
KAKI
Pinggul berputar dari kiri ke kanan
Penthangan tangan ke atas, pergelangan tangan diukel penuh
Kedua kaki diputar mengikuti gerakan pinggul
Egol – egol
Posisi tangan kanan ditekuk ke atas dan tangan kiri ditekuk sejajar pinggul dan kebalikannya. pergelangan tangan di bolak - balik dan diukel
Kaki melangkah ke kanan kemudian gejug dan sebaliknya
Pinggul digoyang – goyang
Tangan lurus kesamping sejajar dengan pinggul, bahu dan lengan digerak gerakan.
Kaki dobel step ke samping kanan dan kiri
Berdasarkan gerakan yang dilakukan waranggana atau ledhek sebagaimana tertera dalam tabel di atas maka dapat diketahui bahwa gerakan didominasi oleh gerakan goyang pinggul. Gerak-gerak tledhek yang menonjolkan seksualitas itu, mengakibatkan citra penari ledhek di tengah masyarakat sebagai wanita yang berstatus rendah, dan sering merusak rumah tangga orang oleh karena penayub yang telah berumah tangga tergila-gila dengan penari tledhek.Untuk penayub tidak perlu dapat menari dengan baik, tidak perlu mentaati aturan dalam tari Jawa, yang penting penayub dapat menggerakkan tubuhnya atau anggota badannya mengikuti irama yang ada.
Penutup Profesi waranggana Langen Tayub bagi perempuan masyarakat agraris merupakan sebuah profesi pilihan. Di arena pementasan, waranggana harus mempunyai kepercayaan dan tekad yang tinggi untuk terus menjalani profesinya, karena selama bekerja ia harus berada di lingkungan banyak laki-laki yang tak jarang para penayub tersebut dalam keadaan mendem/mabuk. Waranggana harus tetap menjaga keberadaannya sampai para penayub 14
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
menari semua. Ia juga harus menjaga kondisinya agar tidak sampai ikut terbawa mabuk atau hilang kesadarannya, karena waranggana merupakan pusat dari pertunjukan Langen Tayub. Pro kontra tanggapan masyarakat selalu mengiringi perjalanan hidupnya. Di atas panggung menjadi tokoh sentral yang dipuja dan dibanggakan, sementara di bagian yang lain masih mendapat cibiran dan negatif. Gerakan taledhek atau waranggana Langen Tayub yang erotis yang menambah dinamika pertunjukan Langen Tayub dan sawer yang selalu menemani dia sepanjang pertunjukan menjadi pelengkap sajian.Dalam posisinya sebagai anggota masyarakat, (khususnya masyarakat agraris) perempuan waranggana Langen Tayub masih dianggap sebagai profesi yang penting.
Daftar Rujukan Berger, Peter dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri) Jakarta:LP3ES. Berger, Peter L. 1991. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam masyarakat Modern (diterjemahkan dari buku asli A Rumor of Angel:Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural oleh J.B. Sudarmanto. Jakarta: LP3ES. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research Second Edition. London, New Delhi:Sage Publications, Inc. Geertz, Cliffiord. 1960.Santri, Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan dari The Religion of Java. Jakarta:Pustaka Jaya. Hastuti, Sri. 2002. Sawer Pada Pertunjukan Topeng Dalam Konteks Hajatan Di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Tesis Program S2 Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan. Hauser, Arnold. 1982. Diterjemahkan Northcott, Kenneth J. The Socialogy of Art. USA:The University of Chicago. Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:Hanindita Graha Widia. Irianto, Agus Maladi. 2005. Tayub, antara Ritualitas dan Sensualitas, Erotika Petani Jawa Memuja Dewi. Semarang: Lengkongcilik Press bekerjasama dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Juwariyah, Anik. 2012. “Realitas Sosial dan Kultural Langen Tayub Nganjuk Dalam Perspektif Kopnstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckmann”. Disertasi Prodi S3 Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Tidak dipublikasikan. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta:Balai Pustaka. Manuaba, Ida Bagus Putera. 2007. Ekternalisasi Pengalaman Pengarang Bali Dalam Cerpen:Perspektif Sosio-Fenomenologis Bergerian. Disertasi Program Studi S3 15
Lentera, Jurnal Studi Perempuan
Vol. 9. No. 1, Juni 2013
Ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, tidak dipublikasikan. _____. 2009. Persepsi Pengarang tentang Masyarakat Kajian tentang Cerpen-Cerpen Karya Pengarang Bali dalam Perspektif Sosio-Fenomenologis Bergerian. Yogjakarta: Logung Pustaka. Moeliono, Anton M, et al. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Nasikun. 2007. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta:PT.Radja Grafindo Persada. Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta:Tiara Wacana. Soedarsono, R.M. 1990. “Langen Tayub, Penyajian dan Tata Tarinya”, Makalah dalam Diskusi Panel dan Pagelaran Seni Langen Tayub di Universitas Sebelas Maret Semarang. Soetarno. 2002. “Tari Langen Tayub dalam Ritual Bersih Desa”, dalam Greget Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Tari STSISurakarta Vol.1 No 1 Juli 2002, hal 1-29. Supratno, Haris. 2010. Sosiologi Seni, Wayang Sasak Lakon Dewi Rengganis dalam Konteks Perubahan Masyarakat di Lombok. Surabaya: Unesa University Press. Widodo, Amrih. 1995. “The Stage of the State: Art of the People and Rites of Hogemonization”, in Review of Indonesian and Malayan Affairs, volume 29, 122 Winter/Summer, p.1-16. Widyastutieningrum, Sri Rochmana. 2005. Sejarah Tari Gambyong Seni Rakyat Menuju Istana. Surakarta: Citra Etnika Surakarta. _____. 2007. Langen Tayub Di Blora Jawa Tengah Seni Pertunjukan Ritual Kerakyatan. Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta..
16