Analisis Karakter Tokoh Antagonis Utama Wanita dalam Lima Dongeng Grimm Bersaudara; Hänsel und Gretel, Sneewittchen, Rapunzel, Jorinde und Joringel dan Brüderchen und Schwesterchen Sahla Salima, Lisda Liyanti Program Studi Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas analisis karakter tokoh-tokoh antagonis wanita yang ada di dalam lima dongeng Grimm Bersaudara; Hänsel und Gretel, Sneewittchen, Rapunzel, Jorinde und Joringel, dan Brüderchen und Schwesterchen. Fokus utama analisis dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh antagonis utama wanita yang memiliki kekuatan sihir, yang dalam hal ini terdiri dari tiga jenis; Hexe atau Nenek Sihir, Zauberin atau penyihir, dan Stiefmutter atau ibu tiri. Dari tokoh-tokoh antagonis yang terdapat dalam kelima dongeng tersebut, dianalisis bagaimana penggambaran karakternya di dalam setiap dongeng, fungsi, serta pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh protagonis yang ada dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis. Pendekatan psikoanalisis terutama digunakan untuk melihat perkembangan superego para tokoh protagonis sebelum dan sesudah mereka dikonfrontasikan dengan tokoh-tokoh antagonis serta motif di balik kejahatan para tokoh antagonis tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh-tokoh antagonis dalam setiap dongeng memberikan pengaruh dalam perkembangan superego tokoh-tokoh protagonis. Superego tokoh-tokoh protagonis ini terbangun setelah adanya konfrontasi-konfrontasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh antagonis sehingga mereka berkembang menjadi sosok yang lebih berhati-hati, cerdik, ataupun dewasa. Kata kunci: dongeng Grimm Bersaudara; karakter antagonis; kekuatan sihir; psikoanalisis. Abstract This research is about character analysis of the female antagonists in five Brothers Grimm’s fairy tales namely Hänsel und Gretel, Sneewittchen, Rapunzel, Jorinde und Joringel and Brüderchen und Schwesterchen. The main focus of the analysis in this research is the female antagonists with witchcraft power which consisting of three types: Hexe or a witch, Zauberin or a sorceress and Stiefmutter or a stepmother. How the characters in each tale are described and what purposes as well as effects they have towards the protagonists are analyzed with psychoanalytic approach. Psychoanalytic approach is particurlarly used to perceive the character development of the protagonists before and after the confrontation from the antagonists and also their evil motives. The result of the analysis indicates that the antagonists contribute to the development of the protagonists’ superego. Their superego is awakened due to the confrontations of the antagonists towards them that they become more cautious, shrewder, or maturer figures. Keyword: The Brothers Grimm’s fairy tales; antagonists; witchcraft; psychoanalysis. Latar Belakang Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara merupakan dongeng rakyat Jerman yang tidak hanya terkenal di benua asalnya, Eropa, tetapi juga di seluruh dunia. Dongeng-dongeng ini telah
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
banyak diadaptasi ke dalam berbagai bentuk, salah satu contohnya ke dalam kartun oleh Walt Disney. Selain diadaptasi, dongeng-dongeng Grimm juga menginspirasi pembuatan karyakarya lain, contohnya serial televisi AS berjudul Grimm. Di Jerman sendiri tahun 2012 kemarin, diperingati dua ratus tahun semenjak diterbitkannya buku kumpulan dongeng Kinder- und Hausmärchen untuk pertama kali. Kongres Internasional Grimm Bersaudara digelar di Universitas Kassel pada Desember 2012 kemarin (Conolly, 2013: para 3). Hal ini membuktikan bahwa di negara asalnya, dongeng-dongeng ini juga masih dinikmati hingga kini. Dongeng dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah Märchen. Märchen berasal dari kata Mär yang berarti pesan, kabar, atau pelanggan (von Wilpert, 2004: 472). Dongeng, menurut Sachwörterbuch der Literatur adalah bentuk tradisi lisan berupa narasi pendek yang berisi cerita mengenai kejadian-kejadian yang bersifat khayalan atau fantasi dan keadaan yang tidak realistis, yang dibuat-buat, tanpa adanya keterikatan terhadap waktu atau tempat tertentu (von Wilpert, 2004: 494). Salah satu tokoh Jerman yang paling terkenal di bidang dongeng adalah Jacob dan Wilhelm Grimm, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Grimm Bersaudara. Jacob dan Wilhelm Grimm melakukan penelitian tersebut selama beberapa tahun dan akhirnya pada tahun 1812, mereka menerbitkan buku kumpulan dongeng rakyat yang berjudul Kinder- und Hausmärchen (Kümmerling-Meibauer, 1999: 397). Hingga kini, dongeng-dongeng tersebut telah diterjemahkan ke dalam lebih dari seratus bahasa dan dapat dikatakan sebagai karya berbahasa Jerman paling terkenal di dunia (Kümmerling-Meibauer, 1999: 398). Dalam dongeng, tokoh utama yang diceritakan biasanya merupakan orang dari kalangan biasa atau orang yang sangat tidak beruntung. Akan tetapi, di akhir cerita tokoh-tokoh tersebut selalu berhasil menemukan kekuatan untuk mengalahkan tokoh atau kekuatan jahat dan akhirnya hidup bahagia selamanya. Happy ending atau akhir cerita yang bahagia seperti ini, menurut Ernst Bloch, menjadikan dongeng selain untuk penghiburan, juga sebagai motivasi kepada penikmatnya—yang notabene berasal dari kalangan masyarakat biasa dan hidup miskin—untuk senantiasa mengejar kebahagiaan dalam hidup (Schödel, 2002: 33-34). Selain cerita yang selalu berakhir bahagia, ciri khas lain dari dongeng adalah karakterkarakternya. Karakter dalam dongeng, jika dilihat, dapat dikatakan terkesan sangat ‘hitamputih’. Setiap orang dapat dengan mudah menilai atau menentukan, karakter mana yang merupakan tokoh baik dan mana yang tokoh jahat. Misalnya saja cerita Sneewittchen (Putri Salju, Snow White), yang bercerita mengenai seorang gadis cantik dan ibu tirinya yang iri akan kecantikannya dan menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Dari awal cerita saja,
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
pembaca sudah dapat menempatkan diri, di sisi mana ia akan berpihak, tokoh mana yang seharusnya dibela, dan mana yang seharusnya dibenci. Karakter-karakter seperti ini serupa dengan konsep nilai ‘moral naif’, sebagaimana yang diungkapkan oleh Andre Jolles. Moral yang naif ini yakni, di antaranya, yang tidak bersifat estetis, tidak mengandung kontradiksi, dan tanpa syarat; nilai moral yang terlepas dari agama dan tidak bersifat dogmatis (Schӧdel, 2002: 42). Nilai moral semacam ini cenderung bersifat universal sehingga mudah diterima pembacanya, terlepas dari perbedaan usia, agama, dan budaya, serta dapat dibaca lintas zaman. Bentuk karakter yang ‘hitam-putih’ seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan apa yang biasanya disajikan karyakarya sastra modern. Tokoh utama dalam cerita-cerita modern tidak selalu digambarkan sebagai tokoh yang baik dan begitu pula sebaliknya, musuh dari tokoh utama tidak selalu merupakan tokoh yang jahat. Sementara dalam dongeng, dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh-tokoh antagonis dalam dongeng biasanya dinilai jahat karena mereka memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh lain dan mereka menyalahgunakan kekuatan tersebut. Salah satu kekuatan yang paling umum dimiliki tokoh-tokoh antagonis dalam dongeng adalah kekuatan sihir. Kekuatan sihir dalam dongeng-dongeng Grimm Bersaudara umumnya dimiliki oleh tokoh antagonis wanita. Tokoh antagonis wanita ini bisa berupa Hexe atau nenek sihir, tokoh Zauberin atau penyihir—sosok wanita yang bisa sihir, tetapi berbeda dengan nenek sihir, dan tokoh ibu tiri. Ketiga jenis tokoh antagonis wanita dengan kekuatan sihir inilah yang dianalisis dalam penelitian ini, yang diambil dari lima dongeng Grimm Bersaudara yakni Hänsel und Gretel, Sneewittchen, Rapunzel, Jorinda und Joringel, dan Brüderchen und Schwesterchen. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis untuk mengetahui bagaimana karakter-karakter antagonis yang memiliki kekuatan sihir dalam kelima dongeng tersebut digambarkan dan bagaimana karakter-karakter ini mempengaruhi karakter-karakter protagonis yang ada di dalam masing-masing dongeng. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, digunakan dua teori utama yakni teori karakter dan psikoanalisis. Definisi karakter serta karakterisasi digunakan untuk melihat penggambaran sifat tokoh-tokoh yang ada di dalam kelima dongeng, terutama tokoh-tokoh antagonisnya. Sedangkan teori psikoanalisis digunakan untuk melihat perkembangan karakter tokoh-tokoh protagonis
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
berdasarkan pengaruh dari tokoh-tokoh antagonis. Pendekatan ini juga digunakan untuk menganalisis karakter tokoh-tokoh antagonis, terutama dilihat dari konfrontasi yang mereka lakukan terhadap tokoh-tokoh protagonis dalam tiap dongeng. a. Karakter dan Karakterisasi Karakter dan karakterisasi merupakan dua hal yang berbeda. Akan tetapi, kedua istilah ini seringkali membingungkan, ketika seseorang ingin menggunakan keduanya secara bersamaan. Secara umum, karakter merupakan tokoh dengan berbagai sifat atau watak yang dimilikinya, yang terdapat dalam karya sastra atau drama. Sedangkan karakterisasi adalah bagaimana tokoh tadi digambarkan, baik melalui tingkah laku, bahasa tubuh, cara berpikir atau berbicara, dan lain sebagainya. Dalam Metzler Lexikon Literatur (2007: 119), karakter dipaparkan dengan terperinci sebagai berikut: Charakter, m. [gr. = eingebranntes, eingeprägtes Schriftzeichen, Kennzeichen, Merkmal, Gepräge], 1. Eine Figur im Drama (Ch.drama, Ch.tragödie, Ch.komӧdie) oder im narrativen Text, die mit individuelle ausgeprägten Eigenschaften ausgestattet und als unverwechselbare, komplexe Persönlichkeit, ggf. Auch mit individuellen Fehlern, Konflikten und Widersprüchen, dargestellt ist. Der Ch. steht im Ggs. zum Typus, der meist eine gesellschaftliche Schicht bzw. einen Beruf repräsentiert oder ein menschliches Verhalten (z. B. der Geizhals) verkörpert. [Tanda tertulis yang dicap, ditempelkan; ciri khas, tanda, karakter.] 1. Suatu figur yang digambarkan dalam drama (karakter drama, karakter tragedi, karakter komedi) atau dalam teks naratif, yang dilengkapi dengan ciri individual yang ditempelkan dan sebagai suatu pribadi yang khusus, kompleks, dan dapat digambarkan memiliki kesalahan, konflik, dan kontradiksi individual. Karakter berlawanan dengan Typus1, yang biasanya merepresentasikan suatu kelas sosial dan/atau sebuah pekerjaan atau sebagai perwujudan dari suatu perilaku manusia (contohnya orang kikir).
Sementara karakterisasi menurut Gero von Wilpert (2001: 129) dalam Sachwörterbuch der Literatur, didefinisikan sebagai: Charakterisierung, die Wesensbeschreibung von Figuren dichterischer Texte, insbes. Dramen, kann auf zweierlei Art erfolgen: 1. direkt, d. h. durch Angaben anderer Figuren desselben Stückes, aus denen der Zuschauer Einsicht in die beschriebene Figur gewinnt, 2. indirekt, d. h. der Zuschauer muß aus den Reden, Handlungen und Reaktionen der Figur selbst Schlüsse über ihren Charakter ziehen; seltener aus e. Selbst-Ch. Widersprechende Ch.en sind beliebte Kunstgriffe zu dramat. Spannungssteigerung bis zum Auftreten des Titelhelden (z. B. Lessing, Emilia Galotti I, dreifach). Karakterisasi, penggambaran dari karakter-karakter dalam teks-teks sastra, khususnya di dalam drama, dapat terbagi menjadi dua jenis: 1. langsung, yakni melalui keterangan yang didapat dari tokoh-tokoh lain dalam drama yang sama, yang dari keterangan tersebut penonton mendapat pengetahuan mengenai tokoh yang digambarkan, 2. tidak langsung, yakni penonton harus mengambil kesimpulan sendiri bagaimana karakter suatu tokoh melalui narasi (dialog, monolog, dsb.), plot, serta reaksi tokoh tersebut; lebih jarang melalui tokohnya itu sendiri. Karakter 1
Typus di dalam kamus online Duden, didefinisikan sebagai “(bildende Kunst, Literaturwissenschaft) als klassischer Vertreter einer bestimmten Kategorie von Menschen gestaltete, stark stilisierte . . .”(www.duden.de): (dalam seni rupa dan ilmu sastra) sebagai suatu yang klasik, yang mewakili kategori penggambaran manusia tertentu, dengan gaya yang kuat . . .
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
antagonis merupakan cara yang terkenal (banyak digunakan) untuk meningkatkan ketegangan sampai tokoh protagonis utama muncul.
Dari pengertian-pengertian di atas, terlihat perbedaan antara pengertian karakter dan karakterisasi. Karakter dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau ciri mental seseorang—dalam karya sastra berarti watak, sifat, atau ciri mental suatu tokoh yang ada di dalam suatu cerita atau drama. Sementara karakterisasi sendiri adalah bagaimana karakter-karakter tersebut digambarkan dalam sebuah cerita atau naskah dan/atau pementasan drama. Karakterisasi atau penggambaran watak ini dapat dilihat dari bagaimana sikap, tingkah laku, dan cara berpikir suatu tokoh digambarkan dan dapat pula dilihat dari bagaimana tokoh-tokoh lain menilai tokoh tersebut. b. Psikoanalisis Analisis dongeng dengan menggunakan pendekatan psikologi bukan lagi merupakan hal yang baru. Interpretasi dongeng melalui sudut pandang psikologi bahkan sudah dilakukan sejak masa Freud (Biechonski, 2004: 2). Salah satu teori yang terkenal dari Sigmund Freud adalah interpretasi mimpi. Dongeng sendiri, jika melihat asalnya, merupakan bentuk penghiburan atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, dalam dongeng terdapat mimpi dan harapan dari masyarakat kelas bawah tersebut, akan munculnya kebahagiaan setelah melalui berbagai rintangan. Volkart Urs, dalam tulisannya Märchen und Traum (2009, chap 2), mengatakan bahwa “di dalam dongeng selalu terdapat situasi yang sulit dan sering kali yang dapat membantu keluar dari kesulitan tersebut adalah harapan.” Sementara dalam teori psikoanalisis dari Freud, mimpi sendiri merupakan bentuk ‘wish fulfillment’ atau perwujudan keinginan yang tidak atau belum tercapai ketika seseorang masih dalam keadaan terjaga (Heller, 2005: 149). Menurutnya, “sastra dan mimpi dianggap memberikan
kepuasan
secara
tak
langsung”
(Minderop,
2011:
16).
Endraswara
mengungkapkan, Freud berpendapat bahwa karya sastra merupakan hasil akibat dari sikap mental manusia yang tidak bisa menerima kenyataan sehari-hari. Oleh karena itu, kreasi seni—termasuk dongeng dan karya sastra secara umum—merupakan bentuk sublimasi dan kompensasi dari kehidupan sehari-hari yang tidak terpenuhi (Minderop, 2011: 17). Ø Mimpi dalam Psikoanalisis Salah satu aspek terpenting dalam psikoanalisis, menurut Sigmund Freud, adalah mimpi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, menurut Freud mimpi adalah bentuk perwujudan keinginan atau ‘wish fulfillment’. Akan tetapi, mimpi sebagai perwujudan keinginan, dapat muncul sebagai sesuatu yang disamarkan. Penyamaran semacam ini,
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
dikatakan Freud, bertujuan untuk menjaga agar seseorang yang sedang bermimpi tetap tertidur (Heller, 2005: 149-150). Ø Konsep Rasa Bersalah Rasa bersalah merupakan salah satu bentuk klasifikasi emosi yang terdapat dalam teori psikoanalisis. Rasa bersalah, diungkapkan oleh Hilgrad et. al., timbul akibat adanya pertentangan atau konflik antara apa yang diinginkan oleh seseorang dengan standar moral yang berlaku dalam masyarakat tempat ia tinggal. Dan pelanggaran terhadap standar moral inilah yang kemudian menimbulkan rasa bersalah. Akan tetapi, rasa bersalah juga dapat ditimbulkan akibat ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi masalah hidup dan menghidarinya melalui manuver-manuver defensif, yang mengakibatkan timburlnya rasa bersalah (Minderop, 2011: 40). Ø Struktur Kepribadian Secara umum, struktur kepribadian menurut Sigmun Freud terdiri dari tiga hal yakni id, ego, dan superego. Id merupakan sisi yang berdasar pada prinsip kesenangan. Id menekan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, salah satu contohnya kebutuhan makan. Sementara ego bersumber pada logika dan berdasar pada prinsip realitas. Ego menjadi pengontrol bagi id, yang bekerja menggunakan prinsip kesenangan,
agar
kesenangan
tersebut
dapat
tetap
terpenuhi
tanpa
harus
mengakibatkan kerugian atau penderitaan pada diri sendiri. Dan yang terakhir adalah superego. Superego mengacu pada moralitas yang diterima dari ajaran orang tua dan lingkungan sekitar dan bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan-pemuasan keinginan yang bersumber dari id (Minderop, 2011: 20-22). Ø Mekanisme Pertahanan dan Konflik Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, sistem kepribadian manusia menurut teori psikoanalisis terbagi menjadi tiga bagian; id, ego, dan superego. Dengan adanya tiga bagian yang masing-masing memiliki fungsi dan kecendrungan yang berbedabeda, muncullah konflik dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia membangun apa yang disebut dengan mekanisme pertahanan untuk melindungi dirinya sendiri. “To protect the ego from the slings and arrows of a sometimes harsh reality, we erect defense mechanisms—unconscious strategies of the ego to distort reality and we lessen anxiety“ (Heller, 2005: 67). Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ini antara lain sebagai berikut: §
Represi (Repression)
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Represi, menurut Freud, merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan paling luas. Represi berfungsi untuk mendorong impuls-impuls id yang tidak diterima dari alam sadar menuju alam bawah sadar (Minderop, 2011: 32-33). §
Sublimasi (Sublimation) Sublimasi merupakan bentuk mekanisme pertahanan yang berfungsi untuk menggantikan perasaan tidak nyaman dalam diri seseorang. Sublimasi pada dasarnya merupakan bentuk pengalihan (Minderop, 2011: 34).
§
Pengalihan (Displacement) Salah satu mekanisme pertahanan manusia ketika menghadapi konflik adalah dengan melakukan pengalihan. Dengan cara ini, perasaan tidak senang seseorang terhadap sesuatu dialihkan kepada suatu objek lain yang lebih memungkinkan. Dengan melakukan pengalihan, seseorang seolah mencari kambing hitam terhadap objek yang dibenci atau tidak disukainya (Minderop, 2011: 35).
§
Proyeksi (Projection) Proyeksi merupakan bentuk mekanisme pertahanan yang digunakan, ketika seseorang menyalahkan orang lain sebagai dalih atas pemikiran dan/atau perilaku tidak pantas yang dilakukannya sendiri. “Projection is a means of attributing one’s own unacceptable and disturbing thoughts and impulses to others. “The thief thinks everyone else is a thief,” says an El Salvadoran proverb” (Heller, 2005: 68). Proyeksi dilakukan sebagai dalih ketika seseorang melakukan kesalahan untuk melindungi dirinya sendiri dari rasa bersalah.
§
Rasionalisasi (Rasionalization) Rasionalisasi, dikatakan Hilgard, berfungsi untuk mengurangi kekecewaan ketika seseorang gagal mencapai tujuannya dan memberikan motif sebagai dalih atau alasan yang dapat membenarkan apa yang dilakukannya. Rasionalisasi terjadi jika motif yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh ego. Motif yang sebenarnya tersebut kemudian digantikan dengan motif pengganti yang berfungsi sebagai pembenaran atas apa yang dilakukan oleh seseorang. Contohnya, ketika seorang siswa yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, mendapat undangan untuk menghadiri pesta temannya. Motif yang sebenarnya, yang dimiliki oleh siswa ini adalah untuk datang ke pesta dan bersenang-senang. Akan tetapi, karena motif semacam itu tidak
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
berterima, egonya memerintahkan ia untuk mencari motif pengganti, misalnya saja bahwa ia sudah terlalu rajin belajar dan perlu sedikit refreshing agar bisa menghasilkan nilai yang bagus dalam ujian (Minderop, 2011: 35-37). §
Reaksi Formasi (Reaction Formation) Reaksi formasi adalah bentuk mekanisme pertahanan yang menyebabkan seseorang melakukan atau menyatakan sesuatu berkebalikan dengan apa yang sesungguhnya ia rasakan. When people overemphasize the opposite of a dangerous impulse, they are employing reaction formation: “I love him” becomes “I hate him”; timidity becomes daring; inadequacy becomes conceit. For instance, a man who is terrified of his dependency says he doesn’t need anyone. Some nuns and priests may have entered the clergy in reaction to a fear of their own sexual urges. (Heller, 2005: 69)
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa perilaku yang ditunjukkan seseorang bisa jadi bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan diri dari kecemasan terhadap sesuatu yang tidak bisa dihadapinya. §
Regresi (Regression) Menurut Hilgard, terdapat dua interpretasi mengenai regresi yakni yang disebut dengan istilah retrogressive behaviour dan primitivation. Retrogressive behaviour merupakan perilaku seseorang yang seperti anak kecil; menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian dari orang lain. Sedangkan primitivation ialah ketika seorang dewasa bersikap seperti orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan untuk berkelahi (Minderop, 2011: 38).
§
Agresi dan Apatis (Agression and Apathy) Agresi dapat dikatakan sebagai suatu ketegangan dan kegelisahan yang menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung (direct aggression) dan dapat pula berbentuk pengalihan (displaced aggression). Agresi langsung yakni agresi yang diungkapkan secara langsung kepada orang atau objek yang menjadi sumber rasa frustasi. Sedangkan agresi yang dialihkan terjadi ketika seseorang tidak dapat mengungkapkan secara puas rasa frustasinya kepada objek sumber frustasi, karena objek tersebut tidak jelas atau tidak tersentuh. Orang tersebut tidak tau ke mana ia harus melampiaskannya sehingga penyerangannya justru tertuju pada orang atau hal lain yang tidak bersalah. Sementara apatis adalah bentuk lain dari reaksi
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
terhadap rasa frustasi. Sikap apatis yakni dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah (Minderop, 2011: 38-39). §
Fantasi dan Stereotip (Fantasy and Stereotype) Ketika seseorang menghadapi masalah yang sangat bertumpuk, kadang-kadang seseorang cenderung mencari ‘solusi’ dengan cara masuk ke dalam dunia khayal, solusi yang berdasarkan pada fantasi alih-alih pada realita. Contohnya ketika orang yang sedang lapar, membayangkan makanan-makanan lezat dengan mengumpulkan potongan-potongan gambar berbagai macam hidangan. Sedangkan stereotip, dikatakan Hilgard, merupakan bentuk pengulangan perilaku yang terjadi secara terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh (Minderop, 2011: 39).
Dari keseluruhan bentuk mekanisme pertahanan yang ada, tidak semua bentuk digunakan sebagai landasan dalam analisis. Analisis dalam penelitian ini hanya berfokus pada tiga bentuk mekanisme pertahanan yakni pengalihan (displacement), proyeksi (projection), dan reaksi formasi (reaction formation). Hal ini dikarenakan ketiga bentuk mekanisme pertahanan tersebut, menurut penulis, merupakan bentukbentuk yang muncul sebagai motif dibalik kejahatan para tokoh antagonis terhadap tokoh-tokoh protagonis dalam dongeng-dongeng yang dianalisis. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penulis mengumpulkan data-data yang terkait dengan permasalahan penelitian dari buku-buku dan sumber-sumber di internet. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis-deskriptif yakni dengan melihat bagaimana karakter-karakter antagonis wanita yang memiliki kekuatan sihir—yang terdiri dari tiga jenis, yakni Hexe atau nenek sihir, Zauberin atau penyihir, dan ibu tiri—digambarkan dalam kelima dongeng yang sudah disebutkan sebelumnya. Penulis kemudian menganalisis fungsi serta pengaruh tokoh-tokoh antagonis tersebut terhadap karakter-karakter protagonis pada setiap dongeng dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis. Hasil dan Pembahasan Hänsel und Gretel Dalam dongeng Hänsel und Gretel, kedua anak kecil yang awalnya lugu dan polos, melalui ‘tragedi’ yang dialami akibat perbuatan Nenek Sihir, belajar bahwa setiap orang harus berusaha agar tetap dapat bertahan hidup. Di awal cerita, ketika mereka mendengar bahwa ibu
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
tiri mereka akan meninggalkan mereka di hutan keesokan harinya, yang Gretel lakukan hanyalah mengeluh dan menangis. Permasalahan utama yang dihadapi keluarga Hänsel dan Gretel adalah kemiskinan. Dengan jumlah anggota keluarga yang menurut ibu tiri cukup banyak, ia takut keluarga mereka kelaparan. Pada dasarnya, ketakutan Hänsel dan Gretel dengan ketakutan ibu tiri mereka dapat dikatakan sama, yakni takut tidak akan dapat bertahan hidup. Meskipun solusi yang dipikirkan oleh sang ibu tiri dengan membuang kedua anak tirinya agar terhindar dari kelaparan bukan merupakan sesuatu yang bijak, pada akhirnya itu dapat dinilai sebagai sesuatu yang efektif. Sementara solusi yang dipikirkan oleh Hänsel dengan kembali pulang setelah dibuang, hanya berfungsi untuk memenuhi id mereka berdua, yakni untuk tetap dapat tinggal dan makan dengan gratis serta tetap dapat bergantung kepada orang tua mereka. Sebagaimana yang dikatakan Freud, setiap bayi terlahir dengan id murni— “all id” (Heller, 2005: 91), dan itulah yang terjadi pada kedua anak ini. Dari sini dapat terlihat bagaimana ego dan superego mereka belum terbangun. Dan setelah apa yang mereka alami dengan Nenek Sihir, mereka pun belajar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Ketika bertemu Nenek Sihir, walaupun awalnya mereka diberi makanan-makanan enak, Hänsel kemudian harus dikurung di dalam kandang dan akan dimakan setelah gemuk. Sedangkan Gretel harus bekerja sepanjang hari tanpa diberi makanan yang layak, sebagai konsekuensi karena telah memakan rumah kue tersebut. Dari konsekuensi yang harus diterima masing-masing anak, superego Hänsel dan Gretel yang sebelumnya masih belum terbangun, perlahan-lahan terisi dengan nilai bahwa segala sesuatu ada konsekuensinya. Akan tetapi, walaupun Nenek Sihir tersebut secara tidak langsung telah berjasa mengajarkan pendidikan moral kepada mereka, ia tidak dinilai sebagai sosok yang baik oleh Hänsel dan Gretel serta oleh pembaca dongeng secara umum. Hal ini dikarenakan, konsekuensi yang harus mereka terima tersebut tidak sebanding dengan kesalahan yang telah mereka lakukan, yakni memakan sebagian rumah kue milik Nenek Sihir. Dan jika dilihat dengan kacamata psikoanalisis, sikap Gretel yang ingin memusnahkan sang Nenek Sihir dengan cara mendorongnya ke dalam oven panas bisa jadi dikarenakan sosok Nenek Sihir dianggap sebagai pengganti ibu tiri mereka di rumah. Gretel yang cerdik bisa saja mengelabui Nenek Sihir yang sudah tua, rabun, dan lemah untuk membebaskan Hänsel dan kemudian kabur, tanpa harus membunuhnya. Akan tetapi, ia malah memilih untuk mencelakakan Nenek Sihir tersebut. Hal ini bisa jadi dikarenakan sosok Nenek Sihir menjadi displacement atau pengalihan dari ibu tiri mereka yang jahat. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian Teori, pengalihan merupakan bentuk perasaan tidak senang seseorang terhadap
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
sesuatu atau seseorang, yang dialihkan kepada suatu objek lain yang lebih memungkinkan (Minderop, 2011: 35). Ibu tiri yang sebelumnya tinggal bersama dan ikut merawat mereka berdua, pada akhirnya tetap tega meninggalkan mereka di hutan. Hänsel dan Gretel tidak dapat melakukan apa pun terhadap ibu tiri mereka sehingga mereka mengalihkan perasaan tidak suka ini kepada Nenek Sihir yang tinggal bersama mereka. Selain itu, di sisi lain, membenci Nenek Sihir yang jelas-jelas jahat karena berniat memakan mereka berdua tampak lebih pantas dibandingkan membenci seorang ibu tiri yang, bagaimana pun, telah sempat merawat mereka berdua. Dan pada akhirnya, kebencian ini mendorong Gretel untuk memusnahkan Nenek Sihir tersebut. Sneewittchen Berbeda dengan kisah Hänsel und Gretel yang superegonya dibangun melalui pertemuan mereka dengan Nenek Sihir, dalam kisah Sneewittchen, superegonya pertama kali dibangun justru oleh tokoh-tokoh yang bersedia menolongnya, yakni ketujuh kurcaci. Akan tetapi, tetap saja pertemuannya dengan ketujuh kurcaci secara tidak langsung disebabkan oleh sang ibu tiri. Sehingga secara tidak langsung ibu tirinya juga ikut menjadi penyebab terbangunnya superego Sneewittchen. Ketika Sneewittchen dibuang ke dalam hutan, id-nya menuntut untuk bisa makan dan tidur dengan nyaman, senyaman ketika ia masih tinggal di istana bersama orang tuanya. Oleh karena itu, egonya memerintahkan agar ia mencari tempat tinggal yang layak di dalam hutan sampai akhirnya ia menemukan rumah para kurcaci. Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada cerita Hänsel und Gretel, Sneewittchen tidak dapat tinggal di sana secara gratis. Ada konsekuensi yang harus ia penuhi agar dapat tetap tinggal di sana. Sneewittchen, yang sebelumnya tinggal di kerajaan, melalui pertemuannya dengan ketujuh kurcaci yang secara tidak langsung disebabkan oleh ibu tirinya sendiri, kemudian belajar menjadi seseorang yang lebih mandiri. Melakukan hal-hal yang mungkin tidak pernah ia lakukan ketika ia masih tinggal di istana. Sementara dari sisi sang ibu tiri, kebenciannya terhadap Sneewittchen—yang disebabkan oleh kedengkiannya setelah mengetahui bahwa Sneewittchen lebih cantik darinya—bisa dikatakan sebagai bentuk proyeksi. Dikatakan Krech, perasaan benci sebagai salah satu bentuk klasifikasi emosi, berkaitan erat dengan rasa ingin menghancurkan dan seseorang yang membenci sesuatu baru akan merasa puas ketika objek yang dibencinya itu hancur (Minderop, 2011: 44). Dan inilah yang dirasakan oleh ibu tiri Sneewittchen, yang tidak mau berhenti mencelakakan anak tirinya sampai ia benar-benar meninggal. Ibu tiri yang
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
sombong ini, merasa dirinya adalah orang yang paling cantik. Akan tetapi, ketika ia menemukan bahwa ternyata ada orang yang lebih cantik dari dirinya, ia tidak bisa membuat kecantikannya mengalahkan orang tersebut—Sneewittchen—sehingga ia pun menyalahkan anaknya sendiri dan membenarkan perbuatannya membunuh anak kecil yang tidak bersalah. Rapunzel Dalam dongeng Rapunzel, konflik diawali ketika ayah Rapunzel mengambil tanaman milik tetangganya yang merupakan penyihir, demi memenuhi keinginan istrinya yang saat itu sedang mengandung. Akan tetapi, yang menjadi masalah di sini adalah ayah Rapunzel mengambilnya tanpa seizin pemiliknya, yang artinya sama saja dengan mencuri. Ketika tertangkap basah, penyihir tersebut tidak langsung menghukumnya begitu mendengar alasan ayah Rapunzel. Akan tetapi, tetap ada konsekuensi yang harus diterima, yakni dengan menyerahkan bayi yang sedang dikandung oleh istrinya ketika nanti bayi tersebut dilahirkan. Sebagaimana dongeng-dongeng lainnya, dongeng ini menunjukkan hubungan antara aksi dan reaksi, antara perbuatan yang dilakukan seseorang dan konsekuensi yang harus ia tanggung, jika ia melanggar aturan yang berlaku. Dalam konteks ini, pelanggaran yang dilakukan adalah mencuri dan konsekuensinya adalah menyerahkan anak mereka satusatunya, yang baru saja dilahirkan kepada penyihir yang tanamannya dicuri tersebut. Meskipun cara yang digunakan terlihat 'frontal' dan jahat, tokoh penyihir memiliki pengaruh dalam perkembangan superego tokoh-tokoh lain—dalam hal ini superego dari ayah dan ibu Rapunzel. Dengan kekuatan sihirnya yang ditakuti, penyihir dalam dongeng ini berfungsi sebagai tokoh yang memiliki otoritas dan berkontribusi pada pembangunan superego tokoh-tokoh protagonis. Hal ini juga terjadi dalam keempat dongeng lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam analisis dua dongeng sebelumnya—Hänsel und Gretel serta Sneewittchen, dalam dongeng Rapunzel terdapat konsep yang serupa yakni tidak ada yang bisa diperoleh secara cuma-cuma di dunia ini. Seperti istilah popular dalam bahasa Inggris, 'give and take’, konsep yang 'diterapkan' oleh penyihir kepada kedua orang tua Rapunzel sama, yakni kita dapat memperoleh sesuatu dari orang lain, jika kita juga bermanfaat atau bisa memberikan sesuatu kepada orang tersebut. Nilai yang dipegang oleh tokoh antagonis ini—penyihir, pada dasarnya benar. Akan tetapi, seperti yang terjadi dalam dongeng Hänsel und Gretel, tokoh penyihir di sini tetap tidak bisa dianggap sebagai sosok yang baik. Hal ini dikarenakan konsekuensi yang harus diterima oleh kedua orang tua Rapunzel tidak sebanding dengan kesalahan yang mereka lakukan. Beberapa lembar daun yang dicuri tidak akan sebanding jika harus ditukarkan dengan seorang anak, terlebih lagi
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
anak satu-satunya, yang kelahirannya sudah lama ditunggu. Ketimpangan antara kesalahan dan konsekuensi inilah yang menyebabkan tokoh penyihir tetap tergolong ke dalam tokoh antagonis, terlepas dari nilai moral benar yang dianutnya. Jika dilihat, motif dibalik perbuatan penyihir mengambil Rapunzel dari kedua orang tuanya dan kemudian mengurungnya ketika ia berumur dua belas tahun, tampak tidak sejelas motif karakter-karakter antagonis dalam dua dongeng sebelumnya; Hänsel und Gretel dan Sneewittchen. Dalam dongeng Hänsel und Gretel, Nenek Sihir menangkap Hänsel dan Gretel karena ia ingin memakan mereka berdua. Dan dalam dongeng Sneewittchen, motif perbuatan jahat ibu tirinya secara jelas digambarkan, yakni karena rasa iri dan dengkinya terhadap kecantikan Sneewittchen. Sementara dalam dongeng Rapunzel, penyihir tersebut tampak sangat jahat dengan mengambil Rapunzel dari kedua orang tuanya hanya karena beberapa lembar daun yang dicuri oleh mereka dan kemudian mengurungnya saat Rapunzel berumur dua belas tahun. Di dalam cerita, dikatakan bahwa Rapunzel tumbuh menjadi gadis paling cantik ketika ia menginjak usia dua belas tahun. Dan setelah penyihir menyadari hal tersebut, ia kemudian mengurungnya di dalam sebuah menara yang sangat tertutup. Di menara itu Rapunzel tidak dapat menemui siapa pun karena letaknya di tengah-tengah hutan, jauh dari tempat tinggal orang banyak dan tidak terdapat tangga ataupun pintunya. Hal ini serupa dengan cerita dalam dongeng Sneewittchen. Hanya saja, dalam dongeng Sneewittchen, setelah menyadari kecantikan anak tirinya, ibu tiri Sneewittchen memerintahkan seorang pemburu untuk membunuhnya. Perilakunya yang mengurung Rapunzel menunjukkan seolah-olah ada perasaan khawatir jika kecantikan gadis yang selama ini ia besarkan, diketahui oleh orang lain. Dari sini, penulis mengasumsikan bahwa penyihir tersebut sebenarnya menyimpan rasa cemburu terhadap kecantikan Rapunzel, yang bisa jadi, bahkan dirinya sendiri tidak menyadarinya. Dalam psikoanalisis, yang dilakukan oleh penyihir ini bisa dikategorikan ke dalam bentuk defense mechanism. Dengan berlaku seperti itu—di satu sisi, merawat Rapunzel seperti anaknya sendiri, tetapi di sisi lain ia juga mengurungnya di dalam menara sebuah menara tanpa pintu dan tangga agar Rapunzel tidak dapat bertemu dengan siapa pun, ia sebenarnya sedang berdalih bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Menurutnya, seandainya Rapunzel yang cantik tidak dikurung di dalam menara, ia bisa saja dicelakai oleh para laki-laki yang menyukainya. Sehingga ia menjadi marah besar ketika mengetahui bahwa Rapunzel ternyata diam-diam menemui seorang pria. Akan tetapi pada kenyataannya, dirinya sendirilah yang menjadi satusatunya sumber penderitaan bagi Rapunzel. Ia memisahkan Rapunzel dari kedua orang tuanya
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
dan meskipun penyihir tersebut merawatnya dengan baik, ia membatasi kebebasan Rapunzel dengan mengurungnya dalam sebuah menara. Perilaku seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk reaksi formasi. Ia menganggap bahwa dirinya menyayangi Rapunzel dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri, tetapi sebenarnya itu merupakan bentuk yang bertolak belakang dari apa yang sesungguhnya ia rasakan; kecemburuan terhadap kecantikan Rapunzel. Hal ini serupa dengan salah satu contoh bentuk reaksi formasi yang diungkapkan oleh Krech, “manifestasi kepedulian yang berlebihan dari seorang ibu terhadap anaknya dapat merupakan upaya menutupi perasaannya yang tidak nyaman terhadap anaknya: sikap yang sangat sopan kepada seseorang dapat merupakan upaya menyembunyikan ketakutan (Minderop, 2011: 37). Sikap posesif yang ditunjukkan sang penyihir kepada Rapunzel, bisa jadi merupakan upaya menutupi kecemburuannya kepada gadis tersebut. Jorinde und Joringel Awal mula konflik yang terjadi dalam dongeng ini, serupa dengan dongeng Hänsel und Gretel dan Rapunzel, yakni adanya konsekuensi yang harus diterima, setelah tokoh protagonis melakukan kesalahan. Jika dalam dua dongeng tersebut kesalahan yang dilakukan berhubungan dengan makanan—dalam dongeng Hänsel und Gretel, mereka berdua memakan rumah kue milik Nenek Sihir dan akhirnya ditangkap, sementara dalam dongeng Rapunzel, kedua orang tua Rapunzel harus menyerahkan anak mereka karena mencuri tanaman Rapunzel dari tetangga mereka yang merupakan penyihir, dalam dongeng ini Jorinde dan Joringel harus menerima konsekuensi karena telah memasuki wilayah milik seorang penyihir. Dalam dongeng ini, Jorinde dan Joringel diceritakan sedang berjalan-jalan di tengah hutan, meskipun mereka sudah mengetahui bahwa di tengah-tengah hutan terdapat kastil berbahaya milik penyihir tua yang jahat. Dan pada akhirnya, karena terlalu terbawa suasana, mereka tanpa sadar telah memasuki wilayah terlarang milik penyihir tersebut. Mereka melakukan kesalahan ini karena kecerobohan mereka sendiri. Oleh karena itu, hukuman yang mereka terima dari penyihir sebagai bentuk konsekuensi dari kesalahan mereka sendiri— Joringel menjadi kaku tubuhnya untuk sementara dan Jorinde berubah menjadi burung bulbul dan dikurung dalam sangkar—membangun rasa penyesalan dan rasa bersalah mereka sehingga di kemudian hari mereka, secara khusus, tidak melakukan kesalahan serupa dan, secara umum, tidak lagi melanggar aturan. Jadi, secara tidak langsung, penyihir sebagai tokoh antagonis dalam dongeng ini berperan sebagai tokoh yang membangun superego keduanya. Mereka melanggar sesuatu yang sudah mereka ketahui; memasuki wilayah milik sang penyihir sehingga mereka harus menerima hukumannya.
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Sementara pembentukan superego ini terutama dirasakan oleh tokoh Joringel karena ia melihat sendiri apa yang menimpa kekasihnya, Jorinde akibat kesalahan yang mereka lakukan. Melalui pengalamannya yang dibebaskan oleh sang penyihir setelah menjadi kaku, ia merasakan dan melihat secara langsung apa yang harus dihadapi seseorang, jika melanggar aturan yang berlaku. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan aturan yang harus dipatuhi ialah untuk tidak memasuki wilayah sang penyihir. Hal inilah yang kemudian memicu timbulnya rasa bersalah. Ketika nanti ia kembali melakukan kesalahan atau melanggar aturan, pengalaman ini akan diingatnya kembali dan membuatnya merasa takut. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih jauh, dapat dilihat bahwa yang harus mendapatkan hukuman dari kesalahan tersebut hanyalah Jorinde, sementara yang masuk ke wilayah sang penyihir bukan hanya Jorinde. Joringel juga ikut melakukan kesalahan yang sama, tetapi ia langsung dibebaskan seketika. Begitu juga yang akan atau sudah terjadi pada pemuda-pemuda dan gadis-gadis lain, yang datang mendekati kastil tersebut. Dalam dongeng ini, diceritakan bahwa jika yang datang mendekat merupakan seorang laki-laki, maka ia hanya akan menjadi kaku dan tidak bisa bergerak sampai ia dibebaskan oleh sang penyihir. Ini menunjukkan bahwa walaupun sudah melanggar masuk batas wilayah milik penyihir, laki-laki masih memiliki kemungkinan untuk dibebaskan, sementara gadis-gadis tidak. Mereka akan berubah menjadi seekor burung dan bahkan dikurung di dalam sebuah sangkar. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan hukuman yang diterima berdasarkan perbedaan jenis kelamin pelaku kesalahannya, walaupun pada dasarnya kesalahan yang dilakukan sama. Dari sini terlihat bahwa penyihir dalam dongeng ini memiliki sentimen tersendiri terhadap gadis-gadis. Penulis mengasumsikan hal ini disebabkan oleh rasa iri hati atau dengki terhadap gadis-gadis yang umumnya masih muda, murni, dan cantik. Dan karena ia sudah tidak muda dan tidak cantik lagi, ia memproyeksikan ketidakberdayaan terhadap keadaannya sendiri kepada gadis-gadis tersebut. Ketidakberdayaannya terhadap keadaannya sendiri— yang sudah tidak muda dan cantik lagi—membuat ia iri dan dengki terhadap gadis-gadis muda yang ia lihat sehingga ia pun menghukum setiap gadis yang mendekati kastilnya, seolah-olah hal tersebut adalah kesalahan mereka. Dan walaupun seandainya benar bahwa itu adalah kesalahan mereka karena telah memasuki wilayah milik sang penyihir, ia tidak menerapkan hukuman yang sama jika yang datang adalah seorang laki-laki atau pemuda. Inilah yang menguatkan asumsi penulis bahwa sikap jahat sang penyihir dalam dongeng ini didasari oleh rasa iri dan dengki terhadap para gadis muda, sebagaimana yang terjadi dalam dongeng Sneewittchen dan Rapunzel.
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Brüderchen und Schwesterchen Berbeda dengan yang terjadi dalam dongeng Hänsel und Gretel, Rapunzel, serta Jorinde und Joringel, dalam dongeng ini, tokoh protagonis tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan mereka harus menerima konsekuensi atau hukuman. Penderitaan yang mereka alami, semata-mata disebabkan oleh tokoh antagonis yakni ibu tiri mereka sendiri. Dongeng diawali dengan kaburnya mereka dari rumah sang ibu tiri yang suka menyiksa mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ego dan superego keduanya sudah terbangun dengan baik. Ego tersebut memerintahkan mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik dan lebih nyaman karena tetap tinggal di sana hanya akan membawa mereka pada penderitaan. Sementara kematangan superego dapat dilihat dari keputusan yang mereka ambil untuk pergi dari rumah tersebut. Mereka sudah dapat membedakan mana yang baik untuk diri mereka sendiri dan mana yang tidak. Dan di sisi lain, dengan memutuskan untuk pergi, mereka juga dapat dikatakan sudah mengetahui dan siap akan segala resiko serta konsekuensi yang harus dihadapi dengan memilih tinggal sendiri di dunia luar. Akan tetapi, dengan pergi dari rumah tersebut, kesulitan dan penderitaan yang sesungguhnya justru baru dimulai. Ibu tiri mereka yang juga merupakan seorang Nenek Sihir, terus menerus berusaha mencelakakan kedua bersaudara ini. Ia menyihir semua sumber mata air yang ingin mereka minum hingga pada sumber mata air ketiga, Brüderchen yang sudah sangat kehausan, tidak tahan untuk tidak meminumnya dan berubah menjadi seekor rusa. Hal ini menyulitkan Schwesterchen karena dengan menjadi seekor binatang seperti itu, Brüderchen menjadi sulit untuk dikendalikan. Selain itu, dengan begitu berarti ia harus hidup sendirian di tengah-tengah hutan dan ditambah harus merawat serta memberi makan saudara laki-lakinya yang sudah berubah wujud tersebut. Ketika masih tinggal di rumah, walaupun ibu tiri mereka jahat, setidaknya mereka masih diberi makanan—meskipun makanan-makanan yang diberikan sering kali tidak layak—dan masih memiliki tempat tinggal secara gratis. Sementara di luar, mereka harus mencari makan dan tempat tinggal sendiri, serta menghadapi bahaya yang tidak akan mereka temukan jika mereka tetap tinggal di rumah—terutama bahaya yang ditimbulkan oleh ibu tiri mereka sendiri. Jadi, secara tidak langsung melalui kejadian ini, ibu tiri mereka ikut andil dalam pembentukan superego mereka. Dalam dongeng ini, motif dibalik perbuatan jahat sang ibu tiri adalah karena ia dengki dengan kedua anak tirinya yang ternyata dapat hidup bahagia di dunia luar. Sama seperti dalam dongeng Sneewittchen, motif dibalik sikap jahat tokoh antagonis merupakan kedengkian terhadap tokoh-tokoh protagonis. Akan tetapi, berbeda dengan dongeng Sneewittchen, yang alasan di balik kedengkiannya jelas yakni iri terhadap kecantikan
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Sneewittchen, dalam dongeng ini alasan di balik kedengkian ibu tiri tersebut tidak digambarkan cukup jelas. Ia hanya tidak suka jika kedua anak tirinya, yang memilih untuk tidak tinggal bersama dengannya lagi, ternyata hidup di luar dan sangat bahagia. Kesimpulan Setelah melakukan analisis berdasarkan teori karakter dan psikoanalisis sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa tokoh-tokoh antagonis dalam kelima dongeng berkontribusi dalam membentuk kematangan superego tokoh-tokoh protagonis. Melalui konflik-konflik yang ditimbulkan serta konfrontasi-konfrontasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh antagonis ini, tokoh-tokoh protagonis dalam setiap dongeng belajar mengenal dunia yang sesungguhnya, di antaranya melalui penerapan konsekuensi atau hukuman dan pembentukan rasa bersalah. Secara umum, tokoh-tokoh antagonis dalam kelima dongeng dengan kekuatan sihir yang mereka miliki, menunjukkan sosok yang memiliki otoritas. Hal ini dikarenakan dengan kekuatan sihir tersebut, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya dan menyebabkan mereka ditakuti oleh masyarakat. Kekuatan sihir yang menyebabkan mereka menjadi lebih superior dibandingkan tokoh-tokoh protagonis—yang merupakan masyarakat biasa (tanpa kekuatan sihir)—menjadikan mereka secara tidak langsung berfungsi sebagai ‘media’ pembangun superego tokoh-tokoh protagonis layaknya sosok orang tua atau guru. Saran Penulis menyadari bahwa analisis dalam penelitian ini jauh dari kesempurnaan dan masih memiliki banyak kekurangan. Hubungan dan pengaruh antara tokoh-tokoh protagonis dengan tokoh-tokoh antagonis hanya dibahas secara umum dan tidak mendalam. Oleh karena itu, penulis harap ke depannya akan ada penelitian-penelitian lain yang membahas karakterkarakter dalam dongeng Grimm Bersaudara dengan lebih mendalam.
Kepustakaan Brüder Grimm. 1937. Märchen der Brüder Grimm mit 100 Bildern nach Aquarellen von Ruth Koser-Michaël. Berlin: Th. Knaur Nachf. (Korpus utama)
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Biechonski, Jure. From the creator of Transactional Hypno-Analysis Jure Biechonski MSc. 2004. Connolly, K. (2012). “Grimm’s Fairy Tales: 200th Anniversary Triggers a Year of Celebration”.
german-culture > (19 Maret 2013). Duden Online <www.duden.de> Heller, Sharon. Freud A to Z. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. 2005. Grimm, Jacob, Wilhelm Grimm. Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2011. Kümmerling-Meibauer,
Bettina.
Klassiker
der
Kinder-
und
Jugendliteratur:ein
internationales Lexikon. Stuttgart: J.B. Metzlersche Verlagsbuchhandlung. 1999. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011. Minderop, Albertine. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011. Schödel, Siegfried. Arbeitstexte für den Unterricht Märchenanalysen. Stuttgart: Philipp Reclam jun. GmbH & Co. 2002. Schweikle, Günter dan Irmgard. Metzler Lexikon Literatur: Begriffe und Definitionen. Stuttgart; Weimar: J.B. Metzlersche Verlagsbuchhandlung. 2007. Urs, V. (2009). “Märchen und Traum”.
(13 Mei 2013) Von Wilpert, Gero. Sachwörterbuch der Literatur. Tübingen: Alfred Kröner Verlag. 2004.
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
Lampiran: Sinopsis Dongeng Hänsel und Gretel Akibat musim paceklik, kedua bersaudara Hänsel dan Gretel harus dibuang ibu tirinya ke tengah hutan. Awalnya, mereka berhasil kembali pulang dengan cara membuang batu berwarna putih sepanjang perjalanan saat mereka dibawa ke tengah hutan, sebagai petunjuk jalan pulang. Akan tetapi, saat dibawa untuk kedua kalinya, mereka tidak dapat melakukan hal yang sama. Sendirian dan kelaparan di tengah hutan, Hänsel dan Gretel berusaha mencari sesuatu untuk bisa dimakan. Pada saat itulah mereka menemukan sebuah rumah kue kecil yang ternyata milik seorang Nenek Sihir pemangsa anak-anak. Setelah memakan rumah kue itu, Hänsel dikurung di dalam kandang, diberi makan yang banyak, dan akan dimakan oleh sang Nenek Sihir setelah ia gemuk. Sementara Gretel disuruh bekerja terus-menerus tanpa diberi makanan yang layak. Akan tetapi, pada akhirnya Gretel dapat mengelabui Nenek Sihir dan mendorongnya ke dalam oven panas sehingga mereka dapat kabur. Mereka kemudian berhasil menemukan jalan pulang dan bersatu kembali dengan ayah mereka yang baik hati. Sneewittchen Sneewittchen merupakan gadis kecil cantik yang tinggal bersama ayahnya yang merupakan seorang raja dan ibu tirinya yang sangat sombong. Ketika beranjak dewasa, ibu tirinya yang iri dengan kecantikannya, menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Untungnya, orang suruhan tersebut tidak tega dan hanya membuangnya ke dalam hutan. Di hutan itulah Sneewittchen bertemu dan tinggal bersama tujuh kurcaci yang baik hati. Akan tetapi, ibu tirinya mengetahui hal tersebut dan berusaha mencelakakannya. Setelah memakan apel beracun buatan sang ibu tiri, Sneewittchen tertidur dan tidak dapat terbangun kembali sampai akhirnya ada seorang pangeran yang berhasil menyelamatkannya. Sneewittchen kemudian menikahi pangeran tersebut. Pada pesta pernikahannya, sang ibu tiri datang. Akan tetapi, ia harus berdansa di atas sepatu besi panas hingga akhir hayatnya sebagai hukuman atas perbuatan jahatnya. Rapunzel Rapunzel merupakan anak dari sepasang suami istri biasa, yang sudah lama menginginkan anak. Akan tetapi, ketika ia lahir, ia harus dirawat oleh seorang penyihir sebagai hukuman atas kesalahan kedua orang tuanya; ayahnya mencuri tanaman rapunzel milik penyihir tersebut, karena semasa hamil ibunya mengidam ingin makan sayuran tersebut. Saat berumur dua belas tahun, Rapunzel tumbuh menjadi anak yang sangat cantik. Akan
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013
tetapi, sang penyihir kemudian mengurungnya di dalam menara tinggi tanpa pintu dan tangga di tengah-tengah hutan dan dilarang untuk berhubungan dengan siapa pun. Pada suatu hari, ada seorang pangeran yang datang karena mendengar nyanyiannya. Setelah beberapa lama menjalin hubungan dengan pangeran tersebut, hal ini pun diketahui oleh sang penyihir. Sebagai hukuman, Rapunzel dibuang ke sebuah gurun tandus, harus berpisah dengan sang pangeran, dan hidup tersiksa di sana. Akan tetapi, sang pangeran tetap berusaha mencarinya dan pada akhirnya, mereka dapat bersama kembali. Jorinde und Joringel Jorinde dan Joringel, sepasang kekasih yang akan menikah, sedang berjalan-jalan di sebuah hutan. Tanpa mereka sadari, mereka sudah berada di tengah-tengah hutan dan memasuki wilayah tempat tinggal seorang penyihir yang terkenal jahat. Akibatnya, Jorinde berubah menjadi seekor burung bulbul, sementara seluruh tubuh Jorigel menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan. Jorinde kemudian dikurung di dalam kandang, sedangkan Joringel dibebaskan. Setelah bebas, Joringel mencari cara untuk membebaskan kekasihnya sampai akhirnya, ia bermimpi menemukan bunga yang dapat membebaskan semua sihir. Ia kemudian mencari bunga itu dan membawanya ke kastil tempat Jorinde dikurung. Dengan bunga itu, ia berhasil membebaskan Jorinde serta seluruh gadis yang terkurung di dalam kastil tersebut dan berhasil mengalahkan sang penyihir. Brüderchen und Schwesterchen Brüderchen dan Schwesterchen merupakan dua bersaudara yang kabur ke hutan karena sering dipukuli oleh ibu tiri mereka di rumah. Akan tetapi, sang ibu tiri yang juga merupakan Nenek Sihir mengetahui hal itu. Ia menyihir air yang diminum oleh Brüderchen sehingga ia berubah menjadi seekor rusa setelah meminumnya. Pada suatu hari, seorang pangeran yang sedang berburu bersama pasukannya di hutan tanpa sengaja menemukan tempat mereka tinggal. Dan setelah melihat Schwesterchen yang cantik, ia melamarnya dan kemudian membawa kedua bersaudara tersebut untuk tinggal di istananya. Akan tetapi, sang ibu tiri yang mendengar hal itu menjadi marah dan langsung menyusun rencana jahat untuk mereka. Ia menyihir anak kandungnya agar menyerupai Schwesterchen dan mengusirnya dari istana sehingga anak kandungnya tersebut dapat menggantikan posisinya sebagai ratu. Namun pada akhirnya, sang pangeran dapat mengenali wajah istrinya yang asli dan rencana jahat ibu tiri mereka terbongkar. Sang ibu tiri diadukan ke pengadilan dan dihukum mati dengan cara dibakar. Sedangkan anak kandungnya dibuang ke hutan dan mati tercabik-cabik binatang buas.
Analisis karakter…, Sahla Salima, FIB UI, 2013