LEMBAGA KEUANGAN MlKRO SEBAGAI JEMBATAN PERDAMAIAN MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK (Belajar dan Bertindak Bersama Komunitas Tiga Desa) Oleh: Laksmi A.Savitri1, Moh. Miqdad2, Lian GogaliJ, Moh. Shohib4
PENDAHULUAN
Konflik komunal yang melanda masyarakat Poso dalam kurun waktu panjang-babakan kekerasan berlangsung dari penghujung tahun 1998 hingga tahun 2004-mengakibatkan kerugian dun penderitaan yang sangat berat bagi sebagian besar
-:
masyarakat Poso. Kekerasan tersebut masih disusul dengan berbagai peristiwa setelah tahun 2004 hingga awal tahun 2007. Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan, meskipun memperlihatkan pergeseran pola dari konflik horisontal menjadi konflik vertikal antara sekelompok orang dengan aparat keamanan, bagaimanapun memiliki daya rusak tambahan terhadap kehidupan masyarakat Poso yang sudah sangat menderita. Tidak pelak, rentetan kekerasan tersebut sangat mengganggu kondisi aman yang memungkinkan pulihnya masyarakat dari trauma dun aktifitas perekonomian yang menjadi basis bagi keberlanjutan kehidupan. Untuk mengembalikan kondisi masyarakat Poso seperti saat sebelum konflik memang terasa berat. Berbagai upaya pemulihan berlangsung dalam bayang-bayang tentang situasi yang lampau. kondisi damai yang cukup ideal, dimana pada beberapa dekade sebelumnya masyarakat Poso yang sangat plural mampu hidup berdampingan tanpa gejolak kekerasan cukup berarti. Jika pun terjadi berbagai kekerasan dalam skala kecil, seperti perkelahian pemuda antar kelompok-yang seringkali juga melibatkan identitas berbeda--dun pergesekan dalam konstelasi politik lokal, tetapi ha1 demikian tidak berbuntut pada kekerasan komunal dalam skala luas seperti yang terjadi dalam konflik berjilid-jilid belakangan ini.
I
Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Bogor dan kandidat doktor Kassel Universitat, Jerman
'Pegiat di Awam Green (AG), Palu dan peneliti Pasca-Konflik Poso 3
Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Yogyakarta dan peneliti Konflik Poso Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor
Hampir semasa dengan sejumlah konflik komunal yang terjadi di Indonesia, ledakan kekerasan di Poso menorehkan korban jiwa yang cukup besar, serta merupakan konflik komunal berbasis identitas agama terpanjang di antara sekian konflik komunal di Indonesia, paling tidak sejak Orde Baru berkuasa. Pasca keruntuhan rezim Orde Baru, terjadi sejumlah ledakan kekerasan di Indonesia. Seperti serempak, fenomena tersebut menunjukkan gejala yang patut dicermati lebih jauh. Inter-tekstualitas gejala tersebut, bagaimanapun, akan dilihat sebagai bagian dari sejarah lndonesia modern. Potret kelam yang turut menyusun bentang budaya nusantara. Varshney eta1 (2004) mengemukakan tiga teori di balik merebaknya konflik komunal yang terjadi di lndonesia sepanjang 1990-2003. Teori pertama memandang Indmesia di bawah rezim Soeharto relatif damai karena keberadaan mekanisme politik, administratif dun militer untuk meredam ledakan gejolak sosial. Cakupan kontrol yang mengakar tersebut menjadi alat peredam utama atas nama stabilitas demi kepentingan nasional. Dengan demikian, pandangan ini menekankan pcda ketiadaan mekanisme kontrol serupa pasca kejatuhan rezim Orde Baru, yang berimplikasi pada merebaknya konflik komunal di Indonesia. Wilayah teori kedua, dengan sudut pandang historis, menelisik lebih jauh pada kurun waktu ke belakang yang lebih lama. Kekerasan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki akar cukup kuat dalam sejarah Indonesia. "Kekerasan yang sekarang tidak semata-mata, atau tidak hanya, warisan Orde Baru" (Colombijn dun Lindblad dalam Varshney et. at, 2004): Dengan pandangan ini, Orde Baru dianggap hanya sebagai bagian dari sejarah kekerasan yang sudah berakar kuat dalam budaya Indonesia. Wilayah teori ketiga mernandang kekerasan terjadi setelah 1998 karena mekanisme disipliner Orde Baru turnbang. Wilayah teori ini memandang Orde Baru yang menjadi penyebab kekerasan, baik selama rezim tersebut berkuasa maupun setelah ketumbangannya (Bertrand, 2004 dalam Varshney et. al., 2004), dengan melakukan peremukan tatanan sosial yang sangat parah rnelalui kontrol yang mematikan sernangat kewargaan dan pada akhirnya merenggangkan kohesi sosial yang substantif. Pola ini mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap negara yang menggunakan kekerasan dalam
melakukan kontrol terhadap warganya.
Maka pemupukan
ketidakpercayaan itu dianggap sebagai rangsangan bagi kekerasan-kekerasan berikutnya pasca kejatuhan rezim tersebut.
-
Tabel 1. Kekerasan Kolektif di Indonesia 1990 2003 (Varshney et.al, 2004)
' NO.
Kabupaten/Kota
Kematian
Jumlah lnsiden
Populasi (2000)
Total
%
Total
%
Total
INDONESIA
1 1.160
100,O
4.270
100,O
206.264.595 100,O
Total 14 Provinsi
10.758
96,4
3.608
84,5
1 49.309.365 72,4 432.295
02
%
PER PROVlNSl
1.
Maluku Utara
2.410
21,6
60
1,4
2.
Jakarta (5Kota]
1.322
1 1,8
1 78
42
3.
Kotawaringin Timur
1.229
11,O
24
0,6
4.
Kota Ambon
1.097
5.
Poso
6.
-
9,8
190
655
5,9
32
0,7
210.780
0,l
Maluku Tengah
632
5,7
115
2,7
523.122
0,3
7.
Landak
455
4,l
4
0,l
556.684
0,3
8.
Sambas
428
3,8
16
0,4
-
4,4
-
-
9.
Pontianak
425
3,8
8
0,2
631 -773
0,3
10.
Halmahera Tengah
31 1
2,8
6
0,l
147.509
0,l
1 1.
Maluku Tenggara
168
1,5
12
0,3
186.922
0,l
12.
Buru
1 49
1,3
15
0,4
13.
Bengkayang
1 32
1,2
19
0,4
-
14.
Kota Ternate
73
0,7
6
0,l
15.
Sanggau
59
0,5
5
0,l
508.676
0,2
15 9.545
853
690
16,2
13.351.133
6,5
1.615
14,5
3.580
83,8
1 92.913.462 93,5
Total Kabupaten-Kota
Lain-lain
Data-data sebaran konflik dun dampak yang sempat dihimpun oleh Ashutos Varshney dun timnya seperti dalam tabel di atas, untuk Poso, belum termasuk beberapa peristiwa peledakan bom dun pembunuhan yang memakan korban jiwa yang besar, dalam sejumlah kekerasan yang berlangsung pada tahun 2004 hingga awal2007. Tentu saja tersedia berbagai teori mengenai penyebab ledakan kekerasan yang terjadi di Indonesia, termasuk Poso. Dalam kasus Poso, berbagai teori tersebut pada kenyataannya berada dalam kompleksitas fakta-fakta yang menjelaskan longgarnya
kohesi sosial dalam formasi sosial masyarakat Poso mutakhir, di tengah berlangsungnya berbagai kepentingan kuasa, modal, sumberdaya serta buntut dari sesat pikir pengelolaan kebijakan negara di berbagai aspek.
Kelonggaran tersebut bisa jadi
adalah metamorfosa dari rangkaian berbagai kepentingan dun sesat pikir pengelolaan kebijakan, yang memicu segala macam ketimpangan. Ketimpangan itu pada akhirnya menajam menjadi konflik kekerasan terbuka, disebabkan oleh politisasi terhadap identitas kultural berbeda di Poso. lmajinasi sosial tentang masa depan Poso saat ini seharusnya bergerak melampaui angan-angan tentang kedamaian di masa lalu. Dalam konteksnya sendiri, konflik telah mendorong perubahan formasi sosial masyarakat Poso.
Konflik,
bagaimanapun, saat ini turut mempengaruhi pola relasi di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan pembaruan hubur~gandun pembangunan kontrak sosial baru harus terjadi. Di tengah situasi demikian, implikasi kqnflik yang meremukkan tatanan sosial ekonomi sebelumnya memperhadapkan semua pihak pada pilihan: apakah formasi sosial yang terbarui setelah konflik, diarahkan untuk tatanan yang lebih baik dengan bercermin pada kesalahan-kesalahandi masa lalu, atau, formasi sosial terbarui tersebut mengarah
pada
kecenderungan yang
memperkuat segregasi dengan
tidak
menjadikan anomali-anomali di masa lalu sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Berangkat dari kenyataan tersebut, kegiatan para pihak di Poso pasca konflik, di satu sisi perlu ditujukan semaksimal mungkin untuk merajut ikatan sosial masyarakat dengan menyediakan jembatan perdamaian yang memungkinkan ruang dialogis berfungsi dengan baik, dun di sisi lain ditujukan untuk menata kembali ketimpangan dun kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi. TlGA DESAs Dl POSO: Konteks Konflik di Butu, Mali, dan Mada
Butu Situasi konflik dirasakan oleh penduduk Butu sejak tahun 1998. Pada akhir tahun 1998, Kelurahan Butu menjadi tempat pelarian pengungsi dari kota. Akibatnya,
kelurahan ini didatangi oleh sekelompok orang berpakaian putih yang mengancam penduduk untuk tidak menampung pengungsi pelarian dari kota. Ancaman dun isu penyerbuan besar-besaran karena asumsi menyembunyikan pelarian dari pengungsi menyebabkan penduduk Butu mengungsi ke kebun-kebun. Keadaan ini terjadi meskipun saat itu telah ditempatkan 50 aparat keamanan (Perintis) dari Polda Sulteng.
Pads saat itu, sejumlah warga muslim dari desa Tero, Waga dun Sino dengan menggunakan truk menghadang kelompok massa berpakaian putih tersebut untuk tidak memusnahkan Butu. Hal ini menjadi bagian dari jalinan hubungan kekerabatan yang sudah terjalin sejak dahulu antara warga Butu dun desa-desa lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, arus pengungsian keluar kampung tidak terhindari. Pada tahun 2003, beberapa penduduk memberanikan diri untuk kembali ke Butu bersamaan dengan program pengembalian pengungsi yang dilakukan pemerintah. Meskipun demikian, gelombang aksi kekerasan masih terus berlangsung di be be rap,^ desa sehingga belum semua penduduk asal Butu kembali. Kehidupan ekonomi mulai ditata kembali pada tahun 2004. Akan tetapi, penembakan beruntun terhadap warga
9, i
,;
di lapangan desa pada tahun yang sama menimbulkan ketakutan dun kewaspadaan warga Butu terhadap penduduk di sekitar mereka yang mayoritas beragama Islam. Jalinan kekerabatan yang terjalin sejak dulu dengan desa-desa sekitar Butu dianggap tidak lagi menjadijaminan untuk keamanan warga Butu. Gelombang dun pola konflik kekerasan yang dialami warga mengubah cara pandang warga Butu berkenaan dengan relasi keagamaan. Sebelum konflik, silahturahmi antara penduduk Butu dengan desa-desa sekitarnya yang mayoritas muslim berjalan dengan sangat baik. Setelah konflik, rasa cemas, curiga dun takut terhadap desa-desa di sekitar Butu menguat. Rasa curiga dun ketakutan ini menyebabkan jalur transportasi yang semula terdiri dari empat jalur untuk mendistribusikan hasil kebun, tidak lagi dimanfaatkan. Saat ini hanya jalur transportasi yang melewati Kawa dun Kuwu yang . . masih memungkinkan dilalui. Jika sebelum konflik penduduk bisa berjalan kaki melalui ke empat jalur tersebut berkelompok maupun sendiri, saat ini mobilitas penduduk ke luar kampung sangat tergantung pada ojek motor. Keadaan ini bukannya tidak disadari oleh penduduk, sebaliknya mereka berpendapat bahwa selama ini mereka menghidupi seorang
tukang ojek setiap
harinya Rp. 250.000 untuk bisa menjalankan aktivitas ekonomi sosial mereka. Setidaknya terdapat empat tukang ojek asal Butu, akan tetapi setiap kali terjadi
peristiwa
kekerasan warga yang masih memberanikan diri untuk keluar sangat tergantung pada ojek dari luar desa. Salah satu ojek yang selama ini menjadi langganan warga Butu berasal dari kelurahan Waga dun beragama Islam. Isu bahwa beberapa anggota masyarakat di desa-desa muslim menjadi bagian dari jaringan Islam tertentu
Semua nama desa dan kelurahan adalah pseudonym
menyebabkan orang luar yang beragama Islam--termasuk tukang ojek--dicurigai sebagai mata-mata. Sebelum konflik hingga pada saat konflik awal meluas, hubungan antara masyarakat Butu dengan desa-desa di sekitarnya relatif baik dun terjaga. Selain karena hubungan kekerabatan, juga karena jalur distribusi hasil tanam yang melewati desadesa tersebut turut berpengaruh dalam membangun kedekatan emosional di antara mereka. Hal ini sudah berlangsung turun temurun. Keadaan demikian berubah kdrena kecurigaan masyarakat terhadap desa-desa sekitarnya berkembang seiring dengan babakan konflik yang semakin merusak dun maraknya insiden pasca konflik kekerasan terbuka. Mali .
Desa Mali aalam catatan mengenai konflik Poso disebut sebagai daerah
perbatasan penyerangan terbuka antara kelompok-kelompok yang menamakan dirinya kelompok Islam dun kelompok Kristen. Peristiwa saling serang secara terbuka antar komunitas agama ini tidak saja menimbulkan korban jiwa dun hancurnya tatanan kehidupan masyarakat, tapi secara bertahclp menimbulkan gelombang pengungsian dengan mempertimbangkan wilayah pengungsian berdasarkan wilayah keagamaan. Peristiwa penyerangan di bulan Mei
-
Juli 2001 di Mali misalnya mengakibatkan
terbakarnya rumah-rumah dun menyebabkar, gelombang pengungsian ke kebunkebun, hingga ke desa-desa sekitarnya. Karena kondisi dirasakan tidak aman maka gelombang pengungsi bergerak hingga ke wilayah Tune untuk komunitas Kristen dun di wilayah Lalupa dun Pana'a untuk komunitas Muslim. Hingga saat ini perasaan tidak aman karena rasa curiga dun prasangka terhadap komunitas agama lain dirasakan masih cukup tinggi. Hal ini antara lain tergambarkan melalui sikap enggan untuk melakukan kontak langsung atau berinteraksi dengan warga lain yang beragama berbeda, misalnya saling mengunjungi wilayahwilayah tertentu yang dianggap sebagai wilayah mayoritas agama tertentu. Warga Kristen di dusun Ill dun IV enggan untuk sekedar berjalan-jalan di wilayah dusun I dan II yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Demikian pula sebaliknya. Hal seperti itu berlangsung pula pada masyarakat di beberapa desa sekitarnya. Mendengar wilayahwilayah yang diidentifikasikan "dimiliki" atau "dikuasai" oleh mayoritas agama tertentu, menimbulkan perasaan tidak aman, rasa curiga dun prasangka tentang kemungkinankemungkinan untuk diserang. Namun, betapapun tingginya tingkat trauma, faktor ekonomi adalah alasan utama warga Mali untuk kembali ke desa. Oleh karena itu faktor
ekonomi juga yang memungkinkan warga untuk berinteraksi kembali dun menghidupi situasi yang belum sepenuhnya dianggap kondusif.
Mada
Saat konflik terjadi, dua kali berturut-turut hanya dusun Mada dun Kapa yang terbakar, tidak demikian dengan dusun Kale. Kenyataan ini dianggap karena komposisi penduduk di dua dusun tersebut mayoritas beragama Kristen sementara desa-deia sekitarnya mayoritas beragama Islam. Peristiwa konflik yang paling membuat trauma penduduk khususnya di dusun Kapa adalah diberondongnya penduduk dengan senjata api saat sedang tidur, dalam jarak yang sangat dekat oleh sekelompok orang. Peristiwa '
inilah menyebabkan sebagian besar warga Kapa memutuskan untuk tidak kembali lagi J
dun menetap di pengungsian. Setidaknya pengungsian terjadi sebanyak tiga kali, yakni akhir 1998, awal 1999 dun 2000-2002. Sebelumnya lokasi pengungsian masih disekitar kebun masing-masing penduduk. Pada pengungsian kedua hampir semua warga mengungsi di barak yang sudah dibangun di lapangan desa. Pada pengungsian ke tiga sebagian besar lokasi pengungsian (terutama warga dari dusun Mada dun Kapa) berada di wilayah Pano, Lalupa, dun Molali. Tidak demikian dengan warga Kale yang mengungsi di wilayah Poso dun sebagian besar bertahan di dusun. Secara geografis, bagi warga Kristen di dusun Mada, merasa terjepit (menggunakan kata "terkepung") oleh desa-desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini tidak jarang menyebabkan kekhawatiran dun kecurigaan di kalangan mereka bahwa masih akan terjadi penyerangan, yang terutama ditujukan kepada warga Kristen. Kenyataan bahwa masih sering terjadi pembunuhan dun penembakan misterius di kebun, menyebabkan terbengkalainya lahan terjauh yang diolah warga (+ 1,s km). Rentetan kekerasan tersebut juga menimbulkan kewaspadaan yang tinggi, termasuk berjaga-jaga dengan sepjata seadanya untuk melindungi rumah dun lingkungannya apabila terdengar isu penyerangan atau bom. Upaya aparat keamanan melalui penangkapan DPO dianggap menjadi salah satu upaya positif untuk menghilangkan kecurigaan tersebut. Karena hingga saat ini warga Kristen di Mada mengetahui dun yakin bukan warga Muslim di Mada yang melakukan pembakaran akan tetapi warga muslim dari desa-desa lain. Lazim disebut sebagai "orang Iuar". Uniknya bagi sebagian besar penduduk, relasi antar agama yang saat ini terjalin antar dusunlantar warga cenderung "lebih baik" daripada sebelum konflik. Disebutkan
bahwa konflik telah memberikan pelajaran berharga untuk memperkuat hubungan antar agama. Kenyataan ini ditunjukkan ketika sebagian kecil pengungsi dusun Kapa yang semuanya beragama Kristen kembali dari pengungsian. Sebelum membangun pemukimannya, mereka ditampung dun diberi makan oleh penduduk dusun Kale yang beragama Islam. Konflik, menurut kepala dusun Kale, membawa hikmah dengan semakin maju dun diperhatikannya dusun oleh pemerintah melalui bantuan-bantuan, termasuk pendirian mesjid dan pengembangan pariwisata. Dalam ha1 ini keadaan yang "lebih baik" dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian warga yang lebih terhadap relasi antar komunitas beda agama dibandingkan sebelum konflik, termasuk sensitifitas keagamaannya. Dengan kata lain, terdapat makna ganda dari kata keadaan yang
.\ \
"lebih baik" tersebut. Hal yang paling memungkinkan untuk menghilangkan trauma dun rasa curiga adalah pertemuan-pertemuan melalui jenis-jenis kegiatan olahraga (termasuk dengan kelurahan-kelurahan tetangga yang beragama Islam), pesta pernikahan dun duka melalui mosintuwu6. Proses re-integrasi antar masyarakat mulai berlangsung baik, antara lain terlihat dengan aktivitas ke kebun yang dilakukan bersama-sama, termasuk saran untuk saling mengungsi ke kampung yang berbeda agama apabila ada isu penyerangan oleh kelompok-kelompok agama tertentu. Hal ini juga terlihat dari anggapan sebagian besar penduduk, bahwa meskipun desa-desa dengan mayoritas agama tertentu melakukan aksi kekerasan, akan tetapi selalu diperjuangkan agar semua warga di dusun mereka tidak terlibat dan saling menjaga. Meskipun demikian, prasangku terhadap berbagai peristiwa masa lalu masih menjadi bagian yang disembunyikan warga dalam istilah yang biasa mereka sebut sebagai "orang Iuar"
.
Sikap demikian mendorong kewaspadaan dun kecurigaan berlebih yang menggejala, salah satu akibat dari tidak adanya pengungkapan mengenai pihak yang bertanggungjawab dibalik sejumlah aksi kekerasan yang berlangsung di wilayah mereka. Berdasarkan kondisi ketika konflik dan dampaknya pasca konflik, maka konteks konflik di tiga desa diatas dapat dirangkum dalam konstelasi sebagai berikut:
Tabel 2. Konteks Konflik di Tiga Desa Desa Butu
Posisi sebelum konflik
Posisi ketika konflik
Desa Kristen dikelilingi desa Islam
'Diserang' dan mennungsi
Gotong-royong, solidaritas, toleransi dan persatuan
Darnpak konflik lsolasi dari desa sekitar
,
Desa
I
Mali
Desa campuran tidak ( tersegregasi
1
1
Posisi sebelum konflik
Desa campuran dan tersegregasi dalam dusun berdasarkan agama
Mada
I
Posisi ketika konflik
1 Medan 'perang' I terbuka
I
Dampak konflik
1
tinggal berdasarkan agama Dusun Kristen kosong ditinggal mengungsi
I Segregasi tempat
Dusun Kristen 'diserang' dan dusun Islam tidak
INTERAKSI EKONOMI DAN BUDAYA MOSlNTUWU SEBAGAI JEMBATAN PERDAMAIAN Kata rekonsiliasi pernah menanggung stigma dalam sejarah upaya perdamaian konflik Poso. Tim Rekonsiliasi yang dibentuk Gubernur Sulawesi Tengah dinilai tidak
a1
mampu menjalankan misinya. Alih-alih mendinginkan suasana, tim ini terlibat perang opini dengan Bupati Poso, sementara sebagian besar warga Poso masih dibakar dendam (Lasahido et.al, 2003). Oleh sebab itu, rekonsiliasi perlu berjalan tanpa harus menyebut kata rekonsiliasi itu sendiri. Di ruang interaksi sehari-hari, koridor menuju rekonsiliasi terbentuk. Berawal dari kebutuhan dasar -makan,
pakaian, papan-,
pedagang dun pembeli berlainan agama dan suku diikat dalam interaksi sosial yang tentunya tidak lagi sama seperti sebelumnya, tapi tidak mungkin terhindari. Pada titik inilah interaksi ekonomi memiliki makna melampaui nilai ekonomi dun pemenuhan kebutuhan semata. Sebagaimana rekonsiliasi atau damai adalah bahasa yang riskan dun tidak berjiwa
pada
masyarakat
pasca
konflik,
seringkali
memang
harus
ditemukan bahasa yang netral, familiar dun berakar kuat pada tradisi. Mosintuwu menjadi kata kunci. lnteraksi sosial ekonomi di tengah masyarakat pasca konflik tidak serta-merta terbentuk jika tidak memiliki unsur perekat yang mampu menjembatani jurang
perbedaan
agama
dun suku,
seperti budaya mosintuwu.
Mosintuwu
mengakarkan rasa persatuan, solidaritas dun toleransi pada kenyataan tentang adanya kebutuhan untuk berbagi ruang hidup di tengah masyarakat yang plural. Peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan, seperti pernikahan, kelahiran dan kematian memanggil setiap orang untuk datang menyatakan empati dalam bentuk materil dan non-materil, terlepas dari segala perbedaan. Budaya ini membesarkan masyarakat Poso dalam rasa persaudaraan yang kental, ditandai pula oleh ikatan darah yang sudah melintas perbedaan agama dan suku. Bagaimana mosintuwu bisa bermakna perdamaian? Mosintuwu mampu merengkuh hati banyak orang pada kenangan tentang perbedaan yang kehilangan jarak, tatkala orang Poso bisa saling membantu atau menopang dalam agenda sehari-
I
hari. Bisa pada acara perayaan daur hidup, mencari penghidupan, saling bantu dalam pekerjaan (mesale), dun lain-lain. Orang-orang berbeda identitas akan lebur dalam semangat rnosintuwu yang sudah menjadi tradisi itu. ltulah mekanisme hidup orang Poso, jembatan yang mereka bangun sendiri dalam proses yang sangat panjang. Bahkan ketika arus migrasi besar-besaran di tanah Poso terjadi, mosintuwu berhasil merengkuh banyak orang. Demikianlah kenapa kata itu menjadi sedemikian bertuah. Tidak semata semboyan, itu adalah hasil dialog dun negosiasi terhadap kondisi masyarakat Poso yang sangat plural. Mosintuwu lahir dari rahim kearifan orang Poso sendiri. Kesadaran yang ditempa dalam semangat zaman yang terus bergerak dinamis, seiring dengan kian derasnya ragam identitas kvltural yang masuk ke Poso. Konflik komunal di Poso telah mengkotakkan masyarakat Poso dalam sebutan 'torang' (kami) dun 'dorang' (mereka). Kenyataan ini menjadi tantangan bagi setiap fasilitator perdamaian untuk berkreasi dalam mendorong terbentuknya wadah-wadah
:
interaksi dun kesempatan-kesempatan pertemuan komunitas lintas agama yang tidak menempatkan perdamaian hanya sebagai basa-basi. Penggunaan kata mosintuwu, dalam memfasilitasi proses di desa-desa, dirasakan lebih nyaman dun mudah ditangkap ketimbang istilah lain yang sudah terlanjur terstigma. Berangkat dari perbedaan konteks konflik di setiap desa, maka proses fasilitasi untuk mengkonstruksi ruang bertemu di Mada, Mali dun Butu menemukan titik masuk dun mengalami perjalanan yang berbeda-beda. Peran Fasilitator Perdamaian dun Proses Fasilitasi Berangkat dari konteks konflik yang spesifik di Butu, Mali dan Mada, serta dampak yang ditimbulkannya pasca konflik, maka profil fasilitator, yaitu: penduduk asli Poso atau bukan, identitas pribadi (agama, suku, usia, jenis kelamin) dun ketajaman intuisi dalam memfasilitasi, menjadi unsur penentu dalam mendorong teridentifikasinya bentuk
kegiatan yang
bisa
mempertemukan dua
komunitas
beda
agama.
Latarbelakang seorang fasilitator perdamaian mempengaruhi proses integrasinya di tengah masyarakat pasca konflik yang masih memiliki trauma dun kecurigaan tinggi. Di Butu, yang merupakan desa Kristen dun dikelilingi desa Islam, fasilitator yang beragama Kristen dun penduduk Poso tidak memerlukan waktu lama untuk diterima oleh masyarakat korban yang masih terbebani trauma. Di Mada yang dihuni oleh dua dusun Kristen yang menjadi korban, fasilitator beragama Kristen dun penduduk Poso tidak terlalu sulit untuk masuk ke tengah komunitas yang rasa curiganya masih sangat tinggi, meskipun diantara sesama warga desa. Di Mali, seorang fasilitator perempuan
a,, \.
,
yang sudah berkeluarga, beragama Kristen dun orang asli Poso, secara 'instan' menyatu dengan warga Kristen. Tantangannya adalah ketika semua fasilitator harus menjembatani interaksi antara warga Kristiani dengan warga Muslim. Pada titik kepentingan ini fasilitator tidak bisa bekerja sendiri. Kerjasama dengan warga desa menjadi mutlak, terutama mereka yang berlainan agama dengan sang fasilitator dun memiliki motivasi kuat untuk menjadi agen perdamaian. Namun demikian, kemampuan sang fasilitator untuk membongkar prasangkanya sendiri dun mendekatkan jarak sosialnya tetap menjadi syarat esensial. Proses fasilitasi di Butu, Mali dun Mada masuk melalui pintu yang berbeda-beda. Di Mali, misalnya, figur fasilitator yang seorang ibu mengantarkannya pada pintu masuk pembentukan kelompok perempuan yang berorientasi pada penguatan ekonomi rumahtangga. Untuk masuk ke komunitas Muslim, fasilitator Mali bekerjasama dengan seorang pemuda desa yang beragama Islam dun memiliki motivasi kuat untuk membangun perdamaian di desanya, sehingga dapat diterima di dua komunitas. Berkat pendekatan kepada kedua komunitas dun beranjak dari kebutuhan riil penguatan ekonomi rumahtangga, maka pembentukan kelompok perempuan berhasil mengorganisir ibu-ibu menjadi 12 kelompok dengan 2 diantaranya terdiri dari anggota berlainan agama. Sementara di Butu, kenyataan bahwa sang fasilitator adalah laki-laki dun pernah tinggal di Butu, membuka pintu masuk bagi fasilitator kepada persoalan para bapak petani kakao yang menghadapi trauma ke kebun pasca konflik. Tambahan pula mereka didera
kerugian karena kebun yang terbengkalai dun
keterbatasan
kemampuan dalam menangani penyakit dun hama kakao. Selain itu, sebagai orang Poso yang pernah bermukim di wilayah-wilayah yang dikategorikan sebagai desa Muslim, fasilitator mampu melakukan pendekatan ke petani-petani kakao di desa-desa Muslim tetangga Butu. Fasilitator menangkap segera keinginan petani kakao untuk membentuk kelompok kerja dan mengatasi masalah-masalah teknis di kebun yang saling berbatasan antara Butu dun desa-desa Muslim lainnya. Pertemuan pertama yang dijembatani oleh penyuluhan dan praktek budi daya kakao telah berhasil mengundang petani-petani kakao dari desa-desa tetangga Butu yang mayoritas berpenduduk Muslim. Pada akhir penyuluhan, para petani bersepakat membentuk 5 kelompok kerja yang beranggotakan masing-masing 10 KK, termasuk dari desa tetangga yang kebunnya saling berbatasan.
Desa Mada sedikit berbeda dengan Butu dun Mali. Faktor geografis memisahkan dusun-dusun Mada yang tersegregasi berdasarkan agama. Kondisi ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi fasilitator untuk memulai pendekatan berskala desa. Dengan sendirinya pendekatan harus dilakukan dusun per dusun. Pada saat yang sama program bantuan dana dari pemerintah masuk melalui mekanisme seleksi proposal yang harus diajukan oleh seluruh warga desa yang merasa membutuhkan. Selain itu, di Mada pun sudah ada lembaga simpan pinjam yang difasilitasi oleh program kerjasama pemerintah dun Bank Dunia. Titik masuk kegiatan di Mada ditemukan pada kenyataan bahwa penerima manfaat dari semua program yang sedang dun sudah berjalan ternyata bukan kelompok warga yang justeru paling membutuhkannya. Terinspirasi oleh Grameen Bank di Bangladesh, kenyataan tersebut membangkitkan ide untuk mendorong terbentuknya kelembagaan simpan pinjam yang dianggotai oleh perempuan dari kelompok masyarakat terbawah. Dengan segala kesulitannya yang spesifik, proses fasilitasi di Mada memang tidak bisa sepenuhnya partisipatif. Dirasa perlu untuk 'menyuntikkan' ide tentang kelompok simpan pinjam ini sebagai elemen perekat di komunitas yang terbelah. Rangkuman fasilitasi proses
di
ke-tiga desa
terkait
konteks
konfliknya
digambarkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Fasilitasi di Tiga Desa Pasca Konflik Profil Fasilitator Poso asli, Kristen, lakilaki
Desa Butu
Konteks konflik Terisolasi (dikelilingi desa Islam). Warga Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir.
Mali
Tersegregasi akibat konflik Poso asli, Kristen, perempuan terbuka Warga Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir. Tersegregasi karena faktor Penduduk Poso, geografis dan konflik antar Kristen, laki-laki dusun beda agama Dusun Islam tidak diserang dari luar dan dusun Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir.
Mada
Titik masuk fasilitasi Pembentukan kelompok kerja bapakbapak petani cokelat lintas desa, lintas agama Pembentukan kelompok usaha ibu-ibu lintas agama Pembentukan kelompok dana bergulir ibu-ibu per dusun (tidak lintas agama)
a. \
,
Kelompok Simpan Pinjam berbasis Mosintuwu Terinspirasi oleh Muhamad Yunus dengan Grameen Bank-nya(Yunus
8,
Jonis,
2007), sekaligus beradaptasi pada mosintuwu sebagai kenyataan lokal, sebuah ide
untuk
pemberdayaan sosial
ekonomi yang
sekaligus
menciptakan jembatan
perdamaian, sedang berproses menemukan bentuknya di Poso. Meletakkan mosintuwu sebagai landasan, diharapkan dapat membangun spirit saling bantu untuk menjadi lebih kuat, karena masyarakat Poso sudah terbiasa saling menopang. Persoalannya bagaimana spirit itu diberi energi lagi setelah sempat terkoyak oleh konflik panjang. Salah satu jalannya adalah kembali mengangkat mosintuwu ke permukaan narasi tentang konflik Poso. Yang dengannya diharapkan ada pemberian makna mosintuwu secara sengaja pada segala aktifitas pemulihan dun pemberdayaan masyarakat di Poso. (
7
Dengan spirit mosintuwu, kelompok dana bergulir tidak hanya dimaknai sekedar sebagai kelompok yang dibentuk untuk menampung dana bantuan tanpa kewajiban apa-apa. Kelompok justeru dibentuk dengan 'kewajiban' untuk saling bantu dun saling kontrol. Lima orang perempuan yang memiliki usaha kecil atau akan memulai usaha dun memerlukan pinjaman modal diminta membentuk kelompok. Pinjaman tidak diterima sekaligus oleh lima orang dalam kelompok, tetapi diawali dengan dua orang sebagai penerima dana pertama. Ketiga anggota lainnya baru akan menerima pinjaman dalam jumlah yang sama dengan dua temannya terdahulu hanya jika kedua temannya mampu mengangsur dengan rajin dun tepat waktu. Dengan demikian, jika ada kesulitan yang menyebabkan terhambatnya pengangsuran atau musibah menimpa salah satu diantara anggota kelompok, maka persoalan harus dipecahkan bersama. Dengan tujuan ganda ini, maka bunga pinjaman ditetapkan hanya 2% dari
.,I
total pinjaman (bukan berdasarkan jumlah angsuran), sekedar untuk biaya operasional pengurus. Mekanisme yang sama juga diterapkan pada sistem simpan pinjam berbasis kelompok usaha bersama. Pencairan dana diberikan kepada satu kelompok, sementara kelompok lainnya berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kelancaran angsuran kelompok penerima pertama. Bila ada kemacetan karena kesulitan usaha atau musibah, maka kelompok lain diharapkan membantu kelompok penerima untuk memecahkan masalahnya. Di Butu, Mali dun Mada, proses pembentukan kelompok tidak pernah diawali oleh informasi tentang adanya dana bantuan. Pembentukan kelompok berjalan secara natural sebagai cetusan kebutuhan masyarakat, terutama di Butu dun Mali. Oleh sebab
itu, semangat mosinfuwu menjadi rona utama yang sudah melandasinya sejak awal. Meskipun di Mali kebanyakan ibu-ibu masih merasa lebih nyaman memilih teman seagama sebagai teman kelompok, tetapi pada perjalanannya, pertemuan dun kerja bersama yang selalu melibatkan seluruh kelompok tanpa pandang bulu mampu menciptakan kondisi yang 'memaksa' ibu-ibu beda agama saling membantu. Saat ini, ibu-ibu beragama Kristen tidak sungkan lagi bertamu dun langsung masuk ke dapur ibuibu muslim. Sebaliknya juga demikian, bahkan ibu-ibu Muslim tidak lagi sungkan Gntuk masuk dun mengamati bagian dalam gereja saat bahu membahu menyiapkan kursi untuk pertemuan kelompok. Bapak-bapak dari dusun Kristen pun mulai pergi memancing bersama dengan tetangga dusun mereka yang muslim di wilayah pantai. Apabila di Butu dun Mali pembentukan kelompok diawali oleh kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, sehingga tidak langsung berbentuk kelompok simpan pinjam, maka di Mada pembentukan kelompok langsung berkaitan dengan kegiatan simpan pinjam. Berangkat dari kenyataan bahwa sebagian besar perempuan di Mada punya usaha sebagai penjual sayur hasil kebun sendiri atau mengumpulkan dari petani lain atau pembuat kue, maka basis usaha memang bersifat individual, bukan usaha kelompok. Namun demikian, ruh solidaritas atau mosinfuwu menjadi kesadaran yang melekat dari keputusan berkelompok. Terbukti dari satu peristiwa ketika salah satu anggota kelompok di dusun Kale mengalami musibah, maka sang ibu yang seharusnya mendapat giliran terakhir untuk perninjaman dana langsung dimajukan gilirannya agar pencairannya disegerakan. Diawali di dusun Kale, lalu disusul dusun Kapa dun Mada, satu kelompok pionir terbentuk di masing-masing dusun. Ketika dilakukan pencairan pinjaman pertama kali, kelompok dari dusun Kapa (Kristen) diundang ke dusun Kale (Islam) dun mereka saling bertukar pikiran dalam menentukan mekanisme pergiliran pinjaman, jangka waktu pengangsuran, dun seterusnya. Kesempatan tersebut merupakan peristiwa langka semenjak konflik dimana sekelompok ibu-ibu dari dua dusun beda agama saling berdiskusi dun bersilaturahmi. Kelompok simpan pinjam di Mada pada awalnya belum diikuti oleh kegiatan menabung. Pada perjalanannya anggota mulai merasakan pentingnya memiliki tabungan, sehingga bahkan anggota yang belum menerima pinjaman modal pun sudah menabung duluan. Demikian bersemangatnya warga Mada menyambut ide simpan pinjam ini, sehingga pembentukan kelompok terus berjalan. Bukan saja karena bunga yang rendah, angsuran yang bisa diatur sendiri besaran dun jangka waktunya, tetapi juga karena ide berkelompok ini merupakan perwujudan nyata dari mosinfuwu
sebagai budaya yang sudah begitu dikenal dun dipahami. Bahkan berita tentang sistem simpan pinjam ini sampai ke warga Mada di pengungsian dun satu keluarga telah kembali ke Mada karena merasa memiliki harapan baru di desanya, baik dari sisi ekonomi, maupun keamanan yang lebih terjamin. Sampai dengan Juli 2007 telah terbentuk 18 kelompok yang dianggotai 90 perempuan. Sistem simpan pinjam di Mada digambarkan sebagi berikut:
Pinjaman
Kelompok
Ta bungan
Individu
Individu
Kelompok (Fungsi Sosial)
Gambar 1. Sistem Simpan Pinjam berbasis Usaha lndividu
Berangkat dari titik masuk pembentukan kelompok usaha ihu-ibu, ide perguliran pinjaman untuk modal dun tabungan di Mali baru diaplikasikan setelah 12 kelompok berupaya mencari modal sendiri melalui berbagai cara, mulai dari berjualan dodol serta mie -keterampilan baru yang mereka dapatkan dari pelatihan yang merupakan tindaklanjut pembentukan kelompok usaha-sampai
upaya mengajukan proposal ke
program hibah UNDP. proses' ini berjalan sedemikian rupa sehingga semua kelompok usaha sedari awal telah berorientasi mandiri. Dengan sendirinya pinjaman modal
@? t2
bergulir yang datang belakangan menjadi pelengkap dari usaha mereka. Sampai dengan pertengahan Agustus 2007 telah terbentuk 26 kelompok yang memanfaatkan modal bergulir ini sebagai modal usaha kelompok. Skema perguliran dana di Mali adalah sebagai berikut:
Pinjaman
Tabungan
I
Individu
I
Kelompok
Kelompok (Fungsi Sosial dan
I
Ekonomi)
Individu
Gambar 2. Sistem Simpan Pinjam berbasis Usaha lndividu
Sementara itu di Butu, proses perguliran dana melalui kelompok mengalami perjalanan yang hampir sama dengan di Mali. Pada awalnya ada keengganan dari warga untuk menyambut ide pinjaman modal berkelompok tersebut karena pengalaman kegagalan dari program-program serupa yang masuk ke desa mereka. Lagi-lagi dengan menyodorkan spirit rnosintuwu, tawaran dana bergulir tidak lagi berkonotasi penyalahgunaan dun korupsi. Mereka meraba ada yang berbeda dari misi kelompok simpan pinjam ini dun karenanya, kelompok simpan pinjam segera mewujud di Butu. Berdasarkan pengalaman di Mada, Mali-dun Butu, pembentukan kelompok dun sistem simpan pinjam telah bergulir melalui dua trek yang paralel, yaitu: 1) dari kelompok berbasis usaha individu ke kelompok usaha bersama, seperti di Mada; 2) dari kelompok usaha bersama ke pengembangan usaha individu (lihat Gambar 3). Di Mada, proses yang memilih trek individu diharapkan mengantarkan para anggota kelompok untuk mulai berpikir membentuk kelompok usaha bersama. Di Mali dun Butu, trek kelompok yang diikat oleh usaha atau kerja bersama diupayakan juga membuka peluang bagi pengembangan usaha individu atau per rumahtangga. Kedua trek ini mengarah ke satu tujuan, yaitu: rakyat sejahtera, dimana kesejahteraan bermakna penuh, tidak hanya lahir tapi juga batin. Rakyat dusun Kapa bahkan mendefinisikan kesejahteraan sebagai -salah satunya- adanya kedamaian. Tujuan ini menjadi 'label' berjiwa yang memayungi seluruh kelompok simpan pinjam di tiga desa dengan nama sistem simpan pinjam Selaras atau Selangkah menuju Rakyat Sejahtera. Elemen dun mekanisme yang serupa di kedua tipe kelompok simpan pinjam
ini, seperti: jumlah anggota per kelompok, pergiliran penerimaan pinjaman, besar angsuran, jangka waktu pinjaman, diharapkan dapat secara induktif membangun sebuah sistem keuangan mikro yang dioperasionalisasi oleh kelembagaan yang berbadan hukum, seperti: Koperasi (lihat Gambar 4).
Gambar 3. Proses Evolusi Modal dan Usaha
Gambar 4. Proses Evolusi Kelembagaan
P~lihankoperasi untuk mewadahi sistem Selaras, sementara ini dinilai sebagai pilihan aman dari segi hukum dun legitimasi sosial. Transformasi kelembagaan menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat), misalnya, akan 'menundukkan' sistem Selaras pada
aturan-aturan perbankan yang tidak selalu ramah pada modal kecil. Koperasi justeru berangkat dari modal yang tersedia dun mampu membuka peluang setara bagi semua anggota kelompok untuk memiliki andil.
Dengan sendirinya legitimasi sosial akan
dipenuhi, dun pada saat yang sama koperasi memiliki legalitas sebagai badan hukum.
KESIMPULAN
Dalam konteks masyarakat pasca konflik yang kehidupannya terpuruk di titik nol, kebutuhan untuk bangkit seringkali dimaknai semata-mata sebagai tanda bagi diperlukannya bantuan materil untuk kebangkitan ekonomi. Tanpa menafikan kebenaran persepsi tersebut, kebutuhan akan rasa aman dun meyakini damai akan datang adalah bagian terpenting dari makna kebangkitan itu sendiri. Aktivitas ekonomi dun pertalian sosial tidak akan mungkin terjalin dun bernafas kembali tanpa terciptanya 'hidup yang normal'. Hidup yang normal berjalan ketika semua kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan cara yang normal pula. Adalah normal di Poso ketika pedagang Jawa yang Islam leluasa berjualan kangkung bagi kebutuhan pakan ternak babi orang Pamona yang Kristen. Pada titik inilah rekonsiliasi melalui koridor agenda sehari-hari menelusup tanpa suara. Adalah normal ketika rnosinfuwu menjadi petanda bagi bangkitnya rasa solidantas diantara sejumlah perbedaan. Maka kedua kenormalan ini menjadi 'formula' perdamaian ketika masyarakat Poso bisa saling bantu dun menopang hidup melalui mekanisme simpan pinjam dalam kelompok tanpa
memerdulikan lagi jurang
perbedaan diantara mereka. Lembaga keuangan mikro bukan semata-mata sistem keuangan atau alat ekonomi. Kelembagaan yang berisi orang-orang dengan sejumlah pengalaman hidup yang dibagi bersama mampu melampaui nilai materil dari sebuah lembaga keuangan mikro yang disebut sebagai kelompok simpan pinjam. Tersambungkannya kembali rasa kekeluargaan dan persahabatan menjadikan hidup yang sekedar cukup makan, pangan dan papan menjadi hidup yang normal seusai korrflik.
Ucapan terimakasih: Tulisan ini rnendeskripsikan proses pernberdayaan rnasyarakat yang dilaksanakan oleh Sajogyo Institute (SAINSJ bersarna rnasyarakat di tujuh desa di Poso sepanjang tahun
2007 ini. Ucapan terirnakasih karni sarnpaikan kepada seluruh Tim SAlNS dan rnasyarakat di poso yang telah bekerja bersarna untuk rnenciptakan perdarnaian di tanah POSO, sehingga rnernungkinkan untuk ditulis dan dirnaknai lebih luas. Hanya yang tertulis yang tertinggal.
DAFTAR PUSTAKA Varshney, Ashutos, et.al. 2004. Pola kekerasan kolektif di Indonesia (1990-2003).LINSFIR. Jakarta
1
1
Lasahido, Tahmidy. 2003. Suara dari Poso: Kerusuhan, konflik dun resolusi. YAPPIKA. Jakarta Yunus, Muhamad dun Alan Jonis. 2007. Bank Kaum Miskin. Marjin Kiri. Jakarta