Pela - September 2005
Pela
Inside
| 1
September 2005 Vol. III, No. 1
Newsletter
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta-Indonesia
2 Editorial: Pendidikan untuk Perdamaian
3 Pendidikan Perdamaian: Dapatkah Perdamaian Diajarkan?
5 Profil: Eni Kurniawati, Guru yang Mempromosikan Perdamaian
6 Artikel: Pendidikan Multikultural
7 Kearifan Lokal: Negara Lawan Lingko
8 Aktivitas: Rangkuman, Mengaji Pengungsi di Oxford, Pendidikan di
Pendidikan Perdamaian untuk Anak Sekolah di Poso Sekelompok anak Poso, Sulawesi Tengah, sedang bermain perang-perangan, pada suatu sore di bulan April 2002. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, keceriaan melingkupi permainan itu. Tetapi, permainan yang sedang mereka lakukan, cukup mendebarkan, dan terasa aneh. Sekitar 100 orang anak membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok berperan sebagai orang Muslim, satu kelompok berperan sebagai orang Kristen. Senjata mainan seperti ketapel, pedang-pedangan dan lainnya, digunakan. Dan, ada bahaya atas digunakannya senjata-senjata mainan itu. Ketapel misalnya, jika ditembakkan, akan menyebabkan mata yang terkena batu bisa menjadi buta. Sedang jika mengenai kulit, akan menyebabkan lebam atau bengkak. Sesekali polisi yang sedang bertugas, dan tergerak hatinya, membubarkan permainan perangperangan ala Muslim-Kristen itu. Tapi, esoknya, permainan akan berlangsung kembali. Para aktifis perdamaian di Poso, sudah sejak lama merisau-
kan permainan perang-perangan itu. Berhari-hari mereka menyaksikan fenomena itu dan berpikir cara memecahkannya. Menurut Iskandar Lamuka, permainan perang-perangan ini adalah dampak langsung dari konflik berbau agama di Poso. “Jika tidak diantisipasi, maka bukannya tak mungkin di kepala anak-anak akan tertanam kesukaan berperang ketika mereka dewasa,” ujar Iskandar Lamuka. Para aktivis lantas bertemu dan membahas soal dampak perang pada anak-anak Poso ini. Muncullah gagasan untuk melakukan pendidikan perdamaian di sekolah-
Aceh Pasca Bencana Tsunami
10 Pojok MPRK: Beasiswa MPRK untuk Polisi
sekolah. Tujuannya, agar sekolah memiliki pendidikan damai, juga agar pendidikan perdamaian bisa ditransformasikan lewat sekolah. Diskusi-diskusi terus menerus dilakukan. Studi banding juga dilakukan di beberapa kota. Praktis sekitar satu tahun persiapan dilakukan, hingga kemudian, materi pendidikan perdamaian untuk sekolahsekolah siap diujicobakan di sejumlah sekolah yang dipilih, dimana guru-guru di sekolah-sekolah itu, adalah para aktor pelaksana pendidikan. Pemda, lewat dinas pendidikan dan pengajaran dilibatkan, baik tingkat propinsi maupun kabupaten. Menurut Iskandar Lamuka, hasil dari ujicoba itu amat menggembirakan. Sekolah-sekolah yang lain, maupun para guru yang belum mendapatkan kesempatan uji coba pendidikan perdamian, lantas meminta Iskandar dan rekanrekannya, datang membagi ilmu. lihat Pendidikan Perdamaian di Poso, halaman 5
2 |
Pela - September 2005
EDITORIAL
Pendidikan untuk Perdamaian Pendidikan untuk perdamaian (education for peace) merupakan sarana penting untuk membangun perdamaian, terutama dari sisi budaya. Ini merupakan bagian utama dari pengembangan budaya damai di masyarakat (culture for peace). Meskipun intinya tidak jauh beda, pendidikan untuk perdamaian perlu dibedakan dengan pendidikan perdamaian (peace education). University of Peace (UPEACE), dalam rancangan strategisnya, mengartikan pendidikan untuk perdamaian mencakup semua jenis proses belajar, pelatihan, dan penelitian berkaitan dengan upaya membangun perdamaian. Setiap bentuk riset, lokakarya, pelatihan, seminar, yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran (rising awareness) dalam pencegahan konflik di masyarakat, misalnya, masuk dalam kategori ini. Sementara, pendidikan perdamaian, atau pendidikan untuk perdamaian dalam arti sempit, mencakup kegiatan khusus di sektor
Pela Newsletter Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Editorial Board: Lambang Trijono (Chief), Arifah Rahmawati, M. Najib Azca, Muhadi Sugiono, Samsurizal Panggabean, Tri Susdinarjanti Executive Editor: Moch. Faried Cahyono Editorial Members: Diah Kusumaningrum, Doddy Wibowo, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Nurul Aini, Zuly Qodir Language Editor: Frans Vicky de Djalong Layout/Artistic: Arif Surachman, Syarafuddin Address: Editorial Board, PELA Newsletter, Sekip K-9, Yogyakarta 55281. Phone/Fax.: 0274520733, Email:
[email protected], Website: www.csps-ugm.or.id
pendidikan untuk meningkatkan pemahaman, ketrampilan, dan perbaikan sistem pendidikan untuk membangun kapasitas perdamaian (capacities for peace). Pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah atau universitas, misalnya, masuk dalam pengertian ini. Keduanya beda dalam tataran metodologis, tetapi tidak selalu beda dalam tataran perspektif. Sebuah lembaga perdamaian, misalnya, bisa hanya melakukan salah satu, atau keduanya, tergantung pada pilihan metodologi dan sasaran yang dituju. Tulisan dalam edisi Pela kali ini menyajikan keduanya. Pembaca akan menemukan berbagai variasi yang kaya dari keduanya yang bisa digunakan untuk bahan pelajaran bagi perbaikan praktek pembangunan perdamaian (peace building). Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan pendidikan untuk perdamaian adalah masalah pilihan pendekatan yang digunakan. Pendidikan untuk perdamaian haruslah menyentuh aspek mendasar ketidakadilan struktural, sebagai sumber utama konflik kekerasan. Bagaimana pendidikan untuk perdamaian menjadi sarana pembebasan (liberasi), seperti ditekankan oleh Freirean, penting dijadikan titik tolak acuan. Elise Boulding menyebut pen-
didikan ala ini sebagai strategi mengubah sistem kekerasan di masyarakat (uncivilzed society) dengan bertitik tolak dari perubahan kesadaran budaya damai warga masyarakat sipil (civic culture). Bagaimana hal itu dijalankan, sangat tergantung pada kapasitas dan peran masing-masing. Kalangan pemerintah barangkali lebih suka mengambil jalur pendidikan formal (track 1), sementara kalangan sipil lebih suka jalur nonformal (track 2). Namun untuk lebih efektif, pendekatan banyak jalur (multi-track) sangat diperlukan. Hingga kini, tantangan terberat untuk terwujudnya perdamaian di masyarakat dari sisi budaya, terutama terletak pada belum adanya ruang sipil (civil society sphere) yang sehat untuk tumbuhnya budaya damai tanpa kekerasan (civic culture). Tumbuhnya ruang hidup sipil yang sehat terus menerus digerogoti oleh, meminjam istilah Habermas, ‘distorsi komunikasi sistemik’ (systemic communication distortions), baik disebabkan oleh intervensi negara yang berlebihan maupun fragmentasi sipil yang akut. Demikian itu membutuhkan peran lembaga penengah (mediating institutions) yang mampu memfasilitasi dan memediasi keduanya; pemerintah dan masyarakat sipil. Komunitas akademisi disini menjadi penting untuk berperan menjembatani keduanya, baik melalui pendidikan perdamaian, seperti pengembangan kurikulum, metode pengajaran, pelatihan, dan sebagainya, maupun melalui aktivitas pendidikan untuk perdamaian di berbagai ranah kehidupan, baik ranah kehidupan sipil maupun politik formal. (Lambang Trijono)
Pela - September 2005
Pendidikan Perdamaian: Dapatkah Perdamaian Diajarkan? oleh Muhadi Sugiono “Perdamaian dunia tidak pernah ada dalam sejarah umat manusia.” Carl Friedrich von Weiszäcker, fisikawan dan filsuf Jerman, mengungkapkan pesimismenya tentang perdamaian tersebut saat menerima hadiah perdamaian dari asosiasi bisnis perbukuan Jerman pada tahun 1964. Mengapa? Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia tidak pernah lepas dari ancaman dan ketidakamanan. Juga, pengalaman sehari-hari umat manusia adalah pengalaman tentang berbagai ketidakdamaian. Dengan kesadaran dan pengalaman keseharian seperti ini, ketidakdamaian seakanakan telah menjadi bagian dari kultur umat manusia dan, olehkarenanya, tidaklah mengherankan jika organisasi ataupun institusi sosial dan politikpun dibentuk berdasarkan semangat yang sangat jauh dari perdamaian. Bukan gagasan tentang perdamaian, melainkan gagasan mengenai ancaman, ancaman tandingan ataupun kesiap-siagaan untuk berperang dan bertempurlah yang menjadi substansi dan struktur dari berbagai institusi tersebut. Melihat dominannya konflik dan kekerasan dalam perjalanan sejarah umat manusia, memang sulit untuk tidak membawa kita sampai pada pesimisme sebagaimana yang diungkapkan oleh von Weiszäcker. Tetapi, tidak semua percaya bahwa umat manusia ditakdirkan untuk hidup dalam ketidakdamaian. Setidaknya, ada upaya untuk tidak melihat ketidakdamaian sebagai takdir yang tidak menguntungkan bagi umat manusia. Melalui sidang di Majelis Umum, misalnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan tahun 2000 sebagai ‘Tahun Internasional bagi Budaya Perdamaian,’ diikuti
kemudian dengan ‘Dasawarsa Internasional bagi Budaya Perdamaian dan Tanpa Kekerasan terhadap Anak-anak di Dunia’ antara tahun 2001 hingga 2010. Keduanya merupakan upaya untuk mempromosikan penerapan budaya perdamaian baik pada tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional. Semboyan ‘peace in our hands’ yang menyertai penetapan tahun dan dasawarsa bagi budaya perdamaian tersebut jelas menggambarkan optimisme untuk menggapai perdamaian. Upaya PBB untuk mempromosikan budaya perdamaian merupakan terobosan penting untuk menembus kebuntuan bagi upaya-
foto dari http://www.unicef.org/girlseducation/23929_14694.html
| 3 KOLOM
upaya pencapaian perdamaian. Penggunaan konsep budaya perdamaian jelas mencerminkan terjadinya pergeseran dalam memahami konsep perdamaian. Selama ini, perdamaian cenderung dipahami sebagai sebuah kondisi, padahal perdamaian bukan sematamata merupakan kondisi, melainkan juga sikap. Perdamaian bukan hanya berarti ketiadaan konflik dengan kekerasan, tetapi juga ‘proses yang positif, dinamis dan partisipatoris yang mendorong dialog dan semangat saling pengertian dan kerjasama dalam menyelesaikan konflik.’ Tetapi, perdamaian dalam arti yang lebih dari sekedar kondisi ketiadaan konflik juga menimbulkan tuntutan yang jauh lebih besar. Perdamaian, dalam artian ini, hanya mungkin dicapai jika kita semua lebih bersikap kritis dan secara radikal merubah pola dan cara hidup serta berfikir kita selama ini. Masalahnya, bisakah dan bagaimana kita melakukannya. Sebagai sikap ataupun proses, perdamaian mustinya bisa diajarkan, yakni melalui pendidikan perdamaian. Dan, ini sebenarnya bukanlah gagasan baru. Konsep pendidikan perdamaian telah lama dikenal dalam sejarah Eropa. Setidaknya, tradisi Yunani kuno telah berusaha untuk mengkaitkan pendidikan dan perang. Plato dan Aristoteles, misalnya, sangat percaya bahwa perdamaian merupakan dampak moral dari pendidikan yang sempurna. Bagi mereka pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang berakal, dan bukan orang-orang yang bernafsu. Juga bangsa Romawi sangat menekankan pendidikan untuk menciptakan perdamaian karena perdamaian akan mengendalikan manusia dari rasa haus akan kekuasaan politik. Hanya
Pela - September 2005
saja, sekalipun tidak pernah absen dalam setiap tradisi pemikiran yang berkembang di Eropa, pendidikan perdamaian tidak pernah mendapatkan perhatian yang sangat serius hingga menjelang berakhirnya Perang Dunia I (PD I). Minimnya perhatian terhadap pendidikan perdamaian ini terutama terkait dengan sikap manusia terhadap konflik dan perang. Hingga pecahnya PD I, perang atau kontak senjata dianggap sebagai cara yang ‘normal’ dalam menyelesaikan perselisihan atau konflik, dan bukan ancaman bagi keberadaan umat manusia secara keseluruhan. Sikap yang tidak menguntungkan bagi perkembangan pendidikan perdamaian tersebut diperparah lagi oleh karakter sistem pendidikan yang sangat kaku saat itu serta belum berkembangnya disiplin ilmu yang mendukung pendidikan perdamaian seperti sejarah, ilmu politik, sosiologi atau psikologi. Besarnya korban yang ditimbulkan oleh PD I yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat – dibandingkan dengan perangperang di Eropa sebelumnya– nampaknya sangat berpengaruh terhadap persepsi manusia tentang perang dan penyelesaian konflik serta, implikasinya, bagi perkembangan pendidikan perdamaian. Perhatian terhadap pendidikan perdamaian meningkat sangat pesat sejak berakhirnya PD I. Tetapi, berbeda dengan konsep pendidikan perdamaian sebelumnya yang menekankan pada sikap dan perilaku individual, pendidikan perdamaian yang berkembang pada periode ini lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk memahami sebab-sebab terjadinya perang guna mencegah terjadinya perangperang di masa mendatang. Pendidikan perdamaian dilihat sebagai panacea untuk membentuk dunia tanpa perang. Pecahnya PD II, dengan skala
foto dari http://www.unicef.org/girlseducation/23929_14688.html
4 |
yang jauh lebih besar daripada PD I, secara jelas menunjukkan kegagalan konsep pendidikan perdamaian yang berkembang saat itu. Pendidikan perdamaian tidak berhasil membawa dunia ke arah perdamaian. Ironisnya, kegagalan ini tidak banyak mendorong perubahan paradigmatis dalam konsep pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian setelah PD II tetap dilihat sebagai sarana efektif untuk menghapuskan perang. Perubahan paradigmatis dalam konsep pendidikan perdamaian baru terjadi menjelang akhir tahun 1950-an, ketika UNESCO mempromosikan studi-studi inter-nasional yang dimaksudkan untuk menumbuhkan atau meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan diantara umat manusia penghuni planet bumi ini. Fokus terhadap pentingnya saling pengertian diantara umat manusia inilah yang menjadi substansi dari studi perdamaian yang berkembang hingga saat ini. Pertanyaan yang masih mengganjal adalah apakah perubahan paradigma pendidikan perdamaian ini berhasil memberikan kontribusi yang lebih positif bagi pencapaian perdamaian. Konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan bumi saat ini mungkin mendorong kita untuk tidak terlalu optimis. Tetapi, ada alasan kuat untuk tidak terlalu pesimis. Setidaknya, paradigma pendidikan perdamaian yang berkembang saat ini jauh lebih relevan dengan kehidupan keseha-
rian umat manusia dibandingkan dengan paradigma yang berkembang setelah PD I. Jika paradigma pendidikan perdamaian sebelumnya sangat bersifat nor-matif dan cenderung ambisius karena berorientasi pada upaya untuk merubah dunia, paradigma pendidikan saat ini memiliki misi yang jauh lebih manageable. Pendidikan perdamaian bukanlah pendidikan untuk merubah dunia –karena memang pendidikan tidak punya kapasitas tersebut, melainkan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran, pemahaman serta penghargaan terhadap dunia sebagaimana adanya. Pendidikan perdamaian tidak berpretensi untuk menciptakan tata dunia yang baru, melainkan lebih dimaksudkan untuk merubah sikap individual ke arah yang lebih menghargai perbedaan sebagai realitas kehidupan umat manusia di dunia ini. Pendidikan perdamaian mendidik lebih banyak orang yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Dalam artian ini, generasi mendatanglah yang mungkin akan lebih merasakan manfaat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh umat manusia saat ini. Tetapi, karena perdamaian bukanlah sebuah aktivitas atau perilaku khusus yang terpisah dari aktivitas dan perilaku individual secara keseluruhan, keberhasilan pendidikan perdamaian sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang jauh lebih luas daripada yang terjadi dalam batas-batas ruang kelas.
Pela - September 2005
Eni Kurniawati: Guru yang Mempromosikan Perdamaian Kerusuhan etnis yang terjadi di Sambas beberapa tahun silam masih membekas kuat dalam ingatan Eni Kunrniawati. Kala itu, ia menjadi pengajar pada satu-satunya sekolah menengah atas negeri di kota Sambas. Sebagai akibat dari dua bulan konflik etnis, ia kehilangan banyak muridnya. Mereka ikut mengungsi bersama orang tua masing-masing ke kawasankawasan penampungan pengungsi. Peristiwa ini terjadi karena terjadi pengusiran terhadap orang-orang Madura sebagai akibat susulan dari konflik etnis tersebut. Wanita kelahiran Tambelan 16 Desember 1964 ini dengan keras menentang peristiwa yang telah memakan banyak korban jiwa dan juga telah merusakkan sejumlah besar milik masyarakat umum. Sejak saat itu dan saat setelah konflik, ia terjun dalam kegiatan promosi perdamaian. Baginya, korban konflik bukan hanya orang Madura tapi juga orang Melayu. Begitu pula anak-anak telah menjadi korban mengingat mereka dengan BITTER JOKE mata kepala sendiri mnyaksikan pembunuhan, penyiksaan, dan aksi-aksi brutal lainnya. Eni memahami konflik ini sebagai konsekuensi dari kurangnya pemahaman, pengharagaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan juga karena mulai memudarnya basis-basis komunitas lokal. Untuk menerjemahkan pemahamannya ia mulai menye-
Pendidikan Perdamian di Poso Sambungan dari halaman 1
Para guru juga menjadi saksi, bagaimana para siswa yang sudah mendapatkan pendidikan perdamaian, menjadi agen perdamaian, begitu pulang ke rumah. Mereka misalnya, mengingatkan para orangtua agar lebih mementingkan perdamian, dibandingkan menghidup-hidupkan dendam.
foto latar dari http://www.kompas.com/utama/news/0507/18/125405.htm
barluaskan arti penting pluralisme dan toleransi di kalangan muridmuridnya. Beberapa metode ia implementasikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun melalui kegiatan ekstra kurikuler untuk para siswa. Supaya lebih praktis, diskusi, kegiatan penulisan artikel, dan cerita pendek dipraktekkan. Ia memang sudah dekat dengan dunia sastra sejak masih kanak-kanak. Keseluruhan tema yang dikedepankan adalah soal pentingnya nilai-nilai perikemanusiaan dan kepedulian terhadap persoalan sehari-hari. Ia pun menfasilitasi para siswa agar karya-karya mereka dipublikasikan di surat kabar dan jurnal sastra. Alhasil, Horison, salah satu jurnal sastra terkemuka di negeri ini, mempublikasikan tujuh karya sastra murid-muridnya dalam edisi November tahun
Bagaimana dengan kelanjutan program ini di Poso? Menurut Iskandar, kelanjutan program ini terkendala pendanaan. Bagaimana pun, untuk menjadikan program ini sebagai program bisa menjangkau lebih banyak sekolah, dibutuhkan dana. Sementara itu, dukungan Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk program yang amat penting itu, amatkah kurang.
| 5 PROFIL
2000. Jamal Rahman, penyair sekaligus kritikus sastra, memberi komentar kritis dan pujian terhadap karya-karya para murid tersebut. Lagi-lagi, perdamaian menjadi isu utama dalam keseluruhan karya mereka. Sekarang Eni mengajar di SMAN I Sambas setelah sembilan tahun mengabdi di SMAN Tebas. Tahun 2000 ia dipilih sebagai guru teladan di Kabupaten Sambas dan menjadi runner up pada tingkat propinsi. Satu tahun kemudian ia memenangi lomba penulisan ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan LIPI dengan judul ‘Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme’. Bersama para murid ia mendirikan sebuah bengkel seni dengan nama Muara Ulakan. Kelompok ini setiap tahun mementaskan pertunjukan seni. Tema-tema yang menonjol dalam pementasan adalah soal problem dan kondisi aktual masyarakat lokal. Bahkan tahun 2002, bengkel seni ini berhasil mementaskan acara yang menggambarkan dampak-dampak nyata dari konflik etnis. Acara semacam itu pun dihadiri oleh seluruh komunitas akademis SMAN I Sambas, pejabat pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat. Meski banyak pihak yang tidak sepakat, dukungan terhadap kegiatan ini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dan berkat dukungan masyarakat luas, kegiatan promosi perdamaian ini terus bertahan. Sampai saat ini, Eni tetap setia dengan upaya-upaya perdamaian bersama para muridnya. (dari penelitian Active NonViolence Resistence, kontributor: Pahrian Gunawira Siregar)
6 |
Pela - September 2005 sipasi publik ketika negara hendak
ARTIKEL
mengeluarkan sebuah kebijakan.
Pendidikan Multikultural
Jika itu semua diterapkan dalam
oleh Zuly Qodir
masa depan bangsa yang lebih
sebuah gagasan pendidikan maka beradab akan semakin menemukan bentuknya. Tetapi ketika gagasan pendidikan multikultural dicurigai sebagai pendidikan yang mengajarkan “kesesatan iman” maka tumbuhnya pikiran serta sikap saktarian dan parochial akan semakin kelihatan.
foto dari Jakarta: Kota Budaya & Pariwisata, hal. 4-5
Pendidikan seperti itulah, yang kemudian kita kenal sebagai pendidikan berbasis multikultural. Yakni pendidikan yang menghargai kepelbagaian agama, etnis, jender dan suku. Pendidikan seperti ini merupakan pendidikan yang akan memberikan manfaat tatkala basis sosial siswa berbeda-beda. PenBangsa Indonesia sudah dari sononya diciptakan menjadi bangsa yang multi etnis, agama, budaya, tradisi dan juga suku dan ras. Apa yang dulu kita sebut SARA, sejatinya merupakan sendi dari bangsa ini. Hanya dalam beberapa tahun, SARA pernah mendapatkan stigmatisasi negatif, sehingga idiom SARA sangat negatif. Pada saat ini, perbincangan soal SARA tidak lagi serem seperti
yang telah dihilangkan dalam nalar kritis anak-anak didik kita.
didikan multikultural akan bermanfaat tatkala kita mendambakan sebuah perilaku sosial siswa yang dapat berinteraksi dengan perilaku masyarakat yang beragam. Oleh sebab itulah, gagasan untuk memberikan kurikulum pendidikan yang bersifat multi-
tatkala rezim Orde Baru berkuasa.
Pendidikan memang sangat
Bahkan SARA kemudian diduduk-
kultural, sebagai perbaikan sikap
kan sebagai bagian dari urat nadi
penting. Pendidikan sangat strategis untuk membangun masa
peserta didik merupakan model
bangsa ini sebagaimana founding fathers memprokalmirkan negara
depan bangsa yang lebih baik, asalkan pendidikan diselenggara-
ini bukan menjadi negara agama
modir kepelbagaian dari siswa. Sebab inilah sebenarnya keaslian
kan dengan cara-cara berkualitas,
atau negara sekuler. Disinilah,
Indonesia, sangat plural dalam hal
menjunjung tinggi prinsip ke-
urgensi
etnis, agama, gender, dan suku.
ilmuan, seperti kejujuran, akun-
perbincangan
SARA
pendidikan yang mampu mengako-
Dengan kurikulum pendidikan
menemukan momentumnya.
tabilitas, saling menghormati, dan
Demi mengakomodir dan memperdebatkan SARA secara
menghargai kepelbagaian antarmanusia (antar peserta didik).
terbuka, saya kira gagasan pen-
Hal yang lebih penting dari
didikan multikultural menjadi
dalam beberapa mata pelajaran
gagasan pendidikan multikultural
sangat penting untuk diketengah-
seperti Ilmu Pengetahuan Sosial,
adalah adanya penghormatan pada
kan pada masyarakat kita. Hemat
Kewarganegaraan (PPKN), Bahasa
saya pendidikan multikultural
kaum minoritas akan hak-haknya dibidang politik, agama, kebu-
Indonesia dan Sejarah agaknya
merupakan salah satu bagian dari
dayaan serta kebebasan. Kaum
“pencerahan kembali” pada masyarakat akan khazanah bangsa
demokratisasi dalam pendidikan
minoritas sekaligus menjadi bagian
dan pembentukan sikap citizenship yang moderat.
tak terpisahkan dari proses parti-
berbasis multikulturalisme untuk siswa-siswi sekurang-kurangnya sejak SMP-SMU dan dimasukkan
akan mendukung terjadinya proses
Pela - September 2005
| 7
KEARIFAN LOKAL AKTIFITAS
Negara Lawan Lingko
ekologi manusia sebagaimana Maret 2004. Sejak pagi sampai Manggarai, Flores Barat, NTT, 10 Ruteng berbeda dan tragis tengah hari situasi di pusat kota i kampung Colol, datang dan untuk dilihat. Ratusan petani dar ggarai. Mereka menentang berdiri di depan kantor polres Man . Di antara mereka ada yang penangkapan 9 kerabat mereka masuk kantor polisi. Petugas membawa parang, dan berusaha gan cara yang keras karena yang panik mengantisipasi den menyalakkan senapan ke arah mengarah ke kerusuhan. Mereka ni berlarian mencari tempat massa yang lebih lemah. Para peta jata lengkap terus mengejar persembunyian. Polisi yang bersen h ins ide n yan g cep at itu, sam pai ke bat as kot a. Ses uda setempat, diketahui bahwa 7 sebagaimana data rumah sakit ban menjadi bukti bagaimana petani kopi mati terbunuh. Para kor pajak rakyat dapat dengan senjata aparat yang dibeli dengan awa kem atia n bag i war ga mu dah dig una kan unt uk me mb ma sya rak at.
ditekankan Pemda. Tanah adalah simbol eksistensi, kekinian dan juga identitas yang tetap tak berubah. Adat istiadat mereka memiliki aturan ketat untuk me-mikirkan kembali dinamika keseim-bangan antara alam dan manusia. Masih belum jelas sampai sekarang mengapa pemerintahan lokal mengabaikan hal ini, sebagaimana sudah dinyatakan di atas, kebijakan yang diterapkan secara paksa menciptakan ketidakpuasan pada petani yang termarjinalisasi karena pemerintahan lokal tak mempertimbangkan kekuatan dan nilai-nilai budaya yang mengikat baik pada tanah maupun pada pemimpin
Kejadian tragis itu merupakan
sejak jaman kolonial Belanda. Sejak
buntut dari negosisasi yang gagal antara pemerintah lokal dan petani
saat itu kawasan tersebut, yang secara tradisional disebut lingko,
kopi mengenai pemanfaatan dan
dibagi dan diatur oleh otoritas adat
konservasi hutan lindung. Pemda
lokal yang dipimpin pengatur tanah
berdasar UU Konservasi hutan,
adat, Tua Teno. Pemimpin tra-
sampai sekarang menekankan
disional ini berkuasa untuk menjaga
bahwa kawasan perkebunan kopi
anggota komunitas (petani kopi)
secara hukum masuk dalam ka-
hidup berdiam, dan memperoleh
wasan hutan lindung. Para petani harus memangkas tanaman kopi
nafkah dari tanah yang tersedia. Bertolak dari cara tradisional ini,
yang sudah berusia tua. Solusi
para petani mempertanyakan si-
pertama sudah diambil. Pemerin-
kap acuh tak acuh kebijakan
tah memberikan kompensasi dalam
pemerintah terhadap kekuasaan
bentuk uang, para petani sudah
pemimpin tradisional yang se-
sepakat.
benarnya masih berfungsi. Se-
Tapi, tak lama setelah negosiasi yang menjanjikan itu para petani kecewa. Mereka kecewa karena kompensasi tak berjalan baik, dan tak adil dibanding dengan kerugian yang akan diderita selama bertahun-tahun. Mereka kembali kepada latar belakang sejarah. Kawasan tanaman kopi yang
mentara itu kompensasi yang dijanjikan tak sampai ke petani, bahkan sebaliknya, para petani menjadi korban korupsi aparat pemerintahan desa.
Tekanan
historis dan adanya korupsi, memperkuat adanya kebijakan pemda setempat.
tradisional. Penggunaan kekuatan militer malah semakin membakar ketegangan antara Negara dan masyarakat tradisional. Peristiwa Maret berdarah hendak mengungkapkan bahwa di tengah transformasi sosial berskala global, para petani Manggarai tetap berjuang demi eksistensi adat istiadat mereka karena mereka paham bahwa pengaturan ekonomi oleh adat dapat menyelamatkan mereka dari keterasingan budaya dan pengangguran. Linko adalah tanah untuk kehidupan yang lebih layak sekaligus sebagai model penstrukturan komunitas adat setempat. Peran Tua Teno juga signifikan sebagaimana pemimpin adat ini mempertaruhkan hidupnya di depan kantor polisi. Tua Teno Colol inilah yang mati pertama di depan kantor polisi, bukan hanya untuk masa depan ekonomi yang lebih baik dari komunitasnya, tapi
Bagi penduduk tradisional,
juga karena solidaritas yang
sudah
tanah merepresentasikan sesuatu
diwariskan dari generasi ke generasi
yang lebih dari sekedar masa depan
bermakna di hadapan masyarakat adatnya. (Frans V. de DJalong)
dipertikaikan
tersebut
8 |
Pela - September 2005
AKTIVITAS
Mengaji Pengungsi di Oxford Para hadirin di ruangan Okinaga itu sontak memberi tepuk tangan riuh saat Irene Khan –perempuan Muslim berkebangsaan Bangladesh yang menjadi Sekretaris Jenderal Amnesty International sejak 2001– mengakhiri pidatonya. Itulah penutup acara International Summer School in Forced Migration yang diadakan oleh Refugee Studies Center (RSC) Universitas Oxford, Inggris, tanggal 22 Juli 2005. Dalam kuliah penutup itu, Irene Khan banyak membicarakan dimensi hak asasi manusia di seputar isu pengungsian (forced migration) di berbagai negara di dunia. Ada apa kok mengaji soal pengungsi di Oxford? Apa dan siapa sih ‘mahluk‘ pengungsi itu? Sejak 4 hingga 22 Juli 2005 saya berkesempatan untuk mengikuti acara bertajuk International Summer School itu. Kesempatan itu diperoleh sebagai buah dari hubungan baik yang dijalin dengan RSC, khususnya dengan Dr. Eva Lotta-Hedman, doktor lulusan Universitas Cornell yang juga peneliti senior di lem-
baga itu. Tahun lalu, kebetulan RSC mengadakan Simposium Internasional bertopik Forced Migration di Jakarta, bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatehuan Indonesia (LIPI). Dalam kesempatan itu, saya diminta mempresentasikan makalah bertajuk: Forced Migration, Collective Violence, and Societal (In) Security; Stories from Indonesia. Lalu apa dan siapa sih sebenarnya ‘makhluk’ pengungsi?
RANGKUMAN 1 . Penelitian di 6 daerah tentang “Konflik Etnis/Agama dan Masyarakat Sipil di Indonesia”, bekerjasama dengan Ford Foundation (20042005) 2. Penelitian “Study on Conflict Analysis and Peace Building Responses— Case Studies of Six Conflict Areas in Indonesia” bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) 3. Workshop “Sistem Peringatan Dini dan Pencegahan Kekerasan Pemilu 2004”, bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia. 4. Workshop Regional tentang “Political Violence in Southeast Asia” bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (Philippine). Workshop ini menghadirkan pembicara dan peserta dari seluruh negara di Asia Tenggara, Yogyakarta, 23-24 September 2004. 5 . Workshop di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah mengenai “Analisis Pembangunan untuk Perdamaian (PDA)”, bekerjasama dengan UNDP and Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Mei-Desember 2004 6. Seminar Nasional tentang “Analisis Pembangunan untuk Perdamaian (PDA)”, bekerjasama dengan UNDP, 30 November-2 Desember 2004 7 . Penelitian “Active Non-Violence Resistance”, (Kalimantan Barat , Maluku, dan Poso) bekerjasama dengan Quaker International, September 2004-Maret 2005) 8. Workshop Nasional tentang “Peace and Conflict Impact Assessment and Strengthening SEACSN-Indonesia Network” Yogyakarta 29-30 March 2005
Seperti dikatakan oleh Dr. Riwanto Tirtosudarmo, ahli migrasi dari LIPI dalam simposium di Jakarta tersebut, menariknya dalam bahasa Indonesia hanya ada satu istilah pengungsi sebagai padanan untuk berbagai kategori kelompok sosial dalam bahasa Inggris seperti refugee, internal displaced person (IDP), Development-Induced Displacement Person (DIDP). Istilah refugee biasanya digunakakan untuk menyebut pengungsi lintas batas negara, IDP untuk pengungsi internal negara, sementara DIDP untuk pengungsi korban program pembangunan. Nah, antara lain mengaji soalsoal itulah –yang kayaknya belum banyak yang mendalaminya di Indonesia– antara lain, saya pergi ke Oxford, sebuah kota antik yang kesohor lantaran mutu pendidikan dan penelitiannya. Sungguh kesempatan yang sangat berharga, karena selain mencicipi mutu dan model pendidikan di Oxford, saya juga berkesempatan bertemu dan membuat jaringan dengan teman dari berbagai negara dan beraneka profesi. Dari peserta berjumlah 60 orang itu, ada profesor sosiologi dari Srilanka, kepala urusan suaka (asylum) Amerika Serikat, direktur sebuah LSM Pakistan yang menangani pengungsi Afghanistan, staf UNHCR di Kongo (Afrika) dan Jenewa, ada juga penasehat Menteri Urusan Keuangan Belanda. Sejumlah isu dibahas dalam acara tersebut misalnya, konseptualisasi forced migration, globalisasi dan isu-isu forced migration, kebutuhan psiko-sosial dan pengalaman pengungsi, serta penyelundupan manusia (human traficking). Isu penanganan pengungsi pasca referendum di TimorTimur dijadikan sebagai kasus dalam simulasi negosiasi respon institusional yang melibatkan berbagai pihak, antara lain pemerintah
Pela - September 2005 Turton, antropolog sosial yang juga mantan Direktur RSC, Prof. BS. Chimmi, ahli hukum internasional mengenai masalah pengungsi dari India, juga Dr. Peter Carey, ahli Timor Leste dari Universitas Oxford. (M. Najib Azca)
foto dari www.puas.or.id
Indonesia, Portugis, TimorLeste, serta komunitas inter-nasional baik LSM maupun PBB. Juga hadir sejumlah pakar dan tokoh terkemuka memberi kuliah tamu, seperti Prof. Stephen Castles, ahli migrasi yang juga Direktur RSC, Dr. David
Pendidikan di Aceh Pasca Bencana Tsunami Sekelompok anak belajar matematika di bawah pohon kelapa bersama seorang gurunya. Suasana amat sederhana bahkan apa adanya. Sesekali terdengar gelak tawa ceria khas anak-anak. Itulah suasana belajar mengajar di tempat pengungsian korban tsunami di Lamreh, Aceh Jaya. Februari 2005 lalu, praktis anak-anak korban tsunami Aceh hanya bisa belajar di bawah pohon. Tapi, ada bulan Agustus mereka sudah dapat pindah ke tenda yang mampu melindungi dari panas dan hujan. Dampak tsunami memang luar biasa bagi hancurnya sistem pendidikan di Aceh. Anak-anak kehilangan tempat belajar, orangtua, saudara, teman sekolah dan guru. Paling tidak sekitar 2000 orang guru hilang tertelan tsunami, bersama sekitar sekitar 200.000 orang korban yang lain. Dampak yang sangat luas dari tsunami menyebabkan sistem dukungan terhadap pendidikan hilang. Sarana transportasi dan angkutan kota hilang atau belum pulih bahkan sesudah tujuh bulan sesudah tsunami. Tiadanya sarana
transportasi publik, seperti di Aceh Jaya, menyebabkan anak-anak anak-anak harus menunggu jemputan, yang tidak pasti datangnya, jika harus berangkat ke sekolah. Rusaknya sistem dukungan terhadap pendidikan adalah korban terpenting tsunami. Dampak lain yang bersifat mental adalah turunnya semangat guru untuk bekerja. Mereka juga korban yang harus memikirkan bagaimana rumahnya yang hanyut bisa dibangun lagi, dan keluarganya yang hilang. Mereka juga tertekan jiwanya karena bukti ijazah dari SD
| 9
hingga PT hilang pula. Bagaimana pendidikan yang harus dilakukan pasca bencana? Sebenarnya, proses belajar mengajar bisa berjalan jika ada guru dan ada murid. Jika belum ada gedung, maka tenda-tenda bisa didirikan. Kurikulum yang digunakan bukan kurikulum yang normal. Demikian juga bahan untuk mengajar bisa yang ada di alam, seperti batu, daun dsb. “Kurikulum nasional bisa diabaikan dulu, asal anak bisa belajar, bermain, bercengkerama dan bergembira. Misi yang diemban adalah mengembalikan anakanak supaya kembali belajar,” ujar Rizal Panggabean, salah satu peneliti PSKP UGM yang aktif dalam pendidikan pasca bencana tsunami di Aceh. Salah satu dokumen penting mengenai pendidikan pada masa darurat adalah The Education Imperative: Supporting Education in Emergencies. Dokumen yang dikeluarkan pada tahun 2003 ini diterbitkan Academy for Educational Development (Washington, D.C.) dan Women’s Commission for Refugee Women and Children (New York). Sembari mengingatkan artipenting pendidikan dasar sebagai hak dasar manusia yang ditetapkan Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia dan Konvensi mengenai Hak Anak, dokumen ini mengajak masyarakat internasional supaya menunjukkan komitmen dan dukungan pada pendidikan termasuk pada masa darurat. Penyediaan pendidikan pada masa darurat juga selaras dengan deklarasi Education for All (EFA) yang ditetapkan UNESCO di Dakar pada tahun 2000. Karena itu, semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan relevan, walau dalam bencana alam seperti gempa, tsunami atau banjir. Juga, karena bencana yang diciptakan manusia,
10 |
Pela - September 2005
seperti perang. Pendidikan menjadi begitu penting bagi anak-anak karena menjadi salah satu tempat berlindung dari sisi psikososial. Menurut Rizal Panggabean, akan menjadi lebih berbahaya bagi anakanak Aceh korban tsunami yang mengalami trauma kehilangan orangtua, rumah tinggal dan kawan bermain. Karena itu pasca bencana yang paling penting adalah menyediakan sekolah secepatnya karena sekolah adalah cara melindungi anak-anak dari trauma. Ada tiga fase yang harus dilalui dalam pendidikan pasca bencana. Fase akut, bisa berlangsung 6 bulan hingga 1 tahun. Di sini proses belajar mengajar berlangsung dengan sarana seadanya. Lantas, fase rekonstruksi dimana bangunan sekolah yang baru sudah berdiri.
Guru-guru sudah ada. Dan fase rekonstruksi. Dalam upaya menyediakan pendidikan pasca gempa, peneliti PSKP UGM, Rizal Panggabean, tergabung pada Yayasan Pendidikan untuk Aceh dan Sumatra Utara (PUAS). Kegiatan PUAS terlaksana berkat partisipasi berbagai pihak dan lembaga, khususnya INSEP (Institute for the Empowerment of Society) Jakarta, UNICEF, BM PAN (Barisan Muda Penegak Amanat Nasional), SBI Madania, MPRK (Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, UGM), Kantor Departemen Agama Provinsi NAD, Diknas Provinsi NAD. Sejauh ini, ada lima lokasi pengungsi yang termasuk ke dalam program PUAS, yaitu Lampaya, Ruyung, Krueng Raya Atas, Krueng Raya Bawah, dan Lamreh
POJOK MPRK
Beasiswa MPRK untuk Polisi Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Pascasarjana UGM, bekerjasama dengan New Zealand Aid memberikan 5 (lima) beasiswa bagi para perwira Polri untuk belajar di MPRK. Program beasiswa ini akan berlangsung selama tiga tahun, mulai tahun 2005. Perwira Polri yang diharapkan akan menerima beasiswa, adalah para perwira Polda, PTIK dan Brimob. Penerima beasiswa dari lingkungan Polda diprioritaskan kepada Polda-Polda yang berada di wilayah Indonesia Timur. Pada program MPRK-UGM dengan gelar MSi itu, para perwira Polri akan mendapatkan kesempatan meningkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang polisi dan pemolisian, khususnya pemolisian yang berorientasi masyarakat. Mereka juga di bidang manajemen dan resolusi konflik. Bagi UGM, khususnya MPRK, program ini juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas UGM, sebagai lembaga pendidikan tinggi sipil yang mengajarkan bidang studi polisi dan pemolisian. Para perwira polisi penerima
beasiswa nantinya, akan mengikuti kuliah dengan tatap muka selama dua semester. Dalam masa perkuliahan dua semester ini para mahasiswa akan mengambil sejumlah mata kuliah wajib dan pilihan yang telah dirancang sedemikian rupa untutk memenuhi kebutuhan ilmu dan ketrampilan para perwira polisi ini. Pada semester ketiga, para penerima beasiswa itu, bersama mahasiswa dan staf pengajar MPRK akan mengadakan pelatihan di Polda asal penerima beasiswa, PTIK dan Brimob. Materi pelatihan yang akan dilaksanakan nantinya
Menurut pengamatan Rizal Panggabean, upaya pemulihan pasca tsunami Aceh, ada yang sudah pada tahap rekonstruksi. Tapi sebagian yang lain masih pada masa darurat. Pemulihan berlangsung lama karena tiadanya koordinasi. Pemerintah yang harusnya menjalankan peran koordinasi tak mampu melakukannya institusi pemerintah jua lumpuh. lembaga seperti SCTV, Oxfam, World Visions, melangkah sendiri dengan membangun sekolah secara langsung. Respon birokrasi pemerintah memang lambat. Pemerintah memang sudah mengangkat Kuntoro Mangkusubroto sebagai pejabat pengelola rekonstruksi Aceh. Tapi, anggaran yang diajukan Kuntoro, baru disetujui DPR. (Moch. Faried Cahyono) meliputi: pemolisian yang berorientasi masyarakat (kemitraan dan problem solving); membina suasana saling percaya atau trust antara Polri dengan masyarakat, manajemen konflik dan intervensi nirkekerasan, serta pemolisian masyarakat pasca konflik. Selain itu, selama mengikuti program pendidikan di MPRK-UGM, para perwira Polri itu akan mengisi kegiatan dialog polisi dengan mahasiswa dan masyarakat yang mempunyai tujuan untuk mensosialisasikan tugas pokok polri, memperkenalkan organisasi dan kelembagaan polri, serta meningkatkan kerjasama dan hubungan polri dengan masyarakat. Untuk kesempatan yang pertama, karena keterbatasan waktu penyeleksian calon mahasiswa baru, maka lima penerima beasiswa diseleksi dari Polda Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Badan Narkotika Nasional. Pada tahun selanjutnya, proses seleksi akan dilakukan lebih luas lagi meliputi seluruh wilayah Indonesia. (Dody)