Nomor 09/III/Agustus 2013
Layanan Terpadu Informasi JKN
“K
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun
atanya Ibu Menteri Kesehatan mulai tahun 2014, jaminan kesehatan bersifat gotong royong, yang kaya membantu yang miskin. Jadi nanti kalau kita yang tidak mampu ini sakit, tetangga kita yang kaya harus mau membantu. Jika tidak, bisa kita laporkan ke polisi karena melanggar JKN.” Begitulah ungkapan salah satu peserta workshop pembentukan komunitas informasi di Porong yang diselenggarakan MediaLink 24-25 Agustus 2013.
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Perubahan mendasar dari sistem JKN adalah sifat kepesertaan wajib bagi setiap warga Indonesia, di mana warga yang mampu harus membayar sendiri iurannya, sementara warga yang tidak mampu iurannya ditanggung oleh negara.
Ketika ditanyakan apa yang diketahui tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Warga tersebut merujuk kepada iklan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang sistem jaminan kesehatan baru yang akan mulai diberlakukan 1 Januari mendatang. Iklan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengkomunikasikan penerapan program jaminan kesehatan sebagai pengganti jaminan kesehatan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi orang miskin,
Lima bulan menjelang pelaksanaan, pemerintah tampaknya masih belum maksimal dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait sistem JKN. Pemerintah tampaknya masih hanya mengandalkan iklan layanan masyarakat melalui media televisi untuk memperkenalkan keberadaan JKN. Tapi durasi yang singkat menyebabkan pesan yang disampaikan terbatas, sehingga berpotensi menciptakan kesalahpahaman di kalangan masyarakat. Apa yang diungkapkan
@seblat
yakni Jamkesmas dan Jamkesda. Seperti diketahui, pemerintah akan menerapkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis asuransi kesehatan. Sistem tersebut merupakan amanat dari
Penanggung Jawab Ahmad Faisol Sidang Redaksi Ahmad Faisol, Mujtaba Hamdi, Leli Qomarulaeli, Nurun Najib Rintis Susanti, Lintar Satria, Sarah Monica Redaktur Pelaksana Edisi Ini Sarah Monica Sirkulasi Mudjiyono Diterbitkan oleh Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink) Jakarta Alamat Jl. Tebet Timur Dalam 8V No 21 Jakarta Selatan 12820 Telp/Faks. +62 21 8308181 Email office @medialink.or.id Website www.medialink.or.id
1
www.solopos.com
salah seorang warga Porong di atas mencerminkan adanya potensi kesalahpahaman tentang sistem jaminan kesehatan yang akan diterapkan pemerintah. Sulit dibayangkan apabila nanti masyarakat meminta bantuan langsung kepada tetangganya ketika dirinya sakit. Keresahan serupa mungkin juga akan dirasakan dokter, rumah sakit sebagai pemberi layanan kesehatan. MediaLink sendiri mengidentifikasi informasi krusial yang sangat dibutuhkan masyarakat terkait pelaksanaan sistem jaminan kesehatan meliputi: a). Nasib peserta Jamkesmas/Jamkesda selama proses transisi yang rencananya akan diselenggarakan dari 2014-2019; b). Informasi jaminan migrasi peserta Jamkesmas/Jamkesda untuk masuk kategori peserta PBI (Peserta Bebas Iuran); c). Informasi seputar kriteria kepesertaan PBI; d). Informasi mekanisme klarifikasi oleh masyarakat terhadap daftar peserta PBI; dan e). Ruang lingkup JKN, termasuk ruang lingkup layanan. Perlu Sistem Layanan Informasi Terpadu JKN MediaLink pernah mengusulkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) agar berinisiatif mengambil peran sebagai pusat layanan
2
informasi JKN. Program JKN melibatkan 17 Kementerian/ Lembaga dengan berbagai tugasnya. Apabila masyarakat harus mencari informasi JKN di beragam kementerian, akan sangat menyulitkan. Terlebih, Kemenkominfo memegang posisi sebagai koordinator kelompok kerja (Pokja) sosialisasi. Melalui sistem layanan informasi terpadu, masyarakat cukup berhubungan dengan satu kementerian atau lembaga untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. MediaLink juga berpendapat Kemenkominfo menyusun strategi komunikasi yang memungkinkan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Strategi komunikasi tersebut tentu saja perlu bekerjasama dengan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pemerintah yang memungkinkan menjangkau langsung masyarakat. Sistem informasi yang menciptakan interaksi akan memungkinkan
masyarakat untuk dapat memahami dengan benar perihal JKN. Dalam pelaksanaan program Akses Informasi Komunitas (ASIK) yang diselenggarakan di empat kota, antara lain Kebumen, Wonosobo, Sidoarjo dan Lumajang, MediaLink melihat aliran informasi seputar pelaksanaan JKN ke daerah-daerah, masih minim. Padahal informasi tersebut sangat penting karena masyarakat yang akan menerima dampak langsung dari pemberlakuan sistem baru JKN. Tampaknya, pemerintah pusat di bawah koordinasi Kemenkominfo masih menggemari medium media massa untuk mengejar penyebarluasan informasi secara instan, meskipun potensial menciptakan kesalahpemahaman. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), di mana JKN merupakan program di sektor kesehatan, merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pemerintah telah menyediakan anggaran untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). *
Diskusi Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
Informasi JKN Kacau, Akses Kesehatan Warga Miskin Terancam Abdul Rokhim mengaku
bingung. Ia merasa sudah mengantongi kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sehingga dapat memperoleh akses kesehatan gratis. Padahal, cara Rokhim memperoleh kartu itu tidak mudah. Butuh usaha panjang. Berbulanbulan, Rokhim dan sejumlah warga di Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo, lainnya berusaha mendapatkan informasi mengenai jaminan kesehatan warga di kampungnya. Setelah informasi diperoleh, mereka memanfaatkannya untuk memproses kepesertaan Jamkesmas. Alhasil, Rokhim dan ratusan warga lainnya dapat memperoleh kartu Jamkesmas tersebut. Namun, belum sempat Rokhim memanfaatkan Jamkesmas, muncul informasi baru. “Yang lama saja belum digunakan, ini sudah ada yang baru, apa namanya, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Warga tidak tahu apa-apa dengan yang baru ini. Ini bagaimana?” ujar Rokhim di tengah-tengah Diskusi Media “Keterbukaan Informasi Publik dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional” di Jakarta, akhir Juli 2013 silam. Kebingungan Rokhim dipicu oleh minimnya informasi yang beredar di daerah-daerah mengenai pelaksaan JKN. Kebijakan resmi pemerintah sudah menetapkan, JKN dijalankan per 1 Januari 2014. Itu artinya hanya beberapa bulan lagi. Sementara, warga di tingkat bawah tidak banyak memperoleh informasi mengenai program tersebut. Wajar jika mereka gelisah, dan bertanya-tanya: apakah JKN
berlaku secara otomatis bagi seluruh warga negara? Apakah bebas bayar? Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Center menegaskan, justru kebutuhan pertama masyarakat untuk dapat mengakses layanan program JKN itu adalah keterbukaan informasi. “Ini yang sangat dibutuhkan. Posisi ketidaktahuan akan menindas masyarakat. JKN ini sangat membutuhkan transparansi. Apalagi sumber dananya dari publik, baik APBN, APBD atau dari pinjaman,” ujar Arif, yang menjadi narasumber dalam diskusi siang itu. Lebih lanjut, informasi-informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik seperti itu harus disebarkan secara baik. “Penyebaran informasi harus terstruktur, sistematis dan massif,” tegas Arif. Ia berpendapat, transparansi informasi di sektor kesehatan masih sangat buruk. Bahkan, berdasarkan pengamatan Arif di lapangan, banyak langkahlangkah pemerintah yang tumpang tindih dan tidak sistematis. “Padahal, kami berharap, transparansi informasi ini mampu menjadi instrumen partisipasi publik,” lanjutnya. Dengan informasi yang jelas dan sistematis, publik dapat turut terlibat menentukan keputusan-keputusan
publik, termasuk terkait program JKN. “Partisipasi masyarakat hanya bisa dilakukan jika tersedia informasi publik yang memadai,” tandas Arif. Arif kemudian mengurai, unsurunsur informasi apa saja terkait program JKN yang harus dibuka dan disebarkan secara sistematis kepada publik. Pertama, mengenai kepesertaan. “Kriteria siapa peserta yang bayar iuran dan siapa yang bebas iuran, harus diinformasikan secara terbuka, terstruktur dan massif,” tambahnya. Program JKN diatur berdasarkan Undang Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dalam aturan tersebut, dinyatakan adanya kategori peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. PBI mencakup fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta nonPBI mencakup pegawai negeri sipil, pekerja formal, pekerja informal dan nonpekerja (individual). Besaran iuran PBI dibayarkan oleh pemerintah. Sementara, besaran iuran pekerja formal (PNS atau swasta) didasarkan pada presentasi tertentu dari total gaji. Sedangkan iuran pekerja informal dan nonpekerja didasarkan pada jumlah nominal per individu. Yang
3
membuat warga seperti Abdul Rokhim bingung dan khawatir adalah bagaimana peserta PBI ini didata. “Orang kelurahan pun tidak tahu,” ujar Rokhim. “Informasi krusial lain tentang kepesertaan adalah bagaimana mekanisme peserta PBI susulan,” tambah Arif. Krusial, karena banyak ketidaksesuaian data antara peserta yang ditetapkan pemerintah dan fakta di lapangan. Pada sejumlah kasus kesepertaan Jamkesmas, misalnya, masih ditemukan orang yang sudah meninggal menjadi peserta. Di samping itu, data yang dimiliki pemerintah pun tidak sama. “Data kemiskinan antara Kemensos dan BPS saja berbeda,” ujar Hafni Septiana Nur Endah dari Direktorat Penyediaan dan Pengelolaan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam sebuah diskusi yang digelar MediaLink di Jakarta, akhir Juli lalu. Ironis memang. Pejabat publik saja mengakui kacaunya data yang dimiliki badan-badan publik penyelenggara JKN. Dari dokumendokumen publik yang dihimpun MediaLink, kesimpangsiuran data itu pun tampak. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal Juli 2013, misalnya, menunjukkan jumlah warga miskin sebesar 28,07 juta jiwa. Sementara, dokumen Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional yang dikeluarkan Dewan Jaminan Sosial Nasional bersama 13 kementerian/ lembaga lainnya menyatakan, angka warga miskin sebesar 96,4 juta jiwa. Sedangkan pihak Kemenkes menyatakan jumlah peserta PBI sudah ditetapkan sebesar 86,4 juta jiwa. Informasi yang simpang siur semacam ini akan memperlemah posisi warga miskin. Bercermin pada kasus Jamkesmas di beberapa daerah yang dipantau MediaLink
4
sepanjang 2012-2013, banyak warga miskin yang seharusnya memperoleh Jamkesmas masih tak terdata. “Ketersendatan informasi dan peran-peran sosialiasi badan publik membawa dampak parah bagi warga miskin. Siapa yang mendapatkan bebas iuran (PBI) dan siapa yang tidak bebas iuran (non-PBI), karena itu, harus jelas informasinya hingga ke tingkat masyarakat paling bawah,” ujar Ahmad Faisol, Direktur MediaLink. Di samping mengenai kepesertaan, menurut Arif, informasi krusial lain adalah terkait jumlah dan mekanisme iuran, jenis manfaat, standar pelayanan, dan seterusnya. “Karena itu, badanbadan pelaksana JKN ini harus memiliki layanan informasi yang jelas, mudah diakses dan mudah dipahami masyarakat,” tegas Arif. Ia juga menambahkan, badanbadan pelaksana JKN itu harus menyediakan informasi-informasi publik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). “Jenis informasi berkala, informasi setiap saat dan informasi serta merta, harus disediakan tanpa harus diminta warga,” kata Arif. Sistem Informasi Terpadu Program JKN sebenarnya sudah menentukan tim sosialisasi yang bertugas menyebarkan informasi hingga ke tingkat masyarakat paling bawah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah ditetapkan sebagai Ketua Bidang Sosialisasi, Edukasi, Advokasi Penyiapan Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). JKN merupakan program yang dikelola BPJS Kesehatan. Namun, Kominfo mengaku tidak menguasai substansi. “Posisi Kominfo dalam hal ini menyediakan channel untuk sosialisasi, namun tidak menguasai
substansi. Substansi itu ada pada BPJS, Askes, dan Kemenkes. Kami mendorong BPJS harus ada PPID, karena menjadi kunci penting,” ucap Direktur Komunikasi Publik Kominfo, Tulus Subardjono, dalam diskusi di Jakarta akhir Juli silam. Tulus mengaku, pasokan informasi dari lembaga-lembaga kunci penyelenggara JKN tidak maksimal. Hal ini, bagi Arif, merupakan salah satu bentuk masih tersumbatnya proses transparansi. “Padahal transparansi itu harus menyeluruh: vertikal, horizontal dan diagonal. Transparansi vertikal artinya dari lembaga yang lebih tinggi ke lembaga yang lebih rendah secara hierarki, sedangkan horizontal artinya transparansi harus berjalan antara sesama lembaga pemerintah,” terang Arif. Tak kalah penting adalah transparansi diagonal. “Artinya transparansi lembaga publik terhadap masyarakat. Ini sangat penting untuk mendorong partisipasi,” imbuhnya. Sementara itu, bagi Ahmad Faisol, kekacauan informasi program JKN itu menunjukkan dibutuhkannya perbaikan sesegera mungkin. “Menkominfo harus memperbaiki strategi agar komunikasi JKN dapat dipublikasikan ke masyarakat,” ucap Faisol. Agar terbangun dengan baik, strategi itu harus diwujudkan ke dalam sistem informasi terpadu, sehingga tidak lagi ada perselisihan data antara satu lembaga dan lembaga lainnya. “Infrastruktur informasinya harus tersedia hingga level bawah,” tegasnya. Lebih dari itu, media dan muatan informasi yang disebarkan harus mempermudah masyarakat. “Pemberian informasi harus secara cepat, murah, mudah dipahami, serta dapat diakses dengan media yang mudah diakses oleh masyarakat,” pungkas Faisol. *
Arif Nur Alam
Agenda Mendesak Jaminan Kesehatan Nasional Arif Nur Alam, salah satu pegiat yang aktif bergerak dalam isu anggaran publik, ketika ditemui di sela-sela Workshop Akses Informasi Berbasis Komunitas di Hotel Sofyan (25/07) menjelaskan panjang lebar tentang rencana pemerintah terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di mana rencana pemerintah ini akan mulai dilaksanakan pada Januari 2014 nanti. Pada pelaksanaan program asuransi kesehatan ini nantinya, Arif mewanti-wanti adanya keterbukaan informasi publik agar tidak salah sasaran, karena menurutnya, tanpa adanya keterbukaan informasi publik, program tersebut akan mudah untuk disalahgunakan untuk kepentingan lain. Berikut petikan wawancara MediaLink dengan pegiat Indonesia Budget Center (IBC) tersebut. Bagaimana Anda melihat rencana pemerintah tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini? Saya pikir perlu banyak pihak yang terlibat untuk mengawasi dalam perjalanan program ini nantinya, agar program bisa berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Ini tidak lepas dari seringnya program pemerintah yang ternyata salah sasaran. Kita lihat saja dari
auditnya, kementerian dan lembaga terkait yang menjalankan sistem internalnya itu benar-benar tidak manipulatif. Lantas, bagaimana langkah nantinya untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam program ini?
pelaksanaan BLT dan beberapa program lainnya itu. Seringkali malah menimbulkan masalah baru di masyarakat. Masalahnya lagi, dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini nantinya kan diambilkan dari pinjaman luar negeri, seperti PNPM itu. Jadi kalau pelaksanaanya kacau balau, bisa dibayangkan berapa utang kita yang terus bertambah. Program ini nantinya betul-betul harus terbuka. Siapa saja yang ada di sana harus diketahui publik. Nanti secara berkala rasanya juga penting untuk diadakan audit pelaksanaan program, supaya bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warga masyarakat. Hal yang perlu juga kita antisipasi adalah sistem yang bekerja, misalnya DPR sebagai pengawas jalannya program, BPK dengan sistem
Dalam pelaksanaan program ini yang harus dilakukan adalah adanya transparansi dan akuntabilitas yang sifatnya diagonal, yang menyeluruh dan juga melibatkan warga masyarakat. Sayangnya, selama ini transparansi dan akuntabilitas programprogram pemerintah itu hanya terjadi secara horizontal, yaitu antara DPR dengan pemerintah. Kemudian antara masing-masing kementerian saja. Sementara, publik seringkali diabaikan untuk masalah keterbukaan informasi publik ini. Padahal ini hak publik, mereka berhak untuk tahu. Itulah prinsip di mana transparansi tidak hanya terjadi pada arah horizontal dan vertikal, tetapi lebih pada pola diagonal. Mengapa transparansi dan akuntabilitas harus bersifat diagonal? Tujuan utama mengapa polanya menggunakan pola diagonal tidak
5
lain agar publik bisa mengontrol jalannya program tersebut. Jika ada yang keluar dari jalur, maka publik bisa mendeteksi dini adanya kesalahan dan membenahinya. Lain cerita kalau nantinya informasi publik sulit untuk diakses. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas model horizontal dan vertikal ini adalah model yang semu, yang hanya memuluskan tindak penyimpangan. Dengan adanya komunitas ASIK yang dimiliki MediaLink ini, ke depan sangat bermanfaat dalam mendeteksi dini kesalahankesalahan baik itu yang disengaja maupun tidak disengaja atas pelaksanaan program ini, sehingga kita bisa memastikan bahwa program ini berjalan dengan baik dan benar. Masalahnya, sekarang kan belum ada PPID pada lembaga yang menangani program tersebut? Iya benar, masalahnya sampai sekarang memang belum ada PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang ada di lembaga yang mengurusi masalah jaminan kesehatan ini. Maka, nantinya akan kita dorong agar pemerintah menyediakan PPID untuk program jaminan kesehatan ini. Misalnya saja kita lihat dalam UU KIP No 14 Tahun 2008 pada Pasal 2 dan 4 yang menjelaskan pelayanan informasi yang berprinsip cepat, tepat dan biaya ringan. Tapi kalau kita lihat pada Pasal 13 UU KIP dan UU No 10 Tahun 2004 dan UU No 24 Tahun 2009 tentang SJSN dan BPJS, belum ada sama sekali pengaturan tentang PPID. Maka sangat menyakitkan kalau sampai program ini ada, tetapi tidak ada PPID. Jadi, memang harus ada PPID itu. Agar informasi yang berhak untuk diketahui publik itu bisa
6
diakses oleh siapapun dan tidak disembunyikan. Lantas menurut Anda, informasi apa saja yang harus bisa diakses publik? Terkait dengan adanya program tersebut, info yang harus bisa diakses oleh publik saya pikir menyangkut beberapa hal, diantaranya adalah: Informasi Iuran, Informasi Paket Manfaat, Informasi Kepesertaan dan beberapa informasi lainnya. Sementara itu, dalam pelaksanannya nanti, jangan sampai ada kerancuan dan salah pendataan lagi terkait siapa yang berhak menjadi PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan bukan. Masalah yang sekarang dihadapi, Jamkesmas kemarin kan masih banyak yang kacau. Ada yang seharusnya berhak untuk dapat, ternyata tidak dapat dan juga sebaliknya. Maka jangan sampai program jaminan kesehatan ini nantinya mengalami nasib sama. Salah sasaran dan kacau balau. Masalahnya lagi, sampai saat ini kita kan juga belum tahu bagaimana persyaratan program tersebut, apakah pendataannya menggunakan e-KTP atau ada prosedur lain lagi. Padahal pelaksanannya tinggal beberapa bulan lagi, tapi ternyata di antara kita masih banyak yang belum tahu juga. Indikator siapa yang berhak dapat dan siapa yang tidak berhak dapat itu menjadi sangat penting untuk menghindari adanya kesalahan dalam pendataan penerima manfaat tersebut. Terkait dengan informasi iuran dan biaya menjadi sangat penting untuk diketahui publik. Terkait dengan adanya anggaran dan lain sebagainya. Lain itu juga, tentang
paket manfaat yang diterima masyarakat. Misalnya, obat apa saja yang akan ditanggung dan yang tidak ditanggung. Masyarakat harus mengetahui ini. Misalnya saja pemerintah berkilah bahwa informasi yang diminta termasuk ke dalam kategori yang dikecualikan? Saya pikir, untuk peserta asuransi ini nantinya tidak ada informasi yang dikecualikan. Artinya bagi para peserta berhak untuk mengetahui semua informasi yang terkait dengan penyelenggaraan program ini. Kalau nantinya memang ada yang dikecualikan, mungkin itu yang perlu kita lihat kembali. Jangan-jangan memang ada permainan di dalamnya, jadi perlu rasanya untuk diinvestigasi. Janganjangan memang ada penyimpangan di dalamnya. Lantas posisi CSO di mana nantinya? Agar program ini berjalan dengan baik, maka kita pastikan pertama kali adalah pelaksanaan program yang transparan dan akuntabel. Transparan yang saya maksud di sini adalah transparan dalam konteks diagonal, jangan hanya transparan dalam konteks horizontal dan vertikal semata. Publik menginginkan transparansi akuntabilitas diagonal. Artinya bahwa penyelenggaran jaminan kesehatan tidak cukup hanya berkomunikasi dengan kementerian-kementerian terkait dan juga DPR, tetapi juga dengan CSO. CSO-lah yang nantinya akan berperan banyak dalam melakukan monitoring program ini. Ini karena dengan kehadiran CSO untuk melakukan monitoring, maka tingkat penyimpangan akan bisa ditekan secara maksimal. *
Akses Informasi Berbasis Komunitas (ASIK)
Lindungi Pelaksanaan JKN 2014 dari Kesesatan Sistem Langit memerah di sudut timur
horizon. Rumput masih basah sisa kebekuan udara tadi malam. Dari sela-sela perkampungan warga sudah terlihat beberapa petani terjun ke tanah garapannya. Di sudut persawahan seorang warga menemukan sesosok tubuh lakilaki tergeletak, setelah dikenali ternyata Mbah Sukarja. Diketahui dirinya tersasar dari tempatnya bekerja mengangkuti sampah. Mbah Sukarja yang sehari-hari bekerja dari tengah malam hingga menjelang fajar pukul tiga dini hari tidak mampu menemukan jalan pulang ke rumahnya. Katarak akut yang diderita telah menyebabkan dirinya subuh itu terdampar di pinggir sawah. Selaput putih di matanya tersebut telah menghalangi pandangannya hingga jarak terdekat. Demikian dikisahkan oleh Hariyanto, pegiat komunitas dari Kebumen dalam pertemuan komunitas mendiskusikan problematika penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kesehatan, di Hotel Sofyan Betawi Juli silam. Mbah Sukarja hanyalah satu wajah dari sekian banyak kasus warga miskin Kebumen yang tidak sanggup membiayai pengobatan penyakitnya. Peristiwa tersasarnya Mbah Sukarja, diajukan ke pihak RT dan Kades, namun tidak membawa hasil apapun kecuali kekecewaan. Dirujuk untuk berobat ke rumah sakit pun tidak bisa karena beliau belum terdaftar di data Jamkesmas/Jamkesda. Hingga akhirnya teman-teman komunitas membantu dengan cara menghubungi otoritas daerah tertinggi, Bupati. Barulah kemudian, akses pengobatan gratis terbuka untuk dinikmati oleh Mbah
www.republika.co.id
Sukarja, sebab Bupati menunjuk langsung Rumah Sakit Kebumen 3, dr. Tri, untuk memfasilitasi operasi katarak tersebut. “Ternyata model birokrasi memang harus dipalu dari atas. Saat itu juga Mbah Sukarja langsung dirujuk ke rumah sakit yang bisa melakukan operasi katarak. Sama sekali tidak dipungut biaya. Jamkesmas ternyata juga bisa membiayai operasi katarak, di rumah sakit negeri maupun swasta yang dijadikan rujukan bagi Jamkesmas/ Jamkesda,” ujar Hariyanto berapiapi. Upaya pemerintah untuk menampung kebutuhan kesehatan bagi warganya dengan berbagai sistem pengobatan gratis melalui SKTM, Jamkesmas, Jamkesda, Jampersal, KJS, perlu diapresiasi, tapi juga harus dikritisi dalam implementasinya. Proses penyelenggaraan yang melibatkan birokrasi dari tingkat pusat hingga dusun seringkali tidak mendapatkan pengawasan yang ketat, alhasil informasi publik mengenai pelayanan kesehatan gratis ini pun tidak dapat diakses apalagi didayagunakan oleh warga kurang mampu yang memang membutuhkannya.
Di Lumajang, A’ak Abdullah AlKudus selaku pegiat komunitas Lumajang menceritakan hal berbeda. Bupati Lumajang pernah memprogramkan ketersediaan mobil ambulans di semua desa. Dalam realisasinya, hanya sebagian kecil desa saja yang benar diwujudkan. Pun demikian penggunaan ambulans tersebut bukan untuk mengangkuti warga desa yang sakit maupun sekarat, melainkan justru digunakan sebagai kendaraan pribadi keluarga pemerintah desa semata. Memang menggelikan perilaku aparat pemerintah dan birokrasi di Indonesia. Mengingat level kemakmuran ekonomi suatu kampung berikut seisi warganya menjadi tolak-ukur kesuksesan seorang Kepala Desa dalam tanggung-jawabnya mengayomi masyarakat, maka seringkali Kadeskades tidak mau mengakui bila di desanya terdapat penduduk miskin. Masih di Lumajang, di Desa Sumberweringin, Pak Sanan dengan kelima anaknya hanya menyantap makan sekali dalam sehari. Bahkan dirinya yang hidup di era digital ini belum mengenal mata uang dan nominalnya. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di Gunung Lemongan, mencari kayu bakar, menjualnya
7
di pasar dengan harga para tukang tipu. Tetapi dalam kenyataan getir seperti itu pihak Kades setempat tidak mengakui kemiskinan yang merajam Pak Sanan dan menggilas sebagian besar warga desanya yang lain. “Kades dengan gampangnya bilang tidak ada warga miskin di desanya. Efeknya, warga miskin tersebut tidak akan terdata. Sedangkan banyak pihak yang punya akses ke Bupati, tapi kemudian akses personal tersebut dibisniskan, dia minta fee misalnya pada warga yang butuh mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu),” ujar A’ak yang juga inisiator Sekolah Rakyat Merdeka di Ranu Klakah ini. Menuntut Kejelasan Prosedural Haru-biru kisah-kisah lokal di atas terjadi karena informasi mengenai berbagai fasilitas kesehatan pemerintah tidak tersalurkan secara merata bagi segenap rakyatnya. Pihak-pihak yang memiliki akses menguasai informasi tersebut untuk mendongkrak kepentingan dirinya sendiri, sedangkan di sisi lain warga yang justru membutuhkan tetap merayap di penjara kemiskinannya. Maka perlu adanya kejelasan informasi publik dan strategi sosialisasi yang efektif untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menjelang eksekusi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014, upaya keterbukaan mengenai informasi ini perlu dipropagandakan seluas-luasnya sebab menjadi informasi krusial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Informasi ini meliputi antara lain, pertama, data yang bersifat komprehensif. Pendataan yang teliti dan detil dapat menjadi
8
syarat untuk digunakannya data tersebut sebagai master data agar penyaluran bantuan JKN tepat sasaran. Selama ini jumlah penduduk miskin antara pihak Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Sosial (Kemensos) saja nyaris selalu berbeda sehingga menjadi sebuah kebingungan tersendiri mengenai data sah mana yang perlu diacu. Kedua, dengan adanya data yang komprehensif dan akurat maka akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan antara Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non PBI. Meskipun juga perlu ditegaskan mengenai kriteria kepesertaan PBI itu mencakupi apa saja, serta bagaimana mekanisme klarifikasi oleh masyarakat terhadap daftar peserta PBI. Ketiga, bila data antara Jamkesmas, Jamkesda, Askes, dan KJS akan dijadikan data integral untuk JKN, maka bagaimana nasib peserta dari jaminan-jaminan kesehatan yang sebelumnya itu selama proses transisi yang rencananya akan berjalan dari tahun 2014-2019. Hal lain yang perlu diinformasikan juga adalah peta jalan dan lingkup layanan JKN. Hafni Septiana Nur Endah dari Direktur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam pertemuan yang sama, mengungkapkan, “Menurut manfaat yang diperoleh, ada imunisasi dasar. Semua penyakit akan ditanggung kecuali penyakit estetika (pengobatan untuk kecantikan). Selain itu kontrasepsi akan ditanggung pula. Kalau menggunakan asuransi swasta akan menjadi sangat mahal, sedangkan dengan menggunakan BPJS bapak-ibu akan bisa membayar lebih murah, namun prosedurnya memang harus diikuti.” Bila mengutip dari infopublik. kominfo.go.id (23/08/2013), berdasarkan Pasal 19 UU SJSN, disebutkan bahwa JKN harus dapat memberikan perlindungan, manfaat dan akses pelayanan
kesehatan yang sama untuk seluruh penduduk. “JKN harus dapat memberikan pelayanan secara menyeluruh (perlindungan), komprehensif sesuai kebutuhan medis dasar yang layak, melalui penerapan sistem kendali biaya dan mutu (UU SJSN Pasal 22) dan diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan equitas bagi seluruh penduduk di wilayah RI”. Teori ini bertentangan dengan realitas hidup dari pengalaman Cak Rokhim, penggerak komunitas Besuki Timur, Porong Sidoarjo, bahwa di desanya informasi mengenai JKN ini belum mendarat sama sekali. “Ada pengumuman di RSUD di Sidoarjo, bahwa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sudah tidak berlaku hingga Agustus 2013. Tapi tidak ada informasi tentang sistem jaminan kesehatan penggantinya. Saya sendiri sedang menunggu pendataan gelombang tiga dan empat dari Kemenkes. Wong saya belum pernah pakai Jamkesmas yang sebelumnya, kok sekarang sudah mau ganti?” keluhnya. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, pertambangan atau perminyakan, kesehatan pun rentan menjadi lahan basah yang akan dihinggapi manusiamanusia penghisap darah yang memakan uang saudaranya sendiri. Penyelenggaraan prosedur dan sistem JKN 2014 oleh Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS) perlu digawangi dengan pengawasan ketat dari semua pihak terkait agar tidak lagi jatuh ke jurang penyelewengan dana yang pada akhirnya meminta kaum miskin lagi-lagi menjadi tumbal. Namun apa yang bisa diawasi oleh masyarakat bila tiada informasi apapun yang diketahui mereka mengenai masalah JKN ini? Sebab itulah upaya membuka seluasluasnya informasi JKN hingga ke lingkup terkecil dari masyarakat, yakni komunitas-komunitas yang terasingkan secara geografis dan ekonomi, menjadi penting. *