LAPORAN TEKNIK KEGIATAN PENELITIAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN 2007
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI
CIBINONG 2008 Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
1
LAPORAN TEKNIK KEGIATAN PENELITIAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN 2007
EDITOR: Adi Santoso Andi Utama Edy Bambang Prasetyo Enny Sudarmonowati Inez Hortense Slamet-Loedin Puspita Lisdiyanti Tri Muji Ermayanti Wien Kusharyoto
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI CIBINONG 2008 Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
2
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
3
DAFTAR ISI Kata Pengantar
3
Daftar Isi
4
Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) – Indonesia Pengembangan Database Bioteknologi dan Peningkatan Jaringan Komputer
5 10
Perekayasaan Produk/Proses Produksi Bioprospeksi dan Biosistematik Mikroorganisme Indigenus Indonesia
14
Analisa Mikroba Pendegradasi Minyak untuk Aplikasi Bioremediasi
18
Ekspresi Gen pdc Penyandi Enzim Pyruvate Decarboxylase pada Lactobacillus pentosus untuk Produksi Etanol
23
Penapisan Protein Cry Melalui Pendekatan Konvensional dan Metagenomik
31
Penapisan Biokatalis Baru Melalui Pendekatan Konvensional dan Metagenomik
36
Peningkatan ekspresi Heterologus dan Produksi Human Erythropoietin Rekombinan pada Yeast Pichia pastoris Melalui Pendekatan Perubahan Kodon
40
Uji Senyawa Bioaktif Antioksidan/Antikanker Hasil Bioproduksi dan Biotransformasi Kapang Endofit dari Tanaman Curcuma spp.
52
Seleksi Ubi Kayu Menggunakan Marka Molekuler
56
Seleksi Lidah Buaya Menggunakan Marka Molekuler
62
Aplikasi Teknologi DNA untuk Ketahanan terhadap Hama Penggerek Batang Padi serta Uji Keamanan Lingkungan dan Keamanan Pangan
67
Transformasi Genetika untuk Merakit Varietas Padi Toleran pada Kekeringan dan Penyakit Blas
74
Animal Husbandry Technology & Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production
80
Potensi Usaha Produk Sperma Sapi Hasil Pemisahan (Sexing)
83
Pengembangan Proses Hilir dari Hasil Fermentasi Substrat Padat Monascus Powder
89
Pemanfaatan Onggok sebagai Substrat bagi Konsorsium Mikroba Selulolitik untuk Produksi Enzim Selulase
96
Pengembangan Teknologi In Vitro dan Mikro-Fertilisasi untuk Produk Bibit Unggul
103
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Pengembangan Kebun Koleksi Plasma Nutfah di Cibinong Science Center
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
107
4
PENGEMBANGAN BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI (BIOSAFETY CLEARING HOUSE ) - INDONESIA Puspita Deswina, Cahya Ningrum, Anky Zannati, dan Syamsul Hadi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Balai kliring keamanan hayati (Biosafety Clearing House/BCH) tingkat nasional merupakan suatu pusat informasi dalam bentuk situs internet yang berisikan minimal informasi tentang segala aturan terkait, keputusan lintas batas dan keputusan domestik mengenai introduksi produk pertanian maupun produk pangan hasil rekayasa genetika serta analisis resiko yang dilakukan sebelum produk tersebut dilepas. Informasi ini kemudian wajib diserahkan ke sekretariat Konvensi Keaneka Ragaman Hayati untuk dimuat pada BCH internasional yang berkedudukan di Montreal, Canada. Di tingkat nasional LIPI telah mendapat kepercayaan untuk merintis pembentukan dan selanjutnya mengembangkan Balai Kliring Keamanan Hayati melalui surat Menteri Negara Lingkungan Hidup No. B-246/MENLH/2/200. Selain sebagai pusat informasi keamanan hayati tingkat nasional, di masa mendatang Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia diharapkan dapat berkembang menjadi salah satu jaringan internasional terkait keamanan hayati dan merupakan pintu gerbang bagi institusi yang terkait dengan bioteknologi. Balai atau clearing house ini sangat diperlukan oleh para pihak yang berkepentingan termasuk pelaku, pemakai dan publik awam sebagai pusat informasi sekaligus merupakan pendidikan dan wadah partisipasi publik dalam menjernihkan opini-opini publik tentang produk OHM serta memenuhi prinsip transparansi yang merupakan salah satu dasar pembuatan Protokol Cartagena. Dalam konteks kerjasama kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati, Balai Kliring Keamanan Hayati akan menjadi salah satu ‘node’ dari NBIN (National Biodiversity Information Network).
Kata Kunci: Biosafety Clearing House, Protokol Cartagena, National Biodiversity Information Network, rekayasa genetika, partisipasi publik PENDAHULUAN Protokol Keamanan Hayati telah disepakati dan disetujui oleh Para Pihak di Montreal pada tanggal 29 Januari 2000 yang kemudian dikenal sebagai Protokol Cartagena. Protokol ini disahkan secara hukum dan mengikat bagi Para Pihak yang ikut meratifikasi minimal 50 anggota CBD, Indonesia menjadi salah satu dari 50 negara pertama yang telah meratifikasi (Untung, 2002). Indonesia juga telah menandatangani protokol Cartagena tersebut dan dituangkan melalui UndangUndang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2004. Protokol ini merupakan suatu respon terhadap perkembangan bioteknologi modern yang sangat cepat akhir-akhir ini yang diakui memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia terutama di bidang pangan, pertanian dan kesehatan jika dikembangkan dengan aman dan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan manusia (Slamet-Loedin & Sukara, 2001). Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena. Balai ini akan berperan sangat besar sebagai wacana informasi publik dan pertukaran informasi dalam bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain. Menurut pasal 20 dari Protokol Cartagena, dua tujuan utama pendirian Balai Kliring Keamanan Hayati adalah: (1) untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang sifatnya ilmiah, teknis dan informasi di bidang lingkungan dan hukum dan pengalaman dengan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi, (2) membantu Para Pihak (Parties), yaitu negara yang meratifikasi protokol ini, untuk mengimplementasikan
protokol dengan memperhatikan kepentingan khusus dari negara berkembang, negara kepulauan kecil, negara dalam transisi ekonomi dan negara yang merupakan pusat asal usul dan pusat keanekaragaman hayati. Pembentukan Balai Kliring ini secara hukum berdasarkan Pasal 20 dari Protokol dan PP No 21 Tahun 2005 terutama pasal 31 ayat 1 dan 2. Dalam Protokol Cartagena dijelaskan tujuan BKKH adalah untuk memfasilitasi pertukaran informasi di bidang ilmiah, teknis, lingkungan hidup dan peraturan mengenai OHMG, hasil keputusan AIA dalam melaksanakan Protokol, sedangkan dalam PP 21 Tahun 2005 disebutkan bahwa BKKH adalah perangkat KKH yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara KKH dengan pemangku kepentingan. Balai Kliring Keamanan Hayati dalam bentuk situs internet berisikan informasi mengenai: a) Setiap undang-undang, peraturan dan pedoman yang ada untuk implementasi Protokol ini, juga informasi yang dibutuhkan oleh para Pihak untuk Prosedur Persetujuan berdasarkan informasi sebelumnya b) Setiap perjanjian dan pengaturan bilateral, regional dan multilateral c) Ikhtisar tentang penilaian resiko atau telah lingkungan hidup terhadap organisme hasil modifikasi yang dihasilkan oleh proses peraturan perundang-undangannya, dan dilaksanakan menurut Pasal 15, termasuk bila sesuai informasi relevan berkenaan dengan produk-produknya yaitu material olahan yang berasal dari organisme hasil modifikasi, yang mengandung kombinasi baru
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
5
yang dapat dideteksi dari material genetik yang dapat direplikasi melalui penggunaan bioteknologi modern d) Keputusan-keputusan final sehubungan dengan proses impor atau pelepasan organisme hasil modifikasi e) Laporan-laporan yang diserahkan sesuai Pasal 33 (Advance Informed Agreement Procedure) termasuk laporan-laporan tentang penerapan prosedur persetujuan berdasarkan informasi sebelumnya (Wardana, 2001) Balai Kliring Keamanan Hayati dibentuk di tingkat nasional dengan pusat portal dan pusat informasi di sekretariat Konvensi (gabungan antara sistem sentralisasi dan desentralisasi), sehingga Balai Kliring Keamanan Hayati tingkat nasional dapat diakses melalui portal pusatnya di Sekretariat Konvensi di Geneva. Pendirian dan pengembangan Balai ini adalah kewajiban pemerintah sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol. Bila ada negara yang meratifikasi namun tidak memiliki akses internet maka informasi diserahkan dalam bentuk tertulis. Balai atau clearing house ini sangat diperlukan oleh para pihak yang berkepentingan termasuk pelaku, pemakai dan publik awam sebagai pusat informasi sekaligus merupakan wadah untuk meningkatkan partisipasi dan pendidikan publik serta menjernihkan opini-opini publik tentang produk OHM serta memenuhi prinsip transparansi yang merupakan salah satu dasar pembuatan Protokol Cartagena tersebut. Pada pertemuan-pertemuan dari kelompok kerja keamanan hayati yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan pertemuan mengenai Protokol Cartagena yang diselenggarakan oleh Yayasan
Kehati, berbagai pihak mengusulkan agar fungsi Balai Kliring Keamanan Hayati diserahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penunjukkan LIPI ini dengan alasan bahwa, LIPI dalam kapasitasnya sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan bersifat netral dan secara ilmiah dapat menilai dan menvalidasi informasi yang masuk. Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai focal point yang bertanggung jawab sebagai penghubung dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati, telah meminta agar LIPI menyiapkan satu unit kerja yang dapat menerima mandat pembentukan Balai Kliring Keamanan Hayati Nasional. Unit Kerja Balai Kliring Keamanan Hayati sebagaimana mandat dari Protokol Cartagena telah dirintis dan dikembangkan oleh Puslit BioteknologiLIPI dengan terbentuknya website BKKH versi bahasa Indonesia yang telah dapat diakses oleh semua pihak sejak tanggal 11 Maret 2003 dengan alamat: http://www.bchindonesia.org. Tetapi sejak November 2007 alamat situs web BKKH diganti menjadi: http://www.indonesiabch.org Sejak awal pembentukannya, sudah disadari akan penting dan peranan Balai ini di tengah-tengah peasatnya perkembangan bioteknologi modern saat ini. Meskipun banyak pihak kurang menyadari, sesungguhnya pembentukan Balai Kliring Keamanan Hayati ini sangat penting. Dukungan pemerintah secara berkelanjutan dalam hal dana dan sumber daya manusia serta kemauan segala pihak untuk bekerjasama sangat menentukan keberhasilan pengembangan dan keberlanjutan BKKH Indonesia. Oleh karena fungsi BKKH hanya baik bila jaringan informasi antara focal point, otoritas-otoritas kompeten dan pemangku kepentingan dapat dijalankan dengan baik.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Koleksi dokumen dan informasi Dokumen dan informasi diperoleh melalui komunikasi (langsung dan elektronik) serta pertemuan dengan badan-badan pengimplementasi (Badan POM, Departemen Pertanian, Pusat Karantina, Kementrian Lingkungan Hidup, DKP) 2. Pengolahan data dan penterjemahan • Validasi data • Penterjemahan dokumen dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya • Pengubahan data ke format standar dan text digital • Editing dan Indexing data
3. Penyimpanan data, manajemen data dan sosialisasi • Mekanisme jaringan antara BKKH sekretariat dengan otoritas kompeten • Up date dari isi website baik versi bahasa Indonesia maupun versi bahasa Inggris • Membentuk forum diskusi pada website • Sosialisasi BKKH kepada publik baik dalam bentuk seminar/workshop, pembuatan leaflet, brosur, poster dan media lainnya. 4. Monitoring kunjungan dan forum partisipasi publik situs Web BKKH.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Koleksi dokumen dan informasi Pada tahun ini telah berhasil dikumpulkan kembali sejumlah dokumen Peraturan, Undang-undang ataupun Surat Keputusan melalui pertemuan-pertemuan yang
intensif dilakukan dan dilanjutkan dengan komunikasi elektronik dengan badan pengimplementasi. Dokumendokumen peraturan yang sudah terkumpul tersebut adalah:
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
6
- UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan - UU RI No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan - UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman - UU No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan - UU No 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity /CBD) - UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan - PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman - PP No 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman - PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan - PP No 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan - PP No. 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan - UU 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan - UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan - UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya - UU 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup - KepMen Kelautan dan Perikanan No: Kep.16/Men/2003 tentang Penetapan Tempat-tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina - KepMen Kelautan dan Perikanan No: Kep.42/Men/2003 tentang Persyaratan Pemasukan Media Pembawa Berupa Ikan Hidup - KepMen Kelautan dan Perikanan No: Kep.18/Men/2003 tentang Tindakan Karantina untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari Luar Negeri dan dari suatu Area ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia - Peraturan Menteri Pertanian No. 67 tahun 2006 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman - UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Peneliti, Pengembangan dan Penerapan IPTEK - KepMen Pertanian No 737/Kpts/TP.240/9 /98 Amendement of Decree No 902/Kpts/TP.240 /12/96 tentang Testing, Evaluation and Release of New Plant Varieties. Semua dokumen-dokumen yang telah terkumpul telah diupload dan diupdate pada situs web BKKH dengan mengurutkan berdasarkan tahun terbaru sebagai urutan paling atas. Selain mengupdate bagian Peraturan dan Perundang-undangan, juga diupdate bagian-bagian lain pada Menu Utama yaitu: - Menambahkan dokumen Surat Keputusan yang berisi pernyataan aman lingkungan dan keanekaragaman hayati terhadap PRG berikut: kapas transgenik RR, jagung transgenik Bt, jagung
-
-
transgenik RR dan kedele transgenik RR dari Ketua KKH, di bagian Keputusan Domestik Menambahkan dokumen Dasar Hukum Pembentukan BKKH yaitu Protokol Cartagena (Pasal 20) dan PP No 21 Tahun 2005 (pasal yang terkait) Menambahkan Prosedur Mekanisme Pengajuan dan Pelepasan PRG berbentuk skema/alur yang sesuai dengan PP No 21 Tahun 2005 pada Menu Utama Menambahkan data Disclaimer pada Halaman Depan situs web BKKH untuk situs yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris Memperbaharui data otoritas kompeten serta membuat link dengan institusinya sendiri Mengaktifkan webmail pada situs web BKKH
2. Pengolahan data dan penterjemahan • Validasi dokumen: setiap dokumen yang didapat dan yang akan di up load ke dalam situs web harus terlebih dahulu divalidasi oleh BKKH National Focal Point, demikian juga dengan dokumendokumen yang akan dikirim ke portal BCH Internasional. • Pekerjaan penterjemahan dokumen lebih banyak dilaksanakan pada tahun ini, kerena web berbahasa Inggris terus dibangun, dimana pada tahap ini untuk dokumen Peraturan dan Perundangan telah selesai dan diupload ke dalam web, dokumen-dokumen peraturan yang dimuat adalah bagian-bagian yang terkait, sedangkan terjemahan lembaran-lembaran umum dan berita sudah diselesaikan tetapi belum diupload. • Konversi dokumen ke teks digital. Dokumendokumen dan data-data serta informasi untuk dimuat ke dalam situs web yang belum memiliki file digital, perlu diubah dan diedit ke dalam bentuk standar, untuk di upload ke dalam situs web. 3. Penyimpanan data, manajemen data dan sosialisasi Beberapa bentuk kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan berupa seminar, brosur, stiker dan pembuatan kalender BKKH tahun 2008, terutama dalam upaya memperkenalkan alamat situs web BKKH yang baru yaitu: http://www.indonesiabch.org (Gambar 1) Selain mengganti alamat situs web juga dilakukan re-design situs web secara keseluruhan. Pekerjaan re-design situs web dikerjakan dengan menggunakan bahasa PHP yang dimodifikasi sendiri oleh Tim TI BKKH serta menggunakan sistem CMS (Content Management System) dengan memakai database MySqL. Situs web berbahasa Inggris terus dibangun terutama bagian dokumen peraturan dan Undang-undang. Peraturanperaturan yang dimuat pada situs berbahasa Inggris adalah pasal-pasal yang terkait dengan PRG saja. Kegiatan sosialisasi dalam bentuk seminar adalah presentasi ilmiah BKKH Indonesia yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 3
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
7
November 2007 dalam acara Seminar Sehari Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan UMM. Pada kesempatan ini BKKH memperkenalkan pentingnya keberadaan Balai ini dalam pengembangan bioteknologi modern. Topik yang dipresentasikan adalah Status dan Implementasi BKKH Indonesia. Pada kegiatan tersebut juga diperkenalkan alamat situs web BKKH yang baru yaitu http://www.indonesiabch.org
Gambar 1. Lembar depan situs web BKKH Indonesia dalam versi bahasa Indonesia (atas) dan versi bahasa Inggris (bawah) Kegiatan lainnya yang telah dilaksanakan adalah memfasilitasi pertemuan Tim Kecil untuk membahas dan menuntaskan Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Indonesia. Pertemuan ini merupakan inisiatif BKKH sebagai badan penyedia informasi bagi publik, agar Pedoman untuk Keamanan Pangan ini segera disahkan. Pertemuan Tim Kecil dihadiri oleh pakarpakar hukum otoritas kompeten terkait yang dipimpin oleh Kepala Balai Besar Biogen (Dr. Sutrisno). Pertemuan telah dilaksanakan sebanyak dua (2) kali dengan menghadirkan Koordinator Keamanan Pangan yaitu Prof. Dr. Dedi Fardiaz Deputi III Badan Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (BPOM). Pertemuan akhirnya dapat menghasilkan final
Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Indonesia yang siap untuk disahkan oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan terkait dengan pelaksanaan proyek UNEP-GEF adalah: - Pertemuan anggota BCH Task Force Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2007, dimana dilaporkan kemajuan proyek UNEP-GEF - Pertemuan kelompok Sub Working Group Regulasi tanggal 12 April 2007 dan pertemuan kelompok TI pada tanggal 18 April 2007 telah disepakati suatu mekanisme penyerahan dokumen kepada BKKH sekretariat baik melalui media elektronik maupun pertemuan langsung - Menyelenggarakan pertemuan pleno antara kelompok Regulasi dengan Kelompok TI pada tanggal 26 Juli 2007 di Puslit Bioteknologi-LIPI. Pertemuan membahas persiapan pelaksanaan National Workshop BKKH, yang direncanakan pada bulan Agustus 2007. Pertemuan dihadiri oleh sekitar 19 orang peserta yang terbagi dalam kelompok Regulasi dan TI - Pelaksanaan Workshop BKKH pada tanggal 4 September 2007, bertempat di Puslit Bioteknologi, LIPI Cibinong dengan tema “Building an Effective Biosafety Clearing House for Cartagena Protocol on Biosafety”. Workshop dihadiri oleh sekitar 55 orang yang berasal dari Otoritas Kompeten Nasional, Universitas Negeri dan Swasta, LSM dan Lembagalembaga pemerintahan lainnya. Hasil dari penyelenggaraan workshop antara lain telah menghasilkan suatu aturan prosedur dalam Pengajuan dan Pelepasan suatu produk PRG untuk keamanan hayati. Sedangkan kelompok TI membahas mekanisme pengambilan data antara BCH Portal dengan BKKH Indonesia serta sistem interoperable yang akan digunakan 4. Monitoring kunjungan dan forum partisipasi publik situs Web BKKH. Monitoring pengunjung situs web BKKH Indonesia pada situs yang telah diperbaharui dapat dilihat langsung pada tampilan depan web, dengan menampilkan angka (jumlah kunjungan) (Gambar 1). Media untuk partisipasi publik disediakan pada bagian Forum yang dapat diakses pada lembar depan situs web, bagaimana mekanisme publik dapat berpartisipasi dalam pengisian bagian Forum masih didiskusikan di tingkat Sub Working Grup TI. Miling list di antara kelompok kerja BKKH dengan otoritas kompeten telah dibentuk dengan alamat:
[email protected].
KESIMPULAN Pada tahun ini telah dihasilkan suatu mekanisme/jaringan penyampaian informasi antara
BKKH Sekretariat dengan otoritas kompeten Nasional setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
8
Selain itu juga telah ditunjuk focal point BKKH, terutama tenaga TI yang bertanggung jawab menyampaikan setiap dokumen peraturan terbaru kepada BKKH Sekretariat. Diharapkan dengan terbentuknya mekanisme ini, BKKH Indonesia dapat menjalankan fungsinya dengan lebih baik sebagai pusat informasi satu-satunya di Indonesia terkait keamanan hayati PRG. Sehingga BKKH dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan amanat Protokol dan PP No 21 Tahun 2005. Selain itu BKKH Indonesia pada tahun ini telah melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator pertemuan untuk merampungkan Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Indonesia, sehingga pada saat ini Pedoman tersebut tinggal disahkan oleh pemerintah. Terjadinya pergantian alamat situs web BKKH dari www.bchindonesia.org menjadi www.indonesiabch.org karena kesalahan teknis pada provider yang lama. Sehubungan dengan pergantian alamat tersebut, pada saat ini alamat domain dan hosting server telah berada pada satu provider yang sama sehingga lebih mudah untuk dihubungi oleh BKKH Sekretariat. Pekerjaan re-design situs web dikerjakan dengan menggunakan bahasa PHP yang dimodifikasi sendiri oleh Tim TI BKKH serta menggunakan sistem CMS (Content Management System) dengan memakai database MySqL. Tampilan dan isi situs web juga diupdate dan disesuaikan dengan PP 21 Tahun 2005 yang merupakan salah satu landasan hukum pendirian BKKH. Situs web dalam versi bahasa Inggris juga diupdate dan dibangun setelah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan selain dalam rangka memasyarakatkan BKKH sebagai pusat informasi keamanan hayati terkait PRG juga
memberitahukan perubahan alamat situs web BKKH menjadi www.indonesiabch.org kepada publik, yang dilaksanakan dalam bentuk seminar, brosur dan kalender 2008. Kegiatan-kegiatan lain terkait proyek UNEP-GEF juga telah terselenggara baik dalam bentuk pertemuanpertemuan antar otoritas kompeten dengan BKKH Sekretariat dan focal point BCH serta pelaksanaan Workshop Nasional. Ternyata pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) tingkat nasional yang telah ditetapkan pemerintah sebagai badan yang merupakan pusat informasi dalam bentuk situs internet sangat tepat, karena memiliki jangkauan yang luas dan dapat diakses setiap saat, namun demikian keberlanjutan BKKH sebagai perangkat KKH perlu mendapat perhatian pemerintah sebagai negara penandatangan Protokol yang bahkan telah meratifikasinya dan menuangkannya dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2004. Sebagai satu-satunya sumber informasi bagi semua pemangku kepentingan dan publik pada umumnya, BKKH harus lebih berperanan dalam melibatkan perhatian dan partisipasi publik untuk setiap pengambilan keputusan terkait PRG dengan menyajikan informasi yang transparan. Pusat informasi BKKH ini sangat diperlukan oleh para pihak yang berkepentingan termasuk pelaku, pemakai dan publik awam, sekaligus menjernihkan opini-opini publik tentang PRG. BKKH juga punya hak dan kewajiban. Kewajibannya adalah menyampaikan informasi dan haknya memperoleh informasi dari institusi pelaksana sebelum dan setelah pengambilan keputusan dan perlu dituangkan dalam aturan-aturan tertentu. Semuanya akan berjalan dengan baik apabila ada aturan yang jelas antara otoritas kompeten terkait dengan BKKH sendiri sebagai pusat informas
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DIPA Tahun 2007 dan Proyek UNEP-GEF Tahun 2007. Ucapan terima kasih
kepada Syamsul Hadi S.Si dan Arif Rusman S.Si atas bantuannya sebagai tenaga TI di BKKH Sekretariat.
DAFTAR PUSTAKA Asia Pacific Regional meeting on the Biosafety Clearing House (report). 2002. Beijing 7-8 March 2002. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. 2000. Text and Annex . Montreal. Herman M. 2005. Indonesian National Regulatory system. ICABIOGRAD – IAARD. Laporan. Kerangka Kerja Nasional Keamanan Hayati Republik Indonesia. 2005. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia bekerja sama dengan UNEP-GEF Project for the Development of National Biosafety Framework for Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2005. Slamet-Loedin IH & Sukara E. 2001. Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) dan pengembangannnya. Forum Keaneka Ragaman Hayati Indonesia. Jakarta 12-14 Juli 2001. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Cartagena Protokol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. 2005 Kementerian Lingkungan Hidup. Untung K. Protokol Cartagena dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait In: Rekayasa Genetik Tantangan dan Harapan. 2002. Unpad Press. Bandung.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
9
PEMELIHARAAN DATABASE BIOTEKNOLOGI DAN PENINGKATAN JARINGAN KOMPUTER (LAN) Tutang, Ario Tutuko Suwarno, Ludya Arica Bakti, Ahmad Saefudin Surapermana, Uus Faisal Firdausi, Esti Baina, dan Suherman Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Peranan Teknologi Informasi khususnya yang berkaitan dengan jaringan komputer, internet data sharing, dan browsing data saat ini merupakan kebutuhan. Bahkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penelitian peran TI sangat diperlukan, baik sebagai sumber untuk mencari data dan informasi, maupun sebagai sarana untuk menyediakan data dan informasi yang cepat, tepat dan mudah diakses. Jaringan komputer (LAN) yang baik dan terpelihara merupakan fasilitas untuk menunjang bergai kegiatan terutama sebagai media lalu lintas data dan informasi. Sehingga akan tercipta komunikasi data baik lokal maupun global secara cepat, tepat, akurat dan mudah dalam berburu informasi yang berhubungan dengan IPTEK maupun informasi secara umum. Dengan tersedianya fasilitas seperti Internet, Database Online, E-mail, Website, dan Intranet, tentu merupakan hal yang sangat membantu bagi semua pihak dalam menunjang segala aktivitasnya. Semua fasilitas yang tersedia ini diharapkan dapat dimanfaatkan semaksimal dan seoptimal mungkin agar kegiatan penelitian berjalan baik sesuai dengan perkembangan teknologi itu sendiri.
Kata kunci: database, e-mail, informasi, bioteknologi PENDAHULUAN Jaringan komputer LAN (Local Area Network) yang terkoneksi ke dalam jaringan global baik menggunakan VPN maupun Internet di lembaga penelitian merupakan sarana vital dan tidak terpisahkan dengan berkembangnya suatu pekerjaan. Dengan jaringan komputer proses pencarian data dan informasi untuk keperluan penelitian seperti mencari literatur, penelusuran pustaka, mencari data dan informasi yang berhubungan dengan suatu topik penelitian terasa jauh lebih mudah, cepat dan akurat. Para peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI khususnya dan umumnya di seluruh LIPI kini mulai banyak yang memanfaatkan jaringan komputer ini untuk berbagai keperluan. Data dan informasi bidang bioteknologi ini disimpan dalam server database dan dipublikasikan melalui media Intranet dan Internet sehingga mudah diakses dan dimanfaatkan secara luas. Salah satu tolok ukur keberhasilan penyebaran data dan informasi adalah menyampaikan data dan informasi tersebut kepada masyarakat secara cepat, tepat dan benar. Terwujudnya penyebaran dana dan informasi ini erat kaitannya dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh lembaga, baik berupa Database Server, Web Server,
Mail Server, serta koneksi yang baik. Untuk itu, pada akhir tahun 2007 ini sudah terpasang jarul LAN berbasis F/O (Fiber Optic) untuk menghubungkan antar gedung yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, sedangkan koneksi dari PC dan Laptop menggunakan kabel UTP dan WiFi. Kemudian untuk menghubungkan Server yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ke kantor LIPI ke Pusat di Jakarta dan lembaga lain yang ada di Cibinong juga sudah terpasang F/O (Fiber Optic). Dengan demikian jaringan komputer yang ada di Puslit Bioteknologi LIPI sudah terintegrasi dan cukup memadai sebagai media komunikasi secara online. Jaringan komputer (LAN), Database Server, Web Server, Mail Server yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI perlu diupdate baik berupa data, maupun isi yang digunakan serta harus dipelihara sesuai perkembangan teknologi itu sendiri. Begitu juga dengan hardware dan software juga perlu diupdate dan dipelihara, karena teknologi komputer berkembang sangat pesat baik hardware, sistem operasi, software maupun kecepatan atau badwicth untuk akses jaringan secara keseluruhan.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Jaringan komputer 2. Mail Server
3. Web Server 4. Majalah Biotrend HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Jaringan Komputer Koneksi jaringan antar gedung saat ini sudah menggunakan F/O. Hanya untuk gedung yang baru
dibangun masih berlum terkoneksi. Mudah-mudahan ditahun 2008 koneksi tersebut bisa tersambung. Sementara itu jumlah node yang sudah dipasang
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
10
jumlahnya sudah lebih dari 100 node dengan koneksi rata-rata lebih dari 50 unit (Gambar 1) dengan koneksi menggunakan media kabel dan Wireless atau WiFi. Sementara itu, titik host spot saat ini sudah tersebar di beberapa ruangan dan gedung, antara lain di Gedung Administrasi, Gedung Perpustakaan dan Auditorium. Selain itu, juga ada beberapa wing di Lab juga sudah dapat memanfaatkan Hostspot ini, khususnya yang menggunakan komputer Laptop (notebook). Berikut ini adalah gambar jumlah koneksi yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Gambar 2. Tampilan mail server biotek.lipi.go.id
Gambar 1. Jumlah Node aktif pada saat gambar ini diambil 2. Mail Server Pada akhir tahun 2007 ini sudah di lakukan setup mail server dengan ekstensi biotek.lipi.go.id. Web-mail ini saat ini sudah mulai digunakan walaupun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh stat maupun pegawai Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Untuk tahap awal direncanakan mail server akan digunakan oleh CPNS yang belum memiliki e-mail lipi.go.id. Tujuannya adalah untuk memudahkan komunikasi sesama peneliti maupun keperluan dinas lainnya. Komputer yang digunakan untuk Mail Server adalah Server NetServer E60 bermesin dengan sistem operasi SME Server. Saat ini Mail server ini sudah dapat digunakan hanya masih dimanfaatkan oleh seluruh pegawai. Namun demikian dengan masuknya CPNS baru diharapkan mereka dapat memanfaatkan e-mail dengan akhiran
[email protected]. Untuk mempermudah dan mempercepat proses komunikasi menggunakan e-mail
[email protected] ini, Mail-server yang dikelola Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ini mendukung POP3, dan IMAP sehingga dapat menggunakan aplikasi seperti Microsoft Outlook atau Outlook Express. Gambar 2 adalah tampilan mail Server Pusat Peneltian Bioteknologi LIPI.
3. Web Server Database Server yang digunakan bermesin Pentium 4 dengan RAM 1 Gbyte dan merupakan host yang menyimpan berbagai data dan informasi baik yang berhubungan dengan database maupun Web Server. Software Database penelusuran data dan informasi yang digunakan adalah CDS-ISIS sebagai Back End sedangkan Front End-nya menggunakan PHP. Untuk Web Server masih menggunakan sistem operasi Windows 2003 berlisensi, dengan aplikasi database menggunakan MySQL sebagai Back End dan PHP sebagai Front End. Untuk menjalankan atau mengaktifkan Website, software yang digunakan adalah XAMP. Selain Web Sever dan Database Server yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat, juga disiapkan satu Web Server khususnya untuk Pranata Komputer. Portal ini berisi informasi terbaru seputar perkembangan teknologi informasi dan peraturan yang berhubungan dengan fungsional, khususnya praata komputer. Database informasi bioteknologi sampai akhir tahun 2007 ini sudah cukup baik dan sudah mulai banyak dikunjungi, baik secara offline maupun online. Data dan informasi yang dipubikasikan melalui URL www.biotek.lipi.go.id sampai saat ini lancar dan aman, terutama dari gangguan virus dan spam. Namun demikian, karena Server database yang digunakan masih bermesin P4, maka dari segi kecepatan sedikit kurang, terutama pada saat server tersebut dibuka oleh banyak pengunjung pada saat yang bersamaan. Gambar 3 dan 4 adalah tampilan database penelusuran online melaui internet. Server-server yang sudah dibangun tersebut saat ini sudah jauh lebih baik terutama dalam hal maintenance sistem operasi, software maupun anti virusnya. Karena dengan sistem operasi yang berlisensi proses update sudah tidak ada masalah. Untuk antivirus, saat ini masih memanfaatkan anti virus McAfee dan AVG Free, namun demikian tetap untuk anti virus ini diupdate setiap saat.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
11
Kekurangan materi ini akan berdampak pada pada lambatnya penerbitan majalah, namun demikian majalah Biotrends masih tetap terbit sesuai dengan rencana.
Gambar 3. Penelusuran data secara online
Gambar 6. Tabel data kunjungan ke Web Puslit Bioteknologi LIPI mulai bulan Juli 2007 sampai Januari 2008
Gambar 4. Tampilan Website www.biotek.lipi.go.id
Majalah populer Bioteknologi yang dikelola Pusat Penelitian Bioteknologi untuk edisi 4 Vol 2 Nomor 2 ini tampilannya cukup menarik, hanya dari segi isi masih belum sempurna, sehingga pada edisi-edisi berikutnya kualitas isi akan tetap diperhatikan agar majalah Biotrends ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk majalah semi populer bidang bioteknologi. Contoh cover majalah BioTrends tertera pada Gambar 7.
Mengenai kunjungan baik ke Web Server Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI maupun yang masuk menggunakan database berdasarkan grafik pengunjung cukup baik dan dapat dilihat dari hit dan page yang dibuka dan dikunjungi baik oleh peneliti lokal maupun masyarakat. Gambar 5 dan 6 adalah grafik dan jumlah kunjungan ke website Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Gambar 5. Grafik kunjungan www.biotek.lipi.go.id
ke
Website
4. Majalah Biotrends Tahun 2007 majalah Biotends terbit 2 kali, untuk edisi 3 Vol 2 Nomor 1 dan edisi 4 Vol 2 Nomor 2 terbit dengan kualitas jauh lebih baik. Hanya saja masih ada beberapa kekurangan khususnya yang berhubungan dengan jumlah artikel yang masuk ke redaksi.
Gambar 7. Cover majalah Biotrend Vol 2 Nomor 2 Tahun 2007 Tahun 2007 kegiatan pemeliharaan database dan peningkatan jaringan komputer untuk menunjang
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
12
kegiatan penelitian ini sudah berjalan sesuai dengan rencana. Hanya saja masih ditemukan beberapa permasalah, terutama yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk Server, seperti peningkatan RAM (Random Access Memory), space harddisk yang digunakan masih perlu ditingkatkan, dan sebagainya. Hal ini tentu saja menjadi kendala yang cukup serius ketika lalu lintas data semakin padat dan jumlah pengunjung dan user yang menggunakan jaringan pada saat yang bersamaan. Untuk itu penigkatan RAM dan Harddisk Server dimasa yang akan datang menjadi prioritas. Hal lain yang menjadi kendala adalah SDM (Sumberdaya Manusia) yang ada ikut dalam kegiatan ini tidak seluruhnya mengerti dengan baik masalah yang berhubungan dengan teknologi informasi, sehingga tidak bisa bekerja secara maksimal. Namun demikian mudah-mudahan di tahun 2008 nanti hal ini bisa teratasi.
Pada tahun 2008 nanti, kegiatan ini masih berjalan, walaupun ruang lingkupnya sudah mulai terbatas. Namun demikian kegiatan yang berhubungan dengan maintenance software. Hardware dan peningkatan kemampuan khususnya Web Server, Database Server, dan Mail Server tetap menjadi perhatian utama. Selain itu, tahun 2008 nanti sosialiasi penggunakan e-mail lokal akan menjadi prioritas berikutnya, karena dengan memanfaatkan e-mail local masyarakat akan lebih mengenai Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ini. Selain itu, yang juga menjadi kendala adalah gangguan virus, spam, dan alam. Memang untuk virus dan spam masih dapat diatasi, hanya untuk gangguan lain seperti petir dan sering putusnya arus listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya akan berakibat fatal terutama pada hardware yang sensitif seperti Swicth, UPS, Server, Concentrator, Swicth WiFi, Converter F/O dan lain-lain.
KESIMPULAN Sampai akhir tahun 2007 ini jaringan komputer di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga dengan sarana penunjang lainnya seperti ruangan server saat ini suhunya sudah cukup baik dan stabil, begitu juga degan Server, rak server, dan sebagainya sudah mulai tertata dengan baik. Jumlah koneksi baik VPN (Virtual Private Network) maupun Internet juga sudah digunakan oleh para staf peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Database online berupa data dan informasi bidang bioteknologi juga sudah mulai banyak dimanfaatkan, hal ini dapat dilihat dari julah pengunjung Website Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, portal Pranata Komputer, Mail Server dan sebagainya. Namun demikian di tahun-tahun mendatang kegiatan ini harus lebih fokus pada pemeliharaan baik hardware maupun software yang digunakan, tanpa pemeliharaan yang baik hardware dan software yang digunakan akan cepat mengalami gangguan dan akhirnya akan rusak.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ramlanto, Sogir dan Endi Rochandi Rasmadi yang telah membantu kegiatan ini.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
13
BIOPROSPEKSI DAN BIOSISTEMATIK MIKROORGANISME INDIGENUS INDONESIA Yantyati Widyastuti, Judhi Rachmat, Shanti Ratnakomala, Roni Ridwan, Gina Kartina, Rohmatussolihat, Naniek Nurhayaty, dan Kurniawan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Actinomycetes merupakan anggota kelompok bakteri Gram positif yang telah lama diketahui berpotensi dalam menghasilkan antibiotik. Kegiatan bioprospeksi harus lebih banyak dilakukan untuk mengungkap potensi actinomycetes. Metode sederhana lempeng agar digunakan untuk skrining terhadap mikroorganisme patogen tanaman hortikultura. Dari 154 isolat yang diuji terhadap Ralstonia solanacearum diperoleh adanya 2 isolat yang dapat diuji lebih lanjut karena menunjukkan daya hambat yang besar (> 20 mm). Sementara pengujian produksi bahan aktif dari actinomycetes akan difokuskan pada pemakaian medium produksi (MP) karena pada medium ISP-2 daya hambatnya lebih rendah. Isolasi actinomycetes dilakukan menggunakan sample tanah dan serasah dari Sungai Wain, Kaltim dan Baturraden, Jateng. Dengan menggunakan 6 metode isolasi, hasil identifikasi menunjukkan adanya 18 genus dari Sungai Wain dan 10 genus dari Baturraden.
Kata kunci: bioprospeksi, biosistematik, patogen hortikultura PENDAHULUAN Mikroorganisme merupakan makhluk penting dalam mempertahankan keseimbangan suatu ekosistem. Di samping itu, dari sebagian mikroorganisme tersebut telah diketahui mempunyai potensi yang menguntungkan bagi umat manusia. Actinomycetes merupakan anggota kelompok bakteri Gram positif yang telah lama diketahui berpotensi dalam menghasilkan antibiotik (Cross, 1982). Dari sekitar 10.000 antibiotik yang telah ditemukan, dua per tiganya dihasilkan oleh kelompok bakteri ini, terutama dari genus Streptomyces. Saat ini sangat diperlukan upaya untuk mendapatkan antibiotik baru mengingat antibiotik yang ada seringkali kurang efektif lagi membunuh kuman penyakit. Antibiotik pertama kali digunakan untuk kemoterapi penyakit infeksi pada tahun 1940-an. Senyawa aktif ini dinilai ampuh membunuh mikroba patogen yang menyerang baik manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Tetapi, sepuluh tahun kemudian pertama kali ditemukan bahwa 2% bakteri patogen Streptococcus pneunomiae resisten terhadap antibiotik tetrasiklin. Di tahun 1967, ditemukan kembali bakteri patogen Streptococcus yang resisten terhadap penisilin. Di tahun 1990-an, ditemukan lagi bahwa lebih dari 80% dari S. pneunomiae resisten terhadap antibiotik tetrasiklin. Pola timbulnya resistensi yang sama diamati dari hampir bakteri patogen yang menyerang manusia. Perkembangan dewasa ini juga menunjukkan bahwa makin banyak pasien yang tidak mempunyai respon terhadap perlakuan berbagai antibiotik yang ada, bahkan vankomisin sekalipun. Melihat potensinya sebagai penghasil antibiotik, kegiatan isolasi untuk mendapatkan spesies baru dengan
kemungkinannya menghasilkan antibiotik baru sangat besar, karena tingginya keanekaragaman aktinomisetes yang belum terungkap. Isolasi dari alam dan pengkajian spektrum aktivitasnya masih menjadi topik utama pencarian antibiotik baru. Salah satu usaha untuk mendapatkan senyawa baru adalah dari aktinomisetes baru yang diisolasi dengan memodifikasi metoda isolasi dan mengumpulkan sample dari tempat yang belum pernah dikaji. Di samping untuk penyakit infeksi, keinginan masyarakat luas untuk mengembangbiakkan tanaman yang tidak berdampak polusi bagi lingkungan sekitar mengindikasikan perlunya metoda baru untuk mengontrol hama dan penyakit dari produk pertanian (Overton et al., 1996). Di masa lalu, sumber utama pestisida adalah sintesa organik. Saat ini ketertarikan untuk menggunakan metoda yang ramah lingkungan untuk memproduksi tanaman pertanian meningkat. Pemanfaatan sumber daya mikroba untuk pengendalian hama dan penyakit menjadi alternatif terbaik. Pengungkapan potensi actinomycetes yang mempunyai kemampuan menekan mikroorganisme patogen terutama untuk tanaman hortikultura memberikan harapan akan dapat mengknsumsi sayuran yang bebas bahan-bahan kimia. Laporan kegiatan ini meliputi isolasi dan identifikasi serta informasi kemampuan actinomycetes yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen atau menghasilkan bahan aktifnya.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
14
BAHAN DAN CARA KERJA Bioassay actinomycetes yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen Bioassay senyawa bioaktif terhadap beberapa bakteri dan kapang uji dilakukan dengan menggunakan metoda lempeng agar piece yang diletakkan diatas lapisan agar lunak yang mengandung bakteri uji (1x108 CFU/mL) dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 hari. Zona terang yang muncul sekeliling lempeng agar menunjukkan reaksi positif inhibisi senyawa bioaktif terhadap mikroba patogen. Mikroorganisme uji yang digunakan meliputi Staphylococcus aureus, Micrococcus luteus, Bacillus subtilis, Escherichia coli, Pseudomonas aureginosa, Ralstonia solanacearum, Candida albicans Saccharomyces cereviaceae, Alternaria brassicae dan Fusarium oxysporum Ekstraksi dan Isolasi senyawa aktif actinomycetes Terhadap 4 isolat hasil penelitian sebelumnya (isolat R-192, W06A-38, W06A-40 dan DIPA-3-SDS-11) telah dilakukan pengecekan ulang atas kemampuan menekan mikroorganisme patogen. Produksi antibiotik dilakukan pada medium agar dimana tumbuh aktinomisetes, kemudian dipotong dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi glass bead dan air steril untuk dihancurkan. Setelah hancur dan homogen, cairan bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam 500 ml media cair ISP-2 dan diinkubasi pada shaker dengan kecepatan pengocokan 200-220 rpm, suhu 30oC selama 10 hari. Pertumbuhan aktinomisetes terlihat dari perubahan warna media yang asalnya kuning bening kemudian menjadi keruh dan timbul bau khas tanah. Setelah itu, kultur supernatan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm, suhu 40oC selama 10 menit. Supernatan dipisahkan untuk diekstraksi bahan aktifnya dengan pelarut etil asetat (1:1) sebanyak 3 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan dievaporasi sampai pekat. Larutan uji ekstrak etil asetat diuji dengan metode cakram pada media agar dua lapis. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Diameter daerah hambat yang terbentuk sekitar cakram diukur dengan menggunakan jangka sorong. Isolasi actinomycetes Sampel tanah dan serasah diperoleh dari Sungai Wain, Kalimantan Timur dan Baturraden, Jawa Tengah. Cara pengambilan tanah dan serasah seperti yang dilaporkan sebelumnya (Ratnakomala dkk., 2007 dan Lisdiyanti dkk., 2007). Perlakuan atas sampel tanah dan serasah seperti yang dilaporkan sebelumnya (Widyastuti dkk., 2004) Pada kegiatan tahun ini ada 6 metode isolasi yang dipakai yaitu 1) sodium dodecyl sulphate-yeast extract (SDS-YE) untuk actinomycetes umum (Hayakawa & Nonomura, 1989), 2) Rehydration and centrifugation (RC) untuk actinomycetes motil (Hayakawa et al.,
2000), 3) oil separation (OS) untuk lipolitik actinomycetes (Yamamura, 2005), 4) dry heat (DH) untuk non streptomyces (Hayakawa et al., 2000), 5) phenol yang merupakan modifikasi dari DH dan 6) RC yang dimodifikasi mengandung vancomycin pada medium HV. Medium untuk pertumbuhan actinomycetes yang dipakai adalah medium HV (Hayakawa & Nonomura, 1987). a. Metode SDS-YE Satu g sampel disuspensikan pada 10 ml aquades steril. Satu ml dari suspensi tersebut diencerkan seri pada larutan fosfat buffer yang mengandung sodium dodecyl sulphate (SDS) dan yeast extract (YE). Pada tabung pada tingkat pengenceran 10-2 dilakukan pemanasan pada 40ºC selama 20 menit, kemudian dilanjutkan pengenceran seri sampai 10-6. Dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 diambil sebanyak 0,1 ml dan diletakkan pada permukaan medium HV + Kabicidin 0,75 mg/L + nalidixic acid 10 mg/L dan diratakan di seluruh permukaan medium. b. Metode RC Sebanyak 0,5 g sampel disuspensikan pada 50ml campuran larutan 10% ekstrak tanah dan 0,01M buffer fosfat dan diinkubasikan selama 60 menit pada suhu ruang. Sebanyak 8 ml larutan tersebut disentrifugasi pada 1500 x g selama 20 menit dan kemudian didiamkan selama 30 menit. Dari lapisan tengah larutan tersebut diambil 1 ml dan dilakukan pengenceran seri. Selanjutnya untuk tingkat pengenceran 10-3, 10-4 dilakukan perlakuan seperti pada SDS-YE. c. Metode OS Sebanyak 0,5 g sampel disuspensikan pada 0,5 ml air + 0,5 ml minyak zaitun dan dicampur/dikocok selama 5 menit, kemudian disentrifugasi pada 1500 x g selama 10 menit. Dari supernatan diambil 0,1 ml dan diletakkan pada medium HV seperti yang digunakan pada RC + chlortetracyclin 50 mg/L dengan perlakuan yang sama seperti sebelumnya. d. Metode DH Sampel tanah dikeringkan pada oven pada suhu 120ºC selama 1 jam. Kurang lebih 1 g sampel tanah dimasukkan pada 10 ml aquadest steril dan diencerkan seri sampai 10-3 kemudian 0,1 ml diletakan pada medium HV seperti yang digunakan pada RC + cycloheximide 50 mg/L dengan perlakuan yang sama seperti sebelumnya. e. Metode phenol Seperti pada metode phenol, tetapi ada modifikasi pada larutan pengencer berupa larutan bufer fosfat + 1,5 % phenol dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Pengenceran dilakukan sampai 10-4. Dari pengenceran 10-3dan 10-4 diambil 0,2 ml dan digunakan medium seperti pada DH. f. Metode RC
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
15
Seperti pada metode RC hanya ada modifikasi pada medium HV yang mengandung vancomycin. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 1-2 minggu. Koloni yang tumbuh di permukaan dan di dasar medium diisolasi dan dipindahkan pada medium YS (yeast extract, 0,2%, starch, 1%, agar, 1,5%, pH 7,0). Pemurnian isolat dilakukan pada medium yang sama. Identifikasi actinomycetes berdasarkan analisa gen 16S rRNA Metoda analisa 16S rDNA mengacu pada metoda Lisdiyanti et al., (1999). a. Preparasi template DNA Kromosom DNA diisolasi dari kultur sel berumur 14 hari yang tumbuh pada medium agar dengan menggunakan Dneasy Plant Maxi Kit (Qiagen). Pada kromosom DNA tersebut dilakukan reaksi penggandaan PCR menggunakan sepasang primer yaitu 9F (forward: 5’-GAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’ posisi 9-27) dan 1541R (Reverse: 5’-AAGGAGGTGATCCAGCC-3’ posisi 1541-1525) (Brosius et al., 1978) untuk mendapatkan daerah gen 16S rRNA yang panjangnya sekitar 1500 bp. Amplifikasi PCR dilakukan dengan volume total 50 µl, yang terdiri dari 1mM untuk masing-masing primer, 1 µg template DNA, 4 µl dNTP, PCR buffer dan 5U Taq polimerase (TAKARA). Kondisi PCR yang dilakukan adalah 95 oC selama 3 menit untuk proses denaturasi target DNA, kemudian sebanyak 30 siklus pada suhu 95 oC selama 3 detik untuk proses denaturasi, 55 oC selama 15 menit untuk proses primer annealing, dan 72 oC selama 1 menit untuk proses primer extention. Selanjutnya 1 siklus pada 72 oC selama 5 menit untuk melengkapi proses amplifikasi dan 4 oC untuk penyimpanan, dengan menggunakan alat GeneAmp PCR System 9700 (Applied Biosystem). Produk PCR selanjutnya diperiksa dengan elektroforesis pada agarose 2%, untuk meyakinkan bahwa kromosom target telah dipotong pada ukuran yang tepat. Produk PCR kemudian
dipurifikasi dengan menggunakan GFX-96 PCR Purification Kit (Amersham Pharmacia Biotech), dengan mengacu pada protokol. b. Preparasi reaksi sekuen gen 16S rRNA Produk PCR yang telah dipurifikasi selanjutnya dilakukan reaksi sekuen dengan menggunakan BigDye Terminator Version 3.1 Cycle Sequencing Kit.. Pada reaksi ini digunakan 6 buah primer yaitu: 9F, 515F (5’GTGCCAAGCAGCC GCGGT-3’ posisi 515-531), 1099F (5’- GCAACGAGCGCAACCC-3’ posisi 10991114), 536R (5’-GTATTACCGCGGCTGC TG-3’ posisi 536-519), 1115R (5’- AGGGTTGCGTCGTTG3’ posisi 1115-1100), dan 1541R . Dalam total reaksi sekuen 10 µL dibutuhkan 2,0 µl Big Dye Terminator premix, 1.0 µl Big dye 5X sequencing buffer, 0.8 µl untuk setiap primer (1 pmol/ul) , dan 0.5 µl template DNA. Kemudian dilakukan reaksi siklus termal untuk sintesa rantai dengan menggunakan alat GeneAmp PCR System 9700 (Applied Biosystem) dengan predenaturasi pada suhu 96 oC selama 1 menit, 45 siklus pada suhu 96 o C selama 10 detik untuk denaturasi, 50 oC selama 5 detik untuk primer annealing, dan 60 oC selama 90 detik untuk primer extention, dan selanjutnya untuk penyimpanan pada suhu 16 oC. Produk sekuen kemudian dipurifikasi dengan menggunakan Dyeex 96 Kit (Qiagen). c. Determinasi urutan basa Dilakukan dengan menggunakan instrumen DNA Sekuenser ABI Prism 3700 (Applied Biosystem). d. Analisis data dan homology search Urutan basa dari 16 S rDNA diterjemahkan dari sekuen gen 16S rRNA dengan menggunakan ATGC Sequencing Analysis Software version 3.7 (ABI Prism) dan dikoreksi secara manual. Data sekuen nukleotida dari isolat isolat aktinomisetes selanjutnya dicari homologi terdekatnya berdasarkan kesamaan gen 16 S rRNA dengan menggunakan BLAST (http://www.ncbi.nlm.nih.gov).
HASIL DAN PEMBAHASAN Bioprospeksi actinomycetes yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen Actinomycetes mempunyai kemampuan bervariasi dalam menghasilkan bahan aktif yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen. Tabel 1, 2 dan 3 berturut-turut menunjukkan daya hambat terhadap mikroorganisme patogen yang ditunjukkan dengan diameter atau luas zona terang yang dihasilkan. Pada A. brassicae zona terang yang dihasilkan sebagian besar menunjukkan lingkaran yang tidak sempurna, sehingga konversi dengan pengukuran luas zona terang menjadi lebih akurat. Dua isolat unggulan (Tabel 1) akan dilanjutkan pada uji deteksi bahan aktif yang dapat menekan R. solanacearum.
Pertumbuhan F.oxysporum tidak secepat atau sesubur mikroorganisme uji lainnya, sehingga sampai saat ini baru terkumpul data dari 30 isolat, sementara pengujian masih terus berlangsung. Adanya isolat actinomycetes yang menunjukkan daya hambat besar terhadap patogen tanaman hortikultura memberikan indikasi untuk dapat mengembangkan produk biopestisida. Beberapa patogen harus diuji pula dengan cara yang sama. Isolasi senyawa aktif actinomycetes Pengulangan terhadap pengukuran daya hambat yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan hasil yang berfluktuasi. Secara umum daya hambat terhadap E. coli yang diperoleh pada medium ISP-2 lebih rendah
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
16
dibanding pada MP. Daya hambat R-192 meningkat hampir 10 kali pada MP, bahkan W06A-38 lebih tinggi lagi (tidak ada daya hambat pada ISP-2 menjadi 14,2 mm pada MP). Hal yang sebaliknya terjadi pada daya hambat yang dihasilkan W06A-38 terhadap P. aureginosa yaitu 11,1 mm pada ISP-2 menjadi tidak ada pada MP. Meskipun demikian, untuk selanjutnya ditetapkan akan dipilih MP.
diperoleh actinomycetes yang bervariasi tetapi masih didominasi oleh Streptomyces. Hal ini masih seperti pola keanekaragaman actinomycetes yang ditemukan di berbagai lokasi di dunia. Dari Sungai Wain diperoleh genus (18 genus) yang lebih tinggi variasinya, terutama genus non Streptomyces (Tabel 4) dibanding dari Baturraden (10 genus). Alasan yang dapat dikemukakan lebih pada kondisi sampelnya (tanah dan serasah).
Tabel 1. Kemampuan menghambat pertumbuhan Ralstonia solanacearum Kisaran diameter zona terang Jumlah isolat yang dihasilkan (mm) 0 - 5,0 126 5,1 – 10,0 12 10,1 – 15,0 6 15,1 – 20,0 8 20,1 – 25,0 2
Tabel 4. Genus actinomycetes yang diperoleh dari Sungai Wain dan Baturaden No Sungai Wain Baturraden Actinoplanes Actinomadura 1. Asanoa Actinoplanes 2. Catenuloplanes Asanoa 3. Gordonia Amycolatopsis 4. Kineospora Catenuloplanes 5. Kitasatospora Dactylosporangium 6. Micromonospora Gordonia 7. Nonomuraea Kineospora 8. Streptacidiphilus Kitasatospora 9. Streptomyces 10. Microtetraspora 11. Microbispora 12. Micromonospora 13. Nocardia 14. Nonomuraea 15. Pseudonocardia 16. Saccharopolyspora 17. Saccharothrix 18. Streptomyces
Tabel 2. Kemampuan menghambat pertumbuhan Alternaria brassicae Kisaran luas zona terang yang Jumlah isolat dihasilkan (cm2) 0 -1,0 139 1,1 – 2,0 3 2,1 – 3,0 10 3,1 – 4,0 4,1 – 5,0 2 Tabel 3. Kemampuan menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum Kisaran diameter zona terang Jumlah isolat yang dihasilkan (mm) 0 - 5,0 28 5,1 – 10,0 2 Isolasi dan identifikasi actinomycetes Dari pengumpulan sampel yang dilakukan, diperoleh 20 sampel tanah dan 5 sampel serasah dari Sungai Wain, sedangkan dari Baturraden sebanyak 10 sampel tanah saja. Dari berbagai metode isolasi yang digunakan,
Dari Tabel 4 terlihat bahwa isolat aktinomisetes yang didapatkan dari Sungai Wain lebih beragam, tergolong ke dalam 18 genera. Sedangkan isolat aktinomisetes yang diperoleh dari Kebun Raya Baturraden tergolong ke dalam 10 genera. Dimana 9 genera diantaranya dapat ditemukan di kedua tempat sampling tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa genusgenus tersebut tersebar luas baik di Kalimantan maupun di Baturraden. Terlihat bahwa bahwa keanekaragaman aktinomisetes di Hutan Lindung Sungai Wain lebih tinggi dibandingkan dengan Kebun Raya Baturraden.
DAFTAR PUSTAKA Cross T. 1982. Actinomycetes: a continuing source of new metabolites. Developments in Industrial Microbiology. 23: 1-18. Overton J. 1996. Ecologically Based Pest Mangement ± New Solutions for a New Century. Washington, DC: National Academy of Sciences Press. Hayakawa M. & Nonomura H. 1989. A new method for the intensive isolation of actinomycetes from soil. Actinomycetol 3(2): 95-104. Hayakawa M, Otoguro M, Takeuchi T, Yamazaki T & Iimura Y. 2000. Application of a method incorporating differential centrifugation for selective isolation of motile actinomycetes in soil and plant litter. Anthonie van Leeuwenhoek 78: 171-185.
Hayakawa M & Nonomura H. 1987. Efficacy of artificial humic acid as a selective nutrient in HV agar used for the isolation of soil actinomycetes. J. Ferment Technol 65(6): 609-616. Lisdiyanti P, Widyastuti Y & Kartina G. 2007. Laporan perjalanan ke Baturraden, Jateng. Kegiatan DIPA 2007 pada Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI (tidak dipublikasikan). Ratnakomala S, Ridwan R & Rohmatussolihat. 2007. Laporan perjalanan ke Sungai Wain, Kaltim. Kegiatan DIPA 2007 pada Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI (tidak dipublikasikan). Widyastuti Y, Rosalinda N, Lisdiyanti P, Ratnakomala S, Kartina G & Ridwan R. 2004. Keanekaragaman aktinomisetes Indonesia: Isolasi, identifikasi dan skrining penghasil antibiotika. Laporan teknis DIPA tahun 2004 pada Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
17
ANALISA MIKROBA PENDEGRADASI MINYAK UNTUK APLIKASI BIOREMEDIASI Yopi, Theresia Umi, Dwi Susilaningsih, Ahmad Thontowi, Awan Purnawan, Swastika Praharyawan. dan Khairul Anam Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Indonesia dengan luas lautnya yang meliputi 2/3 dari luas total negara memiliki potensi biodiversitas yang tinggi dan ditambah pula beroperasinya industri minyak. Wilayah laut perairan Indonesia sebagai jalur pembawa tanker minyak dan ini sering sekali terjadi kecelakaan atau kebocoran disamping itu juga diperburuk dengan kebocoran pipa-pipa penyulingan di lepas pantai. Berbagai macam zat berbahaya yang terkandung dalam minyak dilepaskan ke lingkungan perairan. Kasus pencemaran ini belum disikapi dan ditanggulangi dengan serius. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen biologi untuk biodegradasi senyawa hidrokarbon adalah satu langkah solusi untuk masalah tersebut, karena teknologi ini memiliki efesiensi tinggi dan ramah lingkungan. Komponen minyak mentah terdiri dari lebih 100 jenis senyawa yang terkelompok dalam alkana, aromatik, resin dan asphaltene. Komponen tersebut merupakan polutan utama di tanah dan lingkungan perairan serta bersifat toksik. Informasi konsorsium mikroba pendegradasi mintak mentah sangat diperlukan. Ini sesuai dengan satu proses bioremediasi yaitu teknik biostimulasi yang aplikasinya lebih efektif karena langsung merangsang aktivitas mikroba yang ada di daerah cemaran limbah. Sasaran dari penelitian ini ditekankan untuk identifikasi konsorsium mikroorganisme yang ada di lingkungan tercemar secara genetika dan karakterisasi mikroorganisme potensial yang mampu mendegradasi minyak, terutama senyawa hidrokarbon aromatik. Pada tahun ini telah dilakukan analisa mikroba pendegradasi minyak dari daerah kepulauan seribu (pulau Pramuka dan pulau Pari). Dari area tersebut telah diambil sample air laut dan oil balls. Dengan metoda pengkayaan telah dilakukan isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi komponen minyak dengan menggunakan teknik sublimasi kemudian isolat tersebut dimurnikan dan dipreservasi. Analisa partial sekuens 16S rDNA dari beberapa isolat potensial tersebut dibandingkan dengan sekuens seluruh bakteria yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST menunjukkan adanya kelompok mikroba murni potensial dalam degradasi senyawa poli aromatik hidrokarbon dan mikroba yang dapat menghasilkan surfaktan yang penting untuk membantu proses degradasi minyak dilapangan.
Kata kunci: Pencemaran minyak, konsorsium bakteria, analisa homologi, kepulauan Seribu, bioremediasi PENDAHULUAN Sebagai akibat industrialisasi di abad 20, berbagai macam zat berbahaya dilepaskan ke lingkungan. Di lingkungan perairan, pencemaran minyak disebabkan oleh tumpahan minyak akibat transportasi, kebocoran pipa-pipa penyulingan di lepas pantai, polutan dan lainlainnya. Penyumbang polutan berasal juga dari operasi produksi, pengolahan dan proses penyimpanan. Pada tahap awal dari tumpahan minyak, minyak dengan fraksi ringan akan menguap, sedangkan fraksi yang lebih berat secara pelan-pelan akan terdegradasi melalui proses photo-oksidasi dan biodegradasi (Harayama et al., 2004). Disinilah mikroba khususnya bakteri mempunyai peranan penting dalam proses degradasi tetapi hasil biodegradasi ini sangat tergantung dari nutrisi (Leahly et al., 1990). Penambahan unsur P (phospor) dan N (nitrogen) dapat memacu proses biodegradasi minyak oleh mikroba di lingkungan perairan laut (Head et al., 1999). Minyak merupakan campuran komplek hidrokarbon dan senyawa organik lainnya, yang terdiri lebih dari seratus senyawa. Senyawa ini diklasifikasikan menjadi 4 kelompok : hidrokarbon rantai jenuh (n-alkana, isoalkana, sikloalkana), senyawa aromatik, asphaltene dan resin (N,S,O). Hidrokarbon rantai jenuh yang mengikuti struktur kimianya termasuk dalam kelompok alkana (paraffin) dan sikloalkana (napthenes) yang merupakan komponen utama minyak mentah. Aromatik hidrokarbon mempunyai satu atau lebih cincin aromatik
dengan atau tanpa tersubtitusi(s) alkil. Hidrokarbon dengan lebih dari satu cincin aromatik disebut dengan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), sedangkan yang tersubtitusi dikenal dengan polisiklik aromatik hidrokarbon subtitusi (PAHs). Prosentase senyawa hidrokarbon aromatic sangat melimpah dalam minyak dan batubara dan umumnya senyawa-senyawa dalam kategori ini bersifat toksik karsinogenik dan mutagenik. Sedangkan resin dan asphaltene berisi komponen hidrokarbon non polar, strukturnya sangat komplek dan tidak banyak diketahui (Harayama et al., 2004). Mikroba seperti bakteri, kapang dan khamir diketahui mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon. Mikroba tersebut mampu menggunakan hidrokarbon sebagai sumber energi dan karbon,tetapi tidak dapat menggunakan sakarida dan asam amino (Harayama et al., 1999). Mikroba tersebut ada di manamana secara alami dan mempunyai kemampuan mendegradasi berbagai macam hidrokarbon (rantai pendek, rantai panjang, aromatik termasuk polisiklik aromatik). Bakteri dan khamir dominan mendegradasi dalam sistem aquatik sementara kapang dan bakteri pendegradasi utama dalam lingkungan tanah. Mikroba yang diketahui mampu sebagai pendegradasi minyak mentah terutama dari spesies Nocardia, Pseudomonas, Acinetobacter, Flavobacterium, Microccus, Arthrobacter, Corynobacterium, Achromobacter, Rhodococcus, Alcaligenes, Mycobacterium, Bacilus,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
18
Aspergilus, Mucor, Fusarium, Penicillium, Rhodotorula, Candida and Sporobolomycetes . Kecepatan mekanisme degradasi minyak atau limbah minyak tergantung pada beberapa faktor meliputi kondisi fisik, faktor alami (suhu, nutrisi, kandungan air, pH, DO, toksisitas dan kelarutan dari senyawa kimia toksik), konsentrasi dan ratio dari bermacam-macan fraksi hidrokarbon, ketersedian mikroba dan kemampuannya. Secara umum proses biodegradasi dari komponen minyak bumi menurun dengan urutan : n-alkana> alkana rantai cabang> alkena rantai cabang> n-alkil aromatik dengan berat molekul rendah> monoaromatik> alkana siklik> polisiklik aromatik>asphalthene (Van Hamme et al., 2003). Mekanisme biodegradasi senyawa PAH didaratan telah banyak diketahui tetapi untuk lingkungan perairan dirasakan masih kurang informasinya dan yang mengarah kearah analisis genetika jarang ditemukan. Untuk asphaltene dan resin proses biodegradasi sangat susah dilakukan karena resistan terhadap mikroba dan dilakukan dengan menggunakan biosurfaktan. Wilayah perairan Indonesia yang mengalami polusi akibat tumpahan minyak semakin meluas, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2000 tumpahan minyak telah mencapai 167000 kL. Menurut data tahun 1993 daerah yang paling rawan terjadinya kecelakaan adalah Selat Malaka, karena daerah ini merupakan lalu lintas yang padat mencapai 274 kapal/hari. Selama dekakade 1975-1997 tercatat 104 kecelakaan tanker dan merupakan pencemaran yang paling parah (Kompas, 2001). Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen biologi untuk biodegradasi senyawa hidrokarbon adalah satu langkah solusi untuk masalah tersebut karena teknologi ini memiliki efesiensi tinggi dan ramah lingkungan. Mekanisme proses bioremediasi meliputi bioaugmentasi
dan biostimulasi. Mekanisme bioaugmentasi adalah dengan cara menambahkan mikroba dan nutrisi ke dalam tempat yang tercemar, sedangkan biostimulasi yaitu penambahan nutrisi yang spesifik untuk merangsang pertumbuhan mikrooraganisme yang telah ada dilingkungan yang tercemar. Biostimulasi memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan bioaugmentasi, karena proses bioremediasi itu sangat tergantung oleh konsorsium mikroba yang ada di daerah tercemar itu. Karena itu mengetahui komposisi mikroorganisme yang ada didaerah cemaran menjadi hal yang signifiikan. Potensi biodiversitas mikroorganisme Indonesia sangat tinggi mengingat luas perairan Indonesia yang meliputi 2/3 luas total negara. Selama ini bioremediasi banyak dilakukan dengan sistem bioaugmentasi, tetapi mekanisme tersebut belum banyak memberikan pemecahan yang berarti dan ditambahkan pula pendekatan secara genetika belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi konsorsium mikroba laut dari daerah cemaran minyak yang potensial dan menganalisanya dengan analisis molekuler. Penelitian tentang bioremediasi untuk mengatasi masalah tumpahan minyak selama ini telah banyak dilakukan di laut bagian utara yang mempunyai kondisi suhu dibawah 20oC, sedangkan diperairan wilayah Indonesia mempunyai kondisi suhu 30oC dan pendekatan secara genetika belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsorsium mikroba dari perairan yang tercemar oleh minyak mentah serta menganalisa aktivitas mikroba selektif terhadap beberapa komponen minyak mentah yaitu PAH. Diharapkan dengan terkumpulnya informasi database konsorsium mikroorganisme, proses aplikasi bioremediasi di lingkungan tercemar dapat direalisasikan secara tepat.
BAHAN DAN CARA KERJA Media pengkayaan dan Isolasi bakteri Zona area sample dari daerah perairan di teluk Jakarta, Muara kamal yang terkontaminasi oleh limbah domestik dari para nelayan yang tinggal di pesisirnya. Sampel berupa air laut dan sedimen yang kemudian dimasukan dalam media pengkayaan ONR-7 ditambah dengan minyak bumi (Arabian crude oil). Sample diinkubasi di shaker pada suhu ruang sampai kandungan minyaknya hilang. Isolasi bakteri dilakukan setelah proses inkubasi berlangsung selama 2 dan 4 pekan dengan metoda sublimasi (Alley & Brown, 2000). menggunakan media ONR-7 ditambah senyawa
hidrokarbon aromatik. Selanjutnya dari isolat yang positif dilakukan proses purifikasi dengan media marine agar. Partial sekuens 16S rDNA Untuk mendapat DNA, bakteri murni dibiakan pada suhu kamar dengan media marine broth, kemudian DNA ekstraksi dilakukan dengan menggunakan Qiagen kit. Partial sekuens 16S rDNA (Woese et al., 1990) dari isolat murni dibandingkan dengan seluruh sekuens bakteri yang ada di database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST.
HASIL DAN PEMBAHASAN Media pengkayaan dan Isolasi bakteri pengurai senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik
Tempat sampling dilakukan adalah Pulau Pramuka, sample berupa oil balls, gumpalan minyak yang terdapat
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
19
di pesisir pantai dan air laut dari Pulau Pari. Kepulauan Seribu berkali-kali mengalami pencemaran dari kapalkapal tanker besar. Dan hingga saat inipun dibeberapa lokasi seperi Pulau Pramuka masih tersisa cemaran minyak yang menggumpal. Sample dari ke dua area tersebut dimasukan ke dalam media ONR-7 dengan ditambah minyak bumi dan dikocok dalam inkubator suhu ruang. Dari hasil inkubasi selama 2 minggu terlihat ada perubahan kekeruhan dalam medai menunjukkan terjadinya proses pertumbuhan mikroba dan proses degradasi minyak oleh mikroba tersebut. Isolasi bakteria dilakukan dua kali setelah dua dan empat pekan masa inkubasi. Dari masing-masing media pengkayaan diambil sample, kemudian sample tersebut diencerkan dan diinokulasi pada media ONR-7 agar. Kemudian media dengan mikroba tersebut disublimasi dengan berbagai jenis senyawa aromatik, yaitu fluorene, penanthrene, dibenzothiaphene, fluorenthrene, penothiazine, pyrene dan napthalene. Teknik sublimasi dan penentuan suhu mengikuti prosedur yang sudah ada (Alley & Brown, 2000). Hanya isolat positif yang memberikan zone bening atau perubahan warna saja yang diseleksi untuk proses selanjutnya. Dari hasil teknik sublimasi diperoleh ada sekitar 40 bakteri dari sample Pulau Pari. Untuk sample dari Pulau Pramuka tidak ada mikroba positif, jadi kami berusaha melakukan isolasi mikroba secara langsung dan memperoleh 50 isolat mikroba murni. Tetapi dari hasil analisa bioassay dalam proses degradasi komponene minyak dan penghasil surfaktan tidak diperoleh mikroba murni yang positif juga. Memang proses isolasi dari sample oil balls cukup sulit karena komposisi dan kandungan mikrobanya juga sedikit. Dan juga cara metoda pengkayaan dan media yang digunakan kurang sesuai sehingga tidak banyak mikroba yang bisa tumbuh. Selanjutnya penelitian difokuskan pada isolat murni potensial dari Pulau Pari. Dari sekitar 40 isolat, kemudian dilakukan pengecekan ulang dan dipilih sekitar 36 isolat yang diprediksi dapat mendegradasi minimal satu jenis senyawa Poli aromatik hidrokarbon (PAH) yang merupakan satu komponen minyak bumi (Tabel 1). Analisa homologi partial sekuens 16S rDNA Setelah proses pemurnian mikroba, dilakukan ekstraksi DNA dari seluruh isolat menggunakan Qiagen DNA-extraction kit. Kemudian dilakukan reaksi PCR dan sekuens. Data hasil sekuens dianalisa dengan database dari seluruh data 16S rDNA bakteria yang ada di Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST. Hasil analisa homologi 16S DNA seluruh isolat ditunjukkan pada Tabel 2 dibawah ini. Ada beberapa isolat yang belum berhasil. Dari hasil tersebut diperoleh beberapa isolat yang diprediksi sebagai familia alcanivorax dan pseudomonadales. Kedua familia tersebut diketahui sebagai kelompok mikroba yang punya kemampuan tinggi dalam proses degradasi
minyak dilingkungan. Pada ordo Oceonospirillales terdapat famili Alcanivoraceae, genus Alcanivorac (Yakimov et al., 1998) yang memiliki enzim monooxygenase yang penting dalam katabolisme senyawa alkana, salah satu komponen utama minyak. Pada ordo Pseudomonadales terdapat falimi Pseudomonadales, genus Pseudomonas yang dikenal sebagai bakteri yang bisa mencerna alkana dan senyawa aromatik polisiklik hidrokarbon. Pseudomonas mudah diisolasi dari lingkungan tercemar. Isolasi pseudomonas dari lingkungan tanah tercemar sudah dilakukan, begitu juga uji aktivitasnya dalam proses degradasi senyawa cemaran. Kloning kelompok gen penyandi enzim-enzim terkait dalam proses katabolisme senyawa minyak juga telah dilakukan. Ini menunjukkan kemampuan kelompok Pseudomonas dalam proses bioremediasi. Berdasarkan hasil analisa homologi deret 16S rDNA menunjukkan bahwa di lingkungan pulau Pari terdapat komunitas mikroba yang dapat mendegradasi komponen minyak. Pulau Pramuka tidak jauh dari Pulau Pari dan diprediksi memiliki komunitas mikroba yang sama. Tetapi proses degradasi komponen minyak yang ringan dan yang sudah membentuk oil ball menjadi berbeda tergantung tingginya daya mikroba tersbeut dalam proses degradasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh kualitas nutrisi, kandungan oksigen dan faktor lainnya yang sangat mendukung mikroba dalam proses degradasi tersebut. Pada tahap ini baru dilakukan proses isolasi dan karakterisasi mikroba laut yang potensial dalam degradasi minyak. Untuk tahap selanjutnya perlu dilakukan proses penelitian biostimulasi dengan penambahan nutrisi dan lainnya dalam skala mikrocosm dan melihat mikroba dominan yang terkait dalam proses degradasi minyak tersebut dilapangan. Proses biodegradasi senyawa-senyawa berbahaya seperti senyawa aromatik polisiklik hidrokarbon sudah terjadi secara alami tetapi berjalan lambat. Informasi database mikroba, nutrisi yang dibutuhkan dan informasi lainnya sangat diperlukan untuk menunjangk aplikasi bioremediasi dilingkungan perairan. Proses pembersihan lingkungan yang termudah adalah dengan membatasi buangan limbah secara langsung ke lingkungan, dan terhadap lingkungan yang sudah tercemar bisa diberikan senyawa tambahan sesuai kebutuhan mikroba yang hidup dilingkungan tersebut sehingga proses pembersihan berlangsung lebih efesien. Analisa bakteri penghasil surfaktan Peranan surfaktan dalam proses bioremediasi lingkungan, antara lain adalah menurunkan tegangan permukaan dan interfacial, meningkatkan proses perolehan minyak dan meningkatkan ketersediaan mikroba. Surfaktan (surface active agent) terdiri atas hidrofobik dan hidrofilik pada molekul yang sama. Di alam surfaktan adalah suatu senyawa yang diproduksi oleh mikroba dengan tujuan untuk menurunkan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
20
tegangan minyak agar mikroba mendegradasi minyak tersebut.
mudah
untuk
Tabel 1. Analisa kemampuan isolat bakteri dari Muara kamal dalam degradasi beberapa senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH). Degradasi Senyawa PAH No Isolat Phe Dbz Flu Phen Pry Fl 1
Y
2
Y
Dari analisa penghasil surfaktan terhadap 36 bakteri murni di atas diperoleh 1 isolat positif yaitu isolat nomor 20 yang diprediksi sebagai Alcanivorax sp.( tabel 2, isolat no.20). Tabel 2. Analisa homologi sekuens 16S isolat murni potensial dari pulau Pari. No. isolat
%
3
Homology AY445076.1 Muricauda aquimarina strain SW-72 AY706938.1 Erythrobacter vulgaris strain 022 4-7 AY445076.1 Muricauda aquimarina strain SW-72
99
1 2
99 99
3
Y
Y
4
Y
Y
5
Y
4
AY669166.1 Pseudoalteromonas sp. OC-5
6
Y
5
AB029824.1 Pseudoalteromonas sp. S511-1
99
7
Y
6
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
8
Y
7
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
8
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
9
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
11
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
12
95 98
9
Y
Y Y
Y Y
Y Y
96
10
Y
Y
Y
Y
Y
11
Y
Y
Y
Y
Y
12
Y
Y
Y
Y
Y
13
Y
Y
Y
Y
Y
13
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3 AY647305.1 Haererehalobacter ostenderis strain MSU3710
14
Y
Y
14
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
15
Y
Y
Y
Y
15
16
Y
Y
Y
Y
16
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
17
DQ831000.1 Novosphingobium sp. FND-3
95
19
AB266066.1 Sphingopyxis sp. 0-1A AY683531.1 Alcanivorax dieselolei strain NO1A clone 1
96
17
Y
Y
Y
Y
18
Y
Y
Y
Y
19
Y
Y
20
Y
Y
21
Y
Y
Y
Y
Y
20
Y
Y
21
Y
23
Y
22
Y
23
Y
24
Y
25
Y
Y
26
Y
Y
Y
Y
27
Y
28 29
Y
30
Y
31
Y
32
Y
33
Y
24
Y
35
Y
99 97
25
100
26
DQ659435.1 Thalassospira sp. DBT-2
99
99
27
DQ659435.1 Thalassospira sp. DBT-2
99
28
AM294944.1 Thalassospira lucentensis
99
29
AM111022.1 Halomonas sp.
99
30
AM111022.1 Halomonas sp.
99
31
DQ523500.1 Bacillus pumilus strain B402 AY647305.1 Haererehalobacter ostenderis strain MSU3710 AF513476.1 Rhodospirillaceae bacterium PH30 AF513476.1 Rhodospirillaceae bacterium PH30 AB180392.1 Rhodospirillaceae bacterium No. 71
99
33 34
34
99
DQ312361.1 Erythrobacter sp. GY-2 AY683531.1 Alcanivorax dieselolei strain NO1A
32 Y
AM294944.1 Thalassospira lucentensis AF500005.1 Erythrobacter flavus strain SW52
35
98 99 99 99
36 Y Keterangan: [Phenanthere (Phe), Dibenzothiaphene (Dbz), Fluorenthrene (Flu), Penothiazine (Phen), Pyrene (Pry), Fluorene (Fl), Napthalene (Npt)]
Pada kontaminasi cemaran minyak dirpediksi ada bakteri yang dapta memproduksi surfaktan tersebut. Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
21
KESIMPULAN Tiga puluh enam isolat potensial dalam degradasi senyawa PAH telah diisolasi dari air laut pulau Pari dan 1 isolat diprediksi dapat memproduksi surfaktan. 32 isolat murni tersebut telah dikarakterisasi dengan analisa sekuens 16S rDNA dan dibandingkan homologinya
dengan data Gen-Bank. Hasil analisa menunjukkan bahwa adanya beberapa isolat yang diprediksi termasuk kelompok kelompok Alcanivorac dan Pseudomonas sp. yang diketahui sebagai kelompok bakteri yang mampu memdegradasi komponen minyak.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung oleh Program DIPA Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2007 dan kegiatan kerjasama
LIPI dan NITE-Jepang dengan dana penelitian dari NEDO (Jepang).
DAFTAR PUSTAKA Alley J.F. & L.R, Brown. 2000. Use of sublimation to prepare solid microbial media with water-insoluble substrates. Applied and Environmental Micobiology, 66 (1), 439 – 442. Harayama S, Kasai Y and Hara A. 2004 Microbial communities in oilcontaminated seawater. Current opinion in Biotechnology. 15:205214. Harayama S, Kishira H. Kasai Y and Shubutsu K. 1999. Petroleum biodegradation in marine environments. J mol Microbio Biotechnol. 1(1):63-70 Head Im, Jones DM and Roling WF. 2006. Marine microorganisms make a meal of oil. Nat. Rev. Microbiol. 4:173-182
Leahly JG and Colwell RR. 1990. Microbial degradation of hycrocarbons in the environment. Microbiol Rev. 54:305-315 Van Hamme JD, Singh A and Ward OP. 2003. Recent advances in petroleum microbiology. Microbiol Mol Biol Rev. 67:503-549 Woese, C. R., Kandler, O. And Wheelis, M. L. 1990. Proc. Natl. Acad. Sco. USA 87. 4576-4579 Yakimov, M.M., Golyshin, P. N., Lang, S., Moore, E. R. B., Abraham, W-R., Lunsdorf, H., and Timmis, K. N. 1998. Alcanivorax borkumensis gen. Nov., sp. Nov., a new, hydrocarbon-degrading and surfactant. Intl. J. Syst. Bacterial., 48, 339-348
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
22
EKSPRESI GEN PDC PENYANDI ENZIM PYRUVATE DECARBOXYLASE PADA L. pentosus UNTUK PRODUKSI ETANOL Budi Saksono, Elvi Yetti, Lita Triratna, Puspita Suci Wulandari, Gunawan Ari Wibowo Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Untuk merekayasa Lactobacillus pentosus agar bisa berfungsi sebagai strain dalam proses biokonversi biomassa menjadi etanol, dilakukan rekayasa, baik rekayasa secara genotype maupuun phenotype. Rekayasa genotype dilakukan dengan menginsersikan gen pdc ke dalam strain tersebut, sedangkan rekayasa phenotype dilakukan dengan meningkatkan toleransi strain terhadap lingkungan beralkohol tinggi. Untuk itu telah dilakukan cloning gen pdc dari Zymobacter palmae maupun dari Zymomonas mobilis. Amplifikasi gen pdc dengan teknik PCR menghasilkan fragmen dengan ukuran 1.757 kb untuk Zp-pdc dan 1.855 kb untuk Zm-pdc. Fragmen PCR kemudian disisipkan pada plasmid pGEM-T easy dan ditransformasikan ke dalam competent cell E. coli DH5α. Dari 24 koloni transforman hanya didapatkan 1 klon positif untuk Zp-pdc dan dari 10 koloni transforman didapatkan 4 positif klon untuk Zm-pdc. Analisa sekuen dari kedua gen tersebut, mengindikasikan bahwa fragmen PCR tersebut adalah gen pdc. Rekayasa evolusi untuk meningkatkan toleransi strain terhadap etanol 5% telah dilakukan. Penumbuhan berulang secara kontinu pada media MRS beretanol 5% telah menghasilkan strain mutan yang toleran terhadap media beretanol 5% tersebut. Pembuatan pustaka mutan juga telah menghasilkan mutan potensial, yang memiliki kemampuan biokonversi glukosa menjadi asam laktat lebih baik dibanding galur liar.
Kata kunci: gen pdc, bioetanol, rekayasa metabolik, Lactobacillus pentosus PENDAHULUAN Salah satu fokus pengembangan sumber energi baru dan terbarukan adalah bioetanol, dimana permintaan bioetanol dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tentunya untuk menjawab permasalahan ini diperlukan pengembangan strain baru yang mampu memproduksi etanol secara lebih efisien (Thomas, 2005). Arah teknologi produksi etanol dunia saat ini ditekankan pada pemanfaatan biomasa sebagai bahan baku produksi etanol dengan beberapa alasan, seperti kontribusinya pada pengembangan yang berkesinambungan (Monique et al., 2003), tersedia secara berlimpah, dan tentunya ramah lingkungan karena bisa mengurangi emisi gas dan memecahkan persoalan limbah (Lynd, 1996). Di Indonesia, limbah sekam nasional, yang kaya akan kandungan glukosa dan xilosa, mencapai 21,6 juta ton (sumber laporan BPS, 2005). Saat ini, satu-satunya teknologi yang mampu menyerap limbah sebesar itu adalah teknologi produksi bioetanol. Seandainya seluruh sekam dikonversi menjadi etanol, akan terproduksi + 6 juta ton (belum termasuk selulosa) etanol, yang akan memberikan devisa sebesar 18 trilyun rupiah. Hal ini belum termasuk pengolahan jerami dan limbah batang jagung. Permasalahannya adalah hingga saat ini, teknologi ini masih belum dikembangkan di Indonesia. Bahkan seperti pada Tabel 1, pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku etanol, baru dikembangkan di Kanada mulai tahun 2003 (Yan Lin et al., 2006).
Tabel 1. Daftar pilot plan untuk produksi etanol dari biomasa
Disadur dari Appl Microbiol Biotechnol (2006) 69; 627 - 642
Rekayasa Zymomonas mobilis, Saccharomyces cerevisae, dan Escherichia coli telah dilakukan. Meskipun demikian, masih banyak kelemahan.. Secara umum strain tersebut belum mampu menghasilkan etanol secara optimal. Pencarian dan rekayasa mikroba lain sebagai alternatif dari kedua mikroba tersebut masih terus dilakukan. Guadalupe et al., (2005), melaporkan bahwa Lactobacillus pentosus yang diisolasi merupakan bakteri asam laktat yang mampu hidup pada media hidrolizate tanpa mengalami hambatan dari kandungan furfural maupun asam asetat, dan menghasilkan asam laktat sebagai produk utama. Dalam penelitian ini akan dilakukan rekayasa L. pentosus agar mampu menghasilkan etanol dari limbah pertanian secara efektif, dengan memasukkan gen pdc serta meningkatkan toleransinya terhadap etanol.
BAHAN DAN CARA KERJA Efek perubahan pH media selama kultur terhadap pertumbuhan Lactobacillus
Tiga puluh gram kedelai direndam selama semalam. Kedelai yang telah direndam, kemudian diblender
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
23
selama 5 menit dengan air panas untuk menginaktifkan enzim lipoksigenase, dan volume ditera hingga 300 ml dan dididihkan selama 5 menit. Campuran kemudian disaring untuk mendapatkan susu kedelai. Susu kedelai, kemudian disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit, dan kemudian digunakan sebagai media tumbuh bakteri terpilih. Fermentasi 50 ml susu kedelai dilakukan dengan menambah isolat yang telah dikultur terlebih dahulu pada suhu 37°C, 200 rpm selama 16 jam. Sebanyak 15 X 104 koloni ditambahkan ke dalam susu kedelai steril, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama jam yang telah ditetapkan. Pada tiap jam yang ditetapkan, sampel diambil, kemudian dilakukan serangkaian penelitian, meliputi pengukuran pH, pertumbuhan bakteri. Untuk pengukuran pH dan pertumbuhan bakteri, sampel diambil pada jam ke 0, 3, 6, 9, 12, 24, dan 48. Karakterisasi pada media xylosa L. pentosus diinokulasi pada media standar, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam untuk diremajakan. Kultur kemudian dibiakkan pada media Luria Bertani (LB) cair baru yang mengandung xylosa dan campuran xylosa dan glukosa. Pertumbuhan mikroba diukur dengan spektrofotometri dengan panjang gelombang 600nm (OD600nm). Sebagai kontrol, pada saat yang bersamaan, kultur juga dibiakkan pada media yang mengandung glukosa. Karakterisasi pada media etanol L. pentosus diinokulasi pada media standar kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam untuk peremajaan. Kultur kemudian dibiakkan pada media MRS cair baru yang mengandung etanol dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, kemudian diukur pertumbuhannya dengan memonitor pertumbuhan pada OD600nm. Selain itu, jumlah koloni hidup juga dilakukan dengan menyebar 100µL kultur pada media MRS padat dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Bioinformatika gen pdc Bioinformatika gen pdc dilakukan dengan mengambil data gene di NCBI, DDBJ, dan EBI. Beberapa data gene didown load, kemudian dianalisa baik pada level sekuen basa maupun sekuen asam amino dengan menggunakan program ClustalX versi 1.7, bioedit sofware. Sedangkan design primer dilakukan dengan menggunakan program Genomic Expression, DNA calculator software dan PCR insilico FastPCR. Penentuan sumber gene disesuaikan dengan host, L. pentosus, yang meliputi kandungan GC rendah (<50%), sebisa mungkin bersumber dari gram positive untuk menghindari perbedaan codon usage atau berbasis pada jurnal. Isolasi genom
Isolasi genom dari Z. palmae, Z. mobilis dan Lactobacillus plantarum dilakukan dengan menggunakan genome extraction kit dari Fermentas. Z. mobilis dibiakkan pada media yang mengandung yeast extract 0.5%, glucose 2%, pH 7. Sedangkan Z. palmae dibiakkan pada media yang mengandung Maltose 2%, Yeast extract 1%, KH2PO4 0.2%, NaCl 0.5%, pH 6. Setelah 18 jam inkubasi pada suhu 37°C, kultur kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan sel biomassa. Sel biomassa dari Z. palmae dan Z. mobilis kemudian digunakan untuk isolasi genome. Isolasi genome dilakukan sesuai dengan protokol dari kit tersebut dengan sedikit modifikasi. Genome DNA yang didapat, kemudian dilarutkan pada buffer 1X TE yang mengandung RNAse (1µg/ml) dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Setelah itu, analisa kualitas ekstrak genome dilakukan dengan menggunakan DNA elektroforesis. PCR gen pdc Amplifikasi gen pdc dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer yang telah didesain terlebih dahulu dan genome Z. palmae dan Z. mobilis sebagai template. Adapun kondisi PCR terhadap kedua sumber gen adalah sebagai berikut: inisial denaturasi; 94°C, 2’; denaturasi; 94°C, 30”, annealing; 50°C, 30”, elongasi, 72°C, 1’ dilakukan pengulangan 35 kali; final elongasi, 72°C, 7’. Hasil PCR kemudian dielektroforesis pada 1% agarose. Gel distaining dengan EtBr dan divisualisasi menggunakan sinar UV. Insersi dan transformasi gen pdc Hasil PCR kemudian dipurifikasi menggunakan DNA purifikasi Kit (Fermentas) dan kemudian diligasi dengan kloning vektor pGEM-T Easy (Promega) pada suhu 4°C selama 18 jam. Hasil ligasi kemudian ditransformasikan ke dalam sel kompeten E. coli DH5α dengan teknik “heat shock” (Sambrook). Setelah ditransformasi, sel kemudian disebar pada media LB yang mengandung ampicillin (50µg/ml), X-gal dan IPTG untuk seleksi positive clone. Transforman yang tumbuh pada media seleksi, adalah transforman kandidat positive clone. Seleksi positive clone dilakukan dengan mengkultur transforman yang tumbuh pada media LB yang mengandung ampicillin selama semalam, kemudian dilakukan ekstraksi plasmid dengan teknik miniprep (Sambrook) dan reaksi enzimatik menggunakan enzim EcoRI dan SalI. DNA kemudian dielektroforesis pada 1% agarose gel. Sequence analisis Positive clone kemudian digunakan sebagai sampel untuk sekuensing dengan cara mengirim sampel tersebut ke BPPT-Serpong. Selain itu, analisa basa berdasarkan codon usage L. pentosus juga akan dilakukan untuk melihat ada tidaknya perubahan pada level asam amino.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
24
Evolusi Engineering untuk meningkatkan toleransi terhadap etanol L. pentosus diinokulasi pada media standar kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam untuk peremajaan. Kultur kemudian dibiakkan pada media MRS cair baru yang mengandung etanol dengan konsentrasi 0%, 5%. Kemudian diukur pertumbuhannya dengan memonitor pertumbuhan pada OD600nm. Selain itu, jumlah koloni hidup juga dilakukan dengan menyebar 100µL kultur pada media MRS padat dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Sedangkan sisanya ditambah dengan glycerol untuk dibiakkan kembali pada media yang mengandung etanol dengan konsentrasi 0% dan 5%. Penelitian ini diulang terus menerus, hingga kurva pertumbuhan strain pada etanol 5% mendekati kurva pertumbuhan pada etanol 0%. Pembuatan mutan dengan sinar UV L. pentosus dan L. plantarum dibiakkan pada media MRS dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 16 jam. Kultur kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan sel biomassa. Sel biomassa kemudian disuspensi dengan distilled water steril. Suspensi kemudian dilakukan penyinaran UV pada 1200 Joule/cm2 selama 0, 30”, 60”, 5’, 10’, 15’, dan 30’. Suspensi kemudian disebar pada media MRS dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam. Koloni yang tumbuh kemudian dihitung dan digunakan sebagai pustaka mutan. Pustaka mutan diinkubasi pada suhu 37°C selam 16 jam, dan diukur pertumbuhan selnya pada OD600nm. Pembuatan metoda seleksi mutan unggul Karena kit untuk uji asam laktat sangat mahal berkisar 2 juta rupiah untuk 30 sampel, sedangkan HPLC juga relatif mahal, berkisar 20 ribu rupiah per sampel, maka kami mencoba mengembangkan teknik seleksi mutan unggul yang mampu memproduksi asam laktat secara lebih tinggi dibanding wild type. Teknik ini berbasis pada proses metabolisme glukosa menjadi asam laktat pada bakteri asam laktat, khususnya homo fermentatif. Mutan hasil koleksi ditumbuhkan pada media MRS standar. Setelah 16 jam fermentasi, kultur diukur pertumbuhannya pada panjang gelombang OD600nm. Kultur kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan supernatannya. Supernatan kemudian digunakan sebagai sampel untuk diuji intensitas glukosanya pada kertas TLC. Sampel diaplikasikan ke TLC plate. Setelah kering, TLC kemudian dicelup pada larutan H2SO4/Etanol, dan dikeringkan pada open pada suhu 110°C.
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek perubahan pH selama kultur terhadap pertumbuhan Lactobacillus Hasil uji pengaruh perubahan pH selama fermentasi dan hubungannya dengan pertumbuhan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2. Dari grafik bisa disimpulkan adanya hubungan antara pengaruh pH terhadap pertumbuhan L. pentosus. pH kultur L. plantarum mengalami penurunan yang sangat drastis dalam 12 jam fermentasi, diikuti dengan L. pentosus yang relatif landai, dan baru pada jam ke 24 pH kultur relatif stabil pada posisi 4,78. Baik L. plantarum maupun L. pentosus, pertumbuhannya memasuki fase eksponensial hingga jam ke 12, tetapi kemudian memasuki fase stationer setelah jam ke 12 fermentasi. Dari korelasi antara perubahan pH dengan pertumbuhan, bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan L. plantarum dan L. pentosus terhambat oleh penurunan pH. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa penurunan pH kultur sangat terkait dengan produksifitas asam laktat. Oleh karena itu, pencarian mutan atau mikroba yang tahan terhadap asam sangat penting bagi efektifitas produksi etanol oleh Lactobacillus sp. Pertumbuhan L. pentosus pada media yang mengandung xylosa Kurva pada Gambar 3 menunjukkan pola pertumbuhan dari strain L. pentosus dan L. plantarum
pada media LB yang mengandung glukosa dan atau xylosa. Secara keseluruhan, pertumbuhan kedua strain pada media LB lebih lambat dibanding pada media MRS. Karena media MRS mengandung glukosa, pada penelitian ini digunakan media LB, untuk mengetahui dampak xylosa pada pertumbuhan strain. Tampak pada Gambar 3, bahwa kedua strain mampu tumbuh pada media yang mengandung xylosa, meskipun kecepatan pertumbuhan lebih lambat dibanding pada media glukosa. Secara umum, strain L. plantarum menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding L. pentosus. Tetapi karena data ini tidak didukung dengan analisa asam laktat, untuk saat ini kami tidak bisa menyimpulkan bahwa L. plantarum lebih baik daripada L. pentosus. Alasan lain yang mendukung pernyataan ini, adalah studi bioinformatika pada whole genome L. plantarum WCFS1, dimana gen yang terkait dengan metabolisme xylosa dan hubungannya dengan produksi asam laktat tidak didapati. L. plantarum gen terkait dengan gula pentosa adalah klaster gen arabinosa, yaitu gen araA (L-arabinose Isomerase), araB (L-ribulo kinase), araD (L-ribulose-5-P-Epimerase), araT (arabinose transport protein) dan araR (arabinose operon represor) pada posisi 3172679 - 3177919. Pertumbuhan L. pentosus pada media etanol Hasil pengukuran pertumbuhan dan hasil perhitungan jumlah koloni L. pentosus dan L. plantarum
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
25
pada media MRS yang mengandung etanol, 0, 5, 10, dan 15% dengan OD600nm ditunjukkan pada gambar 4 dan 5. Seperti terlihat pada kedua gambar, meskipun pada pengukuran OD600nm terlihat kedua strain seperti mampu tumbuh pada etanol 5%, tetapi hasil pengukuran koloni menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua strain terhambat. Adapun untuk etanol 10% ke atas, baik nilai OD maupun jumlah koloni menunjukkan korelasi dimana kedua strain tersebut tidak mampu tumbuh pada etanol dengan konsentrasi tersebut.
OD600nm pada etanol 5%, 10%, dan 15% dijadikan variabel bebasnya. Penghambatan (%) = OD600nm etanol (5/10/15%) X 100% OD600nm etanol (0%)
Gambar 4. Pertumbuhan L. pentosus (PO, merah) dan L. plantarum (PL, biru) pada media MRS yang mengandung etanol 0%, 5%, 10%, dan 15%
Gambar 1. Perubahan pH kultur selama fermentasi berlangsung Gambar 5.Jumlah koloni L. pentosus (PO, merah) dan L. plantarum (PL, biru) pada media MRS yang mengandung etanol 0%, 5%, 10%, dan 15%
Gambar 2. Pertumbuhan masing-masing Lactobacillus sp. Pada suhu 37°C selama 48 jam pada media susu kedelai
Gambar 3. Kurva pertumbuhan L. plantarum (biru) dan L. pentosus (merah) pada media LB yang mengandung glukosa (G), xylosa (X) atau glucose dan xylosa (GX) Analisa penghambatan etanol terhadap pertumbuhan strain ditunjukkan pada Gambar 6. Nilai OD600nm pada etanol 0% dijadikan sebagai 100, sedangkan nilai
Hasil menunjukkan bahwa terjadi penghambatan pertumbuhan selama 24 jam fermentasi. Terutama pada jam ke 2 hingga jam ke 6, grafik secara umum menunjukkan penurunan, sedang jam ke 8 hingga 24, untuk etanol 5% mengalami peningkatan, sedangkan etanol 10 dan 15% tidak menunjukkan peningkatan. Data tersebut menunjukkan bahwa pada etanol 5%, meskipun pertumbuhan kedua strain terhambat hingga +75 % pada jam ke 6 (untuk L. pentosus) fermentasi, tetapi energi metabolisme yang merubah glukosa menjadi asam laktat, tetap berjalan. Sebagai hasilnya Ca (OH)2 yang terdapat pada media berikatan dengan Asam laktat, untuk kemudian mengendap karena pH media turun dan adanya etanol pada media. Endapan Ca-Asam laktat inilah yang menyebabkan nilai ODnya meningkat. Hal ini menjadi bukti tidak adanya korelasi antara energi metabolisme dan biosintesa, seperti yang pernah diungkapkan oleh (Hugenholtz, 1999) dan merupakan keunggulan strain Lactobacilli, yaitu mudah untuk direkayasa metabolismenya. Hal yang sama juga terjadi pada L. plantarum. Adapun pada etanol 10% ke atas, bisa disimpulkan kedua strain mati, sehingga tidak terjadi proses energi metabolisme dan biosintesa sel. Pada etanol 5%, strain masih mampu bertahan hidup, yang ditunjukkan adanya perubahan glukosa menjadi asam laktat. Tetapi resistansi terhadap 5% etanol, dibanding dengan Z. mobilis maupun S. cerevisiae yang
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
26
mampu tumbuh hingga etanol 8%, masih belum optimal. Produksi asam laktat juga perlu dianalisa untuk mendapatkan gambaran utuh seberapa jauh etanol toleran harus ditingkatkan sehingga produktifitas etanolnya optimal. Hal ini yang akan dijawab dengan percobaan ke depan, yang meliputi pembuatan mutan dan pengujian kadar glukosa, untuk melihat kwantitas glukosa yang telah dirubah menjadi asam laktat. Fenomena penghambatan pada Gambar 6 juga bisa dijadikan monitoring board, untuk memantau perubahan resistansi strain terhadap etanol pada percobaan rekayasa evolusi.
Gambar 6. Penghambatan 5% terhadap pertumbuhan mikroba. a) L. plantarum, b) L. pentosus Bioinformatika gen pdc Hasil studi bioinformatika pada gen pdc, diketahui bahwa gen pdc banyak terdapat di tanaman, yeast atau fungi, sedikit di bakteria dan sama sekali tidak ada di mamalia. Mengingat bahwa yang akan menjadi host adalah gram positif L. pentosus, oleh karena itu, diputuskan untuk memanfaatkan gen pdc dari bakteria dengan alasan kandungan GC L. pentosus yang rendah, codon usage yang berbeda dengan tanaman, maupun yeast, atau fungi. Gen pdc dari bakteri bisa dilihat pada Tabel 2.
Diantara ke 11 gen pdc, hanya ada 2 gen pdc yang bersumber dari bakteri gram positif, yaitu Sarcina ventriculi dan Bacillus thuringiensis gen pdc. Karena gen B.thuringiensis pdc belum terkarakterisasi dengan baik, pada awalnya diputuskan untuk menggunakan gen
S. ventriculi pdc. Tetapi dalam pemesanan mikroba tersebut, pemesanan bakteri S. ventriculi mengalami kesulitan karena masalah administrasi di ATCCnya. Oleh karena itu, diputuskan untuk mengganti strain sumber gen kemudian menjadi Z. palmae, dan Z. mobilis. Studi bioinformatika dengan menggunakan program genomic expression dan Fast PCR, didapatkan design primer sebagai berikut; untuk forward primer: 5’-CGGTTCACTCTCATCCTCG-3’ dan untuk reverse primer: 5’-CGTAAGAGGGGCTATGTGGTGG-3’ untuk Zp-pdc dan forward primer: 5’GAGGTTTCTGGGTCATCGTGATTC-3’ dan untuk reverse primer: 5’-CTGCCCCATCATTTGAGTCGTC3’ untuk Zm-pdc. Kloning gen pdc Isolasi genome Z. palmae dan Z. mobilis telah berhasil dilakukan. Untuk menjaga agar genome tidak mudah terdegradasi, maka genome yang telah didapatkan kemudian dipurifikasi dengan menggunakan kit genome purifikasi (GenAid). Genome tersebut kemudian digunakan sebagai template bagi amplifikasi gen pdc dengan metoda PCR. PCR sendiri dilakukan dengan menggunakan primer yang didesain diluar daerah Open Reading Frame (ORF) dari gen adhB. Gambar 7 menunjukkan hasil amplifikasi gen pdc dari Z.mobilis dan Z. palmae. Telah didapatkan 1 band fragmen PCR dengan ukuran untuk Zm-pdc adalah 1855 bp sedangkan Zp-pdc adalah 1757 bp. Fragmen tersebut kemudian dipurifikasi dengan DNA purifikasi (GenAid) untuk kemudian digunakan dalam proses ligasi dengan pGEM-T Easy (Promega, USA). Fragment PCR yang telah didapatkan kemudian diligasi dengan kloning vektor pGEM-T Easy (Promega). Setelah itu, hasil ligasi kemudian ditransformasikan ke dalam sel kompeten E .coli DH5α dan disebar pada media LB agar yang mengandung ampicilin (100µg/ml) dan telah terlebih dahulu dilapisi dengan X-gal. Kandidat koloni ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni berwarna putih. Koloni yang berwarna putih tersebut kemudian di kultur pada media LB yang mengandung ampicillin selama semalam untuk kemudian diisolasi plasmidnya. Plasmid terisolasi kemudian dipotong dengan restriksi enzim EcoRI untuk mendapatkan positive clone. Hasil transformasi gen pdc bisa dilihat pada Gambar 8 (a). (untuk Zp-pdc) dan (b) (untuk Zm-pdc). Dari kedua gambar, terlihat bahwa positive clone kedua gen, Zp-pdc (clone number 5) dan Zm-pdc (clone number 6, 7, 8, 9, 10) telah berhasil di dapatkan. Diantara gen yang lain, perolehan positive clone dari Zp-pdc paling rendah, hal ini mungkin dikarenakan rendahnya jumlah amplifikan hasil PCR. Tetapi, meskipun demikian, kandidat positive clone telah didapatkan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
27
Positive clone kemudian digunakan sebagai sampel untuk sekuensing dengan cara mengirim sampel tersebut ke Macrogen, Korea. Karena Z. palmae dan Z. mobilis termasuk gram negatif, sedangkan L. pentosus yang akan menjadi host adalah gram positif, maka analisa di level asam amino dilakukan untuk memastikan tidak adanya perubahan asam amino karena perbedaan codon usage. Dari hasil analisa terhadap ketiga gen, tidak terjadi adanya perubahan asam amino akibat perbedaan codon usage, sehingga diprediksi asam aminonya.
sampai 10 kali, kurva persentasi penghambatan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa L. pentosus telah menjalani penyesuaian pada 5 kali pengulangan, dan mulai menunjukkan resistansinya terhadap etanol 5%, sejak pengulangan ke 6. Data ini diperkuat dengan hasil perhitungan koloni pada jam ke 0, 12, dan 24 fermentasi, dimana terjadi peningkatan jumlah koloni L. pentosus yang tumbuh pada media beretanol 5% menyamai wild-type yang dtumbuhkan pada media tanpa etanol. Kedua hal ini jelas mengindikasikan adanya penyesuaian dan peningkatan toleransi strain pada media beretanol 5% Selanjutnya, akan ditingkatkan kadar etanol menjadi 7.5% dan dilakukan hal yang sama hingga strain mampu beradaptasi pada lingkungan tersebut. Proses ini akan diulang hingga strain mampu tumbuh pada media beretanol di atas 10%.
Gambar 7. Hasil PCR fragmen pdc. a) Zm-pdc, b) Zppdc
Gambar 9. Rekayasa evolusi terhadap L. pentosus di tumbuhkan pada media MRS yang mengandung etanol 5% secara kontinu hingga 10 kali pengulangan.
Gambar 8. Positif klon transforman yang mengandung a) gen Zp-pdc dan b) Zm-pdc. Evolution engineering untuk meningkatkan toleran etanol Evolution engineering sedang terus dilakukan untuk mendapatkan mutan yang tolerant terhadap etanol dalam media. Seperti tampak pada Gambar 9, pengulangan pertumbuhan strain pada media dengan etanol 5% secara terus menerus telah dilakukan. Pada 5 kali pengulangan pertama (A1.5%-A5.5%) kurva persentasi penghambatan meningkat, tetapi pada pengulangan 6
Pembuatan mutan dengan sinar UV Telah dikumpulkan mutan sebanyak 600 koloni hasil dari penyinaran radiasi sinar UV. Tetapi untuk saat ini, perlakuan hanya sebatas disimpan, karena sedang dilakukan optimasi metoda pengujian untuk menyeleksi kandidat mutan unggul yang akan digunakan. Pengujian terhadap mutan untuk saat ini masih terbatas pengukuran pertumbuhan dengan panjang gelombang 600nm dan analisa kadar gukosa seperti terlihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa strain 602, menunjukkan persentasi pertumbuhan tertinggi, dibanding mutan lainnya. Prekultur terhadap mutanmutan tersebut, menunjukkan bahwa mutan ini relatif stabil. Fenomena ini cukup menarik bagi pemanfaatan mutan ini, bukan hanya sebagai inang bagi produksi bioetanol, tetapi juga untuk pengembangan produkproduk lain seperti produksi L-lactic acid dan lain sebagainya. Tentu saja investigasi lebih lanjut, sangat dibutuhkan. Pengembangan Metoda seleksi mutan unggul
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
28
Pada bakteri asam laktat, untuk homofermentatif, reaksi perubahan glukosa menjadi asam laktat adalah sebagai berikut; Glycolysis pathway 1 mol Glukosa 2 mol asam laktat Dengan demikian, produksi asam laktat bisa dikalkulasi dari besarnya glukosa yang terserap ke dalam metabolisme bakteri asam laktat. Besarnya glukosa yang terserap (glucose up take) bisa dikalkulasi dari selisih kadar glukosa yang terkandung dalam media tumbuh, sebelum dan sesudah fermentasi. Tetapi dengan sampel yang demikian banyak, pengujian yang efisien mudah dan representatif sangat diperlukan. Oleh karena itu, kami sedang mencoba mengembangkan teknik yang sederhana dan mudah, yaitu menguji pertumbuhan mutan dengan spektrofotometri dan kadar glukosa berdasarkan intensitas pada TLC plate. Dengan membandingkan pola pertumbuhan dan intensitas glukosa antara wild type dan mutant, seleksi mutan unggul secara kasar bisa dilakukan. Hasilnya memang belum optimal, tetapi bisa terlihat perbedaan intensitas glukosa dalam kultur. Teknik ini relatif murah, meskipun tidak bisa dilakukan secara kuantitatif. Dengan beberapa modifikasi, diharapkan teknik ini bisa digunakan untuk seleksi mutan yang jumlahnya sangat besar.
Gambar 10. Metoda seleksi mutan terkoleksi berdasarkan pertumbuhan mutan dan glukosa yang terkonsumsi. A) Pertumbuhan strain terhadap galur liar (WT). B) TLC kadar glukosa dalam kultur. Intensitas warna menunjukkan kandungan glukosa dalam kultur. Dari data mentah seperti tersebut, telah dilakukan olah data seperti yang ditunjukkan pada pada Gambar 11. Garis x menunjukkan koloni number sedangkan garis Y menunjukkan nilai OD600nm representatif dari
pertumbuhan mikroba. Sedangkan pada bagian atas, merupakan TLC dari glukosa yang masih tersisa dalam kultur setelah dilakukan fermentasi selama 24 jam. Seperti tersebut dalam bab pengembangan metoda seleksi mutan unggul, semakin pekat warna glukosa, menunjukkan semakin banyaknya glukosa yang masih tersisa dalam kultur. Hal ini mengindikasikan semakin sedikitnya glukosa yang terkonversi menjadi asam laktat. Demikian sebaliknya, semakin tipis warna spot glukosa, menunjukkan semakin besarnya glukosa yang terkonversi menjadi asam laktat. Dengan teknik seperti ini, seleksi mutan secara kasar bisa dilakukan. Sedangkan untuk seleksi yang lebih spesifik, akan dilakukan dengan HPLC atau Kit dari Roche, karena dibutuhkan data yang lebih akurat.
Gambar 11. Pertumbuhan mutan dan glukosa uptake dari mutan hasil radiasi sinar UV. Warna merah menunjukkan kondisi mutan yang tidak ideal, terutama terhadap glukosa uptake, sedangkan warna biru menunjukkan kondisi mutan ideal.
KESIMPULAN Dari hasil-hasil yang telah didapatkan yaitu; 1. gen Zp-pdc dan gen Zm-pdc telah didapatkan dalam bentuk klon pada E.coli DH5α 2. Telah didapatkan mutan yang toleran terhadap etanol 5% dan saat ini sudah menginjak ke rekayasa evolusi pada media beretanol 7%
3. Telah didapatkan pustaka mutan hasil radiasi UV Dengan demikian, target penelitian tahun 2007 telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Sehingga di tahun 2008, target penelitian kami adalah kloning gen ldhD, ldhL, dan promoter xyl R dari L. pentosus. Melanjutkan rekayasa evolusi hingga mencapai toleransi 10%,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
29
pembuatan pustaka mutan, dan mulai membuat protokol
protoplast dari mutan-mutan tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh Staf Carbohydrate and Bioengineering Research Group, Dewi Fitriani, dan Agitya Putra Kusuma (FMIPA-Mikrobiologi, UNS) yang telah
bekerja dengan giat sehingga berbuah pada keberhasilan penelitian ini. Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik lagi, Amin.
DAFTAR PUSTAKA Guadalupe B, Ana BM, Jose MC, & Jose MD. 2005. Influence of the Metabolism Pathway on Lactic Acid Production from Hemicellulosic Trimming Vine Shoots Hydrolyzates Using Lactobacillus pentosus. Biotechnol. Prog 21: 793-798. Laporan BPS. 2005. Produksi gabah Nasional. Lynd LR. 1996. Overview and evaluation of fuel ethanol production from cellulosic biomass; technology, economics, the environment, and policy. Annu Rev Energy Environ 21: 403-465
Monique H, Faaij A, van den Broek R, Berndes G, Gielen D, & Turkenburg W. 2003. Exploration of the ranges of the global potential of biomass for energy. Biomass Bioenergy 25: 119-133. Thomas WJ. 2005. Ethanol Fermentation on the Move. Nature Biotechnology 23 (1): 40-41 Yan Lin. & Shuzo Tanaka. 2006. Ethanol fermenttion from biomass resources: current state and prospects. Appl Microbiol Biotechnol 69: 627-642
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
30
PENAPISAN PROTEIN CRY MELALUI PENDEKATAN KONVENSIONAL DAN METAGENOMIK Eddy Jusuf, Padmono Citroreksoko, Sylvia J.R. Lekatompessy, dan Sanusi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Kegiatan penelitian meliputi eksplorasi ke beberapa daerah DKI Jakarta, propinsi Banten, kabupaten Ciamis dan propinsi Jawa Tmur untuk mengambil sampel tanah yang diperkirakan mengandung galur-galur unggul bakteri Bacillus thuringiensis yang potensial sebagai biopestisida. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan galur bakteri biopestisida unggulan asli Indonesia serta membuat pustaka gen penyandi protein Cry yang toksik spesifik berbagai serangga dan Nematoda. Sampel tanah berasal dari 5 wilayah propinsi DKI Jakarta didapatkan 53 nomor yang diduga sebagai B. thuringiensis. Pengujian profil protein Cry pada semua nomor, hanya 6 yang positif menunjukan adanya protein Cry dan dua galur dapat membunuh Aedes aegyptie masing-masing Cd1e 18% kematian dan Rw2h dengan 12% kematian Dari sebanyak 34 sampel tanah yang diambil dari semua kabupaten dan kota di propinsi Banten berhasil diisolasi sebanyak 113 nomor yang menurut hasil observasi dibawah mikroskop menunjukkan adanya kristal protein dan saat ini sedang dilakukan analisis profil protein Cry dari tiap-tiap nomor tersebut. Penggunaan 22 pasangan primer dalam proses PCR untuk identifikasi Identifikasi plasmid dari galur-galur didapat menunjukan variasi jumlah setiap nomornya, dan isolasi plasmid berukuran lebih besar dari 75 Mda serta isolasi gen cry penyandi protein toksik baru dapat dilakukan pada tahun 2008 mengingat penelitian ini baru dimulai bulan Juli 2007.
Kata kunci: Bacillus thuringiensis, aksplorasi galur baru, identifikasi gen cry, konstruksi pustaka gen. PENDAHULUAN Pada penelitian ini diisolasi isolat-isolat bakteri Bacillus thuringiensis dari lingkungan alam Indonesia. Dari bakteri yang didapat, diisolasi gen-gen cry penyandi protein Cry4 (Cry4A/B/C dan D) dan gen cyt (A dan B) yang merupakan penyandi protein δendotoksin (Schnepf et al., 1998). Protein δ-endotoksin memiliki toksisitas yang tinggi terhadap jenis-jenis nyamuk penular penyakit sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida hayati terhadap nyamuk (moskitosida), baik sebagai protein kristal (Thiery et al., 1996), maupun sebagai protein rekombinan yang diekspresikan dalam sianobakteri (Liu et al., 1996; Peralta et al., 2001) Gen-gen tersebut akan disisipkan ke dalam vektor plasmid atau cosmid. Vektor tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli untuk mengekspresikan protein Cry yang disandinya. Toksisitas dari protein Cry hasil ekspresi tersebut diuji terhadap larva dari beberapa jenis nyamuk penular penyakit seperti dari genus Aedes, Anopheles atau Culex. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gen-gen penyandi protein δ-endotoksin yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida hayati terhadap nyamuk. Perolehan dari protein Cry dan Cyt yang dimanfaatkan sebagai pestisida hayati terhadap nyamuk.
Isolasi DNA dan pembentukan pustaka DNA dari mikroorganisme tanah melalui kombinasi antara pengayaan kultur dan pendekatan metagenomik. Ruang lingkup kegiatan penelitian ini meliputi seleksi isolat bakteri dari sampel tanah yang didapat dari propinsi Banten dan kabupaten Ciamis. Isolasi DNA dan identifikasi gen-gen penyandi protein Cry dan Cyt dilakukan bersamaan dengan isolasi plasmid dari sel B. thuringiensis untuk memproleh plasmid berukuran 75 MDa. Fragmentasi plasmid dilakukan dengan teknik Random Fragment Length Polymorphism DNA, dengan menggunakan beberapa enzim restriksi. Fragment yang diketahui positif menunjukkan adanya gen cry dan cyt akan disekuensing untuk melihat susunan basa nukleotidanya. Pembentukan pustaka DNA dari gen cry dan cyt penyandi protein δ-endotoksin dilakukan dengan kloning dari gen terwsebut ke dalam vektor plasmid atau cosmid dengan menggunakan prosedur dari produsen vektor. Transformasi vektor plasmid atau cosmid yang masing-masing mengandung gen-gen cry dan cyt ke dalam E. coli dengan elektroporasi dan uji toksisitas dari protein Cry dan Cyt hasil ekspresi terhadap beberapa larva nyamuk dari genus Aedes, Anopheles atau Culex.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Perjalanan untuk pengambilan sampel lingkungan Sampel tanah akan diambil dari lingkungan yang memiliki keunikan serta keselarasan dengan aktivitas enzimatik yang menjadi target dalam penelitian ini, seperti sampel tanah dari situs pengolahan limbah susu atau minyak nabati, dari situs pengolahan limbah pupuk,
maupun dari lingkungan alami seperti dari hutan hujan tropis. Sampel tanah diambil dari semua kecamatan di propinsi DKI Jakarta, semua wilayah kabupaten dan kota propinsi Banten, semua wilayah kecamatan kabupaten Ciamis, dan tanah dari propinsi Jawa Timar.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
31
2. Isolasi dan identifikasi gen-gen penyandi protein Cry dan Cyt Isolasi plasmid dari sel B. thuringiensis akan menggunakan metode Jensen (Ziegler, 1999) dengan melisis sel pada 15% sukrosa ditambah dengan 3% SDS pH 12,5 dan dipanaskan pada suhu 60 oC. Untuk memisahkan protein dari molekul DNA digunakan 5 unit proteinase K dan pencucian dengan campuran fenol-kloroform-isoamilalkohol. Melalui elektroforesis pada gel agarosa, plasmid berukuran 75 MDa diidentifikasi dan diisolasi. Dengan tehnik Polymerase Chain Reaction dan menggunakan primer-primer yang sama dengan yang digunakan pada tahun-tahun sebelumnya, berbagai tipe gen cry diidentifikasi. Fragmentasi plasmid dilakukan dengan teknik Random Fragment Fragment Length Polymorphism DNA, dengan menggunakan beberapa enzim restriksi seperti EcoRI, HindIII, SstI untuk memperoleh gugusan yang
disebut “patogenicity island” yang mengandung gengen cry IVB, IVC dan IVD, sedangkan gen cry IVA dan cyt didapatkan pada fragmen 26 kb atau fragmen lain dalam plasmid yang sama. Fragment yang diketahui positif menunjukkan adanya gen cry selanjutnya akan disekuensing untuk melihat susunan basa nukleotidanya. 3. Pembentukan pustaka DNA dari gen-gen penyandi protein Cry dan Cyt Kloning dari gen-gen cry dan cyt, masing-masing ke dalam vektor plasmid atau cosmid dengan menggunakan prosedur dari produsen vektor Transformasi vektor plasmid atau cosmid yang masingmasing mengandung gen-gen cry dan cyt ke dalam E. coli dengan elektroporasi. Dilanjutkan dengan uji toksisitas dari protein Cry dan Cyt hasil ekspresi terhadap beberapa larva nyamuk dari genus Aedes, Anopheles atau Culex.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil seleksi dan observasi mikroskopis terhadap sejumlah isolat bakteri yang diisolasi dari berbagai jenis sampel di 5 wilayah propinsi DKI Jakarta didapatkan 53 nomor yang diduga sebagai B. thuringiensis. Pengujian profil protein Cry pada semua nomor hanya 6 yang positif menunjukan adanya protein Cry bila ditumbuhkan pada media T-3 (Trypton 3 g, Tryptose 2 g, Yeast extract 1,5 g, 0.05 M Na3PO4 pH 6.8, dan 0.005 M MnCl2). Pengujian terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti 2 nomor masing-masing Cd1e dengan 18% kematian dan Rw2h dengan 12% kematian, sementara biak pembanding B. thuringiensis var. israelensis 100% kematian. Dari sebanyak 34 sampel tanah yang diambil dari semua kabupaten dan kota di propinsi Banten berhasil diisolasi sebanyak 113 nomor yang menurut hasil observasi dibawah mikroskop menunjukkan adanya kristal protein dan saat ini sedang dilakukan analisis profil protein Cry dari tiap-tiap nomor tersebut. Profil protein dari isolat-isolat asal Banten sampai saat ini sedang dilakukan analisis. Pengujian antibiotik dilakukan terhadap 36 nomor isolat B. thuringiensis hasil isolasi dari penelitian sebelumnya yang telah diidentifikasi menunjukan kemampuan sintesis protein Cry. Penelitian ini dilakukan untuk keperluan rekayasa genetika khususnya dalam tranfer gen melalui tranfer plasmid dengan tehnik konjugasi sel. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa semua isolat menunjukkan resistensi terhadap ampisilin, 4 nomor disamping resisten ampisilin juga resiten thd tetrasiklin dan 3 nomor resisten strreptomisin disamping ampisilin. Beberapa metodologi telah dicobakan untuk mengidentifikasi adanya megaplasmid berukuran lebih dari 75 kDa diantaranya. Hasil kuantifikasi DNA plasmid menunjukkan hasil yang sangat beragam. Konsentrasi DNA plasmid pada beberapa isolat cukup tinggi. Konsentrasi yang cukup
tinggi ini menandakan adanya sejumlah plasmid yang berhasil diisolasi. Sementara untuk isolat yang memiliki konsentrasi DNA plasmid yang cukup rendah (< 1.000 ng/µL) dapat disebabkan karena isolat-isolat tersebut tidak memiliki plasmid. Kemurnian DNA plasmid yang diperoleh juga sangat beragam. Kemurnian bukanlah hal yang mutlak untuk proses identifikasi dengan elektroforesis gel agarosa atau dengan elektroforesis pada medan berpulsa. Elektroforesis selama 16 jam pada agarosa 0,5% megaplasmid tidak teridentifikasi pada isolat-isolat B. thuringiensis. Berbeda dengan 36 isolat B.t huringiensis, galur pembanding HD-567 menunjukkan satu pita mega plasmid. Mega plsmid yang teramati pada galur pembanding HD-567 tidak sama dengan apa yang dilaporkan Gonzalez (1984) untuk galur yang sama. Gonzalez (1984) melaporkan B. thuringinesis subsp. israelensis HD-567 memiliki jumlah mega plasmid sebanyak 2 buah dengan ukuran 75 MDa dan 105 MDa. Hal ini menunjukkan betapa mudahnya mega plasmid berpindah atau melepaskan diri. Selain itu keberadaan mega plasmid pada galur pembanding dapat digunakan sebagai acuan terhadap proses isolasi karena galur pembanding diisolasi dengan metode yang sama dengan 36 isolat lainnya (Gambar 1).
Gambar 1. Hasil elektroforesis mega plasmid pada gel agarosa 0,5 %
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
32
Profil plasmid yang ditunjukkan oleh elektroforesis medan berpulsa (PFGE) menginformasikan walaupun tidak teridentifikasi adanya mega plasmid namun plasmid-plasmid kecil masih teridentifikasi. Tidak semua isolat mengkonfirmasikan keberadaan plasmid, hanya 6 isolat yang berhasil dikonfirmasi keberadaan plasmidnya. Enam isolat tersebut masing-masing adalah 3l, 3n, 22g, 31e, 37-t1, dan 37-t3. Isolat 3a berhasil diidentifikasi memiliki satu buah plasmid berukuran 90kbp. Hasil visualisasi yang diperoleh memperlihatkan pita plasmid yang dibentuk cukup tebal, hal ini menandakan bahwa konsentrasi plasmid yang dikandung cukup tinggi. Tebalnya pita ini sesuai dengan hasil kuntifikasi yang menunjukkan jumlah DNA
plasmid yang dikandung adalah 2.735 ng/µL. Hasil yang hampir serupa juga juga ditunjukkan oleh isolat 3n yang berhasil diidentifikasi memiliki 2 buah plasmid yang masing-masing berukuran 90kbp dan 60kbp. Isolat dengan kode 22g dalam penelitian ini adalah isolatyang paling banyak teridentifikasi jumlah plasmidnya. Isolat 22g teridentifikasi memiliki 4 buah plasmid yang masing-masing berukuran 82kbp, 48,5kbp, 20kbp dan 15kbp. Tebalnya pita-pita plasmid isolat 22g juga dimungkinkan, karena sangat tingginya perolehan hasil kuntifikasi yang mencapai 3,365 ng/µL. Hasil elektroforesis pada medan berpulsa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Profil plasmid hasil elektroforesis dengan PFGE Identifikasi adanya gen cry IV penyandi protein Cry yang toksik spesifik nyamuk Aedes aegypti dari 36 isolat B. thuringiensis asal Jabodetabek telah dilakukan dengan berbagai kondisi cara isolasi DNA dan kondisi proses PCR maupun galur bakteri. Hasil menunjukan bahwa optimasi suhu annealing primer Cry4B4 dicapai pada suhu annealing 45°C sedangkan pada suhu yang lainnya reaksi PCR tidak berlangsung. Hasil optimasi suhu annealing pada primer Cry4A2, menunjukkan bahwa tidak ada amplikon yang dihasilkan. Demikian pula dengan optimasi suhu annealing pada primer Dip1A, yang juga tidak menghasilkan amplikon. Walaupun suhu annealing yang digunakan masih di bawah Tm, masih terdapat kemungkinan suhu annealing yang digunakan kurang tepat sehingga tidak diperoleh amplikon pada kedua reaksi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai suhu annealing optimum untuk kedua primer tersebut. Tidak dihasilkannya amplikon PCR juga dapat disebabkan galur tersebut telah mengalami mutasi pada sebagian daerahnya. Berry et al., (2002) menyebutkan bahwa lebih dari 23% gen dalam plasmid B. thuringiensis subsp. israelensis diapit oleh transposon, salah satu gen tersebut adalah gen cry4Aa1. Tahap paling akhir dan paling penting adalah mendeteksi keberadaan gen cry4Ba1. Gen cry4Ba1 adalah gen menyandi protein yang toksik terhadap
Aedes aegypti. Pemilihan isolat dilakukan berdasarkan ukuran protein Cry yang dihasilkan Protein Cry4 memiliki ukuran sebesar 134 kD. Ukuran protein Cry4 tersebut hampir sama dengan ukuran protein Cry1, yaitu sebesar 130-135 kD. Oleh karena itu, isolat-isolat yang digunakan adalah isolat-isolat yang memiliki ukuran 130-135 kD. Hasil diperoleh seperti yang terlihat pada gambar 5, amplifikasi isolat-isolat B. thuringiensis dengan primer Cry4B4 menunjukkan bahwa tidak ada isolat B. thuringiensis yang menghasilkan amplikon. Tidak terdapatnya amplikon PCR pada 36 isolat yang diuji menunjukkan bahwa kemungkinan tidak ada isolat B. thuringiensis di daerah Bogor dan sekitarnya yang mengandung gen cry4Ba1. Tidak adanya gen cry4Ba1 menyebabkan isolat-isolat B. thuringiensis tersebut tidak dapat memproduksi protein Cry4Ba1 yang toksik terhadap Aedes aegypti. Dengan kata lain, isolat-isolat B. thuringiensis tersebut tidak dapat digunakan sebagai biopestisida untuk membasmi nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Isolasi total genom isolat dan galur B. thuringiensis dengan tehnik lisis sel terimobilisasi, yang dilanjutkan dengan fragmentasi genom tersebut menggunakan tipe rare cutting endonuclease, SmaI dan XbaI dengan kondisi elektroforesis pada medan berpulsa yang biasa dipakai secara rutin yaitu pada suhu 14 oC, waktu pulsa 5 detik, tegangan listrik 6 Volt/cm, dan voltase sebesar
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
33
180 Volt selama 24 jam. Marker yang digunakan ialah mid range PFG marker (New England Biolabs), λ DNA dan Yeast Chromosomes, Saccharomyces cereviseae, Strain YNN295. Hasil belum menunjukkan gambaran yang terlihat jelas fragmentasi hasil restriksi oleh SmaI maupun XbaI.
Gambar 3. Elektroforegram fragmen DNA B. thuringiensis HD-567 dengan primer Cry4A2 dan Cry 4B4 pada berbagai variasi suhu annealing
Gambar 4.Elektroforegram fragmen DNA B. thuringiensis HD-567 dengan primer Dip1A pada berbagai variasi suhu annealing
dan galur B. thuringiensis. Sementara kegiatan masih berlangsung sampai saat ini, dan sedang dicari metodologi isolasi kristal dengan metoda lain yang lebih sederhana.
Marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid)
Gambar 6. Hasil restriksi B. thuringiensis subsp. kurstaki dengan enzim restriksi Sma I pada kondisi pemisahan DNA yang sama. (A) Pemisahan dilakukan setelah isolasi DNA dilakukan. (B) Pemisahan dilakukan setelah DNA disimpan selama 1 minggu.
Kondisi: 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14°C, waktu pulsa (Pt) 1-20 detik, waktu running (RT) 17 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm, menggunakan marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid).
Gambar 7. Hasil elektroforesis 12 galur standar (A) galur-galur standar tidak direstriksi. (B) galur-galur standar direstriksi dengan menggunakan enzim Sma I.
Gambar 5.Elektroforegram fragmen DNA isolat-isolat B. thuringiensis dengan primer Cry4B4 Identitifikasi tipe dan ukuran protein Cry isolat dan galur B. Thuringiensis dan pemurnian tipe protein Cry IV dari isolate terpilih untuk uji toksisitas terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti belum selesai dilakukan karena bahan renografin yang dipesan baru diterima bulan Nopember. Disamping itu proses sentrifugasi menggunakan swinged angle rotor tidak dapat dilakukan karena alat sentrifugasi tersebut dalam kondisi rusak. Sementara telah berhasil diidentitifikasi beberapa tipe dan ukuran protein Cry dari isolat-isolat
Kondisi: 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14°C, waktu pulsa (Pt) 1-20 detik, waktu running (RT) 17 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm, menggunakan marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid).
Gambar 8. Hasil elektroforesis 9 isolat lokal (A) isolatisolat lokal tidak mengalami proses restriksi.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
34
(B) isolat-isolat lokal direstriksi dengan
menggunakan enzim Sma I.
DAFTAR PUSTAKA Liu JM., Yap WH, Thanabalu T & Porter AG. 1996. Efficient synthesis of mosquitocidal toxin in Asticacaulis excentricus demonstrates potential of Gram negative bacteria in mosquito control. Nature Biotechnol. 14: 343−347. Peralta SO, Murphy R & Stevens E. 2001. Clonaje y expresion del gen de la toxina de 98 kDa de Bacillus thuringiensis var. medellin en una Cianobacteria de los criaderos de larvas de mosquito de Colombia. http://www.scielo.br/img/mioc/v96n2/4039t1.html Schnepf E, Crickmore N, Van-Rie J, Lereclus D, Baum J, Feitelson J, Zeigler RD & Dean HD. 1998. Bacillus thuringiensis and its pesticidal crystal proteins. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 62: 775−806.
Thiery I, Back C, Barbazan P & Sinègre G. 1996. Application des Bacillus thuringiensis et de B. sphaericus dans la démoustication et la lutte contre les vecteurs de maladies tropicales. Annales de l’Institut Pasteur 7: 247−260. Ziegler DR. 1999. Bacillus Genetic Stock Center Catalog of Strains, Seventh Edition, Part 2: Bacillus thuringiensis and Bacillus cereus. The Bacillus Genetic Stock Center, Dept. Biochemistry, The Ohio State University, Columbus, Ohio.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
35
PENGEMBANGAN METODE PENAPISAN ENZIMATIK TERHADAP ENZIM NITRILASE DAN GLISEROL DEHIDRATASE Wien Kusharyoto, Dian Andriani, dan Yudiadi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Berdasarkan perubahan warna dari indikator pH karena terbentuknya proton yang terbentuk dalam reaksi enzimatik telah dikembangkan metode penapisan enzimatik terhadap enzim nitrilase. Terbentuknya proton oleh peningkatan konsentrasi asam sebagai hasil dari hidrolisis senyawa nitril oleh enzim nitrilase mengakibatkan perubahan warna indikator pH yang dapat diamati secara visual. Larutan penyangga fosfat (10 mM, pH 7,2) dan indikator pH Bromothymol blue (0,01 %, pKa = 7,3) telah diseleksi sedemikian rupa sehingga keduanya memiliki affinitas yang sama terhadap proton. Di samping itu telah dikembangkan pula metode penapisan enzimatik terhadap enzim gliserol- atau diol dehidratase yang berdasarkan pada perubahan warna yang terjadi karena reaksi antara aldehid yang terbentuk dalam reaksi enzimatik dengan MBTH (3-Methyl-2benzothiazolinonhydrazon).
Kata kunci: gliserol dehidratase, indikator pH, MBTH, nitrilase, penapisan enzim PENDAHULUAN Salah satu faktor penting dalam upaya pencarian enzim atau biokatalis dengan aktifitas atau selektifitas tertentu adalah metode penapisan (skrining) yang digunakan dalam pengujian (assay) enzimatik. Proses skrining akan memakan banyak waktu, apabila metode skrining konvensional yang digunakan. Metode analitik yang lazim digunakan dalam proses skrining terhadap biokatalis baru antara lain adalah GC, HPLC atau LCMS, namun metode tersebut tidak mudah untuk diterapkan dalam high-throughput screening, dengan demikian perlu dikembangkan metode skrining cepat yang memungkinkan untuk mendeteksi biokatalis baru dengan aktifitas maupun selektifitas tertentu. Dalam kegiatan penelitian ini, dikembangkan metode pengujian enzimatik terhadap enzim nitrilase dan gliserol- atau diol dehidratase yang dapat dilakukan dalam format microplate. Karena enzim nitrilase maupun gliserol- atau diol dehidratase diekspresikan di dalam sel, terdapat permasalahan dengan difusi apabila metode agar-plate yang digunakan, di samping proses skrining yang memakan waktu yang lama. Dengan melakukan pengujian enzimatik di medium cair, permasalahan difusi tersebut diharapkan dapat teratasi. Pengujian enzimatik untuk enzim nitrilase dikembangkan berdasarkan perubahan konsentrasi asam yang terbentuk karena reaksi enzimatik oleh enzim tersebut. Peningkatan konsentrasi asam akan mengakibatkan penurunan nilai pH yang ditunjukkan
melalui perubahan warna dari suatu indikator pH yang dipilih. Perubahan warna dari indikator pH tersebut harus terjadi pada cakupan nilai pH dari aktifitas enzim yang menjadi target. Selai itu, agar perubahan warna tersebut proporsional dengan perubahan konsentrasi proton (asam), baik indikator pH maupun larutan penyangga (buffer) yang digunakan harus memiliki afinitas yang sama terhadap proton, dengan kata lain nilai pKa dari indikator pH dan larutan penyangga sebaiknya tidak jauh berbeda (Yao et al., 1998). Dalam pengujian enzimatik yang disampaikan di bawah ini digunakan Bromothymol blue (pKa = 7.3) sebagai indikator pH dan larutan fosfat (pKa = 7.2) sebagai larutan penyangga. Metode pengujian enzimatik untuk enzim gliserolatau diol dehidratase lebih berdasarkan pada perubahan warna larutan uji karena terjadinya pembentukan suatu senyawa berwarna. Aktifitas enzimatik dari gliserolmaupun diol-dehidratase ditentukan dengan metode MBTH (3-Methyl-2-benzothiazolinonhydrazon). MBTH bereaksi dengan aldehid dan menghasilkan sebuah derivat dari hidrazin. Derivat hidrazin tersebut bereaksi dengan ion Fe3 sehingga diperoleh warna biru yang dapat diukur dengan spektrofotometer. Berbeda dengan metode yang telah dikembangkan sebelumnya untuk kondisi anaerob (Toraya & Mori, 1999), metode yang dikembangkan ini dapat dilakukan dalam kondisi aerob.
BAHAN DAN CARA KERJA Pengembangan assay enzimatik untuk nitrilase Dalam pengembangan assay enzimatik terhadap nitrilase digunakan Bromothymol blue sebagai indikator pH, karena Bromothymol blue memiliki nilai pKa sebesar 7,3 yang hanya berbeda 0,1 satuan dari pKa larutan penyangga fosfat yang digunakan, yaitu pKa =
7,2. Untuk tujuan tersebut ditentukan terlebih dahulu puncak (peak) maksimum dari Bromothymol blue dalam keadaan terprotonasi dan tidak terprotonasi, melalui penentuan spektrum absorbsi dari kedua bentuk Bromothymol blue dengan menggunakan spektrofotometer. Dari penentuan spektrum absorbsi
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
36
tersebut diperoleh puncak maksimum dari bentuk terprotonasi berada pada panjang gelombang 430 nm, sedangkan bentuk yang netral atau tidak terprotonasi pada panjang gelombang 620 nm (lihat Hasil dan Pembahasan). Koefisien ekstinsi ε pada suatu panjang gelombang ditentukan berdasarkan persamaan LambertBeer A = ε · c · l; di mana A : absorbansi pada panjang gelombang tersebut, c : konsentrasi zat yang diukur dan l = tebal kuvet (1 cm). Tabel 1. Indikator pH yang dapat digunakan dalam pengembangan assay enzimatik terhadap nitrilase Nama indikator pH
pKa
Bromothymol blue Neutral red Phenol red Cresol red
7,3 7,4 8,0 8,5
Rentang pH 6,0 – 7,6 6,8 – 8,0 6,6 – 8,0 7,0 – 8,8
Perubahan warna Biru → kuning merah → coklat merah → kuning merah → kuning
Penentuan konsentrasi larutan penyangga fosfat yang digunakan dalam assay terhadap nitrilase dilakukan berdasarkan perubahan absorbansi pada panjang gelombang 620 nm setelah ditambahkan larutan asam klorida (HCl) ke dalam larutan penyangga fosfat dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu masing-masing 2,5; 5,0; 10 dan 20 mM. Konsentrasi larutan penyangga fosfat yang telah ditentukan tersebut kemudian digunakan dalam pengembangan metode assay enzimatik terhadap nitrilase. Metode assay enzimatik terhadap nitrilase dilakukan dalam format “96-well microplate” dengan volume total reaksi sebesar 250 µl yang terdiri dari 7,5 µl
mandelonitril (dari 500 mM larutan mandelonitril dalam ethanol), 25 µl sampel serta 217,5 µl larutan penyangga fosfat (10 mM, pH 7,2) yang mengandung 0,01% Bromothymol blue. Dengan demikian, konsentrasi substrat mandelonitril dalam larutan assay tersebut adalah 15 mM. Pengembangan assay enzimatik untuk gliserol hidratase Aktifitas dari gliserol- maupun diol-dehidratase ditentukan dengan metode MBTH (3-Methyl-2benzothiazolinonhydrazon). MBTH bereaksi dengan aldehid, seperti 3-hidroksipropanaldehid yang dihasilkan oleh reaksi enzimatik dari gliserol, untuk menghasilkan sebuah derivat dari hidrazin. Derivat hidrazin tersebut bereaksi dengan ion Fe3+ sehingga dihasilkan warna biru yang dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm. Untuk assay tersebut digunakan 25 µl larutan HEPES (80 mM HEPES/KOH; pH 8,2), 5 µl Coenzym B12 (120 µM), 5 µl substrat (1,2-propandiol atau glycerin, 1mol/l) dan 15 µl sampel. Suspensi di atas diinkubasi selama 1 menit pada suhu 37°C. Kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 25 µl MBTH (6 mg/ml MBTH yang dilarutkan dalam 375 mM larutan Glycin/HCl-Puffer pH 2,7) dan inkubasi selama 3 menit pada suhu 100 °C. Setelah didinginkan selama 1 menit di es, ke dalam suspensi tersebut ditambahkan sebanyak 200 µl FeCl3.6H2O (3,3 mg/ml H2O). Setelah inkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, absorbansi dari larutan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm. Jika diperlukan, larutan diencerkan dengan air sehingga OD670<1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator pH telah digunakan dalam memonitor berbagai reaksi enzimatik antara lain enzim serineprotease (Whittaker et al., 1994), phospholipase (Yao et al., 1998), lipase (Onaran & Seto, 2003), hydrolase (Janes et al., 1998; Varas et al., 1999) dan lain sebagainya. Pasa penelitian inin, metode yang didasarkan pada penurunan nilai pH yang disebabkan pembentukan ion Oxonium (H3O+) selama reaksi enzimatik berlangsung. Penurunan nilai pH ditunjukkan dengan perubahan warna indikator pH, dengan syarat profil warna dari indikator pH tersebut tercakup dalam kisaran nilai pH dari aktifitas enzim yang digunakan. Nilai pH optimum untuk enzim-enzim pendegradasi senyawa nitril biasanya terletak antara 7,0 sampai dengan 7,5 (Banerjee et al., 2002), oleh karena itu nilai pH untuk assay ini ditetapkan sebesar pH 7,2. Penggunaan dari larutan penyangga fosfat (pKa = 7,2) dalam hal ini memadai untuk melaksanakan reaksi enzimatik pada pH netral dan sepadan dengan profil aktifitas sebagian besar enzim nitrilase. Nilai optimum untuk konsentrasi larutan penyangga fosfat perlu ditetapkan untuk tahap pengujian selanjutnya.
Konsentrasi tersebut diharapkan cukup rendah untuk memaksimalkan sensitifitas, dan di lain pihak konsentrasi tersebut juga cukup tinggi untuk menjaga keakuratan pengujian. Sebagai indikator pH telah dipilih Bromothymol blue dari daftar pH indikator seperti tercantum dalam Tabel 1. Nilai pKa dari Bromothymol blue yang sebesar 7,3 hanya berbeda 0,1 satuan dari pKa larutan fosfat, sehingga perubahan warna dari pH indikator tersebut diharapkan proporsional dengan perubahan konsentrasi H3O+ dalam larutan. Spektrum absorbansi dari bentuk Bromothymol blue yang terprotonasi maupun yang tidak terprotonasi tampak pada Gambar 1. Perbedaan puncak maksimal dari kedua bentuk Bromothymol blue tersebut adalah pada panjang gelombang 620 nm. Bromothymol blue juga menunjukkan perbedaan absorbansi yang tinggi selama perubahan warna dari bentuk tidak terprotonasi (λmax = 620 nm) ke bentuk terprotonasi (λmax = 430 nm) (Gambar 2). Adanya, perbedaan yang besar dari koefisien ekstinsi (extinction coefficient) antara kedua bentuk Bromothymol blue
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
37
tersebut diharapkan akan memberikan sensitifitas yang tinggi. Konsentrasi dari indikator pH sebaiknya cukup tinggi untuk memungkinkan sensitifitas yang maksimal. Percobaan pendahuluan telah dilakukan untuk memastikan bahwa aktifitas enzimatik tidak dipengaruh oleh konsentrasi indikator pH. Melalui percobaan tersebut ditetapkan konsentrasi indikator pH sebesar 0,154 mM (0,01 %) sebagai konsentrasi yang memadai untuk mencakup warna dari sel maupun substrat, karena substrat yang digunakan dalam pengujian enzimatik adalah mandelonitril yang juga berwarna kuning.
konsentrasi larutan penyangga fosfat. Nilai resiprokal dari kemiringan kurva adalah faktor buffer Q. Jika nilai teoritis Q (Qteo) dibandingkan dengan nilai Q dari hasil eksperimen (Qeks), maka terlihat bahwa kedua kurva saling mendekati dengan semakin tingginya konsentrasi larutan penyangga fosfat (Gambar 4). Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh di atas, pada eksperimen selanjutnya akan dipilih konsentrasi larutan penyangga fosfat sebesar 10 mM untuk memaksimalkan sensitifias tanpa mengabaikan akurasi pengujian. Konsentrasi tersebut cukup rendah untuk dijenuhkan oleh asam karboksilat yang terbentuk selama reaksi enzimatik, sehingga nilai pH dapat diturunkan sampai titik balik dari indikator pH Bromothymol blue yang digunakan agar terjadi perubahan warna.
Gambar 1. Spektrum dari bentuk terprotonasi (garis penuh) maupun bentuk tidak terprotonasi (garis putus-putus) dari Bromothymol blue Gambar 3. Penurunan absorbansi karena meningkatnya konsentrasi asam pada konsentrasi larutan penyangga fosfat yang berbeda
Gambar 2. Perbedaan absorbansi antara bentuk terprotonasi dan bentuk tidak terprotonasi dari Bromothymol blue Untuk memastikan apakah perubahan warna indikator pH dapat mewakili peningkatan konsentrasi H3O+, dilakukan pengukuran perubahan absorbansi dengan penambahan asam klorida sebagai penghasil proton. Absorbansi pada panjang gelombang 620 nm turun secara linear karena adanya protonasi dari indikator pH untuk semua konsentrasi larutan penyangga fosfat yang digunakan (Gambar 3). Tingkat kemiringan kurva meningkat dengan turunnya
Gambar 4. Perbandingan antara nilai Q teoritis (Qteo) dan nilai Q hasil eksperimen (Qeks) pada konsentrasi larutan penyangga fosfat yang berbeda Gambar 5 menunjukkan secara visual perubahan warna dari indikator pH apabila terjadi peningkatan konsentrasi H3O+ dalam larutan, yang dalam hal ini diwakili dengan penambahan asam klorida ke dalam
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
38
larutan reaksi. Dengan demikian metode ini akan dapat dgunakan untuk melakukan skrining terhadap mikroba dengan aktivitas enzim nitrilase.
Gambar 5. Simulasi dari pengujian enzimatik untuk nitrilase yang berdasarkan pada perubahan warna indikator pH Bromothymol blue. A : tampak samping B : tampak atas Berbeda dengan pengujian aktifitas enzimatik untuk nitrilase yang berdasarkan pada perubahan nilai pH, pengujian enzimatik untuk enzim gliserol dehidratase atau diol dehidratase lebih berdasarkan pada perubahan warna larutan uji karena terjadi pembentukan suatu senyawa berwarna khusus. Aktifitas enzimatik dari gliserol- maupun diol-dehidratase ditentukan dengan metode MBTH (3-Methyl-2-benzothiazolinonhydrazon). MBTH bereaksi dengan aldehid, seperti 3hidroksipropanaldehid yang dihasilkan oleh reaksi enzimatik dari gliserol oleh gliserol dehidratase, sehingga dihasilkan sebuah derivat dari hidrazin. Derivat hidrazin tersebut bereaksi dengan ion Fe3+ sehingga diperoleh warna biru yang dapat diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm.
Gambar 6. Simulasi dari pengujian enzimatik untuk gliserol dan diol dehidratase dengan menggunakan metode MBTH. A : tampak samping B : tampak atas Untuk memastikan bahwa perubahan warna dapat terjadi karena perubahan konsentrasi dari senyawa aldehid, dilakukan simulasi dengan menambahkan asetaldehid dengan konsentrasi yang semakin meningkat ke dalam larutan uji dan pengujian dilakukan seperti disebutkan dalam Material dan Metode. Seperti tampak pada Gambar 6, terjadi perubahan intensitas warna dari tidak berwarna menjadi biru tua apabila ke dalam larutan uji ditambahkan asetaldehid dengan konsentrasi yang semakin meningkat. Dengan demikian metode MBTH tersebut dapat digunakan dalam pengujian enzimatik untuk gliserol dan dol dehidratase.
DAFTAR PUSTAKA Banerjee A, Sharma R & Banerjee UC. 2002. The nitrile degrading enzymes: current status and future prospects. Appl. Microbiol. Biotechnol. 60: 33–44. Banerjee A, Sharma R & Banerjee UC. 2002. The nitrile degrading enzymes: current status and future prospects. Appl. Microbiol. Biotechnol. 60: 33–44. Janes LE, Lowendhal AC & Kazlauskas RJ. 1998. Quantitative screening of hydrolase libraries using pH indicators: identifying active and enantioselective hydrolases. Chem. Eur. J. 4: 2324–2331 Onaran MB. & Seto CT. 2003. Using a lipase as a high-throughput screening method for measuring the enantiomeric excess of allylic acetates. J. Org. Chem. 68: 8136–8141
Toraya T & Mori K. 1999. A reactivating factor for coenzyme B12dependent diol dehydrase. J. Biol. Chem. 274: 3372–3377. Varas FM, Shah A, Aikens J, Nadkarni NJ, Rozzell JD & Demirjian DC. 1999. Visualization of enzyme catalysed reactions using pH indicators: rapid screening of hydrolase libraries and estimation of enantioselectivity. Bioorg. Med. Chem. 7: 2183–2188. Whittaker RG, Manthey MK, Brocque DSL & Hayes PJ. 1991. Amicrotiter plate assay for the for the characterization of serine proteases by their esterase activity. Anal. Biochem. 220: 238–243 Yao Y, Wang M, Zhao K & Wang K. 1998. Assayof enzyme activity by following the absorbance change of indicators. J. Biochem. Biophys. Methods 36: 119–130.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
39
PENINGKATAN EKSPRESI HETEROLOGUS DAN PRODUKSI HUMANERYTHROPOIETIN REKOMBINAN PADA YEAST PICHIA PASTORIS MELALUI PERUBAHAN CODON-USAGE GEN HEPO Asrul Muhamad Fuad, Adi Santoso, Yuliawati, Dian Fitria, Sri Kartika Wijaya, Ratih Asmana Ningrum, Neng Herawati, Aminah, dan Andri Wardiana Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Erythropoietin (EPO) adalah hormon yang mengatur proses erythropoiesis, yaitu proses pembentukan sel darah merah (erythrocytes) pada mamalia termasuk manusia. Human-EPO merupakan glikoprotein, terdiri atas 165 asam amino dan 4 sisi glikosilasi dengan bobot molekul berkisar 34.4 kDa. EPO diketahui diproduksi pada beberapa jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Sejak pertama kali diklon (Jacobs et al., 1985; Lin et al., 1985), gen EPO telah diekspresikan pada berbagai jenis sel inang seperti sel mamalia (CHO, BHK, COS), serangga (Spodoptera frugiperda), tanaman (Nicotiana tabacum, Arabidopsis thaliana), manusia (NB dan HepG2) dan yeast (Saccharomyces cerevisiae). EPO komersial (Epogen) diproduksi pada sel CHO telah dipasarkan sejak tahun 1989 oleh AMGEN untuk obat anemia. Protein terapeutik rekombinan umumnya diproduksi menggunakan sel mamalia karena beberapa alasan seperti proses pasca-translasi dan bebas toksin. Namun produksi protein rekombinan pada sel mamalia memiliki keterbatasan seperti rendemen produksi rendah, biaya produksi tinggi dan teknologi yang relatif mahal. Karena itu sel inang alternatif sangat diperlukan untuk produksi protein terapeutik. Yeast merupakan salah satu alternatif untuk hal tersebut. Tingkat produksi protein rekombinan pada Pichia pastoris dilaporkan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor seperti sifat dan asal protein target, perbedaan kodon, sistem dan konstruksi vektor ekspresi dan efisiensi sekresi protein ekstrasel. Jenis kodon asam amino merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan laju ekspresi protein heterolog. Perbedaan kodon dan kandungan GC dapat mengakibatkan suatu protein rekombinan tidak dapat terekspresi pada P. pastoris. Diketahui adanya perbedaan kodon preferensi dan kandungan GC yang bermakna antara gen EPO dengan gen pada P. pastoris. Pada penelitian tahun sebelumnya satu versi gen EPO-sintetik (EPOsyn) yang mengandung kodon yeast telah berhasil dikonstruksi menggunakan metode recursive-PCR, tetapi masih dijumpai sedikit kesalahan (mutasi) dalam sekuen yang diperoleh. Salah satu klon memiliki 3 basa yang tidak sesuai dengan sekuen yang diharapkan dan perlu diperbaiki. Pada penelitian tahun ini telah dilakukan beberapa hal seperti: perbaikan sekuen gen EPOsyn, kloning gen EPOsyn kedalam vektor ekspresi pPICZ , transformasi vektor rekombinan ke dalam yeast, seleksi dan skrining yeast transforman, serta analisis ekspresi protein rekombinan dan analisis molekular gen EPOsyn dalam DNA genomik yeast transforman.
Kata kunci : Erythropoietin (EPO), erythropoiesis, EPO-sintetik (EPOsyn), kodon preferensi, Pichia pastoris, recursive-PCR. PENDAHULUAN Human erythropoietin (hEPO atau EPO) adalah glikoprotein hormon yang merupakan faktor regulasi pembentukan sel darah merah (erythrocytes). EPO mengatur proses erythropoiesis dalam tubuh, yaitu proses proliferasi dan differensiasi sel progenitor erythroid menjadi erythrocyte pada manusia. EPO tergolong cytokines yang juga diketahui menstimulasi proses angiogenesis, vasculogenesis dan proliferasi endothelial cells (Ashley et al., 2002). EPO diproduksi terutama pada jaringan ginjal dan hati sebagai respon terhadap rendahnya kandungan oksigen dalam darah (hypoxia) (Yin & Blanchard, 2000). EPO juga diekspresikan pada jaringan sel otak dan uterus untuk suatu fungsi yang masih belum diketahui. Kandungan EPO endogen yang menurun dapat mengakibatkan anemia. Untuk itu EPO rekombinan telah digunakan untuk pengobatan penyakit anemia karena kerusakan ginjal atau penyakit gagal ginjal. EPO merupakan hematopoietic growth factor pertama yang telah diklon (Jacobs et al., 1985; Lin et al., 1985), terdiri atas 165 asam amino dengan 2 ikatan disulfida dan ukuran molekul 34.4 kDa. Ada 3 posisi N-glikosilasi dan 1 posisi O-glikosilasi. Glikosilasi
sangat penting terhadap fungsi biologis dari EPO. Glikosilasi yang tidak tepat atau modifikasi dari rantai glikan pada EPO akan mengakibatkan perubahan aktivitas baik secara in vitro maupun in vivo. Jumlah residu asam sialat dan pola percabangan N-glikosilasi juga menentukan farmakodinamika, kecepatan katabolisme dan aktivitas biologis dari EPO (Fukuda et al., 1989; Imai et al., 1990; Higuchi et al., 1992). Proses sintesis polipeptida diatur secara genetik, sedangkan proses glikosilasi sangat berbeda. Karbohidrat ditambahkan kedalam rantai polipeptida melalui serangkaian proses enzimatik (modifikasi pasca-translasi). Karena itu suatu glikoprotein yang sama dapat ditemui dalam beberapa bentuk isoform / glikoform. Proses glikosilasi sangat spesifik terhadap sel, spesies dan rantai polipeptida. Karena itu setiap glikoprotein memiliki pola glikosilasi yang spesifik (Skibeli et al., 2001). Yeast P. pastoris telah banyak digunakan sebagai sel inang alternatif untuk ekspresi protein eukaryot yang komplek dan memerlukan proses modifikasi pasca-translasi. Seperti sel mamalia, serangga atau tanaman, sel yeast juga mampu melakukan proses
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
40
modifikasi pasca translasi. P. pastoris dilaporkan mampu mensintesa beberapa produk protein manusia atau mamalia seperti human-Insulin, h-IFN-β1, porcine-Lactoferin, h-β-Glucosidase, h-EPO mutanR103A (Kjeldsen et al., 1999; Skoko et al., 2003; Berrin et al., 2002; Wang et al., 2002; Yao et al., 2002; Burns et al., 2002). Beberapa protein antibodi (scFv) juga dilaporkan telah diproduksi menggunakan P. pastoris (Fischer et al., 1999). Sementara itu produksi protein heterolog pada P. pastoris dilaporkan cukup beragam, mulai dari beberapa mg/L sampai orde beberapa g/L kultur. Human-EPO (mutan R103A) yang diekspresikan pada P. pastoris dilaporkan diproduksi sebesar 1-2 mg/L, IFN-β1 diproduksi sebesar 6-12 mg/L, sedangkan beberapa protein antibodi diproduksi antara 10-250 mg/L. Produksi tertinggi protein heterolog ekstrasel pada P. pastoris adalah 2.5 g/L untuk bacterial-α-amylase (Fischer et al., 1999). Perbedaan tingkat ekspresi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti sifat dan asal protein target, perbedaan codon-usage, sistem vektor ekspresi dan efisiensi sekresi protein (untuk protein ekstrasel). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan ekspresi protein heterolog pada P. pastoris seperti dengan penambahan suatu spacer-
DNA antara sekuen sinyal sekresi faktor-α dengan gen target untuk meningkatkan sekresi protein rekombinan dari sel, seperti pada contoh Insulin dan IFN-β1. Peningkatan ekspresi protein heterolog juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan dan mengubah codon-usage yang berbeda antara gen target dengan P. pastoris. Beberapa jenis gen seperti Cyt2AaI dan EBA175 tidak dapat diekspresikan pada P. pastoris karena perbedaan %GC dan codon-usage (Gurkan and Ellar, 2003; Yadava & Ockenhouse, 2003). Gen tersebut baru dapat diekspresikan pada P. pastoris setelah dilakukan perubahan codon-usage sesuai dengan codon-usage P. pastoris. Penelitian ini bertujuan melakukan optimasi kodon melalui pendekatan perubahan kodon menjadi kodon preferensi dari sel inang dengan cara mengkonstruksi suatu gen epo-sintetik (eposyn). Sejauh ini belum ada laporan penelitian untuk optimasi kodon gen epo dengan cara pembuatan gen sintetik yang memiliki kodon preferensi yeast P. pastoris. Keluaran dari penelitian ini adalah suatu gen sintetik baru yang mengkode suatu protein yang identik dengan humanEPO, tetapi memiliki sekuen DNA yang sama sekali berbeda dengan sekuen gen epo (wildtype) pada manusia.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Konstruksi gen EPOsyn : a. Strategi konstruksi gen sintetik Konstruksi gen EPOsyn dilakukan dengan metode recursive-PCR (Casimiro, 1997). Sebanyak 8 primer panjang oligonukleotida berukuran antara 66-90 nt digunakan sebagai cetakan sekaligus sebagai ’primer’ untuk membentuk sekuen gen yang utuh. Ke 8 primer tersebut (P1 s/d P8), dipesan dari Sigma-Proligo Australia Pty Ltd. Dua pasang primer pendek (flanking primers) dibuat untuk amplifikasi gen sintetik, yaitu FP1, RP4, FP5 dan RP8, yang masing-masing mengandung 21- 48 nt. Strategi konstruksi gen sintetik dilakukan mengacu kepada metode recursive-PCR dari Casimiro (1997) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah konstruksi gen sintetik dibagi dalam dua tahap reaksi. Primer panjang pembentuk gen-sintetik dibagi dalam dua kelompok yang akan membentuk dua bagian gen sintetik, yaitu eposyn-I (primer P1-P4) dan eposyn-II (primer P5-P8) yang masing-masing dibuat secara terpisah. Kedua bagian gen eposyn diisolasi dan dipurifikasi dari gel agarose. Selanjutnya kedua bagian gen tersebut digabung dengan metode normal PCR dan diamplifikasi dengan primer FP1 dan RP8. Pada tahap konstruksi gen sintetik ini digunakan Pfu DNA-polimerase. b. Analisis sekuen DNA gen EPOsyn hasil rPCR. Gen EPOsyn hasil konstruksi dengan metode rPCR diklon ke dalam plasmid kloning dan
ditransformasikan ke dalam E. coli. Selanjutnya plasmid rekombinan diisolasi dari transforman E. coli, dipurifikasi dan dilakukan analisis restriksi dengan EcoRI dan pasangan enzim XhoI/XbaI atau XhoI/SalI. Klon yang positif mengandung EPOsyn dengan ukuran yang tepat (500 bp) selanjutnya dipurifikasi dan disekuen. Kloning dan transformasi menggunakan metode umum pada protokol biologi molekular (Ausubel, 2002). c.Perbaikan kesalahan sekuen gen melalui mutagenesis terarah. Gen EPOsyn klon G3 atau C55 hasil konstruksi dengan rPCR masih mengandung kesalahan (mutasi) pada 2 tempat. Klon ini digunakan sebagai cetakan untuk memperbaiki sekuen gen EPOsyn. Dua pasang primer digunakan untuk memperbaiki sekuen gen tersebut (Tabel-2). Perbaikan gen EPOsyn dilakukan dengan membuat dua bagian gen EPOsyn secara terpisah untuk selanjutnya kedua bagian tersebut digabungkan kembali (Gambar-2). Penggabungan dua bagian EPOsyn tersebut dilakukan dengan metode normal PCR. 2. Kloning gen EPOsyn pada plasmid pCR2.1 dan analisis sekuen gen EPOsyn Gen EPOsyn yang diperoleh setelah perbaikan selanjutnya diklon ke dalam plasmid kloning pCR21 (Invitrogen) dan ditransformasikan ke dalam E. coli
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
41
XL-1 blue. Selanjutnya plasmid rekombinan diisolasi dari transforman E. coli dan dilakukan analisis restriksi dengan pasangan enzim XhoI/XbaI atau XhoI/SalI. Klon pCR-EPOsyn yang positif terpotong setelah analisis restriksi diisolasi dan dipurifikasi. Beberapa klon selanjutnya disekuen untuk melihat sekuen gen EPOsyn hasil perbaikan. Isolasi plasmid, kloning dan transformasi menggunakan metode umum pada protokol biologi molekular (Ausubel, 2002). 3. Kloning gen EPOsyn pada plasmid pPICZα Klon dengan sekuen gen EPOsyn yang telah diperbaiki dan dikonfirmasi dengan hasil sekuen DNA selanjutnya diklon ke dalam vektor ekspresi pPICZα. Vektor pPICZα dan plasmid rekombinan pCR-EPOsyn dari klon gen yang telah diperbaiki keduanya dipotong dengan pasangan enzim XhoI/XbaI atau XhoI/SalI. Gen EPOsyn yang telah dipotong kemudian diisolasi dan dipurifikasi dari gel. Selanjutnya gen EPOsyn dan vektor yang telah dipotong dengan enzim yang sama diligasikan dan ditransformasikan. ke dalam E. coli Top10F’. Transforman E. coli kemudian diseleksi pada medium agar LS-LB yang mengandung zeocin (25 ug/l). Terhadap vektor rekombinan selanjutnya dilakukan analisis restriksi menggunakan pasangan enzim XhoI/XbaI atau XhoI/SalI. 4. Transformasi plasmid rekombinan pPICZα-EPOsyn pada yeast Transformasi dilakukan dengan metode elektroporasi (metode kejut listrik) menggunakan instrumen EC100 Electroporator (EC Apparatus Corp.). Elektroporasi dilakukan pada tegangan 2800V, 25µF, 220ohms, menggunakan kuvet elektroporasi (lebar 0,2 cm). Sebanyak 10 µl DNA linear (4 µg DNA) dimasukkan ke dalam 40 µl suspensi sel kompeten yeast yang akan digunakan untuk transformasi dan ditransfer ke dalam kuvet elektroporasi. Transformasi dilakukan terhadap 3 galur Pichia pastoris, yaitu galur X-33, KM-71 dan GS-115. DNA yang digunakan adalah vektor rekombinan pPICZα-EPOsyn yang telah dipotong (linear) dengan enzim SacI. 5. Skrining dan isolasi yeast transforman Sel yeast hasil transformasi ditumbuhkan pada medium seleksi yaitu medium agar YPD (yeast ekstrak 1% b/v, peptone 2% b/v, dextrose 2% b/v) dan mengandung zeocin (100 ug/ml). Sel diinkubasi pada suhu 30oC selama 2-4 hari. Sel yang tumbuh pada medium tersebut selanjutnya dipindah ke dalam medium seleksi yang baru (YPD+ zeocin 100 ug/ml)
untuk menguji stabilitas genetik galur yeast transforman yang tumbuh. Untuk memperoleh galur yang sangat stabil secara genetik dan kemungkinan memperoleh klon yang mengandung beberapa kopi gen target, maka skrining dan seleksi dapat dilanjutkan pada medium seleksi yang sama (YPD+ zeocin) tetapi dengan menggunakan konsentrasi zeocin yang meningkat (500 ug/ml s/d 2000 ug/ml zeocin). 6. Analisis eskpresi protein rekombinan Galur yeast transforman terpilih ditumbuhkan dalam medium ekspresi BMGH (buffered minimal glycerol) dan selanjutnya sel yeast dipindahkan ke dalam medium induksi BMMH (buffered minimal methanol). Inokulum yeast disiapkan dalam medium BMGH selama 1-2 hari pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm. Kemudian sebanyak 5% inokulum dimasukkan kedalam medium kultur BMGH (100 mM potassium phosphate pH 6.0, 1,34% (b/v) YNB, 4x105 % (b/v) biotin, 1% (b/v) glycerol). Kultur ditumbuhkan pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm selama 2 hari. Selanjutnya biomassa yeast dipisahkan dari medium dengan cara sentrifugasi, kemudian sel diresuspensikan kembali dalam medium BMMH (100 mM potassium phosphate pH 6.0, 1,34% (b/v) YNB, 4x10-5 % (b/v) biotin, 0,5% (b/v) methanol) sampai mencapai OD600 sekitar 1,0 untuk menginduksi ekspresi protein rekombinan. Kultur ditumbuhkan pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm selama 2-4 hari. Pengambilan contoh dapat dilakukan setiap 24 jam untuk menentukan kondisi optimal ekspresi protein rekombinan. Protein pada contoh cairan kultur (supernatant) dan ekstrak sel (cell lysate) dari kultur yeast selanjutnya dianalisis dengan metode elektroforesis SDS-PAGE dan Western blotting untuk mendeteksi ekspresi protein rekombinan. Metode SDSPAGE dan Western blotting menggunakan metode baku pada protokol biologi melekuler (Ausubel, 2002) dan metode ekspresi protein mengacu pada protokol EasySelect Pichia Expression Kit (Invitrogen). 7. Analisis molekular gen EPOsyn pada yeast transforman Isolasi DNA genomik yeast transforman dan analisis PCR dilakukan dengan menggunakan metode baku pada protokol biologi molekuler (Ausubel, 2002). Metode analisis Southern blotting mengacu kepada protokol yang disediakan oleh produsen dari Kit yang digunakan untuk analisis Southern blotting (GE Healthcare).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Konstruksi gen EPOsyn :
1.a. Analisis sekuen DNA gen EPOsyn hasil rPCR.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
42
Konstruksi gen EPO sintetik (EPOsyn) dengan metode rPCR telah diperoleh pada penelitian terdahulu (tahun 2006). Konstruksi gen EPOsyn tersebut telah diklon ke dalam plasmid kloning pCR2.1 (Invitrogen) dan ditransformasikan ke dalam E. coli. Selanjut-nya dilakukan seleksi dan skrining terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh. Dari beberapa klon transforman yang diperoleh, sebanyak 8 klon plasmid rekombinan telah berhasil disekuen, yaitu klon no. C17a, C27a, C27b, C55a, G3, H10, K2 dan L5. Sayangnya dari 8 klon berbeda tersebut diketahui bahwa gen EPOsyn yang dihasilkan masih mengandung kesalahan (mutasi) pada beberapa bagian dari sekuen gen tersebut. Tabel 1 menunjukkan ringkasan hasil analisis sekuen DNA beberapa klon gen EPOsyn yang diperoleh.
merupakan ilustrasi metode yang digunakan untuk memperbaiki sekuen gen EPOsyn yang dimaksud. Setelah gen sintetik tersebut dikonstruksi kembali, gen EPOsyn perbaikan tersebut diklon ke dalam plasmid kloning (pCR21).
Tabel 1. Ringkasan hasil analisis sekuen DNA gen EPOsyn hasil amplifikasi rPCR No
Klon
Jenis Mutasi
1
C17a
delesi substitusi
Jumlah Mutasi (nt) 11 1
2
C27a
3
C27b
4 5 6 7 8
C55a G3 H10 K2 L5
delesi substitusi delesi substitusi Delesi Delesi Delesi Delesi Delesi
10 3 10 3 3 3 2 3 17
Posisi Mutasi (nomor nt) 22, 345-352, 363, 424. 125 406, 423-431. 92, 110, 442. 406, 423-431. 92, 110, 442. 4, 294, 295 4, 294, 295 4, 18. 190, 191, 278. 100, 237-248, 276, 309, 319, 328
*) nt : nukleotida.
Dari 8 sekuen EPOsyn yang telah dianalisis belum diperoleh sekuen yang sempurna atau identik 100% dengan sekuen target. Pada sekuen tersebut masih terdapat beberapa mutasi yang terjadi berupa delesi atau substitusi (Gambar-1). Dari tabel-1 terlihat bahwa 4 klon menunjukkan sekuen dengan mutasi paling sedikit, yaitu klon C55, G3, H10 dan K2. Untuk memperoleh sekuen EPOsyn yang sesuai dengan sekuen target, maka salah satu cara yang paling efektif adalah melakukan perbaikan terhadap salah satu klon EPOsyn terbaik yang telah diperoleh, yaitu klon G3 atau C55. 1.b. Perbaikan sekuen gen EPOsyn melalui mutagenesis terarah. Sekuen gen eposyn dari klon G3 atau C55 selanjutnya diperbaiki menggunakan metode mutagenesis terarah. Dua pasang primer digunakan untuk amplifikasi sekuen gen sintetik tersebut menjadi dua bagian. Selanjutnya dua bagian gen tersebut disambungkan kembali menjadi gen utuh. Gambar 2
Gambar 1. Alignment analysis sekuen gen sintetik hasil rPCR dari 8 klon independen yang diperoleh dibandingkan dengan sekuen gen EPOsyn (v2) yang direncanakan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
43
Gambar 2. Metode perbaikan mutasi titik pada sekuen gen EPOsyn klon G3 / C55. Tabel 2. Primer yang digunakan untuk perbaikan gen EPOsyn. No 1 2
Primer P1 (forward) P1’ (reverse)
3
P2’ (forward)
4
P2 (reverse)
Sekuen 5’-GCTCCACCAAGATTGATTTGT-3’ 3’CGTGCAACTGTTCCGACAAAGGCCAAAC TCTA-5’ 5’GCACGTTGACAAGGCTGTTTCCGGTTTG AGAT-3’ 3’-CGAACATCTTGACCACTGTCT-5’
Gen EPOsyn perbaikan hasil mutagenesis terarah diklon ke dalam plasmid kloning pCR21. Analisis restriksi dilakukan terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh sebelum analisis sekuen DNA dilakukan. Analisis restriksi dilakukan dalam dua tahap, yaitu menggunakan EcoRI, kemudian menggunakan pasangan enzim restriksi XhoI/XbaI atau XhoI/SalI. Gambar-4 menunjukkan hasil analisis restriksi dengan EcoRI, dimana beberapa klon positif mengandung gen dimaksud ditunjukkan dengan adanya potongan DNA berukuran 500 pb. Sedangkan Gambar-5 menunjukkan analisis restriksi dengan enzim yang spesifik memotong ujung-5’ dan ujung-3’ gen EPOsyn menggunakan pasangan enzim XhoI/XbaI atau XhoI/SalI terhadap klon positif hasil analisis dengan EcoRI. Hampir semua klon yang dianalisis tersebut positif terpotong dan memiliki pita DNA berukuran 500 pb. Beberapa klon yang tidak terpotong kemungkinan terjadi karena adanya perubahan sekuen pada salah satu situs restriksinya. Tabel 3. Hasil analisis restriksi plasmid rekombinan pCR-EPOsyn. No 1 2
Klon eposyn CA CB
Klon dianalisis 67 72
Klon (+) (EcoRI) 21 (31,3%) 18 (25,0%)
Klon (+) (XhoI/XbaI) 20 (29,9%) -----
Klon (+) (XhoI/SalI) ----16 (22,2%)
Gambar 4. Analisis restriksi plasmid rekombinan pCReposyn dengan EcoRI. Klon yang diberi tanda ’+’ menunjukkan bahwa klon tersebut mengandung DNA sisipan (eposyn). Gambar 3. Perbaikan sekuen gen EPOsyn dengan mutagenesis terarah dengan metode PCR. (A) amplifikasi bagian-I dan II dari gen EPOsyn; (B) hasil gabungan bagian-I dan II gen EPOsyn menjadi gen utuh (500 pb). Gambar 3 menunjukkan hasil elektroforesis potongan DNA gen EPOsyn yang diperbaiki dan gen hasil perbaikan tersebut telah berhasil direkonstruksi kembali. Gen EPOsyn perbaikan tersebut kemudian diisolasi dan dipurifikasi dari gel. Selanjutnya gen tersebut diklon ke dalam plasmid kloning pCR21 untuk kemudian dilakukan analisis sekuen DNA. 2. Kloning dan analisis restriksi klon gen EPOsyn hasil perbaikan.
Gambar 5. Analisis restriksi plasmid rekombinan pCReposyn dengan XhoI/XbaI (A) dan dengan XhoI/SalI (B). 3. Analisis sekuen gen EPOsyn ’perbaikan’. Sebanyak 4 klon plasmid pCR-EPOsyn telah disekuen, yaitu klon CA7005, CA7006, CB7012 dan CB7014. Ada 3 dari 4 klon tersebut yang menunjukkan adanya perbaikan sekuen pada posisi target, kecuali klon CA7005 yang tidak berhasil diperbaiki. Gambar 6
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
44
menunjukkan posisi nukleotida yang ’diperbaiki’, yaitu pada posisi nukleotida no.4 (insersi C), 294 dan 295 (insersi T dan G).
Gambar 6. Hasil analisa sekuen DNA gen EPOsyn perbaikan dari salah satu klon (klon CB7012). 4. Kloning dan analisis restriksi klon gen EPOsyn pada vektor ekspresi pPICZα Gen EPOsyn (’perbaikan’) selanjutnya diklon ke dalam plasmid vektor. Dua klon vektor rekombinan pPICZα-EPOsyn telah diperoleh (klon CB7012 dan CB7014). Efisiensi ligasi dan transformasi gen EPOsyn ke dalam vektor pPICZα sangat rendah, sehingga hanya sedikit transforman yang diperoleh. Analisis restriksi telah dilakukan terhadap beberapa vektor rekombinan pPICZα-EPOsyn yang diperoleh (klon no. CB7012 dan CB7014). Hasil analisis restriksi vektor rekombinan dengan enzim XhoI dan SalI dapat dilihat pada Gambar 7. Terlihat bahwa gen EPOsyn telah terinsersi ke dalam vektor pPICZα.
Gambar 7. Analisa restriksi plasmid rekombinan pPICZα-EPOsyn dengan XhoI / SalI. 5. Transformasi vektor rekombinan pada yeast. Transformasi yeast dengan vektor rekombinan pPICZα-EPOsyn telah dilakukan mengikuti protokol pada Manual EasySelectTM Pichia Expression Kit (Invitrogen). Pada transformasi yeast ini digunakan sebanyak 4 µg DNA yang telah dipotong dengan enzim SacI menjadi plasmid linear. Jumlah DNA yang digunakan ini sedikit lebih rendah dari jumlah yang disarankan pada protokol tersebut, yaitu antara 5-10 µg DNA. Transformasi yeast bisa dilakukan dengan plasmid yang sirkular (tidak dipotong) atau linear (dipotong), tetapi transformasi dengan plasmid yang linear dilaporkan jauh lebih baik untuk memperoleh transforman. Pada eksperimen transformasi yeast juga
telah dicoba transformasi menggunakan plasmid sirkular tetapi tidak menghasilkan sel transforman. Sementara transformasi menggunakan plasmid linear (dipotong dengan SacI) menghasilkan cukup banyak sel transforman. Transformasi plasmid rekombinan pPICZα-EPOsyn dilakukan terhadap tiga galur P. pastoris, yaitu X33, GS115 dan KM71, memberikan hasil seperti tertera pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Data hasil transformasi yeast dengan vektor rekombinan pPICZα-eposyn. No
Strain
1 2 3
X-33 KM-71 GS-115
DNA (10 µl x 400 ng/µl) 4 µg 4 µg 4 µg
Transforman (per 100 µl sel) 6 396 868
Transforman (sel/µg DNA) 1,5 99 217
Efisiensi transformasi per jumlah DNA terhadap galur X33 sangat rendah dibandingkan dengan galur lainnya, yaitu sekitar 1,5 sel/µg DNA. Sementara efisiensi transformasi galur KM71 dan GS115 masingmasing mencapai 99 dan 217 sel/ug DNA. Setelah elektroporasi dilakukan, sel yeast ditumbuhkan pada medium seleksi YPD yang mengandung Zeocin. Sel yang berhasil ditransformasikan akan tumbuh pada medium seleksi tersebut seperti terlihat pada Gambar-8A. Sel diinkubasi pada suhu 30oC dan sel transforman akan terlihat tumbuh setelah 2-4 hari. Beberapa sel kemungkinan akan menunjukkan ekspresi resistensi yang semu terhadap zeocin (ekspresi transient). Untuk itu perlu dilakukan uji kestabilan genetik sel transforman terhadap Zeocin yang merupakan agen penyeleksi sel transforman. Pengujian dilakukan dengan cara memindahkan sel/koloni yeast transforman yang tumbuh pada medium seleksi ke dalam medium YPD baru yang mengandung Zeocin (100 µg/ml) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 30oC selama 2-4 hari. Hanya koloni transforman yang stabil yang akan bertahan hidup pada medium tersebut. Uji kestabilan resistensi zeocin tersebut dapat dilihat pada Gambar8B s/d -8C. Koloni transforman yang bertahan tumbuh setelah uji ini diharapkan telah mengandung minimal 1 kopi plasmid rekombinan yang mengandung gen target (EPOsyn) dalam genomnya melalui rekombinasi homologus pada situs spesifik gen alcohol oxidase (AOX1) dari P. pastoris. 6. Skrining dan isolasi galur yeast transforman Setelah transformasi dilakukan dan diperloleh yeast transforman, skrining dilakukan terhadap sel transforman tersebut untuk memperoleh galur yeast transforman yang resisten terhadap Zeocin (Zeo+) dan stabil secara genetik. Resistensi semu terhadap antibiotik penyeleksi (Zeocin) kemungkinan dapat
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
45
terjadi sesaat setelah transformasi, dimana sel sepertinya tumbuh dalam medium seleksi tetapi setelah di pindah kedalam medium seleksi yang baru tidak dapat tumbuh. Hal ini dikenal sebagai ‘ekspresi sementara’ atau transient expression pada sel hasil transformasi. Target dari transformasi pada yeast ini adalah integrasi plasmid rekombinan ke dalam genom DNA dari sel inang. Integrasi diharapkan terjadi melalui proses rekombinasi homologus. Transforman yang telah mengalami rekombinasi homologus akan stabil secara genetik dan resisten terhadap antibiotik penyeleksi (Zeo+). Skrining dilakukan dengan cara memindahkan koloni yeast yang tumbuh pada medium seleksi (YPDA + Zeocin 100 ug/ml) ke dalam medium seleksi yang baru yang juga mengandung Zeocin (100 ug/ml). Sebanyak 68 koloni yeast transforman dari galur GS115 dan KM-71 serta 30 galur X-33 telah dipindahkan ke dalam medium seleksi baru. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua transforman (100%) dari galur GS-115 dan KM-71 dapat tumbuh dengan baik dalam medium baru dan menunjukkan resistensi terhadap Zeocin (Zeo+). Sementara hanya sebagian transforman (67%) dari galur X-33 yang menunjukkan resistensi (Zeo+) (Tabel 5, Gambar 8).
protein dilakukan dengan metode elektroforesis gel akrilamid (SDS-PAGE) dan metode Western blot.
A
B
C
D
KM71
Tabel 5. Uji kestabilan genetik galur yeast transforman No
Galur
∑ Koloni uji
1 2 3
X-33 GS-115 KM-71
30 68 68
∑ Koloni positif (Zeo+) 20 (67%) 68 (100%) 68 (100%)
Selanjutnya galur transforman Zeo+ yang stabil diuji kembali dalam medium seleksi (YPDA + Zeocin) dengan konsentasi Zeocin yang meningkat, yaitu 500 ug/ml dan 2000 ug/ml. Selain untuk memperoleh galur yang stabil secara genetik, uji ini dimaksudkan untuk memperoleh galur dengan ekspresi protein heterologus terbaik dan kemungkinan mengandung lebih dari satu kopi gen target. Hasil uji dengan variasi konsentrasi antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah koloni Zeo+ pada uji resistensi terhadap Zeocin pada konsentrasi tinggi. No
Galur
1 2 3
X-33 GS-115 KM-71
∑ Koloni uji 30 68 68
Zeo 500 ug/ml 20 (67 %) 45 (66%) 68 (100%)
Zeo 2000 ug/ml 14 (47%) 19 (28%) n.a.
7. Analisis ekspresi protein rekombinan pada yeast transforman. Analisis ekspresi protein EPO rekombinan dari beberapa galur yeast transforman telah dilakukan dalam skala kecil untuk seleksi galur transforman yang mengekspresikan protein target. Analisis ekspresi
Gambar 8. Skrining dan uji stabilitas genetik beberapa yeast transforman pada medium seleksi yang mengandung zeocin (YPDA + Zeo) dengan konsentrasi zeocin 100 s/d 2000 ug/ml. Panel-A: YPDA + Zeo 100 ug/ml; Panel-B: YPDA + Zeo 100 ug/ml; Panel-C: YPDA + Zeo 500 g/ml; Panel-D: YPDA + Zeo 2000 ug/ml. Analisis dengan Western blot menunjukkan bahwa sebagian besar galur X33 transforman yang diperoleh positif mengekspresikan protein EPO-rekombinan secara ekstrasel. Protein rekombinan dikenali oleh antibodi Anti-EPO pada contoh supernatan (medium tumbuh) dari kultur yeast transforman tersebut. Hanya sebagian kecil galur transforman GS115 yang positif mengekspresikan protein EPO-rekombinan. Sedangkan untuk galur KM71 belum diperoleh klon yang positif mengekspresikan EPO-rekombinan ekstrasel dari sejumlah transforman yang dianalisis. Skrining terhadap galur KM71 dan GS115 transforman masih dilanjutkan untuk mendapatkan transforman yang positif mengekspresikan protein target EPO rekombinan. Analisis Western blot beberapa klon transforman dari 3 galur yeast yang digunakan dapat dilihat pada Gambar-9 berikut ini.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
46
Gambar 9. Analisis Western blot dari contoh supernatan kultur skala kecil beberapa galur transforman yeast X33, GS115 dan KM71 menggunakan antigen Anti-humanEPO dan rhEPO komersial dari sel CHO (Calbiochem) sebagai kontrol. Analisis ekspresi protein rekombinan dengan SDSPAGE dari contoh supernatan maupun contoh ekstrak sel dari galur X33 dan GS115 dapat dilihat pada Gambar 10. Analisis SDS-PAGE dari contoh supernatan menunjukkan bahwa protein ekstrasel tidak terdeteksi dengan baik (Gambar 10A). Ada beberapa kemungkinan penyebab, seperti metode deteksi kurang baik, konsentrasi protein terlalu rendah karena contoh tidak dipekatkan, atau kondisi ekspresi kurang optimal. Sedangkan analisis protein pada contoh ekstrak sel (cell lysate) menunjukkan pita-pita protein rekombinan yang cukup jelas (Gambar 10B). Analisis ekspresi protein dengan metode SDS-PAGE masih akan dilakukan untuk mendapat kondisi ekspresi terbaik.
Gambar 10. Hasil SDS-PAGE dari contoh supernatan (Panel-A) dan ekstrak sel (Panel-B) dari yeast transforman galur X33 dan GS115. 8. Analisis molekular yeast transforman
Analisis molekular galur yeast transforman dilakukan dengan metode PCR dan Southern blot. Sampel yang dianalisis adalah DNA genomik yang diisolasi dari beberapa yeast transforman yang resisten Zeocin (Zeo+). Isolasi DNA genomik dari beberapa klon yeast transforman ditunjukkan pada Gambar 11. Analisis PCR dari DNA genomik yeast telah dilakukan terhadap beberapa transforman galur X-33 dan GS-115 untuk mendeteksi adanya gen EPOsyn dalam genom yeast. Hasil analisis menunjukkan hampir semua galur X33 transforman terdeteksi mengandung gen target (EPOsyn), sementara hanya sekitar 10 klon GS115 yang positif mengandung gen EPOsyn dari sekitar 60an klon yang diuji. Sedangkan untuk galur transforman KM71 belum ditemukan klon yang positif. Hasil analisis PCR untuk mendeteksi adanya gen target (EPOsyn) dalam genom yeast dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil PCR dari DNA contoh menunjukkan adanya 2 pita, yaitu pita 500 bp (mayor) dan 750 bp (minor). Pita 500 bp menunjukkan adanya gen EPOsyn, sementara pita 750 bp merupakan produk PCR akibat penempelan tidak spesifik dari primer yang digunakan pada sekuen plasmid DNA rekombinan (Gambar 12C).
Gambar 11. DNA genomik yang diisolasi dari beberapa klon yeast transforman : (A) galur X33 dan (B) galur GS115.
Gambar 12. Analisis PCR untuk mendeteksi gen target (EPOsyn) yang terintegrasi dalam DNA genomik beberapa yeast transforman. (A) Galur transforman X33; (B) Galur transforman GS115; (C) Hasil PCR dari plasmid rekombinan pPICZα-EPOsyn dengan Tm=46oC (lajur-2 dan 3) dan Tm=50oC (lajur-4 dan 5). Pita gen EPOsyn ditunjukkan oleh tanda panah (500 bp). Sementara itu analisis Southern blot juga telah dilakukan pada beberapa contoh klon transforman X33. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar transforman galur X33 tersebut positif mengandung minimal 1 kopi gen EPOsyn atau lebih (Gambar 13). Pada Gambar 13 ditunjukkan bahwa analisis sangat sensitif, dimana kontrol negatif yaitu DNA genomik dari yeast non-ransforman tidak menunjukkan adanya pita DNA.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
47
Gambar 11. Analisis Southern blotting dari DNA genomik yeast transforman dari galur X33. (A) DNA genomik setelah dipotong dengan enzim restriksi SacI pada gel agarose sebelum dilakukan blotting. (B) Gel agarose setelah dilakukan blotting telah bersih dari potongan DNA, menunjukkan bahwa DNA telah ditransfer ke membran dengan efektif. (C) Hasil probing dari membran menunjukkan pita DNA yang mengandung gen target (EPOsyn) pada contoh tersebut.
Lajur-1: DNA ladder (1kb); lajur-2: Plasmid DNA (Kontrol positif); lajur-3: fragmen EPOsyn hasil PCR; lajur-4: X33 non transforman (Kontrol negatif); lajur-5 s/d lajur-20: klon transforman X33/EPS
Sedangkan beberapa klon menunjukkan ada lebih dari satu pita DNA, menunjukkan jumlah kopi gen lebih dari satu. Sayangnya enzim yang digunakan untuk memotong (SacI) adalah juga enzim yang digunakan untuk linearisasi DNA sebelum transformasi, sehingga ada kemungkinan jumlah kopi gen yang ditunjukkan pada hasil Southern ini kurang akurat, karena adanya kemungkinan situs SacI telah rusak saat rekombinasi berlangsung. Untuk itu analisis Southern selanjutnya akan diperbaiki menggunakan enzim restriksi yang lain, yaitu SalI yang memotong pada ujung-3’ dari gen EPOsyn..
KESIMPULAN Secara umum dapat disimpulkan bahwa target penelitian tahun 2007 ini telah tercapai, yaitu : (1) Konstruksi gen EPO sintetik (EPOsyn) dengan sekuen yang benar; (2) Konstruksi vektor ekspresi yeast dari gen sintetik EPOsyn; (3) Transformasi dan seleksi transforman yeast yang mengandung gen sintetik EPOsyn; (4) Memperoleh yeast transforman yang positif mengandung gen EPOsyn dalam genomnya; serta (5) Memperoleh yeast transforman yang positif mengenal gen sintetik EPOsyn dan mengekspresikan protein EPO rekombinan secara ekstraselular. Gen sintetik EPOsyn telah berhasil dikonstruksi dengan metode recursive-PCR, tetapi masih mengandung beberapa mutasi. Gen EPOsyn telah disempurnakan dengan metode mutagenesis terarah untuk memperbaiki mutasi yang terjadi. Gen EPOsyn ’perbaikan’ telah diperoleh dan diklon ke dalam vektor ekspresi yeast pPICZα. Gen tersebut juga telah disekuen kembali dan dikonfirmasi telah terfusi baik dengan signal peptide Factor-α pada ujung-N dan dengan 6xHisTag pada ujung-C. Transformasi vektor rekombinan pPICZα-EPOsyn telah menghasilkan beberapa yeast transforman dari galur X33, GS115 dan KM71. Hasil analisis ekspresi protein dengan metode Western blot menunjukkan bahwa tidak semua yeast transforman yang Zeo+
mampu mengekspresikan protein target (EPO). Hampir semua klon transforman X33 positif mengekspresikan protein target. Hanya beberapa klon transforman GS115 yang positif mengekspresikan protein target, sedangkan untuk transforman KM71 belum ditemukan klon yang positif. Analisis ekspresi protein selanjutnya dikonfirmasi dengan analisis molekular. Hasil analisis PCR sejalan dengan analisis protein, dimana sebagian besar transforman X33 positif mengandung gen EPOsyn dan hanya beberapa transforman GS115 yang positif. Sementara dari transforman KM71 belum diperoleh klon yang positif mengan-dung gen EPOsyn, meskipun transforman tersebut adalah Zeo+. Hal ini berarti bahwa tidak selalu transforman Zeo+ yang diperoleh juga mengandung gen EPOsyn dalam genomnya. Hasil transformasi dengan rekombinasi homologus bisa beragam, diantaranya rekombinasi bisa mengintegrasikan gen resistensi antibiotik dengan atau tanpa mengintegrasikan gen target. Hasil Southern blot dari transforman X33 menunjukkan bahwa transforman yeast yang diperoleh telah mengandung minimal satu kopi gen EPOsyn dalam genom, dan beberapa lainnya bisa mengandung lebih dari satu kopi gen.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
48
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Sdri. Esther untuk bantuan dalam analisis sekuen DNA menggunakan DNA Sequencing Analyzer ABI (Applied Biosystem) di Lab. Instrumentasi, Puslit Bioteknologi LIPI. DAFTAR PUSTAKA Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Smith JA & Struhl K (editors). 2002. Short Protocol in Molecular Biology, Fifth edition. John Wiley and Sons, Inc. Burns S, Arcasoy MO, Kurian E, Selander K, Emanuel PD & Harris KW. 2002. Purification and characterization of the yeastexpressed erythropoietin mutant Epo (R103A), a specific inhibitor of human primary hematopoietic cell erythropoiesis. Blood. 99(12): 4400-4405. Casimiro DR, Wright PE & Dyson HJ. 1997. PCR-based gene synthesis and protein NMR spectroscopy. Structure. 5 (11): 14071412. Cheon BY, Kim HJ, Oh KH, Bahn SC, Ahn JH, Choi JW, Ok SH, Bae JM & Shin JS. 2004. Overexpression of human erythropoietin (EPO) affects plant morphologies: retarded vegetative growth in tobacco and male sterility in tobacco and Arabidopsis. Transgenic Research. 13: 541-549. Ebert BL & Bunn HF. 1999. Regulation of the Erythropoietin Gene. Blood. 94(6): 1864-1877. Elliott S, Giffin J, Suggs S, Lau EP & Banks AR. 1989. Secretion of glycosylated human erythropoietin from yeast directed by the αfactor leader region. Gene. 79: 167-180. Elliott S, Lorenzini T, Asher S, Aoki K, Brankow D et al. 2003. Enhancement of therapeutic protein in vivo activities through glycoengineering. Nature Biotechnology . 21: 414-421. Fischer R, Drossard J, Emans N, Commandeur U and Hellwig S. 1999. Toward molecular farming in the future: Pichia pastorisbased production of single-chain antibody fragments. Biotechnol. Appl. Biochem. 30: 117-120. Gurkan C and Ellar DJ. 2003. Expression of the Bacillus thuringiensis Cyt2AaI toxin in Pichia pastoris using a synthetic gene construct. Biotechnol. Appl. Biochem. 38: 25-33. Jacobs K, Shoemaker C, Rudersdorf R, Neil SD, Kaufman RJ, Mufson A 1985. Isolation and characterization of genomic and cDNA clones of human erythropoietin. Nature. 313: 806-810. Kjeldsen T, Pettersson AF and Hach M. 1999. Secretory expression and characterization of insulin in Pichia pastoris. Biotechnol. Appl. Biochem. 29: 79-86. Lin FK, Suggs S, Lin CH, Browne JK, Smalling R, Egrie JC et al. 1985. Cloning and expression of the human erythropoietin gene. PNAS USA. 82: 7580-7584.
Matsumoto S, Ikura K, Ueda M and Sasaki R. 1995. Characterization of a human glycoprotein (erythropoietin) produced in cultured tobacco cells. Plant Mol. Biol. 27: 1163-1172. Matsuzaki S, Canis M, Yokomizo R, Yaegashi N, Bruhat MA and Okamura K. 2003. Expression of erythropoietin and erythropoietin receptor in peritoneal endometriosis. Human Reproduction. 18(1): 152-156. Skibeli V, Nissen-Lie G & Torjesen P. 2001. Sugar profiling proves that human serum erythropoietin differs from recombinant human erythropoietin. Blood. 98(13): 3626-3634. Skoko N, Argamante B, Grujicic NK, Tisminetzky SG, Glisin V & Ljubijankic G. 2003. Expression and characterization of human interferon-b1 in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Appl. Biochem. 38: 257-265. Stolze I, Pfannschmidt UB, Freitag P, Wotzlaw C, Rossler J, Frede S, Acker H & Fandrey J. 2002. Hypoxia-inducible erythropoietin gene expression in human neuroblastoma cells. Blood. 100(7): 2623-2628. Syed RS, Reid SW, Li C, Cheetham JC et al. 1998. Efficiency of signaling throughcytokine receptors depends critically on receptor orientation. Nature. 395: 511-516. Yadava A & Ockenhouse CF. 2003. Effect of codon optimization on expression levels of a functionally folded malaria vaccine candidate in prokaryotic and eukaryotic expression systems. Infection and Immunity. 71 (9): 4961-4969. Wen D, Boissel JP, Showers M, Ruch BC & Bunn HF. 1994. Erythropoietin structure-function relationships. Identification of functionally important domains. J. Biol. Chem. 269(26): 2283922846. Wojchowski DM, Orkin SH & Sytkowski AJ. 1987. Active human erythropoietin expressed in insect cells using a baculovirus vector: a role for N-linked oligosaccharide. Biochim. Biophys. Acta. 910(3): 224-232. Http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Accession no.:X02158. GI:31224. Human gene for erythropoietin Http://www.kazusa.or.jp/codon/. Pichis pastoris codon-usage. Http://www.aptagen.com/codon-optimization.html
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
49
LAMPIRAN-1 Analisis sekuen DNA gen eposyn (klon CB7012) pada plasmid vektor pPICZα dengan primer 5’-AOX1 (forward primer).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
50
LAMPIRAN-2 Analisis sekuen DNA gen eposyn (klon CB7012) pada plasmid vektor pPICZα dengan primer 3’-AOX1 (reverse primer). Sekuen ditampilkan sebagai Reverse-complement.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
51
UJI SENYAWA BIOAKTIF ANTIOKSIDAN/ANTIKANKER HASIL BIOPRODUKSI KAPANG ENDOFIT DARI TANAMAN Curcuma sp. Arif Soeksmanto, Partomuan Simanjuntak, Titik K. Prana, Yatri Hapsari, Fauzy Rachman, Bustanussalam, dan Yoice Srikandace Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Mikroba endofit hidup intraseluler di dalam jaringan tanaman yang sehat dan diduga memiliki potensi yang tidak terbatas sebagai sumber antibakteri, antijamur, hormon pertumbuhan, insektisida, immuno suppresant, enzim dan senyawa-senyawa lainnya. Selain itu pemanfaatan mikroba endofit diharapkan dapat mencegah kelestarian tanaman yang menjadi komponen utama dalam pembuatan jamu-jamuan. Kegitan penelitian produksi senyawa bioaktif (antioksidan/antikanker) hasil bioproduksi kapang endofit dari tanaman Curcuma spp. dilakukan dengan mengkoleksi 71 isolat kapang endofit. Rincian dari kapang-kapang endofit tersebut terdiri dari 6 isolat kapang dari C. longa asal Anyer, 5 isolat kapang dari C. longa asal Bogor, 5 isolat kapang dari C. longa asal Cibinong, 7 isolat kapang dari C. longa asal Yogyakarta, 14 isolat kapang dari C. longa asal Serang, 5 isolat kapang dari C. longa, 5 isolat kapang dari C. xanthorriza, 10 isolat kapang dari C. zedoary dan 7 isolat kapang dari C. aeruginosa yang seluruhnya didapatkan dari Serang, serta 4 isolat kapang dari C. longa, 1 isolat kapang dari C. aeruginosa, 1 isolat kapang dari C. xanthorriza, 1 isolat kapang dari C. zedoary dan 2 isolat kapang dari C. mangga yang seluruhnya berasal dari Jawa Tengah. Hasil analisis pola kromatografi lapis tipis (KLT) terhadap isolat-isolat kapang endofit, diketahui bahwa terdapat 31 isolat kapang endofit dari C. longa serta masing masing 1 isolat isolat kapang endofit dari C. xanthorriza, C. zedoary dan C. aeruginosa yang menunjukkan aktivitas bioproduksi. Sementara hasil uji aktivitas antimikroba yang dilakukan mendapatkan 6 isolat kapang endofit.
Kata kunci :Kapang endofit, Curcuma spp.. Bioproduksi, Kromatografi Lapis Tipis, antimikroba PENDAHULUAN Kapang endofit hidup intraseluler di dalam jaringan tanaman sehat, sehingga kemungkinan terjadi rekombinasi genetik dengan inangnya. Oleh karena itu kapang endofit berpotensi untuk dikembangkan sebagai alat untuk memproduksi senyawa kimia alami yang tidak terbatas, sebagai sumber antibakteri, antifungi, hormon pertumbuhan tanaman, insektisida, immuno suppresant, dsb (Tan & Zou, 2001). Beberapa kapang endofit telah terbukti menghasilkan senyawa alami yang memiliki karakteristik seperti inangnya. Contohnya adalah kapang endofit Taxomyces andreanae yang diisolasi dari Taxus brevifolia (Stierle et al., 1993; 1995a). Bahkan jenis kapang endofit Taxomyces wallachiana dapat menghasilkan taxol dalam jumlah yang layak untuk diproduksi secara komersial (Stierle et al., 1995b). Produk kapang endofit juga dapat berperan sebagai biotransformator yang mengubah senyawa-senyawa prekursor menjadi bentuk derivat yang lebih aktif dari senyawa asalnya. Contohnya kapang endofit dari tanaman teh (Diaporthe sp.) yang mengubah senyawa (+)-katehin dan (-)-epikatehin menjadi senyawa derivat 3,4 dihidroksiflavan yang memiliki aktivitas yang lebih tinggi terhadap sel kanker dibandingkan dengan katehin yang dihasilkan tanaman inangnya (Agusta et al., 2005). Selain itu kapang endofit Xylaria sp. tanaman kina (Cinchona succirubra). yang mentransformasi senyawa alkaloid kinkona (kuinin, kuinidin, sinkonidin dan sinkonin) menjadi derivatnya (kuinin N-oksida, kuinidin N-oksida, sinkonidin N-oksida, sinkonin N-oksida) menghasilkan produk yang lebih tinggi secara kuantitas
dibanding kinkona hasil tanaman inangnya (Simanjuntak et al., 2002). Selain itu, kapang endofit dapat juga dimanfaatkan untuk upaya pelestarian tanaman, khususnya tanaman yang sering dijadikan komponen utama pembuatan jamu. Misalnya tanaman Aglaia sp. yang mengandung senyawa cyclopentatetrahydrobenzofuran rhamnosida, derivat rocaglaol dan rocaglamida untuk pestisida dan antijamur (Xu, 2000); Alyxia reindwarti (pulasari) yang mengandung pinoresinol, yang merupakan prekusor obat anti kanker podophylotoxin (Lucy et al., 1998; Leuscher 1998, Hartini 2003). Kedua jenis tanaman tersebut nyaris punah bila terus menerus harus diexplorasi tanpa upaya pelestarian yang layak. Penelitian ini difokuskan pada kapang endofit tanaman Curcuma spp, mengingat Curcuma spp. khususnya Curcuma longa secara tradisional dikenal memiliki banyak manfaat seperti untuk zat pewarna, bahan aromatika, stimulant, penghasil senyawa kurkuminoid yang telah dikomersilkan sebagai minuman sehat, antioksidan, hepatoprotektor, obat untuk mengatasi gangguan hormonal, pencernaan, peredaran darah, anti inflamasi, anti pembekuan darah, metabolisme lipida, antibakteri, antijamur. antikanker dsb. Temu-temuan (Curcuma spp.) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang sudah sangat luas digunakan untuk pengobatan tradisional di Indonesia. Tanaman ini mengandung senyawa kurkuminoid yang terdiri atas senyawa kurkumin dan turunannya seperti deksmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
52
(Rasmussen et al., 2000). Senyawa tersebut termasuk dalam katagori GRAS (General Recognition of Safety) yang aman untuk dikonsumsi dan tanpa memiliki efek samping meski dikonsumsi hingga 8 gr per hari. Beberapa jenis temu-temuan seperti kunyit putih (Curcuma zedoaria (Berg) Rose), kunyit (Curcuma longa), temulawak (Cucurma xanthorrhiza Roxb), temu putih (Cucurma alba), dan temu mangga (Cucurma mangga) dilaporkan dapat mengatasi berbagai penyakit seperti gangguan hormonal, pencernaan, peredaran darah, hepatoprotektif, anti inflamasi, anti pembekuan darah, anti mikroba, antioksidan sampai antikanker (Ammon, 1991; Sari & Wigati, 2000). Bahkan Curcuma spp. khususnya C. longa sudah sejak lama digunakan secara tradisional sebagai zat pewarna, bahan pengharum makanan serta telah dikomersilkan sebagai minuman kesehatan. Menurut Kuttan (1985) pemberian 0.4 mg/ml ekstrak etanol dan 1-4 µg/ml senyawa kurkuminoid C.
longa dapat menghambat pertumbuhan kultur sel tumor, melalui mekanisme yang mirip taksol. Senyawa kurkuminoid juga memiliki efek antikarsinogenik (Mukundan et al., 1993), menghambat pertumbuhan Helicobacter pylori dan kanker usus besar dengan memblok ikatan NF-Kappa β pada sel epitelial yang terinfeksi H. pylori (Mahady, 2002), menaikkan imunitas tubuh dan menghentikan angiogenesis (Mitchell, 2002) Pada penelitian ini akan dilakukan koleksi dan isolasi kapang endofit dari tanaman Curcuma spp. untuk diuji kemampuan bioproduksi senyawa metabolitnya. Hal tersebut mengingat akan kapang endofit yang berdasarkan studi literature berpotensi menghasilkan senyawa metabolit (Tan & Zou, 2001), kebutuhan medianya lebih sederhana, murah dan penanganannya relatif lebih mudah dibandingkan bakteri.
BAHAN DAN CARA KERJA Bahan penelitian yang digunakan adalah rimpang akar tanaman Curcuma spp. (C. longa, C. aeruginosa, C. xanthorriza, C. zedoary dan C. mangga ) yang koleksi dari beberapa daerah seperti Anyer, Bogor, Cibinong, Yogyakarta, Serang, Parung dan Jawa Tengah. Rimpang akar tanaman tersebut selanjutnya dicuci dengan hingga bersih dan dibilas dengan air suling. Sampel rimpang akar tanaman dipotong 2-3 cm kemudian direndam dalam alkohol 70% v/v selama 10 menit, dibilas air steril dan direndam dalam larutan chlorox 75 % v/v selama 60 menit. Selanjutnya sampel potongan tanaman tersebut dibilas tiga kali dengan air steril dan ditanam pada media potato dekstrose broth (PDB) untuk diinkubasi selama 3-14 hari. Sampel potongan tanaman yang tidak terkontaminasi, secara aseptis dipotong bagian tengahnya dan dipindahkan ke dalam media PDB baru. Miselium yang tumbuh dari potongan tanaman sampel, selanjutnya dipindahkan ke media PDB baru. Menurut Pulici et al., (1997) subkultivasi dan pemisahan kapang dilakukan setelah kultur kapang endofit berumur 28 hari. Sedangkam komposisi media yang digunakan terdiri atas 15 g agar, 15 g PDB, 15 g serbuk tanaman inang, 0.2 g kloramfenikol dan ditambahkan air suling hingga 1 liter. Isolat kapang endofit diidentifikasi (secara makroskopis dan mikroskopis) untuk mendapatkan
kultur murni dan digunakan sebagai kultur induk untuk kultivasi in vitro. Kultivasi kapang endofit pada kultur in vitro dilakukan sebagai berikut. Media PDA steril disiapkan dalam bentuk agar miring dan media cair (40 ml) dalam erlenmeyer 300 ml yang telah sterilisasi dengan autoclave pada suhu 121 °C selama 20 menit serta diinkubasi 3 hari untuk membuktikan sterilitasnya. Kapang endofit hasil isolasi (kultur induk) ditumbuhkan dalam media agar miring PDA diinkubasi selama 3 sampai 7 hari, untuk digunakan sebagai inokulum kultivasi pada media cair. Selanjutnya inokulum kapang diambil menggunakan “ose” dan ditumbuhkan pada 40 ml media cair PDB dalam labu Erlenmeyer 300 ml. Kultur dilakukan dengan cara kultur permukaan dengan suhu kamar dan dalam kondisi gelap selama 14 sampai 56 hari. Kultur endofit dipanen setelah berumur 30 hari dan disaring menggunakan corong Buhner. Selanjutnya miselia dicuci menggunakan air suling sebanyak dua kali. Media dan air bilasan miselia diekstraksi dengan etil asetat pada volume yang sama dan digoyang selama 4 jam dengan rotary shaker (modifikasi). Proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan fase etilasetat yang akan diamati kandungan senyawa kimianya menggunakan KLT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil isolasi dan pemurnian kapang endofit dari Curcuma spp. (C. longa, C. aeruginosa, C. xanthorriza, C. zedoary dan C. mangga) dari beberapa daerah (Anyer, Bogor, Cibinong Yogyakarta, Serang, Parung dan Jawa Tengah) diperoleh sebanyak 71 isolat kapang endofit.
Rincian dari kapang-kapang endofit tersebut terdiri dari 6 isolat kapang dari C. longa asal Anyer, 5 isolat kapang dari C. longa asal Bogor, 5 isolat kapang dari C. longa asal Cibinong, 7 isolat kapang dari C. longa asal Yogyakarta, 14 isolat kapang dari C. longa asal Serang,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
53
5 isolat kapang dari C. longa, 5 isolat kapang dari C. xanthorriza, 10 isolat kapang dari C. zedoary dan 7 isolat kapang dari C. aeruginosa yang seluruhnya didapatkan dari Serang, serta 4 isolat kapang dari C. longa, 1 isolat kapang dari C. aeruginosa, 1 isolat kapang dari C. xanthorriza, 1 isolat kapang dari C. zedoary dan 2 isolat kapang dari C. mangga yang seluruhnya berasal dari Jawa Tengah. Selanjutnya sebagian dari 71 isolat kapang yang berhasil dikoleksi tersebut telah diuji kemampuannya dalam bioproduksi dan antimikroba. Hasil koleksi C. longa asal Anyer, diperoleh sebanyak 6 isolat kapang endofit yang diuji kemampuan bioproduksinya. Dari 6 isolat kapang tersebut, diketahui terdapat 2 isolat kapang (Cl.Ay.4F dan Cl.Ay.6F yang ditumbuhkan pada media Syp, Pdb dan Sln), 3 isolat kapang (Cl.Ay.1F; Cl.Ay.2F dan Cl.Ay.3F pada media Sabr. dan Sln) serta 1 isolat kapang (Cl.Ay.5F pada media Sln) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Melalui pengujian antimikroba terhadap isolat kapang tersebut diketahui bahwa isolat Cl.Ay.4F (dengan media Pdb) dan isolat Cl.Ay.6 (dengan media Syp) menunjukkan adanya aktivitas antimikroba. Hasil koleksi C. longa asal Bogor, diperoleh sebanyak 5 isolat kapang endofit. Terdapat 3 isolat kapang (Cl.Bg.2F; Cl.Bg.4F dan Cl.Bg.5F yang ditumbuhkan pada media Sabr. dan Sln) serta 1 isolat kapang (Cl.Bg.3F pada media Pdb dan Sln) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Melalui pengujian antimikroba terhadap isolat kapang tersebut diketahui bahwa isolat Cl.Bg.3F (dengan media Pdb) menunjukkan adanya aktivitas antimikroba. Hasil koleksi C. longa asal Cibinong, diperoleh sebanyak 5 isolat kapang endofit. Dari 5 isolat kapang tersebut terdapat 2 isolat kapang (Cl.Cb.2F dan Cl.Ay.5F yang ditumbuhkan pada media Pdb, Sabr, Sln dan Cz), 1 isolat kapang ((Cl.Cb.1F pada media Pdb dan Sln) serta 2 isolat kapang (Cl.Cb.3F dan Cl.Ay.4F pada media Sln) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT).
Gambar 1. Pola KLT senyawa kimia bioproduksi/ biotransformasi kapang endofit asal Cibinong yang menunjukkan aktivitas bioproduksi dalam media PDB Keterangan : System pelarut: CHCl3-MeOH = 10 : 1 Penampak noda: Ce(SO4)2 dalam H2SO4 M : media PDB p-3 : bioproduksi oleh endofit 3 C : kurkumin b-3 : biotrans oleh endiftit 3
p-1 b-1 p-2 b-2
: bioproduksi oleh endofit 1 : biotrans oleh endiftit 1 : bioproduksi oleh endofit 2 : biotrans oleh endiftit 2
p-4 b-5 p-5 b-5
: bioproduksi oleh endofit 4 : biotrans oleh endiftit 4 : bioproduksi oleh endofit 5 : biotrans oleh endiftit 5
Hasil koleksi C. longa, C. xanthorriza, C. zedoary dan C. aeruginosa asal Parung, diperoleh sebanyak 27 isolat kapang endofit. Kapang tersebut selanjutnya ditumbuhkan pada media Pdb untuk diuji kemampuan bioproduksinya menggunakan KLT. 4 isolat kapang dari C. Longa (Cl.Pa.1F; Cl.Pa.2F; Cl.Pa.3F dan Cl.Pa.4F), 1 isolat kapang dari C. xanthorriza (Cx.Pa.1F), 1 isolat kapang dari C. zedoary (Cz.Pa.O.5F) dan 1 isolat kapang dari C. aeruginosa (Ca.Pa.3F) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Melalui pengujian antimikroba terhadap sebagian dari isolat kapang tersebut diketahui bahwa isolat Cl.Pa.4F; Cz.Pa.O.3F dan Cz.Pa.O.5F (ditumbuhkan pada media PDB) menunjukkan adanya aktivitas antimikroba.
System pelarut: n-hek-etilasetat = 2 : 1 Penampak noda: Ce(SO4)2 dalam H2SO4
Gambar 2. Pola KLT senyawa kimia bioproduksi/biotransformasi kapang endofit asal Parung, Bogor yang menunjukkan aktivitas bioproduksi dalam media PDB Hasil koleksi C. longa asal Yogyakarta, diperoleh sebanyak 7 isolat kapang endofit. Dari 7 isolat kapang tersebut terdapat 1 isolat kapang (Cl.Dg.4F yang ditumbuhkan pada media Pdb dan Sabr) serta 6 isolat kapang (Cl.Tg.1F; Cl.Tg.2F; Cl.Tg.3F; Cl.Dg.1F; Cl.Dg.2F dan Cl.Dg.3F pada media Sabr) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil koleksi C. longa asal Serang, diperoleh sebanyak 14 isolat kapang endofit. Dari 14 isolat kapang tersebut terdapat 1 isolat kapang (Cl.Bk.5F yang ditumbuhkan pada media Pdb, Sabr dan Cz), 1 isolat kapang (Cl.Bel.2F pada media Pdb dan Cz) serta 3 isolat kapang (Cl.Bel.5F; Cl.Bel.7F dan Cl.Bk.6F pada media Sabr) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil koleksi C. longa asal Jawa Tengah, diperoleh sebanyak 4 isolat kapang yang ditumbuhkan pada media Pdb untuk diuji kemampuan bioproduksinya
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
54
menggunakan KLT. Dari hasil tersebut diketahui 1 kapang (Cl.Ci.2F) menunjukkan adanya noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Sedangkan koleksi Curcuma asal Jawa Tengah lainnya, diperoleh sebanyak 1 isolat (C. xanthorriza), 1 isolat (C. zedoary) dan 2 isolat (C. mangga) belum dilakukan pengujian
bioproduksi. Melalui pengujian antimikroba terhadap sebagian dari isolat kapang tersebut diketahui bahwa isolat Cl.Ci.2F; Ca.Pl.1F dan Cz.Pl.1F (ditumbuhkan pada media PDB) menunjukkan adanya aktivitas antimikroba.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Wida Trisanti, Yadi, Indra, Erik, Ferdian dan Sharil atas bantuannya selama penelitian ini berlangsung DAFTAR PUSTAKA Agusta A, Maehara S, Ohashi K, Simanjuntak P & Shibuya H. 2005. Stereoselective oxidation at C-4 of flavans by the endophytic fungus Diaporthe sp. isolated from a tea plant. Chem. Pharm. Bul. 53 (12), p. 1565-1569 Ammon HPT, & Wahl MA. 1991. Pharmacology of Curcuma longa Planta Medica 57, h. 1 – 7 Hartini. 2003. Identifikasi dan analisis kuantitatif (+)−pinoresinol dari tanaman Alyxiare indwartii BL yang berasal dari Tawangmangu secara KLT Densitometri, Skripsi pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Kuttan R, Bhanumathy P, Nirmala K, & Gorge MC. 1985. Anticancer activity of turmeric, Cancer Lett., 29, h. 197-202 Lucy P, Meagher, Gary R, Beecher, Vincent P, Flanagan, & Libetty W. 1998. Isolation and characterization of the Lignans, Isolaricireionol and Pinoreresinol in Flaxseed Meal. Tektran, 1- 092003. http://www.nal usda.gov/ ttic/ tektran/ data /000009 /53/0000095351.html. Mahady GP, Pendland SL, Yun G & Lu ZZ. 2002. Turmeric (Curcuma longa) and curcumin inhibit the growth of Helicobacter pylori, a group I carcinogen, Anticancer Res. 6, 4179-4181 Mitchell T, July 2002, Le Magazine A report on curcumin’s http://www.sciencedaily.com Mukundan MA, Chacko MC, Annapurna VV & Krishnaswamy K. 1993. Effect of turmeric and curcumin on BP-DNA adducts. Carcinogenesis 14 (3), 493-496 Pulici M, Sugawara F, Koshino H, Okada G, Esumi Y, Uzawa J, & Yoshida S. 1997. Metabolites of Pestalotiopecis spp. Endophytic fungi of Taxus braevifolia. Phytochemistry, 46, 2. 313-319.
Rassmusen HB, Christiansen SB, Kvist LP & Karazmi A. 2000. A simple and efficient separation of the curcumins, the antiprotozoal constituents of Curcuma longa. Planta Medica 66, 396-397 Sari IP & Wigati S. 2000. Uji Ketoksikan Akut Temu Putih (Cucurma zedoaria.Rose. Berg) dan Kunyit Putih (Cucurma mangga) pada Tikus Galur Wistar. Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia (Simposisum Penelitian Bahan Obat Alami X). Surabaya, 20 – 22 Nopember. h176 Simanjuntak P, Bustanussalam, Prana TK, Ohashi K, & Shibuya H. 2002. Biotransformasi senyawa alkaloid kinkona oleh kapang Xylaria sp. Menjadi alkaloid kinkona N-oksida. Majalah farmasi Indonesia 13 (2), h. 95-100 Stierle A, Strobel G & Stierle D. 1993. Taxol and taxane production by Taxomyces andreanae, an endophytic fungus of Pacific yew. Science 260, 214-216. Stierle A, Strobel G, Stierle D, Grothans P & Bigunami G. 1995a. The research for a taxol-producing microorganism among the endophytic fungi of the Pacific Yew, Taxus brevifolia. J. of Nat. Prod., 58, no 9, 1315-1324 Stierle A, Stierle D, Strobel GA, Bignami G, & Grothaus P. 1995b Bioactive metabolite of the endophytic fungi of pasific yew Taxus brevifolia. American Chemical Society 6, 81-96 Tan RX & Zou WX. 2001. Endophytes a rich source of fungsional metabolites. J. Nat. Prod. Rep., 18, 448-459. Xu YY. 2000. Flavonol Cynnamate cyclo adduct and diamede derivatives from Aglaia laxiflora. J Nat Prod. 63, 473-476.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
55
SELEKSI UBI KAYU BERDASARKAN MARKA MOLEKULER Enny Sudarmonowati, Dody Priadi, Nurhaidar Rahman, Santi Sugiharti, Hani Fitriani, Hartati, Nurhamidar Rahman, dan Jitno Rijadi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Primer RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) yang berhasil digunakan untuk mengamplifikasi genotip ubikayu untuk analisis keterkaitan dengan komposisi pati pada tahun 2007 adalah OPB-3, OPB-13, OPH-1 dan OPF-19. Jumlah genotip yang berhasil diamplifikasi bervariasi antara 2 hingga 61, terbanyak dengan menggunakan OPB-3, diikuti oleh OPH-1. Total primer RAPD yang sudah berhasil diidentifikasi dan berpotensi sebagai penanda genetik kandungan amilosa/amilopektin sejak 2004/2005 adalah 11. Analisis berdasarkan AFLP masih perlu dioptimasi karena hasil yang diperoleh menggunakan primer P11-IRD700 belum optimal. Regenerasi embrio somatik menghasilkan banyak embrio berbentuk tabung sehingga sulit menghasilkan planlet. Pemanenan generasi kedua tanaman yang berasal dari kultur jaringan genotipe yang mempunyai kadar amilosa/amilopektin unggul menunjukkan variasi pada jumlah umbi, total berat basah umbi, ukuran umbi. Berdasarkan pengamatan morfologi pada generasi ketiga tanaman yang berasal Keseragaman meningkat pada generasi kedua dibanding generasi pertama dan kedua dari induk yang diperbanyak secara kultur jaringan pada genotip-genotip unggul hasil seleksi awal. Hasil persilangan buatan masih rendah yaitu 11,11% yang disebabkan beberapa hal antara lain curah hujan yang tinggi saat awal persilangan.
Kata kunci: ubi kayu (Manihot esculenta), amilosa, amilopektin, DNA, RAPD, AFLP, pati, embriogenesis somatik PENDAHULUAN Ubi kayu yang mempunyai kandungan amilosa atau amilopektin tertentu diperlukan dalam jumlah yang tinggi selain kandungan pati yang tinggi. Selain sebagai sumber pangan alternatif, kebutuhan ubi kayu untuk industri non pangan juga semakin tinggi. Kebutuhan industri berbasis pati ubi kayu semakin meningkat karena keterbatasan ketersediaan sumber pati lain seperti pati kentang dan diversifikasi produk. Permintaan produk dengan standar kualitas yang lebih tinggi menyebabkan industri memerlukan pati dengan spesifikasi tertentu seperti amilosa tinggi atau amilopektin tinggi. Untuk memperoleh genotip yang mempunyai sifat tersebut, diperlukan perbaikan sifat yang mengkombinasikan seleksi terhadap genotipgenotip lokal di Kebun Koleksi Puslit BioteknologiLIPI dibandingkan dengan varietas-varietas unggul dan genotip introduksi yang digunakan industri dan petani, dengan teknik molekuler. Penggunaan teknik molekuler bertujuan untuk mempercepat proses seleksi karena dapat mengidentifikasi penanda genetik yang berkaitan dengan karakter yang diinginkan. Penanda yang spesifik hanya dapat diperoleh bila penanda yang dibandingkan cukup banyak sehingga diperlukan identifikasi penandapenanda dari genotip-genotip tersebut. Penanda genetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) untuk dapat memberikan informasi awal yang bermanfaat dalam proses perbaikan genetik ubi kayu. Penelitian yang sebelumnya telah menghasilkan tiga primer polimorfik yang kemungkinan berkorelasi dengan komposisi pati pada beberapa genotip serta tiga primer baru yang pada beberapa genotip menghasilkan pita polimorfik, akan digunakan lebih lanjut untuk investigasi penanda DNA koleksi ubi kayu lainnya. Semakin banyak genotip yang
dapat diamplifikasi dengan menggunakan lebih banyak primer, akan semakin akurat kandidat penanda yang berkaitan dengan karakter yang diinginkan. Penanda RAPD telah digunakan pada beberapa jenis tanaman seperti talas (Xixiang et al., 2000), lentil (Reamon-Buttner et al., (1996) dan Vigna (Kaga et al., 1996). Pada ubi kayu genotip dari Amerika Selatan dan Afrika, penanda RAPD juga sudah digunakan untuk dikaitkan dengan ketahanan terhadap mosaic virus yang merupakan masalah utama di negara tersebut. Perbanyakan ubi kayu genotip yang berkarakter unggul dimaksudkan untuk mengembangkan teknik perbanyakan yang sesuai, untuk mengetahui respon masing-masing genotip terhadap teknik perbanyakan baik secara konvensional maupun secara in vitro, serta variasi genetik yang ditimbulkan bila perbanyakan melalui kultur jaringan (in vitro) serta kestabilan variasi setelah beberapa generasi turunan. Selain multiplikasi tunas, pendekatan pembiakan in vitro lain yang dilakukan adalah embriogenesis somatik karena dalam kondisi yang optimal , teknik ini dapat menghasilkan bahan tanaman lebih banyak serta merupakan bahan yang paling ideal untuk perbaikan sifat melalui transformasi genetik. Tujuan penelitian adalah (1) Memperoleh primer yang lebih banyak yang lebih sesuai untuk dijadikan penanda DNA yang berkorelasi dengan kandungan amilosa tinggi atau dengan yang berkandungan amilosa rendah pada ubi kayu, (2) Konfirmasi genotip lokal superior yang diseleksi pada tahun sebelumnya, (3) Membiakkan genotip lokal superior melalui stek, multiplikasi tunas in vitro dan “friable embryogenic callus”,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
56
Sedangkan sasaran penelitian adalah (1) Minimal 3 primer acak RAPD baru yang sesuai yang dihasilkan untuk identifikasi korelasi komposisi pati dan penanda genetic, (2) Sebanyak minimal 3 genotip lokal superior
yang dikonfirmasi hasil dan komposisi pati di lapang, (3) Bahan tanaman untuk propagasi konvensional dan in vitro (tunas pucuk dan kalus embriogenik) dihasilkan untuk propagasi masal dan perbaikan genetik.
BAHAN DAN CARA KERJA Tempat penelitian Penelitian umumnya dilakukan di laboratorium Genetika Molekuler, Bidang Biologi Molekuler. Penanaman hasil in vitro dilakukan di rumah kaca dan Kebun Penelitian, sedangkan pemeliharaan koleksi dilakukan di Kebun Koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong, Bogor. Persilangan buatan juga dilakukan di Kebun Koleksi, Puslit Bioteknologi-LIPI. Ekstraksi DNA DNA genotip ubi kayu koleksi diekstraksi dengan menggunakan metoda prosedur Gilies (1997) yang dimodifikasi yang dikembangkan di laboratorium yang telah dilaporkan pada Laporan Teknis 2004-2006. Ekstraksi DNA dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Puslit Bioteknologi-LIPI. Primer dan kondisi analisis RAPD Primer yang dicoba dan digunakan untuk analisis yaitu OPB-3, OPB-13, OPH-1, OPH-17 dan OPF-19. Kondisi PCR yaitu pra PCR 94°C selama 3 menit dilanjutkan dengan 40 siklus dengan kondisi denaturasi 94°C, selama 12 menit, annealing pada suhu 35°C selama 24 detik, dan extension pada 72°C selama 2 menit, serta dilanjutkan dengan pasca PCR 72°C selama 7 menit. Fragmen hasil amplifikasi dipisahkan pada 1.5% gel agarose menggunakan buffer TAE 1x. Visualisasi dilakukan menggunakan UV transiluminator dan produk amplifikasi dan didokumentasikan menggunakan kamera dan film Polaroid. Analisis data terhadap pita yang divisualisasi pada agarose menggunakan software Analisis data dilakukan dengan program software computer SPSS dan POPGENE versi 1.0 dan NTSYS yang berdasarkan ada tidaknya pita DNA pada gel agarose. Dendogram dikonstruksi berdasarkan masingmasing primer RAPD dan dibandingkan dengan gabungan beberapa primer. Analisis diskriminan dilakukan terhadap 59 sampel ubi kayu yang dikelompokkan berdasarkan kadar amilosa (rendah, sangat rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi) Estimasi kadar pati dan Estraksi pati Estimasi kadar pati dilakukan berdasarkan berat dalam air yang dibandingkan dengan berat di udara menggunakan nilai konversi. Ekstraksi pati dilakukan secara manual dengan menggunakan parutan dan kain kasa dan analisis kandungan pati dilakukan berdasarkan
metoda standar international yang dikembangkan oleh Horwitz (1990). Sterilisasi, Media dan kondisi tumbuh tanaman in vitro dan induksi embriogenenik kalus Setelah daun pucuk ubi kayu dipisahkan dari batangnya kemudian dicuci dengan air mengalir dengan detergen selama 30 menit. Kemudian pucuk direndam dengan larurutan HgCl2 (0,05%) selama 3-4 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril hingga bersih dari sterilan yang masih menempel. Sterilisasi dengan HgCl2 dilakukan secara aseptik di dalam laminar air flow. Daun pucuk yang telah disterilkan kemudian dipisahkan menurut ukurannya dan kemudian ditanam pada media perlakuan. Lobe daun muda Adira 4, Iding, Rawi, Menti, Gebang, berukuran 1-3, 3-5 dan lebih besar dari 5 mm yang diisolasi dari tanaman di rumah kaca dan in vitro dibiakkan pada media induksi. Stage I MS yang mengandung 8 mg/l 2,4-D mengulang yang dilakukan pada Triwulan I dan II dibandingkan dengan media sebelumnya yaitu 6 atau 10 mg/l pikloram, 6 mg/l NAA, 4 uM CuSO4 dan 4% sukrosa, namun Media Stage II bervariasi yaitu 0.1 picloram + 0.01 mg/l NAA (MS-), 0,01 mg/l 2,4-D (MSII), 0.1 mg/l 2,4-D (MSIIA) atau 1.0 mg/l 2,4-D (MSIIB). Hal ini dilakukan karena penelitian terdahulu yang menggunakan 0.01 mg/l 2,4D (MS-) menyebabkan kalus embriogenik yang dihasilkan menjadi tidak terlalu berkembang karena konsentrasi 2,4-D terlalu rendah sedangkan kalus yang diperoleh masih dlaam taraf awal Lama inkubasi pada media tahap I adalah 2, 3 atau 4 minggu. Media multiplikasi tunas adalah MS tanpa zat pengatur tumbuh yang mengandung 2-4% sukrosa dan 0.8% agar Oxoid. Semua kultur tanaman diinkubasi dan dipelihara di ruang kultur dengan suhu 25±1 0C dan lama penyinaran 16 jam. Pengamatan pertumbuhan stek dari tanaman asal kutur jaringan (turunan kedua) dan penanaman kembali stek turunan ketiga genotip-genotip superior di lapang Pengamatan morfologi enam genotip ubi kayu (Adira 4, Menti, Rawi, Darul Hidayah, Tim-tim 29, Iding) stek dari induk hasil kultur jaringan dilanjutkan mencakup pengamatan terhadap warna daun muda dan tua, warna tangkai daun, warna batang muda dan tua, tinggi, jumlah cabang, ada tidaknya cabang bunga, tingkatan cabang bunga, ketahanan terhadap hama dan penyakit tertentu. Sebelum panen dilakukan pengamatan morfologi lanjutan seperti tinggi, warna batang muda dan tua,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
57
warna daun muda dan tua, bentuk daun, dan warna tangkai daun, sebelum panen juga diamati cabang bunga dan level cabang bunga serta ukuran daun terbesar dan terkecil. Parameter yang diamati adalah (dibedakan ukuran umbi kecil, sedang dan besar) per tanaman, ukuran umbi terbesar (panjang dan lebar), warna kulit luar dan dalam umbi, perkiraan kandungan pati dan berat kering (berdasarkan berat umbi di udara dan di air), warna daging mentah dan setelah masak umbi, warna umbi setelah disimpan beberapa hari, kandungan pati berdasarkan ekstraksi umbi. Membuat populasi pemuliaan (breeding population) melalui persilangan buatan Persilangan buatan dilakukan untuk membuat populasi pemuliaan menghasilkan F1 dan F2 atau BC (Back Cross) yang individunya akan dianalisis secara molekuler untuk memperoleh penanda genetik yang
berkaitan dengan kandungan amilosa/amilopektin. Oleh karena pada tahun 2007 jumlah individu yang berbunga di Cibinong relatif lebih banyak dibandingkan tahuntahun sebelumnya, maka persilangan buatan dapat dilakukan di Cibinong, walaupun beberapa individu di kebun koleksi cukup tinggi dibandingkan bila tanaman ditanam di daerah dengan ketinggian 700-800 m diatas permukaan laut seperti di Batu, Malang. Persilangan buatan dilakukan dua kali. Persilangan pertama yang dipimpin oleh staf BALITKABI, Malang gagal disebabkan terlalu banyak air berasal dari hujan yang masuk ke plastik pembungkus beberapa hari setelah persilangan. Persilangan kedua dilakukan untuk memecahkan masalah pada persilangan pertama yaitu menggunakan kain kasa sebagai pembungkus. Pencatatan individu yang disilangkan dilakukan pada buku kecil khusus persilangan. Pengamatan dilakukan sejak persilangan dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi genotip berdasarkan marka genetik 1. RAPD Primer baru yang dapat mengamplifikasi DNA ubi kayu yaitu OPB-3, OPB-13, OPH-1 dan OPF-19 dengan demikian total primer yang berpotensi sebagai penanda genetic yang berkaitan dengan kandungan amilosa/amilopektin mencapai 11 sejak tahun 2004/2005. Gambar 1 memperlihatkan pita-pita DNA berbagai genotip ubi kayu yang diamplifikasi dengan primer OPB-3 dan OPH-1. 2. Analisis AFLP Gambar 2 menunjukkan pita yang belum memisah baik pada optimasi AFLP ubi kayu menggunakan pasangan primer P11-IRD700. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil yang belum optimal antara lain primer yang digunakan kemungkinan belum sesuai karena primer yang digunakan berbeda dengan yang pernah digunakan sebelumnya. Kemungkinan diperlukan optimasi prosedur untuk disesuaikan dengan kondisi “setting” yang baru. Akan dilakukan optimasi prosedur yang melibatkan primer dan konsentrasi reaksi yang digunakan. Induksi kalus embriogenik dan regenerasi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eksplan dalam berbagai ukuran (1-3, 3-5 dan >5mm) setelah diinkubasi pada media MSI selama 4 minggu tidak dapat membentuk kalus. Eksplan genotip Adira IV, Rawi dan Menti yang berukuran 1-3 dan 3-5 mm yang diinkubasi pada media MS+ dapat membentuk kalus dengan persentase yang rendah 8,3 – 23,0 % tetapi tidak satupun kalus embriogenik. Pada genotip Menti kalus terbentuk hanya pada eksplan yang berukuran 3-5 mm (8,3%). Eksplan yang berukuran >5 mm semuanya tidak dapat membentuk kalus (Tabel 2 dan 3).
Kalus embriogenik atau kalus embriogenik yang telah berkecambah (Adira IV ukuran 3-5 mm dan Rawi 1-3 mm) hasil penelitian sebelumnya pada media MSII ditransfer ke media MSIIA setelah sebelumnya dipisahkan dari kalus non embriogenik di sekitarnya. Pada media tersebut kalus di subkultur setiap 2-3 minggu sekali sambil dipisahkan dari kalus non embriogenik yang kembali terbentuk.
Gambar 1. Hasil analisis RAPD pada ubi kayu menggunakan primer OPB-03 (atas) dan OPH-01 (bawah). Keterangan : OPB-3 Kiri-kanan : Lane 1. Kabu-kabu, 2. Selengen, 3. Genjamfu, 4. Belo Lamban, 5. Belo Ketan, 6. Darul Hidayah, 7. DayoIV, 8. Batu raja, 9. Bic106, 10. 10012, 11. Samunah, 12. Pandemir, 13. Malaysia, 14. Bic285, 15. M 1Kb DNA ladder OPH-1 Kiri-kanan: Lane 1. Kabu-kabu, 2. Selengen, 3. Genjamfu, 4. Belo Lamban, 5. Belo Ketan, 6. Darul Hidayah, 7. DayoIV, 8. Batu raja, 9. Bic106, 10. 10012, 11. Samunah, 12. Pandemir, 13. M 1Kb DNA ladder
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
58
Hingga saat ini pada kedua genotip tersebut belum terjadi perkembangan selanjutnya dari bentuk kecambah. Demikian pula kalus non embriogenik yang ditransfer dari media MSII ke media MSIIB tidak dapat membentuk kalus embriogenik. Penampilan genotip Adira IV dan Rawi setelah ditransfer ke media MSIIA dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Gambar 5 menunjukkan perkembangan embrio somatik pada media MS- yang mengandung 0,01 mg/l 2,4-D.
Gambar 2. Identifikasi sifat berdasarkan AFLP menggunakan primer P11-IRD700
dan ukuran umbi. Pengamatan morfologi 6 genotip ubi kayu (Adira 4, Menti, Rawi, Darul Hidayah, Tim-tim 29, Iding) stek dari induk hasil kultur jaringan. Dibandingkan tanaman induk hasil kultur jaringan, pertumbuhan stek dari tanaman induk tersebut, yang dicerminkan dengan pertumbuhan daun yang lebih hijau dan lebat. Agar pertumbuhan seperti yang dipraktekkan petani ubi kayu, setelah berumur 2 bulan, cabangcabang ubi kayu dibuang sehingga hanya tersisa dua batang termasuk batang utama. Secara umum, pertumbuhan stek yang berasal dari nomor yang sama, terlihat seragam kecuali individu nomor tertentu. Hasil juga menunjukkan bahwa generasi kedua lebih seragam dibandingkan generasi pertama. Perbandingan tinggi tanaman, hasil dan jumlah umbi generasi 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 6. Table 2. Pengaruh 8 mg/l 2,4-D yang ditambahkan pada media Stage-I pada tiga genotip superior Genotypes
Tabel 1. Jumlah genotip yang dapat diamplifikasi oleh primer pada periode 2004/2005-2007
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Primer RAPD 1 primer OPB-10 OPE-05 OPE-15 OPE-20 OPF-04 OPF-13 OPH-17 OPB-3 OPB-13 OPH-1 OPF-19 Kombinasi OPB-10,OPE-05, OPE-15,OPE-20, OPF-04,OPF-13, OPH-17 OPB-10,OPE-05, OPE-15,OPE-20, OPF-04,OPH-17 OPB-10,OPE-05, OPE-15,OPE-20, OPH-17 OPE-05,OPE-15, OPE-20, OPH-17 OPE-05,OPE-15, OPH-17 OPE-05,OPE-15, OPE-20 OPE-15,OPH-17 OPE-15,OPE-20 OPE-05, PE-15 OPB-10, PE-15
Jumlah genotip yang dapat diamplifikasi ‘04/’05 ‘06 0 16 96 9 31 35 35
43 54 99 46 31 35 58
Jumlah genotip yang dapat diamplifikasi ‘07
1 61 28 58 2
Leaf lobes (mm) 1-3 3-5 >5
Stage-I Media composition 8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D
Explant producing initial embryogenic callus (%) 11.1* 88.9* 37.5*
Adira 4
1-3 3-5 >5
8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D
30.8* 66.7* 25.0*
Gebang
1-3 3-5 >5
8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D 8 mg/l 2,4-D
13.3* 0.0 75.0*
Iding
Tabel 3. Persentase kalus ubi kayu yang diinduksi selama 4 minggu pada media I dan MS+ Genotip Adira IV
4 13 32 35 44 41 55 44 53 42
Uji kestabilan hasil generasi ketiga dari induk asal kultur jaringan Pemanenan yang dilakukan pada umur 10 bulan menunjukkan perbedaan total berat umbi segar, jumlah
Gebang Rawi Iding Menti
MS 1
Persentase pembentukan kalus (%) 1-3 mm 3-5 mm >5 mm 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0)
MS +
8,7 (0,0)
23,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS 1
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
Media
MS +
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS 1
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS +
12,5 (0,0)
16,7 (0,0)
0,0 (0,0)
MS 1
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS +
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS 1
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
0,0 (0,0)
MS +
0,0 (0,0)
8,3 (0,0)
0,0 (0,0)
Keterangan : angka di dalam kurung adalah kalus embriogenik
Persilangan buatan sifat unggul Keberhasilan persilangan buatan masih rendah yaitu 11.11%, namun demikian potensi untuk menyilangkan di dataran rendah dapat menjadi acuan di masa mendatang yang sebelumnya hanya dapat dilakukan di daerah diatas 700 m dpl.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
59
9 8 7 Jumlah umbi
6 5 4 3 2 1 0 Cuttings
Gambar 3. Pendewasaan embrio somatik Adira 4 (kiri) dan Gebang (kanan) pada media Stage-2 yang mengandung 0.01 mg/l 2,4-D
Adira 4
Iding
Rawi
Menti
Darul hidayah
Tim-Tim
Genotip Turunan 1 (Panen kedua)
Turunan 2 (Panen ketiga)
3000
Berat umbi (gram)
2500 2000 1500 1000 500 0 Cuttings
Adira 4
Iding
Rawi
Menti
Darul hidayah
Tim-Tim
Genotip Turunan 1 (Panen kedua)
Turunan 2 (Panen ketiga)
Gambar 4. Penampilan genotip Adira IV berukuran 3-5 mm yang ditransfer ke media MSIIA. A. Sebelum dipisahkan, B dan C. Setelah dipisahkan dari kalus friable
Tinggi tanaman (cm)
250 200 150 100 50 0 Cuttings
Adira 4
Iding
Rawi
Menti
Darul hidayah
Tim-Tim
Genotip Turunan 1 (Panen kedua)
Turunan 2 (Panen ketiga)
Gambar 6. Perbedaan tinggi tanaman, berat basah umbi dan jumlah umbi ubi kayu pada generasi satu dan dua dari induk asal kultur jaringan Tabel 4. Persilangan ubi kayu yang dilakukan pada tanggal 24 Mei 2007
Gambar 5. Penampilan genotip Rawi berukuran 1-3 mm yang ditransfer ke media MSIIA. A dan B Sebelum dipisahkan, C dan D Setelah dipisahkan dari kalus Friable Walaupun bukan tetua Iding yang berhasil disilangkan namun penguasaan teknik akan diperdalam untuk dapat melakukan hal yang sama di masa mendatang. Buah hasil silangan alami pada Odang (6) dan Gading (5) dikumpulkan dan dimonitor terus untuk kemudian dipanen. Daftar genotip yang disilangkan dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Betina Pandemir Pandemir Pandemir Odang Pandemir Iding Adira 1 Odang Odang Odang
Jantan Belo # Adira 1 Adira 4 Adira 1 Adira 1 # Adira 1 Ketan Karet
Keterangan 2 Open pollination 6 1 2 2 Open pollination 4 4 4
Tabel 5. Persilangan ubi kayu yang dilakukan pada tanggal 11 Juli 2007 No. 1. 2. 3. 4&6 5. 7. 8.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
Betina Ketan Pandemir Pandemir Baturaja Pandemir Belo Mentega Lelen
Jantan Iding Iding Timtim Adira IV Iding Iding Iding
Keterangan 2 kasa pohon sama 1 kasa 1 kasa 2 kasa pohon sama 1 kasa 1 kasa 1 kasa
60
KESIMPULAN Primer OPB-3, OPB-13 dan OPH-1 berpotensi untuk digunakan lebih lanjut untuk memperoleh penanda genetik yang berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin yang diinginkan. Induksi embriogenesis somatik dan regenerasinya sangat dipengaruhi komposisi media pada Stage 1 dan Stage 2, serta lama inkubasi di media induksi. Banyaknya embrio somatik berbentuk tabung yang sulit diregenerasi menghasilkan planlet mengindikasikan
perlunya menggunakan zat pengatur tumbuh lain untuk mengurangi abnormalitas. Hasil pada generasi kedua semakin seragam dan lebih tinggi dibandingkan induknya yang berasal dari kultur jaringan dan generasi pertama. penampilan morfologi generasi ketiga lebih seragam dibandingkan generasi pertama pada genotip-genotip unggul hasil seleksi yang dicoba.
UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan penelitian ini didanai oleh Proyek Penelitian Bioteknologi, LIPI tahun anggaran 2006. Ucapan terima kasih ditujukan pada Sdr. Nanang
Taryana, Minan dan Mawi yang telah membantu kegiatan di lapang dan kepada Sdr. Wahyuni untuk kegiatan analisis genetik.
DAFTAR PUSTAKA Colombo C, Second G & Charrier A. 2004. Genetic relatedness between cassava (Manihot esculenta Crantz) and M. flabeelifolia and M. peruviana based on both RAPD and AFLP markers. Gillies ACM, Cornelius JP, Newton AC, Navaro N, Hernandez M & Wilson J. 1997. Genetic variation in Costa Rica populations of tropical timber species Cedrela odorata L. assessed using RAPDs. Molecular Ecology 6:1113-1115. Horwitz W. 1990. Official methods of analysis of the association of official analytical chemist. Thirteenth Edition. Association of Official Analytical Chemist. Washington. Kaga A, Tomooka N, Egawa Y, Hosaka K & Kamijima O. 1996. Species relationships in the subgenus Ceratotropis (genus Vigna) as revealed by RAPD analysis. Euphytica 88: 17-24. Reamon-Buttner SM, Wricke G & Frese L. 1996. Interspecific relationship and genetic diversity in wild beets in section
Corrolinae genus Beta : isozyme and RAPD analyses. Genet. Res. Crop Evaluation. 43: 261-274. Sharma SK, Knox MR & Ellis THN. 1996. AFLP analysis of the diversity and phylogeny of Lens and its comparison with RAPD analysis. Theor. Appl. Genet. 93: 751-758. Thormann CE, Ferreira ME. Camargo LEA. Tivang JG & Osborn TC. 1994. Comparison of RFLP and RAPD markers to estimating genetic relationship within and among cruciferous species. Theor. Appl. Genet. 88: 973-980. Xixiang, Li, S. Di, Z. Dewei, Y. Yongping, X. Jianchu, Z. Mingde, P. Eyzaguirre & W.G. Ayad. 2000. A study on the ethnobotany and genetic diversity of taro in Yunnan, China. Twelfth Symposium of the International Society for Tropical Root Crops (ISTRC) Potential Root Crops for Food and Industrial Resources. Tsukuba, Japan, September 10-16, 2000.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
61
SELEKSI LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Burm.f.) UNGGUL HASIL MUTAGENESIS DAN REGENERASI IN VITRO Maria Imelda, Laela Sari, dan Aida Wulansari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Lidah buaya (Aloe vera (L.) Burm.f. telah digunakan sebagai bahan kosmetika dan obat tradisional di berbagai negara sejak ribuan tahun ebelum Masehi. Prospek pengembangannya sangat cerah mengingat jenis ini telah dimanfaatkan sebagai bahan obat di 23 negara dan telah tercantum dalam daftar tanaman obat prioritas WHO. Penggunaan lidah buaya sebagai obat diabetes secara tradisional sudah banyak diterapkan namun belum ada laporan mengenai bahan aktif yang dapat melawan penyakit diabetes tersebut. Keragaman genetik lidah buaya yang sempit telah ditingkatkan melalui mutagenesis dengan sinar gamma dengan dosis 10-40 gray terhadap bakal tunas dan 2-8 gray terhadap kalus yang akan diregenerasikan melalui organogenesis. Hasil radiasi tersebutselanjutnya akan diaklimatisasikan pada media campuran tanah dan kompos (1:1). Munculnya mutan akan dideteksi dengan teknik RAPD. Selain itu juga akan dianalisis kandugan enzim α-glukosidase dari setiap perlakuan radiasi. Hasilnya menunjukkan bahwa kalus lidah buaya tidak tahan radiasi, karena itu planlet yang diaklimatisasikan semuanya berasal dari kultur tunas dan berhasil 100 %. Analisis RAPD menggunakan 4 macam primer yaitu OPB 9, OPB 20, OPH 10 dan OPH 11 belum menunjukkan munculnya keragaman genetik. Namun, analisis kandungan enzim α-glukosidase menunjukkan bahwa planlet hasil radiasi memiliki kandungan enzim α-glukosidase yang berbeda-beda dan tidak sama dengan kontrol. Pengujian tentang kemampuan lidah buaya hasil radiasi dalam menghambat enzim α-glukosidase akan dilaporkan kemudian.
Kata kunci: Lidah buaya, proliferasi tunas, organogenesis, mutasi, sinar gamma, RAPD, α-glukosidase PENDAHULUAN Perbanyakan vegetatif yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu lama pada lidah buaya, mengakibatkan variasi genetiknya menjadi sangat sempit. Pemuliaan lidah buaya hampir tidak pernah dilakukan, sedangkan silangan alami sulit terjadi karena adanya sterilitas bunga jantan. Variasi genetik dapat diinduksi melalui mutagenesis dengan sinar gamma dan melalui pembentukan kalus dan regenerasi planlet dengan organogenesis. Seleksi untuk memilih varietas unggul sebagai bahan obat, khususnya obat diabetes, perlu dilakukan untuk selanjutnya diperbanyak dengan menerapkan teknik in vitro melalui proliferasi tunas yang telah berhasil dikembangkan (Liao et al, 2003; Sari & Imelda, 2004). Penggunaan lidah buaya sebagai obat telah dilakukan sejak 1500 tahun SM di Mesir, dan telah tercantum sebagai bahan obat tradisional di berbagai negara seperti China, Yunani, Spanyol, dan Saudi Arabia. Menurut Puslitbang Gizi (1995), lidah buaya segar mengandung air, mineral, protein, lemak, karbohidrat, enzim dan vitamin. Gel lidah buaya mengandung acemanan, glukomanan (polisakarida), bradikinase, anti-prostaglandin, anti-inflamatori dan anti bakteri. Pada saat ini sedang diteliti pengaruh antiviral dan imunomodulator lidah buaya untuk mengobati diabetes, herpes, kanker dan HIV (Santosa & Darusman, 2002). Penggunaan lidah buaya sebagai obat diabetes tradisional sudah banyak diterapkan (Panggabean, 2002, Anonim, 2005), namun belum ada laporan mengenai bahan aktif yang dapat melawan penyakit diabetes tersebut. Keragaman genetik lidah buaya telah diinduksi melalui mutasi dengan sinar gamma, diperkuat dengan
variasi somaklonal yang diharapkan muncul dalam proses organogeness dari kultur kalus. Uji keragaman dilakukan dengan teknik RAPD. Selanjutnya diseleksi klon mutan yang dapat menghambat aktivitas enzim glukosidase, yang kemudian diperbanyak dengan teknik proliferasi tunas yang telah dikuasai. Peningkatan mutu tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif dapat dilakukan melalui induksi mutasi. Melalui cara tersebut, hanya satu atau sedikit sifat yang berubah sedangkan sebagian besar sifat lainnya tetap. Mutasi dapat dilakukan melalui perlakuan fisik atau kimia untuk perbaikan mutu genetik seperti meningkatkan produktivitas, ketahanan terhadap penyakit tertentu, umur panen yang lebih pendek dll. Sinar gamma, sinar ulraviolet ataupun sinar X merupakan mutagen fisik yang sering digunakan bagi peningkatan mutu tanaman (Predieri & Gatti, 2004). Mutagenesis in vitro merupakan gabungan antara teknik mutasi dan teknik in vitro atau teknik kultur jaringan. Penerapan mutagenesis in vitro tersebut terhadap bakal tunas lidah buaya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi munculnya keragaman genetik yang sangat minim pada lidah buaya yang terus menerus diperbanyak secara vegetatif. Seleksi akan dilakukan terhadap klon yang dapat menekan aktivitas enzim αglukosidase. Konfirmasi munculnya keragaman genetik secara dini, dapat dlakukan melalui penerapan beberapa metode antara lain dengan analisis isoenzim ataupun dengan teknik RAPD. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keragaman genetik lidah buaya melalui pengembangan teknik mutasi dengan radiasi sinar gamma terhadap
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
62
tunas in vitro dan kalusnya. Sasaran penelitian adalah untuk menunjang industri obat dan kosmetika melalui
penyediaan klon lidah buaya terpilih.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Proliferasi dan pengakaran tunas in vitro lidah buaya hasil radiasi sinar gamma Tunas in vitro lidah buaya (Aloe vera ataupun A. vera var.Chinensis) yang telah diradiasi dengan sinar gamma dan berhasil hidup, diperbanyak. Tunas tersebut disubkultur ke media MS yang mengandung 1 mg/l BAP yang telah terbukti cocok bagi penggandaan tunas lidah buaya (Imelda et al., 2006), dengan interval 4-5 minggu sekali. Pengakaran tunas diinduksi dengan memindahkan tunas yang sudah cukup besar ke media MS tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT). 2. Menumbuhkan kalus hasil radiasi sinar gamma Kalus lidah buaya besar dan kalus lidah buaya kecil yang diradiasi sinar gamma dengan dosis rendah (2–8 gray) karena pada dosis tinggi(10-40 gray) semua kalus menjadi berwarna coklat-kehitaman, dan akhirnya mati. 3. Aklimatisasi planlet lidah buaya hasil radiasi sinar gamma Planlet yang sudah berakar banyak diaklimatisasikan dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro di kamar kaca. Planlet dicuci dengan air mengalir sambil dibersihkan dasi sisa agar yang masih melekat paa akar. Selanjutnya, planlet tersebut ditanam dalam pot plastik berisi media campuran tanah dan kompos (1:1). Semua pot tersebut ditempatkan dalam kamar kaca Puslit Bioteknologi, LIPI di Cibinong. Pengamatan terhadap jumlah planlet hidup dilakukan 4 minggu kemudian. 4. Mendeteksi munculnya mutan dengan teknik RAPD a. Daun planlet lidah buaya ± 5 cm, dibekukan dalam nitrogen cair, digerus dan ditambahkan 750 µl bufer isolasi yang mengandung bufer lisis [0,2 M tris-HCl pH 7,5; 0,05 M EDTA, 2 M NaCl, 2% (b/v) CTAB], bufer ekstraksi [0,35M sorbitol, 0,1M Tris HCl pH 7,5; 5 mM EDTA], dan 5% (b/v) sarkosil (2,5: 2,5: 1). b. Inkubasi selama 1 jam dilakukan pada suhu 65oC,dikocok perlahan, lalu ditambahkan 750 µl kloroform : isoamil alkohol (24:1) dan dikocok, lalu disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang. c. Lapisan atas diambil dan dipindahkan ke tube 1,5 ml yang baru, ditambahkan 400µl isopropanol dan dikocok. d. Sampel disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang. e. Supernatannya dibuang, peletnya dicuci dengan 500 µl 70% etanol dan disentrifus lagi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 3 menit lalu supernatannya dibuang lagi dan peletnya dikeringanginkan. DNA dilarutkan dalam 50µl Tris EDTA(TE).
f. Empat jenis primer yaitu OPB 9, OPB 20, OPH 10 dan OPH 11 digunakan sebagai primer tunggal pada reaksi PCR. g. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 50 µl [25µl BlueMix DNA Polymerase Mastermix, 50 µM primer, 1µl sampel DNA, dan H2O). Kondisi PCR adalah 94oC (3 menit) 1 siklus; 94oC (1 menit), 35oC (1 menit), 72oC (2 menit) 45 siklus; dan 72oC (10 menit) 1 siklus. h. Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis menggunakan 0,8% gel agarose dalam 0,5x bufer TBE dan diwarnai dengan ethidium bromida (EtBr). Keberadaan fragmen DNA dapat divisualisasikan dengan sinar ultra violet. 5. Analisis kandungan enzim α-glukosidase Ekstraksi sampel • Lidah buaya kecil dari perlakuan kontrol, 10 dan 20 gray serta lidah buaya besar dari perlakuan kontrol, 10, 20, 30 dan 40 gray, ditimbang, masing-masing sebanyak 10 g lalu dihaluskan • Tambahkan 10 ml aquades sampai membentuk larutan Pengujian aktivitas enzim α-glukosidase • Siapkan substrat yang terdiri atas 0,5% MIT (maltotritol) dalam 50 mM bufer asetat dengan pH 4,8 • Tambahkan substrat sebanyak 0,2 ml ke dalam 0,2 ml sampel • Panaskan dalam waterbath dengan suhu 37°C selama 10 menit • Hitung jumlah gula pereduksi dengan metode Nelson- Somogy (1952) • 1 unit aktivitas enzim merupakan jumlah 1 µmol ekivalen glukosa per menit pada kondisi tersebut di atas 6. Inhibisi enzim α-glukosidase a. Penyiapan simplisia • Daun lidah buaya besar dan lidah buaya kecil dikeringkan pada suhu sekitar 50°C dalam oven yang dilengkapi dengan blower. b. Ekstraksi • Simplisia kering dihancurkan, ditimbang lalu direndam dalam etanol 70% dalam kolom (diameter 12 cm, tinggi 35 cm) yang dilengkapi dengan keran selama 24 jam. • Perendaman diulangi sebanyak 2 kali, dan setiap 24 jam etanol dikeluarkan dari kolom.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
63
• Ekstrak etanol simplisia selanjutnya diuapkan vakum pada alat penguap berputar sehingga ekstrak bebas dari pelarut. c. Asay inhibisi enzim α-glukosidase • Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 2,5 mg αglukosidase (sigma G-5003) dalam 100 ml bufer fosfat (pH7,0) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin • Enzim diencerkan 10 kali sebelum digunakan • Campuran reaksi terdiri atas 500 µl 20mM p-nitro fenil α-D-glukopiranosida (Sigma N-1377), 990 l 100 mM bufer fosfat (pH7) dan 10 µl larutan sampel dalam DMSO. • Setelah campuran reaksi diinkubasikan pada suhu 37°C selama 5 menit, ditambahkan 500 µl larutan enzim lalu diinkunbasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. • Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 2000 µl 200 mM Natrium karbonat • p-nitrofennol yang dihasilkan dibaca absorbansinya padµa 400 nm
• Persen inhibisi dihitung dari persamaan : (C-(S1-S0)/C) x 100 S = absorbansi sampel dan C = absorbansi kontrol (DMSO), tanpa sampel d. Pengujian aktivitas enzim α-glukosidase • Disiapkan substrat yang terdiri atas 0,5 % MIT (maltotritol) dalam 50 mM bufer asetat dengan pH 4,8 • Ditambahkan substrat sebanyak 0,2 ml ke dalam 0,2 ml sampel • Dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 37°C selama 10 menit • Dihitung jumlah gula pereduksi dengan metode Somogy-Nelson (1952) • Satu unit aktivitas enzim merupakan jumlah 1 µmol ekivalen glukosa per menit pada kondisi tersebut di atas
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Proliferasi dan pengakaran tunas in vitro lidah buaya hasil radiasi sinar gamma Setelah diradiasi dengan sinar gamma, tunas in vitro lidah buaya kecil yang tetap hidup adalah pada dosis 10 dan 20 gray dengan daya proliferasi yang tetap tinggi. Lidah buaya besar tenyata masih tahan sampai dosis radiasi 40 gray namun daya multiplikasinya sudah sangat menurun. Proliferasi tunas in vitro lidah buaya besar hasil radiasi dengan dosis 10 gray tidak mengalami kesulitan, namun pada dosis radiasi 20, 30 dan 40 gray penggandaan tunas in vitro berturut-turut menjadi makin terhambat (Imelda et al., 2007). Pengakaran tunas tidak perlu diinduksi secara khusus, tunas in vitro lidah buaya yang disubkultur ke media MS tanpa hormon akan langsung membentuk akar dalam waktu 2 minggu. 2. Menumbuhkan kalus hasil radiasi sinar gamma Kalus lidah buaya besar dan kalus lidah buaya kecil yang diradiasi sinar gamma dengan dosis 10-40 gray semuanya mati (Imelda et al., 2007). Demikian pula pada dosis radiasi yang rendah rendah (2–8 gray), semuanya kalus tetap mati. Mula-mula kalus tersebut berwarna kekuningan kemudian berubah menjadi coklat-kehitaman, dan akhirnya mati, mungkin karena pada tahap kalus lidah buaya ini tidak tahan radiasi. 3. Aklimatisasi planlet lidah buaya hasil radiasi sinar gamma Aklimatisasi planlet kedua kultivar lidah buaya tidak mengalami kesulitan, semua planlet hidup (100 %) dan tumbuh dengan baik (Tabel 1). Planlet yang diaklimatisasikan jumlahnya tidak samaklarena makin
tinggi dosis radiasi yang diberikan penggandaan tunasnya makin menurun. Namun, semua planlet tersebut akhirnya tumbuh baik dan berwarna hijau walaupun pada awal proses aklimatisasi bibit nampak agak layu dan berwarna kecoklatan (Gambar 1). Tabel 1. Hasil aklimatisasi planlet lidah buaya kecil dan lidah buaya besar Dosis radiasi (gray) 10 20 30 40
Jumlah planlet Lidah buaya kecil Lidah buaya besar (Aloe vera) (A.veravar.Chinensis) Hidup Mati Hidup Mati 151 0 89 0 99 0 41 0 26 0 25 0
4. Hasil analisis RAPD Hasil analisis RAPD pada 3 sampel tanaman lidah buaya kecil (kontrol dan hasil radiasi 10 gray dan 20 gray) dan 5 sampel lidah buaya besar (kontrol dan hasil radiasi 10-40 gray) dengan menggunakan 4 macam primer, yaitu OPB 9, OPB 20, OPH 10 dan OPH 11. Hasilnya menunjukkan bahwa selain OPH 10, ke-3 primer lainnya mampu mengamplifikasi sampel namun tidak menampakkan perbedaan pola pita dari sampel yang diuji (Gambar 4). Hasil analisis RAPD, melalui pengamatan terhadap pola pita fragmen DNA yang teramplifikasi menunjukkan adanya keseragaman genetik bibit lidah buaya besar dan lidah buaya kecil baik yang di radiasi dengan sinar gamma maupun tidak. Ketidak mampuan untuk menghasilkan keragaman genetik tersebut dapat
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
64
mungkin karena jumlah primer RAPD yang digunakan sangat terbatas (4 primer). Pada tanaman hop untuk mengetahui keragaman atau keseragaman genetik digunakan 60 primer (Pillay & Kenny, 1996), pada tanaman pisang digunakan 80 primer (Pillay et al., 2001). Untuk memastikan terinduksi atau tidaknya keragaman genetik melalui radiasi sinar gamma pada lidah buaya ini, hasil RAPD tersebut perlu dikonfirmasi lagi dengan menggunakan jumlah primer yang lebih banyak.
Demikian pula pada lidah buaya besar kandungan tersebut juga meningkat seiring dengan meningkatnya kadar radiasi, kecuali pada dosis 20 gray kandungan enzimnya turun dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Hasil analisis enzim α-glukosidase ini menunjukkan bahwa radiasi sinar gamma terhadap lidah buaya berhasil menginduksi munculnya keragaman walaupun hal tersebut tidak tampak pada hasil RAPD.
Gambar 3. Lidah buaya kecil hasil radiasi sinar gamma 10 gray yang anakannya ber tumpuk pada setiap ketiak daun
OPB 9
Gambar 1. Aklimatisasi planlet lidah buaya hasil radiasi sinargamma, (a). 1 minggu setelah aklim, (b )Lidah buaya besar umur 2 bulan, (c). Lidah buaya kecil umur 3 bulan
OPH 11
Gambar 4. Hasil RAPD 2 kultivar lidah buaya hasil radiasi sinar gamma menggunakan 3 macam primer Tabel 2. Hasil analisis aktivitas enzim α-glukosidase rata-rata pada berbagai perlakuan radiasi sinar gamma Kandungan enzim α-glukosidase Perlakuan Enzim α-glukosidase (unit) Aloe vera Kontrol 1,22 10 gray 1,32 20 gray 1,95 Aloe chinensis Kontrol 1,62 10 gray 1,96 20 gray 1,53 30 gray 2,06 40 gray 2,60
Gambar 2. Bibit lidah buaya hasil radiasi sinar gamma, (a) Lidah buaya kecil (10 dan 20 gray), (b) Lidah buaya besa (10, 20, 30 dan 40 gray ) umur 9 bulan. 5. Kandungan enzim α-glukosidase Hasil analisis kandungan enzim α-glukosidase dari berbagai perlakuan radiasi sinar gamma menunjukkan terjadinya perubahan kandungan enzim α-glukosidase baik pada lidah buaya kecil (A. vera) maupun lidah buaya besar (A. vera var chinensis). Pada lidah buaya kecil, kandungan α- glukosidase tersebut meningkat pada dosis 10 dan 20 gray dibandingkan dengan kontrol.
OPB 20
Menurut Fitriani (2007), lidah buaya mengandung mukopoligosakarida (senyawa kompleks karbohidrat yang dibangun oleh ribuan molekul gula manosa, galaktosa dan glukosa) yang berperan sebagai inhibitor bagi enzim α-glukosidase yang menguraikan pati menjadi gula. Lidah buaya juga mengandung bahan-
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
65
bahan organik seperti saponin, antrhraquinon (aloin, barbaloin, anthranol, asam aloetat, aloe emodin), fitosterol, enzim, vitamineral sehingga mampu mengendalikan kadar gula darah. 6. Inhibisi enzim α-glukosidase
Obat bagi penderita diabetes tipe 2, seringkali berperan sebagai penghambat aktivitas enzim αglukosidase sehingga kadar gula dalam darah menurun. Pengujian tentang kemampuan lidah buaya hasil radiasi sinar gamma dalam menghambat aktivitas enzim αglukosidase akan dilaporkan kemudian.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih khususnya ditujukan kepada Dr. Amy Estiati yang telah membantu analisis RAPD juga kepada Dr.Trisanti Anindyawati dan Dra. Ruth Melliawati yang membantu analisis alpha glukosidase
dan gluko amylase. Selain itu juga kepada Sdr. Mulyana dan Lisye Nurjanah yang telah membantu penelitian di laboratorium serta Sdr. Nana Burhana yang membantu pelaksanaan penelitian di Kamar Kaca dan Pembibitan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Sehat dengan lidah buaya. Suara Karya, 28 Februari 2005 Fitriani V. 2007. Lidah penyapu si manis. Trubus 450 : 34-35. Imelda M, Wulansari A, Sari L & Erlyandari F. 2006. Peningkatan kadar aloin lidah buaya melalui embriogenesis dan mutagenesis. Laporan Teknik Kegiatan Penelitian Pusat Penelitian Bioteknologi, DIPA tahun 2005 : 32-40 Imelda M, Sari L & Wulansari A. 2007. Peningkatan mutu tanaman lidah buaya (Aloe vera (L.) Burm.f.) melalui mutagenesis. Laporan Teknik Kegiatan Penelitian Pusat Penelitian Bioteknologi, DIPA tahun 2006 : 273-280 Liao, Zhihua; Min Chen, Feng Tan, Xiaofen Sun & Kexuan Tang, 2004. Plant Cell Tissue and Organ Culture 76(1): 83-86. Panggabean FI. 2002. Lidah buaya sembuhkan bermacam penyakit berat. Harian Kompas, Juli. Predieri S & Gatti E. 2004. In vitro techniques and physical mutagens for the improvement of fruit crops. In : Mujib, A, Cho, Myong-Je,
Predieri, S. & Banerjee (Eds) ,In vitro application in crop improvement, p.19-32 Santosa E & Darusman LK. 2002. Kajian potensi dan pengembagnan produk lidah buaya (Aloe vera). Makalah dalam Pertemuan Nasional Pengembangan |Lidah Buaya, Pontianak 21-22 Juni 2002. Sari L & Imelda M, 2004. Pengaruh Benzyl Amino Purine (BAP) dan Adenin Sulfat (AS) terhadap multiplikasi tunas dan jumlah daun in vitro lidah buaya (Aloe vera (L)Burn.f). Jurnal Stigma, an Agricultural Science Journal XII(4): 413-416. Somogy N. 1952. Notes on sugar determination. J.Biol.Chem.195 : 19-23. Xiao J, Li L, Yuan L, S.R.Mc Couch, & S.D.Tanksley. 1996. Genetic diversity and its relationship to hybrid performance and heterosis in rice as revealed by PCR-based marker. Theor.Apll.Genet 92 : 637643.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
66
APLIKASI TEKNOLOGI DNA UNTUK KETAHANAN TERHADAP HAMA PENGGEREK BATANG PADI SERTA UJI KEAMANAN LINGKUNGAN Agus Rachmat, Amy Estiati, Syamsidah Rahmawati,Yuli Sulistyowati, Fatimah Zahra, Sigit Purwantomo, Dadang Supriatna, M. Taufik Hidayat, dan Budi Satrio M Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Penggunaan kultivar padi unggul yang memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit serta toleran lingkungan abiotik seperti kekeringan menjadi target untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman unggul dapat berupa tanaman transgenik. Untuk dapat di lepas, tanaman transgenik harus melalui serangkaian pengujian antara lain keamanan lingkungan dan pangan, yang memerlukan waktu lama dalam proses perizinannya. Kegiatan percobaan lapang yaitu pengujian keamanan lingkungan padi transgenik mengandung gen cry terhadap serangga non target. Hasil pengamatan menunjukan bahwa padi transgenik galur 611 dan 11.21.39 lebih tahan terhadap serangan hama penyakit penggerek batang kuning dengan intensitas serangan 0.35% dan 0.26% dibandingkan dengan varietas Rojolele, Ciherang dan Cilosari dengan intensitas serangan 3.53, 3.04 dan 2.77%. Tanaman transgenik tidak berpengaruh negatif terhadap populasi serangga non target. Berdasarkan analisis PCR, didapatkan enam galur padi transgenik mengandung gen cry1B-cry1Aa dan empat galur padi transgenik mengandung mpi-cry1B. Hasil bioassai skala rumah kaca untuk galur transgenik mengandung fusi dua gen cry dan gen cry1B dibawah kendali promoter mpi menunjukan tahan terhadap penggerek batang kuning dengan skor 0-1 sementara untuk tanaman non-transgenik yaitu rojolele non-transgenik, TN1 (kontrol rentan) dan Rathu Heenati (kontrol tahan) skor berturut-turut adalah 9,5,5. Dari hasil analisis Southern terhadap beberapa galur padi transgenik mengandung fusi dua gen cry (cry1B-cry1Aa) mempunyai beberapa salinan gen. Pada tanaman yang mengandung gen cry1B dengan promoter mpi mempunyai salinan gen tunggal yaitu galur T3RF2.2.24.25.22-3, T3RF4.2.4.21.8-6 dan T3RF4.2.2.1.27-2 sedangkan pada galur T3RF3.3.24.11.25-8 dan T3RF4.2.3.28.15-4 mempunyai dua salinan gen.
Kata kunci : Penggerek batang, padi transgenik, Bacillus thuringiensis, cry1Ab, fusi dua gen cry, mpi, cry1B PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,34% pada tahun 2000-2005 (BPS 2006) yang tidak diimbangi oleh produksi pangan telah memaksa Indonesia menjadi negara pengimpor beras. Volume impor yang mencapai ribuan ton (73.621; 236.866; 1.428.505 ton ditahun 2005, 2004 dan 2003; Deptan. 2006) mencerminkan bahwa Indonesia masih dalam kondisi kekurangan pangan. Menurunnya produktivitas tanaman padi antara lain terkait erat dengan berbagai hal diantaranya; terjadi pemanasan global yang menyebabkan fluktuasi iklim tajam dan gagal panen, menurunnya luas lahan garapan, kelangkaan air yang menurunkan jumlah air irigasi, degradasi lingkungan dan erosi, adanya serangan hama dan penyakit, serta perubahan alam yang sulit diprediksi (Miflin, 2000 dalam Sopandie, 2006). Pengembangan tanaman secara klasik adakalanya terhambat oleh ketiadaan gen tertentu dalam suatu kerabat tanaman yang akan disilangkan. Oleh karena itu teknik rekayasa genetika dapat menjadi pilihan untuk mengatasinya karena dapat menggunakan sumber gen yang berasal dari kerabat tanaman yang jauh atau dari organisme lain. Akan tetapi, dilepasnya kultivar unggul transgenik tidak semudah seperti melepas kultivar hasil persilangan karena harus melewati berbagai uji keamanan (lingkungan maupun pangan mulai dari tingkat rumah kaca, lapangan terbatas dan multi lokasi. Proses perizinan pengujian menjadi kendala karena memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk mengatasi hal ini, maka penggunaan kultivar unggul hasil
persilangan yang telah teruji tahan/ toleran (hama dan penyakit atau lingkungan tertentu) sangat diperlukan. Kultivar-kultivar tersebut dijadikan sebagai tanaman model pada lingkungan target. Galur-galur potensial yang teruji di lingkungan target selanjutnya dijadikan acuan bagi galur-galur transgenik yang diperoleh dari hasil rekayasa genetika. Selanjutnya pengembangan metode pengujian di tingkat rumah kaca yang dapat menginterpolasi kondisi lingkungan target dengan menggunakan galur hasil persilangan dan galur transgenik adalah sangat penting sehingga pemilihan galur transgenik yang benar-benar potensial dapat ditentukan lebih dini. Kegiatan percobaan di lapang yaitu Uji keamanan lingkungan padi transgenik mengandung gen cry pada lapangan terbatas terhadap serangga non target. Penggerek batang adalah salah satu hama penting tanaman padi. Pengamatan penggerek yang dilakukan di pulau Jawa selama tahun 1999, diketahui bahwa Scirpophaga spp. merupakan spesies dominan di hampir semua kabupaten yang diamati (Hendarsih et al., 2000). Penurunan produksi akibat serangan penggerek dapat mencapai 25% dan 26,5% yang masing-masing disebabkan oleh penggerek batang kuning (Scirpophaga incertulas) dan batang putih (Scirpophaga innotata, Lepidoptera:Pyralidae) (Biro Pusat Statistik. 1996; 1997). Penggerek batang dapat menyerang tanaman pada fase vegetatif maupun generatif. Serangan pada fase
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
67
vegetatif menimbulkan gejala sundep dan beluk pada fase generatif. Sampai batas kerusakan tertentu, tanaman yang terserang penggerek batang pada fase vegetatif dapat sembuh sehingga pengaruhnya terhadap hasil panen kecil, sedangkan serangan pada stadia generatif dapat menyebabkan pengurangan hasil panen yang sebanding dengan gejala beluk. Berdasarkan hasil percobaan di lapangan terbatas di daerah Karawang pada tahun 2005, diketahui bahwa tingkat serangan penggerek batang kuning pada padi transgenik nyata lebih rendah dibandingkan pada kultivar kontrol Rojolele dan Ciherang. Hasil Uji lapang terbatas di Indramayu tahun 2006, didapatkan data serangan oleh hama penggerek putih. Pengamatan juga dilakukan terhadap keberadaan hama lain, musuh alami dan penyakit yang ada pada plot-plot tanaman transgenik maupun non-transgenik. Tingkat serangan penggerek batang padi putih (PBPP) yang tinggi terjadi pada awal tanam, kemudian menurun dan sedikit meningkat lagi pada 8 minggu setelah tanam (MST) dan kemudian menurun lagi. Pada 2 MST, tingkat serangan PBPP pada galur padi transgenik 6.11± paling rendah dan tidak berbeda nyata dengan tingkat serangan pada galur transgenik 11,21.-39. Tingkat serangan PBPP pada varietas Rojolele, Cisadane, Ciherang dan IR64 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan ke dua galur padi transgenik tersebut, yaitu antara 19-31,30%. Meskipun teknologi rekayasa genetika telah diketahui memiliki potensi dalam perbaikan nutrisi, peningkatan hasil, dan keuntungan–keuntungan lainnya, tanaman hasil rekayasa genetika (produk transgenik) telah memicu berbagai berita yang menarik sekaligus kontroversial (Suwanto, 2000). Pandangan dan persepsi masyarakat terhadap tanaman transgenik bervariasi dan berbeda. Dukung mendukung antara yang pro dan kontra bertambah intens dan meluas dengan berperannya media massa. Salah satu yang menjadi perdebatan sengit adalah kekhawatiran sebagian masyarakat akan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pelepasan tanaman transgenik. Kekhawatiran tersebut berupa keamanan pangan dan keamanan lingkungan. Keamanan pangan berupa pertanyaan apakah pangan produk rekayasa genetika aman dikonsumsi oleh manusia. Pertanyaan ini dapat terjawab melalui serangkaian pengujian toksisitas maupun uji
tidak adanya zat anti-gizi dalam pangan yang dihasilkan. Sementara itu kekhawatiran terhadap lingkungan berupa pengaruh negatif tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran, pengaruh negatif terhadap mikroba tanah dan berpindahnya gen (gene flow) dari organisme transgenik ke organisme non-transgenik. Menurut Rissler dan Mellon (1993), gene flow pada tanaman menyerbuk silang mudah terjadi sedangkan pada tanaman menyerbuk sendiri dalam hal ini padi, risiko terjadinya transfer gen sangat jarang terjadi. Meskipun risko terjadinya transfer gen sangat kecil, akan tetapi untuk memenuhi persyaratan pelepasan tanaman transgenik, maka pada tahun 2007, akan dilakukan pengujian ketahanan galur padi transgenik terhadap penggerek batang di lapangan terbatas dan uji pengujian keamanan lingkungan. Pengujian keamanan lingkungan merupakan salah satu syarat didapatkannya izin Pelepasan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika (PPHRG) dari pemerintah. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 mengenai Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Dalam beberapa pasal dijelaskan kewajiban orang atau badan hukum yang akan melepas dan mengedarkan produk rekayasa genetika di Indonesia untuk melakukan pengujian keamanan lingkungan dan atau keamanan pangan dan atau keamanan pakan produk rekayasa genetika. Aspekaspek yang perlu dipelajari dari pengujian keamanan lingkungan antara lain meliputi: 1) Pengaruhnya terhadap populasi serangga non target dalam ekosistem tanaman transgenik 2). Menganalisis pengaruh padi transgenik terhadap mikroba tanah. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka kelompok penelitian Padi Puslit Bioteknologi LIPI akan melakukan salah satu pengujian keamanan lingkungan dari padi trasgenik yang telah diperoleh dan telah terbukti tahan terhadap serangan penggerek batang padi. Kegiatan penelitian yang akan dilakukan dalam pengujian keamanan lingkungan ini adalah pengaruh padi transgenik yang mengepresikan gen cryIAb terhadap populasi serangga non target termasuk didalamnya serangga berguna untuk ekosistem padi transgenik.
BAHAN DAN CARA KERJA Untuk uji keamanan lingkungan padi transgenik mengandung gen cry pada lapangan terbatas terhadap serangga non target, bahan yang digunakan ialah padi transgenik mengandung gen cry IA(b) galur 6.11 dan 11.21.39. Tanaman kontrol yang akan digunakan antara lain cv. Rojolele non transgenik, Ciherang dan Cilosari. Percobaan dilakukan di Pusaka Nagara Subang, Jawa Barat.
Rancangan percobaan menggunakan acak kelompok (RAK) 5 ulangan dengan ukuran plot 8 x 5 m. Pengamatan dilakukan terhadap gejala serangan penggerek yang dilakukan setiap 2 minggu, mulai 2 MST hingga 10 hari sebelum panen terhadap 32 rumpun dalam setiap plot. Tingkat serangan penggerek ditentukan dengan persamaan berikut:
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
68
I = a x 100% a+b I = Tingkat serangan (%) a = Jumlah anakan terserang b = Jumlah anakan sehat Sebagai data penunjang diamati pula keberadaan hama lain dan musuh alami (serangga non target).
Pengamatan hama lain dan musuh alami dilakukan dengan cara menghitung langsung (direct counting). Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji keamanan lingkungan padi transgenik mengandung gen cry pada lapangan terbatas terhadap serangga non target. Berdasarkan data pengamatan pada 2MST terhadap hama penggerek batang kuning dan putih menunjukkan bahwa kedua hama tersebut belum ada dalam rumpun yang diamati. Akan tetapi pada 4 MST keberadaan hama penggerek mulai terdeteksi. Besarnya intensitas rata-rata anakan terserang dari 32 rumpun menunjukan bahwa tertinggi pada kultivar Rojolele, Ciherang dan Cilosari masing-masing 3,53, 3,04 dan 2,77% yang disebabkan oleh penggerek batang kuning. Sementara untuk dua galur transgenik yang diuji tingkat serangan oleh penggerek batang kuning sebesar 0,35% dan 0,26% pada galur 611 dan 11.21.39 dan intensitas serangan oleh penggerek batang putih sebesar 0.3 dan 0.26% untuk galur 611 dan 11.21.39 (Tabel 1 ) Dari keseluruhan pengujian galur padi transgenik terhadap penggerek batang putih menunjukkan bahwa tingkat serangan penggerek batang padi pada galur padi transgenik 11.21.39 nyata lebih rendah dibandingkan dengan tingkat serangan penggerek batang padi pada varietas Rojolele, Ciherang, dan Cilosari. Hal ini menunjukan bahwa galur padi transgenik 11.21.39 dan 6.11 lebih tahan terhadap penggerek batang padi putih (Tabel 2). Sebagai data penunjang, pengamatan terhadap hama lain, keberadaan musuh alami dan penyakit yang menyerang baik pada plot tanaman transgenik maupun pada plot tanaman non-transgenik juga diamati. Tabel 1.Tingkat serangan penggerek batang padi kuning, S. incertulas (Walker) pada galur padi transgenik dan 3 varietas padi non transgenik pada stadia vegetatif. Galur/ Varietas
Rata-rata tingkat serangan penggerek batang padi kuning (%)* 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 0,00 a 0.89 a 0.77 a 0.62 a 0.35 0,00 a 0.93 a 0.75 a 0.57 a 0.26
Galur 6.11 Galur 11.21.39 Rojolele 0,00 a 1.09 ab 4.31 b 4.90 b 3.53 Ciherang 0,00 a 1.01 ab 4.85 b 7.49 c 3.04 Cilosari 0,00 a 1.29 ab 4.89 b 3.14 b 2.77 *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
Tabel 2. Tingkat serangan penggerek batang padi putih, S. innotata (Walker) pada galur padi transgenik dan 3 varietas padi non transgenik pada stadia generatif Galur/Varietas
Rata-rata tingkat serangan penggerek batang padi putih (%)* 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST Galur 6.11 0,00 a 0,89 0,80b 0,6 ab 0,30 bc Galur 11.21.39 0,00 a 0,93 a 0,75 c 0,57 c 0,26 d Rojolele 0,00 a 1,09 a 4,31 ab 4,90 ab 3,53 c Ciherang 0,00 a 1,29 a 4,89 ab 3,14 bc 2,77 c Cilosari 0,00 a 1,01 a 4,85 ab 7,49 ab 3,04 c *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
Toleransi Galur Padi Transgenik dan Varietas Padi Terhadap Hama Lain Keberadaan serangga hama padi yang lain dalam hamparan percobaan menunjukan keberadaannya. Jenisjenis hama yang ada antara lain hama putih palsu wereng coklat, wereng punggung putih dan laba-laba. Selanjutnya pada pengamatan 4 MST terdapat pula serangga lain selain serangga tersebut, seperti, paederus dan cyrtorhinus. Jenis laba-laba dan paederus merupakan serangga predator. a. Hama Putih Palsu (Cnaphaclorosis medinalis G) (Lepidoptera: Pyralidae) Pada saat percobaan, serangan hama putih palsu (HPP) ada pada 4 MST dan meningkat pada 6 MST, selanjutnya turun sampai panen. Pada 4 MST, tidak ada perbedaan intensitas serangan HPP pada semua galur padi transgenik dan varietas uji lainnya. Perbedaan intensitas serangan HPP terlihat pada 6 MST dimana semua galur padi transgenik nyata lebih rendah intensitas serangan HPP-nya dibandingkan dengan varietas Ciherang dan Cilosari, tetapi tidak berbeda dengan varietas Rojolele. Antar galur padi transgenik tidak ada perbedaan intensitas serangan HPP, demikian juga antar varietas Ciherang dan Cilosari (Tabel 3). b. Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera Hovarth/Homoptera) Populasi wereng punggung putih (WPP) sudah tinggi sejak 4 MST, kemudian turun pada 6 dan 8 MST, selanjutnya meningkat dan mencapai puncaknya pada 10 MST. Pada 6, 10 MST tidak ada perbedaan populasi WPP antar galur padi transgenik dan varietas uji
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
69
lainnya. Pada 4 MST tidak terlihat adanya perbedaan populasi WPP antar galur padi transgenik dan varietas uji lainnya, kecuali antara galur padi transgenik 6.11 dan varietas Rojolele yang nyata berbeda. Pada 8 MST, populasi WPP pada semua galur padi transgenik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi WPP pada varietas Ciherang, tetapi tidak berbeda dengan populasi WPP pada varietas Rojolele dan Cilosari (Tabel 4). Tabel 3. Intensitas serangan hama putih palsu (HPP) pada galur-galur padi transgenik dan beberapa varietas padi. Rata-rata intensitas serangan HPP (%)* 4 MST 6 MST Galur 6.11 0,34 ab 0,29 b Galur 11.21.39 0,00 b 2,25 b Rojolele 0,59 ab 1,24 b Ciherang 1,61 a 7,76 a Cilosari 1,61 a 4,92 a *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam Galur/varietas
Tabel 4. Populasi wereng punggung putih (WPP) pada galur padi transgenik dan 3 varietas padi non transgenik pada stadia vegetatif.
Rata-rata populasi WPP (ekor/32 rumpun)* 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST Galur 6.11 39,50 ab 13,25 19,75 a 48,50 Galur 11.21.39 36,25 ab 12,50 17,00 a 55,00 Rojolele 43,00 a 10,50 20,00 a 65,50 Ciherang 30,75 ab 18,00 5,50 b 32,00 Cilosari 24,50 ab 23,75 15,50 a 41,00 *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam Galur/Varietas
c. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens (Stal)) (Homoptera: Delphacidae) Pada 4 MST populasi wereng coklat pada varietas transgenik dan Rojolele lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang dan Cilosari. Populasi meningkat pada 6 MST, dan mencapai puncaknya pada 8 MST. Pada 6 MST, populasi wereng coklat pada galur padi transgenik 6.11, 11.21.39 dan varietas Rojolele nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi wereng coklat pada varietas Ciherang dan Cilosari. Pada 8 MST, populasi wereng coklat pada galur padi transgenik 6.11 dan 11.21.39 nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi wereng coklat pada varietas Rojolele, Ciherang dan Cilosari. (Tabel 5). Toleransi galur padi transgenik dan varietas nontransgenik (Rojolele, Ciherang dan Cilosari) terhadap musuh alami a. Keberadaan Musuh Alami Laba-laba Selama percobaan, populasi laba-laba sudah ada sejak 2 MST dan meningkat pada 4 dan 6 MST, dan mencapai puncaknya pada 8 MST. Selanjutnya populasi laba-laba turun sampai panen. Pada 8, 10, dan 12 MST
tidak ada perbedaan populasi laba-laba pada semua galur padi transgenik dan varietas uji lainnya. Pada 4 MST, populasi laba-laba tertinggi terlihat pada varietas Cilosari yang tidak berbeda dengan populasi pada galur padi transgenik 6.11 dan varietas Ciherang. Sementara populasi laba-laba terendah terlihat pada varietas Rojolele. Namun demikian, populasi pada galur dan varietas tersebut tidak berbeda dengan populasi labalaba pada semua galur padi transgenik. Pada 6 MST, populasi laba-laba pada galur padi transgenik 11.21.39 nyata lebih rendah dibandingkan dengan populasi labalaba pada varietas Ciherang dan Cilosari. Tidak ada perbedaan populasi laba-laba antar galur padi transgenik dengan varietas Rojolele (Tabel 6). Tabel 5. Populasi wereng coklat pada galur padi transgenik dan 3 varietas padi non transgenik pada stadia vegetatif. Galur/ Varietas
Rata-rata populasi wereng coklat (ekor/32 rumpun)* 4 MST 6 MS 8 MST 10 MST Galur 6.11 42,33 b 421,11 a 891,56 b 171,67 b Galur 11.21.39 41,27 b 403,24 a 877,29 b 167,35 b Rojolele 59,78 a 478,11 a 1086,33 a 274,44 b Ciherang 0,21 c 105,56 b 1098,11 a 416,89 a Cilosari 0,17 c 115,56 b 1018,11 a 396,89 a *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
Tabel 6. Populasi laba-laba pada galur-galur padi transgenik dan beberapa varietas padi. Galur/varietas
Rata-rata populasi laba-laba (ekor/32 rumpun) * 4 MST 6 MST 8 MST 10 12 MST MST Galur 6.11 12,97 abc 18,72 ab 23,54 ab 17,75 a 6,45 ab Galur 11.21-39 11,75 bc 12,25 b 24,75 ab 21,65 a 8,25 a Rojolele 8,99 c 17,65 b 24,88 ab 18,50 a 5,25 ab Ciherang 16,98 ab 23,75 a 34,25 a 25,78 a 2,50 b Cilosari 20,45 a 23,49 a 36,14 a 19,23 a 6,99 ab *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
b. Keberadaan Musuh Alami Cyrtorhinus Populasi Cyrtorhinus baru terlihat pada 8 MST dan mencapai puncaknya pada 10 MST. Selanjutnya populasi Cyrtorhinus turun pada 12 MST sampai panen. Pada 8 MST populasi Cyrtorhinus tertinggi terlihat pada galur padi transgenik 6.11 dan terendah pada varietas Cilosari. Namun demikian, populasi Cyrtorhinus antar galur padi transgenik dengan varietas Rojolele, Ciherang maupun Cilosari tidak berbeda. Pada 10 MST, populasi Cyrtorhinus pada varietas Cilosari nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi Cyrtorhinus pada semua galur padi transgenik dan varietas uji lainnya. Tidak ada perbedaan populasi Cyrtorhinus antar galur padi transgenik dan antar galur padi transgenik dengan varietas Rojolele dan Ciherang (Tabel 7).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
70
c. Keberadaan Musuh Alami Paederus Sama halnya dengan populasi laba-laba, populasi Paederus sudah terlihat sejak 2 MST dalam populasi yang ada. Pada 4 MST populasi Paederus mulai meningkat, dan terus meningkat pada 6 MST. Selanjutnya populasi Paederus berfluktuasi antar galur padi transgenik dan varietas sampai panen. Pada 4, 6, 10, 12, 14, dan 16 MST, populasi Paederus merata dan tidak ada perbedaan populasi antar galur padi transgenik dan varietas uji lainnya. Pada 8 MST, populasi Paederus pada galur padi transgenik Cilosari lebih tinggi dibandingkan dengan populasi Paederus pada varietas lain. Tidak ada perbedaan populasi Paederus antar galur padi transgenik (Tabel 8). Tabel 7. Populasi Cyrtorhinus pada galur-galur padi transgenik dan beberapa varietas padi. Rata-rata populasi Cyrtorhinus (ekor/32 rumpun)* 8 MST 10 MST Galur 6.11 10,75 a 61,50 b Galur 11.21-39 5,95 abc 63,25 b Rojolele 10,00 ab 45,27 b Ciherang 4,16 bc 24,50 b Cilosari 2,25 c 139,33 a *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
Beberapa galur transgenik yang positif mengandung gen fusi atau mpicry diambil perwakilan untuk dilakukan bioassay. Bioassai dilakukan terhadap beberapa galur yang mengandung fusi dua gen cryIB dan cryIAa yaitu Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.12 , Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.12, RFZ 4.2.3-28-15-2, RFZ 4.2.3-28-15-6, RFZ 3.2.2.1-6-28, RFZ 4.2.4-21-8-16, RFZ 3.3.2A-1125-12 dan galur mpi cryIB 3R2.5-7-13-23, 3R7-8-15-2, 3R9-8-28-26.
Gambar 1. Hasil PCR tanaman mengandung gen fusi cryIB dan cry Iaa
Galur/varietas
Tabel 8. Populasi Paederus pada galur-galur padi transgenik dan beberapa varietas padi. Galur/varietas
Rata-rata populasi Paederus (ekor/32 rumpun)* 4 MST 6 MST 8 MST Galur 6.11 4,23 a 8,75 a 5,00 ab Galur 11.21-39 4,00 a 10,75 a 7,75 ab Rojolele 7,01 a 8,50 a 10,25 ab Ciherang 5,21 a 12,00 a 9,75 ab Cilosari 4,25 a 9,25 a 12,50 a *) Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. MST – Minggu setelah tanam
Analisis PCR Telah dilakukan seleksi tanaman transgenik pada T4 (generasi ke 5) baik yang mengandung fusi dua gen cryIB dan cryIAa maupun mpi cryIB dengan menggunakan teknik PCR (Gambar 1-3). Primer yang digunakan merupakan primer spesisfik untuk gen-gen tersebut. Beberapa galur transgenik yang telah di PCR, galur yang mengandung fusi cry Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.3, Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.12, RFZ 4.2.2-1-27-13, RFZ 4.2.2-1-27-14, RFZ 4.2.3-28-15-2, RFZ 4.2.3-28-15-6, RFZ 4.2.3-28-15-7, RFZ 3.2.2.1-6-22, RFZ 3.2.2.1-6-28, RFZ 4.2.4-21-8-10, RFZ 4.2.4-21-8-16, RFZ 3.3.2A-1125-2, RFZ 3.3.2A-11-25-12 dan beberapa galur mpi cryIB 3R2.5-7-13-4, 3R2.5-7-13-13, 3R2.5-7-13-23, 3R7-8-15-2, 3R7-8-15-4, 3R9-8-28-26, 3R9-8-28-27. Bioasai padi transgenik mengandung masing-masing fusi 2 gen cry (cry1B-cry1Aa) dan mpi-cry1B
Gambar 2. Hasil PCR tanaman mengandung gen mpi cryIB
Gambar 3. Hasil PCR tanaman mengandung gen cryIAB
Gambar 4. Bioassai penggerek batang kuning di rumah kaca transgenik Bioassay terhadap penggerek batang yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 9. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil bioassay skala rumah kaca untuk galur transgenik mengandung fusi dua gen cry dan gen cry1B dibawah kendali promoter mpi menunjukan tahan terhadap penggerek batang kuning dengan skor 0-1 sementara untuk tanaman non-transgenik yaitu rojolele non-transgenik, TN1 (kontrol rentan) dan Rathu Heenati (kontrol tahan) skor berturut-turut adalah 9,5 dan 5.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
71
Analisis Southern Blot Telah dilakukan isolasi DNA tanaman transgenik pada T4 (generasi ke 5) baik yang mengandung fusi dua gen cryIB dan cryIAa maupun mpi cryIB dengan menggunakan metode CTAB modifikasi. DNA genomik hasil isolasi kemudian di running dalam gel elektroforesis untuk melihat kualitas dari DNA tersebut. DNA yang bagus kemudian dilanjutkan dengan memotong DNA tersebut dengan enzim restrik.
T3RF3.3.24.11.25-8 dan T3RF 4.2.3.28.15-4 mempunyai dua salinan (Gambar 6). Jumlah dan pola pita yang muncul dari hasil hibridisasi dapat dijadikan jumlah salinan (copy number) gen dan bukti kejadian transformasi yang berbeda. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa gen cryIAb diintroduksi ke padi pada galur-galur tersebut terintegrasi ke dalam genom tanaman dan galur-galur tersebut merupakan galur independent
Tabel 9. Bioassay terhadap penggerek patang pada galur padi transgenik T4
Keterangan: K: Kontrol, KR Kontrol Rentan, KT: Kontrol Tahan
D = Persentase tanaman transgenic x 100% persentase tanaman rentan Konfirmasi integrasi gen fusi cryIBIAa maupun mpi cry IB ke dalam DNA genomik tanaman diketahui dengan analisis Southern blot pada DNA genom total yang diisolasi dari daun tanaman yang positif PCR. Sampel yang diambil adalah Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.3, Rjl 04 F2.2 2.4-25-22.12, RFZ 4.2.2-1-27-13, RFZ 4.2.2-1-27-14, RFZ 4.2.3-28-15-2, RFZ 4.2.3-28-15-6, RFZ 4.2.3-28-15-7, RFZ 3.2.2.1-6-22, RFZ 3.2.2.1-6-28, RFZ 4.2.4-21-8-10, RFZ 4.2.4-21-8-16, RFZ 3.3.2A-1125-2, RFZ 3.3.2A-11-25-12 dan beberapa galur mpi cryIB 3R2.5-7-13-4, 3R2.5-7-13-13, 3R2.5-7-13-23, 3R7-8-15-2, 3R7-8-15-4, 3R9-8-28-26, 3R9-8-28-27. Daun tanaman non transgenik dipakai sebagai kontrol negatif dan fragmen fusi dan mpi digunakan sebagai kontrol positif. Dari hasil Southern tanaman transgenik yang mengandung mpi cry IB, pada beberapa galur tedapat lebih dari satu salinan gen (Gambar. 5). Sedangkan analisis Southern tanaman transgenik yang mengandung fusi cryIBIAa beberapa galur T3RF2.2.24.25.22-3, T3RF4.2.4.21.8-6 dan T3RF 4.2.2.1.27-2 mempunyai salinan gen tunggal, pada galur
Gambar 5. Hasil analisis Southern mpi cry IB 1, Kontrol positif; 2, Kontrol Negatif tanaman; 3, T33R5-22-3; 4, T3R9-8-28; 5, T3. 3R9-8-2; 6, T3R5-22-7; 7, T33R5-22-2
Gambar 6. Hasil analisis Southern fusi cry IBIAa: 1. Kontrol positif; 2. Kontrol negative; 3. T3RF2.2.24.25.22-3; 4. T3RF3.3.24.11.25-8; 5. T3RF4.2.3.28.15-4; 6. T3RF4.2.4.21.8-6; 7. T3RF4.2.2.1.27-2.
KESIMPULAN Padi transgenik galur 611 dan 11.21.39 lebih tahan terhadap serangan hama penyakit penggerek batang kuning dengan intensitas serangan 0,35% dan 0,26%
dibandingkan dengan varietas Rojolele, Ciherang dan Cilosari dengan intensitas serangan 3,53, 3,04 dan 2,77%. Terdapatnya berbagai jenis populasi serangga
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
72
non target pada hamparan percobaan menunjukkan bahwa tanaman transgenik tidak berpengaruh negatif terhadap populasi serangga non target. Hasil bioassai skala rumah kaca untuk galur transgenik mengandung fusi dua gen cry dan gen cry1B dibawah kendali promoter mpi menunjukan tahan terhadap penggerek batang kuning dengan skor 0-1 sementara untuk tanaman non-transgenik yaitu rojolele non-transgenik, TN1 (kontrol rentan) dan Rathu Heenati (kontrol tahan)
skor berturut-turut adalah 9,5,5. Analisis Southern terhadap beberapa galur padi transgenik mengandung fusi dua gen cry (cry1B-cry1Aa) mempunyai beberapa salinan gen. Pada tanaman yang mengandung gen cry1B dengan promoter mpi mempunyai salinan gen tunggal yaitu galur T3RF2.2.24.25.22-3, T3RF4.2.4.21.8-6 dan T3RF4.2.2.1.27-2 sedangkan pada galur T3RF3.3.24.11.25-8 dan T3RF4.2.3.28.15-4 mempunyai dua salinan gen.
DAFTAR PUSTAKA Alam MF, Datta K, Abrigo E , Vasquez A, Senadhira D, & Datta SK. 1998. Production of transgenic deepwater Indica rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cry I A(b) gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Sci 135 : 25-30. Alcantra EP, Aguda R, Dean DH, & Cohen MB. 2000. Investigation of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin binding to midgut receptors of rice stem borers. International Rice Research Genetics Symposium. IRRI. 221. Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Jakarta. Indonesia. Biro Pusat Statistik. 1997. Statistik Indonesia. Jakarta. Indonesia Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Jakarta. Indonesia. Deptan. 2006. Statistik Pertnian. Departemen Pertanian Indonesia Hendarsih S, Kertoseputro D & Usyati N. 2000. Pemetaan species dan parasitoid penggerek batang padi di pulau Jawa. Laporan hasil penelitian, Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 30 hal. McCouch SR, Teytelman L, Xu Y, Lobos KB, Clare K, Walton M, Fu B, Maghirang R, et al.. 2002. Development and mapping of
2240 new SSR markers for rice (Oryza sativa L.). DNA Res. 9:199–207. Nayak P, Basu D, Das S , Basu A, Ghosh D, Ramakhrisnan NA, Ghosh M, & Sen SK. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing cry Iac δ-endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer (Scirpophaga incertulas). Proc. Natl. Acad Sci.USA Vol 94. 2111-216. Tamayo CT, Rufat M, Bravo JM, & San Segundo B. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and characterization of its activity toward digestive proteinase of Spodoptera littoralis larvae. Planta 211: 62-71. Rissler & Mellon. 1993. Ecologically and transgenic crops in global market. Union of Concerned scientis. Cambridge. MIT Press. Suwanto, 2000. Produk transgenik dan resiko transfer gen pada mikroorganisme. Hayati. 7(2):56-60.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
73
TRANSFORMASI GENETIKA UNTUK MERAKIT VARIETAS PADI TOLERAN PADA KEKERINGAN DAN PENYAKIT BLAST Inez H.Slamet-Loedin, Satya Nugroho, Enung S. Mulyaningsih, Eva Erdayani, Carla F. Pantauw, Dwi Astuti, Sri Indrayani, Muhammad Sajam, Yeni Andriani, dan Eman Sulaeman Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Perluasan lahan pertanian sebagai upaya peningkatan produksi tidak memungkinkan karena semakin menyempitnya lahan subur karena urbanisasi dan industrialisasi. Oleh karena itu pemecahan yang dapat dilakukan adalah melalui perakitan padi yang mampu berproduksi tinggi pada penanaman di lahan marginal kekeringan yang masih belum termanfaatkan. Penelitian untuk meningkatkan kemampuan tanaman padi toleran terhadap kekeringan harus juga disertai penelitian untuk meningkatkan ketahanan padi tersebut terhadap penyakit blas, yang diketahui banyak menyerang padi pada lahan kering. Penelitian perakitan varietas padi toleran kekeringan dan penyakit blas dengan menggunakan teknologi transformasi genetika, merupakan penelitian lanjutan yang dibiayai oleh DIPA. Kegiatan penelitian meliputi: transformasi SalT::Oshox ke dalam genom padi IR64, analisis molekuler tanaman hasil transformasi dengan SalT::Oshox, analisis molekuler tanaman hasil transformasi dengan gengen penyandi biosintesa asam salisilat dan bioasai padi transgenik mengandung gen-gen penyandi biosintesa asam salisilat menggunakan strain virulen blas. Didapat lima galur positif mengandung gen hpt. Untuk mengetahui keberhasilan transformasi padi cv. Rojolele dengan gen penyandi asam salisilat (entC dan pmsB), telah dilakukan menggunakan primer spesifik untuk gen pmsB. Dari hasil biosai di rumah kaca dengan menyemprotkan suspensi Magnaporthe grisea strain 173 (super virulent), didapat satu galur potensial tahan penyakit blas (E.10.1.5). Kontruksi vektor gen oshox dengan promoter terinduksi kekeringan (salT promoter) yang diisolasi dari padi cv. Taichung telah dilakukan. Didapat 7 tanaman hasil transformasi dengan introduksi gen Oshox dengan menggunakan promoter terinduksi kekeringan ke tanaman padi cv IR64.
Kata kunci: padi transgenik kekeringan , IR64, blas, asam salisilat, oshox, salT PENDAHULUAN Peningkatan produksi padi di Indonesia di daerah pertanaman lahan kering adalah alternative potensial, karena tanah yang potensial untuk ’dryland farming’ di Indonesia mencapai 50.792,8 ribu hektar atau 26,5% dari total area (Hidayat et al., 1997). Produksi rata-rata padi lahan kering di Indonesia hanya mencapai 2,26 ton/ha (BPS, 1999). Kendala utama pertanaman padi di lahan kering adalah reaksi fisiologis tanaman terhadap cekaman terhadap kekeringan dan penyakit utama blas. Ketika masalah kekeringan sudah dapat diatasi, serangan blas masih merupakan kendala yang dapat menghancurkan seluruh pertanaman. Evenson (1996) memperkirakan bila kedua masalah ini dapat diatasi produksi padi dapat meningkat 2-3 ton/ha. Saat ini antisipasi kerawanan pangan akibat kekurangan air yang disebabkan antara lain oleh pemanasan global dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia ditetapkan menjadi sasaran utama pengembangan pertanian di Asia Gen-gen yang terinduksi pada saat kekeringan baik yang meningkat maupun menurun tingkat ekspresinya diduga tidak hanya berfungsi melindungi sel-sel tanaman dari kekurangan air tetapi ada pula yang berperan pada seluruh sistem regulasi gen untuk menyampaikan sinyal sebagai respons terhadap kekeringan. Sehingga gen-gen diklasifikasikan atas yang mengekspresikan ’functional proteins’ dan grup yang menghasilkan ’protein pengatur’ (regulatory proteins) (Yamaguchi-Shinozaki et al., 2002.) Pendekatan pemuliaan transgenik untuk sifat yang kompleks seperti cekaman kekeringan pada tahun-tahun
terakhir cenderung memanfaatkan gen regulator oleh karena seluruh sistem dipengaruhi. Over-ekspresi gen AP2/EREBP dan faktor CBF1, DREB1a serta CBF4 berhasil meningkatkan toleran terhadap kekeringan, keasaman dan temperature dingin pada Arabidopsis (Yamaguchi-Shinozaki & Shinozaki, 2001; Haake et al., 2002), sedangkan penggunaan gen fungsional protein memerlukan pembentukan piramida transformasi beberapa gen. Salah satu dari gen-gen regulator ini adalah faktor transkripsi seperti Homeodomain Leucine Zipper Genes. Pada penelitian sebelumnya, salah satu dari 7 gen HDZip Oshox yang telah diisolasi berhasil dikarakterisasi dan diekspresikan melalui fusi dengan promoter 35S di padi model Nipponbare dan tanaman model Arabidopsis. Tanaman transgenik Arabidopsis (over ekspresor) terbukti potensial tahan kekeringan (21 hari tanpa disiram) namun pada padi muncul sifat fenotipik yang tidak diinginkan dan cenderung steril. Fenomena pada padi transgenik tersebut kemungkinan disebabkan karena diekspresikannya gen Oshox secara terus menerus padahal kemungkinan ekspresi gen Oshox hanya diperlukan pada saat tanaman menghadapi cekaman kekeringan saja. Oleh karena itu pada penelitian ini gen Oshox akan difusikan ke promoter terinduksi kekeringan. Gen salT terinduksi kuat pada saat tanaman padi terpapar cekaman dehidrasi termasuk kekeringan (Claes et al., 1990). Ekspresi protein SalT yang merupakan protein 14,5 kDa mannose-binding lectin tidak berhubungan dengan sensitivitas tanaman terhadap
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
74
cekaman (Filho et al., 2003; Branco et al., 2004). Ekspresi SalT terlihat pada selubung daun dan akar (Garcia et al., 1998). Namun demikian, promoter gen salT memiliki nilai potensial untuk dipakai dalam mengatur ekspresi gen yang berperan dalam ketahanan tanaman padi terhadap kekeringan. Gen ini dapat diakses pada GeneBank dengan nomer aksesi Z25811 dan berada pada kromosom chr01 (71.2cM) genom padi. Strategi kloning promoter salT akan dilakukan dengan mengklon promoter dalam dua buah fragmen yang terpisah. Selanjutnya kedua potongan digabungkan ke dalam vektor binari. Fluktuasi iklim yang sulit diprediksi akibat pemanasan iklim global semakin sering terjadi dan pada akhirnya menyebabkan gagal panen. Perubahan iklim tajam seperti El Nino berpengaruh besar terhadap produktivitas tanaman. Akibat El Nino terbesar tahun 1997/1998 menyebabkan volume impor mencapai 5,8 juta ton yaitu 20% dari total perdagangan beras dunia (Naylor et al., 2007). Tahun 2006-2007 kekeringan mengakibatkan penundaan masa tanam hingga 2 bulan. Studi Naylor et al. (2007) dari data 1979-2004 pada Jawa dan Bali menunjukkan penundaan musim tanam 30 hari yang berakibat menurunkan hasil dari 6,5 - 11% dan analisis model iklim memprojeksikan keterlambatan hujan akan semakin sering terjadi di Jawa Bali. Oleh karena itu, perlu dikembangkan varietas tanaman padi gogo yang adaptif pada kondisi kekeringan. Salah satu kendala utama pengembangan varietas kekeringan di dunia adalah penerapan seleksi yang sesuai. Melakukan analisis dan seleksi fenotipe yang tepat yang menggambarkan kondisi lapang secara nyata menjadi tantangan utama pengembangan padi toleran kekeringan. Kerapkali tanaman terseleksi toleran di tingkat rumah kaca gagal memperoleh hasil optimal pada kondisi kekeringan sesungguhnya di lapang. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi langsung di lapang dan selanjutnya mengembangkan metode uji kekeringan di rumah kaca yang mampu menggambarkan kondisi cekaman kekeringan di lapang. Penelitian untuk pengamatan fenotipe tanaman toleran kekeringan pada tahap awal akan dilakukan di lapang menggunakan populasi galur hasil persilangan.
Parameter yang diamati ialah yang terkait dengan hasil sebagai parameter primer dan parameter-parameter sekunder. Pengamatan terhadap parameter skunder bertujuan untuk melihat apakah parameter skunder dapat mencerminkan hasil dari data primer akhir. Datadata hasil pengamatan dari rumah kaca dan lapang selanjutnya dianalisis dan ditarik korelasinya. Pengembangan metode uji kekeringan di rumah kaca ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk seleksi tanaman padi transgenik untuk tujuan mendapatkan galur potensial toleran kekeringan. Penyakit blast yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae atau Magnaporthe grisea merupakan penyakit utama di persawahan padi lahan kering. Gengen yang berperan pada biosintesis asam salisilat (gen entC and pmsB) ternyata setelah diekspresikan pada tembakau berhasil meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Verberne et al., 2000). Tujuan umum dari penelitian ini adalah meningkatkan produksi padi nasional dengan cara merakit varietas padi yang tahan terhadap cekaman kekeringan dan penyakit blas melalui teknologi DNA/ rekayasa genetika. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: • Memperoleh tanaman padi transgenik mengandung gen regulator Oshox untuk toleran kekeringan yang dikendalikan oleh promoter terinduksi kekeringan. • Mengembangkan galur-galur transgenik Rojolele yang mengandung gen antifungal asam salisilat dan tahan terhadap galur blas virulen. Sasaran umum dari penelitian ini hádala mengatasi permasalahan produksi padi dengan cara meningkatkan produkasi beras nasional dengan merakit padi tahan kering dan penyakit blas. Sedangkan sasaran spesifiknya adalah memperoleh tanaman padi transgenik unggul dengan kemampuan produksi yang tinggi dilahan kering marginal dan memiliki ketahanan terhadap penyakit blas yang merupakan masalah utama penanaman padi di daerah-daerah tersebut. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong dan Rumah kaca transgenik, Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong.
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Analisis molekuler padi transgenik penyandi asam salisilat menggunakan teknik PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen entC dan pmsB. Analisis PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan gen entC dan pmsB menggunakan DNA hasil isolasi yang dilakukan sebelumnya. Volume untuk 1x reaksi untuk masing-masing gen target adalah 25 µl dengan komposisi bahan sebagai berikut: 1x buffer PCR , dNTP 0.05 mM, Taq polymerase 0,05 u/µl, primer entC reverse dan forward 2,5 ng/µl, primer
pmsB forward dan reverse sebanyak 2.5 ng/µl, dan dH2O. Kontrol negatif menggunakan DNA tanaman kontrol (tanpa transformasi) dan air, sedangkan kontrol positif menggunakan plasmid dan tanaman (+) hpt. Kondisi PCR untuk gen entC ialah satu siklus denaturasi (95oC, 3 menit); 40 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 60oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit], 72oC 10 menit kemudian penyimpanan (4oC). Sedangkan kondisi PCR untuk gen pmsB ialah satu siklus denaturasi (95oC, 3 menit); 40 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 55oC 1 menit,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
75
sintesis 72oC 1 menit], 72oC 10 menit kemudian penyimpanan (4oC). 2. Bioasai pada tanaman mengandung dua gen penyandi asam salisilat generasi keempat (T3). Bioasai pada tanaman diduga transgenik yang mengandung dua gen penyandi asam salisilat (entC dan pmsB) pada generasi keempat (T3), dilakukan dengan menyemprotkan suspensi Magnaporthe grisea strain 173 (strain super virulent) pada padi transgenik. Inokulasi dilakukan setelah tanaman padi fase primordia dengan cara menyemprotkan suspensi konidia dengan konsentrasi 2x105 konidium/ml. Penyemprotan dilaksanakan di dalam rumah kaca yang telah dikondisikan agar kadar kelembapanya tinggi. Dalam rumah kaca tersebut, pot-pot yang telah diinokulasi dengan isolat M. oryzae ditempatkan di dalam rumah kaca dan sekeliling dinding rumah kaca ditutup dengan kain blacu. Lantai diusahakan tetap lembab dengan membiarkan air tergenang dan pada bagian atas pot digantungkan alat penyemprot air (“Sprinkle irrigation”) yang menyemburkan air dalam bentuk embun. Penyemburan air berlangsung selama 24 jam setiap hari. Uji ketahanan dilakukan pada fase primordia. Parameter yang diamati adalah bercak coklat pada leher malai pada 2 MSI, 3 MSI, dan 4 MSI (Minggu setelah inokulasi). Intensitas serangan = Jumlah malai yang bergejala : Jumlah malai yang diamati x 100% 3. Isolasi promoter gen SalT dari padi cv. Taichung. Isolasi DNA padi cv. Taichung dilakukan dengan metode van Heusden (2000) dengan sedikit modifikasi. Isolasi dilakukan dengan cara sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1,5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi bubuk, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0,2 M tris-HCL pH 7,5; 0,05M EDTA, 2M NaCl, 2% (b/v) CTAB], buffer ekstraksi [0,35M sorbitol; 0,1M Tris HCl pH 7,5; 5 mM EDTA], dan 5% (b/v) sarkosil dengan perbandingan 2,5: 2,5: 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65oC
sambil dikocok perlahan. Kemudian ditambah 750 µl kloroform:isoamil alcohol (24:1) dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus (12.000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang). Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1,5 ml yang baru dan ditambah 400µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus (12.000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang). Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500µl 70% etanol dan disentrifus (12.000 rpm selama 3 menit). Supernatant dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50µl TE. Isolasi promoter gen SalT didapat dengan melakukan analisis PCR menggunakan primer yang spesifik untuk promoter SalT. Adapun sekuense dari primer promoter gen SalT adalah: SalT forward I (5’CAGATCTGTAACGCGTGGTCTTTC-3’), forward II (5’-CCAAGGCTTGGTGACGGCGGCTTCAG-3’), SalT reverse I (5’-CACTGTATCACCTGCATTCG TGTACG-3’) dan reverse II (5’-CCCATGG AAGCTTCTTGGGTGGCAC-5’). Kondisi PCR yaitu satu siklus denaturasi (95oC, 10 menit); 40 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 55oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit], 72oC 10 menit kemudian penyimpanan (4oC). 4. Analisis molekuler tanaman mengandung 35S::oshox4 Analisis PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan gen oshox. DNA hasil isolasi yang dilakukan sebelumnya digunakan untuk PCR. Volume untuk 1x reaksi adalah 25 µl dengan komposisi bahan sebagai berikut: 1x buffer PCR , dNTP 0.05 mM, Taq polymerase 0,05 u/µl, primer gos-5 reverse dan forward 2,5 ng/µl, primer hpt forward dan reverse sebanyak 2,5 ng/µl, dan dH2O. Kontrol negatif menggunakan DNA tanaman kontrol (tanpa transformasi) dan air, sedangkan kontrol positif menggunakan plasmid dan tanaman (+) hpt. Kondisi PCR ialah satu siklus denaturasi (95oC, 10 menit); 40 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC, 1 menit; annealing 55oC, 1 menit; sintesis 72oC, 1 menit]; 72oC , 10 menit kemudian penyimpanan (4oC).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis molekuler padi transgenik penyandi asam salisilat menggunakan tehnik PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen entC dan pmsB. Hasil analisis PCR yang dilakukan menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji mengandung gen entC dan pmsB (Gambar 1 dan 2). Selanjutnya tanaman tersebut dibioasai menggunakan cendawan M. grisea. Hasil analisis PCR yang dilakukan terhadap 5 galur transgenik menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji mengandung gen entC dan pmsB. Dari galur E.10.1.5.15, E.10.1.10.29, E.10.1.27.11, E.10.1.43.8, C.30.1.2.29 yang di PCR positif entC masing-masing
adalah 27, 27, 27 21 dan 22 tanaman sedangkan positif pmsB 29, 28, 24, 21, dan 26 tanaman dari 29 tanaman yang diuji. 2. Bioasai pada tanaman mengandung dua gen penyandi asam salisilat T3 Uji bioasai dengan menggunakan cendawan M. grisea dititikberatkan pada 5 galur transgenik. Pengamatan dilakukan 2MSI, 3MSI dan 4MSI (minggu setelah inokulasi). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
76
Gambar 1. Hasil PCR untuk gen entC Gambar 3. Bioasai penyakit blas menggunakan strain 173 (super virulent) Rojolele (kiri) Transgenik (kanan) Tabel 3. Hasil uji bioassai Tanaman transgenik generasi ke-5 (T4) fase seedling Gambar 2. Hasil PCR untuk gen pmsB Tabel 1 Hasil analisis molekuler PCR padi transgenik penyandi asam salisilat (T3) mengandung gen entC dan pmsB No.
Galur
Galur
Skoring
1
T 4 E10.1-5-15-30
1,5
2
T 4 E10.1-27-11-12
1,4
3
T 4 E10.1-10-29-10
1,1
4
T 4 E10.1-43-8-9
1,1
5
Σ Tanam
T 4 E10.1-1-2-29-30
1,1
entC
entC
pmsB
pmsB
6
an
+
-
+
-
Rojolele
5,1
7
Asahan (Kontrol Tahan)
3,9
8
Kencana Bali (Kontrol Rentan)
7,0
PCR
1.
E.10.1.5.15
29
27
2
29
0
2.
E.10.1.10.29
28
27
1
28
0
3.
E.10.1.27.11
28
27
1
24
3
4.
E.10.1.43.8
21
21
0
21
0
5.
C.30.1.2.29
26
22
4
26
0
Tabel 2. Hasil uji bioassai Tanaman transgenik generasi ke-4 (T3) Galur
No
Intensitas serangan (%) 2 MSI
3MSI
4MSI
E-10.1-5-15
4,22
5,67
5,67
E.10.1-10-29
0
0
2
C.30.1-2-29
0
1,19
1,19
E.10.1-27-11
0
3,09
3,09
E.10.1-43-8
1,59
6,35
6,35
Rojolele
52
57,33
57,33
Hasil pengamatan bioassai menunjukkan bahwa galur-galur transgenik lebih tahan dibandingkan kontrol Rojolele non transgenik. Intensitas serangan galur transgenik berkisar 2-6,35% sedangkan tanaman kontrol mencapai 57,33%. Tabel 3 menunjukkan bahwa tanaman transgenik yang diuji lebih tahan dibandingkan dengan cv. Rojolele wild type dan cv. Asahan (Kontrol tahan). Dimana skoring tanaman transgenik berkisar 1.1-1.5 sedangkan kontrol tanaman cv Rojolele 5.1 dan cv Asahan 3.9.
Keterangan: Skor 0-3 = Tahan, 3,1-9 = Tidak tahan
3. Isolasi promoter gen SalT dari padi cv. Taichung. Isolasi promoter dengan cara amplifikasi menggunakan PCR dilakukan 2 tahap. Hal ini dikarenakan panjang promoter SalT sebesar 1700 bp, akan mempersulit untuk melakukan amplifikasi sekaligus. Dua pasang primer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen SalT I dan II adalah sebagai berikut : Fragmen I SalT F: 5’-CAGATCTGTAACGCGT GGTCTTTC -3’ SalT R: 5’-CACTGTATCACCTGCATTCGTGTACG-3’
Fragmen II SalT F: 5’-CCAAGGCTTGGTGACGGCGGCTTCAG-3’ SalT R: 5’-CCCATGGAAGCTTCTTGGGTGGCAC-5’
Hasil amplifikasi dari kedua fragmen dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil amplifikasi fragmen promoter gen SalT
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
77
PCR menggunakan primer salT 1 dan salT diprediksi akan menghasilkan dua buah fragmen berukuran 1011 bp dan 922 bp (Tabel 4). Tabel 4. Prediksi ukuran DNA hasil PCR No 1 2
Primer salT 1 salT 2
Koordinat 1 1 885
Koordinat 2 1011 1807
Ukuran 1011 bp 922 bp
Gambar 5. Hasil PCR menggunakan primer kombinasi salT 1 dan salT 2.
Transformasi kalus dilakukan dengan ko-kultivasi kalus dengan A. tumefaciens yang mengandung pCSalT. Plasmid pCSalT mengandung gen Oshox dengan promoter terinduksi kekeringan dan kaset hpt. Tanaman hasil transformasi diseleksi dengan menggunakan higromisin sebagai media seleksi. Dari hasil transformasi diperoleh sejumlah kalus yang membawa gen penyeleksi hpt sehingga bisa hidup dalam media yang mengandung antibiotik higromisin. Presentasi kalus yang tahan terhadap higromisin pada media seleksi kedua adalah 75%. Kalus tersebut ditumbuhkan dan menjadi tanaman transgenik generasi I (T0). Pada seleksi tahap kedua masih terdapat banyak kalus resisten, tapi ternyata tidak semua kalus memiliki kemampuan beregenerasi. Kemampuan regenerasi kalus setelah proses transformasi akan sangat menentukan jumlah planlet yang dihasilkan. Hal ini terkait dengan kombinasi dan konsentrasi hormon yang digunakan. Pada minggu ke 2-3 pada media regenerasi, kalus mulai menunjukkan adanya titik hijau sebagai awal pertumbuhan tunas. Efisiensi regenerasi yang diperoleh 15%. Planlet yang diperoleh selanjutnya ditanam pada media MS tanpa hormon (Gambar 8).
Gambar 6. Isolasi pita DNA ukuran + 1 kb dari salT 1 (A) dan salT 2 (B). Hasil PCR menggunakan salT 1 menghasilkan dua buah fragmen dengan ukuran sedikit di atas 1 kb dan di bawah 1 kb. Sementara itu, PCR dengan primer salT 2 menghasilkan satu buah pita berukuran di bawah 1 kb yang diduga kuat merupakan pita 922 bp (Gambar 5). Pita ukuran 1 kb diisolasi dan dipurifikasi sehingga didapat pita tunggal ukuran kira-kira 1 kb pada salT 1 dan salT 2 (Gambar 5). Pita diklon pada plasmid vektor. Koloni di verifikasi dengan PCR (Gambar 7). Hasil ligasi salT1 dan salT2 kemudian ditransformasikan kedalam pCAMBIA 1300 yang selanjutnya akan digunakan untuk transformasi ke tanaman padi cv. IR64.
Gambar 7. PCR koloni salT 1 (A) dan salT 2 (B). 4. Transformasi dan Regenerasi Tanaman
Gambar 8. Planlet yang ditanam pada media MS yang mengandung 50 mg/l higromisin Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan transformasi melalui Agrobacterium pada tanaman padi antara lain tipe dan umur jaringan yang diinokulasi, vektor yang dipergunakan, genotipe padi, berbagai kondisi kultur jaringan serta kondisi saat infeksi. Kalus embriogenik merupakan salah satu faktor penting yang menentukan efisiensi transformasi (Hiei et al., 1997). Tanaman yang didapat dari hasil regenerasi selanjutnya dilakukan anaslisis PCR untuk mengkonfirmasi keberadaan gen yang diintroduksi. Dari hasil analisis PCR terhadap 7 tanaman yang dihasilkan dengan menggunakan primer hpt semua tanaman positif hpt (Gambar 9). 5. Analisis molekuler tanaman mengandung 35S:oshox4 Untuk analisis awal dilakukan PCR pada tanaman diduga transgenik menggunakan primer yang spesifik untuk gen hpt. Adapun sekuens primer yang digunakan adalah primer hpt forward (5’-GATGCCTCCG
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
78
CTCGAAGTA GCG-3’), primer hpt reverse (5’GCATCTCCCGCCCGTGCAC-3’).
Dari hasil analisis 30 sampel menunjukkan semua tanaman yang diuji mengandung gen hpt (Gambar 10).
Gambar 9. Hasil analisis PCR gen hpt M=marker HindIII, 1 = kontrol tanaman yang mengandung hpt, 2-8 = sampel tanaman
Gambar 10. Hasil PCR tanaman transgenik (35S:Oshox4) menggunakan primer hpt
KESIMPULAN Hasil analisis PCR yang dilakukan terhadap 5 galur transgenik mengandung gen penyandi biosintesis asam salisilat menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji mengandung gen entC dan pmsB. Galur E.10.1.5.15, E.10.1.10.29, E.10.1.27.11, E.10.1.43.8, C.30.1.2.29 yang di PCR positif entC masing-masing adalah 27, 27, 27 21 dan 22 tanaman sedangkan positif pmsB 29, 28, 24, 21, dan 26 tanaman dari 29 tanaman yang diuji. Telah berhasil kontruksi vektor yang mengandung gen oshox dengan promoter terinduksi (salT promoter). Dari hasil transformasi Agrobacterium dengan introduksi gen oshox4 dengan promoter terinduksi kekeringan didapat 7 tanaman. Analisis PCR menunjukan bahwa tanaman yang diperoleh mengandung gen yang diintroduksikan
dengan menggunakan primer hpt . Analisis PCR terhadap 30 tanaman transgenik yang mengandung 35S:oshox menunjukkan tanaman yang diuji mengandung gen hpt. Dari bioassai yang dilakukan dengan menggunakan M. grisea strain 173 galur-galur transgenik lebih tahan dibandingkan kontrol Rojolele non transgenik. Intensitas serangan galur transgenik berkisar 2-6,35% sedangkan tanaman kontrol mencapai 57,33%. Dari bioasai fase seedling generasi ke-5 (T4) tanaman transgenik lebih tahan dibandingkan dengan cv. Rojolele wild type dan cv. Asahan yang merupakan kontrol tahan. Skoring tanaman transgenik berkisar 1,11,5 sedangkan kontrol tanaman cv Rojolele 5,1 dan cv Asahan 3,9.
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih dIsampaikan kepada Balitpa Muara atas kesediannya dalam kerjasama penelitian pengujian ketahanan tanaman dalam hal penyediaan isolat. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 1999. Statistik Indonesia. Jakarta. Indonesia. Branco AT, Bernabé RB, dos Santos Ferreira B, de Oliveira MV, Garcia AB, & de Souza Filho GA. 2004. Expression and purification of the recombinant SALT lectin from rice (Oryza sativa L.). Protein Expr Purif 33: 34-8. Claes B, Dekeyser R, Villarroel R, Van den Bulcke M, Bauw G, Van Montagu M, & Caplan A. 1990. Characterization of a rice gene showing organ-specific expression in response to salt stress and drought. Plant Cell 2: 19–27. Evenson RE, Dey MM and Hossain M. 1996. Rice research priorities: An application. In: Rice research in Asia: progress and priorities. International Rice Research Institute, Philippines. Garcia AB, Engler Jde A, Claes B, Villarroel R, Van Montagu M, Gerats T, & Caplan A. 1998. The expression of the salt-responsive gene salT from rice is regulated by hormonal and developmental cues. Planta 207: 172-80. Filho GAS, Ferreira BS, Dias JM, Queiroz KS, Branco AT, BressanSmith RE, Oliveira JG, & Garcia AB. 2003. Accumulation of
SALT protein in rice plants as a response to environmental stresses. Plant Sci. 164: 623-628. Hidayat AM, Soekardi & BH Prasetyo. 1997. ‘Ketersediaan sumber daya lahan dan arahan pemanfaatan untuk beberapa komoditas’ dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, p1-25 Hiei Y, Ohta S, Komari T, & Kumashiro T. 1994. Efficient transformation of rice (Oryza sativa L.) mediated by Agrobacterium and sequence analysis of the boundaries of the T-DNA. Plant J. 6: 271-282. Yamaguchi-Shinozaki K., Kasuga M., Liu Q, Nakashima K, Sakuma Y, Abe H, Shinwari ZK, Seki M, & K. Shinozaki. 2002. Biological mechanism of drought stress response. Jircas Working Report 1:8. Van Heusden AW, J.W. van Ooijen, R. Vrielink van Ginkel, W.H.J. Verbeek, W.A. Wietsma & C. Kik. 2000. A genetic map of interspecific locus cross in Allium based.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
79
ANIMAL HUSBANDRY TECHNOLOGY AND PRACTICES IMPROVEMENT TO ACCELERATE MEAT AND MILK PRODUCTION (MEAT-MILK PRO) Syahruddin Said1, Baharuddin Tappa1, Ramlanto1, Handrie1, Muladno2, Kurnia Achjadi3, Winugroho4 1
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911, 2Fakultas Peternakan IPB Darmaga Bogor, 3Fakultas Kedokteran Hewan IPB Darmaga Bogor, 4Balai Penelitian Veteriner Ciawi Bogor
ABSTRAK Peningkatan produksi dan produktivitas peternakan akan berdampak pada perbaikan kualitas pangan dan gizi, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan devisa negara dan membuka kesempatan kerja khususnya di pedesaan. Industri peternakan yang tangguh secara langsung mampu memperbaiki kualitas lingkungan dan menjamin keberlanjutan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi keberlanjutan. Industri peternakan juga akan membuka kesempatan ekspor. Akan tetapi, Indonesia memiliki banyak sekali permasalahan dibidang pertanian termasuk pengembangan usaha sapi potong dan sapi perah. Penelitian dasar dan strategis dibidang peternakan di Indonesia masih sangat rendah, umumnya penelitian bersifat terapan. Tujuan dari proyek ini akan membangun sarana dan prasarana, fasilitas inkubator sebagai jalan penyebarluasan ilmu dasar dan teknologi kepada masyarakat, dan sistim informasi sebagai clearing house aktivitas sapi potong dan sapi perah. Proyek ini mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dasar dan teknologi peternakan dan mendorong inovasi dan percepatan bisnis sapi potong dan sapi perah. Untuk mencapai tujuan tersebut, LIPI bekerjasama dengan lembaga penelitian yang lain, Perguruan Tinggi dan stake holder akan melaksanakan berbagai program penelitian, mengakumulasikan pengetahuan dasar, menciptakan teknologi, mengefektifkan dan mengefisiensikan bisnis sapi potong dan sapi perah. Diharapkan LIPI akan terus menerus menfasilitasi peningkatan efisiensi dan efektivitas industri sapi potong dan sapi perah dan menfasilitasi terciptanya teknologi baru. Pada tahun ini telah dilakukan serangkaian kegiatan berupa: 1) Rapat koordinasi program SDM, pengembangan program riset, program diseminasi dan pengembangan sarana; 2) Survei kelokasi kegiatan (Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat); 3) Workshop. Dari kegiatan selama tahun 2007 dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Seluruh kegiatan selama tahun 2007 dapat terlaksana dengan baik. 2. Tersusunnya draft dokumen tender, (administrasi, spesifikasi peralatan dan program fellowship/training). 3. Tersusunya draft program penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan
Kata Kunci : Meat-Milk Pro, Sapi Potong, Sapi Perah, dokumen tender. PENDAHULUAN Produksi daging dan susu dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang terus meningkat. Sampai saat ini kebutuhan daging dan susu nasional masih harus dipenuhi oleh impor sapi potong, daging beku dan susu bubuk. Berdasarkan data statistik peternakan 2001, produksi daging sapi yang mencapi 311.966 ton pada tahun 1995 mengalami kenaikan puncaknya hingga 353.652 ton pada tahun 1997 yang kemudian menurun drastis sampai 308.766 ton pada tahun 1999. Angka tersebut konsisten dengan fluktuasi perkembangan populasi sapi potong sejak tahun 1995 yang mencapai 11.534.066 ekor sampai akhirnya hanya mencapai 11.392.635 tahun 2001. Sementara itu, konsumsi daging yang berasal dari komoditas ternak sapi, ayam, kambing/domba dan lainnya secara nasional mencapai 1.250.612 ton sehingga masih banyak kekurangan untuk mencukupinya. Khususnya untuk daging sapi, ada kekurangan sekitar 30.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan impor daging maupun sapi bakalan yang pada masa sebelum krisis tahun 1997 mencapai 400.000 ekor dan tahun-tahun berikutnya menurun dratis sampai 50.000 ekor.
Turunnya jumlah sapi bakalan yang diimpor bukan diakibatkan oleh terpenuhinya kebutuhan daging sapi dari dalam negeri tetapi lebih dikarenakan tingkat kebutuhan daging sapi juga menurun drastis akibat rendahnya daya beli masyarakat. Mencermati kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan menurunkan kebijakan nasional yang berupa program terobosan menuju swasembada daging sapi tahun 2005. Program tersebut digulirkan sejak tahun 1998, yang pada intinya melakukan berbagai upaya seperti: (a) peningkatan populasi ternak melalui pengendalian pemotongan betina produktif; pengendalian penyakit reproduksi; pengndalian bibit ternak melalui impor, (b) peningkatan kegiatan inseminasi buatan dan transfer embrio, (c) pengembangan sentra baru kawasan usaha peternakan sapi potong. Namun demikian, sampai tahun 2001 upaya terobosan tersebut belum memberikan hasil secara maksimal yang ditunjukkan oleh semakin berkembangnya import sapi bakalan dan daging dari luar negeri. Di bidang pemenuhan kebutuhan susu sapi, pada tahun 1998, penduduk Indonesia mengkonsumsi susu sebesar 4,16 kilogram perkapita per tahun. Hal tersebut masih jauh dari standar gizi masyarakat yang ditetapkan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
80
yaitu 7,2 kilogram per kapita per tahun. Dengan tingkat konsumsi serendah itu, Indonesia masih harus mengimpor sebesar 527,3 ribu ton bahan baku susu dan produk jadinya yang ekuivalen dengan susu segar dalam negeri sebesar 4.218,4 ribu ton. Perkembangan produksi susu di Indonesia selama tahun 1994 sampai 1999 menunjukkan penurunan 2,62% sedangkan rata-rata menunjukkan peningkatan 1,40%. Hal ini menggambarkan bahwa laju pertumbuhan suplai tidak seimbang laju pertumbuhan permintaan, dengan demikian usaha penambahan populasi merupakan alternatif untuk mengurangi ketergantungan impor. Berdasarkan pengalaman Puslit Bioteknologi-LIPI bekerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam hal pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah, maka diusulkan suatu proyek berjudul “Animal Husbandry Technology and Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production” yang dikenal dengan proyek MeatMilk-Pro. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, peralatan dan fasilitas, kemampuan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung program pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah.
Tujuan dari kegiatan ini adalah mempersiapkan kegiatan proyek MeatMilk-pro dengan melakukan berbagai kegiatan, diantaranya penyusunan kegiatan program dan penyusunan kegiatan implementasi/administratif. Proyek ini akan memberikan dampak yang sangat strategis karena akan memberikan: • Meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong dan sapi perah. • Meningkatkan level harga sebagai hasil dari peningkatan kualitas produksi peternakan. • Meningkatkan jumlah makanan hasil dari peningkatan populasi. • Membuka dan menambah lapangan kerja. • Meningkatkan penghasilan petani melalui peningkatan produksi daging dan susu sebagai hasil dari perbaikan genetik ternak. • Mengurangi ketergantungan impor daging dan susu dan produk olahannya. • Peningkatan kapasitas IPTEK nasional. Adapun target pelakasanaan adalah tersusunya draft dokumen tender dan draft dokumen program pelaksanaan secara rinci, dokumen pendukung khususnya kegiatan inkubator teknologi.
CARA KERJA Rapat Koordinasi Rapat koordinasi dilaksanakan dengan cara mengundang pihak-pihak yang kompeten dengan proyek Meat-Milk Pro. Ada 4 rapat koordinasi yang dilaksanakan, yaitu : 1) Rapat koordinasi program SDM, 2) Rapat koordinasi pengembangan program riset, 3) Rapat koordinasi program diseminasi, 4) Rapat koordinasi program pengembangan sarana. Survei ke Lokasi Kegiatan Dalam rangka persiapan proyek Meat-Milk Pro telah dilakukan perjalanan ke lokasi kegiatan untuk melihat kesiapan daerah untuk implementasi proyek. Perjalanan ke lokasi kegiatan dilakukan oleh tim yang terdiri dari tim LIPI dan tim Bappenas. Disetiap lokasi dilkakukan kunjungan ke Lab di Universitas setempat dan Dinas Peternakan. Setelah kunjungan lokasi dilakukan presetentasi oleh masing-masing tim baik dari pihak
LIPI, Bappenas, Peternakan.
Perguruan
Tinggi
dan
Dinas
Workshop Untuk melihat kesiapan proyek secara menyeluruh, dilakukan workshop yang dihadiri dari berbagai pihak yang berkompeten dengan proyek Meat-Milk Pro. Dalam workshop dilakukan diskusi menyeluruh baik mengenai peralatan maupun untuk inkubator teknologi di daerah, Dari workshop ini telah dilahirkan rekomendasi-rekomendasi. Dokumen Dalam rangka persiapan tender, pada tahun ini dilakukan pembuatan draft tender dokumen termasuk spesifikasi teknis peralatan. Spek teknis peralatan dilakukan dengan meminta spek dari user sesuai kebutuhan dan juga dari penawaran dari pihak suplier.
HASIL DAN PEMBAHASAN Adapaun hasil yang telah dicapai pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 1. Rapat Koordinasi Telah dilaksanakan rapat-rapat koordinasi sebagai berikut: a. Rapat Koordinasi Program SDM b. Rapat Koordinasi pengembangan Program Riset c. Rapat Koordinasi Program Diseminasi d. Rapat Koordinasi Program Pengembangan Sarana
Dari hasil rapat koordinasi tersebut telah dihasilkan 1) draft dokumen tender meliputi pesrsyaratan administrasi, spesifikasi peralatan, menginventarisasi perguruan tinggi dan persyaratan kualifikasi calon peserta fellowship dan training. 2) draft dokumen program penelitian dan pengembangan secara rinci, sebagai acuan pelaksanaan proyek, yang akan di lengkapi dengan masukan-masukan pada kegiatan Workshop.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
81
c. Untuk kesinambungan kegiatan penelitian di LIPI maupun di daerah pascaproyek, beberapa strategi yang digunakan meliputi : i. Pendanaan: 1. masing-masing Universitas yang terlibat mencari sendiri dengan membuat proposal ke lembaga donor internasional maupun nasional (DIKTI, RISTEK, dan lain lain) 2. membuat program bersama antara Dinas, Perguruan Tinggi, dan BPTP secara berkelanjutan ii. Kerjasama dengan instansi pemerintah maupun swasta dengan cara: 1. Mengusulkan kepada DIKTI untuk membuat program khusus dalam kegiatan penelitian dalam rangka mendukung penggunaan fasilitas penelitian yang diberikan LIPI kepada universitas universitas yang terlibat 2. Membangun kerjasama dengan perusahaan swasta untuk memanfaatkan peralatan tersebut untuk memberikan hasil saling menguntungkan bagi kedua belah pihak
2. Survei ke lokasi kegiatan : a. Survei ke Sulawesi Selatan b. Survei ke Sumatera Barat c. Survei ke Jawa Barat 3. Workshop Pada tahun ini juga telah dilaksanakan workshop. Dari workshop ini telah dihasilkan poin-poin kesimpulan sebagai berikut : a. Program penelitian akan disempurnakan oleh tim kecil dan hasil akhirnya akan disampaikan kepada peserta workshop dan stakeholder. b. Struktur organisasi dan kelembagaan dalam mengimplementasikan proyek ini secara fungsional akan dibentuk di pusat dan di daerah. Untuk pusat, struktur organisasi dan pendanaannya akan dibentuk LIPI sedangkan untuk daerah, struktur organisasi dan pendanaannya akan dibentuk oleh Gubernur prvinsi masing-masing. Dalam hal ini, LIPI akan mengirim surat kepada Gubernur tentang hal ini.
KESIMPULAN Dari kegiatan selama tahun 2007 dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Seluruh kegiatan selama tahun 2007 dapat terlaksana dengan baik. 2. Tersusunnya draft dokumen tender (administrasi, spesifikasi peralatan dan program fellowship/training). 3. Tersusunnya draft program penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terutama kepada Puslit Bioteknologi LIPI yang telah menyediakan dana sehingga kegiatan ini terlaksana dengan baik. Ucapan
terima kasih juga kami sampaikan kepada tim teknis dari Puslit Bioteknologi LIPI, Fakultas Peternakan IPB, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Balitnak Ciawi Bogor atas segala saran dan masukannya.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
82
POTENSI USAHA PRODUK SPERMA SAPI HASIL PEMISAHAN (SEXING) Ekayanti M. Kaiin, Fifi Afiati dan Muhammad Gunawan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Subsektor peternakan adalah salah satu subsektor pada sektor pertanian yang secara langsung berhubungan dengan pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak, membuka kesempatan kerja di pedesaan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani masyarakat, permintaan makanan asal ternak akan terus menerus meningkat akibat dari pertumbuhan penduduk, peningkatan konsumsi nasional sebagai hasil dari peningkatan pendapatan masyarakat. Produk sperma sapi hasil pemisahan akan sangat membantu pembangunan peternakan sapi potong dan sapi perah di Indonesia. Pada peternakan sapi potong misalnya tentu diharapkan akan lahir anak sapi yang berjenis kelamin jantan begitu pula sebaliknya pada peternakan sapi perah lebih mengharapkan anak yang lahir betina, atau dapat diprogram untuk melahirkan anak sapi dengan proporsi jantan dan betina sesuai keinginan. Kegiatan pada tahun 2007, selain dilakukan kegiatan produksi straw sperma sexing beku juga dilakukan pengujian kualitas produk, pengujian kualitas semen yang dikoleksi, perbaikan proses pembekuan dengan alat Minicool yang diprogram dengan komputer dan perbaikan kemasan straw. Hasil menunjukkan bahwa semen sapi Simmental dan FH yang dikoleksi layak untuk disexing dan sperma yang telah disexing memenuhi standar untuk dibekukan. Hasil pengujian kualitas straw sperma beku menunjukkan bahwa kualitas sperma sexing yang telah dibekukan selama 6 bulan tetap mempunyai kualitas yang sama dengan pada saat pembekuan. Selama tahun 2007 telah diproduksi sebanyak 2.866 straw sperma sapi sexing beku. Selain itu juga telah dilakukan pembuatan analisis usaha pembuatan sperma sexing apabila akan diproduksi secara komersil.
Kata kunci : sperma sexing, sapi perah, sapi potong, protein hewani PENDAHULUAN Produksi daging dan susu dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang terus meningkat. Oleh sebab itu, sampai saat ini kebutuhan daging dan susu nasional masih harus dipenuhi oleh impor sapi potong, daging beku dan susu bubuk. Menjelang diberlakukannya pasar bebas, produktivitas dan daya saing peternakan khususnya sapi potong dan perah harus ditingkatkan, agar Indonesia tidak terjebak pada ketergantungan terhadap produkproduk protein hewani khususnya daging dan susu impor. Dengan pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,8% per tahun, maka penduduk Indonesia meningkat dari 206,3 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 253,6 juta jiwa pada tahun 2015. Konsekuensi dari pertambahan penduduk ini kebutuhan akan makanan yang berasal dari sapi termasuk susu dan daging juga meningkat. Pada tahun 2015, kebutuhan Indonesia akan daging diprediksi kekurangan sebesar 333.573 ton dan susu 1.041.213 ton pada tahun yang sama. (Tabel 1 dan 2). Tabel 1. Proyeksi produksi dan kebutuhan daging nasional. Kebutuhan Nasional (ton) 2000 1,89 389.907 2005 2,21 493.272 2010 2,21 526.864 2015 2,21 560.456 Sumber: Direktorat Jenderal Produksi Pertanian Tahun
Konsumsi (kg/capita/year)
Produksi (ton)
Kekurangan (ton)
205.066 184.841 217.837 275.435 223.332 303.532 226.883 333.573 Peternakan, Departemen
Mencermati akan kebutuhan daging dan susu nasional, pemerintah telah melakukan berbagai program untuk menstimulasi peningkatan populasi sapi melalui program intensifikasi sapi potong, program sejuta akseptor IB, pembangunan pusat penanaman bibit di pedesaan, pendirian pusat agribisnis komoditi unggul (Saragih, 2000 dalam Said et al., 2005). Tabel 2. Proyeksi produksi dan kebutuhan susu nasional. Kebutuhan Produksi Nasional (ton) (ton) 2000 6,50 1340.95 495.646 2005 6,50 1450.80 530.341 2010 6,50 1549.60 567.465 2015 6,50 1648.40 607.187 Sumber: Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, Pertanian Tahun
Konsumsi (kg/capita/year)
Kekurangan (ton) 845.304 920.459 982.135 1.041.213 Departemen
Akan tetapi sampai saat ini produksi dan produktivitas baik sapi potong maupun sapi perah belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan daging dan susu nasional, sehingga kedua komoditi tersebut sampai saat ini tetap diimpor. Tidak tercapainya upaya terobosan pembangunan peternakan sapi potong dan perah di dalam negeri tampaknya bukan hanya kesalahan pemerintah saja melainkan ada beberapa faktor lain yang secara signifikan membuat terpuruknya perkembangan komoditas ternak tersebut. Setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi : 1. Faktor sumberdaya manusia peternaknya sendiri. Seperti diketahui, usaha peternakan sapi masih
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
83
didominasi peternak tradisional yang lebih menerapkan sistim pengelolaan tradisional pula. Perkembangan industri non-pertanian yang terkonsentrasi diberbagai kota besar telah mendorong peningkatan urbanisasi, dimana generasi muda di pedesaan lebih menyukai bekerja dibidang industri tersebut daripada dibidang pertanian (termasuk peternakan). Keadaan ini lambat laun mengurangi ketersediaan peternak baik secara kuantitas maupun kualitas. 2. Faktor lahan peternakan yang semakin menyempit akibat terdesak oleh pembangunan sektor industri non-pertanian. 3. Faktor teknologi yang walaupun pemerintah berupaya mengembangkannya tetapi jenis teknologinya tidak menyentuh kebutuhan peternak secara umum. Selama ini ada ketidaksamaan arah pengembangan teknologi yang dilaksanakan lembaga penelitian dan perguruan tinggi dengan arah pembangunan peternakan tradisional yang lebih memerlukan teknologi sederhana. 4. Ada kecenderungan dari masyarakat konsumen yang lebih menyukai daging impor atau daging yang dihasilkan dari sapi bakalan impor. Introduksi bioteknologi reproduksi sangat diharapkan dapat membantu meningkatkan percepatan populasi ternak dan peningkatan kualitas ternak di Indonesia. Puslit Bioteknologi LIPI melalui berbagai kegiatan kerjasama di beberapa daerah telah mengaplikasikan bioteknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), dan terakhir melakukan terobosan baru dengan melaksanakan IB menggunakan sperma hasil pemisahan untuk memperoleh anak sapi dengan jenis kelamin sesuai harapan (Tappa et al., 2000; Kaiin et al., 2003, Kaiin et al., 2004, Said et al., 2005; Kaiin, et al., 2007). Penggunaan teknologi pemisahan sperma sapi saat ini memiliki dampak yang lebih baik dalam produksi bibit sapi sehingga diperoleh anak dengan jenis kelamin sesuai yang diharapkan. Secara alami jenis kelamin seekor anak sapi yang akan lahir, ada 2 kemungkinan, jantan atau betina. Bagi peternak sapi perah mengharapkan anak sapi yang lahir adalah betina agar mampu memproduksi susu yang banyak, sedangkan bagi peternak sapi potong mengharapkan anak yang lahir jantan agar dapat memproduksi daging yang banyak. Akan tetapi tidak sedikit dijumpai peternak sapi perah misalnya lebih banyak melahirkan anak-anak sapi berjenis kelamin jantan sehingga anak sapi ini nantinya dijual sebagai ternak potong. Kejadian seperti ini sangat merugikan peternak sapi perah karena yang diharapkan adalah terjadinya produksi susu secara terus menerus. Untuk tujuan ini, pengontrolan kelahiran jantan dan betina menjadi salah satu impian bagi para ilmuwan dan masyarakat peternak. Saat ini khususnya pada sapi telah dilakukan penelitian penentuan jenis kelamin jantan
atau betina dan telah diuji coba di lapangan. Secara umum terdapat 2 teknik penentuan jenis kelamin. Pertama, dengan teknik biopsi embrio. Sebagian blastomer embrio diambil untuk dianalisa DNA nya. Kedua, dengan teknik pemisahan sperma X dan sperma Y. Pemisahan sperma sangat diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi peternak karena kelahiran anak dapat diprediksi jenis kelaminnya. Sperma X diarahkan untuk memproduksi bibit sapi perah (betina), sedangkan sperma Y diarahkan untuk memproduksi bibit sapi potong (jantan). Penggunaan teknologi pemisahan sperma sapi saat ini memiliki dampak yang lebih baik dalam produksi bibit sapi sehingga diperoleh anak sapi dengan jenis kelamin sesuai yang diharapkan. Secara alami jenis kelamin seekor anak sapi yang akan lahir, ada dua kemungkinan, jantan atau betina. Bagi peternak sapi perah mengharapkan anak sapi yang lahir lebih banyak betina agar mampu memproduksi susu yang banyak, sedangkan bagi peternak sapi potong mengharapkan anak yang lahir lebih banyak jantan agar dapat memproduksi daging yang banyak. Akan tetapi tidak sedikit dijumpai peternak sapi perah misalnya lebih banyak melahirkan anak-anak sapi berjenis kelamin jantan sehingga anak sapi ini nantinya dijual sebagai ternak potong. Kejadian seperti ini sangat merugikan peternak sapi perah karena yang diharapkan adalah terjadinya produksi susu secara terus menerus. Untuk tujuan ini, pengontrolan kelahiran jantan dan betina menjadi salah satu impian bagi para ilmuwan dan masyarakat peternak. Secara umum terdapat 2 teknik penentuan jenis kelamin. Pertama, dengan teknik biopsi embrio. Sebagian blastomer embrio diambil untuk dianalisa DNA nya. Kedua, dengan teknik pemisahan sperma X dan sperma Y (Hafez, 2005). Pemisahan sperma sangat diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi peternak karena kelahiran anak dapat diprediksi jenis kelaminnya. Sperma X diarahkan untuk memproduksi bibit sapi perah (betina), sedangkan sperma Y diarahkan untuk memproduksi bibit sapi potong (jantan). Sperma sapi beku hasil pemisahan adalah spermatozoa hasil koleksi dari sapi pejantan unggul, selanjutnya spermatozoa tersebut disexing dengan cara memisahkan antara sperma pembawa kromosom Y (jantan) dan sperma pembawa kromosom X (betina). Sperma ini dimasukkan kedalam straw 0,25 ml dan dibekukan pada temperatur -196°C dalam kontainer N2 cair. Sperma beku ini dapat disimpan tanpa batas waktu selama terendam dalam N2 cair. Keunggulan dari produk ini adalah sperma beku dalam straw telah dipisahkan jenis kelaminnya sehingga jenis kelamin anak sapi yang lahir akan sesuai dengan harapan. Produk ini sangat membantu dalam strategi kebijakan pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah. Pada peternakan sapi potong misalnya tentu diharapkan akan lahir anak sapi yang berjenis kelamin
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
84
jantan atau dapat diprogram untuk melahirkan anak sapi dengan proporsi jantan dan betina sesuai keinginan. Dengan lahirnya anak-anak sapi hasil IB dengan menggunakan sperma sexing, diharapkan menggugah para peternak dan pengusaha peternakan untuk mulai menggunakan IB dengan sperma sexing. Pengembangan dan komersialisasi produk straw beku sperma sexing ini diharapkan dapat membantu upaya pemerintah dalam program peningkatan populasi ternak menuju kecukupan daging nasional. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kualitas dan produk straw sperma beku sexing layak untuk IB dan telah lahir anak-anak sapi hasil IB dengan sperma sexing di lapangan dengan rasio kesesuaian jenis kelamin anak dengan jenis straw yang digunakan sebesar 81 % dan S/C sebesar 1,37(Said et al., 2005). Penelitian di Sumatera Barat dengan menggunakan straw sexing cair (tanpa pembekuan) adalah sebanyak 110 straw diinseminasikan ke 110 ekor sapi resipien IB, menghasilkan 32 ekor positif bunting (S/C= 3,44) dan lahir 18 ekor anak sapi. Lima ekor induk mengalami abortus dan 9 ekor induk tidak terlacak datanya (mutasi/mati). Rata-rata presentase kesesuaian jenis straw dengan jenis kelamin anak sapi yang dilahirkan untuk sperma Y sebesar 81,7%, sedangkan untuk sperma X sebesar 72,2% (Kaiin et al., 2007). Persentasi sperma X pada pemisahan dengan kolom BSA 5-10% adalah sebesar 70-85% dan sperma Y sebesar 70-90%. Motilitas sperma sebelum dan sesudah pemisahan/sexing juga tidak terlalu menurun dari motilitas awal sebesar 76-80% menjadi 67-80% (Kaiin et al., 2003). Penyimpanan sperma sexing tanpa pembekuan pada media tris kuning telur (TKT) dan susu skim kuning telur (SKT) pada temperatur 5°C tahan sampai 5 dan 10 hari (Kaiin et al., 2004). Peternak dan pengusaha yang berminat sudah ada, tetapi untuk skala produksi yang lebih besar belum
dapat dipenuhi. Melalui kegiatan ini secara tidak langsung juga mempromosikan hasil-hasil litbang yang ada di Puslit Bioteknologi LIPI, khususnya bidang peternakan. Teknologi pemisahan sperma telah dikembangkan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dan telah diujicobakan di lapangan. Proses produksi semen sapi yang relatif singkat dan biaya produksi yang relatif terjangkau memungkinkan produk ini untuk diaplikasikan di masyarakat. Untuk menunjang hasil teknologi yang telah dikembangkan dalam pemisahan sperma sapi ini perlu kajian aspek ekonomis kearah pengembangan aplikasi dan komersialisasi hasil –hasil riset. Komersialisasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran potensi pasar serta aspek ekonomis lainnya, berupa dokumen rencana pengembangan usaha atau “Business Plan”. Dengan penyusunan dokumen pengembangan usaha ini diharapkan dapat diketahui potensi hasil riset yang dikerjakan serta mendapatkan gambaran untuk peningkatan hasil serta mutu produk yang dihasilkan sehingga dapat diterima pasar. Tujuan dari penelitian ini adalah: - Meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong dan sapi perah - Memproduksi straw sperma sapi hasil pemisahan secara efisien dan ekonomis - Analisis potensi pasar produk sperma hasil pemisahan Sasaran dari penelitian ini adalah: - Straw sperma beku hasil pemisahan dapat diterima oleh peternak/pasar - Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat peternak - Memberikan kontribusi dalam penyediaan sapi bibit sapi potong dan sapi perah di Indonesia
BAHAN DAN CARA KERJA 1. Produksi straw sperma hasil pemisahan beku a. Koleksi semen dan pemisahan sperma X dan Y Sperma dikoleksi dari pejantan sapi Simental umur 3-4 tahun yang dipelihara di kawasan ternak Puslit Bioteknologi LIPI menggunakan vagina buatan. Semen terkoleksi dipisahkan antara sperma X dan sperma Y dengan metode kolom albumin bertingkat (BSA 5% untuk fraksi atas dan BSA 10% untuk fraksi bawah). Semen dengan konsentrasi 300x106 sel/ml didiamkan selama 1 jam di atas kolom albumin bertingkat. Setiap fraksi semen dikoleksi dan ditampung dalam tabung sentrifus, kemudian dicuci menggunakan medium BO dengan sentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit (Kaiin et al., 2003). b. Pembekuan Sperma Hasil Pemisahan
Endapan yang terkoleksi diencerkan dengan tris yang mengandung 20% kuning telur (v/v) dan 8% gliserol. Selanjutnya diekualibrasi selama 2-3 jam, dimasukkan dalam straw dan dibekukan diatas uap nitrogen cair selama 10 menit. Setelah 10 menit straw langsung dimasukkan ke dalam tangki nitrogen cair. c. Evaluasi Semen Beku Hasil Pemisahan Semen yang akan dievaluasi terlebih dahulu dilakukan thawing. Plastik straw yang berisi semen beku yang terendam dalam N2 cair diambil dengan menggunakan pinset, kemudian langsung dicelupkan ke dalam air hangat. Selanjutnya kualitas semen diamati meliputi motilitas, hidup/mati dan abnormalitas. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kualitas produk straw sperma beku hasil sexing.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
85
2. Pertemuan dengan KUD berpotensi pengguna straw sexing Pertemuan dilakukan dengan peternak di KUD Mitrayasa, Tasikmalaya dan KUD Cisurupan, Garut yang sudah bekerjasama dan berpotensi sebagai pengguna straw IB sexing bagi peternak di daerahnya. Pada kegiatan ini diperkenalkan produk straw sperma sexing kepada peternak yang dapat meningkatkan rasio
kelahiran jenis kelamin anak sapi sesuai keinginan peternak (jantan atau betina). 3. Pembuatan analisis usaha produksi sperma sexing Untuk mendapatkan gambaran potensi usaha produk sperma sexing maka dilakukan analisis usaha produksi sperma sexing ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengujian kualitas sperma sexing beku Kualitas produk straw sperma sexing beku selalu diuji pada jangka waktu tertentu. Hasil thawing straw tersebut diperlihatkan pada Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Kualitas straw sperma sexing beku setelah penyimpanan selama 6 bulan Parameter Motilitas Persentase sperma hidup Abnormalitas MPU
Sperma X 45,84 73 14,67 36,5
Hasil (%) Sperma Y 41,25 65,91 19,93 43,75
Berdasarkan hasil kualitas sperma beku sexing yang disimpan masih terjaga kualitasnya seperti pada saat pembekuan. Hal ini membuktikan bahwa penyimpanan dalam nitrogen tidak menurunkan kualitas sperma yang dibekukan. 2. Penampungan semen sapi Simmental dan FH Data kualitas sperma hasil penampungan sapi Simmental dan FH yang akan diproduksi sebagai straw sperma beku sexing ditampilkan pada Tabel 2 sampai 6. Tabel 2. Kualitas semen segar sapi Simmental Parameter Volume (ml) Warna Konsistensi Bau pH Gerakan Massa Motilitas (%) Konsentrasi (x juta sel/ml) Sperma hidup (%) Abnormalitas (%) MPU (%)
Hasil 9 Krem Kental Khas 7 +++ 80 2.090 82 11 78,8
Tabel 2 dan 3 memperlihatkan bahwa kualitas semen segar yang ditampung layak untuk disexing. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas sperma setelah disexing masih layak untuk dibekukan dan/atau diinseminasikan. 3. Produksi straw beku dengan alat Minicool Untuk memperbaiki produk straw sperma sexing maka dilakukan perbaikan proses pembekuan dari pembekuan menggunakan uap nitrogen cair dalam
wadah styrofoam diganti dengan menggunakan alat Minicool yang telah diperbaiki sebelumnya. Kualitas sperma beku yang dibekukan dengan menggunakan alat Minicool ditampilkan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil tampak bahwa pembekuan dengan alat Minicool menghasilkan kualitas sperma pasca thawing yang lebih baik. Tabel 3 . Kualitas semen segar sapi FH Parameter Volume (ml) Warna Konsistensi Bau pH Gerakan Massa Motilitas (%) Konsentrasi (x juta sel/ml)
Hasil 3 Krem Sedang s/d kental Khas 7 +(+) s/d ++70 1.240 -1.450
Tabel 4. Kualitas semen sapi Simmental I yang disexing Parameter Volume (rata-rata, ml) Warna Konsistensi Bau pH Motilitas Gerakan massa Konsentrasi [106] % Hidup % Abnormal MPU (%)
Segar 8,75 krem kental khas 7 75 +++ 1.735 86.35 9,5 78,78
X 3.25 75 1.320 83,6 14,75 71,08
Y 2 75 565 83,6 7,5 75,6
Tabel 5. Data kualitas semen hasil sexing sapi Simental II yang disexing Parameter Volume (rata-rata, ml) Warna Konsistensi Bau pH Motilitas Gerakan massa Konsentrasi [106] % Hidup % Abnormal
Segar 10 krem kental khas 7 90 +++ 1200 86.4 7.7
X 3.5 80
Y 3 90
1000 -
500 -
4. Perbaikan pengemasan straw sperma beku Untuk penyempurnaan kemasan straw yang biasanya hanya ditandai dengan kode-kode yang menggunakan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
86
tulisan tangan (karena di laboratorium tidak terdapat alat khusus untuk mencetak straw dengan kode lengkap). Pada kegiatan ini, dilakukan penyempurnaan kemasan straw sehingga kode straw tercetak seperti menggunakan mesin pencetak straw. Setelah penggunaan pencetak straw sederhana, kualitas tinta yang tercetak diuji dalam nitrogen cair dan dilakukan uji toksisitas penggunaan tinta tersebut terhadap sperma yang dibekukan. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa tinta yang digunakan tidak rusak oleh perlakuan nitrogen cair dan juga kualitas sperma di dalam straw tidak mengalami perubahan.
6. Pembuatan analisis usaha produksi sperma hasil pemisahan (sexing) Analisis usaha produksi straw sperma sexing sapi dilakukan untuk melihat potensi usaha yang akan dilakukan (hasil analisis disajikan pada Lampiran 1) Parameter
Semen segar
Hasil thawing pembekuan dengan Minicool
Tabel 6. Kualitas semen hasil sexing sapi Simental-FH yang disexing
Motilitas Persentase sperma hidup Abnormalitas MPU
70 % 88,18% 11% 78,03%
43% 76,74% 11,72% 54,12%
Parameter Volume Warna Konsistensi Bau pH Motilitas Gerakan massa Konsentrasi [106]
rata-rata 9 kuning kental Khas 7 90 ++ s/d+++ 1200
X 3.5 80 900
Y 3 90 500
Tabel 7. Kualitas sperma hasil pembekuan
(a)
5. Produksi straw sperma sexing Selama tahun 2007 telah diproduksi stok sperma beku sexing sebanyak 2.866 dosis.
Hasil thawing pembekuan dengan uap nitrogen dalam stiroform 41,5% 73,15% 13,54% 52,78%
(b)
Gambar 1. Straw sperma Minitub 0,25 ml (a) tulisan tangan ; (b) yang telah dicetak
KESIMPULAN Hasil kegiatan menunjukkan bahwa sperma sapi hasil pemisahan/sexing dapat diproduksi dan dikembangkan sebagai produk komersil dengan hasil yang cukup baik. Pemanfaatan produk ini oleh peternak perlu segera disosialisasikan secara luas, sehingga hal tersebut dapat membantu upaya pengembangan bidang
peternakan sapi dalam rangka mempercepat peningkatan populasi ternak dan meningkatkan kualitas ternak sapi di Indonesia. Semua itu bertujuan agar peningkatan kecukupan daging dan susu nasional yang berasal dari produk lokal dapat segera terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA Hafez ESE. 2005. Reproduction in farm animals. 7th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Kaiin EM, Tappa B, Said S, Afiati F, Gunawan M & Yanthi ND. 2003. Aplikasi bioteknologi untuk produksi bibit yang sudah diketahui jenis kelaminnya. Laporan Teknik Proyek Penelitian Bioteknologi. Puslit Bioteknologi –LIPI. Pp.96-116. Kaiin EM, Afiati F, Gunawan M, & Tappa B. 2004. Pengaruh penyimpanan pada temperatur 5° C terhadap viabilitas spermatozoa sapi hasil pemisahan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.pp. 73-76. Kaiin EM, Gunawan M & Tappa B. 2007. Aplikasi IB dengan sperma hasil pemisahan di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.(belum terbit). Said S, Kaiin EM & Tappa B. 2005. Produksi anak sapi potong dan perah berjenis kelamin sesuai harapan. Prosiding Seminar Nasional Industri Peternakan Modern. Puslit Bioteknologi. Mataram.pp. 209216. Tappa B, Dugo IP, Razali R, Solihati N & Afiati F. 2000. Pemisahan dan pembekuan spematozoa pembawa kromosom X dan Y pada sapi. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Deptan. Jakarta. Pp. 455-461.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
87
LAMPIRAN 1. ANALISIS USAHA PRODUK SPERMA SAPI HASIL PEMISAHAN (SEXING) ANALISIS USAHA SPERMA SEXING Produksi per bulan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
No 1 2 3 4 5 6 7
No 1
Biaya tetap investasi (A) Alat-alat gelas, dll Mikropipet Timbangan analitik Waterbath Sentrifuse Warming plate Mikroskop listrik Kulkas Kontainer Nitrogen cair 3bh Vagina buatan Autoclave Oven Mesin filling & sealing (semi otomatis) Peralatan pembekuan Pejantan simmental (2 ekor) Kandang (pejantan dan penampungan) Sub Total Biaya Variabel Operasional (B) Medium dan Pengencer Bahan sexing Nitrogen cair penyimpanan (100lt) Tenaga kerja produksi 2 orang Pemeliharaan 2 pejantan, dll. Sewa tempat dll. Biaya pemasaran dan promosi Sub Total Total biaya sebelum pajak Pendapatan ©
Investasi th 1 15.174.000,00 10.500.000,00 11.000.000,00 12.500.000,00 20.000.000,00 6.000.000,00 10.000.000,00 3.000.000,00 40.000.000,00 3.000.000,00 20.000.000,00 20.000.000,00 50.000.000,00 5.000.000,00 40.000.000,00 20.000.000,00 286.174.000,00 Investasi th 1 11.250.000,00 22.320.000,00 18.000.000,00 36.000.000,00 27.720.000,00 18.000.000,00 12.000.000,00 145.290.000,00 431.464.000,00 Investasi
Penjualan 1200 straw @Rp.30,000.00 Total pendapatan sebelum pajak
No
Keuntungan Kotor
1
C-(A+B)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
Produksi 1 bln 1.191.166,67 58.333,33 91.666,67 104.166,67 166.666,67 50.000,00 83.333,33 50.000,00 250.000,00 50.000,00 166.666,67 166.666,67 416.666,67 83.333,33 4.000.000,00 1.333.333,33 8.262.000,00 Produksi 1 bln 937.500,00 1.860.000,00 1.500.000,00 3.000.000,00 2.310.000,00 1.500.000,00 1.000.000,00 12.107.500,00 20.369.500,00 Produksi 1 bln 36.000.000,00 36.000.000,00 Produksi 1 bln 7.368.500,00
88
PENGEMBANGAN PROSES HILIR DARI HASIL FERMENTASI SUBSTRAT PADAT MONASCUS POWDER Djadjat Tisnadjaja, Ai Hertati, Nurlaili Ekawati, H. Irawan, dan A. Asriyani Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Belakangan ini masyarakat di dunia, khususnya yang hidup di negara maju, mulai khawatir dengan dampak negatif terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh bahan kimia sintetis yang digunakan sebagai pewarna makanan. Kondisi ini telah mendorong perhatian dunia untuk kembali pada pemanfaatan bahan alami untuk pewarna makanan. Salah satu produk alami yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai pewarna pada industri makanan adalah senyawa-senyawa poliketida yang dihasilkan melalui proses fermentasi dengan menggunakan kapang Monascus purpureus. Melalui proses fermentasi fasa padat dengan menggunakan beras sebagai medianya, kapang Monascus purpureus dapat menghasilkan pigmen warna kuning (ankaflavin) dan merah (monascorubramin). Karena pada umumnya bahan alami memiliki kelemahan dalam hal stabilitas maka perlu untuk dikaji kestabilan dari warna yang dihasilkan melalui proses fermentasi ini. Dalam penelitian ini dipelajari mengenai pengaruh perbedaan suhu dan cahaya terhadap stabilitas hasil fermentasi didalam penyimpanan. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa dengan memvariasikan suhu penyimpanan (suhu kamar, 30°C dan 40°C) dan penyimpanan selama 9 minggu terlihat bahwa tidak ada perubahan yang nyata terhadap sifat organoleptis termasuk warna dari hasil fermentasi ini. Sementara itu cahaya baik lampu maupun sinar matahari terlihat mempunyai pengaruh cukup nyata terhadap perubahan sifat organoleptis dari produk fermentasi ini. Pada penyimpanan dibawah cahaya lampu, terjadi perubahan warna pada lapisan atas dari sample (bagian yang langsung terkena cahaya) yang dimulai pada minggu kedua. Namun perubahan warna ini hanya terjadi pada lapisan tipis bagian atas saja, sementara bagian lain yang tidak terkena cahaya lampu tidak mengalami perubahan yang nyata. Selain adanya perubahan warna pada lapisan yang langsung terkena cahaya lampu, sample yang disimpan dibawah cahaya lampu juga mengalami perubahan bau (aroma), dimana mulai minggu keenam bau khas Monascus powder melemah dan pada minggu kesembilan tercium bau tengik. Hal yang sama terjadi pada sample yang disimpan dibawah cahaya matahari, dimana pada sample ini terjadi perubahan warna mulai minggu keempat dan perubahan bau terjadi pada minggu ketujuh.
PENDAHULUAN Pada awalnya pewarnaan makanan dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan berasal dari alam seperti klorofil (warna hijau), karotenoid (warna kuning, oranye dan merah) serta anthocyanin (warna ungu). Pada perkembangannya bahan pewarna alami untuk makanan tersebut tergeser oleh perkembangan bahanbahan pewarna sintetik. Bahan pewarna sintetik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan alami seperti kecerahan, stabilitas dan keragaman warna yang dimungkinkan (Janssen, 1997). Setelah penemuan pertama dari bahan pewarna sintetik pada tahun 1856, perkembangan bahan pewarna sintetik berlangsung dengan cepat. Sehingga pada akhir abad ke 19, sekitar 80 pewarna makanan sintetik telah tersedia dan banyak digunakan. Pada tahun 1930an berhasil diketahui bahwa bahan pewarna sintetik 4dimethylaminoazobenzena, yang secara luas digunakan sebagai pemberi warna kuning pada margarin dan butter, bersifat karsinogenik. Berdasarkan temuan ini, bahanbahan pewarna makanan sejenis dilarang untuk digunakan pada pembuatan makanan. Setelah itu hanya 9 jenis bahan pewarna makanan sintetik yang diizinkan untuk digunakan di Amerika dan 11 jenis yang diizinkan di Eropa. Sebagian besar dari yang diizinkan ini merupakan bentuk senyawa azo seperti amaran (trisodium 1-(4-sulfo-1-naphthylazo)-2-naphthol-36disulfonc acid), dan tartrazine (5-hydroxyl-1-1-(psulfophenyl)-4-(p-sulfophenylazo)pyrazole-3-carboxylic acid). Namun pada tahun 1975, dilaporkan oleh FAO/WHO bahwa amaran yang semula dinyatakan aman sebagai zat tambahan dalam makanan, setelah
dievaluasi kembali melalui penelitian dengan menggunakan tikus, menunjukkan tanda-tanda sebagai penyebab pembentukan tumor atau bersifat karsinogenik (Janssen, 1997; Sukandar, 2003). Sementara itu tartrazine meskipun dari test yang dilakukan secara intensif tidak menunjukkan sifat karsinogenik namun menyebabkan beberapa bentuk alergik (Janssen, 1997). Sejak penemuan ini, di Amerika Serikat amaran dilarang untuk digunakan sebagai bahan pewarna makanan. Terlebih dari itu, banyak negara maju yang semakin memperketat penggunaan bahan pewarna sintetik untuk makanan. Selain menghasilkan inhibitor enzim HMG Co-A reductase dalam bentuk senyawa monakolin K atau lovastatin, fermentasi dengan menggunakan kapang Monascus spp. juga banyak dimanfaatkan untuk memproduksi pigmen merah yang bisa dimanfaatkan sebagai pewarna makanan alami. Miyake et al. (1984) melaporkan tentang pengaruh penambahan maltitol ke dalam media fermentasi yang mampu meningkatkan produktivitas pigmen dengan menggunakan kapang Monascus spp. Sementara itu Leistner (1998), melaporkan bahwa penggunaan ekstrak monascus dalam proses pewarnaan produk daging mampu mengurangi penggunaan nitrit sebanyak 60% tanpa ada pengaruh nyata pada aspek organoleptis. Bahkan produk yang menggunakan pewarna dari ekstrak monascus dengan penggunaan nitrit dikurangi sampai 60% menunjukkan pembentukan warna yang jauh lebih baik dan lebih stabil dibandingkan produk yang hanya menggunakan nitrit. Pengurangan nitrit di dalam produk
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
89
daging ini tentunya akan mengurangi dampak karsinogenik dari nitrosamine. Dalam tahun kegiatan yang diusulkan, akan dipelajari kemungkinan penggunaan monascus powder dan hasil ekstraksinya sebagai pewarna pada proses pengolahan daging. Selain karena keunggulan karakteristik dan variasi warna yang dihasilkan, murahnya harga jual dari bahan pewarna sintetik menjadi salah satu faktor penting yang mendorong masyarakat untuk menggunakannya. Untuk mencoba menghasilkan bahan pewarna alami yang murah, akan dipelajari kemungkinan penggunaan sisa ekstraksi sebagai bahan pewarna pada beberapa proses pembuatan makanan. Walaupun warna merah merupakan warna paling dominan yang terlihat pada hasil akhir dari proses fermentasi, sebenarnya ada beberapa pigmen warna bentuk polyketida lain yang dibentuk selama proses fermentasi. Sekitar lima pigmen polyketida bisa terbentuk selama proses fermentasi yaitu pigmen kuning (monascin dan ankaflavin), pigmen orange (rubropunctatin dan monascorubrin) serta pigmen merah (monascorubramine) yang merupakan pigmen
utama yang dibentuk selama proses fermentasi (Chen & Johns, 1994). Pigmen-pigmen yang terbentuk akan dipengaruhi oleh jenis kapang yang digunakan. Dengan menggunakan Monascus purpureus selain pigmen merah juga bisa dihasilkan pigmen kuning (monascin) dan pigmen orange (monascorubrin). Pigmen-pigmen ini terbentuk pada umur fermentasi yang berbeda. Berdasarkan hal ini maka akan dipelajari juga hubungan umur panen dengan jenis pigmen yang diperoleh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pemanfaatan pigmen warna dari monascus sebagai bahan pewarna alami untuk makanan Sasaran: • Memperoleh data karakterisasi MP sebagai bahan pewarna makanan. • Membakukan petunjuk penggunaan bahan pewarna yang dihasilkan dalam beberapa produk makanan, khususnya dalam proses pengolahan sosis. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fermentasi (Lab. Bioproses), Bidang Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI.
BAHAN DAN CARA KERJA Mikroba Mikroba yang digunakan untuk proses fermentasi adalah kapang Monascus purpureus TISTR 3090 dan dua galur mutan hasil mutagenesis melalui metode penyinaran dengan lampu UV yang diberi nama Monascus purpureus S-125 dan Monascus purpureus S-35. Media Media yang digunakan untuk memelihara biakan mikroba adalah Potato Dextrose Agar (PDA). Sementara pengembangan inokulum dilakukan dengan menggunakan media cair yang mengandung tepung beras (5%), potassium dihidrogen fosfat (0,25%), sodium nitrat (0,15%), magnesium sulfat (0,1%), MSG (0,1%), kalsium klorida (0,001%) dan keasaman atau pH diatur pada nilai 6,2. Kecuali dinyatakan lain, media yang digunakan untuk proses produksi adalah beras hasil rendaman dengan penambahan 1 ml larutan glukosa 2% dan 2ml larutan sodium asetat 2% ke dalam 100g beras (Tisnadjaja, 2003). Sterilisasi Kecuali untuk proses sterilisasi media fermentasi fasa padat yang dilakukan dengan cara pengukusan selama 2 jam, sterilisasi peralatan fermentasi dan media lainnya dilakukan dengan autoklaf 121oC selama 15 menit. Pengembangan inokulum Pengembangan inokulum dilakukan dengan menggunakan media cair di dalam Erlenmeyer 250 ml
yang berisi 50 ml media. Inkubasi dilakukan di dalam rotary shaker pada suhu kamar. Fermentasi. Proses fermentasi dilakukan dalam fasa padat dengan menggunakan botol jam sebagai reaktor dan inkubasi (kecuali dinyatakan lain) dilakukan sampai 14 hari. Preparasi media fermentasi. Kecuali dinyatakan lain, persiapan atau preparasi media fermentasi dilakukan melalui tahapan perendaman di dalam air dengan perbandingan bahan berbanding air 1 : 1 selama semalam. Setelah direndam, media fermentasi ini ditiriskan dan kemudian dimasukkan kedalam botol fermentasi (masing-masing sebanyak 100g) dan disterilisasi. Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan pada setiap inkubasi dimana teramati secara visual perubahan warna yang signifikan. Sampel yang kemudian diekstraksi secara sederhana menggunakanlarutan etanol 70%.
periode adanya diambil dengan
Analisis kimia Penentuan kuantitas pigmen warna dilakukan dengan mengukur intensitas warna yang terbentuk dengan menggunakan alat spektrofotometri UV-Vis. Pengukuran difokuskan pada pengamatan warna kuning dan merah oleh karena itu panjang gelombang yang dipilih adalah antara 400-523nm. Wilayah panjang gelombang 400–480nm adalah daerah serapan untuk warna kuning, sementara panjang gelombang 490–
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
90
560nm adalah daerah serapan untuk merah sampai ungu (Pecsok et al. 1976). Pengamatan stabilitas Hasil fermentasi yang diperoleh kemudian dikeringkan dan digiling sehingga diperoleh bentuk tepung atau powder dan selanjutnya disebut sebagai Monascus powder (MP). Pengamatan stabilitas dari MP dilakukan terhadap beberapa parameter yaitu: organoleptis (bentuk, warna dan bau), nilai pH, kadar air dan intensitas warna. Organoleptis Pengamatan dilakukan dengan menggunakan panca indera terhadap perubahan sifat-sifat organoleptis yaitu: bentuk, warna dan bau. Penentuan nilai pH Pengukuran nilai pH dilakukan terhadap 0,1g sampel MP yang dilarutkan dalam 50ml air suling. Penentuan nilai pH dilakukan terhadap larutan warna yang dihasilkan setelah dipisahkan dari bagian yang tidak larut melalui penyaringan.
Penetapan kadar air Penetapan kadar air dilakukan dengan membagi selisih berat awal dan berat setelah dikeringkan dalam oven suhu 105oC (sampai diperoleh berat tetap) dan dikali dengan berat awal. Penentuan stabilitas warna Penentuan stabilitas warna dilakukan dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada daerah sinar tampak. Pengukuran difokuskan pada pengamatan warna kuning dan merah oleh karena itu panjang gelombang yang dipilih adalah 416nm untuk warna kuning, dan 523nm untuk warna merah. Dalam pengukuran ini sampel dilarutkan dalam air suling. Pengemasan dan penyimpanan MP yang digunakan untuk uji stabilitas dikemas dalam kemasan plastik klip transparan. Penyimpanan sampel dilakukan selama 9 minggu, dimana pada setiap minggu dilakukan pengambilan sampel dan analisis. Penyimpanan dilakukan dalam 3 variasi suhu yang berbeda yaitu : suhu ruang (24 – 27 oC), suhu 30oC dan suhu 40oC, serta 3 variasi pencahayaan yaitu: terkena cahaya matahari, terkena cahaya lampu dan tidak kena cahaya (gelap).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan umur panen dan pembentukan pigmen a. Pengamatan secara visual Dalam tahap awal dari penelitian dilakukan pengamatan terhadap pembentukan pigmen selama proses fermentasi fasa padat dengan menggunakan beras sebagai media atau sumber karbon utama. Dalam kegiatan ini variasi konsentrasi glukosa yang ditambahkan pada media fermentasi divariasikan antara 0,1 sampai dengan 0,5%. Dari hasil pengamatan (Tabel 1) terlihat bahwa variasi konsentrasi glukosa yang diberikan tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pembentukan pigmen warna. Pigmen warna kuning dapat teramati secara jelas pada tahap awal dari fermentasi yaitu pada umur fermentasi 3 sampai 5 hari, tetapi pigmen warna kuning ini tampak diproduksi secara bersamaan dengan pigmen warna merah. Pada fase selanjutnya dari proses fermentasi warna merah terlihat semakin dominan seiring bertambahnya umur fermentasi. Pola pembentukan pigmen warna selama proses fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan dua galur mutan Monascus purpureus S-35 dan S-125 ternyata sangat serupa dengan yang terjadi pada yang terjadi dengan menggunakan galur induk Monascus purpureus TISTR 3090 (Tabel 2). b. Pengamatan secara visual pada fermentasi fasa cair Berbeda dengan yang teramati pada fermentasi fasa padat, pada fermentasi fasa cair pigmen warna kuning
tidak dapat teramati secara visual dan pigmen warna merah seakan menjadi warna tunggal (Gambar 1). Tabel 1. Pengaruh variasi konsentrasi glukosa terhadap pembentukan pigmen oleh Monascus purpureus 3090 dalam pengamatan secara visual. Umur Fermentasi (hari) 1
0,1%
Konsentrasi Glukosa 0,3% 0,5%
Putih Putih Putih (-) (-) (-) 3 Merah Merah Merah kekuningan kekuningan kekuningan (++) (++) (++) 5 Merah Merah Merah kekuningan kekuningan kekuningan (+++) (+++) (+++) 7 Merah Merah Merah (++++) (++++) (++++) 9 Merah Merah Merah (+++++) (+++++) (+++++) 11 Merah bata Merah bata Merah bata (++++++) (++++++) (++++++) 13 Ungu Ungu Ungu (+++++++) (+++++++) (+++++++) Keterangan : (-) belum ada pertumbuhan; (+) banyaknya pertumbuhan
Hal ini mungkin disebabkan karena pigmen warna kuning konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan pigmen warna merah sehingga warna kuning tertutup oleh warna merah. Dalam percobaan ini juga terlihat bahwa intensitas warna merah yang terbentuk pada hari
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
91
kelima tidak berbeda secara nyata bila dibandingkan dengan intensitas warna merah pada hari ketujuh. Ini menunjukkan bahwa pada hari kelima sel Monascus purpureus sudah memasuki akhir fase eksponensial dari pertumbuhannya. Tabel 2. Pengaruh penggunaan galur kapang yang berbeda terhadap pembentukan pigmen Umur Fermentasi (hari) 1
berbeda. Dari ketiga galur yang digunakan, galur mutan Monascus purpureus S-125 terlihat lebih cepat dalam membentuk pigmen warna kuning. Sementara itu perbedaan konsentrasi sumber karbon tambahan dalam bentuk glukosa yang divariasikan pada konsentrasi 0,1% sampai 0,5% tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pembentukan pigmen warna kuning.
Galur kapang Monascus purpureus TISTR 3090 S-35 S-125
Putih Putih Putih (-) (-) (-) 3 Merah Merah Merah kekuningan kekuningan kekuningan (++) (++) (++) 5 Merah Merah Merah kekuningan kekuningan kekuningan (+++) (+++) (+++) 7 Merah Merah Merah (++++) (++++) (++++) 9 Merah Merah Merah (+++++) (+++++) (+++++) 11 Merah bata Merah bata Merah bata (++++++) (++++++) (++++++) 13 Ungu Ungu Ungu (+++++++) (+++++++) (+++++++) Keterangan : (-) belum ada pertumbuhan; (+) banyaknya pertumbuhan
Gambar 1. Perubahan warna selama fermentasi fasa Penentuan intensitas warna secara spektrofotometri Secara visual terlihat bahwa meskipun pigmen warna kuning dapat teramati pada fase awal dari fermentasi tapi seiring berjalannya proses fermentasi warna kuning tersebut semakin sulit untuk diamati karena tertutup oleh dominasi warna merah. Pada gambar 2 (a–c) terlihat bahwa konsentrasi pigmen warna kuning yang terbentuk memang sangat kecil. Hal ini terukur melalui pengukuran intensitas warna yang diukur dalam nilai absorbansi pada panjang gelombang 414nm. Nilai absorbansi tertinggi yang diperoleh adalah 0,06; hal ini terjadi baik dengan menggunakan galur kapang Monascus purpureus TISTR 3090 maupun kedua galur mutannya, yaitu Monascus purpureus S-35 dan S-125. Data pada Gambar 2 (a-c) juga menunjukkan bahwa meskipun nilai absorbansi tertinggi, yang diperoleh dari hasil fermentasi dengan menggunakan galur Monascus purpureus yang berbeda, adalah sama tapi laju pembentukan, khususnya pada tahap awal, terlihat
Gambar 2. Hubungan umur fermentasi dengan intensitas warna kuning. pada konsentrasi glukosa (a) (0,1%), (b) 0,3% dan (c) 0,5%.
Gambar 3. Hubungan umur fermentasi dengan intensitas warna merah, konsentrasi glukosa (a) 0,1%, (b) 0,3% dan (c) 0,5%. Gambar 3 (a–c) menunjukkan bahwa perbedaan galur Monascus purpureus yang digunakan dan variasi konsentrasi sumber karbon tambahan dalam bentuk glukosa juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pigmen warna merah yang intensitasnya diukur sebagai nilai absorbansi pada panjang gelombang 523nm. Pada pengukuran intensitas warna merah terlihat bahwa nilai absorbansi tertinggi adalah sekitar 1. Ini membuktikan bahwa konsentrasi pigmen warna merah yang terbentuk selama proses fermentasi memang jauh lebih besar dibandingkan warna kuning. Meskipun dengan menggunakan galur mutan S-125 terlihat intensitas warna merah yang terukur lebih tinggi, namun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
92
Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap stabilitas MP Secara umum laju reaksi kimia akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Karena selain akibat kehadiran mikroba maka kerusakan atau deteriorisasi produk pangan umumnya terjadi karena proses kimia maka dalam penelitian ini telah diamati pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap stabilitas dari MP. Pada pengamatan terhadap pengaruh perbedaan suhu terhadap stabilitas dalam penyimpanan, parameter sifat organoleptik warna dan bau atau aroma menjadi
tolok ukur dari penilaian. Dalam pengamatan selama 9 minggu terlihat bahwa dengan memvariasikan suhu penyimpanan antara suhu kamar (25-27 oC) sampai 40oC terlihat bahwa warna yang dimiliki MP tidak mengalami perubahan yang signifikan, namun demikian untuk parameter bau terjadi sedikit perubahan pada sampel yang disimpan pada suhu 30oC dan 40oC yang terjadi mulai umur penyimpanan 6 minggu (Tabel 3). Pada penyimpanan dengan variasi suhu ini reaksi oksidasi yang menyebabkan ketengikan tidak terjadi. Sedikit menurunnya bau khas MP kemungkinan diakibatkan oleh adanya pelepasan senyawa-senyawa yang mudah menguap dan merupakan unsur pembentuk aroma atau bau. Pada umumnya cita rasa atau aroma pada bahan makanan ditimbulkan oleh berbagai macam senyawa yang mudah menguap (volatil) seperti alkohol, amina dan senyawa-senyawa karbonil. Menurut Sadler (1987), reaksi-reaksi yang melibatkan lipid atau lemak mempunyai energi aktivasi rendah (2-15 K.kalori/mol) sehingga sulit untuk berlangsung pada suhu yang rendah. Namun demikian reaksi ini dapat dikatalisis oleh kehadiran logam atau pemberian cahaya. Variasi suhu penyimpanan antara suhu kamar sampai dengan 40oC terlihat tidak memberikan pengaruh nyata pada perubahan nilai pH untuk penyimpanan selama 9 minggu (Gambar 4 (a) dan (b). Ini tentunya sesuai dengan tidak adanya perubahan sifat organoleptik yang signifikan. 6.4
5.6
6.2
5.4
6
5.2
5.8 Suhu kamar
5.6 5.4
pH
pH
Pemanfatan pigmen warna Monascus sebagai bahan pewarna pada sosis Melalui kegiatan ini diharapkan untuk memperoleh gambaran mengenai kemungkinan pemanfaatan pigmen warna Monascus sebagai bahan pewarna pada industri sosis. Untuk mempelajari hal ini telah dilakukan kegiatan pembuatan sosis dengan menggunakan pigmen Monascus sebagai bahan pewarna. Selain sebagai pewarna pigmen warna Monascus juga diharapkan dapat menggantikan peranan senyawa nitrit dalam proses pembuatan sosis. Sebagai parameter uji dalam kegiatan ini adalah pengaruh penggunaan pigmen MP terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur, dimana penentuannya ditentukan melalui uji organoleptik (preference test) dengan menggunakan skala hedonik. Uji organoleptik dilakukan terhadap tiga variasi sosis yaitu (1) sosis dengan pemberian pigmen MP sebagai pewarna, (2) sosis dengan pigmen MP dan nitrit serta (3) sosis dengan penambahan nitrit dan tanpa pigmen MP. Dari hasil uji organoleptik terlihat bahwa, keberadaan nitrit terhadap perbaikan tekstur sangat penting. Dengan pemberian nitrit sosis yang dihasilkan memiliki tekstur dan kekenyalan yang baik, hal ini terbukti dari hasil uji organoleptik dimana mayoritas responden lebih menyukai sosis (2) dengan penambahan pigmen MP dan nitrit serta sosis (3) hanya dengan penambahan nitrit dibandingkan tingkat kesukaan terhadap sosis (1) hanya dengan penambahan pigmen MP. Kekurangan pada tekstur ternyata juga berpengaruh pada penilaian responden terhadap nilai rasa. Dari uji organoleptik yang dilakukan nilai rasa dari sosis (1) yang hanya diberi pigmen MP mendapat penilaian paling rendah dibandingkan sosis (2) dan sosis (3). Selain berperan dalam memperbaiki tekstur, senyawa nitrit juga berperan positif dalam membangkitkan warna. Hal ini dibuktikan pada hasil uji organoleptik yang menunjukkan bahwa sosis (2) dengan pemberian pigmen MP dan nitrit memperoleh nilai kesukaan yang jauh lebih baik dibandingkan kedua jenis sosis lainnya. Namun demikian senyawa nitrit tidak berpengaruh positif terhadap pembentukan aroma. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penilaian terhadap aroma, dimana sosis (1) yang hanya diberi pigmen MP memperoleh nilai tertinggi untuk parameter aroma dibandingkan kedua jenis sosis lainnya.
5 4.8
30 C
4.6
40 C
4.4
Suhu kamar 30 C 40 C
4.2
5.2 0
1
2
3
4
5
6 7 8 Waktu (Minggu)
9
0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 Waktu (Minggu)
(a) (b) Gambar 4. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai pH dari MP yang dalam pengukurannya dilarutkan dalam (a) etanol dan (b) air suling. Sementara itu kadar air dari MP yang disimpan pada suhu kamar terlihat terus mengalami peningkatan selama penyimpanan dan ini berbeda dengan yang terjadi pada penyimpanan dengan suhu 30oC dan 40oC. Pada penyimpanan dengan suhu 40oC yang dilakukan dengan menggunakan inkubator, terlihat tidak ada perubahan dari kadar air selama 9 minggu pengamatan. Sedangkan pada penyimpanan dengan suhu 30oC terjadi peningkatan kadar air sampai penyimpanan minggu keenam, namun kembali menurun pada minggu selanjutnya. Ini mungkin menunjukkan adanya proses penguapan yang lebih besar dibandingkan proses pengikatan uap air setelah kadar air mencapai nilai tertentu.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
93
Pengaruh cahaya terhadap stabilitas warna dari MP Dalam selang waktu penyimpanan selama 9 minggu dengan perlakuan yang berbeda dalam cahaya terlihat bahwa tidak ada pengaruh yang nyata terhadap intensitas warna dari MP, baik untuk warna merah maupun kuning dimana dalam pengukurannya dilarutkan dalam air suling. Pengukuran intensitas warna merah dilakukan dengan spektrofotometer pada λ=523nm sementara warna kuning pada λ=416nm. Hal ini sedikit berbeda dengan pengamatan warna secara organoleptik atau visual, dimana pemberian cahaya baik yang bersumber dari lampu maupun sinar matahari telah
menyebabkan adanya perubahan warna yang cukup signifikan dan teramati mulai umur penyimpanan 4 minggu. Penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa perubahan warna dari MP yang diakibatkan oleh cahaya hanya terjadi pada lapisan tipis yang langsung terkena cahaya tersebut dan tidak merubah bagian lainnya. Hal yang sama, dimana tidak ada pengaruh yang nyata dari perbedaan cahaya dalam penyimpanan, juga terjadi ketika pengukuran dilakukan dengan melarutkan MP di dalam etanol.
Tabel 3. Pengaruh suhu terhadap sifat organoleptik selama penyimpanan Perlakuan/ Minggu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Suhu Kamar Warna Bau Merah Karamel MP Merah Karamel MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP Merah Khas MP
30oC
Warna Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah
Bau Karamel MP Karamel MP Khas MP Khas MP Khas MP Khas MP MP lemah MP lemah MP lemah MP lemah
40oC
Warna Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah
Bau Karamel MP Karamel MP Khas MP Khas MP Khas MP Khas MP MP lemah MP lemah MP lemah MP lemah
Tabel 4. Pengaruh suhu terhadap perubahan kadar air selama penyimpanan Kadar air (%) /minggu Suhu ( oC) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kamar 5,62 6,81 7,32 8,02 7,52 8,06 8,54 8,26 8,83 8,78 30 5,62 6,24 6,91 7,08 7,22 7,59 7,17 5,83 5,92 6,69 40 5,62 5,62 5,76 5,25 5,32 5,17 5,96 5,40 5,72 5,22 KESIMPULAN Dari kegiatan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam proses fermentasi dengan menggunakan galur kapang Monascus purpureus dapat dibentuk minimal dua bentuk senyawa poliketida berupa pigmen warna kuning dan merah. Kedua senyawa pigmen warna ini dibentuk secara bersamaan dan pembentukan sudah terjadi pada fase eksponensial dari tahapan fermentasi. Penambahan sumber karbon dalam bentuk glukosa antara 0,1% sampai 0,5% tidak memberi pengaruh nyata terhadap pembentukan kedua pigmen warna. Sementara penggunaan galur Monascus purpureus yang berbeda hanya berpengaruh pada laju pembentukan pada tahap awal dari pigmen warna kuning namun tidak berpengaruh nyata pada pembentukan pigmen warna merah.
Monascus Powder atau MP dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk makanan khususnya sosis. Bahan alami ini memiliki stabilitas yang cukup baik dalam penyimpanan, dimana dalam penyimpanan selama 9 minggu tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Suhu penyimpanan sampai 40oC tidak memberikan dampak yang berarti terhadap stabilitas MP dan intensitas warnanya, namun demikian penyimpanan harus dilakukan ditempat yang tidak terkena cahaya langsung, baik yang berasal dari lampu maupun matahari. Bahan ini sebaiknya dikemas dalam wadah atau bungkus yang kedap udara dan berwarna gelap sehingga selain untuk menghindari cahaya juga tidak akan menyerap kelembaban lingkungan yang akan meningkatkan kadar airnya.
DAFTAR PUSTAKA Janssen MMT. 1997. Food additives, dalam John de Vries(ed). Food safety and Toxicity. CRC Press. New york. USA: 63-75. Leistner L. 1998. Use of Red-Mould Rice and Monascus Extract for Meat Products, The Symposia on Monascus culture and application, July 8th – 10th – 1998. Tolouse, France.
Miyake T, Ohno S & Sakai S. 1984. Process for the production of monascus pigment, US Patent No. 4: 442,209 Ming-Ho Chen and Michael R. Johns. 1994. Effect of carbon source on ethanol and pigment production by Monascus purpureus. Enzyme Microb. Technol. Vol. 16, July 1994.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
94
Pearson AM & Taauber FW. 1984. Processed Meat. AVI publishing Company inc. Westport, Connecticut. Permana DR, Marzuki S & Tisnadjaja D. 2004. Analisis kualitas produk fermentasi beras (Red Fermented Rice) dengan Monascus purpureus 3090. Biodiversitas Vol. 5, No. 1. Pharmaceutical News. 2004. Cholesterol lowering statin products may be the next class of drugs to go over the counter. http://www.newsmedical.net. Akses tanggal; 10 Mei 2005. Syarief R, Halid H. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Bogor. Hal. 185-208. Sukandar, Ukan. 2003. Singkong sebagai substrat yang potensial untuk produksi zat warna Monascus. Prosiding seminar Nasional Teknologi Proses kimia.
Samiee SM, Moazami N, Haghighi S, Mohseni FA, Mirdamadi S & Bakhtiari MR. 1996. Screening of lovastatin production by filamentous fungi. Iranian Biomedical Journal 1996. Tanzawa K, Iwada S, Tsujita Y, Kuroda M & Furuya K. 1980. Preparation of monacolin K. US Patent No. 04323648. The Kline Group. 2005. US cholesterol-lowering drugs 2005: Rx market analysis and switch forecast. http://www.klinegroup.com. Tisnadjaja D. 2003. Pengaruh penambahan glukosa dan sodium asetat pada proses produksi bahan penurun kolesterol Monascus powder. Nusa Kimia. Vol. 3 No. 1. Tisnadjaja D, Rinawati SM & Permana DR. 2004. Pengaruh jumlah inokulum terhadap pembentukan lovastatin pada proses fermentasi Monascus Powder. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VI. FT UI Depok.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
95
PEMANFAATAN ONGGOK SEBAGAI SUBSTRAT BAGI KONSORSIUM MIKROBA SELULOLITIK UNTUK PRODUKSI ENZIM SELULASE Kusmiati, Ni Wayan Sri Agustini, Djumhawan Ratman Permana, dan M. Afriastini Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Onggok merupakan limbah padat yang dihasilkan pada proses pembuatan tepung tapioka. Kandungan protein pada onggok sangat rendah, tetapi kandungan serat kasarnya tinggi. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi onggok dapat melalui penerapan teknologi fermentasi sehingga diproduksi senyawa-senyawa penting. Onggok merupakan sumber karbon yang baik untuk media fermentasi karena mengandung karbohidrat hingga 67%. Mikroba yang mampu memanfaatkan onggok yaitu Trichoderma sp. dengan memproduksi enzim selulase untuk memecah karbohidrat onggok menjadi glukosa. Pada proses fermentasi dapat dibantu Saccharomyces sp. Penelitian ini terbagi 2 bagian yang pertama mempelajari aktifitas enzim selulase (CMCase) yang dihasilkan oleh tiga galur Trichoderma sp. yaitu T1, T2 dan T3 menggunakan onggok sebagai sumber karbon pada konsentrasi yang bervariasi yaitu 0; 2,5; 5; 7,5 dan 10% (b/v). Percobaan dilakukan tiga kali ulangan. Kultur Trichoderma sp. dalam media cair mengandung onggok, diinkubasi pada suhu ruangan dengan goyangan 150rpm dan dipanen pada hari kedelapan. Percobaan kedua yaitu dalam substrat padat menggunakan onggok dan dedak sebagai substrat fermentasi dengan persentase yang berbeda-beda. Substrat tersebut difermentasi menggunakan kapang Trichoderma sp. dan campuran Trichoderma sp. dengan Saccharomyces cerevisae. Pengamatan meliputi kurva pertumbuhan kapang dan analisa kimia secara spektrometri terhadap filtrat kultur meliputi kadar protein λ=750nm (metode Lowry), kadar glukosa dan aktifitas CMCase λ=550nm (metode Mendels). Data dianalisis menggunakan ANOVA dua arah, dilanjutkan uji Duncan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Hasil percobaan dari ketiga galur Trichoderma sp. menunjukkan bahwa galur T1 memiliki aktifitas spesifik CMCase tertinggi sebesar 0,291U/mg protein, diikuti T3 dan T2 dengan aktifitas spesifik CMCase berturut-turut 0,257 dan 0,222 U/mg protein. Media optimum untuk memperoleh aktifitas CMCase tinggi pada galur T1 dan T2 yang mengandung onggok 10%, sedangkan T3 pada konsentrasi onggok 5%. Hasil Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tiga galur Trichoderma sp. berbeda dan variasi konsentrasi onggok pada media fermentasi, berpengaruh nyata terhadap kadar protein, glukosa dan aktifitas enzim CMCase. Percobaan kedua menggunakan substrat padat dengan perlakuan media Onggok dicampur dedak 50%:50% memberikan nilai aktifitas enzim CMCase spesifik tertinggi yaitu sebesar 0,099 U/mg protein yang diinokulasi kapang Trichoderma sp.
Kata kunci: Onggok, kapang Trichoderma sp. Saccharomyces cerevisae, aktifitas CMCase PENDAHULUAN Perkembangan industri tapioka menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dampak dari perkembangan tersebut adalah meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan sehingga mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan. Pada proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka dihasilkan limbah cairan dan limbah padat. Limbah padat hasil dari proses ekstraksi tersebut dikenal Onggok, yang masih mengandung pati 50-60%, serat kasar dan bahan sisa lainnya. Onggok dapat menjadi material yang bermutu tinggi apabila termanfaatkan maksimal. Bahan ini mengandung selulosa tinggi yang dapat didegradasi menjadi senyawa-senyawa penting bernilai komersial. Beberapa mikroba dari genus bakteri dan kelompok fungi Eukaria memiliki kemampuan menghidrolisis selulosa. Pada kelompok eubacteria kemampuan memecah selulosa secara aerobik didominasi phylum Actinobacteria dan ordo Clostridiales. Pemanfaatan fungi selulolitik menyebar dari tingkat primitif hingga tingkat tinggi basidiomycetes. Kelompok mikroba selulolitik yang telah banyak dipelajari berpotensi penghasil enzim selulase dan kemampuannya mendegradasi kayu diantaranya kelompok Deuteromycetes meliputi Aspergillus, Fusarium, Cladosporium, Penicillium dan Trichoderma (Lynd et al., 2002).
Mikroorganisme menghasilkan multienzim untuk mendegradasi substrat selulosa alam terutama material tanaman yang memiliki polisakarida dengan variasi derajat kristalin, hemiselulosa, pektin dan lignin. Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatik melibatkan tiga tipe enzim yaitu selobiohidrolase, endoglukanase dan beta glukosidase. Isolasi enzimenzim tersebut telah dilakukan dari kapang dan ternyata kemampuan aktifitasnya untuk memecah substrat sangat bervariasi (Demain et al., 2005). Endoglukanase tidak dapat menyerang selulosa kristal. Enzim ini bekerja pada selulosa yang sifatnya larut seperti CMC. Enzim selulase bekerja secara sinergi untuk menghidrolisis selulosa tingkat tinggi. Endoglukanase bekerja pada daerah amorf dalam seratserat selulosa yang akan membuka ujung rantai baru dan dapat diserang oleh selobiohidrolase untuk menghilangkan unit selobiosa dari ujung-ujung rantai nonpereduksi. Selanjutnya enzim beta glukosidase akan memecah total dengan menghilangkan selobiosa, inhibitor produk akhir dari selobiohidrolase dan endoglukanase (Enari, 1983). Enzim selulase ekstraseluler dapat dihasilkan mikroba bila dalam medium tumbuhnya mengandung substrat tertentu. Penginduksi enzim selulase adalah selulosa, turunan selulosa, selobiosa, soforosa dan laktosa. Penginduksi ini berfungsi ganda yaitu sebagai
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
96
sumber karbon untuk pertumbuhan sel mikroba dan penginduksi sintesis enzim selulase (Gong & Tsao, 1979). Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mempelajari proses sakarifikasi dan aktifitas enzim CMCase oleh 3 galur Trichoderma sp. dengan menggunakan media cair dengan berbagai konsentrasi onggok dan (2)
Mempelajari pengaruh perbedaan komposisi onggok dan dedak sebagai substrat fermentasi padat dengan menggunakan Trichoderma sp. dan campuran (Trichoderma sp. dan Saccharomyces cerevisae) terhadap proses sakarifikasi dan aktifitas enzim CMCase.
BAHAN DAN CARA KERJA Persiapan onggok Onggok atau limbah padat tapioka yang telah dihaluskan direndam dengan HCl 0,1 N, kemudian dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali. Campuran dikocok, didiamkan kemudian airnya dibuang. Onggok yang telah dicuci kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 500C. Setelah diperoleh onggok kering kemudian dihaluskan dengan blender sampai halus. Peremajaan 3 isolat kapang Trichoderma sp. galur T1, T2 dan T3 Isolat kapang Trichoderma sp. galur T1, T2 dan T3 diremajakan dengan menginokulasikan sebanyak satu ose ke medium PDA steril dalam tabung reaksi (Gambar 1). Kultur diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar. Masing-masing galur kapang ditambah akuades steril sebanyak 10 ml. Suspensi spora dalam akuades kemudian dipindahkan ke dalam 50ml medium cair andreoti (1980), dengan komposisi (b/v): Pepton 0,05– 0,1%, (NH4)2SO4 0,14%, KH2PO4 0,20%, Urea 0,03%, CaCl2 0,03 ; MgSO40,03%, Stok mineral 1ml, Air suling 1000ml. Medium tersebut disterilkan dalam autoklaf (1 atmosfer, 1210C, 15 menit). Suspensi spora kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 3 hari dengan agitasi 150rpm. Jumlah spora dihitung menggunakan hemasitometer. Inokulum yang digunakan mengandung sekitar 106 spora/ml.
Gambar 1. Morfologi kapang Trichoderma sp. T1, T2 dan T3 dalam media PDA Percobaan 1: Fermentasi substrat cair Proses fermentasi substrat cair menggunakan medium Andreoti yang mengandung onggok dengan konsentrasi 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% (b/v) (Gambar 2). Setiap 100ml media fermentasi diinokulasi dengan 2ml inokulum dan diinkubasi pada suhu ruang dengan kecepatan putaran 150 rpm. Lama fermentasi 8
hari dan setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Kultur hasil fermentasi disentrifus untuk memisahkan biomassa (endapan) dari cairan kultur. Cairan kultur dianalisis kimia meliputi kadar protein, glukosa, dan aktifitas enzim selulase.
Gambar 2. Media fermentasi cair Trichoderma T1 dengan variasi konsentrasi onggok Percobaan 2: Fermentasi substrat padat Pada penelitian ini digunakan onggok dan dedak sebagai substrat fermentasi dengan komposisi yang berbeda-beda yaitu (1) onggok 100%, (2) onggok + dedak 80%:20%, (3) onggok + dedak 60%:40% dan (4) onggok + dedak 50%:50% (Gambar 3). Dalam setiap media fermentasi ditambahkan larutan nutrisi dengan perbandingan 1:1. Komposisi larutan nutrisi terdiri dari 5g ammonium sulfat, 2g magnesium sulfat hidrat, 2g kalium hidrogen fosfat, 2g zinc sulfat, semua bahan dilarutkan dalam 100ml akuadest aduk sampai homogen. Media kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Gambar 3. Media fermentasi padat Trichoderma dengan komposisi onggok : dedak Substrat tersebut difermentasi menggunakan kapang Trichoderma sp. dan campuran Trichoderma sp. dengan Saccharomyces cerevisae untuk menghasilkan filtrat enzim kasar. Fermentasi dilakukan selama 11 hari dan media diekstraksi dengan akuades, selanjutnya disaring dan filtrat dianalisis kimia.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
97
Analisis kimia a. Analisis kadar protein dengan metode Lowry (Copeland 1951). Dibuat deret larutan baku standar BSA dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 160, 200 µg/L. Masing-masing larutan baku tersebut dipipet 500 µl, ditambahkan 500 µl NaOH 1N diaduk homogen. Larutan dididihkan selama 20 menit, dinginkan selama 10 menit. Selanjutnya ditambahkan 2,5 ml larutan D (50 ml Na2CO3 5%, 1 ml CuSO41% dan 1 ml NaK tartrat 2%), homogenkan dan didiamkan kembali selama 10 menit. Selanjutnya ditambahkan 500 µl larutan Folin C kemudian didiamkan 30 menit. Larutan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Larutan sampel dan blanko (akuades) diberi perlakuan yang sama dengan larutan baku.
menit, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu kamar. Kemudian dilakukan pembacaan absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Larutan sampel dan blanko diberi perlakuan yang sama.
b. Analisis kadar glukosa dengan metode Mendels (1976). Deret larutan baku glukosa dibuat dengan konsentrasi 0, 0.4, 0.8, 1.2, 1.6, 2.0, 2.4, 2.8, 3.2 µg/L. Masing-masing larutan baku glukosa dipipet sebanyak 1 ml, diinkubasi pada suhu 50°C selama 30 menit kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS,. Larutan kemudian ditempatkan dalam air mendidih selama 5
diinkubasi pada suhu 500C selama 30 menit
c. Analisis kadar enzim selulase dengan metode Mendels (1976) Larutan standar glukosa dibuat konsentrasi berturut-turut 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5, 3.0, 3.5, 4.0 µg/L. Aktifitas enzim selulase diukur menurut metode Mendels et al. (1976) yaitu dengan cara menguji aktifitas Cx (endoglukonase) dengan substrat larutan CMC (Carboxy Methyl Cellulose). Langkah kerja sebagai berikut: 0,5 ml filtrat enzim
0,5 ml larutan CMC 1%
ditambahkan 3 ml pereaksi DNS ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran kadar protein Pengukuran kadar protein dilakukan untuk mengetahui aktifitas spesifik dari enzim selulase dengan
metode Lowry (Copeland, 1951) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm.
Log Jumlah Sel/ml
PERCOBAAN 1: Fermentasi Cair Dalam Media Andreoti Mengandung Onggok Suspensi spora yang telah dipindahkan ke dalam 50 ml media cair Andreoti yang mengandung CMC 1 % (b/v) pH 4 dan telah diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang (250C) dengan agitasi 150 rpm, dipindahkan sebanyak 2 ml ke dalam media cair Andreoti mengandung onggok dengan pH 4, kemudian media tersebut diinkubasi pada suhu ruang (250C) dengan agitasi 150 rpm. Jumlah spora dihitung menggunakan hemasitometer. Dari hasil tersebut, kemudian dibuat kurva pertumbuhan. Dari percobaan didapatkan hasil bahwa pada hari kedelapan jumlah spora Trichoderma sp. pada media cair Andreoti mengandung onggok dengan pH 4 mencapai fase eksponensial yang menunjukkan fase pertumbuhan maksimum. Kemudian dari hari kesembilan hingga hari keenam belas, jumlah sel mengalami penurunan. Oleh sebab itu, untuk proses fermentasi substrat cair, media diinkubasi selama 8 hari. Kurva pertumbuhan Trichoderma sp. pada media cair Andreoti yang mengandung CMC 1 % (b/v) dan yang mengandung onggok dapat dilihat pada Gambar 4.
7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 6,2 6 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Waktu (Hari) Media Onggok
Media CMC 1 %
Gambar 4. Kurva pertumbuhan Trichoderma sp. pada media cair Andreoti yang mengandung CMC 1 % (b/v) dan yang mengandung onggok Konsentrasi dan serapan larutan baku pembanding BSA yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsentrasi dan Serapan Baku Pembanding BSA No 1 2 3 4 5
Konsentrasi (ppm) 0 11 22 44 88
Serapan (A) 0,000 0,073 0,173 0,413 0,806
Kurva kalibrasi larutan baku pembanding BSA pada pengukuran kadar protein dengan metode Lowry dapat dilihat pada Gambar 5.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
98
Kurva kalibrasi larutan baku pembanding BSA memiliki persamaan garis regresi y = -0,0163 + 0,00937x dan koefisien korelasi 0,9988. Koefisien korelasi yang mendekati 1 menunjukkan bahwa ada hubungan linier yang baik antara serapan dan konsentrasi larutan baku pembanding BSA. Kadar protein pada sampel dapat diketahui dengan memasukkan nilai serapan ke dalam persamaan garis tersebut.
glukosa pada pengukuran kadar glukosa dengan metode Mendels dapat dilihat pada Gambar 6. Metode spektrofotometri menghasilkan kurva kalibrasi larutan baku pembanding glukosa dengan persamaan garis regresi y = -0,1176 + 0,0036371x dan koefisien korelasi 0,9922. Tabel 3. Konsentrasi dan Serapan Baku Pembanding Glukosa No. 1 2 3 4 5 6
Serapan (750 nm)
1.000 0.800
y = -0,0163 + 0,00937x
0.600
R 2 = 0,9988
0.400
Konsentrasi (ppm) Mana datanya? ? ? ? ? ?
Serapan (A) 0,000 0,200 0,487 0,935 1,379 1,749
0.200 0.000 0
11
22
33
44
55
66
77
88
Konsentrasi BSA (ppm)
Serapan (550 nm)
2.000
Gambar 5. Kurva kalibrasi larutan baku pembanding BSA Analisis Kadar Protein Sebanyak 0,5ml sampel diambil dengan menggunakan pipet, kemudian ditambahkan 0,5 ml NaOH 1 N, di vorteks, lalu dididihkan selama 20 menit. Setelah itu sampel didiamkan selama 10 menit, lalu ditambah 2,5 ml larutan D, di vorteks, dan didiamkan kembali 10 menit. Selanjutnya, ditambahkan sebanyak 0,5 ml larutan Folin Ciocalteu dan didiamkan selama 30 menit. Serapan diukur pada panjang gelombang 750 nm dengan menggunakan spektrofotometer. Kadar protein media onggok dengan variasi konsentrasi oleh Trichoderma sp. T1, T2 dan T3 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran kadar protein media onggok dengan variasi konsentrasi oleh Trichoderma sp. T1, T2 dan T3 Konsentrasi Kadar protein (g/L) *) substrat (%) T2 T1 0 0,014 0,012 2,5 0,158 0,062 5 0,219 0,085 7,5 0,399 0,190 10 0,821 0,493 *) Hasil rata-rata 3 kali ulangan
T3 0,029 0,215 0,366 0,600 0,937
Pengukuran Kadar Glukosa Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan metode Mendels et al. (1976) tanpa menggunakan substrat CMC. Metode ini mempunyai prinsip yaitu ketika dalam suasana alkali, gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) hinggan membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Konsentrasi dan serapan larutan baku pembanding glukosa yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan kurva kalibrasi larutan baku pembanding
1.600
y = -0,1176 + 0,0036371x 2
1.200 0.800 0.400 0.000 0
100
200
300
400
500
Konsentrasi Glukosa (ppm)
Gambar 6. Kurva kalibrasi larutan baku pembanding glukosa Analisis kadar glukosa sampel. Hasil analisa kadar glukosa pada berbagai variasi konsentrasi onggok dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kadar glukosa pada konsentrasi onggok
berbagai
Konsentrasi Kadar glukosa (g/L) *) substrat (%) T2 T1 0 0,013 0,013 2,5 0,330 0,173 5 1,902 0,314 7,5 9,526 0,935 10 28,036 11,051 *) Hasil rata-rata 3 ulangan
variasi T3 0,007 0,911 4,374 4,228 8,928
Uji Aktifitas Enzim CMCase Uji aktifitas enzim selulase dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan metode Mendels et al. (1976), yaitu dengan cara menguji aktifitas Cx (endoglukanase) dengan substrat CMC. Serapan diukur pada panjang gelombang 550 nm dengan alat spektrofotometer. Konsentrasi dan serapan larutan baku pembanding glukosa yang diperoleh pada pengujian aktifitas enzim dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan kurva kalibrasi larutan baku pembanding glukosa pada uji aktifitas enzim selulase dengan metode Mendels dapat dilihat pada Gambar 7 . Kurva kalibrasi larutan baku pembanding glukosa memiliki persamaan garis regresi y =-0,0484 + 0,0212x dan koefisien korelasi 0,9941.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
99
Aktifitas Enzim CMCase Sampel Sebanyak 0,5 ml sampel diambil menggunakan pipet, lalu ditambahkan 0,5 ml larutan CMC 1% dan diinkubasi pada suhu 500C selama 30 menit. Kemudian kedalamnya ditambahkan pereaksi DNS sebanyak 3 ml dan ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu kamar. Serapan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Tabel 5. Konsentrasi dan Serapan Baku Pembanding Glukosa No
Konsentrasi (ppm) 0 10 20 30 40 50 60 70 80
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Serapan (A) 0,000 0,094 0,311 0,719 0,769 0,989 1,242 1,472 1,623
Penelitian ini dilakukan untuk produksi enzim CMCase dengan menggunakan Trichoderma sp. dan Saccharomycess cerevisae, pada medium yang mengandung onggok dan dedak, dengan komposisi yang berbeda-beda. Onggok digunakan sebagai sumber karbon dan dedak digunakan untuk meningkatkan porositas onggok, sehingga kapang dapat tumbuh baik. Hasil fermentasi diekstraksi dengan menggunakan air dan dilakukan analisis kadar protein, glukosa dan aktifitas enzim selulase. Tabel 6. Aktifitas enzim selulase pada berbagai variasi konsentrasi onggok. Konsentrasi substrat (%) 0 2,5 5 7,5 10
Tabel 7. Aktifitas spesifik enzim selulase pada berbagai variasi konsentrasi onggok Konsentrasi substrat (%)
Serapan (550 nm)
2.000
0 2,5 5 7,5 10
y = -0,0484 + 0,0212x
1.500
1.000 0.500
0.000 0
10
20
30
40
50
60
70
Aktifitas enzim selulase (U/ml) *) T2 T3 T1 0,851 0,201 1,667 14,527 2,184 31,014 37,203 5,948 94,269 90,032 18,470 121,868 239,311 109,847 196,400 *) Hasil rata-rata 3 kali ulangan
80
Aktifitas spesifik (U/mg protein) T1 T2 0,060 0,016 0,091 0,035 0,169 0,069 0,225 0,097 0,291 0,222
enzim
selulase
T3 0,057 0,144 0,257 0,203 0,209
Konsentrasi Glukosa (ppm)
Gambar 7. Kurva kalibrasi larutan baku pembanding glukosa Pengukuran aktifitas selulase dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap konsentrasi substrat. Aktifitas selulase ditentukan dengan mengukur absorbans gula reduksi hasil hidrolisis selulase. Satu unit aktifitas selulase didefinisikan sebagai banyaknya enzim selulase yang dapat membebaskan 1 µmol gula reduksi dari substrat CMC selama 1 menit pada kondisi percobaan. Perhitungannya dituliskan sebagai berikut : Aktifitas Selulase (Unit/ml) = mg glukosa x 1000 x Fp BM glukosa x ml sampel x 30 menit Keterangan :1 U = µmol gula produk (glukosa) per menit Aktifitas spesifik selulase = Aktifitas selulase (U/ mg protein) mg kadar protein
Aktifitas enzim selulase dan aktifitas spesifik enzim selulase enzim pada berbagai variasi konsentrasi onggok dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. PERCOBAAN 2: Fermentasi Menggunakan Onggok Dan Dedak
Substrat
Padat
Kadar Protein dalam filtrat fermentasi padat Hasil analisis kadar protein dalam diperlihatkan seperti pada Tabel 8.
filtrat
Tabel 8. Kadar protein filtrat kultur hasil pemerasan dari fermentasi substrat padat, menggunakan spektrofotometer dengan λ 750 nm. Kadar protein Filtrat kultur (µg/L) ratarataRataT TSC TBR rata rata rata 0,723 0,612 0,867 100 : 0 0,780 0,646 1,072 0,837 0,679 1,278 0,539 0,604 0,820 80:20 0,725 0,584 0,782 0,606 0,563 0,744 0,764 0,673 0,751 60:40 0,866 0,641 0,751 0,968 0,610 0,751 1,052 0,621 0,926 50:50 0,915 0,627 0,871 0,778 0,633 0,818 Keterangan :T = Trichoderma sp., TSC = Trichoderma sp. dan Saccharomyces galur SC, TBR = Trichoderma sp. dan Saccharomyces galur BR Media (onggok : dedak) (%)
Kadar Glukosa dalam filtrat fermentasi padat Hasil pengukuran kandungan glukosa dalam filtrat kultur media padat mengandung onggok dan dedak tercantum pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa kadar glukosa tertinggi sebesar 13,730 µg/L pada filtrat kultur Trichoderma sp.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
100
diperoleh pada media onggok ditambah dedak dengan perbandingan 50%:50%. Pada media ini jumlah onggok yang digunakan lebih sedikit dari pada media lainnya, namun menghasilkan kadar glukosa paling tinggi. Hal ini disebabkan karena media pertumbuhan yang baik menyebabkan proses perombakan selulosa dan pati menjadi glukosa berlangsung sempurna. Dengan demikian, sejalan dengan tingginya aktifitas enzim selulase pada komposisi media onggok dan dedak dengan perbandingan 50%:50%. Pada filtrat kultur campuran Trichoderma sp. dengan Saccharomyces galur SC, kandungan glukosa tertinggi sebesar 0,769µg/L diperoleh pada media onggok:dedak dengan perbandingan 80%:20%. Filtrat kultur campuran Trichoderma sp. dengan Saccharomyces galur BR tertinggi sebesar 1,749 µg/L pada media onggok 100%. Dengan demikian, penggunaan filtrat kultur tunggal dapat menghasilkan kadar glukosa yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan filtrat kultur campuran. Tabel 9. Kadar Glukosa ((µg/L) filtrat kultur dalam media padat Media (onggok :dedak) (%)
Kadar glukosa Filtrat kultur (µg/L) T
Ratarata
TSC
ratarata
TBR
ratarata
5,055 0,604 2,694 0,63 4,759 2,902 5 4,464 0,665 3,109 2,388 0.747 2,418 0,76 80:20 2,084 2,014 9 1,779 0,792 1,610 8,084 0,863 1,472 0,73 60:40 10,942 1,516 9 13,80 0,615 1,561 15,62 0,305 1,567 0,30 50:50 13,730 1,749 5 11,84 0,305 1,931 Keterangan : T = Trichoderma sp., TSC = Trichoderma sp. dan Saccharomyces galur SC TBR = Trichoderma sp. dan Saccharomyces galur BR. 100 : 0
Aktifitas enzim CMCase Dari hasil analisis aktifitas enzim, diperoleh hasil bahwa aktifitas enzim CMCase yang tertinggi dihasilkan dari fermentasi onggok dan dedak oleh filtrat kultur Trichoderma sp., seperti diperlihatkan dalam Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan pola yang sejajar antara aktifitas enzim CMC-ase dengan aktifitas spesifik, dimana aktifitas enzim CMC-ase yang tinggi memiliki aktifitas spesifik yang tinggi, begitu juga untuk aktifitas
enzim CMC-ase yang rendah memiliki aktifitas spesifik yang rendah. Aktifitas spesifik yang tertinggi pada filtrat kultur Trichoderma sp. diperoleh pada media onggok + dedak (50:50%) yaitu sebesar 0,099 U/mg. Tabel 11. Aktifitas enzim CMCase dari filtrat kultur hasil pemerasan fermentasi substrat padat dengan spektrofotometer dengan λ 550 nm. Media (onggok :dedak) (%)
Aktifitas enzim (U/mL) dalam filtrat kultur
Aktifitas spesifik (U/mg) dalam filtrat kultur
T
TSC
TBR
T
TSC
TBR
100 : 0
25,615
12,685
63,442
0,031
0,019
0,061
80:20
43,218
9,744
29,538
0,076
0,016
0,038
60:40
54,885
19,206
17,018
0,061
0,059
0,022
50:50
91,507
11,178
15,082
0,099
0,018
0,017
Keterangan: T = Trichoderma sp., TSC = Trichoderma sp. + Saccharomyces galur SC, TBR= Trichoderma sp. + Saccharomyces galur BR
Hasil fermentasi menggunakan kultur Trichoderma sp. Yang menunjukkan aktifitas enzim selulase tertinggi yaitu pada media onggok dan dedak dengan perbandingan 50%:50%. Hal ini disebabkan karena perbandingan jumlah onggok dan dedak yang seimbang dalam media fermentasi mampu membuat kondisi media cukup poros, sehingga Trichoderma sp. dapat tumbuh dengan baik dan mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dalam media untuk merombak selulosa menjadi glukosa. Fermentasi dengan kultur campuran menghasilkan aktifitas enzim selulase yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan inokulasi kultur tunggal. Aktifitas enzim selulase pada fermentasi dengan menggunakan kultur (Trichoderma + Saccharomyces galur SC) yang tertinggi sebesar 0,059 U/mg pada media onggok:dedak (60:40%) dan aktifitas CMCase spesifik pada fermentasi dengan kombinasi Trichoderma + Saccharomyces galur BR mencapai nilai tertinggi sebesar 0,061 pada media onggok (100%). Rendahnya aktifitas pada fermentasi dengan menggunakan kultur campuran kemungkinan karena terjadi kompetisi antara Trichoderma sp dengan Saccharomyces, sehingga menyebabkan aktifitas enzim selulase menjadi rendah.
KESIMPULAN Konsentrasi onggok 10% dalam media fermentasi cair merupakan konsentrasi substrat yang optimum untuk pertumbuhan kapang Trichoderma sp., sehingga mampu menghasilkan kadar protein, glukosa dan aktifitas enzim karboksimetilselulase yang tertinggi. Kapang Trichoderma sp. Galur T1 lebih unggul dibandingkan galur T2 dan T3. Galur T1 menunjukkan kadar protein, glukosa dan aktifitas enzim selulase
tertinggi berturut-turut sebagai berikut 0,821; 28,036 dan 239,311 U/ml. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi onggok dalam medium cair dan penggunaan tiga galur Trichoderma sp. yang berbeda, menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein, kadar glukosa dan aktifitas enzim selulase. Pada fermentasi substrat padat, menunjukkan aktifitas enzim CMCase spesifik yang tertinggi sebesar 0,099
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
101
U/mg protein. Hasil ini diperoleh dengan menggunakan kultur tunggal, yaitu kapang Trichoderma sp. pada
media dengan perbandingan onggok : dedak 50% : 50%.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Prof. I. N. K. Kabinawa atas fasilitas laboratorium yang diberikan, Ibu Dr. Suryani, Jurusan Biokimia-FMIPA IPB, yang telah memberikan saran-saran selama penelitian berlangsung. Terima kasih
kepada Dr. Suciatmih dan Dra. Atit Kanti, MSc. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, atas ijin penggunaan isolat kapang, dan juga kepada Sdri. Derita yang tergabung dalam kelompok ini.
DAFTAR PUSTAKA Bradford MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of protein Utilizing The principle of Protein-dye-binding. Analytical Biochemistry. 72: 248254. Chitradon L, Poonpairoj P, Wungkobkiat A & Kanlayakrit W. 1997. Enhancement of Cassava Starch Utilization by Enzymens with Cassava Waste. Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol 20: 361369 Copeland RA. 1994. Metods for protein analysis: a practical guide to laboratory protocols. London: Chapman & Hall pp. 43-45. Gong C & Tsao GT. 1974. Cellulase & Biosynthesis Regulation. Annual Reports on Fermentation Processes. Vol. 3. Academic Press. Inc. London Kader J, Senafi S & Omar O. 1997. Stabilisation of Cellulase Activity by Addition of Metal Ions. Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol. 20: 320-324 Kusmiati, Ekawati F & Widyastuti Y. 2000. Aktivitas CMCase bakteri selulolitik yang berasal dari sumber air panas. Proseding seminar “Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III” 7-9 Maret 2000, Puslitbang Bioteknologi-LIPI, Cibinong. Lynd LR, Weimer PJ, Vanzyl WH & Pretorius IS. 2002. Microbial cellulose utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiology and molecular Biology Review Vol 66(3): 506-577. Mandels M, Andreotti RE & Roche C. 1976. Measurment of Saccharifting Cellulase. Biotechnology Bioenginering. Symp. 6: 2133.
Miller GL. 1959. Use of Dinitrosalisylic and Reagent for The Determination of Reducing Sugars. Analytical Chemistry. 31: 426428 Nisizawa T, Suzuki H & Niasizawa K. 1972. Catabolite Repression of Cellulase Formation in Trichoderma viride. J. Biochem. 71: 9991007. Sasazaki H, Lumyong SY, Higashiyama T, Suto M, Yokota A & Tomita F. 1997. Screening of bacteria Having Ability to Produce in Thailand and Japan : Part-2 Taxonomic Study and Optimization of Cellulose Production. . Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol. 20: 848-852 Sitorus F. 1987. Masalah & Potensis Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tapioka di Lampung. Tesis. Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan. Fak. Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Takada G, Kawaguchi T, Sumitami J & M Arai. Expression of Aspergillus aculeatus Cellobiohydrolase (cbhI) and β-Glucosidase (bgl I) Genes by Saccharomyces cerevisiae. Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol. 20: 270-274. Yantyati W, Kusmiati, S. Ratnakomala, E.Utarti & T. Purwadaria. 2001. Cellulolytic and Hemicellulolytic activity of thermofilic bacteria to degrade agricultural waste. Biotechnology for sustainable utilization of Bioresources in the tropics. International Center for Biotechnology. Osaka University. Osaka Vol 15.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
102
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI IN VITRO DAN MIKRO FERTILISASI UNTUK PRODUKSI BIBIT UNGGUL Nanik Rahmani, Ines Irene Caterine Atmosukarto, Yulnawati, Wulansih Dwi Astuti, dan Nova Dila Yanthi Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian yang meliputi preservasi sperma pada suhu -30ºC dan suhu ruang dan mikro-fertilisasi dengan sperma segar, sperma beku, maupun sperma mati. Penelitian ini bertujuan untuk penguasaan teknik preservasi sperma pada suhu -30ºC dan suhu ruang serta penguasaan mikro-fertilisasi dengan sperma segar, sperma beku, maupun sperma mati. Pada tahun pertama ini difokuskan pada penguasaan teknologi mikro-fertilisasi dengan uji coba penguasaan teknik tersebut pada hewan mencit strain DDY. Dari kegiatan ini diperoleh hasil : (1) Produksi sperma beku mencit tanpa krioprotektan sebanyak 46 tube disimpan dalam -30oC, 40 straw disimpan dalam nitrogen cair dan 50 vial sperma kering beku mencit disimpan dalam suhu ruang (2) Sperma beku kerbau belang telah berhasil diproduksi sebanyak 250 straw dari lima kali penampungan. (3) Kegiatan ICSI sudah mulai dilaksanakan tapi masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Pada tahap pertama dilakukan penguasaan teknik pembuatan injection pippete dan holding pippete. Hasil uji coba ditemukan ukuran pipet yang sesuai untuk melakukan ICSI pada mencit yaitu diameter 10 µm dengan pembesaran mikroskop 100X dengan sudut kemiringan 10 derajad. Untuk selanjutnya masih perlu dilakukan penguasaan teknik mikro-fertilisasi untuk mendapatkan hasil ICSI berupa embrio mencit tahap morula dan blastosis.
Kata kunci: Spermatozoa, ICSI, Mencit, Kerbau PENDAHULUAN Pembangunan subsektor Peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian yang secara umum berbasis pada proses biologis. Dalam menghadapi persaingan global, kebijakan pembangunan peternakan dalam negeri tidak akan terlepas dari upaya peningkatan produktivitas dan daya saing, untuk mencukupi kebutuhan produk peternakan khususnya daging dan susu yang semakin tinggi. Hingga saat ini produksi daging dan susu dalam negeri belum mampu mengimbangi permintaan, bahkan ada kecenderungan terjadinya penurunan jumlah populasi ternak. Beberapa isu penting pembangunan peternakan saat ini adalah: (1) ancaman penurunan populasi beberapa ternak besar penting (sapi dan kerbau), (2) ancaman membanjirnya produk impor peternakan, (3) ancaman punahnya plasma nutfah ternak tropis, (4) penurunan mutu/kualitas bibit ternak, (5) ketersediaan pakan ternak berkualitas sepanjang tahun, dan (6) kesejahteraan petani/peternak yang masih rendah Berbagai program pengembangan yang telah dilakukan selama ini masih perlu ditingkatkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam pengembangan produktivitas ternak adalah aspek reproduksi. Aplikasi bioteknologi reproduksi telah lama diterapkan untuk membantu mengatasi peramalasahan peternakan di Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan berbagai teknik untuk membantu kemampuan reproduksi seperti pematangan sel telur secara in vitro (IVM), pembuahan in vitro (IVF) dan kultur embrio in vitro (IVC) akan sangat berperan dalam mempertahankan dan mengatur populasi ternak secara alami (Wildt et al., 1992). Sejalan dengan kemajuan teknologi, pada saat ini
spermatozoa dapat digunakan untuk IVF tanpa memperhatikan motilitasnya, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan untuk memanfaatkan material genetik ternak yang mati atau yang divasektomi karena alasan medis. Jika motilitas sperma tidak lagi menjadi faktor dalam pembuahan normal, maka penggunaan spermatozoa yang dikoleksi dan dibekukan tanpa krioprotektan menjadi sangat mungkin. Dengan bantuan teknologi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) spermatozoa yang dibekukan dengan cara yang mudah dan murah tadi dapat digunakan untuk menfertilisasi sel telur. Dengan demikian, teknologi ini akan lebih memudahkan upaya pelestarian hewan-hewan yang terancam punah. ICSI pada sel telur mamalia pertama kali dilakukan oleh Uehara dan Yanagimachi (1976). Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa sperma manusia yang dibekukan dalam media isotonik tanpa krioprotektan mampu terdekondensasi dan membentuk pronukleus setelah disuntikkan ke dalam sel telur. Hal ini menandakan bahwa inti sperma sangat stabil. Kuretake et al. (1996) menyatakan bahwa integritas genetik sperma mencit dan isolasi kepala sperma dapat terpelihara baik setelah dibekukan dan dithawing dalam media yang mengandung gliserol dan terbukti dengan lahirnya anak mencit normal setelah mentransfer embrio hasil ICSI, baik dengan sperma utuh maupun hanya dengan kepala sperma saja. ICSI dengan spermatozoa beku tanpa krioprotektan juga menghasilkan anak mencit normal (Wakayama et al., 1998). Keberhasilan yang serupa juga terjadi pada tikus (Hirabayashi et al., 2002; S. Said et al., 2003).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
103
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian 2003, diproyeksikan bahwa pada tahun 2015, konsumsi daging nasional masyarakat Indonesia 2,21 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi konsumsi tersebut dibutuhkan 560.456 ton daging sedangkan kemampuan produksi hanya sekitar 226.883 ton, sehingga masih kekurangan 333.573 ton daging. Sedangkan untuk produksi susu nasional pada tahun 2015 diproyeksikan konsumsi susu nasional 6,50 kg/kapita tahun, untuk itu dubutuhkan 1.648,40 ton susu, dimana kemampuan produksi hanya sebesar 607.187 ton sehingga masih kekurangan 1.041,213 ton. Mencermati hal tersebut, perlu suatu terobosan teknologi yang secara signifikan mampu meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak potong dan perah di Indonesia. Teknologi in vitro dan mikro-fertilisasi telah
terbukti mampu memanfaatkan sel telur dari rumah potong hewan untuk dijadikan embrio dan dan dengan bantuan teknologi transfer embrio, ditransfer ke dalam rahim untuk selanjutnya dilahirkan. Lebih lanjut bahwa teknologi mikro fertilisasi atau ICSI mampu memfertilisasi sel telur tanpa memperhatikan motilitas spermatozoa. Dengan demikian, melalui teknologi tersebut diharapkan mampu memproduksi ternak dalam jumlah massal dengan mutu genetik yang unggul, serta mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah kekurangan produksi daging dan susu di Indonesia. Penelitian dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ternak, Bidang Biologi Sel dan Jaringan, kandang hewan Kebun Plasma Nutfah Cibinong, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, dan Laboratorium Histologi FKH-IPB
BAHAN DAN CARA KERJA Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun pertama meliputi: 1. Uji coba mikromanipulator: penguasaan teknik pembuatan injection pippete dan holding pippete. 2. Breeding mencit 3. Produksi spermatozoa mencit beku tanpa krioprotektan dan spermatozoa kering beku. a. Preparasi spermatozoa mencit jantan strain DDY usia dua bulan dari 12 ekor pejantan. b. Mencit dibedah dan diambil testis dan cauda epididimisnya. c. Cauda epididimis dirobek dalam media NaCl fisiologis dan MilliQ. d. Koleksi spermatozoa dilakukan dengan mengambil spermatozoa dari cauda epididimis dalam media MilliQ dan NaCL fisiologis. e. Evaluasi kualitas terhadap spermatozoa hasil koleksi. f. Selanjutnya sebagian spermatozoa dikriopreservasi dengan pembekuan dalam air milli-Q dan NaCl fisiologis masing-masing 150 µl ke dalam tube eppendorf 0,5 ml; 250 µl ke dalam Straw dan disimpan pada suhu -20oC g. Sebagian spermatozoa yang lain dibekukan dengan teknik kering beku, sebanyak 100µl sampel spermatozoa dimasukkan ke dalam tabung liofilisasi. Selanjutnya direndam dalam N2 cair dan
di freeze dry dengan liofilisasi selama semalam/on night dan disimpan dalam suhu ruang. 4. Produksi spermatozoa beku kerbau belang a. Spermatozoa ditampung dengan menggunakan vagina buatan. b. Evaluasi makrokospis dan mikrokospis terhadap spermatozoa hasil penampungan c. Pembekuan sampel spermatozoa d. Thawing spermatozoa hasil pembekuan 5. ICSI pada mencit a. Preparasi Oosit mencit betina strain DDY umur dua bulan - Oosit dikoleksi setiap kali ICSI dari tiga ekor betina. - Penyuntikan PMSG pada hari ke nol. - Dua hari kemudian disuntik dengan HCG. - Pada hari ketiga dilakukan pembedahan, oosit dikoleksi dari oviduct. - Dilakukan evaluasi oosit - Oosit siap untuk ICSI b. ICSI pada mencit - ICSI dilakukan dengan sampel spermatozoa (milliQ) - Sampel spermatozoa tanpa krioprotektan di thawing, kemudian dicuci dengan sentrifugasi pada 1800 rpm, 28oC selama 10 menit. Pencucian dilakukan sebanyak 2 kali. - Evaluasi sel spermatozoa - Sel spermatozoa siap untuk ICSI
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji coba mikromanipulator Pada penelitian tahap pertama ini dilakukan persiapan alat mikromanipulator, yang meliputi penguasaan teknik pembuatan injection pippete untuk injeksi sel spermatozoa ke dalam sel telur dan holding
pipet untuk menghandle sel telur ketika proses ICSI berlangsung. Dari hasil uji coba ditemukan ukuran pipet yang sesuai untuk melakukan ICSI pada mencit yaitu diameter 10 µm dengan pembesaran mikroskop 100X dengan sudut kemiringan 10o.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
104
2. Breeding mencit Breeding mencit dilakukan dengan mengawinkan mencit jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin dan dalam umur produktif yaitu sekitar dua-tiga bulan. Dari kegiatan ini telah diperoleh stock mencit jantan sebagai sumber spermatozoa dan betina sebagai sumber oosit untuk digunakan sebagai sampel dalam melakukan kegiatan ICSI selanjutnya. 3. Produksi Spermatozoa Mencit Preparasi spermatozoa dilakukan dengan menggunakan 12 ekor mencit jantan strain DDY umur dua bulan. Diperoleh sampel spermatozoa untuk donor ICSI sebanyak 140 sampel, masing-masing disimpan dalam tube eppendorf suhu -30oC, straw -196oC dan vial suhu ruang. Data hasil produksi spermatozoa mencit dapat dilihat pada Tabel 1.
diperoleh data kualitas yang masih cukup bagus dan masih memenuhi perasyaratan untuk digunakan sebagai donor sperma IB. Tabel 3. Kualitas semen beku kerbau belang hasil thawing. Parameter yang diamati Motilitas (%) Sel sperma hidup (%) Abnormalitas sperma(%) Membran Plasma Utuh/MPU (%)
Hasil 43,33 ± 2,58 86,72 ± 4,54 12,175 ± 1,12 62,72 ± 2,02
5. ICSI pada Mencit Proses ICSI pada mencit yang meliputi aspirasi spermatozoa dan injeksi spermatozoa ke dalam oosit dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1. Data Produksi Spermatozoa Mencit Beku dan Freeze Dry untuk ICSI No.
Media
Metode Tube
1.
MilliQ
2.
NaCl Fisiologis
3.
MilliQ
4.
NaCl Fisiologis
Pembekuan tanpa krioprotektan Pembekuan tanpa krioprotektan Kering beku/Freeze dry Kering beku/Freeze dry
23 23
Jumlah Sampel Straw Tabung Liofilisasi 20 20
-
-
25
-
25
4. Produksi Spermatozoa Beku Kerbau Belang Data kualitas semen segar kerbau belang dari lima kali penampungan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas semen segar kerbau belang hasil evaluasi makroskopis dan mikroskopis. Parameter yang diamati Volume (ml) Warna Konsistensi pH Motilitas (%) Gerakan massa Konsentrasi (x 106) Sel sperma hidup (%) Abnormalitas sperma(%) Membran Plasma Utuh/MPU (%)
Rataan 1,2 ± 0,5 Putih susu – krem encer – kental 7,4 ± 0,5 74,0 ± 5,8 ++(+) 1461,89 ± 821 79,88 ± 9,9 12,68 ± 1,5 76,90 ± 14,8
Berdasarkan data hasil evaluasi kualitas semen segar kerbau belang diatas menunjukkan bahwa kualiats semen segar masih dalam kisaran normal dan bisa dibekukan untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai donor untuk IB. Sedangkan data kualitas semen beku kerbau belang hasil thawing dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan data hasil thawing terhadap spermatozoa kerbau belang dari lima kali pembekuan
Gambar 1. Proses ICSI pada Mencit Uji coba ICSI telah dilakukan sebanyak lima kali, masing-masing dengan sampel tiga ekor mencit betina. Sel telur dikoleksi setelah dilakukan superovulasi. Dari tiga ekor mencit, yang berhasil respon dua ekor dan jumlah sel telur yang berhasil dikoleksi rata-rata 55 oosit. Sel telur hasil koleksi, selanjutnya diinkubasi selama satu jam dalam inkubator, 5% CO2. Kira-kira sebanyak 80% muncul polar body dan siap untuk diICSI. Hasil ICSI menunjukkan hanya sekitar 5-10 ekor sel telur yang survive/tidak rusak. Akan tetapi sel telur tersebut belum bisa berkembang sampai tahap morula dan blastosis. Data hasil uji coba ICSI pada mencit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Penguasaan Teknik ICSI No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah Sel telur 50 50 60 65 60
ICSI 40 45 50 58 56
Kondisi Sel Telur setelah ICSI Normal Abnormal 40 45 5 45 10 48 10 46
Hambatan yang dihadapi selama ini meliputi : - Masih kotornya lensa mikroskop, sehingga diperlukan service. - Meja mikromanipulator sering bergetar ketika proses ICSI berlangsung, sehingga menyulitkan pelaksanaan ICSI. Sebaiknya meja mikromanipulator dibuat dari bahan beton. - Tidak tersedianya alat piezzo mikro injeksi, sehingga ICSI dilakukan secara manual.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
105
KESIMPULAN Telah dilakukan koleksi spermatozoa dalam berbagai kondisi yang akan dijadikan bahan untuk pelaksanaan ICSI. Pada tahun ini kegiatan ICSI sudah dilakukan, meski belum memperoleh hasil yang optimal. Hal itu disebabkan karena ada berbagai hambatan,
diantaranya ketidakadaan alat piezzo mikroinjeksi, sehingga proses ICSI dilakukan dengan teknik manual. Oleh karena itu, penelitian ini masih perlu diteruskan dalam upaya untuk penguasaan teknik tersebut.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Taryadi Rachmat, Bambang Otto Mudjianto, Suhandi, Mohamad Napis, Suryana, Mohamad Pahrudi, Rachmat Aminuddin, dan Nuryati, atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA Hirabayashi MM., Kato T, Aoto S, Sekimoto M, Ueda I, Miyoshi M, Kasai & Hochi S. 2002. Offspring derived from intracytoplasmic injection of transgenic rat sperm. Transgenic res 11: 21- 228. Kuretake S, Kimura Y, Hoshi K & Yanagimachi R. 1996. Fertilization and development of mouse oocytes injected with isolated sperm heads. Biol Reprod 55: 789-795 Said S, Han MS & Niwa K. 2003. Development of rat oocytes following intracytoplasmic sperm injection of sperm heads isolated from testicular and epididymal spermatozoa. Theriogenology 60: 359-369.
Uehara T & Yanagimachi R. 1976. Microsurgical injection of spermatozoa into hamster eggs with subsequent transformation of sperm nuclei into male pronuclei. Biol Reprod 15: 467-470. Wakayama T, Whittingham DG & Yanagimachi R. 1998. Production of normal offspring from mouse oocytes injected with spermatozoa cryopreserved with or without cryoprotection. J Reprod Fertil 112: 11-17. Wildt DE, Monfort SL, Donoghhue AM, Johnston LA & Howard J. 1992. Embryogenesis in conservation biology or how to make an endagered species embryo. Theriogenology 37: 161-184.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
106
PENGEMBANGAN KEBUN KOLEKSI PLASMA NUTFAH DI CSC CIBINONG Tatang Kuswara, Nurul Sumiasri dan Yani Cahyani Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Jalan Raya Bogor Km.46. Cibinong 16911
ABSTRAK Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan Puslit Bioteknologi Cibinong adalah Kebun koleksi buah-buahan terpilih, talas, ubi kayu, pisang, dan tanaman khusus seperti jarak pagar. Secara struktural, kebun plasma nutfah berada di bawah Bidang Sarana Penelitian, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Didalamnya terdapat koleksi buah-buahan yang terdiri dari 2.250 nomor (108 kultivar) dan beberapa koleksi lain, diantaranya ubi kayu (360 nomor, 120 genotipe), talas (308 nomor), 38 kultivar koleksi pisang, dan 43 nomor koleksi jarak pagar. Keberadaan koleksi buah – buahan dan koleksi lainnya belum dimanfaatkan secara optimal, padahal potensi untuk dapat dikembangkan sebagai sumber daya genetik untuk penelitian dan pemuliaan tanaman sangat memungkinkan. Mengingat keanekaragaman koleksi yang dimiliki, dengan adanya program pengembangan ini dengan dukungan dana yang cukup, potensi yang ada dapat ditingkatkan. Diharapkan kebun plasma nutfah dapat menjadi salah satu pusat pengembangan tanaman buah – buahan unggul lokal dan jenis lainnya. Disamping penambahan koleksi kultivar buah-buahan unggul baru dan tanaman lainnya juga perlu dilakukan agar dapat menambah jumlah kultivar maupun spesimennya.
Kata kunci : Plasma Nutfah, buah-buahan, kultivar unggul, tumbuhan langka PENDAHULUAN Kebun Koleksi Plasma Nutfah Cibinong mempunyai koleksi buah-buahan sebanyak 2.250 nomor, yang terdiri dari 15 jenis dan 108 kultivar yang merupakan tanaman buah-buahan terpilih dari Indonesia dan introduksi, seperti : durian, rambutan, belimbing, sawo, mangga, jambu air, sirsak, manggis, jeruk, matoa, dan lain-lain. Disamping koleksi buah-buahan, terdapat juga koleksi ubi kayu sebanyak 360 nomor, terdiri dari 120 genotipe; koleksi talas sebanyak 308 nomor, terdiri dari 182 genotipe; koleksi pisang sebanyak 38 kultivar, serta tanaman jarak pagar sebanyak 43 nomor koleksi. Tujuan pengembangan koleksi dan pelestarian plasma nutfah tersebut adalah: (1) Menyediakan material penelitian untuk keperluan intern yang siap setiap saat apabila diperlukan; (2) Menyediakan material hidup bagi instansi lain maupun perorangan untuk keperluan penelitian, pendidikan, pengembangan dan diseminasi; (3) Berperan serta secara aktif dalam usaha nyata pelestarian plasma nutfah buah-buahan; (4) Merintis usaha pemuliaan tanaman buah-buahan, dan (5) Menggali sumber pangan alternatif selain beras untuk menunjang ketahanan pangan di Indonesia juga untuk keperluan industri. Keberadaan Kebun Plasma Nutfah tersebut telah menghasilkan beberapa kerjasama penelitian, antara lain, (a) Penelitian ubi kayu dengan Departemen Pertanian (Balitbio, Balitkabi, Dinas-Dinas Pertanian), Departement of Plant Breeding, WAU, Belanda dalam proyek BIORIN, dan (b) Pengembangan varietas unggul lokal talas dengan Pemda Kabupaten Bogor dan kabupaten Wonogiri. Melihat fungsi dan peran kebun plasma nutfah Cibinong yang cukup penting ini, usaha untuk memberdayakan dan mengembangkannya sangat diperlukan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain
dengan melakukan intensifikasi, relokasi, rehabilitasi, penambahan koleksi serta peremajaannya. Berbagai kendala yang dihadapi saat ini adalah : (a) masih kurangnya tenaga harian lepas sebagai pemelihara koleksi akibat terbatasnya jumlah tenaga yang tersedia, (b) tidak berfungsinya pengamanan koleksi terutama pada saat musim buah karena sarana pengamanan, seperti pagar kondisinya sudah rusak, dan (c) belum tersedianya sarana pembibitan yang memadai, seperti lat-house dan rumah kaca untuk penyimpanan dan perbanyakan koleksi. Usaha untuk menjadikan kebun plasma nutfah di CSC Cibinong sebagai pusat pengembangan buahbuahan terpilih dan berpeluang ke arah pengembangan agrowisata, sebagai sumber material genetic, sebagai sumber pangan, maka sasaran pengembangannya diarahkan untuk : a) pembangunan sarana pengamanan berupa pemagaran, b) pengembangan sarana pembibitan, c) melakukan kegiatan koleksi bibit buah-buahan unggul dan tanaman lainnya, serta d) pembangunan laboratorium lapangan. Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan tahun kelima (2007) tentang pengembangan kebun plasma nutfah di CSC Cibinong. Pada tahun ini ada beberapa kegiatan, yaitu ; pemeliharaan dan penyulaman tanaman koleksi, penyediaan semai untuk batang bawah, perbanyakan tanaman secara vegetatif, rehabilitasi tanaman yang kerdil, penyulaman tanaman koleksi yang sudah mati dan pembanguunan laboratorium lapangan. Keberadaaan kebun plasma nutfah buah-buahan, yang memiliki 15 jenis, 108 kultivar dan 2.250 nomor, merupakan modal untuk mengembangkan kebun plasma nutfah. Buah-buahan yang dapat dikembangkan secara vegetatif dan mempunyai nilai komersial diantaranya : durian, rambutan, mangga, belimbing, sawo, jambu air,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
107
jambu bol, jambu biji, sirsak manggis, jeruk, jambu bol, dan lengkeng. Dikembangkan juga untuk pengadaan bibit talas unggul lokal (Bogor, Bantul dan Mentega) untuk memenuhi kebutuhan bibitnya, bekerja sama dengan Pemda Kab. Bogor dan Pemda Kab. Wonogiri. Dengan memperhatikan potensi dan peluang pasar yang cukup baik, adanya program ini dan di dukungan modal yang cukup, maka diharapkan di masa yang akan datang dapat menjadi sumber bibit buah-buahan dan bibit tanaman lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh para penangkar bibit maupun konsumen langsung. Kebun plasma nutfah dapat menjadi salah satu sumber informasi, pusat pengembangan bibit unggul yang bersertifikat. Pengembangan kebun plasma nuftah jarak pagar (Jatropha curcas) dirintis akhir tahun 2005. Saat ini telah dibangun 7500 m2 kebun koleksi percontohan jarak yang di dalamnya terdapat 43 nomor koleksi dari berbagai daerah di Indonesia (Jawa, Sumatera dan NTB). Potensi Jarak Pagar sangat menjanjikan sebagai sumber energi (biofuel)yang terbarukan dan merupakan proyek rintisan yang perlu dipertahankan keberadaanya terutama ikut serta dapat mendukung kebijakan pemerintah yang sedang menggalakkan sumber energi alternatif. Kebun koleksi Plasma Nuftah Cibinong
cukup kompeten jika ikut mengembangkan komoditas ini, terutama dalam usaha merintis pemuliaan bibit unggulnya. Penambahan koleksi perlu terus dilakukan dengan cara melakukan pencarian informasi mengenai sentrasentra sumber genetik tanaman yang ada di Indonesia. Dari koleksi yang ada upaya peremajaan perlu terus dilakukan, terutama pada tanaman yang pertumbuhannya kurang baik dan populasinya kurang dari 5 pohon. Melihat fungsi dan peran kebun plasma nutfah Cibinong yang cukup penting, usaha untuk mendayagunakan dan mengembangkannya sangat diperlukan. Upaya yang dapat dilakukan, antara lain rehabilitasi, relokasi, penanaman dan penambahan nomor koleksi/ kultivar baru dan mengintensifkan pemeliharaannya. Tujuan dari kegiatan ini adalah menyediakan material hidup tanaman unggul yang mempunyai sertifikat, sebagai sumber material genetic dan tempat pelatihan perbanyakan tanaman klon secara vegetatif. Sasaran dari kegiatan ini adalah menjadikan kebun plasma nutfah sebagai salah satu sumber bibit dan informasi tanaman unggul dan peluang ke arah industri serta pengembangan agrowisata.
BAHAN DAN CARA KERJA Pemeliharaan kebun koleksi plasma nutfah merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara rutin, seperti pemotongan rumput, penyiangan di sekitar batang pohon dan membersihkan tanaman dari benalu yang menempel pada ranting tanaman koleksi. Pemupukan dengan pupuk organik (kompos) dan pupuk anorganik diberikan 2 kali dalam setahun dengan dosis rata-rata 2 karung per pohon untuk pupuk organik, 1.5 kg per pohon untuk pupuk anorganik yang terdiri dari campuran urea, TSP dan KCl dengan perbandingan (2 :1 :1). Upaya peremajaan dan rehabilitasi tanaman koleksi di kebun plasma nutfah dilakukan secara vegetatif. Setiap kultivar yang pertumbuhannya kurang subur dilakukan peremajaan dengan cara okulasi dan cangkok. Penyulaman dilakukan kepada pohon koleksi yang
kurang dari 5 pohon tiap nomornya atau terhadap koleksi yang mati. Pembibitan diadakan dengan tujuan membuat duplikasi dan penambahan kultivar baru maupun penambahan volume pembibitan. Kebutuhan akan bibit tanaman buah-buahan, talas, jarak pagar dan tanaman lainnya, setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan apabila dikaitkan dengan program pemerintah dengan proyek lokal pemda proyek pengembangan energi alternatif dan proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Perjalanan koleksi dilakukan ke daerah-daerah yang menjadi sentra sumber genetik tanaman di Indonesia dengan maksud menambah dan melengkapi koleksi yang telah ada di kebun.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan vegetatif dengan okulasi, enten dan stek Perbanyakan tanaman secara vegetatif merupakan cara yang paling baik dan lazim dilakukan oleh para penangkar bibit buah-buahan, yaitu dengan memilih cara okulasi. Pada tahun 2007 salah satu kegiatan tolok ukur pengembangan kebun plasma nutfah adalah perbanyakan tanaman dengan cara okulasi dan enten. Sesuai dengan rencana kegiatan telah diperoleh hasil, diantaranya : durian 500 pohon, belimbing 500 pohon, jambu bol 300 pohon, secdling batang bawah lengkeng
dan dukuh masing-masing 5000 pohon, klon jarak pagar 34 nomor (masing –masing 100 pohon) dan talas bogor, bentul serta mentega (masing – masing 10.000 pohon dari anakannya). Pekerjaan okulasi dan enten memerlukan tenaga yang terampil terutama dalam memilih batang atas (entres), karena akan berpengaruh terhadap persentase tumbuh mata tempel/sambungan. Selain keterampilan dalam menempel ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti kebersihan pada saat mengerjakan,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
108
tempat harus terlindung/dibawah paranet, peralatan yang dipergunakan terutama pisau atau silet harus bersih. Apabila persyaratan di atas diperhatikan maka daya tumbuh/hasilnya bisa mencapai 70-80%. Kultivar-kultivar yang dikembangkan diantaranya adalah: kani, otong, petruk, sitokong, dan hepe. Kultivar-kultivar tersebut mempunyai keunggulan baik rasa, ukuran buah besar dan mempunyai adaptasi yang cukup tinggi. Perbanyakan belimbing dilakukan dengan cara enten (sambung pucuk) dengan menggunakan batang atas (entres) kultivar dewi kunyit, penang dan demak. Kultivar-kultivar tersebut lebih diminati oleh konsumen dan pedagang karena dapat berbuah lebih cepat, produksi tinggi dan rasanya lebih enak / manis dibandingkan dengan kultivar lainnya. Penyediaan seedling batang bawah untuk lengkeng dan duku dimaksudkan adalah untuk pengembangan lengkeng klon unggul dataran rendah (varietas pingpong dan golden red) dan seedling duku untuk penyelamatan varietas duku lokal asal Kudus (Jawa tengah). Perbanyakan bibit talas varietas unggul lokal (bogor bantul dan mentega) bekerjasama dengan petani binaan di Ciapus dan Dramaga seluas 4 hektar pengadaan bibitnya dari anakan telah selesai dilaksanakan. Begitu pula dengan penyediaan bibit talas untuk petani di kabupaten Wonogiri sebanyak 25.000 pohon diambil anakannya dari petani talas binaan di kabupaten Bogor. Perbanyakan bibit jarak pagar dilakukan dengan menyemai benihnya dari biji asal sapuan artinya asal biji itu bukan dari kebun induk benih yang digunakan untuk batang bawahnya. Telah dirintis seleksi pohon induk jarak pagar yang berpotensi sebagai klon unggul sebanyak 34 nomor koleksi. Klon-klon ini akan dipergunakan sebagai bahan batang atas perbanyakan vegetatif bibit unggul jarak pagar di kemudian hari. Pemeliharaan tanaman koleksi Pekerjaan pemeliharaan kebun koleksi dilakukan secara rutin yaitu pembabadan rumput, pemangkasan, pembersihan tanaman pengganggu dan penyiangan di sekitar tanaman koleksi. Pembabadan rumput dan gulma di sekitar kampus (koleksi HTI) dan kebun koleksi terus dilakukan sejak awal bulan Januari sampai dengan Desember 2007. Pekerjaan ini dilakukan terus menerus mengingat kondisi dan pertumbuhan rumput sangat cepat terutama pada musim hujan. Untuk pembabadan rumput di antara tanaman koleksi dan jalan-jalan pembatas antar tanaman koleksi sudah selesai dilaksanakan, sehingga jalan-jalan di antara tanaman koleksi maupun dalam kebun sudah terlihat batasbatasnya. Pemangkasan dilakukan pada jenis tanaman koleksi, seperti jambu air, rambutan, mangga, jambu bol dan belimbing. Sedangkan pembersihan dilakukan pada parasit/benalu yang menempel pada batang pohon. Benalu tersebut bermasalah dan sulit untuk dibersihkan
dengan tuntas, karena apabila tertinggal sedikit saja parasit tersebut akan tumbuh kembali dengan cepat. Sampai saat ini belum ditemukan cara yang efektif untuk menanggulangi parasit tersebut. Pekerjaan bobokor/penyiangan di antara pohon koleksi dilakukan sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Supaya lebih efisien pekerjaan tersebut dilakukan bersamaan dengan pemberian pestisida butiran dan pemupukan dengan menggunakan pupuk Urea, TSP dan KCl, perbandingan 2:1:1 dengan dosis 500 g/pohon. Pemupukan ini dilakukan pada awal musim hujan yang bertujuan agar merangsang pertumbuhan baru dan pembungaan. Pemupukan pertama dilakukan pada bulan Mei 2007 bersamaan dengan pemberian pupuk kandang, sedangkan pemupukan yang kedua dilakukan pada bulan Oktober 2007. Penanggulangan hama/penyakit secara rutin hanya dilakukan pada tanaman di pembibitan dan tanaman koleksi yang masih kecil. Penyemprotan dengan menggunakan pestisida (Ambush dan Supraside 60 EC) dengan dosis 20 cc/liter air dan fungisida (Dithane F 45) 25 g/liter air. Sedangkan untuk tanaman koleksi yang sudah dewasa menggunakan pestisida butiran (furadan) dosis 250 g/pohon yang diberikan dengan cara ditaburkan di sekeliling batang pohon dan dibenamkan dalam tanah/ditimbun. Karena pestisida tersebut bersifat sistemik, maka efektif untuk menanggulangi serangan dari ulat daun dan penggerek batang, terutama pada tanaman mangga. Penanaman tanaman koleksi baru dan penyulaman Penanaman tanaman koleksi baru sebanyak 31 pohon dan penyulaman tanaman koleksi yang mati sebanyak 16 pohon dilakukan pada bulan Oktober 2007. Adapun jenis-jenis dan varietas-varietas yang ditanam itu dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan tanaman yang di sulam pada bulan Oktober 2007 adalah durian varietas otong sebanyak 3 pohon, kani sebanyak 2 pohon dan tokong sebanyak 3 pohon. Tabel 1. Daftar nama jenis dan varietas tanaman koleksi baru yang ditanam pada bulan Oktober 2007 Jenis Pisang Dukuh Jambu biji Jumlah (3 Jenis)
Varietas
Asal
Susu dan lilin komering, kepayang, dan madu Getas merah dan getas putih 7 varietas
Papua Ogan Komering Ulu (Sumsel) Bekasi (Jabar)
Jumlah (pohon) 6 15 10 31
Pengumpulan data morfologi varietas belimbing Sebagai rintisan awal untuk pengumpulan data morfologi buah dari berbagai jenis buah-buahan di kebun koleksi telah diusahakan pemagaran dan pengamanan secara intensif koleksi varietas belimbing
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
109
yang ada di lapangan. Kendala terbesar saat ini yang dihadapi adalah pengamanan hasil buah yang selalu hilang sebelum masak sehingga pengamatan dan pengumpulan data morfologinya selalu nihil. Pengaman dengan membuat pagar sementara tiap-tiap plot cukup baik tapi sangat menyita waktu dan biaya.
Data awal yang terkumpul dari pengamatan lapangan 4 varietas belimbing dari 7 varietas yang ada di kebun (penang, dewi, malaya, rawasari, bangkok, sembiring, dan demak) dapat dilihat pada Tabel 2. Contoh beberapa varietas belimbing tertera pada Gambar 1.
Tabel 2. Rata-rata ukuran buah 4 kultivar belimbing di kebun Plasma Nuftah Cibinong, Bogor 2007 No
Nama varietas Penang Dewi
Berat (gram) 145,20 211,20
Diameter (cm) 69,90 74,60
Panjang (cm) 12,40 11,52
1 2 3 4
Sembiring Demak
152,20 196,00
68,59 68,47
11,62 11,32
Warna Kuning Kuning tembaga Kuning muda Kuning muda
Jumlah bintang 5 5
Rasa Manis Manis
5 5
Manis Manis
Melihat data morfologi buah dan potensi pasar buah belimbing yang telah dilakukan selama ini maka varietas belimbing dewi adalah yang terbaik untuk dipromosikan sebagai varietas belimbing unggulan. Varietas belimbing ini mempunyai rasa manis, penampilan warnanya kuning tembaga (Gamabar 2), daging buah tebal dan potensi buahnya tinggi, serta ketahanan terhadap hama/penyakit cukup baik bila dibandingkan dengan varietas lainnya.
Gambar 2. Close up buah belimbing varietas dewi
Gambar 1. Dari kiri ke kanan : buah belimbing varietas dewi, penang, sembiring, demak Tiga varietas belimbing yang belum berbuah yaitu, rawasari, bangkok, dan malaya datanya belum terkumpul, diharapkan tahun 2008 dapat berbuah, sehingga dapat dilakukan uji banding. Dari pengalaman di atas dapat disimpulkan bahwa kendala terbesar yang dihadapi di kebun koleksi plasma nuftah buah-buahan adalah pengamanan produksi buah. Dapat dibayangkan bahwa promosi untuk varietas durian, rambutan, advokat, nangka, sirsak, jeruk, kemang, matoa, dan lainlain yang siap/mampu berbuah dan seleksi varietasvarietasnya yang terbaik sudah dapat dilakukan. Pagar kebun sebagai pengamannya tidak/sulit untuk dibangun karena ketiadaan dana.
Kegiatan lain Pembangunan gedung laboratorium kebun seluas ± 200 m2 telah selesai dilakukan untuk menunjang kegiatan lapangan antara lain untuk penyimpanan bahan dan alat, gudang pupuk, kantor penelitian lapangan, dll. Penataan taman kampus, pemeliharaan kebersihannya, rehabilitasi tambak kolam dan penataan kontur lahan lingkungannya telah menyita tenaga dan modal juga. Rehabilitasi tambak kolam yang bocor memerlukan 2000 karung tanah untuk supaya kolam tetap tergenang. Telah dibangun pula kebun bibit seluas 5000 m2 untuk pengembangan bibit jarak pagar, bibit buahbuahan dan bibit. Bimbingan Praktek Kerja Lapangan (PKL) jurusan budidaya pertanian sebanyak 10 orang, jurusan peternakan sebanyak 10 orang dan jurusan teknologi hasil pertanian sebanyak 5 orang telah selesai dilaksanakan. Kunjungan anak-anak sekolah (TK dan SD) dan kegiatan komersil kebun bekerja sama dengan Koperasi Pegawai Biotek-LIPI berhasil di akomodasi dengan baik.
KESIMPULAN Dari beberapa kegiatan yang telah dikerjakan di kebun Plasma Nutfah pada tahun 2007, menunjukkan
hasil cukup baik, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan masih dapat ditingkatkan keadaannya
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
110
sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa kegiatan seperti pembibitan dengan perbanyakan tanaman secara vegetatif, pemeliharaan kebun dan tanaman koleksi, penanaman koleksi baru, penyulaman, pembangunan fasilitas pembibitan dan laboratorium lapangan, kegiatan pendidikan dan kunjungan pelajar, serta kegiatan-kegiatan komersil kebun bekerja sama dengan Koperasi Pegawai BiotekLIPI. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat menambah jumlah koleksi tanaman maupun volumenya.
Jenis-jenis tanaman yang terdapat di pembibitan, diantaranya durian, belimbing, jambu bol, duku, lengkeng dan tanaman jarak pagar. Perawatan belimbing secara intensif dapat memberikan hasil yang positif terutama untuk kegiatan seleksi varietas-varietas yang paling baik (unggul) di antara yang lainnya. Dengan cara menjaga hasil pasca panennya sesuai dengan tugas pokok kebun koleksi Plasma Nuftah akan terjamin. Pemeliharaan kebun koleksi secara teratur menjadikan kebun koleksi terawat kebersihan dan kesehatannya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Sdr. T. Sudarna, Nanang T. Rustama, M. Sajam, Oceng, Lasimur, Aan, Haerudin, T. Sumardiman, Moh. Atu, dan Yaya S. yang
telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan kebun plasma nutfah.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2007
111