LAPORAN TEKNIK
KEGIATAN PENELITIAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI
DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN 2008
EDITOR: Adi Santoso Dwi Susilaningsih Edy Bambang Prasetyo Puspita Lisdiyanti Satya Nugroho Syahruddin Said Tri Muji Ermayanti
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI CIBINONG 2009
KATA PENGANTAR Laporan Teknik Kegiatan Penelitian Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun Anggaran 2008 merupakan kumpulan hasil kegiatan penelitian yang dibiayai dari dana APBN yang tercantum pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang diterima oleh Puslit Bioteknologi LIPI. Selain sebagai bagian dari pertanggungjawaban administrasi, laporan ini dapat digunakan pula sebagai tolok ukur keberhasilan tiap kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian yang dilakukan dalam periode tahun anggaran 2008 mencakup 9 tolok ukur dengan judul-judul seperti di bawah ini. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Judul Pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (BCH) "Biosafety Clearing House" Pemeliharaan Informasi Bioteknologi dan Peningkatan Jaringan Komputer Pengembangan Koleksi Kebun Plasma Nutfah di Cibinong Science Centre Animal Husbandary Technology and Practices Improvment to Accelerate Meat and Milk Production Aplikasi Teknologi DNA untuk Ketahanan terhadap Hama Penggerek Batang serta Pengujian Keamanan Hayati Biopropeksi Aktinomisetes Indigenus Indonesia untuk Pencarian Senyawa Bioaktif sebagai Antibakteri Penataan Koleksi, Pengembangan, dan Konservasi Plasma Nutfah secara In Vitro Peningkatan Ekspresi Heterologus dan Produksi HumanErythropoetin Rekombinan pada Yeast Pichia Pastoris Penapisan terhadap Enzim Selulase dan Xylanase melalui Pengkayaan Kultur dan Pendekatan Metagenomik
Bidang Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Biologi Molekuler Biologi Sel dan Jaringan Biologi Sel dan Jaringan Bioproses Bioproses
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan HayatiLIPI, para Kepala Bidang dan Bagian, Tim PME 2008 Puslit Bioteknologi LIPI, para peneliti, dan staf administrasi yang telah terlibat baik dalam kegiatan penelitian, administrasi, monitoring, evaluasi hasil penelitian maupun dalam penyusunan laporan kegiatan penelitiannya. Selain itu, saya juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penyunting yang telah mengkaji, mengoreksi dan melakukan perbaikan keseluruhan terhadap laporan hasil penelitian sehingga layak untuk diterbitkan dalam bentuk Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008.
Cibinong, Februari 2009 Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Prof. Dr. Ir. Bambang Prasetya NIP. 320004911
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
3
DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................................................. 3 Daftar Isi ............................................................................................................................................................ 4 Aplikasi Teknologi DNA Untuk Ketahanan Terhadap Hama Penggerek Batang Padi Serta Uji Keamanan Lingkungan .................................................................................................... 5 Seleksi Tanaman Unggul Menggunakan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)....................... 11 Koleksi Kultur Galur-galur Bakteri Bacillus thuringiensis Potensial Pembunuh Serangga dan Pembuatan Pustaka Gen-gen Penyandi Protein Toksiknya ................................................................................. 18 Ekspresi Gen pdc Penyandi Enzim Pyruvate Decarboxylase pada Lactobacillus pentosus untuk Produksi Etanol ................................................................................................................................................... 32 Penataan Koleksi, Pengembangan dan Konservasi Plasma Nutfah Tumbuhan secara In Vitro .......................... 40 Inventarisasi dan Preservasi In Vitro Koleksi Plasma Nutfah Tanaman .............................................................. 49 Pengembangan dan Pelestarian Plasma Nutfah Rambutan dan Belimbing Terpilih: Seleksi Klon Unggul dan Perbaikan Sifatnya .................................................................................................................. 54 Bioprospeksi Actinomycetes Indigenus Indonesia Untuk Pencarian Senyawa Bioaktif Sebagai Antibakteri, Antifungi, dan Antioksidan ............................................................................................................. 58 Uji Ekspresi Protein Rekombinan J-Tat Sistem pET .......................................................................................... 66 Pengembangan Teknologi Mikro-Fertilisasi (ICSI) dan Kultur Sel Hewan untuk Peningkatan Produktivitas Ternak............................................................................................................................................ 69 Peningkatan Ekspresi Heterologus dan Produksi Human -Erythropoietin Rekombinan pada Yeast Pichia Pastoris melalui Perubahan Codon-Usage Gen HEPO ................................................................... 74 Isolasi dan Penetapan Struktur Kimia Antioksidan Hasil Bioproduksi Mikroba Endofit Kapang dari Curcuma Longa Asal Parung, Anyer, dan Cibinong .................................................................................... 84 Senyawa Aktif Mikroba Endofitik Anti Escherichia coli dan Salmonella typhi ................................................. 98 Identifikasi Virus Entero yang Bersirkulasi di Indonesia .................................................................................... 101 Pengembangan Metode Assay Enzimatik untuk Penapisan terhadap Enzim Xylanase ....................................... 109 Pemanfaatan Onggok sebagai Substrat bagi Konsorsium Mikroba Selulolitik untuk Produksi Enzim Selulase .................................................................................................................................................... 114 Isolasi DNA dari Kapang Aspergillus awamori KT-11 ....................................................................................... 121 Analisis Mikroba Laut untuk Proses Bioremediasi ............................................................................................. 124 Pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House ) Indonesia ............................................................................................................... 129 Pemeliharaan Informasi Bioteknologi dan Peningkatan Jaringan Komputer ..................................................... 135 Pengembangan Kebun Koleksi Plasma Nutfah di Cibinong Science Center....................................................... 140 Animal Husbandry Technology and Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production (Meat-Milk Pro) ................................................................................................................................ 147
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
4
Aplikasi Teknologi DNA untuk Ketahanan Terhadap Hama Penggerek Batang Padi serta Uji Keamanan Lingkungan Agus Rachmat, Inez H. S. Loedin, Satya Nugroho, Amy Estiati, Sigit Purwantomo, Fatimah Zahra, Dini Nurdiani, Enung Sri Mulyaningsih, Syamsidah Rahmawati, Yuli Sulistyowati, Apriadi Situmorang, Sri Hartati, Sri Indrayani, Carla F. Pantouw, Yeni Indriyani, Dwi Astuti Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Beras merupakan makanan pokok utama bagi 50% penduduk dunia sehingga merupakan tanaman yang paling penting. Peningkatan produksi pangan nasional khususnya beras perlu segera dilakukan untuk dapat mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Dengan laju pertambahan penduduk yang semakin tinggi maka perlu diupayakan peningkatan produksi padi. Masalah penting yang terdapat pada pertanaman padi salah satunya adalah serangan hama penggerek batang. Serangan ini dapat menyebabkan penurunan produksi beras sebesar 25%. Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Penggunaan varietas unggul tahan hama merupakan pendekatan yang ramah lingkungan. Melalui teknologi DNA, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, telah berhasil mendapatkan padi transgenik potensial tahan penggerek batang. Hal ini dilakukan dengan menginsersikan gen cry yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam genom padi cv. Rojolele. Gen ini menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap lepidoptera, namun tidak berbahaya bagi manusia. Sampai saat ini, telah diperoleh galur-galur padi transgenik tahan hama penggerek batang, yaitu satu galur mengandung gen cry1Ab. Untuk galur transgenik mengandung gen cry1Ab, saat ini telah diuji efikasinya di lapangan terbatas termasuk didalamnya pengujian keamanan lingkungan.Pengujian ini merupakan pengujian lapangan tanaman transgenik pertama di Indonesia hasil litbang nasional. Rencana kegiatan yang akan dilakukan tahun 2008 adalah uji keamanan hayati galur transgenik mengandung gen cry1Ab a) Dampak lingkungan dan karakterisasi lengkap molekuler meliputi a) analisis PCR b) Analisis DNA dengan Southern blot untuk mengetahui jumlah salinan gen pada genom tanaman. c) Analisis molekuler pada tingkat eksprtesi gen. Kata kunci: Penggerek batang, padi transgenik, Bacillus thuringiensis, cry1Ab, keamanan hayati, analisis molekuler.
PENDAHULUAN Beras merupakan tanaman pangan yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang masih sekitar 1,4% setahun (BPS, 2003) dan peningkatan pendapatan sebagian masyarakat di masa depan akan mendorong kebutuhan pangan Indonesia dalam 30-40 tahun mendatang mencapai hingga 2 kali lipat dibandingkan saat ini (Yudohusodo, 2001). Kecenderungan yang sama juga terjadi di tingkat global (Mc. Calla, 1998). Sementara itu produksi padi pada 10 tahun terakhir cenderung stagnan, sehingga diperlukan terobosan baru untuk meningkatkan produksi beras. Impor beras Indonesia pada kurun waktu 3 tahun terakhir masih sangat tinggi. Meningkatkan produksi pangan dalam waktu sesingkat mungkin tanpa merusak lingkungan merupakan tantangan luar biasa. Di lain sisi bagi Indonesia sektor pertanian adalah
salah satu sektor yang dapat diandalkan ketika Indonesia menghadapi krisis pangan karena hampir 70 % wilayah Indonesia adalah pedesaan dan potensi pengembangan dan perluasan lahan masih terbuka, selain fakta bahwa sektor agribisnis masih merupakan penyumbang devisa utama. Salah satu faktor utama yang dapat menurunkan produksi beras adalah faktor biotik yang disebabkan oleh hama dan penyakit dan salah satu hama penting pada tanaman padi adalah hama penggerek batang. Dari empat spesies penggerek yang diamati di P. Jawa selama tahun 1999, Scirpophaga spp. merupakan spesies dominan di hampir semua kabupaten yang diamati (Hendarsih et al., 2000). Biro Pusat Statistik (1996; 1997) melaporkan bahwa pada saat terjadi ledakan hama, serangan penggerek batang kuning yang disebabkan oleh
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
5
Scirpophaga incertulas, dapat menyebabkan penurunan produksi padi rata-rata sebesar 25%. Sementara itu tingkat serangan penggerek batang putih yang disebabkan oleh Scirpophaga innotata pada saat terjadi ledakan rata-rata mencapai 26,5%. Serangan penggerek batang dapat menyerang tanaman baik pada stadia vegetatif maupun generatif. Serangan pada stadia vegetatif menimbulkan gejala yang disebut sundep sedangkan serangan pada stadia generatif disebut beluk. Sampai batas kerusakan tertentu, tanaman yang terserang penggerek batang pada stadia vegetatif dapat sembuh sehingga pengaruhnya terhadap hasil panen kecil, sedangkan serangan pada stadia generatif dapat menyebabkan pengurangan hasil panen yang sebanding dengan gejala beluk. Sampai saat ini dilaporkan belum ada varietas padi yang tahan terhadap penggerek batang. Selain itu, sampai saat ini belum pula dilaporkan adanya gen ketahanan terhadap penggerek batang yang telah dipetakan dalam genom tanaman (Bennett et al., 1997 dalam Breitler et al., 2000). Ini berarti bahwa untuk merakit padi transgenik tahan penggerek batang, perlu dilakukan introduksi gen tahan penggerek yang berasal dari species lain. Gen cry yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) diketahui menghasilkan δ-endotoksin yang bersifat toksik terhadap serangga golongan lepidoptera, diptera dan koleoptera termasuk di dalamnya serangga penting seperti penggerek batang bergaris, penggerek batang kuning dan hama penggulung daun (Wu et al., 1997; Marfä et al., 2002). Sejumlah padi transgenik tahan penggerek batang telah berhasil dikembangkan dengan cara mengintroduksikan gen cry dengan cara aplikasi teknologi DNA dan mengekspresikannya dalam jaringan tanaman, meskipun sampai saat ini belum ada varietas padi Bt yang siap dijual kepada petani (Marfä et al., 2002). Melalui teknologi DNA, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, telah berhasil menginsersikan gen cry1Ab yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam genom padi cv. Rojolele. Gen ini menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap lepidoptera, namun tidak berbahaya bagi manusia (Hofte dan Whiteley, 1989). Sampai saat ini, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI telah berhasil memperoleh satu galur padi tahan hama penggerek generasi yang mengandung gen cry1Ab penyandi kristal protein yang sedang diuji efikasinya pada lapangan terbatas, yang merupakan pengujian lapangan
tanaman transgenik pertama di Indonesia hasil litbang nasional. Berdasarkan hasil percobaan di lapangan terbatas di daerah Karawang pada tahun 2005, diketahui bahwa rata-rata tingkat serangan penggerek batang padi kuning pada pertanaman padi transgenik nyata lebih rendah dibandingkan dengan tingkat serangan pada varietas kontrol (varietas Rojolele dan IR42). Prosentase tingkat serangan penggerek batang kuning pada pertanaman padi transgenik sebesar 4,78% sementara itu pada pertanaman kontrol yaitu varietas Rojolele dan IR42 berturut-turut adalah 16,02% dan 42,23%. Meskipun teknologi rekayasa genetika telah diketahui memiliki potensi dalam perbaikan nutrisi, peningkatan hasil, dan keuntungan– keuntungan lainnya, tanaman hasil rekayasa genetika (produk transgenik) telah memicu berbagai berita yang menarik sekaligus kontroversial (Suwanto, 2000). Pandangan dan persepsi masyarakat terhadap tanaman transgenik bervariasi dan berbeda, ada yang pro dan kontra. Dukung mendukung antara yang pro dan kontra bertambah intens dan meluas dengan ikut berperannya media massa. Salah satu yang menjadi perdebatan sengit adalah kekhawatiran sebagian masyarakat akan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pelepasan tanaman transgenik. Kekhawatiran tersebut berupa keamanan hayati. Keamanan hayati berupa pertanyaan apakah pangan produk rekayasa genetika dapat membunuh serangga non target sehingga menyebabkan terganggunya ekosistim. Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah dilakukan serangkaian uji lapangan terbatas di dua lokasi yaitu Sukamandi dan Indramayu. Dari hasil LUT di daerah Karawang, penanaman padi transgenik tidak mempengaruhi populasi serangga non-target yang ada. Namun untuk lebih memastikan tidak ada pengaruh penanaman padi transgenik yang mengandung gen cry terhadap serangga nontarget perlu dilakukan uji hayati pada skala rumah kaca. Penelitian yang akan dilakukan pada tahun 2008 adalah uji keamanan hayati galur transgenik mengandung gen cry1Ab meliputi a) Dampak lingkungan dan karakterisasi lengkap molekuler b) Tail PCR untuk mengetahui lokasi gen target di kromosom c) Analisis DNA dengan Southern blot untuk mengetahui jumlah salinan gen pada genom tanaman d) Analisis molekuler pada tingkat ekspresi gen
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
6
BAHAN DAN CARA KERJA Bioasai terhadap Penggerek batang Pengamatan bioasai dilakukan untuk memastikan padi transgenik yang mengandung gen cry IAb tahan terhadap penggerek batang. Analisis PCR Untuk mengetahui konfirmasi keberadaan gen cryIAb dan memastikan tidak ada backbone yang tidak diinginkan tersisa. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Puslit Bioteknologi-LIPI. Isolasi DNA Total DNA diiolasi dari daun tanaman yang tidak ditransformasi (kontrol) dan daun tanaman putative transgenik. Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tabung 1.5 ml, dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi bubuk, dan ditambah dengan 750 μl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [Tris-HCl pH 7,5 0,2 M, EDTA 0,05 M, NaCl 2 M, setiltrimetilamonium bromida (CTAB) 2% (b/v)], buffer ekstraksi [sorbitol 0,35 M, TrisHCl pH 7,5 0,1 M, EDTA 5 mM], dan sarkosil 5% (b/v) dengan perbandingan 2,5: 2,5: 1. Sampel diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65 oC sambil dikocok perlahan, setelah itu ditambah 750 μl kloroform : isoamil alkohol (24:1) dan dikocok. Kemudian sampel disentrifugasi 12.000 rpm (Sorval MC12C rotor F-12/M.18) selama 5 menit pada suhu ruang. Lapisan atas diambil dan dipindahkan ke tabung 1.5 ml yang baru. Kemudian ditambahkan 400 μl isopropanol dan dikocok sebelum disentrifugasi (12.000 rpm) selama 6 menit pada suhu ruang. Supernatan dibuang, pelet dicuci dengan 500 μl etanol 70% dan disentrifugasi (12.000 rpm selama 3 menit). Supernatan dibuang dan pelet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 μl buffer TE [TrisHCl pH 7.5 10 mM, EDTA 1 mM] dan disimpan pada -20 oC hingga digunakan. Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 25 μl [buffer PCR 1x, dNTPs 0,05 mM, primer reverse dan forward masing-masing 2,5 ng/μl, taq polymerase 0,05 U/μl, 40 ng sampel DNA, dan H2O]. Fragmen (785 pb) dari gen cryIB-cryIAa atau fragmen (1,9 Kb) untuk gen cryIB, masing-masing diamplifikasi menggunakan satu pasang primer (forward) dan (reverse). Kondisi PCR yang digunakan untuk
amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95 oC(3’) 1 siklus; 95 oC (1’), 60 oC (1’), 72 oC (1’) 40 siklus; dan 72 oC (10’) 1 siklus. Sedangkan Kondisi PCR yang digunakan untuk amplifikasi gen cryIB adalah 95 oC(3’) 1 siklus; 95 oC (1’), 62 oC (1’), 72 oC (1’) 40 siklus; dan 72 oC (5’) 1 siklus. DNA hasil PCR dipisahkan pada gel agarose 1,2% dalam buffer TBE 0,5x dan diwarnai dengan etidium bromida. Analisis Southern blot Untuk mengetahui jumlah salinan gen pada genom tanaman padi transgenik menggunakan analisis Southern blot. Southern dilakukan dengan menggunakan Alkphos labeling dan detection system. Tahapan dalam melakukan analisis Southern blot adalah isolasi DNA, pemotongan DNA genomik dengan enzim restriksi, gel elektroforesis, transfer DNA dari gel ke membran nitroselulos yang bermuatan, dan deteksi keberadaan gen target dengan probe cryIAb yang telah dilabel. Uji Immuno Strip Bt-cryIAb Uji immunostrip dilakukan dengan menggunakan immunostrip Bt cryIAb sesuai prosedur Agdia (2003). Pengujian dilakukan pada tanaman trasngenik yang positif PCR untuk gen cryIAb untuk mendeteksi protein cryIAb. Daun tanaman padi digerus dan diencerkan dengan bufer ekstraksi sampel. Sampel diencerkan 1:20 (g/ml) dalam bufer SEB4. setelah sampel digerus dan diencerkan kemudian dibiarkan ekstasi tersebut minimal 30 detik sebelum pengujian dengan immunostrip. Ujung strip yang bertanda “sampel” dimasukan ke dalam posisi vertikal tidak lebih dari 0,5 cm. Pita dan garis kontrol akan muncul dalam waktuj 3-5 menit. Pita kontrol menjamin pengujian telah dilakukan dengan benar, jika pita kontrol tidak muncul maka pengujian tidak valid. Jika sampel positif maka test line akan muncul. Jika sampel negatif maka test line tidak akan muncul. Bioasai pada skala rumah kaca Uji ketahanan terhadap penggerek batang dilakukan pada skala rumah kaca. Pengujian akan dilakukan di rumah kaca transgenik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Bioasai terhadap Penggerek batang Pengamatan bioasai dilakukan untuk memastikan padi transgenik yang mengandung gen cry tahan terhadap penggerek batang. Dari hasil bioasai yang telah dilakukan secara in planta di rumah kaca transgenik, galur 611 menunjukan lebih tahan terhadap penggerek batang dengan skor 0, dibandingkan dengan tanaman kontrol maupun tanaman transgenik lainnya. Tanaman transgenik Fusi cryIBIAa, mpi cryIB dan DT cry mempunyai ketahanan terhadap penggerek batang dengan skor masingmasing 3,1 dan 3. Dari tabel di atas hasil pengamatan minggu ke-2 dapat dilihat bahwa galur 611 mempunyai ketahanan terhadap penggerek batang. Sedangkan tanaman kontrol Rojolele, Azigous dan Ciherang terserang
penggerek batang dengan skor untuk masingmasing 9, 7, 9. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa galur-galur tanaman yang tidak mengandung gen sisipan cry tidak menunjukkan ketahanan terhadap serangan penggerek. Setelah 4 minnggu infeksi, sebagian tanaman transgenik yang pada minggu ke-2 termasuk tahan menjadi tidak tahan. Galur tersebut ialah dari DT-cry. Diduga bahwa konstruksi vektor tanpa mengandung gen penyeleksi higromisin seperti DT-cry ada pengaruhnya yang sifatnya sinergis terhadap gen cry. Hal ini perlu dibuktikan lagi dengan analisis yang lain. Sementara pada galur 6.11, tingkat ketahannya belum patah yang dibuktikan dengan skor 0. Bahas tentang promotor dan ekspresinya.
Tabel 1. Efektifitas padi transgenik terhadap penggerek batang pada minggu ke-2 Rata-rata Intensitas serangan Galur/Kultivar Nilai D Skala No. penggerek batang padi kuning (%) 1 Fusi IBIAa (4.2.3) 20.00 25.81 3 2 Fusi IBIAa (4.2.4) 23.33 30.10 3 3 Mpi cryIB (3R9) 15.00 19.35 1 4 Mpi cryIB (3R7) 15.00 19.35 1 5 cryIAb (6.11) 0.00 0.00 0 6 DT cry- Azygous 60.83 78.49 7 7 Cry Iab (DT cry) 22.50 29.03 3 8 Rojolele (K) 80.00 103.23 9 9 Cilosari (KT) 45.83 59.14 5 10 Ciherang (KR) 77.50 100.00 9 Keterangan : K: Kontrol, KR: Kontrol Rentan, KT: Kontrol Tahan; Skor 0-5: tahan(T) 6-9:rentan (R) D = Persentase tanaman transgenik x 100% persentase tanaman rentan Tabel 2. Efektifitas padi transgenik terhadap penggerek batang pada minggu ke-4 Rata-rata Galur/Kultivar Intensitas serangan penggerek Nilai D Skala No. batang padi kuning (%) 1 Fusi IBIAa (4.2.3) 18.33 28.58 3 2 Fusi IBIAa (4.2.4) 6.67 10.40 1 3 Mpi cryIB (3R9) 20.00 31.19 3 4 Mpi cryIB (3R7) 11.67 18.20 1 5 cryIAb (6.11) 0.00 0.00 0 6 DT cry- Azygous 60.33 94.07 9 7 Cry Iab (DT cry) 45.83 71.46 7 8 Rojolele 65.67 102.40 9 9 Cilosari 49.33 76.92 7 10 Ciherang 64.13 100.00 9
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Ketahanan T T T T T R T R T R
Ketahanan T T T T T R R R R R
8
Analisis PCR Untuk melengkapi data-data molekuler sebelumya dilakukan kembali konfirmasi keberadaan gen cry dengan analisis PCR tanaman transgenik pada beberapa sister line galur 611. Berdasarkan hasil analisis PCR dengan menggunakan primer spesifik cryIAb terhadap sejumlah sister line diperoleh beberapa tanaman yang tetap mewarisi gen cry Iab. Tanaman tersebut selanjutnya digunakan dalam pengujianlanjut untuk keperluan kelengkapan dan kompilasi data genetik atau untuk kepentingan persyaratan pengajuan sertifikasi aman pangan. Analisis Southern Analisis Southern blot dilakukan untuk mengetahui jumlah salinan gen yang terdapat pada tanaman trasnsgenik cryIAb. Hasil Southern yang dilakukan dengan menggunakan DNA pelacak cry, menunjukkan bahwa pada galur tanaman transgenik galur 611 (Gb A) memiliki salinan gen lebih dari 4, sedangkan pada galur DT-cry IAb memiliki jumlah salinan gen tunggal. Sedangkan hasil southern mpicryIB mempunyai salinan gen lebih dari satu (Gb. B) dan jumlah salinan fusi cryIBIAa beberapa sister line mempunyai salinan gen tunggal (sudah dilaporkan). Uji Immuno Strip Bt-cry Uji immunostrip dilakukan dengan menggunakan immunostrip Bt cryIAb sesuai prosedur Agdia (2003). Tujuan pengujian ialah untuk melihat ekpresi protein CryIAb. Uji dilakukan terhadap sister line galur 6.11. Pengujian immunostrip dilakukan pada tanaman trasngenik mengandung gen cry untuk mendeteksi protein cry. Pita kontrol menjamin pengujian telah dilakukan dengan benar, jika pita kontrol tidak muncul maka pengujian tidak valid. Dari hasil pengujian bahwa tanaman transgenik galur 6.11 ekspresi protein positif hal ini ditunjukan dengan munculnya pita kedua yang merupakan pita protein cry. Rencana Selanjutnya Rencana yang akan dilakukan selanjutnya yaitu, mengajukan sertifikasi aman hayati ke Kementrian Lingkungan Hidup, mengajukan sertifikasi aman pangan ke BPOM, dan
melakukan persilangan dengan padi elite indica (IR 64 dan Ciherang). 1
2 3
4 5
6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 1. Hasil PCR dengan primer spesifik cryIAb 1= lamda hind III, 2= kontrol plasmid, 3= kontrol tanaman positif cryIAb, 4= kontrol negatif tanaman, 5= kontrol air, 625= sampel sister line 6.11. 12345678910
A
12345
B
12345
C
Gambar 2. Hasil Southern Blot (A) lajur 1= kontrol plasmid, 2=kontrol fragmen cry, 3=kontrol negatif tanaman, 4-6 (DT cry IAb) lajur 7-10 (galur 611) (B) mpi cryIB, (C) Fusi cryIBIAa. 1
2 2 4 5 6 7 8 9 10
Standar kontrol Protein CryIAb
Gambar 3. Hasil Uji Immunostrip cryIAb lajur 1= Kontrol negatif tanaman (non transgenik), 2-10 sampel sister line galur 6.11
Hambatan dan Tindak Lanjut Hambatan yang ada yaitu jumlah benih galur 6.11 masih sedikit dan jumlah salinan gen lebih dari 1 dari galur 6.11, diduga akan menjadi penghambat terkait dengan peraturan pelepasan tanaman transgenik yang mensyaratkan jumlah salinan gen harus tunggal.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
9
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2008. DAFTAR PUSTAKA Agdia. 2003. Btcry1Ab Immunostrip Test. Stri test for the detection Bt-cry/IAb protein. Agdia Incorporated, Elkhart, Indiana, USA. P.1-3. Biro Pusat Statistik 2003. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat statistik. 1996. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat statistik. 1997. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Breitler, J.C., V. Marfä, M. Royer, D. Meynard, J.M. Vassal, B. Vercambre, R. Frutos, J. Messeguer, R. Gabarra, E. Guiderdoni. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Rep. 19: 1195-1202. Cohen, M.B. 2000. Bt rice: practical steps to sustainable use. International Rice Research Notes 25 (2) : 4-10. Hendarsih, S., D. Kertoseputro, N. Usyati N. 2000. Pemetaan species dan parasitoid penggerek batang padi di pulau Jawa. Laporan hasil penelitian, Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 30 hal.
Hofte, H & Whiteley, H.R. 1989. Insectisidal Crystal Proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol, Rev. 53 : 242 –255. Marfa, V., E. Melė, R.J.M. Gabarra, E. Vassal, Guiderdoni, J. Messeguer. 2002. Influence of the developmental stage of transgenic rice plants (cv. Senia) expressing the cry1B gene on the level of protection against the stripped stem borer (Chilo suppressalis). Plant Cell Rep. 20: 1167-1172. McCalla, A.F. 1998. Food and Fibre for the 21st century. Agricultural Biotechnology: Laboratory, Field and Market. Ed. PJ Larkin. Proc. Of the 4th Asia-Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. Suwanto A. 2000a Produk transgenik dan resiko transfer gen pada mikroorganisme. Hayati 7(2) : 56-60. Wu C et al. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cry IAb gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Rep. 17: 129-132. Yudohusodo S. 2001. Kemandirian di Bidang Pangan Kebutuhan Negara Kita. Teks Pidato Pembukaan Seminar Pangan. Semarang, 9 Oktober 2001.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
10
Seleksi Tanaman Unggul Menggunakan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Enny Sudarmonowati, N. Sri Hartati, Santi Sugiharti, Nurhamidar Rahman, Hani Fitriani, Hartati, Wahyuni Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan analisis morfologi, analisis molekuler menggunakan teknik RAPD serta perbanyakan bibit tanaman genotip unggul hasil seleksi (Iding, Gebang, Menti) dan varitas unggul nasional yang sudah ada (Adira I, Adira 4 dan Darul Hidayah) serta genotip populer lainnya yang ditanam petani dan industri (Kasetsart, Mentega, Thailand, Roti). Berdasarkan analisis morfologi dan RAPD diketahui adanya variasi karakter tanaman yang ditunjukkan oleh beberapa parameter morfologi seperti bentuk daun, warna pucuk dan warna petiole. Secara umum tiga genotip unggul Iding, Gebang dan Menti cukup mudah dibedakan dari genotip lain yang diuji baik dari penampilan keseluruhan tegakan tanaman maupun ciri-ciri morfologi spesifik. Perbedaan juga ditunjukkan oleh pola sidik jari DNA yang diperoleh dengan RAPD berdasarkan primer OPE-15. Selain itu diperoleh jumlah bibit tanaman masing-masing 500 bibit ubi kayu untuk genotip Iding, Gebang dan Adira 4 serta Darul Hidayah dan Menti masing-masing sebanyak 106 dan 65. Kata kunci: ubi kayu, amilosa, amilopektin, morfologi, stek mikro, RAPD.
PENDAHULUAN Peran ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) baik sebagai bahan pangan maupun sebagai bahan baku industri terutama industri etanol semakin tinggi karena meningkatnya permintaan pati ubi kayu di pasar internasional. Hal ini antara lain disebabkan terbatasnya ketersediaan pati kentang untuk substrat industri fermentasi, bahan dasar kosmetik, kertas dan tekstil sehingga pati ubi kayu yang mengandung amilosa rendah atau yang amilopektin rendah digunakan sebagai alternatif. Di dalam berbagai produk pangan, pati umumnya akan terbentuk dari dua polimer molekul glukosa yaitu amilosa (amylose) dan amilopektin (amylopectin). Amilosa merupakan polimer glukosa rantai panjang yang tidak bercabang sedangkan amilopektin merupakan polimer glukosa dengan susunan yang bercabangcabang. Komposisi kandungan amilosa dan amilopektin ini akan bervariasi dalam produk pangan dimana produk pangan yang memiliki kandungan amilopektin tinggi akan semakin mudah untuk dicerna (Irawan, 2007). Pati amilosa tinggi dari Jagung umumnya digunakan pada industri tekstil, permen, kosmetik, farmasi, biodegradable plastik dan sebagai aditif dalam industri makanan untuk meningkatkan kadar dietary fibre.
Pati ubi kayu dapat dikonversi menjadi maltotriosa, maltosa, dan glukosa dan gula modifikasi lainnya dan asam-asam organik. Hidrolisat pati banyak digunakan sebagai bahan aditif dalam industri makanan (permen, rotirotian, makanan kaleng dan makanan yang dibekukan). Pregel pati ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan pensuspensi sirup kering ampisilin (Anwar, 2006). Jenis industri tertentu memerlukan pati berkadar amilose sangat rendah seperti misalnya untuk bahan pengisi permukaan pada industri kertas, sedangkan industri lainnya memerlukan yang berkadar amilopektin sangat rendah. Fermentasi pati jagung, padi dan gandum hasil rekayasa genetika yang mengandung 100 % amilopektin menjadi etanol proses digestinya lebih cepat dibanding pati dengan komposisi umum (25% amilosa dan 75% amilopektin) (Saunders, 2007). Ketersediaan bibit ubi kayu unggul merupakan aspek penting untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pati yang berkualitas tinggi. Seleksi berdasarkan sifat-sifat agronomis yang dipadukan dengan komposisi kimia pati dan seleksi berdasarkan marka molekuler dapat mempercepat diperolehnya bibit atau varian tanaman unggul. Diperolehnya ubi kayu dengan karakteristik pati yang unik
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
11
(unggul) akan menjadi terobosan yang sangat baik bagi tersedianya pilihan bahan baku sesuai kebutuhan industri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya telah diseleksi 3 genotip unggul berdasarkan kadar amilosa, amilopektin, dan pati total serta karakteristik molekulernya menggunakan primer RAPD. Studi genetik ubi kayu menggunakan RAPD dan mikrosatelit telah dilakukan terhadap koleksi Brazil yang diperoleh dari 7 habitat geografi yang berbeda menggunakan 28 primer Operon kit A (Carvalho et al., 2000). Sebagai tindak lanjut terhadap hasil yang telah diperoleh maka pada tahun ini dilakukan evaluasi dan konfirmasi lanjutan tiga genotip
unggulan (Iding, Gebang dan Menti). Hasil yang dicapai dari kegitana penelitian pada tahun 2008 adalah karakter 3 genotip unggul (Iding, Gebang dan Menti) yang meliputi karakter morfologi, karakter molekuker berdasarkan RAPD serta komposisi dan kadar pati yang dibandingkan dengan 3 varitas unggul nasional Adira 1, Adira 4, Darul Hidayah) dan 4 genotip populer lainnya yang ditanam petani dan industri (Kasetsart, Mentega, Thailand, Roti). Selain itu telah tersedia pula material atau bibit tanaman di lapangan dalam jumlah besar untuk evaluasi daya hasil dan komposisi pati yaitu Iding, Gebang, Menti, Adira 4 dan Darul Hidayah.
BAHAN DAN CARA KERJA Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis morfologi adalah 11 genotip ubikayu umur 4 bulan yaitu Kalbar II, Gebang, Menti, Adira I, Kasetsart, Roti, Darul Hidayah, Rawi, Adira 4, Thailand, Iding. Analisis RAPD dilakukan dengan menggunakan daun muda. Analisis morfologi Parameter yang diamati untuk analisis morfolofologi adalah meliputi diameter batang, bentuk daun, warna pucuk, warna petiole, panjang batang dan warna batang. Analisis RAPD Sebanyak 3 jenis primer acak (Operon Technologies Ltd, USA) yang terdiri dari OPB05, OPB-10 dan OPE-15: ACGCACAACC digunakan untuk konfirmasi identifikasi sidik jari ubi kayu genotip unggulan dan genotip populer lainnya. DNA diamplifikasi menggunakan mesin PCR (Perkin Elmer) dengan kondisi Pra PCR : 94ºC, 3 menit dilanjutkan
dengan 45 siklus pada 94ºC, 20 detik; 35ºC, 40 detik; 72ºC, 2 menit dan pasca PCR 72ºC, 7 menit. Reaksi PCR (25 μl) terdiri dari 2,5 μl 10X PCR bufer, 1μl 2,5 mM dNTP mix, 2 μl Primer (200 μM), 1U Taq DNA polymerase, 5 μl DNA (1,3 ng) dan 12,3 μl H2O. Fragmen hasil amplifikasi dipisahkan pada 1,5% gel agarose menggunakan bufer TAE 1X. Visualisasi dilakukan pada UV transiluminator dan produk amplifikasi didokumentasikan menggunakan film polaroid. Perbanyakan bibit tanaman Genotip Iding, Gebang dan Adira 4 diperbanyak dari stek batang ubi kayu dengan ukuran 20 cm yang memiliki 3-5 bakal tunas dan ditanam, sedangakan genotip Darul Hidayah dan Menti menggunakan stek mikro berukuran 5 cm dengan 1-2 bakal tunas dan ditanam pada media tanah pada bak-bak plastik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis morfologi Berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan selama tahun 2002 hingga 2007 telah diperoleh tiga genotip unggul yaitu genotip Iding dengan karakter amilosa tinggi (32,528 %), Gebang dengan karakter amilopektin tinggi (77,223 %) dan menti yang merupakan genotip dengan kadar pati total (mg pati per gram tapioka). Paling tinggi yaitu 86,335 % (Tabel 1). Pengelompokkan hasil seleksi kadar amilosa ubi kayu menjadi genotip dengan amilosa rendah,
tinggi dan sedang sesuai dengan pengelompokkan kadar amilosa pada beras yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu amilosa tinggi 25-33%, amilosa menengah 20-25%, amilosa rendah 09-20% dan amilosa sangat rendah < 9% (Hutagalung, 2004). Tiga kandidat genotip unggul tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk pengajuan evaluasi rekomendasi varitas unggul nasional baru atau digunakan sebagai varitas asal dalam perakitan varitas turunan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
12
esensial yang dapat diajukan untuk mendapatkan perlindungan varitas tanaman. Sebagai tindak lanjut evaluasi kandidat genotip unggulan maka dilakukan analisis morfologi dan molekuler (RAPD). Analisis morfologi menunjukkan adanya variasi pada diameter batang, bentuk daun, warna pucuk, warna petiole, panjang batang dan warna batang (Tabel 2). Variasi yang jelas terutama tampak pada warna pucuk (Gambar 1), warna petiole (Gambar 2), warna batang muda (Gambar 3) dan bentuk daun (Gambar 4). Perbedaan antar genotip juga dapat dilihat pada penampilan keseluruhan tegakan tanaman ubi kayu seperti terlihat pada Gambar 5. Pada dendogram yang dikonstruksi berdasarkan data-data morfologi (Gambar 6) menggunakan program SPSS versi 11 tampak bahwa tiga genotip unggul yaitu Iding, Gebang dan Menti berada pada kluster yang sama. Genotip Gebang menunjukkan bentuk daun yang sangat berbeda yaitu daun kecil/sempit dan panjang dibanding 10 genotip lainnya yang umumnya berdaun melebar dengan variasi kelompok ukuran daun yaitu besar dan kecil. Karakter morfologi spesifik yang dapat membedakan setiap genotip yang diuji dapat ditentukan dari warna bentuk daun, warna petiole dan batang muda. Analisis RAPD Pola pita RAPD 11 genotip ubi kayu yang diuji menggunakan tiga jenis primer yaitu OPB05, OPB-10 dan OPE-15 menunjukkan adanya variasi (Gambar 7, 8 dan 9). Pola pita RAPD Iding dan Gebang berdasarkan primer OPE-15 menunjukkan kesesuai dengan pengelompokkan pada dendogram data morfologi yang memiliki pola yang hampir sama (Gambar 7) dan berada
pada sub-kluster yang sama. Dibanding 2 primer lain (OPB-05 dan OPB-10), primer OPE-15 merupakan primer yang dapat menghasilkan pola pita pembeda antar genotip. Perbanyakan bibit tanaman Perbanyakan bibit tanaman dilakukan untuk menyediakan material sebagai bahan evaluasi lanjutan potensi agronomi tiga genotip unggulan yang akan dibandingkan dengan 2 varitas unggul nasional yaitu Adira 4 dan Darul Hidayah. Bibit tanaman yang telah tersedia untuk genotip Iding, Gebang dan Adira 4 adalah 500 bibit berumur antara 1 hingga 4 bulan yang ditanam di polibag sedangkan bibit Darul Hidayah dan Menti yang tersedia masing-masing berjumlah 106 dan 65 (Tabel 3). Bibit Adira 4, Gebang dan Iding diperoleh dari stek ukuran biasa (20 cm dengan 3 hingga 5 mata tunas) sedangkan Darul Hidayah dan Menti diperoleh dari stek mikro berukuran 5 cm dengan 1 hingga 2 mata tunas. Perbanyakan bibit dari stek mikro dilakukan untuk mengatasi keterbatasan persediaan bahan tanaman. Persentase pertumbuhan tunas stek mikro Darul Hidayah dan Menti cukup tinggi yaitu 93,8% dan 94,2%. Iding dan Gebang yang memiliki komposisi pati unggul dan Menti yang kadar patinya paling tinggi perlu dilakukan uji multi lokasi untuk evaluasi daya hasil lebih lanjut. Potensi keunggulan ketiga genotip tersebut dapat pula digunakan sebagai dasar perbaikan mutu tanaman dengan teknologi DNA untuk meningkatkan kadar pati seperti ubi kayu transgenik yang mengekspresikan gen glgC yang meningkatkan aktivitas AGPase hingga 70 lebih tinggi yang berperan dalam biosintesis pati (Ihemere, 2006).
KESIMPULAN Perbedaan antar genotip ubi kayu yang diuji dapat dilihat pada penampilan keseluruhan tegakan tanaman ubi kayu. Karakter morfologi spesifik yang dapat membedakan setiap genotip yang diuji dapat ditentukan dari bentuk daun, warna pucuk, warna petiole dan batang muda. Genotip Gebang menunjukkan bentuk daun yang
spesifik daun kecil/sempit dan panjang. Primer OPE-15 merupakan primer yang dapat menghasilkan pola pita pembeda antar genotip. Stek mikro dapat digunakan sebagai material perbanyakan bibit ubi kayu karena persentase tumbuh tunasnya tinggi yaitu lebih dari 90%.
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008. Terima kasih disampaikan kepada Sdr. Nanang
Taryana dan Nawawi untuk pemeliharaan koleksi dan perbanyakan tanaman di lapangan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
13
DAFTAR PUSTAKA Anwar, E, Antokalina, S.V, Hariyanto. 2006. Pati pregel pati singkong fosfat sebagai bahan pensuspensi sirup kering ampisilin. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No. 3: 117 – 126. Hutagalung, H. 2004. Karbohidrat. USU digital library. Ihemere, U, Garzon, D.A., Lawrence, S., Sayre, R. 2006. Genetic modification of cassava for enhanced starch Production. Plant Biotechnology Journal. No.4: 53–465. Irawan, M.A. 2007. Karbohidrat. Sport science brief. Volume 01 No. 03. WWW.pssplab.com.
Saunders, J., Levin, D.B. 2007. Effects of wheat starch content and structure on the availability of fermentable sugars to optimize ethanol production. Department of Biosystems Engineering University of Manitoba. Carvalho, L. J.C. B, B. A. Schaal, W. M. G, Fukuda.2000. Morphological descriptors and Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Marker Used to asces the Genetik Diversity of Cassava (Manihot esculenta Crantz).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
14
Tabel 1. Komposisi kimia pati (amilosa, amilopektin, pati total) 3 genotip unggulan dan 8 genotip lainnya No.
Genotip
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Iding Gebang Darul Hidayah Menti Adira 1 Kasetsart Adira 4 Roti Kalbar II Thailand Rawi
pati total (%, mg/g tapioka ) 83,160 84.055 83.985 86.335 84,995 83.200 85,105 83,980 82,050 84.770 85.370
amilosa (%)
amilopektin (%)
32.528 22.777 26.868 24.445 28.531 30.871 27.619 28.435 26.685 28.170 25.864
67.472 77.223 73.132 75.555 71.469 69.129 72.381 71.565 73.315 71.830 74.136
Tabel 2. Morfologi 11 genotip ubi kayu No.
Genotip
1
Iding
2
Gebang
3 4
Darul Hidayah Menti
5
Adira 1
6
Kasetsart
7
Adira 4
8
Roti
9
Kalbar II
10
Thailand
11
Rawi
Diameter batang Diameter batang besar Diameter batang besar Diameter batang besar Diameter batang kecil Diameter batang besar Diameter batang kecil Diameter batang besar Diameter batang besar Diameter batang kecil Diameter batang besar Diameter batang besar
Bentuk daun Daun lebar
Warna pucuk
Warna petiole Merah
Panjang batang Tinggi
Warna batang Putih
Hijau
Daun kecil
Merah
Merah
Tinggi
Kuning
Daun lebar
Ungu
Merah
Pendek
Daun lebar
Merah
Tinggi
Putih
Tinggi
Daun lebar
Ungu kemerahan Kuning kehujauan Hijau
Merah
Tinggi
Daun lebar
Hijau
Tinggi
Daun lebar
Hijau
Daun kecil
Hijau
Hijau kemerahan Hijau kemerahan Hijau
Hijau kecoklatan Hijau keputihan Kuning kecoklatan Hijau keputihan Hijau keputihan Hijau bergaris putih Putih
Daun lebar
Hijau kekuningan Hijau kekuningan
Merah
Tinggi
Merah
Tinggi
Daun lebar
Daun lebar
Tinggi Pendek
Hijau keputihan Hijau
Tabel 3. Jumlah bibit tanaman 5 genotip ubi kayu No.
Genotip
Jumlah bibit
1 2 3 4 5
Iding Gebang Menti Adira 4 Darul Hidayah
500 500 65 500 106
1
2
7
3
8
4
9
1
Jenis bahan yang ditanam stek biasa stek biasa stek mikro stek biasa stek mikro
5
10
6
2
3
4 5
6 7
8
9 10
11
Gambar 2. Variasi warna petiole dari daun ke 2 dan ke 7 ubi kayu. 1. Kalbar II, 2. Adira 4, 3. Rawi, 4. Adira I, 5. Roti, 6. Gebang, 7. Menti, 8. Darul Hidayah, 9. Kasetsart, 10. Thailand, 11. Iding.
11
Gambar 1. Variasi warna pucuk. 1. Kalbar II, 2. Gebang, 3. Menti, 4. Adira I, 5. Kasetsart, 6. Roti, 7. Darul Hidayah, 8. Rawi, 9. Adira 10, Thailand, 11. Iding.
1 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Gambar 3. Variasi warna batang muda ubi kayu. 1. Thailand, 2.Kasetsart, 3. Darul Hidayah, 4. Menti, 5. Gebang, 6. Roti, 7. Adira I, 8. Adira 4, 9. Rawi, 10. Kalbar II, 11. Iding.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
15
Thailand
Roti
Iding
Thailand
Darul Hidayah
Kasetsart
Rawi
Kalbar II
Adira 4
Kasetsart
Darul Hidayah
Gebang
Menti
Rawi
Iding Gambar 5. Variasi tegakan tanaman 11 genotip ubi kayu.
Adira I
Adira 4
Darul Hidayah
Kalbar II
Kalbar II Gambar 4. Variasi bentuk dan warna daun dan petiole ubi kayu daun ke 2 (kiri) dan ke 5 (kanan).
Gambar 6. Dendogram genotip ubi kayu berdasarkan datadata morfologi 1 Kb Plus DNA ladder 5000 2000 1650
Adira I
Roti
1000 850 650 500 400
Iding
Gebang
Menti
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Gebang
Gambar 7. Pola pita RAPD dua genotip unggulan (Iding dan Gebang menggunakan primer OPE 15.
16
1 Kb Plus DNA ladder
1
a 2
3
4
5
6
7
5000
2000 1650 1000 850
Adira 4
Gebang
650 500 400
Gambar 8. Pola pita RAPD genotip unggulan Menti dan genotip lain menggunakan primer OPE 15. 1. Adira 4, 2. Kasetsart, 3. Thailand, 4. Menti, 5. Roti, 6. Adira 1, 7. Darul Hidayah.
OPB 05
OPB 10
iding
b
1 Kb Plus DNA ladder 5000
1
2
3
1
2
3 2000 1650 1000 850
650 500 400
Darul Hidayah
Menti
Gambar 10. Bibit singkong 5 genotip yang diperoleh dengan perbanyakan melalui (a) stek iasa (20 cm) dan (b) micro cutting/stek mikro (5 cm).
Gambar 9. Pola pita RAPD Iding, Darul Hidayah dan Kasetsart menggunakan primer OPB 05 dan OPB 10. 1. Darul Hidayah, 2. Kasetsart, 3. Iding
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
17
Koleksi Kultur Galur-galur Bakteri Bacillus Thuringiensis Potensial Pembunuh Serangga dan Pembuatan Pustaka Gen-gen Penyandi Protein Toksiknya Eddy Jusuf Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya telah dilakukan beberapa perjalanan eksplorasi khususnya di Jawa Barat dan Banten dengan hasil sejumlah isolat bakteri dan berbagai sampel. Isolat-isolat yang diperoleh dari hasil ekplorasi di wilayah Jabodetabek dan Sukabumi telah diskrining dan diperoleh sebanyak 64 galur yang dipastikan men-sintesis protein Cry yang toksik terhadap serangga. Kegiatan tahun lalu telah mencoba mengidetifikasi tipe gen cry penyandi protein toksiknya menggunakan tehnik Polymerase Chain Reaction dengan 11 macam urutan nukleotida sebagai primernya. Masalah tehnis dengan alat Thermo Cycler atau mungkin dengan bahan kimia (enzim Polymerase, dNTP, primer, dan buffer) yang sudah kadaluarsa menyebabkan tipe gen tidak dapat dideterminasi. Sejalan dengan kegiatan tahun ini dilakukan pengucilan isolatisolat B. thuringiensis dari sampel yang berasal dari berbagai kabupaten dan kota propinsi Banten. Didapatkan sebanyak 236 nomor isolat bakteri yang diperkira-kan sebagai B. thuringiensis. Pengujian adanya sintesis protein Cry dilakukan dengan tehnik isolasi protein kristal menurut cara Bel (1997) dan visualisasi dengan SDSPolyacrylamide Gel Electrophoresis, baru beberapa nomor isolat yang diujikan menunjuk-kan adanya protein tersebut. Pengujian adanya protein non-kristal yang diproduksi selama proses pertumbuhan bakteri dicobakan diteliti dengan cara analisis mengunakan tehnik High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Sampai saat ini baru 13 nomor isolat asal Banten yang diujikan, sementara untuk menyeleksi adanya kesamaan atau duplikasi galur diantara dari sejumlah nomor baru dimulai melakukan uji profil DNA dengan tehnik fragmentasi low-melting agarose immobilised intact DNA dengan 2 macam rare cutting endonuclease dan visualisasi dengan Pulsed-field Gel Electrophoresis (PFGE). Kata kunci: Bacillus thuringiensis, skrining galur, δ-endotoksin, PCR, pustaka gen cry, SDS-PAGE, HPLC, PFGE.
PENDAHULUAN Bacillus thuringiensis (Bt) sudah sejak lama dikenal sebagai bahan aktif paling umum yang digunakan dalam preparasi pestisida hayati maupun sebagai sumber gen dalam proses rekayasa tanaman transgenik tahan hama. Bt memiliki keistimewaan karena dapat mensintesis protein δ-endotoksin (protein Cry) yang spesifik terhadap serangga dan nematoda. Bt memiliki lebih dari 70 subspesies atau varietas yang berbeda, yang dibedakan oleh perbedaan sifat serologi dari antigen flagela-nya, dan menghasilkan lebih dari 300 tipe protein Cry. Penggunaan Bt sebagai pestisida hayati untuk menanggulangi berbagai hama tanaman pertanian maupun untuk memberantas nyamuk vektor berbagai penyakit berbahaya seperti demam berdarah, chikunguya dan malaria, lebih umum dan lebih aman dibandingkan dengan penggunaan bakteri lain, kapang, protozoa maupun virus. Hal ini karena protein Cry dari
bakteri ini bersifat sangat spesifik hanya toksik terhadap jenis serangga tertentu, juga dalam memproduksi bahan aktif pestisida berupa spora dan protein kristal dapat dilakukan secara mudah dan murah. Disamping itu juga gen penyandi protein Cry ini dapat diisolasi dan diekspresikan oleh organisme lain seperti tumbuhan sehingga gen dapat diklon pada tumbuhan yang menjadi sasaran perusakan oleh serangga maupun Nematoda sehingga menjadi tanaman transgenik yang tahan hama yang dikenal sebagai Bt crop. B. thuringiensis termasuk dalam keluarga Bacilliaceae, kelas Eubacteriales dan divisio Schizhophyta. Merupakan bakteri tanah yang memberikan reaksi pewarnaan Gram positif, berbentuk batang dengan panjang 3-5 μm dan lebar 1-1,2 μm, bergerak aktif (motil) dengan flagella peritrich, bersifat fakultatif aerob dan bisa didapatkan dari habitat di alam seperti pada tanah, pada pepohonan, pada debu penyimpanan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
18
biji-bijian seralia, pada pakan ternak dan pada serangga yang mati. Termasuk bakteri mesofil dengan kisaran suhu pertumbuhan 15-45oC, dengan suhu optimum antara 26-37oC, dan kisaran pH pertumbuhan antara 5,5 sampai 8,5 dengan pH optimum antara 5,5 sampai 7,5. Spora berbentuk oval berwarna hijau kebiruan, berukuran 1,0-1,3 μm dengan posisi terminal; sedangkan protein δ-endotoksin berukuran 0,6 sampai 2,0 μm bergantung dari tipe proteinnya masing-masing. Secara alami B. turingiensis adalah bakteri entomopatogen berspora, dan bisa didapatkan di seluruh benua dan kepulauan dari ketinggian 0 sampai 2000 meter diatas permukaan laut, dari zona tropis hingga artik dimana serangga masih didapatkan. Untuk hidup dan berkembang biak, bakteri ini menuntut medium yang kaya dengan nutrisi terutama asam-asam amino. Oleh karena itu bakteri ini memanfaatkan bangkai serangga untuk berpoliferasi dengan terlebih dahulu membunuhnya menggunakan protein δendotoksin. Protein kristal ini merupakan bentuk protoksin yang disintesis oleh bakteri bersamaan waktunya dengan pembentukan spora, berada bersamaan dalam sel sampai sel mengalami lisis sesudah sporulasi sempurna. Merupakan bagian dari 25% berat kering bakteri yang terdiri dari suatu molekul glikoprotein dengan masa molekuler 130 sampai 240 kiloDalton, mengandung 3,9a5 glukosa dan 1,8% manosa. Protein ini tidak larut dalam air ataupun pelarut organik, tetapi terlarut dalam larutan alkali dan terdenaturasi oleh panas, oleh asam lambung dan enzim protease lambung menjadi terlarut dalam air dan membentuk toksin aktif yang akan tetap aktif meskipun dipanaskan pada suhu sampai 80oC selama 20 menit. Species B. thuringiensis memiliki lebih dari 70 subspesies yang dibedakan berdasarkan perbedaan sifat serologi dari antigen flagella-nya. Masing-masing subspecies memiliki jumlah galur-galur yang sangat bervariasi dengan tipe protein δ-endotoksin yang juga berbeda. Menurut Ziegler (2002) dalam Bacillus Genetic Stock Center, telah didokumentasikan sebanyak 378 tipe protein δ-endotoksin dari lebih dari 1000 galur bakteri ini. Setiap tipe protein memiliki variasi urutan asam amino yang berbeda sehingga memiliki sasaran sel serangga atau sel lainnya yang berbeda pula, dan akan ada kemungkinaan satu protein memiliki toksisitas terhadap beberapa sel epitel usus serangga.
Dalam nomenklatur klasik protein δendotoksin diklasifikasikan dalam 6 kelas berdasarkan perbedaan morfologi dan serangga sasarannya, yaitu : Cry I berbentuk bipiramidal dengan sasaran serangga dari ordo Lepidoptera, Cry II berbentuk kuboid dengan sasaran Lepidoptera dan Diptera dengan toksisitas rendah, Cry III berbentuk flat rectangular dengan sasaran serangga dari ordo Coleoptera, Cry IV berbentuk spherical, kecuali Cry IVB berbentuk rhamboidal dengan sasaran jenis-jenis Diptera, sedangkan Cry V dan Cry VI dengan bentuk bervariasi memiliki sasaran membunuh jenis-jenis Nematoda (Feitelson et al., 1992). Dalam nomenklatur yang telah diperbaharui dengan mendasar kepada perbedaan urutan asam amino maka dari masing-masing terutama Cry I telah dibedakan sejumlah besar tipe protein, seperti Cry1Aa1, Cry1Aa2, Cy1Ab1,dst. dan disamping bertambah jumlahnya sampai Cry 55 yang dapat dilihat dalam Ziegler (2002). Disamping bentuk Cry, protein δ-endotoksin juga didapatkan dalam bentuk Cyt (berasal dari kata cytolysis), saat ini dikenal ada 2 macam yaitu Cyt A dan Cyt B dengan sasaran pada umumnya serangga Diptera, terutama Aedes aegypti. Negara kita Indonesia yang sangat luas juga sangat kaya dengan berbagai sumber alam termasuk juga sumber daya hayatinya. Adalah suatu usaha yang mulia dalam mensyukuri nikmat kelimpahan yang diberikan oleh Tuhan dengan cara memanfaatkan segala potensi, khususnya dalam sumber daya jasad renik. Melihat besarnya potensi B. thuringiensis untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat maka eksplorasi, isolasi, koleksi dan inventarisasi serta pemanfaatan bakteri ini harus dilakukan dari kekayaan plasma nutrfah negeri sendiri. Adapun yang menjadi tujuan serta sasaran dari penelitian ini adalah menyiapkan sejumlah galur bakteri teridentifikasi potensial pembunuh serangga sebagai sumber gen dalam upaya penciptaan tanaman transgenik baru tahan hama. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini dalam jangka pendek asalah untuk mendapatkan sejumlah galur-galur bakteri teridentifikasi sebagai produsen protein kristal δ-endotoksin, sedangkan untuk jangka panjangnya adalah menyediakan berbagai sumber gen-gen cry dalam konstruksi siap pakai untuk penciptaan berbagai tanaman transgenik autopestisida untuk ketahanan pangan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
19
BAHAN DAN CARA KERJA Eksplorasi Eksplorasi telah dilakukan sebelumnya di berbagai daerah khususnya di pulau Jawa, khususnya dari wilayah Jabodetabek , propinsi Jawa Barat dan propinsi Banten. Sampel yang diambil berupa tanah, pasir, debu, serasah, lumpur, limbah kandang dan bangkai serangga. Prosedur isolasi bakteria Untuk mengucilkan khusus galur-galur B. thuringiensis cara yang dideskripsikan oleh Travera et al. (1987) telah digunakan, dimana: 1,0 gram sampel yang diperoleh dimasukkan dalam tabung 20 ml yang telah berisi 10 ml bufer fosfat 0,05M dengan pH 6,8, dikocok dengan kuat selama 15 menit. Tabung kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 30 menit dalam water-bath dan kemudian dikocok lagi dengan kuat untuk meratakan penyebaran spora selama kurang lebih 15 menit. Sebanyak 5, 10, 25 dan 50 µl suspensi disebarkan ke permukaan Petri yang berisi agar T-3 (per liter mengandung 3 g trypton, 2 g tryptose, 1,5 g yeast extract, 0.05 M Na3PO4, 0,005 M MnCl2 in 12 g agar). Biakan bakteri diinkubasi pada 28oC selama kurang lebih 48 jam sampai tampak muncul koloni yang memiliki kesamaan morfologi, warna, aroma yang sama dengan koloni B. thuringiensis standar pembandingnya. Dari setiap sampel dipilih sebanyak 24 koloni yang betul-betul mirip dengan koloni B. thuringiensis standar dan ditransfer ke agar T-3 agar baru di gelas Petri dan diinkubasi kembali pada suhu 28oC sampai terjadi sporulasi selama kurang lebih 72 jam. Penapisan isolat dari 24 koloni terpilih setiap sampelnya dilakukan degan observasi mikroskop menggunakan mikroskop fase kontras atau cahaya biasa dengan memastikan adanya bentuk protein kristal. Koloni yang dipastikan membentuk protein kristal dipanen dan dikoleksi sebagai isolat baru serta disimpan secara tersendiri pada slant agar dan diberi nomor isolat sesuai dengan asal sampel. Profiling δ-endotoxin Nomor-nomor isolat bakteri berkristal yang akan diuji profil δ-endotoxin-nya ditumbuhkan terlebih dahulu pada permukaan agar LuriaBertani dalam gelas Petri sebanyak 2 kali reinokulasi masing-masing diinkubasi pada suhu 28oC selama 24 jam sebelum diinokulasikan pada agar T-3 untuk sporulasi. Isolasi protein δ-
endotoxin untuk keperluan profiling dilakukan dengan menggunakan metoda Bel et al. (1997), dimana semua koloni berspora yang tumbuh dalam waktu 48 sampai 72 jam dalam plat agar T-3 dipanen dan dimasukan kedalam microtube 1,5 ml yang berisi 1ml NaCl 0,5 M dingin direndam dalam es dan dikocok hingga menjadi suspensi homogen. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 13.800 x g, dan endapan yang diperoleh diresuspensi dalam 150 μl campuran yang mengandung 1% SDS-0,01% βmercaptoethanol dan dipanaskan pada suhu 110oC selama 10 menit untuk melarutkan bentuk kristal. Suspensi disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13.800 x g selama 10 menit, supernatan yang diperoleh dicampurkan dengan volume sama dari sample buffer (0,15 M Tris.Cl pH 8,8; 3,75 mM EDTA, 0,75 M sucrosa, 0,075% bromophenol blue, 2,5% SDS, and 7,4 mM dithiothreitol). Campuran dipanaskan kembali 100oC sebelum divisualisasi secara elektroforesis. SDS-PAGE Untuk menvisualisasikan profil protein δendotoxin dari setiap isolat, standing electrophoresis menggunakan gel polyacrylamide yang dicampur dengan sodium duodecyl sulfate (Laemmli, 1970) digunakan. Electrophoretic Protean II (Amersham) dengan gel 10% polyacrylamide dan bufer elektroforesis Tris-Glycine (50 mM Tris, 384 mM glycine and 0,1% sodium duodecyl sulfate). Tegangan electrik yang diberikan ditetapkan pada 75 Volt, dand untuk mendeterminasi masa molekul dari protein δ-endotoxin tersebut, marker protein Combithek (Boehringer Mannheim cat. No. 1317-474) yang memiliki kisaran 14 sampai 340 kiloDalton digunakan. Gel diwarnai dengan campuran dari 0,1% Comassie blue, 50 % methanol dan 10% asam asetat. Penentuan protein non-kristal dengan HPLC (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) Dilakukan menggunakan fasilitas Laboratorium Pangan dan Gizi Fakultas Sains dan Teknologi – Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Digunakan alat HPLC Series 200 (Perkin Elmer) dengan kolom Altech C-18 non polar dan parameter yang digunakan dalam program adalah sebagai berikut:
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
20
Gambar 1. Parameter yang digunakan dalam program
Isolasi DNA Plasmid Bakteri Isolasi DNA plasmid B. thuringiensis dilakukan dengan metode Allen (1996). Sebanyak 1 ose biakan bakteri diambil dari agar miring dan dibiakkan dalam cawan petri berisi LB dengan metode gores. Biakan ini diinkubasi selama 24 jam lalu koloni terkecilnya diambil dengan jarum ose dan dibiakkan tabung reaksi yang berisi 5 mL LB cair. Biakan ini lalu diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 17 jam. Sebanyak 5 mL biakan lalu disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 7000 rpm pada suhu 4 °C. Pelet yang diperoleh lalu dicuci dua kali dengan bufer TEN, ditambahkan 0,45 mL bufer lisis dan kemudian ditambahkan 0,33 mL larutan 1 mg/mL lisozim. Campuran diinkubasi pada suhu 37 °C selama 15 menit. Campuran kemudian dipanaskan pada penangas air dengan suhu 65oC selama 15 menit. SDS alkalis ditambahkan sebanyak 0,33 mL, diaduk homogen dan diinkubasi dalam es selama 15 menit. Sebanyak 0,43 mL amonium asetat 7,5 M ditambahkan, lalu dibiarkan selama 15 menit dalam penangas es, aduk homogen, lalu sentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4°C. Supernatan yang diperoleh lalu ditambahkan 0,5 mL isopropanol, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, dan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C. Pelet yang diperoleh lalu ditambahkan 0,0667 mL amonium asetat 2 M kemudian diinkubasi dalam es selama 15 menit, dan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C. Supernatan yang diperoleh lalu ditambahkan 0,2 mL isopropanol kemudian diinkubasi pada suhu ruang, dan disentrifus kembali selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C. Endapan DNA yang diperoleh lalu dikeringkan
dengan pengering Speedvac savant. Pelet DNA dilarutkan dengan Bufer TE sebanyak 60 µL. Penetapan tipe gen penyandi protein toksik dengan tehnik PCR Setiap tabung mikro PCR diisi dengan 2,5 µL bufer reaksi PCR 10x, 2 U enzim Taq DNA polimerase, 200 µM untuk masing-masing dNTP, 0,4 µM untuk masing-masing primer, dan 1 µL DNA genom B. thuringiensis subsp. israelensis HD-567 hasil isolasi. DNA genom hasil isolasi dari B. thuringiensis subsp. israelensis HD-567 lalu diuji dengan beberapa primer. Larutan ini kemudian ditambah aquabides sampai volume reaksi menjadi 25 µL. Reaksi PCR dilakukan dengan suhu denaturasi 95°C selama 1-2 menit, suhu annealing 45-55°C selama 1 menit, dan suhu pemanjangan nukleotida 72°C selama 1-2 menit. Reaksi PCR berlangsung sebanyak 35 siklus. Amplikon hasil PCR dielektroforesis dengan 1% gel agarosa dalam bufer TBE, diwarnai dengan EtBr, kemudian divisualisasi. Suhu annealing yang memberikan hasil yang memuaskan digunakan dalam reaksi selanjutnya. Analisis kekerabatan bakteri dengan Puledfield Gel Eletropho-resis (PFGE) Kegiatan meluputi beberapa tahapan diantaranya Penyiapan DNA pada blok agarosa Sebanyak 1,5 mL biakan bakteri dalam fase eksponensial pertumbuhan dipindakan ke dalam mikrotube lalu disentrifugasi selama 10 menit pada suhu 4 oC dan 7000 rpm. Supernatan dibuang, sedangkan pelet dicuci dengan 1,5 mL larutan PIV (10 mM Tris.HCl pH7,5 dan 1 M NaCl) lalu disentrifugasi dengan kondisi yang sama sebanyak 2 kali. Pelet yang telah bersih ditambahkan dengan 0,5 mL PIV 0,5 M, dikocok dengan Vortex dan diinkubasi pada 37 oC.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
21
Selanjutnya suspensi pelet ditambahkan 0,5 mL larutan agarosa 0,8 % dalam 0,5 M PIV. Campuran agarosa dan biakan dicetak pada cetakan balok agarosa (Bio-Rad, Richmond, Calif) menggunakan syringe, cetakan kemudian dibiarkan membeku membentuk blok gel agarosa (250 μL/blok). Blok gel yang telah beku dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan pelisis (6 mM Tris HCl pH 7,5; 1mM NaCl; 100 mM EDTA pH 7,5; 0,5% Brij-58; 0,22% deoxycholate; 0,5% sarkosyl; 2 mg/mL lisozim dan 20 µg/mL RNA-ase) dan dinkubasi semalam pada suhu 37 oC, kemudian blok gel dicuci 2 kali dengan 10 mL larutan TE10/1 (10 mM Tris.HCl pH 8,0 dan 1 mM EDTA), lalu gel direndam pada 10 mL larutan deproteinase (100 mM EDTA pH 9,5; 0,5% sarkosyl dan 200 μg/mL proteinae-K) dishaker pada inkubator shaker selama 48-72 jam pada suhu 55oC dan 60 rpm. Blok agar kemudian di cuci dengan TE10/100 dan larutan PMSF 1 mM dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruang. Gel kemudian dicuci 2 kali dengan larutan T10E0,1, gel lalu dimasukkan ke dalam mikrotube yang berisi 1 mL larutan penyimpan (EDTA 1 M, pH 8,0) dan disimpan pada 4oC.
Fragmentasi molekul DNA dengan enzim retriksi endonuklease Enzim restriksi yang digunakan adalah Sma I, sepertiga blok gel dipotong tipis dan dicuci dua kali dengan TE10/1 selama 30 menit kemudian dimasukkan ke dalam mikrotube yang berisi 200 µl bufer restriksi lalu dibiarkan selama 2 jam pada suhu 25oC. Blok agar kemudian dimasukkan kedalam bufer restriksi baru yang telah tersedia dengan enzim 10 s.d. 20 unit Sma I lalu diinkubasi pada suhu 25oC selama satu malam. Elektroforesis pada medan berpulsa Elektroforesis dilakukan menggunakan sistem Bio-Rad CHEF-DRII. Untuk running gel, digunakan agarosa dengan konsentrasi 1% (w/v). Potongan-potongan blok gel dimasukkan ke dalam sumur-sumur running gel dan ditutup dengan 0,5% agarosa. Running gel selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis yang telah diisi dengan bufer TBE 0,5x untuk dilakukan proses elektroforesis dengan alat PFGE pada suhu 14oC, waktu pulsa 5 detik, tegangan listrik 6 Volt/cm, dan voltase sebesar 180 Volt selama 24 jam. Marker yang digunakan ialah mid range PFGE marker (New England Biolabs). Hasil elektroforesis dilihat dengan meletakkan gel pada UV transilluminator setelah proses staining dengan ethidum bromida. Ukuran fragmen ditentukan dengan membandingkan hasil foto pola fragmen DNA dan marker.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengucilan galur Sampel tanah yang diperoleh dari beberapa kecamatan yang ada dalam wilayah kabupaten dan kota di propinsi Banten. Dari kabupaten Pandeglang didapatkan sebanyak 8 sampel tanah masing-masing dari Kecamatan Pandeglang, Cidasari, Saketi, Menes, Pagelaran, Cirata, Labuan dan Cimanuk sehingga didapatkan 192 nomor isolat. Dari kabupaten Serang diambil 7 sampel tanah, masing-masing dari kota Serang, kecamatan Waringinkurung, Petir, Walantaka, Tirtayasa, Pontang dan Ciluas dan didapatkan 160 nomor isolat. Dari kota dan kabupaten Tanggerang ada 8 sampel masing-masing dari wilayah Serpong (kec. Legok), kecamatan Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Pondok Aren, Pondok Cabe, Cileduk dan Pamulang didapatkan 190 nomor isolat. Dari Kota Cilegon 4 sampel dari kota Cilegon, kecamatan Ciwandan,Cibeber dan Pulo Merak, dikucilkan 88 nomor isolat.
Dari kabupaten Lebak diperoleh 8 sampel dari daerah-daerah Malimping, Cipanas, Kanekes (Leuwidamar), Banjarsari, Cileles, Cimarga, Sajira dan Cibeber dan dikucilkan 176 nomor. Dari sekitar 800 nomor isolat telah dilakukan observasi mikroskopis untuk menetapkan isolatisolat yang mensintesis protein Cry dan didapatkan 130 nomor yang menunjukkan adanya kristal pada waktu sporulasi. Protein profiling Hasil protein profiling dengan tehnik SDSPAGE terhadap 130 nomor galur berkristal asal propinsi Banten tersebut di atas ditunjukan pada gambar berikut :
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
22
Gambar 2. Hasil protein profiling dengan tehnik SDSPAGE terhadap 130 nomor galur berkristal asal propinsi Banten
Beberapa nomor isolat menunjukkan adanya tipe protein Cry, namun tampaknya harus dilakukan ulangan untuk mengkonfirmasi hasil. Analisis protein non kristal dengan HPLC Hasil pengujian protein non kristal yang dihasilkan oleh bakteri pada fase pertumbuhan dari 13 nomor galur sebelum sporulasi adalah :
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
23
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
24
Gambar 3. Hasil pengujian protein non kristal yang dihasilkan oleh bakteri pada fase pertumbuhan dari 13 nomor galur sebelum sporulasi
Hasil DNA profiling dengan Pulsed-field Gel Electrophoresis Proses analisis DNA genom menggunakan metode Schizotyping membutuhkan enzim restriksi yang sesuai, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil elektroforesis dengan potongan pita DNA yang besar dan nyata. Penetuan enzim restriksi yang sesuai dapat mempermudah proses analisa. Penentuan enzim restriksi ini dikemukakan oleh Smith dan Condaime (1990) yaitu berdasarkan (i) persentase molekul (G+C) DNA genom bakteri; (ii) jumlah basa yang dikenali oleh enzim restriksi; (iii) situs enzim restriksi yang memotong kodon awal atau kodon akhir. Persentase molekul (G+C) DNA genom Bt dilaporkan oleh Sneath (1994) antara 33,8-34,5 %. Oleh karena itu situs pengenalan enzim restriksi yang kaya akan nukleotida Guanin (G)
dan Sitosin (C) akan memotong dengan jarang DNA bakteri Bt. Semakin banyak basa yang dikenali oleh enzim restriksi maka semakin sedikit situs yang dikenalinya pada DNA genom, sehingga semakin sedikit pita-pita yang dihasilkan. Enzim-enzim dengan situs pemotongan heksanukleotida (6 basa) diharapkan dapat memberikan hasil pemotongan lebih baik dari enzim oktanukleotida (8 basa) dan tetranukleotida (4 basa). Enzim-enzim oktanukleotida akan memotong DNA sangat jarang karena basa yang dikenalinya lebih banyak, begitu juga dengan enzim tetranukleotida yang memotong DNA sangat banyak karena karena basa yang dikenalinya lebih sedikit. Perbedaan dalam metilasi DNA juga merupakan salah satu faktor yang mepengaruhi perbedaan penyebaran situs pemotongan enzim restriksi. Pernyataan terbut disebabkan oleh: (i)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
25
enzim restriksi merupakan produk pertahanan bakteri terhadap invasi DNA faga dari bakteriofaga, enzim restriksi akan mendegradasi DNA faga sebelum bakteriofaga bereplikasi dan membentuk faga baru namun enzim restriksi yang dihasilkan tidak mendegradasi DNA bakteri sendiri karena DNA bakteri tersebut mengalami proses metilasi yang mencegah pemotongan oleh enzim restriksi yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri; (ii) adanya hasil pemotongan dari enzim restriksi yang sulit untuk dijelaskan. Beberapa hal lain yng dapat mengakibatkan perbedaan pemotongan antara lain menurunnya aktivitas dari enzim restriksi itu sendiri yang dipengaruhi oleh perubahan suhu, konsentrsi buffer dan kemurnian enzim tersebut. Beberapa enzim restriksi yang telah umum digunakan dalam elektroforesis medan berpulsa memenuhi kriteria penentuan enzim restriksi yang telah disebutkan diatas. Enzim-enzim tersebut memiliki situs pemotongan yang kaya akan sitosin (C) dan guanin (G), enzim-enzim tersebut antara lain: Apa I (GGGCC*C), Bss HII (G*CGCGC), Xma III (C*GGCCG), Sac II (CCGC*GG), Nae I (GCC*GGC), Nar I (GG*CGCC), Not I (GC*GGCCGC), dan Sma I (CCC*GGG).
Gambar 4. Hasil restriksi B. thuringiensis subsp. kurstaki dengan enzim restriksi Sma I pada kondisi pemisahan DNA yang sama. Marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid). (A) Pemisahan dilakukan setelah isolasi DNA dilakukan. (B) Pemisahan dilakukan setelah DNA disimpan selama 1 minggu.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa enzim Sma I memotong DNA bakteri Bt lebih baik dari enzim lain sehingga pola pita DNA yang dihasilkan lebih baik sehingga pada penelitian ini digunakan enzim Sma I.enzim restriksi Sma I merupakan jenis enzim restriksi heksanukleotida dengan situs pemotongan CCC/GGG, fakta yang mendukung pernyataan sebelumnya dimana enzim dengan situs pengenalan kaya akan basa Sitosin (C) dan Guanin (G) akan memotong dengan jarang DNA yang kaya akan Sitosin (C) dan Guanin (G). Namun hasil yang diberikan oleh enzim Sma I pada penelitian ini tidak dapat diproses lebih lanjut karena pita yang dihasilkan smear. Hal ini mungkin karena dalam produksinya Sma I banyak terkontaminasi nuklease nonspesifik (Smith dan Condemine, 1990) atau pada proses penyimpanan enzim yang kurang baik sehingga enzim kehilangan kemampuannya merestriksi DNA dengan sempurna. Kondisi Optimal Elektroforesis Kondisi optimal elektroforesis diperlukan untuk mendapatkan hasil yang baik dan mudah dianalisa. Untuk itu penentuan kondisi optimal diawali dengan me-running DNA Bt pada tiga kondisi yang berbeda (gambar 6, 7, dan 8). Matriks gel agaros pertama menghasilkan pita smear di bagian bawah matriks gel agaros, menunjukkan bahwa DNA telah sebagian atau semua keluar dari gel agaros sehingga tidak dapat dianalisa. Matriks pertama di-running pada kondisi: Running time, Rt, 20 jam; Pulse time, Pt, 5-50 detik; dengan Voltase, V, 7,1 volt/cm. Matriks gel kedua di-running pada kondisi: Rt = 20 jam; rt = 5-50 detik; dan V = 6 volt/cm. DNA pada matriks ini juga mengalami hal yang sama dengan matirks sebelumnya yaitu berada pada batas akhir matriks gel agaros sehingga tidak memungkinkan adanya analisa pada matriks gel agarose. Dari hasil yang didapat disimpulkan bahwa waktu running selama 20 jam masih terlalu panjang sehingga pada kedua uji coba sebelumnya DNA masih berada pada batas akhir matriks gel agarose. Pada uji coba ketiga -
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
26
Gambar 5. Hasil restriksi 12 galur oleh Sma I. 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14oC, waktu pulsa (Pt) 5-50 detik, waktu running (RT) 20 jam, tegangan sebesar 7,1 volt/cm dan menggunakan Mid range PFG marker (M Mid).
Gambar 6. Hasil restriksi 12 galur oleh Sma I. 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14oC, waktu pulsa (Pt) 5-50 detik, waktu running (RT) 20 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm dan menggunakan Mid range PFG marker (M Mid).
Gambar 7. Hasil restriksi 12 galur oleh Sma I. 1% MP agarose, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14 oC, waktu pulsa (Pt) 1-20 detik, waktu running (RT) 17 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm dan menggunakan Mid range PFG marker (M Mid).
Matriks gel agarose di-running dengan kondisi: Rt = 17 jam; Pt = 1-20 detik; dan V = 6 volt/cm. Uji coba ketiga menghasilkan pita yang
berada di area tengah matriks gel agaros sehingga memudahkan proses analisa. Pada umumnya peningkatan waktu pulsa akan meningkatkan pemisahan DNA di bawah 1 Mb. Namun DNA yang berukuran 1 Mb ke atas akan mengalami smear pada saat di-running dengan waktu pulsa yang tinggi. Elektroforesis dilakukan pada kondisi suhu yang sama yaitu 14oC, pada suhu ini diharapkan menginaktifasi kerja enzim-enzim pada DNA. Suhu juga memiliki yang sama pada semua sistem elektroforesis, peningkatan suhu juga diikuti dengan kenaikan mobilitas DNA dalam sistem, oleh karena itu sangat penting untuk menjaga suhu dalam sitem elektroforesis tetap atau konstan (Cantor, 1988). Analisa Hasil Elektroforesis Ukuran DNA genom total dari PFGE dapat diketahui dengan mengukur panjang setiap potongan DNA hasil elektrforesis dengan membandingkan pada marker yang di gunakan yaitu Midrange PFG marker dan Yeast chromosomes marker sebagai standar ukuran DNA yang digunakan, kemudian panjang setiap pita DNA hasil elektroforesis tersebut dijumlahkan sehingga didapat nilai keseluruhan. Setiap potongan yang dihasilkan oleh restriksi enzim yang berbeda pada DNA genom yang sama akan memberikan nilai total yang kurang lebih sama. Sehingga terkadang digunakan beberapa enzim yang berbeda untuk mengetahui nilai total genom yang lebih baik. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi sumber kesalahan dalam penentuan ukuran genom dari hasil fragmen DNA yang dielektroforesis. Pertama, kesalahan yang terjadi dalam mengukur ukuran fragmen DNA dari pergerakannya dalam gel dengan membandingkan pada pergerakan standar ukuran molekuler. Kedua, fragmen DNA yang berukuran lebih kecil dari 8 kbp seringkali tidak terdeteksi setelah proses PFGE, namun sumber kesalahn kedua ini masih bisa diabaikan karena tidak mempengaruhi nilai total genom secara signifikan. Ketiga, kesalahan yang disebabkan oleh kehadiran plasmid yang tidak memiliki situs pemotongan Sma I, karena mobilitas plasmid yang tidak terestriksi berbeda dengan mobilitas molekul DNA linear yang memiliki ukuran molekul yang sama. Biasanya sebuah plasmid sirkular terbuka tidak meninggalkan sumur setelah elektroforesis, namun kehadiran lebih dari satu plasmid yang bergerak dengan pergerakan yang berbeda dapat menyebabkan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
27
penghitungan ukuran genom yang lebih besar dari seharusnya Hasil elektroforesis dari proses restriksi yang dilakukan pada penelitian ini tidak dapat dianalisa seperti yang dikehendaki. Namun ada beberapa hal yang masih dapat menjadi bahan pembahasan pada penelitian ini. Hasil restriksi oleh enzim Sma I memberikan pita smear yang tidak dapat diketahui ukurannya secara tepat saat dibandingkan dengan marker yeast chromosomes S. Cerevisiae dan mid range PFG marker, sehingga hampir tidak mungkin untuk menentukkan nilai total genom DNA yang diinginkan. Walaupun demikian hasil elektroforesis ini dapat memberikan kisaran ukuran genom DNA yang telah diujikan dan masih dapat menunjukkan adanya proses restriksi yang berbeda pada DNA Bt yang berbeda. Kedua hal tersebut dapat memberikan sedikit petunjuk adanya perbedaan ataupun kemiripan antara isolat-isolat Bt lokal dan pembandingnya yaitu galur-galur Bt standar. Elektroforesis di bagi menjadi dua bagian yaitu yang pertama merupakan elektroforesis DNA isolat-isolat lokal maupun galur-galur standar tanpa proses restriksi oleh enzim Sma I dan elektroforesis isolat-isolat lokal dan galurgalur standar dengan melakukan proses restriksi oleh enzim Sma I terlebih dahulu. Dari hasil elektroforesis dapat dapat dilihat bahwa proses restriksi yang dilakukan oleh enzim Sma I tidak sempurna sehingga yang dihasilkan adalah pita yang smear. Gambar menunjukkan hasil elektroforesis dari 12 galur standar yang tidak direstriksi oleh enzim Sma I. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa pita-pita DNA kedua belas galur standar berada pada kisaran nilai 1800- 2500 kbp (kilobase pair). Hal yang sama juga ditunjukkan pada gambar 10a, yaitu hasil elektroforesis dari DNA galur Bt lokal yang tidak mengalami perlakuan restriksi oleh enzim Sma I. Pita-pita isolat-isolat lokal tersebut juga berada pada kisaran yang hampir sama dengan galur-galur standar kecuali pada DNA nomer 15 yaitu isolat 3n yang menghasilkan pita berada pada 1100 kbp (Tabel 2). Namun nilai yang didapatkan tanpa proses pemotongan ini tidak akurat sehingga tidak dapat dijadikan sebagai acuan nilai total genom DNA dari bakteri Bt. Gunderson dan Chu melaporkan bahwa hambatan utama dalam memisahkan DNA berukuran besar adalah adanya proses entrapment dalam satu bentuk maupun bentuk lain. Fenomena ini semakin signifikan saat ukuran DNA yang dipisahkan jauh lebih besar
dari karakter dimensi yang diciptakan oleh matriks gel. Bentuk pertama entrapment terjadi di sumur-sumur tempat DNA dimasukkan dan terjadi saat kekuatan medannya terlalu besar. Hambatan ini dapat diperkecil dengan melakukan prerun dengan menggunakan waktu pulsa yang lebih pendek maupun dengan menggunakan medan berkekuatan rendah. Pada gambar dapat dilihat hasil elektroforesis dari galur-galur standar maupun dari isolat-isolat lokal yang telah mengalami proses restriksi oleh enzim Sma I. Pita-pita yang dihasilkan tidak dapat dianalisa lebih dalam karena berbentuk pita smear, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti ukuran dan pola pemotongan dari enzim restriksi Sma I terhadap DNA tiap isolat dan galur yang diisolasi. Tidak terdapatnya pola potongan pita dan ukuran genom dari isolat maupun standar yang digunakan menyebabkan proses analisa kekerabatan antar isolat dan galur tidak mungkin dilakukan. Namun demikian hasil pemotongan oleh enzim restriksi Sma I ini secara kasat mata memberikan profil yang berbeda untuk tiap DNA yang berbeda yang dapat menjadi sebuah awal pembuktian bahwa isolatisolat yang diujikan bukan berasal dari jenis yang sama. Masih banyak hal yang dapat dioptimalkan dari penelitian ini, masih banyak yang bisa diperbaiki, namun peneliti yakin bahwa analisa genom total merupakan metode yang sangat tepat untuk menganalisa kekerabatan antar spesies.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
A
28
B Gambar 8. Hasil elektroforesis 12 galur standar pada kondisi: 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14oC, waktu pulsa (Pt) 1-20 detik, waktu running (RT) 17 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm, menggunakan marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid). (A) galur-galur standar tidak direstriksi. (B) galur-galur standar direstriksi dengan menggunakan enzim Sma I.
Gambar 9. Hasil elektroforesis 9 isolat lokal pada kondisi: 1% MP agaros, 0.5 X larutan penyangga TBE, suhu 14 oC, waktu pulsa (Pt) 1-20 detik, waktu running (RT) 17 jam, tegangan sebesar 6 volt/cm, menggunakan marker Saccharomyces cerevisiae (M Sc) dan Mid range PFG marker (M Mid). (A) isolat-isolat lokal tidak mengalami proses restriksi. (B) isolat-isolat lokal direstriksi dengan menggunakan enzim Sma I.
KESIMPULAN Isolat-isolat yang diperoleh dari hasil ekplorasi di wilayah Jabodetabek dan Sukabumi telah diskrining dan diperoleh sebanyak 64 galur yang dipastikan mensintesis protein Cry yang toksik terhadap serangga. Kegiatan tahun lalu telah mencoba mengidetifikasi tipe gen cry penyandi protein toksiknya menggunakan tehnik Polymerase Chain Reaction dengan 11 macam urutan nukleotida sebagai primernya. Masalah tehnis dengan alat Thermo Cycler atau mungkin dengan bahan kimia (enzim Polymerase, dNTP, primer, dan buffer) yang sudah kadaluarsa
menyebabkan tipe gen tidak dapat dideterminasi. Sejalan dengan kegiatan tahun ini dilakukan pengucilan isolat-isolat B. thuringiensis dari sampel yang berasal dari berbagai kabupaten dan kota propinsi Banten. Didapatkan sebanyak 236 nomor isolat bakteri yang diperkira-kan sebagai B. thuringiensis. Pengujian adanya sintesis protein Cry dilakukan dengan tehnik isolasi protein kristal menurut cara Bel (1997) dan visualisasi dengan SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis, baru beberapa nomor isolat yang diujikan menunjuk-kan adanya protein tersebut.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
29
Pengujian adanya protein non-kristal yang diproduksi selama proses pertumbuhan bakteri dicobakan diteliti dengan cara analisis mengunakan tehnik High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Sampai saat ini baru 13 nomor isolat asal Banten yang diujikan, sementara untuk menyeleksi adanya kesamaan atau duplikasi galur diantara dari sejumlah nomor baru dimulai melakukan uji profil DNA dengan tehnik fragmentasi low-melting agarose immobilised intact DNA dengan 2 macam rare cutting endonuclease dan visualisasi dengan Pulsed-field Gel Electrophoresis (PFGE).
Metode isolasi DNA yang paling cocok untuk PFGE adalah metode plug yang dikembangkan oleh Cantor, karena hasil isolasinya dapat bertahan lebih lama dari isolasi DNA konvensional. Analisa pita restriksi tidak dapat dilakukan dengan baik karena proses restriksi enzim tidak memberikan pita yang jelas tapi justru memberikan pita smear. Perhitungan genom total dan perkiraan kekerabatan belum berhasil dilakukan. Sementara menunggu diterimanya ajuan penelitian 2009 kegiatan ini akan terus dilanjutkan dengan menggunakan bahan kimia yang baru diterima pada bulan Nopember 2005
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak baik di Puslit Bioteknologi maupun di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala
Laboratorium Pangan – Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta yang memberikan penulis untuk menggunakan alat HPLC dalam menetapkan protein secara lebih tepat.
DAFTAR PUSTAKA Aronson I. 1993. Insecticidal toxins, pp. 953-963 in: Bacillus substilis and Other Gram-Positive Bacteria. Biochemistry, Physiology, and Molecular Genetics. (Sonenshein, A.L., J.A. Hoch, and R. Losick, eds.) American Society for Microbiology, Washington, D.C. Bel Y, Ganero F, Alberola T.A, MartinezSebastian M.J, Ferré J. 1997. Distribution, frequency and diversity of Bacillus thuringiensis in olive tree environments in Spain. System. Appl. Microbiol. 20, 652-658. Bendov, E.; Zaritsky A, Dajian E, Barak Z, Sinai R, Manasiterob R, Kitamreu A, Troitskaya E, Debitsky A, Berezina N, Margalith, Y. 1997. Extended screening for seven cry groups genes from field-collected strains of Bacillus thuringiensis. Appl. Environ. Microbiol. 63:4883-4890. Bernhard, K, Jarrett P, Meadow M, Butt J, Ellis D.J, Roberts G.M, Pauli S, Rodgers P, Buerges H.D. 1997 Natural isolates of Bacillus thuringiensis: worldwide distribution, characterization, and activity againts pests. J. Invertebrate. Pathol. 70:5968. Carozzi, N.B., Kramer V.C, Warren G.W, Evola S, Kaziel M.G. 1991. Prediction of insecticidal activity of Bacillus thuringiensis strains by Polymerase Chain Reaction
products profiles. Appl. Environ. Microbiol. 57:3057-3061. Feteuilson, J.S., Payne J, Kim I. 1992. Bacillus thuringiensis: insect and beyond. Bio/Technology 10:271-275. Guerchicoff, A., Delécluse A, Rubinstein C.P. 2001. The Bacillus thuringiensis cyt genes hemolytic endotoxins constitue a gene family. App.Environ. Microbiol. 67: 1090- 1096. Hofte H, Whiteley H. 1989. Insecticidal crystal protein of Bacillus thuringiensis. Microbiol. Rev. 53:242-248. Knowles, B.H., Ellar D.J. 1987. Colloid-osmotic lysis is a general features of the mechanism of action of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin with different specificity. Biochim. Biophys. Acta 924:509-518. Laemmli, U.K. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685. Martin, P.A.W., Travers R.S. 1989. Worlwide abundance and distribution of Bacillus thuringiensis isolates. Appl. Environ. Microbiol. 55:2437-2442. Pantuwatana, S. 1990. Molecualr aspects of the Bacillus thuringiensis subsp. israelensis and Bacillus sphaericus toxins. Proceeding & Abstract. 5th International Colloquium on Invertebrate Pathology and Microbial
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
30
Control. Adelaide 20-24 August 1990. Australian Academiy of Science. Park, H.W., Ge B, Bauer L.S, Federici B.A. 1998. Optimization of cry 3 yield in Bacillus thuringiensis by use of sporulation dependent promoters in combination with the STAB-SD mRNA sequence. Appl.Environ. Microbiol. 64(10) : 3932-3938. Rosso M-L, Delécluse A. 1997. Contribution of 65 kilodaltons protein encoded by the cloned gene cry 19A to the mosquitocidal of Bacillus thuringiensis subsp. jegathesan. Appl. Environ. Microbiol. 63:4449-4455. Schnepf, H.E., Schwab G.E, Payne J.M, Enarva K, Foncerrada L. 1992. Patent.WO92/19739 Smith RA, Couche GA 1991 The phylloplane as a source of Bacillus thuringiensis variants. Appl. Environ. Microbiol. 57:311-331. Thanabalu T, Hindley J, Brenner S, Oei C, Berry C. 1992. Expression of the mosquitosidal
toxins of Bacillus sphaericus and Bacillus thuringiensis subsp. isralensis by reccombinan Caulobacter cresentus, a vehicle for biological control of aquatic insect larvae. Appl. Environ. Microbiol. 58:905-910. Travera, M.S., Martin P.A.W,.C.F. Reicheldelfer. 1987. Selective process for efficient isolation of soil Bacillus sp. Appl. Environ.Microbiol. 53:1263-1266. Yamamoto T, Dean D.H. 2000. Insecticidal proteins produced by bacteria pathogenic to agricultural pests. J.F. Charles et al. (eds) Entomopathogenic Bacteria : From Laboratory to Filed Application, 81-100. KLUVER Academic Publishers. Netherland. Zeigler, D.R. 1999. Bacillus Genetic Stock Center of Strains, Seventh Edition, Part 2: Bacillus thuringiensis and Bacillus cereus. Departement of Biochemistry. The Ohio State University, Columbus-Ohio 43210 USA.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
31
Ekspresi Gen PDC Penyandi Enzim Pyruvate Decarboxylase pada Lactobacillus Pentosus untuk Produksi Etanol Budi Saksono, Elvi Yetti, Lita Triratna, Puspita Suci Wulandari, Dewi Fitriani, Agitya Putra Kusuma, dan Gunawan Ari Wibowo Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dalam rangka memproduksi bioetanol berbasis selulosa dengan efisien, sedang dilakukan rekayasa Lactobacillus pentosus dengan cara menginsersi cassette homologous recombinant yang mengandung promoter xylR, gen pdc dan adhB untuk menginaktifkan gen ldh. Pada tahun 2007, telah dilakukan karakterisasi L. pentosus, kloning gen pdc dari Zymomonas mobilis dan ditingkatkan toleransi strain terhadap etanol hingga 5%. Pada tahun 2008 telah dikloning gen adhB dari Z. mobilis dan D-ldh dari L. plantarum. Telah didapatkan PCR produk adhB dan D-ldh dengan besar masing masing 1290 dan 1059 bp. Kedua produk PCR adalah gen adhB dan D-ldh yang telah dikonfirmasi dengan hasil DNA sekuen. Pada gen adhB, terdapat mutasi Phenylalanine (F) menjadi Leucine (L) pada asam amino ke-247, atau Q247E. Analisa struktur protein menunjukkan bahwa terjadi perubahan jarak interaksi hidrogen antara G247E dengan A142 dan G143, yang kemungkinan akan berpengaruh pada struktur dan aktifitas enzim alcohol dehydrogenase tersebut. Karakterisasi enzim dibutuhkan untuk memprediksi dampak mutasi pada etanol produksi. Adapun untuk etanol toleransi, belum mendapatkan strain yang toleran terhadap etanol 7%. Untuk lebih mengefisiensikan koleksi mutan yang toleran terhadap etanol dan memiliki daya konversi glukosa, telah berhasil dikembangkan media seleksi yang mampu menyeleksi strain target. Diharapkan metoda ini bisa membantu kesuksesan penelitian berikutnya. Kata kunci: Lactobacillus pentosus, gen pyruvate decarboxylase, Bioetanol, Rekayasa Metabolis
PENDAHULUAN Krisis energi minyak bumi telah mendorong penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan, yang salah satunya adalah bioetanol. Untuk itu, pencarian strain baru yang mampu memproduksi etanol secara lebih efisien mutlak diperlukan (Thomas, W.J., 2005). Trend teknologi produksi bioetanol saat ini mengarah pada produksi bioetanol berbasis biomasa dengan beberapa alasan, seperti kontribusinya pada pengembangan yang berkesinambungan (Monique et al., 2003), tersedia secara berlimpah, dan tentunya ramah lingkungan karena bisa mengurangi emisi gas dan memecahkan persoalan limbah (Lynd L.R., 1996). Tingkat kebutuhan yang tinggi, menjadikan teknologi produksi bioetanol merupakan satu – satunya teknologi yang mampu menyerap limbah biomasa secara masal. Hingga saat ini, teknologi produksi bioetanol berbasis biomasa masih dalam taraf pengembangan. Rekayasa mikroba untuk meningkatkan produksi etanol berbahan baku biomasa, telah dilakukan. Diantara produknya adalah rekombinan Saccharomyces cerevisiae dan Zymomonas mobilis. Meskipun demikian, ketika
diaplikasikan, rekombinan mikroba tersebut belum mampu memenuhi target ideal produksi. Pencarian dan rekayasa mikroba lain sebagai alternatif dari kedua mikroba tersebut masih terus dilakukan. Lactobacillus pentosus mampu hidup pada media yang mengandung asam asetat, dan furfural (Guadalupe et al., 2005) dan menghasilkan asam laktat sebagai produk utama. Strain ini memiliki endogenous gen adh tetapi tidak memiliki endogenous gen pdc. Oleh karena itu, agar mampu memproduksi etanol, dibutuhkan insersi gen pdc dan adhB di bawah kontrol promoter. Penyisipan gen pdc pada Lactobacillus plantarum, ternyata tidak mampu memproduksi etanol secara efisien (Liu et al., 2006). Hal ini mungkin disebabkan karena beberapa faktor, antara lain seperti level ekspresi gen pdc dan adh yang berbeda, toleransi mikroba ini terhadap kadar etanol yang rendah. Pada penelitian sebelumnya, telah dikloning gen pdc dari Z. mobilis pada Escherichia coli DH5α. Konfirmasi gen pdc dengan sekuensing juga telah dilakukan. Dalam penelitian ini akan dilakukan rekayasa L. pentosus agar mampu menghasilkan etanol dari limbah pertanian secara
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
32
efektif, dengan menginsersi gen pdc dan adhB,
serta meningkatkan toleransinya terhadap etanol.
BAHAN DAN CARA KERJA Studi Bioinformatika Software yang digunakan untuk mendesain primer adalah Genamics expression, Bioedit, fast PCR, dan Oligocalc: online Oligonucleotide Properties Calculator, sedangkan software yang digunakan untuk menganalisa struktur protein adalah Swiss – PDB Viewer 4.0.1. Data gen diporoleh dari National Center for Biotechnology Information (NCBI), sedangkan data struktur protein diperoleh dari Protein Data Bank (PDB). Mikroba dan media tumbuh L. pentosus dan Z. mobilis diperoleh dari National Institute of Technology and Evaluation/NITE Biological Resource Center (NBRC), Jepang. Media tumbuh Lactobacillus, Media de Man Rogosa Sharpe (MRS) disuplai dari Oxoid . Cloning vector, pGEM-T easy disuplai dari Promega. Restriksi Enzim, EcoRI, BamHI, NdeI, dan lain sebagainya, marker DNA 1 Kb, dan PCR kit disuplai dari Fermentas. Genome Extraction kit disuplai dari Genencor. Primer dipesan dari Eurogentec-AIT, Singapura. Sedangkan, sekuensing dilakukan oleh Macrogen, Korea. Kloning gen adhB dari Z. mobilis Kloning gen adhB dari Z. mobilis dilakukan dengan standar protokol laboratorium Carbohydrate and Bioengineering Research Group (CBRG). Primer didesain menggunakan program Genamic Expression software, Bioedit software, fastPCR software, dan Oligocalc: online Oligonucleotide Properties Calculator software, dan sekuensing DNA yang mengandung gen adhB sebagai template. Forward primer adalah 5’GGATCCATGGTTGTTTTCGGGTTGTTGC-3’ dan reverse primer adalah 5’CTCGAGAGAAATCGGAGGCATTGTTTGC3’. Posisi forward primer ke arah 5’ dari start codon, ATG dan mengandung situs enzim restriksi BamHI, sedangkan posisi reverse primer ke arah 3’ dari stop codon, dan mengandung situs enzim restriksi XhoI. PCR produk diprediksi berukuran 1290 bp yang mengandung Ribosomal Binding Site (RBS) dan Open Reading Frame (ORF) gen adhB. PCR dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: innitial denaturation 94°C, 2 menit; denaturation 94°C, 1 menit; annealing 52°C, 0,5 menit, dan elongation 72°C, 1 menit;
yang diulang sebanyak 35 kali; elongation 72°C, 7 menit, dan storage 4°C. PCR produk kemudian dielektroporesa pada 1% gel agarose dan divisualisasikan dengan ethidium bromida (EtBr) untuk dikonfirmasi ukuran PCR produknya. PCR produk target, kemudian dipurifikasi untuk kemudian diligasi dengan vektor kloning pGEM – T easy (Promega) dengan teknik standar untuk kemudian ditransformasikan ke sel kompeten E.coli DH5α yang dipersiapkan freshly dengan teknik heat shock dan ditumbuhkan pada media seleksi Luria-Berthani (LB) yang mengandung X-Gal, ampicillin, dan Isopropyl β-D-1thiogalactopyranoside (IPTG). Koloni berwarna putih yang tumbuh kemudian dikultur pada media LB yang mengandung ampicillin 100 µg/ml selama semalam. Isolasi plasmid dilakukan dengan cara mengkultur koloni putih yang tumbuh pada media LB cair yang mengandung ampicillin 100 µg/ml dengan teknik alkali lisis. Plasmid kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi EcoRI. Positif plasmid yang mengandung gen adhB, kemudian disekuensing urutan basanya (Macrogen). Kloning gene Dldh dari L. plantarum Karena kadar GC pada area start codon sangat rendah, desain primer gen D-ldh dilakukan pada arah inner dari ORF. Forward primer didesain sebagai berikut; 5’CATATGAAAATTATTGCTTATGCTGTACG TGATGACGAACG-3’ yang mengandung situs enzim restriksi NdeI dan reverse primer adalah sebagai berikut 5’GGATCCGTCAAACTTAACTTGCGTATCAG CTTTACCAGTTTCG-3’ yang mengandung situs enzim restriksi BamHI. Pada forward primer dilakukan sedikit modifikasi A menjadi T (warna biru) supaya tidak terpotong oleh enzim restriksi NdeI. Sebagai template digunakan genom dari L. plantarum dengan pertimbangan homologi kedua gen sama, dan pertumbuhan L. plantarum lebih cepat sehingga memudahkan proses berikutnya. PCR dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: innitial denaturation 94°C, 2 menit; denaturation 94°C, 1 menit; annealing 54°C, 0.5 menit; dan elongation 72°C, 1 menit, yang diulang sebanyak 35 kali; elongation 72°C, 7 menit, dan storage 4°C. PCR produk kemudian dielektroporesa pada 1% agarose gel dan divisualisasikan dengan EtBr
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
33
untuk dikonfirmasi ukuran PCR produknya. PCR Rekayasa Evolusi untuk meningkatkan produk target, kemudian dipurifikasi untuk toleransi etanol L. Pentosus kemudian diligasi dengan vektor kloning pGEM L. pentosus diinokulasi pada media standar –T easy (Promega) dengan teknik standar untuk kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 kemudian ditransformasikan ke sel kompeten jam untuk peremajaan. Kultur kemudian E.coli DH5α yang dipersiapkan freshly dengan dibiakkan pada media MRS cair yang teknik heat shock dan ditumbuhkan pada media mengandung etanol dengan konsentrasi 0% dan seleksi LB yang mengandung X-Gal, ampicillin, 7%. Kemudian diukur pertumbuhannya dengan dan IPTG. Koloni berwarna putih yang tumbuh memonitor pertumbuhan pada OD600. Selain itu, kemudian dikultur pada media LB yang jumlah koloni hidup juga dihitung dengan cara mengandung ampicillin 100 µg/ml selama menyebar 100 μL kultur pada media MRS padat semalam. Isolasi plasmid dilakukan dengan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. mengkultur koloni putih yang tumbuh pada Sedangkan sisanya ditambah dengan glycerol media LB cair yang mengandung ampicillin 100 untuk kemudian dibiakkan kembali pada media µg/ml dengan teknik alkali lisis. Plasmid yang mengandung etanol dengan konsentrasi 0% kemudian dipotong dengan menggunakan enzim dan 5%. Penelitian ini diulang terus menerus, restriksi EcoRI. Positif plasmid yang hingga kurva pertumbuhan strain pada etanol 7% mengandung gen adhB, kemudian disekuensing mendekati kurva pertumbuhan pada etanol 0%. urutan basanya (Macrogen). HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kloning gen adhB dari Z. mobilis Seperti pada gambar 1, produk PCR sebesar 1290 bp telah didapatkan. Ukuran ini sesuai dengan prediksi hasil perhitungan berdasarkan bioinformatik. Oleh karena itu, produk PCR tersebut, kemudian dipurifikasi dengan menggunakan kit, dan diligasikan ke pGEM– T easy dan ditransformasikan ke sel kompeten E. coli DH5α yang dipersiapkan freshly. Transforman yang tumbuh pada media seleksi, berjumlah lebih dari 100 koloni. Dari 100 koloni, 15 transforman telah diisolasi plasmidnya menggunakan metoda alkali lisis. Plasmid dipotong dengan restriksi enzim EcoRI, dan dielektroporesa pada agarose 1%. Positif klon ditunjukkan dengan adanya 2 band dengan ukuran + 3000 bp (ukuran pGEM – T easy) dan 1300 bp (ukuran produk PCR).
Gambar 2 menunjukkan hasil isolasi plasmid yang telah dipotong dengan enzim restriksi EcoRI. Diperoleh 3 fragmen dengan ukuran + 3000 bp, + 800 bp dan + 500 bp. Kami menduga bahwa hal itu disebabkan oleh adanya mutasi pada level asam nukleotidanya. Untuk membuktikannya, plasmid dari transforman tersebut kemudian kami gunakan sebagai template untuk PCR dengan menggunakan primer spesifik adhB.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
34
Kami berasumsi jika diperoleh fragmen PCR dengan ukuran yang sama dengan ukuran PCR produk yang menggunakan genom sebagai template, berarti terjadi mutasi. Hasil produk PCR seperti ditunjukkan pada Gambar 3, menunjukkan adanya band tunggal dengan ukuran + 1290 bp. Dengan demikian, kami berkesimpulan telah terjadi mutasi gen sehingga membentuk urutan basa spesifik bagi enzim restriksi EcoRI, CAATTG. Kemudian untuk memprediksi lokasi mutasi, kami menganalisa sekuen asam nukleotida gen adhB dari Z.mobilis. Hasil analisa terhadap gen adhB Z.mobilis, kami mendapati ada 2 lokasi dimana jika basanya mengalami satu mutasi, maka akan membentuk situs enzim restriksi EcoRI, yaitu pada posisi asam nukleotida urutan ke 359/364 dan 837. Sedangkan jika melihat ukuran fragmen, yaitu + 800 bp dan + 500 bp, maka kami menduga bahwa asam nukleotida urutan ke 841 mengalami perubahan dari C menjadi G. Dengan perubahan ini, asam amino pada posisi 247 berubah dari Glutamine (Q) menjadi Glutamate (E), atau Q248E. Asam amino Glutamine merupakan asam amino polar tidak bermuatan, sedangkan Glutamate merupakan asam amino polar bermuatan negatif. Nilai pI untuk Q adalah 5.65 sedangkan untuk E adalah 3.22. Jumlah total Q pada adhB Z.mobilis wildtype sebanyak 7
sedangkan E sebanyak 17. Oleh karena itu, perubahan Q menjadi E, berarti akan menambah jumlah E (menjadi 18) dan mengurangi jumlah Q (menjadi 6), yang otomatis berdampak pada total pI alcohol dehydrogenase (Gambar 4).
Kemudian kami mencoba menganalisa dampak mutasi asam amino tersebut terhadap struktur protein. Sekuen asam amino alcohol dehydrogenase dari Z. mobilis dimasukkan ke dalam program amino acid homology pada situs PDB (http://www.rcsb.org). Dari hasil searching secara on line, didapatkan beberapa kandidat enzim, diantaranya enzim 1,3-propanediol oxidoreductase, enzim lactaldehyde reductase, enzim lactaldehyde: 1,2-propanediol oxido reductase (Tabel 1).
Tabel 1. Aligment enzim alcohol dehydrogenase dengan enzim lain di level struktur protein No
Enzyme
PDB ID
Identity (%)
E – value
Classification
1
Alcohol dehydrogenase (Z. Mobilis)
-
100
0.00
Oxidoreductase
2
1,3 – propanediol oxidoreductase
3bfj
48
1.5E - 95
Oxidoreductase
3
Lactaldehyde reductase
Irrm
43
1.3E – 82
Oxidoreductase
4
Lactaldehyde: 1,2 – propanediol oxidoreductase
2bij
43
1.4E – 82
Oxidoreductase
5
Alcohol dehydrogenase
1o2d
35
1.3E – 33
Oxidoreductase
Enzim alcohol dehydrogenase dari Z. mobilis ini memiliki homologi dengan family Ion containing alcohol dehydrogenase. File struktur tiga dimensi lactaldehyde oxidoreductase (PDB ID = Irrm) di download dari internet dan dianalisa dengan software PDB Viewer. Posisi Q247 jika dihomologikan dengan sekuen asam amino dari
1,3 – propanediol oxidoreductase dan enzim Lactaldehyde reductase sama dengan posisi S251 pada 1,3 – propanediol oxidoreductase dan Q247 pada enzim Lactaldehyde reductase, dimana kedua asam amino S251 dan Q247 terletak pada struktur helix dan tergolong asam amino polar tidak bermuatan (uncharged) (Gambar 5).
1290
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
35
Secara umum ada kemiripan secara struktur antara enzim 1,3 – propanediol oxidoreductase dan enzim lactaldehyde reductase (Gambar 6), yang terdiri dari active domain dan iron binding domain. Adapun posisi S251 pada 1,3 – propanediol oxidoreductase dan Q247 pada
enzim lactaldehyde reductase ditunjukkan warna merah. Sementara pada posisi 142 dan 143 terdapat Alanine (A) dan Glycine (G) (warna hijau), yang termasuk dalam conserved region (TTAGTA) pada Gambar 5.
Jika dianalisa posisi A144 dan G145 dengan S251 pada enzim1,3 – propanediol oxidoreductase dan A142 dan G143 dengan Q247 pada enzim lactaldehyde reductase
(Gambar 7) bisa diprediksi peranan asam amino – asam amino tersebut terkait dengan kestabilan struktur enzim famili alcohol dehydrogenase (Gambar 6 dan 7). Artinya, A dan G yang
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
36
terpelihara (conserved) dan jenis asam amino baik Serine maupun Glutamine yang keduanya tergolong asam amino polar tidak bermuatan, bisa diprediksi bahwa asam amino tersebut memegang peranan penting terkait dengan struktur protein famili alcohol dehydrogenase. Jika melihat jenis asama amino, diprediksi terjadi ikatan wander walls antara ion hidrogen dengan OH pada Serine atau O pada Glutamine. Oleh karena itu, mutasi Q247E pada alcohol dehydrogenase Z.mobilis, dimana G yang polar tidak bermuatan berubah menjadi E yang polar bermuatan, tentu akan mempengaruhi ikatan di antara asam amino – asam amino tersebut di atas. Apakah hal ini berdampak pada karakter enzim alcohol dehydrogenase, harus dibuktikan di level biokimia enzim. Dan hal ini penting dilakukan, karena enzim alcohol dehydrogenase adalah pemeran utama konversi pyruvate menjadi etanol.
Hanya saja, informasi letak gen D-ldh diantara gen lain pada level kromosom belum diketahui. Khususnya posisi gen tersebut terhadap gen L ldh.
C.
Rekayasa Evolusi untuk meningkatkan toleransi etanol Lactobacillus pentosus Peningkatan etanol toleran telah dilakukan dengan pengulangan pembiakan strain L.pentosus pada media MRS yang mengandung etanol 7%. Gambar 9 menunjukkan kecenderungan yang sama sebagaimana ketika ditumbuhkan pada media yang mengandung etanol 5%, tetapi penyesuaiannya relatif lebih lama dibanding pada media beretanol 5%. Pada etanol 5%, strain mampu menurunkan nilai hambatan menjadi 40%, sedangkan pada etanol 7%, strain baru mampu menurunkan nilai hambatan sebesar 60%. Selain itu, teknik seleksi hasil mutan, masih menggunakan teknik lama, yang hanya mengukur sisa glukosa dalam kultur. Apakah seluruh glukosa dikonversi menjadi asam laktat atau tidak, tidak bisa diamati. Oleh karena itu, kami mengembangkan teknik seleksi lain yang mampu menyeleksi mutan toleran berbasis asam laktat yang terproduksi. Untuk memudahkan seleksi, kami mengembangkan teknik seleksi mutan potensial berbasis media tumbuh (selektif media).
B.
Kloning gen D-ldh dari L.plantarum Gene D-ldh adalah gen yang akan diinaktifkan guna mengarahkan pathway pyruvate menuju arah yang dikehendaki, yaitu acetaldehyde kemudian etanol dengan bantuan gen pdc dan adhB. Gambar 8 menunjukkan produk PCR (A) dan positif klon hasil isolasi plasmid dari transforman (B). Telah didapatkan produk PCR dan juga fragmen hasil isolasi plasmid dari transforman yang telah dipotong dengan EcoRI dengan ukuran 1050 bp. Hasil sekuen dari fragmen tersebut menunjukkan bahwa fragmen tersebut adalah gen D-ldh (Lampiran). Fungsi daripada gen D-ldh pada konstruksi cassette homologous recombinant adalah sebagai region yang akan mengalami rekombinasi dan pada saat yang sama adalah untuk inaktifasi gen tersebut. Sedangkan untuk efisiensi transkripsi dan translasi sangat tergantung pada kekuatan promoter untuk mengstimulasi ekspresi gen pdc dan adhB. Oleh karena itu, studi struktur enzim D (-) lactate dehydrogenase tidak diperlukan.
D. Pengembangan metoda selektif media untuk mengskrining mutan berpotensi Pada tahun 2007, kami mengembangkan teknik seleksi mutan unggul dengan cara mengukur glukosa tersisa pada kultur. Dengan asumsi bahwa 1 mol glukosa akan dikonversi oleh Lactobacillus menjadi 2 mol asam laktat. Tetapi berjalan dengan waktu, kami menyadari bahwa teknik ini ternyata memiliki banyak kelemahan, sehingga kami kemudian mencari teknik seleksi lain. Pada pengembangan kali ini,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
37
yang kami jadikan sebagai target pengukuran adalah jumlah asam laktat yang terproduksi meskipun masih secara kualitatif, tetapi menjadi metoda yang akurat dibandingkan metoda sebelumnya, karena yang dijadikan pengukuran
sangat terkait dengan jumlah asam laktat yang terproduksi. Apalagi, yang menjadi target pengukuran adalah mutan hasil evolution engineering.
Gambar 10 menunjukkan media seleksi yang mengandung xylose (media seleksi yang mengandung glukosa tidak ditampilkan). Pada prinsipnya, kami memanfaatkan gen – gen terkait dengan metabolisme xylosa yang terdapat pada L.pentosus tapi terdapat pada L.plantarum. Xylose akan dikonversi menjadi asam laktat oleh L. pentosus dan tidak oleh L.plantarum, kemudian asam laktat yang dihasilkan kemudian membentuk zona bening di media seleksi. Gambar 10A menunjukkan kondisi L. pentosus dengan zona bening di sekitar koloni, Gambar 10C menunjukkan kondisi L. plantarum tanpa zona bening di sekitar koloni, dan Gambar 10B menunjukkan kondisi L. pentosus yang bercampur dengan L. plantarum, dimana, L. pentosus bisa dibedakan dari L. Plantarum dengan teknik yang sederhana tapi akurat.
Perbedaan prinsip antara teknik yang baru dan teknik sebelumnya adalah pada senyawa yang diukur. Seperti diperlihatkan pada Gambar 11, metoda lama dilakukan dengan mengukur sisa kadar glukosa yang terdapat pada kultur (Saksono et al., 2007). Kelemahan teknik ini, jumlah yang terkonversi menjadi asam laktat tidak bisa dianalogikan. Apalagi berbeda kondisi lingkungan sangat mungkin untuk memproduksi senyawa lain disamping asam laktat. Oleh karena itu, metoda baru benar – benar hanya mengukur kadar asam laktat yang terproduksi. Selain itu, tekniknya relatif sederhana, hanya menyebar mutan pada media agar seleksi saja. Dengan pengembangan teknik sederhana ini, ke depan kami akan melakukan seleksi terhadap koloni yang toleran terhadap etanol sekaligus memiliki daya konversi tinggi.
KESIMPULAN Secara umum dapat disimpulkan bahwa target penelitian tahun 2008 telah tercapai, yaitu: (1) kloning gen adhB dari Z.mobilis dan (2) gen Dldh dari L.plantarum ke dalam E.coli DH5α yang didukung dengan data DNA elektrophoresis maupun DNA sekuen. Gen adhB mengalami mutasi baik pada level asam nukleotida (pada
posisi 739, c berubah menjadi g) maupun level asam amino, yaitu Q247E, sehingga perlu dianalisa lebih lanjut terkait dengan karakter biokimia enzim alcohol dehydrogenase. (3) Evolution engineering Lactobacillus telah berhasil meningkatkan toleransinya terhadap etanol 7%, meskipun dengan beberapa catatan,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
38
yaitu data hanya menunjukkan tingkat toleransi yang meningkat, tetapi tidak didukung dengan data daya konversi dari mutan tersebut. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalah tersebut, telah dikembangkan teknik yang sederhana,
murah dan cepat untuk menyeleksi mutan – mutan yang tidak hanya tahan terhadap etanol tinggi tetapi juga memiliki daya konversi glukosa yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DIPA 2008. Terima kasih dan apresiasi yang tinggi kami tujukan kepada Agitya Putra Kusuma, Gunawan
Ari Wibowo, Puspita Suci Wulandari, Dewi Fitriani dan para mahasiswa atas kerja cerdas dan keras serta tanggungjawabnya.
DAFTAR PUSTAKA Conway, T., G.W. Sewell, Y.A. Osman, L.O. Ingram. 1987. Cloning and Sequencing of Alcohol Dehydrogenase II gene from Zymomonas mobilis. Journal of Bacteriology 169 (6), 2591 – 2597. Guadalupe, B., Ana, B. M., Jose, M.C., Jose, M.D. 2005. Influence of the Metabolism Pathway on Lactic Acid Production from Hemicellulosic Trimming Vine Shoots Hydrolyzates Using Lactobacillus pentosus. Biotechnol. Prog. 21, 793 – 798. Liu, S., Nichols, N.N., Dien, B.S., Cotta, M.A. 2006. Metabolic Engineering of a Lactobacillus plantarum Double Ldh Knockout Strain for Enhanced Ethanol Production. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology, 33(1), 1-7. Lynd, L.R. 1996. Overview and evaluation of fuel ethanol production from cellulosic
biomass; technology, economics, the environment, and policy. Annu Rev Energy Environ 21, 403 – 465. Monique, H., Faaij, A., van den Broek, R., Berndes, G., Gielen, D., Turkenburg, W. 2003. Exploration of the ranges of the global potential of biomass for energy. Biomass Bioenergy 25, 119 – 133. Saksono, B., Yetti, E., Triratna, L., Wulandari, P.S., Wibowo, G.A. 2007. Ekspresi Gen pdc penyandi enzyme pyruvate decarboxylase pada Lactobacillus pentosus untuk produksi etanol. Laporan teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 23 – 30. Thomas, W.J. 2005. Ethanol Fermentation on the Move. Nature Biotechnology 23 (1), 40-41.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
39
Penataan Koleksi, Pengembangan, dan Konservasi Plasma Nutfah Tumbuhan secara In Vitro Dyah Retno Wulandari, Tri Muji Ermayanti, Deritha E. Rantau, Erwin Al Hafiizh dan Rudiyanto Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penataan koleksi, pengembangan dan konservasi jenis-jenis tumbuhan yang telah diteliti di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI perlu dilakukan untuk menjaga, memelihara dan mempertahankannya agar bahan material hasil penelitian ini tetap ada dalam jangka waktu yang lama. Kegiatan yang dimulai tahun 2008 ini merupakan kegiatan rutin pemeliharaan dan kegiatan penelitian konservasi in vitro yang sesuai untuk setiap jenis yang telah diteliti agar material tanaman tidak berubah sifat genetiknya, kualitas tanaman dapat dipertahankan dan eksplan dapat diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap setelah disimpan dalam waktu lama. Kegiatan ini meliputi aplikasi beberapa teknik konservasi menggunakan perlakuan media (antara lain penambahan zat penghambat tumbuh atau retardan) untuk memperlambat pertumbuhan dalam upaya memperoleh metode konservasi yang sesuai dengan jenis tanaman. Metode konservasi in vitro yang saat ini dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI adalah penggunaan zat penghambat tumbuh Paclobutrazol dengan konsentrasi mulai 2 mg/l dengan memperpanjang waktu pengamatan akan lebih tampak nyata efek penghambatan terhadap tinggi tanaman, jumlah buku dan daun tanaman nilam. Basis data tentang jenis tanaman yang telah dikonservasi dan teknik yang dipergunakan juga akan dibuat sebagai usaha penyimpanan informasi yang berharga dan memformatnya dalam bentuk kumpulan informasi yang mudah diakses berbagai pihak yang memerlukan. Basis data dibuat dalam format katalog buku seperti yang telah dilakukan di perpustakaan Puslit Bioteknologi-LIPI, yaitu format WINISIS dengan menampilkan 17 field data yang mampu menggambarkan keseluruhan informasi yang diperlukan pengguna. Kata kunci: koleksi in vitro, basis data in vitro, konservasi in vitro, pertumbuhan lambat
PENDAHULUAN Salah satu kegiatan penelitian Puslit Bioteknologi-LIPI adalah melakukan peningkatan mutu tanaman antara lain dengan teknik rekayasa genetika dan aplikasi teknologi in vitro (kultur jaringan). Teknik in vitro ini telah diterapkan pada berbagai jenis tanaman dan pengembangannya telah berlangsung selama bertahun-tahun dimulai sejak keberadaan Puslit Bioteknologi yaitu tahun 1986 hingga saat ini. Teknologi yang digunakan antara lain dengan rekayasa genetika (misalnya melalui transformasi dengan Agrobacterium), seleksi somaklonal, embriogenesis somatik, kultur kalus, kultur tunas, kultur akar, induksi mutasi, manipulasi lingkungan tumbuh in vitro, dan lain-lain. Tanaman yang telah diteliti secara in vitro antara lain beberapa jenis tanaman pangan dan hortikultura (antara lain padi, singkong, ubi jalar, talas, kentang), tanaman keras (antara lain A. mangium, sengon, sungkai), buah-buahan (antara lain pisang, manggis, nanas, mangga), berbagai jenis tanaman obat dan tanaman penghasil metabolit sekunder (antara lain beberapa jenis
Artemisia, Dioscorea, Mentha, jahe, nilam, valeriana, lidah buaya, iles-iles dan lain-lain), tanaman hias (Alocasia suhirmaniana, Gloxinia, Chrysanthemum, anggrek) dan lain-lain. Penelitian yang dimulai tahun 2008 ini telah dilakukan secara bertahap terhadap berbagai jenis tanaman tersebut di atas antara lain bertujuan untuk perbanyakan bibit yang terstandardisasi secara in vitro dari tanaman unggul; perbanyakan cepat; konservasi secara in vitro; perbaikan mutu tanaman melalui seleksi, embriogenesis dan induksi mutasi; studi produksi metabolit sekunder dan lain-lain. Setelah kegiatan penelitian berakhir, material tanaman harus dipelihara secara rutin di dalam ruang inkubasi untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Hal ini dilakukan untuk tetap mendapatkan dan mempertahankan material tanaman yang pada suatu ketika diperlukan untuk penelitian lanjutan atau disiapkan untuk kerjasama dengan stakeholder yang memerlukannya.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
40
Di Puslit Bioteknologi-LIPI, sampai saat ini konservasi in vitro tanaman hasil penelitian dilakukan dengan cara subkultur pada media tanam secara periodik (setiap 1-3 bulan). Hal ini mempunyai kelemahan antara lain bahwa kultur menjadi rawan terhadap kontaminasi karena seringnya dilakukan subkultur, menstimulasi terjadinya variasi somaklonal sehingga sifat dan mutu tanaman berubah, tidak efisien karena tidak menghemat media dan tenaga, memerlukan ruang kultur yang mencukupi, dan tidak terkoordinir dengan baik karena masih dipelihara oleh kelompok peneliti masing-masing. Dengan demikian diperlukan suatu unit untuk mengelola kegiatan ini secara terpadu dan dapat dipilih teknik yang tepat untuk setiap koleksi yang ada. Keuntungan dilakukannya konservasi secara in vitro antara lain bahwa material tanaman dapat dihambat pertumbuhannya sehingga mengurangi pemeliharaan yang secara rutin dilakukan dengan frekuensi subkultur yang pendek sehingga dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga. Teknik pertumbuhan lambat merupakan salah satu metode dalam konservasi tanaman secara in vitro. Pada tanaman tropis teknik ini dapat dilakukan dengan menerapkan suhu inkubasi lebih rendah dari suhu normalnya menjadi 2025oC. Penurunan suhu ini perlu dilakukan secara perlahan (Withers, 1991). Pertumbuhan lambat juga dapat distimulasi dengan penambahan bahan osmotik ke dalam media kultur seperti manitol dan sorbitol, penambahan zat penghambat seperti asam absisik, ancymidol dan paclobutrazol (Dicks, 1979). Pembuatan basis data kultur tanaman in vitro koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI perlu dilakukan sebagai usaha merekam dan menyimpan data
penting yang dihasilkan dari kegiatan penelitian sebelumnya. Kegiatan ini juga dimulai pada tahun 2008. Beberapa tujuan pembuatan basis data adalah mengamankan data dan informasi penting, mempermudah dalam pelaksanaan pemasukan data, mempermudah dalam pelaksanaan akses data, membantu dalam perancangan dan pelaksanaan aktivitas pengelolaan plasma nutfah secara keseluruhan dan mempermudah dalam melakukan monitoring status pengelolaan plasma nutfah (Kurniawan, 2006). Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan penataan dalam usaha merintis pembuatan basis data, pemeliharaan, konservasi in vitro koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI yang merupakan hasil penelitian tahun-tahun sebelumnya. Penelitian ini merupakan pendukung hasil penelitian yang telah dikerjakan di Puslit Bioteknologi-LIPI yang dapat dijadikan acuan untuk memperoleh data dan material untuk kepentingan penelitian lanjutan maupun untuk industri atau stakeholder yang memerlukan. Sasaran dari kegiatan ini adalah merintis pembentukan suatu unit/kelompok penelitian untuk memelihara, mengkonservasikan dan mengembangkan serta membuat basis data koleksi plasma nutfah secara in vitro tanaman terpilih yang telah dikembangkan penelitiannya oleh Puslit Bioteknologi-LIPI. Unit ini diharapkan dapat berkembang lebih besar sehingga dapat menangani semua koleksi plasma nutfah tanaman yang telah diteliti di seluruh unit kerja di lingkungan LIPI. Dengan terbentuknya unit ini akan memudahkan bagi konsumen dan para stakeholders baik di lingkungan LIPI atau oleh instansi lain yang memerlukannya.
BAHAN DAN CARA KERJA Pembuatan format basis data kultur tanaman in vitro Pembuatan basis data diawali dengan penentuan pemakaian format apa yang akan dipergunakan secara rutin. Kemudian ditentukan berapa dan apa saja data yang akan ditampilkan (field data) terhadap masing-masing koleksi yang dipunyai. Rincian field data ditentukan dengan mengacu pada contoh-contoh baku tentang basis data koleksi tanaman yang telah diterapkan oleh institusi pemerintah yang berwenang kemudian dikembangkan atau disesuaikan dengan keperluan di Puslit Bioteknologi-LIPI. Setelah field data ditentukan jumlah dan apa saja bentuknya, dituangkan dalam bentuk formulir
isian yang akan didistribusikan pada pihak-pihak yang mempunyai kultur tanaman in vitro yang ingin ditampilkan dalam basis data untuk dilengkapi datanya. Basis data ini akan selalu diup date sesuai dengan perkembangan materi yang dipunyai dan sesuai dengan perkembangan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Pendataan koleksi tanaman in vitro Pendataan koleksi in vitro merupakan langkah awal untuk identifikasi koleksi apa saja yang dimiliki Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI dan memulai koordinasi dengan laboratorium terkait. Pendataan meliputi jenis tanaman, jenis kultur yang tersedia dan komposisi media untuk
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
41
pemeliharaan. Pendataan secara lengkap juga dilakukan untuk pengisian basis data yang dimulai juga pada tahun 2008 ini dan sebagai data untuk melakukan subkultur secara rutin. Subkultur koleksi tanaman in vitro Sub kultur dilakukan pada media yang sesuai dengan media pemeliharaan tiap jenis tanaman dan dilakukan pada koleksi tanaman kultur in vitro di laboratorium Biotek I-3 dan Biotek I-7 Bidang BSJ (kegiatan di Lab Biotek I-7 dilaporkan secara terpisah), dan kegiatan subkultur yang dilakukan mulai dicatat sebagai sumber data untuk melengkapi format basis data. Pada umumnya subkultur dilakukan dengan menggunakan media dasar yang telah sesuai untuk pertumbuhan rutin (atau pemeliharaan rutin) setiap jenis kultur yang dipunyai. Sebagian besar subkultur dilakukan pada media padat MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (MSO) atau media Woody Plant (WP) untuk jenis tanaman menahun seperti manggis. Semua kultur diinkubasikan di dalam ruang kultur yang
mempunyai suhu antara 27-28oC dengan pencahayaan kontinyu. Subkultur dilakukan setiap 2-3 bulan secara rutin tergantung dari kecepatan pertumbuhan jenis kultur. Bagian tanaman yang disubkulturkan dapat berupa tunas pucuk, kalus, akar maupun bagian tanaman lainnya sesuai dengan keadaan kultur yang perlu dipelihara. Perlakuan penambahan retardan Penambahan retardan paclobutrazol dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3 dan 4 mg/l dicoba pada tanaman nilam. Media kultur yang dipergunakan adalah media MS yang diberi zat pemadat agar 9 g/l. Eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk yang mempunyai 2 daun dengan panjang sekitar 2 cm. Menggunakan rancangan percobaan RAL dengan 10 ulangan (masing-masing ulangan terdiri dari 4 tunas pucuk), diamati tinggi tanaman, jumlah buku dan jumlah daun setiap minggunya. Sampai akhir tahun 2008, data yang disajikan merupakan data pengamatan sampai dengan kultur berumur 8 minggu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan format basis data kultur tanaman in vitro Untuk format basis data diputuskan menggunakan format katalog buku seperti yang telah dilakukan di perpustakaan Puslit Bioteknologi-LIPI, yaitu format WINISIS. Format ini dipilih dengan pertimbangan bahwa telah banyak pengguna yang sudah mampu menggunakannya untuk proses penelusuran data dan staf perpustakaan Puslit Bioteknologi-LIPI telah menguasai seluk-beluk format ini sehingga tidak perlu mendatangkan tenaga ahli dari luar Puslit, selain itu software WINISIS ini juga telah legal untuk dipergunakan sehingga tidak melanggar hak cipta. Langkah selanjutnya setelah penentuan format, adalah menentukan field-field data yang akan ditampilkan dalam basis data. Hasilnya terdapat 17 field data yang akan ditampilkan dalam basis data, yaitu: 1. Nomor urut 2. No aksesi (Nomer masuk ke unit preservasi) 3. Nama tanaman (latin, daerah) (varietas / galur / kultivar) 4. Jenis Komoditas (Pangan / Obat / Hias / Kayu / dan lain-lain) 5. Asal tanaman induk (Kabupaten, provinsi, negara, lembaga/institusi/ keterangan lain) 6. Kolektor (nama / jabatan / institusi)
7. Jenis kultur (tunas / akar / kalus atau lainnya) 8. Persyaratan pemeliharaan di ruang inkubasi (Media / Cahaya / Suhu) 9. Pelaksana penelitian (kelti / peneliti) 10. Tujuan kegiatan penelitian terdahulu 11. Sifat morfologis tanaman yang dihasilkan 12. Data lain yang berhubungan dengan keunggulan tanaman hasil penelitian 13. Metode kultur jaringan dan atau rekayasa genetik yang telah dilakukan 14. Publikasi yang telah dihasilkan 15. Data evaluasi hasil penyimpanan (preservasi in vitro) misalnya: media dan hasilnya 16. Kapan harus di subkultur (kultur hasil preservasi) 17. Waktu subkultur terakhir Field-field tersebut kemudian diubah menjadi bentuk formulir (Lampiran 1 dan 2) yang harus diisi oleh setiap kelompok penelitian yang mempunyai koleksi kultur in vitro tanaman. Field-field data ini diadaptasi dari basis data yang telah baku, misalnya Basis data plasma nutfah tanaman pangan (Minantyorini et al., 2002) karena basis data tanaman in vitro belum pernah ada sebelumnya.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
42
Pendataan koleksi tanaman in vitro Hasil pendataan koleksi in vitro di Laboratorium Biotek I-3 (Bidang BSJ) ditampilkan dalam Tabel 1. Laboratorium Biotek I-3 (Bidang BSJ) memiliki 16 jenis tanaman yang dipelihara dalam media MS0 (MS tanpa zat pengatur tumbuh). Jika digolongkan menurut jenis komoditas yang tercantum dalam field data maka koleksi Laboratorium Biotek I-3 terdiri atas tanaman hias, tanaman obat, dan tanaman pangan. Subkultur koleksi tanaman in vitro Hasil pendataan kegiatan subkultur koleksi tanaman in vitro Laboratorium Biotek I-3 (Bidang BSJ) ditampilkan dalam Tabel 2. Sub kultur dilakukan dalam selang waktu kurang lebih 2-3 bulanan. Dari fluktuasi jumlah botol, terlihat resiko kegiatan subkultur yang utama yaitu kontaminasi. Oleh karena itulah diperlukan langkah konservasi in vitro yang mampu menekan frekuensi subkultur. Perlakuan penambahan zat penghambat tumbuh (retardan) a. Tinggi tanaman Penambahan Paclobutrazol sebagai retardan dengan konsentrasi 0,1,2,3 dan 4 mg/l dicoba pada tanaman nilam. Pengaruh perlakuan konsentrasi Paclobutrazol terhadap tinggi tanaman pada minggu ke 8 setelah tanam dapat dilihat pada Gambar 1, rata-rata tinggi tanaman berbeda tidak nyata pada semua perlakuan jika dibanding kontrol (media MS tanpa penambahan Paclobutrazol). Tetapi kecenderungan pertumbuhannya dari pengamatan minggu ke minggu (Gambar 2) menunjukkan tanaman nilam yang mempunyai tinggi tanaman paling tinggi adalah tanaman nilam yang ditumbuhkan pada media MS yang ditambah Paclobutrazol dengan konsentrasi rendah yaitu 1 mg/l. Sedangkan penambahan Paclobutrazol dengan konsentrasi tinggi (4 mg/l) menyebabkan tanaman nilam cenderung terhambat pertumbuhan tingginya. Hal ini menunjukkan bahwa Paclobutrazol terbukti menghambat pertumbuhan tanaman nilam pada konsentrasi tinggi. b. Jumlah buku Pengaruh perlakuan konsentrasi Paclobutrazol terhadap jumlah buku pada minggu ke 8 setelah tanam dapat dilihat pada Gambar 3, rata-rata jumlah buku berbeda tidak nyata pada semua perlakuan jika dibanding kontrol (media MS
tanpa penambahan Paclobutrazol). Tetapi kecenderungan pertumbuhannya dari pengamatan minggu ke minggu (Gambar 4) menunjukkan tanaman nilam yang mempunyai jumlah buku paling banyak adalah tanaman nilam yang ditumbuhkan pada media MS yang ditambah Paclobutrazol dengan konsentrasi tinggi yaitu 3 mg/l. Sedangkan penambahan Paclobutrazol dengan konsentrasi rendah (0 mg/l) mempunyai jumlah buku paling sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa Paclobutrazol pada konsentrasi tinggi terbukti menghambat pertumbuhan tanaman nilam sehingga jumlah buku lebih banyak dengan jarak antar buku lebih pendek. c. Jumlah daun Pengaruh perlakuan konsentrasi Paclobutrazol terhadap jumlah daun pada minggu ke 8 setelah tanam dapat dilihat pada Gambar 5, rata-rata jumlah daun berbeda tidak nyata pada semua perlakuan jika dibanding kontrol (media MS tanpa penambahan Paclobutrazol). Tetapi kecenderungan pertumbuhannya dari pengamatan minggu ke minggu (Gambar 6) menunjukkan tanaman nilam yang mempunyai jumlah daun paling banyak adalah tanaman nilam yang ditumbuhkan pada media MS yang ditambah Paclobutrazol dengan konsentrasi tinggi yaitu 4 mg/l. Sedangkan penambahan Paclobutrazol dengan konsentrasi sedang (2 mg/l) mempunyai jumlah daun paling sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa Paclobutrazol pada konsentrasi tinggi terbukti menghambat pertumbuhan tanaman nilam karena dengan jarak antar buku yang lebih dekat maka jumlah daun menjadi lebih banyak karena pada umumnya disetiap buku ditumbuhi 2 helai daun yang posisinya saling berhadapan. Secara umum terlihat perbedaan yang tidak nyata pada pertumbuhan tanaman nilam pada media MS yang ditambahkan Paclobutrazol dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3 dan 4 mg/l pada minggu ke 8 setelah tanam (Gambar 7). Hal ini dikarenakan 8 minggu merupakan waktu pengamatan yang terlalu singkat untuk melihat perbedaan yang nyata pada efek penghambatan laju pertumbuhan tanaman nilam oleh zat penghambat tumbuh Paclobutrazol. Menurut Meynarti 2005, pertumbuhan tanaman Bangle (Zingiber purpureum) baru tampak berbeda pada umur 5 bulan dan penambahan media MS dengan Paclobutrazol pada konsentrasi 2 dan 3 mg/l sudah mampu menghambat pertumbuhannya. Keefektifan Paclobutrazol dalam menghambat
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
43
pertumbuhan nilam juga telah terbukti pada tanaman nilam dengan kode koleksi TT yang disimpan dengan proses enkapsulasi dalam media MS 1/2 + Paclobutrazol (4-5 mg/l) yang tidak mampu bertunas sampai minggu ke 16 (Lestari, 2000). Jadi perlakuan penambahan Paclobutrazol yang merupakan zat penghambat tumbuh atau retardan pada tanaman nilam masih harus terus
dilakukan dengan waktu pengamatan yang lebih lama karena waktu 8 minggu belum cukup menunjukkan perbedaan yang nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah buku meskipun sudah mulai terlihat kecenderungan pertumbuhan yang terhambat. Selain itu perlu dicobakan penambahan Paclobutrazol dengan konsentrasi yang lebih ekstrim tingginya.
Tabel 1. Koleksi tanaman in vitro Laboratorium Biotek I-3 (Bidang BSJ) No Jenis tanaman Nama daerah Bentuk koleksi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Alocasia suhirmaniana Artemisia cina Acanthus ilicifolius Centella asiatica Dioscorea bulbifera Gloxinia speciosa/ sinningia speciosa Ipomoea batatas Lavandula Mangostana indica Pimpinella pruatjan Pogostemon cablin Rubia akane Solanum tuberosum Taraxacum officinale Zingiber officinale
Keladi hias Mungsi arab Daruju Pegagan Gembolo Gloxinia Ubi jalar Lavender Manggis Purwoceng Nilam Akane Kentang Jombang Wawu Jahe
Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas Tunas/akar/kalus Tunas Tunas
Media pemeliharaan MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0 MS0
Tabel 2. Kegiatan subkultur koleksi tanaman in vitro Laboratorium Biotek I-3 (Bidang BSJ) No Nama tanaman Jumlah awal Jumlah akhir Media Keterangan (Juni 2008) (Sept 2008) 1. Alocasia suhirmaniana 10 11 MS0; 2BN 2. Artemisia cina 57 86 MS0 3. Acanthus ilicifolius 10 22 MSO; 0.1 B 4. Centella asiatica 4 1 MS0; BN; N Kontaminasi 5. Dioscorea bulbifera 18 18 MS0 6. Gloxinia speciosa/ 52 41 MS0 untuk eksplan sinningia speciosa perlakuan 7. Ipomoea batatas 34 46 MS0 8. Lavandula 8 7 MS0 untuk eksplan perlakuan 9. Mangostana indica 38 33 WP; WP Kontaminasi, Kin; pertumbuhan WP BAP lambat 10. Pimpinella pruatjan 43 32 MS0 Kering dan kontaminasi 11. Pogostemon cablin 22 49 MS0 12. Rubia akane 4 8 MS0 13. Solanum tuberosum 48 45 MS0 untuk eksplan perlakuan 14. Taraxacum officinale 34 37 MS0 15. Wawu 3 1 MS0 Kontaminasi, dan pertumbuhan sangat lambat 16. Zingiber officinale 59 21 MS0 untuk eksplan perlakuan Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
44
9.00
7.00
8.00 6.00
JUMLAH BUKU
TINGGI TANAMAN (cm)
7.00 5.00
4.00 T8 3.00
6.00 0 1 2 3 4
5.00 4.00 3.00
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
2.00
2.00
1.00 1.00
0.00 0
0.00 0
1
2
3
1
2
3
4
6
8
UMUR (minggu setelah tanam)
4
PERLAKUAN KONSENTRASI PACLOBUTRAZOL (mg/l)
Gambar 1. Pengaruh perlakuan konsentrasi paclobutrazol (mg/l) terhadap tinggi tanaman (cm) pada minggu ke 8 setelah tanam
Gambar 4. Jumlah buku tanaman nilam pada 5 media perlakuan penambahan Paclobutrazol 30.00
25.00
JUMLAH DAUN
6.00
TINGGI TANAMAN (cm)
5.00
4.00 0 mg/l 1mg/l 2 mg/l 3 mg/l 4 mg/l
3.00
20.00
15.00
D8
10.00
5.00
2.00 0.00 0
1.00
1
2
3
4
PERLAKUAN KONSENTRASI PACLOBUTRAZOL (mg/l) 0.00 0
1
2
3
4
6
8
UMUR (minggu setelah tanam)
Gambar 2. Tinggi tanaman nilam pada 5 media perlakuan penambahan Paclobutrazol
Gambar 5. Pengaruh perlakuan konsentrasi paclobutrazol (mg/l) terhadap jumlah daun pada minggu ke 8 setelah tanam 18.00
14.00
16.00
12.00
JUMLAH BUKU
8.00 B8 6.00
4.00
JUMLAH DAUN
14.00
10.00
12.00 0 1 2 3 4
10.00 8.00
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6.00 4.00
2.00
2.00 0.00 0
1
2
3
4
0.00
PERLAKUAN KONSENTRASI PACLOBUTRAZOL (mg/l)
Gambar
0
3. Pengaruh perlakuan konsentrasi paclobutrazol (mg/l) terhadap jumlah buku pada minggu ke 8 setelah tanam
1
2
3
4
6
8
UMUR (minggu setelah tanam)
Gambar 6. Jumlah daun tanaman nilam pada 5 media perlakuan penambahan Paclobutrazol
Gambar 7.
Pertumbuhan tanaman nilam pada media MS yang ditambahkan Paclobutrazol dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3 dan 4 mg/l pada minggu ke 8 setelah tanam (berurutan dari kiri ke kanan)
KESIMPULAN Penataan dalam usaha merintis pembuatan basis data, pemeliharaan, konservasi in vitro
koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI yang merupakan hasil penelitian tahun-tahun
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
45
sebelumnya, harus dilanjutkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada percobaan perlakuan konservasi in vitro, zat penghambat tumbuh Paclobutrazol mampu menghambat
pertumbuhan tinggi tanaman, meningkatkan jumlah buku dan daun tanaman nilam pada konsentrasi 4 mg/l.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ahmad Saefudin Surapermana S.Sos dari Perpustakaan Puslit Bioteknologi-LIPI yang telah bersedia membantu membuat format basis data. Ucapan
terimakasih disampaikan juga kepada Evan Maulana, Lutvinda Ismanjani, Dr. Made S Prana, Hayat Raharja, Nurlela, Akhirta Atikana, Neneng Hasanah, dan Suhandi yang telah membantu kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA Dicks, J.W. 1979. Modes of action of growth retardant. In : Recent Development in the use of plant growth retardant. Clifford, D.R. & J.R. Loenton (Eds.) Proceedings of Symposium by the Society of Chemical Industry and British Plant Growth Regulator Group. London. 1-14. Grout, B. 1995. Genetic preservation of plant cells in vitro. Springer-Verlag. Germany, 1169 pp. Kurniawan, H., Ida H, Gunawan R. 2006. Database Plasma Nutfah dan Networking. Konggres I Komisi Daerah (Komda) Plasma Nutfah tanggal 31 Juli-2 Agustus 2006 di Balikpapan, Kaltim. Lestari, E.G., Harran S, Mariska I, Megia R. 2000. Penyimpanan tunas nilam hasil variasi somaklonal dengan enkapsulasi. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi. Subroto MA, Ermayanti TM, Prayitno N, Widyastuti Y, Tisnadjaya D, Slamet-Loedin IH, Sukara E (Editor). Puslitbang Bioteknologi Cibinong, Bogor (Indonesia), 7-9 Mar 2000. Minantyorini, Kurniawan H, Setyowati M, Silitonga TS, Hadiatmi, Budiarti SG, Rais SA, Zuraida N, Hakim L, Sutoro, Asadi dan Suhartini T. 2002. Pengembangan Database Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Hal 96-101. Withers LA. 1991. In vitro conservation. Biological Journal of the Linnean Society. 43 : 31-42.
Lampiran 1. Formulir isian basis data
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
46
FORM ISIAN DATA BASE IN VITRO 1. 2. 3.
4. 5.
6. 7. 8.
9. 10. 11.
Lokasi No aksesi * Nama tanaman (latin, daerah) (varietas/galur/kultivar) Jenis Komoditas (Pangan/Obat/Hias/Kayu) Asal tanaman induk (Kab, prov, negara, lembaga/institusi/ keterangan lain) Kolektor (nama/jabatan/institusi) Jenis kultur (tunas/akar/kalus) Persyaratan pemeliharaan di ruang inkubasi (Media/Cahaya/Suhu) Interval subkultur Pelaksana penelitian (kelti/peneliti) Tujuan kegiatan penelitian terdahulu
: : :
: :
: : :
: : :
12.
Sifat morfologis tanaman yang dihasilkan
:
13.
Data lain yang berhubungan dengan keunggulan tanaman hasil penelitian
:
14.
Metode kultur jaringan dan atau rekayasa genetik yang telah dilakukan
:
15.
Publikasi yang telah dihasilkan
:
16.
Data preservasi in vitro* (media, hasil, interval subkultur)
:
17. Tanggal subkultur* * diisi oleh unit preservasi in vitro
:
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
47
Lampiran 2. Penampilan basis data dalam format WINISIS
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
48
Inventarisasi dan Preservasi In Vitro Koleksi Plasma Nutfah Tanaman Maria Imelda, Laela Sari, dan Aida Wulansari Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pengembangan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan tanaman (mikropropagasi) dan/atau peningkatan mutu tanaman di Puslit Bioteknologi-LIPI, antara lain telah dilakukan pada tanaman buah-buahan seperti pisang, nanas (Ananas comosus); tanaman ubi-ubian seperti talas (Colocasia esculenta), iles-iles (Amorphophallus muelleri); tanaman kehutanan seperti mangium (Acacia mangium), sungkai (Peronema canescens); tanaman obat seperti pegagan (Centella asiatica), sukun (Artocarpus altilis), buah merah (Pandanus conoideus) dan tanaman hias seperti anggrek (Dendrobium spp. dan Paraphalaenopsis). Keluaran dari penelitian tersebut antara lain adalah produk berupa kalus, tunas ataupun planlet in vitro dari berbagai jenis tanaman di atas. Hasil tersebut merupakan koleksi in vitro yang perlu dipelihara dan disimpan atau dipreservasi agar kelak dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan. Kegiatan yang dilakukan meliputi inventarisasi atau pendataan koleksi yang ada serta preservasi in vitro dengan menghambat pertumbuhannya, sehingga dapat mempertahankan stabilitas genetiknya serta menghemat biaya pemeliharaan. Teknik konservasi yang diterapkan pada tahun ini adalah menekan pertumbuhan dengan menyimpan koleksi kultur buah merah pada suhu 14 °C dan semua koleksi kultur pada suhu 18-20°C. Selain itu juga diteliti pengaruh pemberian manitol dalam menghambat pertumbuhan kultur talas. Inventarisasi koleksi kultur in vitro menghasilkan 15 nomor koleksi, yang terdiri atas 3 kultivar pisang, 1 kultivar nanas, 1 kultivar talas, 1 kultivar iles-iles, 2 kultivar sungkai, 1 kultivar mangium, 1 varietas buah merah, 1 kultivar pegagan, 2 kultivar lidah buaya, 1 kultivar sukun dan 2 jenis anggrek. Pada suhu preservasi 14°C kultur tunas in vitro buah merah mati dalam waktu 2 bulan, sedangkan semua koleksi kultur in vitro yang dipreservasi pada suhu 18-20 °C, masih tetap hidup sampai umur 1,5 bulan. Kata kunci : konservasi in vitro, pertumbuhan lambat, suhu rendah, manitol
PENDAHULUAN Penerapan teknik in vitro dalam preservasi/konservasi plasma nutfah merupakan cara alternatif yang saling mendukung dengan strategi konservasi lainnya (in situ dan ex situ). Konservasi in vitro juga lebih aman dibandingkan dengan cara konvensional karena dipelihara dalam kondisi ruangan yang terkontrol sehingga tidak terpengaruh oleh lingkungan luar yang kurang menguntungkan. Selain itu areal yang diperlukan juga relatif sempit dan lokasinya tidak tergatung pada letak geografi atau ketinggian karena lingkungannya terkontrol. Koleksi dapat dilakukan kapan saja tidak perlu pada musim bunga/buah, bersih dari hama/penyakit bakteri/jamur bahkan dapat dilakukan eliminasi virus melalui kultur meristem, dapat diperbanyak dengan cepat melalui proliferasi tunas, bersifat klonal sehingga dapat menjaga keberadaan genotipe ungul dan lebih aman untuk didistribusikan karena tidak membawa hama/penyakit. Oleh sebab itu, penyimpanan kultur tunas pucuk atau meristem
pada pertumbuhan lambat banyak digunakan oleh unit sumber daya plasma nutfah internasional. Prosedur tersebut membuat plasma nutfah tersedia setiap saat untuk didistribusikan dan dipertukarkan secara internasional (Wilkins and Dodds, 1983). Preservasi in vitro dapat memecahkan beberapa masalah yang dihadapi konservasi lapangan dan keduanya bersifat saling mendukung (komplementer). Kelemahan cara ini adalah kemungkinan munculnya variasi somaklonal karena terjadinya perubahan genetik, namun hal tersebut dapat dihindari dengan menggunakan kultur tunas ataupun kultur embrio yang lebih stabil dari pada kultur kalus. Untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, explan yg memiliki meristem seperti tunas pucuk atau mata tunas lebih disarankan mengingat stabilitas genetik dan generatifnya lebih terjamin (Bajay, 1986). Tujuan utama preservasi in vitro plasma nutfah adalah untuk membatasi jumlah subkultur
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
49
dan mempertahankan stabilitas genetiknya. Biasanya ditumbuhkan dalam kondisi pertumbuhan yang normal atau pertumbuhan yang terbatas. Laju pertumbuhan ditekan (slow growth) atau mengatur kondisi lingkungan in vitro sehingga pertumbuhan kultur menjadi lambat. Berbagai metoda yang biasa digunakan meliputi inkubasi pada suhu dan intensitas cahaya rendah, manipulasi nutrisi media serta penambahan senyawa osmotikum seperti manitol, sorbitol atau penghambat pertumbuhan seperti asam absisat. Selain itu dapat juga dilakukan kombinasi antar berbagai perlakuan tersebut (Withers, 1991). Cara pertumbuhan lambat atau slow growth ini sudah banyak diterapkan pada tanaman umbiumbian (kentang, ubi kayu, ubi jalar), pisang-
pisangan atau buah-buahan sub-tropik seperti apel, pear dan strawberry. Demikian pula pada beberapa tanaman yang bijinya bersifat rekalsitran seperti kelapa, kakao, mangga dll., yang tidak mungkin disimpan dalam bank biji mengingat biji rekalsitran sangat cepat kehilangan viabilitasnya. Selain itu, cara ini juga kerapkali digunakan untuk memelihara kultur stok yang diperlukan bagi propagasi massal tanaman hias, buah-buahan, tanaman kehutanan dll. untuk industri bibit. Metode pertumbuhan lambat hanya digunakan untuk preservasi jangka pendek dan menengah. Untuk penyimpanan jangka panjang biasanya dipilih cara preservasi krio atau cryopreservation yaitu preservasi yang dilakukan dalam nitrogen cair pada suhu -196°C.
BAHAN DAN CARA KERJA iles-iles, sungkai, mangium, buah merah, pegagan, lidah buaya, sukun dan anggrek juga disimpan dalam inkubator dengan suhu inkubasi 20 °C. Setiap jenis koleksi disimpan sebanyak 5 botol yang masingmasing berisi 5 tunas in vitro. Pencahayaan dalam inkubator diperoleh dari lampu TL 10 W sehingga diharapkan dapat membantu menekan pertumbuhan. Penambahan senyawa osmotikum Penambahan manitol dengan konsentrasi 10-50 g/l ke dalam media MS tanpa hormon (MSO), juga diuji untuk menghambat pertumbuhan tunas in vitro talas kv Bentul yang laju penggandaannya mencapai 10 kali dalam waktu 3 bulan.
Inventarisasi koleksi kultur in vitro Inventarisasi atau pendataan koleksi dilakukan dengan mencatat koleksi kultur in vitro jenis–jenis tanaman hasil penelitian yang lalu, jenis media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan, macam eksplan yang digunakan serta macam kultur yang ada yaitu berupa tunas, kalus ataupun planlet. •
Preservasi in vitro • Suhu rendah Preservasi in vitro dilakukan dengan menyimpan koleksi kultur tunas buah nerah yang ditumbuhkan dalam media MS + 1 mg/l BAP pada suhu 14 °C. Selain itu, koleksi kultur tunas pisang, nanas, talas,
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi koleksi kultur in vitro Inventarisasi koleksi kultur in vitro menunjukkan terdapat 15 nomor koleksi terdiri atas 3 kultivar pisang, 1 nanas, 1 talas, 1 iles-iles, 2 sungkai, 1 mangium, 1 buah merah, pegagan, 2 lidah buaya, 1 sukun dan 2 jenis anggrek (Tabel 1, Gambar 1). Umumnya kultur tersebut ditumbuhkan dalam media Murashige and Skoog
(MS)(1962), tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT) atau dalam media MS yang mengandung 1 mg.l BAP. Namun bagi protokorm atau tunas anggrek media yang digunakan adalah Knudson C tanpa ZPT (Arditti and Ernst, 1993). Semua kultur tersebut diinkubasikan pada suhu 25°C dengan pencahayaan dari lampu TL selama 16 jam/hari.
Tabel 1 : Hasil inventarisasi koleksi kukltur in vitro No 1
2
Nama jenis Pisang (Musa acuminata x balbisiana) Nanas (Ananas comosus)
Bentuk koleksi
Macam media
Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
Varietas/Asal Cavendish AmbonKuning Kepok Bogor
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
50
No 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama jenis Talas (Colocasia esculenta) Iles-iles (Amorphophallus muelleri) Sungkai (Peronema canescens) Mangium (Acacia mangium) Buah merah (Pandanus conoideus) Pegagan (Centella asiatica) Lidah buaya (Aloe vera) Sukun (Artocarpus altilis) Anggrek (Dendrobium spp.) Anggrek (Paraphalaenopsis sp)
Bentul
Bentuk koleksi Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
Jatim
Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
Kalbar Kaltim Sumsel
MSO ata MS+1mg/lBAP
Merah
Kultur tunas Kultur tunas Kultur tunas Kultur kalus Kultur tunas
Cibodas
Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
vera Chinensis Jabar Maluku
Kultur tunas
MSO atau MS+1mg/lBAP
Kultur tunas Kultur tunas Protokorm Kultur tunas Protokorm
MSO atau MS+1mg/lBAP Knudson C tanpa ZPT
Varietas/Asal
Kalimanatan
Perlakuan suhu rendah Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu teknik yang banyak digunakan dalam preservasi in vitro plasma nutfah karena selain terhindar dari masalah penyakit dan terjadinya modifikasi genetik juga hemat tenaga kerja. Pada suhu rendah, terjadi akumulasi lemak tak jenuh pada membran sel yang mengakibatkan penebalan membran sel tersebut, sehingga menghambat pembelahan dan perpanjangan sel. Dalam penelitian ini, penggunaan suhu rendah untuk menekan pertumbuhan tunas in vitro telah dicoba pada kultur tunas buah merah (Pandanus conoideus) yaitu pada suhu 14°C, dengan pencahayaan selama 16 jam/hari. Perlakuan suhu rendah ini baru diuji pada buah merah mengingat secara alami jenis ini berasal dari daerah pegunungan di Papua yang suhunya 17°C pada siang hari dan 10°C pada malam hari, sehingga diharapkan bisa toleran terhadap suhu 14°C tersebut. Menurut Ford-Lloyd and Jackson (1986), besarnya suhu yang digunakan untuk preservasi ini tergantung pada ekologi dan geografi tempat asal tanamannya. Tanaman yang berasal dari daerah tropika dan subtropika kurang toleran terhadap suhu rendah dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari daerah iklim sedang. Contohnya kopi, berhasil dipreservasi pada suhu 20°C (BertrandDesbrunais, 1992) sedangkan apel pada suhu 14°C (Orlikowska, 1992). Kultur meristem beberapa tanaman ubi-ubian dan tunas pucuk pisang (Musa spp.) dapat dipreservasi sampai 18 bulan pada suhu l8°C (Wang and Charles, 1991).
Macam media
MSO atau MS+1mg/lBAP MSO atau MS+1mg/lBAP
Knudson C tanpa ZPT
Hasil preservasi kultur tunas buah merah menunjukkan bahwa semua kultur tersebut mati dalam waktu sekitar 2 bulan. Tunas yang semula berwarna hijau berubah menjadi keputihan dan akhirnya mati. Diduga suhu 14°C tersebut terlalu rendah bagi kultur tunas in vitro buah merah, sehingga perlu ditingkatkan paling sedikit menjadi 15°C sesuai dengan Grout (1995) agar tunas masih tetap hidup walalupun tidak tumbuh. Setiap jenis tanaman memiliki kebutuhan pencahayaan yang berbeda selama penyimpanan. Kebanyakan protokol preservasi dengan suhu rendah menggunakan intensitas cahaya rendah atau gelap total (Wang and Charles, 1991). Namun beberapa tanaman seperti kultur in vitro kopi dan jeruk (Marin and Duran Vila, 1991) tetap dipreservasi dalam keadaan terang karena kondisi gelap terus menerus akan menimbulkan masalah etiolasi (Grout, 1995).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
a
b
c
d
51
e
yang tercantum pada Tabel 1, baru berlangsung selama 2 bulan. Tampak bahwa pada umumnya multiplikasi tunas sangat terhambat atau hampir tidak terjadi penggandaan. Selain itu warna daun juga menjadi lebih muda. Pertambahan tinggi tunas juga tidak terlihat dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu inkubasi yang normal yaitu 25°C. Pengamatan masih tetap dilanjutkan untuk mengetahui sampai berapa lama jenis-jenis tersebut dapat dipreservasi tanpa kehilangan daya hidup.
f
g
h
i
j
Gambar 1. Foto koleksi kultur tunas in vitro tanaman a. Pegagan, b.Lidah buaya var Chinensis, c. Buah merah, d. Pisang Cavendish, e. Pisang Ambon Kuning, f. Pisang kepok, g. Sungkai, h. Anggrek, i. Talas, j. Iles-iles.
Berbagai tipe bahan tanaman meliputi tunas pucuk, potongan nodus, dan planlet, kalus, embrio dan suspensi sel dapat dipreservasi pada suhu rendah. Namun, tunas pucuk paling berhasil untuk preservasi in vitro karena tingginya daya hidup, persentase tumbuh serta stabilitas genetik. Dalam penelitian ini penyimpanan kultur in vitro pada suhu 20°C bagi jenis-jenis tanaman
Perlakuan penambahan zat pengatur osmotikum Pemberian zat pengatur osmotikum seperti manitol, sukrosa, sorbitol serta zat penghambat tumbuh seperti CCC, asam absisat, asam suksinat ke dalam media tumbuh terbukti efisien untuk menekan pertumbuhan dan meningkatkan daya hidup kultur in vitro berbagai jenis tanaman selama penyimpanan (Grout, 1995). Manitol adalah gula alkohol yang merupakan senyawa osmotikum yang diproduksi sebagai produk fotosistesis primer oleh beberapa tanaman (Lipavska, and Vreugdenhil, 1996). Dalam penelitian ini, manitol dengan konsentrasi 10-50 g/l ditambahkan ke dalam media MS tanpa ZPT untuk menghambat pertumbuhan tunas in vitro talas Bentul. Dalam waktu 6 minggu, kultur tunas in vitro talas Bentul tersebut tampak tetap hidup namun penggandaan dan pertumbuhan tunasnya terhambat. Demikian pula warna daunnya menjadi lebih muda. Penelitian ini masih akan terus diamati untuk mengetahui sampai berapa lama kultur talas ini dapat disimpan.
KESIMPULAN Inventarisasi koleksi kultur in vitro menunjukkan terdapat 15 nomor koleksi terdiri atas 3 kultivar pisang, 1 kultivar nanas, 1 kultivar talas, 1 kultivar iles-iles, 2 kultivar sungkai, 1 kultivar mangium, 1 varietas buah merah, 1 kultivar pegagan, 2 kultivar lidah buaya, 1 kultivar sukun dan 2 jenis anggrek. Pada suhu
preservasi 14 kultivar, semua kultur tunas in vitro buah merah mati. Semua koleksi kultur in vitro yang dipreservasi pada suhu 18-20 °C, masih tetap hidup sampai umur 1,5 bulan. Pengamatan terhadap penghambatan tumbuhnya masih akan dilanjutkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr. Mulyana dan Sdr.
Heru Wibowo atas bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium dan kepada Sdr. Nana Burhana atas bantuannya
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
52
dalam melaksaanakan penelitian di Rumah-Kaca
dan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Arditti, J. & R. Ernst. 1993. Micropropagation of Orchids. John Wiley & Sons, Inc. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 682 pp. Bajaj, Y.P.S. 1986. Biotechnology of tree improvement for rapid propagation and biomassenergy production, biotechnology in Agriculture andForestry Trees. SpringerVerlag, Berlin, p: 351-366. Bertrand-Desbrunais, B., M. Noirot, A. Charrier. 1992. Slow growth of in vitro conservation of coffee (Coffea spp.). Plant Cell, Tiss. and Org. Cul., 31: 105-110. Ford-Lloyd, B. & M. Jackson. 1986. Plant Genetic Resources an introduction to their conservation and use, Edward Arnold Ltd., London. Grout, B. 1995. Genetic preservation of plant cells in vitro. Springer-Verlag, Germany, 1169 pp. Lipavska, H. & D. Vreugdenhil. 1996. Uptake of mannitol from media by in vitro grown plants. Plant Cell, Tiss and Org. Cult, 45: 103-107. Marin, M.L. & N. Duran-Vila. 1991. Conservation of citrus germplasm in vitro. J. Am. Soc. of Hort. Sci.,116: 740-746.
Moges, A.D., N.S. Karam, R.A. Shibli. 2003. Slow Growth in vitro preservation of African violet (Saintpaulia ionantha Wendl.) shoot tips. Advanced HortScience, 17: 1-8. Murashige, T. & F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15 : 473497. Orlikowska, T. 1992. Effect of in vitro storage at 4°C on survival and proliferation of two apple rootstocks.Plant Cell, Tiss. and Org. Cult, 31: 1-7. Wang, P.J. & A. Charles. 1991. Micropropagation through meristem culture. In: Bajaj, Y.P.S. eds. The Biotechnology in Agriculture and Forestry. High-Tech and propagation, Vol. 17, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, p: 32-52. Wilkins, C.P. & J.H. Dodds. 1983. Tissue culture conservation of woody species. In: Dodds, J.H. ed. Tissue Culture of Trees. Croom Helm, London, p: 113-138. Withers, L.A. 1991. In vitro conservation. Biological Journal of the Linnean Society 43 : 31-42.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
53
Pengembangan dan Pelestarian Plasma Nutfah Rambutan dan Belimbing Terpilih : Seleksi Klon Unggul dan Perbaikan Sifatnya Nurul Sumiasri, Usep Soetisna, Dody Priadi, Tatang Kuswara dan Yani Cahyani Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang Pengembangan Dan Pelestarian Plasma Nutfah Rambutan Dan Belimbing Terpilih dalam Upaya Perbaikan Sifatnya di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Puslit Bioteknologi-LIPI. Sebagai batang bawah digunakan belimbing kultivar Demak dan disambung dengan kultivar Dewi (sebagai batang atasnya). Keunggulan kultivar Dewi meliputi sifat-sifat umur tanaman relatif lebih pendek, rasa buah lebih manis dan tumbuhnya lebih kuat dan pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan belimbing kultivar Demak. Adapun sifat yang diambil dari kultivar Demak adalah perakarannya yang kuat sehingga hasil yang dicapai lebih baik dari masing-masing induk. Adapun sifat agronomi yang diamati adalah jenis media tanam (menggunakan pasir, tanah latosol, kompos dan pupuk kandang) dan pemeliharaan tanaman yang meliputi penyiraman, pemberantasan gulma dan pemberantasan hama/penyakit . Pemberantasan hama dan penyakit menggunakan insektisida Decis 2,5 EC, sedangkan fungisida menggunakan Dithane M-45. Selain itu dilakukan pula pemeliharaan terhadap buah dengan jalan buah dibungkus dengan kertas karbon terbalik untuk menghindari serangan lalat buah. Hasil penelitian dilestarikan secara ex situ dan biji disimpan di dalam suhu rendah mengarah ke kriopreservasi. Kata kunci: pengembangan dan pelestarian, rambutan, belimbing, seleksi klon unggul dan perbaikan sifat
PENDAHULUAN. Pada tahun fiskal 2008 ini, penelitian difokuskan pada tanaman belimbing saja, karena tanaman rambutan belum tiba musimnya yaitu belum berbunga dan berbuah / masak (biasanya berbuah dan masak pada bulan Desember – Januari). Dari hasil pengamatan di kabupaten Bogor,terdapat kultivar belimbing Penang, Rawasari, Sembiring, Filipin, Bangkok,Wulan, Pontianak,Dewi Murni, Dewa, Perancis, Wijaya, Malaya (total 12 kultivar). Batang bawah yang digunakan adalah varitas Demak yang mempunyai sifat unggul yaitu perakarannya kuat (Anonim, 2005). Bibit belimbing Demak diperoleh dari biji pada umur 5-6 bulan (pada tinggi 20-30 cm), lingkar batang 1-2 cm, sedangkan sebagai batang atas digunakan kultivar Dewi Murni yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Keputusan Menteri Pertanian No.: 717/Kpts/Tp.240/8/9 tentang Pelepasan Belimbing Dewi Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama Dewi Murni). Tinggi tanaman: 5 meter Lebar tajuk: 2,5 meter Kedudukan cabang: tegak sampai dengan miring Percabangan : rapat, mulai ketinggian 1 m
Warna batang: kecoklatan pada batang muda dan abu-abu pada batang tua Bentuk daun: Bulat telur, bergelombang dengan ujung daun lancip Warna permukaan daun: hijau tua dan agak mengkilap Kedudukan daun: mendatar sampai dengan condong kebawah Bentuk bunga: bulat, kecil dalam tandan Warna tandan bunga: merah tua Warna mahkota bunga: merah keunguan Warna benang sari: kekuningan Jumlah bunga/tandan: banyak Jumlah buah/tandan: 1-3 buah Bentuk buah: lonjong dengan 5 rusuk/lingsir, kedalam rusuk/lingsir 3-4 cm, bergelombang dan berlekuk Warna buah matang: oranye mengkilap Warna tepi rusuk/lingsir: oranye (hijau bila tidak di bungkus) Warna buah muda: hijau Bobot buah/buah: 300-500 gr Banyak biji/buah: 7-12 biji Bentuk biji: bulat telur sempit, pipih Rasa buah muda: asam, agak kesat Rasa buah matang: manis segar
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
54
Tekstur daging buah: berserat Kadar vitamin C/100 gr: 1,17 mg Aroma Buah: agak harum Produksi/pohon/tahun: 400-600 kg Umur panen sejak berbunga: 90-110 hari Umur simpan (daya simpan: 10-14 hari) Ketahanan terhadap hama: tidak tahan lalat buah Keterangan: musim berbuah sepanjang tahun, mulai berbuah pada umur 2-3 tahun-produksi tertinggi November-Desember, penampilan tanaman menarik
selain sifat-sifat khusus tanaman, diperlulan perawatan agronomis yang intensif juga (Hartmann dan Kester, 1990).
Gambar belimbing dewi secara visual seperti yang ditujukkan oleh Gambar 1 berikut ini. Diharapkan dari perkawinan tersebut diperoleh sifat-sifat unggul sesuai yang diinginkan yaitu sifat unggul seperti salah satu induknya dan sifat yang kurang baik tidak muncul. Untuk memperoleh bibit yang baik
Gambar 1. Penampilan buah belimbing dewi murni pada waktu masak
BAHAN DAN CARA KERJA Perjalanan lapang dilakukukan ke berbagai daerah sebaran belimbing di kabupaten Bogor dan sekitarnya yaitu Kota Bogor, Ciawi, Depok (desa Sukahati ) dan Bekasi. Selama perjalanan didaerah tersebut, terdapat keaneka ragaman kultivar belimbing sebanyak 12 kultivar. Evaluasi sifat sifat morfologi belimbing dalakukan berdasarkan cara Hokwes (1980). Perjalanan bertujuan mengamati belimbing yang ada di kabupaten Bogor serta menambah koleksi belimbing di kebun. Kultivar belimbing yang diperoleh dari Kabupaten Bogor antara lain yaitu: Demak dan Dewi murni yang berupa bibit dan batang entreys. Adapun alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah gunting stek, silet (cutter), plastik sungkup dan plastik transparan, sedang untuk pengamatan agronomi menggunakan ph meter, altimeter dan alat untuk mendeteksi kadar lengas tanah. Jenis media yang digunakan untuk penelitian adalah pasir, tanah latosol, kompos dan pupuk kandang. Media dimasukkan ke dalam polybag dengan ukuran 25x30 cm dan pembibitan dilakukan di tempat yang terbuka (full sun). Penyiraman dilakukan pada waktu musim kemarau yaitu dilakukan pada setiap pagisekitar jam 9.00 Pemberantasan gulma dilakukan secara mekanis, sedangkan pemberantasan hama /
penyakit dilakukan secara khemis yang dilakukan bilamana diperlukan. Batang bawah yang berasal dari biji (seedling umur 6 bulan–1 tahun) kemudian dibelah dengan cutter sedalam 1,5-2,0 cm. Batang atas atas berupa pucuk kira-kira 3-5 daun di bawah ujung daun terakhir. Daun bagian bawah dibuang dan 2 daun terakhir dipotong 2/3 nya. Bagian bawah batang atas tersebut dipotong miring dari 2 sisi agar lancip sama dengan panjang belahan pada batang bawah. Batang atas kemudian dimasukkan ke batang bawah lalu diikat tali plastik dengan cara dililitkan dari bawah ke atas, kemudian ditutup dengan kantung plastik bening. Kantung plastik dibuka setelah batang atas tumbuh daun pucuk baru. Tali pengikat sambungan dibuang setelah sambungan menyatu dan tumbuh kuat. Cara demikian ini disebut dengan istilah grafting pucuk. Pengamatan sifat sifat morfologi tanaman, dilakukan secara langsung di lapangan di daerah sebarannya di kabupaten Bogor yang meliputi sifat-sifat pohon: tinggi tanaman, bunga, daun dan buah. Untuk pelestarian plasma nutfah dilakukan secara ex situ di kebun yaitu dengan menanam bibit hasil penelitian dan hasil koleksi dari kabupaten Bogor Selain itu penyimpanan biji dilakukan pada suhu dingin.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
55
HASIL DAN PEMBAHASAN Belimbing termasuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Oxalidalis, famili Oxalidaceae, genus Averrhoa, dan spesies Averrhoa carambola (Anonim, 2005). Belimbing berasal dari India, namun tanaman ini juga tumbuh liar di Sailan dan Maluku (Tohir, 1981). Belimbing merupakan salah satu buah yang di Indonesia yang kurang begitu terkenal dibandingkan dengan jeruk dan buah-buahan yang lain. Potongan buah melintang dari buah tersebut bentuknya separti bintang oleh karena itu disebut star fruit. Adapun buah tersebut kalorinya rendah, dan tiap 100 gram daging buah mengandung 24 kkal sehingga cocok dikonsumsi. Buah tersebut kaya akan potassium, zat besi, karotenoid dan vitamin C (Sekarindah , Rosalin 2006).Manfaat lainnya bagi kesehatan tubuh adalah mengontrol tekanan darah tinggi dan memncegah sariawan. Oleh karena itu sangat cocok bagi orang yang sedang berdiit. Pohon buahnya dengan tinggi hingga 12 m dan diameter 35 cm (Heyne, 1987). Tanaman belimbing memerlukan curah hujan yang tinggi, hidup di tanah yang gembur, berdrainase baik, mampu menahan air sehingga keadaan tanahnya selalu lembab. Keasaaman tanah yang cukup baik dan masih bisa ditoleransi oleh tanaman belimbing berada di antara pH 5,5-7,0. Tanaman ini baik ditanam pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut (Tim penulis, 1998). Penyambungan/grafting yang dilakukan adalah dengan jalan menggabungkan kedua sifat yang sudah diketahui secara fisik antara batang bawah dengan stek ujung yang berasal dari tanaman induk lain sebagai batang atas (entres). Untuk batang bawah digunakan tanaman muda yang berasal dari pesemaian (asal biji), sedangkan stek ujung diambil dari tanaman dewasa yang karakteristik unggulnya telah diketahui dan telah memasuki fase reproduktif (Lakitan, 1995). Praktek perbanyakan tanaman dengan sambungan banyak diaplikasikan pada tanaman buah-buahan yang berumur tahuanan (parennial fruit crops) termasuk belimbing (Lakitan, 1995). Keuntungan perbanyakan secara penyambungan antara lain adalah : a. Dapat menggabungkan 2 atau lebih sifat unggul yang dimiliki batang bawah dan batang atas. b. Dapat diterapkan untuk mengubah kultivar tanaman hortikultura tahunan di lapangan
dengan cepat dan tanpa harus membongkar tanaman lama. c. Mempercepat tanaman untuk dapat berbuah atau mempersingkat fase vegetatif non produktif bagi tanaman buah-buahan d. Dapat digunakan sebagai cara untuk memperbaiki struktur kanopi tanaman, misalnya menggantikan cabang-cabang yang mati atau untuk meningkatkan nilai estetika tanaman
Gambar 2. Seedling varietas Demak untuk calon batang bawah belimbing.
Untuk mengurangi risiko serangan hama/penyakit penyakit dalam perbanyakan secara vegetatif dapat dilakukan langkah-langkah antara lain: 1. Pemilihan bagian tanaman yang tidak terinfeksi sebagai bahan untuk perbanyakan. 2. Menggunakan jaringan meristimatik dari daerah titik tumbuh batang. 3. Bagian tanaman untuk perbanyakan diberi perlakuan panas jangka pendek, yakni 43,5°C sampai 57,0°C selama 30 menit sampai 4 jam, tergantung species. 4. Bagian tanaman yang digunakan diberi perlakuan kimia dengan cara direndam dalam larutan larutan formaldehida pada konsentrasi rendah selama 1 jam.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Gambar 3. Hasil perbaikan sifat tanaman belimbing.
56
Penyimpanan buah belimbing Belimbing yang telah dikemas, dapat disimpan pada ruangan dengan suhu 10-15°C selama 7 hari, tanpa menurunkan kesegaran dan kualitas buah. Apabila penyimpanan pada suhu kamar (30°C), buah akan kelihatan mengkerut dan berwarna kecoklatan. Sebaiknya
penyimpanan pada suhu kamar pada kemasan yang telah ditutup dengan parafilm tidak lebih dari 3 hari. Menurut Teng and Hor (1976) dalam Hong & Ellis (1996) biji belimbing dan pepaya dengan kadar air 10-12% dapat bertahan hidup pada kemasan yang kedap udara.
KESIMPULAN Pada penelitian ini dihasilkan bibit unggul belimbing yang akan dikoleksi di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong. Karakteristik sifat unggul tersebut telah direkam dalam data sheet menurut IPGRI (1980). Selama pertumbuhannya, gulma banyak dijumpai pada media pupuk kandang yaitu babadotan (Ageratum conyzoides) dan krokot (Portulaca oleracea). Hama yang menyerang adalah kutu daun (mite) dan belalang (Valanga nigricornis). Penyakit yang dijumpai adalah busuk akar yang disebabkan oleh Fusarium sp.
Biji belimbing sukar disimpan karena bersifat rekalsitran sehingga bijinya sulit dilestarikan Telah dihasilkan bibit belimbing unggul penyambungan antara varitas demak dengan dewi murni. Penelitian perlu ditindak lanjuti dengan perbaikan varitas lainnya. Di Kabupaten Bogor telah dijumpai 12 varietas belimbing dan 9 varietas telah dilestarikan secara ex situ di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong, sedangkan sisanya masih ditumbuhkan di kebun pembibitan.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Puslit Bioteknologi-LIPI yang telah mendanai dan memberi kesempatan hingga penelitian ini berlangsung melalui Proyek DIPA 2008. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada para Peneliti di kelompok ini yang telah megerjakan penelitian dan kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian DKI Jakarta. 1999. Budidaya Belimbing Manis Secara Agribisnis Di DKI Jakarta Hartmann, H.T., D.E. Kester, F. Davies.1990. Plant Propagation: Principle and Practices. Prentice Hall International Inc. New Jersey. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Jakarta, penerjemah; Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Hong, T.D. & R.H. Ellis. 1996. IPGRI Technical Bulletin No.1: A protocol to determine seed storage behaviour. IPGRI. Rome.
Howkes, 1980. Crop Genetic Resources. International Board For Pant Genetis Resurces (IBPGR) Europian Association For Resarch On Plant Breeding( Eucarpia). 37 p. Lakitan,B, 1995.Hortikultura: Teori,Budidaya dan Pasca Panen. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta:27-28. Rismunandar, 1987. Membudidayakan BuahBuahan. PT Sinar Baru. Bandung.30-31 Sekarindah,T & H. Rosaline.2006. Terapi jus buah dan sayur. Puspa Swara .Jakarta 12-13 Tim Penulis PS. 1998. 13 Jenis Belimbing Manis: Penanaman dan Usaha Penangkaran. Jakarta: Penebar Swadaya. Tohir K. 1981. Bercocok Tanam Pohon BuahBuahan. Paramita. Jakarta.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
57
Bioprospeksi Actinomycetes Indigenus Indonesia untuk Pencarian Senyawa Bioaktif sebagai Antibakteri, Antifungi, dan Antioksidan Yantyati Widyastuti, Judhi Rachmat, Shanti Ratnakomala, Rohmatussolihat, dan Puspita Lisdiyanti Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kebutuhan senyawa bioaktif antibakteri, antifungi dan antioksidan (antikanker) baru masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi mikroorganisme resisten dan penyakit kanker. Suatu senyawa bioaktif baru dapat diperoleh dengan cara biotransformasi, membuat derivat senyawa bioaktif semisintetik atau mencari senyawa bioaktif baru dari mikroba yang ada di alam. Sejumlah lebih dari 2200 actinomycetes indigenous telah berhasil diisolasi dari berbagai contoh tanah dan serasah dari berbagai tempat di Indonesia pada penelitian terdahulu. Dua isolat actinomycetes potensial yaitu SBR01 dan CS2RC9 mempunyai aktivitas antioksidan dan isolat R192 mempunyai aktivitas antibakteri. Produksi senyawa bioaktif dari tiga isolat tersebut dilakukan pada medium produksi cair. Supernatan dan pellet (isolat SBR01) diekstraksi dengan beberapa pelarut organik, kemudian dilakukan pemurnian menggunakan kromatografi kolom dan diidentifikasi secara kromatografi gasspektrofotometer massa. Hasil identifikasi senyawa bioaktif isolat actinomycetes SBR01 mengandung cyclotetracosane dan anthracene, 9,10-dihydro-9,9,10-trimethyl, isolat CS2RC9 didominasi oleh senyawasenyawa asam lemak yaitu senyawa asam hekasadecanoat (omega 7), decosan, dan asam octadecanoat. Sedangkan isolat R192 teridentifikasi 2 senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri yaitu benzeneacetamide dan eicosane. Kata kunci: Actinomycete, Antibakteri, Antifungi, Antioksidan
PENDAHULUAN Antibiotik adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan (bakteriostatik) sel atau membunuh (bakterisidal) sel dengan cara menghambat atau memblok fungsi selular esensial seperti transkripsi, translasi atau sintesis dinding sel. Aktivitas ini dapat dicapai dengan cara menghambat salah satu komponen partikular di dalam sel. Permasalahan serius yang tengah dihadapi saat ini dalam pengobatan kemoterapi untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme adalah timbulnya mikrorganisme patogen yang resisten terhadap berbagai obat-obatan yang tersedia. Peningkatan resistensi ini memaksa peneliti dan industri farmasi untuk membuat pendekatan dan strategi yang lebih rasional. Salah satu strategi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan skrining dan identifikasi senyawa bioaktif jenis baru dengan aktivitas spektrum yang luas. Untuk mendapatkan senyawa bioaktif baru dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan biotransformasi senyawa bioaktif dengan bantuan mikroba, membuat derivat senyawa bioaktif semisintetik, mutasi strain penghasil
senyawa bioaktif atau mencari senyawa bioaktif baru dari mikroba yang ada di alam bebas. Walaupun derivatisasi atau biokonversi menjanjikan senyawa bioaktif jenis baru, senyawa baru yang alami dan berguna masih terus dicari dan sangat diharapkan. Keberhasilan mendapatkan senyawa bioaktif baru dari sumber alami telah menimbulkan asumsi bahwa mikroorganisme merupakan sumber senyawa baru yang tidak pernah habis. Senyawa bioaktif yang berasal dari metabolisme sekunder mikroorganisme menjadi sumber senyawa aktif farmakologis atau fisiologis yang berguna di bidang medis atau digunakan dalam pertanian. Telah banyak antibiotik yang berhasil diisolasi dari mikroba tanah, seperti golongan prokariotik Streptomyces dan Bacillus dan golongan eukariotik Penicillium dan Cephalosporium. Actinomycetes merupakan kelompok mikroba penghasil antibiotik terbanyak. Sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh actinomycetes. Sasaran skrining mikroba diarahkan untuk mendapatkan anggota actinomycetes selain Streptomyces, terutama rare actinomycetes
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
58
seperti Actinoplanes (Brunati et al., 2005), Micromonospora (Ara and Kudo, 2007; Thawai et al., 2005), Saccharopolyspora (Oliynyk et al., 2007; Zhou et al., 1998), Actinomadura (le Roes and Meyers, 2007; Badji et al., 2006), atau Dactylosporangium (Tani et al., 2004; Koch et al., 1996). Mikroba-mikroba tersebut diketahui
menghasilkan metabolit yang menarik termasuk sebagai antibakteri, antifungi dan antitumor. Streptomyces dan jenis actinomycetes lainnya tidak tumbuh sebagai suatu sel tunggal tetapi tumbuh dengan menghasilkan miselium yang tersusun dari filamen-filamen yang disebut hyphae.
BAHAN DAN CARA KERJA Isolat Actinomycetes Actinomycetes yang digunakan untuk produksi senyawa bioaktif adalah isolat SBR01, CS2RC9 (mempunyai kemampuan menghasilkan antioksidan) dan R-192 yang merupakan isolat yang potensial hasil skrining senyawa bioaktif. Isolat-isolat tersebut ditumbuhkan dalam medium produksi cair yang terdiri dari Soluble starch 2%, CaCO3 3%, Soy bean 2%, Glukosa 1%, Agar 1,5%. Inkubasi dilakukan dalam inkubator kocok selama 7 hari pada suhu ruang. Ekstraksi dan Purifikasi Isolat SBR01 Ekstraksi dilakukan terhadap pellet sel isolat SBR01 menggunakan pelarut n-heksan, kloroform, dan metanol. Ekstrak pelarut yang tertinggi nilai antioksidannya, kemudian di analisis KLT menggunakan fase diam lempeng silika gel GF254 dengan eluen yang digunakan kloroform-metanol-air (5:5:1), kloroformmetanol (10:1), dan n-heksan-etil asetat (2:1). Pengamatan terhadap spot yang dihasilkan diamati dengan penampak bercak sinar UV 254 nm dan 365 nm, kemudian disemprot dengan pereaksi serium sulfat. Ekstrak yang diperoleh difraksinasi dengan kromatografi kolom menggunakan eluen nheksan-etil asetat (2:1). Fraksi-fraksi yang dihasilkan dari kromatografi kolom dilarutkan dengan metanol dan dianalisis dengan KLT. Terhadap fraksi dengan aktivitas antioksidan tertinggi dilakukan analisis menggunakan kromatografi gas-spektofotometri massa (KGSM) untuk mengidentifikasi senyawa aktif yang terkandung dalam sampel. Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode penangkapan radikal bebas dengan pelarut 1,1-difenil-2pikrilhidrazil (DPPH), yaitu 1 ml larutan uji ditambahkan 1 ml DPPH dan metanol, diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit, serapan diukur menggunakan spektropotometer pada panjang gelombang 517 nm.
Isolat CS2RC9 Ekstraksi dilakukan terhadap supernatan isolat CS2RC9 menggunakan n-heksan, kloroform dan etil asetat. Ekstrak yang diperoleh kemudian dievaporasi dan selanjutnya dimurnikan secara kromatografi kolom menggunakan eluen Kloroform:metanol (10:1); kloroform:metanol; (5:1); kloroform:metanol (2:1). Fraksi-fraksi yang diperoleh dikoleksi, kemudian dilakukan analisis dengan KLT. Fraksi yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tertinggi dilakukan analisis menggunakan KGMS untuk mengidentifikasi senyawa aktif yang terkandung dalam sampel. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode penangkapan radikal bebas dengan pelarut DPPH. Isolat R-192 Supernatan yang diperoleh dari kultur yang telah disentrifuse, diekstraksi menggunakan etil astet dan selanjutnya dievaporasi. Dari ekstrak etil asetat kemudian diuji terhadap beberapa bakteri secara in vitro dengan metode difusi cara cakram. Identifikasi senyawa aktif yang terkandung dalam larutan uji ekstrak etil asetat dengan menggunakan KG-SM. Pengujian aktivitas antibakteri uji ekstrak etil asetat menggunakan teknik difusi metode cakram yang untuk menentukan ada tidaknya daya antibakteri dari larutan uji ekstrak etil asetat. Prinsip metode cakram adalah meletakkan cakram yang telah mengandung larutan uji ektrak etil asetat actinomycetes di atas permukaan media agar yang berisi suspensi bakteri uji. Setelah diinkubasi selama 18-24 jam, daerah hambat pertumbuhan (DHP) yang diperoleh diukur. Metode difusi cara cakram digunakan dua lapisan media agar, yaitu: Lapisan bawah (bottom layer) menggunakan media nutrient agar sebanyak 15 ml, setelah mengeras, dituang 5 ml media nutrient agar dengan ½ konsentrasi yang sudah mengandung bakteri uji dengan konsentarsi 0,1 % biakan untuk S.aureus NBRC
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
59
13276, B. subtilis NBRC 13276, P. aureusginosa NBRC 13275, 0,2 % biakan untuk E.coli NBRC 14237,0,5 % biakan untuk M. luteus NBRC 1386. Setelah mengeras media siap untuk bioassay. Pada cara ini kertas cakram steril dengan diameter 6 mm dicelupkan ke dalam larutan uji yaitu supernatan R-192, fraksi etil asetat sebelum evaporasi dan fraksi etil asetat hasil evaporasi. Kemudian diletakkan di atas media lapisan perbenihan kemudian diikubasi selama 18-24 jam pada suhu yang sesuai dengan mikroba uji yaitu suhu 28oC untuk Micrococcus luteus NBRC 13275 dan 37oC untuk Staphylococcus aureus NBRC 13276, Bacillus subtilis NBRC 13276, Escherichia coli NBRC 14237, dan Pseudomonas aeruginosa NBRC 13275. Pengukuran daerah hambat pertumbuhan (DHP) yang terbentuk disekeliling cakram yang ditumbuhi isolat actinomycetes, diukur dengan menggunakan jangka sorong. Isolasi dan Penapisan Isolat Baru Isolasi aktinomycetes dari tanah Padang dan Bali masing-masing 5 sampel telah dilakukan. Metode yang digunakan untuk isolasi adalah SDS-YE dan RC. Dilakukan penapisan terhadap isolat actinomycetes yang diperoleh. Isolat murni
aktinomycetes ditumbuhkan pada media produksi agar, diinkubasi selama 7-14 hari pada suhu ruang. Setelah isolat tumbuh, dilakukan bioassay secara difusi agar. Metode difusi agar digunakan dua lapisan media agar, yaitu: Lapisan bawah (bottom layer) menggunakan media nutrient agar sebanyak 15 ml, setelah mengeras, dituang 5 ml media nutrient agar dengan ½ konsentrasi yang sudah mengandung bakteri uji dengan konsentarsi 0,1 % biakan untuk S.aureus NBRC 13276, B. subtilis NBRC 13276, P. aureusginosa NBRC 13275, 0,2 % biakan untuk E. coli NBRC 14237,0,5 % biakan untuk M. luteus NBRC 1386. Setelah mengeras media siap untuk bioassay. 1 potong agar yang telah ditumbuhi isolat actinomycetes diletakkan diatas agar, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu yang sesuai dengan mikroba uji yaitu suhu 28oC untuk Micrococcus luteus NBRC 13275 dan 37oC untuk Staphylococcus aureus NBRC 13276, Bacillus subtilis NBRC 13276, Escherichia coli NBRC 14237, dan Pseudomonas aeruginosa NBRC 13275. Pengukuran daerah hambat pertumbuhan (DHP) yang terbentuk disekeliling agar yang ditumbuhi isolat actinomycetes, diukur dengan menggunakan jangka sorong.
HASIL DAN PEMBAHASAN Antioksidan dari Isolat SBR01 Hasil ekstraksi pellet sel isolat SBR01 menggunakan pelarut n-heksan, kloroform, dan metanol. Nilai persentase hambatan yang diperoleh sebesar 20,36 (n-heksan), 25,32 (kloroform) dan 30,07 (metanol). pada pelarut metanol isolat SBR01 mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi. Hasil KLT terhadap ekstrak metanol menggunakan eluen kloroform-metanol-air (5:5:1), kloroform-metanol (10:1), dan n-heksanetil asetat (2:1) diperoleh bahwa eluen n-heksanetil asetat (2:1) memberikan hasil pemisahan yang baik . Melalui kromatografi kolom ekstrak metanol tersebut difraksinasi menjadi 5 fraksi SBR01 menggunakan eluen n-heksan-etil asetat (2:1). Fraksi-fraksi yang dihasilkan dari kromatografi kolom dilarutkan dengan metanol dan dianalisis dengan KLT. Hasil analisis persentase hambatan atau peredaman radikal bebas 5 fraksi (A, B, C, D, E) SBR01 adalah 12,05%, 12,14%, 12,22%, 10,25% dan 14,41%. Dari kelima fraksi hasil kromatografi kolom menunjukkan bahwa setiap fraksi mengandung senyawa metabolit sekunder
yang bersifat antioksidan dan persentase hambatan atau peredaman radikal bebas pada fraksi E mempunyai nilai tertinggi. Selanjutnya fraksi E dianalisis kandungan senyawa aktifnya menggunakan KG-SM. Hasil analisis KG-SM terhadap fraksi E diperoleh senyawa yang didominasi oleh asam lemak dan turunan lemak seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel1. Hasil analisis KG-SM terhadap fraksi E Retention time
Massa
1.
5.49
90.07
2,3 butanediol
2.
13.01
206.17
4-(1,1,3,3Tetramethylbutyl)phenol
3.
13.17
150.10
4-isopropylanisole
4.
13.31
149.06
1H-Benzotriazole
5.
13.35
214.07
6.
14.38
270.26
7.
14.61
256.24
8.
15.57
296.27
9.
15.70
298.29
No.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Perkiraan senyawa menurut database Wiley7n.1
2-Pyrazinyl-4methoxyphenylketone Pentadeconoc acid, 14methyl-,methyl ester 1-Pentadecanecarboxylic acid 14-Octadecanoic acid, methyl ester Heptadecanoic acid, 16methyl-, methyl ester
60
No.
Retention time
Massa
Perkiraan senyawa menurut database Wiley7n.1
10.
15.82
282.6
9 –Octadecenoic acid
11.
15.94
284.27
Octadecenoic acid
12.
16.14
336.38
Cyclotetracosane
13.
17.39
222.14
14.
19.21
211.01
Anthracene, 9,10-dihydro9,9,10-trimethyl 1,2-Benzenedicarboxylic acid, 3-nitro-
Dari tabel data diatas menunjukkan bahwa ekstrak metanol isolat actinomycetes SBR01 mengandung beberapa senyawa dan 2 senyawa yang mempunyai nilai retention time tertinggi adalah Cyclotetracosane dan Anthracene, 9,10dihydro-9,9,10-trimethyl. Antioksidan dari Isolat CS2RC9 Hasil ekstraksi supernatan isolat CS2RC9 menggunakan pelarut n-heksan, kloroform, dan etil asetat diperoleh nilai persentase hambatan sebesar 1,17 (n-heksan), 11,74 (kloroform) dan 21,90 (etil asetat). Pada ekstrak etil asetat isolat CS2RC9 mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi. Hasil KLT terhadap ekstrak etil asetat yang menggunakan eluen kloroform-metanol (10:1), kloroform-metanol (5:1), diperoleh bahwa eluen kloroform-metanol (5:1) memberikan hasil pemisahan yang baik. Ekstrak etil asetat yang diperoleh kemudian dievaporasi dan selanjutnya dimurnikan secara kromatografi kolom dan difraksinasi menjadi 6 fraksi CS2RC9. Fraksi-fraksi yang dihasilkan dari kromatografi kolom dilarutkan dengan etil asetat dan dianalisis dengan KLT. Hasil analisis persentase hambatan 6 fraksi (fraksi 1-6) CS2RC9 masing-masing menghasilkan 17,79%, 18,46%, 34,36%, 9,14%, 9,59% dan 14,61%. Dari ke enam fraksi hasil kromatografi kolom menunjukkan bahwa setiap fraksi mengandung senyawa metabolit sekunder. Persentase hambatan atau peredaman radikal bebas pada fraksi 3 mempunyai nilai tertinggi yaitu 34,36%. Selanjutnya fraksi 3 dianalisis kandungan senyawa aktifnya menggunakan KG-SM. Hasil analisis KG-SM terhadap fraksi 3 didominasi oleh senyawa-senyawa asam lemak yaitu senyawa Asam hekasadecanoat (atau yang dikenal dengan omega 7), decosan, dan asam octadecanoat. Antimikroba dari Isolat R-192 Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa pada supernatan dan fraksi
etil asetat sebelum evaporasi tidak menghasilkan daerah hambat pertumbuhan terhadap semua bakteri uji. Fraksi ekstrak etil asetat hasil evaporasi menghasilkan daerah hambat pertumbuhan terhadap semua bakteri uji. Hasil yang terbesar ditunjukkan oleh Pseudomonas aeruginosa NBRC 13275 sebesar 28,5 mm, Staphylococcus aureus NBRC 13276 sebesar 23 mm, Bacillus subtilis NBRC 3134 sebesar 22, Escherichia coli NBRC 14237 sebesar 11 mm, dan Micrococcus luteus NBRC 13867 sebesar 15 mm. Identifikasi ekstrak etil asetat isolat R192 menggunakan KG-SM. Analisis dilakukan dengan data NIST library mengidentifikasi adanya 18 komponen (Tabel 2). Dari 18 senyawa tersebut diperoleh 2 senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri yaitu benzeneacetamide dan eicosane yang mempunyai bobot molekul 135 g/mol dan 282 g/mol dengan persen area 1,65% dan 0,65%, waktu retensi 6,21 menit dan 14,02 menit, dan kualitas kesamaan bobot molekul dengan data library spektrometri massa adalah 87% dan 96%. Tabel 2. Komponen senyawa ekstrak etil asetat R-192 yang dapat diidentifikasi dengan data NIST library 1
Waktu Retensi 3.25
2
4.67
3
5.98
4 5
6.21 6.54
6
7.76
7
8.05
8
8.18
9
8.38
10
9.29
11
9.58
12
10.45
No
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Senyawa
% Area
Kualitas
Cyclopentane, (3methylbutylidene) Cycloheptasiloxane, tetradecamethy Bis(pentamethylcyclotr isiloxy)tetramethyldisil oxane Benzeneacetamide Cyclotetrasiloxane, octamethyl Cyclooctasiloxane, hexadecamethyl tris[4(trimethylsilyl)phenyl] amin 3,8,13,18-Tetraethyl2,7,12,17tetramethyl7,8(diacety l)methylene-7,8dihydro-21H,23Hporphine copper (II) Benzeneaceticacid,.alp ha.,3,4tris[(trimethylsilyl)oxy ]-, methyl ester 7-Chloro-10-ethyl-1[[2-[[2hydroxyethyl]amino]et hyl]amino]-3-[4-7(para-bromophenyl)10 OCTAETHYLPORPH YRIN Cyclodecasiloxane, eicosamethyl
1.01
80
7.23
91
39.87
81
1.65 14.59
87 59
5.34
90
6.85
25
8.04
30
1.65
53
2.36
38
1.75
10
1.89
91
61
13 14
Waktu Retensi 11.42 12.29
15
13.11
No
Senyawa
% Area
Kualitas
Dibutanoylmorphine 4-(3,4Dimethoxybenzylidene )-1-(4-nitrophenyl)-3phenyl-2-pyrazolin-5one 3-(1-aza-2-oxacyclohexyl)ethylcarbo nyl-9-methyl-3,9diazabicyclo[3.3.1]no nane
1.19 0.69
42 91
1.37
9
Isolasi dan Penapisan Isolasi actinomycetes sampel tanah dari Bali dilakukan menggunakan metode SDS-YE dan RC menghasilkan total 74 isolat (Bali) dan 52 isolat (Padang) yang ditunjukkan pada Tabel 3. Semua isolat disimpan dalam larutan gliserol 10%. Penapisan terhadap isolat-isolat actinomycetes tersebut sedang dilakukan dan belum dapat dilaporkan.
Tabel 3.Daftar Actinomycetes koleksi 2008 No.
Private culture No.
Sample No.
Sampling site
Source
Isolation Methods
Private culture No.
No.
Sample No.
Sampli ng site
Source
Isolation Methods
1
DPS-1.RC.5
DP08-01
Padang
Soil
RC
64
BDPS-3. RC.1
DP08-64
Bali
Soil
RC
2
DPS-2.RC.6
DP08-02
Padang
Soil
RC
65
BDPS-3. RC.2
DP08-65
Bali
Soil
RC
3
DPS-3.RC.1
DP08-03
Padang
Soil
RC
66
BDPS-3. RC.3
DP08-66
Bali
Soil
RC
4
DPS-5.RC.1
DP08-04
Padang
Soil
RC
67
BDPS-3. RC.4
DP08-67
Bali
Soil
RC
5
DPS-5.RC.2
DP08-05
Padang
Soil
RC
68
BDPS-3. RC.5
DP08-68
Bali
Soil
RC
6
DPS-5.RC.4
DP08-06
Padang
Soil
SDS-YE
69
BDPS-4. RC.1
DP08-69
Bali
Soil
RC
7
DPS-1.SDS.1
DP08-07
Padang
Soil
SDS-YE
70
BDPS-4. RC.2
DP08-70
Bali
Soil
RC
8
DPS-1.SDS.5
DP08-08
Padang
Soil
SDS-YE
71
BDPS-4. RC.4
DP08-71
Bali
Soil
RC
9
DPS-1.SDS.5
DP08-09
Padang
Soil
SDS-YE
72
BDPS-4. RC.3
DP08-72
Bali
Soil
RC
10
DPS-1.SDS.7
DP08-10
Padang
Soil
SDS-YE
73
BDPS-4. RC.5
DP08-73
Bali
Soil
RC
11
DPS-1.SDS.8
DP08-11
Padang
Soil
SDS-YE
74
BDPS-5. RC.1
DP08-74
Bali
Soil
RC
12
DPS-1.SDS.9
DP08-12
Padang
Soil
SDS-YE
75
BDPS-5. RC.3
DP08-75
Bali
Soil
RC
13
DPS-1.SDS.11
DP08-13
Padang
Soil
SDS-YE
76
BDPS-5. RC.5
DP08-76
Bali
Soil
RC
14
DPS-1.SDS.12
DP08-14
Padang
Soil
SDS-YE
77
BDPS-5. RC.6
DP08-77
Bali
Soil
RC
15
DPS-1.SDS.13
DP08-15
Padang
Soil
SDS-YE
78
BDPS-5. RC.4
DP08-78
Bali
Soil
RC
16
DPS-1.SDS.14
DP08-16
Padang
Soil
SDS-YE
79
BDPS-5. RC.8
DP08-79
Bali
Soil
RC
17
DPS-1.SDS.15
DP08-17
Padang
Soil
SDS-YE
80
BDPS-5. RC.2
DP08-80
Bali
Soil
RC
18
DPS-1.SDS.16
DP08-18
Padang
Soil
SDS-YE
81
BDPS-1. SDS.1
DP08-81
Bali
Soil
SDS-YE
19
DPS-2.SDS.1
DP08-19
Padang
Soil
SDS-YE
82
BDPS-1. SDS.2
DP08-82
Bali
Soil
SDS-YE
20
DPS-2.SDS.2
DP08-20
Padang
Soil
SDS-YE
83
BDPS-1. SDS.3
DP08-83
Bali
Soil
SDS-YE
21
DPS-2.SDS.4
DP08-21
Padang
Soil
SDS-YE
84
BDPS-1. SDS.4
DP08-84
Bali
Soil
SDS-YE
22
DPS-2.SDS.5
DP08-22
Padang
Soil
SDS-YE
85
BDPS-1. SDS.5
DP08-85
Bali
Soil
SDS-YE
23
DPS-2.SDS.7
DP08-23
Padang
Soil
SDS-YE
86
BDPS-1. SDS.6
DP08-86
Bali
Soil
SDS-YE
24
DPS-2.SDS.8
DP08-24
Padang
Soil
SDS-YE
87
BDPS-1. SDS.7
DP08-87
Bali
Soil
SDS-YE
25
DPS-2.SDS.9
DP08-25
Padang
Soil
SDS-YE
88
BDPS-1. SDS.8
DP08-88
Bali
Soil
SDS-YE
26
DPS-2.SDS.11
DP08-26
Padang
Soil
SDS-YE
89
BDPS-1. SDS.10
DP08-89
Bali
Soil
SDS-YE
27
DPS-2.SDS.12
DP08-27
Padang
Soil
SDS-YE
90
BDPS-1. SDS.11
DP08-90
Bali
Soil
SDS-YE
28
DPS-3.SDS.1
DP08-28
Padang
Soil
SDS-YE
91
BDPS-2. SDS.1
DP08-91
Bali
Soil
SDS-YE
29
DPS-3.SDS.3
DP08-29
Padang
Soil
SDS-YE
92
BDPS-2. SDS.3
DP08-92
Bali
Soil
SDS-YE
30
DPS-3.SDS.2
DP08-30
Padang
Soil
SDS-YE
93
BDPS-2. SDS.4
DP08-93
Bali
Soil
SDS-YE
31
DPS-3.SDS.4
DP08-31
Padang
Soil
SDS-YE
94
BDPS-2. SDS.5
DP08-94
Bali
Soil
SDS-YE
32
DPS-3.SDS.5
DP08-32
Padang
Soil
SDS-YE
95
BDPS-2. SDS.9
DP08-95
Bali
Soil
SDS-YE
33
DPS-3.SDS.6
DP08-33
Padang
Soil
SDS-YE
96
BDPS-2. SDS.10
DP08-96
Bali
Soil
SDS-YE
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
62
No.
Private culture No.
Sample No.
Sampling site
No.
Private culture No.
Sample No.
34
DPS-3.SDS.7
DP08-34
Padang
Soil
SDS-YE
97
BDPS-2. SDS.12
DP08-97
Bali
Soil
SDS-YE
35
DPS-3.SDS.8
DP08-35
Padang
Soil
SDS-YE
98
BDPS-2. SDS.13
DP08-98
Bali
Soil
SDS-YE
36
DPS-3.SDS.9
DP08-36
Padang
Soil
SDS-YE
99
BDPS-2. SDS.15
DP08-99
Bali
Soil
SDS-YE
37
DPS-3.SDS.10
DP08-37
Padang
Soil
SDS-YE
100
BDPS-2. SDS.16
DP08-100
Bali
Soil
SDS-YE
38 39
DPS-3.SDS.11
DP08-38
Padang
Soil
SDS-YE
101
BDPS-3. SDS.1
DP08-101
Bali
Soil
SDS-YE
DPS-3.SDS.12
DP08-39
Padang
Soil
SDS-YE
102
BDPS-3. SDS.3
DP08-102
Bali
Soil
SDS-YE
40
DPS-3.SDS.13
DP08-40
Padang
Soil
SDS-YE
103
BDPS-3. SDS.5
DP08-103
Bali
Soil
SDS-YE
41
DPS-3.SDS.14
DP08-41
Padang
Soil
SDS-YE
104
BDPS-3. SDS.6
DP08-104
Bali
Soil
SDS-YE
42
DPS-3.SDS.15
DP08-42
Padang
Soil
SDS-YE
105
BDPS-3. SDS.7
DP08-105
Bali
Soil
SDS-YE
43
DPS-3.SDS.16
DP08-43
Padang
Soil
SDS-YE
106
BDPS-4. SDS.1
DP08-106
Bali
Soil
SDS-YE
44
DPS-3.SDS.17
DP08-44
Padang
Soil
SDS-YE
107
BDPS-4. SDS.3
DP08-107
Bali
Soil
SDS-YE
45
DPS-4.SDS.2
DP08-45
Padang
Soil
SDS-YE
108
BDPS-4. SDS.6
DP08-108
Bali
Soil
SDS-YE
46
DPS-4.SDS.3
DP08-46
Padang
Soil
SDS-YE
109
BDPS-4. SDS.8
DP08-109
Bali
Soil
SDS-YE
47
DPS-4.SDS.6
DP08-47
Padang
Soil
SDS-YE
110
BDPS-4. SDS.9
DP08-110
Bali
Soil
SDS-YE
48
DPS-4.SDS.7
DP08-48
Padang
Soil
SDS-YE
111
BDPS-4. SDS.10
DP08-111
Bali
Soil
SDS-YE
49
DPS-5.SDS.2
DP08-49
Padang
Soil
SDS-YE
112
BDPS-4. SDS.11
DP08-112
Bali
Soil
SDS-YE
50
DPS-5.SDS.3
DP08-50
Padang
Soil
SDS-YE
113
BDPS-4. SDS.13
DP08-113
Bali
Soil
SDS-YE
51
DPS-5.SDS.5
DP08-51
Padang
Soil
SDS-YE
114
BDPS-4. SDS.16
DP08-114
Bali
Soil
SDS-YE
52
DPS-5.SDS.6
DP08-52
Padang
Soil
SDS-YE
115
BDPS-4. SDS.17
DP08-115
Bali
Soil
SDS-YE
53
BDPS-1. RC.2
DP08-53
Bali
Soil
RC
116
BDPS-5. SDS.1
DP08-116
Bali
Soil
SDS-YE
54
BDPS-1. RC.3
DP08-54
Bali
Soil
RC
117
BDPS-5. SDS.2
DP08-117
Bali
Soil
SDS-YE
55
BDPS-1. RC.4
DP08-55
Bali
Soil
RC
118
BDPS-5. SDS.3
DP08-118
Bali
Soil
SDS-YE
56
BDPS-1. RC.5
DP08-56
Bali
Soil
RC
119
BDPS-5. SDS.4
DP08-119
Bali
Soil
SDS-YE
57
BDPS-1. RC.7
DP08-57
Bali
Soil
RC
120
BDPS-5. SDS.5
DP08-120
Bali
Soil
SDS-YE
58
BDPS-2. RC.1
DP08-58
Bali
Soil
RC
121
BDPS-5. SDS.6
DP08-121
Bali
Soil
SDS-YE
59
BDPS-2. RC.2
DP08-59
Bali
Soil
RC
122
BDPS-5. SDS.7
DP08-122
Bali
Soil
SDS-YE
60
BDPS-2. RC.3
DP08-60
Bali
Soil
RC
123
BDPS-5. SDS.8
DP08-123
Bali
Soil
SDS-YE
61
BDPS-2. RC.4
DP08-61
Bali
Soil
RC
124
BDPS-5. SDS.9
DP08-124
Bali
Soil
SDS-YE
62
BDPS-2. RC.5
DP08-62
Bali
Soil
RC
125
BDPS-5. SDS.11
DP08-125
Bali
Soil
SDS-YE
63
BDPS-2.RC.6
DP08-63
Bali
Soil
RC
126
BDPS-5. SDS.12
DP08-126
Bali
Soil
SDS-YE
Source
Isolation Methods
Sampli ng site
Source
Isolation Methods
KESIMPULAN 1. Hasil identifikasi senyawa bioaktif isolat actinomycetes SBR01 mengandung 2 senyawa yang mempunyai nilai retention time tertinggi adalah Cyclotetracosane dan Anthracene, 9,10-dihydro-9,9,10-trimethyl. 2. Hasil identifikasi senyawa bioaktif isolat actinomycetes CS2RC9 didominasi oleh senyawa-senyawa asam lemak yaitu senyawa Asam hekasadecanoat (atau yang dikenal
dengan omega 7), decosan, dan asam octadecanoat. 3. Hasil identifikasi senyawa bioaktif Isolat actinomycetes R192 diperoleh 2 senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri yaitu benzeneacetamide dan eicosane. 4. Isolasi actinomycetes sampel tanah dari Bali menghasilkan total 74 isolat (Bali) dan 52 isolat (Padang).
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
63
UCAPAN TERIMA KASIH Hasil penelitian ini didanai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2008 Puslit Bioteknologi LIPI. Ucapan terima kasih diberikan kepada Roni
Ridwan, Gina Kartina, Naniek Nurhayaty, Fahrurrozi, Wulansih Dwi Astuti, dan Kurniawan yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA Aharonowitz, Y. 1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic biosynthesis. Annu Rev Microbiol 34, 209-233. Aharonowitz, Y. & Demain, A. L. 1978. Nitrogen nutrition and regulation of cephalosporin production in Streptomyces clavuligerus. Can J Microbiol 25, 61-67. Lechevalier, H.A & Lechevalier M.P. 1967. Biology of actinomycetes. Annu Rev Microbiol 21:71-100. Giarrizzo, J., J. Bubis, A. Taddei. 2007. Influence of the culture medium composition on the excreted/secreted proteases from Streptomyces violaceoruber. World Journal of Microbiology and Biotechnology 23(4): 553558. Yallop, C.A., C. Edwards, S.T. Williams. 1997. Isolation and growth physiology of novel thermoactinomycetes. J Appl Microbiol 83(6): 685-92. Yeoman, K.H. & C. Edwards. 1997. Purification and characterization of the protease enzymes of Streptomyces thermovulgaris grown on rapemeal-derived media. J Appl Microbiol 82(2): 149-56. Miyadoh, S. 1997. Atlas of Actinomycetes. Tokyo: The Society for Actinomycetes, Japan/Akasura Publishing. Schon, R. &I. Groth. 2006. Practical thin layer chromatography techniques for diaminopimelic acid and whole cell sugar analyses in the classification of environmental actinomycetes. J Basic Microbiol 46(3): 243249. Brunati, M., A. Bava, F. Marinelli, G. Lancini. 2005. Influence of leucine and valine on ramoplanin production by Actinoplanes sp. ATCC 33076. J Antibiot 58(7): 473-8. Boudjella, H., K. Bouti, A. Zitouni, F. Mathieu, A. Lebrihi, N. Sabaou. 2006. Taxonomy and chemical characterization of antibiotics of Streptosporangium Sg 10 isolated from a Saharan soil. Microbiol Res 161(4): 288-98. Li, D.H., T.J. Zhu, H.B. Liu, Y.C. Fang, Q.Q. Gu, W.M. Zhu. 2006. Four butenolides are novel cytotoxic compounds isolated from the marine-derived bacterium, Streptoverticillium
luteoverticillatum 11014. Arch Pharm Res 29(8): 624-6. Haque, S.F., S.K. Sen, S.C. Pal. 1995. Nutrient optimisation for production of broad spectrum antibiotics by Streptomyces antibioticus Sr15.4. Acta Microbiol. Hung 42: 155-162. Voelker, F. & S. Altaba. 2001. Nitrogen source governs the patterns of growth and pristinamycin production in Streptomyces pristinaespiralis. Microbiology 147: 24472459. Thawai, C., Tanasupawat, S., Itoh, T., Suwanborirux, K., Kudo, T. 2005. Micromonospora siamensis sp. nov., isolated from Thai peat swamp forest. J Gen Appl Microbiol 51(4):229-34. Ara, I. &Kudo, T. 2007. Two new species of the genus Micromonospora: Micromonospora chokoriensis sp. nov. and Micromonospora coxensis sp. nov., isolated from sandy soil. J Gen Appl Microbiol 53(1):29-37. Zhou, Z.H., Liu, Z.H., Qian, Y.D., Kim, S.B., Goodfellow, M. 1998. Saccharopolyspora spinosporotrichia sp. nov., a novel actinomycete from soil. Int J Syst Bacteriol 48(1):53-8. Oliynyk, M., Samborskyy, M., Lester, J.B., Mironenko, T., Scott, N., Dickens, S., Haydock, S.F., Leadlay, P.F. 2007. Complete genome sequence of the erythromycinproducing bacterium Saccharopolyspora erythraea NRRL23338. Nat Biotechnol. 25(4): 447-53. Le Roes, M. & Meyers, P.R. 2007. Actinomadura rudentiformis sp. nov., isolated from soil. Int J Syst Evol Microbiol. 57(1): 45-50. Badji, B., Zitouni, A., Mathieu, F., Lebrihi, A., Sabaou, N. 2006. Antimicrobial compounds produced by Actinomadura sp. AC104 isolated from an Algerian Saharan soil. Can J Microbiol. 52(4): 373-82. Koch, C., Kroppenstedt, R.M., Rainey, F.A., Stackebrandt, E. 1996. 16S ribosomal DNA analysis of the genera Micromonospora, Actinoplanes, Catellatospora, Catenuloplanes, Couchioplanes, Dactylosporangium, and
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
64
Pilimelia and emendation of the family Micromonosporaceae. Int J Syst Bacteriol. 46(3): 765-8. Tani, M., Gyobu, Y., Sasaki, T., Takenouchi, O., Kawamura, T., Kamimura, T., Harada, T. 2004. SF2809 compounds, novel chymase inhibitors from Dactylosporangium sp. 1. Taxonomy, fermentation, isolation and biological properties. J Antibiot (Tokyo). 57(2): 83-8.
Stadler, M., Bitzer, J., Mayer-Bartschmid, A., Müller, H., Benet-Buchholz, J., Gantner, F., Tichy, H.V., Reinemer, P., Bacon, K.B. 2007. Cinnabaramides A-G: analogues of lactacystin and salinosporamide from a terrestrial streptomycete. J. Nat. Prod. 70(2): 246-52. Ratnayake, R., Lacey, E., Tennant, S., Gill, J.H., Capon, R.J. 2007. Kibdelones: novel anticancer polyketides from a rare Australian actinomycete. Chemistry. 2007;13(5): 1610-9.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
65
Uji Ekspresi Protein Rekombinan J-Tat Sistem pET Endang T. Margawati, A. Utama, Indriawati, A. Atikana, Handrie dan N. Hasanah Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail: ending.tri.margawati @lipi.go.id
ABSTRAK Gen tat virus Jembrana telah berhasil dikonstruksi dengan sistem pET-21 pada kegiatan tahun sebelumnya (2007). Kegiatan DIPA tahun ini (2008), difokuskan pada uji ekspresi protein rekombinan JTat pET. Konstruk tersebut ditransformasikan ke dalam E. coli strain JM109 guna memperbanyak plasmid pembawa gen tat. Perbanyakan plasmid tersebut kemudian dikoleksi dengan Qiaprep spinmini kits (Qiagen) dan diekspresikan melalui E. coli BL21 untuk uji ekspresi. Uji ekspresi dilakukan dalam skala laboratorium (100ml kultur). Pada uji ekspresi ini baru dilakukan sampai tahap karakterisasi dengan SDS PAGE gradient. Namun hasil yang diperoleh belum memuaskan, meskipun ukuran proteinnya sudah sesuai (±10,kDa). Pada SDS PAGE terlihat pita protein rekombinan JTat sangat tipis. Dengan demikian, protein rekombinan JTat sebetulnya telah terekspresi namun hasilnya belum maksimal. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan untuk mendapatkan ekspresi JTat pET yang maksimal dan kemungkinan perlu dicek ketepatan konstruksi gen tat dengan sistem pET. Kata Kunci: Uji ekspresi, protein rekombinan JTat, sistem pET
PENDAHULUAN Sapi Bali sebagai sapi potong lokal Indonesia dan merupakan salah satu gene pools sapi potong di Asia Tenggara, mempunyai kelebihan dalam hal daya reproduksinya yang mampu berreproduksi dengan masa tenggang kelahiran (calving interval) 1 tahun. Selain itu mempunyai beberapa kelebihan dalam sifat produksinya yaitu daging tanpa lemak (lean), juicy dan halus tekstur dagingnya serta relatif tinggi persentase (±50%) karkasnya (bagian yang dapat di konsumsi) dibandingkan dengan sapi potong lokal Indonesai lainnya. Namun, sapi Bali rentan terhadap penyakit virus Jembrana (Chadwick et al., 1995). Kematian yang diakibatkan oleh penyakit Jembrana dapat mencapai 20% dari populasi sapi Bali (Moll, 1998). Selama ini keperluan akan vaksin Jembrana untuk keperluan vaksinasi, baru terpenuhi dari crude vaccine. Pengadaan crude vaccine secara perhitungan ekonomi mahal, karena harus mematikan hewannya terlebih dahulu untuk memproduksi crude vaccine. Selain itu juga kurang efektif dan rendah produksinya.
Beberapa tahun terakhir (2006-2007) kelompok biologi molekuler hewan, Puslit Bioteknologi telah berhasil mengkonstruksi gen tat ke dalam plasmid pET-21b dan diperbanyak clones nya melalui sel inang E. coli strain JM109, kemudian diekspresikan melalui E.coli strain BL21. Konstruksi protein rekombinan JTat pET dimaksudkan untuk meningkatkan efikasi vaksin. Hal ini dikarenakan pada awalnya gen tat telah dikonstruksi dengan sistem pGEX, dimana fusi tag proteinnya lebih besar (GST= 26kDa) dari pada protein Tat nya sendiri (±10,7kDa), (ACIAR, 2004). Pada kegiatan DIPA tahun 2008, telah dicoba uji ekspresi konstruk JTat pET21b yang telah dihasilkan sebelumnya dalam skala laboratorium (100 ml kultur). Diharapkan pada uji ekspresi protein rekombinan JTat pET ini dapat dipelajari sistemnya. Kegiatan uji ekspresi ini baru sampai pada karakterisasi dan belum sampai pada tahap purifikasi, dikarenakan keterbatasan dana.
BAHAN DAN CARA KERJA Kultur Semalam (over night culture/ O/N) Konstruk JTat pET (berasal dari koloni plate agar) diambil dengan tusuk gigi steril
dimasukkan ke dalam 5 ml media kultur LB (Luria Bertani) cair mengandung 100µg/ml amphicillin dan dikultur semalam dalam
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
66
inkubator shaker dengan kecepatan 200rpm pada suhu 37oC. Inokulasi dan Induksi IPTG Sebanyak 2ml kultur O/N diinokulasikan ke dalam 100 ml media LB cair mengandung 100µg/ml amphilicillin (perbandingan 1:40), dibuat 2 x 100ml. Ke dua kultur tersebut diinkubasi pada 37oC dalam shaker 200rpm sampai mencapai OD 0,8. Pada satu kultur (100ml) diinduksi dengan IPTG (0,1mM) dan satu kultur lainnya tidak diinduksi, pada kultur yang diinduksi, dilanjutkan inkubasi 37oC dalam shaker 200rpm selama 1 jam. Sementara yang tanpa induksi juga dilanjutkan inkubasi serupa selama 1 jam. Setiap periode 1 jam kultur, diambil 1ml sampel untuk karakterisasi. Pemanenan dan Pemecahan Sel Setelah total kultur ±4 jam inkubasi, sel dipanen (dalam pelet) dengan sentrifugasi
(4000rpm; suhu 10oC, 15 menit). Pelet dikoleksi dan dilisis dengan metode Freeze-Thaw sebanyak 3 siklus (dimasukkan ke dalam -20oC sampai beku dan dengan cepat dimasukkan kedalam waterbath bersuhu 42oC). Karakterisasi dengan SDS PAGE Hasil lisis diresuspensi dengan 50µl SDSloading dye untuk karakterisasi, sebelumnya didenaturasi pada suhu 95oC selama 10 menit. Sebanyak 15µl resuspensi dimasukkan kedalam tiap sumur SDS-PAGE gradient. Sebagai ukuran protein (molecular weight) digunakan protein ladder Dual Color (BioRad) sebanyak 1 µl. Elektrophoresis dilakukan mulai dengan voltage awal 20mA selama 40 menit, dinaikkan menjadi 40mA dan diberhentikan ketika base-line berada pada bagian paling bawah gel SDS PAGE. Pita protein baru dapat diamati setelah gel SDS di staining dengan Commassie Brilliant Blue dan dicuci dengan larutan destaining.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekspresi JTat pET dengan dan tanpa IPTG Karakterisasi uji ekspresi JTat pET yang dikultur dengan dan tanpa IPTG menggunakan SDS-PAGE, hasilnya dapat dilihat seperti pada Gambar 1. M
1
2
3
4
5
6
7
75kDa
25kDa
10kDa
11.5kDa
Gambar 1. Ekspresi JTat pET melalui E.coli BL-21 (M=Protein Ladder; 1= Tanpa IPTG 0 jam; 2, 4, 6 =Tanpa IPTG pada jam ke 1,2,3; 3, 5, 7= dengan IPTG pada jam ke 1, 2, 3)
Pada Gambar 1, sumur 3 (dengan belum nampak adanya ekspresi rekombinan JTat pET, Pada sumur 5 (dengan IPTG) telah nampak adanya pita
IPTG) protein dan 7 protein
rekombinan dengan ukuran ±11.5kDa sesuai dengan ukuran protein rekombinan JTat. Meskipun pita yang muncul jelas, tetapi belum terekspresi secara maksimal. Menurut Mills (2000) Penambahan IPTG dimaksudkan untuk menstimulir ekspresi protein. Hal lain, kemungkinan pencapaian OD belum tepat untuk ekspresi protein rekombinan JTat pET. Seperti dikemukakan oleh Glick and Pasternak (1998) bahwa produksi protein rekombinan yang mempunyai berat molekul rendah akan mencapai puncaknya (peak) pada fase statis (stationary fase). Dalam penelitian ini protein rekombinan (JTat pET) yang digunakan pada penelitian ini mempunyai ukuran berat molekul kecil (± 11,5kDa). Dengan demikian waktu kultur sebelum induksi dengan IPTG perlu diperpanjang. Hasil ekspresi protein rekombinan yang dikultur tanpa IPTG pada jam ke 2 dan ke 3 (Gambar 1: sumur 4 dan 6) nampak pita protein rekombinan dengan ukuran yang sesuai (±11,5kDa), namun kemunculan pita lebih tipis dibandingkan dengan protein rekombinan dengan IPTG pada waktu yang sama (Gambar 2, sumur 5 dan 7). Ekspresi protein tanpa IPTG lebih lambat karena tidak adanya inducer untuk menstimulir ekspresi protein. Pengulangan uji ekspresi ini masih perlu diulang sampai diperoleh pita protein yang tebal, Kemungkinan perlu dilakukan pengecekan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
67
kembali konstruksi JTat pET yang digunakan
pada penelitian ini menggunakan pET lain (21a).
KESIMPULAN Uji ekspresi protein rekombinan JTat dengan sistem pET yang di induksi dengan IPTG menunjukkan pita lebih jelas dari pada tanpa induksi, keduanya menunjukkan ukuran protein yang sesuai (±11,5kDa). Meskipun demikian,
hasil ekspresi tersebut belum diperoleh maksimal. Pada kegiatan selanjutnya perlu dipelajari sistem ekspresi pET. Selain itu perlu dikontrol ketepatan konstruksi tat dengan sistem pET.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2008. DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 2004. Production of a vaccine for the control of Jembrana disease in Indonesia. Review Report. ACIAR Project No. AS1/2000/029. Chadwick BJ, Coelen RJ, Wilcox GE, Sammels LM, Kertayadnya G. 1995. Nucleotida sequence analysis of Jembrana disease virus: a new bovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal of General Virology. 76: 1637-1650. Glick, BR & Pasternak, JJ. 1998. Molecular Biotechnology: Principles and applications of recombinant DNA. 2nd Edition. ASM press. Washington DC: 683pp.
Mills, AA. 2001. Changing Colors in Mice: an Inducible System that Delivers. Genes and Development. 15;1461-1467. Moll, H. 1998. Report of the UNOPS marketing and rural finance expert. In, Supervision Report, Eastern Islands Smallholder Farming Systems and Livestock Development Project. United Nations Office for Project Services (UNOPS), 18 September 1998. p. 65-69.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
68
Pengembangan Teknologi Mikro-Fertilisasi (ICSI) dan Kultur Sel Hewan untuk Peningkatan Produktivitas Ternak Ekayanti M. Kaiin, M. Gunawan, Nova D. Yanthi Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail: ekayanti.m.kaiin @lipi.go.id
ABSTRAK Berbagai program pengembangan penelitian peternakan yang telah dilakukan selama ini untuk produksi bibit unggul masih perlu ditingkatkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam pengembangan produktivitas ternak adalah aspek reproduksi. Aplikasi bioteknologi reproduksi telah lama diterapkan untuk membantu mengatasi permalasahan peternakan di Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan berbagai teknik untuk membantu kemampuan reproduksi akan berperan dalam mempertahankan dan mengatur populasi ternak secara alami. Sejalan dengan kemajuan teknologi, pada saat ini spermatozoa dapat digunakan untuk IVF tanpa memperhatikan motilitasnya. Dengan bantuan teknologi mikro-fertilisasi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI), spermatozoa beku yang motil ataupun tidak motil dapat digunakan untuk menfertilisasi sel telur menghasilkan embrio. Pada saat ini, pengembangan ternak sebagai penghasil protein yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan telah banyak dilakukan oleh peneliti di negara maju. Dengan teknik ”Somatic Cell Nuclear Transfer, SCNT” dapat dihasilkan hewan hasil kloning yang menghasilkan protein tertentu. Teknik SCNT memerlukan sel sebagai sel donor. Untuk mendapatkan sel donor yang berkualitas maka perlu dilakukan optimasi teknik kultur sel untuk mendapatkan sel yang layak digunakan sebagai sel donor. Kata kunci : Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI), spermatozoa, kultur sel, Somatic cell Nuclear Transfer (SCNT) , sel donor
PENDAHULUAN Pembangunan subsektor Peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian yang secara umum berbasis pada proses biologis. Dalam menghadapi persaingan global, kebijakan pembangunan peternakan dalam negeri tidak akan terlepas dari upaya peningkatan produktivitas dan daya saing, untuk mencukupi kebutuhan produk peternakan khususnya daging dan susu yang semakin tinggi. Hingga saat ini produksi daging dan susu dalam negeri belum mampu mengimbangi permintaan, bahkan ada kecenderungan terjadinya penurunan jumlah populasi ternak. Beberapa isu penting pembangunan peternakan saat ini adalah (1) ancaman penurunan populasi beberapa ternak besar penting (sapi dan kerbau), (2) ancaman membanjirnya produk impor peternakan, (3) ancaman punahnya plasma nutfah ternak tropis, (4) penurunan mutu/kualitas bibit ternak, (5) ketersediaan pakan ternak berkualitas sepanjang tahun, (6) kesejahteraan petani/peternak yang masih rendah Berbagai program pengembangan yang telah dilakukan selama ini masih perlu ditingkatkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Salah
satu aspek penting dalam pengembangan produktivitas ternak adalah aspek reproduksi. Aplikasi bioteknologi reproduksi telah lama diterapkan untuk membantu mengatasi permasalahan peternakan di Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan berbagai teknik untuk membantu kemampuan reproduksi seperti pematangan sel telur secara in vitro (IVM), pembuahan in vitro (IVF) dan kultur embrio in vitro (IVC) akan sangat berperan dalam mempertahankan dan mengatur populasi ternak secara alami (Wildt et al., 1992). Sejalan dengan kemajuan teknologi, pada saat ini spermatozoa dapat digunakan untuk IVF tanpa memperhatikan motilitasnya, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan untuk memanfaatkan material genetik ternak yang mati atau yang divasektomi karena alasan medis. Jika motilitas sperma tidak lagi menjadi faktor dalam pembuahan normal, maka penggunaan spermatozoa yang dikoleksi dan dibekukan tanpa krioprotektan menjadi sangat mungkin. Dengan bantuan teknologi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) spermatozoa yang dibekukan dengan cara yang mudah dan murah tadi dapat digunakan untuk menfertilisasi sel telur. Dengan teknologi ini pula
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
69
dapat memudahkan upaya pelestarian hewanhewan yang terancam punah. ICSI pada sel telur mamalia pertama kali dilakukan oleh Uehara dan Yanagimachi (1976). Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa sperma manusia yang dibekukan dalam media isotonik tanpa krioprotektan mampu terdekondensasi dan membentuk pronukleus setelah disuntikkan ke dalam sel telur. Hal ini menandakan bahwa inti sperma sangat stabil. Kuretake et al. (1996) menyatakan bahwa integritas genetik sperma mencit dan isolasi kepala sperma dapat terpelihara baik setelah dibekukan dan dithawing dalam media yang mengandung gliserol dan terbukti dengan lahirnya anak mencit normal setelah mentransfer embrio hasil ICSI, baik dengan sperma utuh maupun hanya dengan kepala sperma saja. ICSI dengan spermatozoa beku tanpa krioprotektan juga menghasilkan anak mencit normal (Wakayama et al., 1998). Keberhasilan yang serupa juga terjadi pada tikus (Hirabayashi et al., 2002; S. Said et al., 2003). Suatu terobosan teknologi yang secara signifikan mampu meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak sangat diperlukan di Indonesia. Teknologi in vitro dan mikrofertilisasi telah terbukti mampu memanfaatkan sel telur dari rumah potong hewan untuk memproduksi embrio dan dengan aplikasi teknologi transfer embrio dapat menghasilkan
anak. Teknologi mikro fertilisasi atau ICSI mampu memfertilisasi sel telur tanpa memperhatikan motilitas spermatozoa. Dengan demikian melalui teknologi tersebut mampu memproduksi ternak dalam jumlah massal dengan mutu genetik unggul. Aplikasi kedua teknologi tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah kekurangan produksi daging dan susu di Indonesia. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan peternakan khususnya ternak besar di Indonesia, sehingga produktivitas ternak dengan pemanfaatan bioteknologi reproduksi dan biologi molekuler dapat ditingkatkan. Selain itu, kualitas ternak dan produksi bibit ternak yang dihasilkan akan lebih berkualitas dan memberikan nilai tambah yang lebih bermanfaat dan diharapkan juga dapat meningkatkan populasi ternak di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Penguasaan teknik mikro-fertilisasi (ICSI) dengan sperma segar dan sperma beku dan penguasaan teknik kultur sel hewan (mencit) Sedangkan sasaran penelitian adalah dikuasainya teknik mikro-fertilisasi (ICSI) untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas embrio hasil ICSI dan mendapatkan optimasi teknik kultur sel hewan untuk menghasilkan sumber sel hewan (segar atau beku).
BAHAN DAN CARA KERJA Mikro-fertilisasi (ICSI) 1. Superovulasi : Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina strain DDY berumur 6-8 minggu. Mencit betina tersebut disuperovulasi dengan menyuntikkan 5 IU PMSG per ekor dan 5 IU hCG per ekor secara intraperitoneal. Waktu penyuntikan PMSG adalah pada pertengahan siklus terang, yaitu pada jam 12.00, sedangkan penyuntikan hCG dilakukan 48 jam setelah PMSG (Hogan et al., 1986). 2. Fertilisasi dengan metoda ICSI Mencit betina setelah disuperovulasi tidak dikawinkan dengan mencit jantan. Sel telur dipanen pada pagi hari ( antara pukul 07.00 09.00) dengan menoreh oviduk (saluran telur) induk betina yang telah didislokasi leher. Penorehan dilakukan di dalam medium CZB mengandung 0,1% hyaluronidase (Sigma, USA) untuk melepaskan sel-sel kumulus. Sel telur yang
telah bersih dari kumulus, dicuci dalam medium yang sama tanpa hyaluronidase. Kemudian sel telur dimasukkan dalam spot dengan medium CZB kultur selama 1 jam. ICSI dilakukan dengan menempatkan sel telur pada pipet mikro untuk holding dan sel sperma ditempatkan pada pipet mikro untuk injeksi dengan menggunakan alat micromanipulator yang ditempatkan pada mikroskop inverted. Sperma yang digunakan dibagi dalam tiga perlakuan yaitu: sperma segar, sperma beku -300C dengan medium NaCl fisiologis dan Aquabidestilata. Setelah proses ICSI, sel telur kemudian dikultur dalam medium CZB selama 8 jam untuk mengetahui perkembangan awal sel telur yang telah difertilisasi. 3. Fiksasi dan Pewarnaan Sel telur yang telah difertilisasi dikultur dalam medium CZB, setelah 8 jam dilakukan fiksasi dan pewarnaan. Sel telur diletakkan di
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
70
atas kaca obyek, lalu ditutup dengan kaca penutup yang memiliki bantalan terbuat dari parafin dan vaselin (1:9) di keempat sudutnya. Preparat kemudian difiksasi dengan glutaraldehide 2,5% dalam PBS pH 7,4, selanjutnya dimasukkan ke larutan formalin netral 10% selama 4-6 jam pada suhu ruangan. Sampel kemudian didehidrasi menggunakan etanol 95% dan diwarnai dengan lacmoid 0,25% dalam asam asetat 45%. Terakhir ditambahkan larutan acetoglycerol. 4. Pengamatan Pengamatan perkembangan sel telur hasil fertilisasi diamati menggunakan mikroskop fase kontras pembesaran 400X. Perkembangan morfologi inti sel telur yang diamati meliputi pronukleus betina dan pronukleus jantan. Optimasi kultur sel hewan Sel kultur yang digunakan diperoleh dari beberapa sumber organ anak mencit (umur 1
minggu). Sumber sel kultur tersebut dicacah dan dicuci dengan menggunakan larutan pencuci PBS 1x kemudian disentrifugasi selama 5 menit. Selanjutnya sumber sel tersebut dimasukkan dalam petri dish yang telah diberi media kultur DMEM dengan penambahan FBS 10% dan Gentamycin 10mg/ml. Kultur diinkubasi pada inkubator CO2 5% (37°C) dan diamati setiap 2 hari sekali, sekaligus dilakukan pencucian dan penggantian media kultur. Kultur sel yang telah mencapai konfluen (80%), kemudian dilepaskan dengan menggunakan media Trypsin 1% selama 1 menit dan disentrifugasi selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah sel di bawah mikroskop dengan menggunakan haemositometer. Kultur primer kemudian dibagi menjadi subkultur-subkultur sampai mencapai 8 subkultur. Pada subkultur 3 dan 5, sel-sel tersebut dibekukan untuk diuji viabilitasnya pasca pembekuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mikro-fertilisasi (ICSI) Hasil penelitian untuk mengetahui munculnya badan polar kedua dan posisi inti sel telur terhadap badan polar ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil terlihat bahwa waktu kultur sel telur setelah koleksi berpengaruh terhadap kemunculan badan polar kedua dan posisi inti sel telur terhadap badan polar untuk mengetahui lokasi penyuntikan sperma yang terbaik. Data tersebut dapat memberikan waktu optimum kultur setelah koleksi sel telur yang tepat untuk pelaksanaan ICSI yaitu pada 45 sampai dengan 60 menit setelah koleksi. Hasil ICSI dengan menggunakan sperma segar dan sperma beku diperlihatkan pada Tabel 2. Pembentukan pronukleus jantan dimulai dari berakhirnya kromatin (Karp dan Berril, 1981) yang berubah menjadi benang-benang kromosom kemudian terbentuk gelembung-gelembung kecil mengelilinginya (Yatim, 1982), intinya membengkak membentuk pronukleus jantan (Langman dan Sadler, 1988). Pronukleus jantan akan selalu ditemukan dekat bagian tengah dari sel, menunggu kelengkapan proses pematangan sebelum bergabung dengan pronukleus betina (Rugh, 1971). Mengenai ukuran, pronukleus jantan biasanya lebih besar daripada pronukleus betina (Johnson and Everitt, 1988). Pada penelitian ini kelihatan pronukleus jantan dibentuk lebih dahulu daripada pronukleus betina
(Gambar 1), hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Perreault et al (1987). Hasil yang serupa juga dilaporkan Harjanti (2002) bahwa tahap pronukleus jantan mulai terbentuk setelah delapan jam setelah fertilisasi secara in vivo. Pergerakan pronukleus jantan dipengaruhi oleh fungsi aster spermatozoa yang berguna untuk penggabungan genom jantan dan betina (Nakamura et al., 2001). Selain itu, sentriol dan mikrotubul yang muncul dari spermatozoa, bertanggung jawab untuk membawa pronukleus jantan dan betina bersama-sama. Apabila hal ini tidak terjadi secara normal, perkembangan tidak dapat berlangsung (Scott et al., 2000). Niwa and Sawai (2001) melaporkan dalam penelitiannya bahwa pembentukan pronukleus jantan dipengaruhi oleh tingkat hormonal eksogen, sekresi folikuler dan kekuatan ionik intraseluler dari sel telur. Pembentukan pronukleus secara positif juga berhubungan dengan konsentrasi GSH oosit pada akhir pemasakan. Pengetahuan tentang waktu pembentukan pronukleus ini adalah bermanfaat pada berbagai penelitian manipulasi embrio. Dengan diketahuinya waktu pembentukan pronukleus ini memberikan kemudahan dalam pengamatan sel telur saat awal terjadinya fertilisasi.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
71
Gambar 1. Pronukleus Jantan dan Betina Tabel 1. Hasil pematangan sel telur mencit dalam medium CZB Jumlah Sel Telur
Waktu Kultur (menit)
100 100 100 100 100
0 15 30 45 60
Posisi Inti Sel Telur terhadap Badan Polar Jauh Dibawah 92 8 54 46 38 62 11 89 7 93
Badan Polar ke-2 Tidak ada 87 33 18 5 2
Ada 13 67 82 95 98
ini, kultur sel primer mengalami pertumbuhan, tetapi pada saat disubkultur hanya sel yang berasal dari telinga dapat disubkultur sampai mencapai 8 subkultur dan kultur sel yang berasal dari paru-paru mencapai 4 subkultur saja. Kultur sel yang berasal dari otot jantung tidak mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan sel darah merah pada kultur sel yang berasal dari hati dan limpa lebih cepat daripada pertumbuhan selnya, sehingga menyulitkan dalam pengamatan. Kultur sel yang berasal dari kulit dan usus terkontaminasi bakteri, diduga karena pada kedua sumber sel yang berasal dari anak mencit tersebut sudah terkontaminasi sebelumnya pada saat koleksi sel.
Tabel 2. Pelaksanaan ICSI dengan sperma segar dan sperma beku (-30° C) Spermatozoa
Pembekuan
Segar Beku Beku
NaCl fis Aquabidest
Jumlah Oosit 100 100 100
Berhasil ICSI 56 55 53
Rusak 44 45 47
Pronukleus Jantan 20 14 8
Gambar 2. Sel Primer Paru anak mencit umur 1 minggu
Tabel 3. Optimasi kultur sel dari sumber organ sel yang berbeda Sumb er sel
Kultu r prim er
1
2
3
4
5
6
7
8
Teling a Hati
+
+
+
+
+
+
+
+
+
150 hari
+
-
-
-
-
-
-
-
-
Paru Usus Kulit Jantun g Limfa
+ + + -
+ -
+ -
+ -
+ -
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
Kontaminasi darah 90 hari Kontaminasi Kontaminasi Tidak tumbuh Kontaminasi darah
Sub kultur Keterangan
Optimasi kultur sel hewan Hasil kultur sel dari beberapa sumber sel yang diperoleh dari anak mencit umur 1 minggu diperlihatkan pada Tabel 3. Berdasarkan data dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kultur sel dengan sumber sel yang berbeda mempunyai faktor pertumbuhan sel dan ketahanan hidup yang berbeda. Pada penelitian
Gambar 3. Sel subkultur paru anak mencit umur 1 minggu
Gambar 4. Sel Kulit primer anak mencit umur 1 minggu
KESIMPULAN Waktu optimum kondisi sel telur yang akan digunakan pada ICSI adalah setelah dikultur selama 45 sampai dengan 60 menit. Penggunaan sperma segar untuk ICSI menghasilkan sel telur hasil fertilisasi dengan pronukleus jantan yang
lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan sperma beku. Sel kultur yang berasal dari telinga anak mencit menghasilkan kondisi subkultur yang lebih baik dibandingkan dengan sel yang berasal dari paru-paru.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
72
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada R. Aminudin atas bantuannya dalam pemeliharaan dan pengadaan sampel penelitian. DAFTAR PUSTAKA Hirabayashi, M. M. Kato, T. Aoto, S. Sekimoto, M. Ueda, I. Miyoshi, M. Kasai, S. Hochi. 1996. Offspring derived from intracytoplasmic injection of transgenic rat sperm. Transgenic res 11 : 21- 228. Johnson, M., Everitt, B. 1988. Essential Reproduction. Third Edition. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Karp, G. & Berril, NJ. 1981. Development. 2nd Edition. McGraw Hill, Inc. USA. Kuretake, S., Y. Kimura, K. Hoshi, R. Yanagimachi. 1996. Fertilization and development of mouse oocytes injected with isolated sperm heads. Biol Reprod, 55:789795 Laporan Teknis Proyek Penelitian Bioteknologi. 2003. Langman & Sadler, TW. 1988. Embryologi Kedokteran. EGC. Jakarta Nakamura, S., Terada, Y., Horiuchi, T., Emuta, C., Murakami, T., Yaegashi, N., Okamura, K. 2001. “Human sperm aster formation and pronuclear decondensation in Bovine eggs following Intracytoplasmic Sperm Injection using a piezo-driven pipette : A novel assay for human sperm centrosomal function”. Biology of Reprod. 65 : 1359-1363. Niwa, K. & Sawai, K. 2001. “Requirements of cysteine during in vitro maturation of pig oocytes for male pronuclear formation”. Journal of Reprod and Dev. 47: 47-54. Perreault, SD., Naish, SJ, Zirkin. 1987. “The timing of hamster sperm nuclear decondensation and male pronucleus is related to sperm nuclear disulfide bond content”. Biology of Reprod. 36 : 239-244. Rieth et al., 2000. Electroporation of bovine spermatozoa to carry DNA containing highly repetitive sequences into oocytes and detection of homologous recombination events. Molecular Reproduction and Development 57:338-345
Rugh, R. 1971. A Guide to Vertebrate Development. Sixth Edition. Burgess Publishing Company. America. Said, S., Han, M.S., Niwa, K. 2003. Development of rat oocytes following intracytoplasmic sperm injection of sperm heads isolated from testicular and epididymal spermatozoa. Theriogenology, 60:359-369. Scott, L., Alvero, R., Leondires, M., Miller, B. 2000. “The morphology of human pronuclear embryos is positively related to blastocyt development and implantation”. Human Reprod. 15 : 2394-2403. Sherman, J.K. 1990. Cryopreservation of human semen. Pp 229-269 in CRC Hand book of the laboratory diagnosis and treatment of fertility. CRC Press, Boca Raton. Uehara, T. & R. Yanagimachi. 1976. Microsurgical injection of spermatozoa into hamster eggs with subsequent transformation of sperm nuclei into male pronuclei. Biol Reprod, 15:467-470 Wakayama, T., D.G. Whittingham, R. Yanagimachi. 1998. Production of normal offspring from mouse oocytes injected with spermatozoa cryopreserved with or without cryoprotection. J Reprod Fertil,112:11-17. Watson, P.F. 1990. Artificial insemination and preservation of semen. In : Lamming, G.E. (ed) Marshall’s physiology of reproduction. New York : Churchill Livingstone. pp 747869. Yatim, W. 1982. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit tarsito. Bandung.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
73
Peningkatan Ekspresi Heterologus dan Produksi Human-Erythropoietin Rekombinan pada Yeast Pichia Pastoris melalui Perubahan Codon-Usage Gen HEPO Asrul Muhamad Fuad , Adi Santoso, Yuliawati, Dian F. Agustiyanti, Aminah, Sri K. Wijaya, Rifqiyah N. Umami, Neng Herawati, Andri Wardiana Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia
ABSTRAK Erythropoietin (EPO) adalah hormon yang mengatur proses erythropoiesis, yaitu proses pembentukan sel darah merah (erythrocytes) pada mamalia termasuk manusia. Human-EPO merupakan glikoprotein, terdiri atas 165 asam amino dan 4 sisi glikosilasi dengan bobot molekul berkisar 34.4 kDa. EPO diketahui diproduksi pada beberapa jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Sejak pertama kali diklon (Jacobs et al., 1985; Lin et al., 1985), gen EPO telah diekspresikan pada berbagai jenis sel inang seperti sel mamalia (CHO, BHK, COS), serangga (Spodoptera frugiperda), tanaman (Nicotiana tabacum, Arabidopsis thaliana), manusia (NB dan HepG2) dan yeast (Saccharomyces cerevisiae). EPO komersial (Epogen) diproduksi pada sel CHO telah dipasarkan sejak tahun 1989 oleh AMGEN untuk obat anemia. Protein terapeutik rekombinan umumnya diproduksi menggunakan sel mamalia karena beberapa alasan seperti proses pasca-translasi dan bebas toksin. Namun produksi protein rekombinan pada sel mamalia memiliki keterbatasan seperti rendemen produksi rendah, biaya produksi tinggi dan teknologi yang relatif mahal. Karena itu sel inang alternatif sangat diperlukan untuk produksi protein terapeutik. Yeast merupakan salah satu alternatif untuk hal tersebut. Tingkat produksi protein rekombinan pada Pichia pastoris dilaporkan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor seperti sifat dan asal protein target, perbedaan kodon, sistem dan konstruksi vektor ekspresi dan efisiensi sekresi protein ekstrasel. Jenis kodon asam amino merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan laju ekspresi protein heterolog. Perbedaan kodon dan kandungan GC dapat mengakibatkan suatu protein rekombinan tidak dapat terekspresi pada P. pastoris. Diketahui adanya perbedaan kodon preferensi dan kandungan GC yang bermakna antara gen EPO dengan gen pada P. pastoris. Pada penelitian tahun sebelumnya telah dilakukan beberapa hal seperti: perbaikan sekuen gen EPO-sintetik (EPOsyn) yang mengandung optimasi kodon yeast, kloning gen EPOsyn kedalam vektor ekspresi pPICZα, transformasi vektor rekombinan ke dalam yeast, seleksi dan skrining yeast transforman, serta analisis ekspresi protein rekombinan dan analisis molekular gen EPOsyn dalam DNA genomik yeast transforman. Pada penelitian tahun ini dilakukan analisis galur yeast transforman yang stabil mengandung gen rekombinan EPO-sintetik dan mampu mengekspresikan protein rekombinan (rhEPO); serta analisis ekspresi protein, isolasi dan purifikasi protein rekombinan. Kata kunci : Erythropoietin (EPO), erythropoiesis, EPO-sintetik (EPOsyn), kodon preferensi, Pichia pastoris.
PENDAHULUAN Human erythropoietin (hEPO, EPO) adalah glikoprotein hormon yang merupakan faktor regulasi pembentukan sel darah merah (erythrocytes). EPO mengatur proses pembentukan sel darah merahdalam tubuh (erythropoiesis). Selain fungsi utamanya dalam erythropoiesis, EPO juga diketahui menstimulasi proses angiogenesis, vasculogenesis dan proliferasi sel endotel (Ashley et al., 2002). EPO dihasilkan oleh jaringan ginjal dan hati sebagai respon terhadap rendahnya kandungan oksigen dalam darah (hypoxia) (Yin and Blanchard, 2000). EPO juga diekspresikan pada jaringan sel otak dan uterus untuk suatu fungsi yang masih
belum diketahui. Kandungan EPO-endogen yang menurun akibat berbagai hal dapat mengakibatkan anemia. Untuk itu rhEPO telah dimanfaatkan sebagai obat untuk mengatasi anemia akibat kerusakan ginjal atau akibat treatment penyakit lain seperti kanker dan HIV. Gen EPO telah diisolasi dan diklon sejak tahun 1985 (Jacobs et al., 1985; Lin et al., 1985). EPO terdiri atas 165 asam amino dengan 2 ikatan disulfida dan ukuran molekul 30~38 kDa. EPO adalah suatu glikoprotein yang memiliki 3 posisi N-glikosilasi dan 1 posisi O-glikosilasi. Glikosilasi sangat penting untuk menjaga kestabilan molekul tersebut secara in vivo,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
74
meskipun tidak mempengaruhi secara langsung aktivitas biologis EPO. Proses glikosilasi merupakan salah satu proses modifikasi pasca translasi. Karbohidrat ditambahkan kedalam rantai polipeptida melalui serangkaian proses enzimatik. Karena itu suatu glikoprotein yang sama dapat ditemui dalam beberapa bentuk isoform/glikoform. Proses glikosilasi sangat spesifik terhadap sel, spesies dan polipeptida (Skibeli et al., 2001). P. pastoris telah banyak digunakan sebagai sel inang alternatif untuk ekspresi protein eukaryot yang komplek. Yeast dapat melakukan proses modifikasi pasca-translasi seperti pada sel mamalia, sel serangga atau sel tanaman. P. pastoris dilaporkan mampu mensintesa beberapa produk protein mamalia seperti human-Insulin, h-IFN-β1, porcine-Lactoferin, h-β-Glucosidase, h-EPO mutan (Kjeldsen et a.l, 1999; Berrin et al, 2002; Wang et al., 2002; Yao et al., 2002; Burns et al., 2002; Skoko et al., 2003) dan beberapa protein antibodi (scFv) (Fischer et al., 1999). Sementara itu produksi protein heterolog pada P. pastoris dilaporkan cukup beragam, mulai dari beberapa mg/L sampai beberapa g/L kultur. Perbedaan tingkat ekspresi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat dan asal protein target, perbedaan kodon, konstruksi vektor ekspresi, serta efisiensi sekresi protein ekstrasel. Peningkatan ekspresi protein rekombinan dapat dilakukan dengan cara
optimisasi kodon dari gen target dengan kodon preferensi dari sel inang. Sebagai contoh adalah gen Cyt2AaI dan EBA-175 yang baru dapat diekspresikan pada P. pastoris setelah dilakukan optimasi kodon (Gurkan and Ellar, 2003; Yadava and Ockenhouse, 2003). Pada penelitian ini telah dilakukan konstruksi gen EPO sintetik (EPOsyn) dengan kodon yang telah dioptimasi untuk ekspresi pada P. pastoris (2006). Gen EPOsyn tersebut telah ditransformasikan pada yeast dan telah diperoleh transforman (2007). Selanjutnya akan dilakukan analisis ekspresi protein rekombinan dari transforman yang diperoleh (2008). Penelitian ini bertujuan untuk ekspresi dan produksi protein EPO rekombinan pada P. pastoris menggunakan gen EPO-sintetik. Tujuan spesifik (tahun 2008) adalah : (1) Analisis galur yeast transforman yang stabil mengandung gen rekombinan (EPOsyn) dan mampu mengekspresikan protein rekombinan (rhEPO); (2) Analisis ekspresi protein, isolasi dan purifikasi protein rekombinan. Sasaran umum penelitian adalah memperoleh cara dan sumber alternatif yang memiliki potensi tinggi untuk produksi EPO-rekombinan dan potensial yang dapat diterapkan pada industri farmasi. Sasaran spesifik (tahun 2008) memperoleh galur yeast potensial yang mampu mengekspresikan protein rekombinan (rhEPO) dengan baik.
BAHAN DAN CARA KERJA Studi ekspresi protein EPO rekombinan dari beberapa galur yeast transforman Beberapa galur yeast transforman yang berhasil diperoleh dan telah dikonfirmasi mengandung gen target (metode PCR dan Southern blot) selanjutnya digunakan untuk analisis ekspresi protein rekombinan. Galur yeast transforman dikultur dalam 50 ml medium BMGY, kemudian diinduksi dalam medium BMMY yang mengandung 0,5% (v/v) methanol. Kultur diinkubasi pada suhu 30oC selama 2 hari dengan agitasi 200 rpm. Protein pada supernatan kultur dipresipitasi dan dianalisis dengan metode elektroforesis SDS-PAGE untuk analisis protein rekombinan yang diekspresikan oleh sel transforman. Purifikasi protein rekombinan dengan metode kromatografi kolom afinitas Purifikasi dilakukan menggunakan NiNTAagarose dengan metode kromatogafi kolom
afinitas dan metode denaturasi. Tahap pertama yaitu menyiapkan resin. Resin dicuci dengan air sebanyak 1x volume, disentrifugasi (3500 rpm, 1 menit) dan diulang sebanyak 3 kali. Supernatan dibuang dan ditambahkan charge buffer sebanyak 1x volume resin, diinkubasi pada suhu 4oC selama ± 1 jam, disentrifugasi (3500 rpm , 1 menit). Supernatan dibuang dan resin dicuci kembali dengan air sebanyak 1x volume dan disentrifugasi (3500 rpm, 3 menit), dilakukan 2 kali. Selanjutnya supernatan dibuang, ditambahkan equilibration buffer sebanyak 1x volume dan di sentrifugasi (3500 rpm, 3 menit), dilakukan 2 kali. Supernatan dibuang dan resin siap digunakan. Tahap kedua yaitu mencampurkan contoh 50 μl crude protein dengan 100 μl resin NiNTAagarose (dalam suspensi 50% b/v) dalam satu tabung mikro, kemudian diinkubasi pada suhu 40oC selama 4-12 jam. Kemudian campuran tersebut dipindahkan ke dalam kolom NiNTA,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
75
dan cairan yang lewat melalui kolom disimpan sebagai contoh flow through. Tahap ketiga yaitu membilas kolom dengan washing buffer sebanyak 2x volume resin, cairan yang lewat melalui kolom ditampung dan disimpan sebagai contoh wash 1 dan wash 2. Tahap terakhir yaitu elusi kolom dengan menambahkan elution buffer sebanyak 5x volume resin, cairan yang lewat melalui kolom ditampung dan disimpan sebagai contoh elution protein dengan 5 kali elusi @ 50 μl (E1, E2, E3, E4, dan E5). Selanjutnya contoh digunakan untuk analisis protein lebih lanjut dengan SDSPAGE, western blot, slot blot, dan uji bradford. Analisis immunobloting protein EPO rekombinan dari kultur yeast transforman Analisis ekspresi protein juga telah dilakukan dengan metode immunobloting, baik dengan metode Western-blot maupun Slot-blot. Slot-blot dilakukan dengan maksud untuk analisis kuantitatif protein target yang terekspresi, sedangkan Western-blot untuk analisis kualitatif. Prosedur untuk Slot-blot adalah sbb: sumur pada alat slot blot dan membran nitroselulosa dibasahi dengan PBS (1X). Membran yang sudah basah diletakkan dalam plate slot blot. Selanjutnya 100 µl PBS (1X) dimasukkan ke dalam masing-masing sumur dan divakum. Selanjutnya contoh protein (50 atau 100 μl) dimasukan ke dalam sumur dengan mikropipet, tanpa menyentuh membran, kemudian divakum. Selanjutnya sebanyak 200µl PBS (1X) dimasukan kembali ke masing-masing sumur dan divakum. Kemudian membran dikeluarkan dari plate, dilanjut dengan proses blocking dengan menambahkan 10% susu non-fat yang dilarutkan dalam PBS-Tween20 dan digoyang selama 1 jam. Setelah itu membran dicuci dengan PBSTween20 sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit. Deteksi protein dilakukan dengan pemberian probe berupa antibodi. Membran diinkubasi dengan 10 ml susu non-fat (10%) dalam PBSTween20 yang mengandung antibodi primer antiHis (1:5000) dan digoyang selama 1 jam. Setelah itu, membran dicuci dengan PBS-Tween20 selama 3 x 5 menit. Membran diinkubasi kembali dengan 10 ml susu non-fat (10%) dalam PBS-Tween20 yang mengandung antibodi sekunder, yaitu anti-mouse IgG-HRP conjugate (1:5000) atau anti-mouse IgG-AP conjugate (1:5000) dan digoyang selama 1 jam. Membran dicuci dengan PBS-Tween20 selama 3 x 5 menit.
Pewarnaan (staining) membran dilakukan dengan pemberian developer spesifik untuk masing-masing jenis antibodi sekunder untuk visualisasi. Developer untuk IgG-HRP conjugate adalah substrate peroxidase TMB solution-A dengan peroxidase solution-B (H2O2) dan TMB membrane enhancer (KPL Laboratories). Sedangkan developer untuk IgG-AP conjugate adalah substrat untuk alkaline phosphatase yang siap digunakan (Western Blue Stabilized Substrate dari Promega), mengandung BCIP dan NBT. Pengaruh konsentrasi methanol terhadap ekspresi protein EPO rekombinan Setelah galur khamir transforman yang paling baik dalam mengekspresikan gen EPO dipilih, dilanjutkan dengan uji ekspresi gen EPO pada beragam konsentrasi metanol (0%, 0,5 %, 1%, 2%, dan 4%). Langkah kerja uji ini sebagai berikut: Galur yeast transforman terpilih ditumbuhkan dalam medium ekspresi BMGY (buffered minimal glycerol) dan selanjutnya sel yeast dipindahkan ke dalam medium induksi BMMY (buffered minimal methanol). Inokulum yeast disiapkan dalam medium BMGY selama 12 hari pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm. Kemudian sebanyak 5% inokulum dimasukkan kedalam medium kultur BMGY (100 mM potassium phosphate pH 6,0, 1,34% (b/v) YNB, 4x10-5 % (b/v) biotin, 1% (b/v) glycerol). Kultur ditumbuhkan pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm selama 2 hari. Selanjutnya biomassa yeast dipisahkan dari medium dengan cara sentrifugasi, kemudian sel diresuspensikan kembali dalam medium BMMY (100 mM potassium phosphate pH 6,0, 1,34% (b/v) YNB, 4x10-5 % (b/v) biotin, dan methanol (0%, 0,5 %, 1%, 2%, dan 4% (b/v)) sampai OD600 mencapai 1,0 untuk menginduksi ekspresi protein rekombinan. Kultur ditumbuhkan pada suhu 30oC dengan agitasi 200 rpm selama 48 jam. Pengambilan contoh dapat dilakukan setiap 24 jam. Protein pada contoh cairan kultur (supernatan) dari kultur yeast selanjutnya dipekatkan dengan metode TCA. Prosedur pemekatan protein dengan TCA adalah sbb.: sampel protein bebas sel (supernatan) disiapkan dengan cara sentrifugasi. Ke dalam contoh (supernatan) ditambahkan larutan TCA (trichloro acetic acid) absolute sampai konsentrasi final TCA 10% (v/v). Contoh diinkubasi pada suhu 4oC selama 60 menit, kemudian disentrifugasi (12.000 rpm, 4oC, 10 menit). Supernatan dibuang dan pellet protein dibilas dengan 200 µl aseton
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
76
dingin, kemudian disentrifugasi (12.000 rpm, 4oC, 10 menit). Proses bilas ini dilakukan 2 kali. Kemudian supernatan dibuang menggunakan pipet dan endapan protein dikeringkan (bisa dilakukan dalam oven pengering dengan suhu 50oC selama 10 menit). Selanjut pellet (endapan protein) dilarutkan kembali dengan lysis buffer hingga diperoleh pemekatan 25x. Contoh ini disebut sebagai crude protein dan siap dipakai untuk analisis protein lebih lanjut dengan SDSPAGE, western blot, slot blot dan uji bradford. Metode SDS-PAGE dan Western blotting menggunakan metode baku pada protokol biologi molekular (Ausubel, 2002) dan metode ekspresi protein mengacu pada protokol EasySelect Pichia Expression Kit (Invitrogen). Analisis Protein menggunakan uji Bradford Uji Bradford dilakukan untuk menentukan konsentrasi (kuantifikasi) protein. Hal yang perlu dilakukan sebelum menjalankan uji ini adalah membuat kurva standar protein menggunakan protein BSA (bovine serum albumin) sebagai acuan. Dari kurva standar, berat protein target dapat ditentukan berdasarkan persamaan dari kurva tersebut. Prosedur uji Bradford yang dilakukan adalah sbb.: pewarna Bradford (dye reagent) dilarutkan dengan perbandingan 1:4 dengan dH2O (diencerkan 5x). Perwarna tersebut disaring dengan kertas Whatman No.1 untuk menghilangkan kotoran dan disimpan pada suhu ruang dalam wadah tertutup berwarna gelap. Larutan protein standar BSA (bovine serum albumin) disiapkan pada beragam konsentrasi (0,
25, 50, 75, 100, 125, 150, 200 µg/ ml) untuk membuat kurva standar protein. Penentuan kurva standar BSA (dalam mg/L atau µg/ml) dilakukan dengan mencampurkan 500 µl larutan pewarna Bradford yang telah disiapkan (Bio-Rad Dye Reagent Concentrate) ke dalam 50 µl larutan standar BSA dari masing-masing konsentrasi. Campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Absorbansi campuran diukur secara spektrometri pada panjang gelombang 595 nm. Selanjutnya dibuat plot kurva standar. Setelah kurva standar BSA diperoleh, analisis kuantifikasi protein dari contoh crude (total protein) dan elution protein (protein target) dilakukan dengan prosedur uji yang sama yang dilakukan terhadap protein standar. Sebanyak 500 µl pewarna Bradford dicampurkan ke dalam 50 µl protein contoh dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Absorbansi diukur panjang gelombang 595nm dan nilai A595nm diplot ke dalam kurva standar untuk estimasi kandungan protein pada contoh. Analisis molekular gen EPOsyn pada yeast transforman Isolasi DNA genomik yeast transforman dan analisis PCR dilakukan dengan menggunakan metode baku pada protokol biologi molekuler (Ausubel, 2002). Metode analisis Southern blotting mengacu kepada protokol yang disediakan oleh produsen dari Kit yang digunakan untuk analisis tersebut (GE Healthcare).
HASIL DAN PEMBAHASAN Studi ekspresi protein EPO rekombinan dari beberapa galur yeast transforman Ekspresi protein rekombinan dilakukan pada beberapa galur yeast transforman yang berhasil diperoleh dan telah dikonfirmasi mengandung gen target (metode PCR dan Southern blot). Protein pada supernatan kultur dipresipitasi dan dianalisis dengan metode elektroforesis SDSPAGE untuk analisis protein rekombinan yang diekspresikan oleh sel transforman. Terlihat adanya pita-pita protein yang overekspresi dari 14 galur EPS (EPOsyn) dan 2 galur EPO (EPOwt), sebagian diantaranya adalah protein target (Gambar-1).
Gambar 1. Profil protein ekstrasel dari contoh supernatan kultur yeast transforman yang ditumbuhkan pada medium induksi. M: MW-protein marker; Lajur-1 s/d-14: transforman X33 mengandung gen EPOsyn (X33/EPS) klon no.1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 12, 13 , 14, 29, 30; Lajur-15 dan -16: transforman X33 mengandung gen EPO-wt (X33/EPO) klon no. 2 dan 3.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
77
Purifikasi protein rekombinan dengan metode kromatografi kolom afinitas Konstruksi gen EPOsyn dalam vektor ekspresi pPICZα telah didesain sedemikian rupa sehingga gen tersebut terfusi pada ujung-N dengan sekuen signal peptide, yaitu mating factor-α (MF-α) yang berasal dari S. cerevisiase. Sedangkan pada ujung-C terfusi dengan sekuen 6xHis, yang berfungsi sebagai penanda (Tag) sekaligus sebagai sarana untuk memudahkan purifikasi protein rekombinan tersebut. Signal factor-α akan membuat protein rekombinan disekresikan keluar sel, sehingga protein target akan terakumulasi dalam medium dan memudahkan proses purifikasi. Sekuen 6xHis akan memudahkan purifikasi protein target dengan metode kromatografi afinitas. Purifikasi dilakukan menggunakan NiNTA-agarose dengan metode kromatogafi kolom afinitas dan metode denaturasi. Gambar-2 dan -3 menunjukkan bahwa protein rekombinan berhasil diisolasi menggunakan kolom NiNTA dari preparasi contoh protein ekstrasel yang berasal dari medium kultur (supernatan).
Gambar 2. Purifikasi protein EPO rekombinan dengan metode kromatografi kolom afinitas (matriks NiNTA-agarose) terhadap contoh presipitat protein ekstrasel dari: (A) galur X33/EPS-04 (gen EPOsyn) dan (B) galur X33/EPO-01 (gen EPO-wt). Contoh pada (A) dan (B) adalah sbb: lajur-1: MW marker; lajur-2: CP; lajur-3: FT; lajur-4: W1; lajur-5: W2; lajur-6 s/d10: E1 s/d E5. Keterangan: MW (protein marker); CP (crude protein); FT (flow through); W1 (wash-I); W2 (wash-II); E1 s/d E5 (Elution-I s/d Elution-V).
Gambar 3. Purifikasi protein EPO rekombinan dengan metode kromatografi kolom afinitas (matriks NiNTA-agarose) terhadap contoh presipitat protein ekstrasel dari: (A) galur X33/EPS-04 (gen EPOsyn) dan
(B) galur X33/EPO-01 (gen EPO-wt). Contoh pada pada (A) dan (B) adalah sbb: lajur-1: MW-protein marker; lajur-2 s/d-6: CP (crude protein) dengan pengenceran berseri (1x, 2x, 4x, 8x dan 16x); lajur-7 s/d-9: E1, E2, dan E3 (Elution-I, -II, dan III).
Analisis immunobloting protein EPO rekombinan dari kultur yeast transforman Analisis ekspresi protein juga telah dilakukan dengan metode immunobloting, baik dengan metode Western-blot maupun Slot-blot. Slot-blot dilakukan dengan maksud untuk analisis kuantifikasi protein target yang terekspresi. Hasil ekspresi masih kurang baik dan teknik deteksi masih perlu dioptimasi (Gambar-4). Deteksi dilakukan menggunakan Mouse anti-His antibodi dan Goat anti-mouse –HRP conjugate (GE Healthcare) dengan substrat TMB. Meskipun deteksi dengan HRP kurang begitu baik tetapi protein target masih dapat terdeteksi dari contoh yang dianalisis.
Gambar 4. Analisis slot-blot contoh supernatan kultur beberapa galur yeast transforman dan contoh hasil purifikasi kolom afinitas dari beberapa galur. Contoh yang dianalisis sbb: Medium / kontrol negatif (A1, B1); Nontransforman yeast / kontrol negatif (A2, B2); Supernatan medium galur: EPS-01 (A3), EPS-02 (A4), EPS-03 (A5), EPS-04 (A6), EPS-07 (A7), EPS-08 (A8), EPS-10 (B3), EPS-12 (B4), EPS-13 (B5), EPS-14 (B6), EPS-29 (B7), EPS-30 (B8); Contoh protein hasil purifikasi kolom (Elusi) galur: EPS-01 (A9), EPS-07 (B9), EPS-08 (A10), EPS-30 (B10).
Untuk analisis ekspresi protein rekombinan dilakukan optimasi metode immunobloting (Slotblot). Salah satunya adalah mengganti antibodi sekunder dengan Anti-mouse IgG-Alkaline Phosphatase conjugate (Promega) agar diperoleh hasil yang lebih baik. Gambar 5 menunjukkan hasil Slot Blot dengan IgG-AP conjugate.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
78
12, 13, 14, 30; lajur-7: MW protein marker.
Gambar 5. Hasil optimasi analisis slot-blot contoh supernatan kultur beberapa galur yeast transforman dan contoh hasil purifikasi kolom afinitas dari beberapa galur. Contoh galur transforman : A1: EPS-01 ; A2: EPS-02 ; A3: EPS-03 ; A4: EPS-04 ; A5: EPS-07 ; A6: EPS-08 B1: EPS-10 ; B2: EPS-12 ; B3: EPS-13 ; B4: EPS-14 ; B5: EPS-29 ; B6: EPS-30. Contoh galur non transforman : A7: EPO-01 ; A8: EPO-02 ; A9: EPO-03 ; A10: EPO-04 ; B7: EPO-06 ; B8: EPO-07 ; B9: EPO09 ; B10:EPO-11
Pada gambar-5 tampak bahwa sebagian besar klon Pichia yang mengandung gen sintetik (EPOsyn) positif mengekspresikan rhEPO dengan rata-rata ekspresi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan klon mengandung gen EPO native (EPO-wt). Sementara itu analisis dengan metode Western-blot telah dilakukan sebelumnya terhadap beberapa galur transforman (Gambar6). Contoh dideteksi menggunakan Rabbit antiEPO antibody dan Goat anti-Rabbit–AP conjugate (Promega), serta substrat BCIP/ NBT. Pada gambar-6 tampak bahwa rhEPO terdeteksi dengan berat molekul tersebar antara 34~48 kDa, tetapi mayoritas produk terdeteksi pada kisaran 34 kDa.
Gambar 6. Analisis ekspresi protein rekombinan dengan Western-blot menggunakan rabbit anti-EPO antibody dan anti-rabbit – AP conjugate. Contoh adalah supernatan dari beberapa galur yeast transforman. (A) Lajur-1: X33 Non-transforman (Kontrol); lajur-2: X33/EPS-30; lajur-3: MW protein marker. (B) Lajur-1: rhEPO (Calbiochem); lajur-2 s/d-6: X33/EPS-9,
Pengaruh konsentrasi methanol terhadap ekspresi protein EPO rekombinan Sistem ekspresi protein rekombinan yang digunakan pada penelitian ini diregulasi oleh promoter AOX1 yang bersifat dapat terinduksi (inducible) oleh senyawa methanol dalam medium. Karena itu studi ekspresi protein rekombinan menggunakan beragam konsentrasi methanol ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tingkat produktivitas protein rekombinan pada galur transforman spesifik akibat pengaruh konsentrasi induser. Dari data sementara diketahui bahwa konsentrasi methanol 4% memberikan perbedaan yang signifikan dibandingkan konsentrasi lainnya (0,5-3%) pada galur X33/EPS-04 (Gambar-7). Sementara pada galur X33/EPO-01 perbedaan tersebut tidak terlihat terlalu signifikan (Gambar-8).
Gambar 7. Ekspresi protein rekombinan ekstrasel dari galur X33/EPS-04 (EPOsyn) pada kultur hari ke-1 (A) dan hari ke-2 (B) dengan konsentrasi senyawa penginduksi (methanol) beragam. Untuk kedua gel: MW protein marker (lajur-1); Konsentrasi methanol 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4% (v/v) (lajur-2 s/d-6).
Gambar 8. Ekspresi protein rekombinan ekstrasel dari galur X33/EPO-01 (EPO-wt) pada kultur hari ke-1 (A) dan hari ke-2 (B) dengan konsentrasi senyawa penginduksi (methanol) beragam. Untuk kedua gel: MW protein marker (lajur-1); Konsentrasi
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
79
methanol 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4% (v/v) (lajur-2 s/d-6).
Analisis Protein menggunakan uji Bradford Sampel protein yang dianalisis dengan uji bradford adalah crude dan elution protein (E1, E2, E3, E4, E5). Tabel 1. menunjukan hasil kuantifikasi jumlah protein (µg) hasil purifikasi dengan kromatografi kolom afinitas sampel protein ekstraseluler dari galur khamir transforman dengan induksi metanol 0,5%, pengukuran sample tersebut dilakukan untuk screening ekspresi protein EPO rekombinan dengan berbagai konsentrasi methanol . Tabel 1. Kadar protein total dari cairan kultur /supernatan (crude protein) khamir transforman dan protein hasil purifikasi dengan kromatografi kolom afinitas NiNTA (elution protein) pada kultur yang diinduksi 0,5% metanol. Galur Khamir
crude protein (µg)
elution protein (µg)
Elusi/ Crude (%)
X33/EPS 01
1285,39
70,75
5,5
X33/EPS 02
749,14
34,45
4,6
X33/EPS 03
614,14
21,19
3,4
X33/EPS 04
778,85
27,24
3,5
X33/EPS 05
75,27
2,15
2,8
X33/EPS 06
41,77
0,7
3,4
X33/EPS 07
2758,47
160,79
5,8
X33/EPS 08
2089,62
165,17
7,9
X33/EPS 10
1662,69
247,78
14,9
X33/EPS 12
1361,92
113,76
8,4
X33/EPS 13
1977,69
134,99
6,8
X33/EPS 14
1921,54
129,03
6,7
X33/EPS 29a
1804,62
138,58
7,7
X33/EPS 30a
2237,69
159,86
7,1
X33/EPO 01
815,48
59,2
7,3
X33/EPO 02
1152,31
87,09
7,6
X33/EPO 03
1442,31
155,51
10,8
X33/kontrol
610,77
17,72
2,9
Keterangan : nilai adalah rata-rata dari 2 ulangan. Nilai (Elusi / Crude) mengindikasikan perkiraan persentase protein target dibandingkan total protein yang diekspresikan dalam medium
Untuk eksperimen menggunakan konsnetrasi methanol beragam, telah digunakan galur X33/EPS-30a untuk transforman gen sintetik dan galur X33/EPO-01 untuk transforman gen wildtype. Galur EPS-30a dipilih karena hanya memiliki satu kopi gen EPOsyn terintegrasi ke
dalam genom. Sedangkan galur EPO-01 merupakan galur terbaik yang dimiliki untuk ekspresi EPO rekombinan yang mengandung gen EPO wildtype. Data ekspresi protein total (crude protein) dan protein hasil purifikasi (elution protein) dengan konsentrasi methanol beragam ditampilkan pada Tabel-2 dan Tabel-3. Tabel 2. Jumlah protein dari X33/EPS-30a dengan induksi beragam konsentrasi metanol Konsentrasi metanol 0,5% 1% 2% 4%
crude protein (µg) 93,6 41,8 52,3 1826,9
elution protein (µg) 4,7 1,4 2,3 30,6
elusi/ crude (%) 4,9 3,4 4,4 1,7
Tabel 3. Jumlah protein dari X33/EPO-01 dengan induksi beragam konsentrasi metanol Konsentrasi metanol 0,5% 1% 2% 4%
crude protein (µg) 68,4 128,9 276,5 45,8
elution protein (µg) 2,2 8,3 14,2 3,9
Elusi/ Crude (%) 3,3 6,5 5,1 8,5
Keterangan : nilai adalah rata-rata dari 3 ulangan.
Jumlah protein yang paling besar dari galur khamir X33/EPS-30a dihasilkan dari induksi metanol dengan konsentrasi 4% yaitu 30,6 µg (Tabel 2). Sedangkan galur X33/EPO-01 menunjukkan jumlah protein paling besar pada konsentrasi metanol 2% sebesar 14,2 µg (Tabel 3). Hasil perhitungan ini adalah nilai rataan dari 3 ulangan. Analisis molekular gen EPOsyn pada yeast transforman Sementara itu analisis Southern blot juga telah dilakukan pada beberapa contoh klon transforman dan non-transforman. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar transforman galur X33 tersebut positif mengandung minimal 1 kopi gen EPOsyn atau lebih (Gambar-8). Pada Gambar-8 ditunjukkan bahwa analisis sangat sensitif, dimana kontrol negatif yaitu DNA genomik dari yeast non-ransforman tidak menunjukkan adanya pita DNA. Sedangkan beberapa klon menunjukkan ada lebih dari satu pita DNA, menunjukkan jumlah kopi gen lebih dari satu. Beberapa klon X33 yang positif hanya mengandung satu kopi gen adalah klon no. EPS12 dan EPS-30. Klonyang mengandung 2 kopi gen diantaranya adalah klon no. EPS-01, EPS-02, EPS-03, EPS-04, EPS-05, EPS-07, EPS-08. Sedangkan beberapa klon diketahui memiliki
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
80
lebih dari 2 kopi gen, diantaranya klon no. EPS06 dan EPS-10. Diketahui juga ada satu (1) klon GS115 transforman yatiu klon no. GS115/EPS01 yang mengandung 2 kopi gen EPOsyn.
Gambar-9. Analisis Southern blotting dengan Probe: gen Eposyn (500bp); Deteksi : kit AlPhost (dari GE Enzim Restriksi : Sal I ). (A) 1. Non-Transforman (Kontrol) ; 2. GS115/EPS-01 ; 3. X33/EPS-01 ; 4. X33/EPS-03 ; 5. X33/EPS-04 ; 6. X33/EPS-07 ; 7. X33/EPS-08 ; 8. X33/EPS-30 (B) 1. pPICZa-EPS (Kontrol +) ; 2. pPICZa-EPS (Kontrol +) ; 3. Blank ; 4. Blank ; 5. X33/EPS-12 ; 6. X33/EPS-10 ; 7. X33/EPS-06 ; 8. X33/EPS-05 ; 9. X33/EPS-02 ; 10. X33/EPS-01 ; 11. NonTransforman (Kontrol -) ; 12. pPICZa-EPO ; 13 Lambda DNA Ladder.
KESIMPULAN Beberapa galur yeast transforman yang telah dianalisis positif pada level DNA juga positif pada level protein, serta menunjukkan ekspresi dari protein target (rhEPO). Protein target berhasil diisolasi dengan metode kromatogafi kolom afinitas dengan matrik NiNTA. Hasil purifikasi masih menunjukkan adanya beberapa pita protein yang diduga merupakan isoform dari protein yang sama tetapi berbeda dalam glikoform karena hEPO merupakan suatu glikoprotein. Konsentrasi methanol diduga turut
mempengaruhi tingkat ekspresi protein rekombinan pada galur spesifik. Konsentrasi metanol optimal untuk ekspresi gen EPO pada galur X33/EPS-30a adalah 4%, sedangkan pada galur X33/EPO-01 adalah 2%. Ekspresi protein rhEPO dari gen sintetik (EPO-syn) pada galur X33/EPS-30a tampaknya jauh lebih baik (sedikitnya 2x lebih tinggi) dibandingkan dengan ekspresi protein yang sama dari gen nativenya (EPO-wt) pada galur X33/EPO-01 (pada konsentrasi methanol 0,5%).
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitan ini didanai oleh DIPA 2008 dari Pusat Penelitian Biotenologi – LIPI. DAFTAR PUSTAKA Ausubel, F.M., Brent, R., Kingston, R.E., Moore, D.D., Seidman, J.G., Smith, J.A., Struhl, K (editors). 2002. Short Protocol in Molecular Biology, Fifth edition. John Wiley and Sons, Inc. Burns, S., Arcasoy, M.O., Kurian, E., Selander, K., Emanuel, P.D., Harris, K.W. 2002. Purification and characterization of the yeastexpressed erythropoietin mutant Epo (R103A), a specific inhibitor of human primary hematopoietic cell erythropoiesis. Blood. 99(12): 4400-4405. Casimiro, D.R., Wright, P.E., Dyson, H.J. 1997. PCR-based gene synthesis and protein NMR spectroscopy. Structure. 5 (11): 1407-1412. Cheon, B.Y., Kim, H.J., Oh, K.H., Bahn, S.C., Ahn, J.H., Choi, J.W., Ok, S.H., Bae, J.M., Shin, J.S. 2004. Overexpression of human
erythropoietin (EPO) affects plant morphologies: retarded vegetative growth in tobacco and male sterility in tobacco and Arabidopsis. Transgenic Research. 13: 541549. Ebert, B.L. & Bunn, H.F. 1999. Regulation of the Erythropoietin Gene. Blood. 94(6): 18641877. Elliott, S., Giffin J, Suggs S, Lau EP and Banks AR. 1989. Secretion of glycosylated human erythropoietin from yeast directed by the factor leader region. Gene. 79: 167-180. Elliott, S., Lorenzini T, Asher S, Aoki K, Brankow D et al. 2003. Enhancement of therapeutic protein in vivo activities through glycoengineering. Nature Biotechnology . 21: 414-421.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
81
Fischer, R., Drossard J, Emans N, Commandeur U and Hellwig S. 1999. Toward molecular farming in the future: Pichia pastoris-based production of single-chain antibody fragments. Biotechnol. Appl. Biochem. 30: 117-120. Gurkan, C. & Ellar, D.J. 2003. Expression of the Bacillus thuringiensis Cyt2AaI toxin in Pichia pastoris using a synthetic gene construct. Biotechnol. Appl. Biochem. 38: 25-33. Jacobs, K., Shoemaker C, Rudersdorf R, Neil SD, Kaufman RJ, Mufson A et al. 1985. Isolation and characterization of genomic and cDNA clones of human erythropoietin. Nature. 313: 806-810. Kjeldsen, T., Pettersson AF, Hach M. 1999. Secretory expression and characterization of insulin in Pichia pastoris. Biotechnol. Appl. Biochem. 29: 79-86. Lin, F.K., Suggs S, Lin CH, Browne JK, Smalling R, Egrie JC et al. 1985. Cloning and expression of the human erythropoietin gene. PNAS USA. 82: 7580-7584. Matsumoto, S., Ikura K, Ueda M, Sasaki R. 1995. Characterization of a human glycoprotein (erythropoietin) produced in cultured tobacco cells. Plant Mol. Biol. 27: 1163-1172. Matsuzaki, S., Canis M, Yokomizo R, Yaegashi N, Bruhat MA, Okamura K. 2003. Expression of erythropoietin and erythropoietin receptor in peritoneal endometriosis. Human Reproduction. 18(1): 152-156. Skibeli, V., Nissen-Lie G,Torjesen P. 2001. Sugar profiling proves that human serum Http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Accession no.:X02158. GI:31224. Human gene for erythropoietin Http://www.kazusa.or.jp/codon/. Pichis pastoris codon-usage.
erythropoietin differs from recombinant human erythropoietin. Blood. 98(13): 36263634. Skoko, N., Argamante B, Grujicic NK, Tisminetzky SG, Glisin V, Ljubijankic G. 2003. Expression and characterization of human interferon-b1 in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Appl. Biochem. 38: 257-265. Stolze, I., Pfannschmidt UB, Freitag P, Wotzlaw C, Rossler J, Frede S, Acker H, Fandrey J. 2002. Hypoxia-inducible erythropoietin gene expression in human neuroblastoma cells. Blood. 100(7): 2623-2628. Syed, R.S., Reid SW, Li C, Cheetham JC et al. 1998. Efficiency of signaling throughcytokine receptors depends critically on receptor orientation. Nature. 395: 511-516. Yadava, A. & Ockenhouse CF. 2003. Effect of codon optimization on expression levels of a functionally folded malaria vaccine candidate in prokaryotic and eukaryotic expression systems. Infection and Immunity. 71 (9): 4961-4969. Wen, D., Boissel JP, Showers M, Ruch BC, Bunn HF. 1994. Erythropoietin structurefunction relationships. Identification of functionally important domains. J. Biol. Chem. 269(26): 22839-22846. Wojchowski, D.M., Orkin SH, Sytkowski AJ. 1987. Active human erythropoietin expressed in insect cells using a baculovirus vector: a role for N-linked oligosaccharide. Biochim. Biophys. Acta. 910(3): 224-232. Http://www.aptagen.com/codon optimization.htm
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
82
Lampiran 1. Penentuan kurva standar untuk uji bradford
Tabel 5. Hasil pengukuran jumlah protein BSA (µg) Konsentrasi BSA (µg/ml) 0
Tabel 4. Nilai λ595 dari beragam konsentrasi protein BSA Konsentrasi BSA (µg/ml) 0 25 50 75 100 125
Nilai λ595 (ulangan ke- 1) 0 0,0498 0,1611 0,1975 0,2666 0,3152
Nilai λ595 (ulangan ke-2) 0 0,0420 0,1697 0,1739 0,2522 0,2949
150
0,4547
0,4158
200
0,5316
0,4913
Jumlah protein (µg) 0 µg
25
1,25 µg
50
2,5 µg
75
3,85 µg
100
5µg
125
6,25 µg
150
7,5 µg
200
10 µg
Jumlah protein (µg) = konsentrasi BSA (µg/ml) x vol. sampel (0.05 ml). Range jumlah protein (µg) = 0 – 10 (µg)
Nilai λ595
Protein Bovine Serum Albumin (BSA) = Larutan standar Range nilai absorbansi (λ595) = 0 – 0,5316
Gambar-10. Kurva standar protein (BSA)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
83
Isolasi dan Penetapan Struktur Kimia Antioksidan Hasil Bioproduksi Mikroba Endofit Kapang dari Curcuma Longa Asal Parung, Anyer, dan Cibinong Bustanussalam, Fauzy Rachman, Yatri Hapsari, Yoice Srikandace, Arif Soeksmanto, M. Ahkam Subroto dan Partomuan Simanjuntak Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kanker merupakan penyakit yang banyak menyebabkan terjadinya kematian. Pengembangan obat modernpun, sampai saat ini masih belum mampu menanggulangi penyakit tersebut. Tak heran apabila akhirakhir ini banyak beredar produk-produk tradisional di pasaran, seperti mahkota dewa, VCO, minyak buah merah dan berbagai jenis herbal lainnya. Temu-temuan seperti kunyit (C. longa), temu putih (C. zedoaria Rose Berg) dan kunyit mangga (C.mangga) juga dipercaya sebagai preventif dan kuratif berbagai macam tumor dan kanker.Pengembangan kapang endofit temu-temuan (Curcuma spp) memiliki prospek ke arah industri yang ramah lingkungan, biaya produksi rendah serta terjamin mutu dan kontinyuitas produksinya. Kegiatan penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya, di mana beberapa mikroba endofit kunyit, Curcuma spp. telah diketahui dapat memproduksi senyawa antioksidan dan antimikroba. Kata Kunci : Curcuma spp., antioksidan, antikanker, mikroba endofit, bioproduksi.
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara beriklim tropis yang menyebabkan tanahnya subur sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dan memiliki khasiat obat. Secara umum, kegunaan tumbuhan obat sebenarnya disebabkan oleh kandungan kimia yang dimiliki. Namun, tidak seluruh kandungan kimia diketahui secara lengkap karena pemeriksaan bahan kimia dari satu tanaman memerlukan biaya mahal. Meskipun tidak diletahui secara rinci, tetapi pendekatan secara farmakologi berhasil menghasilkan informasi dari kegunaan tumbuhan obat. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal mengandung komponen senyawa yang berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Kunyit (Curcuma longa L.) merupakan salah satu tanaman rempah dan obat yang tersebar di seluruh daerah tropis. Kunyit banyak sekali dipakai dalam campuran obat dan jamu. Kunyit dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, pencegah kanker, antitumor, menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol serta sebagai pembersih darah. Rimpang kunyit merupakan bagian tanaman yang banyak digunakan. Beberapa kandungan kimia dari rimpang kunyit yang telah diketahui yaitu minyak atsiri sebanyak 6% yang tersari dari golongan senyawa
monoterpen dan sesquiterpen (meliputi zingiberen, alfa dan meta-turmerone, zat warna kuning yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin 50-60%, monodesmetoksikurkumin dan bidesmetoksikurkumin), protein, posfor, kalium, besi dan vitamin C. Dari ketiga senyawa kurkuminoid tersebut, kurkumin merupakan merupakan komponen terbesar. Belakangan ini diketahui bahwa di dalam tumbuhan terdapat banyak mikroorganisme yang dapat melakukan proses metabolisme tertentu dan memainkan peranan penting dalam menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang potensial untuk dikembangkan. Mikroba endofit diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada medium fermentasi dengan komposisi tertentu. Di dalam media tersebut, mikroba endofit akan menghasilkan senyawa sejenis yang terkandung pada tanaman inang ataupun senyawa derivatnya dengan bantuan aktivitas enzim. Sebagai contoh pada penelitian terhadap taksol (obat antikanker yang bernilai tinggi) membuktikan bahwa sintesis senyawa tersebut di dalam tanaman Taxus brevifolia dilakukan dengan bantuan mikroba endofit yang tumbuh di dalam tanaman Taxomyces andreanae. Hasil ini menunjukkan bahwa peranan mikroba endofit
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
84
untuk memproduksi senyawa metabolit yang sesuai dengan tanaman inangnya dapat diandalkan. Karena itu berdasarkan penemuan di atas dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan serta terus berkembang, dapat dikatakan bahwa peranan mikroba endofit untuk memproduksi senyawa bioaktif sangatlah besar, dan peranan mikroba endofit untuk memproduksi senyawa metabolit yang sesuai dengan tanaman inangnya, diharapkan dapat diandalkan di masa yang akan datang. Dengan mikroba, proses produksi senyawa akan jauh lebih mudah dan bersahabat dengan alam, selain itu tidak perlu mengambil
bahan baku dari alam sehingga penggunannya bisa berkelanjutan. Produksi senyawa bioaktif dengan cara fermentasi mikroba memiliki banyak keuntungan, antara lain mikroorganisme yang ditumbuhkan dalam bioreaktor sesuai kebutuhan, dapat menghasilkan suplai yang terus menerus sehingga senyawa bioaktif dapat diproduksi secara konsisten dan kontinyu, mikroorganisme sesuai dengan sifatnya dapat dikulturcairkan secara rutin, peningkatan produktifitas relatif mudah dilakukan pada mikroorganisme dan senyawa bioaktif yang berbeda dapat dihasilkan dengan mengubah kondisi kultur (6).
BAHAN DAN CARA KERJA Bahan Bahan utama yang digunakan adalah kapang endofit yang telah diisolasi dari rimpang tanaman kunyit (Curcuma longa Linn.) asal Parung dengan kode Cl.Pa.1F dan Cl.Pa.2F, Anyer dengan kode Cl.Ay.4F dan Cibinong dengan kode Cl.Cb.1F koleksi Laboratorium Biofarmaka, Puslit Bioteknologi LIPI, Cibinong. Media regenerasi PDA dan Media fermentasi PDB PDA (Potatoes Dextrose Agar) dan agar ditimbang saksama sebanyak 10,5 gram dan 1,5 gram, kemudian dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan air suling sampai 300 mL, kemudian dipanaskan dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik sampai larut dan homogen. Sejumlah volume dituangkan ke dalam tabung reaksi untuk membuat agar miring kemudian seluruh media disterilkan dengan menggunakan otoklaf suhu 121°C selama 15 menit. Media dikeluarkan dari otoklaf lalu PDA dalam tabung reaksi ditempatkan pada posisi miring dan dibiarkan hingga memadat yang akan digunakan sebagai stock culture (working culture). Sedangkan sebagian dari PDA steril yang lain dituang ke dalam cawan petri, dikerjakan secara aseptis di dalam LAF yang akan digunakan sebagai working culture. Media PDB dibuat dengan cara melarutkan 4,8 gram PDB (Potatoes Dextrose Broth) dalam 200 mL air suling dalam labu Erlenmeyer, lalu dipanaskan dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik sampai larut, selanjutnya media disterilkan menggunakan otoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Inokulasi isolat kapang endofit Isolat kapang endofit diinokulasi pada media PDA (Potatoes Dextrose Agar) di cawan petri kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang (± 25˚C). Isolat kapang endofit yang telah tumbuh di cawan petri dipotong dengan cork borer yang berdiameter 1,80 cm dan diinokulasi ke dalam media PDB. Kemudian isolat difermentasikan ke dalam shaker dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang (± 25˚C). Penentuan kondisi fermentasi Isolat kapang endofit yang telah diremajakan dalam media PDA diinokulasi kedalam 1000 mL media PDB yang kemudian diinkubasi di atas shaker dengan kecepatan agitasi 120 rpm dan 1000 mL media PDB tanpa shaker dengan suhu ruang (± 25˚C). Kemudian pada hari tertentu hasil fermentasi disaring untuk memisahkan filtrat dan biomassa, kemudian masing-masing diekstraksi dengan kloroform. Ekstrak kloroform yang didapat dipekatkan dengan vakum rotavapor. Bobot ekstrak kering yang didapat ditimbang dan dianalisis dengan KLT. a. Pemeriksaan pH Isolat kapang endofit diinkubasi dalam media PDB selama dua puluh hari dengan kecepatan agitasi 120 rpm di atas shaker pada suhu ruang. kemudian dilakukan pengambilan sampel setiap 3-4 hari dimulai dari hari ke-3 sampai hari ke-20, setiap sampel yang diambil diperiksa pH media pertumbuhannya menggunakan indikator pH universal. b. Analisis KLT senyawa bioproduksi kapang endofit Isolat kapang endofit difermentasikan dalam media PDB selama beberapa hari pada suhu
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
85
ruang (± 25˚C) dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Kemudian dilakukan sampling setiap 3 hari sekali untuk mengetahui pertumbuhan dari isolat kapang tersebut. Sebanyaak 10 mL hasil fermentasi diekstraksi dengan 10 mL kloroform dengan bantuan vortex, fase kloroform yang diperoleh diuapkan sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kloroform dianalisis dengan KLT mengunakan eluen nheksan-etil asetat (2:1). Ekstrak yang diperiksa ditotolkan pada lempeng silika gel GF254, kemudian dibiarkan hingga kering. Lempeng dimasukkan ke dalam bejana KLT yang telah dijenuhkan dengan eluen. Biarkan eluen merambat naik sampai batas yang telah ditentukan. Kemudian diangkat dan dibiarkan mengering, lalu bercak disemprot dengan serium sulfat (Ce(SO4)2 1% dalam H2SO4 10%) lalu dinalisis dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Bercak yang terdeteksi diamati warna yang ditimbulkan. c. Pembuatan kurva pertumbuhan Media fermentasi dibuat dengan cara melarutkan 2,4 gram PDB (Potatoes Dextrose Broth) dalam 100 mL air suling di dalam Erlenmeyer 250 mL. Larutan tersebut kemudian dipanaskan dan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik sampai jernih, dituangkan ke dalam 8 tabung reaksi masingmasing sebanyak 10 mL lalu disterilkan dalam otoklaf (1210C, 15 menit). Isolat kapang endofit yang telah diremajakan dalam media PDA diinokulasi ke dalam 20 mL media PDB, diinkubasi di atas shaker 120 rpm pada suhu kamar selama 4 hari. Inokulum PDB tersebut kemudian diinokulasi ke dalam 10 tabung reaksi yang berisi 10 mL media fermentasi PDB, kemudian diinkubasi di atas shaker 120 rpm pada suhu ruang selama 20 hari. Tiap 3-4 hari dilakukan pengambilan hasil fermentasi. Hasil fermentasi di cek pHnya dengan pH universal, lalu disaring dengan kertas Whatman. Biomassa yang diperoleh dikeringkan di dalam oven dengan suhu 600C selama 24 jam kemudian ditimbang. Dari bobot biomassa yang diperoleh dibuat kurva pertumbuhan antara waktu sampling dan bobot biomassa. Pada penelitian sebelumnya diperoleh waktu optimum produksi senyawa potensial adalah hari ke-15 sampai hari ke-17.
Produksi Senyawa kimia Isolat kapang endofit yang telah diremajakan pada media PDA (Potatoes Dextrose Agar) diinokulasi ke dalam 3000 mL media PDB (Potatoes Dextrose Broth). Isolat kapang difermentasi selama beberapa hari pada suhu kamar dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Setelah panen media cair dipisahkan dari biomassa. Filtrat yang diperoleh diekstraksi dengan kloroform dalam corong Buchner, dikocok beberapa kali, kemudian didiamkan sampai lapisan air dengan kloroform terpisah. Setelah terpisah lapisan kloroform ditampung dan filtrat diekstraksi kembali dengan kloroform. Lapisan kloroform kemudian diuapkan dengan vakum rotavapor pada suhu dibawah 50˚C. Sementara biomassa yang diperoleh dikeringkan dalam oven kemudian diekstraksi dengan kloroform sebagaimana halnya filtrat. Fraksinasi dengan kromatografi kolom Ekstrak yang diperoleh dimurnikan dengan kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel 60, sedangkan campuran pelarut yang digunakan adalah cairan eluen yang memberi bercak paling baik pada identifikasi secara KLT. Gelas kolom yang telah dibersihkan, diletakkan tegak lurus dari statip, lalu dibilas dengan fase gerak, kemudian dikeringkan. Kolom diberi kapas kemudian disi dengan pasir laut lalu ditambahkan silika gel sebagai absorben yang telah disuspensikan sebanyak 10-30 kali dari berat sampel ke dalam cairan eluasi. Campuran dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam gelas kolom sampai seluruhnya masuk dan eluen dibiarkan mengalir sampai rata dengan permukaan absorben. Kolom digetarkan perlahan-lahan secara merata agar silika gel memadat. Sejumlah ekstrak dicampur dengan celite 545, dihaluskan dan dimasukkan ke dalam kolom dan ditambahkan eluen sedikit demi sedikit. Eluat yang menurun dari tiap fraksi ditampung dalam botol dengan volume 15 mL, lalu diuapkan. Terhadap tiap fraksi yang diperoleh diperiksa dengan KLT. Eluat berhenti ditampung sampai bercak hilang pada pemeriksaan KLT. Uji aktivitas antioksidan Ekstrak hasil fraksinasi yang diperoleh, dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil). a. Pembuatan larutan 1 mmol DPPH Lebih kurang 19,75 mg DPPH (BM=394,32) ditimbang saksama,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
86
b.
c.
d.
e.
f.
dimasukkan dalam labu tentukur 50 mL dan dilarutkan dalam metanol p.a hingga tanda. Kemudian ditempatkan dalam botol gelap. Pembuatan larutan blangko Sejumlah 1,0 mL larutan DPPH 1 mmol dipipet ke dalam labu tentukur 5 mL, dilarutkan dalam metanol p.a hingga tanda, lalu diinkubasi dalam penangas air 37˚C selama 30 menit. Pembuatan larutan uji Lebih kurang 5 mg sampel ditimbang saksama, lalu ditambahkan 5,0 mL metanol p.a (1000 ppm). Sejumlah 25 µL, 50 µL, 125 µL, 250 µL dan 500 µL larutan induk dipipet kedalam labu tentukur 10 mL untuk memperoleh kosentrasi 5, 10, 25, 50, dan 100 ppm. Ke dalam masing-masing labu ditambahkan 1,0 mL larutan DPPH 1 mmol dan dilarutkan dalam metanol hingga 5,0 mL kemudian diinkubasi dalam penangas air 37˚C selama 30 menit. Pembuatan larutan vitamin C sebagai kontrol positif Lebih kurang 5 mg vitamin C ditimbang saksama, lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 5 mL. Dilarutkan dalam metanol p.a hingga tanda (1000 ppm). Sejumlah 20 µL, 30 µL, 40 µL, 50 µL dan 60 µL untuk mendapatkan kosentrasi sampel 4, 6, 8, 10 dan 12 ppm. Kedalam masing-masing labu ditambahkan 1,0 mL larutan DPPH 1 mmol dan dilarutkan dalam metanol hingga 5,0 mL kemudian diinkubasi dalam penangas air 37˚C selama 30 menit. Prosedur Larutan blanko, larutan uji dan larutan vitamin C diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 515 nm. Analisis data Persen inhibisi atau hambatan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Penapisan senyawa kimia Masing-masing fraksi hasil kromatografi kolom dilakukan penapisan senyawa kimia menggunakan pereaksi semprot pada lempeng KLT. a. Golongan flavonoid Ekstrak hasil kromatografi kolom ditotolkan pada lempeng silika gel GF254, kemudian lempeng dimasukkan kedalam benjana KLT
yang telah dijenuhkan dengan eluen. Kemudian eluen dibiarkan merambat naik sampai batas yang telah ditentukan, diangkat dan dibiarkan mengering, kemudian bercak disemprot dengan alumunium klorida (AlCl3) lalu dinalisis dengan sinar UV pada panjang gelombang 366 nm. Terbentuknya bercak berpendar kuning dalam sinar UV 366 nm menunjukan adanya flavonoid. b. Golongan steroid-triterpen Ekstrak hasil kromatografi kolom ditotolkan pada lempeng silika gel GF254, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam benjana KLT yang telah dijenuhkan dengan eluen. Kemudian eluen dibiarkan merambat naik sampai batas yang telah ditentukan. diangkat dan dibiarkan mengeringkan, kemudian bercak disemprot dengan LiebermanBurchard I lalu lempeng dipanaskan pada suhu 100˚C selama 10 menit. Bercak yang terbentuk berwarna hijau menandakan adanya steroid. Sedangkan warna merah-ungu menandakan adanya triterpen menunjukan adanya flavonoid. c. Golongan antrakuinon, antron, kumarin Ekstrak hasil kromatografi kolom ditotolkan pada lempeng silika gel GF254, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam benjana KLT yang telah dijenuhkan dengan eluen. Kemudian eluen dibiarkan merambat naik sampai batas yang telah ditentukan. diangkat dan dibiarkan mengeringkan, kemudian bercak disemprot dengan larutan kalium hidroksida 5-10% dalam etanol, kemudian lempeng diamati pad sinar biasa dan sinar UV 366 nm dengan atau tanpa pemanaan. Bercak yang terbentuk merah pada sinar biasa menandakan adanya antrakuinon, warna kuning pada sinar UV 366 nm menandakan adanya antron sedangkan warna biru pada sinar UV 366 nm menandakan adanya kumarin. Analisis kandungan senyawa hasil bioproduksi isolat dengan kromatografi gasspektrofotometri massa (KG-SM) Identifikasi senyawa kimia hasil bioproduksi kapang endofit dianalisis dengan kromatografi gas-spektrofotometri massa (KG-SM) untuk melihat senyawa yang terkandung didalamnya. Ekstrak hasil fraksinasi dilarutkan dengan kloroform p.a kemudian diinjeksikan ke dalam alat KG-SM.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
87
HASIL DAN D PEMBA AHASAN Dua jenis kappang yang telah diseeleksi berdasarrkan uji aktiifitasnya yaittu Cl-Ay-4F F dan Cl-Pa-2F F masing-m masing memiliki karakterrisasi sebagai berikut: ng Endofit Cl-Ay-4F C dan n ClKarakteeristik Kapan Pa-2F Isolat kapang k endoofit Cl-Ay-44F dan Cl-P Pa-2F diremajaakan di dalam media PDA, P diinkuubasi pada suuhu kamar selama 7 harri. Isolat kaapang endofit Cl-Ay-4F dan d Cl-Pa-2F F dikarakterrisasi secara konvensionnal dengaan pengam matan makroskkopis dan mikroskopis. Pengam matan secara makroskopis m s kapang enndofit Cl-A Ay-4F dan Cl-P Pa-2F melipputi diameterr dan permuukaan koloni, terbentuknnya zonasii, terbentuuknya spora/koonidia, warnna miselium dan terdapaatnya hifa fertil/hifa steril. Karakteristiik kapang enndofit Cl-Ay-44F dan Cl--Pa-2F secaara makroskkopis ditunjukkan pada Tabbel 1 dan 2. Tabel 1. Karakteristik K morfologi kappang endofitikk ClAy-4F secara makroskopis Isolat
Permukaan baggian atas
Waarna sebalik
Cl-Ay4F
Diameter kolonni: 8 cm pada hari ke 4 Permukaan misselium : putih, halus, meenyebar rata.
Zonnasi : tidak terjaddi zonnasi Perrmukaan miselium m: puttih, halus, menyebbar rataa.
Keteranggan : Cl: Curcuuma longa; Ay: A Anyer; F: Fungi F (kapang)
Keteerangan: Cl = Curcuma longga; Pa = Parun ng; F: Fung gi (Kapang)
Indentifikasi selanjuutnya dilakukan d peng gamatan seccara mikroskkopis, isolatt kapang endo ofit Cl-Ay-44F dan CL-P Pa-2F dilihatt dengan mikrroskop seperrti yang terllihat pada Gambar G 3 dan 4. Isolatt kapang endofit Cl-Ay-4F C men nunjukan adaanya lapisann hifa tidak bersekat, berw warna hialin dengan perrmukaan haalus serta kepaala konidiaa berbentukk bulat. Sehingga S berd dasarkan pengamatan p makroskop pis dan mikrroskopis isoolat kapangg endofit Cl-Ay-4F, C men nurut buku inndentifikasi ”text book of o fungi” (J.S Gupta, 19881) maka sessuai dengan karakter kapaang dari kelaas Zygomyceetes, ordo Mu ucorales, dan genus Mucor(33). M Sedangkan n hasil peng gamatan secaara makroskoopis dan mik kroskopis isolaat kapang endofit e Cl-P Pa-2F menurrut buku Iden ntifikasi “Issolation annd Identifica ation of Fung gi Imperfeccti” Katsuhhiko Ando (2000) adallah sesuai deengan karakkteristiknya termasuk t kelaas Hyphomyccetes dan gennus Geniculo osporium (30)). Untuk menngetahui nam ma spesies dari d isolat kapaang terseebut, dipeerlukan penelitian p mikrroorganismee lebih lanj njut seperti melalui peng gamatan moorfologi dan ukuran sel, susunan DNA A sel, zaat-zat kimiaa yang dihasilkan proses mikrroorganismee tersebuut dari metaabolismenyaa, dan uji lainn juga yang mungkin perlu u dilakukan untuk meneentukan jenis spesies mikrroorganismee tersebut.
K Morfologi Isoolat Kapang Tabel 2. Karakteristik M Endofit Cl-Paa-2F Secara Makroskopis Permukaan bagian b Permukaan bagiian Isolat atas bawah Cl-Pa2F
Diameter kolonii : 8 cm hari ke-7 Permukaan Miseelium : Halus Warna Miselium m: Putih-Cream, Kekuningan Zonasi: Tidak terbentuk Hifa fertile: Terdapat Hifa
Permuukaan Miselium : Haluus Warnna Miselium : Kunning Zonassi : Tidak terbenttuk
Gambar G 1. Mikkroskopis kappang endofit Cl-AyC 4F. Keterangan K : A : Konidioforre; B : Fialid; C : Konidia K
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
88
Pemerikksaan pH Berddasarkan hasiil pengamataan selama prroses bioproduuksi, pH sam mpel dan meddia dari hari ke-3 sampai dengan harii ke-20 berkkisar antara 4-5. Hasil peengamatan pH H dapat dilihhat pada Tabeel 3. Tabbel 3. Data hassil pemeriksaaan pH sampel dan meddia Saampel P PDB Cll-Ay4F Cll-Pa2F
k pH hari ke3 5
7 5
10 5
14 5
17 5
4
4
4
4
5
4
4
4
4
4
Dari Tabel 3 menunjukkan m n bahwa seelama proses bioproduksi, b media cair berada padaa pH sedikit asam a yaitu pada p rentangg pH 4-5, deengan hasil inii berarti sam mpel Cl-Ay-44F dapat tum mbuh baik padda rentang pH p 4-5 sedaangkan Cl-P Pa-2F dapat tuumbuh baik pada p pH 4. Menurut M Rossazza (1982), kapang k dan khamir k dapaat tumbuh deengan baik padda pH 3.5 sampai s pH di atas 8, tetapi t umumnnnya tumbuh pada p pH 5-6 (34). Kurva pertumbuhan p n Kurvva pertumbuhhan kapang endofit e dilakkukan untuk mengetahui m w waktu optim mum pemannenan hasil biooproduksi kaapang endofiit Cl-Ay-4F yang fase meliputii fase lagg, fase akselerasi, a ekponennsial,fase staasioner dan fase kemaatian. Kurva pertumbuhaan kapang endofit diddapat berdasarrkan hasil penimbangan bobot biom massa yang teelah dikerinngkan. Hassil penimbaangan bobot biiomassa dapaat dilihat padda Tabel 4.
Berdasarkan B data penimbbangan biom massa dan kurv va pertumbuhhan kapang ddiketahui baahwa fase akseelerasi dimullai dari hari kke-5 sampai hari ke-7, fase eksponensiaal dimulai daari hari ke-10 0 sampai hari ke-14, padaa hari ke-19 kkapang endo ofit sudah mem masuki faase kemattian. Gam mbar 3 men nunjukkan kuurva pertumbbuhan untuk k masingmasing isolat. KURVA PERTUMBUHAN 140 120 Biomass
Gambbar 2. Mikroskkopis kapang endofit Cl-Paa2F. Keterrangan : A : Konidiofore; K B : Konidia
Tabeel 4. Bobot Penimbangann Biomassa dari n ClIsolat Kaapang Endofit Cl-Ay-4F dan Pa-2F Sam mp Bobot Biomaassa (mg) el e Haari 3 5 7 10 11 1 keeCl50,9 55,4 58,2 76,2 y10 02,8 Ay 4F F CL L31,7 38,0 49,5 62,9 76 6,3 Pa--2F Sam mp Bobot Biomaassa (mg) el e Haari 14 17 19 20 2 keeCl115,4 y129,6 101,6 50 0,9 Ay 4F F CL L78,6 75,4 59,1 34 4,3 Pa--2F
100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 1 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hari
Cl-Ay-4F
CL-Pa-2F
Gambar G 3. Kurrva Pertumbuuhan Isolat Cl--Ay4F dan d Cl-Pa-2F
alisis KLT senyawa bbioproduksi kapang Ana endo ofit Cl-Ay-4F F dan Cl-Paa-2F Sampel S hasiil fermentassi diekstrak dengan men ngunakan peelarut klorooform. Elueen yang digu unakan untukk KLT adalaah n-heksan-etilasetat (2:1) untuk ekkstrak Cl-Ayy-4F dan n-heksann etilaasetat (10:1) untuk ekstrrak Cl-Pa-2F F dengan penaanda bercak serium sulfaat.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
89
Tabeel 6. Hasil frakksinasi ekstrakk kering filtraat isolat Cl-Ay-4F F dan Cl-Pa-2F F Boboot (mg) Fraksi F Cl-Pa-2F Cl-Ay-4 4F I 50 150 II 160 20,8 III 30 44,6 IV 30 10,4 V 40 6,5 VI 10,4
Gambar 4. 4 Profil KLT T ekstrak isolatt Cl-Ay-4F dan Cl-Pa-22F
Masing-masi M ng fraksi seelanjutnya dii analisis deng gan KLT meempergunakaan eluen n-h heksana : etil asetat (2:1), fase diam ssilica gel 60 F254 dan penaada bercak serium s sulfatt seperti yang g terlihat padaa Gambar 5.
Keteranggan : PDB : Media M yang diigunakan 11 : Bioproduksi hari h ke 11 h ke 14 14 : Bioproduksi hari h ke 17 17 : Bioproduksi hari h ke 19 19 : Bioproduksi hari h ke 20 20 : Bioproduksi hari
Dari Gambar 4 diatas terlihat eluen yang digunakkan sesuai unntuk masingg-masing ekkstrak karena terlihat jelas pemisahanny p ya. Dari data pengam matan kurva pertumbuhan p n dan analisis secara KLT T, disimpulkan bahwa waktu w optimum m produksi senyawa s pottensial pada hari ke-17 untuk u isolat Cl-Ay-4F dan hari ke-14 k untuk isolat i Cl-Paa-2F. Selannjutnya masingmasing isolat diprooduksi denggan skala besar b yaitu 30000 mL daan di samplling pada waktu w optimum m masing-m masing isolat.. Hasil eksttraksi dari prooduksi besar masing-masing isolat dapat d dilihat pada p Tabel 5.. Tabel 5. Berat ekstrak kering dari filtrat dan biom massa Jeenis ekstrak Biomassa Filtrat (mgg) (mg)) Jenis isoolat Cll-Ay-4F 260 40 Cl-Pa-2F 370 760
Fraksinasi dengan Kromatograf K fi Kolom Ekstrrak kering filtrat masinng-masing isolat i difraksinnasi dengan kromatografi kolom deengan menggunakan eluen n-heksan : etilasetat (100:1 ~ 2:1) unntuk ekstrak Cl-Ay-4F dan n-hekssan : etilasetaat (100:1 ~ 2:1) 2 untuk ekstrak e Cl-P Pa-2F dan fasaa diam yang digunakan d siilica gel 60 for f cc particle size 0,063-0,100 mm (Merck ( 115101). Hasil frraksinasi masing-masing m g ekstrak isolat i dapat dilihat pada Taabel 6.
Gam mbar 5. Profil KLT hasil frraksinasi deng gan m kromaatografi kolom Keteerangan : PDB B : Media Perrtumbuhan I : Fraksi I II : Fraksi II III : Fraksi IIII : Fraksi IV V IV : Fraksi V V : Fraksi VII VI
Dari D Gambarr 6 terlihat bbahwa fraksii III dari ekstrak isolat Cll-Ay-4F dan fraksi II darri ekstrak isolaat Cl-Pa-2F masing-maasing memilliki pola berccak yang terrlihat nyata dan tunggaal seperti yang g ditunjukkaan oleh tandaa panah. Sellanjutnya fraksi III dan fraksi II m masing-masin ng isolat dilak kukan frakssinasi kembbali untuk diperoleh d seny yawa yang leebih murni. ksinasi frakksi III isolaat Cl-Ay-4F F dengan Frak Krom matografi Kolom K Fraksi F III pada p kromaatogram lap pis tipis men ngunakan eluen e n-heeksan:etilasetat 2:1
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
90
memperrlihatkan satuu spot bercak, tetapi ketika k dieluasi berulang deengan n-hekssan:diklorom metan 1:1 terrlihat beberrapa bercakk (Gambar 6). Sehinggga diketahuii fraksi IIII belum murni, m selanjutnnya fraksi III dilakuukan frakssinasi kembali dengan krom matografi koolom.
wa fraksi III-C belum m murni, dikeetahui bahw kareena itu haruus di lakukaan proses peemurnian kem mbali agar seenyawa terseebut dapat diigunakan untu uk percobaaan selanjutnnya. Tetapii karena jumllah sampel yang y terlalu ssedikit yaitu 22,3 mg prosses pemurniian tidak m mungkin diilakukan. Prosses pemurnian kembali dikhawatirk kan akan men nhilangkan seenyawa bioproduksi terseebut.
Gambar 6. Profil KLT frraksi III
2 n-heksaan:dikloromeetan n-heksaan:etilasetat 2:1 1:1eluassi berulang 9 kali Sebaanyak 44,6 mg fraksi III difrakssinasi kembali dengan krom matografi koolom. Eluen yang digunakkan n-heksann-dikloromettan (1:1) daan nheksan-eetilasetat (2:1~1:1). Dipperoleh 4 fraksi f yaitu F III-A, III-B B, III-C, daan III-D deengan bobot masing-masin m ng 1,3 mg; 6,4mg; 22,33 mg dan 1,2 mg. Tiap fraaksi yang dipperoleh dilakkukan analisis dengan KLT T, menunjukkkan bahwa fraksi f III-C mengandung m senyawa haasil bioprodduksi. Sedangkkan Fraksi III-A, I III-B dan III-D tidak t menganddung senyaw wa hasil biopproduksi (Gam mbar 7).
Gambarr 8. Profil KLT T fraksi III-C
Frak ksinasi frakksi II isolat Cl-Pa-2F dengan Krom matografi Kolom K Sejumlah S 1660 mg frakssi F.II direffraksinasi deng gan kromatoografi kolom m menggunaakan fase geraak n-heksan : etil asetat (220:1) secara isokratik. Dipeeroleh empaat fraksi (F..II-A, F.II-B B, F.II-C dan F.II-D) denggan bobot m masing-masing g 10 mg; 30 mg; m 670 mg dan d 200 mg.
Keterangaan : PDB : Meedia Pertumbuuhan III-A : Fraaksi I III-B : Fraaksi II III-C : Fraaksi III III-D : Fraaksi IV
Gambarr 9. Profil Kroomatogram KL LT Refraksinaasi Fraksi F.III
Gambar 7. 7 Profil KLT T fraksi III-A ~ III-D
Padaa hasil analissa KLT terhaadap fraksi III-C (Gambarr 8) terlihaat bercak yang y meruppakan bercak senyawa s hassil bioprodukksi, tetapi masih m terlihat bercak b lain yang y menggganggu. Sehiingga
Dari D analisiis profil kromatogram m KLT keem mpat fraksi di atas, dikketahui frakssi F.II-B men nghasilkan bercak b denggan intensitaas warna yang g dominan dibandingkann dengan ketiiga fraksi lainn nya. Penelittian yang diilakukan sellanjutnya terhaadap keempat fraksi hassil refraksinaasi fraksi
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
91
F.II addalah penappisan senyaawa kimia dan mengujii aktivitas antimikroba Penapissan Fitokimiia Isolat Cl-A Ay-4F Penaapisan fitookimia dillakukan u untuk mengetaahui golonggan senyaw wa kimia yang terdapat didalam ekstrak. e Pennapisan senyyawa kimia dilakukan d paada ekstrak isolat Cl-A Ay-4F hasil koolom fraksi IV dan frakksi III-C kaarena pada fraaksi tersebut terdapat t spott/bercak senyyawa pada lem mpeng KLT, sedangkan fraksi f I, II, V, V IIIA, III-B B, III-D tidakk dilakukan karena tidakk ada spot/berrcak senyaw wa pada lempeng KLT. K Penapisaan senyawa kimia ini dilakukan hanya h untuk seenyawa kimia golongan flavonoid, f steeroid dan triterpenoid. Hasil H uji pennapisan senyyawa kimia daapat dilihat pada p Gambarr 10.
mberikan haasil yang neegatif, karen na tidak mem terlihat bercak berwarna m merah yang diamati padaa sinar biasa. Hasil uji penapisan senyawa kimiia keempaat fraksi untuk golongan g antraakuinon, anntron dan kuumarin dapaat dilihat padaa Gambar 11.
UV 366 nm m Sinar biasaa Gambar G 11. Prrofil KLT Hassil Penapisan Fiitokimia isolatt Cl-Pa-2F
Gambar 10. Profil KLT T Hasil Penappisan Fitokimiia isolat Cl-A Ay-4F Uji Flavoonoid Uji steroid-triterpe s enoid antrakuinnon, antron, kuumarin
Uji
Tabel 7. Data D hasil pennapisan fitokim mia isolat Cl-A Ay4F fraksi IV dan d III-C No.
N No.Fraksi
1. 2.
IIII-C I IV
Data penapisaan senyawa kim mia Fllavonoid Steeroid triterpenoid + + + -
Keduua fraksi memberikan m n reaksi poositif terhadapp senyawa golongan fllavonoid deengan terbentuuknya warna kuning padda lempeng KLT dibawahh sinar UV 3666 nm dan pada p pengoloongan steroid-ttriterpen frakksi III-C meenunjukan reeaksi positif, karena terrbentuk waarna biru pada lempengg KLT.
Hasil H uji peenapisan sennyawa kimiia untuk golo ongan flavonnoid, fraksii F.II-C dan n F.II-D mem mberikan hassil positif yang ditandaii dengan berccak yang berppendar kuninng pada UV 366 nm. Sedaangkan hasiil uji penapisan senyaw wa kimia untu uk golongan steroid-triterrpenoid frak ksi F.II-C mem mberikan haasil positif terhadap golongan g stero oid yang dittandai dengaan bercak berpendar b hijau u/biru pada UV U 366 nm dan untuk golongan g triterpenoid fraaksi F.II-B, F.II-C dan n F.II-D mem mberikan hassil positif yang ditandaii dengan berccak berpendaar merah/unggu pada UV 366 nm. Hasiil uji penapisan senyyawa kimiaa untuk golo ongan flavonnoid dapat ddilihat pada Gambar 12 dan d hasil uji penapisan ssenyawa kim mia untuk golo ongan steroidd-triterpenoid dapat dilihat pada Gam mbar 13. Seedangkan haasil penapisaan kimia masing-masing fraksi f dapat ddilihat pada Tabel T 8.
Penapissan Fitokimiia Isolat Cl-P Pa-2F Dari hasil uji pennapisan senyyawa kimia untuk u golongan antrakinonn, antron dann kumarin, fraksi f F.II-C memberikann hasil positif p terhhadap golongan kumarin yang y ditandaai dengan beercak berpendar biru padda UV 366 nm. Sedanngkan untuk goolongan antrron fraksi F.III-B memberrikan hasil positif p yangg ditandai dengan beercak berpandar kuning pada p UV 366 nm . Untuk U golongan antrakkinon, keeempat f fraksi Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Gambar 122. Profil KLT Golongan Flaavonoid pada UV 3666 nm
92
aktiv vitas tersebuut. Hasil uji aktivitas anttioksidan dari fraksi III-C dan IV dappat dilihat paada Tabel 10.
Gambar 13. Profil P KLT Goolongan SteroiidT Triterpenoid paada UV 366 nm n Tabell 8. Data Hasil Penapisan Senyawa Kimia Frakssi Hasil Kiromatografi Kolom N Fraaksi II Senyawa o. F.II F.II F.II F.III -D -A -B -C 1. Antrakuinon Antron 2. + Kumarin 3. + Flavonoid 4. + + Steroid 5. + 6. Tritepenoid + + +
Uji Akttivitas Antiooksidan terh hadap Frakssi IV dan III--C isolat Cl-A Ay-4F Uji aktivitas a antioksidan menngunakan meetode DPPH dengan sttandar posiitif vitaminn C diperoleeh IC50 sebeesar 7,40 pppm seperti yang terlihat pada p Table 9. 9 H uji aktivvitas antioksiddan dari Tabel 9. Hasil vitamin C sebbagai kontrol positif p Kosentraasi % IC50 Sampeel (ppm) Inhibishhi 37,67 4 6 40,40 Vitamiin 7,40 8 53,29 C ppm 10 59,26 12 72,61
Hasill pengujian aktivitas perrendaman radikal bebas DPPH D dari 2 fraksi yaituu fraksi III-C C dan fraksi IV I menunjuukkan tidakk ada aktiivitas pengham mbatan radikkal bebas bahhkan tidak teerjadi perubahan atau pem mucatan warrna dari pereeaksi DPPH. Dari hasil inni dapat dissimpulkan baahwa senyawaa bioproduksi kapang endofit e Cl-A Ay-4F tidak memiliki m aktivitas antiokksidan. Meskkipun yang kunyit mempunyai aktivitas antioksidan a tinggi namun sennyawa biopproduksi kaapang endofit Cl-Ay-4F ternyata tidak mem miliki
Tabeel 10. Hasil uji aktivitas anttioksidan frakssi IV dan III-C Kosentrasi Fraaksi III-C (ppm) Sifaat % IC50 Sifat inhhibisi 5 0,81 Tidaak Akttif 10 1,08 Tidaak Akttif 25 3,20 Tidaak 370,20 Tidak Akttif Aktif ppm 50 7,45 Tidaak Akttif 100 133,34 Tidaak Akttif Kosentrasi Frraksi IV (ppm) Sifaat % IC50 Sifat inhhibisi 5 0,92 Tidaak Akttif 10 2,07 Tidaak Akttif 25 4,83 Tidaak 790,29 Tidak Akttif Aktif ppm 50 5,43 Tidaak Akttif 100 7,34 Tidaak Akttif
Sedangkan S u aktivitas antioksidaan pada uji konssentrasi 1000 ppm terhaadap isolat Cl-Pa-1F C dan Cl-Cb-1F beerturut-turut sebesar 40,6 68 % dan 20% seperti yang y terlihat pada Tabel 11. 22,2 Tab bel 11. Hasil uji u aktivitas anntioksidan iso olat ClPa-1F F dan Cl-Cb-1F Rat % Samp aAbsorrbansi (A) inhi Sifat el rata bisi A Cl-PaC 1F Cl-CbC 1F
1,0 88 4 1,4 27 4
11,08 84
1,08 84
1,08 84
40,6 8
Tidak Aktif
11,42 80
1,42 74
1,42 76
22,2 0
Tidak Aktif
Pembagian P intensitas aatau sifat keaktifan k didaasarkan padaa nilai IC50 yang dipero oleh dari hasil uji aktivitas antioksidann, bila nilai IC I 50 lebih besaar dari 2000 ppm meenunjukkan aktivitas antio oksidan tidaak aktif, seddangkan apab bila nilai IC50 antara 100-2200 ppm ataau dibawah 100 ppm men nunjukkan akktivitas antiioksidan sed dang dan aktiff. Sedangkann antioksidaan bahan yaang diuji
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
93
digu unakan adaalah Escheerecia colii untuk mew wakili jenis mikrobaa gram (-) ( dan Stap phylococcus aureus unntuk mewak kili jenis mikrroba gram (+). ( Kedua bbakteri terseebut baik Esch herecia coli maupun Staaphylococcu us aureus meru upakan bakteeri yang pekaa terhadap an ntibiotik. adalah Antibiotik A yang ddigunakan klorramfenikol sebagai koontrol posiitif dan klorroform sebaggai kontrol neegatif. Kloram mfenikol meru upakan pennghambat sintesis proteein yang kuatt pada mikrooorganisme. Kloramfenikol pada dasaarnya bersifaat bakteriostaasik, antimik kroba ini mem mpunyai spekktrum yang luas, yakni meliputi baktteri gram (+)), bakteri graam (-), bakteri aerob dan bakteri anaeerob. Hasil ppengukuran diameter dayaa hambat (DD DH) pada Sttaphylococcu us aureus dan Escherecia coli dapat ddilihat pada Tabel T 12, Gam mbar 14, 15, 16 dan 17.
didasarkkan pada % (persen) hambatan h radikal bebas yang y dilakukkan. Bila meenghambat diatas d 80 % dinyatakann aktif, anntara 50-800 % dinyatakkan sedang dan d dibawah 50 % dinyattakan tidak akttif (6). Dari hasil ini dapat disim mpulkan baahwa senyawaa bioprodukssi kapang endofit e Cl-Paa-1F; Cl-Pa-2F F; Cl-Ay-44F dan Cl-Cb-1F C t tidak memilikki aktivitas anntioksidan. imikroba terhadap Eksstrak Uji Akttivitas Antim Hasil Frraksinasi Frraksi II isolaat Cl-Pa-2F Untuuk mengetahhui ada tiidaknya pootensi metabolit sekunder dari keempaat fraksi yanng di dapat dari d hasil fraksinasi fraksi f II, maka m dilakukaan uji aktivitas antim mikroba deengan menggunakan metoode difusi cakram. c Nam mun, fraksi III-A tidak dapat d dilakukkan dikarennakan jumlah ekstrak yangg sedikit. Mikroba M uji yang
mbat (DDH) paada S. aureus dan d E.coli Tabel 12. Hasil Pengukkuran Diametter Daya Ham DDH Sampel Mikrobba 5000 ppm 10 000 ppm uji uji I II III I II IIII I
S. aureuus
E. coli
Kloram m fenikol Fraksi F.II-B Fraksi F.II-C Fraksi F.II-D Kloram m fenikol Fraksi F.II-B Fraksi F.II-C Fraksi F.II-D
11500 ppm II
III I
12
12
12
19
19
199
19,5
19,5
19 9,5
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11
11
11
17
17
177
19
19
19 1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Bakkteri Uji Baktteri Uji Staphyloccoccus aureuss Eschereecia coli Gambar 14. Hasil Ujji Aktivitas Antimikroba A Kloramfennikol terhadapp S. aureus dan E. colli
Bakteri Uji Bakteri Uji E Escherecia colli Staphylococcus auureus mbar 15. Hassil Uji Aktivvitas Antimik kroba Gam Fraksi F.II-B terhadap S. Aureuss dan E. colli
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
94
Bakkteri Uji Baakteri Uji Staphyloccoccus aureuss Escheerecia coli Gambar 16. Hasil Uji U Aktivitas Antimikrobaa Fraksi F.III-C terhadap S. S Aureus dann E. coli
Baakteri Uji Bakkteri Uji Staphyloccoccus aureuss Escheerecia coli Gambar 17. Hasil uji u Aktivitas Antimikrobaa Fraksi F.III-D terhadap S. S Aureus dann E. coli
Dari hasil pengam matan uji akttivitas antibaakteri di atas, dapat disim mpulkan bahhwa ketiga fraksi f (F.II-B, F.II-C dann F.II-D) tiidak mempuunyai sebagaii antibakkteri terhhadap aktivitass Staphyloococcus aureeus dan Eschherecia coli.. Hal ini dituunjukkan dengan d tidaak terbentuuknya diameterr daya hambbat (DDH) di sekitar kertas k cakram pada p masingg-masing frakksi. Sedaangkan uji aktivitas a antiibakteri terhhadap isolat Cl-Pa-1F C dann Cl-Cb-1F terhadap baakteri Staphyloococcus aureeus dan Eschherecia coli dapat d dilihat Tabel T 13. Diimana ekstraak biomassaa dari isolat Cl-Pa-1F menunjukkkan aktiivitas antibaktteri terhadap bakteri uji.
Iden ntifikasi sen nyawa hasil produksi issolat ClAy-4 4F dengan GC-MS G Analisis A GC--MS untuk frraksi III-C dari d isolat kapaang endofit Cl-Ay-4F m memberikan beberapa b peakk yang menuunjukkan adda beberapa senyawa kimiia. Senyaw wa kimia ddalam fraksi III-C dido ominasi olehh senyawa deengan m/z 200 (peak 16,8 898 menit), 785 (peak 14,218 men nit), 761 (pea ak 16,064 meenit) dan 7188 (peak 16,16 64 menit) yang g menurut database w wiley7n.1 meerupakan golo ongan asam m lemak, kkemudian senyawas seny yawa dengann m/z 207 (p (peak 11,618 8 menit), 574 (peak 11,7710 menit), 695 (peakk 11,777 men nit), 794 (peak 11,945 menit), 51 11 (peak 12,1 129 menit), dan d 723 (peakk 12,222 menit) yang men nurut databasse wiley7n.11 merupakan n turunan feno ol, sedangkaan senyawa pada peakk 18,295 men nit empunyaai m/z 318 merupakan senyawa stero oid-triterpenooid yang dinnamakan seb bagai 5αpreg gnan-20-one,, 12β-hydroxxy (Gambar 18). 1
Gambar G
18. Prediksi struktur steroidmenurut daatabase triiterpenoid m wiiley7n.1
Kromatogram K m GC-MS untuk frak ksi III-C dapaat dilihat pada p Gambaar 19 dan beberapa b kand dungan senyyawa kimia hhasil analisiss GC-MS dapaat dilihat padda Tabel 14.
Tabel 13. Hasil Pengukkuran Diametter Daya Ham mbat (DDH) pada S. S aureus dan E.coli Mikroba uji
S. aureuss
E. coli
Sampel uji Kloramfenikkol Cl-Pa-1F (filtrat) Cl-Pa-1F (biomassaa) Cl-Cb-1F F (filtrat) Cl-Cb-1F F (biomassaa) Kloramfenikkol Cl-Pa-1F (filtrat) Cl-Pa-1F (biomassaa) Cl-Cb-1F F (filtrat) Cl-Cb-1F F (biomassaa)
500 ppm 13
DDH 1000 ppm 16
15000 ppm m 200
-
-
-
9
11
111
-
-
-
-
-
-
11
13
200
-
-
-
10
10
111
-
-
-
-
-
-
Gambar 19. Kromatogram K m GC-MS darii f fraksi III-C
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
95
Tabell 14. Beberappa kandungan senyawa kim mia hasil annalisis GC-MS untuk frakksi III-C
1.
Waktu Retensi (menit) 9.898
Bobot B M Molekul ( (m/z) 200
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
11.618 11.710 11.777 11.945 11.995 12.037 12.129 12.222 13.497 13.874 14.218
207 574 695 794 358 649 511 723 536 712 785
13. 14. 15.
14.470 15.862 16.064
782 391 761
16.
16.164
718
17. 18. 19.
16.324 18.018 18.295
679 451 318
No
Kemungkinan senyyawa menurut databbase wiley7n.1 golonngan asam lemakk turunnan fenol turunnan fenol turunnan fenol turunnan fenol turunnan fenol turunnan fenol golonngan asam lemakk alkenna alkenna golonngan asam lemakk golonngan asam lemakk alkenna alkenna steroiid-triterpenoid
Untuuk hasil annalisis GC--MS fraksi IV memberrikan beberaapa peak yanng menunjuukkan beberapaa senyawa kimia k yang didominasi oleh senyawaa dengan m//z 372 (peaak 11,626 menit) m dan 3522 (peak 11,718 menit)) yang mennurut databasee wiley7n.1 merupakann turunan fenol, f kemudiaan senyawaa-senyawa dengan d m/z 308 (peak 122,448 menitt), 430 (peakk 14,470 meenit), 598 (peeak 16,315 menit), 611 (peak 188,018 menit), 800 (peak 19,587 meenit), 620 (peak (p 21,047 menit) dann 528 (peakk 18,018) yang menurutt database wiley7n.1 w m merupakan allkena dan asaam lemak. Kromatogram K m GC-MS untuk u fraksi IV dapat dilihat pada Gambar 20 dan beberapaa kandungann senyawa kim mia hasil anaalisis dapat dilihat pada Taabel 15.
Gambbar 20. Kromaatogram GC-M MS dari fraksii IV
Tab bel 15. Bebeerapa kandunggan senyawa kimia hasil analisis a GC-M MS untuk fraksi IV No N 1. 1 2. 2 3. 3 4. 4 5. 5 6. 6 7. 7 8. 8 9. 9 10. 1 11. 1
Waktu Retensi (menit) 11.626 11.718 12.129 12.448 14.176 14.470 16.315 18.018 19.310 21.047 14.218
Bobot Molekul (m/z) 327 352 721 308 528 430 598 611 611 800 620
Kemungkin nan senyawa men nurut database wiley y7n.1 tuurunan fenol tuurunan fenol A Alkena ggolongan asam lemak l A Alkena A Alkena A Alkena A Alkena A Alkena
ntifikasi sen nyawa hasil produksi issolat ClIden Pa-2 2F dengan GC-MS G Analisis A GC--MS untuk ffraksi II-B dari d isolat kapaang endofit CL-Pa-2F m memberikan beberapa b punccak (peak) yang meenunjukkan adanya bebeerapa senyaw wa kimia di dalam frak ksi F.II-B men nurut dataabase wileey7n.1 did dominasi golo ongan asam m lemak dann senyawa fenolik. Proffil kromatoggram GC-MS S fraksi F.II-B dapat dilih hat pada Gam mbar 21 dan beberapa kaandungan seny yawa kimia hasil analiisis dengan GC-MS dapaat dilihat padda tabel 16.
Gambar G 21. Krromatogram G GC-MS dari Fraksi F II--B Tab bel 16. Bebeerapa kandunngan senyaw wa kimia hasil analisis a GC-M MS untuk fraksi II-B No N
Retention Time
Molecular Weight
1 2 3 4 5
11.96 12.77 13.04 13.46 14.18
224 240 246 252 281
6
14.81
280
7 8
16.15 17.62
308 265
9
19.47
253
10 1 11 1
22.00 25.69
416 392
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Perkiraan Sen nyawa Menuru ut Databasse Wiley7n.1 1-Hexadecenee Heptadecane Phenol, nonyllE-14-Hexadecenal Eicosane Cyclohexadeccane, 1,2-diethyl1-Docosene 1-Nonadecene Ethanol, 2y)(tetradecyloxy Z-14-Nonacosane Cyclooctacossane
96
KESIMPULAN Ekstrak filtrat kapang endofit Cl-Pa-1F, ClPa-2F, Cl-Ay-4F dan Cl-Cb-1F hasil fermentasi media PDB tidak memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak biomassa isolat Cl-Pa-1F memiliki aktivitas antimikroba sedangkan ekstrak isolat lainnya tidak memiliki aktivitas. Analisis GC-MS untuk fraksi III-C dari isolat kapang endofit Cl-Ay-4F mengandung senyawa
golongan asam lemak, turunan fenol, alkena dan steroid-terpenoid sedangkan fraksi IV mengandung senyawa golongan asam lemak, turunan fenol dan alkena. Analisis GC-MS untuk fraksi II-B dari isolat kapang endofit Cl-Pa-2F didominasi senyawa golongan asam lemak dan turunan fenolik.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Yadi, Indra Fakhma,
Ahmad Sahril, Sofyan Fauzi dan Arief Rahman atas bantuannya dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Hariana, A. 2004. Tumbuhan obat dan khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya. hal 1. Kardinan, A. 2003. Tanaman Obat Penggempur Kanker. Jakarta. Agromedia Pustaka. hal 34-6. Strobel, G.A., Yang X, Sears J, Kramer P, Sidhu R.S., Hess, W.M. 1996. Taxol from Pestatiopsis microspore, an endophtic fungus of taxus wallachiana Mycrobiology; 142, 435-40. Petrini, O., Sieber T.N., Viret O. 1992. Ecology, Metabolite production and substrate utilization and Endophytic Fungi, Natural Toxin. hal. I,185-196.
Stierle, A., G Strobel, D Stierle, P Grothans, G Bigunami. 1995. The research of Taxolproducing microorganism among the endophytic fungi of the Pacific yew, Taxus brevifolia. J of nat Prod : 58 (9): 1315-24. Soedibyo, M. 1998. Alam sumber kesehatan. Jakarta: Balai Pustaka. hal 230-1.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
97
Senyawa Aktif Mikroba Endofitik Anti Escherichia Coli dan Salmonella Typhi Ruth Melliawati Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Flora Indonesia mempunyai keanekaragaman jenis yang luar biasa dan telah diketahui bahwa dari bagian tanaman tsb merupakan sumber mikroba endofitik. Dilaporkan bahwa senyawa kimia dari mikroba endofitik mengadung berbagai jenis bioaktif dan diantaranya senyawa aktif anti mikroba. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan mikroba potensial dan senyawa aktif anti Escherichia coli dan Salmonella.typhi. Dua isolat terpilih (HL.25 F.112 anti bakteri Salmonella typhi dan HL.46F.211 anti bakteri Escherichia coli) digunakan dalam penelitian ini. Kedua isolat tersebut difermentasikan dalam medium cair (PDB) kemudian dipanen setelah fase stasioner (5 hari), dipisahkan dari biomasa, selanjutnya diekstraksi menggunakan Kloroform sebanyak 3 kali. Diperoleh sample ekstrak dari Kloroform dan air, untuk selanjutnya dianalisis dengan TLC. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel ekstrak HL.25F.112 fase kloroform (1c) pada C:M=1:4 diperoleh Rf = 0,7 (mendekati senyawa pembanding Kloramfenikol), sedang sampel ekstrak HL. 46F.211 fase kloroform pada C:M = 2:4 hasilnya mendekati kedua senyawa pembanding yaitu Kloramfenikol (Rf.0,84) dan Ampisilin (Rf. 0,76). Kata kunci : Mikroba endofit, Escherichia coli dan Salmonella typhi, TLC
PENDAHULUAN Flora Indonesia mempunyai lebih dari 40 juta jenis tanaman, dan telah diketahui bahwa bagian tanaman tersebut merupakan sumber mikroba endofitik. Penggalian mikroba endofitik merupakan peluang baru yang perlu dikaji potensinya untuk berbagai tujuan diantaranya untuk kepentingan pertanian, industri dan kesehatan. Sementara itu, telah lama diketahui bahwa ekstrak dari beberapa jenis tanaman lokal digunakan secara tradisional untuk pengobatan berbagai penyakit. Hubungannya dengan mikroba endofitik adalah kontribusi bahan kimia endofitik memiliki berbagai jenis bioaktif (Strobel et al., 1997; Cacabuono & Pomilio, 1997; Rizzo et al., 1997; Fabry et al., 1998). Penyakit infeksi pada manusia, yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen merupakan permasalahan kesehatan yang pernah dihadapi oleh setiap orang. Sampai saat ini cara yang dilakukan untuk pengobatan berbagai jenis infeksi adalah dengan pemberian antibiotik. Dari hasil pengamatan, pemberian antibiotik dalam waktu tertentu dapat menyebabkan mikroba patogen menjadi resisten, hal tersebut dilaporkan juga oleh Neneng (2000). Resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik terjadi, karena bakteri tersebut memproduksi enzim yang
mampu mendegradasi antibiotic, seperti misalnya Extended Spectrum Beta-Latamase (ESBL) yang berperan memotong cincin β-laktam sehingga aktivitas anti bakteri menjadi hilang (Kompas, 2002; Neneng,2000) selain itu bakteri juga mengalami mutasi (Brook et al., 2001). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dicari senyawa aktif baru yang mampu membasmi bakteri patogen. Mengingat mikroba endofitik yang berasal dari jaringan tanaman masih belum dimanfaatkan secara maksimal baik untuk kepentingan industri maupun kesehatan, maka mikroba endofitik akan digunakan sebagai sumber pencarian senyawa aktif baru yang akan diteliti. Dari laporan teknik Melliawati dkk (2003-2005), sebagian kecil mikroba endofitik yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun sudah diisolasi dan beberapa di antaranya mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba patogen tanaman (Xanthomonas campestris, Pseudomonas solanacearum, Colletotricum. Gloeosporoides, Fusarium oxysporum). Untuk memanfaatkan koleksi mikroba endofitik dan sekaligus mencari senyawa aktif baru sebagai anti bakteri Escherichia coli dan Salmonella typhi maka penelitian ini dilakukan.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
98
BAHAN DAN CARA KERJA Fermentasi dan ekstraksi senyawa antimikroba Fermentasi diawali dengan melarutkan biakan kapang endofit (HL.25 F.112 dan HL.46F.211) dengan aquadest steril, kemudian 3 % suspensi diinokulasikan ke dalam 300 ml medium Potato Dextrose Broth (PDB). Kultur diinkubasi dalam shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm, pada suhu ruang hingga waktu fase stasioner (5 hari). Selanjutnya dipanen dan dilakukan proses pemisahan biomasa kapang dari filtrat dengan menggunakan kertas saring, filtrat diekstrak dengan kloroform dengan perbandingan 1:1 (v/v) dalam labu pisah. Filtrat kapang dan kloroform dikocok, lalu diinkubasi selama 20-45 menit hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan bawah (jernih) yang terbentuk merupakan filtrat fase kloroform, sementara lapisan atas merupakan filtrat fase air. Proses ini diulang sebanyak 3 kali. Masing-masing filtrat dipisahkan dan dikeringkan dengan evaporator dan waterbath
maka dilakukan analisis TLC. Filtrat fase kloroform yang telah kering/pekat dilarutkan dengan kloroform, sedangkan filtrat fase air yang telah kering/pekat dilarutkan dengan metanol. Masing-masing ekstrak dan larutan senyawa antibiotik sebagai senyawa pembanding ditotolkan pada plat silica gel G F254 TLC menggunakan pipet kapiler, dengan jarak + 0,5 cm. Setelah totolan kering, plat dimasukkan dalam chamber berisi 10 ml eluen kloroform:metanol, dengan perbandingan tertentu, yang telah dijenuhkan selama 10-30 menit. Eluen dibiarkan bergerak ke atas hingga mencapai garis batas atas, lalu plat dikeringkan. Hasil TLC berupa spot yang dapat dilihat di bawah UVdengan panjang gelombang 365 nm dan 254 nm. Untuk melihat hasil lebih jelas, plat TLC disemprot dengan serium sulfat lalu dipanaskan di atas hot plate hingga spot terlihat. Spot direkam dan ditentukan nilai Rf-nya dengan rumus dalam Khopkar (1990).
Analisis Thin Layer Chromatography (TLC) senyawa antimikroba Untuk memisahkan komponen-komponen senyawa yang dihasilkan oleh kapang endofitik
Rf = Jarak titik pusat spot zat terlarut Jarak yang ditempuh fase gerak
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis TLC dari ekstrak kapang endofitik HL.25F.112 diperlihatkan pada gambar 1. dan Tabel 1.
Gambar 1. Hasil TLC fase Kloroform ekstrak HL.25F.112(1c) Dengan Eluen C:M = 1:4 setelah pewarnaan dengan Serium Sulfat
Dari data ini dapat diketahui bahwa sampel ekstrak HL.25F.112 fase kloroform (1c) pada C:M=1:4 diperoleh Rf = 0,7, sedangkan pada fase air (1s) terangkat baik pada perbandingan C:M=2:3 dengan Rf= 0,82. Senyawa pembanding digunakan Kloramfinikol Sementara itu hasil analisis TLC ekstrak kapang HL.46F.211(perbandingan eluen kloroform : methanol adalah 2:4 ) dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai antibiotik standar adalah Kloramfenikol dan Ampisillin.
c a
Tabel 1. Hasil TLC Dengan Eluen Kloroform : Metanol = 1 : 4 No
Sampel
C:M
Rf
1
Kloramfeniko l HL.25 F.112 fase kloroform HL.25 F.112 fase air
1:4
0,78
UV 254 nm fluoresense
1:4
0,70
fluoresense
2:3
0.82
fluoresense
2 3
Pereaksi Warna tidak berwarna coklat pink kuning ungu
d
b
Gambar 2. Hasil TLC awal ekstrak kapang endofit HL.46F.211 pada silika gel F254.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
99
a. b. c. d.
Spot ekstrak fase kloroform Spot ekstrak fase air Spot Kloramfenikol Spot Ampisillin
Hasil analisis TLC terhadap ekstrak fase kloroform (a) dan fase air (b) kapang endofitik HL.46F.211 menunjukkan adanya identifikasi
positif. Ekstrak fase kloroform mempunyai nilai Rf yang mendekati dengan nilai Rf Kloramfenikol (0,84) dan Ampisillin (0,76), sedangkan ekstrak fase air belum dapat terangkat sempurna karena diduga ekstrak fase air tercampur dengan senyawa metabolit lain yang terdapat dalam kultur fermentasi..
KESIMPULAN Hasil sementara belum dapat disimpulkan karena masih perlu dilakukan pemurnian kembali
terhadap ekstrak pengkoloman.
kapang
tersebut
melalui
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. DAFTAR PUSTAKA Brooks, G.F., J.S. Butel, S.F. Morse. 2001. Medical Microbiology. 2th edition. Mc.Graw Hill. New York. Cacabuono, A.C. & Pomilio, A.B. 1997. Alkaloids from endophyte infected Festua argentina. J. Ethnopharmacol 57 :1-9. Fabry, W., Okemo, P.O., Ansorg, R. 1998. Antibacterial activity of East African medicinal plants. J. Ethnopharmacol. 60 :7984. Kompas. 16 juli 2002. Bakteri Semakin Kebal Antibiotik. Http://www.kompas.com/kesehatan/news/020 7/16/210613.htm. Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Penerbit UI Melliawati, R., Harmastini, P. Simanjuntak, F. Octavina, E. Ismawati, D.N. Widyaningrum. 2003. Pengkajian mikroba endofit untuk proteksi tanaman. Laporan Teknik Bagian Proyek Pengembangan Informasi Biota Berpotensi. Melliawati, R., P. Simanjuntak, Harmastini, H. Karsono, S. Lekantompessy, T. Widawati, D.N. Widyaningrum, F. Octavina, E. Ismawati, Febrianti, Nuryati, Nurdjanah, A. Rivai, D. Sukmawidjaya, Adang, Muplih. 2004. Pengembangan Agensia Biologis, untuk Pupuk Bio dan Pengendalian Penyakit Tumbuhan. Laporan Teknik Penelitian Puslit. Biotek-LIPI.
Melliawati, R., E. Tuherkih, D.N. Widyaningrum, R.Yunaeni W, J. Purnomo, A. Purnawan, Nuryati, Y. Ardian, A.C. Djohan. 2005. Aplikasi Mikroba Potensial Untuk Pengendalian Penyakit Tanaman. Laporan Teknik Penelitian Puslit. BiotekLIPI. Neneng, L. 2000. Karakterisasi Senyawa Antibiotik Yang Resisten Terhadap Betalaktamase Tipe TEM-1 dari Isolat ICBB 1171 Asal Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah. Http://www.icbb.org/indonesia/penelitian/pen elitian01.htm. Rizzo, I., Varsavky, E., Haiduhososki, M ., Frade, H. 1997. Macrocyclic trichothecence in Barcharis coridifolia plants and endophytes and Barcharis artemisioides plants. Toxicon 35:753-757. Strobel, G. A., Hess, W. M., Ford, E. J., Sidhu, R. S., Yang, X. 1996. Taxol from fungal endophytes and the issue of biodiversity. J. Industr. Microbiol. 17:417-423.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
100
Identifikasi Virus Entero yang Bersirkulasi di Indonesia Andi Utama, R. N. Umami, M. Ridwan, A. Jajuli, R. Dhenni Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Virus entero termasuk ke dalam genus Enterovirus famili Picornaviridae. Walau pada umumnya infeksi virus entero bersifat asimptomatik, namun virus entero juga sering dikaitkan dengan berbagai penyakit yang cukup serius diantaranya herpangina, aseptik meningitis, ensefalitis, miokarditis, hand-foot-and-mouth disease, poliomielitis dan acute flaccid paralysis. Virus polio sebagai penyebab poliomielitis juga termasuk ke dalam genus Enterovirus ini. Namun seiring dengan keberhasilan eradikasi polio secara global yang dimulai sejak tahun 1988, maka kasus poliomielitis hampir tidak ditemukan lagi di dunia. Begitu pula di Indonesia, sejak dimulainya program imunisasi nasional pada tahun 1990-an, kasus polio tidak ditemukan lagi. Tetapi pada tahun 2004, wabah polio kembali terjadi di Indonesia. Hasil analisa genetika menunjukkan bahwa kebanyakan wabah tersebut disebabkan oleh virus polio liar. Tetapi ada juga wabah yang disebabkan oleh virus polio yang berasal dari vaksin (vaccine-derived poliovirus, VDPV). Wabah yang disebabkan oleh VDPV ini sebelumnya juga terjadi di Mesir, Pulau Hispaniola, Filipina dan Madagaskar. Karena itu, VDPV menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam program eradikasi polio. VDPV yang menyebabkan wabah ini merupakan virus rekombinan antara virus polio yang berasal dari vaksin dengan virus entero non-polio. Studi sebelumnya membuktikan bahwa beberapa virus entero non-polio seperti human enterovirus species C (HEV-C) bisa berekombinasi dengan virus polio. Diperkirakan terdapat berbagai variasi virus entero yang bersirkulasi di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara tropis yang luas. Karena itu, besar peluang adanya virus entero yang bisa berekombinasi dengan virus polio. Jika hal ini terjadi besar kemungkinan munculnya VDPV yang bisa menyebabkan wabah polio. Dalam penelitian ini dilakukan deteksi dan identifikasi virus entero yang ada di Indonesia secara molekuler. Informasi mengenai sirkulasi virus entero ini penting untuk pencegahan wabah polio dan strategi program imunisasi polio di Indonesia. Dalam penelitian ini sampel dikumpulkan dari berbagai daerah diantaranya Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan; Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor; Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor; dan Desa Karang Tengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa serotype virus entero yang terdeteksi dan teridentifikasi diantaranya adalah coxsackievirus A 1 (CVA1) (2,24%) CVA2 (13,48%), CVA4 (6,74%) CVA5 (1,12%), CVA9 (1,12%) CVA10 (1,12%) dari HEV-A; Echovirus 1 (E1) (1,12%), E9 (2,24%), E14 (4,49%), E21 (13,48%), E25 (14,60%), E30 (1,12%), E26 (1,12%), E88 (1,12%), coxsackievirus B 3 (CVB3) (4,49%), CVB4 (5,61%), CVB9 (1,12%) dari HEV-B; dan poliovirus serotype 1 (PV2) (2,24%), PV2 (2,24%), PV3 (1,12%), CVA1 (1,12%), CVA20 (2,24%), dan CVA24 (13,48%), CVA18 (1,12%) dari HEV-C. Dari hasil di atas ditemukan sirkulasi CVA24, virus yang berpeluang berekombinasi dengan OPV, dengan tingkat presentase yang cukup tinggi. Kata kunci: identifikasi, rekombinasi, virus entero, virus polio, VDPV
PENDAHULUAN Melalui program eradikasi polio global yang dipromotori oleh WHO pada tahun 1988, jumlah kasus polio di dunia menurun drastis. Sampai awal tahun 2004, daerah endemik polio hanya tersisa di beberapa negara. Sebagian besar negara-negara di dunia telah bebas dari polio. Begitu juga dengan Indonesia, melalui program imunisasi nasional yang dilakukan sejak tahun 1990-an, kasus polio tidak ditemukan lagi di Indonesia. Tetapi sejak April 2004, wabah polio telah terjadi di beberapa propinsi di Indonesia. Berdasarkan hasil analisa genetika yang dilakukan oleh laboratorium WHO untuk polio,
ditemukan bahwa sebagian besar wabah yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh virus polio liar yang secara genetika mirip dengan virus yang mewabah di Nigeria. Tetapi, ada juga wabah yang disebabkan oleh virus polio yang berasal dari vaksin yang digunakan dalam program imunisasi. Wabah yang sama juga sebelumnya terjadi di Mesir (tahun 1982-1993), kepulauan Hispaniola (tahun 2000-2001), Filipina (tahun 2001), dan Madagaskar (tahun 2002). Vaksin yang banyak digunakan dalam program imunisasi polio adalah vaksin polio oral
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
101
(oral poliovirus vaccine, OPV), yang merupakan virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine). Karena itu, virus vaksin tetap memiliki sifat-sifat virus lainnya, seperti kemungkinan berubah melalui mutasi dan rekombinasi. Virus vaksin yang bermutasi dan berekombinasi ini disebut sebagai vaccine-derived poliovirus (VDPV). Virus ini terkadang berubah sifat menjadi patogen sehingga menimbulkan penyakit dan wabah polio. Karena itu VDPV ini merupakan hal penting dalam program eradikasi dan pengontrolan polio. VDPV yang menyebabkan wabah umumnya merupakan virus rekombinan antara VDPV dan virus entero non-polio. Studi sebelumnya membuktikan bahwa beberapa virus entero
seperti virus coxsackie A (CA) bisa berekombinasi dengan virus polio. Karena Indonesia adalah negara tropis dan besar, diperkirakan virus entero sangat bervariasi. Dengan demikian, besar pula peluang ditemukannya virus entero yang bisa berekombinasi dengan virus polio (OPV), termasuk virus coxsackie A. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan munculnya VDPV yang bisa menyebabkan wabah polio. Karena itu, analisa keanekaragaman virus entero yang ada di Indonesia merupakan hal yang penting. Informasi ini akan menjadi dasar pertimbangan untuk pencegahan wabah polio dan strategi program imunisasi polio di Indonesia.
BAHAN DAN CARA KERJA Bahan yang digunakan dalam penelitian: 1. Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sampel feses dari 191 anak-anak balita (bawah lima tahun) yang diambil dari berbagai daerah di Indonesia diantaranya Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan; Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor; Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor; dan Desa Karang Tengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Anak-anak balita yang diikutsertakan dalam penelitian bukan merupakan penderita suatu penyakit terkait virus entero, walaupun tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap anak-anak balita tersebut. Untuk menghindari teramplifikasinya genom virus polio dari vaksin, pengumpulan sampel dari balita dilakukan minimum 4 bulan setelah vaksinasi polio. Sampel feses tunggal dari masingmasing anak-anak balita dikumpulkan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Sampel dikoleksi menggunakan sendok plastik kecil sekali pakai dan dimasukkan ke dalam tabung konikal propilen steril ukuran 50 ml. Tabung yang telah berisi sampel feses dimasukkan ke dalam plastik sealed yang terpisah satu sama lain, dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin berisi gel ice pack. Sampel segera dibawa ke laboratorium dan diproses secepatnya, atau disimpan di dalam freezer bersuhu -20°C. 2. Bahan Bahan-bahan untuk preparasi sampel feses adalah phosphate-buffered saline (PBS) dalam
bentuk tablet [Bio Basic, Inc.], kloroform [Merck], serta tabung propilen konikal ukuran 10, 15, dan 50 ml [Falcon Becton Dickinson, Sarstedt AG & Co]. Bahan untuk ekstraksi RNA virus adalah kit komersial High Pure Viral RNA Kit [Roche]. Bahan-bahan yang digunakan untuk CODEHOP VP1 RT-snPCR adalah nuclease-free water [Promega], 5×firststrand buffer (375 mM KCl, 15 mM MgCl2, dan 250 mM Tris-HCl dengan pH 8,3) [Invitrogen], 0,1 M dithiothreitol (DTT) [Invitrogen], dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP yang masing-masing dengan konsentrasi awal 100 mM) [GE Healthcare], Rnase inhibitor (40 U/μl) [Promega], SuperScript™ II reverse transcriptase (200 U/μl) [Invitrogen], 10× PCR reaction buffer + Mg2+ (100 mM Tris-HCl, 15 mM MgCl2, dan 500 mM KCl dengan pH 8,3) [Roche], Taq DNA polymerase (5 U/μl) [Roche], FastStart™ Taq DNA polymerase (5 U/μl) [Roche], primer cDNA (AN32, AN33, AN34, dan AN35), primer PCR1 (SO224 dan SO222), serta primer snPCR2 (AN88 dan AN89) [SIGMA Genosys]. Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis gel agarosa adalah bubuk Trisborate-EDTA (TBE) [Takara Bio, Inc.], bubuk agarosa [Iwai Chemicals Co.], 6× loading buffer (0,05% xylene cyanol, 36% gliserol, 30 mM EDTA, dan 0,05% bromofenol biru) [Takara Bio, Inc.], All-Purpose Hi-Lo™ DNA Marker [Bionexus, Inc.], dan larutan etidium bromida dengan konsentrasi 10 mg/ml (EtBr) [Amerscham Biosciences]. Bahan untuk purifikasi produk CODEHOP VP1 RT-snPCR adalah kit komersial Wizard® SV Gel & PCR
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
102
Clean-Up System [Promega]. Bahan-bahan untuk sequencing DNA meliputi MicroAmp Optical 96- well reaction plate [Applied Biosystems]; kolom filter dan tabung koleksi [Princeton Separations]; BigDye Terminator v3.1 & BigDye Terminator v1.1/v3.1 5× sequencing buffer [Applied Biosystems], Sephadex™ G-50 Fine [GE Healthcare], nuclease-free water [Promega], primer AN88 (reverse), dan primer AN89 (forward) [SIGMA Genosys]. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam penelitian adalah alumunium foil [Reynolds Wrap], tisu gulung, tisu towel,
plastik tahan panas, plastik sealed; gel ice pack [Thermorite, Thermasafe, Inoac, atau Snowpack]; sarung tangan karet [Sensi gloves], masker [Acurate], polyethylene butadiene rubber parafilm [Iwaki Clinical Test Ware], sendok plastik sekali pakai, tips mikropipet [Quality Scientific Plastic], tabung mikro ukuran 0,2 dan 1,5 ml [Axygen, Applied Biosystems], aerosol resistant tips (p20, p200, dan p1000) [Molecular BioProducts], etanol absolut [Merck], dan alkohol 95% [Evita Pharmaceutical Laboratories].
Tabel 1. Primer yang digunakan dalam CODEHOP VP1 RT-snPCR dan sequencing
a
Primer AN32 AN33 AN34 AN35 SO224 SO222 AN89 AN88
Sekuen 5’→3’a GTYTGCCA GAYTGCCA CCRTCRTA RCTYTGCCA GCIATGYTIGGIACICAYRT CICCIGGIGGIAYRWACAT CCAGCACTGACAGCAGYNGARAYNGGb TACTGGACCACCTGGNGGNAYRWACATb
Motif asam amino WQT WQS YDG WQS AMLGTH(I/L/M) M(F/Y)(I/V)PPG(A/G) PALTA(A/V)E(I/T)G M(F/Y)(I/V)PPGGPV
Lokasi pelekatanc 3009--3002 3009--3002 3111--3104 3009--3002 1977--1996 2969--2951 2602--2627 2977--2951
Abreviasi berdasarkan Nomenclature Committee of the International Union of Biochemistry (NC-IUB): G= guanin; A= adenin; C= cytosine; T= timin; R= purin (A/G); Y= pirimidin (T/C); W= A/T; N= G/A/T/C; I= inosin. b Daerah nondegenerate clamp pada primer AN89 dan AN88 ditandai dengan garis bawah c Semua lokasi pelekatan primer mengacu pada genom poliovirus 1 galur Mahoney [J02281] (Sumber: Nix dkk).
Cara kerja yang digunakan dalam penelitian: 1. Preparasi sampel Preparasi sampel feses dilakukan berdasarkan prosedur WHO (2004:83) dengan beberapa modifikasi. Sampel feses sebanyak 1 g dipindahkan ke dalam tabung propilen konikal steril berukuran 10 ml yang telah berisi 1 ml kloroform dan 5 ml larutan phosphate-buffered saline (PBS). Campuran kemudian dihomogenkan dengan vorteks selama 10 menit. Selanjutnya, campuran disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 1.500 × g pada suhu 4°C. Pelet hasil sentrifugasi dipisahkan dari supernatan untuk disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121°C, 2 atm, dan 15 menit) sebelum dibuang, sedangkan supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan ke dalam tabung propilen konikal baru berukuran 15 ml, diberi label dan disimpan pada suhu -20°C hingga proses selanjutnya. 2. Ekstraksi RNA RNA virus diekstraksi langsung dari suspensi feses menggunakan High Pure Viral RNA kit [Roche]. Prosedur ekstraksi disesuaikan dengan instruksi manual pada kit. Tabung koleksi (4 buah/sampel), tabung mikro 1,5 ml (2
buah/sampel), dan tabung filter (1 buah/sampel) disiapkan pada rak tabung. Tabung filter untuk masing-masing sampel dimasukkan ke dalam tabung koleksi. Empat ratus mikroliter working solution disiapkan di dalam tabung mikro 1,5 ml. Masing-masing sampel (supernatan feses hasil sentrifugasi) sebanyak 200 μl kemudian dicampurkan dengan working solution di dalam tabung mikro 1,5 ml. Campuran sampel dan working solution kemudian dipindahkan ke dalam tabung filter yang telah disiapkan, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 × g selama 15 detik. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan tabung filter dimasukkan ke dalam tabung koleksi baru. Tabung filter lalu ditambahkan inhibitor removal buffer (500 μl/sampel) dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 × g selama 1 menit. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan tabung filter dimasukkan ke dalam tabung koleksi baru. Tabung filter lalu ditambahkan wash buffer (450 μl/sampel) dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 × g selama 1 menit. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan tabung filter dimasukkan ke dalam tabung koleksi baru. Tabung filter ditambahkan kembali dengan wash buffer (450 μl/sampel)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
103
dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 × g selama 1 menit dan 12.000 × g selama 10 detik. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan tabung filter dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 ml baru. Tabung filter ditambahkan elution buffer (50 μl/sampel), diinkubasi selama 1 menit, dan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 × g selama 1 menit, sehingga isolat RNA virus terelusi dalam 50 μl elution buffer. Isolat RNA virus dalam elution buffer selanjutnya digunakan dalam VP1 RTsnPCR atau disimpan pada suhu -70°C. 3. CODEHOP VP1 RT-snPCR Metode CODEHOP VP1 RT-sn PCR dilakukan berdasarkan Nix dkk, dan terdiri atas tiga langkah, yaitu sintesis cDNA, PCR1, dan snPCR2. Kontrol positif (stok RNA poliovirus galur Sabin) dan kontrol negatif (nuclease-free water) disertakan dalam tiap tahapan. Sintesis cDNA dilakukan dengan mencampur isolat RNA virus sebanyak 5 μl dengan master mix cDNA (5 μl/sampel) di dalam tabung reaksi MicroAmp. Reaksi sintesis cDNA dalam mesin thermal cycler terdiri atas inkubasi 22°C selama
10 menit, 42°C selama 60 menit, dan denaturasi pada 95°C selama 5 menit. Seluruh produk hasil sintesis cDNA kemudian digunakan dalam tahap PCR1. Master mix PCR1 (40 μl/sampel) dicampur dengan produk hasil sintesis cDNA di dalam tabung reaksi MicroAmp, sehingga total volume reaksi PCR1 adalah 50 μl. Reaksi PCR1 dalam mesin thermal cycler terdiri atas denaturasi pada 95°C selama 30 detik, pelekatan pada 42°C selama 30 detik, dan ekstensi pada 60°C selama 45 detik yang diulang sebanyak 40 kali. Produk dari tahap PCR1 sebanyak 1 μl/sampel ditransfer ke dalam tabung reaksi MicroAmp baru yang telah berisi master mix snPCR2 (49 μl/sampel), sehingga total volume reaksi snPCR2 adalah 50 μl. Reaksi snPCR2 dalam mesin thermal cycler diawali dengan aktivasi FastStart Taq DNA polymerase pada 95°C selama 6 menit dan diikuti 40 siklus amplifikasi yang terdiri atas denaturasi pada 95°C selama 30 detik, pelekatan pada 60°C selama 20 detik, dan ekstensi pada 72°C selama 15 detik. Produk PCR1 dan snPCR2 kemudian divisualisasikan dengan elektroforesis gel agarosa.
Tabel 2. Komposisi kit yang digunakan dalam CODEHOP VP1 RT-snPCR Kit Komposisi cDNA (RT) PCR kit 5× first-strand buffer 20 mM dNTP Primer AN32, AN33, AN34, AN35 cocktail PCR1 kit 10× PCR reaction buffer + Mg2+ buffer 10 μM Primer SO224 10 μM Primer SO222 20 mM dNTP Nuclease-free water snPCR2 kit 10× PCR reaction buffer + Mg2+ buffer 10 μM Primer AN88 10 μM Primer AN89 20 mM dNTP Nuclease-free water
Volume 110,0 μl 27,5 μl 27,5 μl 137,5 μl 137,5 μl 137,5 μl 13,75 μl 646,25 μl 137,5 μl 110,0 μl 110,0 μl 13,75 μl 701,25 μl
Tabel 3. Komposisi master mix yang digunakan dalam CODEHOP VP1 RT-snPCR Master mix Komposisi Master mix cDNA (RT) PCR cDNA (RT) PCR kit DTT (0,1 M) RNasin (RNase inhibitor) SuperScript™ II reverse transcriptase Master mix PCR1 PCR1 kit Nuclease-free water Taq DNA polymerase Master mix snPCR2 snPCR2 kit Nuclease-free water FastStart Taq DNA polymerase
Volume 3 μl 1 μl 0,5 μl 0,5 μl 30 μl 9,5 μl 0,5 μl 39 μl 9,5 μl 0,5 μl
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
104
4. Elektroforesis gel agarosa Elektroforesis gel agarosa dilakukan berdasarkan Sambrook & Russell, agarosa cair 1% sebanyak 50 ml ditambahkan 5 μl EtBr dalam gelas piala, lalu campuran tersebut segera dituang ke dalam cetakan gel.. Comb sebagai cetakan sumur dimasukkan ke dalam cetakan gel, kemudian gel agarosa didiamkan selama 25-30 menit hingga mengeras. Setelah gel mengeras, comb kemudian dicabut perlahan dari gel. Gel kemudian dimasukkan ke dalam chamber perangkat elektroforesis yang berisi buffer TBE 1×. Sebanyak 8 μl sampel dari masing-masing hasil PCR1 dan snPCR2 dicampur dengan 2 μl 6× loading buffer di atas kertas polyethylene butadiene rubber parafilm. Sampel yang telah dicampur 6× loading buffer kemudian dimasukkan ke dalam masingmasing sumur pada gel agarosa. Marker (AllPurpose Hi-Lo™ DNA marker) sebanyak 2 μl juga dimasukkan ke dalam sumur yang berbeda. Perangkat elektroforesis kemudian dinyalakan dan dijalankan pada tegangan 100 V selama 25 menit. Gel hasil elektroforesis kemudian divisualisasikan dengan sinar UV dan didokumentasikan melalui perangkat dokumentasi gel elektroforesis. Keberadaan pita tunggal pada posisi 350-400 pb ditentukan sebagai hasil sampel positif enterovirus untuk kemudian dipurifikasi. 5. Purifikasi produk CODEHPOP VP1RTsnPCR Purifikasi produk CODEHOP VP1-RTsnPCR menggunakan kit komersial Wizard® SV Gel & PCR Clean-Up System sesuai dengan instruksi manual pada kit. Seluruh tahapan purifikasi dilakukan pada suhu ruang. Seluruh tabung yang digunakan dalam proses purifikasi hanya digunakan sekali serta berada dalam kondisi steril. Tabung koleksi (2 buah/sampel), Wizard® SV minicolumn (1 buah/sampel), dan tabung mikro 1,5 ml (1 buah/sampel) disiapkan pada rak tabung. Membrane binding solution (50 μl/sampel) ditambahkan ke dalam masingmasing sampel, yaitu seluruh produk snPCR2 yang tersisa setelah tahapan elektroforesis gel. Campuran lalu ditransfer ke dalam minicolumn yang telah dimasukkan ke dalam tabung koleksi dan diinkubasi selama 1 menit. Minicolumn beserta tabung koleksi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 × g selama 1 menit. Minicolumn ditambahkan membrane wash solution (700 μl/sampel) dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 10.000
× g selama 1 menit. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan minicolumn dimasukkan ke dalam tabung koleksi baru. Minicolumn ditambahkan kembali membrane wash solution (500 μl/sampel) dan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 × g selama 5 menit. Filtrat beserta tabung koleksi dibuang, sedangkan minicolumn dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 ml baru. Minicolumn ditambahkan nuclease-free water (50 μl/sampel), lalu diinkubasi selama 1 menit, dan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 × g selama 1 menit. Minicolumn lalu dibuang, sedangkan hasil purifikasi pada tabung mikro 1,5 ml disimpan pada suhu 4°C. 6. Sequencing parsial gen pengkode kapsid VP1 virus entero Proses sequencing mencakup tahapan cycle sequencing, purifikasi produk cycle sequencing, dan pembacaan sekuen melalui elektroforesis kapiler. Sebanyak 2 × 4 μl sampel hasil purifikasi produk snPCR2 dimasukkan ke dalam 2 tube ukuran 0,2 ml dan dicampur dengan master mix sequencing. Reaksi cycle sequencing terdiri atas pradenaturasi pada 96°C selama 1 menit dan diikuti 25 siklus berikutnya yang terdiri atas denaturasi pada 96°C selama 10 detik, pelekatan pada 50° C selama 5 detik, serta ekstensi pada 60°C selama 4 menit dengan menggunakan mesin thermal cycler. Purifikasi produk cycle sequencing dilakukan dengan menggunakan gel filtrasi Sephadex™ G-50 Fine. Sebanyak 2,5 g Sephadex™ G-50 Fine dilarutkan ke dalam 45 ml air terdetilasi dalam tabung propilen konikal ukuran 50 ml. Kolom filter (2 buah/sampel) disiapkan dan dimasukkan ke dalam tabung koleksi ukuran 2 ml. Suspensi Sephadex™ G-50 Fine sebanyak 900 μl kemudian dimasukkan ke dalam kolom filter beserta tabung koleksi untuk kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3.000 × g selama 1 detik. Filtrat pada tabung koleksi dibuang, kemudian kolom filter beserta tabung koleksi disentrifugasi kembali pada kecepatan 3.000 × g selama 2 menit. Kolom filter kemudian dipindahkan ke tabung mikro 1,5 ml baru. Seluruh produk cycle sequencing (15 μl) yang sebelumnya ditambahkan 25 μl air terdestilasi dimasukkan tepat di atas Sephadex™ G-50 Fine yang berada di dalam kolom filter. Kolom filter beserta tabung mikro 1,5 ml kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3.000 × g selama 2 menit. Filtrat yang didapatkan (± 20 μl)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
105
kemudian dimasukkan ke dalam MicroAmp Optical 96-well reaction plate dan dimuat ke dalam mesin sequencing (ABI Prism® 3100 Genetic Analyzer [Applied biosystems]) untuk dilakukan pembacaan urutan nukleotidanya melalui elektroforesis kapiler dengan kondisi fast run. 7. Analisa sekuen Hasil sequencing berupa elektroferogram diedit secara manual untuk mengganti basa N dengan basa A, G, T, atau C dengan menggunakan program Chromas Lite. Hasil sequencing dengan primer AN88 dan AN89 dari masingmasing sampel kemudian disatukan dengan memerhatikan bagian yang saling tumpang tindih melalui aplikasi CAP (Contig Assembly
Program) pada program BioEdit. Sekuen konsensus kemudian diubah ke dalam format FASTA (.txt) dengan menggunakan program Notepad [Microsoft® Notepad]. Sekuen nukleotida gen VP1 enterovirus yang diperoleh (query) kemudian ditelusuri identitasnya dalam pangkalan data GenBank melalui program BLAST pada situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST. Serotipe sekuen hasil BLAST dengan skor tertinggi ditentukan sebagai serotype sekuen query, dengan ketentuan bahwa sekuen tersebut memiliki skor BLAST di atas 165, e-value di bawah 10-40, dan persentase identitas di atas 75%.
Tabel 4. Komposisi master mix yang digunakan dalam cycle sequencing Master mix Komposisi Master mix 1 BigDye Terminator v1.1 5× BigDye Terminator v1.1/v3.1 sequencing buffer Nuclease-free water Primer AN89 (forward) Master mix 2 BigDye Terminator v1.1 5× BigDye Terminator v1.1/v3.1 sequencing buffer Nuclease-free water Primer AN88 (reverse)
Volume 2 μl 1 μl 7 μl 1 μl 2 μl 1 μl 7 μl 1 μl
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dengan menganalisis 191 sampel feses yang diperoleh dari anak-anak balita partisipan di beberapa daerah seperti Bogor, Jakarta dan Sukabumi. Dari hasil penelitian 191 sampel tersebut, 89 sampel diantaranya menunjukkan hasil positif. Ini dapat dibuktikan dengan metode CODEHOP VP1 RTsnPCR yang menghasilkan produk amplifikasi
sebesar 350-400 pb pada salah satu contoh elektroforesis gel agarosa (Gambar 1). Identifikasi sekuen konsensus dari 89 sampel positif melalui penelusuran BLAST memperlihatkan bahwa terdapat 23 serotipe berbeda yang tercakup dalam tiga spesies enterovirus dalam penelitian (Tabel 5).
Gambar 1. Representasi hasil elektroforesis gel agarosa dari produk CODEHOP VP1 RT-snPCR
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
106
Penggunaan vaksin poliovirus oral (oral poliovirus vaccine=OPV) di berbagai negara berkembang pada program imunisasi adalah vaksin yang mengandung poliovirus hidup yang dilemahkan. Poliovirus hidup dalam OPV dapat mengalami perubahan genetik melalui mutasi dan rekombinasi selama bereplikasi dalam saluran pencernaan manusia. Mutasi dan rekombinasi yang terjadi tersebut dapat menghasilkan poliovirus turunan 2 vaksin (vaccine-derived poliovirus= VDPV) yang pada kondisi tertentu dapat menimbulkan wabah poliomielitis. Wabah poliomielitis akibat VDPV telah dilaporkan terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia yaitu di Madura yang mencapai 45 kasus. Isolat VDPV yang terkait dengan wabah tersebut umumnya merupakan virus rekombinan antara poliovirus galur OPV dan enterovirus nonpolio lainnya dari spesies HEV-C, termasuk Coxsackievirus A24 (CVA24) yang ditemukan dalam penelitian ini. Penggunaan Oral poliovirus vaccine (OPV) untuk mengganti OPV dalam program imunisasi
dalam rangka eradikasi poliomelitis perlu dipertimbangkan setelah Indonesia terbebas dari poliovirus liar untuk mencegah wabah poliomielitis akibat VDPV. Upaya eradikasi poliomielitis di Indonesia dilakukan dengan menggunakan OPV sebagai vaksin utama dalam berbagai program imunisasi. Melalui strategi imunisasi dengan OPV tersebut, poliovirus liar endemik di Indonesia belum pernah dilaporkan lagi sejak tahun 1996. OPV menjadi pilihan bagi Indonesia karena cakupan yang luas, berkaitan dengan kemudahan penggunaannya serta biaya produksi yang jauh lebih murah dibandingkan dengan Inactivated polio vaccine (IPV). Namun, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk tetap menggunakan OPV karena OPV dapat menjadi sumber utama kemunculan berbagai turunan poliovirus setelah poliovirus liar dieradikasi di Indonesia. Wabah poliomielitis akibat VDPV di Pulau Madura, serta prevalensi HEV-C yang relatif tinggi dalam penelitian dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk menggunakan IPV di Indonesia.
Tabel 5. Hasil analisa BLAST No 1
Daerah pengambilan sampel Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
2
Kampung Cirendeu, Desa Karang Tengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
3
Kecamatan Tanah Sereal Kabupaten Bogor, Jawa Barat
4
Kecamatan Cipedak, Jakarta Selatan, Jakarta
Serotipe Human Coxsackievirus A1 Human Coxsackievirus A2 Human Coxsackievirus A5 Human Coxsackievirus A10 Human Coxsackievirus A20 Human Coxsackievirus A24 Human Coxsackievirus B3 Human Coxsackievirus B4 Human Echovirus 1 Human Echovirus 9 Human Echovirus 14 Human Echovirus 21 Human Echovirus 25 Human Poliovirus 1 Human Poliovirus 2 Human Enterovirus 88 Human Poliovirus 1 Human Poliovirus 3 Human Coxsackievirus B3 Human Coxsackievirus A18 Human Coxsackievirus A20 Human Coxsackievirus A2 Human Rhinovirus Human Echovirus 9 Human Coxsackievirus A4 Human Coxsackievirus A9 Human Coxsackievirus A2 Human Echovirus 30 Human Echovirus 26 Human Coxsackievirus A4 Human Echovirus 21 Rhinovirus
Jumlah 1 8 1 1 1 12 3 5 1 1 4 11 13 1 2 2 1 1 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 1 3 1 1
KESIMPULAN Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
107
Prevalensi enterovirus pada anak-anak balita di Bogor, Jakarta dan Sukabumi dari sampel partisipan adalah sebesar 46,60% dari 191 sampel, dengan prevalensi masing-masing spesies adalah sebesar 22,47% (HEV-A), 51,68% (HEV-B), dan 23,59% (HEV-C) dari 89 sampel positif. Serotipe yang terdeteksi dan teridentifikasi beserta prevalensinya masing-masing adalah coxsackievirus A 1 (CVA1) (2,24%) CVA2
(13,48%), CVA4 (6,74%) CVA5 (1,12%), CVA9 (1,12%) CVA10 (1,12%) dari HEV-A; Echovirus 1 (E1) (1,12%), E9 (2,24%), E14 (4,49%), E21 (13,48%), E25 (14,60%), E30 (1,12%), E26 (1,12%), E88 (1,12%), coxsackievirus B 3 (CVB3) (4,49%), CVB4 (5,61%), CVB9 (1,12%) dari HEV-B; dan poliovirus serotype 1 (PV2) (2,24%), PV2 (2,24%), PV3 (1,12%), CVA1 (1,12%), CVA20 (2,24%), dan CVA24 (13,48%), CVA18 (1,12%) dari HEV-C.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian adalah Joint Project antara the Japanese Society for the Promotion of Sciences (JSPS)-Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Penelitian ini juga didanai oleh DIPA tahun
anggaran 2008 sebagai dana pendamping Joint Project dan the Japan Health Sciences Foundation (JHSF).
DAFTAR PUSTAKA Brown, B,, Oberste M.S, Maher K, Pallansch M.A. 2003. Complete genomic sequencing shows that polioviruses and members of human enterovirus species C are closely related in the noncapsid coding region. Journal of Virology 77:8973-8984. Kew, O.M., Morris-Glasgow V, Landaverde M, Burns C, Shaw J, Garib Z, Andre J, Blackman E, Freeman CJ, Jorba J, Sutter R, Tambini G, Venczel L, Pedreira C, Laender F, Shimizu H, Yoneyama T, Miyamura T, van der Avoort H, Oberste MS, Kilpatrick D, Cochi S, Pallansch M, de Quadros C. 2002. Outbreak of poliomyelitis in hispaniola associated with circulating type 1 vaccine-derived poliovirus. Science 296:356-359. Shimizu, H., Thorley B, Paladin FJ, Brussen KA, Stambos V, Yuen L, Utama A, Tano Y, Arita M, Yoshida H, Yoneyama T, Benegas A, Roesel S, Pallansch M, Kew OM, Miyamura T. 2004. Circulation of type 1 vaccine-derived poliovirus in the Philippines in 2001. Journal of Virology 78:13512-13521. Rousset, D., Rakoto-Andrianarivelo M, Razafindratsimandresy R, Randriamanalina B, Guillot S, Balanant J, Mauclère P, Delpeyroux F. 2003. Recombinant vaccine–derived poliovirus in Madagascar. Journal of Infectious Disease 9:885-887.
Utama, A. & Shimizu H. 2007. In vitro recombination of poliovirus with coxsackie A virus serotype 18 (CAV-18) at downstream nonstructural protein-coding regions. Microbiology Indonesia 1: 129-134. Utama, A. & Shimizu H. 2007. Generation and characterization of temperature resistant mutant of recombinant PJ156/CAV-17 virus. Microbiology Indonesia 1: 86-90. Utama, A. & Shimizu H. 2006. Construction of a recombinant virus between poliovirus and coxsackie A virus 11. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 11: 77-81. Utama, A. & Shimizu H. 2005. Construction of a recombinant virus between poliovirus and coxsackie A virus 11. Annales Bogoriensis 10: 19-26. Utama, A., Shimizu H, Miyamura T. 2003. Construction and characterization of recombinant viruses between polio and coxsackie A viruses. Journal of Clinical Virology 28 (supp): S1-4. Yang, C.F., Naguib T, Yang SJ, Nasr E, Jorba J, Ahmed N, Campagnoli R, van der Avoort H, Shimizu H, Yoneyama T, Miyamura T, Pallansch M, Kew OM. 2003. Circulation of endemic type 2 vaccine-derived poliovirus in Egypt from 1983 to 1993. Journal of Virology 77:8366-8377.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
108
Pengembangan Metode Assay Enzimatik untuk Penapisan terhadap Enzim Xylanase Wien Kusharyoto, Dian Andriani, dan Yudiadi Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Salah satu tahap terpenting dalam proses penapisan terhadap enzim maupun mikroorganisme yang memiliki aktivitas enzimatik tertentu adalah tahap assay enzimatik. Sebuah assay enzimatik telah dikembangkan untuk analisis gula pereduksi yang menggunakan asam 2,2’-bicinchoninat (BCA) sebagai reagen. Assay ini menunjukkan cakupan linear untuk konsentrasi gula xylosa minimal 0–20 µg/ml, dan dapat digunakan pula untuk menentukan konsentrasi protein atau enzim dalam sampel. Dengan demikian assay tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi aktifitas maupun konsentrasi enzim xylanase. Assay tersebut juga dapat dikondisikan untuk pengukuran pada berbagai temperatur maupun kondisi pH yang berbeda. Setelah reaksi enzimatik, assay tersebut hanya membutuhkan satu jenis reagen dan satu tahap pemanasan. Kata Kunci: asam 2,2’-bicinchoninat, assay enzimatik, gula pereduksi, xylanase, xylosa
PENDAHULUAN Enzim xylanase mengkatalisis reaksi hidrolisis dari xylan yang memiliki ikatan 1,4-βD-glikosidik. Enzim tersebut antara lain dimanfaatkan dalam proses industri untuk produksi pangan serta pakan, maupun dalam peningkatan proses bleaching dari kraft pulp. Kebutuhan yang semakin meningkat terhadap enzim tersebut dalam proses industri telah merangsang penelitian dalam penapisan enzim yang di dalamnya mencakup identifikasi dan karakterisasi enzim xylanase dari berbagai sumber. Salah satu tahap terpenting dalam proses penapisan terhadap enzim maupun mikroorganisme yang memiliki aktivitas enzimatik tertentu adalah tahap assay enzimatik (Wahler dan Reymond, 2001; Goddard dan Reymond 2004). Untuk memperoleh data tentang mikroorganisme yang memiliki aktivitas enzim xylanase diperlukan plate assay (assay dengan medium agar pada cawan petri) yang cepat, akurat serta mudah untuk dilaksanakan (Castro et al., 1995; Ten et al., 2005) . Salah satu cara yang dapat digunakan adalah berdasarkan metode yang menggunakan substrat berzat warna (dyed substrate) yang tidak terlarut. Penggunaan substrat berzat warna yang tidak terlarut telah
dikembangkan sebelumnya untuk assay terhadap β-glucanase dengan menggunakan β-glucan sebagai substrat (Lee, 1998). Dalam kegiatan ini akan dikembangkan metode plate assay terhadap xylanase yang menggunakan xylan yang diikatsilangkan (cross-linked) dengan Remazol Brilliant Blue oleh 1,4-butanedioldiglycidylether. Berbagai jenis assay untuk xylanase yang menggunakan microplate telah dikembangkan pula. Sebagian besar dari assay tersebut berdasarkan pada penentuan kandungan gula pereduksi yang terbentuk dalam hidrolisis xylan dan sering membutuhkan penambahan berbagai reagen, pemisahan dari substrat yang tidak terlarut, serta pemanasan yang ekstensif (Bailey et al., 1992; Jeffries et al., 1998). Metoda assay tersebut tidak kompatibel, sulit, serta berbiaya tinggi untuk diterapkan dalam high-throughput screening. Reagen asam 2,2’-bicinchoninat (2,2’bicinchoninic acid atau BCA) telah digunakan dalam mendeteksi serta mengukur kandungan gula pereduksi di dalam larutan (Kenealy dan Jeffries, 2003). Dalam kegiatan ini akan dikembangkan pula metode assay beserta validasinya agar dapat dimanfaatkan dalam highthroughput screening untuk xylanase.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
109
BAHAN DAN CARA KERJA Assay dengan larutan standar xylose Dua larutan utama untuk assay BCA disiapkan. Larutan A mengandung 97,1 mg asam 2,2’-bicinchoninat yang dilarutkan dalam 45 ml akuades yang mengandung 3,2 g natrium karbonat monohidrat (Na2CO3 · H2O) dan 1,2 g natrium bikarbonat (NaHCO3). Volume akhir larutan diatur hingga mencapai 50 ml. Larutan B mengandung 62 mg tembaga sulfat pentahidrat (CuSO4 · 5 H2O) dan 63 mg L-serin. Volume akhir Larutan B adalah 50 ml. Reagen kerja disiapkan sebelum eksperimen dilakukan dengan cara mencampur Larutan A dan B masingmasing dengan volume yang sama. Prosedur assay meliputi penambahan 100 µl dari gula pereduksi (xylose) ke dalam 300 µl reagen kerja di dalam tabung mikro. Tabung berisi larutan tersebut dipanaskan pada suhu 80ºC selama 30 menit di dalam bak pemanas. Setelah itu tabung mikro didinginkan sampai suhu ruang dan kemudian kerapatan optik (absorbansi) diukur pada panjang gelombang 562 nm dengan spektrofotometer. Larutan standar yang digunakan mengandung 0–20 µg/ml xylose. Reaksi enzimatik dengan xylanase Xylan dilarutkan dalam akuades dengan konsentrasi 4% (w/v) atau 1 g/25 ml dan disimpan pada suhu 0 – 4ºC selama 72 jam. Suspensi tersebut disentrifugasi pada 4000 x g selama 30 menit. Supernatan yang mengandung xylan terlarut disimpan dalam kondisi beku bila tidak digunakan. Larutan xylan disiapkan dengan cara mencampur 1 ml xylan terlarut dengan 3,75 ml akuades dan 0,25 ml dari 1 M larutan penyangga Tris/HCl pH 8. Enzim xylanase sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam tabung mikro. Larutan xylan sebanyak 100 µl ditambahkan ke dalam tabung mikro tersebut, dan kemudian dipanaskan pada suhu 50 ºC selama 45 menit di dalam bak air pemanas (water bath). Setelah itu tabung ditempatkan dalam es selama 5 menit. Ke dalam tabung tersebut kemudian ditambahkan 300 µl reagen kerja BCA, dan setelah itu dipanaskan kembali di dalam bak air pemanas pada suhu 80ºC selama 30 menit. Setelah pendinginan tabung sampai suhu ruang, absorbansi pada panjang gelombang 562 nm diukur dengan spektrofotometer. Sebagai kontrol digunakan larutan penyangga (tanpa
xylan), namun dengan penambahan enzym untuk memperhitungkan kontribusi protein terhadap pembentukan warna. Sebagai blank digunakan air sebagai pengganti larutan enzim. Xylose sebanyak 5µg/ml atau 5 µg/ml BSA, maupun kombinasi dari keduanya dapat ditambahkan ke dalam medium reaksi untuk memperhitungkan keberadaan reaktan-reaktan lain (gula atau protein) dalam reaksi enzimatik oleh xylanase. Untuk menggambarkan kinetik untuk reaksi hidrolisis dari xylan oleh enzim xylanase dilakukan eksperimen sebagai berikut. Larutan xylan disiapkan dengan cara mencampur 2 ml xylan terlarut dengan 7,5 ml akuades dan 0,50 ml dari 1 M larutan penyangga Tris/HCl pH 8. Larutan enzim xylanase dari dengan konsentrasi 0,025 IU/ml disiapkan dalam larutan penyangga 50 mM Tris/HCl pH 8. Sebanyak 2,5 ml dari larutan xylan terlarut diinkubasi pada suhu 50ºC. Reaksi enzimatik dimulai dengan penambahan 0,6 ml larutan enzim xylanase. Sebanyak 100 µl aliquot larutan dari hydrolisis xylan tersebut diambil pada berbagai rentang waktu tertentu (5, 10, 15, 20 dan 30 menit) dan ditambahkan ke dalam 0,5 ml reagen kerja BCA plus 0,4 ml larutan penyangga 50 mM Tris/HCl pH 8. Larutan tersebut dipanaskan pada suhu 80ºC selama 30 menit di dalam bak pemanas. Setelah itu larutan tersebut didinginkan sampai suhu ruang, dan kerapatan optik diukur pada panjang gelombang 562 nm dengan spektrofotometer. Sintesis dari Xylan-Remazol Brilliant Blue kompleks Untuk memperoleh Xylan-Remazol Brilliant Blue kompleks (Xylan RBB), suspensi xylan (2 g dalam 30 ml H2O) direaksikan dengan 10 ml 2M NaOH, 1,5 g Remazol Brilliant Blue dan 1,5 ml 1,4-butanedioldiglycidylether dengan pengadukan selama 5 menit. Campuran tersebut didiamkan pada suhu ruang selama 48 jam sampai campuran tersebut berbentuk gel. Gel yang diperoleh dihaluskan dengan menggunakan blender, dan partikel yang diperoleh dicuci dengan air dan diikuti dengan pencucian dengan campuran ethanol/aceton. Sintesis xylan RBB kompleks saat ini sedang berlangsung, karena bahan-bahan kimia yang dibutuhkan baru saja diperoleh.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
110
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode assay terhadap enzim penghidrolisis karbohidrat dapat dikembangkan berdasarkan pemanfaatan asam 2,2’-bicinchoninat (BCA) sebagai senyawa pembentuk zat berwarna. Sebelumnya, BCA terutama digunakan dalam penentuan kandungan protein. Namun demikian, BCA dapat pula bereaksi dengan gula pereduksi yang dihasilkan pada reaksi hidrolisis dari polisakarida sehingga menghasilkan zat berwarna yang dapat diukur kerapatan optiknya (OD) dengan spektrofotometer. Dalam kegiatan ini, pengujian terhadap aktivitas xylanase dikembangkan berdasarkan reaksi dari BCA dengan gula pereduksi yang dihasilkan melalui hidrolisis xylan oleh xylanase. Metode assay ini dapat digunakan dalam penapisan terhadap enzim xylanase maupun dalam penentuan lebih lanjut dari karakteristika enzimatik dari enzim xylanase yang diuji. Untuk menggambarkan reaktifitas dari gugus pereduksi dapat digunakan xylose sebagai gula pereduksi. Gambar 1 menunjukkan kurva standard untuk xylose dengan menggunakan metoda assay BCA. Kurva tersebut menunjukkan cakupan linear untuk kandungan xylose sebesar 0 – 20 µg/ml atau setara dengan 0 – 2 µg xylose pada volume sampel yang digunakan (100 µl).
Gambar 1. Kurva standard untuk xylose yang ditentukan dengan menggunakan metode assay BCA
Xylan yang digunakan sebagai substrat dalam reaksi enzimatik dengan xylanase juga memiliki gugus pereduksi. Dengan demikian assay untuk xylanase tergantung pada pembentukan warna yang disebabkan oleh seluruh zat yang bereaksi, termasuk xylan. Tabel 1 menunjukkan hasil yang diperoleh dari reaksi antara xylan dengan BCA dan efek aditif dari senyawa-senyawa lain yang terlibat. Xylan terlarut (~ 100 µg) memberikan absorbansi rata-rata sebesar 0,32 pada pH 8.
Penambahan BSA sebanyak 5 µg/ml (untuk menggambarkan kontribusi protein di dalam assay) ke dalam larutan xylan dapat meningkatkan absorbansi sekitar 0,47, Penambahan xylose sebanyak 5 µg/ml ke dalam larutan xylan menyebabkan peningkatan absorbansi sebesar kira-kira 0,41 atau setara dengan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 1. Tabel 1. Kontribusi dari xylan dan penambahan BSA atau xylose pada reaksi dengan BCA Absorbansi pada 562 nm Tanpa + + + BSA penambahan BSA Xylose dan Xylose Xylan, 0,324 ± 0,791 0,739 1,127 ± pH 8 0,035 ± ± 0,069 0,042 0,056
Analisis kinetik dari produksi gula pereduksi (terutama xylose) melalui proses hydrolisis xylan oleh enzim xylanase diilustrasikan pada Gambar 2 yang menunjukkan cakupan linear dalam rentang waktu 30 menit.
Gambar 2. Analisis kinetik dari hydrolisis xylan oleh enzim xylanase yang ditentukan dengan menggunakan metode assay BCA
Dalam kegiatan ini juga sedang dikembangkan metode penapisan terhadap mikroorganisme dengan aktifitas enzim xylanase berdasarkan metode agar plate assay. Metode tersebut menggunakan substrat berzat warna Xylan-Remazol Brilliant Blue (Xylan RBB) kompleks. Skema reaksi pada Gambar mengilustrasikan reaksi pembentukan Xylan RBB kompleks dengan menggunakan 1,4butanediol-diglycidylether sebagai spacer.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
111
Gambar 3. Skema reaksi pembentukan XylanRemazol Brilliant Blue (XylanRBB) kompleks
Beberapa karakteristika dari Xylan RBB kompleks yang akan diamati antara lain: 1. Kandungan zat pewarna Remazol Brilliant Blue dalam kompleks tersebut 2. Stabilitas dari Xylan RBB kompleks 3. Pelepasan zat pewarna Remazol Brilliant Blue dalam reaksi enzimatik dengan xylanase
4. Pemanfaatan Xylan RBB kompleks dalam agar plate assay Dalam pelaksanaannya Xylan RBB kompleks tersebut akan disuspensikan bersama dengan medium agar yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan digunakan dalam penapisan pada cawan petri. Metode agar plate assay berbasis Xylan RBB kompleks tersebut diharapkan dapat digunakan terutama dalam penapisan terhadap mikroorganisme pendegradasi xylan yang dapat dikultur. Namun demikian, lebih dari 99% mikroorganisme yang ada di alam belum atau tidak dapat dikultur (Kellenberger, 2001; Daniel 2004). Pemanfaatan potensi mikroorganisme tersebut dapat dilakukan dengan ekstraksi langsung DNA serta kloning dari DNA tersebut ke dalam vektor-vektor ekspresi yang ditransformasikan ke dalam mikroba inang yang dipilih (Lorenz dan Schlepper, 2002; Daniel 2004). Dengan demikian aktivitas enzimatik dari enzim-enzim yang disandi oleh gen-gen yang terdapat dalam vektor ekspresi tersebut dapat ditapis berdasarkan assay berbasis aktivitas enzimatik. Dalam hal ini, metode agar plate assay berbasis Xylan RBB kompleks dapat digunakan untuk penapisan terhadap enzim xylanase.
KESIMPULAN Assay enzimatik yang dikembangkan untuk analisis gula pereduksi dengan menggunakan asam 2,2’-bicinchoninat (BCA) sebagai reagen menunjukkan cakupan linear untuk konsentrasi gula xylosa minimal 0–20 µg/ml. Di samping gula pereduksi assay tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi protein. Dengan demikian, assay tersebut dapat
digunakan untuk mendeteksi aktifitas maupun konsentrasi enzim xylanase. Setelah reaksi enzimatik, assay tersebut hanya membutuhkan satu jenis reagen dan satu tahap pemanasan. Metode agar plate assay berbasis Xylan RBB kompleks masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Kami ucapkan
terima kasih kepada Afriastini atas bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Bailey M.J., P. Biely P., K. Poutanen. 1992. Interlaboratory testing of methods for assay of xylanase activity. J. Biotechnol. 23: 257–270. Beg Q.K., M. Kapoor, L. Mahajan, G.S. Hoondal. 2001. Microbial xylanases and their industrial applications: a review. Appl. Microbiol. Biotechnol. 56: 326–338.
Castro, G.R., M.D. Baigori, F. Sineriz. 1995. A plate technique for screening of inulin degrading microorganisms. J. Microbiol. Methods 22: 51–56. Daniel, R. 2004. The soil metagenome − a rich resource for the discovery of novel natural products. Curr. Opin. Biotechnol. 15: 199−204
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
112
Goddard, J.-P & J.-L. Reymond. 2004. Enzyme assays for high-throughput screening. Curr. Opin. Biotechnol. 15: 314−322. Jeffries T.W., V.W. Yang, M.W. Davis. 1998. Comparative study of xylanase kinetics using dinitrosalicylic, arsenomolybdate, and ion chromatographic assays. Appl. Biochem. Biotechnol. 70: 257–265. Kellenberger, E. 2001. Exploring the unknown: the silent revolution of microbiology. EMBO Rep. 5: 5−7. Kenealy, W.R. & T.W. Jeffries. 2003. Rapid 2,2’-bicinchoninic-based xylanase assay compatible with high throughput screening.. Biotechnol. Lett. 25: 1619–1623. Kulkarni N., A. Shendye, M. Rao. 1999. Molecular and biotechnologicalaspects of
xylanases. FEMS Microbiol. Rev. 23: 411– 456. Lee, S.T. 1998. A new coloured substrate for the determination of β-glucan degrading enzyme from malt and Bacillus substilis K-4-3. J. Appl. Microbiol. Bioeng. 16: 79–84. Lorenz, P. & C. Schleper. 2002. Metagenome: a challenging source of enzyme discovery. J. Mol. Catal. B: Enzym. 19−20: 13−19. Ten, L.N., W.-T. Im, M.-K. Kim, S.-T. Lee. 2005. A plate assay for simultaneous screening of polysaccharide and protein-degrading microorganisms. Lett. Appl. Microbiol. 40: 92–98. Wahler, D & J.-L. Reymond. 2001. Novel methods for biocatalyst screening. Curr. Opin. Chem. Biol. 5: 152−158 .
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
113
Pemanfaatan Onggok sebagai Substrat bagi Konsorsium Mikroba Selulolitik untuk Produksi Enzim Selulase Kusmiati, Ni Wayan S.Agustini, I. N. K. Kabinawa, Djumhawan R.P, dan M. Afriastini Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Onggok merupakan limbah padat dari proses pengolahan tepung tapioka. Kandungan pati pada onggok masih tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbon yang baik dalam proses fermentasi. Kapang Aspergillus sering digunakan untuk memproduksi enzim yang menggunakan bahan baku singkong atau limbahnya. Peningkatan produksi enzim dapat dilakukan melalui optimasi kondisi fermentasi atau melalui peningkatan kemampuan galur mikroba untuk menghasilkan produk. Pada penelitian ini menggunakan media cair mengandung onggok 5% untuk produksi enzim selulase. Kapang yang digunakan yaitu Aspergillus niger dan Aspergillus awamori baik tipe liar maupun mutan. Mutasi terhadap galur liar dilakukan secara fisik dan kimia. Pemanenan dilakukan pada waktu fermentasi yang berbeda yaitu 3, 6 dan 9 hari. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan 2 galur Aspergillus berbeda mempengaruhi aktifitas CMCase. Proses mutasi mampu meningkatkan kemampuan aktifitas spesifik enzim CMCase hingga dua kali lipat dibandingkan Aspergillus tipe liarnya. Waktu fermentasi berbeda mempengaruhi aktifitas enzim CMCase, dan waktu optimum tercapai pada 3 hari inkubasi. Kata Kunci: Onggok, Aspergillus niger, Aspergillus awamori, CMCase.
PENDAHULUAN Pada pembuatan tepung tapioka dari ubi kayu dihasilkan limbah padat dan limbah cair, limbah ini mempunyai beberapa kegunaan bila diolah kembali. Bagian limbah yang padat disebut Onggok dapat dijadikan sebagai substrat pada fermentasi yang berguna sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan kapang. Pada proses ini akan dihasilkan produk biomassa dengan nilai gizi yang tinggi. Onggok atau ampas singkong dapat digunakan sebagai bahan baku industri enzim dan asam organik seperti asam sitrat (Chitradon et al., 1997). Pada proses fermentasi onggok dapat melibatkan kapang seperti Aspergillus untuk memecah substrat. Aspergillus niger dikenal sebagai salah satu jenis mikroorganisme yang berkemampuan menghasilkan enzim seperti selulase, amilase, dan amiloglukosidase. Aspergillus niger mensintesa beberapa jenis enzim untuk menguraikan molekul yang komplek menjadi molekul yang sederhana seperti enzim α-amilase untuk menguraikan ikatan α-1,6 dan α-1,4 (Lynd, 2002; Kompiang dkk, 1994). Aspergillus awamori merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam varietas niger. A.awamori juga merupakan salah satu kapang penghasil enzim yang cukup baik. A.awamori
mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis substrat seperti maltosa dan pati dengan sempurna menjadi glukosa dan mampu menghidrolisis pati dari beras menjadi glukosa (Powell et al., 1994.). Dalam program peningkatan produktivitas dari hampir setiap proses industri yang melibatkan mikroba sampai saat ini menggunakan teknik mutasi. Mutasi merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas produk-produk fermentasi. Mutasi mengakibatkan perubahan dalam kromosom dan akan diwariskan ke generasigenerasi penerusnya. Pada penelitian ini dilakukan mutasi terhadap dua galur kapang yaitu A. niger dan A. awamori. Proses mutasi tersebut dilakukan secara kimia menggunakan acridine orange atau secara fisik dengan sinar UV. Penggunaan senyawa Acridine orange dalam mutagenesis mengakibatkan mutasi kerangka (Frameshift), mutasi ini menyebabkan terjadi inversi yaitu penyisipan sepasang atau lebih nukleotida ke dalam ulir ganda molekul DNA atau delesi yaitu penghilangan atau penghapusan sepasang nukleotida dari rantai molekul DNA. Mutasi akibat sinar UV dapat terjadi secara spontan dan terus menerus dengan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
114
laju yang lambat. Biasanya laju mutasi spontan tersebut adalah satu untuk setiap 106–107 duplikasi gen, atau tiap generasi dijumpai satu mutan baru di antara 106–107 sel mikroba (Kompiang dkk, 1994). Tujuan melalkukan proses mutasi terhadap kapang Aspergillus yaitu untuk meningkatkan aktifitas enzim CMCase dalam merombak substrat. Kapang menghasilkan multienzim untuk mendegradasi substrat selulosa alam terutama material tanaman yang memiliki polisakarida dengan variasi derajat kristalin, hemiselulosa, pectin dan lignin. Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatik melibatkan tiga tipe enzim yaitu selobiohidrolase, endoglukanase dan beta glukosidase. Kemampuan aktifitas enzim untuk memecah substrat sangat bervariasi (Demain et al., 2005).
Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa tertinggi. Enzim ini mampu menhidrolisis selulosa kristal. Selobiohidrolase murni dapat memecah selulosa mikrokristal sebanyak 80 persen. Endoglukanase tidak dapat menyerang selulosa kristal. Enzim ini bekerja pada selulosa yang sifatnya larut seperti CMC. Enzim selulase bekerja secara sinergi untuk menghidrolisis selulosa tingkat tinggi. Endoglukanase bekerja pada daerah amorf dalam serat-serat selulosa yang akan membuka ujung rantai baru dan dapat diserang oleh selobiohidrolase untuk menghilangkan unit selobiosa dari ujung-ujung rantai nonpereduksi. Selanjutnya enzim beta glukosidase akan memecah total dengan menghilangkan selobiosa, inhibitor produk ahir dari selobiohidrolase dan endoglukanase (Jenie, 1990).
BAHAN DAN CARA KERJA Pembuatan Media Cair Andreoti Mengandung Onggok 5% Media cair Andreoti mengandung onggok 5% digunakan untuk fermentasi dengan komposisi sebagai berikut dalam 50 ml terdiri dari: Onggok 2,5 gr, (NH4)2SO4 10% 0,7 ml; KH2PO4 1 M 0,75 ml; Urea 10% 0,15 ml; CaCl2 10% 0,15 ml; MgSO4.7H2O 10% 0,15 ml; Mineral solution 0,05 ml (komposisi mineral solution dalam 100 ml adalah H2O 49,5 ml; HCl 0,5 ml; FeSO4 0,25 g; MnCl2.4H2O 0,089 g; ZnSO4.H2O 0,176 g; Co(NO3)2.6H2O 0,125 g); Tween 80 0,1ml; CMC 1 g; Pepton 0,025 g; dan air sampai 50 ml. Media fermentasi dalam erlenmeyer disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 1 atm selama 15 menit. Mutagenesis Kapang Aspergillus Kapang A.awamori dan A. niger berumur 6 hari pada PDA miring, ditambahkan akuades steril, kemudian suspensi kultur diinokulasikan sebanyak 2% ke dalam media cair Andreoti mengandung CMC 2%. Kultur diinkubasi dalam shaker dengan kecepatan putaran 150 rpm pada suhu kamar selama 72 jam. Kultur kapang A.awamori dan A.niger dipisahkan dari media dengan cara disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 7000 rpm. Ke dalam endapan sel kapang A.awamori dan A.niger ditambahkan masing-masing 20 ml larutan Buffer Tm dan 1,2 ml Acrydin Orange. Suspensi sel masing–masing kapang di pipet ke dalam 4 buah cawan petri steril, kemudian disinari di bawah lampu UV dengan jarak 10 cm
dengan waktu 2 jam. Selanjutnya suspensi sel disentrifus sehingga sel terpisah dari cairan. Endapan sel diresuspensi dengan 20 ml media cair CMC 2%. Suspensi sel didiamkan di tempat gelap dan ditutupi dengan kertas karbon hitam. Suspensi sel hasil mutagenesis selanjutnya diinokulasikan ke dalam cawan petri yang berisi media agar mengandung CMC 2%. Perlakuan Percobaan Percobaan terdiri dari 5 kelompok yaitu media fermentasi mengandung onggok 5% yang diinokulasi dengan (1)A.awamori liar, (2) A.awamori mutan, (3)A. niger liar, (4)A. niger mutan, (5)Kontrol negatif yaitu media tanpa kapang. Inokulasi Kapang A.awamori dan A.niger tipe Liar dan Mutan Suspensi kapang segar liar dan mutan diinokulasikan sebanyak 2 ml ke media cair mengandung onggok 5%. Kultur diinkubasi hingga fase logaritma (eksponensial) pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang. Pemanenan Pemanenan dilakukan dalam 3 periode yaitu pada inkubasi hari ke 3, hari ke 6 dan hari 9. Panen dilakukan dengan cara sentrifus. Kultur kapang dalam media onggok dalam 15 erlenmeyer masing-masing disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 7000 rpm. Proses ini untuk memisahan antara biomassa sel dan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
115
supernatan. Supernatan yang terpisah merupakan crude enzim, selanjutnya untuk dianalisis protein, glukosa, aktifitas enzim dengan menggunakan spektrofotometer. Analisis Kimia Penentuan kadar glukosa Pengukuran kadar glukosa dilakukan menggunakan metode Mandels et al. (1976) tanpa menggunakan substrat CMC. Metode ini mempunyai prinsip yaitu dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5dinitrosalisilat (DNS) yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm menggunakan spektrofotometer. Larutan standar glukosa. Larutan standar glukosa dibuat dengan konsentrasi 0,02–0,6 mg/ml glukosa dalam bufer sitrat 0,05 M pH 4,8. Cara kerja. Sebanyak 1,0 ml larutan standar glukosa ditambah 3 ml pereaksi DNS, kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit dan didinginkan pada suhu kamar. Absorbansi larutan dibaca pada spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Cara yang sama dilakukan terhadap filtrat enzim kasar. Aktifitas Endoglukanase (CMCase) Penentuan aktifitas enzim CMCase dilakukan menurut Mandels et al. (1976). Sebanyak 0,5 ml filtrat enzim kasar dan 0,5 ml larutan CMC 1% diinkubasi pada suhu 50oC selama 30 menit. Selanjutnya ditambah 3 ml larutan DNS untuk menghentikan reaksi dan dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Pengukuran dilakukan juga terhadap filtrat enzim tanpa substrat dan substrat tanpa enzim sebagai nilai koreksi terhadap gula reduksi yang dihasilkan dari hidrolisis substrat oleh sampel enzim. Perhitungan aktifitas enzim CMCase berdasarkan : 1 μmol glukosa = 0,18 mg dan 1unit aktifitas CMCase adalah 1 μmol glukosa yang dihasilkan per menit. Apabila inkubasi
dilakukan selama 30 menit maka 1 mg glukosa yang dihasilkan per ml = 30
1 0,18
0,185
0,185
Kadar Protein (Bradford, 1976) Pereaksi yang digunakan dalam metode ini adalah pereaksi Bradford yang dipersiapkan dengan melarutkan 70 mg Coomassie Blue G250 dalam 50 ml etanol 96% dalam labu ukur 1liter. Campuran diaduk selama 1 jam Selanjutnya ditambahkan 100 ml asam fosfat 85% dan diencerkan dengan air hingga 1 liter. Larutan pereaksi dapat disimpan pada suhu ruang dalam kondisi gelap. Sebelum digunakan pereaksi disaring. Sebanyak 100 µl sampel dipipet ke dalam tabung kemudian ditambah 5 ml pereaksi Bradford. Campuran dibiarkan 10 menit pada suhu kamar, kemudian diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Larutan Blanko disiapkan berisi campuran 100 µl akuades dengan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan standar yang digunakan adalah Bovine serum albumin. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan cara menentukan persamaan garis dari hubungan antara konsentrasi larutan standar dan serapannya (absorbansi). Dengan rumus persamaan garis regresi yaitu : y = a + bx Keterangan : x = kadar protein (g/l) y = absorbansi b = harga intercept (perpotongan garis terhadap ordinat) a = harga slope (kemiringan garis) Rumus kadar protein (x) = (y-a)/b
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini memanfaatkan limbah padat dalam bentuk biomassa onggok untuk dikonversi menjadi senyawa bernilai ekonomi. Hal ini melibatkan 2 galur kapang dari genus Aspergillus, yaitu Aspergillus awamori dan Aspergillus niger. Dengan bantuan kapang tersebut, onggok dapat digunakan untuk memproduksi enzim selulase melalui proses pemecahan karbohidrat menjadi glukosa (Purwadaria et al., 1997).
Aspergillus sp merupakan jenis kapang yang sering digunakan dalam proses produksi enzim. Percobaan ini menggunakan lama fermentasi yang berbeda untuk mendapatkan waktu inkubasi optimum untuk aktifitas enzim yang tinggi. Dalam upaya peningkatan produk, dilakukan mutagenesis terhadap kapang Aspergillus yang digunakan, agar enzim selulase yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan tipe liarnya.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
116
dilakukan dengan bantuan sinar UV. Absorpsi sinar UV dapat meningkatkan energi basa purin atau pirimidin (keadaan tereksitasi), sehingga menyebabkan perubahan kovalen pada strukturnya (Enari, 1983). Kurva Pertumbuhan Kapang Aspergillus. Hasil pengamatan terhadap kurva pertumbuhan kapang diperlihatkan pada Gambar 1,2,3 dan 4, fase eksponensial pada media CMC 2 % dicapai pada 3 hari inkubasi. Pada media onggok 5% untuk mencapai fase eksponensial berbeda-beda yaitu kapang A. awamori tipe liar (9 hari inkubasi), A.awamori mutan (6 hari ), A. niger liar (6 hari) dan A. niger mutan (3 hari).
1
0,5
0,9
0,45 0,4
0,8 Log Jumlah Sel/ml
Log Jumlah Sel/ml
Tahap awal dari penelitian ini dimulai dengan melakukan proses mutasi terhadap kapang tipe liar menggunakan senyawa bersifat mutagen dikombinasi dengan sinar UV. Proses mutasi dilakukan dengan harapan akan terbentuk kapang mutan yang dapat meningkatkan kualitas produk fermentasi (Machfud dkk, 1989) Acridine orange merupakan mutagen frame shift, senyawa ini akan menyisip di antara dua basa yang bersebelahan di dalam ulir DNA, sehingga setelah transisi terbentuk protein yang salah, atau tidak terbentuk sama sekali.(15) Acridine orange biasanya digunakan dalam proses pewarnaan DNA atau dalam proses membedakan DNA. Proses mutasi juga
0,7 0,6 0,5 0,4
0,35 0,3 0,25 0,2 0,15
0,3 0,2
0,1
0,1
0,05 0
0 0
5
10
15
0
20
2
4
A.awamori tipe liar
6
8
10
12
14
16
18
Waktu (Hari)
Waktu (Hari)
A.niger kontrol
A.awamori mutan
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Aspergillus awamori Liar dan Mutan pada Media Cair Andreoti yang Mengandung CMC 2 %
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Aspergillus niger Liar dan Mutan pada Media Cair Andreoti yang Mengandung CMC 2 % 1,4
6
1,2 Log Jumlah Sel/ml
7
Log Jumlah Sel/ml
5 4 3 2
A.niger mutan
1 0,8 0,6 0,4 0,2
1
0
0 0
5
10
15
20
0
Kultur sel yang segar pada fase logaritma diinokulasikan ke dalam media fermentasi mengandung onggok 5% (Gambar 5). Pengukuran jumlah sel ini dimaksudkan untuk mengamati fase pertumbuhan sehingga dapat diketahui fase eksponensial galur
10
A.niger liar
A.awamori tipe liar
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Aspergillus awamori Liar dan Mutan pada Media Cair Andreoti yang Mengandung Onggok 5 %.
5
15
20
Waktu (Hari)
Waktu (Hari)
A.niger mutan
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Aspergillus niger Liar dan Mutan pada Media Cair Andreoti yang Mengandung Onggok 5 %
Aspergillus sp baik pada media CMC maupun pada media onggok. Pada fase eksponensial aktifitas metabolisme sangat tinggi termasuk aktifitas enzim, sehingga pada fase ini menjadi dasar untuk menentukan lamanya fermentasi. Hasil pengamatan Kapang A. awamori tipe liar
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
117
mencapai fase eksponensial pada hari ke-9, sedangkan untuk mutannya pada hari ke-6. Kapang A. niger tipe liar mencapai fase eksponensial pada hari ke 6, dan mutannya pada hari ke-3. Hal ini menunjukkan kapang mutan mengalami fase eksponensial yang lebih cepat, dibandingkan dengan galur liarnya. Keadaan ini sangat menguntungkan untuk suatu proses produksi karena berjalan lebih singkat dan lebih ekonomis dengan menggunakan galur mutan.
Tabel 1. Hasil analisis kadar glukosa filtrat kultur pada media mengandung onggok 5% dengan variasi waktu inkubasi Jenis kapang A.awamori liar A.awamori mutan A.niger liar
*)
Gambar 5. Kultur A. awamori dan A. niger tipe liar dan mutan dalam Media Cair Mengandung Onggok 5%. Keterangan : (A) Media onggok 5% kontrol negatif (tanpa kapang), (B) Media onggok 5% A.awamori liar, (C) Media onggok 5% A.awamori mutan (D) Media onggok 5% A. niger liar dan (E) Media onggok 5% A. niger mutan.
Kandungan Glukosa Hasil pengukuran konsentrasi dan serapan larutan standar glukosa dengan spektrofotometer pada λ 550 nm diperlihatkan pada Kurva kalibrasi Gambar 6 berikut: Standar Glukosa
Linear (Standar Glukosa)
Absorbansi (550 nm)
2 1,5 1
Kadar glukosa (g/l)*) Inkubasi 3 Inkubasi 6 hari hari
Inkubasi 9 hari
3,947
1,395
0,308
3,940
1,245
0,286
5,224
0,695
0,150
A.niger mutan
4,739
0,498
0,124
Kontrol (tanpa kapang)
3,955
1,068
1,445
Hasil rata-rata 3 ulangan
Perlakuan waktu inkubasi berbeda, menujukkan hasil kadar glukosa filtrat berbeda. Nilai rata-rata kandungan glukosa mengalami penurunan sejalan dengan lamanya waktu inkubasi. Kapang A.awamori liar memberikan hasil kandungan glukosa sebesar 3,947 g/l dan A.awamori mutan sebesar 3,940 g/l. Pada A.niger galur liar kandungan glukosa sebesar 5,224 g/l dan A.niger mutan sebesar 4,739 g/l. Berdasarkan hasil tersebut terlihat kandungan glukosa kapang galur liar lebih besar daripada mutan. Hasil ANOVA pengaruh perlakuan interaksi inokulasi kapang berbeda dan variasi waktu inkubasi terhadap kandungan glukosa tidak ada perbedaan yang bermakna. Sedangkan pengaruh waktu inkubasi terhadap kandungan glukosa menunjukkan perbedaan bermakna. Kandungan glukosa semakin menurun dengan bertambahnya waktu inkubasi. Perlakuan mutagenesis terhadap kapang menunjukkan penurunan terhadap kandungan glukosa dalam filtrat. Pengukuran Kadar Protein Hasil pengukuran deret standar BSA diperoleh kurva kalibrasi larutan standar protein seperti pada gambar 7 berikut
0,5 0 0
100
200 300 400 500 konsentrasi Glukosa (ppm)
600
Standar protein
0.4
Gambar 6 . Kurva kalibrasi larutan standar glukosa
y = - 0,007 8333 + 0.00122738 x R = 0.988 6
Absorbansi (595 nm)
0.35
Dari kurva kalibrasi larutan standar glukosa diperoleh persamaan garis regresi y = -0,1810 + 0,0039225x dan koefisien korelasi 0,9916. Hasil pengukuran kadar glukosa terhadap supernatan kultur sebagai berikut :
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
50
100
150
200
250
300
konsentrasi BSA (ppm)
Gambar 7 . Kurva Kalibrasi Larutan Standar BSA
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
118
Dari kurva kalibrasi larutan standar protein diperoleh persamaan garis regresi y = -0,01558 + 0,001255 x dan koefisien korelasi 0,9837. Kadar protein pada filtrat mengandung onggok dengan variasi waktu inkubasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 . Hasil analisis kadar protein filtrat kultur pada media onggok 5% dengan variasi waktu inkubasi Kadar protein (g/l)*) Inkubasi 3 Inkubasi 6 Inkubasi 9 hari hari hari 0,014 0,028 0,035
Jenis kapang
*)
A.awamori liar A.awamori mutan A.niger liar A.niger mutan Kontrol (tanpa kapang)
0,010
0,024
0,010
0,023 0,013
0,035 0,014
0,052 0,029
0,059
0,083
0,064
Hasil rata-rata 3 ulangan
Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar protein tertinggi pada media tanpa inokulasi (kontrol) dihasilkan pada waktu inkubasi 6 hari yaitu 0,083 g/l. Pengukuran Aktifitas Enzim CMCase Hasil pengukuran dengan spektofotometer menghasilkan kurva kalibrasi larutan standar glukosa (Gambar 8). Hasil perhitungan menghasilkan persamaan garis regresi y = 0,1459 + 0,0196 x dan koefisien korelasi 0,9905. Standar Aktif itas Enz im
Linear (Standar Aktifitas Enzim)
1.6
Absorbansi (550 nm)
1.4
y = - 0.0966 + 0.018 72 x R = 0.9959
1.2 1
Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa aktifitas enzim CMCase tertinggi pada filtrat mengandung onggok 5% dengan variasi waktu inkubasi dihasilkan oleh kapang A.niger mutan dengan waktu inkubasi 3 hari yaitu sebesar 179,27 U/ml . Aktifitas enzim CMCase mengalami penurunan sejalan dengan lama waktu inkubasi. Hal ini kemungkinan pada inkubasi 3 hari enzim selulase dihasilkan optimum. Pada kapang A.awamori liar aktifitas enzim mencapai 155,96 U/ml, sedangkan untuk mutannya mencapai 157,38 U/ml. Pada A.niger liar aktifitas enzim mencapai 158,7 U/ml dan mutannya mencapai 179,27 U/ml. Penggunaan kapang tipe mutan menunjukkan peningkatan terhadap aktifitas enzim. Hasil ANOVA menunjukkan perbedaan yang bermakna akibat pengaruh perlakuan inokulasi kapang dan variasi waktu inkubasi terhadap aktifitas enzim. Hasil Duncan antara perlakuan inokulasi kapang berbeda dengan perlakuan kontrol (tanpa kapang) menunjukkan perbedaan nyata terhadap aktifitas enzim. Perlakuan kapang galur liar dan mutan tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap aktifitas enzim. Perlakuan variasi waktu inkubasi 3,6, dan 9 hari menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap aktifitas enzim CMCase. Aktifitas enzim CMCase spesifik pada filtrat mengandung onggok 5% diperoleh dengan membagi aktifitas enzim CMCase dengan kadar protein yang dihasilkan. Perhitungannya sebagai berikut :
0.8
Aktifitas CMCase spesifik
0.6 0.4
Unit protein mg
0.2 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
konsentrasi Glukosa (ppm)
Gambar 8. Kurva kalibrasi standar enzim
Tabel 4 . Hasil uji aktifitas enzim spesifik CMCase pada filtrat kultur pada media mengandung onggok 5% dengan variasi waktu inkubasi Jenis kapang
Hasil pengukuran aktifitas enzim CMCase sampel dapat dilihat pad Tabel 3 Tabel 3. Hasil uji aktifitas enzim CMCase filtrat kultur pada media mengandung onggok 5% dengan variasi waktu inkubasi Jenis kapang
*)
A.awamori liar A.awamori mutan A.niger liar A.niger mutan Kontrol (tanpa kapang)
Aktifitas enzim CMCase(U/ml)*) Inkubas Inkubasi 6 Inkubasi i 3 hari hari 9 hari 155,96 56,97 12,69 157,38 57,72 13,23 158,70 23,71 14,18 179,27 27,57 16,82 14,10 22,59 43,32
Hasil rata-rata 3 ulangan
*)
A.awamori liar A.awamori mutan A.niger liar A. niger mutan Kontrol (tanpa kapang)
Aktifitas enzim CMCase spesifik (U/mg protein)*) Inkubasi Inkubasi 6 Inkubasi 9 3 hari hari hari 11,82 2,41 0,41 23,14 1,83 1,34 7,19 0,71 0,28 14,54 1,8 1,05 0,25
0,27
0,72
Hasil rata-rata 3 ulangan
Berdasarkan Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa aktifitas enzim spesifik tertnggi dihasilkan oleh kapang A.awamori mutan dengan waktu inkubasi 3 hari yaitu 23,14 U/mg. Hasil penelitian terdahulu melaporkan bahwa aktifitas enzim spesifik A niger galur 5010 mencapai 8,50
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
119
U/mg protein, sedangkan A. niger galur R4
sebesar 11,80 U/mg protein (Onsori, 2005).
KESIMPULAN Penggunaan dua galur kapang berbeda yaitu A.awamori dan A. niger untuk proses sakarifikasi onggok menunjukkan kemampuan aktifitas enzim yang berbeda. Perlakuan mutasi terhadap A.awamori dan A. niger tipe liar mempengaruhi terhadap peningkatan aktifitas spesifik enzim CMCase yaitu berturut-turut meningkat 1,96 kali
dan 2,02 kali lipat. Perbedaan waktu inkubasi yaitu 3, 6 dan 9 hari mempengaruhi aktifitas spesifik CMCase. Waktu fermentasi optimum tercapai setelah 3 hari yaitu masing-masing sebesar 23,14 U/mg protein (A. awamori mutan) dan 14,54 U/mg protein (A. niger mutan).
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi Tahun 2008. Rasa terima kasih disampaikan kepada Sdri Rizky Utami
Putri, yang telah membantu selama percobaan di laboratorium berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Bradford, M.M. 1976. A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of protein Utilizing The principle of Protein-dye-binding. Analytical Biochemistry. 72 : 248-254. Chitradon, L., P. Poonpairoj., A. Wungkobkiat, W. Kanlayakrit. 1997. Enhancement of Cassava Starch Utilization by Enzymens with Cassava Waste. Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol 20 : 361369. Demain, A.L. M. Newcomb, JH. David Wu. 2005. Cellulase, Clostridia and Ethanol. Microbiology and Molecular Biology Reviews. Vol: 69 (1) 124-154. Howard, R.L, Abotsi E. J Rensburg, Howard S. 2003. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. African Journal of Biotechnology Vol 2 (12): 602-619. Jenie, B.S.L, 1990. Kajian teknik imobilisasi kapang penghasil selulase dan asam sitrat dalam spons untuk pemanfaatan onggok menjadi asam sitrat. Disertasi. Program Studi Ilmu Pangan. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. Kader, J., S. Senafi, O. Omar. 1997. Stabilisation of Cellulase Activity by Addition of Metal Ions. Annual Report of IC Biotech. International Center for Biotechnology. Osaka University, Osaka, Japan. Vol. 20 : 320-324. Kompiang IP, Purwadaria T, Darma J, Supriyati K, Haryati T. 1994. Pengaruh kadar mineral terhadap sintesis protein dan laju
pertumbuhan Aspergillus niger. Prosseding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Cibinong, 6-7 September, hlm. 468-473. Lynd, L.R, P.J.Weimer, W.H.Vanzyl, I.S.Pretorius. 2002. Microbial cellulose utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiology and molecular Biology Review Vol 66(3): 506-577. Machfud, Gumbira, Said, E., Krisnani, 1989. Fermentor, Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Hal 9-22. Mandels, M., R. E. Andreotti, C. Roche. 1976. Measurment of Saccharifting Cellulase. Biotechnology Bioenginering. Symp. 6: 2133. Onsori, H. 2005. Identification of over producer strain of endo β-1,4 glucanase in Aspergillus species: Characterization of crude carboxymethyl Cellulase. African Journal of Biotechnology Vol 4(1) Africa. Powell, A. Keith, Renwick, A, Peberdy, F, Jhon. 1994. The Genus Aspergillus : from Taxonomy and Genetics to Industrial Application, Plenum press, New York and London, , hal :1129-133. Purwadaria T, Darma J, Supriyati K, Haryati T, Sinurat A.P, Kompiang, L.P. 1997. The Correlation between Amylase and Cellulase Activities with Starch and Fibre Contents on Fermentation of Cassapro (Cassava protein) with Aspergillus niger, Proceedings of Biotechnology Conferece. Jakarta. hal 37939.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
120
Isolasi DNA dari Kapang Aspergillus awamori KT-11 Trisanti Anindyawati, Endang Tri Margawati, Indriawati, M. Ridwan, dan N. Hasanah Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail: trisanti.anindyawati @lipi.go.id
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian terhadap teknik isolasi DNA dari kapang Aspergillus awamori KT-11. Penyediaan kapang dilakukan dengan kultur padat menggunakan media PDA dan kultur cair menggunakan MEB yang diinkubasi selama 4 hari. Isolasi DNA menggunakan dua metoda. Hasil pengamatan menggunakan elektrophoresis menunjukkan bahwa DNA kapang terdeteksi menggunakan metoda pertama, akan tetapi tidak terdeteksi pada metoda kedua. Amplifikasi gen Amyl III selanjutnya akan dilakukan. Kata kunci: A. awamori KT-11, DNA
PENDAHULUAN Kapang Aspergillus awamori KT-11, diketahui menghasilkan beberapa jenis amilase, diantaranya α-glukosidase, α-amilase dan glukoamilase. α-amilase adalah enzim yang banyak digunakan dalam industri seperti pada industri makanan, minuman dan tekstil yang pada saat ini mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Terdapat 3 jenis α-amilase dari kapang A. awamori KT-11, yaitu Amyl I, Amyl II dan Amyl III. Satu diantaranya, yaitu Amyl III mempunyai kemampuan untuk mendegradasi pati mentah. Enzim Amyl III ini mempunyai berat molekul 97 kDA paling tingi dibandingkan Amyl I ataupun Amyl II (49 kDA dan 63 kDA) dan juga α-amilase yang berasal dari A. oryzae
dan A. niger (52 kDA dan 53 kDA). Hal ini sangat menarik karena pada umumnya -amilase tidak mempunyai kemapuan untuk mendegradasi pati mentah, sehingga penggunaan enzim ini dalam industri akan mempunyai nilai komersial yang tinggi karena akan lebih efisien. Guna keperluan industri, ketersediaan Amyl III akan diperlukan dalam jumlah banyak. Pada kegiatan DIPA 2008, sebagai langkah awal telah diisolasi DNA dengan berbagai metoda. Hasil isolasi DNA ini dimaksudkan untuk amplifikasi gen Amyl III yang akan digunakan sebagai pendukung kegiatan berikutnya pada studi kloning.
BAHAN DAN CARA KERJA Penyediaan dan perbanyakan mikroba Penyediaan kapang dilakukan menggunakan media padat PDA (Potato Dextrose Agar) dan media cair MEB (Malt Extract Broth). Pada kultur cair Kapang A. awamori KT-11 ditumbuhkan pada media PDA miring selama 4 hari. Sebanyak 15 ml air steril ditambahkan ke dalam media PDA berisi kapang A. awamori KT11 dan diaduk-aduk hingga homogen. Ke dalam erlenmeyer berisi 25 ml media MEB (Malt Extract Broth) ditambahkan 3 ml larutan kapang dan digoyang selama 4 hari pada suhu ruang. Setelah 4 hari masa inkubasi, kemudian media disentrifuge dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit sebanyak 2 kali. Pelet hasil sentrifugasi dikeringkan dengan cara divakum dan pelet digerus dengan nitrogen cair. Hasil gerusan siap
untuk diisolasi DNAnya. Pada kultur padat biakan kapang A. awamori KT-11 ditumbuhkan pada media PDA dalam petridish dan diinkubasi pada suhu kamar selama 4 hari. Isolasi DNA DNA genomik diisolasi menggunakan dua metoda. Metoda pertama menggunakan sel dari kultur cair sebagai sumber DNA. Dari 100 mg kultur hasil gerusan dengan nitrogen cair ditambahkan 400 μg lisis buffer III (50 mM Tris, 100 mM NaCl, 5 mM EDTA, 1% SDS) dan diinkubasi pada suhu 80oC selama 10 menit. Kemudian ditambahkan proteinase K sebanyak 2 μl dan diinkubasi pada 65oC selama 2 jam. Setelah itu diinkubasi lagi pada suhu 80oC selama 10 menit untuk menginaktifkan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
121
proteinase K. Selanjutnya supernatan diekstraksi dengan PCI (Phenol:Chloroform:Isoamyl alkohol) 1x volume. Sebanyak 350 μl supernatan ditambahkan 87,5 μl amonium asetat 4M (hasil akhir 1M) tambahkan 2 x volume etanol dingin, diinkubasi selama 30 menit dalam freezer. Setelah itu disentrifuge 10.000 rpm selama 10 menit. Hasil presipitasi kemudian dibilas dengan etanol 70% dingin. Kemudian disentrifuge lagi 10.000 rpm selama 10 menit. Setelah itu, buang supernatan dan pellet dikering-anginkan dan disuspensikan dengan 30 μl TE buffer (10 mM Tris-HCl pH 8 dan 1 mM EDTA). Metoda kedua menggunakan kultur padat sebagai sumber DNA. Untuk kultur padat, kapang disayat dari media PDA dan ditaruh dimortar, kemudian ditambahkan nitrogen cair. Setelah keras kemudian digerus dan ditambahkan 2 ml air steril, 2 ml sel suspensi buffer (1M TrisHCl, 0,5M EDTA, dH2O, 250 μl RNAse) dan divortex sampai homogen. Kemudian ditambahkan 2 ml lisis buffer (0,4M NaOH, 10%
SDS, dH2O), digoyang 5-10 kali dan didiamkan selama 10 menit. Setelah itu ditambahkan nertralisir buffer (5M K asetat, asam asetat, dH2O) digoyang dan disentrifuge pada 130.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan 2 ml etanol, kemudian diinkubasi selama 2 jam pada -20oC. Disentrifuge lagi dan pelet dicuci dengan 100 μl 80% etanol dingin. Pelet dikering-anginkan kemudian DNA dilarutkan dalam TE buffer. Sampel DNA disimpan di -20oC. Visualisasi DNA Sebanyak 5 μl hasil isolasi DNA dicampur dengan 2 μl Gel loading buffer dan dielektrophoresis dengan 0.7% Agarose dalam 1x TAE (Tris, asam asetat, Na EDTA.2H2O, dH2O, pH 8.5) menggunakan aliran listrik 70 volt selama 1 jam. Tampilan pita dipotret diatas UV transilluminator dengan menggunakan kamera.
HASIL DAN PEMBAHASAN DNA hasil isolasi dari kapang A. awamori KT-11 dilakukan dengan menggunakan 2 metoda. Metode pertama menggunakan kultur
M
cair sedangkan metoda kedua menggunakan kultur padat, dengan teknik isolasi dan ekstraksi yang berbeda pula.
1
2
DNA A. awamori KT-11
Gambar 1. Hasil Elektrophoresis dengan 0,7% Agarose (M= DNA Ladder 100 bp; 1 = DNA A. awamori KT-11/ metoda 1, 2 = metoda 2)
Pada gambar diatas terlihat pita hasil isolasi DNA yang tampak dari metoda pertama sangat tipis. Hal ini dimungkinkan karena (1) jumlah sel yang masih sedikit, (2) umur kapang yang berpengaruh terhadap ketebalan dinding sel (3) masa inkubasi pada suhu 65oC kondisi belum optimal serta (4) proteinase K yang digunakan
kurang aktif, sehingga berpengaruh terhadap proses lisis yang kurang sempurna. Sedangkan hasil yang diperoleh dari metoda ekstraksi DNA dengan metoda kedua, tidak tampak pita sama sekali. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh (1) teknik isolasi dan ekstraksi yang digunakan, (2) tidak digunakan proteinase K yang berfungsi mendegradasi dinding sel serta
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
122
(3) preparasi RNAse yang kurang sempurna sehingga kemungkinan RNAse masih
mengandung DNAse yang dapat menyebabkan degradasi DNA.
KESIMPULAN Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan dua metoda. Dengan penggunaan metoda pertama, didapatkan pita DNA yang tipis. Hal diduga karena proteinase K kurang aktif sehingga berpengaruh terhadap proses lisis.
Tidak didapatkannya DNA menggunakan metoda kedua kemungkinan disebabkan karena tidak digunakannya proteinase K dan preparasi RNAse yang kurang sempurna.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Asrul M. Fuad atas bantuan bahan kimia dan diskusi serta Dian
Fitria, Yuliawati dan Aminah yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anindyawati, T., R. Melliawati, K. Ito, M. Iizuka, N. Minamiura. 1998. Three Different Types of α-amylases from Aspergillus awamori KT-11: Their Purifications, Properties and Specificities. Biosci. Biotechnol. Biochem 62, 1351-1357. Borges, M.I., R. Azevedo, R. Bonatelli, M.S.S. Felipe and S. Astolfi-Filho. A Practical. Method for the Preparation of Total DNA from Filamentous Fungi. http://www.fgsc.net/fgn 37/borgers.html.
Du Teau, N.M. & J.F. Leslie. A Simple, Rapid Procedure for the Isolation of DNA for PCR from Gibberella fujikuroi (Fusarium section Liseola). http://www.fgsc.net/fgn 38/duteau.html. Burt, A., D.A. Carter, G.I. Koening, T.J. White, J. W. Taylor. A Safe Method of Extracting DNA from Coccidioides immitis. http://www.fgsc.net/fgn 42/burt.html.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
123
Analisis Mikroba Laut untuk Proses Bioremediasi Theresia Umi Harwati, Ahmad Thontowi, Swastika Phraharyawan, Khariul Anam, Awan Purnawan, Dwi Susilaningsih, dan Yopi Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Indonesia dengan luas lautnya yang meliputi 2/3 dari luas total negara memiliki potensi biodiversitas yang tinggi dan ditambah pula beroperasinya industri minyak. Wilayah laut perairan Indonesia sebagai jalur pembawa tanker minyak dan ini sering sekali terjadi kecelakaan atau kebocoran disamping itu juga diperburuk dengan kebocoran pipa-pipa penyulingan di lepas pantai. Berbagai macam zat berbahaya yang terkandung dalam minyak dilepaskan ke lingkungan perairan. Kasus pencemaran ini belum disikapi dan ditanggulangi dengan serius. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen biologi untuk biodegradasi senyawa hidrokarbon adalah satu langkah solusi untuk masalah tersebut, karena teknologi ini memiliki efesiensi tinggi dan ramah lingkungan. Komponen minyak mentah terdiri dari lebih 100 jenis senyawa yang terkelompok dalam alkana, aromatik, resin dan asphaltene. Komponen tersebut merupakan polutan utama di tanah dan lingkungan perairan serta bersifat toksik. Informasi konsorsium mikroba pendegradasi mintak mentah sangat diperlukan. Ini sesuai dengan satu proses bioremediasi yaitu teknik biostimulasi yang aplikasinya lebih efektif karena langsung merangsang aktivitas mikroba yang ada di daerah cemaran limbah. Sasaran dari penelitian ini ditekankan untuk identifikasi konsorsium mikroorganisme yang ada di lingkungan tercemar secara genetika. Kegiatan riset ini telah melakukan analisa mikroba pendegradasi minyak dengan 16S rRNA dan monitoring perubahan komponen crude oil dengan kromatografi gas spektrometri masa (GC/MS). Kegiatan ini mengambil sampel air laut yang diambil dari pelabuhan Semarang. Analisa partial sekuens 16S rRNA dari beberapa isolat dibandingkan dengan sekuens seluruh bakteria yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST yang menunjukkan adanya kelompok mikroba murni potensial dalam mendegradasi senyawa alkana dan PAHs (Fluorene, Naphthalene, Phenantrene dan Dibenzothiophene) Kata kunci : Pencemaran minyak, konsorsium bakteria, analisa homologi, bioremediasi
PENDAHULUAN Sebagai akibat industrialisasi di abad 20, berbagai macam zat berbahaya dilepaskan ke lingkungan. Di lingkungan perairan, pencemaran minyak disebabkan oleh tumpahan minyak akibat transportasi, kebocoran pipa-pipa penyulingan di lepas pantai, polutan dan lain-lainnya. Penyumbang polutan berasal juga dari operasi produksi, pengolahan dan proses penyimpanan. Pada tahap awal dari tumpahan minyak, minyak dengan fraksi ringan akan menguap, sedangkan fraksi yang lebih berat secara pelan-pelan akan terdegradasi melalui proses photo-oksidasi dan biodegradasi (Harayama, 2004). Disinilah mikroba khususnya bakteri mempunyai peranan penting dalam proses degradasi tetapi hasil biodegradasi ini sangat tergantung dari nutrisi (Leahly, 1990). Penambahan unsur P (phospor) dan N (nitrogen) dapat memacu proses biodegradasi minyak oleh mikroba di lingkungan perairan laut (Head, 1999). Minyak merupakan campuran komplek hidrokarbon dan senyawa organik lainnya, yang
terdiri lebih dari seratus senyawa. Senyawa ini diklasifikasikan menjadi 4 kelompok: hidrokarbon rantai jenuh (n-alkana, isoalkana, sikloalkana), senyawa aromatik, asphaltene dan resin (N,S,O). Hidrokarbon rantai jenuh yang mengikuti struktur kimianya termasuk dalam kelompok alkana (paraffin) dan sikloalkana (napthenes) yang merupakan komponen utama minyak mentah. Aromatik hidrokarbon mempunyai satu atau lebih cincin aromatik dengan atau tanpa tersubtitusi alkil. Hidrokarbon dengan lebih dari satu cincin aromatik disebut dengan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), sedangkan yang tersubtitusi dikenal dengan polisiklik aromatik hidrokarbon subtitusi (PAHs). Prosentase senyawa hidrokarbon aromatic sangat melimpah dalam minyak dan batubara dan umumnya senyawa-senyawa dalam kategori ini bersifat toksik karsinogenik dan mutagenik. Sedangkan resin dan asphaltene berisi komponen hidrokarbon non polar, strukturnya sangat komplek dan tidak banyak diketahui (Harayama,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
124
2004; Balba et al., 1998). Mikroba seperti bakteri, kapang dan khamir diketahui mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon. Mikroba tersebut mampu menggunakan hidrokarbon sebagai sumber energi dan karbon (Chailan et al., 2004), tetapi tidak dapat menggunakan sakarida dan asam amino (Harayama, 2002). Mikroba tersebut ada di mana-mana secara alami dan mempunyai kemampuan mendegradasi berbagai macam hidrokarbon (rantai pendek, rantai panjang, aromatik termasuk polisiklik aromatik) (Ron, 2002). Bakteri dan khamir dominan mendegradasi dalam sistem aquatik sementara kapang dan bakteri pendegradasi utama dalam lingkungan tanah. Mikroba yang diketahui mampu sebagai pendegradasi minyak mentah terutama dari spesies Nocardia, Pseudomonas, Acinetobacter, Flavobacterium, Microccus, Arthrobacter, Corynobacterium, Achromobacter, Rhodococcus, Alcaligenes, Mycobacterium, Bacilus, Aspergilus, Mucor, Fusarium, Penicillium, Rhodotorula, Candida and Sporobolomycetes (Balba et al., 1998). Kecepatan mekanisme degradasi minyak atau limbah minyak tergantung pada beberapa faktor meliputi kondisi fisik, faktor alami (suhu, nutrisi, kandungan air, pH, DO, toksisitas dan kelarutan dari senyawa kimia toksik), konsentrasi dan ratio dari bermacam-macan fraksi hidrokarbon, ketersedian mikroba dan kemampuannya. Secara umum proses biodegradasi dari komponen minyak bumi menurun dengan urutan: n-alkana> alkana rantai cabang> alkena rantai cabang> nalkil aromatik dengan berat molekul rendah> monoaromatik> alkana siklik> polisiklik aromatik>asphalthene (Hamme et al., 2003). Mekanisme biodegradasi senyawa PAH didaratan telah banyak diketahui tetapi untuk lingkungan perairan dirasakan masih kurang informasinya dan yang mengarah kearah analisis genetika jarang ditemukan. Untuk asphaltene dan resin proses biodegradasi sangat susah dilakukan karena resistan terhadap mikroba dan dilakukan dengan menggunakan biosurfaktan. Wilayah perairan Indonesia yang mengalami polusi akibat tumpahan minyak semakin meluas, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2000 tumpahan minyak telah mencapai 167.000 kL. Menurut data tahun 1993 daerah yang paling rawan terjadinya
kecelakaan adalah Selat Malaka, karena daerah ini merupakan lalu lintas yang padat mencapai 274 kapal/hari. Selama dekakade 1975-1997 tercatat 104 kecelakaan tanker dan merupakan pencemaran yang paling parah (Kompas, Juni 2001). Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen biologi untuk biodegradasi senyawa hidrokarbon adalah satu langkah solusi untuk masalah tersebut karena teknologi ini memiliki efesiensi tinggi dan ramah lingkungan. Mekanisme proses bioremediasi meliputi bioaugmentasi dan biostimulasi. Mekanisme bioaugmentasi adalah dengan cara menambahkan mikroba dan nutrisi ke dalam tempat yang tercemar, sedangkan biostimulasi yaitu penambahan nutrisi yang spesifik untuk merangsang pertumbuhan mikrooraganisme yang telah ada dilingkungan yang tercemar. Biostimulasi memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan bioaugmentasi, karena proses bioremediasi itu sangat tergantung oleh konsorsium mikroba yang ada di daerah tercemar itu. Karena itu mengetahui komposisi mikroorganisme yang ada didaerah cemaran menjadi hal yang signifiikan. Potensi biodiversitas mikroorganisme Indonesia sangat tinggi mengingat luas perairan Indonesia yang meliputi 2/3 luas total negara. Selama ini bioremediasi banyak dilakukan dengan sistem bioaugmentasi, tetapi mekanisme tersebut belum banyak memberikan pemecahan yang berarti dan ditambahkan pula pendekatan secara genetika belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi konsorsium mikroba laut dari daerah cemaran minyak yang potensial dan menganalisanya dengan analisis molekuler. Informasi mengenai mikroba pendegradasi minyak di perairan wilayah tropis relatif jarang dan pendekatan secara genetika belum dilakukan (Zhuang et al., 2003 ; Chailan et al., 2004). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsorsium mikroba dari perairan yang tercemar oleh minyak mentah serta menganalisa aktivitas mikroba selektif terhadap beberapa komponen minyak mentah yaitu PAHs dan alkana. Diharapkan dengan terkumpulnya informasi database konsorsium mikroorganisme, proses aplikasi bioremediasi di lingkungan tercemar dapat direalisasikan secara tepat.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
125
BAHAN DAN CARA KERJA Isolasi bakteri Zona area sample dari perairan di Pelabuhan Semarang yang terkontaminasi oleh limbah minyak dan domestik dari para nelayan yang tinggal di pesisirnya. Sampel berupa air laut yang kemudian dimasukan dalam media padat ONR-7 (Dyterhouse et al., 1995) yang mengandung Arabian crude oil . Sample diinkubasi di selama 4 minggu, selanjutnya koloni yang tumbuh diisolasi dan dilakukan purifikasi dengan media marine agar. Sekuens 16S rRNA Isolat yang telah murni di analisis 16S rRNA, sejumlah koloni dari isolat murni sebagai template diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer primer 27f and 1492r (Watanabe et al., 2002). Hasil amplifikasi selanjutnhya di cek dengan agarose gel electrophoresis dan dipurifikasi dengan kit spincolumn (Qiagen). Hasil purifikasi selanjutnya di PCR untuk sekuencing menggunakan primer 27f, 341f, U515f, 907r and 1492r, (Watanabe et al., 2004), dye terminator kit (Applied Biosystems) dan DNA sequencer AB13730 (Applied Biosystems). Hasil sekuens dibandingkan dengan
seluruh sekuens bakteri yang ada di database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST. Studi biodegradasi Isolat murni ditumbuhkan dalam marine broth dengan optikal density 1 pada 600 nm. Media ONR7a sebanyak 10 ml yang mengandung Arabian crude oil 1000 ppm dalam tabung diinokulasi dengan 100 μl inokulum isolate murni. Tabung dishaker 100 ppm pada 30oC. Tubes tanpa inokulasi bakteri diperlakukan sebagai control dan dibuat tiga kali pengulangan. Setelah 4 minggu inkubasi kemudian minyak yang tersisa diekstrak dengan kloroform dan dianalisis dengan GC-MS (GC/MS-QP5000, Shimadzu). GC-MS dikerjakan menurut prosedur Wang (1998). Komponen-komponen yang dianalisis adalah n-alkanes dengan rantai C10-35, C0-4 alkylfluorenes (C0-4 Flu), C0-4 alkyldibenzothiophenes (C0-4 DBT) and C0-7 alkylphenentrenes (C0-6 Phen) dan biomarker 17a(H), 21b(H)-hopane. Hasil-hasil yang analisis kemudian dibandingkan dengan 17a(H), 21b(H)hopane .
HASIL DAN PEMBAHASAN Sample berupa air laut diambil dari perairan laut di pelabuhan Semarang. Sample dari area tersebut ditanam dalam media padat yang mengandung Arabian crude oil dan diikubasi selama 4 minggu pada suhu kamar. Setelah inkubasi 4 minggu koloni yang tumbuh diisolasi dan di purifikasi dalam media marine agar. Dari hasil isolasi diperoleh ada sekitar 153 koloni murni yang selanjutnya sebagian dari isolate murni yang diperoleh dianalisis 16S rRNA dan dilakukan studi untuk proses bioremediasi dalam skala laboratorium. Sekitar 44 isolat disekuensing dan di lakukan test biodegradasi (Tabel 1). Dari hasil analisis sekuencing total 44 isolat di klasifikasikan dalam 3 klas yaitu Actinobacter (16 isolat), Gammaproteobacter (6 isolat) dan klas Alphaproteobacter (22 isolat). Dari 44 isolat sebanyak 22 isolat mampu mendegradasi Arabian crude oil (Tabel 1). Dari hasil analisis 16S rRNA ada beberapa isolat yang tidak termasuk dengan genus pendegradasi hidrokarbon yaitu Kocuria, Erytrobacter, Loktanella, Roseivivax, Roseovarius, Alterierythrobacter, Thioclava,
Catellibacterium dan Jannaschia. Diantara dari isolat yang dianalisis sebanyak 13 isolat tidak secara signifikan mampu mendegradasi komponen petroleum hidrokarbon meskipun diisolasi dari medium mineral padat yang mengandung hidrokarbon. Ada dua kemungkinan pertama kehilangan kemampuannya selama isolat tersebut ditumbuhkan dalam media yang tidak selektif yaitu marine broth dan yang kedua isolat tersebut mampu tumbuh pada media padat yang mengandung crude oil dengan menggunaan hasil metabolit dari isolat pendegradasi hidrokarbon. Kemungkinan kedua adalah yang paling mungkin, karena telah dilaporkan pada studi sebelumnya yaitu interaksi mikroba laut dalam lingkungan yang tercemar minyak (Hamme et al., 2003). Dalam taxonomi bakteri bahwa dua bakteri tidak dalam satu genus bahwa ambang standard dari 16S rRNA adalah kurang dari 95% dan dalam satu spesies dengan similaritas <97% (Stackebtrandt & Goebel, 1994). Rendahnya similaritas ini menunjukkan bahwa isolat tersebut belum pernah diisolasi dan dilaporkan sampai saat ini, dari tabel 1
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
126
menunjukkan ada 5 kandidat genus baru. Koleksi isolat ini memberikan peluang untuk mempelajari interaksi mikroba dalam proses bioremediasi. Dari hasil riset yang diperoleh ini
dapat selanjutnya dipelajari tentang karakterisasi kandidat mikroba baru pendegradasi hidrokarbon dan konsorsium mikroba untuk proses bioremediasi.
Tabel 1. Hasil isolasi dan karakterisasi bakteri Analisis 16S rRNA Isola t
Pendegrasi hidrokarbon
∑ Panjang (bp)
Kedekatan isolate dengan database (Acc. No.)
Homolog i (%)
Actinobacteria B01 1 907 C23 2 1403 C19 2 1424 C48 2 1397 C39 1 1405 B11 2 1394 C04 2 1417 C20 2 1403 C46 1 1384 C10 1 1402 Gammaproteobacteria A31 1 1432 A59 1 1438
Ornithinimicrobium caseinolyticus (AY636111) Kocuria rosea (DQ060382) Micrococcus indicus (AM158920) Microbacterium ginsengisoli (AB271048) Microbacterium oleivorans (DQ409138) Dietzia .maris (X79291) Nocardioides panacihumi (AB271053) Kocuria aegyptia (DQ059617) Micrococcus indicus (AM158920) Nocardioides aquiterrae (AF529063)
98.7 98.0 99.7 99.2 99.8 100 96.7 97.9 99.6 96.6
NA C10-C35, Phytane, C2 Nap C10-C14, C35 C10-15, C1-4 Nap, C0-3 DBT, C1-6 Phen, C0-2 Fl C10-35, C0-4 Nap, C1-4 DBT, C1-6 Phen, C1-2 Fl C10-C35, Pristane, Phytane, C0-2 Nap, C4-6 Ph C10-35, Pristane, Phytane
Halomonas aquamarina (EF143431) Marinobacter bryozoanae (AJ609271)
99.7 98.1
B19
1433
Alteromonas alvinellae (AF288360)
99.7
B32 1 1409 B38 1 1422 B09 1 901 Alphaproteobacteria A33 2 1385 C17 1 1383 C34 1 1378 A40 1 1372 A14 1 1368 A39 3 1349 C52 1 1363 C45 1 1361 C40 1 1362 C02 1 1363 C54 1 1358 C22 1 1338 C24 1 1355 B51 1 1335 C03 1 1367 C53 1 1362 C06 1 1360 B23 1 886
Alteromonas macleodii (Y18228) Vibrio harveyi (DQ146936) Alcanivorax borkumensis (Y12579)
99.7 99.0 93.2
ND C10-C35 C10-35, Phytane, C4-6 Phen, C0-4 Nap, C0-2 Flu, C10-C35, C- Nap C10-19, C0-4 Nap, C0-4 DBT, C1-6 Phen, C0-2 Fl C10-35, C0, 5- Phen, C1- Flu
Erythrobacter flavus (AF500004) Lutibacterium anuloederans (AY026916) Alterierythrobacter d (DQ304436) Fulvimarina litoralis (AY178863)
Pseudoregeria aquimaris (DQ675021) Thioclava pasifica (AY656719) Catellibacterium terrae (DQ479950) Jannaschia seosinensis (AY906862)
99.5 97.3 97.2 95.6 94.9 96.3 97.7 97.8 96.6 94.6 96.9 98.2 96.5 94.6 97.1 97.2 98.2 97.7
B27
1
1332
Jannaschia seosinensis (AY906862)
96.0
A34
1
1364
Salipiger muscescens (AY527274)
94.8
1
Palleronia marisminoris (AY926462) Roseivivax halodurans (D85829) Rugeria Antlantica (AB255399) Rugeria Antlantica (AB255399) Rugeria Antlantica (AB255399) Pseudoregeria aquimaris (DQ675021) Rugeria Antlantica (AB255399) Roseovarius crassostreae (AF114484) Alterierythrobacter epoxidivorans (DQ304436) Thioclava pasifica (AY656719)
C10-C35, Phytane, C2 Nap ND C10-35
ND ND ND ND ND C10-35, C0-2 Nap, C1-2 Flu ND ND ND NA ND C10-C14, Pristane, C0-2 Nap, C0 Phen C10-C16, C0-4 Nap, C4- Phen, C0-2 Flu C10-C17, Pristane, Phytane, C0-4 Nap NA C10-35, Phytane, Pristane C10-15, C0-3 Nap C10-C13, C0- Phen, C0-3 Nap C10-C17, Pristane, C0-2,4-6 Phen, C0-4 Nap, C0-2 Flu, C0-1 DBT C10-13
**[Fluorene (Flu), Dibenzothiaphene (Dbt), Phenanthere (Phen), Napthalene (Nap), Phytane, Pristane]
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada banyak bakteri pendegradasi hidrokarbon yang belum diidentifikasi ada di perairan
Indonesia dan adanya keaneka-ragam dari bakteri pendegradasi hidrokarbon.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
127
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini didukung oleh Program DIPA Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2008 dan
kegiatan kerjasama LIPI dan NITE-Jepang dengan dana penelitian dari NEDO (Jepang).
DAFTAR PUSTAKA Balba, M.T., Al-Awadhi, N., Al-Daher, R. 1998. Bioremediation of oil-contamined soil:microbiologycal methods for feasibility assessment and field evaluation, 32, 155-164. Chaillan, F., Fleche, A.L., Bury, E., Phantavong, Y., Grimont, P., Saliot A., Qudot., J. 2004. Identification and biodegradation potential of tropical aerobic hidrocarbon-degrading microorganisms., Research in Microbiology, 155, 587-595. Dyksterhouse, S.E., Herwig, R.P., Gray, J.P., Lara, J.C, Staley, J.T. 1995. Cycloclasticus pugetti gen. nov., sp. nov., an aromatic hydrocarbon-degrading bacterium from marine sediment, Applied and Enviroment Microbiology 45 (1), 110-123. Harayama, S. Kasai, Y, Kishira, H. 2002. Bacteria belonging to the genus Cyclosclasticus play a primary role in the degradation of aromatic hydrocarbon released in a marine environment, Applied and Enviroment Microbiology, 68. (11), 56255633. Harayama, S., Kasai, Y., Hara, A. 2004. Microbial communities in oil-contaminated seawater, Current opinion in Biotechnology, 15, 205-214. Hamme, J.D.V., Singh, A., Ward., O.P. 2003. Recent advances in petroleum microbiology, Microbiology and Molecular Biology Rev, 503-549. Head, I. M. & Swannell, R.P. 1999. Bioremediation of petroleum hydrocarbon contaminants in marine habitats. Current Opinion Biotechnology, 10: 234-239.
Leahy, J.G & R.R. Colwell. 1990. Microbial degradation of hydrocarbon in the environment. Microbial. Rev. 54:305-315. Kompas, Pencemaran Minyak di perairan Indonesia, 20 Juni 2001. Ron, E.Z., and Rosenberg, E. 2002. Biosurfactants and oil bioremediation, Current opinion in Biotechnology, 13, 249252. Stackebtrandt, E. & Goebel, B. M. 1994. A place for DNA-DNA reassociation and 16S rRNA sequence analysis in the present species definition in bacteriology. Int. J. Syst. Bacteriol. 44. 846-849. Wang, Z., Fingas, M., Blenkinsopp, S., Sergy, G., Landriault, M., Sigouin, L., Foght, J., Semple, K., and Westlake, D.W.S. 1998. Comparison of oil composition changes due to biodegradation and physical weathering in different oils. J.Chromatography. A. 809: 89107. Watanabe, K., Y. Kodama, N. Kaku. 2002. Diversity and abundance of bacterial populations in groundwater accumulating in an underground crude-oil storage cavity. BMC Microbiol 2:23. Watanabe, K., Y. Kodama, N. Kaku. 2004. Molecular identification of microbial populations in petroleum-contaminated groundwater. Enviromental and Microbiology, Humana press. p. 237-244. Zhuang, W. Q., Tay, J. H., Maszenan, A. M., Tay, S. T. 2003. Isolation of naphthalene-degrading bacteria from tropical marine sediments. Water Sci Technol 47, 303-308.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
128
Pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) Indonesia Puspita Deswina, Cahya Ningrum, Anky Zannati, Vincentia Esti Windiastri Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Balai kliring keamanan hayati (Biosafety Clearing House) tingkat nasional merupakan suatu pusat informasi dalam bentuk situs internet yang berisikan minimal informasi tentang segala aturan terkait, keputusan lintas batas dan keputusan domestik mengenai introduksi produk pertanian maupun produk pangan hasil rekayasa genetika serta analisis resiko yang dilakukan sebelum produk tersebut dilepas. Informasi ini kemudian wajib diserahkan ke sekretariat Konvensi Keaneka Ragaman Hayati untuk dimuat pada BCH portal yang berkedudukan di Montreal, Canada. Di tingkat nasional LIPI telah mendapat kepercayaan untuk merintis pembentukan dan selanjutnya mengembangkan Balai Kliring Keamanan Hayati melalui surat Menteri Negara Lingkungan Hidup No. B-246/MENLH/2/2001. Selain sebagai pusat informasi keamanan hayati tingkat nasional, Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia juga menjadi salah satu jaringan internasional terkait keamanan hayati dan merupakan pintu gerbang bagi setiap institusi yang terkait dengan bioteknologi. Balai atau clearing house ini sangat diperlukan oleh para pihak yang berkepentingan termasuk pelaku, pemakai dan publik awam sebagai pusat informasi sekaligus merupakan pendidikan dan wadah partisipasi publik dalam menjernihkan opini-opini publik tentang produk OHM serta memenuhi prinsip transparansi yang merupakan salah satu dasar pembuatan Protocol Cartagena. Kata Kunci: Biosafety Clearing House, protocol Cartagena, rekayasa genetika, partisipasi publik
PENDAHULUAN Protokol Keamanan Hayati telah disepakati dan disetujui oleh Para Pihak di Montreal pada tanggal 29 Januari 2000 yang kemudian dikenal sebagai Protokol Cartagena. Protokol ini disahkan secara hukum dan mengikat bagi Para Pihak yang ikut meratifikasi minimal 50 anggota CBD, Indonesia merupakan salah satu dari 50 negara pertama yang telah meratifikasi (Untung, 2002). Indonesia juga telah menandatangani protokol Cartagena tersebut dan dituangkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2004. Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena. Protokol ini merupakan suatu respons terhadap perkembangan bioteknologi modern yang sangat cepat akhir-akhir ini yang diakui memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia terutama di bidang pangan, pertanian dan kesehatan jika dikembangkan dengan aman dan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan manusia (Slamet-Loedin & Sukara, 2001). BKKH berperan sangat besar sebagai wacana informasi publik dan pertukaran informasi dalam
bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain. Menurut pasal 20 dari Protokol Cartagena, dua tujuan utama pendirian Balai Kliring Keamanan Hayati adalah: (1) untuk menfasilitasi pertukaran informasi yang sifatnya ilmiah, teknis dan informasi di bidang lingkungan dan hukum dan pengalaman dengan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi, (2) membantu Para Pihak (Parties), yaitu negara yang meratifikasi protokol ini, untuk mengimplementasikan protokol dengan memperhatikan kepentingan khusus dari negara berkembang, negara kepulauan kecil, negara dalam transisi ekonomi dan negara yang merupakan pusat asal usul dan pusat keanekaragaman hayati. Pembentukan Balai Kliring ini secara hukum berdasarkan Pasal 20 dari Protokol dan PP No 21 Tahun 2005 terutama pasal 31 ayat 1 dan 2. Dalam Protokol Cartagena dijelaskan tujuan BKKH adalah untuk memfasilitasi pertukaran informasi di bidang ilmiah, teknis, lingkungan hidup dan peraturan mengenai OHMG, hasil keputusan AIA dalam melaksanakan Protokol, sedangkan dalam PP 21 Tahun 2005 disebutkan bahwa BKKH adalah perangkat KKH yang berfungsi sebagai sarana
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
129
komunikasi antara KKH dengan pemangku kepentingan. Balai Kliring Keamanan Hayati dalam bentuk situs internet berisikan informasi mengenai: 1. Setiap undang-undang, peraturan dan pedoman yang ada untuk implementasi Protocol ini, juga informasi yang dibutuhkan oleh para Pihak untuk Prosedur Persetujuan berdasarkan informasi sebelumnya 2. Setiap perjanjian dan pengaturan bilateral, regional dan multilateral 3. Ikhtisar tentang penilaian resiko atau telah lingkungan hidup terhadap organisme hasil modifikasi yang dihasilkan oleh proses peraturan perundang-undangannya, dan dilaksanakan menurut Pasal 15, termasuk bila sesuai informasi relevan berkenaan dengan produk-produknya yaitu material olahan yang berasal dari organisme hasil modifikasi, yang mengandung kombinasi baru yang dapat dideteksi dari material genetik yang dapat direplikasi melalui penggunaan bioteknologi modern 4. Keputusan-keputusan final sehubungan dengan proses impor atau pelepasan organisme hasil modifikasi 5. Laporan-laporan yang diserahkan sesuai Pasal 33 (Advance Informed Agreement Procedure) termasuk laporan-laporan tentang penerapan prosedur persetujuan berdasarkan informasi sebelumnya (Wardana, 2001) Balai Kliring Keamanan Hayati dibentuk di tingkat nasional dengan pusat portal dan pusat informasi di sekretariat Konvensi (gabungan antara sistem sentralisasi dan desentralisasi), sehingga Balai Kliring Keamanan Hayati tingkat nasional dapat diakses melalui portal pusatnya di Sekretariat Konvensi di Geneva. Pendirian dan pengembangan Balai ini adalah kewajiban pemerintah sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol. Bila ada negara yang meratifikasi namun tidak memiliki akses internet maka informasi diserahkan dalam bentuk tertulis. Balai atau clearing house ini sangat diperlukan oleh para pihak yang berkepentingan termasuk pelaku, pemakai dan publik awam sebagai pusat informasi sekaligus merupakan wadah untuk meningkatkan partisipasi dan
pendidikan publik serta menjernihkan opini-opini publik tentang produk OHM serta memenuhi prinsip transparansi yang merupakan salah satu dasar pembuatan Protocol Cartagena tersebut. Pada pertemuan-pertemuan dari kelompok kerja keamanan hayati yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan pertemuan mengenai protokol Cartagena yang diselenggarakan oleh Yayasan Kehati, berbagai pihak mengusulkan agar fungsi Balai Kliring Keamanan Hayati diserahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penunjukkan LIPI ini dengan alasan bahwa, LIPI dalam kapasitasnya sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan bersifat netral dan secara ilmiah dapat menilai dan menvalidasi informasi yang masuk. Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai “focal point” yang bertanggung jawab sebagai penghubung dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati, telah meminta agar LIPI menyiapkan satu unit kerja yang dapat menerima mandat pembentukan Balai Kliring Keamanan Hayati Nasional. Unit Kerja Balai Kliring Keamanan Hayati sebagaimana mandat dari Protokol Cartagena telah dirintis dan dikembangkan oleh Puslit Bioteknologi-LIPI dengan terbentuknya website BKKH versi bahasa Indonesia yang telah dapat diakses oleh semua pihak sejak tanggal 11 Maret 2003 dengan alamat: http://www.bchindonesia.org, namun sejak November 2007 alamat situs web BKKH diganti menjadi: http://www.indonesiabch.org dan situs dalam versi bahasa inggris juga telah disediakan. Sejak awal pembentukannya, sudah disadari akan peranan Balai ini di tengah-tengah pesatnya perkembangan bioteknologi modern saat ini. Meskipun banyak pihak kurang menyadari, sesungguhnya pembentukan Balai Kliring Keamanan Hayati ini sangat penting. Dukungan pemerintah secara berkelanjutan dalam hal dana dan sumber daya manusia serta kemauan segala pihak untuk bekerjasama sangat menentukan keberhasilan pengembangan dan keberlanjutan BKKH Indonesia. Oleh karena fungsi BKKH hanya baik bila jaringan informasi antara focal point, otoritas-otoritas kompeten dan pemangku kepentingan dapat dijalankan dengan baik.
BAHAN DAN CARA KERJA Koleksi dokumen dan informasi • Dokumen dan informasi diperoleh melalui komunikasi (langsung dan elektronik) serta
pertemuan dengan badan-badan pengimplementasi (Badan POM,
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
130
Departemen Pertanian, Pusat Karantina, Kementrian Lingkungan Hidup, DKP) Pengolahan data dan penterjemahan • Validasi data • Penterjemahan dokumen dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya • Pengubahan data ke format standar dan text digital • Editing dan Indexing data
Penyimpanan data, manajemen data dan sosialisasi • Mekanisme jaringan antara BKKH sekretariat dengan otoritas kompeten • Up date dari isi website baik versi bahasa Indonesia maupun versi bahasa Inggris • Membentuk forum diskusi pada website • Sosialisasi BKKH kepada publik baik dalam bentuk seminar/workshop, pembuatan leaflet, brosur, poster dan media lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Koleksi dokumen dan informasi Dalam tahun ini telah di up load beberapa peraturan dan Undang-undang ke Sekretariat CBD di Montreal, Canada. Peraturan-peraturan yang telah di upload (diunggah) tersebut adalah : a. Keputusan Menteri Pertanian (KepMenTan) No 67/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman, dipublikasi di Portal tgl 9 Mei 2008. b. Keputusan Menteri Pertanian (KepMenTan) No 37/Permentan/140/8/2006 tentang Pengujian, Penilaian,Pelepasan dan Penarikan Varietas, dipublikasi di portal tgl 31 Oktober 2008. c. Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dipublikasi di Portal tgl 31Oktober 2008. d. Roster of Expert yang terdiri dari Dr. M. Herman; Dr. Andi Trisyono; Dr. Damayanti telah di unggah ke Portal pada tanggal 31 Oktober 2008 tetapi belum muncul di Portal karena ada kendala teknis di Portal itu sendiri. Pengolahan data dan penterjemahan • Validasi dokumen : setiap dokumen yang di up load oleh NAU (National Authorize User) ke Sekretariat CBD harus di validasi terlebih dulu oleh National Focal Point Indonesia sebelum dipublikasi di Sekretariat CBD. • Penterjemahan dokumen terus dilanjutkan, jumlah dokumen peraturan yang telah diterjemah ke bahasa Inggris adalah: - Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Law Number 7 Year 1996 concerning Food)
•
- Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Law Number 31Year 2004 concerning Fishery) - Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Government Regulation Number 69 Year 1999 concerning Label and Food Advertisement) - Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Kualitas dan Gizi Pangan (Government Regulation Number 28 Year 2004 concerning Safety, Quality and Nutrition of Food). - Keputusan Menteri Pertanian No 37/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pengujian, Evaluasi, Pelepasan dan P.. Varietas (Decree of the Minister of Agriculture Number 37/Permentan/OT.140/8/2006 concerning Testing, Evaluation, Release and Withdrawal of Variety) - Keputusan Menteri Pertanian No 67/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Konservasi, dan Penggunaan Sumber Daya Alam (Decree of the Minister of Agriculture Number 67/Permentan/OT.140/12/2006 concerning Conservation and Utilization of Plant Genetic Resources). - Suarat Keputusan Menteri Pertanian tentang pelepasan terbatas Kapas transgenik Bt Tahun 2001 – 2003 (Decree of Minister of Agriculture No 107/Kpts/KB.430/2/2001-2003 Konversi dokumen ke teks digital. Dokumen-dokumen (Peraturan, UU, Keputusan) dan data-data serta informasi untuk dimuat ke dalam situs web yang belum memiliki file digital, perlu diubah
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
131
dan diedit ke dalam bentuk standar, untuk di upload ke dalam situs web. Penyimpanan data, manajemen data dan sosialisasi Tampilan berita-berita dalam situs web BKKH muncul pada bagian Berita Terbaru BKKH, bagian ini selalu diperbaharui untuk setiap kegiatan yang terkait dengan BKKH. Kegiatan-kegiatan BKKH Indonesia pada tahun 2008 secara berurutan telah dilaksanakan adalah sebagai berikut: - Kunjungan seorang expert IT dari Korea Selatan Mr. Hyun Yoo, yang telah membangun database NBCH dengan database Sql Server 2005 serta koneksi database dengan ASP.NET. Webservice yang digunakan adalah pengenalan XML serta membuat desain Interface dengan penerapan interoperability option 4, dimana data yang dimiliki akan di kirim langsung ke Portal. Mr. Hyun Yoo berada di BKKH-Indonesia selama 3 bulan dari bulan Januari – Maret 2008 - Pelaksanaan Soft Launching Website Indonesia BCH versi Bahasa Inggris pada tanggal 15 April 2008. Acara dihadiri oleh Tim BCH yang terdiri dari Steering Commitee, Task Force BCH, Sub Working Group (SWG) of IT dan CPB. - Pada tanggal 15-16 April 2008 diselenggarakan Training IT khususnya untuk Tim SWG IT. Acara dipandu oleh Regional Advisor Mr. Mohammad Ilyas - Tanggal 17 April 2008 acara Training CPB untuk SWG of CPB BCH. Pengajar adalah National Focal Point Indonesia, Dr. Inez H.Slamet-Loedin dan Regional Advisor Mr. M. Mohammad Ilyas. - Tanggal 3 – 7 Maret 2008 mengikuti acara BCH Sub Regional Workshop dengan tema "Building Capacity for an effective participation in the BCH". Acara diadakan di Hotel Marriott, Cairo, Mesir. Perwakilan dari Indonesia adalah NFP Indonesia (Dr. Inez H. Slamet-Loedin) dan Koordinator BCH (Dra. Puspita Deswina, M.Sc). Pada acara ini BCH Indonesia terpilih sebagai contoh website Biosafety yang terbaik karena dinilai lebih informatif dan lengkap dibandingkan website BCH Negara lain di Asia. - Tanggal 29 Agustus 2008 seluruh anggota BCH Indonesia mengikuti training Windows Server 2008 di Puslit Bioteknologi LIPI. - Tanggal 1 November 2008 BCH Indonesia bekerja sama dengan KBI, PII dan HKTI
mengadakan acara Diskusi Panel “Peranan Bioteknologi Modern dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan”. Pembicara adalah para pakar di bidangnya masing-masing, sebagai pembicara kunci adalah Bpk Ir. Airlangga Hartanto,MBA (Ketua PII dan Ketua Komisi VII DPR-RI). Acara dibagi menjadi dua sesi, dimana pada sesi I sebagai pembicara Dr. Bayu Krisnamurthi (Deputi Menko Polkam) dan Dr. Liestyani Wijayanti (Staf Ahli Menteri bidang Pangan dan Kesehatan KNRT) sedangkan sebagai pembahas Dr. H.S Dillon dan Ir. Rahmat Pambudi (HKTI). Pada sesi II sebagai pembicara Dr. Inez H.SlametLoedin dan Dr. M. Herman, sedangkan sebagai pembahas Ir. Harry Purwanto M.Sc (KNRT) dan Dr. Tantono Subagyo (PT. Syngenta). Acara ini juga sekaligus merupakan penutupan secara resmi Project Capacity Building for an Effective Participation in the BCH yang diprakarsai oleh UNEP – GEF. - Tanggal 9 – 12 Desember 2008 menghadiri acara workshop Capacity Building in BCH and Information Sharing, di Daejeon, Korea. Pada kesempatan ini dilaporkan semua kegiatan BKKH yang telah dilaksanakan serta perkembangan dan keberlanjutan BKKH Indonesia. Selain acara kegiatan tersebut di atas BKKH Indonesia juga telah melaksanakan acara sosialisasi dan komunikasi publik yaitu: - Tanggal 25 Februari 2008 mengikuti seminar “Global Status of Biotech Crop Adoption and its Relevance to Indonesian Food Security”, acara diadakan oleh Indobic-Indonesia. - Tanggal 21 – 26 Juli 2008 mengikuti acara Pekan Padi Nasional di Sukamandi, Jawa Barat - Tanggal 4 - 6 Agustus 2008 mengikuti acara EXPO LIPI dalam rangka memperingati 100 tahun kebangkitan Nasional. Acara dilangsungkan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta - Tanggal 5 – 7 Agustus 2008 partisipasi dan komunikasi publik dalam acara Seminar Nasional KBI di Botani Square Bogor. - Tanggal 22 Agustus 2008 menghadiri acara Seminar Menghadapi wabah Pandemi Virus H5N1 dengan bioteknologi di Biofarma Bandung. - Tanggal 28 Agustus 2008 menghadiri workshop Bioteknologi untuk wartawan di Hotel Ambhara, Jakarta Tanggal 28 Agustus 2008 mengikuti seminar Peranan ekonomi bioteknologi dalam ketahanan pangan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
132
Indonesia. Acara diadakan di Auditorium Dinas Pertanian , Pasar Minggu Jakarta. - Tanggal 17 Oktober 2008 memberikan presentasi tentang BKKH Indonesia. Acara diselenggarakan di Universitas Andalas Padang dengan pembicara dari Puslit Bioteknologi sendiri yaitu Prof. Dr. Bambang Prasetya yang membawakan topik tentang Perkembangan Bioteknologi Modern, serta Peran Bioteknologi dalam Mendukung Sustainability Ketahanan dan Kemandirian Pangan. Pembicara ke II adalah Koordinator BCH (Dra.Puspita Deswina M.Sc) dengan topik Peranan dan Status BKKH-Indonesia.
Sebagai moderator adalah Dr. T.M Ermayanti dari Puslit Bioteknologi-LIPI. Pada setiap acara sosialisasi, BKKH Indonsia menyebarkan informasi tentang website BKKH serta informasi yang terkait dengan Produk Rekayas Genetika melalui brosur, leaflet, poster dan CD. Monitoring kunjungan dan forum partisipasi publik situs Web BKKH Jumlah kunjungan ke website BKKH – Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah, data yang tersedia hanya mulai bulan September 2008, sebab web hosting BKKH pindah ke lokasi server Telkom.
Tabel 1. Jumlah kunjungan ke website BKKH Indonesia dari bulan September sampai dengan 7 November 2008
Jan 2008
Feb 2008
Bulan
Mar 2008
Apr 2008
Pengunjung Unik
Mei 2008
Jun 2008
Jumlah Kunjungan
Jul 2008
Agu 2008
Halaman
Sep 2008
Okt 2008
Hit
Nov 2008
Des 2008
Bandwidth
Jan 2008
0
0
0
0
0
Feb 2008
0
0
0
0
0
Mar 2008
0
0
0
0
0
Apr 2008
0
0
0
0
0
Mei 2008
0
0
0
0
0
Jun 2008
0
0
0
0
0
Jul 2008
0
0
0
0
0
Agu 2008
0
0
0
0
0
Sep 2008
833
1072
3060
5541
137.26 MB
Okt 2008
1014
1290
4336
7996
178.75 MB
Nov 2008
309
355
969
1652
50.63 MB
Des 2008
0
0
0
0
0
Total
2156
2717
8365
15189
366.64 MB
Negara asal pengunjung ke website BKKH Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah. Pengunjung terbanyak berasal dari Indonesia, diperkirakan karena semakin banyak orang yang
terlibat dan memerlukan informasi terkait keamanan hayati dalam perkembangan bioteknologi medern saat ini di Indonesia.
Countries
Halaman
Hit
Bandwidth
Indonesia
id
733
1262
39.07 MB
Tidak Diketahui
unknown
103
154
2.00 MB
United States
us
41
60
3.03 MB
Malaysia
my
15
51
473.41 KB
Nigeria
ng
5
22
395.26 KB
Norway
no
3
8
120.37 KB
Satellite access host
a2
3
3
45.52 KB
Netherlands
nl
2
8
126.24 KB
Australia
au
2
2
130.55 KB
Singapore
sg
2
9
154.20 KB
60
73
5.12 MB
Lainnya
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
133
KESIMPULAN Setelah melalui beberapa kali pertemuan dan juga diskusi dengan pengelola secretariat CBD akhirnya diputuskan sistim operability antara website BKKH Indonesia dengan Sekretariat CBD menggunakan Option 1 (melalui managemen center dengan sistim Ajax Plug - in) , karena lebih mudah dalam operasional dan tidak memerlukan bahasa program serta akses lebih cepat. Karena telah memutuskan pilihan pada Option 1 maka situs web BKKH telah memiliki akses langsung dengan Portal melalui navigasi National Database. Saat ini BKKH Indonesia telah memliki 2 orang NAU (National Authorize User) dari secretariat BCH yang dapat membantu NFP BCH dalam mempublikasi setiap berita dan informasi kepada BCH Portal. Direncanakan untuk menunjuk NAU-NAU yang berasal dari National Competent Authorities terkait untuk dapat melakukan up load peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh masing-masing Instansi mereka.
Pencalonan untuk daftar Roster of Expert harus lebih intensif dan dilaksanakan setiap 4 bulan sekali sesuai dengan keputusan terbaru dari hasil COP MOP di Bonn, Jerman. Kegiatan sosialisasi dengan pendidikan dan partisipasi publik telah dilaksanakan dengan baik, tetapi kegiatan ini harus terus dilakukan untuk menjangkau kalangan yang lebih luas dan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya BKKH dalam era globalisasi sekarang. 5Kegiatan-kegiatan terkait proyek UNEPGEF telah terselenggara baik dalam bentuk pertemuan-pertemuan antar otoritas kompeten dengan Sekretariat BKKH dan Focal Point BCH serta beberapa kali pelaksanaan Workshop Nasional. Pengembangan Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) tingkat nasional yang telah ditetapkan pemerintah sebagai badan yang merupakan pusat informasi dalam bentuk situs internet sangat tepat, karena memiliki jangkauan yang luas dan dapat diakses setiap saat, namun demikian keberlanjutan BKKH sebagai perangkat KKH perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh DIPA Puslit Bioteknologi LIPI Tahun 2008 dan Proyek UNEP-GEF Tahun 2007-2008. Ucapan terima kasih kepada Sdr. Arif Rusman S.Si sebagai
administrator web dan programmer serta Sdr M. Dzikri Anugerah sebagai web designer, atas bantuannya di Sekretariat BKKH.
DAFTAR PUSTAKA Asia Pacific Regional meeting on the Biosafety Clearing House (report). 2002. Beijing 7-8 March 2002. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. 2000. Text and Annex . Montreal. Herman, M. 2005. Indonesian National Regulatory system. ICABIOGRAD – IAARD. Lap. Kerangka Kerja Nasional Keamanan Hayati Republik Indonesia. 2005. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia bekerja sama dengan UNEP-GEF Project for the Development of National Biosafety Framework for Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2005. Slamet -Loedin, I.H dan E. Sukara . 2001. Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) dan pengembangannnya. Forum Keaneka Ragaman Hayati Indonesia. Jakarta 12-14 Juli 2001. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Cartagena Protokol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. 2005. Kementerian Lingkungan Hidup. Untung, K. Protokol Cartagena dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait In: Rekayasa Genetik Tantangan dan Harapan. 2002. Unpad Press. Bandung.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
134
Pemeliharaan Informasi Bioteknologi dan Peningkatan Jaringan Komputer Tutang, Ario T. Suwarno, Ludya A. Bakti, dan Ahmad S. Surapermana. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Jaringan komputer yang digunakan saat sebagian besar berbasis Windows Server 2003 dan Windows Server 2008 untuk servernya. Dipilihnya sistem operasi Microsoft Windows karena tidak terlalu sulit pengerjaannya dan kehandalannya juga sudah teruji. Karena sejak dibangun beberapa tahun lalu sampai saat ini masih tetap eksis dan tidak mengalami kendala yang cukup berarti. Namun demikian, untuk mail server masih menggunakan sistem operasi Linux.Untuk web server menggunakan Apache (Xamp) dengan database MySQL, begitu juga untuk database online juga menggunakan web server ini. Beberapa anti virus yang digunakan antara lain McAfee versi 8.1 dan anti virus AVG, dengan anti virus yang terpasang baik di server database maupun web server data-data yang ada relatif aman sampai saat ini. Kata kunci : Jaringan dan database
PENDAHULUAN Jaringan komputer saat ini sudah menjadi kebutuhan, karena dengan jaringan komputer proses pencarian data dan informasi mudah dicari dan didapatkan. Saat ini peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sudah mulai memanfaatkan jaringan komputer untuk berbagai keperluan, begitu juga dengan data yang sudah tersimpan dalam database server sudah banyak dirasakan manfaatnya. Data dan informasi bioteknologi yang tersimpan dalam database server sudah bisa diakses dan dimanfaatkan oleh staf peneliti maupun masyarakat secara luas. Hal ini berkat tersedianya sarana berupa server database dan jarigan komputer (LAN). Namun demikian untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat database dan LAN perlu ditingkatkan kemampuan dan pemeliharaannya. Jaringan komputer dan server database informasi bioteknologi yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI selain perlu diperbarui datanya, juga perlu dipelihara dan dikembangkan sesuai kemajuan teknologi. Begitu juga dengan hardware dan software yang digunakan untuk menunjang kegiatan tersebut perlu diperbaharui, karena teknologi komputer berkembang sangat pesat, mulai dari hardware, software sampai pada kecepatan atau bandwith untuk akses jaringan tersebut.
BAHAN DAN CARA KERJA Material yang sudah ada seperti Sistem Operasi, Web Server, dan lain-lain dipasang atau diinstalasi ke komputer server. Setelah itu baru ditentukan IP yang digunakan baik untuk Web Server, mail server, intranet server, maupun yang lainnya. Selain itu untuk menambah koneksi jaringan (node) kabel UTP yang digunakan diterminasi dan masing-masing ujung dari konektor yang sudah terpasang dihubungkan ke komputer yang akan dihubungkan ke jaringan (LAN). Sedangkan untuk penambahan koneksi WiFi lebih mudah, karena apabila komputer yang digunakan mendapatkan sinyal dari Switch yang
mendukung WiFi secara otomatis akan terdeteksi dan diberikan IP (Internet Protocol) secara otomatis. Sedangkan untuk komputer yang menggunakan kabel UTP juga akan diberikan IP secara otomatis apabila sudah terhubung ke dalam jaringan komputer. Karena server yang digunakan sudah diinstalasi dengan fasilitas bernama DHCP (Dynamic Host Configuration Protocol). Kemudian untuk server database, web server dan mail server setelah diinstalasi software yang digunakan, lalu dilakukan konfigurasi, dengan
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
135
tujuan agar server-server tersebut bisa digunakan sesuai keperluan. Setelah server yang digunakan siap, maka data-data baik yang berhubungan
dengan web server dan database server diunggah dan selalu diperbarui setiap saat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Jaringan Jumlah koneksi internet di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI saat ini sudah cukup bayak dan sudah menjangkau seluruh gedung yang ada, mulai dari Gedung Administrasi, Gedung Lab I, Gedung Lab II, Gedung Lab III, Gedung Perpustakaan dan Auditorium. Jumlah nodenya sendiri terus betambah sesuai dengan perkembangan perkembangan jumlah PNS yang masuk ke Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Walaupun penambahan node ini menggunakan kabel UTP, namun sebagian khususnya yang
menggunakan Laptop koneksinya sudah menggunakan WiFI. Koneksi jaringan yang menghubungkan Gedung Administrasi, Gedung Lab I, Gedung Lab II, Gedung Lab III serta gedung Perpustakaan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ditunjukkan pada Gambar 1. Saat ini node yang menghubungkan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ke Node NOC LIPI menggunakan kabel serat optik, begitu juga yang menghubungkan dari node utama ke seluruh gedung yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI juga menggunakan serat optik (F/O).
Lab I Lab III
Lab II
Gambar 1. Koneksi yang menghubungkan Node P2 Bioteknologi ke NOC dan IM2 100 80 60 40 20 0
Kabel
WiFi
Triwulan I
80
21
Trwulan II
84
25
Triwulan III
84
32
Triwulan IV
88
32
Gambar 2. Grafik jumlah Node Tahun 2008
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
136
Pengumpulan Data Perpustakaan Setelah data perpustakaan dikumpulkan, kemudian dipisah sesuai dengan bidangnya, lalu data dan informasi tersebut dientri ke dalam database yang sudah disediakan. Data dan informasi tersebut berupa Analit, Buku maupun Reprint sudah di entri ke dalam database yang sudah tersedia. Saat ini data yang sudah dientri 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
ke dalam database server berupa buku dan majalah berjumlah 3.378, reprint 559 dan analit 7.503. Sedangkan data dan informasi yang entri tersebut sebagian besar bidang bioteknologi, namun ada juga beberapa entri bidang lain. Namun yang jelas semuanya ada kaitannya dengan bidang bioteknologi.
Reprint
Analit
Buku
Triulan I
400
7350
3300
Triwulan II
450
7400
3324
Triwilan III
461
7466
3324
Triwulan IV
559
7503
3378
Gambar 3. Grafik penambahan data dan informasi bidang bioteknologi
Database Online Database Informasi yang sudah terkumpul sudah bisa diakses secara online, baik melalui Intranet maupun Internet. Data dan informasi tersebut telah di publikasikan melalui URL www.biotek.lipi.go.id. Server database online ini disimpan di server lokal dan ditempatkan di ruang server Perpustakaan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, tujuannya untuk memudahkan updating data dan terjaga keamanannya. Karena di ruangan server ini selain suhunya sudah memadai juga memudahkan dalam hal perawatan dan pembaharuan jika diperukan. Berikut ini adalah tampilan database penelusuran online Koleksi Perpustakaan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Web server yang digunakan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI menggunakan CMS (Content Management System) Joomla versi 1.5 dengan database MySQL serta web server Xamp. Tampilan dan content database Website sudah mengalami beberapa kali perubahan, namun data yang ada tetap terjaga. Kemudian dari penampilan Websitenya sendiri terutama halaman utama juga sudah sesuai dengan perkembangan dan tuntutan pengguna yang selalu berkembangn sesuai dengan perkembangan teknologi itu sendiri.
Gambar 4. Database online
Gambar 5. Tampilan Website www.biotek.lipi.go.id
Kegiatan peningkatan database bioteknologi saat ini sedang membenahi beberapa server. Adapun server yang ditangani saat ini antara lain
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
137
Server Database, Server Portal Pranata Komputer, Server Intranet dan Mail Server. Untuk portal pranata dan Web Server sudah online dan tidak ada masalah, sedangkan untuk mail server masih dalam proses pengerjaan.
Gambar 6. Portal Pranata LIPI dengan UTL: http://www.pranata.lipi.go.id
Gambar 6. Grafik pengunjung Website Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Gambar 7. Mail Server Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Gambar 7. Top 10 of 24 halaman yang dikunjungi masyarakat
Portal pranata komputer yang dikelola menggunakan sistem operasi Microsoft Windows Server 2002 R2 Enterprise dengan memanfaatkan webserver Xampp dan database MySQL. Sedangkan untuk CMS yang digunakan adalah Wordpress. Hal ini bertujuan untuk memudahkan sesama pranata komputer di LIPI termasuk di Indonesia. Karena yang mengakses portal ini tidak hanya pegawai LIPI saja melainkan sudah banyak diakses oleh masyarakat khususnya pejabat fungsional pranata komputer di Indonesia.
Pemanfaatkan mail server yang sudah tersedia di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI masih beum efektif, karena berbagai kendala terutama masih lambatnya jaringan komunikasi yang digunakan. Namun secara umum mail server yang digunakan ini sudah memadai dan bisa digunakan baik untuk mengirim e-mail ke sesama pegawai di lingkungan LIPI maupun ke luar LIPI. Hanya saja masih belum sempurna karena DNS (Domain Name System) masih harus masuk terlebih dahulu ke server yang ada di Jakarta. Mail Server yang digunakan masih menggunakan mesin Pentium II dengan sistem operasi Linux dengan fasilitas webmail. Tetapi jika digunakan dilingkungan lokal sudah disediakan fasilitas POP3 sehingga memudahkan bagi pengguna yang menggunakan aplikasi seperti Microsoft Office Outlook maupun Outlook Express.
KESEMPULAN Secara keseluruhan fasilitas baik yang berhubungan dengan jaringan (LAN), Web Server, Mail Server maupun server lain yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sudah memenuhi persyaratan dan sudah tidak mengalami hambatan apapun. Hal ini dapat
dibuktikan dengan semakin banyaknya pengguna baik dilingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI maupun masyarakat luas yang mengakses web yang ada di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
138
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Terima kasih kepada Sdr. Ramlanto, Sogir, E. R. Rasmadi,
Uus F. Firdausi, Esti Baina, dan Suherman yang telah membantu kegiatan ini selama tahun anggaran 2008.
DAFTAR PUSTAKA Microsoft Press. 2003. Windows 2000 Server WSS-id team. 2007. Windows Server 20008; Panduan Praktis Untuk Administrator
PRTG Traffic Grapher Cibionong Science Center.2008. http://192.168.52.212/sensorlist.htm
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
139
Pengembangan Kebun Koleksi Plasma Nutfah di Cibinong Science Center Dody Priadi, Nurul Sumiasri, Usep Soetisna, Tatang Kuswara, dan Yani Cahyani Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong merupakan bagian terintegrasi dari kawasan Cibinong Science Center (CSC) yang pengelolaannya dibawah Bidang Sarana Penelitian Puslit BioteknologiLIPI. Koleksi tanaman buah-buahan kebun ini terdiri dari 18 jenis dan 108 varietas, sedangkan hasil pengembangan koleksi tahun 2008 adalah sebanyak 15 varietas dari 9 jenis buah-buahan. Selain itu terdapat pula koleksi tanaman pangan, tanaman berkayu dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan tanaman koleksi, persemaian dan pembibitan serta pengembangan sarana pembibitan dilakukan secara rutin sedangkan penataan tanaman koleksi dilakukan melalui pemanfaatan secara optimal tata ruang kebun yang telah ada maupun pembenahan data koleksi tanaman melalui rintisan pembuatan database menggunakan program Winisis. Koleksi plasma nutfah hewan di kebun ini terdiri dari sapi perah dan sapi potong. Kebun ini telah dimanfaatkan oleh para peneliti sebagai kebun percobaan atau laboratorium lapangan, lokasi dan obyek penelitian bagi siswa kejuruan dan mahasiswa biologi/pertanian serta sumber plasma nutfah bagi masyarakat. Tujuan pengembangan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong adalah menjadi pusat pengembangan buah-buahan dan koleksi tanaman terpilih, sumber material genetik untuk perakitan varietas baru dan sebagai sarana pendukung penelitian, sedangkan arah pengembangannya di masa yang akan datang adalah sebagai obyek agrowisata. Kata kunci: plasma nutfah, buah-buahan, pelestarian, penelitian, pelayanan
PENDAHULUAN Hingga saat ini Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Puslit Bioteknologi-LIPI mempunyai koleksi buah-buahan sebanyak 1.960 nomor yang terdiri dari 18 jenis dan 108 varietas yang merupakan tanaman buah-buahan terpilih Indonesia seperti: durian, rambutan, belimbing, mangga, sawo, jambu air, sirsak, manggis, jeruk, matoa, pisang dan sebagainya. Selain itu terdapat pula koleksi tanaman kayu seperti sengon dan mangium serta tanaman pangan seperti ubi kayu dan talas. Prioritas pengembangan di masa yang akan datang lebih dititikberatkan kepada pengembangan tanaman koleksi buah-buahan asli Indonesia untuk mencegah dari kepunahannya. Sesuai dengan misinya yaitu untuk pelestarian, penelitian dan pelayanan keplasmanutfahan kebun ini perlu ditata dengan baik sesuai dengan tata ruang yang telah ada dan dibuat database koleksi supaya lebih mudah diakses oleh penggunanya. Beberapa kerjasama penelitian staf peneliti Puslit Bioteknologi yang menggunakan lahan dan fasilitas kebun ini diantaranya adalah penelitian ubi kayu (BALITKABI, Malang dan
WAU Belanda), budidaya talas (Pemda Kabupaten Bogor), dan budidaya cendana (Badan Litbang Kehutanan, Bogor). Di bidang plasma nutfah hewan kebun ini dimanfaatkan oleh para peneliti untuk mengembangkan hewan khususnya ternak ruminansia seperti sapi pedaging dan sapi perah dalam rangka proyek Iptekda. Kebun plasma nutfah tumbuhan dan hewan ini juga telah dimanfaatkan sebagai tempat penelitian maupun Praktek Kerja Lapangan (PKL) bagi mahasiswa biologi dan pertanian seperti IPB Bogor maupun siswa sekolah menengan kejuruan pertanian dan peternakan seperti SMK 1 Cibadak Sukabumi serta merupakan tujuan karya wisata untuk murid SD dan TK. Tujuan pengembangan Kebun Plasma Nutfah di CSC Cibinong adalah menjadi pusat pengembangan buah-buahan dan tanaman serta hewan terpilih, penyediaan material genetik untuk perakitan varietas baru dan sebagai sarana pendukung penelitian, sedangkan arah pengembangan di masa yang akan datang adalah sebagai obyek agrowisata.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
140
BAHAN DAN CARA KERJA Pengembangan Kebun Koleksi Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong meliputi kegiatan-kegiatan yaitu penataan dan pemeliharaan koleksi, persemaian dan pembibitan, serta pengembangan tanaman
koleksi. Disamping itu juga dilakukan kegiatan perawatan buah dan pasca panen, perawatan bibit dan koleksi, pengembangan sarana pembibitan, pembuatan database, serta pengembangan sapi potong dan sapi perah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penataan dan pemeliharaan koleksi Penomoran/pelabelan kembali individu tanaman buah-buahan dengan menggunakan bahan aluminium dan pemasangan pal tanaman dari besi berdasarkan nama jenis dan varietas serta nama lokalnya sebanyak 37 jenis tanaman koleksi di kebun dan di halaman kampus Puslit Bioteknologi-LIPI telah selesai dilaksanakan. Secara rutin dilakukan penyiangan rumput di lahan kebun dan di sekitar kampus Puslit Bioteknologi-LIPI. Pemangkasan dan pembersihan benalu tanaman pelindung di sekitar kampus dan kebun yang terus dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu dilakukan pula pemeliharaan kolam di sekitar kampus yang meliputi peninggian dan perbaikan tanggul yang bocor menggunakan karung tanah serta pemasangan gorong-gorong saluran air untuk mengantisipasi debit air yang tinggi terutama pada musim hujan. Selain itu telah dilakukan pula pendataan tanaman koleksi yang mati pada tahun sebelumnya akibat serangan rayap maupun tumbang akibat angin yang merupakan data untuk penyulaman. Persemaian dan pembibitan Sebagai bahan untuk penyulaman tanaman koleksi yang mati, telah dilakukan duplikasi 9 varietas belimbing yang menghasilkan 400 bibit yang terdiri dari varietas Dewi, Demak, Sembiring, Penang, Rawasari, Malaya, Bangkok, Wulan dan Pontianak yang telah dipindahkan ke polybag yang berukuran lebih besar. Selain itu telah dilakukan duplikasi tanaman buah-buahan lokal maupun introduksi yang telah menghasilkan sebanyak 100 bibit tanaman yang terdiri dari duku lokal, lengkeng Diamond River dan belimbing Pontianak. Untuk memacu pertumbuhan tanaman, telah dilakukan penggantian media tanam dan polybag tanaman belimbing sebanyak 300 bibit dan jambu bol Jamaica sebanyak 50 bibit serta pemindahan melinjo dari persemaian ke polybag sebanyak 500 bibit. Media tanam yang
digunakan untuk pembibitan terdiri atas pupuk kandang, tanah, dan sekam dengan perbandingan 2:1:1. Media sekam digunakan karena dapat menyeimbangkan penguapan yang stabil di tanah, mempercepat proses mengalirnya air karena terdapat rongga-rongga udara, dan media ini juga mempermudah untuk membawa tanaman karena ringan. Pengembangan tanaman koleksi Salah satu upaya untuk melestarikan tanaman buah asli Indonesia telah dilakukan penanaman menteng (Baccaurea reticulata) sebanyak 50 pohon dari 100 pohon yang direncanakan termasuk 50 pohon B. dulcis dalam rangka kerjasama dengan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Pengembangan koleksi dilakukan pula dengan mengoleksi tanaman dari pembibitan milik masyarakat. Contoh hasil koleksi tanaman buah-buahan dari masyarakat adalah tanaman Nangka Mini (Gambar 1A). Prosedur koleksi dilakukan berdasarkan standar IPGRI (1980). Di samping itu dilakukan pula pengembangan koleksi yang berasal dari tanaman introduksi seperti lengkeng (Euphoria longan) dataran rendah seperti varietas unggul Pingpong untuk selanjutnya diperbanyak secara grafting (Gambar 1B). Rangkuman hasil pengembangan koleksi Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rangkuman hasil pengembangan tanaman koleksi buah-buahan lokal dan introduksi di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan 2008 No.
Nama Lokal, Varietas
1.
Abiu
2.
Alpokat Serang Belimbing Pontianak Durian Aden 1 Durian Monthonk
3. 4. 5.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
Nama Ilmiah, Famili Pouteria caimito Radlk Sapotaceae Persea americana Lauraceae Averrhoa carambola Oxalidaceae Durio zibethinus Bombacaceae Durio zibethinus Bombacaceae
Material Okulasi Okulasi Okulasi Okulasi Okulasi
141
7.
daun pendek Durian Manalagi Durian Nona
8.
Durian 24
9.
Jambu air Citra Jamblang Putih Lengkeng Diamond River Lengkeng Idoh Lengkeng Pingpong Menteng
6.
10. 11.
12. 13. 12. 14.
Nangka Kandel
15.
Nangka Mini
Durio zibethinus Bombacaceae Durio zibethinus Bombacaceae Durio zibethinus Bombacaceae Syzygium aqueum Myrtaceae Syzigium cumini Myrtaceae Euphoria longan (Lour.) Sapindaceae Euphoria longan (Lour.) Sapindaceae Euphoria longan (Lour.) Sapindaceae Baccaurea reticulata Phyllantaceae Artocarpus heterophyllus Moraceae Artocarpus heterophyllus Moraceae
Okulasi Okulasi Okulasi Okulasi Okulasi Okulasi
Okulasi, Entres Okulasi Okulasi Okulasi
Okulasi
Gambar 1. Bibit Nangka Mini (A) dan Lengkeng Pingpong yang disambung (grafting) secara “susuan” (B)
Pengembangan sarana pembibitan Pada tahun anggaran 2008 telah dilakukan perbaikan papan nama kebun, perbaikan rumah kawat seluas 16 m2 yang berlokasi di sekitar kantor kebun yang merupakan tempat kegiatan penelitian sebelum tanamannya dipindahkan ke kebun. Untuk memperlancar kegiatan penyiraman di pembibitan pada musim kemarau telah dilakukan perbaikan 2 unit pompa air dan perbaikan dan penggantian tanki air yang berkapasitas 1000 liter. Pembuatan Database Pada tahun 2008 ini telah dilakukan rintisan pembuatan pangkalan data koleksi tanaman kebun menggunakan program database Winisis yang sebelumnya telah menggunakan MS Excell dan pada tahun ini difokuskan kepada tiga jenis tanaman koleksi yaitu durian, belimbing dan rambutan (Gambar 2). Durian dan rambutan dikelompokan sebagai major fruits sedangkan belimbing sebagai minor fruits di kawasan Asia Tenggara (Arora & Rao, 1994). Untuk melengkapi database koleksi telah dilakukan pengamatan morfologi daun koleksi tanaman durian, rambutan, dan belimbing menurut varietasnya berdasarkan Tjitrosoepomo (1996). Kegiatan ini dibantu oleh mahasiswa IPB jurusan Biologi dalam rangka praktek kerja lapangan. Pengamatan morfologi bagian tanaman lain dari jenis tanaman yang telah diidentifikasi daunnya maupun tanaman koleksi yang lain akan dilakukan di tahun yang akan datang.
Perawatan buah dan pasca panen Pada tahun ini kegiatan ini belum dilaksanakan karena tanaman koleksi yang berbuah tidak dapat diambil hasilnya karena adanya gangguan dari masyarakat sekitar kebun. Perawatan bibit dan koleksi Pemeliharaan rutin tanaman koleksi kebun yang telah adalah: pemupukan, penyiangan, pemangkasan, peremajaan, pengendalian hama dan penyakit serta pemeliharaan buahnya hingga pasca panen dilakukan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Hingga saat ini jumlah sumber daya manusia dan sarananya (misalnya mesin pemotong rumput) untuk merawat dan memelihara kebun sangat kurang dibandingkan dengan luas lahan kebun, sehingga di masa yang akan datang diperlukan penambahan tenaga harian yang cukup.
Gambar 2. Tampilan data koleksi tanaman Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong menggunakan MS Excell
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
142
Hasil pengamatan morfologi daun koleksi durian, belimbing dan rambutan yang merupakan bahan database koleksi adalah sebagai berikut Durian Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar bentuk daun durian koleksi adalah lonjong (elliptical), jorong (oblong) dan hanya varietas mentega yang mempunyai bentuk lanset terbalik (oblanceolate). Pangkal daun durian terbagi dalam 4 kategori yaitu runcing (acute), tumpul (obtuse), membundar (rounded) dan meruncing (acuminate), sedangkan yang
berbentuk tumpul hampir membundar adalah karakteristik varietas Ajimah, bentuk yang membundar adalah karakteristik varietas Kendil dan bentuk yang meruncing adalah karakteristik varietas Tamblet Ujung daun semua koleksi durian adalah meruncing (acuminate). Di antara permukaan daun durian yang mempunyai karakteristik menonjol adalah varietas Hepe yang mempunyai permukaan daun cembung dan mengkilat. Rangkuman morfologi daun durian koleksi disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3.
Tabel 2. Morfologi daun varietas durian koleksi Kebun Plasma Nutfah dan Hewan Cibinong Nama varietas Ajimah
Pangkal daun tumpul (obtuse) hampir membundar (rounded)
Ujung daun meruncing (acuminate)
Permukaan daun agak halus dan mengkilat.
runcing (acute)
Handalam
lonjong (elliptical)
tumpul (obtuse)
meruncing (acuminate) meruncing (acuminate) meruncing (acuminate)
-
Chane
Bentuk daun jorong (oblong) cenderung lonjong dan memanjang jorong (oblong) dan berukuran kecil lonjong (elliptical)
Hepe
tumpul (obtuse)
Lae
jorong (oblong)
tumpul (obtuse)
Lilin
lonjong (elliptical)
runcing (acute)
Matahari
lonjong (elliptical)
runcing (acute)
meruncing (acuminate) meruncing (acuminate) meruncing (acuminate). meruncing (acuminate) bertusuk (mucronate) meruncing (acuminate) meruncing (acuminate)
cembung dan mengkilat. -
Kendil
jorong (oblong) dan kecil melebar lonjong (elliptical) dan berukuran kecil lonjong (elliptical) dan sempit lonjong (elliptical)
Mentega
runcing (acute)
meruncing (acuminate)
Montong
lanset terbalik (oblanceolate) dan berukuran kecil-kecil lonjong (elliptical)
runcing (acute)
Petruk
jorong (oblong)
runcing (acute)
Sikapal
lonjong (elliptical)
tumpul (obtuse)
Sitokong Kramat Jati Sitokong Ragunan Sukun
lonjong (elliptical)
tumpul (obtuse)
meruncing (acuminate) hampir membundar (rounded) meruncing (acuminate) meruncing (acuminate)
jorong (oblong)
tumpul (obtuse)
lonjong (elliptical)
tumpul (obtuse)
Tamblet
jorong (oblong)
daun meruncing (acuminate)
Bokor
IM Kamarung
tumpul (obtuse)
tumpul (obtuse) tumpul (obtuse) membundar (rounded)
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
meruncing (acuminate) meruncing (acuminate) mengecil (seperti lanset terbalik namun lebih lebar)
agak halus dan daun lebih tipis.
agak halus. lebih halus dan agak kaku lebih lebar lebih sempit dan lebih kecil lebih kecil, sempit, dan tebal bila dibandingkan dengan varietas lain -
agak halus dan tidak mengkilat kecil dan sempit
tipis dan lebar lebih melebar dan mengkilat
143
C 4.9 cm
B 6.3 cm
4.9 cm
A
13.4
15.4
12.8
Gambar 3. Bentuk daun durian varietas Ajimah (A), Handalam (B), dan Mentega (C)
Belimbing Sebagian besar warna permukaan daun belimbing koleksi adalah hijau tua, hanya varietas Malaya yang berwarna hijau muda. Posisi duduk daun yang berseling membedakan varietas Sembiring dengan varietas lainnya yang posisi duduk daunnya berhadapan. Bentuk daun sebagian besar belimbing koleksi adalah bundar
C
terlur yang melebar ke samping, ke bawah atau memanjang. Sebagian varietas mempunyai daun yang membulat pada ujung tangkainya, sedangkan semua varietas mempunyai ujung yang meruncing dan daun yang asimetrik pada pada sisi tangkainya (Tabel 3 dan Gambar 4).
Tabel 3. Morfologi daun varietas belimbing koleksi Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong Nama varietas
Warna permukaan daun
Duduk daun
Bangkok
hijau tua-cembung
berhadapan (opposite)
Demak
hijau tua-cekung dan tipis hijau tua-cembung dan tipis
berhadapan (opposite berhadapan (opposite)
Malaya
hijau mudacekung dan tipis
berhadapan (opposite)
Penang
hijau-cembung dan tipis
berhadapan (opposite)
Rawasari
hijau tua-cekung dan lebih kaku
berhadapan (opposite)
Sembi-ring
hijau tua-cekung dan lebih kaku hijau-cekung dan tipis
berseling (alternate) berhadapan (opposite)
Dewi
Wulan
Bentuk daun bundar telur (ovate) melebar ke samping bundar telur (ovate) bundar telur (ovate) melebar ke samping bundar telur (ovate)
bentuk daun bundar telur (ovate) bundar telur (ovate) dengan lebih melebar ke bawah bundar telur (ovate) bundar telur (ovate) memanjang
Gambar 4. Variasi bentuk daun majemuk belimbing koleksi KebunPlasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong
Pangkal daun Daun pada Daun ujung pada sisi tangkai tangkai
Ujung daun
membulat
asimetrik (oblique).
merun-cing (acuminate)
membulat
asimetrik (oblique). asimetrik (oblique).
merun-cing (acuminate) merun-cing (acuminate)
runcing (acute) tetapi agak membundar runcing (acute)
asimetrik (oblique) pinggir
merun-cing (acuminate)
asimetrik (oblique)
meruncing (acuminate)
runcing (acute)
asimetrik (oblique)
merun-cing (acuminate)
runcing (acute) runcing (acute)
asimetrik (oblique) asimetrik (oblique)
merun-cing (acuminate) merun-cing (acuminate)
membulat
Beberapa varietas belimbing seperti Dewi dan Dewa telah ditetapkan sebai varietas unggul Indonesia (SK Menteri Pertanian No.: 717/Kpts/Tp.240/8/98). Namun demikian masih banyak varietas belimbing lain yang perlu diidentifikasi lebih lanjut mengingat dewasa ini banyak bermunculan nama varietas baru sehingga kemungkinan terjadi penamaan varietas yang berbeda pada varietas yang sama.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
144
Rambutan Bentuk daun rambutan koleksi kebun sangat bervariasi tetapi pada umumnya dapat dikategorikan ke dalam 4 bentuk yaitu lonjong, bundar telur, bundar terbalik dan memanjang.
Sebagian besar koleksi mepunyai ujung daun yang runcing. Aspek morfologi daun lainnya seperti permukaan, tebal dan tepi daun belum dapat dipertelakan dengan jelas (Tabel 4 dan Gambar 5).
Tabel 4. Morfologi daun varietas rambutan koleksi Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong Varietas Aceh kelapa
Garuda Lebak bulus
Bentuk daun lonjong dan agak memanjang bundar telur terbalik (obovate) lonjong namun lebih membulat lonjong dan lebih panjang lonjong tetapi melebar lebih lonjong
Rapiah
bundar terbalik
Sikonto
lonjong dan paling lebar lonjong memanjang
Aceh pagar Binjai Parakan
Simacan Sinyonya
Ujung daun -
-
Permukaan daun -
Tebal
runcing
kaku
-
Tepi daun agak bergelombang -
lebih membulat runcing
agak mengkilat
-
-
-
-
-
lebih mengecil runcing
melengkung -
lebih tebal
-
lebih lebar
-
runcing
halus
tipis
agak bergelombang -
runcing runcing
halus -
paling tipis agak tipis
-
Gambar 5. Bentuk daun rambutan (dari kiri ke kanan) varietas Parakan, Rapiah, Garuda, Lebak bulus, Sinyonya, Simacan, Sikonto, Aceh pagar, Aceh kelapa dan Binjai
Sebagai implementasi misi Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong dalam bidang pendidikan keplasmanutfahan, secara berkala dilakukan pembinaan terhadap siswasiswi PKL dari SMK Pertanian Negeri I Cibadak Sukabumi jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Selain itu untuk menumbuhkan minat siswa TK dan SD tehadap plasma nutfah tumbuhan, setiap ada kunjungan siswa-siswi TK dan SD ke Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong, mereka masing-masing dibekali 1 bibit pohon untuk ditanam di sekolah atau rumahnya. Dalam rangka turut membantu pemerintah dalam program penghijauan telah disumbangkan 50 bibit tanaman buah-buahan yang terdiri dari belimbing, matoa, lengkeng, duku dan jambu bol kepada kelompok masyarakat seperti organisasi Pemuda Peduli Lingkungan (PPL) Sukaraja, Bogor. Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan juga telah membantu penghijauan di
Batalyon Perbekalan dan Angkutan (Bekang) TNI-AD sebanyak 40 tanaman yang terdiri dari 8 jenis tanaman yaitu melinjo (Gnetum gnemon), belimbing (Averrhoa carambola), duku (Lansium domesticum), lengkeng (Euphoria longan), bisbul (Diospyros blancoi), jambu bol (Syzygium malaccense), 5 bibit matoa (Pometia pinnata) dan saputangan (Maniltoa grandiflora). Koleksi Hewan Saat ini koleksi hewan ternak yang ada di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong terdiri dari ternak sapi perah dan sapi potong. Hewan ternak tersebut merupakan obyek penelitian para Peneliti kelompok penelitian (kelti) hewan dari berbagai proyek penelitian di Puslit Bioteknologi-LIPI misalnya Proyek Iptekda. Pengelolaan koleksi hewan tersebut ditangani secara langsung oleh Kelti yang bersangkutan, sedangkan penanganan sapi perah mulai dari pemeliharaan sampai prosesing susu
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
145
dikelola oleh Puslit Bioteknologi-LIPI melalui Koperasi Pegawai Biotek, Puslit BioteknologiLIPI (Tabel 5).
Tabel 5. Keadaan koleksi hewan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Puslit Bioteknologi-LIPI per Desember 2008 Pengelola Puslit / Koperasi Kelompok Penelitian
Jenis Hewan Sapi Perah Sapi Potong Betina Jantan Betina Jantan
Jumlah
16
3
-
-
19
25
1
5
-
31
UCAPAN TERIMA KASIH Proyek ini didanai oleh Proyek DIPA Puslit Bioteknologi LIPI 2008. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh Teknisi Kebun bagian tanaman maupun hewan serta Pegawai
Harian Kebun yang telah bekerjasama dan berperan aktif dalam memelihara dan mengembangkan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong.
KESIMPULAN Kegiatan pengembangan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong diarahkan kepada penataan dan pengembangan koleksi. Penataan koleksi meliputi pemanfaatan secara optimal tata ruang kebun yang telah ada maupun pembenahan data koleksi tanaman melalui pembuatan database. Pengembangan koleksi diarahkan kepada jenis atau varietas asli Indonesia khususnya buah-buahan sebagai sumber genetik untuk perakitan bibit unggul, sedangkan pengembangan jenis atau varietas unggul asli Indonesia maupun hasil introduksi adalah untuk mengantisipasi pengembangan kebun ini ke arah agrowisata. Namun demikian kegiatan tersebut dapat mencapai tujuan apabila didukung oleh sumber daya manusia dan dana yang memadai.
Sejalan dengan misinya untuk pelestarian, penelitian dan pelayanan keplasmanutfahan, Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan Cibinong merupakan laboratorium lapangan bagi para peneliti, lokasi dan obyek penelitian bagi siswa kejuruan dan mahasiswa biologi/pertanian serta sumber plasma nutfah bagi masyarakat. Sampai saat ini kondisi keamanan kebun masih belum kondusif sehingga masih terjadi penggunaan lahan secara ilegal oleh masyarakat serta gangguan pada tanaman koleksi, buah hasil tanaman koleksi dan fasilitas kebun. Oleh karena itu upaya pengamanan kebun selayaknya merupakan prioritas yang utama.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1998. Keputusan Menteri Pertanian No. 717/Kpts/Tp.240/8/98 Tentang Pelepasan Belimbing Dewi Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama Dewi Murni Arora, R.K. & R. Rao (Eds.). 1994. Expert Consultation on Tropical Fruit Species of Asia. Proceedings of Expert Consultation on Tropical Fruit Species of Asia. Kuala Lumpur, Malaysia. May 17-19, 1994.
International Board for Plant Genetic Resources (IPGRI). 1980. Tropical Fruit Descriptor. IBPGR Secretariat. Rome, 1980. Tjitrosoepomo G. 1996. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
146
Animal Husbandry Technology and Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production (Meat-Milk Pro) Syahruddin Said, Baharuddin Tappa, Fifi Afiati, Ramlanto, Handrie, Taryadi Rahmat, Yayat Sudrajat Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produksi daging dan susu dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang terus meningkat. Oleh sebab itu, sampai saat ini kebutuhan daging dan susu nasional masih harus dipenuhi oleh impor sapi potong, daging beku dan susu bubuk. Dalam era pasar bebas, produktivitas dan daya saing peternakan khususnya sapi potong dan sapi perah harus ditingkatkan, agar Indonesia tidak terjebak pada ketergantungan terhadap produk-produk protein hewani khususnya daging dan susu import. Mengingat betapa pentingnya upaya pengembangan industri peternakan yang tangguh, modern dan berkelanjutan, dan berdasarkan pengalaman Puslit Bioteknologi-LIPI bekerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam hal pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah, maka diusulkan suatu proyek berjudul “Animal Husbandry Technology and Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production” yang dikenal dengan proyek MeatMilk-Pro. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, peralatan dan fasilitas, kemampuan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung program pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah. Kata Kunci : Produksi, daging, susu, teknologi, sapi
PENDAHULUAN Produksi daging dan susu dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar yang terus meningkat. Sampai saat ini kebutuhan daging dan susu nasional masih harus dipenuhi oleh impor sapi potong, daging beku dan susu bubuk. Berdasarkan data statistik peternakan 2001, produksi daging sapi yang mencapi 311.966 ton pada tahun 1995 mengalami kenaikan puncaknya hingga 353.652 ton pada tahun 1997 yang kemudian menurun drastis sampai 308.766 ton pada tahun 1999. Angka tersebut konsisten dengan fluktuasi perkembangan populasi sapi potong sejak tahun 1995 yang mencapai 11.534.066 ekor sampai akhirnya hanya mencapai 11.392.635 tahun 2001. Sementara itu, konsumsi daging yang berasal dari komoditas ternak sapi, ayam, kambing/domba dan lainnya secara nasional mencapai 1.250.612 ton sehingga masih banyak kekurangan untuk mencukupinya. Khususnya untuk daging sapi, ada kekurangan sekitar 30.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan impor daging maupun sapi bakalan yang pada masa sebelum krisis tahun 1997 mencapai 400.000 ekor dan tahuntahun berikutnya menurun dratis sampai 50.000 ekor. Turunnya jumlah sapi bakalan yang
diimpor bukan diakibatkan oleh terpenuhinya kebutuhan daging sapi dari dalam negeri tetapi lebih dikarenakan tingkat kebutuhan daging sapi juga menurun drastis akibat rendahnya daya beli masyarakat. Mencermati kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan menurunkan kebijakan nasional yang berupa program terobosan menuju swasembada daging sapi tahun 2005. Program tersebut digulirkan sejak tahun 1998, yang pada intinya melakukan berbagai upaya seperti: (a) peningkatan populasi ternak melalui pengendalian pemotongan betina produktif; pengendalian penyakit reproduksi; pengndalian bibit ternak melalui impor, (b) peningkatan kegiatan inseminasi buatan dan transfer embrio, (c) pengembangan sentra baru kawasan usaha peternakan sapi potong. Namun demikian, sampai tahun 2001 upaya terobosan tersebut belum memberikan hasil secara maksimal yang ditunjukkan oleh semakin berkembangnya import sapi bakalan dan daging dari luar negeri. Di bidang pemenuhan kebutuhan susu sapi, pada tahun 1998, penduduk Indonesia mengkonsumsi susu sebesar 4,16 kilogram perkapita per tahun. Hal tersebut masih jauh dari standar gizi masyarakat yang ditetapkan yaitu 7,2 kilogram per kapita per tahun. Dengan tingkat
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
147
konsumsi serendah itu, Indonesia masih harus mengimpor sebesar 527,3 ribu ton bahan baku susu dan produk jadinya yang ekuivalen dengan susu segar dalam negeri sebesar 4218,4 ribu ton. Perkembangan produksi susu di Indonesia selama tahun 1994 sampai 1999 menunjukkan penurunan 2,62% sedangkan rata-rata menunjukkan peningkatan 1,40%. Hal ini menggambarkan bahwa laju pertumbuhan suplai tidak seimbang laju pertumbuhan permintaan, dengan demikian usaha penambahan populasi merupakan alternatif untuk mengurangi ketergantungan impor. Berdasarkan pengalaman Puslit BioteknologiLIPI bekerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam hal pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah, maka diusulkan suatu proyek berjudul “Animal Husbandry Technology and Practices Improvement to Accelerate Meat and Milk Production” yang dikenal dengan proyek MeatMilk-Pro. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, peralatan dan fasilitas, kemampuan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung program pengembangan peternakan sapi potong dan sapi perah. Berdasarkan kondisi di atas, terdapat beberapa permasalahan yaitu, menurunnya
kualitas dan mutu genetik ternak akibat dari seleksi negatif (pemotongan betina produktif), rendahnya perangkat technologi dalam penyediaan pakan sepanjang tahun, rendahnya produktivitas ternak akibat dari lemahnya sistim pemeliharaan dan gangguan kesehatan reproduksi pada tingkat peternak, rendahnya pengembangan diversifikasi produk peternakan, dan rendahnya tingkat penerimaan teknologi oleh peternak karena kurangnya komunikasi antara peneliti dan teknisi lapangan. Untuk itu tujuan dari kegiatan ini adalah Melaksanakan kegiatan proyek meatmilk-pro berupa rapat dan koordinasi dengan stakeholder, kegiatanprogram riset, pengadaan peralatan dan fellowship dan training. Proyek ini akan memberikan dampak yang sangat strategis karena akan meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong dan sapi perah, meningkatkan level harga sebagai hasil dari peningkatan kualitas produksi peternakan, meningkatkan jumlah makanan hasil dari peningkatan populasi, membuka dan menambah lapangan kerja, meningkatkan penghasilan petani melalui peningkatan produksi daging dan susu sebagai hasil dari perbaikan genetik ternak, mengurangi ketergantungan impor daging dan susu dan produk olahannya, dan meningkatan kapasitas IPTEK nasional.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rapat Koordinasi Program dan Persiapan Tender Telah dilakukan rapat koordinasi untuk penyusunan program. Dari rapat ini dihasilkan program-program riset yang akan dikerjakan dalam rangka mendukung proyek meatpro. Juga dihasilkan program pengembangan SDM berupa pelaksanaan training. Pada tahun ini juga telah dilakukan rapat panitia tender dalam rangka persiapan tender dan pembuatan dokumen tender. Dari rapat ini memaparkan kembali perkembangan proyek meat-milk pro. Dari rapat ini juga diputuskan untuk pembutan HPS (harga perkiraan sendiri) atau OE (owner estimate). Sampai saat ini telah dihasilkan dokumen tender yang masih dalam proses finalisasi. Disamping itu, OE dalam juga masih tahap penyelesaian. Rapat Koordinasi dengan Pihak Donor Pada tahun ini juga dilaksanakan rapat-rapat dan koordinasi dengan pihak donor (Pemerintah Spanyol). Rapat-rapat dimaksudkan untuk
membahas dokumen tender. Saat ini dokumen tender sedang dalam proses finalisasi, masih tersisa satu topic untuk dibahas yaitu masalah penilai harga penawaran. Perjalanan Pada tahun ini telah dilakukan perjalanan ke Jakarta dalam rangka koordinasi dan konsultasi tentang persiapan pelaksanaan proyek. Hasil konsultasi dan kordinasi dengan insektorat LIPI, arahan dari pimpinan LIPI, rapat di Bappenas, pertemuan dengan Direktur Pendanaan Luar Negeri Departemen Keuangan RI dan pihak Kedutaan Spanyol diperoleh beberapa informasi tentang persiapan implementasi proyek Spanyol. Telah dilakukan perjalanan ke Sulawesi Selatan dalam rangka koordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam hal ini Dinas Peternakan Sulawesi Selatan dan Universitas Hasanuddin. Kunjungan koordinasi dimaksudkan untuk melihat kesiapan daeran untuk implementasi proyek.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
148
Hasil pertemuan dengan Dekan Faukltas Peternakan dan Pembantu Rektor II Unhas diputuskan untuk menggunakan Laboratorium di Pusat Kegiatan Bersama Unhas untuk penempatan alat dan kegiatan riset meatpro. Juga disanggupi untuk mengalokasikan anggaran penelitian dalam rangka pendukung kegiatan riset meatpro. Dalam perkembangannya ada keinginan untuk memindahkan Balai Inseminasi Buatan Daerah Sulsel dari Puncak ke dekat Kota Makassar, mengenai lokasi pemindahan belum jelas. Dalam waktu dekat akan ada kejelasan, dan untuk mengantisipasi perpindahan lokasi BIBD Sulsel ini, maka peralatan yang semula akan ditempatkan di BIBD Sulawesi Selatan (Sulsel) akan ditempatkan di Unhas. Perjalanan juga dilaksanakan dalam rangka kordinasi dengan Pemerintah Daerah Sumatera
Barat. Dari hasil kunjungan ke Payakumbuh tentang persiapan Pemda dalam pembangunan rumah potong hewan (RPH), pemda telah menyelesaikan feasilibility study proyek pembuatan RPH di Payakumbuh. Pemda mengharapkan agar proyek Spanyol dapat segera terelasasi. Perjalanan ke Bandung dalam rangka koordinasi dan persiapan proyek juga telah dilaksanakan. Dalam pertemuan dengan pihak pemda telah dibahas tentang persiapan pembuatan pengolahan susu di Jawa Barat, namun dalam diskusi belum ada kesepakatan tentang lokasi. Penentuan lokasi akan ditentukan dalam waktu dekat. Status Proyek Saat ini telah dilakukan tender dengan proses seperti terlampir.
KESIMPULAN Kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik, walaupun pencairan dana agak terlambat. Proyek Spanyol saat ini sedang dalam proses tender,
dukungan semua pihak sangat diperlukan untuk terlaksananya proyek ini dengan baik.
UCAPAN TERIMA KASIH Proyek ini didanai oleh DIPA 2008 Puslit Bioteknologi LIPI. Terima kasih kami ucapkan kepada Pimpinan Puslit Bioteknologi LIPI atas dukungannya dalam pelaksanaan proyek ini.
Demikian pula kami ucapkan kepada seluruh tim Proyek dan seluruh staf Bioteknologi LIPI atas segala partisipasinya sehingga proyek Spanyol saat ini telah dalam proses tender.
Laporan Teknik Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Tahun 2008
149