LAPORAN PENGKAJIAN KOMPETITIF KAJIAN BEBERAPA STARTER YANG MENGHASILKAN NATA DE COCOA SETEBAL 27 mm DI SULAWESI SELATAN Ir. Wanti Dewayani, dkk ABSTRAK Limbah pertanian khususnya dari tanaman kakao cukup melimpah dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal ini disebabkan akibat keterbatasan pengetahuan petani dalam teknologi pengolahan limbah pertanian. Dalam pengolahan biji kakao, yang terbuang antara lain kulit buah dan pulpa. Pulpa merupakan cairan yang keluar pada saat fermentasi. Pulpa kakao dapat diolah menjadi makanan yang berguna bagi kesehatan yaitu nata de cocoa. Dalam pembuatan nata, diperlukan starter yang tepat untuk menghasilkan nata yang paling baik dan disukai konsumen. Oleh karena itu kegiatan ini bertujuan mendapatkan starter yang sesuai dari limbah beberapa klon kakao yang menghasilkan nata de cocoa setebal 27 mm Pengkajian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2011 di lahan petani dan laboratorium BPTP, Sulawesi Selatan. Survey lokasi di beberapa kebun kakao petani di Sulawesi Selatan. Pengambilan biakan murni beberapa strain bakteri Acetobacter xylinum di laboratorium mikrobiologi dan dibawa ke laboratorium BPTP Sulawesi Selatan. Ruang Lingkup Kegiatan adalah 1) Pengambilan strain di Balai Besar Pasca Panen dan buah kakao di kabupaten Luwu Sulawesi Selatan, 2) Persiapan media Hassid Barker Broth dan Hassid barker agar, untuk pemurnian dan perbanyakan kultur strain, 3) Pemilihan strain unggul, 4) uji fermentasi klon unggul dan 5) Uji substrat pada beberapa media. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dan 2 (dua) ulangan. Parameter yang diamati adalah tebal nata yang diukur dengan penggaris, rendemen, tebal nata, uji organoleptik dan kadar air nata de kakao dan analisis usaha tani starter nata decocoa. Hasil penelitian menunjukkan Strain Acetobacter xylinum yang mampu menghasilkan nata de cocoa adalah Mg 10.2 dan Mg 13. Starter yang paling sesuai dari limbah beberapa klon kakao yang menghasilkan nata de cocoa adalah klon M01 + strain Mg 10.2 (tebal 27.15 mm dan rendemen 10.54 ). Berdasarkan hasil perhitungan terhadap starter yang dihasilkan, petani kakao dapat meningkatkan nilai tambah penghasilannya melalui kegiatan pembuatan starter natadecocoa dengan nilai R/C sebesar 4,49 dan nilai B/C sebesar 3,49 Kata Kunci : Acetobacter xylinum , kakao (Theobroma cacao L.), nata decocoa, starter 1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang
berperan penting bagi perekonomian nasional, khususnya penyedia lapangan kerja dan sumber devisa negara (Sulistiya, 2009). Kakao saat ini ditanam oleh 50 negara di dunia dengan produksi total dunia sebesar 3.045.000. Tingkat kenaikan produksi 2,3% per tahun dan 73% produksi biji kakao dunia dipasok oleh tiga besar negara penghasil biji kakao yaitu 1
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pantai gading 1.315.000 ton, Ghana 490.000 ton dan Indonesia 425.000 ton (Lass, 2004). Indonesia sebagai produsen kakao di dunia ketiga memiliki kontribusi + 12% dari produksi dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor sebagai sumber devisa negara dan sebagai sumber pendapatan utama
bagi banyak petani, terutama sejak terjadinya krisis
ekonomi. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan kontribusi pendapatan kepada sektor-sub tiga
terbesar
setelah
perkebunan
karet
dan
kelapa sawit minyak
dengan
nilai
US $ 701.000.000. Sulawesi merupakan salah satu daerah penghasil utama kakao di Indonesia. Luas areal pertanaman kakao di Sulawesi pada tahun 2007 tercatat 932,762 hektar (BPS Sul-Sel, 2008). Secara nasional Sulawesi menyumbang + 70 % produksi kakao Indonesia. Ekspor kakao Indonesia pada tahun 2007 mencapai 655,429 ton dengan nilai US$ 950,6 juta, merupakan penghasil devisa terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan. Menurut data BPS tahun 2007 nilai ekspor kakao Sulawei senilai 326,18 juta dollar AS, menurun dibanding tahun 2006 senilai 332,56 juta dollar AS. Pada periode krisis di Indonesia petani kakao memperoleh keuntungan harga sebagai akibat tingginya nilai tukar dollar terhadap rupiah. Secara komersial dikenal dua jenis kakao, yaitu penghasil biji kakao lindak dan biji kakao mulia. Indonesia merupakan salah satu negara utama penghasil kakao mulia di dunia. Klon kakao mulia yang mempunyai daya hasil lebih tinggi dari klon pembanding (DR 2, DRC 16) dan stabil yaitu klon KW 118 dan KW 109 (Suhendi, dkk., 2004). Pada pengolahan buah kakao
dihasilkan bahan yang terbuang yaitu kulit buah,
pulpa kakao dan lapisan selubung biji kakao basah. Kulit buah dan selubung biji kakao dapat digunakan sebagai pakan ternak, bahan bakar alternatif dan pektin. Sedangkan pulpa kakao biasanya hanya sebagai limbah yang membuat lingkungan di sekitar tempat pengolahan biji kakao berbau. Padahal pulpa kakao yang terdiri dari senyawa gula, air dan lain-lain, dengan sentuhan teknologi, limbah dapat diolah menjadi makanan yang berguna untuk kesehatan, yaitu nata de cocoa. Dalam pembuatan nata dibutuhkan media atau substrat. Starter adalah populasi mikroba Acetobacter xylinum dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasi pada proses fermentasi. Mikroba pada media starter tumbuh dengan cepat dan fermentasi segera terjadi. Fermentasi terjadi pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter. Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob (membutuhkan oksigen). Mikroba tumbuh terutama pada permukaan media. Fermentasi dilangsungkan sampai 2
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
nata yang terbentuk cukup tebal (1-1,5 cm) pada hari ke 10-15. Jika fermentasi tetap diteruskan, maka permukaan nata mengalami kerusakan oleh mikroba pencemar (Hasbullah, 2001).
1.2.
Perumusan Masalah Pada perkebunan kakao sering tercium bau kurang sedap. Bau berasal dari lendir biji
kakao yang sedang difermentasi. Lendir yang dihasilkan oleh biji kakao sebanyak 1 ton bisa mencapai 10 liter dalam semalam dan bau dan cairan lendir mengalir menuju ke saluran pembuangan dalam perkebunan itu juga (Khairul Amri, 2008). Sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Cairan yang keluar dari peti fermentasi biji kakao dapat ditampung dan diolah menjadi nata de coco. Nata merupakan makanan yang disukai dan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani kakao. Nata de coco atau kolang kaling buatan atau juga disebut selulosa sintetik, termasuk jenis makanan penyegar atau pencuci mulut atau food
dessert yang dapat digolongkan pada dietary yang memberikan andil cukup berarti untuk kelangsungan filosofi secara normal (Anonim, 1974). Sebagai salah satu negara anggota KTT Bumi, Indonesia yang ikut meratifikasi hasil konferensi tersebut mempunyai komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan, termasuk di sektor pertanian (Las, Subagyono dan Setiyanto, 2006). 1.3. -
Tujuan Mendapatkan strain unggul Acetobacter xylinum untuk menghasilkan nata dari limbah beberapa klon kakao
-
Mendapatkan komposisi media yang sesuai dari limbah klon kakao untuk menghasilkan nata de cocoa dengan ketebalan 27 mm
1.4.
Output (Keluaran)
-
Strain unggul Acetobacter xylinum yang mampu menghasilkan nata de cocoa
-
Media yang sesuai dari limbah beberapa klon kakao yang menghasilkan nata de cocoa setebal 27 mm
1.5.
Perkiraan Outcome 3
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Digunakannya strain unggul
Acetobacter xylinum dan media limbah kakao yang
sesuai dalam pembuatan nata de cocoa dalam skala kelompok tani.
1.6. -
Perkiraan Benefit (Manfaat) Nata de cocoa sebagai hasil olahan dari limbah lendir kakao dapat dijual sebagai tambahan penghasilan bagi petani kakao dan industri kecil
1.7.
Nata de cocoa yang bermanfaat bagi kesehatan dan menambah keragaman makanan Perkiraan Impact (Dampak) Hasil pengkajian ini diharapkan dapat diadopsi oleh petani kakao atau industri kecil di
Sulawesi Selatan. II. TINJAUAN PUSTAKA
Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari sellulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal dari pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan mengandung gula (Hasbullah, 2001). Nata dapat dibuat dari berbagai macam bahan pangan yang berkadar air tinggi, seperti buah nenas, buah jambu mete dan air kelapa. Nata dari sari buah nenas disebut nata de pina, dari buah jambu mete disebut nata de cashew dan dari air kelapa disebut nata de coco. Dengan bantuan bakteri A. xylinum, kandungan gula dalam media air kelapa akan disintesis menjadi selulosa.
Namun untuk menghasilkan
nata baik sifat fisiko kimia air
kelapa harus disesuaikan dengan syarat tumbuh dari bakteri A. xylinum.
A.xylinum merupakan jenis bakteri yang tumbuh baik pada media yang mengandung sukrosa sebagai sumber energi, senyawa faktor tumbuh yang akan meningkatkan pertumbuhan bakteri serta mineral Mg2+ yang akan membantu aktivitas enzim metabolisme. Kebutuhan Mg2+ dalam substrat sebesar 0,40 g l-1 (Lapuz et al., 1967). Weinhouse dan Benziman (1976) mengungkapkan bahwa pada konsentrasi 10 mM menunjukkan adanya aktivitas fosforilasi, sedangkan pada konsentrasi 12 mM menunjukkan adanya peningkatan fosforilasi yang tinggi. Komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan A. xylinum tersedia dalam buah nenas maupun air kelapa.
4
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Dari hasil penelitian Misgiyarta (2005), diketahui bahwa lima ras A. xylinum (IFO 3283, CCRC 16382, UICC B4,
α 1602 dan M 1602) yang digunakan
dalam media starter
nenas dan kelapa. A. xylinum yang memiliki kemampuan terbaik dalam menghasilkan nata paling baik pada media starter campuran ekstrak nenas dan air kelapa dengan perbandingan 8,75:1 dengan ketebalan nata 27,5 mm. Alaban pada tahun 1962 telah melakukan penelitian pembuatan nata dari berbagai bahan, ternyata nata dari air kelapa adalah yang terbaik.
Hal ini disebabkan air kelapa
cukup memiliki kandungan nutrisi antara lain vitamin dan mineral.
Dari hasil penelitian
Thampan (1971) diketahui bahwa air kelapa mengandung karbohidrat, vitamin C, vitamin B kompleks dan mineral yang cukup baik. Disamping itu air kelapa mempunyai nilai kalori berkisar 17.4 kalori per 100 ml dan tingkat keasaman (pH) berkisar 6.1. Sedangkan nenas mengandung sukrosa (40,1g/l, mineral beragam diantaranya Mg 2+ (6,25 mg/l) dan protein (0,9 g/l) (Noparatnaraporn et.al (1986). Nata de coco dapat dijadikan bahan substitusi untuk buah kaleng ataupun dapat dikonsumsi dengan buah-buahan lainnya sebagai makanan penyegar atau pencuci mulut. Nata de coco tidak terbatas sebagai bahan makanan saja, namun
ternyata dapat
dimanfaatkan sebagai membran pengeras suara atau loudspeaker membrane.
Para
ilmuwan di Jepang telah melakukan penelitian pembuatan membran pengeras suara dengan menggunakan material yang disebut bacterial cellulose (BC).
Bacterial cellulose adalah
produk fermentasi yang dihasilkan akibat aktivitas bakteri dalam media yang mengandung glukosa sebagai sumber karbon. Karena nata de coco merupakan salah satu produk yang dikategorikan sebagai BC, maka diprediksikan pada masa yang akan datang nata de coco sangat diperlukan sebagai salah satu material untuk industri elektronik (Indrati et al, 2001). Berdasarkan penamaan nata de coco yang juga disebut juga selulosa sintetik, maka berarti bahwa produk nata termasuk salah satu produk yang rendah kalori. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat karakteristik nata yang dibandingkan dengan kolang kaling alami. Tabel 1. Karakteristik Kimia Nata de Coco dan Kolang Kaling Alami Komposisi Kadar lemak Kadar air Kadar protein Karbohidrat (pati) Kadar abu Serat kasar Kalsium
Nata de Coco 0.2 % 94.70 % 0.6 % 1.05 % 5
a)
Kolang Kaling b) 93.75 % 0.69 % 33.39 % 1.00 % 0.95 % 0.012 % www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Fosfor Riboflavin (vitamin B3) Thiamin (Vitamin B1)
a) Rindengan, 1994 b) Muchtadi et al, 1973
-
0.002 % 0.017 % sedikit sekali
Biji kakao merupakan bahan baku untuk pembuatan bubuk cokelat dan lemak cokelat. Untuk menghasilkan biji kakao, bubuk cokelat dan lemak cokelat dengan citara yang baik disarankan untuk memfermentasi biji kakao selama 5 hari agar fermentasi berjalan dengan baik dan sempurna sehingga calon citarasa dan warna sempurna.
Biji
kakao yang difermentasi 5 hari, skor aromatic, chocolate dan colour masing-masing 3 (medium) sedangkan acid, bitter dan astringent masing-masing 2 (low medium) dan 3 (medium). Lebih baik dibanding biji kakao yang tidak difermentasi dan difermentasi 1 hari (Suprapti, 2006). Hasil penelitian Rosniati (2006) diketahui bahwa kadar air, kadar gula, asam lemak bebas dan angka lempeng total tidak mengalami perubahan kecuali kadar lemak meningkat selama fermentasi. Cita rasa dark chocolate (pasta coklat) yang dibuat dari biji kakao fermentasi 3 dan 5 hari dapat diterima konsumen. Proses fermentasi pada pengolahan biji kakao harus dilaksanakan dengan sempurna dalam upaya memperbaiki mutu biji kakao kering (Alamsyah, 1991). Selama proses fermentasi berlangsung, terjadi perubahan senyawa kimia di dalam keping biji dan di luar biji (pulp). Tujuan fermentasi adalah untuk melepaskan pulp dari biji, mematikan biji, membentuk calon (prekusor) aroma dan memperbaiki rasa (Frazier, W.C. 1967). Polifenol adalah salah satu zat antioksidan yang dihasilkan oleh tanaman dan menjadi perhatian para ahli karena sifat-sifatnya memberikan manfaat bagi kesehatan. Kandungan dan komposisi polifenol dalam biji kakao berubah secara nyata selama proses fermentasi (Misnawi dan Jinap S., 2003). Pada proses pengolahan biji kakao dilakukan fermentasi terhadap biji basah yang berlendir. Biji ditumpuk di dalam peti fermentasi yang dasarnya berlobang-lobang. Selama fermentasi berlangsung, cairan lendir Kakao akan menetes dari bagian bawah peti fermentasi. Cairan ini dapat dijadikan media untuk produksi nata. Pembuatan nata tidak sulit dan biaya yang dibutuhkan juga tidak banyak atau murah (Hasbullah, 2001). Cairan lendir (pulpa) juga banyak mengandung air (84,5%), pentosan (2,7%), sukrosa (0,7%), glukosa dan fruktosa (10,0%), protein (0,6%), asam-asam (0,7%) dan garam anorganik (0,8%). III. METODOLOGI 6
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
3.1. Waktu dan lokasi pengkajian Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2011. Buah diambil dari kabupaten Luwu dan diangkut ke laboratorium BPTP Sulawesi Selatan, untuk difermentasi dan ditampung pulp yang menetes selama fermentasi. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang akan digunakan adalah beberapa strain
Acetobacter xylinum
(MG 10.1, MG 10.2, MG 10.3, MG 10.5, MG 13), sukrosa, ekstrak khamir, K2HPO4, (NH4)2SO2, hassid Barker
agar, air kelapa, asam cuka, limbah nenas, dan limbah lendir
beberapa klon kakao (Sulawesi-1, Sulawesi-2, BB dan Muhtar-01). Limbah lendir
kakao
diperoleh dari hasil fermentasi buah kakao dari beberapa klon yang masak optimal dan sehat yang berasal dari kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Bahan Peralatan yang akan digunakan adalah kotak fermentasi dengan ukuran 60 cm x 80 cm x 20 cm, talang plastik penampung limbah, autoklaf mini, tabung reaksi, jarum ose, kotak inokulasi, lampu spirtus, gelas piala, kompor, kotak inkubasi, kulkas, timbangan, kertas pH , botol, baskom, kertas, kotak plastik, saringan, termometer, panci steinlessteel, dll. 3.3. Ruang Lingkup Pengkajian a.
Kegiatan yang dilakukan sebagai berikut :
1.
Persiapan media HBB dan HBA
a.
Pembuatan HBB (Hassid barker broth) Media cair sintetis (HBB) dibuat dari aquades 1 liter, ditambahkan sukrosa hingga kadar mencapai 10%, (NH4)2SO4 0,6 g l -1, K2HPO4 5 gl-1, ekstrak khamir 2,5 g l-1 diaduk hingga homogen. Kemudian ditambahkan asam asetat 25% dan disterilkan pada suhu 115oC selama 15 menit. Sedangkan media cair alami adalah air kelapa satu liter ditambah dengan gula 80 gram, cuka 20 ml dan urea 2-3 gram. Kemudian ditambahkan asam asetat
25% dan
o
disterilkan pada suhu 115 C selama 15 menit. b.
Pembuatan HBA (Hassid barker agar) Pembuatan media agar adalah media HBB ditambah agar 10 gram/liter aquades. Kemudian ditambahkan asam asetat 25% dan disterilkan pada suhu 115oC selama 15 menit.
7
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2.
Inokulasi strain yang sudah ada yaitu Mg 10.1; Mg 10.2; Mg 10.3; Mg 10.5 dan Mg 13 pada media cair sintetis dan media alami.
3.
Fermentasi beberapa klon kakao
di lab 10 kg/klon. Ada 4 (empat) klon
yang
berkembang di kabupaten Luwu yaitu Sulawesi-1, Sulawesi-2, BB dan Muhtar-01). Ke empat klon biji kakao difermentasi pada kotak fermentasi. Klon yang menghasilkan pulp setelah fermentasi adalah Sulawesi-2 dan M01. Pulp tersebut diencerkan dengan air sebanyak 14 liter per liter pulp. Pulp yang telah diencerkan digunakan sebagai media substrat untuk inokulasi. 4.
Uji media substrat (tebal mm). Media substrat adalah klon kakao yang menghasilkan pulp hasil fermentasi (S2 dan M01), air kelapa, ekstrak nenas dan ekstrak nenas+ air kelapa. Media-media substrat diinokulasi dengan strain unggul (Mg10.2 dan Mg 13). Strain yang hidup adalah yang unggul diinokulasi ke dalam beberapa media substrat yaitu media pulp kakao yang terpilih (M01 dan S2), air kelapa, ekstrak nenas dan campuran air kelapa dan ekstrak nenas
5.
Starter Hasil dari nomor 4 yang tumbuh natanya adalah starter yang unggul
b.
Pengamatan dan Rancangan
1. Penyiapan biakan starter unggul Media biakan starter yang digunakan adalah hassid barker cair. Media 100 ml dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 115 oC selama 15 menit. Media didinginkan < 40 oC dan diinokulasi dengan 1-2 ose kultur 5 ras bakteri A.xylinum. Biakan diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam. 2. Pemilihan strain unggul dari lima strain koleksi menggunakan media HBB cair (sintetis) dan media alami (air kelapa) (Misgiyarta, 2005). Pengamatan terhadap tebal nata yang terbentuk. Rancangan yang digunakan rancangan acak lengkap pola faktor pertama strain (Mg 10.1; Mg 10.2; Mg 10.3; Mg 10.5 dan Mg 13) dan faktor kedua adalah media substrat (sintetis dan alami) dengan 2 ulangan. 3. Fermentasi biji kakao Fermentasi menggunakan 4 klon kakao dalam peti fermentasi selama 3-4 hari. Air pulp yang menetes ditampung dalam talang plastik dan dihitung jumlah pulp yang tertampung dalam 10 kg biji kakao. Rancangan yang digunakan adalah racangan acak lengkap dengan 2 ulangan dan 4 perlakuan klon kakao (S1, S2, BB dan M01). 4. Fermentasi pembuatan starter 8
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pulp kakao yang berhasil tertampung disaring dan diberi sukrosa hingga kadar mencapai 10%, (NH4)2SO4 0,6 g l -1, K2HPO4 5 gl-1, ekstrak khamir 2,5 g l-1 diaduk hingga homogen. Kemudian ditambahkan asam asetat
25% dan disterilkan pada suhu 115oC
selama 15 menit kemudian didinginkan. Strain yang hidup adalah yang unggul diinokulasi ke dalam beberapa media substrat sebanyak 10% yaitu media pulp kakao yang terpilih (M01 dan S2), air kelapa, ekstrak nenas dan campuran air kelapa dan ekstrak nenas. Substrat yang telah diinokulasi ditutup dengan kertas koran steril, diinkubasi selama 15 hari tanpa goncangan.
Pengamatan dilakukan pada hari ke 15 dengan parameter
fisikokimia (tebal, rendemen, kadar air) (metode AOAC (1984)) dan organoleptik. 5. Uji Organoleptik Pengamatan organoleptik dilakukan pada hari ke 15. Nata yang terbetuk dipanen, dicuci hingga hilang rasa asam. Nata direbus dan ditambahkan larutan gula (1:1). Kemudian dilakukan uji organoleptik terhadap 11 panelis dengan parameter warna, tekstur, aroma, rasa manis dan kegemaran dengan metode skoring (Tabel 6). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 ulangan. Faktor pertama strain (Mg 10.2 dan Mg 13) dan faktor kedua adalah jenis nata (nata decocoa dan nata decoco). 3.4. Pengolahan dan Analisa Data Data pengamatan dikumpulkan dan ditabulasi serta dianalisa secara statistik dengan menggunakan Anova dan uji lanjut menggunakan Uji Duncan 5%. Disamping itu dianalisis pula penggunaan biaya dalam proses pembuatan starter nata de cocoa.
IV. 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh karakteristik fisik beberapa klon kakao terhadap kualitas buah kakao Klon-klon yang berkembang di lahan petani kabupaten Luwu adalah Sulawesi -
1,Sulawesi- 2, BB dan M01. Klon-klon tersebut dikembangkan oleh petani dengan lokasi yang jelas dan tidak tercampur baur antar klon. Hal ini memudahkan untuk identifikasi dan kemurnian penelitian. Dari hasil fermentasi di laboratorium BPTP diketahui bahwa tidak semua klon menghasilkan pulp selama proses fermentasi (Tabel 2). Hanya klon S-2 dan M01 yang menghasilkan pulp selama fermentasi, sedangkan klon S-1 dan BB tidak menghasilkan pulp selama proses fermentasi atau kering. Hal ini diduga karena biji kakao klon BB dan S-1 berukuran kecil-kecil sehingga mudah kering.
Jumlah biji per buah pada setiap klon kakao
ditampilkan pada Tabel 2. 9
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pada Tabel 2 terlihat bahwa hanya klon M01 dan Sulawesi 2 yang menghasilkan pulp hasil fermentasi. Sedangkan klon BB dan Sulawesi 1 tidak menghasilkan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa jumlah biji per buah atau per kg pada klon BB dan Sulawesi- 1 lebih tinggi sehingga lebih cepat kering. Sedangkan M01 dan Sulawesi – 2 mempunyai ukuran biji agak besar,
sehingga
memperlambat pengeringan dan
terjadi proses fernentasi yang
menghasilkan pulp yang dapat ditampung untuk pembuatan nata decocoa. Tabel 2. Karakteristik fisik buah pada setiap klon kakao Klon
Jumlah pulp hasil Jumlah biji Jumlah biji fermentasi (ml) perbuah per kg BB 0 b 44,67 a 254 a M01 10.0 a 37,0 a 185 a Sulawesi -1 0 b 38,33 a 360 a Sulawesi - 2 9.0 a 43,33 a 330 a Keterangan : angka rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 % 2.
Pengaruh jenis strain A xylinum dan masa inkubasi terhadap ketebalan nata yang terbentuk Jenis strain yang yang diuji adalah Mg 10.1; Mg 10.2; Mg 10.3; Mg 10.5 dan Mg 13.
Kelima strain diinokulasi ke dalam media alami (air kelapa) dan media sintetis (hassid barker broth) dan diinkubasi selama 15 hari. Dari hasil inkubasi selama 15 hari terlihat bahwa tidak semua strain dapat tumbuh dengan baik, bahkan ada yang tidak tumbuh. Baik pada media alami maupun sintetis (Tabel 3). Strain yang tumbuh dengan baik adalah Mg 10.2 dan Mg 13 baik pada media sintetis maupun alami. Hal ini diduga bahwa hanya strain Mg 10.2 dan Mg 13 yang sesuai hidup di lingkungan laboratorium BPTP Sulawesi Selatan yang mempunyai suhu ruang ≥ 35oC. Sedangkan strain yang lain (Mg 10.2; Mg 10.3 dan Mg 10.5) hanya bisa tumbuh di tempat asalnya yaitu Balai Besar Pascapanen di Bogor, yang tentunya mempunyai karakteristik lingkungan yang berbeda. Suhu dan aerasi akan mempengaruhi aktivasi bakteri Acetobacter xylinum. Oleh karena sifat mesofilik, bakteri ini memiliki suhu optimum untuk aktivitasnya pada suhu kamar 28-31oC. Aktivitasnya erhambat pada suhu < 25oC dan sama sekali terhenti pada suhu 10oC. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi dari 35oC tidak terbentuk selulosa walaupun sel bakteri tampak aktif pada suhu 40oC (Lapuz et.al. 1967).
10
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 3. Pengaruh jenis strain A xylinum dan masa inkubasi terhadap ketebalan nata yang terbentuk (mm) Lama inkubasi (hari)
Strain Mg 10.1 HBB
0 3 6 9 12 15
0f 0f 0f 0f 0f 0f
Mg 10.2
Mg 10.3
alami
HBB
alami
0 0,1 0,1 0,15 0,15 0,15
0 f 0,1 f 0,7 de 1,7 c 2,1 c 2,8 b
0 f 0,1 f 0,75 de 1,70 c 2,15 c 2,85 b
f f f ef ef ef
HBB 0f 0f 0f 0f 0f 0f
alami 0 f 0,05 f 0,2 ef 0,35 def 0,4 def 0,4 def
Mg 10.5 HB B 0 f 0 f 0 f 0 f 0 f 0 f
Mg 13
alami
HBB
0 0 0 0 0 0
0 f 0,35 def 0,7 de 2,1 c 3 ab 3,4 a
f f f f f f
Keterangan : angka rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 %
3.
alami 0 f 0,35 def 0,90 d 2,15 c 3,10 ab 3,50 a tidak
Hubungan strain unggul dan klon unggul kakao terhadap kualitas starter Dari hasil pemilihan klon, didapatkan pulp hasil fermentasi pada klon M01 dan Sulawesi-
2. Sedangkan strain yang berhasil ditumbuhkan di laboratorium BPTP Sulawesi Selatan adalah Mg 10.2 dan Mg 13. Pulp klon M)1 dan Sulawesi-2 diinokulasi dengan strain Mg 10.2 dan Mg 13 kemudian diinkubasi selama 15 hari. Dari hasil inokulasi tersebut, ternyata media pupl klon Sulawesi-2 tidak bisa menumbuhkan strain yang sudah tumbuh di laboratorium baik strain Mg 10.2 maupun Mg 13. Sehingga hasil inokulasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4 adalah klon M01. Limbongan, 2011 melaporkan bahwa di beberapa daerah pengembangan kakao di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua telah diidentifikasi beberapa klon unggul lokal yang produktivitas dan kualitasnya tidak kalah dari klon introduksi. Beberapa klon unggul lokal yang telah digunakan untuk merehabilitasi kakao di Sulawesi adalah klon Sulawesi 1, Sulawesi 2 (Suhendi, 2006 dan Anonim, 2010) dan M01 (Muktar 01) , Muktar 02, Muktar 03, Muktar 04, Muktar 05, Muktar 06, Muktar 07, dan Muktar 08 (USAID 2012) Keunggulan klon M01 sebagai starter tumbuh Mg 10.2 dan Mg 13 dapat ditinjau beberapa segi. Kelebihan klon M01 adalah memiliki ukuran biji kakao kering yang besar yaitu
11
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
sekitar 1.5 sampai 2 gram atau 40 sampai 50 biji per buah, terus berbuah sepanjang tahun, dan memiliki pertumbuhan yang cukup cepat (USAID, 2012).
A.xylinum
merupakan jenis bakteri yang tumbuh baik pada media yang
mengandung sukrosa sebagai sumber energi, senyawa faktor tumbuh yang akan meningkatkan pertumbuhan bakteri serta mineral Mg2+ yang akan membantu aktivitas enzim metabolisme. Kebutuhan Mg2+ dalam substrat sebesar 0,40 g l-1 (Lapuz et al., 1967). Weinhouse dan Benziman (1976) mengungkapkan bahwa pada konsentrasi 10 mM menunjukkan adanya aktivitas fosforilasi, sedangkan pada konsentrasi 12 mM menunjukkan adanya peningkatan fosforilasi yang tinggi. Komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan
A. xylinum tersedia dalam buah nenas maupun air kelapa. Sehingga diduga klon M01 mengandung nutrien yang cukup untuk pertumbuhan A xylinum, sedangkan klon lainnya tidak cukup banyak mengandung nutrien yang dibutuhkan A xylinum . Pada Tabel 4 ditampilkan hubungan strain unggul dan klon kakao M01 terhadap kualitas fisiko kimia starter. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketebalan dan rendemen nata starter M01 tidaj berbeda nyata baik pada strain Mg 10.2 maupun Mg 13. Demikian pula pada asal media strain sintetis dan alami (air kelapa), namun yang paling tebal adalah starter M01 yang diinokulasi strain Mg 10.2 pada media sintetis yaitu 27,15 mm. Sedangkan rendemen paling tinggi adalah starter klon M01 yang diinokulasi dengan strain Mg 10.2 dalam media alami yaitu 11,23 g/toples). Tabel 4. Hubungan strain unggul dan media terhadap kualitas fisiko kimia starter klon M01 Asal inokulasi
Tebal (mm)
Strain Mg 13 + media air kelapa Strain Mg 13 + media HBB Strain Mg 10.2 + media air kelapa Strain Mg 10.2+ media HBB
Rendemen (g/toples)
Kadar air (%)
21,00 a
5,740 a
98,41 a
10,5 a
5,974 a
92.51 b
15,5 a
11,225 a
97.195 a
27,15 a
4,926 a
97,155 a
Keterangan : angka rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 % Sedangkan kadar air nata pada starter M01 yang paling rendah adalah starter M01 yang dinokulasi dari strain Mg13 media HBB (sintetis) dan berbeda nyata dengan starter lainnya. Kadar air nata decocoa lebih tinggi dari pada kadar air nata decoco dan kolang kaling (Tabel 1). Hal ini berarti kadar serat nata decocoa lebih rendah dari nata decoco dan kolang kaling karena kandungan air yang dominan.
12
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Hubungan strain unggul dan starter klon M01 kakao terhadap kualitas organoleptik nata dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan strain unggul dan media starter terhadap kualitas organoleptik nata Perlakuan
Warna
Tekstur
Aroma
Rasa
Kegemaran
manis Nata decocoa (klon M01+ Mg 10.2)
5,27 b
3,27 b
3,27 a
8,82 a
5,18 b
Nata decocoa (klon M01+ Mg 13)
5,73 b
4,00 ab
2,73 b
8,91 a
5,27 b
Nata decoco (air kelapa +Mg 10.2)
7,82 a
4,73 a
3,91 a
6,91 b
7,09 a
Nata decoco (air kepala+ Mg 13)
7,72 a
4,91 a
4,36 a
7,27 b
7,27 a
Keterangan : angka rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 % Pada Tabel 5 terlihat hasil organoleptik menunjukkan bahwa warna nata decocoa berbeda nyata warnanya dengan nata decoco, nata decocoa berwarna coklat muda karena berasal dari starter pulp kakao yang memang berwarna coklat sedangkan nata decoco berwarna putih tulang yang starternya dari air kelapa. Tekstur nata decocoa lebih lunak dari pada nata decoco. Hal ini karena nata decocoa memiliki kandungan air yang tinggi dengan kadar serat yang rendah. Sementara nata decoco yang terbuat dari starter air kelapa memilki kadar air rendah dengan serat tinggi. Nata yang tidak beraroma hanya natadecocoa dengan starter M01 strain Mg13 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan rasa manis nata decocoa nyata lebih tinggi daripada nata decoco. Hal ini karena nata decocoa lebih tipis daripada nata decoco, sehingga larutan gula lebih meresap pada nata yang tipis daripada nata yang tebal. Nata decoco lebih tebal daripada nata decocoa karena nata decoco telah mengalami proses optimalisasi dengan penambahan urea. Nata decocoa masih kurang digemari daripada nata decoco. Hal ini karena panelis baru pertama kali mencoba nata yang terbuat dari pulp kakao. Mereka sudah terbiasa dengan nata decoco yang terbuat dari air kelapa.
13
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 6. Skoring organoleptik Skor 1 – 2,99
Warna Coklat tua
Tekstur Sangat lunak
3 – 4,99 5 – 6,99
Coklat Coklat muda
Lunak Agak keras
Aroma Rasa manis Tidak beraroma Sangat manis
Agak beraroma Agak manis Cukup Cukup manis beraroma 7 – 8,99 Putih tulang Keras Beraroma asam Manis 9 – 10,00 Putih bersih Sangat keras Sangat Sangat manis beraroma 4. Analisis Kelayakan Usaha pembuatan starter nata decocoa
Kegemaran Sangat tidak gemar Tidak gemar Agak gemar Gemar Sangat gemar
Untuk mengetahui nilai tambah limbah fermentasi kakao, maka dilakukan analisis usaha. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap starter yang dihasilkan, petani kakao dapat meningkatkan nilai tambah penghasilannya melalui kegiatan pembuatan starter natadecocoa dengan nilai R/C sebesar 4,49
dan nilai B/C sebesar
3,49 secara rinci hasil perhitungan
kelayakan usaha starter disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis Kelayakan Usaha starter natadeococa per 50 l pulp fermentasi kakao No. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. B. C. D. E. F. G.
Bahan Biaya Produksi A xylinum media agar Gula pasir Ekstrak khamir K2HPO4 (NH4)2SO2 Asam cuka Gelas ukur Lampu spirtus Kemasan botol Jarum ose Air bersih Karet Timbangan Panci Tenaga kerja starter Biaya pengangkutan pulp Jumlah A Hasil Produksi Harga jual per botol Nilai Penerimaan Nilai Pendapatan B/C ratio R/C ratio
Tolok Ukur Jumlah 2 botol 75 kg 1,875 kg 3,75 kg 0,45 kg 75 botol 2 buah 2 buah 1500 botol 2 buah 700 l 75 bungkus 1 buah 2 buah 15 HOK 1 Oj
Harga satuan (Rp) 500.000 12.000 355.400 340.000 284.000 10.000 50.000 100.000 500 10.000 500 5.000 200.000 150.000 25.000 100.000
Nilai Biaya dan Produksi (Rp/50 l) 1.000.000 90.000 666.375 1.275.000 127.800 750.000 100.000 200.000 750.000 20.000 350.000 375.000 200.000 300.000 375.000 100.000 6.679.175
1500 botol 20.000 30.000.000 23320825 3,49 4,49
14
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
V. KESIMPULAN 1.
Strain unggul
Acetobacter xylinum yang mampu menghasilkan nata de cocoa adalah Mg
10.2 dan Mg 13 2.
Starter yang paling sesuai dari limbah beberapa klon kakao yang menghasilkan nata de cocoa adalah klon M01 + strain Mg 10.2 (tebal 27.15 mm dan rendemen 10.54 )
3.
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap starter yang dihasilkan, petani kakao dapat meningkatkan
nilai
tambah
penghasilannya
melalui
kegiatan
pembuatan
starter
natadecocoa dengan nilai R/C sebesar 4,49 dan nilai B/C sebesar 3,49 VI. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Klon unggul kakao generasi ketiga-keragaan klon unggul Sulawesi 1Rehabilitasi dengan sambung samping-entres kakao cukup untuk mendukung rehabilitasi di 4 provinsi-klon-klon unggul kakaoteknologi SE kakao sistem padat. http//pengawasbenihtanaman.blogspot.com. [10 Februari 2010]. Anonim. 1974. Pembuatan nata de coco. BBIHP, Bogor. Alamsyah, T.S. 1991. Peranan Fermentasi Dalam Pengolahan Biji Kakao Kering. Berita Penelitian Perkebunan 1(2): 97-103. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis on The Association of Official Agricuture Chemist. Assoc. Of Agric. Chem. Washington. D.C. BPS Sulawesi Selatan. 2008. Statistik Perkebunan. Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. Frazier, W.C. 1967. Food Microbiology. 2nd ed. Mc Graw Hill, New York. Hasbullah. 2001. Teknologi http://www.ristek.go.id
Tepat
Guna
Agroindustri
Kecil
Sumatera
Barat.
Indrati, L., K. Amurwabumi & R. Yudianti. 2001. Loudspeaker membrane from nata de coco. Cocoinfo International 8 (1) : 15 – 16. Khairul
Amri. 2008. Menyelamatkan indomedia.com/intisari/1998/Agustus
Lingkungan
dengan
Nata
de
Cacao.
Lapuz, M.M., Golardo, E.G. dan Palo, M.A. 1967. The Organism – Culture Requirements. Characteristics and Identity. The Philippine J. Science. 96:101-109. Las, I., K. Subagyono dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 25(3): 106-114. Lass, T. 2004. Balancing Cocoa Production and Consumption. J. Food and R. Murphy (Eds). P 8-15 In: Cocoa Futures
15
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Limbongan, J. 2011. Kesiapan Penerapan Teknologi Sambung Samping Untuk Mendukung Program Rehabilitasi Tanaman Kakao Jurnal Litbang Pertanian, 30(4), 2011.p. 156163. Misgiyarta. 2005. Fermentasi Nata dengan Substrat Limbah Buah Nenas dan Air Kelapa. Jurnal Widya Riset. 8(2): 1-13. Misnawi dan Jinap, S., 2003. Effect of Cocoa Bean Polyphenols on Sensory Properties and Their Changes during Fermentation. Jur. Penelitian Kopi dan Kakao. Pelita Perkebunan. 19(2):90-103. Muchtadi, D., F.G. Winarno dan Soenarsono. 1973. Pemanfaatan hasil tanaman aren. Prosiding seminar teknologi pangan. BBIHP Bogor. Noparatnaraporn, N., Wongkornchawalit, W., Kontachote, D. And Nagai, S. 1986. Single Cell Protein Production of Rhodopseudomonas sphaeroides on Pineapple Waste. Jur. Fermen. Technol. 64(2): 137 -143. Rindengan, B. 1994. Pengolahan nira kelapa untuk produk nata, alkohol dan asam cuka. Jurnal Penelitian kelapa 17 (2) : 21-33. Rosniati. 2006. Pengaruh waktu fermentasi Biji Kakao terhadap Kandungan Polifenol dan Citarasa Pasta Cokelat. Jurnal Industri Perkebunan 34(2):39-46. Suhendi, Mawardi dan Winarno, 2004. Daya Hasil dan Daya Adaptasi Beberapa Klon Harapan Kakao Mulia. Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao. Pelita Perkebunan 20(2):5465. Suhendi, D. 2006. Mengenal klon kakao lindak ICCRI 03 dan ICCRI 04. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 22(1): 1−8. Sulistiya, R. 2009. The utilization liquid waste cacao seed ( Theobroma cacao L.) For development nata de cacao. http://global-agriculture.blogspot.com/ 2009/02/ pemanfaatan-limbah-cair-biji-kakao.html Suprapti. 2006. Pengaruh lama Fermentasi Biji Terhadap Citarasa Bubuk dan Lemak Cokelat. Jurnal Industri Hasil Perkebunan 34(2):59-64. Thampan, P.K. 1981. Handbook of coconut palm. New Delhi, India. USAID (United States Agency for International Development). 2008. Success story klon unggul lokal meningkatkan produksi dan pendapatan. http://www.amarta.net/amarta/successstory/ID/AMARTA%20success%20story%20J an%2009%20-%20Hasyim,%20cocoa%20Ind.pdf.USAID from the American people 11 Feb. 2012 Wheinhouse, H. Dan Benziman, M. 1976. Phosphorilation of Glycerol and Dehyroxyacetone in Acetobacter xylinum and It’s Posible Regulatory Role. Jur. Bacteriol. 127:747754.
16
www.sulsel.litbang.deptan.go.id