BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Mattulada dalam Latoa (1985: 59-60) Secara resmi orang Bugis di Sulawesi Selatan adalah penganut agama islam yang setia. Ada beberapa kelompok penduduk Bugis yang walaupun mengaku penganut agama islam, akan tetapi pada inti kepercayaannya terdapat konsep-konsep Dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe. Rupa-rupanya konsep-konsep kepercayaan mereka, adalah sisa-sisa kepercayaan periode Galigo, zaman pemerintahan raja-raja BugisMakassar yang tertua. Kepercayaan seperti itu juga terdapat di Kajang, yang disebut kepercayaan patuntung, yang dipimpin oleh seorang Amma-toa (ayah tertua). Konsep dewa tertinggi mereka, disebut Turie a’ra’na (orang yang berkehendak). Kepercayaan-kepercayaan tertua seperti itu semakin kehabisan pengikut dan lambat laun akan dilupakan. Tetapi di kalangan orang Bugis yang sudah menjadi penganut agama Islam (semenak permulaan abad ke-17), terutama di pedesaan masih terdapat tanggapantanggapan tentang dunia gaib yang berasal dari dari religizaman pra Islam. Tanggapan-tanggapan demikian dinyatakan dalam berbagai upacara, yang biasanya erat kaitannya dengan pertaliannya dengan kegiatan hidup sehari-hari. Upacara mulai turun ke sawah, yang disebut upacara palili’, sampai sekarang masih dapat ditemukan di daerah Segeri. Lukuh kerajaan diarak berkeliling. Upacara dipimpin Puang Matoa, yaitu kepala bissu perawat alat-alat kerajaan. Bissu ialah orang yang keadaan biologisnya menunjukkan jenis kelamin lak-laki, 1
akan tetapi berpakaian dan bertingkah laku seperti perempuan. Orang Bugis menamakan mereka calabai (wadam). Tetapi tidak semua calabai adalah bissu, karena bissu adalah calabai yang merawat alat-alat kepercayaan atau religi rakzat zaman lalu. Di tengah-tengah penduduk masih banyak terdapat kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk pemali atau larangan, baik dalah hal makanan maupun dalam bentuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Jampi-jampi dan perbuatan-perbuatan magis serta jimat-jimat masih ditemukan dimana-mana. Khususnya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak pemali yang ditaati oleh penduduk. Pemali (Bugis, pemmali) berarti larangan atau pantangan untuk berbuat atau mengatakan sesuatu. Biasanya tiap pemmali itu mempunyai sifat sakral dan berfungsi melindungi. Senada dengan yang dikatakan Kambie dalam bukunya Akar Kenabian Sawerigading (2003:6) bahwa agama dan kepercayaan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat pribadi, terselubung dan kadang diliputi halhal yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang amat ditentukan oleh nilainilai kepercayaan yang melekat pada dirinya, dalam bahasa agama disebut aqidah. Orang rela mempertaruhkan hidupnya demi kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Demikianlah yang dapat kita lihat pada masyarakat BugisMakassar. Meski agama islam sudah menjadi agama resmi sebagian besar warga Bugis-Makassar, namun kepercayaan terhadap Sawerigading masih mewarnai keberislaman mereka. Hal tersebut tercermin lewat berbagai ritual dan tradisi yang masih bertahan hingga kini. 2
Seperti yang dikemukan Pelras dalam Manusia Bugis (2004:218), sinkretisme praktis tersebar luas dan dijalankan secara terbuka di Sulawesi Selatan, walaupun banyak ditentang oleh penganut ajaran agama Islam ortodoks. Sinkretisme praktis tidak memiliki rumusan konsep tertentu. Orang hanya dapat menarik kesimpulan mengenai konsep yang mendasarinya dengan mengamati berbagai “praktik religi” orang Bugis, misalnya ritus siklus hidup, ritus yang berhubungan dengan pertanian, pembangunan rumah, pembuatan perahu dan penagkapan ikan serta ritus pengobatan. Praktek-praktek tersebut sebenarnya bertentangan dengan Islam, karena cenderung memperlakukan entitas spritual (toalusu) maupun entitas gaib (to-tenrita) sebagai perantara hubungan dengan Tuhan. Implikasi kemusyrikan dari praktik-praktik tersebut tidak selalu disadari oleh mereka yang melaksanakannya, sebagian penganut sinkretisme praktis menganggap to-alusu dan to-tenrita sebagai dewata atau roh-roh para leluhur, sebagian lagi menganggap mereka sebagai jin atau malai’ika’ (malaikat). Sisa-sisa kebiasan menyembah nenek moyang yang berlaku umum sebelum Islamisasi, kini masih tersisa, seperti persembahan nasi pada ritus pembangunan rumah dan juga ziarah ke kuburan-kuburan yang dianggap sebagai tokoh mitos pembangun kerajaan, tokoh pahlawan hitoris, sufi, dan orang yang memiliki ilmu atau kemampuan yang luar biasa. Sebagai wujud praktik sinkritisme tersebut, ritual tradisonal Bugis merupakan campuran dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Proporsi unsur tersebut dalam ritual yang satu berbeda dengan ritual lainnya karena tidak ada
3
standar baku yang mengaturnya. Setiap sandro (dukun), setiap orang yang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktik mereka menurut tata cara yang dicipatkan sendiri. Keistimewaan yang dimiliki seseorang mungkin merupakan warisan dari seseorang guru, mungkin pula temuan sendiri, lewat ilham, atau diterima melalui mimpi, sehingga seolah-olah bukan hasil temuan, namun hal tersebut hanya merupakan variasi dari pola-pola umum. Berdasarkan pandangan yang tersebar luas di kalangan orang Bugis, perbedaan utama antara ritus orang Bugis dan ritus Islam adalah ritus Bugis melakukan persembahan sajian, sedangkan ritus Islam melalui shalat, meskipun teknik pelaksanaannya berbeda, namun kedua praktik tersebut dianggap dapat menghasilkan sesuatu yang sama (Pelras,2006: 220). Maka sebab itu masyarakat Sulawesi Selatan sangat kental dengan kepercayaan terhadap hal-hal yang magis, karena bersumber dari paham-paham masa lalu leluhur yang turun temurun dijaga dan dilestarikan masyarakat sekarang. Mereka tidak ingin berjudi dengan bala yang kan menimpa diri dan keluarga mereka bila tidak melakukan ritual dari tradisi-tradisi nenek moyang mereka. Hal-hal mistis sudah jadi bagian hidup dari mereka suku Bugis, Makassar dan Toraja dalam menyonsong kehidupan sehari-hari. Mereka menjadikan hal itu seperti dengan kewajiban mereka menunaikan rukun islam, sama pentingnya. Jika dikelompokkan dalam kehidupan, masyarakat Sulawesi Selatan terbagi dalam empat kategori, mitos penciptaan semesta dan dunia, yang meliputi fenomena kosmik (bencana alam), cuaca (bulan pakai payung) binatang dan peternakan, penangkpan ikan dan berburu, tanam-tanaman dan pertanian. Kategori
4
mitos kedua adalah mitos tentang alam gaib, meliputi dewa-dewa, roh, kekuatan sakti, mahluk gaib, dan alam gaib. Kategori ketiga adalah mitos sekitar lingkaran kehidupan, lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, tubuh manusia, obat-obatan, rumah dan pekerjaan rumah, mata pencaharian dan hubungan social, perjalanan, cinta pacaran dan menikah, kematian dan adat pemakaman dan mitos lainnya (pencuri kebal, pengobatan tradisional). Dalam gambaran mitologi tersebut, orang Sulawesi Selatan membagi dunia dan isinya menjadi empat macam citra, 1. Lino (dunia nyata), 2. Bajo-bajo (dunia bayangan) merupakan duplikat dari dunia nyata. Setiap unsur alam nyata memliki banyangan sebagai zat yang halus selalu mengikuti aslinya. Dunia tersebut bukan dunia fiksi atau imajinatif, tetapi bisa tampak nyata bagi orang yang telah mencapai tahap terawang 3. Makkenrek (dunia gaib) adalah alam keramat yang didalamnya bersemanyam berbagai mahluk dan kekuatan-kekuatan sakti, manusia turunan dewa (tomanurung), dewa-dewa dan Tuhan dan 4. Mallinrung (dunia maya) adalah dunia diluar jangkauan panca indera manusia, suatu dunia di luar batas akalnya. Orang Sulawesi Selatan menyebut dunia maya ini dengan sebutan (Pammasareng) alam roh (bannapati) tempat bermukimnya leluhur (turiolo) dan mahluk halus (tau tenrita) Pernyataan-pernyataan
yang
dikemukakan
diatas
menjadi
sebuah
penggambaran akan kehidupan kultural manusia Bugis-Makassar yang begitu dekat dan lekat dengan hal-hal yang berbau mitos, tradisi maupun dunia gaib. Dunia tersebut sudah sejak lama menjadi bagian hidup dan dalam diri manusia Bugis-Makassar hingga menjadi sesuatu hal yang sulit terpisahkan. Sekaligus 5
menjadi
sebuah
mozaik-mozaik
pembentukan
identitas
kebugisan
dan
kemakassaran dari kepercayaan akan mitos dan tradisi tersebut. Hingga terbentuk karakter kultural itu dengan sendirinya sebagai sebuah identitas Bugis-Makassar. Meski menurut Lacan orang tidak akan memperoleh citra dirinya sendiri yang stabil karena orang mengetahui dirinya melalui respon orang lain dan dalam mencoba memahami respon orang lain itu, orang akan mungkin melakukan misinter prestasi dan karenanya juga salah mengenali dirinya sendiri (misrekognisi). Orang, sebenarnya, tidak akan pernah memperoleh kepastian mengenai apa respon orang lain terhadapnya. Lebih lanjut lavan mengatakan bahwa orang tidak mempunyai seperangkat ciri yang kukuh. Tidak ada subjek kecuali dalam represntasi, tetapi tidak ada satu representasi pun yang dapat menangkap diri subjek secara penuh. Disatu pihak manusia tidak terdefinisikan oleh orang lain secara menyeluruh, di lain pihak, ia juga tidak bisa membebaskan diri dari defenisi orang lain. (Faruk,2012:190) Hal diatas ini menjadi sebuah bukti bahwa kehidupan magis itu rill adanya dalam masyarakat, meski setelah itu kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Seolah kepercayaan mereka dengan apa yang mereka lakukan itu sangat berbeda. Mereka tetap melakukan ritual, namun setelahnya mereka menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Dengan demikian, dunia magis, spiritual, dan mitos memang terpisah dengan kehidupan rill mereka. Kesulitan untuk keluar dari ambivalensi di atas bukan sekedar faktor subjektif kekuatan kultural sebagai masyarakat Indonesia, tetapi
akibat adanya faktor objektif berupa kekuatan
kultural global yang terus menerus membangun wacana mengenai pertentangan 6
yang tidak terdamaikan antara tradisi dan modernitas. (Faruk,2001:17). Atas kekuatan wacana yang disebut moderenisme itu, kenyataan demikian merupakan faktor yang membuat modernitas dipertentangkan dengan tradisi. Dekade tahun 1990-an, wacana tentang realisme magis mulai dibicarakan sebagai paham kesusastraan dunia dan memperlihatkan pengaruhnya pada sejumlah karya sastra Indonesia. Kemunculan realisme magis yang dimulai dari sastra Amerika Latin dipandang sebagai respon terhadap Barat sebagai pusat dan sebagai gerakan perlawanan suara-suara dunia ketiga bahkan realisme magis ini mengklaim gerakannya sebagai gerakan dunia keempat. Dalam kesusatraan Indonesia, Seno Gumira Ajidarma dengan cerpennya “Misteri Kota Ningi”, Eka Kurniawan dengan novelnya “Cantik Itu Luka” menunjukkan pengaruh tersebut dalam prosa Indonesia. Salah satu karakter realisme magis yakni menghadirkan kembali segala citra dan pengertian yang bersifat magis, mistis, ataupun “irrasional” yang bersumber dari karya-karya mitologis, dongeng, legenda yang hidup secara tradisional dalam masyarakat-masyarakat etnik di Indonesia dalam karya sastra mutakhir dapat menjadi strategi melihat kecenderungan baru tersebut. Kecenderungan menghadirkan kembali mitos, dongeng, dan legenda sebagai yang magis dan tradisional ke tengah dunia rill dan modern ditemukan dalam sejumlah novel Indonesia. Lalu dalam jaman yang modern ini mitos kembali bergaung, namun kali imi melalui sastra-sastra yang modern, mitos-mitos dalam Sulawesi Selatan dikemas dalam karya sastra, menjadi sebuah novel ataupun cerpen-cerpen. Seperti novel I La Galigo jilid 1 dan 2 karya Dul Abdul Rahman, Novel Galigo karya Edward Anwar jilid 1 s/d 4, kumpulan cerpen Gadis
7
Pakarena karya Krisna Pabbicara, Novel Sabda Laut dan
Novel Perempuan
Poppo karya Dul Abdul Rahman, novel Pulau karya Aspar Paturusi, semua novel tersebut mengangkat latar Sulawesi Selatan, budaya, adat dan mitos-mitos yang menaungi masyarakat Bugis, Makassar dan Toraja. Sebuah fiksi yang memandang mitos dari pandangan dunia yang baru tentang bagaimana memberlakukan sebuah tradisi dan mitos dalam ranah kesustraan indonesia mutakhir. Realisme Magis sebuah dunia yang baru dalam melihat sebuah karya sastra dalam hal ini novel Perempuan Poppo akan mencoba untuk melihat kadar realime magis pada novel tersebut. Melihat bagaimana relasi antar elemen dalam karakteristik realisme magis dan lalu menemukan fungsi struktur elemen itu dan setelahnya menentukan kadar realisme magis pada novel Perempuan Poppo. Tidak berhenti sampai pada penentuan kadar dalam novel ini tapi menemukam konteks sosial dan budaya yang dinarasikan dalam Novel perempuan poppo. Bagaimana pengarang memperlakukan dunia magis, mitos, tradisi dan menanggapi kehidupan modernitas sebagai oposisi dari sebuah tradisi dan posisi lokalitas dalam dunia globalisasi. Dengan aktualisasi terhadap mitologi akan terungkap nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dengan adanya reinterprestasi terhadap mitologi, akan terungkap penafsiran kembali yang berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman dan realitas. Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam dan dengan beban pemikiran berupa aktualisasi, 8
antara lain aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Salah satu yang akan penulis pilih untuk diteliti adalah novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman Kelebihan novel tersebut dibandingan dengan novel-novel yang lain yg sempat penulis tulis diatas adalah pada Novel Perempuan Poppo yang selanjutnya disingkat dengan PP adalah sebuah corak baru dalam mengapresiasi sebuah mitos, pada novel yang lain kepengarangannya tetap bersandar pada Naskah I La Galigo, peristiwa yang terjadi dalam novel itu hampir sama persis dengan yang tertuang dalam naskah I La Galigo. Sedangkan pada novel PP mencoba keluar jauh dari kemistisan cerita-cerita dalam I La Galigo, akan tetapi mitos tentang poppo ini hadir dan dipercayai masyarakat karena kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar lebih awal dari cerita-cerita I La Galigo yang dianggap sakral dan mereka yakini kebenarannya bukan sekedar mitos. Konsepsi tentang mitos dan tradisi masyarakat Bugis-Makassar dimulai dari pengetahuan yang muncul dari ceritacerita dalam I La Galigo dan hal lain yang termaktud dalam berbagai Lontaraq. Dari berbagai artikel di internet, Poppo ini adalah jenis manusia terbang, didapat dari keturunan. Biasanya orang-orang berguru ilmu ini untuk mendapatkan kekayaan dengan bersekutu dengan jin atau iblis dengan istilah pattirokanja (penjelmaan) dalam bahasa bugisnya sama halnya dengan ilmu-ilmu babi ngepet pada umumnya orang pahami. Orang yang menganut ilmu poppo katanya gesit dalam bekerja kalau siang hari, matanya selalu memerah, suka meludah-ludah. Konon bila malam hari manusia poppo ini akan terbang mencari buah-buahan atau mangsa lainnya. Dan sebelum terbang, dia menyimpan 9
jeroannya di rakkeyang (lantai atas rumahnya/tempat menyimpan padi), palfon rumah. Ada 2 macam poppo, pertama poppo sallang, jenis poppo ini berbahaya karena bisa memangsa orang2 yang sedang sakit, anak yang baru lahir dan yang kedua adalah poppo mandala, jenis ini tidak berbahaya, karna yang ia cari hanyalah buah-buahan pada malam hari dan umumnya adalah seorang perempuan cantik, bersih dan putih. (http://blog.kedaigadogado.com/2012/05/manusia-ghaibdari-sulawesi-selatan.html). Cerita Poppo cukup melegenda dan sangat populer di Sulawesi Selatan, meski belum pernah melihat lansung namun penulis sudah sering mendengar cerita tentang poppo ini dan sampai sekarang masih sering kali kita dengar menjadi perbincangan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Namun pada novel ini pengarang mencoba membawa ke dunia metropolitas, sebuah perkotaan yang sangat sibuk dan dihuni oleh beberapa etnis yang berkumpul dalam satu kota besar. Masyarakat yang notabene berpendidikan dan menganggap hal-hal yang demikian sebagai sesuatu yang irrasional atau takhayul. Pada novel ini pengarang menghadirkan poppo itu sebagai mitos dan sekaligus mengakui bahwa poppo itu nyata sebagai dunia magis dalam hal ini tradisi namun mematikannya dengan pikiran-pikiran realis dalam dunia modernitas. Perseteruan tradisi dan modernitas dalam dunia globalisasi ini akan terlihat dalam novel tersebut, bagaimana pengarang mengambil tempat dalam perseteruan itu. Apakah berpihak pada tradisi atau memilih membuang tradisi dan hidup dalam dunia modernitas yang menjanjikan masa depan yang lebih baik tanpa 10
mitos, magis yang dianggap hanya sebagai pengganggu dalam menjalankan hidup sebagai masyarakat Bugis-Makassar. Mimpi apa yang coba diwujudkan dan ditawarkan pengarang kepada pembacanya melalui novel ini, hal ini akan terlihat bila telah menemukan relasi antar elemen dan fungsi struktur elemen pada keseluruhan cerita novel hingga terkuak konteks sosial dan budaya yang melatarbelakangi pengarang mengambil pilihan-pilihan dan menawarkannya sebagai sebuah ide pada pembacanya dan secara umum pada Masyarakat BugisMakassar. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, maka novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman yang penulis jadikan sample dalam penelitian ini. Penulis mencoba akan melihat bagaimana mitos itu berperan dan bagimana diberlakukan oleh pengarang dan apakah mitos itu menjadi sesuatu yang baru atau mendapat posisi yang baru magis yang sekarang mulai menjadi perhatian dalam karya-karya sastra Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan asumsi diatas maka penulis mencoba merumuskan masalahmasalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian agar menjadi sebuah pijakan dasar untuk menentukan kadar realisme magis dan konteks sosial budaya yang diusung mitos, tradisi dalam sastra Indonesia, pertayaan penelitian adalah sebagai berikut;
11
1.
A. Bagaimana magis dan rill itu dinarasikan dalam novel PP B. Bagaimana hubungan elemen magis dan realisme dalam keseluruhan novel PP
2.
Bagaimana konteks sosial dan budaya serta ideologis, diskursip dari novel tersebut sesuai dengan lokasi geografis karya itu berasal
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai respon sastra Indonesia modern sebagai sastra lokal/nasional terhadap arus pencitraan dan/atau ideology literer global yang disebut realisme magis. Penelitian ini sangat penting, baik dalam konteks wacana sastra dan kebudayaan global, melainkan juga wacana sastra nasional dan lokal. Pertama, dalam diskusi di tingkat global realisme magis dipahami sebagai kebangkitan sastra dunia ketiga yang pernah mengalami jajahan Barat dalam mengungkapkan cara pandangnya terhadap proses sejarah modernisasi, kolonisasi, dan semua arus peradaban Barat, baik yang berupa benda-benda, citra-citra, alatalat, maupun gagasan-gagasan. Kedua, sebagai sebuah produk kebudayaan yang mengglobal realisme magis sendiri diserap dan direproduksi secara bervariasi oleh para sastrawan maupun seniman nasional pada umumnya. Ketiga, realisme magis sekaligus akan mengungkapkan pertemuan kembali antara sastra nasional yang selama ini berorientasi pada nilai-nilai literer maupun filosofis yang universal dengan sastra lokal, khususnya segala citraan yang bersifat magis, mitis, mistis, dan tradisional yang selama ini dianggap
12
sebagai “liyan”-nya. Keempat mengidentifikasi karya-karya sastra indonesia apakah ada yang termasuk dalam karya yang bergenre realisme magis, salah satunya adalah novel Perempuan Poppo ini. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap objek material ini yakni novel Perempuan Poppo belum pernah dilakukan sebelumnya baik dalam pendekatan apapun dalam menelaah novel ini. Begitu pun dengan objek formal yang digunakan dalam mendekati novel ini yakni realisme magis untuk penelitian di Indonesia. Ini yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian dengan menggunakan objek formal yakni realisme magis dan objek material novel Perempuan Poppo. Realisme magis adalah sebuah pandangan yang meletakkan magis dan rill secara seimbang. Dunia magis bocor dan melebur masuk ke dalam dunia rill dan saling melebur hingga terjadi gangguan atas dunia rill dan dunia magis karena peleburan dua dunia itu. Novel Perempuan Poppo mengangkat cerita tentang sebuah mitos di dalam masyarakat Bugis-Makassar, yakni tentang poppo. Poppo adalah mahluk jadijadian yang sangat dikenal dalam masyarakat Bugis-Makassar, ada yang mengenalnya sebagai sebatas mitos namun tidak sedikit yang mempercayai keberadaan mahluk jadi-jadian itu dalam bentuk nyata. Dari pengalaman hidup penulis memang belum pernah melihat poppo ini secara nyata, tapi di kampung penulis sangat mempercayai bahwa poppo ini ada. Setelah penulis mulai ingin
13
menjadikan novel Perempuan Poppo ini sebagai objek material dalam karya ilmiah ini, penulis melalukan wawancara ke beberapa orang. Dalam obroloan ringan itu memang ada dua pendapat yang bisa disimpulkan. Yakni pertama ada yang hanya menganggapnya sebagai mitos karena memang tidak pernah melihatnya hanya mendengar orang tua menceritakannya saat masih kecil dengan tujuan menakuti agar tidak keluar lagi bermain pada malam hari. Namun ada juga yang mempercayainya bahwa itu benar-benar nyata meskipun dia tidak pernah melihatnya. Akan tetapi ada juga yang menceritakan pengalamannya pernah melihat lansung poppo tersebut. Peristiwa itu terjadi saat dia masih SMA dan kebetulan masuk dalam satu perguruan pencak silat yang melakukan liburan, sambil latihan di salah satu tempat rekreasi di wilayah Kabupaten Gowa. Nama tempat rekreasi itu adalah Malino. Katanya saat itu sekitar jam tiga dini hari tiba-tiba saat ditengah-tengah latihan dia bersama teman-temannya mendengar ada bunyi jatuh yang lumayan terdengar efek jatuhnya. Dia pun bersama teman-temannya dan guru pencak silatnya mendatangi asal suara jatuh itu dan betapa kagetnya setelah melihat sosok seperti manusia tergeletak dengan wajah yang menakutkan dan sedikit tertutupi rambutnya, mereka lalu membaca doa bersama-sama di pimpin oleh gurunya dan sosok itu pun tidak bisa bergerak lagi, lalu sang guru mengambil kurungan ayam dan mengurung sosok jelmaan tersebut.
14
Hingga ke pagi sekitar pukul enam sosok jelmaan itu tidak henti-hentinya menangis dan minta di ampuni. Mereka dan teman-temannya pun melihat sosok itu dengan jelas, seorang perempuan dan bertelanjang bulat, mereka pun menutupi kurungan ayam itu dengan sarung. Gurunya sempat menanyai sosok poppo itu yang sudah terlihat sebagai manusia dari mana asalnya dan poppo itu mengatakan dari daerah Malakaji, sekitar 20 km dari tempat rekreasi tersebut. karena kasihan sang guru pencak silatnya pun melepaskan dan memberi dia pakaian dan sarung itu untuk segera kembali ke rumahnya. Novel Perempuan Poppo ini belum pernah ada yang melakukan telaah kritik sastra dengan pendekatan apapun. Ini yang menjadi daya tarik sekaligus tantangan bagi penulis untuk melakukan penelitian terhadap novel ini. Apalagi masalah yang dihadirkan dalam novel ini cukup kompleks. Yakni dimana pengarang mencoba menampilkan kembali paham dari tradisi Bugis-Makassar yang berwujud kepercayaan terhadap hal-hal magis atau gaib dalam dunia modernitas. Meski dalam masyarakat Bugis-Makassar dalam melihat poppo ini masih ada yang menganggapnya hanya sebuah mitos belaka namun tidak sedikit masyarakat pula yang percaya bahwa poppo ini nyata keberadaannya apalagi masyarakat pedesaan. Pengarang membuat sebuah dikotomi bahwa poppo adalah sesuatu yang hanya berada di desa tidak ada di kota-kota. Desa berarti sebuah tradisi dan kota penggambaran modernitas. Oposisi yang dhadirkan pengarang adalah oposisi tradisi-modernitas. Pengarang menghadirkan dua budaya yang bersembrangan itu dalam kehidupan globalisasi. Menariknya pengarang sebagai seorang yang 15
berlatar Bugis-Makassar memilih untuk mematikan tradisi itu dan memilih modernitas sebagai masa depannya. Namun tetap menjadikan tradisi sebagai alas pijak dalam memandang dan melebur dalam modernitas. Kegamangan pengarang ini cukup menarik untuk diselami lebih jauh dan menemukan apa yang ditawarkannya dalam novel itu. Agar tidak terjebak pada dunia budaya itu yakni tradisi dan modernitas maka diperlukan pisau analisis berupa pandangan posmodernitas untuk melihat dilema dan dinamika tersebut. Maka penulis memilih pandangan realisme magis sebagai pisau beda terhadap novel perempuan poppo ini. Penelitian tentang realisme magis sependek pengetahuan penulis belum ada yang pernah melakukan penelitian ilmiah sebelumnya secara lansung pada sebuah karya sastra yang seperti penulis sementara lakukan ini. Penulis mencoba bantuan dari tema-teman penulis yang kuliah di UI, UNPAD, UNHAS, UDAYANA, tapi tidak menemukan tesis, disertasi, jurnal dan skripsi yang membahas realisme magis. Penulis hanya menemukan beberapa artikel yang berhubungan dengan realisme magis dari internet seperi blog Indra Cahyadi yang menuliskan tentang sejarah kemunculan realisme magis. Pada sebuah blog http://indra-tjahyadi.blogspot.com/2011/08/realismemagis.html yang tertulis demikian, realisme magis lebih merupakan sebuah bentuk sastra daripada suatu genre sastra yang dapat dibedakan. Ia dikarakterisasi oleh dua perspektif yang saling bertentangan, yaitu: di satu sisi berbasis pada sebuah cara pandang rasional atas realitas, dan di sisi lain berbasis pada penerimaan pada hal-hal yang bersifat supranatural sebagai sebuah realitas yang 16
prosaik. Meskipun demikian, realisme magis berbeda dari fantasi murni. Hal ini dikarenakan realisme magis ditata dalam bentuknya yang normal, sebuah dunia modern dengan deskripsi otentik atas manusia dan masyarakat. Secara tipikal, karya-karya realisme magis, senantiasa menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan karakter mimpinya sendiri. Meskipun demikian, realisme magis juga dapat didefinisikan sebagai suatu keasyikan atau ketertarikan yang teramat sangat dalam memprlihatkan halhal yang biasa atau yang terjadi sehari-hari menjadi sesuatu yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh. Angel Flores berpendapat bahwa realisme magis melibatkan peleburan hal-hal
riil
dengan
hal-hal
fantastik,
atau
dalam
kata-katanya,”suatu
penggabungan atau peleburan dari realisme dan fantasi”. Dalam realisme magis kehadiran hal-hal supranatural kerap kali terhubung pada hal-hal purbawi atau mentalitas magis orang Indian, yang hidup dalam semesta gabungan dengan rasionalitas Eropa. Mencermati pikiran tersebut maka bukanlah hal mengherankan apabila Ray Vrezasconi, seperti juga kritikus-kritikus lainnya, pernah menyatakan bahwa realisme magis adalah sebuah ekspresi dari realitas Dunia Baru yang pada satu saat mengkombinasikan elemen-elemen rasionalitas peradaban-tinggi Eropa dan elemen-elemen irasional suatu peradaban primitif Amerika Menurut Gonzales Echeverria, realisme magis menawarkan sebuah pandangan dunia yang tak berdasar pada alam atau hukum-hukum fisik juga realitas objektif. Sehingga dalam realisme magis seorang penulis berusaha untuk melawan kenyataan dan mencoba untuk kembali menyingkapnya dengan jalan
17
mencari apa yang menjadi inti misteri dalam kehidupan, obyek, serta perilaku manusia. Dalam realisme magis seorang sastrawan atau seniman bukannya hendak menghadirkan sesuatu fenomena sebagai sesuatu yang keseharian. Sebab, melalui realisme magis seorang sastrawan atau seniman menciptakan ilusi atas “sesuatu yang tak nayata”, berusaha untuk memalsukan pelarian dari hal-hal natural, dan menyampaikan suatu tindakan yang seandainya pun dapat hadir sebagai suatu yang dapat dijelaskan akan datang dan melintas sebagai suatu keanehan. Hal ini menimbulkan kesan, bahwa dalam realisme magis seorang sastrawan atau seniman menggubah realitas sehari-hari menjadi sesuatu yang ajaib, gaib, penuh dengan nuansa-nuansa mistis. Meskipun demikian, bagaimana pun juga karya-karya realisme magis masih berdasar pada realitas. Sebab karakter, fenomena dan kejadian atau peristiwa dalam realisme magis adalah sesuatu yang dapat dikenali dan dapat dipikirkan sebagaimana layaknya. Akan tetapi dalam realisme magis, realisme hadir tidak seperti biasanya, atau berdasar pada konvensinya saja, melainkan sebagai suatu “mukjizat” atau menyerupai sesuatu yang senantiasa mempunyai hak-hak istimewa dalam perubahan atas realitas. Hal ini lebih didorong, bahwa tujuan seorang sastrawan atau seniman dalam realisme magis adalah untuk merangsang timbulnya perasaan aneh dengan cara memunculkan penjelasan yang tidak logis. Sejalan dengan pikiran tersebut, adalah bukan hal yang mengherankan apabila Franz Roh, seorang kritikus seni berkebangsaan Jerman, sampai berpendapat bahwa realisme magis
18
adalah suatu cara dari representasi dan merespon realitas dan menggambarkan gambaran teka-teki realitas. Realisme magis mempunyai taktik penulisan yang digunakan untuk mengubah wujud realitas sehari-hari menjadi suatu bentuk yang berbeda. Strategi penulisan realisme magis terletak pada usaha untuk memperlihatkan suatu atsmosfer supranatural dalam setiap penciptaannya. Dan hal ini dikerjakan dengan tanpa adanya usaha penyakalan atau pengingkaran terhadap alam. Dalam realisme magis, kesadaran keajaiban penciptaan
merupakan kesadaran
keajaiban
penciptaan yang tidak biasa, tak terduga, dan senantiasa merujukkan diri pada fenomena-fenomena yang tak mungkin terjadi. Akan tetapi dalam realisme magis, hal ini tidaklah terjadi secara alamiah, melainkan karena disebabkan oleh manipulasi yang disengaja atas realitias dan persepsi seorang sastrawan atau senimannya sendiri dalam usahanya guna menciptakan karya-karyanya. Juga diakibatkan oleh besarnya ketertarikan sastrawan atau seniman tersebut pada hal-hal supranatural. Dalam beberapa kasus karya-karya realisme magis, hal ini menimbulkan banyaknya hal-hal aneh yang bermunculan. Hal ini memunculkan kesan, bahwa karya-karya realisme magis mengabaikan segenap efek emosional dan keacuhan manusia atas kengerian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang aneh, Di Amerika Latin pada tahun 1940-an realisme magis merupakan suatu cara untuk mengekspresikan mentalitas Amerika dan gaya sastra yang otonom. Dan pada kisaran tahun 1940-an s/d 1970-an realisme magis digunakan untuk mendeskripsikan serta mendefinisikan suatu tendensi naratif di Amerika Latin.
19
Secara umum, karakterisasi realisme magis meliputi: (a) Hibriditas, (b) Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis, (c) Sikap Bungkam Penulis dan (d) Supranatural dan Natural. Selain itu, waktu juga merupakan tema lain yang menonjol dalam realisme magis. Yang kerap kali dipertontonkan sebagai orbit peredaran yang tetap dari sebuah garis lurus. Dalam pemahaman, bahwa apa yang telah terjadi ditakdirkan untuk terjadi lagi. Hal ini terjadi karena karakter-karakter dalam relaisme magis jarang sekali, apabila pernah ada, menyadari akan janji hidup yang lebih baik. Ini merupakan akibat dari ironi dan paradoks yang senantiasa berakar pada pengulangan-pengulangan sapirasi-aspirasi sosial dan politik. Menurut Angel Flores, dalam realisme magis “waktu” mengalir tanpa pembatasan atas waktu. Hal ini, menurutnya, membuat dalam realisme magis apa yang hadir sebagai sesuatu yang tidak nyata dapat hadir sebagai sesuatu yang nyata. Dan apa yang hadir sebagai sesuatu yang nyata dapat hadir lebih daripada sekedar nyata. Penulis juga menumukan tulisan Delvi Yandra, Penulis lepas, bergiat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang di Riau Pos, 11 Desember 2011. membicarakan tentang citraan realisme magis pada novel Salman Rusdie yang berjudul Luka dan Api Kehidupan ceritanya kerap dimulai dengan “pada suatu hari”, “pada suatu ketika” atau “pada suatu masa”. Tetapi esensi dari novel ini bagi Salman Rushdie lebih dari sekadar perayaan terhadap dongeng. Dia sungguh piawai meracik peristiwa beserta unsur-unsur fantasi, mitologi, permainan kata dan simbolisme ke dalam rajutan kisah yang menarik, cerdas, seru dan jenaka.
20
Pada artikel lain di berdikari.com penulis menemukan tulisan Ricky Sukmadinata tentang realisme magis yang berjudul Sekilas tentang realisme magis Gabriel Garcia Marquez. Dalam tulisan itu membahas perjalanan hidup Gabriel Garcia Marquez termasuk waktu Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan kakeknya yang suka mendongeng. Marquez kecil sering menghabiskan waktu mendengar cerita neneknya mengenai cerita-cerita rakyat dan pejuang-pejuang lokal. Sempat kuliah lalu berhenti dan menjadi seorang wartawan.
Dalam novel “Seratus Tahun Kesunyian”, Gabriel
Márquez seakan
menghadirkan sesuatu yang magis menjadi peristiwa biasa dalam kehidupan keseharian. Misalnya, tentang si cantik Remedios yang digambarkan terangkat naik ke atas langit paling tinggi; karakter Melquiades, seorang gypsi yang datang dari luar Mocondo dan selalu membawa pengetahuan-pengetahuan baru, bisa hidup kembali. Realisme magis kemudian tumbuh dan meledak di Amerika latin. Sastrawan Sihar Ramses menggambarkan realisme magis ala Gabriel Marquez sebagai berikut: .. memadukan pandangan tokoh, mitologi masyarakat, menggabungkan cerita magis dengan sejarah sosial yang berlaku. (Rawannya Sejarah di Novel Kita, 3 November 2012, Sinar Harapan)
Franz Roh, seorang sejarahwan Jerman, menyebut ralisme magis sebagai kemampuan menciptakan makna (magis) dengan membayangkan hal-hal biasa dengan cara luar biasa. Realisme magis memang akrab dalam cerita-cerita rakyat di Amerika Latin. Novelis kuba, Alejo Carpentier, dalam novelnya “The Kingdom of this World”, juga bercerita tentang budak bernama François Mackandal, yang
21
diceritakan punya kekuatan magis, dalam perjuangannya melawan dominasi kolonial di Haiti. Mackandal ditangkap oleh penguasa kolonial. Namun, sebelum dieksekusi di hadapan para budak, ia berubah menjadi kupu-kupu yang terbang bebas. Inilah yang memicu pemberontakan kaum budak di Haiti.
Lalu ada tulisan Supartono Alex, “Menulis Sejarah, Membangkitkan Tokoh dari Kubur: Realisme Magis dalam Novel Cantik Itu Luka di Kompas, 30 November 2003. Supartono membahas Cantik Itu Luka dengan memfokuskan pada gaya cerita yang digunakan pengarang. Menurutnya, dalam novel tersebut ada gaya yang mengarah ke realisme magis, yang diadaptasi dari gaya penulisan Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika Selatan. Supartono melihat bahwa pandang dunia dan kesadaran penulis Cantik Itu Luka sudah berada dalam dua kategorisasi yang dibuat sarjana Barat tersebut. Sejak dongeng pertama yang diceritakan. Realitas yang diterima rasio (sebagaimana dikategorisasikan di sekolah) dan realitas yang ’lain’ (hantu penjaga rumah, orang bangkit dari kubur, kesurupan, santet, tenun, dll) sudah tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Keduanya saling mengisi sejak mula, dan mungkin sekali-kali bertabrakan untuk kemudian seiring jalan lagi. Karena itu, pengaburan batas realitas, yang sering dilihat (oleh sarjana barat) sebagai tujuan dari realisme magis ini, sudah tidak perlu lagi dilakukan. Benar atau tidak, percaya atau tidak, bukan lagi pertanyaan. ’Realitas-realitas’ itu sudah ada bersama berdampingan sejak dulu. Karena itu, dalam konteks ini, Eka juga tidak bermaksud mengguncang kebiasaan umum
22
dalam mempersepsi apa yang ada di sekitar dengan mencampuradukkan antara makhluk kasar dan makhluk halus, antara hawa hangat dan hawa dingin. Supartono mengatakan bahwa masuknya unsur-unsur magis dalam novel sejarah yang ditulis Eka ini dengan demikian menjadi tampak sebagai metode untuk mengangkat detail tertentu dalam sejarah yang selama diabaikan. Bisa karena tertutup oleh pembohongan sistematis sehingga menjadi kepercayaan buta (misal tentang Peristiwa Madiun dan PKI), atau karena bias patriarki dalam penulisan sejarah sehingga abai pada banyak pokok penting, seperti peran perempuan dan pelacur misalnya. Dengan metode ini, penulis Cantik Itu Luka menjadi leluasa memasukkan banyak hal dan gagasan baru pada periode sejarah yang jadi latar, kapan saja di mana saja. Misalnya lewat tokoh Shodancho, Cantik Itu Luka menjelaskan mengapa pimpinan pemberontakan Peta Blitar, Soperijadi, menghilang dalam sejarah. Menurut Supartono misteri dalam Cantik Itu Luka juga tidak semata pencipta suasana dan efek tertentu dalam narasi (seperti sinar putih yang berpijar dari tubuh Paula dalam cerpen Makam Keempat- nya Linda Christanti), tetapi bagian inti dari cerita yang memungkinkan penulis mendapatkan landasan kuat untuk masuk ke banyak hal dengan bebas. Roman sejarah memang membuka kemungkinan mengatasi berbagai kebuntuan metodologis Akan tetapi tulisan-tulisan diatas ini hanya bercerita secara umum tentang realisme magis termasuk sejarah kemunculan realisme magis itu sendiri. Ini yang awalnya membuat kesulitan pada penulis untuk mencari referen yang mendetail tentang bagaimana melihat pengungkapan dan citraan itu berdasarkan metodologi
23
dan terori dan relaime magis ini. Karena sebuah karya tidak serta merta kita memberi klaim, mengkategorikan tanpa melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu terhadap karya-karya tersebut yang meski teridentifikasi memiliki unsur-unsur realisme magis. Meskipun karya tersebut berdasar pada cerita mitos, dongeng, sejarah yang menghubungkan dunia magis, dunia rill, fantasi, alegory seperti pada karya-karya realisme magis pada umumnya. Berbeda dengan yang penulis temukan pada buku Wendi B. Faris yang berjudul Ordinary Enchanment “Magical Rillism and the Remystification of Narrative. Pada buku tersebut membahas beberapa novel yang ia kategorikan sebagai karya realisem magis, antara lain novel Perfume karya Patrick Suskind, The Satanic Verses, Midnight’s Children, One Hundred Years Solitude karya Salaman Rusdie dan Beloved karya Tony Morrison. Pada buku tersebut menjelaskan secara detail tentang elemen dan sturuktur novel melalui lima karakteristik yang ditetapkan Faris dalam menilai dan menentukan sebuah karya tergolong karya realiesme magis. Serta melihat fokalisasi dan defokalisasi dari pengarang terhadap karya-karya tersebut hingga memberikan kategori bahwa novel-novel tersebut adalah karya yang termasuk dalam genre realisme magis. Lebih jelasnya tentang Faris ini akan dibahas pada bagian landasan teori dari penelitian ini. 1.5 Landasan Teori Realisme Magis adalah sebuah objek ilmu yang melihat sebuah karya sastra sebagai bangunan struktur naratif. Menemukan fokalisasi atau sudut pandang pengarang dari stukrur narasi dalam novel. Gerard Genette, dalam Prince
24
(1978) yang menyatakan bahwa fokalisasi adalah perspektif, dalam hal dari mana situasi dan peristiwa naratif dihadirkan; dalam artian dari mana mereka dihasilkan, posisi perseptual atau konseptual. Teks tersebut menolak untuk diasimilasikan secara keseluruhan dengan realisme mereka; teks tersebut tidak mengejutkan secara brutal, tetapi ia juga tidak meleleh (menyatu dengan lembut). jadi ia “seperti butir-butir pasir dalam tiram” dalam realisme itu. Dan karena ia mengganggu kebiasaan membaca, butiranbutiran yang tidak tereduksi itu meningkatkan partisipasi dari pembaca, berkontribusi pada proliferasi posmodern dari teks-teks tertulis, teks-teks yang juga diciptakan oleh pembaca. Peristiwa atau gambaran-gambaran magis bersinar atau memikat dari dalam matriks realitas, kadangkala menggarisbawahi isu sentral dalam teks tersebut. Dalam realisme magis, realitas yang digambarkan sebagai sesuatu yang kasar, seringkali digarisbawahi karena orang biasa bereaksi terhadap kejadiankejadian magis, suatu keadaan yang menormalisasikan peristiwa magis namun juga defamiliarisasi, garis bawah, atau mengkritik aspek luar biasa dari The Real. Sisi magis tumbuh secara hampir tak kelihatan di luar the real, dan narator tidak menunjukkan adanya kejutan, dengan hasil bahwa elemen kejutan itu ke dalam sejarah yang akan kita saksikan, yang memastikan adanya kejutan menjengkelkan. Karakteristik kedua dari realisme magis adalah deskripsinya menceritakan tentang panjang lebar atau memberikan gambaran rinci tentang kehadiran yang meyakinkan atas sebuah dunia yang fenomenal. Inilah yang menjadi realisme dalam realisme magis, yang membedakannya dari fantasi dan alegori. Deskripsi 25
realistik menciptakan sebuah dunia fiksi yang menyerupai dunia yang kita tempati, seringkali dengan penggunaan detail yang panjang lebar. Di satu sisi, perhatian pada detail indrawi ini meneruskan sekaligus memperbarui tradisi realistik. Pada sisi lain, sebagai tambahan dari memasukkan peristiwa-peristiwa magis, fiksi realisme magis memasukkan detail magis yang membangkitkan minat/ penuh intrik Faris menggunakan istilah Roland Barthes tentang detail-detil magis ini mewakili sebuah keberangkatan yang jelas dari realisme, detail ini dibebaskan dari perspektif Barthesian yang mempertanyakan tentang mimesis spesifik lokasi dari realisme. Bahwa realisme memberikan detail-detil dengan “effet de réel” (efek realitas), yang menyampaikan tidak hanya informasi tertentu, nemun juga ide bahwa cerita tersebut riil (Faris,2004:14). Sebagai tambahan pada pemroyeksian pesan tersebut dengan deskripsi yang detail, detail-detail tak tereduksi dari realisme magis dapat menuju ke arah berlawanan, menandakan bahwa ini mungkin imajiner. Kesan bahwa yang magis tumbuh di dalam yang nyata ini pertama kali diartikulasikan oleh Franz Roh dalam pembahsasannya tentang realisme magis dalam lukisan: “Dengan kata ‘magis’, sebagai lawan dari kata ‘mistis’ saya berharap bisa menunjukkan bahwa misteri tidak tutun/ keluar dari dunia yang diwakilinya., tetapi lebih pada bersembunyi dan berdenyut di belakang dunia itu”. (Faris,2004:15) Menurut Mieke Bal (1999: 142), ketika event (peristiwa) disajikan, mereka selalu disajikan dari dalam sebuah ‘pandangan’ tertentu. Sudut pandang sudah dipilih, sebuah cara tertentu untuk melihat segala sesuatu, sebuah sudut tertentu,
26
baik itu fakta historis ‘riil’ ataukah kejadian-kejadian fiktif yang dipilih. Sangat mungkin untuk mencoba dan memberikan gambaran ‘objektif’dari fakta-fakta. Hingga magis tidak melambung tinggi dan menjadi sebuah fantasi atau alegori. Akan tetapi, apa yang dilibatkan oleh itu? ‘Objektivitas’ adalah sebuah usaha untuk menghadirkan (sesuatu) hanya dari apa yag dilihat atau dirasakan dengan cara yang lain. Semua komentar dijauhi dan interpretasi interpretasi juga dijauhi. Persepsi adalah sebuah proses psikosomatik, yang sangat bergantung pada posisi tubuh penerima; seorang anak melihat sesuatu dengan cara yang sangat berbeda dari seorang dewasa, selama ukuarn-ukuran dipakai. Derajat tentang apakah seseorang familiar dengan sesuatu juga mempengaruhi persepsi. Realisme magis memperluas realitas fiksi untuk memasukkan peristiwaperistiwa yang biasa kita sebut sebagai magis dalam realisme. Akan tetapi, ini bukan hal sepele karena ada banyak variasi yang muncul. Keragu-raguan justru bisa mengaburkan elemen yang tak tereduksi, yang mungkin menyebabkan adanya kemungkinan perbedaan penerimaan (pemahaman). Keraguan pembaca daerah Barat pada seringkali berada di antara pemahaman bahwa sebuah peristiwa berada di wilayah mimpi tokoh atau halusinasi, dan alternatifnya adalah menganggap itu sebagai keajaiban. Adegan dalam realisme magis mungkin saja terlihat seperti mimpi, tetapi mereka sama sekali bukan mimpi dan teks tersebut mungkin merangsang kita untuk mengkooptasi
mereka dengan mengakategorisasikan mereka sebagai
mimpi, atau melarang kooptasi itu. Narasi realisme magis hampir seperti memunculkan kemungkinan untuk menginterpretasikan apa yang mereka
27
ceritakan sebagai sebuah mimpi untuk mencegah interpretasi itu, setelah sebelumnya sebelumnya memperdengarkannya sebagai sebuah kemungkinan. Strategi ini, selain meredakan kebimbangan pembaca, tapi juga mengundang mereka menjadi ada, menyebabkan pembaca memiliki keraguan. Indeterminasi (ketidaktentuan) itu dihasilkan dari fakta bahwa realisme magis mencakup dua persepsi bertentangan yang mengalami dua macam peristiwa: peristiwa magis dan gambar-gamba yang tidak biasanya dilaporkan kepada pembaca fiksi realis karena mereka tidak dapat diverifikasi, dan yang dapat diverifikasi (jika tidak selalu biasa) yang merupakan karakteristik wilayah realisme. Jadi, realisme magis memodifikasi konvensi realisme berdasarkan bukti empiris, menggabungkan dengan jenis-jenis persepsi lain. Dengan kata lain, narasi tersebut di-defokalisasi karena ia seolah berasal dari dua perspektif radikal yang berbeda, yang hadir dalam waktu bersamaan. Visi (penglihatan) magis realis ada pada persimpangan dua dunia, pada titik imajiner di dalam sebuah cermin dua sisi yang merefleksikan ke dua arah. Hantu dan teks, atau orang dan kata-kata yang tampak berhantu, menghuni cermin dua sisi ini, seringkali terletak di antara dua dunia yakni kehidupan dan kematian; mereka memperluas persimpangan tersebut di mana sejumlah fiksi realis yang magis ada. Dari persepektif metafisiksional, jika fiksi lelah dengan dunia ini, maka mungkin teks-teks itu akan menciptakan sesuatu yang berseberangan yang bisa menumpahkan (kelelahan) mereka, sehingga mereka melanjutkan kehidupan di luar kuburan.
28
Sebagai kelanjutan dari penggabungan dua dunia yang yang terpisah, fiksifiksi realisme magis mengganggu ide yang diakui (masyarakat) tentang waktu, ruang, dan identitas Realisme magis tidak hanya bereorientasi pada kebiasaan kita pada waktu atau ruang, tetapi juga pada nalar tentang identitas. Asal-usul multivocal naratif dan hibriditas kultural yang mencirikan realisme magis meluas sampai karakter-karaternya, yang mengarah pada multiplisitas radikal. Konsep realis yang ada dalam novel itu benar-benar diuji. Tantangan itu secara khusus efektif karena bekerja dari dalam; sisi magis mempertanyakan identitas individual dari sebuah fiksi yang tergambarkan dari fiksi historis
dan karakter yang
memiliki detail realistis. Sekilas, ini mirip dengan yang ada pada teks modernis atau posmodernis. Akan tetapi, pada dasarnya, beberapa dari persepsi itu tidak merefleksikan peristiwa-peristiwa yang didasarkan pada empirisitas melainkan irreducible element. Karena tetap berpijak pada data sensorik namun juga bergerak di luar mereka,tetapi tidak secara konsisten berada dalam dunia supernatural, naratif realisme magis memunculkan sebuah ruang naratif yang bisa disebuat sebagai “ineffable in-between” (berada di antara, tak terlukiskan). 1.6 Hipotesis Penelitian Mitos dinarasikan dalam bentuk realisme hingga sehingga didalamnya akan dijumpai elemen magis dan elemen rill. Kelima karakteristik akan saling terhubung untuk menunjukkan dunia magis dan dunia rill di dalam narasi novel Perempuan Poppo tersebut. Sehingga dengan mudah akan melihat gradasi dari
29
kadar realisme magis dalam novel. Realisme magis terikat dengan konteks lokal maupun nasional yang bisa ditemukan dari narasi keseluruhan penceritaan di dalam novel. Hal ini akan membuka tabir dalam melihat pandangan hidup pengarang atas konteks sosial, budaya, ideologi dan wacana yang dihadirkan dalam novel Perempuan Poppo. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Data Primer dan Data Sekunder Pendekatan pertama dilaksanakan dengan pengumpulan data-data tekstual, baik yang berupa satuan-satuan tekstual yang ada di dalam karya yang diteliti yang kemudian disebut sumber data primer. Data primer tersebut terdiri dari data elemen-eleme magis dan elemen rill dalam novel yang telah diidentifikasi memiliki unsur magis dan unsur rill dalam teks berupa kutipan-kutipan. Lalu data primer tersebut dikategorikan sesuai karakteristiknya, yakni mencari data magis, data rill, data magis dan rill yang menciptakan keragu-raguan, data peleburan magis dan rill dan data gangguan atas waktu, ruang dan identitas. Data ini semua berbentuk kutipan yang diperoleh dalam teks. Ini dilakukan agar data-data tersebut bersinergi dengan lima karakteristik dalam realisme magis dan mempermudah analisa data nantinya. Data sekunder adalah data yang bersumber data-data konteks yang berupa teks-teks sosial, budaya, ideologi maupun diskursif yang ada diluar teks. Ini bisa ditemukan pada buku-buku yang sesuai dengan latar belakang novel tersebut dituliskan.
30
17.2 Analisis data Membuat klasifikasi data berdasarkan konsep teoritik yang dgunakan, menjadi kelompok besar yaitu realisme dan magis Untuk menunjukkan hubunganhubungan dari lima karakteristik tersebut berdasarkan data-data yang berupa kutipan dalam teks. Mencari hubungan antara data-data realisme dan magis untuk melihat kemungkinan adanya unsettling doubt, merging n disruption yang telah dikategorisasi pada data primer untuk tiap karakteristik Hubungan itu ditentukan berdasarkan pada kaidah-kaidah logika yaitu apakah terdapat kontrakdiksi atau ketumpang tindihan antara realisme dan magis. Hierarkis dalam rangka mengukur dan untuk melihat gradasi dan huhungan hierarkis antara keduanya. Mencari hubungan antara teks dan konteks dengan melihat kesejajaran antara persoalan-persoalan yang muncul dalam teks maupun dalam masyarakat dari persoalan sosial-budaya, ideologi dan diskursip atau persoalan lokal lainya yang terkait dengan teks dalam hal ini novel PP. 1.8 Sistematika Penyajian Bab 1 Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab 2 Kadar Realisme Magis dalam Novel Perempuan Poppo terdiri dari 2.1 Karakteristik Realisme Magis, terdapat lima satuan dalam bagian ini dari tiap karakteristik dalam realisme magis 2.2 Relasi Antar Elemen dan Fungsi Struktur
31
Elemen serta 2.2.1 Relasi Antar Eleman, 2.2.2 Fungsi Struktur Elemen dan 2.3 Kadar Realisme Magis. Bab 3 Konteks Sosial dan Budaya dalam Novel Perempuan poppo terdiri dari 3.1 Konteks Sosial Budaya. Bab 4 Penutup terdiri dari 4.1 Kesimpulan dan 4.2 Kritik dan Saran
32