BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah satu-satunya agama yang diridai oleh Allah SWT.1. karena Islam adalah agama penyempurna dari seluruh agama dan ajaran. Islam mengakomodir seluruh ajaran agama-agama. Islam disebarkan untuk seluruh umat di seluruh dunia. Karena sejatinya Islam datang membawa rahmat dan kemaslahatan untuk seluruh Alam.2 Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan aturanaturan (hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut dibuat oleh Allah agar manusia selamat hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad SAW.3 Sesuai dengan misi Islam adalah pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi umat. Maka layaknya Islam adalah solusi bagi umat dalam menyelesaikan pelbagai macam persolan kehidupan yang dihadapi oleh umat. Dimana pun Islam berada harus membawa umat kepada kedamaian dan kesejahteraan. Karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
1
Lihat, Q.S Al Ma-idah: 3; Q.S Ali Imran: 19 Lihat, Q.S Al-Anbiya: 107. 3 Mahmuzah, Mashlahah Mursalah: Suatu Methode Istinbâth Hukum, Makalah tidak diterbitkan, h. 1. 2
1
2
Namun seiring dengan kemajuan peradaban manusia, baik dari segi geografis, sosial, kebudayaan, ideologi, komposisi penduduk dan lain sebaginya. Hal ini membuat problem yang dihadapi umat pun silih berganti datang dan pergi.4 Apabila pada zaman Rasulullah SAW. ketika para sahabat mendapatkan masalah dalam kehidupan mereka maka mereka bisa langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. sehingga semua permasalahan yang terjadi bisa diselesaikan saat itu juga dan tidak berlarut-larut.5 Lain halnya dengan keadaan umat pada kurun sekarang, umat tidak bisa lagi langsung menanyakan permasalahannya kepada nabi atau pun rasul. Karena pintu kenabian telah tertutup, dan setelah nabi Muhammad SAW tidak ada lagi nabi yang diutus. Seberapa besar dan pelik permasalahan yang dihadapi umat maka Allah SWT tidak akan mengirim nabi satu orang pun. Dan ini memang sudah ketetapan dari Allah SWT yang tidak akan pernah berubah hingga kiamat nanti. Akan tetapi Islam telah memberikan alternatif bagi umat dalam menghadapi pelbagai problem yang tidak mampu diahadapi oleh mereka seorang diri yaitu dengan mengangkat ulama sebagai penerus dan pewaris ilmu kenabian. Karena ulama sebagai pewaris para nabi, maka mereka diberikan mandat untuk memberikan petunjuk dan bimbingan guna mengatasi pelbagai permasalahan, perselisihanperselisihan pendapat, problem-problem sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Jadi setelah wafatnya Rasulullah SAW. tugas untuk menyampaikan agama kepada umat telah dibebankan kepada para ulama.
4
Ridlwan Nasir, Peta Pemikiran Fiqh Progresif, (Dalam Kata Pengantar), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. viii. 5 Solusi atas permasalahan permasalahan sahabat bisa langsung dijawab oleh Rasulullah SAW. karena beliau mendapat wahyu langsung dari Allah SWT. jadi seberapa pelik permasalahan pasti dapat dijawab oleh beliau. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S an-Najm: 3-4.
3
Sebagaimana telah dikemukakan pada paragraf di atas bahwa roda kehidupan terus berputar sehingga pola kehidupan umat pun terus berkembang dan memunculkan pelbagai permasalahan baru yang harus dihadapi umat. Sementara alQur’an dan as-As-Sunnah yang diwariskan oleh Rasulullah SAW jumlahnya tidak bertambah. Menurut Tahir Azhari ayat-ayat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam kehidupannya (ayat al-ahkâm) jumlahnya sangat terbatas kira-kira 3% atau 4% dari seluruh jumlah ayat al-Qur'an (6342 ayat).6 Menurut penulis perkiraan ini terlalu kecil, karena menurut al-Ghazâlî (w.505 H)7 jumlah ayat-ayat hukum adalah 500 ayat. Memang tidak terdapat kesepakatan ulama tentang berapa sebenarnya jumlah ayat hukum. Al-Syaukânî (w. 1255 H)8 kurang setuju dengan pendapat al-Ghazâli itu. Menurutnya, membatasi ayat hukum hanya 500 ayat saja adalah peninjauan secara lahir ayat. Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat beberapa kali lipat dari jumlah tersebut dari ayat-ayat yang bisa diambil hukumnya. Orang yang mempunyai pemahaman yang mendalam akan mampu mengeluarkan hukum-hukum dari ayatayat yang menjelaskan cerita (qishash) dan perumpamaan (amtsâl).
6
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 41. 7 Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ min ‘ilm al-Ushûl, (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1971), h. 479. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin bin Ahmad al-Tûsi Abû Hamîd al-Ghazâlî. Ia adalah ulama yang amat berpengaruh di dunia Islam. Ia dilahirkan di desa Ghazaleh, dekat Thus Iran tahun 450 H dan wafat tahun 505 H, ia juga seorang ahli ushul, filosof dan sufi. Diantara karyanya: ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, al-Mustashfâ. (Pengantar al-Mustashfa, juz I, h. 9). 8 Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl, (Makkah: Maktabah al-Tijâriah, 1953), (tahqiq: Abi Mush’ab Muhammad Sa’id al-Badri), h. 419. Al-Syaukânî dilahirkan di Syaukân, Yaman, pada tanggal 28 Dzulqa’dah 1173 H dan wafat hari Rabu, 26 Jumadil Akhir 1250 H. Selama hidup cukup banyak kitab karangannya tidak kurang dari 20 buah, diantaranya: Irsyâd al-Fuhûl, Fath al-Qadîr, Nail al-Awthâr, dan Tuhfah al-Dzâkirîn. Lihat pengantar pentahqiq dalam ibid. Lihat juga Harun Nasution (Ketua Tim) Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 901-902.
4
Jadi sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an dan as-As-Sunnah dengan format yang sesuai untuk umat sepanjang masa. Karena al-Qur’an dan asSunnah tidak hanya dipahami dalam jumlahnya, akan tetapi dapat dipahami melalui dua aspek, pertama melalui aspek lafalnya, kedua melalui aspek maknanya dengan meneliti unsur rasional dan substansialnya (‘umûm al-lafdzî wa ‘umûm al-ma'nâ). Melalui kedua aspek ini al-Qur’an dan As-Sunnah mampu mengakomodir aneka masalah yang muncul sepanjang zaman. Selain itu, ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ada yang bersifat Qath’î (definite, hanya menerima satu pengertian saja secara pasti) dan ada pula yang bersifat Zhannî (interpretable, dapat menerima berbagai penafsiran), bahkan mayoritas ayat al-Qur’an dan As-Sunnah bersifat Zhannî.9 Kemudian mayoritas ayat al- Qur’an dan As-Sunnah yang mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan (mu’âmalât) hanya menyebut prinsip-prinsip dasar dan kaedahkaedah umum saja, sedangkan perinciannya diserahkan kepada pemikiran ulama agar dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan setiap zaman. Sementara itu ayat alQur’an dan As-Sunnah yang membahas masalah warisan, ritual formal ('ibâdah mahdhah) dan hukum keluarga (nikah, thalaq, dsb), umumnya menjelaskan hal-hal tersebut secara agak rinci. Karena hal itu biasanya tidak mengalami perubahan sepanjang masa.10 Dengan adanya ayat al- Qur’an dan As-Sunnah yang Qathî’, maka identitas ajaran Islam dapat dipelihara sepanjang masa dan dengan adanya ayat alQur’an dan As-Sunnah yang bersifat Zhannî, maka ajaran Islam dapat mengikuti
9
Yûsuf al-Qardhâwî, ‘Awâmil al-Si’ah wa al-Murûnah fî al-Syarî’ah al-Islâmiah, (Kairo: Dar al-Shahwah, 1985), h. 47. 10 Yûsuf al-Qardhâwî, Syarî’ah al-Islâm Shâlih Littathbîq fî Kulli Zamân wa Makân, (Yûsuf: Dar al-Shahwah, 1985), h. 136-137.
5
dinamika kehidupan manusia yang selalu berkembang. Dalam konteks inilah harus dipahami diktum yang sangat populer:
ن ٍ َ%#َ ن َو ٍ َ# َز ِْ ُآ ِ ْ ِ ْ ِ ٌ َ َِ ِم َ ْ ِ ْ ِ ْ َ ُ ا َ 11 Untuk dapat memahami dan menggali hukum yang terkandung di dalam alQur’an dan As-Sunnah, baik melalui aspek lafal maupun melalui aspek maknanya diperlukan usaha serius dari para ulama dengan mencurahkan segenap kemampuan rasionalnya sehingga dapat menjawab berbagai masalah yang muncul dan dipertanyakan kedudukan hukumnya oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Usaha serius ini biasa disebut dengan “ijtihâd” . Ijtihâd sebenarnya usaha berpikir yang transendental, masih terikat dengan wahyu (masih dalam sinaran wahyu), yaitu dengan menghubungkan (ilhâq) hal-hal yang belum disebutkan hukumnya secara ekplisit di dalam al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hal-hal yang sudah disebutkan hukumnya dalam kedua sumber itu karena ada kemiripan antara keduanya. Dapat dikatakan bahwa ijtihâd merupakan solusi dalam hukum Islam yang berisfat komplementer terhadap al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini berbeda dengan hukum Barat yang menjadikan rasio manusia sebagai sumber hukum tunggal.12 Pentingnya ijtihâd untuk menjawab berbagai masalah yang muncul sepanjang zaman telah diisyaratkan Nabi dalam sebuah haditsnya yang termasyhur:
ِ5 َأِ ِو ا ْﺏ/ْ 0 َ ِ ث ْﺏ ِ ا َْ ِرِ0 َ ن ٍ ْ20 َ ِْ َأﺏ-0 َ َ َ ْ ُ ْ-0 َ َ /َ 0 ُ ُ ْﺏ+ ُ ,ْ ﺡ َ َ'(َ ) ﺡ َ ل َ 2ُ ن َر َأ ٍ َ = َ ِ َ ِذ ْﺏ#ُ ب ِ َ ْ ْ َأ-#ِ + َ /ْ ﺡ ِ ِ ْ َأ ْه-#ِ س ٍ َْ ُأﻥ-0 َ َ َ ْ ُ ِ ِ َ ِة ْﺏ7/ُ ْ ا ِ ِإذَاHIْ َﺕG َ ْ ل َآ َ َF ِ /َ َ ْ َذًا ِإَ@ ا#ُ C َ َ ْ َ ْ َأرَا َد َأن/ َ Aَ َ َ ْ ِ? َو0 َ ?@ ا َ ?ِ ا ِ ' P ُ ِ َ ل َ َF ?ِ ب ا ِ َ)ْ ِ ِآO ِ ْ َﺕAَ ْنNَِ ل َ َF ?ِ ب ا ِ َ%ِ ِ ِﺏHFْ ل َأ َ َF ٌَءHFَ L َ َ ض َ َ 0 َ 11
Ibid, Yûsuf al-Qardhâwî, Syarî’ah al-Islâm Shâlih Littathbîq fî Kulli Zamân wa Makân, (Yûsuf: Dar al-Shahwah, 1985), h. 136-137. 12 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini, h. 42.
6
?ِ ْ َ0 َ ?@ ا َ ?ِ ل ا ِ 2ُ ' ِ َر ُ ِ ْ)O ِ ْ َﺕAَ ْنNَِ ل َ َF Aَ َ َ ْ ِ? َو0 َ ?@ ا َ ?ِ ل ا ِ 2ُ َر ?ِ ْ َ0 َ ?@ ا َ ?ِ ل ا ُ 2ُ ب َر َ َ H َ َ 2ُR َ ُ) َرأِْ َوQِ َ = ْ ل َأ َ َF ?ِ ب ا ِ َ َوَ ِ ِآAَ َ َو ) ?ِ ل ا َ 2ُ َ ُْﺽِ َر/ِ ?ِ ل ا ِ 2ُ ل َر َ 2ُ َر َ ِي َوU ُ) ِ ِ? ا/ْ َ ْ ل ا َ َF َوSُ )ْ َر َ Aَ َ َو 13 ( داود2 أﺏSروا “ Hafsh bin ‘Umar menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dari alHârits bin ‘Amr, saudara al-Mughîrah bin Syu’bah, dari penduduk Hamsh, dari para sahabat Mu’âdz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah SAW ingin mengutus Mu’âdz bin Jabal ke Yaman Nabi bertanya kepadanya: Bila dihadapkan kepada anda suatu perkara, bagaimana anda menetapkan hukumnya?. Mu’âdz menjawab: Aku akan menetapkan hukumnya berdasarkan al-Qur’an. Nabi bertanya: bagaimana bila tidak anda dapati hukumnya di dalam al-Qur’an? Mu’âdz menjawab: Aku akan mencari hukumnya di dalam Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi: Bagaimana bila tidak anda dapati hukumnya di dalam al- Qur’an dan di dalam Sunnah RasulNya? Mu’âdz menjawab: Aku akan berijtihâd menggunakan penalaran rasionalku semaksimal mungkin dan aku tidak akan lalai. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz sambil berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik (merestui) utusan Rasulullah (Mu’âdz) sesuai dengan kehendak Rasulullah SAW” (H.R. Abu Dâud).
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahamami bahwa Nabi Muhammad SAW (w.11H/633M) merasa senang mendengar jawaban Mu’âdz bin Jabal (w.18H/639M), karena Mu'âdz telah mengerti cara berijtihâd yang benar. Perlu dicatat bahwa ijtihâd sahabat pada saat Nabi masih hidup belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum, karena masih dalam taraf latihan dan ijtihâd mereka masih perlu dikonfimasikan kepada Nabi, Nabi saja yang berwenang menetapkan mana ijtihâd yang benar dan mana yang salah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat dihadapkan pada kenyataan (peristiwa) baru yang tidak ada contoh kongkritnya dalam tuntunan al-Qur’an dan asSunnah. Oleh sebab itu mereka terpaksa berijtihâd baik secara individu maupun 13
Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm Abadi, ‘Aun al-Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th), Vol. IX, Kitab “ al-Aqdhiyyah” Bab Ijtihâd bi al-Ra’yi fî al-Qadhâ’, h. 401.
7
bermusyawarah secara kolektif. Sejak saat itu ijtihâd mulai berfungsi sebagai alat penggali hukum. Ijtihâd sahabat umumnya untuk memenuhi kebutuhan praktis realistis, untuk menetapkan hukum dan menerapkannya pada berbagai kasus nyata yang dihadapi umat. Jika pada masa Nabi yang lebih berperan adalah teks al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi yang diaktualkan dalam kehidupan, belum dikaji unsur-unsur rasional dan substansional yang ada di balik teks tersebut, maka pada masa sahabat penggunaan teks al-Qur’an dan As-Sunnah saja dirasa tidak cukup untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi, merekapun mulai meneliti unsure rasional yang terdapat di balik teks itu (memahami al-Qur’an dan As-Sunnah melalui aspek lafal dan maknanya). Dalam membuat keputusan hukum, para sahabat kelihatannya dituntut oleh semangat dan nilai-nilai pengajaran yang mereka terima selama bergaul dengan Nabi, ditambah dengan pengetahuan mereka tentang bahasa dan budaya Arab. Dengan kata lain, mereka mengamalkan nilai-nilai itu melalui sosialisasi dan internalisasi. Dalam beberapa kasus terjadi perbedaan pendapat hasil ijtihâd sahabat yang satu dengan yang lain. Namun, hal itu tidak begitu mengganggu persatuan umat, karena adanya semangat keislamaan dan kesadaran yang tinggi bahwa perbedaan itu masih dalam koridor ajaran Rasul. Diantara para sahabat ada yang terkenal sebagai sahabat yang sering berijtihâd dan memberikan fatwa, seperti ‘Umar bin al-Khattâb (w. 23 H/644 M), ‘Alî bin Abî Thâlib (w. 40H/661 M), ‘Abdullah bin Mas’ûd (w. 33 H/653 M), ‘Risyah (w. 58 H/678 M), ‘Abdullah bin ‘Abbâs (w. 68 H/687 M), Zaid bin Tsâbit (w. 45 H/665 M) dan ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73H/692 M).14
14
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâm al-Muwâqqi’în, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Juz I, h. 12
8
Gerakan ijtihâd pasca generasi sahabat dilanjutkan oleh generasi berikutnya, generasi Tâbi’în, Tâbi’ Tâbi’în dan seterusnya. Ijtihâd pada masa ini dilakukan secara bebas, belum terikat pada madzhab tertentu, dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan praktis menghadapi aneka kasus yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mujtahid yang terkenal pada masa ini seperti ‘Alqamah (w. 62 H/681 M), Ibrâhîm alNakhâ’î (w. 95 H/ 715 M), Sa’îd ibn Musayyab (w. 94 H/716 M), dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada akhir periode ini muncul dua aliran dalam berijtihâd, aliran ahlu al-Hadîts dan aliran ahlu al-Ra’yi. Ahlu al-Hadîts muncul di Madinah (Hijâz), tokoh utamanya adalah imam Mâlik bin Anas (93-179 H).15 Dalam berijtihâd dan berfatwa ulama aliran ini lebih banyak menggunakan hadits. Sementara itu aliran ahlu al-Ra’yi muncul di Iraq, tokoh utamanya adalah imam Abû Hanîfah (80-50 H).16 Dalam berijtihâd mereka lebih banyak menggunakan rasio (akal). Hal itu disebabkan karena kondisi sosio-kultural yang mengitarinya, masyarakat Iraq telah berbaur dengan budaya masyarakat Persia yang lebih maju sehingga menimbulkan aneka masalah yang harus ditetapkan hukumnya, sedangkan jumlah hadits yang beredar di Iraq lebih sedikit dibandingkan dengan yang ada di Madinah.17 Namun, perbedaan corak berpikir antara ahli hukum (fuqahâ’) Madinah dengan fuqahâ’ Iraq tidak terlalu lama bertahan, karena periode selanjutnya banyak fuqahâ’ Madinah yang melakukan perjalanan ilmiah ke Iraq sehingga akhirnya muncul ahli hadits di Iraq seperti Ahmad
Lihat pula Manna’ al-Qathân, al-Tasyrî' wa al-Fiqh al-Islâmi, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), h. 176. 15 Nama lengkapnya adalah Mâlik bin Anas bin Abi Amr, lahir di Madinah tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. Lihat Sya’bân Muhammad Ismâ’îl, al-Tasyrî’ al-Islâmiy mashâdiruhu wa athwâruhسu, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1985) cet. II, h. 320. 16 Nama lengkapnya adalah Abû Hanîfah al-Nu’mân bin Tsâbit bin Zuly al-Kûfi, lahir tahun 80 H dan wafat di Baghdad tahun 150 H dalam umur 70 tahun. Lihat Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, (Kairo: Dar al-Fikr, tth), h. 64. 17 Manna’ al-Qathan, al-Tasyrî' wa al-Fiqh al-Islâmi …., h. 226.
9
bin Hanbal (w. 241 H).18 Demikian pula sebaliknya, tidak sedikit fuqahâ’ Iraq yang melakukan studi di Madinah. Mereka saling tukar pikiran dan berdiskusi (munâdharât) sehingga perbedaan pandangan mereka semakin berkurang. Bila corak pemikiran fuqahâ’ Madinah dipandang sebagai suatu tesa, corak pemikiran fuqahâ’ Iraq merupakan anti tesa. Maka pertemuan ilmiah antara kedua kubu fuqahâ’ itu melahirkan suatu sintesa yang memperkaya metode pengambilan hukum Islam. Zaman keemasan hukum Islam terjadi antara tahun 100 H sampai 350 H (700 M-1000 M). Zaman ini disebut zaman pembukuan, perkembangan dan kematangan (‘Ahd al-Tadwîn wa al-Numuwwu wa al-Nadlaj),19 ditandai dengan munculnya imam-imam mujtahid seperti imam Abû Hanîfah (90-150 H/699-767), imam Mâlik (93-179 H/712-795 M), iman al-Syâfi’î (150-204 H/766-820 M)20 dan iman Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M). Pada masa al-Syâfi’i, fuqahâ’ Iraq menggunakan rasio secara bebas, pemakain rasio (ra’yu) oleh fuqahâ’ Iraq lebih bebas, terkadang mereka menolak hadits yang kelihatannya saling bertentangan, akhirnya melahirkan perbedaan pendapat yang sangat luas dan cenderung tidak terkendali. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh cepatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam dan pertambahan pemeluk Islam yang kemungkinan tidak disertai dengan tarbiyah (pembinaan) dan pendalaman ilmu keislaman yang memadai, atau tidak disertai kesadaran beragama yang tinggi seperti yang ditanamkan Rasul kepada 18
Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abdullah ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibâni, lahir di Baghdad tahun 164 H dan wafat tahun 241 H. Lihat Muhammad ‘Abdussalâm al-Madkûr, al-Ijtihâd fî al- Tasyrî’ al-Islâmiy,(Mesir: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1984), cet. I, h. 75. 19 Abdul Wahab Khalaf, Khulâshah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1971), h. 8. 20 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idrîs bin ‘Abbâs bin ‘Utsmân bin Syâfi’i bin alSa’îb bin ‘Ubaid bin ‘Abdul Yazîd bin Hâsyim bin ‘Abdul Manâf. Lahir tahun 150 H di Gaza, yaitu tahun wafatnya imam Abû Hanifah. Diantara karyanya kitab al-Umm dan al-Risâlah, wafat tahun 204 H. Lihat Imâm Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân al-Dzahabiy, Sâir al-‘Ậlam alNubalâ’, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1997), cet; V, Vol. 17, h. 193.
10
para sahabatnya. Saat itu bercampur-baurlah bangsa Arab dengan bangsa non Arab yang menyebabkan melemahnya kemampuan bahasa Arab mereka untuk memahami al-Qur’an dan As-Sunnah.21 Situasi seperti itulah, di antaranya yang menyebabkan imam al-Syâfi’i tergugah untuk menyusun kitab al-Risâlah. Dalam kitab ini alSyâfi’î menjelaskan metode pengambilan hukum tertentu secara lebih sistematis dan logis yang dapat dipakai untuk menguji dan menyeleksi berbagai pendapat yang ada.22 Hal itu sangat memungkinkan bagi al-Syâfi’î, karena ia telah menguasai metode ahlu alhadîts yang dipelajarinya dari imam Mâlik di Madinah, dan ia pun menguasai metode ahlu ra’yi yang dipelajarinya dari murid Abû Hanîfah, Muhammad bin Hasan al- Syaibânî (w. 189 H/804 M) di Iraq. Al- Syâfi’î telah mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing metode itu yang pada gilirannya mendorongnya untuk menyusun suatu metode ijtihâd tertentu yang lebih tepat dan teruji. Metode ijtihâd al- Syâfi’î sebenarnya merupakan perpanjangan dari metode ijtihâd sahabat Nabi. Metode ijtihâd al-Syâfi’î ini dikembangkan dan disempurnakan oleh para pengikutnya sehingga tatap mampu bertahan sampai masa sekarang.Semua yang telah dikemukakan diatas adalah bukti sejarah perkembangan ijtihad yang telah dilakukan oleh sekian banyak ulama dalam menjawab pelbagai permasalahan yang dihadapi umat. Semakin lama bumi ini berotasi semakin komplek permasalahan yang dihadapi umat. Sehingga umat semakin perlu akan ijtihad-ijtihad segar yang dapat
21
‘Abdul Wahâb Ibrâhim Abû Sulaimân, al-Fikr al-Ushûli Dirâsah Tahlîliyah Naqdiah, (Kairo: Dar al-Syurûq, 1983), h. 71. 22 Ibid, h. 69.
11
mencerahkan pengamalan keberagamaan umat.23 Dan para ulama tetap dituntut untuk berijtihad dalam memecahkan pelbagai permasalahan yang dihadapi umat, disamping mereka memang lebih berkompeten untuk melakukannya. Dalam konteks keindonesiaan, sejarah telah mencatat bahwa perjalanan perkembangan hukum Islam di Indonesia telah melahirkan banyak ulama yang ahli dalam
berbagai
bidang
ilmu
keislaman.
Munculnya
para
pemikir
yang
menspesialisasikan diri pada ranah hukum Islam adalah konsekuensi logis dari tuntutan perkembangan zaman seperti diuraikan di atas. Di tengah masyarakat Indonesia telah terlahir cukup banyak tokoh yang memiliki ilmu yang mendalam serta mampu berijtihad guna menjawab persoalan hukum yang timbul di masyarakat. Diantaranya adalah Buya HAMKA, KH. Ahmad Dahlan, Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Prof. Munawir Sjadzali, Prof. Quraish Shihab, MA,24 Prof. K.H Musthafa Ali Ya’qub, M.A25 dan lain-lainnya. Namun ada salah satu ulama Indoensia khususnya ulama dari Kalimantan selatan yang menurut penulis lepas dari sorotan umat yaitu KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjar al-Makki.
23
Sementara ulama klasik telah menutup pintu ijtihad karena menganggap yang berhak untuk berijtihad adalah hanya para imam madzhab namun hal itu dibantah oleh ulama selanjutnya seperti imam Suyuthi, al-Baghawi dan asy-Syarastani karena mereka menganggap berijtihad wajib bagi mereka yang ahli. Disamping itu tidak ada dalil syari’I yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Lihat Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 109. 24 Walaupun Quraish Shihab adalah Profesor ahli dalam bidang tafsir, namun sedikita banyak beliau pun telah merambah ke ranah hukum islam bisa kita lihat dari beberapa buku beliau: M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Lentera Hati, Jakarta, 2008, M Qurais Shihab, Jilbab pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer), (Jakarta: Lentera Hati 2004), h. 189. 25 Prof. Ali Musthafa Yaqub adalah ahli di bidang ilmu hadis, namun beliau juga sedikit banyaknya telah berbicara tentang hukum, bahkan disertasi yang beliau tulis berjudul “Kriteria halalharam untuk pangan, obat dan kosmetika dalam perspektif al Qur`an dan Hadis” dan beliau juga dipercaya menjadi narasumber dalam acara” Halal Haram” di Trans TV. https://sites.google.com/site/ppmenetherlands/tokoh/profdrkhalimustafayaqubma, 23/06/2013.
12
KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjar al-Makki adalah salah seorang ulama kontemporer banua yang telah dikenal luas oleh umat Islam di negeri jiran sperti Malaysia, Singapura, dan Thailand bahkan di Mesir. Selain itu beliau juga mendapat gelar kehormatan dari para mahasiswa al-Azhar yang menuntut ilmu di majelis yang beliau pimpin ketika di Mesir dengan sebutan “al-Azhar Tsani” dikarenakan keluasan ilmu yang beliau miliki.26 Sehingga tidak salah kalau salah satu penerbit di Mesir meminta beliau untuk memberikan kata pengantar pada sebuah buku biografi imam Syafi’i yang ditulis oleh imam ath-Thabari.27 Di samping memiliki majelis pengajian yang besar beliau juga aktif dalam menulils sehingga tulisan beliau telah mencapai 90-an. Namun jumlah tersebut bukan jumlah sebenarnya karena ada dari buku tersebut merupakan terjemahan dari edisi bahasa arabnya.28 Selain itu di Malaysia salah satu buku ushul Fiqih beliau menjadi buku wajib untuk salah satu perguruan tinggi yang ada di sana Begitu pula kasetkaset, CD-CD MP3, VCD ceramah-ceramah dari majelisnya, risalah-risalah singkatnya. Hebatnya lagi, semua keuntungan hasil penjualan tidak diambil olehnya, tapi untuk kemanfaatan anak-anak muridnya saja.29 Oleh karena itu, tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki. Di lain hal kemasyhuran beliau sebagai ulama banua yang telah merambah negeri jiran. Ditambah lagi dengan puluhan karya tulis beliau. Cukuplah itu semua untuk
26
Rahmadi,, Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX (studi tentang proses, pola dan ekspansi jaringan), (Banjarmasin: Antasari Press, 2010M), h. 243-244. 27 http://www.majalah-alkisah.com/index.php/tamu-kita/784-syaikh-muhammad-nuruddinmarbu-al-banjari-muda-usia-tua-ilmunya. (5/04/2013). 28 Rahmadi, Jaringan Intelektual …..h. 245. 29 http://www.majalah-alkisah.com/index.php/tamu-kita/784-syaikh-muhammad-nuruddinmarbu-al-banjari-muda-usia-tua-ilmunya. ( 29 Januari 2013)
13
mengokohkan diri beliau sebagai ulama kontemporer yang mumpuni dalam keilmuannya. Namun popularitas dan kapasitas keilmuan yang beliau miliki ternyata tidak begitu berkesan terhadap masyarakat banjar umumnya.30 Padahal madzhab fiqh dan akidah beliau adalah Syafi’iyah dan asy-‘Ariyah, keduanya adalah aliran fiqh dan akidah yang dianut mayoritas orang banua. Selain itu beliau adalah ulama asli kelahiran banua. Sesungguhnya, ulama sekelas beliau akan mudah mendapat simpati orang banua. Daya tarik lain adalah latar belakang pendidikan beliau sebagai alumni Madrasah
as-Saulathiyah
Mekkah,
sebagaimana
yang
digadang-gadangkan
lulusannya memiliki kualitas keilmuan setingkat dengan lulusan s1 di al-Azhar. Kemudian dilihat dari guru-guru yang beliau menimba ilmu dari mereka. Oleh karena itu, tentu hal ini akan menambah ketertarikan orang banua untuk menimba ilmu. Namun pada realitanya beliau tidak begitu dikenal oleh masyarakat Kalimantan Selatan umumnya. Bahkan beliau dijauhi dan tidak diterima oleh sebagian masyarakat Kalimantan Selatan. Berdasarkan infromasi yang penulis dapat dari beberapa ustadz, teman dan kawan. Diantara penyebab pudarnya popularitas beliau di mata orang banua adalah perbedaan pandangan fikih beliau dengan paham fikih yang berkembang di Kalimantan Selatan. diantaranya adalah pandangan beliau terhadap hukum memukul terbang di dalam mesjid, hukum rokok dan beberapa hukum lainnya. Padahal, pada awal kepindahan beliau ke Banua dari Malaysia beliau
30
Hal ini berdasarkan pengamatan penulis melalui keberadaan majelis pengajian beliau yang sudah berkurang intensitasnya yang dulunya setiap bulan beliau datang ke Banjarmasin untuk memberikan pengajian. Maka sekarang sudah jarang yaitu, salah satunya adalah yang ada di mesjid Taqwa Banjarmasin.
14
telah memiliki beberapa pengajian yang cukup banyak dihadiri oleh jema’ah. Diantara pengajian yang beliau adakan yaitu, Mesjid Pondok Pesantren RAKHA Amuntai, Mesjid Rasyidiyah Telaga Silaga, Pondok Pesantren Al-Syafi’iyyah Alabio, Pondok Pesantren Ibn Al-Amin Pamangkih, Mesjid Sabilal Muhtadi Banjarmasin dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa sangat perlu untuk melakukan penelitian terhadap pemikiran fikih beliau. Karena dalam objek hukum yang sama beliau memiliki istimbat hukum yang berbeda. Dan hasil penelitian tersebut akan penulis tuangkan dalam tulisan berupa tesis dengan judul “ Pemikiran Fikih KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki “.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Pembahasan pada tesis yang akan penulis tulis ini akan dibatasi dalam beberapa aspek saja. Yaitu pembahasan yang dibahas berkaitan dengan pemikiran fikih dan metode istimbat hukum KH. Muhammad Nûruddîn Marbu al-Banjari alMakki Dan agar pembahasan ini terarah maka perlu penulis cantumkan rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu: 1. Bagaimana metode istinbâth hukum KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki dan relevansinya dalam menjawab hukum Islam kontemporer? 2. Bagaimana corak pemikiran fikih KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu alBanjari al-Makki ?
15
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana sebenarnya pemikiran fikih Syekh KH. Muhammad Nûrruddîn
Marbu al-Banjari al-Makki dan bagaiman metode istimbath beliau terhadap beberapa masalah kontemporer. Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Sebagai sumbangan informasi ilmiah bagi para peminat dan pemerhati hukum Islam (fikih dan ushul fikih) di Indonesia, serta lebih khusus untuk ruang lingkup Kalimantan Selatan. 2. Memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa perbedaan dalam hukum fikih adalah suatu hal yang niscaya terjadi, apalagi permasalahan yang berkaitan dengan dalil-dalil yang masih bersifat zhanniyah. 3. Ikut melengkapi dan memperkaya khazanah keilmuan serta perpustakaan Islam di Indonesia, sehingga dapat membantu masyarakat dalam memperluas wawasan tentang hukum Islam, terutama yang mengambil spesialisasi ilmu fikih/ushul fikih.
D. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan interpretasi terhadap istilah-istilah teknis yang digunakan dalam judul penelitian ini, maka penulis terlebih dahulu memberikan batasan istilah sebagai berikut: Pemikiran, secara etimologis berasal dari kata dasar pikir, yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan. Dan ketika kata dasar tersebut mendapatkan imbuhan awalan ber-, maka akan mempunyai makna menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
16
memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam ingatan. Adapun kata pemikiran sendiri mempunyai pengertian proses, cara atau perbuatan memikir.31
Fikih diambil dari bahasa arab Al-Fiqh. Dan merupakan istilah bahasa arab yang berasal dari akar kata "faqiha-yafqahu-faqhan", secara bahasa (etimologi) kata tersebut mengandung arti al-'Ilmu bi al-Syai wa al-Fahmu lahu wa al-Fathanatu" (pengetahuan, pemahaman, dan ketajaman pemikiran terhadap sesuatu).32 "Idrâk alSyai' wa al-'Ilmu bihi" (mengetahui dan memahami sesuatu).33 Adapun pengertian fikih secara terminologi, para ulama menjelaskan maknanya dengan struktur bahasa yang berbeda, akan tetapi secara umum, pengertian tersebut masih sangat erat, dekat, dan terikat dengan pengertiannya secara bahasa, di antara definisi yang dikemukakan tersebut adalah: Pengertian fikih yang dikemukakan oleh al-Subki dalam kitabnya ” Jâmi' alJawâmi'", adalah: 34
Z,د اY ا-# P%/ ا/ ا0[م ا%ﺡY ﺏAا
Fikih menuruh imam Subki: "Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara' yang bersifat amaliah yang dapat ditemukan melalui dalil-dalil yang rinci." Al-Amidî menjelaskan pengertian fikih yaitu: 35
ﺏ '\ وا )]ل0و, ا0[م ا%ﺡY ا-# /O ا ﺏAا
Fikh menurut imam al-Amidi: "Ilmu yang diperoleh dari seperangkat hukumhukum syara' yang bersifat furû'iyah yang dihasilkan dari penalaran dan istidhlâl." 31
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 682-683. 32
Thâhir Ahmad al-Zâdi, Tartîb al-Qâmûs al-Muhîth ‘alâ Thariqah al-Mishbâh al-Munîr wa asas al-Balaghh, ( Riyadh: Dâr al-'Rlam al-Kutub, 1417 H/1996 M), Cet.,4, Juz.1, h. 513. 33 Abu al-Husein Ahmad bin Fâris bin Zakariya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1402 H/1981 M), Cet III, Vol. IV, h.442. 34 Al-Subki, Jam'u al-Jawâmi', 35 Al-Âmidi, al-Ihkâm fi…, h.7
17
Fakhru al-Dîn al-Razî:
-) ا-# Qﻥ2 آA ] C و ﺏQﻥ0 أ0 )لP/ ا/ ا0[م ا%ﺡY ﺏAا 36 ﺽورة Fikih menurut Fakh ruddin ar-Razi: "Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara' yang bersifat amaliah yang mengambil petunjuk kepada sumber aslinya, namun bentuknya tidak dapat diketahui secara langsung melalui agama" Sedangkan Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fikihnya mengatakan bahwa; alfiqh adalah: 37
Z, اQ أد-# _P%/ ا/ ا0[م ا%ﺡY ﺏAا
Menurut Abu Zahrah: "Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara' yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci (tafshiliyah). Berdasarkan beberapa kaidah di atas maka fikih yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah fikih yang merupakan hasil pemahaman terhadap dalil-dalill nash yang dzannî. Para ulama ushûl secara umum sepakat mengatakan bahwa lapangan kajian fikih adalah dalil-dalil yang bersifat dzannî (relatif), yaitu dalil yang mungkin untuk ditafsirkan (interpretable) karena penunjukkan dalalah-nya yang tidak jelas pada hukum.38
36
Fakhru al-Dîn al-Râzi, al-Mahshûl fi 'Ilm al-Ushûl, (1420 H/1999 M), Cet.,1, Juz.1, h.3 Abu Zahrah, Ushûl a-Fikih, (tt: Dâr al-Fikr al-;Arabî, tth), h. 6 38 Dalam Ushûl fikih dikenal istilah dzanni al-Dilâlah dan dzanni al-Tsubût, serta qath'I alDilâlah dan qath'I al-Tsubût. Dalam hubungannya dengan ayat ahkâm, yang dibahas hanyalah dzanni al-Dilâlah dan qath'I al-Dilâlah karena dari segi wurudnya (datangnya), ayat ahkâm yang bersifat pasti qath'I al-Wurûd Zanni al-Dilâlah adalah suatu nash yang mempunyai kemungkinan untuk ditakwil (dipalingkan maknanya secara dzahir kepada makna yang lain diluar maknanya yang asli) atau suatu arti yang hanya berupa dugaan kuat bahwa itulah yang dimaksud dalam redaksi. Sementara qath'I al Dilâlah adalah suatu nash yang secara tegas menunjuk pada makna tertentu sehingga tidak ada kemungkinan adanya arti lain selain arti yang telah ditunjuknya. Makna yang ditunjuk oleh teks tersebut sudah jelas dan pasti tanpa memerlukan dukungan lain. Lihat abd al-Wahhab khallâf, ‘Ilm Ushûlal-Fikih…., h. 35. 37
18
KH. Muhammad Nûruddin Marbu al-Banjari al-Makki adalah seorang ulama kelahiran Banua. Beliau salah satu ulama banua yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Berdasarkan data yang penulis dapat, beliau memiliki kurang lebih 65 karya tulis. Terbagi menjadi beberapa bidang ilmu yaitu: fikih, Hadis, Tasawwuf, dan biografi/manaqib. Dan beliau adalah ulama yang cukup terkenal di negri jiran Malaysia bahkan di stasiun-stasiun tv. Salah satu buku beliau dalam ushul fikih menjadi buku wajib di salah satu universitas di Malaysia. Dengan demikian, yang dimaksud dari judul tesis ini adalah proses berpikir KH. Muhammad Nûruddin Marbu al-Banjari al-Makki dalam menghasilkan hukum terhadap amaliah praktis dalam agama yang bersumber dari dalil-dalil zhannî.
E. Tinjauan Pustaka Sebuah karya tulis dapat diakui keasliannya apabila benar-benar membahas sebuah tulisan yang baru atau berbeda dari tulisan-tulisan yang telah ada. Oleh karena itu penulis berusaha melakukan penelusuran mengenai tulisan atau penelitian yang berhubungan dengan pemikiran atau pendapat ulama banua tentang fikih. Dan penulis telah menemukan beberapa tulisan, diantaranya: 1. Tesis yang ditulis oleh Norliani dengan judul “Hukum Seni Qasidah Rebana dalam pandangan para ulama di Kab. Hulu Sungai Utara”. Tesis ini betujuan untuk mengetahui persepsi ulama HSU tentang hukum Seni Qasidah. Berdasarkan objek penelitian dapat diketahui bahwa tesis ini berbeda dengan tesis yang akan penulis tulis. Selain itu tesis ini adalah sebuah peneltitian lapangan karena data diperoleh dari hasil wawancara langsun dengan
19
responden yang dipilih dari beberapa ulama yang ada di Hulu Sungai Utara., dari Sembilan responden yang diwawancarai tidak tercantum nama KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki . 2. Tulisan kedua adalah tesis yang ditulis oleh Muhammad dengan judul Nikah Video Call (studi persepsi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Ulama di kota Banjarmasin. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui persepsi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Ulama di kota Banjarmasin mengenai
hukum
Nikah dengan menggunakan perangkat digital yaitu melalui video call. Berdasarkan objek penelitian dapat diketahui bahwa tesis ini berbeda dengan tesis yang akan penulis tulis. Metode penelitian Tesis ini hampir sama dengan tesis pertama, yaitu menggali data melalui responden dengan mewawancarai orang-orang terkait dalam pembahasan. 3. Tulisan ketiga adalah tesis dari Muhammad Iskandar dengan judul “Konsep nikah KH. Arsyad al-Banjari ( Ditinjau menurut UU Pernikahan Nomor I Tahun 1947)”. Tesis ini adalah tesis perbandingan yaitu antara Konsep Nikah menurut KH. Arsya al-Banjari dengan konsep nikah ayang ada di dalam draf UU Perkawinan Nomor I Tahun 1947. Dari objek dan metode pembahasan yang dilakukan penulis dalam tesis ini dapat diketahui bahwa tesis yang akan penulis garap berbeda dengan tesis ini. Sedangkan mengenai tulisan yang secara langsung membahas KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki, penulis hanya menemukan dua tulisan yaitu:
20
1. Skripsi Muhammad Nashir dengan judul “ al-Ahadits al-Ma’mulah ‘inda KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjary al-Makky” Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. Skripsi ditulis dalam bahasa arab dan fokus penelitian di dalam skripsi ini adalah pemahaman KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki mengengai beberapa hadis yang diamalkan dalam masyarakat. Jadi Fokus penelitian Skripsi ini adalah tentang hadis jelas berbeda dengan fokus penelitian yang akan penulis lakukan yaitu mengenai pemikiran fikih KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari alMakki 2. Buku hasil penelitian dari Pusat Penelitian IAIN Antasari yang ditulis oleh Siti Faridah, et.al. dengan judul “K. H. Muhammad Nûrruddîn Marbu AlBanjary al-Makky dan Karya-Karyanya”. Untuk sementara hanya dua tulisan yang membahas KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjary al-Makky. Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap karya ilmiah yang telah membahas pemikiran tokoh atau ulama banua atau yang langsung membahas tentang Muhammad Nûrruddîn Marbu Al-Banjari al-Makkidan. Maka pneulis yakin bahwa tulisan yang akan penulis susun benar-benar baru dan belum ada yang membahas sebelumnya. F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan data atau informasi dari berbagai macam teori yang diperoleh dari kepustakaan. Karena penelitian ini lebih mengedepankan pencarian data, maka
21
seorang peneliti harus memilih metode sesuai dengan karakteristik obyek studi dan konseptualisasi teoritiknya.39 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu penelitian yang data-datanya berasal dari literatur-literatur yang terkait dengan objek penelitian, kemudian dianalisis muatan isinya. Berkenaan dengan hal itu dalam penelitian ini akan dihimpun data yang berkaitan dengan metode pemikiran hukum Islam KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki 2. Pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu metode penelitian yang menganalisa dan menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis, simbol-simbol atau lisan. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan prosedur analisis dengan tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau kuantifikasi lainnya. Dengan demikian bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menghasilkan perhitungan dalam bentuk apapun, akan tetapi merupakan kata-kata tertulis.40 Karena penelitian ini berusaha mengungkap produk pemikiran hukum Islam Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki yang terangkum dalam berbagai karya tulis beliau diantaranya
maka pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan Ushul fiqh, yaitu kajian suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dengan berbekal pengetahuan Ushul fiqh (metodologi pemikiran
39
Noeng Muhajir. Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rakeh Sarasih, 2000),
hal.14. 40
Sutrisno RS, Nalar Fikih KH. Musthafa Bisri (Analisis Metodologi Pemikiran Hukum Islam), Ringkasan Desertasi Pogram Doktos S3 Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, hal. Xxi.
22
hukum Islam) dan bertujuan untuk menunjukkan proses pemikiran hukum Islam dan metode Istinbath hukum yang digunakan Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu alBanjari al-Makki dalam berbagai karya tulis beliau. 3. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: a. Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki serta karya penulis lain tentang sosok dan pemikiran Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki. Dan buku utama yang akan dianalisis nantinya adalah buku-buku beliau yang berkaitan dengan Fikih Ibadah dan Muamalah, yaitu Adillatu Tahrîm Naql al-A’dhâ al-Adamî, Ayyuha al-Kirâm Dharb ad-Dufuf fi al-Masjid Harâm, Ifâdah al-Ikhwân bi Adillah Tahrîm Syarb ad-Dukhân, yang semuanya memuat pemikiran fikih Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki baik metode yang beliau terapkan maupun pemikiran hukum Islam beliau secara aplikatif. Untuk melengkapi data-data tersebut akan dilakukan studi interview atau wawancara dengan Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki. Hal ini dilakukan selain bertujuan untuk meminta izin kepada tokoh yang bersangkutan juga perlu adanya penegasan secara lisan mengenai pemikiran hukum Islam dari tokoh yang bersangkutan tersebut. b. Data Sekunder
23
Data sekunder yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data-data tentang KH. Nuruddin Marbu yang ditulis oleh orang lain. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi, dalam arti menelaah dakumen-dokumen tertulis (buku-buku/kitab-kitab) baik yang primer maupun sekunder, kemudian hasil telaah itu dicatat dalam kartu/kertas sebagai alat bantu pengumpulan data.41 Setelah proses pengumpulan data selesai, kemudian dilakukan proses reduksi (seleksi data) untuk mendapatkan informasi yang lebih terfokus pada rumusan persoalan yang akan dijawab oleh penelitian ini. Setelah seleksi data (reduksi) usai, kemudian dilakukan deskripsi, yakni menyusun data tersebut menjadi sebuah teks naratif. c. Data Tersier Yang dimaksud adalah data-data tambahan dari pemikiran Ushul fiqh yang berkaitan dengan istinbath hukum seperti 'Ilm Ushul al-Fiqh karya Abd al-Wahab alKhalaf, Ushul al-Fiqh karya Mohammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Wahbah al-Zuhayliy, Ushul al-Tashri' al-Islam karya Ali Hasaballah, al-Muwafaqat fi Usūli al-Shari'ah karya Abu Ishaq al-Shaţibi al-Madkhal ila 'Ilm 'Ushul al-Fiqh karya Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi, al-Mustasfa Juz II karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Irshad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min 'Ilm al-Ushul karya Al-Shaukani, serta landasan pokok fiqh itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan al-Hadis. 4. Analisis Data Penelitian ini pada dasarnya adalah suatu penelitian disiplin ilmu Ushul Fiqh, yaitu kajian suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dengan berbekal 41
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelilian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 131.
24
ilmu pengetahuan Ushul fiqh (metodologi pemikiran hukum Islam) dan bertujuan untuk menunjukkan metode-metode istinbâth hukum yang digunakan oleh Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki dalam buku-buku beliau yang berkaitan dengan Fikih Ibadah, dan Muamalah. Sedangkan untuk menganalisis data menyangkut corak pemikiran hukum Islam Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu alBanjari al-Makki akan digunakan metode deskriptif analitis komperatif yaitu dengan memaparkan pemikiran hukum Islam Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu alBanjari al-Makki dan dilanjutkan dengan membandingkan jenis-jenis pemikiran beliau dengan pemikiran fikih kontemporer yang berkembang. Selanjutnya untuk menarik kesimpulan digunakan metode deduktif, induktif dan komparatif. Metode deduktif digunakan ketika menganalisis prinsip-prinsip metodologi pemikiran Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki yang berlaku secara umum kemudian diteliti persoalan-persoalan yang berlaku secara khusus. Metode induktif digunakan ketika melacak metode pemikiran Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki yang tersebar dalam beberapa karyanya untuk saling melengkapi agar dapat diketahui pendapatnya secara jelas. Sedangkan metode komparatif digunakan untuk melakukan perbandingan antara pemikiran Syekh Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki dengan pemikiran fikih kontemporer yang berkembang. Hal itu dilakukan untuk mengetahui sosok pendapatnya yang khas Di antara pendapat-pendapat lain di kalangan para ulama.
25
Sedangkan teknik penulisan tesis ini penulis mempergunakan buku acuan: “Pedoman Penulisan Tesis, Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, Banjarmasin: Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, cetakan ke-1 2012”
G. Sistematika Penulisan
Salah satu kerangka berpikir ilmiah adalah berpikir secara sistematis. Penulisan tesis ini terdiri dari beberapa bab, yang mana antara setiap bab saling berhubungan. Secara berturut-turut mengkaji persoalan dari yang umum sampai pada inti persoalan. Untuk memperjelas sistematika penyusunannya, penulis akan mendeskripsikan bab per bab secara global. Pada Bab I: Pendahuluan akan dibahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah yang hendak dikaji, serta tujuan dan kegunaan penelitian. Suatu tinjauan pustaka tentang topik yang hendak dikaji menjadi sub bahasan yang signifikan juga untuk dimasukkan ke dalam bab ini. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana orisinalitas topik yang diteliti. Selain itu diketengahkan pula metode penulisan yang digunakan serta sistematika pembahasan. Pada Bab II: untuk menunjang penelitian penelitian ini, pada bab ini penulis akan memaparakan Definisi Fikih dan keterkaitan dengan syari’ah, dilanjutkan dengan definisi Ijithad dan istinbath dan metode Ijtihad kontemporer. Pada Bab III: sedangkan pada bab ini, penulis akan mendeskirpsikan biografi KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu al-Banjari al-Makki. Dilanjutkan dengan Pemikiran Fikih KH. Muhammad Nûrruddîn Marbu Al-Banjari Al-Makki Yang terdapat di dalam kitab beliau diantara: Adillatu Tahrîm Naql al-A’dhâ al-Adamî,
26
Ayyuha al-Kirâm Dharb ad-Dufuf fi al-Masjid Harâm, Ifâdah al-Ikhwân bi Adillah Tahrîm Syarb ad-Dukhân, kemudian diakhiri dengan analisis metode ijtihad dan corak pemikiran beliau dalam fikih. Dan pada Bab V: Penutup, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan jawaban atas persoalan-persoalan yang digulirkan pada bab I. Selain itu, bab ini juga mengetengahkan saran-saran yang penulis tawarkan sebagai implikasi dari penelitian ini.