BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Islam adalah agama kaffah, agama yang sempurna, Islam datang untuk memberikan bimbingan, arahan dan menunjukkan aturan main “rule of game” yang mengatur seluruh perjalanan dan kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam terdapat kerangka acuan teologis yang jelas yaitu al-Qur’an dan alHadith. Keduanya merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalamnya terdapat aturan-aturan dan kaidah-kaidah hukum yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat-Nya, membebaskan dari kedhaliman dan kegelapan zaman jahiliyah, demi mendapatkan kebahagiaan hidup yang hakiki, yaitu kehidupan dunia dan akhirat yang bahagia. Keagungan ajaran Islam tercermin dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Manusia lahir dalam keadaan fitrah dan merdeka. Hal tersebut dapat dipahami agar manusia tidak berbuat sewenang-wenang, berlaku tidak adil serta berbuat dhalim terhadap sesamanya. Maka berangkat dari sini ada penetapan hukum untuk dijadikan pedoman hidup dan petunjuk bagi manusia untuk mengatur, menjelaskan dan membatasi hak-hak dan kewajibannya. Hikmah Illahi yang bijaksana sudah menghendaki pentingnya perkumpulan pertemuan laki-laki dan perempuan yang disahkan dalam mahligai pernikahan untuk menciptakan keluarga yang harmonis seperti yang tertuang dalam al-Qur’an Surat al-Rum ayat 21 yang berbunyi: 1
2
Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡àΡr& ôÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿϵÏG≈tƒ#u ÏΒuρ ∩⊄⊇∪ tβρã©3xtGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.1 Al-Hamdani menjelaskan “para Sarjana Ilmu Alam” mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasang. Misalnya pada air minum terdiri dari unsur oksigen dan hidrogen, dalam listrik ada muatan positif dan negatif.2 Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat adz-Dzariyat ayat 49: 3
∩⊆∪ tβρã©.x‹s? ÷/ä3ª=yès9 È÷y`÷ρy— $oΨø)n=yz >óx« Èe≅à2 ÏΒuρ Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.4 Selain itu dalam Surat lain Allah berfirman:5
Ÿω $£ϑÏΒuρ óΟÎγÅ¡àΡr& ôÏΒuρ ÞÚö‘F{$# àMÎ7/Ψè? $£ϑÏΒ $yγ‾=à2 yl≡uρø—F{$# t,n=y{ “Ï%©!$# z≈ysö6ß™ ∩⊂∉∪ tβθßϑn=ôètƒ Artinya: “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.6
1
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Penafsir al-Qur’an, 1978), 644. 2 S.A. Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 15. 3 Al-Qur’an, 51: 49. 4 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 882. 5 Al-Qur’an, 36: 36. 6 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 710.
3
Ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa keberadaan makhluk hidup di muka bumi ini sudah ditentukan oleh Allah SWT menjadi berpasangpasangan. Sejak Allah menciptakan manusia pertama, Adam lalu kemudian dari tubuhnya diciptakannlah pasangannya, yaitu Hawa dengan maksud agar tentram hidupnya, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berasal dari tanah yang sama. Hidup berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan juga menjadi dambaan dan impian bagi setiap insan, yang pada dasarnya membutuhkan suatu bantuan, kepuasan dan hal-hal yang ada hubungannya dengan keberadaan dan kehadiran orang lain. Kehidupan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga dalam suatu ikatan yang sah menurut agama disebut dengan “pernikahan”. Pernikahan mempunyai nilai yang sakral dengan tujuan yang suci dan luhur, yakni mempersatukan dua individu yang berbeda untuk membina kehidupan bersama dalam rumah tangga dan sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas pernikahan yang terdiri dari suami, isteri dan anak. Pernikahan merupakan salah satu proses pembentukan keluarga, yaitu merupakan suatu perjanjian sakral antara suami dan isteri. Perjanjian itu merupakan prinsip umum yang terdapat dalam semua tradisi keagamaan, dengan itu pula pernikahan dapat menuju terbentuknya rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. Menurut Analis Gender, tujuan perkawinan akan tercapai jika dalam keluarga tersebut dibangun atas dasar berkeadilan gender, kesetaraan dan
4
keadilan merupakan kondisi yang dinamis di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak, kewajiban, peranan dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati, menghargai dan tentu membantu dalam berbagai sektor kehidupan.7 Di dalam Undang-Undang pilar rumah tangga itu akan menjadi tegak apabila antara suami isteri bisa saling melengkapi dan memahami akan hak dan kewajiban di antara mereka. Yang mana suami menjadi kepala rumah tangga akan melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada isteri dan kepada anak-anaknya, serta selalu membimbingnya dalam kehidupan sehari-hari serta perhatiannya kepada mereka yang selalu mereka harapkan. Begitu juga dengan isteri sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban untuk berbakti kepada suaminya dan melayaninya apabila diminta serta menemaninya dalam suka maupun duka serta bertugas untuk mendidik anak-anaknya dan mengatur rumah tangganya dalam kehidupan sehari-hari.8 Hak dan kewajiban antara suami dan isteri memang harus dikerjakan oleh masing-masing pihak sebagai sendi untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hak wanita yang diperoleh dari suaminya yaitu mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya dan juga mendapat jatah makan dan pakaian. Sedangkan diantara kewajiban wanita adalah menjaga dan memelihara rumah tangganya serta patuh kepada suami. Jika
7 8
Mufidah, Paradigma Gender (Malang: Bayu Media, 2003), 75. Mansour Fakih, Gender dan Pembangunan (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 43.
5
seorang pria dan wanita telah terikat dalam satu perkawinan maka suami berkewajiban juga memberi nafkah kepada isterinya.9 Pembagian kerja berdasarkan perbedaan laki-laki dan perempuan juga menjadi persoalan gender. Misalnya seorang isteri harus di rumah (memasak, mencuci, merawat anak), sementara seorang suami harus keluar rumah atau ke kantor untuk bekerja. Banyaknya kasus kekuasaan ini membuat peran seorang isteri hanya bisa berada di rumah serta tidak diperbolehkan keluar rumah, tetapi dalam hal ini isteri mempunyai hak-hak dan kewajiban untuk membangun keluarga yang kuat dari segi ekonomi, sosial, dan budaya memang masyarakat di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo kurang begitu faham tentang Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Karena masih ada masyarakat di Kelurahan Kecamatan Ponorogo yang melakukan tindak penelantaran, meninggalkan tanggung jawabnya terhadap anggota keluarga. Misalnya lingkungan di sekitar rumah ada kasus di mana seorang suami meninggalkan rumah (pergi) bahkan sampai saat ini belum kembali. Sedangkan di rumah ini ada isteri dan dua orang anak yang juga masih sekolah, dalam hal ini si isteri bertanggung jawab untuk menafkahi dan membiayai kehidupan sehari-hari serta belum tahu kelanjutannya dalam membina keluarga ini. Dengan demikian terkait dengan pasal 9 UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang berbunyi:10 9
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cet-XVII (Jakarta: AT TAHIRIYAH, 1976), 399. Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga Repuplik Indonesia No. 23 Tahun 2004, Cet III (Jakarta: Asa Mandiri, 2007), 5. 10
6
Pasal 9 :
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku untuk setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.
Maka dari deskripsi di atas, penulis termotivasi untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk karya tulis yang berjudul: “Penelantaran Dalam Rumah Tangga Dan Kebebasan Isteri Untuk Beraktivitas Di Luar Rumah (Studi Implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) Di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo).”
B. PENEGASAN ISTILAH Supaya penelitian ini lebih terarah. Maka dipandang perlu untuk memperjelas pembahasan dalam bentuk penegasan istilah: 1. Penelantaran: Seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena
persetujuan
atau
perjanjian
ia
wajib
memberikan kehidupan, perawatan kepada orang tersebut. Selain itu penelantaran juga bagi setiap orang yang
7
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sedangkan korban berada di bawah kendali orang tersebut. Selain itu lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya. 2. Kebebasan
: Keadaan bebas atau keleluasaan individu, kemerdekaan.11
3. Beraktivitas : Kegiatan, pekerjaan, keaktifan. 4. Implementasi : Penerapan, pelaksanaan.12
C. RUMUSAN MASALAH Agar maksud dan tujuan skripsi ini dapat praktis dan terarah, maka inti masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) terkait tanggung jawab suami di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo? 2. Bagaimana kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo setelah berlakunya pasal 9 UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT)? 3. Mengapa pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah (PKDRT) belum bisa diterapkan di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo?
11 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Tim Penyusun KBBI Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, edisi 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 119. 12 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Tim Penyusun KBBI Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, edisi 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 484.
8
D. TUJUAN PENELITIAN Dalam penulisan skripsi ini, bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan menjelaskan implementasi pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) terkait tanggung jawab suami di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo. 2. Mengetahui dan menjelaskan kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo setelah berlakunya pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT). 3. Mengetahui dan menjelaskan pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah (PKDRT) belum bisa diterapkan di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo.
E. KEGUNAAN PENELITIAN Dengan tercapainya tujuan di atas, maka kegunaan ini diharapkan berguna untuk: 1. Aspek Keilmuan: untuk memperkaya kazanah ilmu pengetahuan yang lebih luas tentang PKDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). 2. Aspek Terapan: untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya pihak-pihak yang terkait dengan masalah atau kasus PKDRT.
9
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lapangan dalam arti mengumpulkan data di lapangan (Field Research). Dalam penelitian ini digunakan metodolologi penelitian yang menggunakan penelitian kualitataif.13 Yaitu prosedur penelian yang menghasilakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami.14 2. Lokasi Penelitian Dalam hal ini lokasi yang dijadikan objek penelitian oleh penulis untuk menyusun skripsi ini ada di wilayah Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo. 3. Subjek Penelitian Dalam melaksanakan penelitian untuk menyusun skripsi ini diperlukan informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelantaran, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yaitu Pengadilan Agama, Departemen Agama Bagian URAIS (Urusan Agama Islam) yaitu BP4 (Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) dan KPPA (Komite Perlindungan Perempuan dan Anak). 4. Data Data-data yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
13
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan gejala holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Basuki, “Pengantar Metodologi Penelitian”, 2. Naskah tidak diterbitkan, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung Alfa Beta, 2005). 14 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3.
10
a. Data tentang pelaku (suami) yang menelantarkan rumah tangga di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo. b. Data tentang korban (isteri) yang bebas beraktivitas di luar rumah di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo. c. Data dari perkara perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo. d. Pendapat-pendapat dari orang-orang yang terkait dengan kasus ini. 5. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh.15 Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data primer yakni: informan (pihak-pihak yang terkait)dan beberapa teks yang berkaitan tentang hak dan kewajiban suami isteri dan pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT). Sedangkan data sekunder diambil dari buku-buku atau tulisan-tulisan lainnya yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan objek penelitian. 6. Teknik Pengumpulan Data Untuk
mendapatkan
data
yang
akurat
digunakan
teknik
pengumpulan data yaitu interview.16 Interview adalah wawancara dengan pihak yang terkait dengan data-data yang diperlukan yang berkenaan dengan masalah. Dalam hal ini penulis dapat menggunakan wawancara mendalam dan terstruktur di mana penulis membuat pertanyaan-
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107. 16 Moleong, Metode Penelitian, 135.
11
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan (masyarakat atau warga) dan pendapat pihak-pihak yang terkait. 7. Teknik Pengolahan Data Dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengolahan data sebagai berikut: a. Editing: yaitu memeriksa kembali semua data yang telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, keterbatasan, kejelasan arti, kesesuain dan keseragaman satuan kelompok data. b. Organizing: yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk menyusun skripsi ini. c. Penemuan Hasil Data: yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah dan teori-teori sehingga diperoleh kesimpulan tertentu sebagai jawaban dari pertanyaan dalam rumusan masalah. 8. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan Miles dan Hubermen. Mereka mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data terdiri dari: a. Collection
: pengumpulan data.
b. Reduksi
: membuang data yang tidak penting dan mengambil data yang penting.
12
c. Display
: memasukkan hasil reduksi ke dalam pola-pola.
d. Conclusion : penarikan kesimpulan yang mana dalam penelitian ini dalam kesimpulan awal masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan data-data baru dan buktibukti kuat di lapangan.17
G. TELAAH PUSTAKA Sejauh pengetahuan penulis sudah banyak buku-buku atau hasil-hasil penelitian yang membahas tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun Undang-Undang No. 23 Thun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang biasanya dikaitkan dengan masalahmasalah perempuan. Diantara hasil-hasil penelitian yang membahas tentang PKDRT dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 adalah skripsi karya Wakidah dengan judul Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Klorogan Kec. Geger Kab. Madiun). Di mana dalam skripsi tersebut dibahas tentang kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di desa Klorogan Kec. Geger Kab. Madiun, kemudian respon masyarakat terhadap tindakan kekerasan tersebut serta sikap para korban tindak kekerasan terhadap apa yang menimpa diri mereka. Dalam skripsi
17
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode BAru, terj. Tjetjep Kohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20.
13
tersebut dilakukan pula analisis-analisis Hukum Islam terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga di desa Klorogan Kec. Geger Kab. Madiun.18 Hasil penelitian Mila Abida yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Kepada Perempuan Dalam Rumah Tangga (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa tindak kekerasan kepada perempuan dalam rumah tangga adalah merupakan pelangggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta merupakan bentuk diskriminasi gender yang harus dihapuskan dan hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aturan dalam Hukum Islam. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 adalah hukum positif yang mengatur dan memberikan perlindungan
terhadap
kaum
perempuan,
juga
merupakan
jaminan
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga, oleh karena itu adanya Undang-Undang tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Islam.19 Sehingga dapat diketahui dari karya-karya tersebut di atas bahwa belum terdapat karya tulis yang membahas secara khusus tentang penelantaran dalam Rumah Tangga dan kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah. Di mana tanggung jawab suami serta hak-hak isteri untuk beraktivitas di luar rumah, yang direlevansikan dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas 18
Wakidah, Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Klorogan Kec. Geger Kab. Madiun) (Skripsi: STAIN PO, 2005). 19 Mila Abida, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Kepada Perempuan dalam Rumah Tangga (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT) (Skripsi, STAIN PO, 2005).
14
penelitian yang berjudul “Penelantaran Dalam Rumah Tangga Dan Kebebasan
Isteri
Untuk
Beraktivitas
Di
Luar
Rumah
(Studi
Implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) Di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo).” H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Agar lebih mudah dalam pembahasan dan pemahaman skripsi ini, maka perlu disusun kerangka sistematikanya, sebagai berikut: Bab Pertama
: Pendahuluan, bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab Kedua
: Sebagai Landasan Teori penulis tempatkan Bab II ini yang menyajikan hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga yang berisi hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga menurut fiqh Islam dan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Bab Ketiga
: Adapun pada Bab ini merupakan kegiatan penelitian yang dilakukan penulis di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo yang menjelaskan tentang gambaran umum lokasi penelitian, serta letak geografis, pengertian hak dan
15
kewajiban suami-isteri dalam Rumah Tangga menurut korban dan pelaku, menurut sebagian masyarakat, menurut tokoh masyarakat dan menurut para Ahli Hukum (Depag Bagian URAIS / BP4), Pengadilan Agama, KPPA (Komite Perlindungan Perempuan dan Anak). Bab Keempat : Pada Bab ini merupakan analisa yang diperoleh dan merupakan pokok pembahasan skripsi yang meliputi bagaimana implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT terhadap Penelantaran Dalam Rumah Tangga atau tanggungjawab suami dan kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah setelah UndangUndang ini berlaku serta mengapa belum bisa diterapkan di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo. Bab Kelima
: Penutup, Bab ini untuk memudahkan pembaca yang ingin mengambil intisari skripsi ini. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
16
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI DALAM KELUARGA A. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI DALAM KELUARGA MENURUT FIQIH ISLAM. Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, kata Ahmad Rofiq,20 bukan saja bermakna merealisasikan ibadah kepada Allah SWT, sekaligus melahirkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Akan tetapi, karena tujuan perkawinan itu sangat mulia, membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan isteri21 masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suamiisteri dalam membangun bahtera rumah tangga yang didasari rasa cinta dan kasih sayang akan terwujud. Pernyataan Ahmad Rofiq diatas menunjukkan bahwa terpenuhinya hak dan kewajiban suami-isteri dalam sebuah keluarga berperan besar bagi terwujudnya keluarga yang bahagia. Karena peran itu, baik suami maupun isteri perlu untuk selalu berpegang teguh pada hak dan kewaibannya. Apa saja hak dan kewajiban suami-isteri itu? Apa dasar hukumnya, sehingga seorang suami-isteri harus berpegang kepadanya? Jawaban atas pertanyaan di atas akan diuraikan pada penjelasan-penjelasan berikut: 20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 181. Hak ialah sesuatu yang dapat dimiliki atau dikuasai, baik berupa benda maupun berupa wewenang. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang perlu diberikan, baik berupa benda maupun berupa perbuatan. Lihat Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i (Jakarta: Karya Indah, 1986), hal 341-342. Dalam kehidupan berkeluarga, hak dan kewajiban suami-isteri harus berjalan secara seimbang sebab, apa yang menjadi hak suami sesungguhnya merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh isteri, sebaliknya apa yang menjadi hak isteri sesungguhnya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami. 21
16
17
1. Kewajiban-Kewajiban Suami. Hak dan kewajiban seorang suami muncul sejak terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan). Dengan kata lain, sahnya suatu perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan menjadikan kedudukan laki-laki dan perempuan tersebut menjadi suami isteri dengan berbagai hak dan kewaibannya. Menurut Zahry Hamid,22 hak yang didapatkan seorang suami maupun seorang isteri harus seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Karena itu, seorang suami maupun seorang isteri, di samping wajib
menggunakan
haknya
secara
benar
dan
tidak
boleh
menyalahgunakannya, mereka juga wajib menjalankan kewajibannya dengan baik. Kanapa hak dan kewaiban suami-isteri dalam sebuah keluarga mestilah berjalan secara seimbang? Jawabnya adalah, karena apa yang menjadi kewajiban bagi suami sesungguhnya adalah menjadi hak bagi isteri, sebaliknya apayang menjadi kewajiban bagi isteri adalah hak bagi suami. Jika hak dan kewajiban ini berjalan seimbang, seperti telah ditegaskan di awal akan melahirkan keluarga ideal. Secara umum ada dua bentuk kewajiban seorang suami terhadap isterinya, yaitu: pertama, kewajiban materiil dan kedua, kewajiban immaterial. Lebih jelasnya lihat pemaparan berikut: a. Kewajiban Materiil.
22
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Perjanjian Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), 55.
18
Kewajiban materiil seorang suami terhadap isterinya terbagi menjadi dua bagian, ada yang disebut sebagai kewajiban materiil yang sifatnya ditunaikan sekali, yaitu apa yang disebut sebagai mahar perkawinan.23 Kemudian ada juga yang disebut kewajiban materii yang sifatnya terusm menerus (continoe) selama perkawinan itu masih berjalan. Kewajiban yang terakhir ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama apa yang disebut sebagai kewajiban memberikan nafkah dan kedua kewajiban menyediakan tempat tinggal. Penjelasan tentang dua kewajiban materiil itu akan diuraikan sebagai berikut: 1). Mahar perkawinan. Dalam Islam, kewajiban seorang suami untuk membayar mahar kepada isterinya diatur dalam al-Qur’an maupun hadits. AlQur’an memang tidak menyebut eksplisit istilah mahar, al-Qur’an, dalam hal ini menggunakan istilah saduqah. Seperti ditegaskan dalam Surat al-Nisa’ ayat 4:
(#θè?#uuρ u!$|¡ÏiΨ9$# £ÍκÉJ≈s%߉|¹ \'s#øtÏΥ 4 βÎ*sù t÷ÏÛ öΝä3s9 tã &óx« çµ÷ΖÏiΒ $T¡øtΡ çνθè=ä3sù $\↔ÿ‹ÏΖyδ $\↔ÿƒÍ÷£∆ ∩⊆∪ Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
23 Di lam bahsa Indonesia, mahar disebut maskawin, yaitu sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad perkawinan sebagai lambing kecintaan calon suami terhadap calon isteri serta kesediaan calon isteri untuk menjadi isterinya. Zahry Hamid, Pokok-Pokok Perkawinan, hal 42.
19
Istilah mahar digunakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah RA:
نJK LMJN JOPJQRK JOS إدن وWXYN Z[Q\ أةW_ اJabأ نcK JOdWK e_ L[fg اJaN WOaS اJOhK JON LPد JOS iS وm e_ iSن وJjhkSJK واWlfgا Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: apabila perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila ia digauli, maka ia berhak menerima mahar sebagai penghalal farjinya. Apabila (wali) mereka enggan (menikahkan) maka pemerintahlah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali.”24 Berdasarkan dalil-dali naqli di atas, para fuqaha’ kemudian berkesimpulan bahwa seorang laki-laki yang menikah wajib memberikan mahar kepada isterinya bahkan menurut para ulama sepakat bahwa pemberian mahar merupakan salah satu syrat sah suatu perkawinan.25 Pertanyaannya kemudian adalah apa bentuk mahar itu? Apakah ada betas maksimal pemberian mahar yang dilakukan seorang suami suami kepada isterinya? Mahar yang diberikan suami kepada isterinya, menurut Zahry Hamid, dapat berupa barang berharga, baik barang bergerak seperti perhiasan dari emas atau perak, kendaraan seperti sepeda atau kendaraan bermotor, binatang seperti kerbau, atau sapi, buku berharga seperti kitab suci al-Qur’an, maupun barang tetap seperti sebidang tanah pekarangan, rumah atau sawah,. Bahkan mahar kata Zahry Hamid lagi, dapat berwujud pekerjaan yang dilakukanoleh
24 25
Al-San’ani, Subûl al-Salâm, III (Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1960), 117-118. Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid II (Beirut: Dar al-Fikr, tt),14.
20
calon suami untuk calon isteri, seperti mengajar ilmu, memperbaiki rumah milik calon isteri, mencangkul sawah milik calon isteri, dan sebagainya. Mahar juga dapat berupa manfaat yang dapat dinilai dengan uang seperti hak mendiami rumah, menanami sawah dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mahar yang diberikan suami kepada isterinya boleh berupa apa saja, baik berupa barang maupun jasa, kecuali barang atau jasa yang dilarang oleh hukum Isalam seperti, minuman keras, ganja, anjing, babi, mencuri, merampok, dan sejenisnya. Menurut Ibn Rusyd, tidak ada ketentuan hukum yang disepakti tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya.26 Yang jelas, kata Ahmad Rofiq, meskipun sedikit, mahar wajib ditunaikan. Hal demikian didasarkan atas suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ibn Sa’ad al-Sa’idi, sebagai berikut:
:ZSJuK أةW_ اnvءJd xhg nXho p اihq pل اsgأن ر J_Jfy Z_JuK zS {k|\ Z} وهy {\ إpل اsg رJb eQb xh\ إJOXRd زوpل اsg رJb :لJuK Ldم رJuK XM zS L ه:xhg وnXho pل اsgل رJuK dJP zS لJuK . إزاريmي إRo J_ :لJuK
؟Jbق إfR_ إزارm Zkhd
Jb إJOfXjo إن أ:xhg وnXho pل اsgر ةS اnXho لJuK .JX d أSJuK JX afSJK zS lb xhK afSJK bP e_ Jaf sS وafS ا:مkSوا 26
Ibid.,
21
e_ zR_ L ه:xhg وnXho pل اsgل رJuK JX JهJag رskN رة آاsgرةآا وsg x\ :لJy أن؟WuSا e_ z_ JaN JOQf[Q\ أy :xhg وnXho pل اsgل رJuK .أنWuSا Artinya: “Rasulullah SAW didatangi seorang perempuan seraya mengatakan: Wahai Rasulullah SAW, sungguh aku telah menyerahkan diriku kepada engkau,” maka berdirilah wanita itu agak lama, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata: “Wahai Rasulullah SAW jodohkanlah saja dia dengan aku sekiranya engkau kurang berkenan.” Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu memiliki sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar)?” laki-laki itu menjawab: “Saya tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini.” Rasul bersabda: “Kalau kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu akan duduk tanpa busana, karena itu carilah sesuatu.” Laki-laki itu berkata: “Aku tidak mendapatkan sesuatu.” Rasul bersabda (lagi): “Carilah, walaupun sekedar cicin besi.” Maka laki-laki itu mencari, dan tidak mendapatkan sesuatu. Lalu Rasul bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki sesuatu dari al-Qur’an?” Maka laki-laki itu menjawab: “Ya, surat ini dan surat itu, beberapa surat.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari al-Qur’an.”27 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi haknya. Penyerahan mahar dilakukan secara tunai. Akan tetapi apabila calon mempelai wanita menyetujuai, penyerahan boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Karena itu, mahar yang belum ditunaikan enyerahannya menjadi uatang caolon mempelai laki-laki. Penyebutan mahar, biak jumlah maupun bentuknya termasuk di dalamnya diberikan secara tunai atau ditangguhkan,
27
Muslim, Sahih Muslim I (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 596.
22
diucapkan pada saat akad nikah, yaitu pada saat ijab oleh wali mempelai wanita, dan dikonfirmasi dengan jawaban qabul mempelai laki-laki. Oleh karena sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.28 Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut, menurut Abd al-Rahman al-Jaziri29 tergantung pada persetujuan isteri. Jika mempelai laki-laki belum menyerahkan mahar, mempelai wanita mempunyai hak untuk menolak hubungan suami isteri, sampai dengan dipenuhi mahar tersebut. 2). Nafkah. Nafkah dalam bahasa ‘Arab disebut nafaqah. Istilah itu menurut Kamal Mukhtar30dapat diartikan dengan “belanja” dan “kebutuhan pokok” yakni kebutuhan pokok bagi orang yang membutuhkannya. Sedangkan Zahry Hamid, mengartikan nafaqah dengan belanja hidup, yaitu belanja untuk keperluan hidup bagi isteri dan menjamin terpeliharanya kelestarian hidupnya secara layak.31 Apa yang dikemukakan oleh Kamal Mukhtar dan Zahry
28
Abdurrahmân, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: akademika Pressindo,
1992), 34.
29
Abd al-Rahmân al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ala al-Mazâhib al-Arba’ah IV (Beirut: Maktabah al-Tijâr,yah, tt), 160. 30 Kamal Mukhtar, Azas-Azas Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 167. 31 Zahry Hamid, Pokok-Pokok, 56.
23
Hamid sebenarnya dapat dirangkum dengan ungkapanyang lebih sederhana, yaitu bahwa yang dimaksud dengan nafaqah adalah biaya hidup keseharian bagi keluarga. Sebagai biaya hidup keseharian suatu keluarga, nafaqah kata Zahry Hamid dapat berupa tiga hal, yaitu: (1) Pangan, yakni keperluan makan minum sehari-hari, termasuk makanan, minuman, lauk pauk, buah-buahan dan yang sejenisnya sebagaimanalazimnya kebutuhan sehari hari; (2) Pakaian, yakni apa saja yang dibutuhkan oleh isteri untuk menutup dan memelihara tubuhnya dari panas, dingin dan menjaga harga diri. Termasuk dalam hal ini adalah pakaian sehari-hari seperti baju, kebaya, kain, sandal, jilbab, perhiasan yang pantas, dan kosmeti; (3) Pengobatan, yakni apa saja yang
diperlukan
untuk
memelihara
kesehatan
isteri
serta
pengobatan diwaktu sakit.32 3). Tempat tinggal Di samping nafkah seorang suami juga wajib memberi isteri tempat tinggal, yakni tempat tinggal suami isteri yang layak huni dan sesuai dengan kemampuan suami dengan peralatan rumah tangga yang diperlukan serta pelayanan kebutuhan sehari-hari. Jika diuraikan secara detail maka tempat tinggal menurut Zahry Hamid mencakup tiga hal, yaitu: (1) Papan, adalah rumah tempat berteduh dan bertempat tinggal suami isteri bersama anak-anaknya, baik milik sendiri, menyewa dan sebagainya. Suami wajib menyediakan 32
Ibid.,
24
rumah tempat berteduh untuk isteri dan anak-anaknya, isteri wajib mengikuti tempat tinggal suami atau yang ditunjuk oleh suami; (2) Peralatan, yaitu peralatan yang diperlukan untuk rumah tangga yang meliputi peralatan ruang tamu, ruang tidur, peralatan dapur dan sebagainya; (3) Pelayan, yaitu menyediakan tenaga atau pembantu untuk melayani dan meringankan isteri, jika keadaan memerlukannya. Isteri tidak boleh membebani pekerjaan rumah tangga di luar batas kemampuannya tanpa bantuan suami atau orang lain yang memang sengaja disediakan untuk itu.33 Dasar hukum wajibnya seorang suami memberi nafaqah dan tempat tinggal kepada isterinya diatur baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Dalam al-Qur’an antara lain dalam surat al-Thalaq ayat 6 dan 7:
£èδθãΖÅ3ó™r& ôÏΒ ß]ø‹ym ΟçGΨs3y™ ÏiΒ öΝä.ω÷`ãρ Ÿωuρ £èδρ•‘!$ŸÒè? (#θà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £Íκön=tã 4 βÎ)uρ £ä. ÏM≈s9'ρé& 9≅÷Ηxq (#θà)ÏΡr'sù £Íκön=tã 4®Lym z÷èŸÒtƒ £ßγn=÷Ηxq 4 ÷βÎ*sù z÷è|Êö‘r& ö/ä3s9 £èδθè?$t↔sù £èδu‘θã_é& ( (#ρãÏϑs?ù&uρ /ä3uΖ÷t/ 7∃ρã÷èoÿÏ3 ( βÎ)uρ ÷Λän÷|$yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ…ã&s! 3“t÷zé& ∩∉∪ Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteriisteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu 33
Ibid.,
25
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”34
÷,ÏΨã‹Ï9 ρèŒ 7πyèy™ ÏiΒ ÏµÏFyèy™ ( tΒuρ u‘ωè% ϵø‹n=tã …çµè%ø—Í‘ ÷,ÏΨã‹ù=sù !$£ϑÏΒ çµ9s?#u ª!$# 4 Ÿω ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øtΡ āωÎ) !$tΒ $yγ8s?#u 4 ã≅yèôfuŠy™ ª!$# y‰÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç„ ∩∠∪ Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”35 Disamping dua ayat di atas, kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada isterinya juga disebutkan dalam satu hadits Nabi SAW sebagai berikut:
Jb ZSJy لJy nXN أeo WXuS اbوJ_ eN xXQP eo ZaM إداJOajv ل إنJy ؟J\P أdوuPJ_ pاsgر }uvm وndsSJNsv m وZ}kf إدا اآJهskQvو ZX}SJXKm إWlOvmو Artinya: “Dari Hakim bin Muawiyah dari ayahnya, ia berkata aku bertanya kepada Rasulullah. Apa kewajiban suami terhadap isteri? Rasulullah berkata: “Engkau beri makan isterimu ketika engkau makan, engkau beri pakaian isterimu kalau engkau berpakaian, janganlah kamu pukul wajahnya, jangan berlaku kasar terhadapnya, janganlah kamu hardik dia kecuali di rumah.”36
34
At-Talâq (65): 6. At-Talâq (65): 7. 36 Abû DAwud, Sunan Abi Dawud, Kitâb an-Nikâh bab Fiqh al-Mar’ah ala Zawjihâ. No. Hadits 1830. 35
26
Menurut Ibn Rusyd, meskipun para fuqaha sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri. Akan tetapi mereka berbeda pandapat tentang empat hal yang berkaitan dengan nafaqah tersebut, yaitu tentang waktu berlakunya kewajiban itu, besarnya nafaqah, criteria isteri yang berhak mendapat nafaqah, dan suami yang bagaimana yang wajibmengeluarkan nafaqah. Dari empat hal yang diperdebatkan itu, satu diantaranya, yaknni suami yang bagaimana yang wajib mengeluarkan nafkah akan dijelaskan sebagai berikut: Para fuqaha’ kata Ibn Rusyd, sependapat bahwa nafkah itu wajib ditunaikan oleh suami yang merdeka dan berada di tempat, yang diperdebatkan kemudian adalah bagaimana jika suami itu adalah hamba sahaya atau suami itu sedang bepergian. Berdasarka keterangan dari para ahli ilmu, Ibn al-Munzir berpendapat bahwa seorang suami yang berstatus hamba sahaya wajib memberikan nafkah kepada isterinya. Sedangkan Abu alMusy’ab, seorang ulama dari mazhab Maliki berpendapat sebaliknya, yakni seorang suami yang berstatus sebagai hamba sahaya tidak wajib memberi nafkah kepada isterinya. Perbedaan pendapat tentang wajib tidaknya seorang suami yang berstatus sebagai hamba sahaya memberi nafkah kepada siteri itu menurut Ibn Rasyd didasarkan akan adanya ketentuan umum yang berkaitan dengan kedudukan hamba sahaya sebagai orang dibatasi perbuatannya terutama dalam masalah keuangan.
27
Seperti halnya kewajiban seoarng suami yang berstatus sebagai hamba sahaya, kewajiban suami yang bepergian jauh untuk memberikan nafkah kepada isterinya juga diperdebatkan oleh para fuqaha. Jumhur berpendapat bahwa suami yang bepergian jauh tetap wajib memberi nafkah kepada isterinya. Sementara itu, Imam Abu Hanifah, berpendapat sebaliknya, yakni seorang suami yang bepergian tidak wajib memberi nafkah kepada isterinya kecuali jika diputuskan oleh penguasa.37 Terlepas dari perdebatan di atas, status pemberian nafkah suami kepada isteri adalah bersifat tamlik, artinya nafkah tersebut diserahkan suami kepada isterinya sebagi hak dan milik isteri, dengan kata lain, jika suami tidak memberi nafkah, maka isteri berhak menuntutnya, dan jika nafkah tersebut telah diberikan kepada isteri, maka suami tidak berhak meminta kembali tanpa izin isterinya. Sedangkan status tempat tinggal yang disediakan suami kepada isterinya bersifat imta’, yakni bahwa isteri berhak menikmati dan memanfaatkan tempat tinggal beserta perabotannya yang disediakan suami, andai terjadi perceraian, maka rumah tempat tinggal tetap menjadi milik suami. 4). Isteri yang tidak berhak menerima nafkah Terkait masalah pemberian nafkah oleh suami kepada isterinya, ada satu hal penting lain yang perlu dikemukakan disini, yani tentang kondisi-kondisi tertentu yang ada pada seorang isteri 37
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, 464-465.
28
di mana ia tidak berhak menerima nafkah. Kondisi-kondisi itu adalah: a) Isteri yang nuyuz, menurut Jawad Mugniyah, para ulama sepakat bahwa isteri yang melakukan nuyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nuyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah. Menurut Imam Hanafi, keetika isteri berdiam diri dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpaizin suaminya maka ia masih disebut patuh, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara’ yang benar. Penolakannya tersebut sekalipun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Bagi Imam Hanafi, yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah kepada isteri adalah keberadaan wanita tersebut di dalam rumah suaminya. Persoalan hubungan suksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah. Pendapat yang dikemukan oleh Imam Hanafi itu, berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab lainnya. Sebab mazhab-mazhab yang lain sepakat manakala isteri tidak memberikan kesempatan kepada suaminya untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya, tanpa alas an yang dibenarkan oleh syara’ maupun rasio, akan dilihat sebagai nuyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa sekedar kesediaan isteri untuk digauli dan berkhalwat, masih belum cukup baginya sebelum ia menawarkan dirinya kepada suaminya seraya
29
mengatakan
dengan
tegas,
“aku
menyerahkan
diriku
kepadamu”. Menurut ulama selain Imam Syafi’i, bahwa yang dijadikan pegangan bagi patuh dan taat seorang isteri adalah urf, dan tidak diragukan lagi bahwa bertdasar urf, seorang isteri bisa disebut taat dan patuh manakala ia tidak menolak bila suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak mensyaratkan bahwa isteri harus menawarkan diri.nya.38 b) Isteriyang beriddah. Para ulama mazhab bahwa isteri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak berhak memperoleh nafkah, misalnya isteri tersebut dalam keadaan hamil atau tidak. Hanya saja, menurut Maliki dan Syafi’i, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya berhak memperoleh nafkah berupa tempat tinggal saja. Selanjutnya Syafi’i menyatakan bahwa apabila seoarang wanita ditalak ba’in, sedangkan ia dalam keadaan hamil kemudian suaminya meninggal dunia (ketika isteri masih dalam ‘iddah), maka nafkah si isteri tidak putus. Imam Hanafi berpendapat, “apabila wanita yang ber’iddah tersebut dalam keadaan talak raj’i dan suami yang menceraikannya meninggal dunia ketika dia menjalani masa ‘iddah, maka iddahnya beralih ke iddah wafat dan kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali bila si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai hutang (atas suami) yang 38
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 1999), 402.
30
betul-betul dilaksanakannya.” Dalam kondisi seperti ini nafkah tidak gugur. Selanjutnya para para mazhab sepakat bahwa wanita yang menjalani ‘iddah karena pencampuran syubhat, ia tidak berhak atas nafkah. Namun mereka berbeda pendapat tentang nafkah bagi wanita yang menjalani ‘iddah karena talak ba’in. Menurut Imam Hanafi, wanita tersebut berhak atas nafkah, sekalipun dia dicerai tiga, baik dia hamil atau tidak, dengan syarat dia tidak meninggalkan rumah yang disediakan oleh suaminya yang menceraikannya guna menjalani ‘iddah. Hukum wanita ber’iddah akibat fasakh akad, menurut Hanafi, sama dengan wanita yang ditalak ba’in. Menurut Imam Malik, apabila wanita itu tidak hamil, dia hanya berhak atas nafkah berupa tempat tinggal, tetapi apabila sedang hamil dia berhak atas nafkah dengan segala bentuknya. Haknya atas naflah, tidak menjadi gugur dengan keluarnya dia dari rumah ‘iddah, sebab nafkah tersebut diperuntukkan bagi bayi yang dikandungnya, bukan untuk ibu yang mengandung. Menurut Imam Syafi’i, Imamiyah dan Hambali, bahwa wanita tersebut tidak berhak atas nafkah bila dia tidak hamil, tapi berhak atasnya bila ia memang hamil. Tetapi secara khusus Syafi’i menyatakan bahwa kalau wanita tersebut keluar dari
31
rumah tanpa adanya kebutuhan (yang tak terhindarkan), maka gugurlah haknya atas nafkah. Sementara itu, mazhab Imamiyah tidak mengatakan fasakhnya akad yang sah sama dengan talak ba’in. mereka berpendapat bahwa orang yang menjalani ‘iddah akibat fasakhnya akad, baik dia hamil maupun tidak, maka ia tidak berhak atas nafkah.39 c) Nafkah isteri yang bekerja. Ada beberapa pendapat ulama yang dapat dekemukakan di sisi terkait dengan nafkah isteri yang bekerja sebagai berikut: Menurut Imam Hanafi, jika isteri bekerja dan tidak menetap di rumah, maka suami dapat memintanya untuk tidak bekerja dan tinggal di rumah, jika permintaan suami itu ditolak oleh isteri, dalam arti ia tetap keluar rumah dan bekerja, maka isteri yang demikian tidak berhak atas nafkah. Pendapat demikian menurut Jawad Mughniyah, sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan
oleh
mazhab-mazhab
lainnya,
yang
menyatakan bahwa isteri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya. Bahkan Imam Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa meskipun isteri yang keluar rumah untuk bekerja telah mendapat izin suaminya, tetapi hal itu dilakukan untuk
39
Ibid, 401.
32
kepentingan sang siteri sedinri, maka ia puntidak berhak atas nafkah suaminya.40 Sayyid Sabiq menyatakan bahwa seorang isteri harus tinggal di dalm rumah untuk mengurus rumah tangganya dan mengasuh anak-anaknya. Ketika isteri melakukan hal tersebut, maka Islam mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya. Dari pernyataan Sayyid Sabiq ini dapat dikatakan bahwa isteri yang tidak taat untuk tinggal di dalam rumah untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anakanaknya, maka ia tidak berhak atas nafkah. Senada denga Sayyid Sabiq, H.A. Wasit Aulawi, da;am pidato pengukuhannya sebagai guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin Mujtaba’ menyatakan, seorang suami dapat bebas dari kewajiban nafkah kepada isterinya, apabila isteri bekerja mencari nafkah dengan izin suaminya, yang dari penghasilan dia layak dan manpu memberi kecukupan terhadap dirinya. Berbeda dengan pendapat Wasit Aulawi di atas, Muhamad abu Zahrah menyatakan bahwa seoarang suami yang rela atas keadaan isterinya sebagai wanita yang bekerja di luar rumah
tidak
menghilangkan
kewajiban
suami
untuk
memberikan nafkah kepada isteri. Kewajiban suami atas memberikan nafkah atas isteri itu hilang pabila suami telah 40
Ibid.,
33
meminta isterinya untuk tidak bekerja di luar rumah, tapi isteri menolak permintaan suami tersebut, isteriyang demikian oleh Abu Zahrah dikatagorikan sebagai isteri yang nuyuz.41 Seperti halnya Abu Zahrah, Huzaimah T. Yanggo sebagaimana dikutib oleh Saifuddin Mujtaba’, berpendapat bahwa isteri yang bekerja di luar rumah, tetap berhak mendapatkan nafkah dari suaminya yang dinilai mampu memberi kecukupan, selama pekerjaannya itu ia mendapat izin dan persetujuan suaminya, karena nafkah itu merupakan kewajiban suami dalam rumah tangga.42 d) Nafkah isteri yang suaminya ghaib. Menurut Saifuddin Mujtaba’ suami ghaib di sini adalah suami yang yang tidak dapat
hadir
memenuhi
panggilan
pengadilan
dalm
menyelesaikan perkara nafkah yang diajukan oleh isterinya, baik isteri bepergian jauh, atau dekat, atau tidak hadirnya suami semata-mata karena keenganan saja. Suami ghaib itu mungkin meninggalkan harta di rumah yang dapt diambil isterinya atau tidak meninggalkan harta sama sekali. Hanafi menyatakan bahwa kepergian atau keghaiban suami tidak menghapuskan hak isteri terhadap nafkah. Kalaupun suami mempunyai harta yang nyata, baik berupa pangan atau uang, atau barang-barang lain yang dapat dijadikan 41 Abdul Wahab al-Bandary, Wanita Karier Dalam Pandangan Islam (Bandung: Sinar Baru, 1992), 15. 42 Saifuddin Mujtaba’, Isteri Menafkahi Keluarga: Dilema Prempuan Antara Mencari,Menerima, Dan Memberi (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), 178.
34
nafkah dan berada dalam kekuasaan si isteri, maka hakim memutuskan agar isteri mengambil harta atau uang tersebut untuk keperluan nafkahnya. Kalau harta tersebut ada di tangan orang lain dan orang tersebut membenarkannya, maka hakim menetapkan bahwa sejumlah harta tersebut harus diberikan kepada isteri sebagai nafkahnya. Menurut Kamal Mukhtar,43 jika isteri itu tidak mengakui bhawa harta suaminya ada padanya, maka hakim tidak dapt menetapkan sejumlah nafkah untuk isteri yang diambil dari harta suamiyang diduga itu. Apabila suami hanya mempunyai barang-barang yang tidak bergerak, maka hakim menetapkan nafkah isteri yang diambil dari harta tersebut. Hakim atau isteri tidak boleh menjual harta suami yang tidak bergerak tersebut untuk keperluan nafkah isteri. Dalam keadaan demikian, isteri diberi oleh orang yang wajib memberi nafkah (kepadanya) apabila ia tidak bersuami. Dalam hal suami ghaib atau kikir dan tidak mau memberi nafkah isterinya, sedangkan pada isteri ada harta suami yang dapat langsung dijadikan nafkah, maka isteri boleh mengambil harta itu sekedar keperluannya, setelah mendapat izin dari hakim. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
43
Kamal Mukhtar, Azas-Azas Hukum Islam Tentang perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 136.
35
إنpل اsg رJb ZSJy }fo ZRN R أن هo eo {RX|QbJ_ {RXjb XS وX[ Ldن رJX|g أب ل يJuK xhbm s وهnR_ أتJ_ mي إSوو وفWaSJN كS ووzX|QbJ_ Artinya: “Dari Aisyah ra: bawasannya Hindu binti Utbah berkata:, “WAhai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan (suami Hindun) adalah laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberi nafkah menurut kecukupanku, begitu pula untuk anakku, kecuali aku mengambilnya sedang ia tidak mengetahuinya.” Rasulullah bersabda: “Ambillah (sebagian harta itu) menurut kecukupanmu dan anakmu menurut ukuran yang patut,”44 b. Kewajiban Immateriil Secara umum dapat dikatakan bahwa setidaknya ada dua kewajiban immaterial yang harus ditunaikan suami kepada isterinya, meminjam istilah Fuad Kauma dan Nipan, kedua kewajiban itu adalah: (1) berbuat baik dalam pergaulan sehari-hari di rumah dan (2) membimbing isteri ke jalan yang benar.penjelasan immaterial ini dapat dikutip dalam paparan berikut:45 1). Berbuat baik dalam pergaulan keseharian Seorang suami menurut Fuad Kauma dan Nipan46 wajib melakukan hal yang terbaik dalam pergaulan sehari-hari bersama isterinya. Dengan kata lain, apa saja yang dilakukan suami di dalam rumah yang terkait dengan isterinya maka ia wajib untuk
44
Al-Bukhâri, Sahih al-Bukhâri, al-Kitâb: al-Nafaqât, al-Bâb: Iza Lam Yanfiq ar-Rajûl. No. Hadits 4945. 45 Uraian-uraian ini banyak menunjuk pada tulisan Fuad Kauma dan Nipan yang dimuat dalam bukunya, Membimbing Isteri Mendampingi Suami: Pegangan Pengantin BAru Muslim (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 104-124. 46 Ibid.,
36
melakukannya dengan cara terbaik. Secara sederhana jika perbuatan keseharian suami yang berkaitan dengan isterinya itu dirinci akan dikemukakan beberapa hal berikut, misalnya bertemu, berbicara, memanggil, bersenda gurau, membantu menyesaikan pekerjaan rumah tangga, dan seterusnya. Semua perbuatan tersebut wajib dilakukan suami dengan cara yang terbaik. Kewajiban suami berbuat yang terbaik terhadap isteri itu disebutkan dalam al-Qur’an:
£èδρçÅ°$tãuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ 4 βÎ*sù £èδθßϑçF÷δÌx. #|¤yèsù βr& (#θèδtõ3s? $\↔ø‹x© Ÿ≅yèøgs†uρ ª!$# ϵŠÏù #Zöyz #ZÏWŸ2 ∩⊇∪ Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”47 Bagaimana gambaran kongkrit keseharian suami yang terbaik itu? Pertama, ketika bertemu isteri misalnya seorang suami hendaklah berusaha menyenangkannya. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan itu, diantaranya menurut Fuad Kauma dan Nipan adalah: (1) Mengucapkan salam; (2) Berjabat tangan; (3) menunjukkan muka yang menyenangkan. Kedua, ketika suami berbicara kepada isterinya, maka hendaklah ia berbicara dengan cara yang menyenangkan. Berbicara yang menyenangkan dapat diwujudkan dalam (1) Isi pembicaraan; (2) Gaya bicara; (3) Pembicaraan mudah dimengerti. 47
An-Nisâ’ (4): 19.
37
Ketiga, saat memanggil isteri, seorang suami hendaklah memanggil isterinya dengan panggilan yang menyenangkan. Panggilan seperti itu mudah dirasakan dan merupakan sesuatu yang amat berpengaruh bagi orang yang dipanggil. Sebab panggilan yang menyenangkan, secara psikologis akan menjadikan orang yang dipanggil merasa diperhatikan, merasa diorangkan, karena itu ia pun memberikan sambutan yang menyenangkan penuh perhatian kepada orang yang memanggilnya. Perintah untuk memanggil dengan cara menyenangkan disebutkan al-Qur’an:
$pκš‰r'‾≈tƒ tÏ%©!$# (#θãΖtΒ#u Ÿω öy‚ó¡o„ ×Πöθs% ÏiΒ BΘöθs% #|¤tã βr& (#θçΡθä3tƒ #Zöyz öΝåκ÷]ÏiΒ Ÿωuρ Ö!$|¡ÎΣ ÏiΒ >!$|¡ÎpΣ #|¤tã βr& £ä3tƒ #Zöyz £åκ÷]ÏiΒ ( Ÿωuρ (#ÿρâ“Ïϑù=s? ö/ä3|¡àΡr& Ÿωuρ (#ρâ“t/$uΖs? É=≈s)ø9F{$$Î/ ( }§ø♥Î/ ãΛôœeω$# ä−θÝ¡àø9$# y‰÷èt/ Ç≈yϑƒM}$# 4 tΒuρ öΝ©9 ó=çGtƒ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ãΝèδ tβθçΗÍ>≈©à9$# ∩⊇⊇∪ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolokol-okkan), ebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita (mengolok-ngolokkan) wanita-wanita yang lain (karena), boleh jadi wanita yang (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-ngolokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah pula kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan yang buruk sesudah iman) dan ngsiapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.”48 Keempat, bercengkrama, rasa lelah akibat rutinitas kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh suami dan isteri, perlu disegarkan 48
Al-Hujurât (49): 11.
38
dengan bercengkrama. Isteri yang sehari-hari penuh dengan berbagai pekerjaan di rumah, perlu memperoleh suasana baru yang bisa menghilangkan kelelahannya. Pada saat-saat tertentu suami perlu mengajak isterinya bercanda, sehingga rasa lelah yang dirasakan berubah menjadi suka cita, suasana demikian akan meyegarkan kembali kepenatan-kepenatan yang menyelimuti badan. Bercengkrama dengan isteri akan menambah kebahagiaan hidup
keluarga,
karena
itu,
seorang
suami
tidak
boleh
mengabaikannya. Bercengkrama dengan isteri dapat dilakukan di rumah, di perjalanan atau tempat-tempat lain asalkan tidak melampaui batas. Suami suatu saat juga perlu mengajak isteri dan keluarganya untuk mengunjungi tempat-tempat wisata sebagai refreshing. Di tempattempat tersebut, isteri bisa menghirup udara segar dan menikmati suasana baru yang dapat mengobati rasa lelahnya. Kelima, makan bersama. Makan adalah hal yang bisaa bagi setiap orang. Namun bagi suami isteri, makan tidak bisa dianggap sebagai hal yang bisaa. Perlu diusahakan agar suami selalu makan bersama-sama di rumah. Karena makan bersama keluarga banyak membawa pengaruh terhadap kebahagiaan keluarga itu sendiri. Suami pada zaman sekarang mungkin banyak yang harus makan siang di tempat kerja, karena tempat kerjanya memang jauh dari tempat tinggalnya. Tetapi hal itu hendaknya tidak menjadi alasan untuk tidak pernah makan bersama di rumah. Paling tidak,
39
perlu diusahakan minimal satu kali sehari bisa makan bersama isteri dan anak-anaknya di rumah. Seyogyanya diusahakan jangan sampai suami isteri selalu makan sendiri-sendiri. Jangan sampai isteri makan sendiri di rumah, anak-anak makan sendiri di luar rumah. Sebab tradisi semacam ini seakan-akan menghilangkan makna sebuah ikatan keluarga. Hal ini menurut pandangan Islam akan menghilagkan berkah. Dalam suatu haditsnya Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam membisaakan makan secara bersama-sama, karena secara bersama-sama itu mengandung berkah. Rasul Allah bersabda:
oJalSJ_ ZآW}Sن اcK اsyW|v m وJXad اshآ Artinya:
“Makanlah
secara
bersama-sama
dan
janganlah
berpecah belah sesungguhnya keberkahan itu berada pada kebersamaan.”49 Di samping memperoleh keberkahan, makan bersama keluarga
dapat
dijadikan
sebagai
kesempatan
untuk
mengungkapkan hal-hal yang tidak sempat dikemukakan pada waktu-waktu lain. Sambil menikmati makanan yang dihidangkan, suami bisa lebih mendalami karakter isterinya dan begitu pula sebaliknya. Lagi pula isteri akan merasa puas apabila makanan
49
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitâb al-At’imah Bâb al-Ijtima’u ala al-Ta’am, No. Hadits 3278.
40
yang dimasaknya dinikmati dengan senang oleh suami. Lebih dari itu, isteri akan merasa lebih diperhatikan dan dicintai. Keenan, berpenampilan menarik. Suami perlu tampil menarik di hadapan isteri. Penampilan yang menarik tidak hanya perlu ditampilkan dihadapan umum, ketika bepergian dan diluar rumah. Isteri tentu ingin melihat penampilan suaminya yang menarik dan menawan hati. Ketika
di
rumah,
suami
seyogyanya
tidak
selalu
mengenakan pakaian yang usang. Pakaian yang baru pun, suatu saat harus dikenakan di rumah, agar isteri bisa menatapnya lebih lama. Penampilan menarik itu dapat diupayakan dengan cara berdandan dan menggunakan wewangian. Berdandan pada dasarnya merupakan upaya memperindah diri, agar penampilannya nampak lebih menarik, lebih indah dipandangi mata. Keindahan itu sendiri merupakan hal yang dicintainya Allah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:
Lad [b وLXad pان ا Artinya: “Sesungguhnya Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan.”50 Berdandan merupakan salah satu hal yang dianjurkan oleh Islam. Hal-hal kecil yang berkenaan dengan memperindah diri juga
50
131.
Muslim, Sahih Muslim, Kitâb al-Imân, Bâb Tahrim al-Kibr wa Bayânuh, No. Hadits
41
mendapat
perhatian
khusus
dalam
Islam.
Bahkan
Islam
menganjurkan agar berkhitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, kuku dan mencabut bulu ketiak. Hal demikian dapat dibaca pada sabda Rasullulah SAW:
[ادfgm و,نJfSة اWj|S اe_ a أوa ةWj|Sا بWS ا y وN اf\ وW|Mm اxXhuvو Artinya: “Fitrah itu ada lima: berkhitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.”51 Kebersihan diri merupakan salah satu unsur memperindah diri, sehingga tidak hanya yang terlihat di luar pakaian yang nampak indah, tetapi anggota tubuh yang ada di dalam pakaian pun harus terlihat bersih dan indah, tetapi anggota tubuh yang ada di dalam pakaian pun bersih dan indah. Untuk melengkapi upaya suami berpenampilan menarik dihadapan isteri, selain menjaga kebersihan, suami juga dapat menggunakan wewangian. Penggunaan wewangian ini akan melengkapi keindahan tubuh suami dan menjadi salah satu daya tarik bagi isteri. Isteri akan betah bersanding dengan suami yang berpenampilan menarik, tubuhnya bersih dan baunya harum. Penampilan yang dilengkapi dengan wewangian, akan mempertebal rasa cinta isteri kepada suami. Hal itu merupakan pengikat yang dapat mengakrabkan pergaulan. Dandanan dan wewangian suami, hendaknya dikrompomikan dengan isterinya. 51
Ibid, at-Taâhrah, Bâb al-Fitrah, No. Hadits 377.
42
Isteri mungkin menyukai dandanan suami dengan tipe-tipe tertentu. Begitu juga halnya dengan penggunaan minyak wangi, pada zaman sekarang banyak sekali model minyak wangi dengan berbagai macam bau. Mungkin ada minyak wangi yang menurut suami merupakan miyak wangi yang paling harum, namun isteri justru tidak menyukainya. Karena itu, suami perlu mempertimbangkan selera isteri dan tidak perlu berlebihan dalam berdandan dan memakai wewangian. Ketujuh, mengutamakan musyawarah. Musyawarah adalah satu ajaran Islam yang harus dijunjung tinggi. Tentang musyawarah Allah menyatakan dalam al-Qur’an:
ß#ôã$$sù öΝåκ÷]tã öÏøótGó™$#uρ öΝçλm; öΝèδö‘Íρ$x©uρ ’Îû Í÷ö∆F{$# ( ∩⊇∈∪ Artinya: “karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam memecahkan suatu urusan.”52 Sebagi kepala rumah tangga yang bijak, suami sebaiknya suka memberi maaf kepada isterinya atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dan memohonkan ampunan atas kesalahan yang dilakukannya. Bahkan suami hendaknya senantiasa mengajak isterinya untuk memusyawarahkan segala urusan keluarga dan berbagai urusan keluarga lainnya. Urusan pendidikan anak, pengaturan ekonomi keluarga dan berbagai urusan keluarga
52
Ali imran (3):159.
43
lainnya. Perlu dimusyawarahkan pemecahannya bersama isteri. Bahkan termasuk masalah menyapih
anaknya pun hendaknya
dimusyawarahkan, sebagaimana disebutkan dalam alQur’an:
÷βÎ*sù #yŠ#u‘r& »ω$|ÁÏù tã <Ú#ts? $uΚåκ÷]ÏiΒ 9‘ãρ$t±s?uρ Ÿξsù yy$oΨã_ $yϑÍκön=tã ∩⊄⊂⊂∪ Artinya: “Apabila suami isteri ingin menyapih (anaknya sebelum berumur dua tahun) berdasarkan kerelaan keduanya dan atas dasar musyawarah, maka tiada dosa bagi keduanya.”53 Bahkan jika anak-anak telah menginjak dewasa dan pantas berumah tangga, suami harus memusyawarahkan terlebih dahulu bersama isterinya tentang calon menantunya. Dengan
mengajak
musyawarah
berarti
suami
telah
menempatkan isterinya sebagai pendamping dirinya. Ia diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengemukakan pendapatpendapatnya. Dengan demikian, isteri merasa lebih diperhatikan oleh suami, sehingga isteri merasa bahagia. Suami isteri yang selalu memusyawarahkan semua urusan keluarganya,
nicaya
akan
terhindar
dari
kekecewaan dan
penyesalan. Sebab apa yang diputuskan setidaknya telah melalui suatu proses pertimbangan baik-buruk yang disampaikan baik oleh maupun oleh isteri. Suatu tindakan yang dilakukan atas dasar musyawarah, niscaya apa pun hasilnya akan menjadi kebahagiaan bersama. Dan apabila hasilnya buruk, maka akan menjadi beban atau tanggung 53
Al-Baqarah (2): 233.
44
jawab bersama. Sehingga, antara suami dan isteri tidak akan saling menyalahkan. Oleh karena itu ajaran musyawarah ini tampaknya harus diaplikasikan dan kehidupan suami isteri. Kedelapan, menghibur isteri. Hidup tidak selamanya berjalan mulus, tanpa adanya rintangan-rintangan tajam yang menghadangnya . hati tak selamanya riang gembira. Suatu saat, hati bisa terluka, mungkin akibat ulah suami, anak-anak, saudara, mertua, tetangga atau akibat-akibat yang lainnya. Betapa pedihnya perasaan hati tatkala terluka. Dunia bagaikan neraka yang membakar dirinya, pengap, pedih, dan gundah gulana, getir dan menyakitkan, wajahnya nampak kecut dan badan pun menjadi kurus. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, bekerja pun tak bersemangat. Jika hal ini dialami oleh seorang isteri, maka ke mana dia harus berobat? Sebagai suami hendaknya peka terhadap setiap perubahan pada perasaan sang isteri. Perasaan hatinya harus selalu dijaga agar jangan sampai terlukan dan diusahakan agar selau bergembira. Namun demikian, sebagai manusia bisaa, suami takkan luput dari kekeliruan dan hasilnya sebaliknya, bukan kegembiraan yang diperoleh tetapi justru menusuk perasaan dan melukai hatinya. Berbagai sebab bisa menjadikan hati isteri terluka. Apabila
suami
mendapatkan
roman
muka
isterinya
menyiratkan kesusahan, suami hendaknya segera bertindak. Suami perlu melakukan sesuatu yang dapat menghibur parasaan isterinya.
45
Jika keadaan memungkinkan, suami boleh menanyakan secara langsung kepada isterinya. Apa gerangan yang menjadikannya menderita. Jika tidak memungkinkan, suami harus mencari tahu dengan menanyakannya orang kepercayaan isterinya. Setelah diketahui apa latar belakang permasalahannya, suami hendaknya segera melakukan tidakan lanjutan. Obatilah derita isterinya dengan cara tertentu yang terbaik. Suami tentunya lebih mengetahuinya. Mungkincukup dengan memberikan nasihat dan tutur kata, mungkin perlu diajak ke tempat-tempat wisata, mungkin perlu mengetahui bagaimana cara mengobati luka hati isterinya. Upaya suami untuk melepaskan isterinya dari belitan duka, akan diganjar oleh Allah berupa kemudahan hidup. Hal demikian tercermin dari sabda Nabi sebagai berikut:
xhg nXho p اihq pل اsgل رJy لJy ةWbW{ هN أeo p \| اJf\Sب اW آe_ NW آe_¡_ eo |\ e_ Wk_ iho Wkb e__ وJXuSم اsb بW آe_ NW آnRo ةW¢ واJX\S{ اK nXho pا Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. bawasannya Nabi bersabda: Barang siapa yang melepaskan kesusahan orang mukmin berupa kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya dari berbagai kesusahan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang melapangkan kesulitan orang lain, maka Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitan dunia dan akhirat.54
54
Muslim, Sahih Muslim, al-Kitâb al-Zikr wa al-Du’a’ wa at-Tawbah wa al-Istighfâr, alBâb, al-Ijtima’ ala Tilâwah al-Qur’an wa ala Zikr, No. Hadits 2867.
46
Kesembilan, membantu menyelesaiakn pekerjaan isteri di rumah. Sebagai kepala rumah tangga, suami bukanlah raja yang pekerjaannya memerintah dan menyuruh isteri. Tetapi suami adalah pelindung
keluarga
yang
sewaktu-waktu
harus
membantu
menyelesaikan pekerjaan isterinya di rumah. Pekerjaan di rumah pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama. Suatu saat suami harus menjahit bajunya yang robek, mencuci pakaian kotor, bahkan memasak makanan di kala isteri berhalangan. Rasulullah sendiri, di amping beliau menjambat sebagai kepala Negara dan pemimpin
umat,
beliau
tidak
segan-segan
membantu
menyelesaikan pekerjaan isteri di rumah. Suatu kisah popular dapat dikutip di sini, yakni tentang upaya Nabi untuk menjahi sendiri bajunya yang robek, mengesol sepatunya yang rusak dan pekerjaan lain yang seharusnya diselesaiakan oleh isterinya atau bahkan pembantu
rumah
tangganya.
Kepedulian
Rasulullah
SAW
semacam ini hendaknya menjadi teladan bagi semua suami. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW memberikan jaminan, bahwa orang yang membantu pekerjaan orang lain akan memperoleh bantuan Allah SWT:
xhg nXho p اihq pل اsgل رJy لJy ةWbW{ هN أeo nXن أso {K }Sن اJ آJ_ }Sن اso {K pوا
47
Artinya: “Allah selalu membantu hamba-Nya selama hamba tersebut membantu saudaranya.”55 Kesepuluh, penyabar dan tak mudah marah. Sebagai kepala rumah tangga, seorang suami hendaknya memilki sikap terpuji di hadapan isteri dan anak-anaknya. Selain ramah bergaul dengan mereka, juga memilki sikap penyabar dan tak mudah marah. Sabar menghadapi sikap isteri dan anak-anaknya dan tidak mudah marah apabila mereka berbuat kekeliruan. Sebagai manusia bisaa, isteri tentunya memilki kekurangankekurangan dan kekhilafan. Suami hendaknya memaklumi. Ia tidak mudah marah ketika melihat kekeliruan isterinya. Ia harus memaklumi perilaku isterinya dan kemudian memberikan saransaran dengan arif tentangbagaimana yang benar. Kepedulian suami memberikan saran ke jalan yang benar tidaklah sia-sia. Karena dia sendiri juga akan memperoleh pahala atas perilaku isterinya yang baik itu. Rasulullah bersabda:
nXho p اihq pل اJy ريJ\¢د اsk_ {N أeo nhKJK Wd أL£_ nhK WX iho دلe_ xhgو Artinya: “Dari Abi Mas’ud al-Anshari, Rasulullah berkata: “Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan, maka akan memperoleh pahala yang sama dengan pelaku kebaikan itu.”56 2). Membimbing isteri ke jalan yang benar.
55
Ibid., Abû Dawud, Sunan Abi Dawud, al-Kitâb al-Adab, al-Bâb Fi Dal ala al-Khayr, No. Hadits 4464. 56
48
Sebagai kepala keluarga, suami menurut Fuad Kauma dan Nipan,57berkewajiban membimbing istri ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT. Kewajiban ini, berkenaan dengan menjaga diri sendiri dan keluarga dari siksa neraka. Bimbingan suami terhadap isterinya ke jalan yang bernar dapat berupa: (1) Meminta isteri menutup aurat; (2) bekerja sama dalam taat kepada Allah; (3) mendorong isteri agar meningkatkan pengetahuan; (4) menegur isteri jika bertindak kurang terpuji. Lebih jelasnya adalah: (a). Membina isteri untuk menutup aurat. Menutup
aurat
bukan
hanya
diwajibkan
ketika
menunaikan shalat saja. Tetapi dalam setiap kesempatan, terutama ketika berhadapan dengan lain jenis yang bukan mahramnya.
Sebab
aurat
perempuan
meliputi
seluruh
tubuhnya,kecuali wajah dankedua telapak tangan. Kewajiban menutup aurat bagi wanita itu didasarkan atas firman Allah:
$pκš‰r'‾≈tƒ ÷É<¨Ζ9$# ≅è% y7Å_≡uρø—X{ y7Ï?$uΖt/uρ Ï!$|¡ÎΣuρ tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# šÏΡô‰ãƒ £Íκön=tã ÏΒ £ÎγÎ6Î6≈n=y_ 4 y7Ï9≡sŒ #’oΤ÷Šr& βr& zøùt÷èムŸξsù tøsŒ÷σム3 šχ%x.uρ ª!$# #Y‘θàxî $VϑŠÏm§‘ ∩∈∪ Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anakanak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
57
Fuad Kauman dan Nipan, Membimbing Isteri, 93-103.
49
mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”58 Suami hendaknya memperhatikan masalah menutup aurat ini. Isteri dan anak-anak perempuan yang telah baligh diperintahkan agar menutup seluruh aurat mereka dengan jilbab. (b). Bekerja sama dalam taat kepada Allah SWT. Bimbingan tidak hanya perintah dan larangan, tetapi dapat juga berupa kerja sama yang baik. Suami isteri hendaknya menyadari kelemahan masing-masing. Dalam hal mentaati perintah-perintahNya, suami isteri dianjurkan untuk bekerja sama, saling mengingatkan dan memberi masukan, secara arif. Hal ini dapat dipelajari, antara lain dalam ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar satu sama lain bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, saling menasehati dan membimbing kea rah kebenaran dan kesabaran.59 Suami isteri tidak hanya dianjurkan untuk bekerja sama dalam menunaikan ibadah-ibadah seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan dan lain-lain, melainkan juga bekerja sama dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, dalam berdzikir dan nasehat-menasehati dalam upaya meraih ridha Allah.
58 59
Al-Ahzâb (33): 59. Al-Maidah (5): 2, al-Asr (103): 1-3.
50
Rasulullah SAW memberi pujian kepada suami isteri yang senantiasa bekerja sama dalam dalam mentaati perintahperintah Allah SWT. Mereka yang bekerja sama dalam ruku’ dan sujud di tengah malam yang dingin, saat orang lain tidur nyenyak. Hal demikian disabdakan Nabi SAW sebagai berikut:
nXhOhS اihq p اsgل رJy لJy ةWbW{ هN اeo W_ ا¤ub أx¥ ihkK LXhS اe_ مJy Jd رp اxP رxhgو p اxPء ورJaS اJOOd{ وK \ ZNن اcK Zhk|Ovا JOd زوZjub اx¥ ZhkK LXhS اe_ Z_Jy اةW_ا ءJaSJOOd{ وK Z[\ iNن أcK ihkK Artinya: “Abu Hurairah berkata, Nabi bersabda: “Allah merahmati suami yang bangun malam melakukan shalat (sunnah) dan membangunkan isterinya. Jika isterinya enggan bangun, disiram wajahnya dengan air. Semoga Allah (juga) merahmati isteri yang bangun malam menunaikan shalat (sunnah) dan membangunkan suaminya. Jika suami enggan bangun, disiram wajahnya dengan air.”60 Sehubungan dengan taat kepada Allah SWT, banyak hal yang perlu dilakukan suami isteri dengan bekerja sama. Misalnya membaca al-Qur’an, doa-doa harian, Shalat sunnah dan lain sebaginya. Kesemua itu perlu dilakukan secara baik dan bekerja sama. Jika satu pihak merasa malas atau lupa, pihak lain hendaknya mengingatkan dan mengajaknya secara arif. (c). Mendorong isteri agar meningkatkan pengetahuan. Seorang isteri perlu menambah pengetahuannya, baik pengetahuan yang berkenaan dengan keislaman, tata hidup 60
An-Nasa’i, Sunnan al-Nasa’i, al-kitâb Qiyâm al-Layl wa Tatawwu’ al-Nahâr, al-Bâb al-Targhib fi Qiyâm al-Layl, No. Hadits 1592.
51
berkeluarga, maupun pengetahuan-pengetahuan umum yang diperlukan.
Sehingga
wawasannya
makin
luas
dan
kemandiriannya makin mantab, karena pikirannya terus terasah dan hati tersirami oleh siraman ruhani. Hal ini penting demi penataan hidup bahagia dunia akhirat. Kehidupannya akan senantiasa memperoleh keberkatan dari sisi Allah. Banyak hadits atau ayat yang menyebutkan akan pentingnya
menambah
ilmu
pengetahuan.
Menambah
pengetahuan menjadi kewajiban bagi setiap muslim, baik lakilaki maupun perempuan. Ilmu pengetahuan merupakan alat yang utama untuk memperbaiki diri manusia. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang dapat menjalankan syri’at-syri’at Islam secara
gambling
dan
penuh
keyakinan.
Dengan
ilmu
pengetahuan, seseorang dapat menata kehidupan dunia ini secara baik dan benar. Dan dengan ilmu pengetahuan yang cukup, isteri dapat menata kehidupan keluarganya di jalan yang dapat diridhai Allah. Isteri yang berpengetahuan yang luas, niscaya akan luas pula wawasannya. Ia dapat melakukan yang terbaik bagi kepentingan suami, anak-anak, tetangga, dan agamanya. Karena itu, selayaknyalah suami memberi kesempatan dan dorongan secukupnya
kepada
isteri
agar
senantiasa
menambah
pengetahuannya. Dengan pengetahuan yang cukup, niscaya
52
isteri akan lebih mantab dalam menciptakan kebahagiaan keluarganya, kebahagian dunia dan akhirat. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan dorongan kepada isteri agar senantiasa menambah pengetahuan, bahwa suami tidak sepantasnya melupakan dirinya sendiri. Artinya, di samping memotivasi issteri, suami pun harus memberi contoh yang baik. Bahkan suami hendaknya lebih giat dan lebih dahulu menambah pengetahuan. (d).Menegur isteri jika bertindak kurang terpuji. Seperti halnya suami, isteri adalah manusia bisaa yang tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan. Isteri mungkin saja bertindak kurang terpuji, baik terhadap anak-anak, kepada suami maupun orang lain. Tindakan kurang terpuji inij dalam batas-batas tertentu, yakni selama tidak melanggar aturan agama dan norma kemasyarakatan harus dianggap sebagai hal yang wajar. Namun isteri melakukan hal yang kurang terpuji, suami berkewajiban segera memberikan teguran dan peringatan, agar tidak berlarut-larut. Hanya saja, suami hendaknya tidak kegabah dalm memberikan teguran dan peringatan kepada isteri. Sebelumnya,
perlu
diketahui
dengan
jelas
apa
latar
belakangnya, mengapa isteri sampai melakukan hal yang kurang terpuji itu.
53
Isteri bertindak kurang terpuji, mungkin karena benarbenar tidak mengetahui hal yang sebenarnya, mungkin karena khilaf, atau bisa jadi disengaja. Kesengajaan ini pun bisa dipengaruhi oleh berbagai hal yang melatar belakanginya. Mungkin dilakukan sebagai protes kepada suaminya yang bertidak melanggar norma keluarga, atau mungkin karena faktor karakter isteri itu sendiri. Disamping perlu mengetahui latar belakang tindakan isteri yang kurang terpuji, suami juga perlu bertindak arif, bijaksana, pemaaf dan berlapang dada. Karena itu teguran yang diberikan suami kepada isteri, harus dilandasi sikap pamaaf dan lapangdada. Apabila diketahui tindakan isteri yang kurang terpuji
itu
karena
diketahuinya,
hendaknya
suami
memaafkannya dan kemudian memberi pengertian bagaimana tindakan yang benar. Apabila tindakannya disebabkan oleh kekhilafan, suami hendaknya berlapang dada, mau memaafkan dan memberi peringatan secara arif. 2. Kewajiban-Kewajiban Isteri. Sepertihalnya suami, dalam kehidupan berkeluarga, isteri pun memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan. Kewajibankewajiban isteri tersebut merupakan hak yang nantinya akan diterima oleh suami. Zahry Hamid mengemukakan bahwa kewajiban isteri terhadap suami itu adalah: (1) Patuh dan setia kepada suami; (2) Mengakui, menghargai dan mempercayai kepemimpinan suami; (3) Mencintai suami
54
dengan sepenuh jiwa dan menyediakan diri untuk suami dengan suka rela; (4) Mengikuti tempat tinggal suami atau tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami; (5) Mengatur dan menyusun rumah tangga; (6) Memegang teguh rahasia suami dan rahasia rumah tangga; (7) Sederhana, hemat dan pintar menyimpan.61 Penjelasan lebih tentang kewajiban-kewajiban isteri tersebut dapat dilihat pada paparan berikut: a. Patuh Dan Setia Kepada Suami. Isteri wajib patuh dan setia terhadap suami, Zahry Hamid maupun Fatima Umar Nasif62 mengatakan bahwa kepatuhan dan kesetiaan seorang isteri kepada suaminya merupakan indicator bahwa ia adalah isteri yang salihah, hal demikian didukung oleh firman Allah:
àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù ìM≈tGÏΖ≈s% ×M≈sàÏ≈ym É=ø‹tóù=Ïj9 $yϑÎ/ xáÏym ª!$# ∩⊂⊆∪ Artinya: “Oleh karena itu, perempuan yang salih, ialah yang patuh dengan ketulusan hati kepada Allah, dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.”63 Mematuhi suami haruslah berdasarkan cara dan tujuan yang baik, pada kasusu tertentu isteri boleh tidak mematuhi suami, terutama jika suami memerintahkan isteri untuk berbuat maksiat kepada Allah. b. Mengakui, Menghargai Dan Mempercayai Kepemimpinan Suami. Menurut Zahry Hamid, isteri wajib mengakui dan menghormati kepemimpinan
suami
terhadap
isteri
dan
rumah
tangganya.
Kepemimpinan suami dalam rumah tangga itu, menurut Fatima Umar 61
Zahry HAmid, Pokok-Pokok, 61-64. Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, alih bahasa Burhan Wirasubrata dan Kundan D Nuryakien (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), 227. 63 An-Nisâ’ (4): 34. 62
55
Nasif terutama karena suami adalah penjamin nafkah keluarganya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
ãΑ%y`Ìh9$# šχθãΒ≡§θs% ’n?tã Ï!$|¡ÏiΨ9$# $yϑÎ/ Ÿ≅āÒsù ª!$# óΟßγŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yϑÎ/uρ (#θà)xΡr& ôÏΒ öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ∩⊂⊆∪ Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (membiayai kaum wanita).”64 Menurut hukum Islam, suami adalah kepala dan pemimpin tertinggi bagi rumah tangganya, ia bertanggungjawab ke dalam dan ke luar terhadap keselamatan dankesejahteraan keluarganya, berbeda denga suami, tanggungjawab isteri tidak seberat tanggungjawab suaminya. Tanggungjawab isteri adalah tanggungjawab ke dalam, yakni mengatur kebutuhan harian keluarga. c. Mencintai Suami. Isteri wajib mencintai suaminya dengan sepenuh hati dan menyerahkan diri untuk kegembiraan suaminya dengan suka rela, berusaha secara maksimal agar suami selalu gembira dan puas terhadap pelayanannya. Kewajiban ini sesungguhnya merupakan imbangan dari tanggungjawab suami terhadap keluarga. Isteri wajib berusaha mewujudkan kerelaan suami, karena itu ia diperbolehkan berhias dan mempercantik diri demi suaminya. Bahkan demi terwujudnya kerelaan suami itu isteri tidak boleh melakukan
64
Ibid.,
56
sesuatu yang dapat membuat suaminya kecewa, tidak tentram, tidak betah tinggal di rumah, gelisah, dan murung. Misalnya keluar rumah tanpa izin suaminya.65 d. Mengikuti Tempat Tinggal Suami. Menurut hukum Islam, selama tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, tempat tinggal isteri adalah mengikuti tempat tinggal suami atau tempat tinggal yang ditunjuk oleh suami. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa:
£èδθãΖÅ3ó™r& ôÏΒ ß]ø‹ym ΟçGΨs3y™ ÏiΒ öΝä.ω÷`ãρ Ÿωuρ £èδρ•‘!$ŸÒè? (#θà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £Íκön=tã ∩∉∪ Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”66 Jika suami telah menyediakan rumah yang layak dan memungkan terwujudnya ketenangan rumah tangga, maka isteri wajib mengikuti tempat tinggal suaminya. Mlayak yang memungkinkan terbentuknya ketenangan itu adalah memungkinkan terpeliharanya agama dan tugas-tugas rumah tangga. Meskipun isteri wajib mengikuti tempat tinggal suaminya, tidak berarti bahwa masalah tempat tinggal itu merupakan hak istimewa suami dengan mengabaikan pendapat isteri. Karena itu sebaiknya masalah tempat tinggal ini diputuskan secara bersama antara suami isteri. 65 66
Zahry Hamid, Pokok-Pokok, 62. At-Talâq (65): 6.
57
e. Mengatur Rumah Tangga. Karena suami bertanggungjawab atas nafkah keluarga, maka isteri berkewajiban untuk mengatur kebutuhan harian keluarga, misalnya menyiapkan makanan, membersihkan rumah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan rumah tangga. Mekipun isteri berkewajiban untuk mengatur kebutuhan harian keluarga bukan berarti suami tidak boleh membantunya, sebab suami pun
sesungguhnya
punya
kewajiban
membantu
isteri
untuk
mengerjakan urusan-urusan rumah tangga. Bahkan jika memungkinkan suami berkewajiban untuk membayar pelayan rumah tangga untuk isterinya.67 f. Memegang Teguh Rahasia Suami Dan Rahasia Rumah Tangga. Isteri adalah orang kepercayaan suami, tempat suami mepercayakan segala rahasianya, rumah dan harta kekayaannya, bahkan anak-anaknya. Keprcayaan yang diberikan oleh suami kepada isterinya itu adalah amanat yang mulia bagi isteri, dan setiap orang termasuk isteri yang dipercaya wajib melaksanakan amanah yang diembankan kepadanya. Menjaga rahasi suami dan rumah menurut alQur’an merupakan salah satu cirri wanita yang salihah:
àM 4 ≈ysÎ=≈¢Á9$$sù ìM≈tGÏΖ≈s% ×M≈sàÏ≈ym É=ø‹tóù=Ïj9 $yϑÎ/ xáÏym ª!$# ∩⊂⊆∪
67
Zahry Hamid, Pokok-Pokok, 63.
58
Artinya: “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.”68 Dalam banyak hal, suami bisaanya mencurahkan isi hatinya terhadap isterinya, suami sering menyampaikan segala rahasia pribadinya dihadapan isterinya, bahkan hal-hal yang sangat rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.karena itu isteri wajib secara arif menyimpan rahasia suaminya dan tidak membeberkan rahasia ke luar, demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Kehancuran rumah tangga sering terjadi disebabkan isteri membocorkan rahasia rumah tangganya sendiri. g. Hemat Dan Sederhana. Hidup sderhana merupak modal utama dan sarana penting untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Hidup sederhana dalam pengertian ini adalah cukup puas dengan apa yang ada dan memanfaatkan apa yang ada itu sebaik mungkin, tidak berlebih-lebihan, tidak terlalu kikir, mementingkan yang diperlukan dan tidak boros.69karena isteri
adalah manajer pembiayaan rumah
tangga, pengendalian sehari-hari, maka menurut hukum Islam, isteri wajib bersikap hemat dan sederhana dalam mempergunakan nafkah yang diberikan oleh suaminya. Ia tidak boleh boros dengan membeli barang-barang yang tidak banyak manfaatnya. Isteri yang hemat dan
68 69
An-Nisâ’ (4): 34. Zahry Hamid, Pokok-Pokok, 64. Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Isteri, 149.
59
sederhana sesunguhnya telah berpartisipasi dalam pembinaan rumah tangga yang sejahtera dan bahagia. 3. Isteri Bekerja Di Luar Rumah. Tugas utama seorang isteri adalah sebagai penanggungjawab dalam masalah-masalah intern keluarga. Pertanyaannya kemudian adalah, bolehkah seorang isteri bekerja di sector public di luar rumah, seperti terlibat dal kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, polotik, kebudayaan, keagamaan dan bidang-bidang lainnya? Setidaknya ada tiga pandangan di kalangan ulama’ tentang perempuan yang bekerja di luar rumah. Pertama, Pendapat paling ketat menyatakan tidak boleh, karena dianggap bertentangan dengan kodrat wanita, yang telah ditentukan Allah. Peran perempuan secara alamiah, menurut pandangan ini, adalah menjadi isteri yang dapat menenangkan suami, melahirkan, mendidik anak dan mengatur rumah tangga. Dengan kata lain tugas perempuan adalah dalam sektor domestik. Permpuan yang melakukan pekerjaan di luar rumah termasuk orang yang berbuat dhalim terhadap
dirinya
karena
melampaui
ketentuan-ketentuan
Allah.
Sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Qur’an:
Ÿω ∅èδθã_ÌøƒéB .ÏΒ £ÎγÏ?θã‹ç/ Ÿωuρ š∅ô_ãøƒs† HωÎ) βr& tÏ?ù'tƒ 7πt±Ås≈xÎ/ 7πuΖÉit7•Β 4 y7ù=Ï?uρ ߊρ߉ãn «!$# 4 tΒuρ £‰yètGtƒ yŠρ߉ãn «!$# ô‰s)sù zΝn=sß …çµ|¡øtΡ 4 Ÿω “Í‘ô‰s? ¨≅yès9 ©!$# ß^ωøtä† y‰÷èt/ y7Ï9≡sŒ #\øΒr& ∩⊇∪ Artinya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
60
Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”70 Ayat di atas bagi pendapat pertama merupakan dasar bagi larangan wanita untuk bekerja di luar rumah karena menurut ketentuan Allah wanita seharusnya berada di dalam rumah. Kedua, pendapat yang membolehkan perempuan bekerja di luar rumah jika di dalam keadaan darurat. Keadaan darurat itu misalnya ayah perempuan itu sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi untuk bekerja. Keadaan wanita bekerja di luar rumah karena keadaan darurat itu tampaknya didasarkan atas suatu kisah dalam al-Qur’an, yakni dua perempuan Madyan harus bekerja di luar rumah karena, ayah mereka (Nabi Syu’aib) sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi untuk bekerja:
$£ϑs9uρ yŠu‘uρ u!$tΒ štô‰tΒ y‰y`uρ ϵø‹n=tã Zπ¨Βé& š∅ÏiΒ Ä¨$¨Ψ9$# šχθà)ó¡o„ y‰y_uρuρ ÏΒ ãΝÎγÏΡρߊ È÷s?r&tøΒ$# Èβ#yŠρä‹s? ( tΑ$s% $tΒ $yϑä3ç7ôÜyz ( $tGs9$s% Ÿω ’Å+ó¡nΣ 4®Lym u‘ωóÁムâ!$tãÌh9$# ( $tΡθç/r&uρ Ó‡ø‹x© ×Î7Ÿ2 ∩⊄⊂∪ Artinya: “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya."71 Ketiga,
Pendapat
yang
menyatakan
bahwa
perempuan
diperbolehkan bekerja diluar rumah dalam bidang-bidang tertentu yang 70 71
At-Talâq (65): 1. Al-Qasas (28): 23.
61
sesuai dengan keperluannya, sifat keibuan dan kewanitaannya, seperti bidang pengajaran, pengobatan, dan perawatan serta bidang-bidang perdagangan. Bidang-bidang ini selaras dengan naluri fitrawinya. Perempuan yang melakukan pekerjaan selai itu dianggap menyalahi kodratnya dan tergolong orang yang dilaknat Allah, karena menyerupai laki-laki. Inti larangan ini dengan demikian adalah tidak pada masalah keluar rumahnya, tetapi pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Meskipun demikian, menurut pendapat ini, tinggal di rumah adalah perbuatan yang lebih utama untuk dilakukan oleh perempuan dari pada bekerja di luar rumah. Karena sejalan dengan perintah Allah. Pendapat yang lain menyatakan, perempuan diperkenankan bekerja di luar rumah tanpa harus dibatasi jenis pekerjaan, karena mereka – sebagaimana teman-teman prianya – mempunyai kebebasan untuk berpikir, berkehendak dan bekerja, selama dalam batas-batas syari’at yang menekankan pemeliharaan kesopanan. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa diamnya perempuan di rumah tidak mesti lebih baik.72 Terkait denga kebolehan perempuan untuk bekerja di rumah, Syaikh Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa ajaran agama yang benar pasti menolak tradisi bangsa-bangsa yang memenjarakan kaum perempuan, mencekit kebebasannya dan menolak memberikan kepadanya berbagai hak dan kewajibannya, sebaiknya agama juga menolak tradisi bangsa-bangsa yang menjadikan kehormatan wanita bagaikan rumput tak bertuan, yang boleh diinjak-injak oleh siapa pun. Sikap seperti ini jelas 72
Saifuddin Mujtaba’, Isteri Menafkahi Keluarga, 211.
62
mengabaikan
ketentuan-ketentuan
semua
syari’at
agama,
dengan
membiarkan dorongan hawa nafsu rendah merajalela semaunya. Karena itu menurut Muhammad al-Ghazali, seorang wanita boleh saja – secara hukum - bekerja di dalam atau pun di luar rumahnya, namun diperlukan jaminan yang dapat menjaga suasana bersih dan diliputi ketakwaan agar ia dapat melakukan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya dengan aman.73 Pendapat tentang bolehnya para wanita untuk bekerja di luar rumah didukung oleh bukti sejarah keterlibatan perempuan dalam berbagai pekerjaan, baik dalam masa Nabi, sahabat, dan tabiin. Pada masa Nabi SAW, misalnya banyak perempuan muslimah yang terlibat dalam berbagai aktivitas, misalnya peperangan, perias pengantin, perawat, perdagangan, penyamak kulit binatang dan penulis. Terkait dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh para wanita di masa Nabi, Quraisy Shihab menyatakan bahwa, meskipun tidak semua jenis pekerjaan yang ada saat ini telah ada pada masa Nabi, sebagian ulama’ menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai bidang, di dalam maupun di luar rumah, bersama dengan orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dengan suasana terhormat, sopan, dan mereka dapat menghindarkan dampak-dampak negativ dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.74
61.
73
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi (Bandung: Mizan, 1991),
74
Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 307.
63
Karena itu, menurut As-Sakhawi, wanita yang mempunyai keahlian atau
kepandaian tertentu boleh mengabdikannya dalam
masyarakat. Sebab Rasulullah sendiri mendorong wanita bekerja dan bersedekah dari hasilnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi sebagai berikut:
nXho p اihq pل اsgل رJy ZSJy eXR_¡aS§ أم اJo eo eOfb اeSوJjfXRQK ZSJyاb eQSsM{ أNJyJ[S eQoWg أxhgو Lav Z\J آJO\¢ Rbا زbJRSsM أZ\JQK ZSJy اb لsMا قv وJهXN Artinya: “Dari Aisyah Ummu al-Mu’minin berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang diantara kamu (isteri-isteri Nabi)yang segera menyusulku setelah aku wafat adalah yang terpanjang tangannya diantara kamu.” Aisyah berkata: “kami mengukur tangan kami untuk mengetahui mana diantara kami yang terpanjang tangannya.” Aisyah berkata lagi: “ternyata yang terpanjang tangannya diantara kami adalah Zainab, karena dia bekerja dengan tangannya sendiri dan bersedekah.”75 Zakiyah Drajat menuturkan, bahwa wanita sebagaimana kaum pria, bisa bekerja di luar rumah. Bahkan ia mengatakan bahwa dalam semua lapangan kerja yang cocok dengan kodratnya, wanita dituntut untuk aktif bekerja, tidak hanya berpangku tangan dan tinggal di rumah sebagai mahkhluk Allah yang lemah yang harus dibantu dan diberi belanja oleh laki-laki. Wanita tidak bekerja dan hanya pasif di rumah menurut Zakiyah Drajat akan cenderung menghayalkan hal-hal yang tidak dapat dialaminya dalam kenyataan, sehingga menghambat untuk berpikir objektif, dan akibatnya akan mudah terserang penyakit jiwa. Hal ini berarti bahwa
75
Muslim, Sahih Muslim, al-Kitab: Fadhâil al-Sahâbah, al-Bâb Min Fadhâil Zaynab Umm al-Mu’minin, No. HAdits 4490.
64
sepanjang wanita tidak memiliki kesibukan dalam rumah tangga, karena merupakan keluarga kecil misalnya, atau ada anggota keluarga lain yang bisa membantunya, maka wanita-wanita dapat melakukan kegiatankegiatan sosial atau ekonomi di luar rumah.76 Akhirnya dapat dikatakan bahwa semua aktivitas di luar rumah yang dilakukan perempuan-perempuan Islam termasuk beberapa isteri Nabi, adalah dalam kondisi normal, bukan dalam kondisi darurat, sebagai keinginan untuk mengabdi kepada Allah, sosialisasi dengan sesama dan aktualisasi diri yang dapat dijadikan kajian oleh generasi-generasi Islam masa-masa berikutnya. Karena itu, larangan keluar rumah bagi perempuan yang didasarkan pada salah satu ayat dalam al-Qur’an:
t ös%uρ ’Îû £ä3Ï?θã‹ç/ Ÿωuρ š∅ô_§y9s? yl•y9s? Ïπ¨ŠÎ=Îγ≈yfø9$# 4’n<ρW{$# ∩⊂⊂∪ β Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”77 Sulit dipertahankan, sebab hal itu tidak sejalan dengan keadaan pada masa awal, sehingga dapat dikatakan larangan kelura rumah bagi perempuan yaitu sebuah upaya pemasungan terhadap kiprah perempuan di luar rumah.78
76
Saifuddin Mujtaba’, Isteri Menafkahi Keluarga, 200. Al-Ahzhâb (33): 33. 78 Saifuddin Mujtaba’, Isteri Menafkahi Keluarga, 209. 77
65
B. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM KELUARGA MENURUT UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU. 1. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam. Dasar perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria atau laki-laki dengan seorang perempuan atau wanita sebagai suami isteri sengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.79 Dimana keduanya bertugas: Suami memikul kewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Suami isteri wajib memelihara kehormatan. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengdilan Agama.80
79 Redaksi Pustaka Tinta Mas, Undang-Undang Perkawinan (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), 40. 80 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), 40.
66
2. Suami Isteri Dilarang Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga. Yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (laki-laki) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (perempuan berdasarkan kekuatannya,
yang
akan
menimbulkan
penderitaan
terhadap
perempuan di sepanjang hidupnya baik secara fisik, seksual, maupun psikis termasuk penelantaran rumah tangga. b Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan fisik, suatu perbuatan yang mengakibatkan penderitaan fisik yang bisa menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau terjadi luka berat, bentuk kekerasan fisik tersebut meliputipemukulan dan sejenisnya, penyiksaan, penganiayaan yang berakibat cidera, luka memar, luka robek, patah tulang, dan sebagainya hingga sampai terjadi pembunuhan. Kekerasan psikis, adalah merupakan segala bentuk tindakan atau perbuatan yang bisa mengakibatkan hilangnya rasa kepercayaan diri, ketakutan, hilangnya kemampuan dan kesadaran untuk berbuat sesuatau, rasa tidak berdaya dan penderiataan psikis yang berat, seperti terjadinya depresi dan fobia maupun tindakan yang kurang menyenangkan serta perlakuan yang tidak manusiawi yang bisa
67
merendahkan
derajat
serta
martabat
kemanusiaan
seorang
perempuan sebagai manusia.81 Kekerasan seksual, adalah perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual tidak wajar, atau tidak disuka yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isterinya, penyiksaan dan pengrusakan alat reproduksi dan lain-lain. Dalam masyarakat kekerasan seksual itu bisa berupa pelecehan seksual, pencabulan dan pemerkosaan. Penelantaran rumah tangga, dimana sebuah keluarga yang dipimpin oleh seorang suami atau laki-laki sebagai pemimpin (bertanggung jawab) atas keluarganya. Jadi seorang suami atau laki-laki
ini
bertanggung
jawab
dan
wajib
memberikan
penghidupan, perawatan atau pemeliharaan pihak-pihak yang menjadi
tanggung
jawabnya.
Kekerasan
ekonomi
berupa
diskriminatif terhadap hak-hak ekonomi, pemberian kebutuhan nafkah dan hak milik perempuan yang tidak diberikan dan sebagainya.82 3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Kekerasan di dalam rumah tangga sering di anggap tabu dan melanggar hak pribadi. Sudah banyak kasus kekerasan dalam rumah 81
Reta Serena Kalibonso, “Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Jurnal Perempuan 126 (Jakarta: SMKG Desa Putra,2002),13. 82 Ibid.,
68
tangga “terutama terhadap perempuan” yang berakhir buruk bagi kedua belah pihak. Sebagian besar korban juga enggan melaporkan masalahnya kepada pihak yang berwajib. Selain itu juga, laporan kekerasan yang masuk ke polisi selalu di anggap masalah intern keluarga. Segala bentuk kekerasan, terutama penelantaran dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban kekerasan harus mendapat perlindungan dari Negara atau masyarakat. Kasus kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan. Terkait dengan ini disebutkan di dalam Pasal 9 di antaranya:83 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku untuk setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban di bawah kendali orang tersebut. Semua persoalan yang diuraikan di atas merupakan bentuk pengaturan yang didekati secara hukum, termasuk hukum fiqh. Hukum 83
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Ttangga Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, Cet. III (Jakarta: Asa Mandiri, 2007), 5.
69
memang selalu saja memandang persoalan secara hitam putih dan normatif. Kekakuan lalu menjadi semakin terasa dan tak terelakkan. Cara pandang secara hitam putih seperti ini boleh jadi akan mengimplikasikan ketegangan-ketegangan di antara mereka (suami-isteri), meskipun boleh jadi juga merupakan cara penyelesaian yang terbaik bagi keteganganketegangan yang tercipta. Ketegangan bisa muncul apabila antara kedua belah pihak saling menggunakan otoritasnya, tanpa kompromi. Sebaiknya, ketegangan dapat dihindari apabila semua persoalan yang menyangkut hak dan kewajiban mereka didekati melalui pandangan-pandangan moralistik dan akhlakul karimah. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada sikapsikap
dan
pandangan-pandangan
demokratis,
kemanusiaan
dan
kemaslahatan bersama. Pandangan ini pada akhirnya akan mengantarkan pada suatu sikap bersama antara suami isteri bahwa seks dan ekonomi tidak harus di pandang sebagai segalanya. Kedua kebutuhan pokok manusia ini sebaiknya di pandang sebagai salah satu sarana belaka untuk membangun peradaban manusia yang luhur dan membahagiakan. Konsep membangun peradaban memaksa setiap orang untuk berperan aktif dalam aksi-aksi kemanusiaan. Potensi-potensi yang secara inhern ada pada masing-masing orang perlu diberikan ruang dan waktu secara proporsional. Dalam arti, perempuan perlu diberi hak untuk mengaktualisasikan dirinya dalam aktivitas-aktivitas. Pada perempuan juga diharapkan dapat memberikan secara tulus apa yang menjadi kebutuhan laki-laki yang menjadi suaminya. Sikap egoistis dari siapa pun tidak akan dapat melahirkan pesan-pesan peradaban dari persoalan-
70
persoalan kemanusiaan. Kerjasama saling pengertian antara laki-laki dan perempuan lalu menjadi sangat signifikan. Yang terpenting dilakukan adalah bagaimana memberi jalan ke arah ini, serta mampu membangun kehidupan dalam keluarga dalam suasana yang harmonis dan maslahat, bukan hanya untuk mereka (suami-isteri), tetapi juga untuk keluarga, masyarakat, dan negara.84
84
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana dan Gender (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), 134-135.
71
BAB III PENELANTARAN DALAM RUMAH TANGGA DAN KEBEBASAN ISTERI UNTUK BERAKTIVITAS DI LUAR RUMAH DI KELURAHAN NOLOGATEN KECAMATAN PONOROGO A. Gambaran Lokasi Penelitian 1. kondisi Umum Kecamatan Ponorogo. Kecamatan Ponorogo adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan (Ibu Kota) Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur Indonesia. Kecamatan ini terdiri dari 19 Kelurahan, meliputi:85 Bangunsari.
Nologaten.
Banyudono.
Paju.
Beduri.
Pakunden.
Brotonegaran.
Pinggirsari.
Cokromenggalan.
Purbosuman.
Jingglong.
Surodikraman.
Kauman.
Tamannarum.
Keniten.
Tambakbayan.
Kepatihan.
Tonatan.
Mangkujayan.
85
WWW.Kab.Ponorogo.Google.co.id
72
2. kondisi Khusus Kelurahan Nologaten. a
Keadaan Dan Luas Wilayah. Kelurahan Nologaten adalah sebuah Kelurahan yang berrada di Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur Indonesia. Dengan luas Wilayah 71.49 ha. Dengan curah hujan 20002500 mm / Tahun serta tinggi tempat dari permukaan laut 99 m.86
b Kondisi Geografis87 Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo dilihat dari letaknya berbatasan dengan: 1). Sebelah utara Kelurahan Keniten. 2). Sebelah barat Kelurahan Banyudono. 3). Selatan selatan Kelurahan Bangunsari. 4). Sebelah timur Kelurahan Cokromenggalan. c
Orbitasi88 NO
86
Uraian
1.
Jarak ke Ibu kota Kecamatan terdekat
0,5 Km
2.
Lama tempuh ke Ibu kota Kecamatan terdekat
0,1 jam
3.
Jarak ke Ibu kota Kabupaten terdekat
2
4.
Lama tempuh ke Ibu kota Kabupaten terdekat
0,2 jam
Data Monografi Kelurahan Nologaten Tahun 2009. Ibid., 88 Ibid., 87
Keterangan
km
73
d Sumber Daya Manusia89 1). Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin. a) Laki-laki
2.491 orang.
b) Perempuan
2.524 orang.
c) Kepala keluarga
1.430 orang.
2). Pertumbuhan penduduk. a) Jumlah penduduk Tahun lalu 4.998 orang. b) Jumlah penduduk Tahun ini 5.015 orang. 3). Struktur mata pencaharian penduduk. a) Petani
25 orang.
b) Pekerja di sektor jasa / perdagangan 1.112 orang. c) Pekerja di sektor industri
131 orang.
4). Tingkat pendidikan penduduk. a) Penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf - orang.
89
Ibid.,
b) Penduduk tidak tamat SD / sederajat
408 orang.
c) Penduduk tidak SD / sederajat
371 orang.
d) Penduduk tamat SLTP / sederajat
725 orang.
e) Penduduk tamat SLTA / sederajat
1.601 orang.
f) Penduduk D1
31 orang.
g) Penduduk D2
24 orang.
h) Penduduk D3
2 orang.
i) Penduduk S1
757 orang.
j) Penduduk S2
15 orang.
74
k) Penduduk S3
1 orang.
B. TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA MENURUT PELAKU DAN KORBAN 1. Tanggung Jawab Dalam Rumah Tangga Menurut Pelaku Menggabungkan dua jenis manusia yang berlainan jenis dalam suatu ikatan perjanjian yang didasari atas saling mencintai, memahami untuk mendapatkan jalan terbaik secara bersama-sama. Dalam hal ini keduanya harus dipersiapkan mulai dengan mengikrarkan perjanjian. Baik lahir dan batin, mulai dari pendidikan, pengetahuan, agama, sebab nantinya akan mengarahkan hubungan keluarga agar kedepannya menjadi keluarga bahagia.90 Ini sesuai dengan pernyataan Bapak Sugeng. Bapak Sugeng adalah salah satu warga yang melakukan penelantaran atau pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan isteri dan anaknya. Karena hanya lulusan SMU (Sekolah Menengah Umum), maka ia bekerja dengan seadanya (serabutan) yaitu pekerjaan apa saja yang pasti halal. Ia meninggalkan rumah sejak 2 tahun yang lalu, karena konflik yang sebenarnya hanya masalah kecil. Dalam keluarga sering timbul masalah, hal ini memicu amarah Bapak Sugeng yang berimbas pada isteri dan anaknya. Keduanya sering bertengkar di depan anaknya bahkan sampai bertindak pada kekerasan fisik, seperti menampar. Karena kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam berumah tangga, serta pendidikan yang rendah, dimana
90
Lihat transkip wawancara nomor: 01/1–W/F–1/10–VIII/2009 dalam skripsi ini.
75
suami harus bertanggungjawab atas kesejahteraan keluarganya.ini menjadikan sikapnya menjadi kasar, merasa kuat (superior),serta berlaku otoriter. Kehidupan sehari-hari dalam membina keluarga ini memang sangat sulit, pasti setiap saat menemui ganjalan atau masalah yang sering muncul. Di mana setiap orang harus sanggup menghadapinya, salah satunya adalah sikap tanggung jawab kepada keluarga. Seorang suami atau kepala rumah tangga
wajib
memberi
nafkah
kepada
keluarga
sesuai
dengan
kemampuannya, sedangkan seorang isteri membina atau mengatur rumah tangga. Menurut pernyataan lainnya, Bapak Agus, rumah tangga adalah Hidup bersama antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan perkawinan. Laki-laki disebut sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga sedangkan perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.91 Dalam kehidupan keluarga Bapak Agus ini ternyata juga sama dengan keluarga Bapak Sugeng mulai dari pendidikan, pekerjaan dan lainlain.tetapi sifatnya yang sering bermain judi yang setiap hari hanya meminta uang untuk berjudi kepada isteri, serta sering menggadaikan barang-barang yang ada di rumah. Kedua keluarga ini memiliki pengetahuan tentang Hak dan Kewajiban yang kurang, maka menjadi retak sampai hubungan dalam kehidupan keluarga. Salah satu dari mereka (suami-isteri) pergi meninggalkan rumah.
91
Lihat transkip wawancara nomor: 02/2–W/F–2/12–IX/2009 dalam skripsi ini.
76
Dengan sendirinya apabila di dalam kehidupan rumah tangga ini peran masing-masing berjalan sempurna maka akan terwujud rumah tangga yang bahagia. Karena dalam membina keluarga rata-rata suami berlaku otoriter atau ingin menjadi penguasa rumah tangga, ini menjadikan keretakan yang berkepanjangan bahkan sampai perceraian terjadi. Selain hal itu suami melakukan tindakan penelantaran dengan meninggalkan keluarga yang ada di rumah (dengan tidak ada pemberitahuan sebelumnya). Apalagi dalam rumah tengga ini memiliki anak yang masih sekolah, di sini peran ibu menjadi berat karena selain menanggung biaya kehidupan sehari-hari juga dituntut bertanggung jawab atas biaya pendidikan anaknya. Rata-rata usia perkawinan yang terjadi di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo ini adalah lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU), maka usia ini rentan mengalami emosional yang tinggi. Karena kurangnya pemahaman keilmuan, pendidikan rendah serta pengetahuan akan hal-hal tentang hak dan kewajiban suami isteri. Sehingga dalam menghadapi masalah-masalah keluarga yang ada mesti dengan kekerasan dan hanya mendahulukan emosional atau egonya sendiri, selain itu sampai meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. (ini pengakuan dari keduanya).
2. Tanggung Jawab Dalam Rumah Tangga Menurut Korban Hidup bersama antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan perkawinan. Laki-laki disebut sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
77
keluarga sedangkan perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan ibu Naning.92 Beliau adalah isteri dari Bapak Sugeng, pemdidikan terakhirnya juga Sekolah Menengah Umum (SMU) dan bekerja sebagai Ibu rumah tangga yang hanya di rumah mengurusi dan merawat anak. Mengawali hidup dalam kelurga memang harus dipersiapkan dengan matang. Hidup bersama dengan komitmen yang berbeda dijadikan satu untuk mewujudkan satu arah yaitu menjadikan keluarga yang bahagia. Tapi kenyataannya dalam membina keluarga sangat rentan dengan munculnya berbagai masalah yang menghadang di tengah perjalanan. Seorang suami membatasi hak-hak isteri untuk beraktivitas di luar rumah. Di mana isteri juga tidak diberi kebebasan untuk bekerja, karena dikawatirkan isteri ini akan berselingkuh selain itu isteri merasa terkurung dan terkekang. Untuk itu suami juga bertanggung jawab atas kehormatan isterinya serta rumah tangga. Meskipun dalam membina keluarga banyak masalah pasti juga ada jalan keluarnya, sesuai dengan pernyataan Ibu Susi yang di sini sebagai isteri dari Bapak agus, belaiu berpendapat. Mewujudkan keseimbangan dalam hubungan suami isteri yang dibentuk secara bersama baik suka maupun duka. Dalam membina rumah tangga keseimbangan peran hak dan kewajiban harus diyakinkan secara sungguh-sungguh, ini berarti jika nantinya mendapatkan ganjalan atau masalah, akan terselesaikan dengan baik tanpa ada halangan lainnya.93
92 93
Lihat transkip wawancara nomor: 03/3–W/F–3/28–IX/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 04/4–W/F–4/29–IX/2009 dalam skripsi ini.
78
Selama kehidupan perkawinan, hampir pasti setiap pasangan pernah merasa bahwa perkawinan sudah terganggu, dingin, dan lain-lain. Bila gangguan itu hanya timbul dalam waktu pendek dan jarang, tidak apaapa. Banyak orang mengatakan bahwa, hal seperti itu menjadi bumbu perkawinan. Sudah selesai periode gangguan akan terselesaikan jika dalam penyelesaiannya dengan penuh kesabaran tidak bersikap emosional. Akan tetapi
dalam
kehidupan
keseharian
kedua
keluarga
ini
saling
mementingkan egoisme dari dari salah satu pihak yang menyebabkan tidak bertemunya suatu solusi yang baik dalam menghadapi masalah atau penyelesaiannya. C. TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA MENURUT SEBAGIAN MASYARAKAT Awal dari kehidupan berkeluarga
adalah dengan
melakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Di mana ikatan lahir dan batin antara seorang lakilaki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan untuk membentuk keluarga ini sah apabila dilakukan menurut hukum dan agama masing-masing serta kepercayaan yang dianutnya. Dalam membentuk atau membina rumah tangga setiap keluarga pasti mendapati adanya konflik atau masalah yang muncul. Sulit dipercaya bila mendengar ada pasangan suami isteri tidak pernah berkonflik atau bermasalah sama sekali. Dalam kenyataanya mereka adalah dua individu yang masing-
79
masing punya keunikan sendiri-sendiri, berbeda dalam sejumlah besar hal itu berarti sewaktu-waktu mereka bisa tidak sejalan atau berlawanan arah dalam memuaskan kepentingannya.94 Sudah sewajarnya bila konflik dan masalah ini salah satu ciri kehidupan perkawinan, dan kemampuan menghadapi masalah dijadikan persaratan mutlak setiap individu yang melibatkan diri dalam setiap perkawinan. Masalah suami isteri bisa tampil berbagai reaksi perilaku seperti: pertengkaran-pertengkaran kecil, perdebatan, sementara berpisah ranjang, perkelahian seru,
pergi meninggalkan rumah,
bisa mengarah pada
perceraian.95 Dari sejak awal perkawinan biasanya setiap pasangan suami isteri melakukan pembagian peran dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam perkawinan. Pembagian bisa sangat jelas, dibagi berdasarkan peran jenis kelamin atau berdasarkan kemampuan dan ketrampilan masing-masing. Mereka telah sepakat untuk menjalankan tanggung jawabnya. Namun demikian dalam perjalanan perubahan bisa saja terjadi dan salah satu pihak mendapat beban tanggung jawab yang lebih besar. Upaya mewujudkan hubungan harmonis, maka suami isteri diantaranya menjalankan: 1. Adanya saling pengertian. 2. Saling menerima kenyataan. 3. Saling melakukan penyesuaian diri. 4. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang.
94 95
Lihat transkip wawancara nomor: 05/5–W/F–5/19–X/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 06/6–W/F–6/19–X/2009 dalam skripsi ini.
80
5. Melaksanakan asas musyawarah atau saling terbuka.96 Sehubungan
dengan
itu,
dalam
membina
kebahagiaan
dan
kesejahteraan keluarga maka perlu dihindari, diantaranya: 1. Hal-hal yang dapat mengganggu kebahagiaan keluarga. a) Membuka rahasia pribadi. b) Cemburu berlebihan. c) Rasa dendam, iri hati dan dengki. d) Judi dan minuman keeras. e) Pergaulan bebas tanpa batas. f) Kurang menjaga kehormatan diri. 2. Hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan. a) Memuji-muji perempuan lain selain isteri maupun laki-laki lain selain suami. b) Mengungkit-ungkit kekurangan keluarga. c) Kurangnya perhatian kepada keluarga.97 D. TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA MENURUT TOKOH MASYARAKAT Hidup berumah tangga atau bersama yang di dasari dalam bentuk perjanjian untuk membentuk keluarga yang sakinah. Dapat juga diartikan menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
96 97
Lihat transkip wawancara nomor: 07/7–W/F–7/20–X/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 08/8–W/F–8/20–X/2009 dalam skripsi ini.
81
memenuhi ketentuan syari’at, untuk mewujudkan kehidupan berkeluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.98 Dengan perkawinan untuk menenangkan pandangan mata dan kehormatan diri, hidup akan lebih berarti serta terencana. Ikatan perkawinan mendorong seseorang untuk mendapatkan jalan yang diridhai Allah SWT dari perbuatan yang keji dan mungkar salah satunya terhindar dari perbuatan zina.99 Kata kunci yang pertama, min-anfusikum artinya dari dirimu sendiri. Untuk menjadi sakinah, maka seorang suami harus menjadikan isterinya bagian dari dirinya sendiri, begitu sebaliknya. Kalau isteri sudah tidak mau menjadi bagian dari suaminya, dan suami tidak lagi merupakan bagian dari diri isterinya, maka akan semakin jauh dari kehidupan keluarga yang sakinah. Bisa lihat, banyaknya kasus perceraian salah satunya, salah satu pihak meninggalkan rumah 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa adanya kabar, ini bisa disebut sebagai penelantaran dalam rumah tangga. Ini dikarenakan pasangan sudah lagi tidak menjadi bagian dari dirinya (min-anfusikum) satu sama lain saling mengungkapkan kekurangan ‘aib melalui saling terbuka bahkan saling menuding tak ubahnya laksan musuh. Kata kunci yang kedua, mawaddah artinya cinta. Biasanya diartikan cinta yang disertai birahi, namun ini juga mempunyai makna kekosongan jiwa terhadap yang dicintai. Dengan hal ini pasangan suami isteri saling tertarik dan saling membutuhkan.
98 99
Lihat transkip wawancara nomor: 09/9–W/F–9/21–X/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 10/10–W/F–10/21–X/2009 dalam skripsi ini.
82
Kata kunci yang ketiga adalah rahmah artinya kasih sayang. Rahmah adalah karunia Allah yang amat besar bagi pasangan suami isteri. Meskipun mawaddah berkurang bersamaan jalannya usia yang makin tua, namun dengan rahmah ini menjadi perekat pasangan suami isteri bisa langgeng hingga akir hayat. Selain itu ada 5 (lima) hal lagi, yaitu: 1. Keluarga memahami ajaran agama. 2. Dalam keluarga saling menghormati, yang tua menghormati yang muda atau menyayangi, begitu juga sebaliknya. 3. Lembut dalam pergaulan (sopan santun). 4. Hemat dalam belanjaan. 5. Mau mengakui kesalahan diri (instrofeksi) dan berusaha memperbaiki.100 Dengan demikian akan terhindar dari permusuhan yang ada dalam kehidupan berkeluarga. E. TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA MENURUT PARA AHLI 1. Departemen agama atau Bp4 (Badan Penyelesaian, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) Dengan aqad yang menghalalkan hubungan kelamin antara lakilaki dan perempuan untuk mewujudkan kebahagiaan hidup yang meliputi rasa tentram dan kasih sayang. Dalam hal ini setidaknya memenuhi beberapa unsur, meliputi ikatan lahir dan batin antara suami isteri seorang laki-laki dan seorang perempuan, membentuk keluarga (rumah tangga)
100
Lihat transkip wawancara nomor: 11/11–W/F–11/22–X/2009 dalam skripsi ini.
83
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari itu untuk membinanya perlu keseriusan niat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kedepannya agar nantinya dapat membina sesuai dengan ajaran Agama serta Undang-undang yang berlaku.101 Di mana sebagai lembaga semi resmi bertugas membantu departemen Agama dalam meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembangkan gerakan keluarga sakinah, meningkatkan pembinaan remaja usia nikah, bimbingan, memberikan pelayanan terhadap keluarga yang bermasalah melalui kegiatan konseling keluarga. 2. Pengadilan Agama Demi terwujudnya putusan yang adil dan makmur serta berwibawa pengadilan Agama mewujudkan kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT serta menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indnesia, di bidang waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syari’ah secara tepat, cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam menjalankan aturan yang dilakukan dalam hidup rumah tangga, perlu strategi yang ada di dalam menciptakan keharmonisan yang dijalin dengan ini sudah barang tentu akan terjalin komunikasi antara anggota keluarga.102
101 102
Lihat transkip wawancara nomor: 12/12–W/F–12/26–X/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 13/13–W/F–13/02–XI/2009 dalam skripsi ini.
84
Maka dari itu anggota keluarga merupakan unsur organisasi yang masing-masing anggota mempunyai peran dan fungsi sendiri-sendiri. Munculnya peran setiap anggota keluarga yang saling bekerjasama harus dipupuk sejak dini, serta tergantung agar kebaikan dan kemajuan keluarga menjadi cita-cita bersama yang nantinya hasil dari semua ini dirasakan bersama. Apabila ada masalah baik kecil maupun besar agar segera dimusyawarahkan untuk menyelasaikannya, jangan sampai masalah ini bergulir ke pengadilan yang menyebabkan perceraian.103 Dan selama disahkan pemerintah di pengadilan Agama Kecamatan Ponorogo terdapat 18 kasus. Perceraian yang disebabkan salah satu pihak (suami-isteri) meninggalkan Hak dan kewajiban dalam hidup berumah tangga. 3. KPPA (Komite Perlindungan Perempuan dan Anak) Yaitu merupakan tim yang merupakan suatu wadah kerja sama antara Pemerintah Kecamatan dan Dinas-dinas terkait, organisasi perempuan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang memiliki komitmen, kepedulian terhadap masalah perempuan dan anak dengan dilandasi kesadaran atas ketidakadilan terhadap perempuan dan anak diruang domestik maupun publik. Hidup bersama dalam rumah tangga adalah soal pembagian tugas suami isteri, dan ini selalu menarik untuk diperbincangkan karena setiap saat dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini sudah pasti ada ganjalan
103
Lihat transkip wawancara nomor: 14/14–W/F–14/09–XI/2009 dalam skripsi ini.
85
atau masalah yang muncul, maka di sini setiap orang diharuskan siap dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya secara tuntas.104 Kebanyakan masalah yang timbul ini meyebabkan suatu bentuk diskriminasi yang berkepanjangan. Misalnya adanya tindakan kekerasan yang ada seperti: Kekerasan fisik misalnya: suami menampar, menendang, memukul, melukai, seseorang yang ada di dalam lingup rumah tangga kususnya pada isteri. Kekerasan psikologis misalnya: suami menghina isteri, meremehkan, merendahkan martabat isteri, maupun anggota yang lainnya. Kekerasan seksual misalnya: suami memaksa hubungan seksual, suami tidak memenuhi kebutuhan seksual isteri. Dan juga memaksa isteri untuk berhubungan dengan cara kasar. Kekerasan ekonomi misalnya: suami tidak menafkahi keluarga dengan baik, mengontrol hak serta kebebasan isteri untuk beraktivitas atau membatasi tingkah laku isteri dan memaksa isteri menopang kehidupan rumah tangga.105
104 105
Lihat transkip wawancara nomor: 15/15–W/F–15/23–X/2009 dalam skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 16/16–W/F–16/23–X/2009 dalam skripsi ini..
86
BAB IV ANALISA IMPLEMENTASI PASAL 9 UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT TERHADAP PENELANTARAN DALAM RUMAH TANGGA DAN KEBEBASAN ISTERI UNTUK BERAKTIVITAS DI LUAR RUMAH DI KELURAHAN NOLOGATEN KECAMATAN PONOROGO
A. ANALISA TERHADAP TANGGUNG JAWAB SUAMI Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Seorang suami diharuskan mengerti, memahami bahwa sebelum menjalani bahtera rumah tangga mempersiapkan dirinya baik lahir maupun batin. Sesuai dengan dasar perkawinan Undang-Undang Perkawinan pasal 1 bahwa ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suami dan isteri juga harus dituntut untuk mengerti akan hak serta kewajibannya dalam membina rumah tangga. Khususnya bagi suami disini memiliki tanggung jawab besar, di mana suami sebagai pemimpin keluarga ia wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan.
87
Kehidupan dalam rumah tangga ini memang sangat sulit untuk memenuhi kata sempurna, karena dalam kehidupan pasti ada badai yang menerkam kapan saja. Ini disebabkan kurangnya pemahaman keilmuan, pendidikan rendah, serta pengetahuan akan hal-hal menyangkut dengan hidup berumah tangga. Di mana suami isteri hanya mementingkan sifat egoisme dari masing-masing pihak dalam ruang lingkup keluarga yang selalu dinomor satukan, bukan hanya perbuatan, perkataan serta tingkah laku setiap individu yang ingin menangnya sendiri dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Seorang suami di sini dituntut untuk menjadi kepala rumah tangga atau pemimpin yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, jadi untuk menghindari penelantaran dalam rumah tangga ini. Apabila masalah-masalah sering muncul, maka suami isteri harus saling menyadari dan memahami peran dan posisi masing-masing dalam rumah tangga. Menjalankan peran dan tugasnya secara kesabaran dan penuh tanggung jawab serta tidak akan menggunakan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan tindakan penelantaran ataupun sampai menindasnya baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Dalam hal ini tanggung jawab suami yang ada di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo ini ternyata masih kurang dan masih ada saja masyarakat yang kurang pemahaman keilmuan, pendidikan rendah, serta pengetahuan akan hal-hal tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam membina rumah tangga. Maka dihapus hal ini menyebabkan implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kurang efektif dan belum berjalan sempurna.
88
B. ANALISA
TERHADAP
KEBEBASAN
ISTERI
UNTUK
BERAKTIVITAS DI LUAR RUMAH Pasal 9 ayat 2 disebutkan, penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 79 ayat 2 dan 3 menyebutkan hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama alam masyarakat, masing-masing pihak (baik suami maupun isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman, tentram,
dan
damai,
merupakan
dambaan
setiap
individu.
Untuk
mewujudkannya sangat tergantung pada setiap individu, ini dalam ruang lingkup rumah tangga terutama kadar kualitas perilaku, tingkah laku dan pengendalian diri setiap individu di lingkungan keluarga ini. Namun ironisnya yang tejadi di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo bahwa keluarga bisa menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan termasuk penelantaran serta membatasi hak-hak isteri untuk beraktivitas atau penelantaran yang dilakukan oleh suami kepada keluarga dengan tidak memberikan nafkah bahkan sampai pergi meninggalkan rumah. Selain itu disebabkan kekawatiran suami terhadap isteri, seperti: berselingkuh, sehingga isteri merasa terkekang, terkurung dalam kehidupan rumah tangga.
89
Suami membatasi hak dan kewajiban isteri untuk berekspresi, berinovasi, serta berkreasi dengan dunia luar. Secara defenitif kebebasan isteri yang dilarang juga termasuk perbuatan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) kepada seseorang yang menimbulkan dan berakibat kesengsaraan, penderitaan, baik fisik dan psikis korbannya. Kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah setelah berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di sini ternyata juga belum sempurna (belum sinergis), karena keegoisan suami yang merasa superior (penguasa), berlaku otoriter, suka memaksa, dan kasar dalam kehidupan berumah tangga. Dalam mengatasi kekerasan ini tidak boleh dengan kekerasan pula. Pesan ini yang ingin disampaikan lewat adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dengan kata lain jika para isteri diperlakukan dengan kasar (baik fisik, ekonomi maupun psikis) oleh pasangannya (suami), maka jalan penyelesaiannya tidak boleh lewat kekerasan pula. Jika sudah ada rambu-rambu maka harus disesuaikan dan diselesaikan lewat jalurnya, (Undang-Undang yang berlaku). Dengan demikian isteri tidak merasa terkurung dan terkekang dalam menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
C. ANALISA TERHADAP BELUM BISA DITERAPKANNYA PASAL 9 UNDANG-UNDANG
NO.
23
TAHUN
2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (PKDRT)
90
Problematika keluarga setiap hari semakin bertambah, Ini meliputi beberapa faktor mulai dari ekonomi, sosial, budaya. Selain hal tersebut tidak akan abadi hubungan keluarga ini yang ada manakala hubungan tidak dilandasi dengan pemahaman pendidikan, pengetahuan, baik ajaran Agama maupun ilmu-ilmu yang lainnya. Setelah perkawinan terjadi, baik suami maupun isteri ada amanah untuk saling menjaga, diantara amanah itu yaitu: menjaga pandangan suami terhadap yang lain di dalam lingkup rumah tangga khususnya pada isteri. Tetapi ternyata menjaga amanah ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Karena seiring dengan perjalanan waktu sebuah perkawinan, bukannya tidak mungkin akan memenuhi beberapa ganjalan serta masalah yang terkadang bisa menjadi sumber keretakan keluarga. Untuk itulah diperlukan rasa saling memahami, mengerti, terbuka, menghormati dan kesabaran dalam menghadapinya baik situasi yang sekiranya bisa membuat keluarga ini menjadi renggang. Dengan cara mencari akar permasalahan muncul dengan segera dan mengupayakan penyelesainya dengan segera pula. Dengan demikian kebijakan pemerintah dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (khususnya para korban) dan menolak kemudharatan serta menghilangkan penderitaan para korban, sehingga kasuskasus lain khususnya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tidak akan terjadi atau meminimalkan serta berkurangnya tindakan kekerasan dan tidak bertentangan dengan ajaran Agama.
91
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa antara korban dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) belum ada kesesuaian. Karena kasus ini kebanyakan korban lebih memilih diam, maka dari itu menyebabkan Undang-Undang ini tidak berjalan dengan efektif disetiap rumah tangga. Untuk menjalankan UndangUndang ini berjalan efektif semua berpulang kepada komitmen dan kesadaran masing-masing pihak. Karena masyarakat yang belum memahami, serta mengerti akan Undang-Undang ini ataupun kurangnya sosialisai UndangUndang
tersebut yang telah disahkan oleh pemerintah. Dalam Undang-
Undang ini melarang adanya tindakan penelantaran dalam rumah tangga dan membatasi hak-hak, kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah. Selain itu juga melanggar Undang-Undang HAM dan hukum yang berlaku.
92
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) terkait tanggung suami yang ada di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo ini ternyata belum efektif atau belum berjalan sempurna karena masih ada saja masyarakat yang kurang pemahaman keilmuan, pendidikan rendah, serta pengetahuan akan hal-hal tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam membina rumah tangga masih kurang. 2. Setelah berlakunya Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT). Maka kebebasan isteri untuk beraktivitas di luar rumah di sini ternyata juga belum berjalan sempurna (belum sinergis), karena keegoisan suami merasa superior (penguasa), berlaku otoriter, suka memaksa, dan kasar dalam kehidupan berumah tangga, sehingga menjadikan isteri merasa terkurung serta terkekang dalam rumah tangga. 3. Belum bisa diterapkannya Implementasi Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga (PKDRT) di Kelurahan Nologaten Kecamatan Ponorogo khususnya, karena masyarakat yang belum memahami, serta mengerti akan UndangUndang ini, karena kurangnya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait. B. SARAN
93
1. Untuk itu dalam menyikapi tanggung jawab yang dipegang suami dalam kehidupan berumah tangga diperlukan sikap dan tindakan tiap-tiap individu dengan kesabaran, kemantapan, pengertian dalam mengambil keputusan serta membina keluarga secara baik. Dengan cara berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait atau yang berkompeten dalam membina keluarga sakinah (Bp4) Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan. 2. Untuk melaksanakan suatu suasana yang harmonis, aman, tenteram dan damai dalam kehidupan rumah tangga, maka diperlukan kesepakatan bersama antara suami isteri mengenai peran dan tugas masing-masing dalam keluarga semenjak awal sebuah perkawinan. 3. Dengan cara melakukan sosialisasi, seminar, dan penyuluhan yang dilakukan pemerintah dibantu oleh pihak-pihak yang terkait dalam sosialisasi terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 khususnya Pasal 9 dengan menyelenggarakan informasi, komunikasi dan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk tiap-tiap individu yang akan melangsungkan perkawinan dengan tujuan memberikan perhatian dalam upaya membina keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
94
Daftar Pustaka
A. Hamdani. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2004. Abdurrahmân, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: akademika Pressindo, 1992. Ahmad, Idris. Fiqh Syafi’i. Jakarta: Karya Indah, 1986. Al-Bandary, Abdul Wahab. Wanita Karier Dalam Pandangan Islam. Bandung: Sinar Baru, 1992. Al-Bukhâri, Sahih al-Bukhâri, al-Kitâb: al-Nafaqât, al-Bâb: Iza Lam Yanfiq arRajûl. No. Hadits 4945. Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Studi Kritis Atas Hadits Nabi. Bandung: Mizan, 1991. Al-Jaziri, Abd al-Rahmân, Kitâb al-Fiqh ala al-Mazâhib al-Arba’ah. IV. Beirut: Maktabah al-Tijâr,yah, tt), 160. Al-San’ani. Subûl al-Salâm. III. Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1960. An-Nasa’i. Sunnan al-Nasa’i, al-kitâb Qiyâm al-Layl wa Tatawwu’ al-Nahâr, alBâb al-Targhib fi Qiyâm al-Layl, No. Hadits 1592. Arikunto. Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Dawud, Abû. Sunan Abi Dawud, al-Kitâb al-Adab, al-Bâb Fi Dal ala al-Khayr, No. Hadits 4464. ……….., Abû. Sunan Abi. Kitâb an-Nikâh bab Fiqh al-Mar’ah ala Zawjihâ. No. Hadits 1830. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Penafsir al-Qur’an, 1978. ……….., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997. Derektoral Jenderal, Membina Keluarga Sakinah. Jakarta: tt, 2003. Fakih, Mansour. Gender dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
95
Fuad, Kauma dan Nipan. Membimbing Isteri Mendampingi Suami: Pegangan Pengantin Baru Muslim. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Perjanjian Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia Yogyakarta: Bina Cipta, 1978. Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Beumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003. Huberman, Mattew B. Miles dan A. Michael. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, terj. Tjetjep Kohendi Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Tim Penyusun KBBI Pembinaan dan Pengembangan Bahas., edisi 2. Jakarta: Balai Pustaka, 1997. ……….., Tim Penyusun KBBI Pembinaan dan Pengembangan Bahas., edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Majah, Ibn. Sunan Ibn Majah, Kitâb al-At’imah Bâb al-Ijtima’u ala al-Ta’am, No. Hadits 3278. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3. Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayu Media, 2003. Mughniyah, Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 1999. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana dan Gender. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001. Mujtaba’, Saifuddin. Isteri Menafkahi Keluarga: Dilema Prempuan Antara Mencari,Menerima, Dan Memberi. Surabaya: Pustaka Progresif, 2001. Mukhtar, Kamal. Azas-Azas Hukum Islam Tentang perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Muslim, Sahih Muslim, al-Kitâb al-Zikr wa al-Du’a’ wa at-Tawbah wa alIstighfâr, al-Bâb, al-Ijtima’ ala Tilâwah al-Qur’an wa ala Zikr, No. Hadits 2867. ……….., Sahih Muslim, al-Kitab: Fadhâil al-Sahâbah, al-Bâb Min Fadhâil Zaynab Umm al-Mu’minin, No. HAdits 4490. ……….., Sahih Muslim, Kitâb al-Imân, Bâb Tahrim al-Kibr wa Bayânuh, No. Hadits 131. ……….., Sahih Muslim. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
96
Nasif, Fatima Umar. Menggugat Sejarah Perempuan, terj. Burhan Wirasubrata dan Kundan Nuryakien. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001. Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Cet XVII. Jakarta: AT TAHIRIYAH, 1976. Redaksi Penerbit Asa Mandiri. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalan Rumah Tangga Repuplik Indonesia No. 23 Tahun 200. Cet III. Jakarta: Asa Mandiri, 2007. Redaksi Pustaka Tinta Mas, Undang-Undang Perkawinan. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986. Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Rusyd, Ibn. Bidâyat al-Mujtahid. II. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Shihab, Quraisy. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung Alfa Beta, 2005.