LAPORAN PENELITIAN
ANALISIS EFEKTIVITAS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN Oleh: Dra. Tri Siwi Nugrahani, S.E., M.Si NIP: 196711261993032002
Penelitian ini Dilaksanakan Atas Dana Bantuan dari Anggaran LPPM Universitas PGRI Yogyakarta Tahun Anggaran 2011/2012
Prodi : Akuntansi Fakultas : Ekonomi
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA 2012
1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di D.I. Yogyakarta. Penelitian dilakukan di empat wilayah yaitu: Kabupaten Bantul, Kulom Progo, Sleman, dan Gunung Kidul. Subyek penelitian ini adalah 26 unit usaha dan 78 orang yang tergabung dalam PNPM. Penentuan sampel secara acak dan convenience. Berdasar hasil analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif menunjukkan 75 persen responden menjalankan usaha yang sudah dirintis, dan kurang membuat inovasi. Sekitar 90 persen responden mampu membayar dana bergulir
yang
dilakukan setiap bulan. Dalam hal komitmen, paling lama responden
menjadi
anggota
PNPM
selama
11
tahun,
sedangkan dari kemitraan, masih terbatas pada mitra yang ada di kelompok atau tawaran dari pemerintah. Berdasar aspek keuangan, PNPM lebih memfokuskan pada perguliran dana yang
diberikan pada
anggota
PNPM dan
kurang
memperhatikan dari pengembangan untuk produksi dan pemasaran. Sedangkan berdasar fungsi umum manajemen meliputi: perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan menunjukkan PNPM kurang efektif karena kurang melaksanakan perencanaan dan pengembangan baik dalam hal produksi maupun pemasaran. Berdasar analisis jumlah pendapatan anggota yang diperoleh dari PNPM menunjukkan cukup efektif karena terdapat peningkatan pendapatan antara sebelum dan setelah anggota mengikuti PNPM. Studi selanjutnya sebaiknya dilakukan pada subyek dengan komposisi yang merata di tiap wilayah kabupaten, agar kemungkinan efektivitas lebih rinci di tiap kabupaten dan dengan membedakan pada jenis usaha PNPM yang lebih efisien. Kata kunci: Kemiskinan dan efektivitas PNPM.
2
HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian: 2. Bidang Ilmu:
Analisis Efektivitas PNPM dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan Ekonomi
3. Penelitian: a. Nama Lengkap b. NIP c. Pangkat/Golongan d. Jabatan Fungsional e. Prodi/Fakultas
Dra. Tri Siwi Nugrahani, S.E.,M.Si 196711261993032002 Penata/IIIc Lektor Akuntansi/ Ekonomi
4. Lokasi Penelitian
D. I. Yogyakarta
5. Lama Penelitian
Maret s/d Juni 2012
6. Biaya Penelitian
Rp. 1.500. 000 ( Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
Yogyakarta, 20 September 2012 Peneliti:
Dra. Tri Siwi Nugrahani,SE., M.Si NIP: 196711261993032002
Mengetahui,
Menyetujui,
Kaprodi Akuntansi
Ketua Pusat Penelitian UPY
3
Sri Widodo, S.E.
Dra. Sri Rejeki, M.Pd
NIS : 01978020123006071004
NIP: 196610121993032002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Beberapa konsep pembangunan di negara berkembang gagal dalam mengentaskan kemiskinan dikarenakan memisahkan pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Padahal keberhasilan di negara-negara industri maju karena penekanan yang diberikan pada bidang pendidikan dan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu menilai kembali
upaya
mengatasi
kesenjangan yang terjadi khususnya bagi masyarakat miskin yang semakin jauh dari kesejahteraan.
Salah satu upaya mengatasi hal tersebut adalah
meletakkan strategi pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pengentasan kemiskinan. Masalah kemiskinan menyangkut hak-hak dasar masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat ( Bappenas, 2005 : 15). Pemerintah juga telah berupaya keras melakukan koreksi terhadap penyebab kegagalan mengurangi kemiskinan dan mengadopsi semua mantra kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tahun lalu pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin langsung oleh wakil presiden, namun sampai sekarang kurang menunjukkan hasil. Seharusnya pemerintah Indonesia belajar dari negri Cina. Tahun 2012, apabila kemiskinan diukur dari pendapatan 2 dollar AS per hari, angka kemiskinan Cina turun drastis dari 70 persen menjadi 21 persen, sementara Indonesia dari 71 persen turun menjadi 42 persen. Penurunan tingkat
4
kemiskinan yang sangat tajam di Cina karena Cina mengutamakan pembangunan pedesaan selama 10 tahun pertama. Cina berpendapat apabila difokuskan pada pedesaan, nanti akan menciptakan kelas menengah baru di pedesaan, karena Cina memerangi kemiskinan di basis kemiskinan. Kunci keberhasilan Cina dalam mengurangi kemiskinan adalah pembangunan di Cina yang dimulai dari desa dan pertanian. Program pengentasan kemiskinan di Indonesia belum menyentuh langsung akar persoalan kemiskinan dan hakhak dasar kelompok miskin, tidak memiliki karakter penguatan lokal, dan tidak mengatasi masalah kemiskinan yang multi dimensi. Program-program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah selama ini dinilai tidak bervisi jangka panjang. Program beras miskin, fasilitas pembiayaan di desa-desa atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), menurut Saparini dalam harian Kompas mengemukakan sistem pengentasan kemiskinan rakyat hanya untuk keluar dari kubang kemiskinan. Jadi bersifat sementara dan tidak berkelanjutan (Saparini, Kompas, 10 Maret 2012). Bahkan menurut garis kemiskinan dipedesaan pada September 2011 diukur dengan tingkat pendapatan perkapita perbulan minimal sebesar Rp 226.770 (Republika, 2 Januari 2012). Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah BLT yang ditawarkan pemerintah yaitu Rp. 150.000 per bulan.
Menurut Undang-Undang No 40 tahun 2004 berkaitan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara, 2004) terhadap
yang
mengatur
pengurangan
mengurangi
kemiskinan
bentuk
perhatian
kemiskinan.
Salah
yaitu
dengan
pemerintah satu
upaya
melakukan
pemberdayaan masyarakat yang dijalankan dengan simultan dengan
memperhatikan
penyediaan
perumahan
murah,
5
kesehatan dan pendidikan gratis bagi keluarga miskin dan program
PNPM
(Program
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat). PNPM
adalah
meningkatkan
program
kesejahteraan
nasional dan
yang
bertujuan
kesempatan
kerja
masyarakat miskin secara mandiri. Mekanisme sistem PNPM berbasis
pemberdayaan
masyarakat
yaitu
upaya
untuk
menciptakan kapasitas masyarakat baik secara individu atau kelompok
dalam
memecahkan
persoalan
terkait
upaya
peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan. Pemerintah perlu memiliki konsep strategi pemberdayaan strategi
pengentasan
kemiskinan,
salah
mengeluarkan kebijakan Program
satunya
sebagai
yaitu
dengan
Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) yang sudah dirintis sejak tahun 2006. Pemberdayaan masyarakat melalui PNPM berkaitan dengan salah
satu
tujuan
pembangunan
milenium
MDGs
yaitu
memberantas kemiskinan (Wuri, 2009). Namun, pelaksanaan PNPM belum sepenuhnya secara efektif
mampu
mengentaskan
kemiskinan.
Hal
tersebut
dilihat pada pemberdayaan PNPM yang masih bergelut pada masalah klasik seperti rendahnya produktivitas, dan kesulitan
6
akses terhadap sumberdaya produktif. Sehubungan dengan hal
tersebut
diperlukan
upaya
yang
dapat
mendorong
pembangunan usaha baru dari kalangan masyarakat sendiri yaitu menjadikan PNPM secara efektif. Oleh karena itu pelaksanaan
PNPM
perlu
dievaluasi
dan
dikaji
guna
mengetahui efektivitas pelaksanaan PNPM dalam mengurangi kemiskinan
sehingga
menimbulkan
minat
peneliti
untuk
menginvestigasi apakah pelaksanaan PNPM yang dilakukan di wilayah Yogyakarta telah berjalan efektif atau belum, maka penelitian ini diberi judul ”Analisis Efektivitas PNPM dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan.”
B. Identifikasi Masalah PNPM yang menjadi program pemerintah di D.I. Yogyakarta memerlukan pengawasan dan penilaian, oleh karena itu diperlukan umpan balik dari penerima dana PNPM tentang efektivitas program PNPM yang sudah berjalan, maka identifikasi masalah adalah: a. Bagaimana PNPM di D. I. Yogyakarta? b. Bagaimana persepsi penerima PNPM tentang dana yang digulirkan dari pemerintah? c. Bagaimana efektivitas PNPM di D. I. Yogyakarta?
C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada pelaksanaan
PNPM yang ada di D.I.
Yogyakarta yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dengan sistem perguliran dana bantuan produktif. 7
D. Rumusan Masalah Pelaksanaan
PNPM yang menjadi program pemerintah di D.I.
Yogyakarta perlu dilakukan evaluasi tingkat efektiftivitasnya, maka rumusan masalah yang diajukan adalah: a. Bagaimana tingkat keberhasilan PNPM dari aspek ekonomi? b. Bagaimana efektivitas PNPM di D. I. Yogyakarta?
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengujji efektivitas pelaksanaan PNPM di D. I. Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini untuk menilai efektivitas pelaksanaan kebijakan PNPM yang telah dilakukan oleh pemerintah terutama di Yogyakarta.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat 1. Kemiskinan Kemiskinan yang terjadi Indonesia masih didominasi di pedesaan, dan sebagian besar masyarakat bekerja disektor pertanian. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin diperdesaan dihadapkan pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan yang rata-rata kurang dari 0,5 ha, banyaknya rumah tangga yang tidak mempunyai aset, terbatasnya alternatif lapangan kerja belum tercukupinya pelayanan publik,
lemahnya kelembagaan organisasi masyarakat, dan
ketidakberdayaan dalam menentukan produk yang dihasilkan. Sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku tidak adil termasuk krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh negara di dunia mulai kuartal III tahun 2008 juga merupakan penyebab kemiskinan. Krisis tersebut ikut mengombang-ambingkan harga saham dan tingkat kurs yang mengakibatkan semakin tingginya biaya produksi dan memperbesar angka pengangguran. Hal ini mengakibatkan angka kemiskinan semakin besar jika pemerintah tidak segera turun tangan dan dapat mengakibatkan tingkat kriminalitas yang tinggi serta kerusuhan seperti yang terjadi di Negaranegara tetangga seperti Thailand dan India. Berkaitan dengan krisis ekonomi global yang terjadi, pemerintah merencanakan tidak meminta bantuan keuangan dari IMF (Marwaan, 2008).
9
Menurut Tambunan (2011), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan komsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di negara maju, kemiskinan relatif diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata perkapita. Sebagai ukuran relatif, kemiskinan relatif dapat berbeda menurut bnegara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan dibawah mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Menurut Tambunan (2011), hal tersebut adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolut sering juga disebut kemiskinan ekstrim, akan tetapi maksud yang terakhir ini dapat bervariasi tergantung dari interpretasi setempat atau kalkulasi. Dengan menyadur pendapat Sukidjo (2009) yang merangkum dari bebarapa sumber menyatakan terdapat
beberapa indikator kemiskinan yang sering
digunakan, antara lain: a. Ukuran dari Sayogya Sayogya menggunakan satuan kilogram beras ekuivalen untuk menentukan kriteria batas garis kemiskinan. Sayogya memberikan batas garis kemiskinan untuk masyarakat pedesaan setara dengan 20 kg beras perkapita perbulan, dan bagi masyarakat perkotaan sama dengan 30 kg beras perkapita per bulan. Sayogya mengelompokkan masyarakat dalam empat kelompok (Ricky Iswar, dkk,. (2000) dalam Sukidjo (2009)) sebagai berikut:
10
Tabel 1. Kriteria Garis Kemiskinan No
Predikat
Penghasilan
1
Sangat miskin
Di bawah setara 240 kg beras
Pedesaan
Di bawah setara 360 kg beras
Perkotaan
Setara 240 -320 kg beras
Pedesaan
Setara 36 – 480 kg beras
Perkotaan
Setara 320 – 480 kg beras
Pedesaan
Setara 480 - 720 kg beras
Perkotaan
Setara lebih dari 480 kg beras
Pedesaan
Setara lebih dari 720 kg beras
Perkotaan
2
3
4
Miskin
Hampir miskin
Cukup
Lokasi
b. Batasan Menurut Badan Pusat statistik Badan Pusat Statistik menetapkan garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hisup sehari-hari. Penegeluaran minimum untuk hidup sehari-hari diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara dengan 2.100 kalori ditambah dengan pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi pakaian, perumahan dan berbagai barang dan jasa (Khomsan, 2007 dalam Sukidjo, 2009).
c. Ukuran Bank Dunia Bank Dunia menetapkan ukuran garis kemiskinan untuk Indonesia berdasarkan jumlah pendapatan perkapita dalam standar mata uang dollar. Penduduk yang pendapatan perkapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional termasuk dalam kategori miskin. Secara umum Bank Dunia menetapkan garis batas
11
kemiskinan sebesar US $ 1 perhari bagi negara-negara berkembang dan US$ 2 per hari bagi negara-negara maju.
Menurut Sumodiningrat, G., (2002), masyarakat miskin secara umum
ditandai
oleh
ketidakberdayaan
atau
ketidakmampuan
(powerlessness) dalam hal: 1) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2) Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3) Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility). 4) Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan 5) Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). Mengukur kemiskinan tidak mudah, karena sangat tergantung
pada
interpretasi
miskin.
Misalnya
secara
psikologis, seseorang merasa miskin karena muncul suatu perasaan dari individu-individu anggota masyarakat yang selalu membandingkan dirinya dengan individu lain dalam suatu masyarakat (reference group), di mana ia menjadi bagian dari miskin. Kemiskinan terjadi di mana saja, termasuk di negara-negara maju yang secara absolut masyarakatnya Jepang
telah
sebagai
jauh
negara
di
atas
garis
kemiskinan.
post-industry,
rata-rata
12
pendapatannya telah jauh melampaui garis kemiskinan absolut, tetapi masih banyak pula orang Jepang yang merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaan relatif (Winarni, 1994) Menurut Whyte dalam Ahluwalia dan Montek S (1976)
terdapat
dua
macam
kemiskinan,
yakni
kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan yang bersifat absolut (relative and absolute poverty). Kemiskinan absolut adalah ukuran kemiskinan yang menggunakan indikator-indikator
empiris
seperti
tingkat
kelaparan,
malnutrisi, buta huruf, perkampungan kumuh, buruknya tingkat kesehatan, dan lain-lain. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan diukur relatif antar kelompok pendapatan, oleh karenanya selalu dinamis. Hakikat kemiskinan ini tidak dilihat dari indikator-indikator ekonomi, namun menyangkut aneka dimensi sosial. Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan menusia dan indikator kemiskinan menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Philipina. Permasalahan Kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dilihat dari : 1) Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan
13
2) Terbatasnya akses dan rendahnya Mutu Layanan Kesehatan 3) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan 4) Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha 5) Terbatasnya Akses Layanan Perumahan 6) Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih dan Aman, serta sanitasi 7) Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah 8) Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan hidup 9) Lemahnya Jaminan rasa aman. 10) Lemahnya Partisipasi
Masalah kemiskinan di Indonesia masih didominasi kemiskinan di pedesaan, dan sebagian bekerja disektor pertanian. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin diperdesaan dihadapkan pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan yang rata-rata kurang dari 0,5 ha, banyaknya rumah tangga yang tidak mempunyai aset, terbatasnya alternatif lapangan kerja belum tercukupinya pelayanan publik, lemahnya kelembagaan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam menentukan produk yang dihasilkan. Kemiskinan dapat terjadi karena rendahnya produktivitas, misalnya kurangnya ketrampilan dalam memilih bibit dan pupuk, maka hasil dari pertanian jagung tidak terlalu tinggi. Belum lagi petani seringkali kesulitan dalam melakukan pemasarannya.
Selain itu terdapat jarak antara
kelompok yang kaya dan yang miskin. Kelompok yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Inilah yang menimbulkan ketegangan sosial. Potensi ketegangan ini semakin diperluas karena sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari budaya agraris yang tidak terampil berdagang dan berbisnis (Nasution, 2009). Tuntutan keterlibatan Pemda dalam penanggulangan kemiskinan semakin jelas dengan diluncurkannya Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) oleh Pemerintah Pusat pada 2005 yang menyatakan
14
perlunya kontribusi semua pemangku
kepentingan, termasuk pemda,
dalam upaya bersama untuk mengurangi kemiskinan. Pada kenyataannya, masing-masing daerah mempunyai kapasitas kelembagaan yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan dikarenakan tingkat keterlibatan organisasi yang ada di daerah tersebut, kondisi kemiskinan, dan latar belakang geografis daerah. Berbagai persoalan agraria dan pertanian mempunyai implikasi luas terhadap kehidupan petani/buruh tani. Macetnya agenda pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan membuat petani/buruh tani semakin tidak berdaya. Dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kerakyatan dan pertumbuhan yang tidak merata menimbulkan berbagai dampak sosial yaitu tingginya tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan mencapai 35,1 % (Maswita Djaya, 2006), bahkan ada kemungkinan bertambah dengan adanya bencana alam yang terjadi di beberapa daerah di Jawa. Apabila
kemiskinan tinggi akan
berdampak timbulnya kriminalitas , jika kemiskinan terjadi didesa yang usaha pokoknya pertanian, tetapi usaha tersebut tidak dapat dipertahankan, maka yang terjadi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Meningkatnya penduduk kota berdampak pada makin tingginya kemiskinan kota. Pengangguran mencapai angka yang fantastis, yaitu 38 juta penduduk.
Ini berarti krisis multi dimensi membuat
petani/buruh tani rentan secara sosial maupun ekonomi.
2. Penyebab Kemiskinan Menurut Murniati (2004) dalam Indriyati dan Nugrahani (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi meluasnya kemiskinan dan keterbelakangan dalam masyarakat: a. Kepemilikan lahan: petani hanya memiliki lahan sempit yakni 0,2 ha bahkan ada
yang tidak memiliki sama sekali, maka mereka tidak
mempunyai lahan garapan.
15
b. Akses dan kontrol petani pada faktor-faktor produksi: petani mempunyai keterbatasan mengakses tanah, air, modal, teknologi, dan informasi. c. Penguasaan pasar: petani tidak mempunyai informasi mengenai pasar atau alternatif-alternatif produksi dan pasar yang ada. d. Ketiadaan jaminan usaha di sektor pertanian. Ketika tanaman padi diserang hama atau terjadi over produksi petani dipastikan mengalami kerugian.
Jika kondisi kemiskinan tersebut tidak segera diatasi, maka akan membawa akibat pada petani/ buruh tani yang sangat kompleks, antara lain adalah : a. Dampak sosial akan terwujud dengan meningkatnya urbanisai ke kotakota besar dan bekerja di luar negeri. Akibatnya sektor pertanian terabaikan. b. Dampak ekonomi akan terwujud dengan berubahnya peran petani dari produsen menjadi konsumen. Petani membeli semua kebutuhannya: bibit, pupuk, obat-obat anti hama. Peran konsumen tersebut membuat petani tergantung pada pabrik, kredit usaha tani maupun rentenir. Rendahnya penghasilan makin jauhnya petani mengakses pendidikan dan kesehatan. c. Dampak politik akan terwujud yaitu petani menjadi obyek berbagai organisasi politik yang mengatasnamakan mereka tetapi sebenarnya justru membuat petani makin terpuruk. Pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan (developmentalisme) dipertentangkan dengan pertanian tradisional untuk menghilangkan pertanian yang berbasis masyarakat dan kearifan budaya lokal.
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
16
kehidupan yang bermartabat (Bapenas, 2005). Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan
manusia
dan
indikator
kemiskinan
menunjukkan
ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Philipina. Permasalahan kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dilihat dari terbatasnya : kecukupan dan mutu pangan; akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan berusaha, layanan perumahan, layanan air bersih dan aman, serta sanitasi; lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; memburuknya kondisi sumberdaya lam dan lingkungan hidup; lemahnya jaminan rasa aman; dan lemahnya partisipasi. Kemiskinan dapat disebabkan beberapa faktor, seperti yang dikemukakan oleh Sharp dkk, (1976) dalam Wuri
(2009) yang
mengindentifikasikan penyebab kemiskinan dapat dipandang dari sisi ekonomi, yaitu: ada ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan, ada perbedaan kualitas sumber daya manusia, dan produktivitas rendah sehingga upah yang diterima juga rendah. Selain itu kemiskinan disebabkan ada perbedaan akses
dalam
modal.
Kemiskinan
memang
tidak
dapat
dihilangkan, namun perlu dilakukan upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Hal ini yang terus diupayakan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemsikinan, salah satu cara mengentaskan kemiskian yaitu dengan memberdayakan masyarakat melalui PNPM.
3. Kemiskinan dan Arah Kebijakan Pembangunan
17
Pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan dititikberatkan kepada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus sebagai sumberdaya manusia pembangunan yang harus senantiasa ditingkatkan kualitas dan martabatnya. Pembangunan yang bertumpu pada peran serta masyarakat (people driven) dilaksanakan secara merata di semua lapisan masyarakat. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan antar kelompok atau golongan masyarakat (sosial). Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap pelaku ekonomi. Menurut Tjokrowinoto (1999), Keadaan kemiskinan pada umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Selain itu, berdasarkan pola waktunya kemiskinan dapat dibedakan menjadi: persistent poverty,
cyclical poverty, seasonal poverty, dan accidenal poverty. Pengertian persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Umumnya menimpa wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang kritis dan atau terisolasi. Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Sementara itu seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti yang terjadi pada usahatani tanaman pangan dan nelayan. Pola yang lain adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan
tertentu
yang
menyebabkan
menurunnya
tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat. Penduduk miskin erat kaitannya dengan wilayah miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang tertinggal besar kemungkinan menyebabkan penduduknya miskin. Oleh karena itu pendekatan pemecahan kemiskinan dapat pula dilakukan terhadap pengembangan wilayah atau desa yang bersangkutan.
18
Apabila dikaji terhadap faktor penyebabnya, maka terdapat kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan yang belum seimbang dan hasilnya belum terbagi merata. Hal ini disebabkan oleh keadaan kepemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang,
dan
memperoleh
ketidaksamaan
pendapatan
kesempatan
akan
menyebabkan
dalam
berusaha
keikutsertaan
dan dalam
pembangunan yang tidak merata pula. Menurut Maskun, S., (1997), kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari kungkungan kemiskinan yang menghimpit. Dalam
rangka
penanggulangan
kemiskinan,
maka
kebijaksanaan
dituangkan dalam tiga arah kebijaksanaan. Pertama kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan kepada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan
setiap
upaya
penanggulangan
kemiskinan;
kedua
kebijaksanaan langsung yang ditujukan pada golongan masyarakat berpenghasilan
rendah;
dan
ketiga,
kebijaksanaan
khusus
yang
dimaksudkan untuk mempersiapkan masayarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, sekaligus memacu
dan memperluas upaya
untuk menanggulangi
kemiskinan. Saat ini, mengingat pentingnya program kemiskinan, pemerintah telah menyusun lembaga, dan strategi kebijakan, program yang mudah dan implementatif. Untuk pemerintah kabupaten, lembaga yang berkompeten dengan kemiskinan adalah: BKKBN, Depkes, Depdiknas, BPS, PMK, Bagian Sosial, dan sebagainya. Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal menunjukan kondisi yang lebih kompleks
19
karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Oleh karenanya, program akan berjalan efektif apabila memperhatikan unsur kedua-duanya. Kebijakan yang keliru dapat menyebabkan suatu keadaan kemiskinan yang semakin
mengkhawatirkan.
Ketidakmampuan
masyarakat
dalam
menyediakan kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan, merupakan tantangan bagi seluruh stake holder. Berbagai persoalan agraria dan pertanian mempunyai implikasi luas terhadap kehidupan petani/buruh tani. Agenda pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tersendat membuat petani/buruh tani semakin tidak berdaya. Dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kerakyatan dan pertumbuhan yang tidak merata menimbulkan tingginya tingkat kemiskinan (Maswita Djaya, 2006). Mengukur kemiskinan tidak mudah, karena sangat tergantung
pada
interpretasi
miskin.
Misalnya
secara
psikologis, seseorang merasa miskin karena muncul suatu perasaan dari individu-individu anggota masyarakat yang selalu membandingkan dirinya dengan individu lain dalam suatu
masyarakat
(reference
group)
dan
seseorang
tersebut menjadi bagian dari miskin. Kemiskinan terjadi di mana saja, termasuk di negara-negara maju yang secara absolut masyarakatnya telah jauh di atas garis kemiskinan. Jepang
sebagai
negara
post-industry,
rata-rata
pendapatannya telah jauh melampaui garis kemiskinan absolut, tetapi masih banyak pula orang Jepang yang
20
merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaan relatif (Winarni, 1994) Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan
multidimensi,
sehingga secara umum masyarakat miskin adalah suatu kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentaan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya
secara
layak.
Mengingat
persoalan
struktural
dan
multidimensi tersebut, maka upaya penanggulangan sebaiknya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri, tentunya dengan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah, maupun pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil lainnya, sehingga proses penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang akan menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan guna meningkatkan kehidupannya yang lebih layak (Sukesi, K. 2008: 1). Terdapat dua macam kemiskinan, yakni kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan yang bersifat absolut (relative and absolute poverty). Kemiskinan absolut adalah ukuran
kemiskinan
dengan
mengindikasikan
jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kemiskinan dengan yang
relatif
adalah
mengindikasikan diterima
kemiskinan
pangsa
masing-masing
diukur
pendapatan golongan
relatif nasional
pendapatan
(Kuncoro, 1997; Todaro dan Smith S, 2004, Staff Kementrian Bidang Kesra RI, 2007).
21
Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi individu, kelompok, maupun situasi kolektif masyarakat. Kemiskinan bersifat masal dan parah pada umumnya terdapat di negara berkembang. Namun, terdapat bukti bahwa kemiskinan juga ada di negara maju. Di negara berkembang, kemiskinan sangat terkait dengan aspek struktural. Misalnya sistem ekonomi yang tidak adil, merajalela KKN, ada diskriminasi sosial, atau tidak ada jaminan sosial. Sedangkan kemiskinan di negara maju lebih bersifat individual. Misalnya mengalami kecacatan (fisik atau mental), ketuaan, sakit yang parah dan berkepanjangan, atau kecanduan alkohol. Kondisi ini biasanya melahirkan tuna wisma yang berkelana kesana kemari atau keluarga tunggal, yang secara umum dialami ibu-ibu yang hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah, seperti kupon makanan atau tunjangan keluarga (Suharto, 2009). Oleh karena itu selain memahami permasalahan kemiskinan perlu memahami pula masalah pemberdayaan masyarakat.
4. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred
participatory, empowering and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep- konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Menurut Usman, S., (1998) pelaksanaan strategi pemberdayaan masyarakat diperlukan suatu transformasi peranan pemerintah daerah yang semula inisiator berubah menjadi fasilitator. Perubahan paradigma baru ini ditetapkan dalam strategi pembangunan yang ditawarkan, antara lain:
22
a. Memperkuat, memperbaiki dan menciptakan kapasitas kelembagaan produksi, pendapatan dan pengeluaran; b. Meningkatkatkan
dan
melibatkan
peran
masyarakat
dalam
perencanaan pembangunan; c. Mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat yang difasilitasi oleh Pemda; dan d. Meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada kemampuan manusia
(capacity
building)
yang
ditumbuhkembangkan
oleh
masyarakat melalui strategi pemberdayaan.
Sedangkan Jalaludin, R., (1999) berpendapat upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, antara lain : a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling); dengan kata lain, adanya pemihakan kepada masyarakat untuk maju dan berkembang karena pada dasarnya setiap manusia atau masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Sehingga pengertian pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun daya tersebut dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh masyarakat serta mengembangkan potensi tersebut; dan b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) dengan
kata
kuncinya
adalah
penyiapan.
Diperlukan
untuk
menciptakan iklim dan suasana yang kondusif, meliputi langkahlangkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opporunity) yang akan membantu masyarakat lebih berdaya guna. c. Memberdayakan masyarakat mengandung makna melindungi (kata kuncinya adalah perlindungan kepada masyarakat). Dalam proses pemberdayaan masyarakat harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena ketidakberdayaan dalam menghadapi yang
23
kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada masyarakat lemah atau miskin amat mendasar sifatnya, karena melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup dari interaksi, karena hal itu akan mengkerdilkan dan melunglaikan masyarakat yang lemah. Dengan kata lain, melindungi harus ditinjau sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang atau sehat, serta eksploitasi yang kuat atas masyarakat yang tidak berdaya. Dalam konsep pembangunan, pemberdayaan adalah menjadikan masyarakat bukan sebagai obyek dari berbagai proyek pembangunan yang dilaksanakan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan. Konsep pemberdayaan masyarakat muncul karena ada kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya modelmodel pembanguan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai (Friedman (1992) dalam Ginanjar (1997).
B. Mekanisme Upaya Pengentasan Kemiskinan Untuk mendukung strategi yang tepat dalam mengurangi kemiskinan, diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya yang terbagi menurut jangka waktu: pendek, menengah dan panjang (Tambunan, 2011). Jangka pendek yaitu pembangunan sektor pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan. Hal ini sangat penting melihat kenyataan bahwa di satu pihak, hingga saat ini, sebagian besar wilayah Indonesia masih perdesaan dan sebagian besar penduduk tinggal dan kerja di perdesaan. Demikian juga sebagian besar penduduk bekerja atau mempunyai sumber pendapatan di pertanian dan usaha kecil di sektorsektor pertanian. Di pihak lain, terutama pada awalnya sumber utama kemiskinan berasal dari pedesaan.
24
Selain itu dalam intervensi jangka pendek yaitu manajemen lingkungan dan sumber daya alam (SDA) (Tambunan, 2011). Hal tersebut penting karena hancurnya lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya
menjadi
faktor
pengerem
proses
pembangunan
dan
pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan kemiskinan. Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan, peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan, dan proteksi sosial termasuk pembangunan sistem jaminan sosial. Sedangkan intervensi jangka menengah dan panjang menurut Tambunan (2011) sebagai berikut: a. Pembangunan/penguatan sektor swasta. Peranan aktif sektor
ini
sebagai
motor
utama
penggerak
ekonomi/sumber pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan b. Kerjasama regional. Hal ini menjadi penting dalam kasus
Indonesia
sehubungan
dengan
pelaksanaan
otonomi daerah. Kerjasama yang baik dalam segala hal baik di bidang ekonomi, industri, dan perdagangan, maupun dapat
non
ekonomi
memperkecil
kesenjangan
antara
seperti
pembangunan
kemungkinan propinsi-propinsi
dengan propinsi-propinsi
sosial
meningkatnya yang
kaya
yang miskin atau tidak
punya SDA.
25
c. Manajemen
pengeluaran
administrasi.
Perbaikan
pemerintah
(APBN)
manajemen
dan
pengeluaran
pemerintah untuk kebutuhan publik, termasuk juga sistem administrassinya sangat membantu usaha untuk meningkatkan
efektivitas
pemerintah
biaya
dari
untuk
pengeluaran membiayai
penyediaan/pembangunan/penyempurnaan
fasilitas-
fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, olah raga, dan lain-lain. d. Desentralisasi. Tidak hanya desentralisasi fiskal, tetapi juga dalam penentuan strategi/kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial di daerah sangat membantu usaha pengurangan kemiskinan di dalam negeri, karena hal ini memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat daerah untuk aktif berperan dan dapat menentukan sendiri trategi atau pola pembangunan ekonomi dan sosial
di
komparatif
daerah
sesuai
faktor-faktor
dan
kompetitif
yang
keunggulan
dimiliki
masing-
masing daerah.
26
e. Pendidikan
dan
kesehatan.
pendidikan
dan
kesehatan
Tidak yang
diragukan baik
bagi
lagi, semua
anggota masyarakat di suatu negara merupakan prakondisi bagi keberhasilan dari kebijakan anti kemiskinan dari pemerintah negara tersebut. Oleh karena itu, penyediaan pendidikan terutama dasar dan pelayanan kesehatan
adalah
tanggung
jawab
mutlak
dari
pemerintah, di manapun juga, baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Pihak swasta dapat membantu dalam penyediaan tersebut, tetapi tidak mengambil alih peranan pemerintah. f. Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan. Sama seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan, penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan, terutama pembangunan fasilitas-fasilitas umum/utama seperti pemukiman dan perumahan bagi kelompok masyarakat miskin, fasilitas sanitasi dan transportasi, sekolah, kompleks olah raga, dan infrastruktur yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan terutama di perkotaan.
27
g. Pembagian tanah pertanian yang merata. Pembagian tanah yang merata atau dikenal dengan land reform , terutama sangat penting di negara berkembang karena sebagai
suatu
sumber
penting
bagi
kehidupan
di
perdesaan. Lagi pula, banyak studi telah membuktikan bahwa
pemilik-pemilik
menggunakan
tanah
kecil
lebih
dibandingkan
efisien
dalam
pemilik-pemilik
besar, dan sistem bagi hasil, seperti yang dipraktikkan secara luas di Indonesia, kurang efisien dibandingkan pengolahan oleh pemilk sendiri. Berdasar bukti ini, Deolalikar,
dkk
menyimpulkan tidak
akan
pemerataan
(2002) bahwa
dalam
pelaksanaan
mengakibatkan dan
Tambunan
efissiensi.
trade
(2011)
reformasi
off
Reformasi
tanah antara
tanah
jiga
memperkuat posisi petani kecil/gurem.
C. PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Kebijakan
PNPM
sebagai
salah
satu
program
pemerintah berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan pembangunan daerah yang merujuk pada
28
pembangunan
nasional
yakni
pembangunan
manusia
seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Program pemerintah yang terpilih baik antar aspek maupun sub aspek dalam mengentaskan kemiskinan perlu dipadukan menjadi beberapa program yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan rumah tangga miskin di semua aspek dan dapat berkesinambungan dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat rumah tangga miskin, meningkatkan peluang kerja dan memberantas kemiskinan (Papanek, G. 2007; Tri Sunarno, dkk., 2010). Kenyataannya, program PNPM tidak berjalan efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena program PNPM kurang ada evaluasi dan pengawasan. Program hanya memfokuskan pada perguliran dana, dan tidak ada pendampingan.selain itu program pengentasan kemiskinan yang lain seperti BLT, Raskin dan kebijkan pengentasan kemiskinan lain kurang berhasil. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya dalam mengurangi kemiskinan yaitu dengan menggunakan pendekatan yang tepat diantaranya pendampingan yang berbasis lokal. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan yang tergolong berhasil yaitu program PNPM Mandiri. Program PNPM Mandiri lebih ditekankan pada
masyarakat yang lebih berperan aktif mulai pemilihan program
hingga monitoring dan evaluasinya (monev). Program-program yang bersifat top-down tingkat keberhasilannya rendah, karena masyarakat tidak dilibatkan dalam menentukan program dan tidak terlibat dalam monev. Masyarakat merasa mendapatkan hibah dari pemerintah dan tidak perlu mengembalikan lagi (khususnya program kredit usaha mikro). Dengan demikian perguliran dana akan terhenti. Program-program yang bersifat murni
bottom-up pun
masih
belum
optimal,
meskipun
tingkat
kegagalannya tidak sebesar top-down. Masyarakat sasaran program adalah masyarakat kurang mampu dalam segala aspek, sehingga dalam penentuan program dan monev tidak semuanya ditentukan oleh penerima program.
29
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kombinasi top-down dan
bottom-up dalam menentukan program kemiskinan. Pada proses penentuan program perlu melibatkan masyarakat dan pada saat penentuan program, masyarakat perlu didampingi oleh tenaga ahli (expert) yang mengerti dengan permasalahan di lokasi. Model-model seperti ini diperkirakan akan meningkatkan keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan.
D. Rancangan
Teoritis
Model
PNPM
Efektif
dalam
Pengentasan
Kemiskinan Upaya
pemberdayaan
masyarakat
yang
berkaitan
dengan
pengentasan kemiskinan sudah dilakukan oleh Indriyati dan Nugrahani (2010) dengan membuat sistem strategi penangulangan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan dengan mempertimbangkan potensi yang
ada. Upaya
penanggulangan
kemiskinan
dilakukan
dengan
memberikan pendampingan melalui pendekatan humanistik (Indriyati, dkk, 2009). Selain itu pengurangan kemiskinan dapat pula dengan memberi motivasi
dan
pendampingan
manajemen
usaha sehingga
mampu
meningkatkan penghasilan yang akhirnya akan mengurangi kemiskinan pada kelompok perempuan. Studi yang berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan sudah dilakukan oleh Indriyati, dkk (2009) dan Indriyati dan Nugrahani (2010) tetapi masih terbatas pada kelompok usaha perempuan di daerah Bantul dan Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dengan memperluas domain dari penelitian sebelumnya yaitu dengan menganalisis efektivitas pelaksanaan PNPM yang ada di D.I.Yogyakarta dan tidak terbatas pada perempuan saja. Gunari (2007) melakukan studi berkaitan dengan model UKM sukses yang terdiri dari dua bagian utama penciri keberhasilan suatu usaha, yaitu aspek usaha dan aspek pengusaha yang kemungkinan dapat diimplikasikan pada PNPM sebagai acuan untuk menganalisis efektivitas PNPM.
30
PNPM Aspek Pengusaha/Anggota PNPM: 1. Keinovatifan melihat peluang 2. Kesanggupan menanggung resiko 3. Komitmen terhadap diri dan pihak lain 4. Kemitraan
Aspek Usaha/Lembaga PNPM: 1. Produksi, Keuangan, SDM dll 2. Fungsi Umum manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengawasan) 3. Kemitraan
Biaya vs Manfaat
Gambar 1. Rencana penilaian efektivitas PNPM
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan pendekatan interpretatif
dan analisis
secara kuantitas dan kualitas dengan menggunakan metode observasi dan survey pada PNPM yang ada di D. I. Yogyakarta.
B. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah PNPM secara unit usaha maupun anggota PNPM yang terdiri dari secara individu maupun kelompok PNPM. Penentuan subyek secara acak dan secara convinience yang berarti secara keseluruhan digunakan sebagai subyek penelitian.
C. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden
yang terdiri anggota PNPM, dan pengurus PNPM.
Data
31
sekunder akan dikumpulkan dari instansi terkait (PNPM). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun secara terstruktur.
D. Analisis Data Penelitian kualitatif
dan
ini
menggunakan
analisis
kuantitatif.
analisis
deskriptif
Analisis
kuantitatif
dengan menghitung prosentase dari data yang diperoleh berdasar hasil survey dan pengamatan, sedangkan analisis kualitatif dilakukan dengan mendiskripsikan dari jawaban yang diperoleh dari responden. penelitian ini dianalisis setelah data
Adapun proses selanjutnya
berhasil dikumpulkan kemudian
direduksi yaitu data yang ada disaring melalui pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan di lapangan sehingga mendapatkan data yang diharapkan. Kemudian dalam analisis penyajian data berupa sajian naratif dari data yang dimiliki dari berbagai informasi tersebut akan digabungkan agar tersusun dalam bentuk terpadu dan mudah dipahami, dibuat deskripsi, dan dilihat tendensi-tendensinya, kemudian
dibuat interpretasi, yang
selanjutnya hasil interpretasi tersebut apakah sudah menjawab pertanyaanpertanyaan dalam penelitian, lalu ditempatkan sebagai kesimpulan hasil penelitian efektivitas program PNPM di D.I. Yogyakarta dalam mengentaskan kemiskinan.
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden Responden penelitian ini terdiri dari 78 orang yang mengikuti program PNPM di DIY, dengan menyebar di 4 (empat) wilayah yaitu:
di Kabupaten Bantul, Sleman,
Kulon Progro, dan Gunung Kidul, sedangkan untuk di
33
wilayah
Kodya
Yogyakarta
tidak
disertakan
karena
program berbeda, apabila di kota yaitu program P2KP. 1. Profil Berdasar Jenis Kelamin, Usia, dan Wilayah Berdasar jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah wanita yaitu 71 orang atau 91% dari total responden sedangkan pria hanya 7 orang atau 9%. Hal ini menunjukkan yang lebih aktif dalam kegiatan PNPM
adalah
perempuan.
Sedangkan
berdasar
usia
menunjukkan umur reponden antara 25 tahun hingga 34 tahun sebanyak 7 orang, usia responden 35-44 tahun sebesar 28 orang, sedangkan paling banyak responden berusia 45-54 tahun. Hal ini menunjukkan sebagian besar responden dalam usia produktif, bahkan usia diatas 44 tahun
masih
aktif
dalam
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat, terlebih lagi paling tua responden berusia 65 tahun yang giat dalam kegiatan PNPM. Adapun rincian profil responden berdasar jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Profil Responden (n=78) No
Keterangan
Jumlah
Persentas
34
e 1 2
Berdasar
jenis Pria
Kelamin
Wanita
Berdasar Umur
25 – 34
7
8,97%
71
91,03%
7
8,97%
28
35,89%
32
41,02%
10
12,82%
1
1,28%
th 35 – 44 th 45 – 54 th 55 – 64 th �
64 th
Total
78
2. Profil Berdasar Wilayah Profil
responden
berdasar
wilayah
menunjukkan
sebagian besar responden bertempat tinggal di Bantul yaitu 51 orang, di Kulon Progo 6 orang, Sleman 14 orang, dan Gunung Kidul 7 orang. Berikut Tabel 3 menunjukkan responden berdasar wilayah. Tabel 3. Profil Responden berdasar Wilayah No
Berdasar Wilayah
Jumlah
Persentas e
1
Sleman
14
17,95%
35
2
Kulon Progo
3
Bantul
4
Gunung Kidul Total
6
7,69%
51
65,38%
7
8,98%
78
3. Profil Berdasar Lama menjadi Anggota PNPM Berdasar lama responden menjadi anggota PNPM dapat ditunjukkan paling lama responden ikut anggota PNPM selama 11 tahun ada 8 orang atau 10,3% dari total responden sedangkan sebagian besar lamanya responden menjadi anggota PNPM selama 2 tahun yaitu 26 orang atau 33,3 % dari total responden. Berikut Tabel 4 menunjukkan profil berdasar lama anggota ikut PNPM. Tabel 4. Profil berdasar lama keanggotaan PNPM No
Berdasar lama anggota
Jumlah
Prosentase
1
1 tahun
11
14,10%
2
2 tahun
26
33,33%
3
3 tahun
20
25,65%
4
4 tahun
7
8,97%
5
5 tahun
2
2,57%
6
6 tahun
4
5,12%
7
11 tahun
8
10,26%
Total
78
100%
4. Profil Berdasar Jenis kelompok yang memanfaatkan dana PNPM
36
Berdasar Jenis kelompok yang memanfaatkan dana PNPM dapat ditunjukkan bahwa terdapat 26 kelompok pemanfaatan dana PNPM. Paling banyak kelompok Keputren Lestari yang memanfaatkan dana bergulir PNPM. Terdapat 4 (empat) kelompok dasa wisma yang memanfaatkan dana PNPM, yaitu kelompok dasa wisma kerto tengah, kloron, keputrn, dan segoroyoso. Berikut Tabel 5 menunjukkan profil berdasar jenis kelompok yang memanfaatkan dana PNPM. Tabel 5. Jenis kelompok usaha yang memanfaatkan dana PNPM No 1 2 3 5 6 7 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kelompok Bina Sejahtera Ceme Dawis Kerto Tengah Dawis I Kloron Dawis Keputren Dawis Segoroyoso Kauman Keputren Lestari Makmur Jaya Mandiri Mawar Kauman Pkk Wonolelo Restu Bunda Sembodro Spp Anggrek Spp Dahlia Spp Mawar Spp Mekar Spp Permata Bunda Spp Sakura Uppks Dlingo Uppks Seroja Total
Frekwensi 5 8 3 3 1 1 2 10 3 5 1 2 4 8 2 1 2 3 1 2 5 6 78
% 6.4 10.3 3,9 3,9 1.3 1.3 2.6 12.8 3.8 6.4 1.3 2.6 5.1 10.3 2.6 1.3 2.6 3.8 1.3 2.6 6.4 7.7 100.0
37
5. Profil Berdasar Suku Bunga Dana Bergulir PNPM Berdasar suku bunga dana bergulir PNPM dapat ditunjukkan bahwa suku bunga dana bergulir PNPM rata-rata 1,5 % per bulan. Suku bunga PNPM lain yang ditawarkan yaitu 1 persen dan 1,67 persen per bulan. Berikut Tabel 6 menunjukkan profil berdasar suku bunga dana bergulir PNPM. Tabel 6. Profil Berdasar Suku Bunga Dana PNPM No
Suku Bunga Per bulan
Frekwensi
Prosentase
5
6.4
1
1.0
2
1.50 per bulan
65
83.3
3
1.67 per bulan
8
10.3
Total
78
100.0
6. Profil Berdasar Modal Awal Usaha Berdasar modal awal usaha dari anggota PNPM ketika melakukan usaha pertama kali yaitu modal sejumlah Rp. 1.000.000 dan ada 23 orang, sedangkan modal awal yang paling tinggi yaitu Rp. 10.000.000 ada 1 orang responden, sedangkan modal awal usaha yang paling rendah yaitu Rp. 500.000 dan ada 7 orang yang membuka usaha dengan modal tersebut. Berikut Tabel 7 menunjukkan profil berdasar modal awal usaha sebagai berikut. Tabel 7. Profil Berdasar Modal Awal usaha No 1 2 3 4 5
Modal Awal 500000 1000000 1500000 2000000 2500000
Jumlah 7 23 3 21 2
Persentase 9.0 29.5 3.8 26.9 2.6
38
6 7 8 9 10
3000000 5000000 6000000 7000000 10000000 Total
12 7 1 1 1 78
15.4 9.0 1.3 1.3 1.3 100.0
7. Profil Berdasar Jenis Usaha Berdasar
jenis
usaha
yang
dilakukan
responden
dalam
memanfaatkan dana PNPM terbagi menjadi 3 bagian yaitu : kerajinan, pertanian dan perikanan, dan dagang. Berdasar hasil survey menunjukkan paling banyak responden sebagai pedagang kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari yaitu ada 50 orang. Sedangkan jenis usaha lain seperti usaha kerajinan bambu dan pertanian atau perikanan kurang lebih ada 4 responden. Berikut Tabel 8 menunjukkan profil berdasar jenis usaha anggota PNPM. Tabel 8. Profil berdasar jenis usaha anggota PNPM. No
Jenis usaha
1
Kerajinan: 1. Anyaman enceng 2. Kerajinan bambu 3. Menjahit Dagang:
2
3
Jumlah
Persentase
1 4 1
1.3 5.1 1.3
1. Dagang kelontong Dagang arang dan makanan matang 2. Dagang dan catering 3. Dagang hp dan sembako
50
64.1
4. Dagang lele 5. Dagang sayur 6. Dagang susu kedelai 7. Jual koran Pertanian: 1. Perikanan/pertanian/nela yan
1.3 1
1.3
2
2.6
2 1 1 2
2.6 1.3 1.3 2.6
4
5.2
39
2. Tambak udang 3. Tambak udang dan dagang 4. Ternak Total
3
3.8
1
1.3
4 78
5.2 100.0
8. Profil Berdasar kesanggupan membayar Berdasar kemampuan membayar yang dilakukan responden dalam memanfaatkan dana PNPM terbagi menjadi 3 bagian yaitu : tidak mampu, cukup mampu, mampu, dan sangat mampu. Berdasar hasil survey menunjukkan paling banyak responden merasa mampu membayar dana yang ditawarkan dari PNPM yaitu ada 47 orang atau 60,3 persen. Sedangkan responden semuanya merasa cukup mampu bahkan sangat mampu, dan tidak ada responden yang merasa tidak mampu membayar. Berikut Tabel 9 menunjukkan profil berdasar kesanggupan membayar dana PNPM dari responden
Tabel 9. Profil berdasar Tingkat kemampuan pembayaran No
Keterangan
Jumlah
Persentase
1
Tidak mampu
0
0
2.
Cukup Mampu
30
38,4
3
Mampu
47
60,3
4
Sangat mampu
1
1,3
Total
78
100
9. Profil Berdasar Frekwensi Pembayaran Dana Bergulir Berdasar frekwensi pembayaran dana bergulir dari responden yang menjadi anggota PNPM dapat ditunjukkan bahwa rata-rata responden membayar tiap bulan satu kali atau 12 kali sebanyak 62 orang atau 79,5 persen, sedangkan lamanya satu setengah bulan ada 5 orang, ada 6 orang
40
yang membayar tiap 2 bulan sekali atau 6 kali pembayaran, dan ada 4 orang yang membayar 4 bulan sekali tiap tahun atau 3 kali dalam satu tahun. Berikut Tabel 10 menunjukkan profil berdasar frekwensi pembayaran dana bergulir PNPM.
Tabel 10. Tingkat kemampuan pembayaran responden No
Keterangan
Frekwensi
Persentase
1
Satu Bulan
62
79,5
Satu Setengah 2
Bulan
5
6,4
3
Dua Bulan
6
7,7
4
Tiga Bulan
4
5,1
5
Empat Bulan
1
1,3
Total
78
100
10.
Profil
Pendapatan
responden
sebelum
menjadi
anggota PNPM Berdasar pendapatan responden anggota PNPM dapat ditunjukkan bahwa
paling
sedikit
responden
sebelum
ikut
anggota
PNPM
berpenghasilan antara Rp. 100.000 hingga Rp. 500.000 sejumlah 35 orang atau 44,87 %, sejumlah 39 orang berpenghasilan antara diatas Rp. 500.000 hingga Rp. 100.000 atau 50% dari total responden yaitu 78 orang dan dalam rentangan penghasilan ini yang paling banyak diperoleh dari responden, sedangkan responden yang berpenghasilan diatas Rp. 1.000.000 hanya 4 orang. Berikut Tabel 11 menunjukkan profil berdasar pendapatan responden sebelum menjadi anggota PNPM.
Tabel 11. Pendapatan responden Sebelum ikut PNPM 41
No
Jumlah
Frekwensi
Persentase
1
100.000 – 500.000
35
44,87
2
501.000 – 1.000.000
39
50,00
3
1.000.001 – 1.920.000
4
5,13
Total
78
100.0
11.
Profil
Berdasar
Pendapatan
responden
setelah
menjadi anggota PNPM Berdasar pendapatan responden setelah menjadi anggota PNPM dapat ditunjukkan bahwa terdapat kenaikan pendapatan setelah responden mengikuti anggota PNPM yang semula berpenghasilan antara Rp. 100.000 hingga Rp. 500.000 terdapat 35 orang sekarang hanya 19 orang atau 24,36 %, dan yang semula 39 orang berpenghasilan antara diatas Rp. 500.000 hingga Rp. 100.000 atau 50% menjadi 34 orang atau 43,59 % dari total responden, sedangan yang semula hanya 4 orang atau 5,13% yang berpenghasilan diatas Rp. 1.000.000 meningkat menjadi 25 orang atau 32,05%,. Berikut Tabel 12 menunjukkan profil berdasar pendapatan responden setelah menjadi anggota PNPM. Tabel 12. Pendapatan Responden setelah mengikuti PNPM No
Jumlah
Frekwensi
Persentase
1
100.000 – 500.000
19
24,36
2
501.000 – 1.000.000
34
43,59
3
1.000.001 – 1.920.000
25
32,05
Total
78
100.0
42
12.
Profil Berdasar keuntungan setelah menjadi anggota
PNPM Berdasar keuntungan responden dalam berusaha setelah menjadi anggota PNPM dapat ditunjukkan bahwa paling banyak responden memperoleh keuntungan antara Rp. 401.000 hingga Rp.500.000 ada 25 orang atau 32,05% dari total responden sedangkan yang paling sedikit responden memiliki keuntungan Rp. 20.000 hingga Rp. 100.000 yaitu ada 21 orang atau 26,92%, sedangkan tingkat keuntungan paling tinggi mencapai diatas Rp. 500.000 yaitu 1 orang atau 1,28% dari total. Berikut Tabel 13 menunjukkan profil berdasar tingkat keuntungan usaha.
Tabel 13. Profil berdasar keuntungan setelah PNPM No
Keuntungan
Jumlah
Persentase
1
20.000 – 100.000
21
26,92
2
101.000 – 200.000
19
24,36
3
201.000 – 300.000
9
11,54
4
300.000 – 400.000
3
3,85
5
401.000 – 500.000
25
32,05
6
� 500.000
1
1,28
Total
78
100
B. Analisis Keefektifan PNPM Berdasar hasil analisis data profil responden analisis
efektivitas
PNPM
dapat
dilakukan
dan
beberapa
43
kesimpulan
bahwa
responden
terdiri
78
orang
dan
sebagian besar wanita yaitu 70 orang dan laki-laki hanya 7 orang. Berikut analisis keefektifan PNPM yang ditinjau dari beberapa aspek diantaranya: 1. Berdasar aspek anggota PNPM dapat dianalisis, bahwa: a. Keinovatifan Melihat peluang dari anggota masih cukup rendah hal ini dikaitkan dengan jenis usaha yang sudah dilakukan dengan rencana pengembangan usaha. Pertanyaan tentang jenis usaha yang dilakukan pada jenis PNPM, kurang lebih 75 persen responden menjalankan
usaha
dengan
menunjukkan
responden
lebih
dagang
kelontong.
menyukai
tidak
Hal
ini
melakukan
perubahan atau proses produksi, atau kurang membuat inovasi baru, karena lebih menyukai dengan menjual barang dan kurang menyukai berkreasi seperti memproduksi barang atau kerajinan.
b. Kesanggupan resiko, dalam hal ini responden sebagian
besar
sanggup bahkan sampai 90 persen responden mampu dalam menanggung resiko. Selain itu juga dapat ditunjukkan dengan data responden dalam membayar angsuran yang dilakukan setiap bulan. c. Komitmen ditunjukkan dengan lamanya anggota mengikuti kegiatan kelompok bahkan ada yang sampai 11 tahun. Hal ini berati responden memiliki komitmen tinggi dalam keanggotaan kelompok usaha atau PNPM, sehingga tawaran dana bergulir dari PNPM kemungkinan juga akan mampu dilakukan dengan baik. d. Kemitraan, dalam hal ini masih terbatas pada mitra yang ada di kelompok atau tawaran pemerintah, sehingga apabila kelompok akan mengembangkan pemasaran masih mengalami kekurangan.
44
Ditunjukkan ketika responden ditanya mengenai pihak yang telah melakukan kerja sama baik dalam pemasaran maupun permodalan rata-rata mereka menjawab hanya dari kelompok usaha yang diikuti anggota saja.
2. Analisis berdasar aspek lembaga PNPM: a. Produksi,dan pemasaran. Dalam hal produksi dapat dikatakan lembaga PNPM kurang memperhatikan aspek produksi. Hal ini ditunjukkan dengan pertanyaan yang ditujukan kepada responden tentang kemungkinan akan mengembangkan usaha, rata-rata responden menyatakan untuk melanjutkan usaha seperti biasanya yang berarti usaha yang sudah dilakukan sebelumnya. Namun, untuk pemasaran hasil produksi ternyata dari beberapa responden measih rendah alam hal pemasaran, karena terbatas pada lokasi sekitar usaha yang dijalankan. Hal ini berkaitan kurangnya mitra yang dijalin oleh PNPM.
b. Keuangan. Berdasar aspek keuangan, dapat ditunjukkan bahwa PNPM menunjukkan lebih momfokuskan pada sisi keuangan terutama perguliran dana yang diberikan peada angoota PNPM. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan yang ditujukan pada PNPM dalam hal pengelolaan perguluran dana, sebagian besar merasa setuju dengan ketentuan yang diberikan dari lembaga PNPM dan tertib dalam membayar angsuran. Rata-rata PNPM lebih memperhatikan tentang keberhsilan pembayaran dana yang ditawarkan PNPM dibandingkan dengan ragam produksi dan pemasaran. c. Fungsi Umum Manajemen.
45
Meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Pada permasalahan perencanaan, lembaga PNPM cenderung kurang memperhatikan rencana produksi dan pemasaran yang difokuskan adalah rencana sistem pembayaran dana bergulir. Manajemen perencanaan yang diutamakan adalah berapa besar dana yang akan yang dipinjam oleh anggota dan seberapa besar kemampuan anggota
mengembalikan
dana
bergulir
tersebut.
Tentang
pengorganisasian, PNPM lebih memfokuskan pada organisasi yang sudah dijalankan dan kurang dalam hal menjalin mitra lain, sehingga pemasaran kurang berkembang. Demikian pula dalam hal pengawasan lebih diutamakan dari sisi pembayaran dana bergulir, kurang mendapat pengawasan dalam hal perluasan usaha.
3. Analisis berdasar biaya dan manfaat: Berdasar selisih pendapatan antara sebelum menjadi anggota PNPM
dibandingkan
menunjukkan
cukup
dengan mengalami
pendapatan
setelah
peningkatan
dari
PNPM jumlah
pendapatan semula. efektif dari perbedaan antara sebelum dan setelah PNPM dalam hal pendapatan. Pendapatan responden lebih dari satu juta yang semula hanya 4 orang meningkat menjadi 25 orang. Demikian pula dalam hal keuntungan atau selisih dari penjualan dengan biaya, sebagian besar responden memiliki keuantungan antara Rp.400.000 hingga Rp. 500.000 dalam waktu satu tahun. Apabila analisis biaya dan manfaat hanya mendasarkan pada biaya PNPM yang sudah dikeluarkan cukup dikatakan efektif namun sebatas pada usaha yang sudah berjalan, karena manfaat anggota mengikuti atau bergabung dalam PNPM juga cukup kondusif.
Tetapi
jika
dikaitkan
dengan
kemampuan
mengembangkan usaha dengan menjalin mitra di luar PNPM kurang efektif karena alokasi pengembangan usaha kurang diperhatikan.
46
BAB V
KESIMPULAN , IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasar
hasil
kuantitatif maupun
analisis
data
baik
secara
deskriptif
kualitatif menunjukkan menunjukkan
bahwa penelitian ini terdiri dari 78 responden yang menjadi anggota
Program
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
47
(PNPM) dan terdiri 26 anggota kelompok usaha. Studi ini dilakukan di empat kabupaten, yaitu: labupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Dari 78 anggota PNPM yang menjadi responden menunjukkan sebagian besar wanita yaitu 70 orang dan pria hanya 7 orang. Kelompok memanfaatkan Keputren
usaha dana
Lestari
dari
responden
bergulir
yaitu
PNPM
sebanyak
yang
sering
adalah
kelompok
10
kali
frekwensi
peminjaman selama periode pengamatan. Berdasar frekwensi pembayaran
menunjukkan
rata-rata
kelompok
usaha
membayar hutang atau dana bergulir PNPM yaitu sebesar 12 kali dalam satu tahun, yang secara umum 1 kali satu bulan. Berdasar hasil analisis efektivitas PNPM menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam menjalankan usaha dengan jenis berdagang kelontong. Untuk jenis usaha yang bersifat kegiatan memproduksi baik produksi barang maupun kerajinan masih sedikit. Padahal apabila dilihat berdasa potensi wilayah kelompok usaha tersebut maka dapat dimungkinkan
masih mampu
untuk dikembangkan menjadi pariwisata. Dalam hal kesanggupan menanggung resiko menunjukkan hampir secara keseluruhan dari responden merasa mampu untuk membayar dana bergulir dari PNPM yang dilakukan setiap bulan, atau satu setengah bulan, tergantung kesepakatan antara pengelola usaha dengan kelompok usaha. Keanggotaan responden dalam mengikuti kegiatan PNPM diperlukan komitmen yang tinggi dari anggota ada yang mengikuti keanggotaan PNPM
48
sampai 11 tahun. Dalam hal kemitraan, masih terbatas pada mitra yang ada di kelompok atau tawaran pemerintah. Analisis efektivitas PNPM dalam hal produksi dan pengembangan usaha, menunjukkan rata-rata responden memfokuskan pada produksi atau kegiatan yang sudah ada seperti keadaan-keadaan sebelumnya, misalnya dari jenis usaha responden dagang, maka apabila sudah mendapat tambahan modal mereka memperluas dari hasil yang sebelumnya atau hanya bersifat melakukan kegiatan rutin, dan kurang dalam pemikiran pengembangan usaha, misalnya dengan menjual hasil usaha ke toko atau supermarket terdekat, dan hal ini tidak mereka lakukan.Deikian pula dalam hal pemasaran, masih terbatas memasarkan hasil pada lokasi di sekitar usaha yang dijalankan dan kurang menjalin mitra diluar PNPM.
Berdasar aspek keuangan, dapat ditunjukkan bahwa PNPM lebih memfokuskan pada perguliran dana yang diberikan pada angota dan kurang memperhatikan keuangan dari kemungkinan pengembangan untuk produksi dan pemasaran. Sedangkan berdasar fungsi umum manajemen, meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan menunjukkan manajemen dalam hal perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan pada keanggotaan PNPM cukup aktif meskipun rencana pengembangan produksi dan pemasara kurang diperhatikan. Namun rencana sistem pembayaran dana bergulir lebih difokuskan. Manajemen perencanaan yang diutamakan adalah berapa besar dana yang akan yang dipinjam oleh anggota dan seberapa besar kemampuan anggota mengembalikan dana bergulir tersebut. PNPM lebih memfokuskan pada organisasi yang sudah dijalankan dan kurang dalam hal menjalin mitra lain, sehingga pemasaran kurang berkembang. Berdasar selisih pendapatan antara sebelum menjadi anggota PNPM dibandingkan dengan pendapatan setelah PNPM menunjukkan cukup mengalami peningkatan dari jumlah pendapatan semula. efektif dari perbedaan antara sebelum dan setelah PNPM dalam hal pendapatan.
49
B. Implikasi Untuk membuat profil PNPM di DIY ternyata tidak mudah karena memerlukan data yang cukup serta pengalokasian dari tiap wilayah atau kabupaten. Oleh karena itu dalam hal menilai efektivitas PNPM tidak hanya diperlukan dari sisi kuantitas keuangan saja, namun perlu juga dari sisi kualitas karena untuk menilai pengembangan usaha PNPM yang sudah dilakukan dan rencana yang akan dilakukan. C. Saran Diperlukan data yang cukup luas serta pengukuran efektivitas PNPM yang lebih tepat, karena pengukuran tingkat efektif sangat berkaitan dengan keberhasilan program yang secara umum sudah dilakukan oleh pemerintah setempat, dalam hal ini sudah diwakilkan oleh pengurus PNPM yang bertugas mendistribusiakan dana bergulir, namun kenyataannya kurang dalam hal pengembangan usaha, dan penjalinan mitra yang memungkinkan akan mempengaruhi dalam menilai tingkat keberhasilan PNPM.
50
DAFTAR PUSTAKA Ahluwalia, New
dan York:
Penentuan
Montek. S., 1976, Relative and Absolute Poverty., Oxford
University
Beberapa
Press.
Indikator
Dini:
BPS,
2000,
Tingkat
Sistem
Kemiskinan
Kabupaten (Penjelasan Ringkas).
Bappenas, 2005, “Hasil Kajian Pembelajaran dari Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan” Chambers, Robert, 1995. “Pembangunan Desa Mulai dari sekarang,” LP 3 ES, Jakarta Ginanjar, K., 1997, “Pembanguan Sosial Kebijaksanaan, dan Penerapan,” Jakarta
dan
Pemberdayaan,
Teori,
Gunari Budiretnowati, 2007. “Kajian Tentang Profil UKM Sukses,” Laporan Hasil Kajian Tentang Profil UKM Sukses. Kerjasama Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK dengan PT. Teknovasi Sejahtera Mandiri. Jakarta. Indriyati, Nugahani, Gunawan, Bahrum, dan Purwanti, 2009, ”IbM Kelompok Perempuan Usaha Pengolahan Makanan Hasil Laut di Pesisir Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul,” Laporan IbM. Indriyati, dan Nugahani, 2010, ”Pemberdayaan Perempuan Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Studi Tentang Program Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman),” Laporan Penelitian Studi Kajian Wanita. Jalaludin, Rakhmat., 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Kuncoro, Mudrajad. 1997. “Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.” Yogyakarta: AMP YKPN. Lembaran Negara, 2004, ”Undang-Undang No.40, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)”
Marwaan, Markar. 2008. “Indonesia: Jakarta Says Thanks But Not Again, To IMF Loan.” Global Information Network. New York. 26 Nopember
51
Maskun, Sumitro, 1997 Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen, Media Widya Mandala, Yogyakarta, Maswita Jaya, 2006, Perempuan Indonesia 2005, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta. Nasution Pontas, 2009, ”Perspektif Kemiskinan, ”Harian Kompas, 22 Februari. Papanek G, 2007. “Dampak PNPM, Program Pemberdayaan Masyarakat, Pada Peluang Kerja Dan Pemberantasan Kemiskinan,” Jakarta, April. Saparini, 2012, sistem pengentasan kemiskinan rakyat hanya untuk, Kompas, 10 Maret 2012. Staff Kementrian Bidang Kesra, 2007. “Pengentasan Kemiskinan Harus Diawali Dengan Pembukaan Lapangan Kerja Yang Aplikatif Di Masing-masing Daerah,” www.gapri.org. Sukesi Keppi, 2008, Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan, Makalah Seminar, Workshop 27 Agustus 2008, Hotel Cakra Kusuma, Jakal KM 5,2 Km YK). Suharto, Edi. 2009, Kemiskinan dan Perlindungan Sosia di IndonesiaMenggagas Model jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Penerbit Alfabeta, Bandung. Sukidjo, 2009., Strategi pemberdayaan pengentasan kemiskinan pada PNPM mandiri., cakrawala pendidikan, Juni., Th. XXVII, No. 2, UNY. Sumodiningrat, Gunawan, 2002. “Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan,” Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002. Tambunan, Tulus., 2011., Perekonomian Indonesia-kajian Teoretis dan Analisis Empiris, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor. Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan, 2011 Tjokrowinoto, Moeljarto, 1999, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Todaro, P., dan Smith, Stephen C. 2004 (Terjemahan Haris Munandar). “Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, “Jakarta, Penerbit Erlangga. Tri Sunarno Lantip, Eddy Setiadi Soedjono, Agnes Tuti Rumiati, dan Sutikno, 2010. “Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Untuk
52
Pengentasan Kemiskinan” (Studi Kasus: Model Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Metatu, Kab. Gresik Dan Desa Sumberdodol, Kab. Magetan Usman, Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Winarni.F., 1994, Peran Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengentasan Kemiskinan, Cakrawala Pendidikan, No.2, Th XIII, Juni.
Wuri Josephine, 2009, Peran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dalam Menanggulangi Kemiskinan, Jurnal Bisnis dan
Ekonomi-Antisipasi, Vol. 1, No. 1 Juni, Universitas Sanata Dharma YK.
53