-1DAMPAK ERUPSI MERAPI DAN KEMISKINAN DI KECAMATAN CANGKRINGAN Tri Siwi Nugrahani Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Yogyakarta E-mail:
[email protected] Abstract This study aims to analyze the impact of Merapi eruption and poverty in the region Cangkringan by comparing the level of poverty between before and after condition the eruption. This study was based on a continuation of previous research related to poverty reduction efforts before the tragedy of Merapi eruption at 2010. This study uses subject of resident at region Cangkringan with survey and observation method, and uses the descriptive data analysis of qualitative and quantitative. The result shows that the number of residents in the region Cangkringan between 2010 into 2011 reduced about 1227 people. The villages in Wukirsari, Glagaharjo, and Umbulharjo have stable economic condition in spite of eruption, as indicated by decreased levels of poverty between before and after the eruption. Meanwhile, villages in Argomulyo and Kepuharjo have increases poverty after eruption. The programs related to poverty decreases must done synergies so that poverty alleviation program be success. The next study needs perception similarities about poverty between perception of community, government, and researcher, and needs done more real about poverty measurement in order to result study more real and fine. Keywords: Poverty and Merapi Eruption
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak letusan Merapi dan kemiskinan di wilayah Cangkringan dengan membandingkan tingkat kemiskinan antara sebelum dan setelah kondisi letusan. Penelitian ini berdasarkan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan sebelum tragedi letusan Merapi pada 2010. Penelitian ini menggunakan subjek penduduk di wilayah Cangkringan dengan survei dan metode observasi, dan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penduduk di wilayah Cangkringan antara 2010 ke 2011 berkurang sekitar 1227 orang. Desa di Wukirsari, Glagaharjo, dan Umbulharjo memiliki kondisi ekonomi yang stabil meskipun letusan, seperti ditunjukkan oleh penurunan tingkat kemiskinan antara sebelum dan sesudah letusan. Sementara itu, desa di Argomulyo dan Kepuharjo memiliki kemiskinan meningkat setelah letusan. Program-program terkait dengan penurunan kemiskinan harus dilakukan sinergi sehingga program pengentasan kemiskinan menjadi sukses. Penelitian berikutnya perlu kesamaan persepsi tentang kemiskinan antara persepsi masyarakat, pemerintah, dan peneliti, dan perlu dilakukan lebih nyata tentang pengukuran kemiskinan untuk menghasilkan penelitian yang lebih nyata dan baik. Kata kunci: Kemiskinan dan Letusan Merapi
-2-
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Masalah kemiskinan di Indonesia masih didominasi di pedesaan karena sebagian besar penduduk bekerja disektor pertanian. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan dipedesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin dipedesaan dihadapkan pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan yang rata-rata kurang dari 0,5 ha, banyaknya rumah tangga yang tidak mempunyai aset, terbatasnya alternatif lapangan kerja dan belum tercukupinya pelayanan publik, lemahnya kelembagaan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam menentukan produk yang dihasilkan. Berbagai persoalan agraria dan pertanian mempunyai implikasi luas terhadap kehidupan petani/buruh tani. Macetnya agenda pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan membuat petani/buruh tani semakin tidak berdaya. Dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kerakyatan dan pertumbuhan yang tidak merata menimbulkan berbagai dampak sosial yaitu tingginya tingkat kemiskinan (Maswita Djaya, 2006 :6). Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan berusaha, akses layanan perumahan dan sanitasi, akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga juga merupakan indikator kemiskinan sesuai dengan ketentuan Bappenas (2006). Kemiskinan dapat berarti ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yaitu makanan dan bukan makanan. Garis kemiskinan dapat diukur dengan rendahnya perkapita. Garis kemiskinan di pedesaan Tahun 2011 sebesar Rp 226.770 perkapita perbulan (Republika, 2 Januari 2012). Jumlah penduduk kecamatan Cangkringan selama dua tahun dari tahun 2010 hingga 2011 berkurang sekitar 1227 jiwa. Tahun 2010 jumlah penduduk cangkringan 28.884 jiwa dan tahun 2011 sebesar 27.657 jiwa. Sedangkan prosentase kemiskinan yang paling tinggi di desa Wukirsari (32,75%) dibandingkan dengan desa lain seperti Argomulyo, Glagaharjo, Kepuharjo dan Umbulharjo. Padahal dilihat dari kondisi geografis daerah Wukirsari merupakan daerah yang paling subur diantara daerah lain di kecamatan Cangkringan, karena lahan pertanian Wukirsari merupakan lahan yang tidak begitu parah dari dampak erupsi. Demikian pula di desa Glagaharjo yang termasuk daerah terparah yang terkena erupsi juga mengalami penurunan kemiskinan, padahal penduduk di wilayah tersebut secara riil banyak yang kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian, dan tempat usaha yang seharusya tingkat kemiskinan bertambah. Oleh karena itu pentingnya dilakukan analisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif tentang kemiskinan di kecamatan Cangkringan. Selain itu perlu dilakukan perhitungan kemiskinan yang sama antara kemiskinan menurut pemerintah dengan peneliti supaya kondisi yang dilaporkan menunjukkan persamaan persepsi antar masyarakat dalam mengukur tingkat kemiskinan.
-31.2.
Rumusan Masalah Berdasar keterangan di atas dapat dirumuskan permasalahan: Bagaimana dampak erupsi terhadap kemiskinan di Kecamatan Cangkringan . II. STUDI / RISET TERKAIT 2.1.
Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemiskinan dapat terjadi karena rendahnya produktivitas, misalnya kurangnya ketrampilan dalam memilih bibit dan pupuk sehingga hasil dari pertanian rendah. Belum lagi kesulitan petani dalam melakukan pemasaran. Terlebih dengan kondisi yang sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari budaya agraris yang tidak terampil berdagang dan berbisnis menambah kemiskinan (Nasution, 2009). Mengukur kemiskinan tidak mudah, karena sangat tergantung pada interpretasi miskin. Misalnya secara psikologis, seseorang merasa miskin karena muncul suatu perasaan dari individu-individu membandingkan
anggota dirinya
masyarakat
dengan
individu
masyarakat (reference group), dan mereka
yang lain
dalam
selalu suatu
menjadi bagian dari
miskin. Kemiskinan terjadi di mana saja, termasuk di negaranegara maju yang secara absolut masyarakatnya telah jauh di atas garis kemiskinan. Jepang sebagai negara post-industry, rata-rata pendapatannya telah jauh melampaui garis kemiskinan absolut, tetapi masih banyak pula orang Jepang yang merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaan relatif (Winarni, 1994) Terdapat dua macam kemiskinan, yakni kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan yang bersifat absolut (relative and
absolute poverty). Kemiskinan absolut adalah ukuran kemiskinan dengan mengindikasikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan diukur
relatif
dengan
mengindikasikan
pangsa
pendapatan
nasional yang diterima masing-masing golongan pendapatan (Kuncoro, 1997; Todaro, 2004, Staff kementrian Bidang Kesra RI, 2007). Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi individu, kelompok, maupun situasi kolektif masyarakat. Kemiskinan bersifat massal dan parah pada umumnya terdapat di negara berkembang. Namun, terdapat bukti bahwa kemiskinan juga ada
-4di negara maju. Di negara berkembang, kemiskinan sangat terkait dengan aspek struktural. Misalnya sistem ekonomi yang tidak adil, merajalela KKN, ada diskriminasi sosial, atau tidak ada jaminan sosial. Sedangkan kemiskinan di negara maju lebih bersifat individual, misalnya mengalami kecacatan (fisik atau mental), ketuaan, sakit yang parah dan berkepanjangan, atau kecanduan alkohol. Kondisi ini biasanya melahirkan tuna wisma yang berkelana kesana kemari atau keluarga tunggal, yang secara umum dialami ibu-ibu yang hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah, seperti kupon makanan atau tunjangan keluarga (Suharto, 2009). Kemiskinan dapat disebabkan beberapa faktor, seperti yang dikemukakan oleh Sharp dkk, (1976) dalam Wuri (2009) mengindentifikasikan penyebab kemiskinan dapat dipandang dari sisi ekonomi, yaitu: ada ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan, ada perbedaan kualitas sumber daya manusia, dan produktivitas rendah sehingga upah yang diterima juga rendah. Selain itu kemiskinan disebabkan ada perbedaan akses dalam modal. Sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku tidak adil termasuk krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh negara di dunia mulai kuartal III tahun 2008 juga merupakan penyebab kemiskinan. Krisis tersebut ikut mengombang-ambingkan harga saham dan tingkat kurs yang mengakibatkan semakin tingginya biaya produksi dan memperbesar angka pengangguran. Hal ini mengakibatkan angka kemiskinan semakin besar jika pemerintah tidak segera turun tangan dan dapat mengakibatkan tingkat kriminalitas yang tinggi serta kerusuhan seperti yang terjadi di negara-negara tetangga seperti Thailand dan India. Berkaitan dengan krisis ekonomi global yang terjadi, pemerintah merencanakan tidak meminta bantuan keuangan dari IMF (Marwaan, 2008). Kenaikan BBM telah menghantarkan rakyat Indonesia jatuh kedalam jurang kemiskinan dan ini menunjukkan kondisi perekonomian yang buruk. Kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM mendatang dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000 per liter dapat berpengaruh pada seluruh sektor dan berakibat semakin melemahnya daya beli masyarakat. Banyaknya pengangguran juga menambah jumlah kemiskinan. Menurut hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas, 2009) menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Propinsi DIY pada Agustus 2009 sebesar 6,00 persen mengalami kenaikan 5,38% bila atau sekitar 121 ribu orang dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008. Permasalahan Kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang dilihat dari terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan berusaha, layanan perumahan, layanan air bersih dan aman, serta sanitasi; lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; memburuknya kondisi sumberdaya lam dan lingkungan hidup; lemahnya jaminan rasa aman; dan lemahnya partisipasi. Kemiskinan memang tidak dapat dihilangkan, namun perlu dilakukan upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Hal ini yang terus
diupayakan
oleh
kemsikinan, salah satu memberdayakan masyarakat.
pemerintah
dalam
mengentaskan
cara mengentaskan kemiskian yaitu dengan
-52.2.
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred participatory, empowering and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep- konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembanguan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Tuntutan keterlibatan Pemda dalam penanggulangan kemiskinan semakin jelas dengan diluncurkannya Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) oleh Pemerintah Pusat pada 2005 yang menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku kepentingan, termasuk pemda, dalam upaya bersama untuk mengurangi kemiskinan. Pada kenyataannya, masing-masing daerah mempunyai kapasitas kelembagaan yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan dikarenakan tingkat keterlibatan organisasi yang ada di daerah tersebut, kondisi kemiskinan, dan latar belakang geografis daerah yang berbeda. Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bapenas, 2005: 15). Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan manusia dan indikator kemiskinan menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina, dan Cina. Menurut Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
mengatur bentuk perhatian
pemerintah terhadap pengurangan kemiskinan. Salah satu upaya mengurangi kemiskinan yaitu dengan melakukan pemberdayaan masyarakat
yang
dijalankan
dengan
simultan
dengan
memperhatikan penyediaan perumahan murah, kesehatan, dan pendidikan
gratis
bagi
keluarga
miskin,
PNPM,
BLT,
dan
program pengentasan kemiskinan lain. Meskipun tahun lalu pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin langsung oleh wakil presiden, namun sampai sekarang kurang menunjukkan hasil. Seharusnya pemerintah Indonesia belajar dari negri Cina. Tahun 2012, apabila kemiskinan diukur dari pendapatan 2 dollar AS per hari, angka kemiskinan Cina turun drastis dari 70 persen menjadi 21 persen, sementara Indonesia dari 71 persen turun menjadi 42 persen. Penurunan tingkat kemiskinan yang sangat tajam di Cina karena Cina mengutamakan pembangunan pedesaan selama 10 tahun pertama. Cina berpendapat apabila
-6difokuskan pada pedesaan, nanti akan menciptakan kelas menengah baru di pedesaan, karena Cina memerangi kemiskinan di basis kemiskinan. Kunci keberhasilan Cina dalam mengurangi kemiskinan adalah pembangunan di Cina yang dimulai dari desa dan pertanian. Program-program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah selama ini dinilai tidak bervisi jangka panjang. Program beras miskin, fasilitas pembiayaan di desa-desa atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), menurut Saparini dalam harian Kompas mengemukakan sistem pengentasan kemiskinan rakyat hanya untuk keluar dari kubang kemiskinan. Jadi bersifat sementara dan tidak berkelanjutan (Saparini, Kompas, 10 Maret 2012). Bahkan menurut garis kemiskinan dipedesaan pada September 2011 diukur dengan tingkat pendapatan perkapita perbulan minimal sebesar Rp 226.770 (Republika, 2 Januari 2012). Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah BLT yang ditawarkan pemerintah yaitu Rp. 150.000 per bulan. Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan multidimensi. Secara umum masyarakat miskin berada dalam situasi kerentaan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya secara layak. Oleh karena itu perlu upaya penanggulangan kemiskinan yang seyogyanya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri, tentunya dengan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah, maupun pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil lainnya, sehingga proses penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang akan menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan guna meningkatkan kehidupannya yang lebih layak (Keppi Sukesi, 2009: 1). 2.3.
Riset Terdahulu Indriyati dan Nugrahani (2010) telah melakukan penelitian di Kecamatan Cangkringan berkaitan strategi pengentasan kemiskinan dengan merekomendasikan sebaiknya pelaksanaan program pengentasan kemiskinan dilakukan secara pendampingan baik program dari pemerintah maupun swasta, dan perlu dilakukan sinergi antar program agar tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaannya. Studi tersebut dilakukan sebelum terjadi bencana erupsi. Karena bencana erupsi pada bulan Oktober 2010 yang mengakibatkan jumlah penduduk berkurang 1227 jiwa, mengakibatkan hampir seluruh aset penduduk tersebut hilang, dan lahan pertanian juga rusak di kecamatan Cangkringan yang menambah jumlah kemiskinan, maka perlu dilakukan studi lanjutan. Studi Sasono (2010) menunjukkan bahwa faktor penentu kegagalan dan keberhasilan dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu dilakukan kerjasama sinergis antar lembaga dan dilakukan pendampingan pada pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Sedangkan Feresthi dkk (2008) merekomendasikan bahwa perlu menjaga manfaat lahan bahan input produksi agar tidak termarjinalisasi oleh hal lain yang merugikan kepentingan peningkatan kesejahteraan. METODE PENELITIAN III. III.METODE 3.1. Subyek Penelitian Sampel penelitian ini adalah 30 warga miskin di kecamatan Cangkringan dengan teknik pengambilan sampel secara random dan convinience. Metode pengambilan data secara wawancara, survey dan observasi di tiap desa yang terdiri desa Glagaharjo, Kepuharjo, Wukirsari, Argomulyo, dan Umbulharjo.
-73.2.
Teknik Analisis Data Data penelitian ini diuji dan dianalisis secara diskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan prosentase, kemudian dilakukan interpretasi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran Wilayah Kecamatan Cangkringan Kecamatan Cangkringan merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Sleman. Letak wilayah Kecamatan Cangkringan di sebelah utara Kecamatan Selo, sebelah timur Kecamatan Manisrenggo, sebelah selatan Kecamatan Ngemplak, dan sebelah barat Kecamatan Pakem. Luas wilayah Kecamatan Cangkringan 4.799 ha, dengan terdiri 5 desa, yaitu desa Glagaharjo, Kepuharjo, Wukirsari, Argomulyo, dan Umbulharjo, dan terdiri 73 Dusun/Pedukuhan dengan pembagian wilayah admnisitrasi pedukuhan yaitu : 1) desa Argomulyo terdiri 22 pedukuhan, 2) desa Glagaharjo 10 pedukuhan, 3) Kepuharjo terdiri 8 dukuh, 4) Umbulharjo 9 pedukuhan, dan 5) Wukirsari terdiri 24 pedukuhan (Monografi Kecamatan Cangkringan, 2010). Jumlah penduduk wilayah Kecamatan Cangkringan yaitu 28.844 orang, dengan 8.727 kepala keluarga. Penduduk laki-laki berjumlah 14.112 orang dan perempuan 14.772 orang. Berikut data penduduk kecamatan Cangkringan yang disajikan Tabel 1 berdasar usia sebagai berikut.
No
Tabel 1. Penduduk Kecamatan Cangkringan Tahun 2010 Usia Jumlah % 0 - 6 tahun 9,31 2.689 orang 7 - 12 tahun 7,91 2.284 orang 13 - 18 tahun 6,77 1.953 orang 19 - 24 tahun 6,84 1.976 orang 25 - 55 tahun 47,91 13.838 orang 56 - 79 tahun 20,90 6.040 orang 80 tahun ke atas 0,36 104 orang Jumlah 28.884 orang 100% Sumber Monografi Kecamatan Cangkringan 2010
Dilihat dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk berusia produktif (13.838) orang. Dengan demikian potensi penduduk setempat dapat dijadikan modal sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data ini dapat dijadikan acuan untuk kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan pembangunan di kecamatan Cangkringan. Berdasar keterangan data monografi Kecamatan Cangkringan tahun 2011 menunjukkan kecamatan Cangkringan dihuni 7.992 KK. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Cangkringan tahun 2011 adalah 27.657 orang dengan jumlah penduduk laki-laki 13.361 orang dan penduduk perempuan 14.296 orang. Apabila dibandingkan dengan data penduduk kecamatan Cangkringan tahun sebelumnya (2010) terdapat pengurangan jumlah penduduk. Pada tahun 2010 menunjukkan
-8jumlah KK sebesar 8727 sedangkan tahun 2011 sebesar 7992 KK berarti turun 732 KK. Dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 28884 orang dan tahun 2011 sebesar 27657 orang berarti wilayah kecamatan Cangkringan mengalami penurunan penduduk 1227 jiwa. Hal ini berarti kemungkinan erpsi mengakibatkan kehilangan sanak saudara dan famili yang cukup besar sehingga terdapat 732 KK hilang dan 1227 jiwa meninggal, dapat dimungkinkan dalam satu KK seluruh anggota keluarga meninggal akibat erupsi. Sedangkan dilihat dari data kemiskinan pada tahun 2010 sebelum erupsi menunjukkan jumlah KK Miskin di Kecamatan Cangkringan, sebagai berikut : Tabel 2. Jumlah Keluarga Miskin No. Desa Jumlah % 1. Wukirsari 1210 38,79 2. Argomulyo 805 25,82 3. Glagaharjo 423 13,56 4. Kepuharjo 271 8,68 5. Umbulharjo 410 13,15 Total 3119 100 Sumber Monografi Kecamatan Cangkringan 2010 Dari data tersebut tampak bahwa jumlah KK miskin di Kecamatan Cangkringan masih cukup tinggi, dan desa yang paling banyak KK miskinnya ada di Wukirsari (38,79%). Oleh karena itu sudah selayaknya berbagai program pengentasan kemiskinan perlu menjadi prioritas pembangunan. Sedangkan berdasar data SK Lampiran Bupati Sleman tahun 2011 tentang keluarga miskin menunjukkan penduduk kecamatan Cangkringan yang termasuk miskin terdapat 13568 orang. Berikut Tabel 3 yang menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat Cangkringan tahun 2011 sebagai berikut. Tabel 3. Jumlah Warga Miskina dan Tingkat Kemiskinan di Cangkringan No Desa Th. 2011 (jiwa) % Miskin 1 Wukirsari 4444 32,75% 2 Argomulyo 3693 27,21% 3 Glagaharjo 1565 11,53% 4 Kepuharjo 2258 16,64% 5 Umbulhajo 1608 11,85% Total 13568 Sumber: Lampiran SK Bupati Sleman 2011
Berdasar Tabel 3 diatas dapat dikatakan tingkat prosentase kemiskinan paling tinggi di wilayah Wukirsari (32,75%) yang dihitung dari jumlah penduduk miskin desa setempat dibagi total penduduk kecamatan Cangkringan. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya tingkat kemiskinan penduduk Wukirsari tahun sebelumnya 2010 (38,79%) yang berarti terdapat penurunan tingkat kemiskinan sebesar 6,04%. Jumlah penduduk miskin Argomulyo tahun 2010 (25,82%) sedangkan tahun 2011 (27,21%) menunjukkan terjadi kenaikan tingkat kemiskinan 1,39%. Hal ini berarti karena erupsi, desa Argomulyo banyak yang mengalami kerugian karena penduduk miskin bertambah. Tingkat kemiskinan desa Glagaharjo tahun 2010 (13,56%) dan tahun 2011 (11,53%) berarti turun 2,03%. Hal ini dampak erupsi merapi pada wilayah Glagaharjo tidak terlalu berpengaruh pada
-9tingkat kemiskinan. Padahal apabila dilihat dari keadaan geografis, wilayah Glagaharjo termasuk wilayah yang cukup parah akibat erupsi, karena rumah penduduk di wilayah tersebut terutama di dusun Glagahmalang hampir semua hancur, bahkan sudah rata dengan tanah dan tidak berbekas. Secara awam seharusnya penduduk Glagaharjo tingkat kemiskinannya bertambah. Desa Kepuharjo terdapat kenaikan kemiskinan sebesar 8,68 % di tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 16,64% berarti kenaikan tingkat kemiskinan 7,96%. Hal ini menunjukkan dampak erupsi di desa Kepuharjo sangat berpengaruh dengan kenaikan kemiskinan sehingga jumlah warga yang miskin bertambah. Sedangkan desa Umbulharjo tahun 2010 tingkat kemiskinan 13,15% dan tahun 2011 (11,85%) yang berarti mengalami penurunan sebesar 1,3%. Wilayah desa Umbulharjo termasuk daerah yang tidak begitu parah terkena dampak merapi, sehingga tingkat kemiskinan relatif masih sama dengan sebelum terjadi erupsi yang ditunjukkan dengan penurunan 1,3%. 4.2.
Persepsi dan Harapan Warga tentang Dampak Erupsi dan Kemiskinan Berdasar wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 30 warga Cangkringan yang dilakukan secara random dan convinience untuk mengetahui persepsi dan harapan warga setempat tentang upaya dan harapan mereka dalam pemulihan ekonomi akibat erupsi sebagai berikut:
No 1
Pernyataan Perasaan warga ketika mengalami erupsi merapi yaitu : merasa takut, sedih, dan panik, serta trauma
2
Peran pemerintah setempat ketika ada erupsi atau bencana alam yaitu : merelokasi dan rekonstruksi
3
Pengaruh bencana alam bagi masyarakat, yaitu: warga merasa miskin dan kehilangan mata pencaharian, trauma
4
Upaya pemerintah yang diharapkan masyarakat dalam mengantisipasi terganggunya perekonomian di masyarakat yang terkena bencana alam, yaitu: dengan membuka lapangan pekerjaan baru dan memberi bantuan modal usaha
5
Upaya yang dilakukan masyarakat dalam mengatasi perekonomian pasca bencana alam, yaitu: mendapatkan bantuan modal usaha, dan dapat membuka lapangan pekerjaan baru, termasuk petani dapat kembali menanami sawah
6
Pengaruh ekonomi bagi masyarakat akibat erupsi, yaitu masyarakat sebagian besar merasa rugi terutama yang memiliki usaha. Daya beli masyarakat turun karena harga barang menjadi naik.
7
Harapan masyarakat tentang upaya pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi yaitu: pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan baru dan memberikan bantuan modal usaha. Tetapi perlu
- 10 bersifat pendampingan dan berkelanjutan. 8
Persepsi masyarakat tentang dampak erupsi pada bidang pendidikan, yaitu kegiatan belajar mengajar menjadi terganggu, dan perlu dibangun sarana sekolah yang memadai.
Meninjau dari delapan pertanyaan diatas dengan menganalisis jawaban atau respon yang dilakukan oleh warga sebagai responden menunjukkan telah terjadi kesamaan persepsi antara yang diharapkan masyarakat dengan yang dilakukan pemerintah. Memang masyarakat merasa sedih, takut, dan trauma ketika mengalami dampak erupsi, namun masyarakat juga telah bangkit untuk mencoba membuka kehidupan baru. Hal ini ditandai dengan optimisnya masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan baru yang didukung oleh upaya pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan dan memberikan bantuan modal usaha. Salah stau wujud upaya pemerintah dalam mendukung perekonomian masyarakat yaitu dengan memberikan padat karya. Demikian pula dengan sektor pendidikan diharapkan dapat membaik lagi karena pemerintah juga berupaya menciptakan infrastruktur sekolah meskipun belum semua sekolah dapat direlokasi. 4.3.
Upaya Pemerintah dalam Penaggulangan Erupsi Menurut ketua Tim Pemulihan Kegiatan Ekonomi Masyarakat berkaitan dengan erupsi, yaitu Sujana Royat mengemukakan bahwa pemerintah membuat program padat karya dengan tujuan memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat yang terkena dampak letusan merapi supaya dapat dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan lain. Selain dapat memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat terdampak letusan gunung merapi, melalui program tersebut juga akan dapat mengembalikan fungsi standar dari sarana dan prasarana umum sesuai sektor kerja dari kementerian dan lembaga. Program “cash for work” mengadopsi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, termasuk dari sisi upah yang diberikan kepada masyarakat yang mengikuti program itu. Upah yang diberikan kepada masyarakat yang mengikuti “cash for work” adalah Rp30.000 per hari untuk pekerja yang tidak memiliki keahlian dan Rp50.000 – Rp70.000 per hari untuk pekerja dengan keahlian. Pemberdayaan masyarakat yang sudah dilakukan di kecamatan merapi cukup banyak, salah satunya PNPM. Sesuai dengan anjuran Gubernur DY (Kompas, 17 Februari 2011) untuk memodifikasi model PNPM yang diharapkan mampu menumbuhkan ekonomi rakyat di tempat mereka berdomisili. Pilihan jenis usaha diserahkan pada setiap dusun. Hingga saat ini pemerintah masih memfokuskan pada pembuatan shelter untuk korban erupsi yang kehilangan tempat tinggal. Selain dijanjikan hunian sementara, para korban erupsi merapi juga mendapat jaminan hidup dari pemerintah berupa uang Rp 5.000 dan beras empat ons per jiwa per hari. Berkaitan dengan pariwisata, seperti di desa Kepuharjo terdapat sejumlah desa wisata yang memiliki sekitar 60 pondok wisata yang memerlukan waktu minimal enam bulan untuk mengidentifikasi dan membuat langkah ke depan untuk menghidupkan kembali sektor pariwisata di kawasan lereng gunung merapi. Pemulihan pariwisata di kawasan lereng merapi di antaranya harus melihat kemungkinan areal obyek wisata di kawasan atas apakah rusak atau tidak dan diupayakan tidak bertentangan dengan kebijakan aparat kemananan mengenai zona bahaya merapi. Realisasi pemulihan pariwisata di kaki merapi melalui tahapan yaitu status merapi dinyatakan turun dan aktivitas aman untuk wisatawan, dan
- 11 kawasan dapat diperbaiki. Tentunya dengan melakukan identifikasi kembali daerah-daerah yang layak untuk kawasan wisata, dan tmengesampingkan daerah yang terkena erupsi merapi sebagai obyek wisata. Apabila melihat upaya pemerintah dalam memulihkan wisata di wilayah Kepuharjo, seharusnya wilayah tersebut jumlah kemiskinan tidak bertambah besar (8,68%), hal ini seakan-akan bertentangan dengan apa yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini dimungkinkan karena sektor wisata di wilayah tersebut belum sepenuhnya berpengaruh pada kesejahteraan penduduk setempat. Terdapat 73 sekolah dari berbagai jenjang yang berada di Kabupaten Sleman direkomendasikan untuk direlokasi karena berada di kawasan rawan bahaya 0-10 kilometer dari puncak gunung Merapi yang mengalami kerusakan cukup parah sehingga tidak mungkin untuk digunakan lagi. Sekolah yang direkomendasikan untuk direlokasi sebagian besar adalah pada jenjang TK sebanyak 30 sekolah dan SD 32 sekolah. Sementara itu, SMP 7 sekolah, SMA 1sekolah, SMK 2 sekolah dan sekolah luar biasa 1 sekolah. Berdasar data monografi Kecamatan Cangkringan tahun 2011 menunjukkan sarana dan prasarana perekonomian di Kecamatan Cangkringan antara lain koperasi berjumlah 3 buah, pasar 5 buah. Usaha industri kecil 4 unit, serta industri RT berjumlah 425 unit. Rumah makan yang terdaftar ada 11 rumah makan, usaha yang bergerak dalam usaha perdagangan ada 6 buah, sedang angkutan ada 4. Kegiatan perekonomian tersebut harus tetap diperhatikan dan dibina oleh pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan kesejahteraan wilayah kecamatan Cangkringan, mengingat untuk mempertahankan kegiatan tersebut diperlukan bantuan modal dan pengembangan usaha, serta dimungkinkan lapangan kerja yang baru, karena jenis kegiatan usaha yang sudah berjalan di kecamatan Cangkringan seperti PNPM, USEP, KUBE dan jenis kelompok usaha yang sejenis tetap membutuhkan pembinaan dan pendampingan terlebih akibat erupsi arena secara langsung maupun tidak langsung kesejahteraan keluarga ikut berpengaruh apabila kegiatan usaha kurang lancar. Oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat yang sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dan masyarakat umum perlu dilanjutkan dan diperlukan kebersamaan persepsi dan penyatuan sinergi program supaya program pengentasan kemiskinan dapat berhasil.
V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasar analisis data dan hasil pembahasan dengan membandingkan antara tahun 2010 dengan tahun 2011 ternyata tidak keseluruhan di wilayah kecamatan Cangkringan mengalami dampak erupsi merapi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak di semua desa di wilayah kecamatan cangkringan tingkat kemiskinannya bertambah. Seperti di desa Wukirsari, Umbulharjo dan Glagaharjo jumlah kemiskinan berkurang yang berarti erupsi merapi kurang berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan di wilayah tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kemiskinan yang menurun antara keadaan sebelum erupsi dengan setelah erupsi. Sedangkan wilayah yang mengalami kenaikan jumlah kemiskinan akibat erupsi yaitu desa Kepuharjo dan Argomulyo. Meskipun pemerintah telah berupaya dengan menggiatkan perekonomian di wilayah Kepuharjo seperti tempat wisata, ternyata pengembangan tersebut belum mampu mengurangi jumlah kemiskinan di wilayah tersebut.
- 12 5.2.
Saran Peneliti mengemukakan tingkat kemiskinan terbatas pada data yang disajikan berdasar monografi kecamatan Cangkringan tahun 2010 dan Lampirran SK Bupati Sleman, sehingga kemungkinan batasan kemiskinan dapat berbeda antara penilaian kemsikina dari pemerintah dengan peneliti yang berdasar teori. Perlu dilakukan evaluasi lebih rinci dari sisi ekonomi tiap desa di kecamatan Cangkringan sehingga pemetaan ekonomi lebih jelas di wilayah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Chambers, Robert, (1995), “Pembangunan Desa Mulai dari Sekarang,” LP 3 ES, Jakarta. Bappenas, (2005), “Hasil Kajian Pembelajaran dari Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan.” Feresthi, Saputro, dan Purnomo, (2008), ”Penguatan Kapasitas Kluster Usaha Kecil dan Menengah : Kasus di Serenan, Klaten,” Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.9, No.1, Juni. Indriyati, dan Nugahani, (2010), ”Pemberdayaan Perempuan Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Studi Tentang Program Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman),” Laporan Hibah Penelitian Studi Kajian Wanita. Kurniawan dan Wahono, (2011),”Sultan Usulkan PNPM Modifikasi”, Artikel diakses dari www. blog pada tanggal 17 Februari 2011. Lembaran Negara,
(2004), ”Undang-Undang No.40, Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN)”
Marwaan, Markar, (2008), “Indonesia: Jakarta Says Thanks But Not Again, To IMF Loan.” Global Information Network. New York. 26 Nopember. Maswita Jaya, (2006), Perempuan Indonesia 2005, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta. Nasution Pontas, (2009), ”Perspektif Kemiskinan,” Harian Kompas, 22 Februari. Papanek Gustav, (2007), “Dampak PNPM, Program Pemberdayaan Masyarakat, pada Peluang Kerja dan Pemberantasan Kemiskinan,” Jakarta, April. Saraswati, Ida, (2008), “Pengusaha Angkutan Sulit Turunkan Tarif,” Harian Kompas, 14 Nopember. Saparini, (2012), ”Sistem Pengentasan Kemiskinan Rakyat Hanya Untuk Rakyat, Harian Kompas, 10 Maret 2012. Sasono, (2010), “Optimalisasi Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin pada Sektor Mikro Melalui Kerjasama Sinergis Antara Bank Syariah dengan Lembaga Pemerintah dan Organisasi Sosial,” Jurnal Syirkah, Vol. 5, No 1, Juni Sen.A., (1979), Personal Utilities and Public Judgements: Or What’s Wrong with Welfare Economics?, The Economic Journal Vol 89, p.527-58.
- 13 Staff Kementrian Bidang Kesra, (2007). “Pengentasan Kemiskinan Harus Diawali dengan Pembukaan Lapangan Kerja yang Aplikatif di Masing-masing Daerah,” www.gapri.org. Suharto, Edi., (2009), “Kemiskinan Dan Perlindungan Sosial Di Indonesia,” Alfabeta Bandung, Sukesi Keppi, (2008), Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan, Makalah Seminar, Workshop 27 Agustus 2008, Hotel Cakra Kusuma, Jakal KM 5,2 Km YK). Todaro, P., dan Smith, Stephen C. (2004) (Terjemahan Haris Munandar). “Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, “Jakarta, Penerbit Erlangga. Trisunarno Lantip, Eddy Setiadi Soedjono, Agnes Tuti Rumiati, dan Sutikno, (2010). “Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pengentasan Kemiskinan” (Studi Kasus: Model Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Metatu, Kab. Gresik Dan Desa Sumberdodol, Kab. Magetan Winarni.F., (1994), Peran Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengentasan Kemiskinan, Cakrawala Pendidikan, No.2, Th XIII, Juni.
Wuri Josephine, (2009), Peran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dalam Menanggulangi Kemiskinan, Jurnal Bisnis dan
Ekonomi-Antisipasi, Vol. 1, No. 1 Juni, Universitas Sanata Dharma YK.