1
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596/Ilmu Hukum Tema: Desentralisasi dan Otonomi Daerah
LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PRODI
MEWUJUDKAN PARADIGMA HUKUM BERBASIS MAQOSHI SYARIAH DALAM KEBIJAKAN DAN PRAKTEK WAKAF TANAH DI INDONESIA (Studi Pengelolaan Wakaf Tanah Muhammadiyah dan NU)
Dr. Khoirudin Khomsin, Lc,LLM (NIDN: 0529126001 Ketua Sunarno,S.H.,M.Hum (NIDN:0528127201 Anggota
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA September 2016
2
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PRODI
Judul Penelitian
: Mewujudkan Paradigma Hukum Berbasis Maqoshi Syariah Dalam Kebijakan Dan Praktek Wakaf Tanah Di Indonesia
Kode/Nama Rumpun Ilmu : Ilmu Hukum Peneliti a. Nama Lengkap b. NIDN c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. Nomor HP f. Alamat surel (e-mail) Anggota Peneliti a. Nama b. NIDN c. Perguruan Tinggi
: Dr. H. Khoiruddin Khamsin, LLM, M.A.. : 0529126001 : Lektor : Ilmu Hukum : 081578920040 :
[email protected] : Sunarno, S.H., M.Hum. : 0528127201 : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Lama Penelitian Keseluruhan Penelitian Tahun ke :1 Biaya Penelitian Keseluruhan Biaya Tahun Berjalan
: 2 tahun : Rp 15.500.000,: Yogyakarta, 30 September 2016
Mengetahui, Kaprodi FH UMY
Ketua Peneliti
(Dr. Leli Joko Soeryono, S.H., M.Hum.) NIK. 19681023199303153015
(Dr. H. Khoiruddin Khamsin, LLM, M.A.) NIK. 19601229200904153053
Menyetujui, Dekan FH UMY
(Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. ) NIK. 19710409199702 153 028
3
RINGKASAN Dalam jangka panjang penelitian ini bertujuan untuk terwujudnya model kebijakan dan hukum wakaf yang berbasis prinsip maqoshid syariah hukum di Indonesia, sehingga dapat menjadi pedoman dalam pengembangan kebijakan maupun pelaksanaan wakaf di Indonesia. Juga tersedianya modul pengembangan maqoshid syariah dalam pengelolaan wakaf di Indonesia. Guna mencapai tujuan jangka panjang tersebut, maka penelitian ini akan dilaksanakan dalam dua tahap selama dua tahun. Untuk mencapai target-target tersebut, penelitian ini pada dasarnya menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus, dan dalam batas-batas tertentu juga menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya dalam penentuan subyek penelitian (responden), dan penggunaan teknik pengumpul data, misalnya selain menggunakan teknik baku pendekatan kualitatif (wawancara mendalam dan observasi), juga menggunakan angket yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif (survei), termasuk juga dalam teknis analisis data statistik. Subyek penelitian ini meliputi, pejabat Pemerintahan Daerah (Law Maker) , Lembaga wakaf, Ketua Kelompok Pengguna Wakaf. Organisasi Masyarakat Islam. Untuk tahun pertama, data yang diperoleh dianalisis yang juga dimulai ketika di lapangan secara induktif dengan bersandar pada teknik triangulasi, sedangkan analisis pascalapangan dilakukan dengan analisis isi (content analysis), dan analisis perbandingan tetap (constant comparative analysis) atau holistik, sehingga ditemukan karakteristik model kebijakan perwakafan di Indonesia yang berbasis good waqf governance secara utuh. Adapun penafsiran data digunakan teknik interpretasi teoritis (theoritical interpretations). Untuk tahun kedua data yang diperoleh dari angket dan FGD analisis di mulai pasca lapangan dengan teknik analisis, cara penafsiran yang sama dengan tahun sebelumnya. Penelitian berkesimpulan bahwa faktor-faktor kemunduran peran kelembagaan wakaf Indonesia meliputi: Faktor policy, faktor hukum, faktor budaya, faktor kelembagaan dan kroupsi; Pertimbangan untuk mewujudkan maqoshid syariah dalam pengembangan kelembagaan wakaf Indonesia, Pertimbangan ideologis, sistem hukum, akselerasi capaian pembangunan negara, ketertinggalan ekonomi umat, membangun jejaring ekonomi syariah, membangun daya saing produk umat islam, kepemimpinan umat islam, tuntutan globalisasi; Prinsip-prinsip maqoshid syariah untuk pengembangan kelembagaan wakaf di Indonesia berlandaskan pada point point sebagai berikut: Penguatan peran negara in line dengan prinsip maqoshid hifzhul dzin, Akselesasi pembangunan kelembagaan pendidikan umat in line dengan prinsip maqoshid hifdzul aql, Pemberdayaan sistem komplek ekonomi umat in line dengan prinsip maqoship hifdzul mal, Pembinaan dan pencegahan kerusakan lingkungan , pathology sosial in line dengan hifdzul alam dan nasl; Model kebijakan dan kelembagaan wakaf sberbasis paradigm maqoshid syarian dan tuntutan dan kesadaran hukum Indonesia di wujudkan dalam pelembagaan wakaf sebagai berikut: Sistem wakaf tanah, Sistem wakaf tunai, Sistem wakaf HAKI, Sistem Wakaf Uang Giral, Sistem Wakaf perusahaan, Sistem wakaf obligasi, Dan lain lain yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Kata Kunci: Pelembagaan Wakaf, Maqoshid Syariah, Waqf governance,
4
PRAKATA Yusuf Qorodhowi menegakan “The good of this life and the Hereafter are in five qualities: the wealth of the soul, preventing harm, lawful earnings, the clothes of taqwa, and having trust in Alloh in every situasion”. Hal ini merefleksikan arti pentingnya pengembangan hukum islam untuk kesempurnaan kehidupan masyarakat muslim. Penelitian ini mencoba menganalisis pelembagaan prinsip prinsip maqoshid syariah dalam sistem pengelolaan wakaf di Indonesia. Kami menyadari banyaknya kekurangan. Semoga dapat menjadi bahan bacaan yang mencerahkan.
5
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 5. HASIL PENELITIAN BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN -Artikel -Draf Buku Teks Hukum Wakaf dan Zakat -Draf Naskah Akademik Peraturan Presiden Pengelolaan Wakaf Berbasis Keormasan
6
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa wakaf dalam islam merupakan sistem hukum komplek dan strategis mengenai pengelolaan asset. Bukti sejarah juga memamaprkan bahwa wakaf telah menawarkan tata mekanisme hukum effektif dan kelembagaan pengelolaan asset yang memegang peran kunci dalam sejarah kejayaan islam. Situs kejayaan islam ini membuktikan bahwa wakaf telah berkontribusi strategis dalam puncak peradaban Islam (Siraj Said, 2008:4). Ini telah diakui dan dikembangkan di bawah Syariah selama lebih dari seribu tahun (Nursi, 2010:30). Dalam wakaf, pemilik secara permanen memisahkan properti, hak pakai hasil atau pendapatan, untuk memberikan manfaat kepada penerima dengan tujuan tertentu(Qordhawi 2013: 102). Semangat wakaf dalam Islam sangat berkaitan dengan kaidah sedekah. Investasi Muslim dari waktu ke waktu terhadap lembaga wakaf semakin berkembang besar (IDB 2010: 12). Tidak terkecuali ratusan sultan dan penguasa, ribuan keluarga sejahtera dan jutaan warga biasa juga membuat kontribusi kecil dari apa pun yang mereka bisa lakukan untuk amalan wakaf ini. Walaupun pengembangan kelembagaan wakaf ada pasang surutnya (Potren Gontor: 2013: 4). Wakaf sudah ada sejak zaman Rasullullah SAW, ketika Saidina Umar ra. memperoleh tanah di Khaibar. Saidina bertemu Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan tanah yang didapatkan. Rasullullah SAW bersabda, Saidina Umar dapat menyumbangkan hasil dan tidak menjual atau memberikannya kepada orang lain. Wakaf juga milik umat Islam yang dimana diperuntukkan kepentingan kaum muslimin pada umumnya(Mubarakfury 2004: 202). Umumnya, wakaf berasal dari tradisi sedekah dalam Islam (Sayid Sabiq 2008, 202). Kemudian, selama dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ketika wilayah-wilayah baru, terutama dari Kekaisaran Romawi, ditaklukkan oleh umat Islam, mereka bertemu dengan wakaf yang sudah ada lama bagi gereja-gereja, panti asuhan, biara-biara, dan poorhouses di tanah yang ditaklukkan. Terinspirasi oleh hal itu, Muslim mengembangkan lembaga wakaf untuk berbagai properti. Namun, seiring perkembangan zaman yang modern, maka kelembagaan wakaf mengalami perkembangan dengan
kerangka peraturan yang lebih modern (Fauziah,
7
2010:403). Ada dukungan masyarakat Islam di tingkat lokal, nasional maupun internasional. UNHABITAT (United Nation for Human Setlement) sudah lama menyadari bahwa wakaf, zakat, sistem ekonomi islam dan lembaga filantropi islam lainya memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan bagi kaum miskin. Sistem wakaf yang baru dapat membantu dalam redistribusi tanah, penguatan masyarakat sipil dan mendukung keuangan mikro perumahan yang efektif. Negara, khususnya berpenduduk mayoritas muslim, sebagai lembaga modern yang serius mengembangkan kelembagaan wakaf disamping partisipasi aktif dari aktor-aktor nonnegara. Namun, masyarakat sipil di sebagian besar dunia Islam baik sebagai organisasi yang berkedudukan secara nasional maupun internasional juga terbukti menjadi lembaga modern yang secara serius mengelola jaringan dana dan wakaf dari masyarakat islam sedunia. Aktivis Islam kontemporer tertarik untuk memproduksi alat-alat otentik untuk menegakkan prinsipprinsip dan nilai-nilai Islam, termasuk kebangkitan dan penataan kelembagaan seperti wakaf. Gambaran kesadaran ini memunculkan kesalahpamahan dari sebagian kecil kelompok islamophobia yang dianggap kontra produktif dengan model Barat (Qordhawai 2010: 301). Negara –negara berkembang papan atas giat mengkaji dan mengimplementasikan sistem kelembagaan wakaf dan zakat ataupun sistem ekonomi islam lainnya. Negara-negara ini berhasil menjadi pusat dunia bagi pengembangan kelembagaan-kelembagaan ekonomi islam seperti Malaysia, Turki, Singapura. Bahkan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika tidak ingin ketinggalan mengembangkan lembaga-lembaga ekonomi islam ini melalui pebuatan lembaga pengkajian islam dan pilot projek (Syafei Antonio, 2008: 12). Hasil kerja keras negara-negara ini telah menjadikan kelembagaan wakaf sebagai laksana “cabang negara” yang melayani berbagai aspek kebutuhan masyarakat. Eksistensi strategis wakaf dari ribuan tahun sejak kelahirnyaanya mengalami pasang surut karena factor politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak terkecuali Indonesia saat ini, faktor politik, ekonomi dan sosial masyarakat indonesia telah menjadi factor
walaupun
tidak terlalu progresif dalam artian implementasi mengembangkan kelembagaan melalui proses legislasi. Ada beberapa peraturan yang dikelola wakaf, yaitu: 1 . Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; 2 . Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
8
3 . Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia; 4 . Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tergambar bahwa aspek penerapan fiqih dan manajemen perwakafan adalah hal penting. Fiqih menyangkut keabsahan perwakafan. Manajemen adalah hal lain yang sangat dibutuhkan untuk operasionalisasi pesan fiqih aspek wakaf. Bahkan dalam dunia bisnis , manajemen akan menentukan apakah itu akan datang dengan keuntungan atau penipuan. Sayangnya leglislasi perwakafan hanya melihat menajement sebagai sekedar sebuah rangkain prosedur yang bersifat mekanis tidak memberi ruang intrepetasi prositif dan keterlibatan semua pihak termasuk peran strategis negara dalam proses pemberdayaan kelembagaan dan produktifitas perwakafan (lihat Munawir Sadzali, 1998, 200). Tidak dipungkiri obyek wakaf tanah di Indonesia terbesar di dunia namun tidak dipungkiri pula bahwa kelembagaan wakaf prositif dari peraturan perundangan, institusi, cara pandang pengelolaan wakaf, dan implementasi wakaf di Indonesia adalah yang paling ketinggalan jaman di dunia. Paradigma dalam pengembangan prinsip konsep dan pemikiran wakaf masih diwarnai pilihan mazab tertentu yang bersifat sangat jumud. Sisi lain, modernsisi kelembagaan wakaf di Indonesia juga paling tidak produkti dan tidak accountable sehingga perwkafan di Indonesia tidak memberi andil maksimal untuk mengatasi krisis ekonomi umat islam. Sangat ironis, akumulasi tanah wakaf sejumlah ratusan ribu hektar, masjid dan mushola berdiri megah berjumlah jutaan dan SDM umat islam mayoritas namun masih menghadapi kemiskinan, pengangguran dan derajad pendidikan umat islam yang masih rendah (Lihat laporan Depag , 2013 dan bandingkan dengan Laporan Bank Dunia 2012, tentang Posisi Indonesia dalam tingkat kesejahteraan, bandingkan pula dengan Kriteria Milliminium D&G). Berdasaran alasan krusial tersebut, sangat penting melakukan pengkajian dan penelitian tentang “Mewujudkan Paradigma Hukum Berbasis Maqoshid Syariah Dalam Kebijakan Dan Praktek Wakaf Tanah Di Indonesia (Studi Pengelolaan Wakaf Tanah Muhammadiyah Dan Nu)” .
9
B. Pertanyaan Penelitian 1. Faktor-faktor kemunduran peran kelembagaan wakaf Indonesia? 2. Pertimbangan apa saja untuk mewujudkan maqoshid syariah dalam pengembangan kelembagaan wakaf Indonesia? 3. Prinsip-prinsip maqoshid syariah apa saja untuk pengembangan kelembagaan wakaf di Indonesia? 4. Model kebijakan dan kelembagaan wakaf seperti apa yang berbasis paradigm maqoshid syarian dan tuntutan dan kesadaran hukum Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui eksistensi kelembagaan wakaf di Indonesia. 2. Untuk memetakan factor kebutuhan mewudjudkan maqoshid syariah pengembangan. 3. Untuk memformulasi prinsip maqoshid syariah
syariah dan tuntutan hukum dan
kesaran hukum masyarakat Indonesia. 4. Menemukan disain kebijkan dan kelembagaan perkwafan yang berparadigma maqoshid syariah di Indonesia.
D. Sumbangan Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoretis Penelitian ini akan mengeksplorasi dan memberikan pemahaman baru tentang prinsip harmonisasi syariah dan tuntutan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. 2. Secara Praktis Penelitian ini secara praktis memberikan out put berupa prinsip dan disain keijakan kelembagaan perwakafan Indonesia yang berparadigma maqoshid syariah. Sehingga wakaf benar-benar bernilai prodmenjawab tantangan kekinian dan dapat menyesejahterakan umat islam khususnya, bangsa Indonesia umumnya.
10
E.Keluaran Penelitian ini diupayakan memberikan keluaran penelitian berbentuk: 1.
Laporan Penelitian
2.
Jurnal
3.
Buku Ajar
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Wakaf 1. Konsep Umum, Kedudukan, dan Pengembangan Maqoshid syariah Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, karena hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) karena Allah tidak membutuhkan suatu hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula diciptakan untuk hukum itu sendiri karena kalau demikian maka keberadaan hukum itu akan sia-sia, akan tetapi hukum diciptakan untuk kehidupan manusia di dunia. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki dinamika yang tinggi, oleh karena itu, hukum Islam dibangun di atas karakteristik yang sangat mendasar, antara lain; rabbany; syumuly; akhlaqy; insany; waqi’iy. Dari kelima karakter tersebut dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahanperubahan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan tanpa bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan oleh Allah SWT. Hukum Islam (Syari’ah) merupakan norma Allah yang prinsip dan sumbernya berasal dari wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Namun, Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) tetap memberikan ruang bagi manusia melalui nalar akal pikirannya untuk terlibat langsung baik dalam memberi pemahaman terhadap wahyu tersebut ataupun dalam mengaplikasikan hukum
11
itu sendiri sebagai pedoman hidupnya. Sekalipun demikian, dalam perjalanan sejarah pembangunan hukum Islam masih ditemukan sebahagian ahli fiqh sering terkesan sangat berhati-hati dan teliti, bahkan cenderung takut dalam menangani perubahan hukum akibat adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan. Sementara di sisi lain ada sebagian dari mereka (ulama) yang terkesan berani melakukan perannya baik dalam posisinya subyek hukum atapun sebagai obyek hukum. Dari kondisi tersebut di atas, para ahli hukum Islam (faqih) telah berhasil membentuk system hukum Islam dan membangun metode penemuan hukum (Islamic Jurisprudence) sehingga muncullah metode-metode dalam beristinbat dengan menggunakan kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah sarana penemuan hukum Islam. Artinya kedua metode tersebut telah banyak memberikan ruang gerak dalam menggali teks (nash al-Quran dan as-Sunnah) guna memenuhi kebutuhan hukum bagi ummat manusi, sehingga dalam perkembangannya, telah memunculkan kajian-kajian kritis yang menghendaki agar hukum Islam dapat lebih mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan dianggap penting untuk
diformulasikan
berdasarkan nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai “Maqashid al-Syari’ah”. A. PENGERTIAN EPISTIMOLOGI 1. Pengertian Etimologi Maqashid Syari’ah Secara literal Maqashid al-Syari’ah merupakan kata majmuk (murakkab idlafi) yang terdiri dari kata maqashid dan al-syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing-masing mempunyai pengertian tersendiri. Kata ”Maqashid” adalah jama’ (plural) dari kata ”maqshad” (mashdar mimy) dari kata kerja ”qashada, yaqshidu qashdan wa maqshadan” yang memiliki arti sebagai legitimasi; komitmen terhadap jalan yang benar (QS. Al-Nahl: 9) dan dapat diartikan juga sebagai keseimbangan dan moderat (QS. Luqman: 19). Sedangkan kata ”Syari’ah” secara harfiah berasal dari akar kata "syara'a" dan memiliki dua arti yaitu: (a)
12
sebagai sumber air (mata air) yang dapat digunakan sebagai air minum, orang Arab menyebutnya: "masyra'at al-mãi" artinya: "maurid al-mãi" (sumber air). (b) sebagai jalan yang benar (lurus) (QS. Al-Jatsiyah: 18). Dalam kaitan ini, kedua arti di atas dapat dipadukan karena kata "Syari'ah" berarti jalan yang membekas menuju air karena sudah sering dilalui, tetapi digunakan dalam pengertian sehari-hari sebagai sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup mereka). (Yusuf: 19) Dua kata di atas (maqashid dan syari’ah) jika digabung menjadi satu maka bisa menghasilkan makna sebagai ”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”.
2. Pengertian Epistimologi Maqashid Syari’ah Ketika dilakukan pengkajian terhadap buku-buku Ushul Fiqh klasik tidak ditemukan ada diantara mereka yang memberikan batasan pengertian Maqashdi Syari’ah secara epistimologi, termasuk ulama yang mempunyai perhatian besar terhadap maqashid seperti Imam Al-Juweni, Al-Razi, Al-Gazali Al-’Izz bin Abdussalam. Boleh jadi karena ”Maqashid Syariah” pada waktu itu belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, atau belum dianggap perlu untuk dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu. Imam Al-Ghazali -umpamanya- beliau dalam membahas Maqashid tidak memberikan batasan secara rinci mengenai pengertian Maqashid Syari’ah terkecuali hanya mengatakan bahwa; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya: ’an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa mãlahum” (tujuan syariat Allah SWT bagi makhlukNya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka). (al-Ghazali: 251) Demikian halnya dengan Asy-Syathibi, sekalipun beliau dianggap sebagai bapak Maqashid, namun beliau juga tidak secara tegas memberi definisi terhadap Maqashid,
13
terkecuali mengatakan bahwa: “sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, atau hukum-hukum itu disyari’atkan untuk kemashaahatan manusia. (Al-Syathibi: 6). Sikap Al-Syathibi ini sempat dijustifikasi oleh muridnya Al-Raisuni dan mengatakan bahwa “ketika Imam Al-Syathibi menulis tesis Maqashid Syari’ahnya ia tidak memberikan definisi secara jelas dan tegas karena bisa saja beranggapan bahwa masalah tersebut sudah sangat terang benderang, dan karya Maqashid dalam kitabnya “Al-Muwafaqat” bukan untuk konsumsi umum tapi diperuntukkan untuk kalangan ulama saja (Al-Raisuni: 17). Pengertian Maqashid Syari’ah secara epistimologi dapat ditemukan pada karya ulama seperti Ibn Asyur, ‘Alal Al-Fasi, dan juga Ahmad Al-Raisuni dan lainnya, sebagaimana berikut ini: a)
Menurut Ibnu ‘Asyur: Maqashid al-Tasyri’ al-‘Am hiya al-ma’ani wa al-hikam almalhuzhah li al-syari’ fi jami’ ahwal al-tasyri’ au ma’zhamiha, bihaitsu la takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi nau’in khasshin min ahkam al-syari’ah (Maqashid Syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syariat-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya). (Ibn ‘Asyur: 51)
b)
‘Allal al Fasi: Al-murad bi maqashid al-syari’ah: al-ghayah minha wa al-asrar allati wadha’aha al-Syari’ ‘inda kulli hukmin min ahkamiha (Maqashid Syari’ah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukumNya). (Al-Fasi: 3).
14
c)
Ahmad Al-Raisuni: Al-ghayat allati wudhi’at al-syari’atu liajli tahqiqiha li mashlahati al-‘ibadah (Maqashid Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang ditentukan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan manusia). (Al-Raisuni: 7)
Melihat definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa: kandungan “maqashid syar’iyah atau tujuan hukum” adalah untuk kemaslahatan manusia. Pandangan tersebut didasarkan pada titik tolak dari suatu pemahaman bahwa “dibalik suatu kewajiban (taklif) yang diciptakan adalah rangka mewujudkan kemaslahatan manusia, sehingga setiap hukum itu pasti mempunyai tujuan. Jadi apabila ada hukum yang tidak mempunyai tujuan maka sama saja dengan memberi beban kewajiban (taklif) yang tidak dapat dilaksanakan, dan itu merupakan sesuatu yang mustahil. Jelasnya, bahwa hukum-hukum yang telah ditentukan dan diturunkan kepada manusia tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk kemaslahatan manusia.
B. KONSTRUKSI MAQASHID SYAR’IYAH SEBAGAI EPISTIMOLOGI HUKUM ISLAM
1. Konstruksi Maqashid Syar’iyah sebelum Al-Syathibi
Secara historis, Maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dikembangkan oleh para ulama mujtahid sebelum al-Syathibi, namun masih dalam bentuk doktrin yang pembahasannya belum dibangun secara epistimologis, bahkan hanya dijadikan sebagai sub pembahasan atau menjadi pembahasan kecil dalam beberapa kajian keilmuan, seperti yang pertama kali dilakukan oleh al-Turmudzi al-Hakim (+ w. 285 H). dalam beberapa karya-karya ilmiahnya
15
seperti: al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al‘Ubudiyyah (Al-Raisuni: 40). Setelah al-Hakim muncul beberapa nama seperti Abu Mansur al-Maturidy (w. 333. H.); Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H.); Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan alBaqillany (w. 403 H.). Kemudian selanjutnya muncul pemikiran Maqashid yang dipelopori oleh ulama Ushul Fiqh seperti al-Juwaini (w. 478 H.) dan al-Ghazali (w. 505 H.). Sedangkan dalam pandangan ulama fiqih ditemukan al-‘Izz ibnu ‘Abd al-Salam (w. 660 H.), Syihab alDin al-Qarafi (w. 685 H.), Najam al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.) dan muridnya Ibnu al-Qayyim (w. 751 H.) dan al-Syathibi Abu Ishaq (w. 790 H.) (Al-Raisuni: 3971). Pemikiran Maqashid pada fase ini muncul dengan corak dan versi yang beraneka ragam, sekalipun perbedaan itu hanya terkesan sebagai penambahan dan pengembangan, dan mereka pada umumnya sepakat bahwa tujuan dari syariah itu adalah bagaimana mewujudkan maslahah/manfaah (jalb al-mashlahah/manfa’ah) dan menghindarkan mafsadah (daf’u almafsadah) dan untuk mewujudkannya mereka sepakat untuk mengklasifikasikan maqashid syari’ah menjadi 3 (tiga) tingkatan yaitu: (1) al-dharuriyat; (2) al-hajiyat dan (3) al-tahsiniyat. Menurut Al-Juwaini, Maqashid itu didasarkan pada 5 (lima) pilar, yaitu: (1) sesuatu yang dapat dinalar dan dipahami maknanya sehingga diinterpretasikan menjadi hal yang dharurat (primer), seperti sanksi qisas disyariatkan untuk menghindarkan manusia dari pertumpahan darah secara berkesinambungan; (2) sesuatu yang berhubungan dengan hajat umum tapi tidak mencapai tingkatan dharurat, seperti transaksi sewa menyewa (ijarah) disyariatkan karena adanya kebutuhan bagi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan kepemilikan; (3) sesuatu yang tidak berhubungan dengan dharurat khusus atau hajat umum, tapi dapat mencapai keutamaan dan kesenangan, seperti membersihkan hadats dan
16
menghilangkan kotoran; dan (5) sesuatu yang tidak berdasar kepada hal-hal dharurat ataupun hajiyat, namun dapat menjadi suplemen (Al-Juwaini: 2/925)
Al-Burhan: (2/810, 811, 823,
905, 911, 913, 914, 961 dan 1238), Konstruksi maqashid ini ternyata pada menjadi dasar bagi ulama semasanya. Al-Ghazali -murid Al-Juwaini- dalam mengembangkan pemikiran Maqashid tidak jauh berbeda dengan gurunya, beliau hanya sedikit lebih jauh mengelaborasi 3 (tiga) tingkatan maqashid (Al-Dharuriyat, Al-Hajiyat dan Al-Tahsiniyat) dan menambahkan bahwa tingkatan maqashid yang lebih rendah akan menjadi penyempurna (mukammilat) terhadap maqashid yang lebih kuat, sehingga al-hajiyat sebagai penyempurnah terhadap al-dharuriyat dan altahsiniyat menjadi penyempurna terhapad al-hajiyat., hal tersebut menurutnya tidak dapat dibolak-balik (Al-Gazali /Al-Mustashfa: 253 dan Syifa’ al-Ghalil: 208). Sementara konstruksi maqashid menurut al-Razi dan Ibn ’Abd Al-Salam juga tidak berbeda jauh dengan pemikiran maqashid yang dibangun oleh Al-Ghazali karena dapat dipastikan bahwa sumber mereka satu yaitu maqashid yang dibangun oleh Al-Juwaini, sehingga mereka hanya menambah dan menyempurnakan bangunan maqashid Al-Juwaini dan Al-Ghazali (Al-Mahshul: 2/2/220-222) dan Qawaid Al-Ahkam; 1/7, 9, 167; 2/66)
2. Konstruksi Maqashid Syar’iyah Menurut Al-Syathibi Sudah tidak asing di kalangan para peneliti di bidang jurisprudensi Islam (ushul alfiqh) mengenai teori Maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh AlSyathibi dalam kitabnya al-Muwafaqa, bahkan sebahagian peneliti sering keliru karena menempatkan beliau sebagai penemu pertama teori Maqashid Syari’ah ini. Dengan tesis maqashid tersebut, pemikiran al-Syathibi diposisikan sebagai salah satu bagian corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqh lainnya (aliran muatkallimin dan fuqaha). Hal ini karena
17
al-Syathibi dianggap mampu menggabungkan teori-teori ushul fiqh (nadhariyyat ushuliyah) dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan dipandang lebih hidup dan lebih kontekstual. Tesis Maqashid Syari’ah yang dikembangkan Al-Syathibi diklsifikasi menjadi dua bagian yaitu: 1) Maqashid Syari’ah diformulasikan menjadi 2 (dua) bagian penting yakni (1) Qashdu alSyari’ (maksud syari’); dan (2) Qashdu al-Mukallaf (maksud mukallaf). Kemudian bangunan pertama (Qshdu al-Syari’ (maksud Syari’)) dibagi lagi menjadi empat bagian yaitu: a)
Tujuan Allah dalam menetapkan syariat atau hukum (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i alSyari’ah). Menurut al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) kepada hamba-Nya tidak lain kecuali untuk memperoleh kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan hukum yang diturunkan oleh Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Dalam kaitan ini, Al-Syathibi mengikuti ulama-ulama
sebelumnya membagi maslahat manusia kepada tiga klasifikasi penting yaitu: 1) dhauriyyat (primer); 2) hajiyyat (skunder) dan; 3) tahsinat (tertier, suplemen). (AlSyathibi: 2/8). b)
Tujuan Allah menurunkan syari’atnya untuk dapat dipahami (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham). Untuk Syariat dapat dipahami, Al-Syathibi menyebutkan ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan hal ini yaitu: (1) Syari’ah diturunkan dalam Bahasa Arab (QS. Yusuf : 2; QS. al-Syu’ara: 195) untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk ketatabahasaan Arab. al-Syathibi mengatakan: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami lidah Arab terlebih dahulu. (Al-Syathibi). (2) Syari’at
18
bersifat ummiyyah. Artinya Syariah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. “wal ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi ‘ala ashli wiladati al umm lam yata’allam kitaban wa la ghairahu” (Al-Syathibi: 2/69). Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia karena pangkal syariah adalah kemaslahatan manusia (fa inna tanzila al-syari’ah ‘ala muqtadha haal al-munazzali ‘alaihim aufaq li ri’ayat al-mashalih allati yaqshuduha al-syari’ al-hakim (Al-Raisuni: 149). c)
Tujuan Allah dalam menetapkan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang ketentuannya (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha). Dalam kaitan ini, al-Syathibi mempokuskan pada 2 (dua) hal yaitu: (1) taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq): al-Syathibi mengatakan: “Setiap taklif (kewajiban) yang di luar batas kemampuan manusia, secara Syar’i taklif tersebut tidak dianggap sah meskipun akal membolehkannya” (Al-Syatibi: 2/107). (2) taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (altaklif bima fiihi masyaqqah). Menurut al-Syathibi, adanya taklif, tidak dimaksudkan agar menimbulkan masyaqqah (kesulitan) bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya, di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf (Al-Syathibi, 2/93).
d)
Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Semua Hambanya (Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah). Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT berlaku untuk semua hamba-Nya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan ditetapkan syariah adalah untuk membebaskan seorang manusia dari belenggu hawa nafsu, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana ia tidak bisa melepaskan diri dari predikat
19
sebagai hamba. Itulah yang dimaksud dengan uangkapan “al maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf ‘an da’iyati hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan lillahi idltiraran” (Al-Syathibi: 2/168) 2) Maqashid yang kedua yaitu Tujuan Syari’ kepada subyek hukum (mukallaf) (qasdu almukallaf). Dalam kaitan ini al-Syathibi menekankan pada dua hal: a) Tujuan Syari’ kepada subyek hukum (mukallaf) adalah segala niat (maksud) dari perbuatan yang akan dilakukan harus sejalan dengan tuntunan syariah, sehinga dalam hal ini ”niat” yang menjadi dasar dari seatu amal perbuatan. Niatlah yang menjadikan amal seorang menjadi sah dan diterima atau tidak sah atau tidak diterima, niatlah yang bisa menjadikan amal perbuatan menjadi suatu ibadah atau sekedar perbuatan biasa, menjadikan perbuatan menjadi wajib atau sunnat dan seterusnya; b) siapa pun yang menjalankan perintah Allah SWT akan tetapi mempunyai maksud dan niat lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariah, maka perbuatannya dikategorikan batal (Al-Syathibi: 2/323).
C. KEDUDUKAN MAQASHID SYAR’IYAH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
1. Kedudukan Kaidah Maqashid Syar’iyah dalam Penetapan Hukum Islam Seperti yang telah banyak dibahas sebelumnya bahwa bentuk maslahah yang dijadikan sebagai dasar dalam menakar Maqashid Syari’ah terdiri dari dua bentuk, yaitu:
a.
Mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan untuk manusia, yang disebut dengan ”jalb al-manafi’/ al-mashalih”; b. Menghindarkan manusia dari kerusakan dan keburukan, yang disebut dengan ”daf’u al-mafasid”. Untuk menentukan baik-buruknya (manfaat atau mafasadah) suatu perbuatan dan guna mewujudkan tujuan pokok pembentukan dan
20
pembinaan hukum, maka tolak ukurnya adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan sehingga secara berurutan, ulama penggagas maqashid membuat peringkat kebutuhan tersebut menjadi tiga tingkatan yaitu: dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tertier): a.
Maqashid Dharuriyat (primer): adalah sesuatu yang mutlak adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya (al-Syathibi: 2/8).
Yang termasuk maqashid
dharuriyat ini ada lima yaitu: menjaga agama (hifzh al-din), menjaga jiwa (hifzh al-nafs), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal) dan menjaga aqal (hifzh al-’aql) (Al-Syatibi: 2/10). Untuk melestarikan ke lima kebutuhan dharuriyat tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) dari segi keberadaannya (min nahiyati al-wujud) yaitu dilakukan dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya; dan 2) dari segi ketidak-adaannya (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dilakukan dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketidak-adaannya. (Al-Syatibi: 2/8) Tujuan yang bersifat dharuriyat merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai dan segala tuntutan (perintah) yang berkaitan dengan hal tersebut bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuriyat menjadi wajib. Demikian sebaliknya, larangan yang berkaitan dengan dengan dharuriyat juga tegas dan mutlak dan hukum yang ditimbulkan menjadi haram (haram dzatiy). (Amir Syarifuddin: 213). Contoh:
21
-
Menjaga agama dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menegakkan syiar-syiar keagamaan (salat, puasa zakat dsb), melakukan dakwah islamiyah; berjihad di jalan Allah; dan menjaga agama dari segi ketidakadaannya (min nahiyat al-‘adam) yaitu menjaga dari upaya-upaya penyimpangan ajaran agama dan memberikan sanksi hukuman bagi orang yang murtad; (Al-Yubi: 195)
-
Menjaga jiwa dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan memberi nutrisi berupa makanan dan minuman; dan menjaga jiwa dari segi segi ketidakadaannya (min nahiyat al-‘adam) menjalankan sanksi qisas dan diyat terhadap pidana pembunuhan; (Al-Yubi: 211)
-
Menjaga akal dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menuntut ilmu dan melatih berikir positif; dan menjaga akal dari segi segi ketidakadaannya (min nahiyat al-‘adam) yaitu dengan memberikan had al-syurb (sanksi hukuman) bagi yang mengkonsumsi meinuman keras dan narkoba; (Al-Yubi: 235)
-
Menjaga keturunan/harga diri dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menganjurkan untuk melakukan pernikahan; dan menjaga keturunan/ harga diri dari segi segi ketidak-adaannya (min nahiyat al-‘adam) yaitu dengan memberikan sanksi had al-zina (sanksi perzinahan) bagi yang melakukan hubungan intin di luar pernikahan; (Al-Yubi: 245)
-
Menjaga harta dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menganjurkan untuk bekerja dan mencari rizki yang halal; dan menjaga harta dari segi segi ketidak-adaannya (min nahiyat al-‘adam) yaitu dengan melarang untuk melakukan pencurian dan penipuan terhadap harta orang lain dan memberi sanksi had al-sariqah (sanksi pencurian dan penipuan) bagi yang melakukannya; (Al-Yubi: 283)
22
b.
Maqashid Hajiyat (sekunder): adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam leluasa melaksanakannya dan terhindar dari kesulitan. Kalau hal tidak ada, maka ia tidak akan meniadakan, merusak kehidupan atau menimbulkan kematian hanya saja akan mengakibatkan
kesulitan
dan
kesempitan
(al-masyaqqah wa
al-jarah).
(Al-
Syathibi:2/10). Tujuan hajiyat jika ditinjau dari segi petapan hukum dapat dikelompokkan pada tiga bagian: 1) Hal yang disuruh syara’ nmelakukan untuk dapat melaksanakan suatu kewajian secara baik yang disebut sebagai ”muqaddimah wajib”. Contohnya: membangun sarana pendidikan seperti sekolah sesuatu yang disuruh oleh agama sebagai tempat menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Namun tidak berarti bahwa jika sekolah tidak ada lantas tidak dapat menuntut ilmu karena masih dapat dilakukan di luar sekolah, sehingga kebutuhan akan sekolah masuk sebagai hal yang hajiyat. 2) Hal yang dilarang syara’ untuk dilakukan guna menghindarkan pelanggaran pada salah satu unsur dharuryat. Perbuatan zina berada pada larangan tingakt dharuriyat, namun segala hal yang menjurus pada terjadinya perzinahan juga dilarang seperti berdua-duaan dengan lawan jenis, sekalipun tidak secara langsung merusak keturunan akan tetapi dilarang guna menutup pintu pelanggaran terhadap larangan yang bersifat dharuriyat . 3) Segala bentuk kemudahan dan keringanan (rukhshah) yang diberikan karena adanya kesukaran dan kesulitan sebagai pengecualian dari hukum azimah, sama halnya masalah ibadah (kebolehan meng-qashar dan menjama’ shalat; bolehnya berbuka puasa pada siang hari ramadhan bagi yang musafir atau sakit); masalah masalah muamalat (ijarah (sewa menyewa, jual salam; transaksi mudharabah dsb).
23
c.
Maqashid Tahsiniyat: adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan, namun jika tidak terpenuhi, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan, hanya saja dinilai kurang pantas dan tidak layak manurut ukuran tata-krama dan kesopanan (Al-Syathibi: 2/11). Tujuan syariah pada tingkatan tahsiniyat menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan dan juga tidak menimbulkan hukum haran pada perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, akan tetapi hanya menimbulkan ”hukum sunnat” bagi yang melakukan dan ”hukum makruh” bagi yang mengabaikan. Maqashid Tahsiniyat berlaku pada bidang ibadah (berbersih diri dan berpakaian rapi pada waktu ingin mengerjakan salat dan mau ke masjid); pada bidang muamalat (jual beli syuf’ah) pada bidang adat kebiasaan (makan dan minum dengan tangan kanan) dsb. Untuk
Maqashid Syari’ah
memperjelas tingkatan
berdasarkan
klasifikasi
dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, maka keterkaitan satu sama lain sebagaimana berikut ini: 1. Memelihara Agama Menjaga dan memelihara agama berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a.
Memelihara
agama
dalam
peringkat
“dharuriyat”,
yaitu
memelihara
dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti: melaksanakan shalat fardhu (lima waktu). Apabila kewajiban shalat diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam. b.
Memelihara agama dalam peringkat “hajiyat”, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti: melakukan shalat jama’ dan qasar
24
ketika musafir. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam eksistensi agama, namun dapat mempersulit pelaksanaannya. c.
Memelihara agama dalam peringkat “tahsiniyat”, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan, seperti: menutup aurat baik dilakukan pada waktu shalat ataupun di luar shalat dan juga membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji. Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan hajiyat.
2. Memelihara Jiwa Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a.
Memelihara jiwa pada peringkat “dhururiyat” adalah memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan, minuman untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Kalau kebutuhan pokok tersebut diabaikan akan mengancam eksistensi jiwa manusia.
b.
Memelihara jiwa pada peringkat “hajiyat” adalah dianjurkan untuk berusaha guna memperoleh makanan yang halal dan lezat. Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
c.
Memelihara jiwa pada peringkat “tahsiniyat” seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
25
3. Memelihara Akal Memelihara akal, dilihat dari tingkat kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga perinkat: a.
Memelihara akal pada peringkat “dharuriyat”, seperti diharamkan mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya. Apabila ketentuan ini diabaikan akan mengancam eksistensi akal manusia.
b.
Memelihara akal pada peringkat “hajiyat”, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekirannya ketentuan itu diabaikan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya berimbas pada kesulitan dalam hidupnya.
c.
Memelihar akal pada peringkat “tahsiniyat”, menghindarkan diri dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat sesuatu yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung mengancam eksistensi akal manusia.
4. Memelihara Keturunan Memelihara “keturunan/harga diri, ditinjau dari peringkat kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga: a.
Memelihara keturunan pada peringkat “dharuriyat”, seperti anjuran untuk melakukan pernikahan dan larangan perzinaan. Apabila hal ini diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan dan harga diri manusia.
b.
Memelihara keturunan pada peringkat “hajiyat”, seperti ditetapkan Talak sebagai penyelesaian ikatan suami isteri. Apabila Talak tidak boleh dilakukan maka akan mempersulit rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi.
c.
Memelihara keturunan pada peringkat “tahsiniyat”, seperti disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk
26
melengkapi acara siremoni pernikahan. apabila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan atau harga diri manusia dan tidak pula mempersulit kehidupannya. 5. Memelihara Harta Memelihara harta, ditinjau dari peringkat kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga peringkat: a.
Memelihara harta pada peringkat “dharuriyat”, seperti disyariatkan oleh agama untuk mendapatkan kepemilikan melalui transaksi jual beli dan dilarang mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar seperti mencuri, merampok dsb. Apabila aturan tersebut dilanggar akan mengancam eksistensi harta.
b.
Memelihara harta pada peringkat “hajiyat”, seperti dibolehkan transaksi “jual-beli “salam”, istishna’ (jual beli order) dsb. Apabila ketentuan tersebut diabaikan tidak akan mengancam eksistensi harta, namun akan menimbulkan kesulitan bagi pemiliknya untuk melakukan pengembangannya.
c.
Memelihara harta pada peringkat “tahsiniyat”, seperti perintah menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal tersebut hanya berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan harta apabila diabaikan. (Al-Ayubi: 192-303)
2. Kedudukan Al-Mashlahah dalam Maqashid Syari’ah
a. Arti Mashlahah
27
Kata Al-Mashlahah secara literal jika berasal dari akar kata ”shalah (baik)” lawan dari kata ”fasad (buruk atau rusak)”. Namun jika berasal dari ”al-mashlahah” maka dapat diartikan al-manfa’ah”, dikatakan ”Inna al-mashlahah ka al-manfa’ah lafzhan wa ma’nan” (). Pengertian Mashlahah dalam bahasa Arab dapat berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah setiap sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan, kesenangan (jalb almanfa’ah); atau dalam arti menolak atau menghindarkan kemudharatan atau kerusakan (daf’u al-madharrah/al-mafsadah). Dalam mengartikan al-Mashlahah secara epistimologi, terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama sekalipun intinya hampir sama, antara lain: Imam
Al-Ghazali:
Mashlahah
menurut
asalnya
merupakan
sesuatu
yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) atau menhindarkan mudharat (kerusakan), namun lebih jauh dikatakan bahwa al-mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Sedangkan tujuan syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. (al-Ghazali: 102 dan 251). Dari definisi tersebut AlGhazali melihat bahwa menurut asalnya -Mashlahah berarti bagaimana manusia sebagai subyek hukum (al-mukallaf) mewujudkan tujuannya (maa yuhaqqiq qashd al-mukallaf), namun bukan itu yang diinginkan sebagai al-mashlahah akan tetapi yang diinginkan adalah bagaimana tujuan Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) terhadap hamba-Nya yang mecakup lima hal pokok itu dapat terwujud (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Al-’Izz ibn Abd As-Salam memberikan definisi bahwa Mashlahah dalam bentuk hakikatnya identik dengan kesenangan dan kinkmatan, sedangkan bentuk majaznya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan. (Ibn As-Salam: 1/12)
28
Sementara menurut Al-Thufi: Maslahah adalah ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat. (Al-Thufi: 48) Dari beberapa definisi di atas, sekalipun dengan rumusan yang berbeda namun dapat disimpulkan bahwa masalahah itu adalah sesuatu yang baik oleh akan sehat karena mendatangkan manfaat (kebaikan) dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Ketiga ulama di atas (Al-Ghazali, Ibn Abd As-Salam dan Al-Thufi) memliki pandangan yang hampir sama tentang maslahah; AlGhazali menekankan bahwa maslahah merupakan upaya pelestarian tujuan syariat; Al-Thufi menggambarkan sebagai sebab yang membawa kepada tujuan syara’; sementara Ibn Abd Salam menggambarkan bahwa sanksi itu bukan untuk merusak, akan tetapi bertujuan agar dapat menjaga tujuan sayara’ itu sendiri (Al-’Alim: 140). Namun dari hasil penelitian Al-Raisuni mengungkapkan hal lain dan mengatakan bahwa: Al-Mashlahah (al-manfaah) dan Al-Mafsadah merupakan dua istilah yang disepakati oleh ulama sebagai sarana kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi seperti yang disebutkan oleh Al-Shathibi sebagai ”mashalih al-’ibad fi al-’ajil wa al-’ajil ma’an”. AlRaisuni memberikan gambaran mengenai kemaslahatan ukhrawi dan mengatakan: mashalih al-akhirah adalah: semua yang dapat menghantarkan untuk mendapatkan ridha dan nikmat Allah, sementara mafasid al-akhirah adalah semua yang dapat membawa kepada kemurkaan Allah dan siksaan-Nya (al-Raisuni: 255). Oleh karena itu, hampir dipastikan bahwa ketika ulama berbicara mengenai maslahah mesti mereka akan menyebutkan dua istilah ”manfa’ah” dan ”mafsadah” secara bersamaan, seperti ungkapan Ibn Qudama (1/412): Anna al-mashahah hiya jalb al-manfaah au daf’u al-mafsadah; Al-Razi (2/2180 dan Al-Syaukani (215): semua yang dapat membawa kepada kelezatan dan keyamanan adalah manfaat, sementara semua yang dapat membawa kepada kesengsaraan dan kesakitan adalah mafsadah. Jadi yang ingin dikatakan: maslahah itu adalah semua yang dapat memberi kelezatan dan kenyamanan
29
terhadap jiwa, pisik, ruh dan akal pikiran. Sementara mafsadah adalah semua dapat menimbulkan kesengsaraan dan kesakitan terhadap jiwa, pisik, ruh dan akal pikiran (AlRaisuni: 257).
b. Keriteria Maslahah Said Ramadhan Al-Buthi menawarkan lima kriteria Maslahah (Al-Buthi: 113): 1) Maslahah harus dalam lingkup tujuan syara’ (Allah sebagai Lawgiver) 2) Tidak bertentangan dengan nash Al-Quran ataupun hadis Nabi SAW 4) Tidak bertentangan dengan Qiyas Shahih 5) Tidak mengabaikan maslahah lain yang lebih penting dan kuat
c. Implementasi Nash dalam Mengukur Maslahah: Sering mendapatkan ungkapan bahwa ada terjadi pertentangan antara nash dan maslahah atau ada indikasi maslahah yang tidak mendapatkan legimasi nash. Dalam kaitan ini, Al-Raisuni menawarkan suatu rumusan yang dapat mewujudkan konsistensi maslahah terhadap nash, dengan perlunya (Ar-Raisuni: 50-55): 2)
Menjadikan nash sebagai tolok ukur masalahah; posisi nash sebagai tolok ukur masalah melahirkan keyakinan besar bahwa di dalam nash itu terdapat keadilan dan akan selalu menjadi rahmat bagi umat manusia (QS. Al-Anbiya: 107), maka nash akan selalu diposisikan sebagai tolok ukur maslahah. Karena demikian; akan dapat diketahui bahwa disana ada maslahah mu'tabarah (mendapat penegasan syara'); akan dapat dibedakan antara maslahah (manfaat) dan mafsadah (kerusakan); akan dapat dibedakan antara
30
maslahah al-'ulya dengan sekedar kepentingan duniawi saja, bahkan; dan akan dapat pula dibedakan antara kerusakan yang menimbulkan bahaya dengan kerusakan biasa; 3)
Tafsir secara mashlahi terhadap nash; Tafsir mashlahi dimaksudkan agar kajian dan penelitian yang dilakukan untuk menemukan "tujuan-tujuan nash" yang terkandung dibalik ketentuannya, karena seperti penegasan Al-Syathibi bahwa ketentuan agama dietetapkan untuk kemaslahatan umat manusia, baik untuk kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhirawi (Al-Syathibi: 6), dengan "tafsir mashlahi" ini memungkinkan untuk menghilangkan anggapan sementara orang bahwa ada benturan antara maslahah dan nash; dan
4)
Aplikasi secara mashlahi, yaitu dalam mengaplikasikan ketentuan nash selalu didasarkan kepada maqashid syar'iah yang menjunjung tinggi kepentingan bersama, sehingga terjadi keterikatan antara nash dan realita.
Berdasarkan hal di atas, ada perangkat metodolis yang ditawarkan oleh para ahli Ushul fiqh guna mewujudkan dialog antara nash, maslahah dan relaitas, yaitu: 1)
Tahqiq Al-Manath: seperti telah disebutkan bahwa tahqiqi al-manath adalah upaya seorang mujtahid untuk mengidentifikasi dan memverifikasi subtansi obyek hukum, guna menghindari terjadinya kesalahan
teksin penyesuaian antara satu hukum dengan
obyeknya. 2)
I'tibar Maalat al-Ahkam: yang dimaksud dengan i'tibar maalat al-ahkam adalah mempertimbangkan dan memantau kondisi aplikasi hukum yang telah ditempuh pada perangkat tahqiq al-manat. Kalau pada perangkat pertama (tahqiqi al-manat) menekankan pentingnya seorang mujtahid memahami dan mendalami apa yang sedang terjadi, maka perangkat i'tibar maalat al-ahkam adalah mewajibkan untuk memahami dan mempertimbangkan bakal apa yang terjadi (mutawaqqa').
31
3)
Muraat at-taghayyurat: inti perangkat ini adalah merupakan anjuran kepada setiap yang ingin melibatkan diri dalam proses penemuan dan penetapan hukum agar selalu memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia realita, karena kebijaksaan hukum akan dapat berubah berdasarkan perubahan waktu dan tempat. (Ibn Al-Qayyim: 425).
Dengan demikian dapat ditari benang merah bahwa konsep dan kedudukan maqoshid syariah dalam pengembangan hukum wakaf sebagai berikut: a.
Maqashid Syari’ah sebagai epistimologi hukum merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam, sebagai salah satu metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama-ulama beberapa abad abad yang lalu dan merupakan hasil dari prestasi yang gemilang dalam bidang pemikiran ilmu hukum.
b.
Pemikiran Maqashdi Syari’ah sebagai teori hukum yang pembahasan utamanya menjadikan “jalb al-manfa’ah dan daf’u al-mafsadah sebagai tolok ukur terhadap sesuatu yang dilakukan manusia; dan menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai tujuan pokok dalam pembinaan hukum Islam.
c.
Maqashid Syari’ah mengklasifikasi kebutuahn manusia menjadi tiga tingkatan yaitu Ad-dharuriyat, al-hajiyat, dan al-tahsiniyat agar manusia dapat mencapai kemaslahatannya di dunia dan di akhirat nanti.
d.
Dengan terbukanya Maqashid al-Syari’ah sebagai salah satu epistemologi hukum Islam diharapkan dapat membangun hukum yang mampu berfungsi dalam mewujudkan “jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid” sehingga dapat tercipta stabilitas dalam kehidupan, terwujud keadilan, kemanfaatan serta kesejahtaeraan dalam kehidupan manusia di dunia dan al-fauz bi al-jannah wa an-najat min an-
32
naar di akhirat nanti dan itulah yang menjadi kemaslahatan tertinggi bagi manusia dan itulah inti dari Maqashid Syari’ah.
2 . Definisi Wakaf Kata wakaf berasal dari bahasa Arab. Awalnya "WAQOFA" berarti menahan atau menghentikan atau diam. Kata "WAQOFA - YAQIFU - WAQFAN " dalam arti yang sama dengan "HABASA - YAHBISU - HABSAN". Definisi wakaf secara terminologi telah dijelaskan oleh beberapa ulama Islam sebagai berikut : Menurut pendapat Sayid Sabiq, wakaf adalah menahan esensi (asal) dari objek dan memanfaatkan hasilnya di jalan Allah. Ali bin Muhammad Al - Jurjani berpendapat bahwa wakaf adalah menahan esensi dari objek yang dalam kepemilikan Waqif dan memanfaatkan hasilnya. Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan objek, yang secara hukum masih dalam kepemilikan Waqif dalam rangka pemanfaatan hasilnya demi kebaikan. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah, ia menyimpulkan bahwa kepemilikan benda wakaf tidak berubah, dan Waqif yang bisa menarik benda keluar dan mungkin dijual. Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf adalah jaiz (tidak wajib). Menurut pendapat Jumhur, wakaf adalah menahan benda yang berpotensi datang dengan manfaat. Oleh karena itu, kepemilikan hak Waqif dan orang lain dihentikan. Hasil dari obyek wakaf akan memanfaatkan untuk kebaikan dan kebaikan di jalan Allah. Oleh karena itu, hak kepemilikan benda wakaf akan terlepas dari Waqif dan menjadi hak Allah. Anwar Haryono memberikan definisi wakaf yaitu pelepasan kepemilikan hak obyek wakaf dan hasilnya untuk kepentingan publik, pelepasan kepemilikan benar oleh endowment dianggap sebagai amal. Selain definisi wakaf, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum orang yang sengaja melepaskan sifat mereka dalam rangka untuk memanfaatkan manfaatnya demi kebaikan di jalan Allah. Munculnya lembaga wakaf itu tak lepas dari tujuan ibadah yang diperintahkan oleh agama. Dengan demikian, seperti yang terlihat posisinya sebagai lembaga Islam, wakaf dianggap
33
sebagai lembaga Islam yang dianjurkan bagi umat Islam yang memiliki sifat untuk kepentingan kepentingan publik yang didasarkan pada kondisi yang ditentukan.
2 . Sejarah Wakaf Wakaf telah dikenal sejak era Nabi Muhammad SAW, yang dimulai dari imigrasi Muhammad SAW ke Madinah, dan itu dilaksanakan pada tahun kedua Hijriyah periode. Para ulama Islam berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama terjadi ketika Umar bin Khatab sedekah tanahnya di Khaibar. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan wakaf pertama kali diimplementasikan dalam Islam adalah tanah yang diberikan oleh Muhammad SAW untuk pembangunan masjid. Hal ini didasarkan pada narasi yang berasal dari Umar bin Syabah yang mengatakan: "Kami meminta mengenai pada wakaf pertama dalam Islam, Muhajirin menjawab bahwa wakaf Umar, namun Anshor menjawab wakaf dari Rasulullah Muhammad SAW." (Asy Syaukani , 1374 H : 129) Abu Thalhah juga sedekah tanah tercinta dari "Bairoha" untuk pertanian dan perkebunan. Selain itu, telah diikuti oleh sahabat yang lain yaitu Abu Bakar, Usman, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah yang merupakan istri Rasulullah. Semangat wakaf dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Muslim di seluruh dunia sebagai ketaatan kepada Allah SWT.
3. Dasar Hukum Wakaf dalam Hukum Islam Dasar hukum wakaf di Hukum Islam disebut kitab suci Al-Quran dan tradisi kenabian Muhammad SAW yaitu:
)261 :(البقرة
ّ عن أبى هريرة رضي هللا عنه اذا مات ابن اَدم:ان النّبي صلى هللا عليه وسلم قال أو ولد صالح يدعوله, أو علم ينتفع به, صدقة جارية:انقطع عمله االّ من ثالث )(رواه مسلم
34
Menurut Muhammad Ismail Al - Kahlani , kata " " صدقةجاريةberarti wakaf . Karena tradisi kenabian di atas telah dibahas dalam bab wakaf, karena itu para ulama Islam menafsirkan kata sebagai wakaf.
4. Praktik Wakaf Pada Masa Kekhafahan Islam Selama Kekaisaran Ottoman (1299-1923) dan Kekaisaran Persia Safawi (1501-1726), lembaga wakaf menjadi bagian penting dari sistem ekonomi kerajaan Islam. Pada tahun 1826, melalui inisiatif reformasi hukum tertentu dalam Kekaisaran Ottoman, sifat wakaf dan administrasi ditempatkan di bawah kendali suatu kementerian Imperial dan pendapatan dari properti wakaf diambil oleh negara. Hal ini dinyatakan jelas bahwa sebelum Islam tidak ada wakaf di Saudi. Wakaf awal disebutkan oleh otoritas hukum adalah bahwa khalifah kedua dan seperti yang dijadikan dasar hukum yang terbaik adalah untuk memberikan laporan lengkap tentang hal itu sebagaimana diceritakan oleh tradisi Bukhari Sharif: Al-Quran telah menyebutkan bahwa Ka'bah adalah yang pertama dari tempat ibadah yang dibangun oleh manusia dan merupakan wakaf pertama di dunia, serta dinyatakan dalam wahyu Allah SWT yaitu:
The Ottoman Land Code 1858 yang didasarkan pada kedua praktek Ottoman dan hukum Islam. Ini mendefinisikan lima kategori tanah : kepemilikan pribadi ( mulk ), tanah Negara ( miri ) dan endowment ( wakaf ), tanah mati ( mewat ), dan lahan publik untuk penggunaan umum seperti padang rumput untuk penggunaan kota dan desa tertentu, pasar, taman dan tempat untuk berdoa ( metruke ). Kode tetap dasar undang-undang negara modern dan pembagian ke dalam bentuk-bentuk kepemilikan lahan tetap di tempat hari ini. Hukum Islam memfasilitasi kepemilikan penuh, conceives dari 'Negara' lahan yang dapat digunakan untuk kepentingan umum dan juga mengakomodasi kolektif dan akses lahan kelompok dan hak guna. Strategi penyesuaian tanah yang menemukan otoritas mereka dan legitimasi sosial abadi prinsip-prinsip Islam kesetaraan dan egalitarianisme seperti dalam komunal ('musha’) desa, menggunakan pertukaran plot dan kompensasi, bisa dalam kondisi yang tepat meningkatkan akses terhadap lahan di mana sering ada paket terfragmentasi dan
35
web tenor. Demikian pula, lembaga dana abadi (wakaf) dapat memfasilitasi hak atas tanah yang sering diawetkan dalam lingkaran yang lebih kecil dari kelas mendarat. Pengembangan Wakaf dapat secara signifikan berkontribusi pada pemberdayaan ekonomi umat, mengingat bahwa pembiayaan pemerintah sektor sosial secara global telah berkurang, terutama di negara-negara kurang berkembang (LDC) di mana anggaran pemerintah telah menyusut . Pada saat yang sama bantuan asing juga menjadi langka sebagai tolakan dari krisis keuangan global. Akibatnya, negara-negara berkembang menemukan diri mereka semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan. Dalam situasi seperti itu, Wakaf dapat memainkan peran penting seperti yang mereka lakukan untuk berabad-abad di semua masyarakat Muslim di mana sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dibiayai terutama melalui Wakaf. Desakan teoritis Islam yang kepemilikan segala sesuatu adalah milik Allah sendiri menandakan bahwa kepemilikan tunduk pada prinsip-prinsip yang adil dan redistributif. Kepemilikan ilahi digabungkan dengan berulang referensi Qur'an yang menyatakan bahwa semua manfaat dari sumber daya manusia alam. Negara ini mengasumsikan tanah 'kepemilikan' atas nama Tuhan, tetapi untuk kepentingan masyarakat. Hak milik Islam menggabungkan unsur redistributif, yang jelas dalam institusi seperti dana abadi (wakaf) dan amal (zakat). Dalam Islam, orang miskin memiliki hak terhadap Negara serta kaya. Dalam Islam tanah terbengkalai yang pernah diperoleh atau dipesan oleh siapapun. Sebagian besar ahli hukum Islam menganggap jenis tanah sebagai wakaf tanah atau diperlakukan sebagai rampasan perang, yang jatuh ke dalam kepemilikan masyarakat. Siapa saja yang dapat merehabilitasi jenis tanah atau membawa ke dalam pemanfaatan langsung dapat mengklaim kepemilikan tetapi ia tidak dapat mengesampingkan persyaratan Negara untuk kepentingan umum masyarakat. Tanah di wakaf secara eksplisit ditetapkan sebagai milik Allah, menempatkan rem pada kepemilikan pribadi atau negara atas itu. Ini adalah bentuk penguasaan tanah dengan peran penting dalam mempromosikan akses Toland untuk berbagai manfaat dan bab berikutnya dikhususkan untuk wakaf dan filantropi Islam. Namun, perlu dicatat bahkan pada tahap ini bahwa wakaf dan teori-teori yang berkaitan dengan doktrin Islam shuf'a (hak preemption) dipandang dalam perspektif kolonial sebagai contoh keterbelakangan hukum Syariah dalam hal membatasi kepemilikan individu, sebagai lawan elemen kunci dalam pengaturan yang kreatif dan fleksibel.
36
Al-Qur'an tidak mengandung referensi khusus untuk wakaf, dan parameter hukumnya telah dikembangkan selama berabad-abad oleh para ahli hukum. Hal ini terinspirasi oleh penekanan berulang pada amal sebagai tindakan pengabdian kepada Allah (misalnya Qur'an 51:19; 2:215; 3:92; 2:177). Charity terhadap anggota tergantung secara ekonomi dari keluarga, komunitas dan masyarakat merupakan salah satu dari lima prinsip dasar Islam. Misalnya, setiap Muslim Sunni wajib membayar zakat tahunan dalam istilah moneter, dihitung berdasarkan keuntungan tahunan atau penghasilan di atas dan di luar kebutuhan hidup, meskipun dengan cara pembayaran yang bervariasi. Hal ini dapat dibayarkan kepada masjid, orang miskin, lembaga amal atau negara. Di negara-negara seperti di Pakistan, Sudan, Libya, dan Arab Saudi pajak wajib dikenakan. Dalam lain seperti Yordania, Bahrain, Kuwait, Lebanon, Malaysia, dan Bangladesh, koleksi zakat diatur oleh negara dan diatur oleh hukum. Zakat berfungsi untuk memurnikan kekayaan dan orang yang membuat pembayaran amal dan Islam mengutuk pola perilaku tertentu secara luas dikaitkan dengan beberapa orang yang telah mencapai kekayaan, seperti kesombongan, keserakahan, dan cinta kekayaan. Kemiskinan adalah sebuah fenomena ekonomi multidimensi yang memiliki baik konsekuensi politik dan sosial. Ini ada di seluruh generasi dan masyarakat terlepas dari afiliasi budaya dan batas-batas geografis. Meskipun sifat kemiskinan dapat bervariasi dari masyarakat untuk masyarakat, budaya ke budaya dan waktu ke waktu, kemiskinan tetap baik di daerah pedesaan maupun perkotaan sama, dan juga di kedua negara maju dan berkembang. Program anti-kemiskinan dapat secara luas diklasifikasikan menjadi dua strategi : (a) Strategi tidak langsung : yang merumuskan kerangka kebijakan makro-ekonomi untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan, lapangan kerja yang lebih tinggi, lebih tinggi pendapatan per kapita, dan akhirnya mengurangi kemiskinan, dan (b) Strategi Direct : yang menargetkan populasi istimewa bawah dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk menjamin akses kredit, meningkatkan kondisi kesehatan, meningkatkan tingkat melek huruf dan akhirnya mengentaskan kemiskinan. Prinsip-prinsip Islam pengentasan kemiskinan didasarkan pada pandangan Islam keadilan sosial dan keimanan kepada Allah SWT . Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai negara dimana seorang individu gagal untuk memenuhi salah satu dari lima persyaratan dasar manusia hidup : (a) Agama, (b) diri fisik, (c) Akal atau Pengetahuan, (d) Offspring, dan (e) Kekayaan. Ekonomi Islam mengidentifikasi perbedaan individual antara orang-orang karena setiap orang dikaruniai dengan jenis dan tingkat kemampuan manusia yang berbeda. Jadi,
37
meskipun orang diberi kesempatan yang sama, status ekonomi dari dua individu tidak dapat equal. Oleh karena itu, kemiskinan tidak dapat diatasi hanya melalui redistribusi pendapatan atau menjamin peluang yang adil bagi semua. Pendekatan Islam untuk pengentasan kemiskinan idealnya akan melibatkan pendekatan holistik termasuk serangkaian langkahlangkah antikemiskinan : (a) tingkat pendapatan meningkat dengan program pro-poor, (b) mencapai pemerataan pendapatan dan (c) memberikan kesempatan yang sama bagi semua sosial segmen. Penciptaan Wakaf melibatkan beberapa kewajiban hukum seperti : (a) properti harus menjadi aset nyata yang memiliki beberapa makna lamanya seperti tanah, bangunan, unta, sapi, domba, buku, perhiasan dll. (b) Properti harus diberikan secara permanen. (c) Wakaf pendiri harus secara hukum fit dan cenderung untuk mengambil tindakan seperti itu dan seorang anak , orang gila , atau orang yang tidak memiliki properti tidak dapat membuat Wakaf. (d) Tujuan dari Wakaf harus tindakan amal dari kedua sudut pandang syariah dan pendiri. (e) Akhirnya, penerima manfaat, orang (s) atau tujuan (s), harus hidup dan sah. Namun, Wakaf dapat secara tunai juga. Pada abad pertama Hijrah, uang tunai Wakaf dalam praktek dalam dua bentuk : (1) uang tunai untuk pinjaman gratis ke penerima manfaat, dan (2) uang tunai untuk investasi dan pengembalian bersih sebagaimana ditugaskan kepada penerima manfaat. Seperti uang tunai Wakaf menjadi sangat umum di tahap akhir dari Kekaisaran Ottoman juga. Wakaf adalah instrumen Ekonomi Islam yang sangat unik didasarkan pada kebenaran (birr), kebaikan (ihsan), dan persaudaraan. Fitur utama dari wakaf adalah kepemilikan pribadi akan dianggap milik Allah setelah transfernya properti. Harap baik akan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. Melalui wakaf diharapkan akan ada proses distribusi manfaat berarti bagi masyarakat luas mulai dari manfaat pribadi dengan manfaat sosial. Wakaf merupakan lembaga ekonomi Islam yang ada dari kedatangan Islam. Hal ini terbukti dalam sejarah bahwa lembaga wakaf menjadi salah satu pilar yang kuat yang bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi pemerintahan Islam. Selain argumentasi wakaf dalam Islam, itu bisa disebut wahyu dari Allah dalam kitab suci AlQuran, tradisi kenabian Muhammad SAW, dan ijtihad yang dilakukan oleh ulama Islam. Misalnya argumentasi yang dimaksud Quran adalah:
38
4 . Elemen dan Kondisi Wakaf Ada empat unsur wakaf, yaitu: a. Orang yang menyumbangkan (Waqif); b. Objek disumbangkan (Mauquf); c. Tempat Sumbangan (alaih Mauquf '), yaitu tempat di mana benda wakaf akan disumbangkan; d. Aqad, yaitu perjanjian antara Waqif dan mauquf ' alaih pada obyek wakaf. Dalam rangka menciptakan status hukum wakaf, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi yaitu: a. Orang yang menyumbangkan harus dalam kepemilikan penuh dari obyek wakaf. Waqif harus dewasa, dan wakaf harus dilakukan dengan sengaja tanpa kekuatan apapun. b. Inti dari objek wakaf harus abadi . Ini berarti ketika manfaat dari obyek wakaf muncul, dalam waktu yang sama esensi dari objek wakaf tidak rusak. c. Penerima obyek wakaf harus menjadi orang yang memiliki hak untuk memiliki sebuah objek, sehingga dianggap ilegal jika kinerja wakaf untuk budak. d. Janji wakaf dinyatakan dengan jelas baik secara lisan dan tulisan. e. Cash, karena wakaf berarti mentransfer hak kepemilikan secara langsung pada waktu itu.
5. Nadzir Nadzir adalah orang atau badan yang memegang mandat untuk memanfaatkan dan mengelola properti wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Pada dasarnya, setiap orang bisa menjadi nadzir asalkan ia memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum. Orang yang memiliki kewenangan untuk menentukan nadzir adalah Waqif. Hal ini dimungkinkan jika Waqif menjadi nadzir, atau ia bisa menyerahkan pengawasan atas properti wakaf yang lain, baik secara individu maupun secara organisasi. Selain pengawasan dan manajemen wakaf, pemerintah memiliki kewenangan untuk menerapkan peraturan hukum yang terkait dengan wakaf dalam rangka menciptakan manajemen yang baik dan pengawasan harta wakaf.
39
Dalam kasus nadzir bersifat individual , para ahli akan menentukan beberapa kondisi yang harus dipenuhi yaitu, (1) badan yang masuk akal, (2) dewasa, (3) andal, dan (4) mampu mengelola semua jenis urusan dihormati untuk wakaf properti. Bila kondisi di atas tidak terpenuhi, hakim dapat menunjuk orang lain yang memiliki hubungan relatif dengan Waqif, namun pengawasan akan dilakukan oleh Waqif. Nadzir tersebut memiliki kompetensi untuk melaksanakan setiap tindakan yang datang dengan kebaikan untuk properti wakaf terkait dengan masih memperhatikan kondisi yang ditentukan oleh Waqif. Namun, nadzir dilarang menggadaikan harta wakaf. Sejak, jika juga berkeadilan, ada kemungkinan bahwa pahala wakaf akan dihentikan karena harta wakaf harus dijual atau disita dengan tujuan untuk membayar utang. Nadzir berhak atas upah pengelolaan harta wakaf asalkan dilakukan dengan baik. Jumlah upah akan ditentukan oleh Waqif. Dalam kasus Waqif tidak menentukan jumlah upah, hakim dapat memutuskan upah berdasarkan kapasitas kerjanya. Sebagai pemegang mandat, pada dasarnya nadzir tidak terbebani oleh risiko yang terjadi pada harta wakaf kecuali itu disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan. Jumlah kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan dari nadzir akan diputuskan oleh hakim atau otoritas lain.
6. Jenis Wakaf Menurut pendapat Sayid Sabiq, ada dua jenis wakaf yang dikenal dalam Islam berdasarkan pemanfaatannya yaitu Wakaf Dzurri dan Wakaf Khairi. Wakaf Dzurri kadang juga disebut wakaf 'alal Aulad, yaitu wakaf yang ditujukan kepada kepentingan dan keamanan sosial dalam keadaan keluarga. Dengan demikian, satu-satunya anggota keluarga akan menikmati manfaat dari harta wakaf, itu berarti bahwa orang yang mengambil manfaat dari harta wakaf terbatas. Jenis wakaf dengan cara ini adalah legal dan dibenarkan dalam Islam, itu didasarkan pada tradisi kenabian yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai pada dzurri wakaf yang dilakukan oleh Abu Thalhah terhadap keluarganya. Pada akhir tradisi kenabian dikatakan sebagai berikut:
40
" .... قدسمعتماقلتفيها, وأنىأرىأنتجعلهافىاألقربين, فقسمهاأبوطلحةفىأقاربهوبنىعمه. " Dalam perkembangannya, dzurri wakaf dianggap kurang manfaat yang ditujukan untuk walfare sosial, karena sering menyebabkan ketidakjelasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf. Di negara-negara tertentu di seluruh dunia, sebagai seperti Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair, pelaksanaan wakaf dzurri telah dieliminasi, karena ada pertimbangan tertentu dari beberapa aspek yang menekankan bahwa tanah wakaf dengan cara ini tidak produktif . Tipe kedua adalah wakaf khairi wakaf. Wakaf khairi ditujukan kepada kepentingan umum tanpa batasan pemanfaatannya yang mencakup setiap aspek dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial umat manusia. Umumnya, bunga bisa menjadi jaminan sosial, pendidikan, kesehatan masyarakat, pertahanan sipil dan lain-lain Wakaf khairi didasarkan pada tradisi kenabian Muhammad SAW, ketika Saidina Umar ra memperoleh tanah di Khaibar. Saidina memenuhi Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan tanah yang didapatkan . Rasullullah SAW bersabda, Saidina Umar dapat menyumbangkan hasil dan tidak menjual atau memberikannya kepada orang lain. Pelaksanaan wakaf khairi dianggap sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan properti di jalan Allah. Jelas, itu akan dianggap sebagai salah satu media untuk pengembangan ekonomi, keagamaan, budaya, sehat, keamanan, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak hanya dalam keadaan keluarga yang akan menikmati harta wakaf, tetapi juga seluruh masyarakat akan menikmati properti wakaf dan manfaatnya.
7. Sekelumit Harmonisasi Syariah dan Hukum Positif Indonesia di Bidang Wakaf Harmonisasi syariah dan hukum prositif Indonesia adalah proses berkesinambungan. Tahap dan model hormonisasi dilakukan dari yang paling mendasar sampai implementasi. Tahapan yang paling mendasar adalah harmonisasi syariah dan hukum dalam dataran dasar negara (Mahkamah Konstitusi, 2010). Setelah melalui perdebatan panjang tentang wacana perlu tidaknya piagam Jakarta dimasukan kedalam konstitusi, maka lahirlah Pancasila. Kemudian tahapan berikutnya adalah harmonisasi dalam tataran konstitusi. Dalam tahapan ini melahirkan konstitusi UUD 1945 sebelum diamandement menjadi UUDRI 1945. Banyak pasal-pasal dalam konstitusi hasil dari harmonisasi diantaranya melalui adopsi keistimewaan daerah berdasarkan asal-usul sejarah daerah tersebut.
41
Hasil Penelitian Sebelumnya dan Relevansi Penelitian Sebagai pakar dan praktisi di lingkungan PP Muhammadiyah, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian wakaf selama ini masih bersifat normative dan teknis. Belum menyentuk penemuan fiqih baru dan juga belum menyentuk pada pelembagaan prinsip pendayaan gunaan wakaf. Oleh karena itu penelitian ini menindaklanjuti dan memperdalam penelitian yang ada untuk sampai pada pelembagaan prinsip-prinsip fiqih wakaf dalam kelembagaan kebijakan nasional. BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Tipe Penelitian Di dalam menjawab permasalahan penelitian, metodologi penelitian yang dipakai bersifat (type) multidemensi (lihat Maria Soemardjono, 2000) . Penelitian ini melibatkan metode kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya penelitian ini diklasifikasikan penelitian hukum yang menggabungkan sifat penelitian non doctrinal dan doctrinal untuk mendapatkan hasil penelitian yang jelas, pandangan yang komprehensif, alur pemikiran yang systematis, dan temuan penelitian yang signifikan, maka ada kebutuhan untuk menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya di dalam menganalisis dokumen legislasi yang relevan, kasus-kasus yang mendukung, dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan topik penelitian. Oleh karenanya sebelum melakukan penelitian empiris atas hukum dan implementasi system administrasi pertanahan, maka dipandang perlu untuk memaparkan teori umum dan kerangka hukum yang berkaitan dengan topik penelitian.1
B. Metode Penelitian Secara rinci elemen metodologi penelitian ini sebagai berikut: 1. Penelitian Kepustakaan, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Obyek dalam penelitian ini adalah meliputi bahan-bahan hukum: a.
Bahan Hukum Primer 1) Peraturan Perundang-undangan mengenai wakaf dan khsusnya wakaf pertanahan 2) Peraturan hukum tidak tertulis berupa kebiasaan
1
Mahfudz MD, 2008, Introduction of Legal Policy, Gadjah Mada Press, pages 120.
42
b.
Bahan Hukum Sekunder 1) Jurnal-jurnal ilmiah mengenai wakaf pertanahan 2) Makalah-makalah pertanahan 3) Buku-buku mengenai pertanahan
c.
Bahan Hukum Tersier 1) Kamus Hukum 2) Kamus Bahasa Inggris
2. Penelitian lapangan, penelitian ini untuk mendapatkan data primer yang meliputi: a. Lokasi penelitian di DIY dengan alasan bahwa di DIY terdapat pengalamanan pengelolaan wakaf pertanahan yang relatif terbaik (the success experience) secara nasional (berdasarkan peringkat yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional tahun 2010) dengan produktiitas yang relative baik. b. Responden: 1) Kepala Kantor Wilayah Pertanahan DIY dan Kantor Depag DIY 2) Anggota DPRD Komisi Pertanahan 3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota di DIY dan Kantor Depak masing-masing kota/kabupaten 4) PP Muhammadiyah 5) Dewan Wakaf Nasional dan Propinsi DIY 6) Tokoh masyarakat 7) LSM c. Nara Sumber 1) Pakar dan Pengamat hukum wakaf pertanahan, Prof. Dr. Abdul Gofur Anshori 2) Pakar mengenai eksistensi wakaf tanah d. Alat Pengumpulan Data 1) Pedoman Wawancara terstruktur 2) Check List Daftar Inventaris Permasalahan C. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kepustakaan, data yang dikumpulkan seperti halnya jurnal, majalah, buku-buku, surat kabar, perundang-undangan, putusan pengelolaan wakaf, internet dan segala materi sekunder terkait proses munculnya putusan atas sengketa pertanahan, untuk menguji akurasi data yang telah dikumpulkan, maka akan dilakukan wawancara dengan beberapa orang narasumber yang ahli dalam bidang terkait, untuk
43
wawancara para ahli ini dipandu dengan adanya daftar pertanyaan. Penelitian lapangan akan dilakukan dengan wawancara dengan responden (para pihak) yang terkait dengan proses pelembagaan prinsip produktifitas tanah wakaf. a. Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Agraria c. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. d. Peraturan Badan Wakaf Nasional No 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Properti e. Berbagai Putusan dan Fatwa MUI D. Teknik dan Analis Data Maria Soemardjono memberikan ilustrasi bahwa analisis data setidaknya meliputi editing dan coding. (Maria S.W. Soemardjono, 1997: 38). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan setelah data primer maupun data sekunder terkumpul dengan tahapan: a. Editing, yang proses seleksi data sehingga tidak ada kesalahan-kesalahan data baik data primer maupun sekunder. Dengan editing ini diharapkan akan mewujudkan data yang mempunyai validitas tinggi; b. Coding, yaitu memberikan kode pada data sesuai kategori yang telah ditentukan dan dimasukan ke dalam tabel-tabel tertentu; c. Interpretasion, yaitu menafsirkan data sehingga mempunyai makna. Analisis dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
kualitatif
tanpa
menafikan
pendekatan kuantatif. Pendekatan berpikir dalam menganalis data dengan cara: a. Empirik-Induktif yaitu menganalisis data dengan pendekatan dari kenyataan, kasus-kasus, hal-hal yang bersifat khusus untuk ditarik generaliasi. b. Teoritik-deduktif, yaitu analisis data dengan pendekatan dari ketentuan peraturan, teori atau doktrin untuk dijadikan alat analisis terhadap suatu kasus, kenyataan di lapangan, hal-hal yang bersifat khusus.
44
E. Roadmap Penelitian Praktek Wakaf tanah di DIY, 1996, Muhaimin
Pengelolaan Wakaf tanah tradisional Tradion
Modernisasi Pelaksanaan wakaf di Ponpes Gontor, 2001, Khaerudin
Peran Nadzir dalam Pendaftaran Tanah Wakaf, 2010, Johan Dkk
Pelembagaan syariah dan Fiqih Wakaf di dalam Hukum Wakaf Nasional, 2013, Johan
PelaksanaanWakaf Tanah Untuk Masjid, Thesis Johan
Harmonisasi Hukum Islam dan Hukum Nasional Pelembagaan Prinsip Produktifitas dalam Wakaf Tanah, 2014, Johan Dkk
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor
Kemunduran
Peran
Kelembagaan
Wakaf
Indonesia Permasalahan inti yang pertama dalam penelitian ini mengangkat faktor –faktor kemunduran peran kelembagaan wakaf di Indonesia. Faktor policy Policy atau kebijakan berisi pilihan dan orientasi tindakan negara dan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini merupa basis nilai gerakan, sistem perencanaan dan program dalam kurun waktu tertentu. Kebijakan diwadahi dalam produk hukum undang-undang yang berisi sistem perencanaan nasional. Kebijakan wakaf di Indonesia sebagai bagian dari kepentingan nasional menjadi salah satu mata anggaran perencanaan nasional. Faktor hukum Secara kuantitas maupun kualitas produk hukum perwakafan belum mencukupi kebutuhan perwakafan nasional. Secara kuantitas, produk hukum di Indonesia belum banyak dan masih banyak aspek perwakafan yang belum di atur. Bahkan untuk aspek penyelesaian wakaf masih disampirkan ke dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Secara kualitas, bobot pengaturannya belum konprehensif dan tetapt sasaran . Sanksi belum diatur secara pasti dan menimbulkan efek jera. Faktor kelembagaan dan korupsi Faktor kelembagaan menjadi faktor gagal lebih disebabkan kurangnya profesionalitas dan integritas kelembagaan perwakafan di Indonesia. Faktor budaya Budaya berkaitan dengan pola pikir wakaf sebagai bagian dari ibadah mahdhoh, proses wakaf tidak tertulis sehingga tidak menjangkau tujuan kepastian pengelolaan wakaf masih dominan di Indonesia Faktor lemahnya kesadaran civil society Government centrism masih melekat dalam system perwakafan di Indonesia. Tampaknya pemerintah memang menciptakan sistem
46
sedemikian sehingga masyarakat selalu tergantung kepada pembinaan pemerintah.
Spirit
corporate
governance
perwakafan
untuk
mengoptimalkan asset wakaf belum hidup. B. Pertimbangan Apa Saja Untuk Mewujudkan Maqoshid Syariah Dalam Pengembangan Kelembagaan Wakaf Indonesia 1. Pertimbangan ideologis Islam dan pancasila mempunyai hubungan yang sudah tuntas. Ideologi negara Indonesia ini berproses dan berlatar belakang kuat dengan ajaran dan tradisi kehidupan Islam di Indonesia. Spirit keislaman tidak diragukan menjadi titik sentral terpenting dalam pembentukan negara republic Indonesia. Sebagaimana juga disadari bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjiwai seluruh silasila yang lainnya. 2. Pertimbangan sistem hukum Perangkat hukum di Indonesia memungkinkan dan terbuka untuk diterapkan wakaf berbasis maqoshid syariah. 3. Pertimbangan akselerasi capaian pembangunan negara Pembangunan negara yang tercantum dalam RPJP dan RPJM menegaskan tentang perlunya mendayagunakan berbagai upaya kedasaran
masyarakat
dan
kearifannya
untuk
mendorong
pembanguan nasional, juga pembangunan di daerah. 4. Pertimbangan ketertinggalan ekonomi umat Umat islam yang berjumlah mayoritas perlu didorong untuk mendayagunakan sumber daya strategis wakaf dalam mencapai kesejahteraan umat islam khususnya, bangsa Indonesia umumnya. 5. Pertimbangan membangun jejaring ekonomi syariah Titik kegiatan wakaf di seluruh Indonesia dapat menjadi jejaring ekonomi islam untuk mencapai kesejahteraan umat. 6. Pertimbangan membangun daya saing produk umat islam Kegiatan wakaf produktif telah sekian tahun berjalan dan tinggal ditingkat dari sisi kualitas untuk meningkatkan daya saing produk umat. 7. Pertimbangan kepemimpinan umat islam Umat Islam yang mayoritas sudah selayaknya menyiapkan diri
47
untuk memimpin dalam segala aspek kehidupan bangsa termasuk ekonomi yang handal dan tangguh. 8. Pertimbangan tuntutan globalisasi Tingkat permainan perdagangan global menuntut uma tislam untuk menjadi pelaku utama dalam arus globalisasi.
C. Prinsip-Prinsip Maqoshid Syariah Apa Saja Untuk Pengembangan Kelembagaan Wakaf Di Indonesia 1. Penguatan peran negara in line dengan prinsip maqoshid hifzhul dzin Negara sebagai umarah dan juga didukung oleh sistem keulamaan perlu ditingkatkan peran sebagai pembuat aturan untuk pengelolaan wakaf.
2. Akselesasi pembangunan kelembagaan pendidikan umat in line dengan prinsip maqoshid hifdzul aql Akselerasi pembanguan kelembagaan pendidikan perlu didorong oleh sistem kelembagaan dan kinerja wakaf sehingga tujuan hukum islam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan segera terlaksana. 3. Pemberdayaan sistem komplek ekonomi umat in line dengan prinsip maqoship hifdzul mal System wakaf yang dikembangkan secara produktif harus berbasis tujuan untuk menciptkan kesejahteraan umum sebagaimana hal ini merupakan tujuan ekonomi hakiki bangsa indonesia
4. Pembinaan dan pencegahan kerusakan lingkungan , pathology sosial in dengan prinsip hifdzul nafs dan nasl Sistem pengelolaan wakaf dapat diarahkan untuk menanggulangi dan mencegah berbagai kerusakan lingkungan dan berbagai penyakit sosial masyarakat maupun sosial.
merehabilitasi kehidupan
48
D. Model Kebijakan Dan Kelembagaan Wakaf Seperti Apa Yang Berbasis Paradigm Maqoshid Syarian
Dan Tuntutan Dan
Kesadaran Hukum Indonesia 1. Wakaf Tanah
A.
RAGAM HAK DAN HAK KEBENDAAN Dalam fikih, hak dibedakan menjadi hak syakhshi(berkenaan dengan orang dan atau kelompok orang) dan hak `aini(hak yang menyangkut benda).2 Hak ‘aini(kebendaan) dibedakan lagi menjadi dua: (1) hak pokok (ashli), dan (2) zak ikutan (tab’i). Hak pokok adalah hak yang berdiri sendiri, sementara hak ikutan adalah hak yang timbul sebagai akibat (atau dampak) dari hak pokok3, seperti jual beli kendaraan melahirkan hak milik (sebagai hak pokok) dan hak diasuransikan oleh perusahaan (sebagai hak tambahan). Dalam hak 'ainiterdapat enam macam hak, dua hak di antaranya berkaitan dengan wakaf. Pertama, hak milik (haqq al-milkiyyah), yaitu hak yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya secara penuh (hak menguasai, memanfaatkan, menghabiskan, dan merusak atau membinasakan) sepanjang tidak menimbulkan kemadaratan bagi yang lain. Kedua, hak memanfaatkan (haqq al-intifa'), yaitu kebolehan bagi pemilik untuk memakai dan memanfaatkan hasilnya. Akan tetapi, kadangkadang hak pakai (haqq al-isti'mal) dibedakan dengan hak mendapatkan hasil (haqq al-istiglal)4. Seseorang yang diizinkan untuk tinggal di rumah (wakaf) hanya dibolehkan tinggal di situ, ia tidak dibenarkan menyewakan rumah tersebut kepada pihak lain. Ketiga, hak melanjutkan (haqq al-irtifaq), yaitu hak untuk memberi fasilitas kepada pihak lain karena kebutuhan. Dalam usaha pertanian, pemilik sawah berhak menerima aliran air dari sawah milik orang lain dan mengalirkan air tersebut kepada sawah milik orang lain pula. Di antara ulama berpendapat bahwa haqq al-irtifaqtermasuk haqq alintifa’. Dalam konteks masyarakat modern, hak melanjutkan dapat
2
T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Bulan Bintang. 1974), hlm. 110-111. Ibid., hlm. 113. 4 Seseorang yang diberi hak untuk tinggal dirumah yang diwakafkan hanya boleh tinggal; yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk mencari keuntungan dari rumah itu. Mendiami. Lihat Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh, hlm. 117. 3
49
berupa pemasangan pipa untuk menyalurkan air yang digunakan oleh Perusahaan Air Minum (PAM), pemasangan kabel yang dilakukan PT Telkom dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta menyediakan lahan untuk jalan dan solokan bagi orang lain. Keempat, hak yang berkenaan dengan harta yang digadaikan (haqq al-irtihan), yaitu hak menyangkut benda yang dijadikan jaminan (marhun) karena masih tetap menjadi milik pihak penggadai. Penerima gadai berkewajiban memelihara benda jaminan, tetapi tidak boleh menjual atau menyewakannya. Kelima, hak menahan benda (haqq al-ihtibas), yaitu hak menahan penyerahan benda sebelum diselesaikan administrasinya secara tuntas. Penjual mobil biasanya tidak menyerahkan BPKB kepada pembeli sebelum pembayarannya lunas, dan mnual tanah tidak menyerahkan bukti autentik kepemilikan tanah (sertifikat) sebelum pembeli melunasinya. Dalam haqq al-ihtibasterdapat hak tatabbu’, yaitu hak untuk meminta kembali benda wakaf yang "diserobot" oleh pihak lain; dan hak nazhir untuk menjual dan mengganti benda wakaf jika kegunaannya sudah tidak sesuai dengan keputusan hakim. Keenam, hak untuk menetap di atas tanah wakaf (haqq al-garar). Haqq al-gararmencakup haqq al-hakrdan haqq a1-ijaratayn. Haqq alhakradalah hak untuk tinggal di atas tanah wakaf karena yang bersangkutan menyewa tanah tersebut (dengan membangun rumah dan menanaminya) atas dasar keputusan hakim. Sedangkan haqq alijarataynadalah hak yang diperoleh karena akad ijarah sehingga yang bersangkutan hanya boleh tinggal di tempat (tidak dibenarkan membangun nunah dan menanam pohon di atas tanah tersebut)5. Setidaknya penjelasan mengenai hak dalam bermuamalah
5
Ibid, hlm. 116-120
50
memperlihatkan bahwa dalam wakaf terdapat tiga hak: (i) haqq a1ihtibas, (2) haqq al-tatabbu, dan (3) haqq qararyang mencakup haqq alhakrdan haqq al-ijaratayn.
B.
PENGUASAAN DAN SEGI-SEGI HAK ATAS TANAH Dalam hukum agraria6 terdapat dua terminologi yang berkaitan dengan hak atas tanah: (1) hak penguasaan atas tanah, dan (2) hak-hak atas tanah. I.
Penguasaan Tanah Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya7. Arti "penguasaan" dalam konteks hak penguasaan atas tanah dapat dilihat dari dua aspek: (a) aspek fisik, dan (b) aspek yuridis. Penguasaan dalam arti fisik adalah penguasaan yang dilandasi oleh hak yang dilindungi hukum, yang pada umumnya memberi kewenangan kepada pemilik hak untuk menguasai tanah secara fisik dengan tidak menyerahkannya kepada pihak lain. Sedangkan arti penguasaan secara yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum. Penguasaan secara yuridis dibedakan lagi menjadi dua: Pertama, penguasaan secara yuridis yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk menguasai tanah secara fisik, tetapi diserahkan kepada pihak lain dengan cara dibewakan atau dengan cara lainnya. Jadi, yang menguasai tanah secara fisik adalah pihak penyewa. Kedua, penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan kepada pemilik untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, seperti bank memunyai hak
6
Hukum agrarian menurut Budi Harsono adalah kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu, mencakup : 1) hukum tanah, yaitu hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi; 2) hukum air, yaitu hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas air; 3) hukum pertambangan, yaitu hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian; 4) hukum perikanan, yaitu hukum yang mengatur hak-hak atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air; dan 5) hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan usnur-unsur dalam ruang angkasa. Agrarian memiliki dua pengertian : 1) real property atau real estat, yaitu tanah dan segala sesuatu yang secara permanen melekat pada tanah; dan 2) personal prpperty, yaitu jika benda yang melekat pada (dan dalam) tanah terlepas dari tanah. Ruang lingkup agrarian adalah bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Lihat Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah (Jakarta : Prenada Media Group. 2007), cet. Ke-3 hlm. 2 dan 6. 7 Ibid., hlm. 74.
51
yuridis atas tanah yang dijadikan jaminan, tetapi secara fisik penguasaannya tetap berada pada pemegang hak atas tanah.8 Hak penguasaan atas tanah secara yuridis dan secara fisik memiliki dua aspek: (a) aspek privat, dan (b) aspek publik. Hak penguasaan tanah yang beraspek publik ditetapkan dalam pasal 33 (3), dan pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria. Pasal 33 (3) berbunyi, "Bumi, air, dan. kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat." Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar PokokPokok Agraria berbunyi, "Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat" Hak menguasai tanah oleh negara yang dimaksud dalam UndangUndang Dasar dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu memberi wewenang kepada negara untuk: (a) mengatur dan. menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9 Santoso menjelaskan bahwa hak-hak penguasaan atas tanah dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dibedakan menjadi dua: (a) hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, dan (b) hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.10 Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum mengatur halhal yang berkaitan dengan: (a) pemberian nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; (b) penetapan isinya: mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan yang dilarang dilakukan oleh pemegang hak dan jangka waktu (durasi) penguasaannya; (c) subjek: siapa saja yang boleh menjadi pemegang hak dan syarat-syarat untuk menguasainya; (d) tanahnya.11 Sedangkan hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret mengatur hal-hal mengenai: (a) penciptaannya 8
Ibid., hlm. 73-74. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2, ayat (2). 10 Santoso, Hukum Agraria, hlm. 74. 11 Ibid. 9
52
menjadi suatu hubungan hukum yang konkret dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu, (b) pembebanannya dengan hak-hak lain, (c) pemindahannya kepada pihak lain, (d) penghapusan hak, dan (e) pembuktiannya.12 Selanjutnya Harsono menegaskan bahwa hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah (a) hak bangsa Indonesia atas tanah; (b) hak menguasai dari negara atas tanah; (c) hak ulayat masyarakat hukum adat; dan 9UndangUndangNomor5Tahun 1960, Pasal 2, ayat (2).(d) hak perseorangan atas tanah yang meliputi hak-hak atas tanah, wakaf tanah milik, hak tanggungan, dan hak milik atas satuan nunah susun.13
2.
Segi-Segi Hak Atas Tanah Dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 4 (1) ditetapkan bahwa atas dasar hak negara menguasai tanah, ditentukanlah macam-macam hak atas permukaan bumi (disebut tanah) yang dapat diberikan kepada orang (baik secara perorangan maupun secara bersama-sama) dan badanbadan hukum.14 Hak-hak atas tanah timbul karena kewenangan dari negara untuk mengatumya. Akan tetapi, dalam hak atas tanah juga mengandung kewe= nangan. Oleh karena itu, hak-hak atas tanah dapat dilihat dari segi: (a) kewenangan, (b) sifat-sifatnya, dan (c) asal kepemilikannya. Dari segi kewenangan, pemegang hak atas tanah memiliki dua kewenangan: Pertama, wewenang yang bersifat umum, yaitu kewenangan bagi pemegang hak untuk menggunakan tanahnya termasuk tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekadar untuk penggunaan tanah dalam batas-batas yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan. Kedua, wewenang khusus, yaitu kewenangan bagi pemegang hak untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan jenis hak yang dimililanya: (a) mendmkan bangunan dan atau usaha pertanian atas tanah hak
12
Ibid., hlm. 75. Ibid. 14 Ibid., hlm. 87. 13
53
milik; (b) mendirikan bangunan atas tanah hak guna bangunan (HGB); (c) menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, petemakan, atau perkebunan atas tanah hak guna usaha (HGU).15 Dari segi sifat hak, pemegang hak atas tanah memiliki salah satu dari dua sifat hak: Pertama, hak atas tanah yang bersifat tetap, mencakup: hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan." 16 Kedua, hak atas tanah yang bersifat sementara mencakup: hak gadai, hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.17 Dan segi asal kepemilikan tanahnya, sifat hak atas tanah ditedakan menjadi dua: Pertama, hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah negara mencakup: (a) hak milik (b) hakguna usaha (HUD, (c) hakgunabangunan (HGB), dan (d) hakpakai. Kedua, hak atas tanah yang bersifat sekunder. Hak atas tanah
15
Ibid., hlm. 87-88. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya tidak termasuk ha katas tanah. Akan tetapi, dua hak tersebut dimasukkan ke dalam ha katas tanah yang bersifat tetap dijawantahkan dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 88-90. 17 Ibid., hlm. 90. 16
54
yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari pihak lain mencakup: (a) hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, (b) hak guna bangunan atas tanah hak milik, (c) hak pakai atas tanah hak pengelolaan, (d) hak pakai atas tanah hak milik, (e) hak sewa untuk bangunan, (f) hak gadai, (g) hak usaha bagi hasil, (i) hak menumpang, dan (j) hak sewa tanah pertanian.18
C.
HAK-HAK ATAS TANAH Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196o tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditetapkan mengenai hak-hak yang berkenaan dengan tanah, yaitu hak milk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan
18
Ibid., hlm.89.
55
hakmemungut hasil hutan.19 Pertama, hak milik, yaitu hak turun-temurun, 20 terkuat 21 dan terpenuh 22 yang dipunyai orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah.23 Hak milik dapat beralih24dan dialihkan25 kepada pihak lain.26 Subjek hak milik atas tanah adalah orang27 dan badan-badan hukum.28 Badan-badan hukum yang berhak memunyai hak milik atas tanah adalah (1) bank-bank yang didirikan oleh pemerintah (Bank Negara), (2) koperasi pertanian, (3) badan keagamaan, dan. (4) badan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.29 Hak milik terjadi karena salah satu dari dua cara: Pertama, secara
19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 16, ayat (1). Maksud turun-temurun adalah hak milik atas tanah terus berlangsung selama pemilik masih hidup, dan diwariskan kepada ahli warisnya jika pemilik meninggal dunia selama pemilik masih memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 90. 21 Maksud terkuat adalah hak milik atas tanah plaing kuat disbanding dengan hak-hak lainnya atas tanah. Kepemilikan tersebut tidak mempunyai batas waktu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 90. 22 Maksud terpenuh adalah hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak-hak lainnya atas tanah. Hak milik dapat dijadikan induk bagi hak lainnya atas tanah. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 90-91. 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 20, ayat (1). “Fungsi sosial tanah” adalah bahwa pendayagunaan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain, terdapat keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar kesuburannya bertambah (dan kerusakannya dapat dicehak). Santoso, Hukum Agraria, hlm. 91. 24 Perpindahan hak milik karena kejadian alami, seperti kematian. Pemilik dapat melahirkan pembagian waris di antara pihak-pihak yang berhak menerimanya. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 91. 25 Perpindahan hak milik dari pemilik kepada pihak lain karena perbuatan hukum seperti dijual. Santoso, Hukum Agraria, hlm. 92. 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 20, ayat (2). 27 “Hanya orang Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.” Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 21, ayat (1). 28 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 21, ayat (2) ditetapkan bahwa pemerintah menetapkan badan-badan huhum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. 29 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Tanah, Pasal 1; dan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Ha katas Tanah dan Hak Pengelolaa, pasal 8, ayat (1). 20
56
originair, yaitu terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan pemerintah, dan undang-undang. Kedua, secara derivatif, yaitu perpindahan hak milik dari subjek hukum kepada subjek hukum yang lain karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, dan waris.30 Hak milik berakhir karena: (1) tanahnya jatuh kepada negara karena: (a) pencabutan hak, (b) penyerahan dengan sukarela oleh penulilmya, (c) diterlantarkan, atau (d) beralih dan atau dialihkan sesuai dengan peraturan penuidang-undangan; (2) tanahnya musnah.31 Kedua, hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan jangka waktu tertentu32 untuk usaha pertanian, pertkanan, atau peternakan.33 HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.34 HGU hanya ditentukan batas minimalnya, yaitu 5 hektar.35 Subjek hukum HGU adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan dl Indonesia.36 HGU dapat dijadikan jaminan utang dan dibebani hak tanggungan. HGU berakhir karena: (1) jangka waktunya berakhir, (2) dihentkan sebelum jangka waktunya berakhir karena syaratnya tidak terpenuhi, (3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, (4) dicabut untuk kepentingan umum, (5) diterlantarkan, atau (6) tanahnya musnah.37 Ketiga, hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan memilila bangunan di atas tanah yang bukan mihlmya dengan jangka waktu 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun,38 dan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.39Subjek hukum HGB adalah (1) warga negara Indonesia, dan (2) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.40
30
Santoso, Hukum Agraria, hlm. 96. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 27. 32 Secara umum, jangka waktu HGU adalah 25 tahun (maksimal). UNtuk usaha tertentu yang memerlukan waktu lebih lama jangka waktunya paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak, HGU dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 29, ayat (1), (2), dan (3). 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 28, ayat (1). 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 28, ayat (3). 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 28, ayat (2). 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 28, ayat (1). 37 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 34. 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 35. Lihat PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, pasal 25, ayat (1) dan (2). 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 35. 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 36, ayat (1). 31
57
Berdasarkan asal-usul tanah, HGB dibedakan menjadi tiga: (1) HGB atas tanah negara yang terjadi setelah Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) kota/kabupaten yang bersangkutan mengeluarkan keputusan HGB atau permohonan pihak-pihak dan dicatat dalam Buku Tanah, (2) HGB atas tanah hak pengelolaan yang terjadi setelah Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota/Kabupaten yang bersangkutan mengeluarkan keputusan HGB atau permohonan pihak-pihak dan dicatat dalam Buku Tanah, dan (3) HGB atas tanah hak milik. HGB terjadi, dengan pelepasan oleh pemegang hak milik yang dinyatakan dalam akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didaftarkan ke BPN untuk didaftar dalam Buku Tanah.41 Hak-hak pemegang HGB adalah (1) menguasai dan mengeunakan tanah dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan, (2) mendirikan dan memunyai bangunan untuk keperluan pribadi dan usahanya, (3) mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain, dan (4) membebani dengan hak tanggungan.42 HGB berakhir karena: (1) jangka waktunya beakhir, (2) dihentikan sebelum jangka waktunya bemkhir karena syarataya tidak terpenuhi, (3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, (4) dicabut untuk kepentmgan umum; (5) diterlantarkan, atau (6) tanahnya musnah. 43 Sebab-sebab berakhimya HGB sama dengan sebab-sebab bemkhimya HGU. Akibat berakhirnya HGB bergantung pada asal-usul tanah: (1) HGB atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi tanah negara, (2) HGB atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan hak pengelolaan, dan (3) HGB atas tanah hak milik mengakibatkan tanah tersebut kembali dalam penguasaan hak milik.44 Keempat, hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Yang memberi wewenang dan kewajiban ditentukan oleh pejabat yang berwenang atau perjanjian dengan pemiliknya yang bukan perjanjian sewa atau pengolahan tanah.45 Berkenaan dengan pengertian hak pakai, Santoso menjelaskan dua 41
Santoso, Hukum Agraria, hlm. 106-107. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 32. 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 40. 44 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 36. 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 41, ayat (1). 42
58
kata penting: (1) kata "menggunakan" dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan; dan (2) kata "memungut hasil" dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentngan selam mendirikan bangunan, seperti untuk kepentingan usaha pertanian, perikanan, petemakan, dan perkebunan.46 Dua peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai subjek hak pakai adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4o Tahun 1996. Dalam Undang-Undang ditetapkan bahwa subjek hak pakai adalah (1) warga negara Indonesia, (2) orang asing yang berkedudukan di Indonesia, (3) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan (4) badan hukum asing yang memunyai perwakilan di Indonesia.47 Subjek hak pakai yang lebih perinci terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4o Tahun 1996. Subjek hak pakai menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4o Tahun 1996 adalah (1) warga negara Indonesia; (2) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (3) departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah; (4) badan-badan keagamaan dan sosial; (5) orang asing yang berkedudukan di Indonesia; (6) badan hukum asing yang memunyai perwakilan di Indonesia; (7) perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.48 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6o Tahun 1996 ditetapkan bahwa jangka waktu hak pakai disesuaikan dengan asal tanah: (1) hak pakai atas tanah negara, (2) hak pakai atas tanah hak pengelolaan, dan (3) hak pakai atas tanah hak milik.49 Hak pakai atas tanah negara adalah hak pakai yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, pasal 5, ditetapkan bahwa yang berwenang menerbitkan keputusan pemberian hak pakai adalah Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota; sedangkan dalam Keputusan Menteri yang sama (pasal 10) ditetapkan bahwa yang berwenang menerbitkan keputusan
46
Santoso, Hukum Agraria, hlm. 115. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 45. 48 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 39; lihat Santoso, Hukum Agraria, hlm. 115. 49 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 41. 47
59
pemberian hak pakai adalah Kepala BPN Provinsi. Jangka waktu hak pakai menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1996 adalah 25 tahun (paling lama) dan dapat diperpanjang, serta dapat diperbaharui dengan tenggang waktu yang tidak ditentukan.50 Hak pakai atas tanah hak pengelolaan adalah pengelolaan yang diberikan dengan keputusan Badan Pertanahan Nasional berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Hak pakai dapat beralih dan dialihkan serta dapat dijadikan jaminan.51 Kelima, hak sewa untuk bangunan (HSUB). Hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum untuk mendirikan bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar uang sewa dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Pemeganghaksewauntukbangunantidakdibenarkan mengalihkan haknya kepada pihak lain tanpa izin dari pemilik tanah.52 Hak atas tanah juga dapat dibedakan dari segi sifatnya: (1) hak yang dapat beralih dan dialihkan, serta (2) hak yang tidak dapat beralih dan dialihkan. Hak-hak atas tanah yang tidak dapat beralih dan dialihkan bersifat sementara, yaitu (1) hak sewa termasuk HSUB, (2) hak gadai (tanah), (3) hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), (4) hak menumpang, dan (5) hak sewa tanah pertanian.53
D.
HAK ATAS TANAH DAN WAKAF TANAH Pada prinsipnya, tanah dibedakan menjadi dua: (1) tanah hak milik, dan (2) tanah negara. Dari segi penggunaan, tanah hak milik dapat digunakan langsung oleh pemegang hak, dan dapat juga digunakan oleh pihak lain. Dalam hal penggunaannya, apabila tanah hak milik digunakan oleh pihak lain akan melahirkan tujuh macam hak: (1) hak guna bangunan (HGB), (2) hak pakai (HP), (3) hak sewa untuk bangunan (HSUB), (4) hak
50
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 45, ayat (1) dan (2). Hak pakai diberikan dengan jangka waktu yang tidak terbatas selama digunakan sesuai dengan peruntukannya diberikan kepada : 1) departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah, 2) perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasiona, serta 3) badan keagamaan dan badan sosial. Lihat PP Nomor 40 Tahun 1996, pasal 45, ayat (3). 51 Santoso, Hukum Agraria, hlm. 120-121. 52 Ibid., hlm. 129. 53 Ibid.
60
gadai, (5) hak usaha bagi hasil, (6) hak menumpang, dan (7) hak sewa tanah pertanian. Sementara apabila tanah negara digunakan oleh pihak lain akan melahirkan dua macam hak: (1) hak guna usaha (HGU), dan (2) hak pakai.54 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan bahwa benda yang dapat diwakafkan dibedakan menjadi dua: (1) wakaf benda tidak bergerak, dan (2) wakaf benda bergerak.55 Benda wakaf yang termasuk benda tidak bergerak mencakup: (1) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (2) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah yang diwakafkan; (3) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (4) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (5) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku.56 Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa secara umum, objek wakaf dibedakan menjadi tiga: (1) benda tidak bergerak yang berupa tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang terkait dengan tanah; (2) benda bergerak selain uang; (3) benda bergerak berupa uang.57 Benda tidak bergerak yang berupa tanah dan bangunan meliputi (1) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (2) bangunan atau bagian dari bangunan yang berdiri di atas tanah; (3) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (4) hak milik atas suatu rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; (5) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.58 Hak atas tanah yang dapat diwakafkan adalah (1) hak milik atas tanah, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (2) hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hakpakai di tanah negara; (3) hak guna
54
Kartini Muljadi dan Gunawan DIjaya, Hak-Hak atas Tanah (Jakarta: Prenada Media. 2005), cet. Ke-3, hlm. 246. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 16, ayat (1). 56 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 16, ayat (2). 57 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 15. 58 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 16. 55
61
bangunan atau hakpakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik, (4) hak milik atas satuan mmah susun.59 Benda wakaf tidak bergerak yang berupa hak atas tanah dapat diwakafkan berikut bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. 60 Sementara wakaf hak atas tanah yang diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, atau pemerintahan desa, 61 wajib mendapat izin dari pejabat yang berwenang.62 Syarat-syarat wakaf hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai di atas tanah negara) adalah bahwa hakhak tersebut wajib dimiliki dan dikuasai oleh wakaf secara sah, serta bebas dari segala sitaan, perkara, sengketa, dan tidak dijaminkan.63
E.
WAKAF TANAH SECARA MU'AQQAT Pada prinsipnya, wakaf tanah hanya dapat dilakukan secara mu'abbad(untuk selama-lamanya) sebab dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 ditetapkan bahwa benda wakaf tidak bergerak berupa tanah hanya dapat diwakaflcanuntukjangkawaktu selama lamanya Akantetapi, wakaf hakatas tanah yang berupahak gunabangunan dan hak guna pakai di atas hak pengelolaan atau hak mu&boleh dilakukan dal am jangka waldu tertentu (mu'aqqat).64 Pertama,-dalam kaitannya dengan wakaf, hak guna bangunan perlu diperhatikan dari segi asalnya. Berdasarkan asal-usul tanah, hak guna bangunan dibedakan menjadi tiga: (1) hak guna bangunan atas tanah negara; (2) hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, dan (3) hak guna bangunan atas tanah hak milik.65
59
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 17, ayat (1). Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 18, ayat (2). 61 Pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengannya. Setelah reformasi, sebuan bagi pemerintahan desa tidaklah seragam seperti pada orde sebelumnya. Beberapa daerah mencoba menghidupkan kembali institusi tradisional-lokal yang telah berurat berakar di masyarakat. Di Majalengka, kepala desa disebut kuwu; di Sumatera Barat dihidupkan kembali Nagari; dan di Aceh dihidupkan kembali Kepala Gampung. 62 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 18, ayat (3). 63 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 17, ayat (3). 64 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 18, ayat (1). 65 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 21. 60
62
Tiga macam hak guna bangunan dari segi asal-usulnya dapat diwakafkan menurut peraturan perundang-undangan. 66 Hanya saja, wakaf hak guna bangunan di atas tanah negara hanya boleh dilakukan seam mu abbad (untuk selama-lamanya).67 Sementara wakaf hak guna bangunan di atas hak pengelolaan, dan wakaf hak guna bangunan di atas hak milik boleh dilakukan secara mu'aqqat (dalam jangka waktu tertentu).68 Sebelum menjelaskan wakaf hak guna bangunan di atas hak pengelolaan (HPL), kiranya hak pengelolaan yang dimaksud perlu dijelaskan terlebih dahulu. Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.69 Subjek atau pemegang hak pengelolaan dapat berupa: (1) instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah, (2) Badan Usaha Milik Negara; (3) Badan Usaha Milik Daerah, (4) PT Persero, (5) badan otoritas, dan (6) badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. 70 Secara umum, status tanah yang dibebani hak pengelolaan adalah tanah negara. 71 Dengan demikian, tanah negara dapat dibebani hak pengelolaan. Hak pengelolaan dapat dibebani hak guna bangunan. Hak guna bangunan di atas hak pengelolaan dapat diwakafkan secara mu'aqqat. Dengan demikian, instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, PT Persero, badan otoritas, dan badan-badan hukum pemerintah.lainnya yang ditunjuk pemerintah, dapat mewakafkan–untuk sementara waktu– sebagian hak yang dimilikinya yang berupa hak pengelolaan. Kedua, objek wakaf yang dapat dilakukan secara mu'aqqatadalah hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Yang memberi wewenang dan kewajiban ditentukan oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemiliknya yang bukan perjanjian sewa atau pengolahan tanah.72 66
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 17, ayat (1). Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 18, ayat (1). 68 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 18, ayat (1). 69 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Ha katas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, pasal 1, point 1. 70 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, pasal 67, ayat (1). 71 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, pasal 68, ayat (2), 2e. 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 41, ayat (1). 67
63
Subjek hak pakai adalah (1) warga negara Indonesia; (2) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (3) departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah; (4) badan-badan kegamaan dan sosial; (5) orang asing yang berkedudukan di Indonesia; (6) badan hukum asing yang memunyai perwakilan di Indonesia; dan (7) perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.73 Jangka waktu hak pakai dibedakan menjadi dua: (1) hak pakai di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan, dan (2) hakpakai di atas tanah hakmilik. Jangka waktu hak pakai di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan adalah 25 tahun, dapat diperpanjang dan juga dapat diperbarui;74 sedangkan jangka waktu hak pakai di atas hak milik paling lama 25 tahua dan tidak dapat diperpanjang.75 Akan tetapi, kesepakatan antara pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik dapat dijadikan dasar untuk memperbarui hak pakai yang baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. 76 Hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan serta dapat dijadikan jaminan. 77 Pengalihan hak pakai atas hak pengelolaan terjadi dengan cara: (1) jual-beli, (2) tukar-menukar, (3) penyertaan dalam modal, (4) hibah, dan (5) pewarisan.78 Dari segi pengalihan, hak pakai memang dapat diwakafkan dalam jangka waktu tertentu mengingat hak tersebut merupakan hak ikutan (taba'iyah), bukan hak pokok (ashliyyah). Jika jangka waktu hak pakai berakhir, hukum wakaf yang mengikutinya juga berakhir.
F.
POSISI TANAH WAKAFDAN ALTERNATIF JENIS USAHA Tujuan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan dilakukannya kategorisasi tanah wakaf dari segi letaknya dimaksudkan agar tanah wakaf dimanfaatkan atau didayagunakan secara maksimum dengan menggunakan pendekatan ekonomi produksi. Nazhirsebagai pengelola wakaf harus berpikir cerdas untuk meningkatkan produk yang
73
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 41, ayat (1). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 45. 75 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 49, ayat (1). 76 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 49, ayat (2). 77 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 53. 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 54, ayat (3). 74
64
berupa barang atau jasa sehingga manfaat yang didapat bertambah atau meningkat. Imbas utama yang diharapkan adalah penghasilan wakaf sebagai dana sosial yang bisa didermakan kepada para pihak yang berhak meningkat. Secara umum, tanah wakaf dikategorikan menjadi tiga: (1) tanah pedesaan, (2) tanah perkotaan, dan (3) tanah di tepi/pinggir pantai. 1.
Tanah Pedesaan Berdasarkan segi lokasinya, tanah wakaf di pedesaan dibedakan menjadi lima macam: (a) tanah persawahan, (b) tanah perkebunan, (c) tanah ladang, (d) tanah rawa, dan (e) tanah perbukitan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah persawahan antara lain: pertanian dan ternak/tambak ikan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah perkebunan antara lain: perkebunan, home industry, dan tempat wisata. Jenis usaha yang cocok untuk tanah ladang/padang rumput antara lain: palawija, pertamanan, dan home industry. Jenis usaha yang cocok untuk tanah rawa antara lain: perikanan, dan tanaman sayuran. Jenis usaha yang cocok untuk tanah perbukitan antara lain: tempat wisata, perkebunan, bangunan, home industry, dan penyulingan air. Untuk lebih mudahnya, lihat gambar berikut.
Potensi Pemanfaatan Tanah Wakaf di Pedesaan No 1
Jenis Lokasi Tanah Tanah persawahan
Jenis Usaha 1) Pertanian 2) Tambak ikan
2
Tanah perkebunan
1) Perkebunan 2) Home industry 3) Tempat wisata
3
Ladang/Padang rumput
1) Palawija
65
2) Real estate 3) Pertamanan 4) Home industry 4
Tanah rawa
1) Perikanan 2) Tanaman sayuran
5
Tanah perbukitan
1) Tempat wisata 2) Perkebunan 3) Bangunan 4) Home industry 5) Penyulingan air mineral
2.
Tanah Perkotaan Berdasarkan lokasinya, tanah wakaf di perkotaan juga dibedakan menjadi lima macam: (a) tanah pinggir jalan raya/jalan protokol, (b) tanah pinggir jalan dekat jalan utama, (c) tanah pinggir jalan raya dekat jalan tol, (d) tanah di dekat/di dalam perumahan, dan (e) tanah dekat pusat keramaian (pasar, terminal, stasiun, pelabuhan, sekolah, atau bandara). Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan protokol antara lain: perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, hotel/penginapan, dan atau gedung pertemuan. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan utama antara lain: perkantoran, pertokoan, pusat perbelanjaan, rumah sakit, rumah makan, sarana pendidikan, hotel/penginapan, apartemen, gedungpertemuan, pom bensin, apotek, warung telekomunikasi (wartel)/warung internet (warnet), dan atau bengkel mobil. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf pinggir jalan raya yang dekat dengan jalan tol antara lain: pom bensin, bengkel, rumah makan, outlet/FO, warung, dan atau warung telekomunikasi (wartel). Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di dekat atau dalam lingkungan perumahan antara lain: saran pendidikan, klinik, apotek, outlet/F0, warung, catering, Baitul Mal Wattamwil(BMT).
66
Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di dekat dengan tempat keramaian (pasar, terminal, stasiun, pelabuhan, sekolah, atau bandara) antara lain: pertokoan, rumah makan, bengkel, Bank Pembiayaan RakyatSyariah (BPRS) atau Baitul Mal Wattamwil(BMT), warung, warung telekomunikasi (wartel)/warung internet (warnet), klinik, dan atau jasa penitipan. Untuk lebih mudahnya, lihat gambar berikut.
Potensi Pemanfaatan Tanah Wakaf di Perkotaan No 1
2
Jenis Lokasi Tanah Pinggir jalan raya: Dekat jalan protokol
Pinggir jalan raya: Dekat jalan utama
Jenis Usaha 1)
Perkantoran
2)
Pusat perbelanjaan
3)
Apartemen
4)
Hotel/penginapan
5)
Gedung pertemuan
1)
Perkantoran
2)
Pertokoan
3)
Pusat perbelanjaan
4)
Rumah sakit
5)
Rumah makan
6)
Sarana pendidikan
7)
Hotel/penginapan
8)
Apartemen
67
9)
Gedung pertemuan
10) Pom bensin 11) Apotek 12) Wartel/warnet 13) Bengkel mobil 3
4
5
Pinggir jalan raya: Dekat jalan tol
Tanah dekat/dalam perumahan
Tanah dekat pusat keramaian
1)
Pom bensin
2)
Bengkel
3)
Rumah makan
4)
Outlet
5)
Warung
6)
Wartel
1)
Sarana pendidikan
2)
Klinik
3)
Apotek
4)
Outlet
5)
Warung
6)
Catering
7)
BMT
1)
Pertokoan
2)
Rumah makan
3)
Bengkel
4)
BPRS/BMT
5)
Warung
6)
Wartel/warnet
7)
Klinik
8)
Jasa penitipan
68
3.
Tanah di Pinggir Pantai Berdasarkan lokasinya, tanah wakaf di pinggir pantai dibedakan menjadi dua: (a) pinggir laut, dan (b) rawa bakau. Jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf di pinggir laut antara lain: tambak ikan, objek wisata, dan atau home industri kerajinan. Sedangkan jenis usaha yang cocok untuk tanah wakaf yang terletak di rawa bakau adalah perkebunan.79 Secara lebih mudah, potensi penggunaan tanah wakaf dapat dilihat pada gambar berikut.
Potensi Pemanfaatan Tanah Wakaf di Tepi Pantai No 1
2
G.
Jenis Lokasi Tanah Pinggir laut
Rawa bakau
Jenis Usaha 1)
Tambak ikan
2)
Objek wisata
3)
Homie Industri Kerajinan
Perkebunan
FUNGSI EKONOMI-BISNIS TANAH WAKAF Seperti diamanatkan dalam konstitusi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.80 Oleh karena itu, semua hak atas tanah memunyai fungsi sosial,81 dan pemilikan serta penguasaan atas tanah dibatasi agar tidak merugikan kepentingan umum.82 Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196o dijelaskan asas kepemilikan dan pemanfaatan tanah, yaitu keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah (1) penggunaan tanah yang dimiliki seorang atau pihak tertentu tidak boleh hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi merugikan pihak lain; (2) tanah harus dipelihara
79
Sumuran Harahap (Pengarah), Bunga Rampai Perwakafan (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI. 2006), hlm. 155-157. 80 Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34, ayat (3) 81 Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, pasal 6. 82 Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, pasal 7.
69
secara baik agar kesuburannya bertambah dan dicegah kerusakannya; (3) kewajiban memelihara tanah tidak hanya dibebankan kepada pemilik, tapi dibebankan pula pada setiap orang, badan hukum, dan instansi pemerintah; (4) penggunaan tanah harus memperhatikan kepentingan pihak ekonomi lemah.83 Tanahsecara ekonomi-dapat digunakan untuk sektor pertanian, dan peternakan.84 Tanah pada prinsipnya dikuasi oleh negara dan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemalanuran masyarakat. Oleh karena itu, tanah tidak boleh diterlantarkan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196o (pasal 16) diltatakan bahwatanah dapat digunakanuntuksektor pertanian, danpeternakan. Dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 196o ditetapkan jumlah maksimum dan minimum tanah yang dijadikan lahan pertanian. Luas lahan pertanian yang dikusai oleh seorang tidakboleh lebflidari 2o (duapuluh) 85 hektar. Dalamkeadaankhusus,luas maksimumlahanpeitamanyang dllkuasai oleh seseorang dapat ditambah menjadi 2,5 (dua puluh lima) hektar.86 Luas tersebut tidak berlaku bagi: (1) tanah pertanian yang dikuaai dengan hak guna usaha atau hak pakai lainnya yang bersifat sementara yang didapat dari pemerintah, dan (2) tanah pertanian yang dikuasai badan hukum.87 Di samping batas maksimum, Perpu tersebut juga mengatur batas minimum penguasaan tanah pertanian. Luas minimum ini secara implisit memperlihatkan aspek ekonomi-bisnis pertanian. Pertama, pemerintah melakukan usaha-usaha agar setiap petani beserta keluarganya memiliki tanah pertanian minimum 2 (dua) hektar.88Kedua, pengalihan –kecuali melalui pembagian waris –tanah pertanian dilarang apabila pengalihan mengakibatkan lahan tersebut kurang dari 2 (dua) hektar. Ketiga, jika dua orang atau lebih memilild lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, dalam satu Tahun –setelah berlakunya Perpu tersebut –wajib mengusahakan agar tanah pertaniannya mencapai dua hektar. Jika keharusan tersebut gagal
83
Penjelasan Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, Penjelasan Umum, II, (4). Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, pasal 28. 85 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pasal 1, ayat (2). 86 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pasal 2, ayat (2). 87 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pasal 1, ayat (4). 88 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pasal 8. 84
70
dipenuhi, tanah pertanian tersebut harus dialihkan kepada pihak lain dengan memperhatikan batas minimum luas tanah pertanian. Keempat, pembagian waris tanah pertanian yang kurang dari 2 (dua) hektar diatur dengan peraturan pemerintah.89Akan tetapi, hingga sekarang peraturan panerintahtentangpembagianwaristanahperanianbelum pernahditerbitkan.90 Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat klausul yang menyatakan bahwa bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari-2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.91 Dengan demikian, secara implisit dapat ditangkap bahwa luas lahan pertanian yang produktif, dalam arti dapat menghasilkan produk pertanian yang membuat pengelolanya hidup dalam kecukupan, minimum dua hektar. Wakaf produktif dalam konteks ini berarti pengelolaan tanah wakaf di bidang pertanian luasnya minimum dua hektar. Sebaliknya, tanah wakaf yang berupa lahan pertanian yang kurang dari dua hektar tidak dapat diharapkan untuk menjadi lahan wakaf yang produktif. Pernyataan tersebut masih menyisakan pertanyaan: "Subbidang pertanian apa yang bernilai secara ekonomi jika tanahnya minimum dua hektar?” Barang kali pertanyaan inilah yang bisa membuka wawasan pihak pihak yang berkepentingan dalampengembanganwakafdanmemaksimumkanfungsitanahwakaf. Nursuhud 92 menduga bahwa batas minimum dua hektar diperuntukan bagi tanah pertanian yang membudidayakan padi. Sementara untuk budi daya selain padi, tidaklah terlalu penting memperhatikan batas minimum tersebut. Selanjutnya, Nursuhud menjelaskan bahwa budi daya tanaman hias cukup dilakukan di atas tanah sekira satu hektar saja. Apalagi sekarang dikembangkan beberapa jenis pertanian yang berorientasi pasar, seperti pertanian bagi masyarakat urban yang lebih mementingkan aspek
89
Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pasal 9. Setidaknya Boedi Harsono tidak memuat Peraturan Pemerintah tersebut. Lihat Boedi HArsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah (Jakarta: Djambatan. 2006), cet. Ke-17. 91 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Buku III, pasal 189, ayat (1). 92 Lulusan S2 (DEA), Ecole Nationale Superieur d’Agronomie, Institut Nationale Plytechnique de Tousouse, Perancis (1994); sekarang sebagai peneliti, dosen, juga praktisi di bidang pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran Bandung. 90
71
permintaan pasar dan dijaga kesinambungannya. Tentu saja, konsep pertanian yang berbasis pariwisata alam–seperti memetik buah stroberi secara langsung di kebun–dan green house (rumah tanaman) yang sekarang dikembangkan berhubungan dengan ketersediaan lahan pertanian yang semakin terbatas. 93 Dengan demikian, luas tanah pertanian sebagai ukuran produktivitas yang layak dan memakmurkan petaninya masih bersifat sementara karena bergantung pada jenis atau bidang pertanian yang dikembangkan. Sekadar pengetahuan untuk mengetahui kelayakan usaha pertanian: (1) Untuk budi daya padi dalam satu manajemen/korporasi/kelompok tani adalah 200 hektar. Oleh karena itu, para petani kecil diharuskan bergabung dalam bentuk koperasi atau yang lainnya demi menjaga kualitas ekonomi lahan pertanian. (2) Untuk budi daya kedelai diperlukan lahan minimum 200 hektar. (3) Untuk usaha di bidang holtikultura (tanaman hias dan sayuran) diperlukan lahan minimum 20hektar dalam satu manajemen. (4) Untuk usaha di bidang buah-buahan diperlukan lahan minimum Zoo hektar "am satu manajemen.94 Di samping pertanian, tanah wakaf juga dapat digunakan untuk penanaman pohon. Di atas tanah wakaf dapat ditanami pohon yang layak tebang sampai umur tertentu. Pohon albasiah dapat ditebang setelah berumur 5 tahun, dan pohon jati dapat ditebang setelah berumur 20dan atau 30 tahun. Dalam konteks kekinian, tanah wakaf dapat didayagunakan dalam berbagai bentuk, antara lain: (1) dijadikan lahan parkir atau garasi; (2) dijadikan tempat usaha seperd cafe atau toko kelontongan; (3) dijadikan gudang yang disewakan kepada pihak lain; (4) dijadikan tempat pertunjukan dakwah dan seni; (5) dijadikan tempat wisata islami yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat olahraga, penginapan, outbond, dan yang lainnya. Tanah wakaf juga dapat digunakan untuk usaha peternakan. Hanya saja, usaha peternakan harus memperhatikan aspek lingkungan secara hati-hati. Jenis peternakan yang bisa dilakukan antara lain peternakan ikan (emas, jaer atau lele jumbo), peternakan unggas (ayam, burung, atau bebek), peternakan hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba.
93 94
Wawancara, responden: Nursuhud, pada tanggal 3 April 2008; di Jatinangor; Sumedang. Wawancara, responden: Nursuhud, pada tanggal 6 April 2008; di Jatinangor; Sumedang.
72
Perlu diketahui bahwa beternak kambing yang bernilai secara bisnis minimum 50 ekor, dan beternak sapi yang bernilai bisnis minimum 20 ekor.95Luas lahan yang diperlukan untuk memelihara ternak tersebut harus diperhitungkan secara matang, terutama lahan untuk kandang, tempat pemandian, dan tempat penanaman rumput untuk pakan. Pengusaha peternakan harus memperhatikaan keadaan alam dan lingkungan karena peternakan memerlukan air-terutama beternak ikanyang berkesinambungan. Pada musim kemarau, air sering kali harus didistribusikan secara adil karena kurang seimbang antara faktor kesediaan air dengan permintaan akan air. Peternakan ayam, bebek, sapi, kerbau, dan kambing menimbulkan bau yang kurang sedap sehingga harus jauh dari lingkungan perkampungan atau tempat tinggal penduduk. Nazhiryang akan bergerak di bidang peternakan diharuskan memiliki keterampilan dan pengetahuan khusus mengenai pembenihan (keterampilan untuk menyortir benih yang berkualitas), kualitas kolam atau kandang yang diperlukan untuk memaksimumkan pemeliharaan, pemberian pakan secara teratur, pengobatan ke dokter hewan jika hewan ternak berpenyakit, jagal, pasar, dan hal-hal lainnya.
H.
TANAH WAKAF TIDAK DITERLANTARKAN Pemanfaatan tanah wakaf terikat dengan peraturan perundangundanganmengenai pemanfaatan tanah yang berlaku. Pengertian terlantar bagi tanah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan adalah bahwa tanah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya.96 Dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 196o ditegaskan bahwa setiap orang atau badan hukum yang memunyai hak atas tanah berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakannya secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.97 Muljadi dan Widjaya menegaskan bahwa tanah yang terlantar adalah (1) tanah yang tidak dimanfaatkan/dipehhara dengan baik; atau (2) tanah yang tidak digunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian hak.98
95
Wawancara, responden: Nursuhud, pada tanggal 2 April 2008; di Jatinangor; Sumedang. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; pasal 1, point 5. 97 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 10, ayat (1). 98 Muljadi dan Widjaya, Hak-hak atas Tanah, hlm. 288. 96
73
Pada dasarnya, penjelasan tanah terlantar yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan serta diperkuat oleh Muljadi dan Widjaya adalah tanah yang telah dibebani hak dan dikuasai oleh pemegang hak, tapi tidak didayagunakan sesuai dengan yang diamanatkan. Akan tetapi, jangka waktu keterlantarannya belum dijelaskan, baik dalam peraturan perundangundangan maupun oleh Muljadi dan Widjaya. Oleh karena itu, pendapat Abdumahman al-Malila mengenai hal ini layak untuk dipertimbangkan. Abdurrahman al-Maliki menjelaskan bahwa tanah dimiliki karena tahjir (pemagaran), ihya' (pembukaan tanah yang tak bertuan), igtha' (pemberian dari negara secara cuma-cuma), dan sebagai tambahan dari sebab memperoleh tanah karena pembelian, warisan, hibah, dan hadiah. Menurutnya, pengelolaan tanah tidak terpisahkan dari kepemilikannya. Jika tanah tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut, gugurlah hak kepemilikannya. Pemilik tanah dipaksa menggarapnya, atau diambil oleh negara dan diserahkan kepada pihak lain.99 Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa: (1) tanah yang sudah dinyatakan terlantar oleh pihak kantor pertanahan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara;100 (2) bekas pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan terlantar diberi ganti rugi;101dan (3) tanah yang dinyatakan terlantar dialihkan haknya kepada pihak lain yang bersedia memegang hak dan menggunakannya dengan baik, serta bersedia dibebani biaya untuk ganti rugi kepada pihak yang haknya dicabut.102 Para pengelola (nazhir) dilarang menelantarkan tanah-tanah wakaf karena pada tanah melekat fungsi sosial. Jika tanah yang dibebani hak mink, hak guns usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dinyatakan terlantar dapat diterhbkan dan dialihkan haknya kepada pihak lain, tanah wakaf yang dinyatakan terlantar pun pada dasarnya dapat dialihkan kepada pihak lain.
I.
WAKAF TANAH DAN FUNGSI BADAN WAKAF INDONESIA Semua pihak berharap banyak pada fungsi Badan Wakaf Indonesia
99
Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibnu Sholah (Bangil: Penerbit al-Izzah. 2000), cet. Ke-1, hlm. 71. 100 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, pasal 16, ayat (1). 101 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, pasal 16, ayat (2). 102 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, pasal 15, ayat (3).
74
(BWI) dalam meningkatkan produktivitas tanah wakaf yang dikelola oleh nazhir. Badan Wakaf Indonesia diharapkan menjadi motor penggerak pemberdayaan wakaf tanah produktif dengan menjalankan fungsifungsinya sesuai yang diamanatkan dalam peraturan perundangundangan. Pertama, Badan Wakaf Indonesia menginventarisasi seluruh tanah wakaf yang berpotensi untuk dikembangkan secara produktif antara lain berupa: usaha pertanian, perkebunan, pembangunan gedung perkantoran, pembangunan real estate, dan pembangunan industri rumah tangga. Kedua, Badan Wakaf Indonesia bersama dengan Lembaga Keuangan Syari'ah mengumpulkan, mengelola, dan mengembangkan wakaf tunai untuk disalurkan pada lembaga-lembaga nazhir wakaf tanah produktif sesuai dengan kondisi alam dan kebutuhan masyarakat berdasarkan analisis bisnis. Ketiga, Badan Wakaf Indonesia meningkatkan kualitas nazhir tanah wakaf produktif dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan bidang usaha yang dilakukannya.103 Dengan demikian, wakaf tanah produktif tidak dapat dilakukan hanya dalam satu sektor (wakaf tanah saja), tapi memerlukan sektor lain, yaitu sektor modal untuk melakukan usaha di atas tanah wakaf oleh nazhir yang sudah terdidik dan terlatih.
2. Wakaf Satuan Rumah Susun
WAKAF SATUAN RUMAH SUSUN
A.
WAKAF HAK MILIK ATAS SATURN RUMAH SUSUN Wakaf hak milik atas satuan rumah susun adalah objek wakaf–yang tergolong baru-yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
103
H. Ahmad Djunaidi (Ketua), Paduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005), hlm. 91-93.
75
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf karena belum pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milk dan Buku III Kompilasi Hukum Islam (disebarluaskan dengn Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Setidaknya terdapat tiga peraturan yang berkaitan dengan rumah susun: (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Bukan oleh Pemilik. Sebelumnya telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang PokokPokok Perumahan; dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan, menjadi undang-undang.
B.
ISTILAH-ISTILAH DALAM KONSEP RUMAH SUSUN Konsep rumah susun setidaknya berhubungan dengan beberapa istilah teknis dan pengertian yang berkaitan dengan rumah susun: (1) pengertian rumah susun, (2) pengertian satuan rumah susun, (3) bagian bersama, (4) benda bersama, (5) tanah bersama, dan (6) pemilik nnnah susun. Rumah susun adalah bangunan gedungbertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian bagian yang distnrkturkan sears fungsional dalam arah horizontal dan vertikkal, serta merupakan satuan-satuan yang dapat dimilild-dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang 104 dfengkapidenganbagianbersama,bendabesama, dantanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang memunyai sarana penghubung ke jalan umum.105 Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan
104 105
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 1, point 2.
76
satuansatuan rumah susun.106 Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian nunah susun, tetapidimihlabersumsecar107 atidakteipisahuntukpelnakaianbersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.108 Pemilik adalah perseorangan atau badan hokum yang mend satuan nunah susun yang memenuhi syaat sebagai pemegang hak atas tanah.109
C.
PEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN DAN PENGALIHANNYA Dalam undang-undang ditetapkan: (1) satuan nunah susun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hokum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah;110 (2) hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milikperseorangan dan terpisah;111 (3) hak milik atas satuan rumah susun juga meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;112dan (4) hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun pada waktu satuan tersebut diperoleh pemihknya yang pertama.113 Bagian bersama berupa raang untuk umum, ruang tangga, lift, dan selasar, harus memunyai ukuran yang memenuhi persyaratan yang diatur serta dikoordinasikan untuk memudahkan penghuni dalam
106
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 1, point 4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 1, point 5. 108 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 1, point 6. 109 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 1, point 7. 110 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 8, point (1). 111 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 8, point (2). 112 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 8, point (3). 113 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 8, point (4). 107
77
melakukan kegiatan sebari hari.114 Benda bersama harus memunyai dimensi, lokasi, kualitas, dan.kapasitas yang memenuhi persyaratan, serta diatur dan dikoordinasikan untuk membenkan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan serta kenikmatan para penghuni dan pihak lain dengan memperhatikan keselarasan, keseimbangan, serta 115 keterpaduan. Pemilikan atas satuan rumah dibuktikan dengan akta, yaitu sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang terdin atas: (1) sahnan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama; (2) gambar denah tingkat nunah susun yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimihld; (3) pertelaan besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.116 Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan, atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemindahan hak atas satuan rumah susun dilakukan dengan akta pejabat pembuat akta tanah dan didasarkan pada kantor pertanahan/agrarian kabupaten/ kota setempat.117 Syarat-syarat dan cara pemindahan hak atas satuan nunah susun diatur dalam peratumn pemerintah.118
D.
PENGHUNIAN RUMAH SUSUN Rumah susun atau satuan rumah susun digunakan untuk tempat tinggal. Karena itu, perlu dikemukakan beberapa konsep yang berhubungan dengan penghunian rumah susun: (1) rumah, (2) penghunian, dan (3) penghuni. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau human dan sarana pembinaan keluarga.Penghuman adalah penggunaan atau pemakaian suatu rumah oleh seseorang atau badan.Penghuni adalah seseorang atau badan yang menempati atau
114
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, pasal 20. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, pasal 21. 116 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 9. 117 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 10. 118 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, pasal 42. 115
78
memanfaatkan rumah secara sah, baik untuk tinggal maupun untuk keperluan lain, dalam rangka pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga.119 Pihak-pihak yang dapat menjadi penghuni rumah susun adalah (1) pemilik hak atas satuan rumah susun, (2) penyewa satuan rumah susun; (3) penyewa beli (al-ba`i al-muntahiyyah bi al-tamlik); dan (4) pengguna yang dhiinkan oleh pemifikhak atas satuan rumah susun.120 Hak dan kewajiban penghuni rumah susun diatur dalam undangundang121 dan peraturan pemerintah.122Sementara penghunian rumah susun bukan oleh pemilik diatur dalam peraturan pemerintah.123 Penghunian rumah susun dapat dijadikan tempat tinggal oleh pemiliknya secara langsung dan dapat pula dihuni bukan oleh pemiliknya. Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa penghunian rumah susun bukan oleh pemililarya dibedakan menjadi dua: (1) penghunian rumah susun dengan cara sewa, dan (2) penghunan rumah susun dengan cara bukan sewa. Dalam penghunian rumah susun dengan cara sewa ditetapkan beberapa klausul mengenai dasar sewa, hak dan kewajiban masingmasing pihak yang terikat dalam perjanjian sewa. Ketentuan mengenai dasar dan kandungan sewa rumah susun adalah (1) dasar sewa rumah susun adalah perjanjian tertulis antara pemihk dan penyewa; 124 (2) dalam perjanjian sewa rumah susun harus termuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, jangka waktu sewa, dan harga sewa; 125 (3) besarnya harga sewa rumah susun ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemilik dan penyewa.126 Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan rumah susun (pemilik) adalah (i) pemilik berhak menerima uang sewa rumah dari penyewa
119
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik, pasal 1, point 1, 2 dan 7. 120 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, pasal 55, ayat (1). 121 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, pasal 18 dan 19. 122 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, pasal 54. 123 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994. 124 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 4, ayat (1). 125 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 4, ayat (2). 126 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 17.
79
sesuai dengan yang dijanjikan, 127 dan (2) pemilk wajib menyerahkan rumah kepada pihak penyewa dalamkeadaan baik sesuai dengan yang dijanjikan.128 Hak dan kewajiban pihak penyewa rumah susun adalah (i) penyewa berhak menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan keadaan yang telah dijanjikan,129(2) penyewa wajib menggunakan dan memehhara rumah yang disewa dengan sebaik baiknya,130 (3) penyewa wajib memenuhi segala kewajiban yang berkaitan dengan penggunaan rumah sesuai dengan perjanjian 131 dan (4) penyewa wajib mengembalikan rumah kepada pemilik dalam keadaan baik dan kosong dari penghunian jika jangka waktu sewa telah berakhr.132 Selain itu, ditetapkan pula dua larangan bagi penyewa: (1) penyewa dilarang menyewakan kembali dan/atau memindahkan hak penghunian atas rumah yang disewanya kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemilik, 133 dan (2) penyewa dilarang mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis dari pemilik.134 Dalam peraturan pemerintah juga diatur mengenai penghunian rumah susun oleh bukan pemilik dengan cara bukan sewa. Ketentuanketentuan mengenai hal tersebut adalah (1) penghunian mmah dengan cara bukan sewa didasarkan pada persetujuan tertulis antara pemibk dengan penghuni;135 (2) persetujuan tersebut sekurang-kurang memuat jangka waktu penghunian; 136 (3) hak dan kewajiban serta larangan penghunirumah dengan cara bukan sewa sama persis dengan hak dan kewajiban serta larangan bagi penghuni rumah dengan cara sewa;137 dan (4) penghunian berakhir sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tertuhs. Jika jangka waktu hunian tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis, penghunian beakhir sesuai dengan kesepakatan.138
F. 127
ASPEK BISNIS SATURN RUMAH SUSUN
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 6, ayat (1). Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 6, ayat (2). 129 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 7. 130 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 8, ayat (1). 131 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 8, ayat (2). 132 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 8, ayat (3). 133 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 9, ayat (1). 134 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 9, ayat (2). 135 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 14, ayat (1) dan (2). 136 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 14, ayat (3). 137 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 15. 138 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994, pasal 16. 128
80
Dengan memperhatikan pengertian rumah dan pengertian rumah susun yang dijelaskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dapat diketahui bahwa fungsi utama rumah, rumah susun, dan atau satuan rumah susun adalah sebagai tempat tinggal/hunian.Oleh karena itu, jika seseomng atau pihak tertentu mewakaflcan satuan nnnah susun, fimgsi utamanya adalah tempat tinggal. Namun jika pihak atau para pihak yang berhak menerima manfaat wakaf rumah susun tidak menempatinya sebagai tempat tinggal, mereka dapat menyewakannya kepada pihak lain. Mereka dapat memanfaatkan uang sewanya. Dengan demikian, aspek ekonomi dalam wakaf satuan rumah susun sangat terbatas karena keterbatasan cara pemanfaatannya.
3. Wakaf Benda Benda BErgerak: Air, Tambang dan Lain lain
WAKAF BENDA BERGERAK : AIR, BAHAN BAKAR MINYAK DAN KENDARAAN
A.
WAKAF AIR DAN BAHAN BAKAR MINYAK Benda bergerak karena sifatnya dapat dibedakan menjadi dua: (1) benda bergerak yang habis karena pemakaian, dan (2) benda bergerak yang tidak habis karena pemakaian. Dalam menentukan hukum wakaf benda bergerak karena sifat aya, dapat diberlakukan prinsip umum, yaitu wakaf benda bergerak yang tidak habis dipakai hukumnya adalah boleh, dan wakaf benda bergerak yang habis dipakai hukumnya tidak boleh. Setiap kaidah memiliki pengecualian (al-mustasnayat). Oleh karena itu, kaidah tersebut jugs memilild pengecualian. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah diatur mengenai objek wakaf, yakni (1) benda tidak bergerak, dan (2) benda bergerak. Objek wakaf berupa benda bergerak yang tidak habis karena dikonsumsi 139 diatur dalam undang-undang, sedangkan objek wakaf berupa benda bergerak yang habis karena
139
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 16, ayat (1).
81
dimanfaatkan diatur dalam peraturan pemerintah.140 Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa: (1) benda bergerak yang tidak habis karena pemakaian dapat diwakafkan,141 dan (2) benda bergerak yang habis karena pemakaian tidak dapat diwakafkan kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediannya berkelanjutan.142 Dalam penjelasan peraturan pemenntah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan air dan bahan bakar mnyak yang persediaannya berkelanjutan tidak termasuk sumber daya air dan sumber minyak.143 Klausul boleh mewakafkan air dan bahan bakar minyak karena persediaannya berkelanjutan, dan penegasan yang terdapat dalam penjelasan peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa sumber daya air dan sumber minyak bukan bagian dari wakaf air dan bahan bakar minyak, merupakan ketentuan yang menank dari segi kaidah serta sejarah fikh wakaf. Pertama, pengertian wakaf yang disusun oleh ulama dan dimuat dalam kitab-kitab fikih merujuk kepada sabda Nabi saw. yang menyatakan bahwa harta pokok harus tertahan (tidak habis karena dipakai) dan yang disedekahkan adalah hasil atau manfaatnya. Oleh karena itu, salah satu syarat wakaf adalah bahwa objek wakaf harus kekal–tidak habis karena dikonsumsi atau dimanfaatkan–ma'a baqa' 'aynihi. Oleh karena itu, secara implisit terdapat produk ijtihad "baru," seakan-akan air dan bahan bakar minyak tidak habis sekali pakai karena persediannya berkelanjutan. Dengan demikian, air dan bahan bakar minyak tetap abadi (tidak habis sekali pakai) secara hukum, bukan secara fisik. Kedua, ketentuan yang terdapat dalam penjelasan peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa sumber daya air dan sumber minyak bukan bagian dari wakaf air dan bahan bakar minyak, juga merupakan terobosan baru. Dalam sejarah wakaf terdapat peristiwa yang relevan dengan wakaf air, yaitu wakaf sumur Raumah (bi'r alrawmah). Usman Ibn Affan meriwayatkan, suatu ketika Nabi saw. tiba di Madinah tidak memunyai air bersih sehingga beliau menggunakan sumur Raumah. Ketika itulah beliau bersabda, "Barang siapa yang membeli 140
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 19, ayat (2) dan (3). Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 19, ayat (4). 142 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 19, ayat (3). 143 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 19, ayat (3). 141
82
sumur Raumah, maka embernya akan ditempatkan bersama ember umat Islam lainnya dengan kualitas yang lebih baik di surga." Usman kemudian berkata, "Sumur itu kubeli dengan hartaku sendiri." Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa Usman berkata, "Kukosongkan Sumur itu untukkepentingan kaum muslimin." Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi saw. bersabda, "Barang siapa mewakafkan (hafara) sumur Raumah, akan ditempatkan di surga." Usmari ra. berkata, "Aku mewakafkannya."144 Selain riwayat mengenai Usman, wakaf sumur juga pernah dilakukan oleh Sa'ad Ibn Ubadah ra. Suatu saat ibunda Sa'ad Ibn Ubadah meninggal dunia, kemudian Sa`ad bertanya kepada Nabi saw., "Sedekah apa yang paling utama yang dapat kulakukan?" Nabi saw. menjawab, "Air," maka Sa'ad mewakafkan sumur. Nabi saw. kemudian bersabda, "(pahala dari penggunaan) Sumur ini untuk ibunda Sa ad."145 Dalam riwayat tersebut tidak ditegaskan mengenai objek wakafnya, apakah sumurnya atau airnya. Akan tetapi, pemahaman umum mengatakan bahwa yang diwakafkan adalah sumur Raumah, sementara airnya adalah manfaat dari sumur itu sendiri. Jadi, sumurnya tetap abadi (tidak habis karena dipakai), dan airnya adalah manfaat atas tsamarah-nya yang didermakan kepada umat Islam yang memerlukan. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 20o6, dapat dipahami bahwa yang diwakafkan oleh Usman bukanlah sumur Raumah semata, tetapi juga termasuk airnya karena persediaannya berkelanjutan. Dengan demikian, definisi benda (objek) wakaf (mawquf bihi) yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam telah diubah dan diperbaiki dengan definisi objek wakaf yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa benda wakaf adalah segala benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
144
Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir. 1987), juz III, hlm. 1021: Abu Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Wahid Ibn Ahmad al-Hanbali al-Maqdisi, Al-Ahadits alMukhtarah (Mekah: Maktabahh Nahdhah al-Haditsah. 1410 H), cet. Ke-1, juz I, hlm. 477; Ahmad Ibn al-Husen Ibn Ali Ibn Musa ABi Bakr al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Mekah: Maktabah Dar al-Baz. 1994), juz VI, hlm 167; dan Ali Ibn Amr Abu al-Hasan al-Dar al-Qurhni al-Bagdadi, Sunan al-Dar-Al-Quthni (Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1966), juz IV, halm. 199 (CD). 145 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, hlm. 379-380.
83
ajaran Islam.146 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta memunyai nilai ekonomi menurut syariah.147 Kalimat "benda yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai" disederhanakan menjadi "benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang." Menjelaskan wakaf air dan bahan bakar minyak dari sudut pandangan pakar fikih agak sulit. Para pakar fikih menetapkan bahwa objek wakaf tidakhabis sekali pakai (ma'a baqd 'aynihi), sementara air danbahan bakar minyakhabis sekali pakai. Olehkarena itu,peraturan pemerintah yang menjadikan air dan bahan bakar minyak dadat dijadikan objek wakaf merupakan terobosan yang luar biasa karena beberapa hal: Pertama, pakar fikih memahami bahwa yang diwakafkan oleh Usman ra. adalah sumur (bukan air). Airnya disedekahkan sebagai hasil (tsamarah) dari sumur yang diwakafkan. Nabi saw. menegaskan bahwa wakaf harus tetap pokoknya, dan yang disedekahkan hasilnya, "habbasta ashlaha wa tsabbil tsamaratah!" Oleh karena itu, yang diwakafkan oleh Usman ra. adalah sumurnya, sedangkan yang disedekahkan148 adalah hasilnya, air. Dengan demikian, yang pantas diwakafkan adalah sumur (atau mata air, air nyusu, Sunda) dan sumur bahan bakar minyak, sementara air (dari sumur) dan bahan bakar minyak (dari sumur) merupakan hasilnya yang dapat disedekahkan. Kira-kira itulah mempertimbangkan wakaf air dan bahan bakar minyak dari sudut pandang pakar fikih. Imam Taqiy al-Din menegaskan bahwa air bukanlah milik perorangan. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, "Padang rumput, air, dan api milik umat manusia secara bersama-sama(syarikat)."149Jika padang rumput, air, dan api milik bersama, sebenarnya air tidak perlu diwakafkan sebab pada dasarnya wakaf merupakan akad (pernyataan) yang mengakibatkan pengalihan milik dari milik pribadi menjadi milik publik. Dalam konteks ini, mewakafkan air berarti tahshil al-hashil, 146
Kompilasi Hukum Islam, pasal 215, point 4. Undang-Undang Nomor 41, pasal 1, point 5. 148 Wawancara pada bulan Mei 2008; responden: Hasanudin (Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat), di Jakarta. 149 Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar (Semarang: Taha Putra. T.th), juz I, hlm. 318. 147
84
kurang tepat karena tumpangtindih dari segi pengalihan kepemilikan. Meskipun demikian, dalam semangat wakaf produktif, aspek ekonomi dari wakaf air dan bahan bakar minyak adalah bahwa air (termasuk di Indonesia) sudah termasuk komoditas (objek bisnis). Oleh karena itu, aspek manfaat ekonomi dari wakaf sumur air dapat dilakukan dengan cara menjual, menghibahkan, atau menyedekahkan airnya. Secara teori, benda yangdisediakan alam bukanlah komoditi. Namun jika persedian terbatas dan permintaan meningkat, mendorong benda yang disediakan alam yang berupa air berubah dari barang bukan komoditi menjadi komoditi. Sementara itu, jauh sebelumnya, bahan bakar minyak telah menjadi komoditas. Setelah dilakukan pelacakan terhadap berbagai sumber yang dijadikan rujukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai wakaf, Karnaen A. Perwataatmadja memperkenalkan wakaf air minum. Secara lengkap Perwataatmadja menulis sebagai berikut: "Contoh pertama dari pembiayaan dengan menciptakan harta wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf lama adalah wakaf air minum yang dilakukan oleh Usman pada masa Rasulullah saw. Dimotivasi oleh Rasulullah saw., Usman mampu membeli sumber air Ruma yang semula hanya diberikan sebagian, tetapi kemudian pemiliknya setuju menjual lagi sebagian yang lain."150 Dengan demikian, meskipun yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2oo6 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah wakaf air dan bahan bakar minyak, tetapi yang dimaksud adalah wakaf sumber (sumur) air dan sumber minyak. Pendapat pakar fikih mengenai objek wakaf memang tidak seragam. Kaidah bahwa "ma'a baqa'ainih" kelihatannya dipahami secara ragam oleh pakar. Imam Malik–seperti dijelaskan dan diikuti oleh Syekh Khalilberpendapat bahwa makanan dan uang dapat dijadikan objek wakaf.151 Pembahasan mengenai objek wakaf yang berupa bahan bakar minyak belum banyak dilakukan oleh pakar filch. Akan tetapi, Wahbah al150
Karnaen A. Pewawataatmadja, “Alternatif Investasi Dana Wakaf,” makalah disampaikan dalam workshop internasional tentang “Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif,” diselenggarakan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) dengan Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama di Batam, pada tanggal 7-8 Januari 2002, hlm 7. 151 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006), cet. ke-9, vol. X, hlm. 7609.
85
Zuhaili berkomentar mengenai objek wakaf yang berupa air dengan mengatakan, "Air dan minyak wangi (duhn) dapat dijadikan objek wakaf."152 Setidak-tidaknya, wakaf yang objeknya berupa air dan bahan bakar minyak memiliki sandaran, yaitu pendapat Wahbah al-Zuhaili. Akan tetapi, pendapat yang paling umum adalah bahwa yang dimaksud dengan wakaf air dan bahan bakar minyak adalah wakaf sumber air dan sumber minyak.
B.
WAKAF KENDARAAN Benda bergerak yang dapat dijadikan sebagai objek wakaf karena sifatnya adalah (1) kapal: kapal tongkang, perahu, dan kapal feri; (2) pesawat terbang; (3) kendaraan bermotor; (4) mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan; (5) logam dan batu mulia; (6) benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya yang memiliki manfaat jangka panjang.153 Pada dasarnya, dalam peraturan pemerintah tersebut terdapat dua objek wakaf yang termasuk benda bergerak karena sifatnya: (1) objek wakaf berupa kendaraan, yaitu (a) kapal: kapal tongkang, perahu, dan kapal feri; (b) pesawat terbang; (c) kendaraan bermotor; (2) objek wakaf berupa mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan; dan (3) logam dan batu mulia. Sementara klausul mengenai "benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya yang memiliki manfaat jangka panj ang," merupakan pasal yang bersifat antisipatif. Objek wakaf yang berupa kendaraan agak mudah dipahami aspek pemanfaatannya. Benda-benda tersebut dapat dijadikan pelengkap kegiatan utama, atau malah menjadi kegiatan utama. Seperti dijadikan alat angkut yang dikelola secara profesional dalam bentuk korporasi atau perusahaan, disewakan, atau disewabelikan. Dengan demikian, aspek ekonomi benda wakaf berupa kendaraan agak mudah dimengerti. Objek wakaf benda bergerak karena sifatnya yang berupa mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan, juga mudah dimengerti aspek ekonominya. Benda tersebut dapat dijadikan modal utama atau modal pelengkap (penyerta) dalam perusahaan yang dikelola
152
Ibid., hlm. 7938. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 20.
153
86
dengan akad syirkahmisalnya, atau disewakan dengan akad ijarah. Objek wakaf benda bergerak karena sifatnya yang berupa logam dan batu mulia agak rumit dimengerti karena di banyak tempat (termasuk di Jawa Barat) penyewaan logam dan batu mulia belum lawn (belum biasa). Sementara ini, logam dan batu mulia masih dimanfaatkan sebagai perhiasan, bukan sebagai benda yang biasa disewakan dengan akad ijarah. Akan tetapi, mungkin saja di tempat lain-dan atau di masa yang akan datang- ada kebiasaan penyewaan logam dan batu mulia. Dengan demikian, aspek ekonomi-bisnis dari logam dan batu mulia adalah disewakan dengan akad ijarah sehingga pengelolanya (nazhir) memperoleh masukan (tsamarah) untuk disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima manfaat wakaf.
C.
PENDAFTARAN WAKAF KENDARAAN Pendaftaran wakaf tanah milik telah diatur dengan sedemikian rupa. Akta Ikrar Wakaf (AIM dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan diajukan ke Badan Pertanahan kabupaten/kota untuk disertifikatkan. Jadi, instansi yang berhak membuat akta autentik mengenai wakaf tanah milik adalah badan pertanahan. Tanah yang sudah diwakafkan dan dibuat akta (dan sertifikatnya) dibebaskan dari beban pajak tanah. Suparman Usman (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, Banten) menjelaskan mengenai pembebasan tanah wakaf dari pajak dalam subbab khusus dengan judul Tanah Wakaf dan Pajak. 154 Dalam penjelasannya, Usman mengutip Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, serta Penjelasannya. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 ditetapkan bahwa objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.155 Bumi dan/atau bangunan tidak dibebani pajak apabila: (1) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan; (2) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenisnya; (3) dijadikan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
154 155
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Serang: Darul Ulum Press, 1994) hlm. 90-91. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, pasal 2, ayat (1).
87
hak; (4) digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; (5) digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan. 156 Tanah wakaf dibebaskan dari pajak bumi dan/atau bangunan tidak ditetapkan secara eksplisit dalam undang-undang. Akan tetapi, tanah wakaf dibebaskan dari pajak karena penggunaannya, yaitu semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, dan pendidikan yang tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan. Persoalannya, pihak/instansi manakah yang berhak/berwenang membuat sertifikat wakaf kendaraan? Apakah kendaraan wakaf yang telah dibuktikan dengan akta autentik juga dibebaskan dari beban pajak? Secara sederhana kiranya dapat dipahami bahwa kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dapat diperluas. Dari segi konteks pembentukan, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf berwenang membuat Akta Ikrar Wakafyang objek wakafnya berupa tanah milik. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf juga semestinya berhak membuat Akta Ikrar Wakaf yang objek wakafnya bukan tanah milik, seperlu perluasaan objek wakaf yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2oo6 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Peraturan perundang-undangan mengenai wakaf kelihatannya belum mengatur tentang akta autentik dari wakaf kendaraan, pihak (instansi) mana yang berwenang menerbitkan sertifikat wakaf kendaraan, dan juga belum menegaskan bahwa benda wakaf yang berupa kendaaan dibebaskan dari pajak Sebut saja, lira-lira pihak yang berhak menerbitkan sertifikat wakaf kendaraan adalah Samsat (Kantor Bersama). Pihak Samsat akan menerbitkan sertifikat wakaf kendaaan setelah menerima pengajuan darn Pejabat Pembuat Akta IHar Wakaf. Tentu saja, wakaf kendaraan diharuskan menempuh prosedur tertentu dan menyertakan bukti-bukti kepemilikan seperti BPKB dan SINK. Berdasarkan hash wawancara dengan pihak PKPU di Bandung, kendaraan wakaf telah dibuatkan akta wakafnya oleh pihak PKPU. Sementara dalam BPKB dan STNK, kendaraan wakaf tersebut masih menggunakan nama perorangan (yang berasal dari PKPU), serta masih diharuskan membayar pajak kendaraan.157 156 157
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, pasal 3, ayat (1). Wawancara, responden: Sulisman (PKPU), pada tanggal 14 Mei 2008 di Bandung.
88
Aspek ekonomi-bisnis kendaraan tidak perlu dipertanyakan. Kendaraan dapat ditewakan dengan akad ijarah. Oleh karena itu, pengelola (nazhir) wakaf kendaraan bisa memperoleh manfaat-ekonomi dari wakaf kendaraan untuk disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Hanya saja, pengelola wakaf kendaraan setidak-tidaknya orang yang mengerti sifat-sifat kendaraan yang dikelolanya. Kendaraan harus diperlakukan dengan mempertimbangkan kapasitasnya, jangan dibuatkan seam berlebihan, dan harus dipehhara secam bail dan apik dengan memperhatikan berbagai hal yang menyangkut kelestariannya.
4. Kebijakan wakaf tunai Wakaf tunai ini sudah menjadi mulai dibiasakan di Indonesia. Wakif memberikan uang tunai untuk menjadi pokok wakaf demi kemanfaatan
umum.
Uang
wakaf
akan
dikelola
dan
diadministrasikan dalam pembukuan secara tertib. 5. Kebijkan wakaf perusahaan Wakaf perusahaan sudah dilakukan dinegara-negara dengan komitmen keislaman yang kuat. Wakaf perusahaan melibatkan asset yang besar dan berseinambungan. Hanya saja di Indonesia wakaf ini belum membudaya. 6. Kebijakan wakaf uang giral
WAKAF UANG DAN SURAT BERHARGA
A.
PENGERTIAN DAN KRITERIA UANG Uang adalah "nyawa" perekonomian. Produksi barang dan jasa, pertukaran barang dan jasa, dan pembagian pendapatan serta konsumsi akan berjalan lancar dengan menggunakan uang sebagai perantara. Para ahli menjelaskan bahwa uang adalah sesuatu yang secara umum diterima guna pembayaran barang dan jasa, serta berfungsi sebagai kekayaan bagi pemililmya.158 Sesuatu yang dianggap "uang" memilih enam persyamtan utama:
158
Iswandono Sardjonpermono, Uang dan Bank (Yogyarta: BPFE-UGM.T.th), hlm. 1-2; lihat juga Asfia Murni, Ekonomika Makro (Bandung: Refika Aditama. 2006), cet. ke-1, hlm. 153-154.
89
Pertama, dapat diterima dan dapat diketahui secara umum. Uang dapat diketahui dan diterima secara umum (acceptability and cognizability) sebagai alat tukar, penimbun kekayaan, dan standar pembayaran utang.Uang diterima secara luas karena manfaatnya, yaitu untuk ditukar dengan barang dan jasa.159 Kedua, stabilitas nilai.Uang dapat diterima secara umum jika nilainya stabil atau fluktuasi/turun-naik nilainya kecil (stability of value).Jika fluktuasi nilai uang terjadi dengan tajam, masyarakat umum tidak akan mengguna kannya sebagai alat tukar, penimbun kekayaan, dan standar pembayaran utang. Mereka akan memilih mata uang lain yang fluktuasi nilainya kecil.160 Ketiga, keseimbangan.Bank sentral sebagai pihak penerbit uang harus mampu "membaca" perkembangan perekonomian. Jumlah uang yang beredar hares mencukupi kebutuhan dunia usaha. Sebahknya, bank sentml sege ra menarik uang yang beredar jika uang yang beredar terlalu banyak dibandingkan dengan kegiatan usaha.Jadi, bank sentral wajib menjamin keseimbangan antara uang yang beredar dengan kegiatan usaha yang dilakukan (elasticity of supply).161 Keempat, kemudahan.Uang mudah dibawa (portability) untuk dijadikan alat tukar dan standar pembayaran barang dan jasa Transalcsi dengan jumlah besar dapat diakukan dengan uang dalam jumlah (fisik) yang kecil karena rnilai nominalnyabesar.162 Kelima, terjaga fisiknya.Fisik uang berpotensi untuk rusak.Setiap orang wajib menjaga fisik uang (durability)."Kerusakan" fisik uang akan menyebabkan penurunan kegunaan moneter uang tersebut.163 Keenam, pemantapan transaksi.Uang digunakan untuk memantapkan transaksi dalam berbagai jumlah (divisibility).Karena itu, uang dengan berbagai nominal (satuan/unit) harus dicetak untuk melancarkan transaksi jual-beli.164
159
Sardjonpermono, Uang dan Bank, hlm. 2. Ibid. 161 Ibid., hlm.3. 162 Ibid. 163 Ibid. 164 Ibid., hlm.4. 160
90
Hubungan uang dengan barang dibangun dengan tesis berbanding terbalik.Jika nilai barang dan jasa naik, nilai uang turun (inflasi).Sebaliknya, jika nilai barang dan jasa turun, nilai uang naik (deflasi).165
B.
JENIS UANG Jenis uang dibedakan dari dua segi: (1) dari segi bahan, dan (2) dari segi nilai. Dari segi bahan (material), uang dibedakan menjadi dua: (1) uang logam, dan (2) uang kertas. Sedangkan dari segi nilai, uang juga dibedakan menjadi dua: (1) uang yang bernilai penuh (full bodied money), dan (2) uang yang tidak bernilai penuh (representativefull bodied money) atau uangbertanda.166 Bahan/material uang logam adalah emas, perak, dan perunggu.Sedangkan bahan uang kertas adalah kertas itu sendiri. Uang kertas-ditinjau dari sudut pihak yang mengeluarkannya-dibedakan menjadi dua: (1) uang kartal (currencies), yaitu uang yang dikeluarkan oleh pemerintah dan atau bank sentral; dan (2) uang giral (deposit money), yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank umum.167 Dari segi nilai, yang dimaksud dengan uang yang bernilai penuh (full bodied money) adalah uang yang nilai kandungannya sama dengan nilai nominalnya (intrimik).168 Uang yang bernilai penuh berarti uang yang nilainya sebagai suatu barang untuk tujuan-tujuan yang bersifat moneter sama besarnya dengan nilainya sebagai barang biasa (non-moneter). Uang yang bernilai penuh hanya ada/timbul pada uang logam: emas, perak, atau perunggu. Pembuatan uang logam dlakukan dengan parameter: (1) uang dapat digeser dari penggunaan moneter ke penggunaan yang non-moneter,
165
Lihat juga Ace Partadireja, Pengantar Ekonomika (Yogyakarta: BPFE, 1990), cet. ke-4, hlm. 132-142. Membandingkan nilai uang dengan harga barang secara terbalik bukan satu-satunya pendekatan dalam menentukan inflasi, paling tidakm inflasi dibedakan menjadi tiga : 1) inflasi permintaan (demand-pull inflaton); 2) inflasi penawaran (supplye inflation); dan 3) inflasi campuran (mixed inflation)/ Lihat Soediyono, Ekonomi Makro : Analsis IS-LM dan Permintaan-Penawaran Agregatif (Yogyakarta: Liberty. 1985), cet. ke-3, hlm. 188-204 166 Sardjonpermono, Uang dan Bank, hlm 9; Robertson menjelaskan bahwa uang dapat dikelompokkan menjadi : 1) uang bank dan uang biasa; uang biasa berfungsi sebagai : a) alat pembayaran yang sah/ legal tender; b) uang bebas/ optinal; dan c) uang tambahan/ subsidiary; 2) alat pembayaran yang sah mencakup yang konvertibel dan uang definitive; dan 3) uang konvertibel, uang definitive, uang dan uang bebas mencakupuang tanda dan uang penuh. Lihat Sir Denis Robertson, Uang, Terj. Gusti Ngurah Gedhe (Jakarta: Bharata. 1963), hlm. 47. 167 Sardjonpermono, Uang dan Bank, hlm 9. 168 Kini –jelas jelas Stonier dan Hague –uang logam yang bernilai penuh hamper tidak ada lagi. Lihat Alfred W. Stonier dan Douglas C. Hague, Dasar-Dasar Analisis Ekonomi Makro, disadur oleh Winardi (Bandung: Tarsito. 2975), hlm. 8.
91
dan (2) setiap individu bebas untuk melebur atau menempa logam menjadi uang atau sebalilmya tanpa biaya yang berarti.169 Sedangkan yang dimaksud dengan uang yang tidak bernilai penuh (representativefull bodied money) adalah uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari pada nilai nomnalnya. Uang yang tidak bernilai penuh tidak memunyai aai yang berarti sebagai barang non-moneter, tetapi uang ini dalam peredaran mewaldh sejumlah logam tertentu dengan nilai yang sama besarnya dengan nilai nominal uangnya. Sementara uang kertas yang beredar saat ini, tidak mewakili sejumlah(seberat) logamtertentuyang disimpan dibank sentral Karenaitu, uang yang tidak bernilai penuh tidak dapat ditukarkan dengan seberat logam tertentu di bank.170 Penggunaan uang kertas yang tidak bernilai penuh sangat bermanfaat karena: (1) membawa uang logam dalam jumlah besar merupakan beban yang berat; (2) transaksi yang terjadi antara para pihak yang tinggal di daerah yang berjauhan, memerlukan biaya transport yang besar ditambah risiko di jalan. Dalam perkembangannya, uang kertas pun dirasa kurang memiliki aspek portability (kemudahan untuk dibawa). Oleh karena itu, uang giral (giro, rekening koran, dan check) digunakan sebagai alat pembayaran yang dinamis; karena sejumlah uang yang diperlukan dalam transaksi ditulis pada uang giral dan penerimanya tinggal menukarkannya ke bank; serta risiko di perjalanan tidak sebesar uang kertas biasa.171 Penggunaan uang giral bergantung pada tingkat perekonomian negara dan tingkat kepercayaan masyarakat pada jasa bank. Semakin maju perekonomian negara (tingkat monetsasmya tinggi), semakin banyak penggunaan uang giral semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat pada bank, semakin besar jugs penggunaan uang giral dalam penyelesaian transaksinya.172
C.
STANDAR MONETER Standar moneter adalah sistem moneter yang didasarkan atas
169
Sardjonpermono, Uang dan Bank, hlm 10. Ibid., hlm. 10. 171 Ibid., hlm. 10-11. 172 Ibid., hlm. 11. Boediono juga memperkenalkan macam-macam uang, antara lain :narrow money, broad money, uang kartal, uang giral, uang inti (reseve money), dan uang pelipat (money multiplier). Lihat Boediono, Ekonomi Makro (Yogyakarta: BPFE. 1999), cet. ke-19, hlm. 105-106. 170
92
standar nilai dari uang, termasuk di dalamnya: (1) peraturan tentang ciri dan sifat uang, (2) pengaturan tentang jumlah uang yang beredar, (3) ekspor-impor logam mulia, dan (4) fasilitas bank dalam ekspansi demand deposit.173 Standar moneter dibedakan menjadi dua: (1) standar barang (commodity standard), dan (2) standar kepercayaan (flat standard). Standar barang adalah sistem moneter yang menetapkan balm nilai uang dijamin sama besar denganberat logam (emas dan perak) tertentu yang disimpan di bank sentral. Standar baring diklasifikasi menjadi: (1) standar emas (the gold standard), (2) standar perak (the silver standard), dan (3) standar kembar (emas dan perak).174 Standar kepercayaan (fiat standard) diartikan sebagai sistem moneter yang menetapkan bahwa nilai uang tidak dijamin dengan logam seberat tertentu di bank sentral, tetapi hanya atas dasar kepercayaan masyarakat terhadappemerintah dan atau bank sentral niasyarakat menerima uang tersebut sebagai alat pembayaran yang sah.175 Uang rupiah yang sekarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah adalah uang yang menggunakan standar kepercayaan.Oleh karena itu, keberadaannya tidak ekuivalen dengan simpanan emas dan perak dalam jumlah berat tertentu di bank sentral.
D.
FATWA MUI TENTANG WAKAF UANG Uang menempati posisi penting dalam kegiatan transaksi ekonomi di berbagai negara di dunia karena-sekarang-tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi sudah dianggap sebagai bends-meskipun terjadi slang pendapat di antara pakar filch' -yang dapat diperdagangkan. Oleh karena itu, ulama di Pakistan sudah membolehkan adanya wakaf uang dengan istilah cash wakaf, waqf al-nuqudyang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi wakaftunai. Dewasa ini uang sudah bergeser fungsi. Awalnya, ia hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi sekarang sudah menjadi sesuatu yang diperjualbelikan di berbagai bank dan money changer. Oleh karena itu, uang sudah sama kedudukannya dengan benda lain yang dapat
173
Sardjonpermono, Uang dan Bank, hlm 15. Jiak suatu negara hanya menggunakan satu standar dalam sistem moneternya, negara tersebut menganut mono metallism standard; sedangkan jika suatu negara menggunakan dua logam sebagai standar moneternya, negara tersebut menganut bermetallism standard. Lihat Sardjonpermono, Uang dan Bank. Hlm. 15. 175 Ibid., hlm.16. 174
93
diperjualbelikan. Dengan kenyataan yang demildan, pernyataan al-Sayyid Sabiq bahwa uang tidak dapat dijadikan objek wakaf tidak sejalan dengan pernyataannya sendiri, yaitu uang dapat dijadikan objek perdagangan.Oleh karena itu, Juhaya S. Pradja juga berpendapat bahwa uang boleh dijadikan objek wakaf.176 Sejumlah kiai telah mempraktikkan gagasan ini dengan cara melelang tanah yang akan dibeli untuk mengembangkan pesantren yang diasuhnya dengan menghargakan tanah per meternya sehingga wakif dapat membayar tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya melalui nomor rekening bank yang sudah disiapkan oleh panitia. Meskipun akad yang dilakukan adalah wakaf tanah, dalam praktiknya yang diberikan oleh wakif adalah uang.177 Sebelum ditetapkan dalam UU, pada tanggal 11 Mei 2002 (28 Shafar 1423 H) Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang.Fatwa tersebut ditandatangani oleh K.H. Ma'ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa) dan Hasanudin (Sekretaris Komisi Fatwa). Dalam fatwa tersebut dijelaskan definisi wakaf yang dikutip dari kitab Nihayat al-Muhtdj ild Sarh al-Minhdjkarya al-Ramli; kitab Mugni alMuhtajkarya al-Khathib al-Syarbini; dan Buku III KHI, pasa1215, ayat (1). Di samping definisi wakaf, dalam fatwa MUI juga terdapat batasan benda wakaf yang dilutip dari Buku III KHI, pasal 215, ayat (4).Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang memilild daya tahan yang tidakhanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Pertimbangan fatwa MUI tentang wakaf uang adalah Pertama, QS.Ali Imran (3): 92 tentang perintah agar manusia menyedekahkan sebagian harta yang dicintainya. Kedua, QS. Al-Bagarah (2): 261-262 tentang balasan yangberlipat ganda bagi orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah dengan ikhlas, dan pelakunya dijamin akan terhindar dari rasa khawatir (takut) dan sedih. Ketiga, hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Turmudzi, al-Nasa'i, dan Abu Daud tentang perbuatan yang senantiasa mengalir pahalanya meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Keempat, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan yang lainnya tentang wakaf tanah yang 176
Juhaya S. Pradja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangan (Bandung: Yayasan Piara. 1993), hlm. 13. 177 Salah satu penelitian mengenai praktik wakaf uang dilakukan oleh Suci Zuharni. Lihat Suzi Suharni, Pengaruh Implementasi Wakaf Uang terhadap Pendapatan Masyarakat: Kajian pada Pondok Modern Gontor; Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur (Bandung: Program Pascasarjana IAIN [sekarang UIN] SGD. 2004,t.d.
94
dilakukan oleh `Umar Ibn Khaththab ra. Kelima, Bawl (pendapat) Jabir ra.yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi saw. mewakafkan sebagian harta yang dimilikinya. Dalam pertimbangan fatwa tentang uang juga dikutip tiga pendapat ulama klasik yang relevan dengan wakaf uang: Pertama, pendapat Imam al-Zuhri (w.124 H) yang menyatakan bahwa hukum mewakafkan dinar adalahboleh (mubah). 178 Kedua, pendapat ulama Hanafiah yang membolehkan wakaf dinar dan dirham atas dasar istihsdn bi al- urf. 179 Ketiga, pendapat sebagian ulama madzhab Syafi'i yang diceritakan oleh Abu Tsaur tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.180 Tiga pendapat tersebut dibahas dalam rapat Komisi Fatwa tanggal 23 Maret 2002. Akhirnya pada tanggal 11 Mei 2002, Komisi Fatwa MUI merumuskan definisi wakaf sebagai berikut:
"Penahanan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa hilang benda atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, menghibahkan, atau mewariskannya), untuk digunakan (hasilnya) pada sesuatu yang dibolehkan (tidak haram)."
Dalam rapat Komisi Fatwa MUI juga dipertimbangkan Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI Nomor Dt.1.III/5/ BA.03.2/2T72/2002tertanggal 26 April 2002. Setelah mempertimbangkan Al-Quran, hadis, dan pendapat ulama, akhirnya Komisi Fatwa MUI menetapkan bahwa:
178
1.
Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2.
Termasuk dalam uang adalah surat-surat berharga.
3.
Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal
Abu Su’ud Muhammad, Risalatfi Jawaz Waqfal al-Nuqud (Beirut: Dar Ibn Hazm. 1977), hlm. 20-21. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr: 2006), juz VIII, hlm. 162. 180 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr: 1994), juz IX, hlm. 379. 179
95
yang dibolehkan secara syar’i. 4.
Nilai pokok uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Demikian landasan dibolehkannya wakaf uang sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dari segi fungsi, wakaf uang yang dikelola oleh para nazhir yang profesional, seperti pandangan Uswatun Hasanah (Wakil Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Uiniversitas Indonesia), dapat digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan.181
E.
WAKAF UANG Wakaf benda bergerak berupa uang diatur secara khusus dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004.Ketentuan mengenai wakaf uang adalah: 1.
Wakif dibolehkan mewakafkan uang melalui Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk oleh menteri.182
2.
Wakaf uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.183
3.
Wakaf diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.184
4.
Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada wakaf dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta dengan wakaf.185
5.
Lembaga Keuangan Syariah atas namanazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang.186
Ketentuan mengenai wakaf uang: (1) jenis harta yang diserahkan wakaf dalam wakaf uang adalah uang dalam valuta rupiah. Oleh karena
181
Uswatun Hasanah, “Wakaf Uang”, dalam Republika, 28 Juli 2005, hlm. 15. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 28. 183 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 29, ayat (1). 184 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 29, ayat (2). 185 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 29, ayat (3). 186 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 30. 182
96
itu, uang yang akan diwakafkan harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam rupiah jika masih dalam valuta asing.187 (2) Wakaf uang dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKSPenerima Wakaf uang (LKS-PWU).188 Adapun aturan teknis yang menyangkut wakaf uang adalah(1) wakaf wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah sebagai penerima wakaf uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya.189 Bila berhalangan,wakaf dapat menunjuk wakil atau kuasanya190 (2) Wakif wajib menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan. (3) Wakif wajib menyerakan secara tunai sejurnlah uang ke LKS-PWU. (4) Waldf wajib mengisi formulir pernyataan kehendaknya yang berfungsi sebagai AIW.191 Wakaf uang dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (mu'aqqat).Uang yang diwakafkan harus dijadikan modal usaha (ra's almal)sehingga–secara hukum–tidak habis sekali pakai, dan yang disedekahkan adalah hasil dari usaha yang dilakukan oleh nazhir atau pengelola. Wakaf uang dapat dilakukan secara mutlak dan juga secara terbatas (muqayyad).Wakaf uang secara mutlak dan terbatas dapat dilihat dari segi usaha yang dilakukan oleh nazhir (bebas melakukan berbagai jenis usahayang halal atau terbatas pada jenis usaha tertentu), dan dari segi penerima manfaatnya (ditentukan atau tidak ditentukan pihak-pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Wakaf uang pada dasarnya mendorong bank syariah untuk menjadi nazhir yang profesional.Pihak bank-sebagai penerima titipan harta wakaf–dapat menginvestasikan uang tersebut pada sektor-sektor usaha halal yang menghasilkan manfaat.Pihak bank sendiri-sebagai nazhirberhak mendapat imbalan maksimum 1o% dari keuntungan yang diperoleh. Dana wakaf yang berupa uang dapat diinvestasikan pada aset-aset finansial (financial asset) dan pada aset-aset riil (real asset). Investasi pada aset-aset finansial dilakukan di pasar modal misalnya berupa wham, obligasi, warran, dan opsi. Sedangkan investasi pada aset-aset riil
187
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22 ayat (1) dan (2). Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 23. 189 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22 ayat (3)a. 190 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22 ayat (4). 191 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 22 ayat (3), b, c, dan d. 188
97
dapat berbentuk antara lain pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan, dan perkebunan. 192 Pada bagian berikut dijelaskan mengenai investasi wakaf pada aset-aset finasial: wakaf saham dan wakaf obligasi.
F.
WAKAF SAHAM Objek wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan setelah uang adalah saham.193 Saham antara lain diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Pembahasan mengenai saham terdapat dalam bab III berjudul Modaldan Saham. Pada dasarnya, antara modal dan saham tidak dapat dipisahkan, tapi hanya dapat dibedakan. Saham tidak bisa dilepaskan dari modal dan pasar modal. Dari sudut perseroan terbatas, asal-usul modal dapat berupa: (1) modal sendiri, (2) modal pinjaman dari pihak ketiga termasuk dari bank, dan (3) saham. Sedangkan dari segi pasar modal, instrumen pasar modal adalah semua surat berharga (securities) yang berupa: (1) saham, (2) obligasi, dan (3) sertifikat. Saham dan obligasi diperdagangkan di bursa efek, sedangkan sertifikat diperdagangkan di luar bursa melalui bank pemerintah.194 Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu perseroan terbatas. 195 Manfaat saham adalah (1) dividen, yaitu bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemilik saham; (2) capital gain, yaitu keuntungan yang diperolefi darrselisih jual dengan harga belinya; dan (3) manfaat non-material, yaitu timbulnya kekuasaan/memperoleh hak suraa dalam menentukan jalannya perusahaan.196 Dari segi pencantuman nama pemililalya, saham dibedakan menjadi dua: (1) saham atas nama, yaitu saham yang mencantumkan nama pemegang atau pemihkmya; (2) saham atas unjuk, yaitu saham
192
Abdul Halim, Analisis Investasi (Jakarta: Salemba Empat. 2005), hlm. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 21, huruf a. 194 Pandji Anoraga dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal (Jakarta: Rineka Cipta. 2006), cet. ke-5, hlm. 54. 195 Saham juga berarti sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan, dan pemegangnya memiliki hak kalim atas penghasilan dan aktiva perusahan. Lihat Rusdin, Pasar Modal (Bandung: Alfabeta. 2006), cet. ke-1, hlm. 68. 196 Anoraga dan Pakarti, Pengantar Pasar, hlm. 54. 193
98
yang tidak mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.197 Ciri-ciri saham atas nama adalah (1) prosedurnya panjang jika diperdagangkan karena memerlukan pernyataan pemindahan; (2) harus ada yang mencatat nama-nama pemilik saham yang melibatkan: (a)tranfer agentyang bertugas memindahkan nama pemegang saham lama ke nama pemegang saham baru, (b) registrat, dan (c) clearing agentyang bertugas mengeluarkan saham-saham atas nama yang diperdagangkan; (3) nama-nama pemilik saham diketahui sehingga mudah diawasi; (4) sulit dipalsukan; (5) kalau hilang mudah diganti; (6) pembuatannya relatif mudah. Sedangkan ciri-ciri saham atas unjuk adalah (1) mudah diperdagangkan, (2) tidak perlu daftar pemegang saham, (3) pemegang saham tidak diketahui sehingga sulit diawasi, (4) bisa dipalsukan, (5) sulit diganti jika hilang, dan (6) pembuatannya sulit karena syarat-syaratnya berat.198 Dari segi manfaat non-finansial, saham dibedakan menjadi dua: (1) saham biasa, yaitu saham yang pemiliknya tidak memperoleh hak istimewa, tetapi memunyai: (a) hak dividen jika perseroan memperoleh keuntungan, (b)hak suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) sesuai dengan jumlah wham yang dimilikinya (one man one vote), dan (c) hak memperoleh sebagian dari kekayaan setelah kewajiban dilunasi ji1ca perseroan dilikuidasi; (2) saham preferen, yaitu saham yang pemiliknya berhak didahulukan (diistimewakan) untuk mendapatkan dmden dan atau bagian kekayaan jika penisahaan dilikuidasi, tetapi tidak memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham.199 Dari segi pencantuman nama pemilik (saham atas nama dan saham atas unjuk), saham atas nama lebih mudah untuk dijadikan objek wakaf sebab wakaf (pihak yang mewakafkan saham) harus diketahui identitasnyadan dicantumkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Sedangkan dari segi manfaat nonfinansial, wakaf saham tidak perlu dipersoalkan karena baik saham biasa maupun saham preferen, dapat dijadikan objek wakaf. Pemilik saham dapat mendaftarkan wakaf saham kepada Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) karena saham dapatdianggap sama dengan uang. Di samping itu, wakaf saham perlu melibatkan tranfer agent, registrat dan clearing agent.
197
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, pasal 24, ayat (2); lihat juga simatupang, Aspek Hukum, hlm. 182-183. 198 Anoraga dan Pakarti, Pengantar Pasar; hlm. 56-57. 199 Ibid. 54-55.
99
Wakaf saham memerlukan institusi yang bekerja secara profesional yang bertugas mengelola saham-saham wakaf. Institusi tersebut dapat berupa perusahaan pengelola dana wakaf atau Reksa Dana Syariah (Islamic Invesment Fund) agar saham yang diwakafkan dapat mendatangkan manfaat yang maksimum. Perusahaan pengelola dana wakaf berkedudukan sebagai nazhir yang berhak mendapat imbalan yang layak. Dari segi pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf lahu), wakaf dapat dilakukan secara mutlak (penerima manfaat wakaf saham tidak ditentukan secara spesifik), dan juga secara terbatas (muqayyad) (penerima manfaat wakaf saham ditentukan secara pasti). Aspek ekonomi-bisnis dari wakaf saham adalah diterimanya dividen.Saham adalah objek wakaf, sedangkan dividen adalah manfaat wakaf.Hanya saja, saham yang menjadi objek wakaf harus diinvestasikan pada bidang bidang usaha yang halal dan terhindar dari riba.Oleh karena itu, institusi yang lebih tepat untuk mengelola wakaf saham adalah Reksa Dana Syariah (Islamic Invesment Fund).200
H.
WAKAF OBLIGASI: SUN ATAU SUKUK Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2oo6 ditetapkan bahwa objek wakaf selain uang adalah obligasi dan Surat Utang Negara (SUN).201Dari segi sistemnya, mewakafkan obligasi pada umumnya dan Surat Utang Negara tidak mungkin dilakukan, tetapi yang memungldnkan dilakukan adalah wakaf obligasi syariah daan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk. 1 . Obligasi Obligasi adalah surat tanda utang yang memiliki tenor jangka panjang. Jika seseorang membeh obligasi, berarti orang tersebut meminjamkan uang kepada pihak penerbit obligasi tersebut.202 Obligasi memiliki karakter: (a) jumlah dana yang dibutuhkan (jumlah emisi obligasi) sama besarnya dengan nilai obligasi yang
200
Muhammad Firdaus NH, dkk, Investasi Halal di Reksa Dana Syari’ah (Jakarta: Renaisan. 2005), cet. ke-1, hlm. 14-16. 201 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 21, huruf a. 202 Tenor jangka panjang berbeda-beda; di Indonesia, statistic yang terdaftar di bapepam memasukkan surat utang bertenor 2 (dua) tahuns ebagai tenor jangka panjang. Pada umumnya, obligasi berjangka waktu antara 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun. Lihat Jaka E. Cahyana, Langkah Taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi (Jakarta: PT. Elek Media Komputindo. 2004), hlm. 32.
100
diterbitkan berdasarkan kemampuan aliran kas perusahaan serta kinerja bisnisnya, (b)jangka waktu obligasi (pada umumnya antara 5 [lima] hingga 10 [sepuluh] tahun), (c) tingkat suku bunga yang dikenal dengan nama kupon obligasi yang berbentuk fixed ratedan variable ratesebagai pilihan bagi investor, (d) jadwal pembayaran suku bunga yang dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dan (e) jaminan obligasi oleh perusaahaan agar lebih menarik bagi investor. Keharusan pengadaan jaminan obligasi oleh perusahaan tidak bersifat mutlak.203 Setiap investasi selalu mengharapkan penghasilan atas jumlah dana yang diinvestasikan. Membeli obligasi berarti pembeli mengharapkan keuntungan dari investasinya yang dikenal dengan istilah yield yang antaralain meliputi (a) nominal yield (coupon yield), (b) current yield, dan (c) yield to maturity(YTM). Nominal yield (coupon yield) adalah pendapatan kupon yang didasarkan pada nilai nominal obligasi.Artinya, dalam jumlah nilai obligasi tertentu diberikan pendapatan tingkat suku bunga yang hasilnya telah ditentukansebelumnya. Contoh: nilai obligasi sebesar Rp 2 miliar dengan tingkat kupon fixed rate sebesar 15% akan memberikan pendapatan (coupon yield) sebesar Rp.300 juta pertahun; besaran tingkat nominal yieldtidak berubah sampai akhir jatuh tempo obligasi tersebut. Current yieldadalah pendapatan kupon yang didasarkan pada harga pasar obligasi tersebut. Investor yang membeli obligasi dengan nilai nominal Rp 2 miliar bisa mendapatkannya pada pasar sekunder dengan harga Rp 1,8 miliarkarena ldnerja harga obligasi yang menurun. Dengan harga pasar obligasi sebesar Rp 1,8 miliar serta nominal yield sebesar RP 300 juta, nilai pendapatan yang sebenarnya adalah 16,6% (RP 300 juta dibagi Rp 1,8 miliar). Yield to maturity(YTM) adalah pendapatan tingkat suku bunga obligasi jika investor memegang obligasi hingga periode jatuh tempo. Investor jangka panjang melakukan metode penghitungan pendapatanobligasi berdasar YTM supaya bisa membandingkan tingkat pendapatan obligasi yang satu dengan yang lainnya.204 Dari penjelasan tersebut tergambar bahwa karakter obligasi antara lain memiliki: (a) tingkat suku bunga yang dikenal dengan 203
Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi (Jakarta: PT Gramedia Putra Utama. 2004), hlm. 8-10. Ibid., hlm. 13-14.
204
101
nama kuponobligasi yang berbentuk fixed rate dan variable rate sebagai pilihan bagi investor, dan (b) jadwal pembayaran suku bunga yang dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan. Oleh karena itu, wakaf obligasi pada umumnya tidak dapat dilakukan karena menganut "bunga" sebagai bahan perhitungan dalam membagikan keuntungan, sedangkan hukum bunga uang adalah haram berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Hal yang mungkin dilakukan adalah wakaf obligasi syarah yang dijelaskan pada bagian berikut.205 2.
Wakaf Obligasi Syariah Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah. Emiten diwajibkan untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa hasil/margin/fee, serta membayar kembali obligasi pada saat jatuh tempo.206 Struktur obligasi syariah dapat berupa: (a) bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Akad mudharabah atau musyarakah adalah akad kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan. Obligasi jenisini akan memberikan return dengan penggunaan expected return/term indicativekarena sifatnya yang floating dan bergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan. (b) Margin/fee berdasarkan akad mudharabah, salam, istishna', dan Sarah. Dengan akad tersebut, obligasi syariah akan memberikan fixed return(pendapatan tetap).207 a.
Obligasi Mudharabah Obligasi mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik modal (shahib al-mal, investor) dengan pengelola (mudharib, emiten). Pemilik modal hanya menyediakan dana secara penuh (l00%) dalam satu kegiatan usaha (tidak ikut
205
Fatwa Majelis Ualam Indonesia mengenai bunga bank adalah lanjutan dari fatwa-fatwa sebelumnya yang mengharamkan bunag uang, antara lain 1) fatwa dari Mufti Pemerintahan Mesir (1989); 2) fatwa ulama alAzhar; 3) fatwa The Council of Islamic Fiqh Academy Organisasi Konferensi Islam (OKI); 4) fatwa The Council of Islamic Fiqh Liga Dunia Muslim; dan 5) fatwa Departemen Fatwa Arab Saudi. Lihat Abdel Hamid el-Ghazali, Profit Versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law (Jeddah: Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank. 1994). 206 Fatwa DSN-MUI Nomor 32/DS-MUI/IX/2002. Lihat M. Ichwan Sam, dkk (Peny.), Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI (Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia. 2006), cet.ke-3, hlm.197. 207 Muhammad Firdaus NH, dll (Peny.), Konsep Dasar Obligasi Syari’ah (Jakarta: Renaisan. 2005), cet. ke-1, hlm. 28-29.
102
mengelola usaha), sedangkan emiten (mudharib) mengelola harta secara penuh dan mandiri dalam bentuk aset pada kegiatan usaha tersebut.208 Ketentuan obligasi mudharabah adalah (1) kontrak mudharabah dituangkan dalam pejanjian perwaliamanatan; (2) rasio bagi hasil (nisbah) ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing); (3) nisbah bagi hasil sudah ditetapkan di awal kontrak, apakah secara konstan, meningkat, atau menurun dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten; (4) pendapatan bagi hash merupakan jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak Oleh karenanya, pendapatan bagi hasil harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah; (5) pembagian hasil pendapatan dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartal, atau bulanan); (6) obligasi syariah memberikan indicative return tertentu karena besarnya pendapatan bagi hasil ditentukan oleh kinerja aktual emiten.209 b. Obligasi Ijarah Obligasi ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad Sarah, yaitu pemilik harta memberi kuasa kepada pengelola untuk mengambil manfaat dari barang yang dikelolanya, dan pengelola berkewajiban memberi imbalan kepada pemilik harta.210 Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, investor bertindak sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan emiten bertindak sebagai waldl investor, dan property owner bertindak sebagai pihak yang menyewakan (mu’jir). Dengan demikian, tejadi dua transaksi: transaksi pertama tejadi antara investor dan emiten dengan akad wakalah untuk melakukan sewa; dan transaksi kedua terjadi antara emiten dan property ownerdengan akad ijarah. Kedua, setelah memperoleh hak sewa, investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten.Atas dasar transaksi sewa tersebut, diterbitkanlah obligasi syariah
208
Ibid. hlm.29. Ibid. hlm.30-31. 210 Ibid. hlm.32. 209
103
Sarah.Karenanya, emiten wajib membayar pendapatan kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.211 Ketentuan obligasi Sarah adalah (1) objeknya berupa barang (harta fisik), (2) manfaat dari objek dan nilainya diketahui serta disepakati olehkedua belah pihak, (3) ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya dinyatakan secara spesifik, (4) penyewa harus membagi hasil manfaatyang diperolehnya dalam bentuk imbalan/upah, (5) pemakai manfaat (penyewa) harus menjaga objek sewa agar manfaatnya tetap terjaga, dan (6) pihak Yang menyewakan harus pemilik mutlak.212 c
Emisi Obligasi Syariah Syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal.Oleh karena itu, dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia agar mengambil hasil yang halal.Tujuan utama yang dilakukan emiten adalah memanfaatkan peluang sebanyak mungkin agar memperoleh biaya modal dan keuntungan yang maksimum. Oleh karena itu, syarat-syarat untuk menerbitkan obligasi sangat ketat, yaitu (1) aktivitas utama (core business) yang halal; (2) peningkat investasinya harus: (a) memilila fundamental usaha yang kuat, (b) memilih fundamental keuangan yang kuat, dan (c) memilih citra yang baik bagi publik; (3) keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).213 Wakaf obligasi syariah dengan akad mudharabah, syirkah, atau Sarah dapat dilakukan karena terhindar dari usaha yang riba dan haram.Pemilik/pemegang obligasi syariah dapat mewakafkan obligasinya keLembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang/Obligasi (LKS-PWU) untuk diterbitkan sertifikatnya.Imbalan obligasi syarah dengan sistem bagi hasil (mudharabah) dan atau sewa (ijarah) merupakan manfaat obligasi yang disedekahkan, dan diterima oleh plak pihak yang berhak. Wakaf obligasi syariah dengan sendirinya termasuk wakaf mu’aqqat(jangka waktunya terbatas) karena obligasi syariah
211
Ibid. hlm.33. Ibid. hlm.32. 213 Ibid. hlm.35. 212
104
sama dengan obligasi pada umumnya, yaitu surat utang jangka panjang yang waktunya terbatas (jatuh tempo). Dengan mempertimbangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang keharaman bunga uang, Peraturnn Pemenntah Nomor 42 Tahun 2oo6 tentang wakaf obligasi harus disempitkan cakupannya, yakni yang dapat diwakafkan hanyalah obligasi syariah dengan akad mudharabahatau ijarah.
3.
Surat Utang Negara (SUN) Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asirig, yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara sesuai dengan masa berlakunya. SUN dapat diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.214 Tujuan penerbitan Surat Utang Negara adalah (a) membiayai defisit Anggaran dan Belanja Negara (APBN), (b) menutup kekurangan kas jangka pendek karena ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan danpengeluaran dari rekening kas negara dalam satu tahun anggaran, dan (c) mengelola portofolio utang negara.215 Pengelolaan Surat Utang Negara dilakukan oleh Menteri Keuangan yang antara lain meliputi (a) penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Surat Utang Negara, (b) perencanaan dan penetapan struktur portofolio utangnegara, (c) penerbitan dan penjualan Surat Utang Negara di pasar perdana melalui lelang dan atau tanpa lelang, serta (d) penukaran dan pelunasan Surat Utang Negara.216 Menteri Keuangan menujuk Bank Indonesia untuk menjalankan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup: (a) pencatatan kepemilikan, (b) kliring dan setelmen, dan (c) bertindak sebagai agen pembayaran bunga dan pokok Surat Utang Negara.217 Dari penjelasan tersebut terdapat dua hal yang menunjukkan bahwa Surat Utang Negara (SUN) tidak dapat dijadikan objek
214
Cahyana, iLAngkah Taktis, hlm.52. Ibid. hlm.52-53. 216 Ibid. hlm.53. 217 Ibid. hlm.54. 215
105
wakaf.Pertama, Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara. Kedua, dalam melaksanakan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia bertindak sebagai agen pembayaran bunga dan pokok Surat Utang Negara.Dua alasan tersebut menunjukkan bahwa Surat Utang Negara (SUN) menggunakan bunga (uang) sebagai alat untuk memberi imbalan, dan berdasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bunga uang adalah haram.Surat Utang yang memungkinkan diwakafkan adalah sukuk yang dijelaskan pada bagian berikut.218
4.
Wakaf Sukuk Pada April 2008, pihak legislatif telah mengesahkan Rancangan UndangUndang tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi UndangUndang. Surat Berharga Syariah Negara secara konseptual sama denganSurat Utang Negara (SUN), yaitu surat berharga berupa surat pengakuan utang, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran imbalan/margin dan pokoknya oleh negara sesuai dengan masa berlakunya. Surat Berharga Syariah Negara dapat diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.219 Dalam undang-undang Nomor 19 Tahun 2008, ditetapkan 5 (lima) macam Surat Berharga Syariah Negara berdasarkan akad: (a) SBSN Ijarah, (b) SBSN Mudharabah, (c) SBSN Musyarakah, (d) SBSN Istishna , dan (e) SBSN kombinasi dua akad atau lebih.220 Dalam undang-undang ditetapkan bahwa: (a) Menteri Keuangan menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai agen
218
Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bahwa bunga bank termasuk ribah nasi’ah, dipengaruhi oleh Yusuf al-Qardhawi, Rafiq Yunus al-Mishri dan Muhammad Riyaadh al-Abrasy. Lihat Yusuf al-Qardhawi, Fawa’id al-Bunuk Huwa al-Riba al-Haram (Beirut: al-Maktab al-Islami. 1995); dan Rafiq Yunus al-Mishri dan Muhammad Riyadh al-Abrasy, al-Riba wa al-Fa’idah: Dirasah Iqtishadiyah Muqaranah (Damaskus: Dar al-Fikr. 1999) 219 Undang-Undang Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, pasal 2, ayat (1). 220 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, pasal 3.
106
pembayar; (b) Menteri Keuangan dapat menunjuk pihak lain sebagai agen pembayar setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia; dan (c) kegiatan agen pembayar meliputi (1) menerima imbalan dan/atau nilai nominal SBSN dari pemerintah, dan (2) membayarkan imbalan dan/atau nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN.221 Dari gambaran singkat tersebut tergambar kemungkinan wakaf Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Pemegang SBSN mewakafkan SBSN yang dimilikinya dengan cara mendaftarkannya ke Lembaga KeuanganSyariah Penerima Wakaf Uang/SBSN (LKSPWU) guna menerbitkan akta dan sertifikatnya. Surat Berharga Syariah Negara adalah mauquf bih (objek wakaf), LKS-PWU dapat bertindak sebagai nazhir, dan hasilnya (imbalan dan/atau nilai nominal SBSN yang diwakafkan) adalah manfaat (tsamarah) yang disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima. Wakaf Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan sendirinya termasuk wakaf mu aggat (jangka waktunya terbatas) karena sama dengan Surat Utang Negara pada umumnya, yaitu surat utang jangka pendek yang waktunya sangat terbatas (jatuh tempo). Dengan mempertimbangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang keharaman bunga uang, Peraturan Pemenntah Nomor 42 Tahun 20o6 yang mengatur tentang wakaf Surat Utang Negara harus disempitkan cakupannya, yakni yang dapat diwakaflcan hanyalah Surat Berharga Syanah Negara (SBSN) dengan akad ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna', dan kombinasi dua akad atau lebh Setelah disahkannya undang-undang mengenai sukuk oleh legislatif, pihak swasta pun sudah mulai menerbitkan sukuk. Pada tanggal 8 Mei 2008, diberitakan bahwa PT Summarecon Agung Tbk telah menerbitkan ijarahyang ditawarkan kepada publik dengan harga RP 200 miliar untuk pembebasan lahan di kawasan Kelapa Gading dengan menyertakan jaminan berupa tanah seluas 63.596 meter di daerah Serpong Tangerang yang nilainya sebesar Rp 203,77 miliar.222 Dengan demikian, di samping Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai surat berharga yang berpotensi untuk dijadikan wakaf, Surat Berharga Syariah Swasta (SBSS, atau Sukuk Swasta) juga berpotensi untuk dijadikan objek wakaf. Tidak hanya institusi negara yang menerbitkan dan mengelola surat utang jangka pendek, tetapi 221
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, pasal 22. Kompas, Kamis, 8 Mei 2008, hlm. 19.
222
107
institusi swasta pun berminat menerbitkan dan mengelola surat utang jangka pendek.
7. Kebijakan wakaf HAKI
WAKAF HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A.
PENGERTIAN DAN RUANG UNGKUP HAKI Hak atas kekayaan intelektual atau hak milik intelektual (intellectual property right) adalah hak kebendaan yang diakui oleh hukum atas benda yang tidak berwujud berupa kreasi intelektual.223 Munir Fuady (2005) menyebutkan bahwa hak milik intelektual mencakup hak cipta, hak paten, hak merek dagang, dan hak desain industri224 Sementara Richard Burton Simatupang (2003) menjelaskan bahwa hak milik intelektual dapat dibedakan menjadi dua: (1) Hak milik industri (industrial property), terdiri atas: (a) paten (patent), (b) merek (merk), dan (c) desain produk industri (industrial design).(2) Hak cipta (copyright), terdiri atas: (a) karya keilmuan (scientific works), dan (b) karya sastra dan seni (literary and artistic works).225 Pembidangan yang dilakukan oleh Fuady dan Simatupang tersebut pada dasarnya sama saja dengan isi Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 20o6 yang menjelaskan tujuh macam hak atas kekayaan intelektual: (1) hakcipta, (2) hak merek, (3) hak paten, (4) hak desain industri, (5) hak rahasia dagang, (6) hak sirkuit terpadu, dan (7) hak perlindungan varietas tanaman.226Oleh karena itu, susunan objek wakaf benda bergerak tidak berwujud yang berupa hak atas kekayaan intelektual dapat dijelaskan secara berurutan.Namun, pembahasan mengenai wakaf hak sirkuit terpadu ditiadakan karena keterbatasan bahan/literatur untuk dijadikan rujukan.
B.
223
WAKAF HAK CIPTA
Ibid. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2005), hlm. 203. 225 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003), hlm. 67-68. 226 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 21. 224
108
Dalam undang-undang dijelaskan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.227Sedangkan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.228 Dalam hukum perdata, benda dibedakan dari beberapa segi berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu: (1) benda bergerak, dan (2) benda tidak bergerak. Pada awalnya, pembagian benda tersebut ditujukan pada benda yang berwujud secara fisik.Akan tetapi, perkembangan mengenai objek kepemilikan sedemikian pesat sehingga hak cipta juga harus ditempatkan dalam pembagian benda-benda tersebut. Dalam undang-undang ditetapkan bahwa: Pertama, hak cipta termasuk (dianggap) sebagai benda bergerak.229Kedua, hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya atau sebagiannya dengan cara: (1) pewarisan, (2) hibah, (3) wasiat, (4) perjanjian tertulis, dan (5) sebabsebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.230 Dilihat dari sebab-sebab pengalihan hak cipta, wakaf hak cipta terjadi karena pengalihan wakaf yang dalam pasal tersebut termasuk sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Ciptaan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan adalah (1) buku, program komputer, pamplet, perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; (2) ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (3) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; (4) lagu atau musik dengan atau tanpa teks; (5) drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; (6) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; (7) arsitektur; (8) peta; (9) seni batik; (lo) fotografi; (11) sinematografi; (12) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data-base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.231 Wakaf 227
hak
cipta
dengan
sendirinya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 1, point 3. 229 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 3, ayat(1). 230 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 3, ayat (2). 231 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 12, ayat (1). 228
termasuk
wakaf
109
mu'aqqat(jangka waktunya terbatas) karena jangka waktu hak cipta dibatasi oleh undangundang.Pertama, jangka waktu hak cipta yang berupa: (1) buku, pamplet, dan semua hasil karya tulis lain; (2) drama atau drama musikal, tari, koreografi; (3) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; (4) seni batik; (5) lagu atau musik dengan atau tanpa teks; (6) arsitektur; (7) ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (8) alat peraga; (9) peta; (10) terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai; adalah selama pencipta masih hidup, dan terns berlangsung,hingga 50 (lima puluh) tahun setelah penciptanya meninggal.232 Kedua, jangka waktu hak cipta berupa: (1) program komputer, (2) sinemat0grafi, (3) fotografi, (4) database, dan (5) karya hasil pengalihwujudan; berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan/diumumkan.233 Hak cipta merupakan salah satu masalah fikih kontemporer yang sudah direspons ulama.Sepanjang literatur yang dapat ditelusuri, fatwa mengenai hak cipta telah ditetapkan oleh Bahtsul Masa'il NU dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Muktamar NU ke-28 yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta 25-28 November 1998 (26-29 Rabi'ul Akhir 1410 H.) menetapkan 23 keputusan yang salah satunya adalah kedudukan hak cipta dalam konteks pembagian harta pusaka: apakah hak cipta dapat berkedudukan sebagai tirkat (harta peninggalan) atau tidak, dan apakah ia harus dikeluarkan zakatnya? Bahtsul Masa'il NU menetapkan bahwa hak cipta dalam hukum waris dapat dijadikan harta peninggalan. Adapun kaitannya dengan zakat, Bahtsul Masa'il NU menetapkan bahwa hak cipta sama dengan harta biasa.234 Bahtsul Masa'il NU menjadikan empat kitab fildh sebagai argumen: al-Qalyubi wa al`Umayrat, I`dnat al-Thdlibin, Futuhat alWahdb, dan Hdsiyatl`dnat. Yang menarik adalah pengakuan Muhammad Syatha al-Dimyathi yang mengatakan bahwa harta peninggalan adalah apa yang ditinggalkan oleh mayat, baik berupa harta maupun berupa hak.235
232
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 29, ayat (1). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, pasal 30, ayat (1). 234 K.H. Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama (Surabaya: PP. Rabithah Ma’hadil Islamiyah dan DInamika Press.1977), hlm. 356. 235 Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anat al-Thalibin (Semarang: Thaha Putra. T.Th.), juz III, hlm. 223. 233
110
Keputusan Bahtsul Masa'il NU tentang hak cipta yang pertama berkenaan dengan kedudukan hak cipta sebagai harta peninggalan dan kewajiban mengeluarkan zakat hak cipta. Akan tetapi, Bahtsul Masa'il NU tidak menetapkan kadar atau nishabdari zakat hak cipta dan persentase harta yang harus dikeluarkan sebagai zakat. Pada-tanggal 17-21 November 1997, NU menyelenggarakan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat Salah satu keputusannya adalah fatwa tentang hak cipta. Bahtsul Masa'il NU menetapkan bahwa: (1) hak cipta dilindungi oleh hukum Islam sebagai hak milik dan dapat menjadi harta peninggalan bagi ahli warisnya; (2) hukum mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain adalah boleh selama ada izin dari pemilik hak, pengarang, penulis, ahli waris, atau yang menguasai hak cipta tersebut; (3) apabila pemilik hak, pengarang, penulis, ahli waris, atau yang menguasai hak cipta tersebut sudah tidak ada, karya tulis tersebut menjadi milik umat Islam.236Dengan memperhatikan keputusan Bahtsul Masa'il NU tersebut diketahui bahwa kedudukan hak cipta adalah sebagai hak milik yang hukumnya sepadan dengan benda milik. Pada tanggal 18 Januari 2003 (14 Zulga'dah 1423 H.), Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta. Dalam konsiderans fatwa MUI tentang hak cipta yang menjadi pertimbangan sosial adalah (1) pelanggaran hak cipta (pada tahun 2003) telah sampai pada tingkat yang sangat meresahkan dan merugikan banyak pihak, terutamapemegang hak cipta, negara, dan masyarakat; (2) ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) mengajukan permohonan fatwa kepada MUI; (3) Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hak cipta menurut hukum Islam agar dijadikan pedoman oleh umat Islam dan pihak-pihak yang memerlukannya.237 Setelah mempertimbangkan dalil yang berupa ayat-ayat Al-Quran, hadis, kaidah fikih, pendapat ulama, pakar atau ahli, penjelasan dari pihak-pihak yang berkepentingan, dan peraturan perundang-undangan, akhimya Komisi Fatwa menetapkan bahwa: 1.
236
Hak cipta dipandang sebagai salah satu hak kekayaan (huquq maliyat) yang mendapat perlindungan hukum (mashun) sebagai
PBNU, Hasil-Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat PBNU dan Lajnah Ta’lifah Nasyr: 1998), hlm. 29-30. 237 Keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta, t.d.
111
kekayaan (mal). 2.
Hak cipta yang dilindungi oleh hukum Islam adalah hak cipta atas ciptaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3.
Hak cipta dapat dijadikan objek akad (ma'qud 'alayh), baik akad pertukaran atau komersial (mu'dwadhat), maupun akad nonkomersial (tabarru'at), serta dapat diwakafkan dan diwariskan.
4.
Setiap bentuk pelanggaran terhadap hak cipta, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya adalah haram.238
Dengan demikian, MUI merupakan ormas Islam pertama yang menghubungkan hak cipta dengan wakaf.Sementara NU telah menghubungkan hak cipta dengan waris.Menjadikan hak cipta sebagai objek wakaf telah mendapat dukungan secara filosofis (karena didukung oleh ulama), secara yuridis (diakui dan diatur dalam peraturan perundangundangan) dan secara sosiologis.Sekadar pengalaman empiris, Hanafi (alm.)-salah seorang dosen fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati– telah mewakafkan salah satu bukunya kepada HMI Korkom IAIN SGD (sekarang HMI Cabang Kabupaten Bandung). Nasuka (purnawirawan) telah mewakafkan bukunya tentang teori sistem yang diterbitkan oleh Prenada Media (Jakarta) ke Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Wakaf hak cipta–seperti wakaf lainnya–dilakukan dengan alat bukti autentik, yaitu Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan sertifikatnya (sertifikat hak cipta) yang dibuat oleh pihak yang berwenang.Wakaf hak cipta wajib didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual untuk dimuat dalam Daftar Umum Hak Cipta. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan belum mengatur mengenai pihak/lembaga/instansi yang berwenang menerbitkan sertifikat hak cipta.Wakaf hak cipta dapat dilakukan secara mutlak (tanpa ditentukan pihak yang berhak mendapat manfaat dari wakaf tersebut) dan juga secara muqayyad (pihak wakif menentukan pihak yang berhak mendapat manfaat dari wakaf tersebut). Aspek ekonomi dari wakaf hak cipta adalah pencipta berhak menerima imbalan berupa honor/royalti karena penerbitan atau penggandaan ciptaannya dalam jumlah tertentu untuk kepentingan 238
Ibid.
112
bisnis. Wakaf hakcipta berarti menyedekahkan manfaat hak cipta kepada pihak lain. Sementara objek hak cipta yang diwakafkan ditahan (habs) untuk diperbanyak dan disebarkan kepada khalayak umum oleh pihakpihak yang diberi wewenang guna dipasarkan/dijual.
C.
WAKAF HAK MEREK Menurut peraturan perundang-undangan, merek (merk) termasuk harta bergerak yang tidak berwujud. Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memilild daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa.239 Secara umum, merek dibedakan menjadi dua: Pertama, merek dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.240 Kedua, merek jasa, yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersamasama, atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa jasa sejenis lainnya.241 Di samping dua merek tersebut, dalam undang-undang juga diakui bentuk merek yang ketiga, merek kolektif, yaitu merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.242 Hak merek (atau hak atas suatu merek) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftarumum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. 243 Penggunaan merek oleh pihak lain berkaitan dengan izin dalam undang-undang disebut lisensi. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek kepada pihak lain melalui suatu
239
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pasal 1, point 2. 241 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pasal 1, point 3. 242 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pasal 1, point 4. 243 Simatupang, Aspek Hukum, hlm. 87. 240
113
perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh maupun sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan. syarat tertentu.244 Wakaf hak merek dengan sendirinya termasuk wakaf mu'agqat (jangka waktu tertentu) sebab perlindungan hak merek dibatasi jangka waktunya oleh undang-undang.Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10(sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang. 245 Perpanjangan perlindungan hukum atas hak merek ditetapkan untuk jangka waktu yang sama, yaitu 10tahun.246 Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena: (1) pewarisan, (2) wasiat, (3) hibah, (4) perjanjian, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.247 Seperti hak cipta yang sudah dijelaskan sebelumnya, hak merek dapat dialihkan dengan cara diwakafkan karena wakaf merupakan sebab pengalihan hak merek yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak merek yang dibenarkan oleh undang-undang, wajib didaftarkan kepada Direktomt Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual untuk dicatat dalam daftar umum merek.248Permohonan pengalihan hak merek kepada Direktorat Jenderal HakAtas Kekayaan Intelektual harus menyertakan Akta Wakaf yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Sejalan dengan hak cipta, pemegang hak merek juga berhak mendapat imbalan material dengan persentase dan atau jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.Aspek ekonomi (atau bisnis) dari hak merek adalah imbalan dimaksud. Dengan demikian, merek adalah benda wakaf yang termasuk benda bergerak yang tidak berwujud, dan imbalannya disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
D.
244
WAKAF HAK PATEN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pasal 1, point 13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pasal 28. 246 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pasal 35, ayat (1). 247 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pasal 40, ayat (1). 248 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, pasal 40, ayat (2). 245
114
Hak paten telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.Undang-undang ini mencabut dua undmg-undmg sebelumnya, yaitu UndangUndang Nomor 6 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 Dalam hak paten terdapat empat konsep yang harus dijelaskan, yaitu (1) paten, (2) invensi, (3) inventor, dan (4) lisensi. Patenadalahhakeksklusifyangdiberikanolehnegarakepadainventora tashasil invensinyadibidangteknologi,baikinvensinya dilaksanakansendiriolehpenemunya maupm pibak lain bendasarkan persetujuan dari pemiliknya.249 Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi yang berupa produk atau purses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.250 Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (invention, penemuan).251 Lisensi adalah izin yang dibenkan oleh pemegang hak paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diben perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.252 Wakaf hak paten dengan sendirinya termasuk wakaf mu'agqat (jangka waktu tertentu) sebab perlindungan hak paten dibatasi jangka waktunya oleh undang undang yaitu 20 (duapuluh) tahun terhitung sejaktanggal penermaan dantidak dapat diperpanjang; 253 sedangkan perlindungan hak paten yang bersifat sederhana, yaitu 10(sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan tidak 254 dapatdiperpanjang. Inventor berhak mendapat imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi yang dihasilkannya. 255 Besar imbalan tersebut ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, serta dapat dibayarkan: (1) dalam jumlah tertentu
249
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, tentang Paten, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 1, point 2. 251 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 1, point 3. 252 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 1, point 13. 253 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 18, ayat (1). 254 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 9. 255 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 12, ayat (3). 250
115
dan sekaligus, (2) persentase, (3) gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus, (4) gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus, atau (5) bentuk lain yang disepakati para pihak.256 Paten dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya karena: (1) pewarisan, (2) wasiat, (3) hibah, (4) perjanjian, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.257 Seperti hak cipta yang sudah dijelaskan sebelumnya, hak paten dapat dialihkan dengan cara diwakafkan karena wakaf merupakan sebab pengalihan hak merek yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak paten yang dibenarkan oleh undang-undang, wajib dimohonkan pencatatannya untuk dicatat dan diumumkan,258 dengan menyertakan dokumen asli paten berikut hak lainnya yang berkaitan de ngan paten tersebut.259Permohonan pengalihan hak paten ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual harus menyertakan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Inventor berhak mendapat imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi yang dihasilkannya. Inventor dapat mewakafkan hak patennya kepada pihak lain. Aspek ekonomi (atau bisnis) dari hak paten adalah imbalan dimaksud.260Dengan demikian, paten adalah benda wakaf yang termasuk benda bergerak yang tidak berwujud, dan imbalannya disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
E.
WAKAF HAK DESAIN INDUSTRI Dalam memahami wakaf hak desain industri kiranya empat konsep yang berkaitan dengan desain industri perlu dipaparkan terlebih dahulu, yaitu (1) desain industri, (2) pendesain, (3) hak desain industri, dan (4) lisensi. Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi,
256
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 12, ayat (4). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 66, ayat (1). 258 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 66, ayat (3). 259 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, pasal 66, ayat (2). 260 Simatupang menjelaskan bahwa penemuan di bidang teknologi yang dipatenkan melibatkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya sehingga memiliki nilai atau manfaat ekonomi.Wajarlah jika penemuan tersebut mendapat perlindungan hukum. Lihat Simatupang. Aspek Hukum, hlm. 76. 257
116
atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.261Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri.262 Hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pendesain atas hasil kreasinya selama waktu tertentu, dilaksanakan sendiri oleh penemunya maupun memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.263 Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak desain industri kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu desain industri yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.264 Pemegang hak desain industri memilik hak eksklusif untuk melaksanakan hak desain industri yang dimihldnya, dan melarang orang lain membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan atau mengedarkan barang yang diben hak desain mdustn tanpa izin dari pemegang haknya.265 Wakaf hak desain industri termasuk wakaf mu'aqqat (jangka waktu tertentu) sebab perlindungan hak paten dibatasi jangka waktunya oleh undang-undang, yaitu l0 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan. 266 Dalam undang-undang tidak ditentukan perpanjangan waktu perlindungan hak desain industri. Hak desain industri dapat beralih atau dialihkan dengan: (1) pewarisan, (2) wasiat, (3) hibah, (4) perjanjian, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.267 Seperti hak cipta yang sudah dijelaskan sebelumnya, hak desain industri dapat dialihkan dengan cara diwakafkan karena wakaf merupakan pengalihan hak desain industri yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
261
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, tentang Desain Industri, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 2. 263 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 5. 264 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 11. 265 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, ayat (1). 266 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 5, ayat (1). 267 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 31, ayat (1). 262
117
undangan. Pengalihan hak desain industri wajib dimohonkan pencatatannya untuk dicatat dan diumumkan dalam Daftar Umum Desain Industh pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, 268 dengan menyertakan dokumen pengalihan hak.269Dengan demilaian, wakaf hak desain industri didaftarkan dalam Daftar Umum Desain Industh pada Direktorat Jenderal HAKI dengan menyertakanAkta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat PembuatAkta Ikrar Wakaf. Pemegang hak desain industri berhak mendapat imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari desain yang dihasilkannya. Pemegang hak desain industri dapat mewakafkan hak desainindustrinya kepada pihak lain. Aspek ekonomi (atau bisnis) dari hak desain industri adalah imbalan dimaksud.270Dengan demikian, desain industri adalah benda wakaf yang termasuk benda bergerak yang tidak tidak berwujud, dan imbalannya disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
F.
WAKAF HAK RAHASIA DAGANG Dalam memahami wakaf hak rahasia dagang, kiranya tiga konsep yang berkaitan dengan rahasia dagang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu (1) rahasia dagang, (2) hak rahasia dagang, dan (3) lisensi. Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, memunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.271 Ruang lingkup rahasia dagang yang dilindungi adalah (1) metode produksi, (2) metode pengolahan, (3) metode penjualan, dan (4) metode lain di bidang teknologi dan atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.272
268
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 31, ayat (3). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 31, ayat (2). 270 Simatupang menjelaskan bahwa penemuan di bidang teknologi yang dipatenkan melibatkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya sehingga memiliki nilai atau manfaat ekonomi.Wajarlah jika penemuan tersebut mendapat perlindungan hukum. Lihat Simatupang. Aspek Hukum, hlm. 76. 271 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, pasal 1, point 1. 272 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 2. 269
118
Suatu informasi dianggap memilila nilai ekonomi jika sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial dan dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.273 Hak rahasia dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbal berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Raliasia Dagang.274 Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian yang berupa memberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diben perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.275 Pemegang hak rahasia dagang berwenang untuk: (1) menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilildnya, dan (2) memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang atau mengungkapkan rahasia dagangkepadapihakketigauntukkepentinganyangbersifatkomersial.276 Hak rahasia dagang dapat beralih atau dialihkan dengan: (1) pewarisan, (2) wasiat, (3) hibah, (4) perjanjian tertulis, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.277 Seperti hak yang bersifat ekonomi lainnya, hak rahasia dagang dapat dialihkan dengan cara diwakafkan karena wakaf merupakan sebab pengalihan hak rahasia dagang yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Wakaf hak rahasia dagang termasuk pengalihan yang harus: (1) menyertakan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, (2) dicatat pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, dan (3) diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.278 Pemegang hak rahasia dagang berhak mendapat imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari formula dagang yang dirahasiakannya jika rahasia tersebut diizinkan
273
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 3, ayat (3). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 1, point 2. 275 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal1, point 5. 276 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 4. 277 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 5, ayat (1). 278 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, pasal 5, ayat (2)-(5). 274
119
untuk dijalankan oleh pihak lain. Pemegang hak rahasia dagang dapat mewakaflzan haknya kepada pihak lain. Aspek ekonomi (bisnis) dari hak rahasia dagang adalah imbalan dimaksud.279Dengan demikian, rahasia dagang adalah benda wakaf yang termasukbenda bergerak yang tidak berwujud, dan imbalannya disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
G.
WAKAF HAK DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Hak sirkiut terpadu merupakan salah satu bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dihndungi oleh undang-undang.Di Indonesia telah dibentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai pengertian dan beberapa hal yang berkaitan dengan hak desain tata letak sirkuit terpadu, yaitu (1) sirkuit terpadu, (2) desain tata letak, (3) hak desain tata letak sirkuit, dan (4) lisensi. Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurangkurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor untuk menghasilkan fungsi elektronik.280 Desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi_tersebut untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.281 Hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.282 lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak kepada pihak
279
Simatupang menjelaskan bahwa penemuan di bidang teknologi yang dipatenkan melibatkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya sehingga memiliki nilai atau manfaat ekonomi.Wajarlah jika penemuan tersebut mendapat perlindungan hukum. Lihat Simatupang. Aspek Hukum, hlm. 76. 280 Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpady, pasal 1, point 1. 281 Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 2. 282 Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 6.
120
lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu desain tata letak sirkuit terpadu yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.283 Hak desain tata letak sirkuit terpadu diberikan untuk desain tata letak sirkuit terpadu yang orisinal, yakni desain merupakan hasil karya mandiri pendesain dan tidak merupakan sesuatu yang umum bagi para pendesain.284 Perlindungan terhadap hak desain tata letak sirkuit terpadu diberikan kepada pendesain dan atau pemegang hak sejak pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial dan dicatat dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.Jangka waktu perlindungannya adalah 10tahun. 285 Wakaf desain tata letak sirkuit terpadu termasuk wakaf mu'aqqat (jangka waktu tertentu). Hak desain tata letak sirkuit terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan cara: (1) pewarisan, (2) hibah, (3) wasiat, (4) perjanjian tertuhs, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.286Pengalihan hak desain tata letak sirkuit terpadu disertai dengan dokumen pengalihan hak desain tata letak.287 Sirkuit terpadu termasuk pengalihan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.Tentu saja, wakaf hak desain tata letak sirkuit terpadu harus disertai dokumen pengalihan berupa Akta Ikrar Wakaf dan atau sertifikat wakaf yang dibuat oleh pihak yang berwenang. Fungsi ekonomi-bisnis dari hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah pemegang hak memilila hak eksklusif untuk melaksanakan hak desain tata letak sirkuit terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/ atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang telah diberi hak desain tata letak sirkuit terpadu.288 Dengan memperhatikan aspek ekonomi tersebut, pemilik atau pemegang hak desain tata letak sirkuit terpadu mewakafkan hak yang 283
Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 1, point 13. Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 2. 285 Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 4. 286 Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 32, ayat (1). 287 Undang Nomor 31 Tahun 2000, pasal 32, ayat (2). 288 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000, pasal 8, ayat (1). 284
121
dimilildnya kepada pihak lain guna membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/ atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang telah diberi hak desain tata letak sirkuit terpadu. Dengan demikian, hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah objek wakafnya.Sedangkan manfaat wakafnya berupa keuntungan dan atau jasa yang diperoleh dari pembuatan, pemakaian, penjualan, dan pengedaran barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang telah diberi hak desain tata letak sirkuit terpadu.
H.
WAKAF HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN Dalam mempelajari wakaf hak perlindungan varietas tanaman, kiranya konsep-konsep yang berkaitan dengan hak perlindungan varietas tanaman perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu (1) perlindungan varietas tanaman, (2) hak perlindungan varietas tanaman, (3) lingkup varietas tanaman, (4) lisensi, dan (5) royalti. Perlindungan varietas tanaman adalah perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.289 Hak perlindungan varietas tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan atau pemegang hak/pihak lain yang mendapat izin dari pemulia.290 Pemegang hak perlindungan varietas tanaman memiliki hak untuk menggunakan sendiri haknya, dan membedakan persetujuan kepada pihak lain untuk menggunakannya.291 Hak atas perlindungan varietas tanaman mencakup kegiatan: (1) memproduksi atau memperbanyak benih, (2) menyiapkan untuk tujuan propaganda, (3) mengiklankan, (4) menawarkan, (5) menjual atau memperdagangkan, (6) mengekspor, (7) mengempor, dan (8) mencadangkan.292 Varietas tanaman adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau
289
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, pasal 1, point 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, point 2. 291 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 6, ayat (1). 292 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 6, ayat (3). 290
122
kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan tidak mengalami perubahan jika diperbanyak.293 Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak perlindungan varietas tanaman kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan seluruh atau sebagian hak perlindungan varietas tanaman. 294 Dalam Undang Undang tentang Perlindungan Varietas Tanaman dikenal juga lisensi wajib, yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak perlindungan varietas tanaman kepada pemohon berdasarkan putusan Pengadilan Negeri.295 Royalti adalah kompensasi bernilai ekonomis yang diberikan kepada pemegang hak perlindungan varietas tanaman karena pemberian lisensi.296Wakaf hak perlindungan varietas tanaman termasuk wakaf mu aggat (jangka waktu tertentu) sebab perlindungan hak perlindungan varietas tanaman dibatasi jangka waktunya oleh undangundang.Perlindungan varietas tanaman semusim adalah 20 (dua puluh) tahun, sedangkan perlindungan varietas tanaman tahunan adalah 25 tahun.297Dalam undang-undang tidak ditentukan perpanjangan waktu perlindungan varietas tanaman. Pemegang hak perlindungan varietas tanaman berhak untuk mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari varietas tanaman yang dilindungi. 298 Imbalan tersebut dapat dibayarkan: (1) dalam jumlah tertentu dan sekaligus; (2) berdasarkan persentase; (3) dalam bentuk gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligusdengan hadiah atau bonus; atau (4) dalam bentuk gabungan antara persentase dengan hadiah atau bonus, yang besarnya ditetapkan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.299 Hak perlindungan varietas tanaman dapat beralih atau dialihkan dengan: (1) pewarisan, (2) wasiat, (3) hibah, (4) perjanjian tertulis, atau (5) sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. 300 Seperti hak yang bersifat ekonomi lainnya, hak perlindungan varietas tanaman dapat dialihkan dengan cara diwakafkan 293
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, point 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, point 13. 295 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, point 14. 296 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, point 15. 297 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 4. 298 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 1, ayat 1. 299 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 8, ayat (2). 300 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 40, ayat (1). 294
123
karena wakaf merupakan sebab pengalihan hak perlindungan varietas tanaman yang dibenafkan oleh peraturan perundang-undangan. Wakaf hak perlindungan varietas tanaman termasuk pengalihan. Pengalihan hak perlindungan varietas tanaman harus: (1) menyertakan dokumen tentang pengalihan hak (Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PejabatPembuat Akta Ikrar Wakaf), dan (2)dicatat pada Kantor Perlindungan Varietas Tanaman.301 Pemegang hak perlindungan varietas tanaman berhak mendapat imbalan (royalti) yang layak jika hak tersebut diizinkan untuk dijalankan oleh pihak lain guna: (1) memproduksi atau memperbanyak benih, (2)menyiapkan untuk tujuan propaganda, (3) mengiklankan, (4) menawarkan, (5) menjual atau memperdagangkan, (6) mengekspor, (7) mengimpor, dan (8) menyimpan sebagai cadangan. Pemegang hak perlindungan varietas tanaman dapat mewakafkan haknya kepada pihak lain. Aspek ekonomi (bisnis) dari hak perlindungan varietas tanaman adalah imbalan/royalti dimaksud.302Dengan demikian, hak perlindungan varietas tanaman adalah benda wakaf yang termasuk benda bergerak yang tidak berwujud.Imbalannya disedekahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
I.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG HAKI Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 disebut Hak Kekayaan Intelektual (HKI).Fatwa tersebut ditetapkan atas permohonan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), dengan alasan bahwa pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual telah meresahkan, merugikan, dan membahayakan banyak pihak, terutama pemegang hak, negara, dan masyarakat.303 Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia ditetapkan bahwa yang termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah (1) hak perlindungan varietas tanaman, (2) hak rahasia dagang, (3) hak desain industri, (4) hak desain tata letak terpadu, (5) hak paten, (6) hak merek, dan (7) hak
301
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 40, ayat (2) dan (3). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, pasal 8, ayat (1) dan (2). 303 Lihat konsiderans sosiologis fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 disebut Hak Kekayaan Intelektual (HKI). 302
124
cipta.304 Pengertian tujuh macam hak yang tercakup dalam Hak Kekayaan Intelektual sama dengan penjelasan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penjelasan mengenai pengertian dan.hak-hak lain yang menyertainya tidak akan dijelaskan, tetapi yang akan dijelaskan adalah pertimbangan hukum secara yundis yang terdiri atas ayat-ayat Al-Quran, hadis, kaidah filch, dan pendapat ulama, serta ketentuan hukum yang ditetapkannya. Dalam fatwa tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Majelis Ulama Indonesia menjadikan empat ayat Al-Quran sebagai dalil: (1) QS. An-Nisaa' (4): 9, (2) QS. Al-Bagarah (2):188 tentang cegahan memakan harta dengan cara yang bathil, (3) QS. Al-Syu'ara (26): 183 tentang perintah agar tidak merugikan pihak lain dan berbuat kerusakan/fasad, dan (4) QS. Al-Bagarah (2): 79 tentang cegahan berlaku tidak adil/zalim. Dari empat ayat Al-Quran tersebut tergambar bahwa pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual termasuk perbuatan bathil, merugikan, fasad, dan zalim. Hadis yang dijadikan dasar pertimbangan fatwa dibedakan menjadi dua: Pertama, hadis tentang harta kekayaan: (1) hadis dari Imam Bukhari yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Barang siapa meninggalkan harta, maka (harta itu) untuk ahli warisnya. Dan Barang siapa yang meninggalkan keluarga (dalam keadaan miskin), maka serahkanlah kepadaku!" (2)hadisriwayat al-Tirmizi yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya jiwa dan hartamu dilindungi; dan (3) hadis riwayat al-Tirmizi yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Diharamkan bagi umatIslam untuk memanfaatkan harta orang lain tanpa kerelaan dari pemiliknya." Kedua, hadis tentang cegahan berbuat zahm dan membahayakan: (1) hadis riwayat Muslim (termasuk hadis qudsi) yang substansinya Allahmelarang umat manusia berbuat zalim dan atau saling menzalimi, (2) hadis riwayat Bukhari yang substansinya Nabi saw. melarang umat Islam saling menzalimi dan atau saling menghina, dan (3) hadis riwayat Ibn Majah yang substansinya Nabi saw. melarang umat manusia membahayakan diri sendiri dan membahayakan pihak lain. Kaidah fikih yang dijadikan dasar pertimbangan berjumlah empat buah: (1) kaidah keharusan menghilangkan sesuatu yang membahayakan, (2) kaidah keharusan mendahulukan penghindaran 304
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia. 2005), cet. ke-3, hlm. 11-15.
125
mudarat atas perolehan maslahat, (3) kaidah yang menyatakan bahwa setiap yang timbul dari yang haram adalah haram, dan (4) kaidah cegahan memanfaatkan harta milik pihak lain tanpa izin. Pendapat ulama yang dijadikan dasar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hak kekayaan Intelektual (HKI) adalah: (1) Keputusan Majma` alFiqh al-Islami Nomor 43 (5/5) Mu'tamar V (1988 M) tentang alHuquq alMa'nawiyah. Dalam keputusan tersebut ditegaskan bahwa: (a) merek dagang dan ciptaan termasuk hasil kreasi yang dilindungi bagi pemiliknya, dan memunyai nilai ekonomis yang diakui sebagai kekayaan; (b) pemilik hak nama dagang, alamat dan mereknya, serta hak cipta, berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya yang disertai dengan imbalan (nilai ekonomis) dengan syarat terhindar dari ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kesamaran (garar); (c) hak cipta termasuk benda yang tidak berwujud yang dilindungi syara` yang tidak boleh dilanggar. (2) Fathi al-Duraini menegaskan bahwa mayontas Mama mazhab Malild, Syafi`i, dan Hanbali berpendapat bahwa hak cipta termasuk harta yang berharga/bernilai secara ekonomi (mutaqawwim). 305 (3) Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa mencetak ulang/mengopi buku tanpa izin termasuk pelanggaran dan kejahatan, termasuk maksiat yang menimbulkan dosa, dan termasuk pencunan yang mengharuskan ganti rugi bagi pemegang haknya.306 (4) Pengakuan ulama bahwa hak termasuk tirkah (benda wansan) yang dapat dibagikan.307 Setelah menjelaskan ayat Al-Quran, hadis, kaidah fikih, dan pendapat ulama, serta definisi satu persatu atas tujuh bidang yang termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Majelis Ulama Indonesia menetapkan: Pertama, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk hak kekayaan (huquq maliyah) yang dilindungi sama dengan kekayaan biasa (yang berwujud). Kedua, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang mendapat perlindunganadalah yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.Ketiga, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dijadikan objek akad, baik akad mu awadhah (komersial) maupun akad tabarru at (nonkomersial), serta dapat diwakafkan (pen.) dan diwariskan.Keempat, setiap bentuk pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.Keputusan tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2005 M. Hal yang paling penting dari fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang relevan dengan penelitian ini 305
Fathi al-Duraini, Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran (Beirut: Mu’assah al-Risalah. 1984), hlm. 20. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashr: 1998), vol. IV, hlm. 2862. 307 Al-sayyid al-Bakri, I’anat al-Thalibin (Semarang: Thaha Putra. 1998), vol. III. Hlm. 223) 306
126
terletak pada poin tiga, yaitu Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapatdijadikan objek akad muawadhah(komersial) dan akad tabarru'at(nonkomersial), serta dapat diwakafkan dan diwariskan. Fatwa ini menguatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menetapkan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat diwakafkan.308 Meskipun isi fatwa dengan isi peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HC) sama, keberadaan fatwa diharapkan menjadi dasar kesadaran (termasuk ketaatan) hukum masyarakat muslim agartidak membajak atau melanggar/kejahatan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tidak lepas dari tujuan perlindungannya, yaitu agar setiap pihak terpacu untuk menghasilkan kreativitas-kreativitas guna kepentingan masyarakat secara luas, seperti dijelaskan dalam ketentuan umum fatwa tersebut.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Faktor-faktor kemunduran peran
kelembagaan wakaf
Indonesia
meliputi: Faktor policy, faktor hukum, faktor budaya, faktor kelembagaan dan kroupsi.
308
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004, sedangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ditetapkan pada tanggal 28 Juli 2005. Mungkin pembahasannya berbarengan, akan tetapi, secara formal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diundangkan lebih dahulu dibandingkan penetapan fatwa.
127
2. Pertimbangan
untuk
mewujudkan
maqoshid
syariah
dalam
pengembangan kelembagaan wakaf Indonesia a. Pertimbangan ideologis b. Pertimbangan sistem hukum c. Pertimbangan akselerasi capaian pembangunan negara d. Pertimbangan ketertinggalan ekonomi umat e. Pertimbangan membangun jejaring ekonomi syariah f. Pertimbangan membangun daya saing produk umat islam g. Pertimbangan kepemimpinan umat islam h. Pertimbangan tuntutan globalisasi
3. Prinsip-prinsip maqoshid syariah untuk pengembangan kelembagaan wakaf di Indonesia berlandaskan pada point point sebagai berikut: a. Penguatan peran negara in line dengan prinsip maqoshid hifzhul dzin b. Akselesasi pembangunan kelembagaan pendidikan umat in line dengan prinsip maqoshid hifdzul aql c. Pemberdayaan sistem komplek ekonomi umat in line dengan prinsip maqoship hifdzul mal i. Pembinaan dan pencegahan kerusakan lingkungan , pathology sosial in line dengan hifdzul alam dan nasl 4. Model kebijakan dan kelembagaan wakaf sberbasis paradigm maqoshid syarian dan tuntutan dan kesadaran hukum Indonesia di wujudkan dalam pelembagaan wakaf sebagai berikut: a. Sistem wakaf tanah b. Sistem wakaf tunai c. Sistem wakaf HAKI d. Sistem Wakaf Uang Giral e. Sistem Wakaf perusahaan f. Sistem wakaf obligasi g. Dan lain lain yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. B. Rekomendasi 1.
Perlu dikembangkan sistem governance wakaf yang modern
128
sehingga mampu mendorong partisipasi semua element umat 2.
Pengembangan sistem hukum dan kelembagaan wakaf yang berkemajuan
3.
Partisipasi dan accountability sistem perwakafan yang lebih terbuka dan luas.
BIAYA DAN JADWAL PELAKSANAAN A. Rencana Biaya
1. Honor Honor/Jam
Honor per Tahun (Rp.)
Waktu
Honor
Minggu (Rp.)
(jam/minggu)
Th-1
Th-2
Ketua
15.500
20
48
14.880.000
14.880.000
Anggota 1
11.500
15
48
8.280.000
8.280.000
Sub Total (Rp.)
23.160.000
23.160.000
2. Peralatan Penunjang
Material
Tape recorder
Justifikasi Pemakaian
Kuantitas
Harga Satuan (Rp.)
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
Merekam wawancara
3
450.000
1.350.000
-
Kaset tape recorder
Merekam wawancara
15
10.000
150.000
150.000
Compact disk
menyimpan data penelitian
20
7.500
150.000
150.000
Tempat penampung tinta
4
100.000
400.000
400.000
Catridge Printer Hitam
129
Catridge Printer Warna
Tempat penampung tinta
4
94.000
370.000
370.000
10
30.000
300.000
300.000
10
30.000
300.000
300.000
Tinta Cair (Refil) warna hitam
Mencetak dokumen
Tinta Cair (Refil) warna
Mencetak dokumen
Flashdisk
Menyimpan data
4
110.000
440.000
440.000
Mencetak dokumen
1
1.200.000
1.200.000
-
Printer Stopmap plastik
Menyimpan data fisik
20
12.000
240.000
240.000
Amplop HVS
Proses perizinan
20
2.000
40.000
40.000
20
6.500
130.000
130.000
Dokumentasi (cetak foto)
Cetak foto
ATK
Tulis menulis
2
500.000
1.000.000
1.000.000
Modem HSDPA
Koneksi internet
2
350.000
700.000
-
Pengganda
Penggadaan proposal untuk narasumber
30
25.000
750.000
750.000
Penggadaan proposal untuk responden
20
15.000
300.000
300.000
Penggadaan proposal untuk narasumber
25
6.000
320.000
200.000
20
75.000
1.500.000
1.500.000
an proposal
Penggandaan kuisioner
Penjilidan proposal
Penggandaan Lap. Penelitian
Penggandaan laporan
Sub Total (Rp.)
10.340.000
6.270.000
3. Bahan Habis Pakai Material
Justifikasi
Kuantitas
Harga
Harga Peralatan per
130
Pemakaian
Satuan (Rp.)
Tahun (Rp.) Th-1
Fotokopi dokumen
Penggandaan data
Buku Catatan
Th-2
10.000
160
1.600.000
1.600.000
Mencatat hasil-hasil sementarapene litian dan diskusi
10
37.000
370.000
370.000
Kertas HVS F4 80 gr
Cetak dokumen
10
34.000
340.000
340.000
Kertas HVS A4 80 gr
Cetak dokumen
20
40.000
800.000
800.000
Kertas Folio Garis
Menyimpan data sementara
5
20.000
100.000
100.000
20
100.000
2.000.000
2.000.000
25
200.000
5.000.000
5.000.000
10.210.000
10.210.000
Buku-buku referensi
Studi pustaka
Jurnal nasional dan internasional
Studi pustaka
Sub Total (Rp) 4. Perjalanan Justifikasi Rincian
Kuantitas Perjalanan
Perjalanan ke Jakarta
Perjalanan di Yogyakarta
Lumpsum
Harga Satuan (Rp.)
Transportasiakomodasi, dan konsumsi 2 peneliti utk 2 kali perjalanan
4
3.500.000
Transportasi dan konsumsi 2 peneliti
40
120.000
Konsumsi diskusi
45
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
14.000.000
14.000.000
4.800.000
4.800.000
15.000 675.000
675.000
131
internal tim Sub Total (Rp.)
19.475.000
19.475.000
5. Lain-lain
Kegiatan
Seminar hasil
Justifikasi
Honor, konsumsi, penggandaan laporan
Kuantitas
Harga Satuan (Rp.)
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
1
4.560.000
4.560.000
4.560.000
Publikasi seminar
30
40.000
-
1.200.000
Backdrop seminar
2
300.000
-
600.000
Sewa tempat seminar
Pelaksanaan seminar hasil
2
837.500
-
1.675.000
Pembelian kenangkenangan untuk narasumber
Kenangkenangan 5
250.000
1.250.000
1.250.000
Pembelian kenangkenangan untuk responden
Kenangkenangan 20
100.000
2.000.000
2.000.000
Publikasi jurnal
Publikasi 1
1.000.000
1.000.000
1.000.000
Telekomuni kasi
Voucer selama 12 bulan
36
100.000
3.600.000
3.600.000
Poster Backdrop
Sub Total (Rp.)
12.410.000 15.885.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN SETIAP TAHUN
74.895.000
75.000.000
C. Ja TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN SELURUH TAHUN
dw 149.895.000
al
132
Penelitian Bar Chart
250
pembuatan proposal
200
persetujuan proposal Dikti presentasi
150
persiapan administrasi dan tanda tangan kontrak pelaksanaan penelitian
100
laporan perkembangan penelitian laporan akhir
50 0
TAHUN TAHUN 1 2
seminar hasil penelitian
Keterangan : 0 s.d. 40
: menunjukkan lamanya hari (proses pelaksanaan penelitian)
Jadwal Pelaksanaan Tahun 1 Kegiatan
Tanggal Pelaksanaan
Durasi Waktu
133
1. Pembuatan Proposal
1 Maret – 25 April 2013
8 minggu
2. Pengiriman dan persetujuan
Akhir April 2013
1 bulan
3. Presentasi
Juni 2013
1 hari
4. Persiapan Administrasi dan
Tengah Maret 2014
1 hari
Tengah April - Agustus
5 bulan
Proposal oleh Dikti Kemendiknas (desk evaluation)
Penandatangan kontrak 5. Pelaksanaan Penelitian
2014 a. Pengumpulan data
15 April -15 Mei 2014
1 bulan
b. Penulisan Bab I, II
15 Mei – Juni 2014
1bulan
c. Penulisan Bab III, IV dan
15 Juni – 15 Juli 2014
1 bulan
2 Juli – 31 Juli 2014
1 bulan
7. Laporan akhir
Akhir Agustus 2014
1 bulan
8. Seminar Hasil Penelitian
17 September – 5
3 minggu
V 6. Laporan Perkembangan Penelitian (mid term report)
Oktober 2014
Tahun 2 Kegiatan
Tanggal Pelaksanaan
Durasi Waktu
1. Pembuatan Proposal
1 Maret – 20 April 2014
8 minggu
2. Pengiriman dan Persetujuan
Akhir April 2015
1 bulan
Proposal oleh Dikti (desk
134
evaluation) Kemendiknas 3. Presentasi
Juni 2015
1 hari
4. Persiapan Administrasi dan
Maret 2015
1 hari
Tengah April - Agustus
5 bulan
Penandatangan kontrak 5. Pelaksanaan Penelitian
2015 d. Pengumpulan data
15 April -15 Mei 2015
1 bulan
e. Penulisan Bab I, II
15 Mei – Juni 2015
1bulan
f. Penulisan Bab III, IV dan
15 Juni – 15 Juli 2015
1 bulan
2 Juli – 31 Juli 2015
1 bulan
7. Laporan akhir
Akhir Agustus 2015
1 bulan
8. Seminar Hasil Penelitian
17 September – 5
3 minggu
V 6. Laporan Perkembangan Penelitian (mid term report)
Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alaby, Adijani Drs., H., S.H., Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989). Al-Qardawi, Yusuf Dr., Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993). Basyir, ahmad Azhar, Hukum Islam: Wakaf – Ijarah – Syirkah, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1987). Al-Juwaini, Abd Al-Malik Ibn Abdullah, Al-Burhan fi Ushul Fiqh, Kairo, 1400 H, Dar AlAnshar Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa, Mesir, Maktabah Al-Jundi Al-mahshul fi ‘Ilm Al-Ushul, Riyadh, 1401 H, Jami’ah Al-Imam Muhammad Bin Sa’ud AlIslamiyah, Al-Muwafaqat
135
Ibn Abd Al-Salam, ‘Izzuddin, Qawaid Al-ahkam fi Mashlih Al-Anam, Bairut, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah Ibn Al-Qayyim Syamsuddin Abu Abdullah, I'lam Al-Muwaqqa'in, Bairut, 1973, Dar Al-Jael Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Dhawabit Al-Mashlahah, Bairut, Muassasah Alrisalah Al-Fasi, ‘Ilal, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah wa Makarimuha, Maroko, 1979, Mathba’ah Al-Risalah Ibn ‘Asyur, Muhammad Al-Thahir, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Tunisia, Mashna’ AlKitab Al-Raisuni, Ahmad, Nazhariyah Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Al-Syathibi, Al-Dar Al‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamiyah ________________, Al-Ijtihad, Al-Nash, Al-Waqi’, Al-Mashlahah, Bairut, Dar Al-Fikr AlMu’ashir Al-Kailani, Abd Al-Rahman Ibarhim, Qawaid Al-maqashid ‘inda Al-Imam Al-Syathibi, Damaskus, Syria, Dar Al-Fikr Dirasat fi Fiqh Al-Maqashid Al-syar’iyah Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta, 2008, Kencana Perdana Media Group.
Rofiq, Ahmad Drs., M. Si., Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Sayid Sabiq, Fiqih Ibadah, Darun Najah, 2010 Siraj Said, Land, Law and Islam, East London Univ, 2008 UU RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wakaf. UU RI Nomor 8 Tahun 1989 tentang Pengelolaan Zakat. Berbagai artikel yang relevan dengan masalah Hukum Zakat dan Wakaf dalam Jurnal, Surat Kabar, Majalah, Internet, dll.
136
137
CURRICULUM VITAE 1. Nama Lengkap
: Muhammad Khaeruddin Hamsin
2. Tempat & Tgl. Lahir
: Masalembu, 29 Desember 1962
3. Jenis Kelamin
: Laki-laki
4. Agama
: Islam
5. Alamat
: Jl. Sidomukti No. 733, Yogyakarta Telp. +62-274-562585 (Hp. 081578920040) E-mail:
[email protected]
6. Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
8. Golongan/Pangkat/ NIK
: III a /Penata Muda/153 053
9. Alamat
: Jl. Sidomukti No. 733, Babadan, Banguntapan, Yogyakarta Telp. +62-274-562585 (Hp. 081578920040) E-mail:
[email protected]
10. Riwayat Pendidikan
: -
Sekolah Dasar Negeri Masalembu, Jatim thn 1975.
-
Madrasah Ibtidaiyah, Masalembu, Jatim thn 1975
-
Madrasah Tsanawiyah Negeri Mangkoso Barru, Sul-Sel, thn 1980
-
PGA 4 Thn, PP. DDI Mangkoso, Barru, Sul-Sel, thn 1980
-
Tsanawiyah Agama, PP.DDI Mangkoso, Barru, Sul-Sel, thn
-
1982
-
Madrasah Aliyah Negeri, Mangkoso, Barru, Sul-Sel, thn 1983
-
Licence (S1) Fakultas Syariah dan Hukum, Al-Azhar University, Cairo, Mesir thn 1988
-
Magister (S2) Jurusan Ushul Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Omdurman Islamic University, Sudan, thn 1998
138
-
Doktor (S3) Jurusan Ushul Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Omdurman Islamic University, Sudan, Thn 2007
13. Pengalaman Kerja
: -
Staf Khusus (Luar Negeri) PT. Tiga Utama (Haji & Umrah), tahun 1990 s/d 1996
-
Staf Lokal Bidang Ekonomi Keduataan Besar RI Khartoum, Sudan thn 1996 s/d 2007
-
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2010-2013)
-
Dosen Pasca Sarjana (S3) Prodi Politik Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2009-Sekarang)
-
Dosen Pasca Sarjana (S2) Prodi Int’l Fqih dan Ushul Fiqh, Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2009-Sekarang)
-
Dosen Pasca Sarjana (S2) Prodi Hukum Bisnis Syariah, Universitas Islam Negeri Sunankalijaga, (2008-Sekarang)
-
Dosen Pasca Sarjana (S3) Prodi Ekonomi Islam, Universitas Islam Negeri Sunankalijaga, (2014)
14. Pengalaman
-
Anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI-DI Yogyakarta
-
Anggota Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
: -
Penelitian/Karya Ilmiah
Fatawa Al-Majami’ Al-Fiqhiyah Al-Indonesiyah, Tahlil wa Dirasah ushuliyah (Fatwa-Fatwa Lembaga Fiqh Indonesia (Muhammadiyah, NU dan MUI), Studi Analisis Qaidah-Qaidah Ushuliyah)
-
Gap antara Fikih Munakahat dan UU No. 1 1974, Tentang Perkawinan (Studi Perkawinan Di Bawah Umur) (Penelitian 2012 dan Jurnal Media Hukum, FH-UMY)
-
Kontribusi Hukum Islam terhadap Hukum Nasional antara Harapan dan tantangan (artikel MUI DIY 2012)
139
Yogyakarta,
Maret 2015
Muhammad Khaeruddin Hamsin
CURRICULUM VITAE
CURRICULUM VITAE Personal Identity
Name National Main Number of the Expert Lecturer NIP/NIDN
: SUNARNO. S.H., M.HUM 0528127202 : 153 046/ 0517036602 : Sleman, 28 Desember 1972
Gender
: male
Marriage Status
: Marriage
Religion
: Islam
Staff Level
: VA/Pembina
Academic Level
: Head Lector
University
: Yogyakarta Muhammadiyah University
Office
: Jl. Lingkar Selatan Yogyakarta
Telp/Fax
: 0274-387656/0274-387646
Home
: Jodag, Sumberadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Telp/Fax
: 0274-866110
e-mail
:
[email protected]
140
HISTORY OF HIGH EDUCATION Year graduate
Program
University
Expertise
-
Candidat PhD (IIUM Malaysia)
International Islamic University of Malaysia
Agrarian Law
2005
Magister
Gadjah Mada university
Agrarian Law
1991
Diploma
Gadjah Mada University
Agrarian Law
EXECUTIVE TRAINING Year
Kinds of Training
Organizer
date
2009
Training of Training on Land Administration in Islamic Perspective
Unated nation – HABITAT – Malaysia
30 Nope – 6 Desember 2009
2005
Enhancing Islamic Curiculum of Law
IIUM-malaysia
1- 14 April 2005
Teaching experiences Matakuliah
Program Pendidikan
Institusi/Jurusan/Program Studi
Sem/Tahun Akademik
Hukum Acara PTUN
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2009/2010
Land Law II
Strata satu
UMY/Ilmu hukum
Gasal 2009/2010
Land Reform
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2009/2010
Pengadaan tanah untuk Pemerintah dan Swasta
Strata Satu
UMY /Ilmu Hukum
Gasal 2009/2010
Hukum Perairan
Strata satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2009/2010
141
Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2009/2010
Hukum Pajak
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Hukum Zakat dan Wakaf A
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Hukum Zakat dan Wakaf B
Strata Satu
Umy/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Hukum Zakat dan Wakaf C
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Alternative Dispute Resolution dan arbitrase A
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Alternative Dispute Resolution dan arbitrase B
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2008/2009
Pengantar Ilmu Hukum
Strata satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
Pengantar Ilmu Hukum (khusus)
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
Hukum Kebijakan Agraria
Strata satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
Hukum Acara PTUN
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
Metopen Hukum
Strata satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
ADR dan Arbitrase
Strata satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
Land Reform dan Arbitrase
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2007/2008
142
Hukum Agraria
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Genap 2006/2007
Hukum Pajak A
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Hukum Pajak B
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Alternative Dispute Resolution
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Hk Zakat dan wakaf A
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Hk Zakat dan wakaf C
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Metopen
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
Land Reform
Strata Satu
UMY/Ilmu Hukum
Gasal 2006/2007
KINDS OF BOOK OF TEACHING MATERIALS Mata kuliah
Program Pendidikan
Jenis Bahan Ajar (Cetak)
Sem/Tahun akademik
Hk Zakat dan Wakaf
Strata Satu
Modul
Gasal 2009/2010
Alternative Dispute Resolution
Strata Satu
Modul
Gasal 2009/2010
Alternative Dispute Resolution (Syariah)
Strata Satu
Modul
Gasal 2009/2010
Alternative Dispute Resolution (Syariah)
Strata Satu
Modul
Genap 2009/2010
143
Land Reform
Strata Satu
Modul
Genap dan Ganjil
RESEARCH EXPERIENCES Tahun
Judul Penelitian
Ketua/Anggota Tim
Sumber Dana
2009
Kebijakan Transportasi Umum TransYogya
Ketua
Kopertis V
2009
Proyeksi tindak Lanjut Land Consolidation
Ketua
LOD
2008
Pengembangan Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten gunungkidul
Ketua
Hibah A2 Dikti
2008
Tingkat Kepuasan Masyarakat dalam Pelayanan Publik Oleh Kantor Kecamatan
Ketua
LOD
2008
Pengembangan Kebijakan Pertanian di Kabup. GK
Ketua
UMY
2007
Pengembangan Kebijakan APBD yang Berwawasan Lingkungan
Ketua
Kompitisi Penelitian Dosen UMY
2007
Pergeseran Pemikiran dalam Pembuatan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan
Ketua
UMY
2006
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal dalam Kebijakan Taman Nasional Gunung Merapi
Ketua
DP2M
2006
Pengembangan Resolusi Konflik Sumber Daya Alam berbasis Kearifan Lokal
Ketua
mandiri
2005
Reformasi Birokrasi di DIY
Ketua
UMY
144
2005
Pengembangan Sistem Pengawasan Pertambangan
Ketua
UGM
2004
Praktik Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Luar Pengadilan
Ketua
UMY
SCIENTIFIC PUBLICATION A.
Buku/Bab Buku/Jurnal Tahun
Judul
Penerbit/Jurnal
2010
Agraria reform dari Sektoral Menuju Komprehensif
Jurnal Ombudsman Daerah
2009
Menggagas Pengawasan Pemilu Terpadu
2008
Pengembangan Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten Gunungkidul, Jurnal Media Hukum fakultas Hukum UMY, 2008,
2007
Reformasi Kebijakan SDA
2006
Prospek Kebijakan Kemampuan Keuangan Daerah dalam Otonomi , 2007, Daerah, Media Hukum, Fakultas Hukum UMY
2004
Pergeseran Pemikiran Pembuatan Peraturan Daerah tentang Hutan Kemasyarakatan, Mimbar Hukum UGM, Desember 2004
Jurnal Mimbar Hukum FH UGM
2004
Sengketa tanah dalam Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum, Yurisprudence UMS, Solo, Februari 2004
Yurisprudence, UMS
Jurnal Konstitusi FH UMM
Jurnal Media Hukum FH UMY
SKH Kedaulatan Rakyat Jurnal Media Hukum FH UMY
145
B.
Makalah/Poster Tahun
Judul
Penyelenggara
2010
Hukum Bisnis Perkebunan
Lembaga Pendidikan Perkebunan
2010
Tingkat Kepuasan Masyarakat dalam Pelayanan Administrasi Pertanahan
Lembaga Ombudsman Daerah DIY
2009
Land Reform dan Sektor ke Komprehensif
UMY
2009
Pengawasan Pelayanan Publik Pasca Berlakunya UU 37 tahun 2009
Ombudsman RI dan UMY
2009
Action Plan on Land Tool
UNHABITAT – IIUM Malaysia
C. Penyunting/Editer/Reviewer/Resensi Tahun
Judul
Penerbit/Jurnal
2010
Pengawasan Pemilu dengan Pendekatan Budaya
Jurnal Mahkamah Konstitusi FH UMY
2010
Reformasi Birokrasi
Jurnal Ombudsman Daerah
KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM Tahun
Judul Kegiatan
Penyelenggara
Panitia/Peserta/pembicara
2010
Tingkat Kepuasan Masyarakat dalam Pelayanan Administrasi Pertanahan
Lembaga Ombudsman Daerah DIY
Pembicara
2009
Pengawasan Pelayanan Publik Pasca Berlakunya UU 37 tahun 2009
Ombudsman Republik Indonesia
Pembicara
2009
Training of Trainer on Land Administration in Islamic Perspective
UN- HABITAT – IIUM
Peserta
2009
International Conference for Combating Coruption
UGM
Peserta
2009
Lokakarya Peran Statistik
BAPPEDA DIY
Peserta
146
dalam Pembangunan di Indonesia 2009
Seminar Nasional Qua Vadis Penegakan hukum di Indonesia
UGM
Peserta
2009
Lokakarya Laporan HAM di DIY
Kesbang Limas DIY
Peserta
2009
Simposium Mengkritisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan panjang DIY
BAPPEDA DIY
Peserta
2009
Seminar Nasional Problem Agraria di Indonesia
FH UII
Peserta
2008
Lokakarya Pengawasan Peradilan di Indonesia
Pukat anti Korupsi UGM dan Open Society Foundation
2007
Seminar Menuntaskan Amandemen UUD 45
UGM
Peserta
KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT Tahun
Jenis/Nama Kegiatan
Tempat
2010
Siaran TVRI : Evaluasi Pelayanan Publik
TVRI Yogya
2010
Siaran TVRI : Problem Perijinan Pembangunan Tower Selular
TVRI Yogya
2010
Siaran RRI: Perlindunga HAM dalam Konstitusi
RRI Yogya
2010
Siaran RRI: Pertanahan
RRI Yogya
2009
Siaran TV: Netralitas Birokrasi dalam Pemilu
Yogya TV
2009
Siaran RRI: Perlindungan masyarakat Adat dalam Konstitusi
RRI Yogya
2009
Penyuluhan Hak-hak Dasar Warga Negara
Cangkringan, Kabupaten
147
Sleman 2008
Magang di Badan Arbitrase Syariah Nasional
Jakarta
2008
KKN Tematik Pengawasan Peradilan
Kebumen
2005
Developing Islamic curiculum For fakulaty of law
IIUM – Malaysia
JABATAN DALAM PENGELOLAAN INSTITUSI Peran/Jabatan
Institusi (Univ, Fak, Jurusan, Lab, Studio, Manajemen Sistem Informasi Akademik dll)
Tahun ..... sd ......
Komisioner OMBUDSMAN DIY
kOMISIONER
2008 -2010
Redatur Pelaksana
Jurnal Mahkamah Konstitusi
2008-sekarang
Sekretaris PKBH UMY
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2004-2005
Kepala Departemen Hk Admnistrasi Negara
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2000-2003
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2006-2007
Satgas Promosi
PERAN DALAM KEGsIATAN KEMAHASISWAAN Tahun
Jenis/Nama Kegiatan
Peran
Tempat
2009
Program Kreatifitas Mahasiswa
Dosen Pembimbing
UMY
2009
Orientasi Mahasiswa
Nara sumber
UMY
2008
Komunitas Peneliti mahasiswa HAN
Pendamping
UMY
2007
Studi banding
Pendamping
Bali
148
149
PENGHARGAAN/PIAGAM Tahun
Bentuk Penghargaan
Pemberi
2010
PIAGAM
UN – HABITAT
2008
PIAGAM
UGM
2005
PIAGAM
Panwaslu Pusat
ORGANISASI PROFESI/ILMIAH Tahun
Jenis/Nama Organisasi
Jabatan/jenjang keanggotaan
2008-2009
Asosiasi Dosen HAN HTN
Anggota Biasa
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya
Yogyakarta, 10 Maret 2015
(.S u n a r n o )
150
151
Surat Pernyataan
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Dr. Khaeruddin Hamsin, MA, Ph.D.
NIK
: 19601229200904/153.053
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa proposal penelitian ini adalah buatan saya sendiri, bukan plagiat, dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Yogyakarta, 18 Februari 2014 Yang menyatakan
Dr. Khaeruddin Hamsin, MA., Ph.D.
152
1. Honor Honor/Jam
Honor per Tahun (Rp.)
Waktu
Honor
Minggu (Rp.)
(jam/minggu)
Th-1
Th-2
Ketua
15.500
20
48
14.880.000
14.880.000
Anggota 1
11.500
15
48
8.280.000
8.280.000
Sub Total (Rp.)
23.160.000
23.160.000
2. Peralatan Penunjang
Material
Tape recorder
Justifikasi Pemakaian
Kuantitas
Harga Satuan (Rp.)
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
Merekam wawancara
3
450.000
1.350.000
-
Kaset tape recorder
Merekam wawancara
15
10.000
150.000
150.000
Compact disk
menyimpan data penelitian
20
7.500
150.000
150.000
Tempat penampung tinta
4
100.000
400.000
400.000
Tempat penampung tinta
4
94.000
370.000
370.000
10
30.000
300.000
300.000
10
30.000
300.000
300.000
Catridge Printer Hitam Catridge Printer Warna Tinta Cair (Refil) warna hitam
Mencetak dokumen
Tinta Cair (Refil) warna
Mencetak dokumen
Flashdisk
Menyimpan data
4
110.000
440.000
440.000
Mencetak dokumen
1
1.200.000
1.200.000
-
Printer
153
Stopmap plastik
Menyimpan data fisik
20
12.000
240.000
240.000
Amplop HVS
Proses perizinan
20
2.000
40.000
40.000
20
6.500
130.000
130.000
Dokumentasi (cetak foto)
Cetak foto
ATK
Tulis menulis
2
500.000
1.000.000
1.000.000
Modem HSDPA
Koneksi internet
2
350.000
700.000
-
Pengganda
Penggadaan proposal untuk narasumber
30
25.000
750.000
750.000
Penggadaan proposal untuk responden
20
15.000
300.000
300.000
Penggadaan proposal untuk narasumber
25
6.000
320.000
200.000
20
75.000
1.500.000
1.500.000
an proposal
Penggandaan kuisioner
Penjilidan proposal
Penggandaan Lap. Penelitian
Penggandaan laporan
Sub Total (Rp.)
10.340.000
6.270.000
3. Bahan Habis Pakai
Material
Justifikasi Pemakaian
Fotokopi dokumen
Penggandaan data
Buku Catatan
Mencatat hasil-hasil sementarapene litian dan
Kuantitas
Harga Satuan (Rp.)
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
10.000
160
1.600.000
1.600.000
10
37.000
370.000
370.000
154
diskusi Kertas HVS F4 80 gr
Cetak dokumen
10
34.000
340.000
340.000
Kertas HVS A4 80 gr
Cetak dokumen
20
40.000
800.000
800.000
Kertas Folio Garis
Menyimpan data sementara
5
20.000
100.000
100.000
20
100.000
2.000.000
2.000.000
25
200.000
5.000.000
5.000.000
10.210.000
10.210.000
Buku-buku referensi
Studi pustaka
Jurnal nasional dan internasional
Studi pustaka
Sub Total (Rp) 4. Perjalanan Justifikasi Rincian
Kuantitas Perjalanan
Perjalanan ke Jakarta
Perjalanan di Yogyakarta
Lumpsum
Harga Satuan (Rp.)
Transportasiakomodasi, dan konsumsi 2 peneliti utk 2 kali perjalanan
4
3.500.000
Transportasi dan konsumsi 2 peneliti
40
120.000
Konsumsi diskusi internal tim
45
Harga Peralatan per Tahun (Rp.) Th-1
Th-2
14.000.000
14.000.000
4.800.000
4.800.000
15.000 675.000
Sub Total (Rp.)
19.475.000
675.000 19.475.000
5. Lain-lain Kegiatan
Justifikasi
Kuantitas
Harga
Harga Peralatan per
155
Satuan (Rp.)
Tahun (Rp.) Th-1
Seminar hasil
Honor, konsumsi, penggandaan laporan
Th-2
1
4.560.000
4.560.000
4.560.000
Publikasi seminar
30
40.000
-
1.200.000
Backdrop seminar
2
300.000
-
600.000
Sewa tempat seminar
Pelaksanaan seminar hasil
2
837.500
-
1.675.000
Pembelian kenangkenangan untuk narasumber
Kenangkenangan 5
250.000
1.250.000
1.250.000
Pembelian kenangkenangan untuk responden
Kenangkenangan 20
100.000
2.000.000
2.000.000
Publikasi jurnal
Publikasi 1
1.000.000
1.000.000
1.000.000
Telekomuni kasi
Voucer selama 12 bulan
36
100.000
3.600.000
3.600.000
Poster Backdrop
.
Sub Total (Rp.)
12.410.000 15.885.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN SETIAP TAHUN
74.895.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN SELURUH TAHUN
75.000.000
149.895.000