LAPORAN PENELITIAN
MENGGALI NILAI-NILAI DEMOKRASI LOKAL DAN PELEMBAGAAN PARTISIPASI PUBLIK DI BALI
TIM PENELITI: 1. Dewi Yuri Cahyani, S.Sos, M.Si. (Ketua) 2. Ni Made Ras Amanda, S.Sos, M.Si. 3. Kadek Dwita Apriyani, S.Sos., MIP 4. I Made Anom Wiranata, S. IP., MA
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA 2012
LAPORAN PROGRAM RKA – PEMBANGUNAN DEMOKRASI – IDI TAHUN ANGGARAN 2014
MENGGALI NILAI-NILAI DEMOKRASI LOKAL DAN PELEMBAGAAN PARTISIPASI PUBLIK DI BALI
I. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Kinerja demokrasi di negara kita, terutara berkaitan dengan prosedur demokrasi, telah mengalami peningkatan yang ditandai dengan berbagai reformasi pada institusi demokrasi. Misalnya sistem pemilu demokratis untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Namun berdasarkan hasil pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dilakukan oleh pemerintah di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, penguatan institusi demokrasi ini belum dibarengi dengan penguatan kapasitas demokrasinya. IDI sendiri merupakan angka-angka yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan beberapa aspek tertentu dari demokrasi, yaitu aspek kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (political rights), dan lembaga-lembaga demokrasi (institution of democracy). IDI bertujuan untuk mengkuantifikasikan perkembangan demokrasi pada tingkat provinsi di Indonesia sesuai ketiga aspek yang dipelajari. Melalui IDI, indeks di satu provinsi dapat dibandingkan dengan provinsi lainnya untuk memperoleh gambaran perkembangan demokrasi di provinsi-provinsi di seluruh Indonesia. Melalui pengukuran ini, diharapkan setiap provinsi dapat membuat perencanaan pembangunan demokrasi yang sesuai dengan kebutuhan daerah setempat. Secara umum, data IDI dalam tiga tahun terakhir (2010-2012) menunjukkan bahwa tren capaian indeks nasional (rata-rata dari 33 provinsi) untuk aspek kebebasan sipil selalu di atas angka 75. Ironisnya, dalam kurun waktu yang sama, capaian indeks aspek hak-hak politik selalu berada pada kategori ”buruk”, bahkan cenderung memburuk, yaitu 47,87 (2010); 47,57 (2011); dan 46,33 (2012). Sementara capaian indeks aspek lembaga demokrasi, kendati mengalami tren kenaikan, yakni 63,11
(2010); 74,72 (2011); dan 69,28 (2012), tetap pada kategori ”sedang”. Menurut Syarif Hidayat, anggota Dewan Pakar IDI, angka-angka indeks tersebut mengindikasikan sejauh ini Indonesia relatif berhasil dalam membangun dan mengembangkan kebebasan sipil, yang ditandai oleh, antara lain, adanya perluasan arena dan bangkitnya gairah partisipasi publik. Di sisi lain, gairah kebebasan sipil yang meningkat begitu pesat ini belum disertai oleh inherennya perilaku demokrasi dan meningkatnya
kapasitas
lembaga
demokrasi
yang
berfungsi
menampung,
menyalurkan, dan merespons tuntutan publik.
Implikasinya, kebebasan sipil dan hak-hak politik kemudian lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan dalam bentuk praktik-praktik politik transaksional. Berdasarkan IDI terakhir yang diluncurkan pada 2012, Provinsi Bali menempati peringkat ke-13. Pemerintah Provinsi Bali melalui Badan Kesbangpol mengkritik aspek dan indikator pengukuran IDI yang tidak mencerminkan dinamika politik lokal serta upaya demokratisasi yang dilakukan dengan memanfaatkan budaya lokal. Padahal praktik-praktik demokrasi yang tumbuh di dalam masyarakat tersebut selama ini justru telah memberikan konstribusi bagi praktik demokrasi formal di Bali. Misalnya kegiatan simakrama yang sewaktu-waktu dilakukan oleh Gubernur Bali untuk menyerap aspirasi masyarakat. Mencermati hal tersebut, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Bali, berinisiatif untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menggali nilai-nilai demokrasi lokal dan pelembagaan partisipasi publik. Kegiatan ini diharapkan bisa membantu untuk meningkatkan kinerja demokrasi, baik institusi maupun kapasitas demokrasinya, serta membantu menaikkan angka indeks demokrasi Provinsi Bali sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja demokrasi tersebut. Selain itu, hasil dari kegiatan ini juga diharapkan bisa memberikan sumbangan bagi sebuah model demokrasi formal yang berdasarkan pada nilai dan budaya lokal, baik untuk pengembangan demokrasi di Bali maupun Indonesia.
II. RANCANGAN KEGIATAN Program pembangunan demokrasi dalam rangka menaikkan indeks demokrasi Provinsi Bali ini dilakukan dalam dua rangkaian kegiatan:
1.
Focus Group Discussion (FGD) untuk menggali nilai dan praktik demokrasi lokal di Bali. Demokrasi pada dasarnya adalah nilai-nilai yang muncul dan ditumbuhkan dari proses di dalam masyarakat atau negara yang menerapkannya, bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar. Karenanya, demokrasi harus mengandung dimensi kearifan lokal yang bersumber pada nilai, budaya, dan harapan-harapan masyarakat setempat. Tetapi seringkali pelembagaan demokrasi meninggalkan berbagai nilai dan praktik pengelolaan kehidupan masyarakat yang telah hidup dari generasi ke generasi. Alih-alih, kita lebih sering menggali nilai dan prinsip demokrasi dari negara-negara yang dianggap telah maju dalam pengembangan demokrasinya. Padahal, kekayaan nilai dan praktik budaya lokal yang ada di Indonesia sesungguhnya dapat menjadi model dalam pelaksanaan demokrasi dan pengawasan pemerintahan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Habibie Center (Model demokrasi lokal: Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali, 2011), disebutkan ada berbagai nilai yang berkembang di tingkat lokal yang mendukung maupun menghambat perkembangan demokrasi. Untuk itu, menggali berbagai nilai, kearifan, dan praktik pengelolaan kehidupan masyarakat di tingkat lokal menjadi hal yang penting dilakukan untuk membangun demokrasi yang khas Indonesia. Dengan harapan bahwa berbagai kearifan lokal ini bisa diaktualisasikan ke dalam proses-proses politik atau demokrasi formal yang dilembagakan di negara kita. Hal ini sejalan dengan argumentasi Elinor Ostrom (2001) yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan sangat dipengaruhi oleh hak masyarakat menentukan sendiri bentuk kelembagaan lokal yang tepat bukan ditantang, apalagi dipaksa oleh pemerintahan yang berwenang. Penggalian dan pengaktualisasian nilai-nilai demokrasi lokal, di sisi lain, juga merupakan upaya pelestarian nilai dan kearifan lokal agar bisa beradaptasi dengan perkembangan demokrasi dan tidak menjadi artefak sosial semata. FGD ini telah dilakukan pada Maret–April 2014 di 4 kabupaten/kota yaitu Denpasar, Badung, Gianyar dan Klungkung, dengan tujuan untuk (1) menggali nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diaktualisasikan atau dilembagakan ke dalam praktik demokrasi formal dan (2) membangun pengetahuan baru mengenai demokrasi yang berbasis kearifan lokal.
2.
Lokakarya Pelembagaan Saluran Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Publik. Partisipasi politik masyarakat dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan salah satu pra-syarat bagi tumbuhnya demokrasi di sebuah negara. Namun seringkali, partisipasi politik masyarakat ini terhambat karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses berbagai saluran atau mekanisme demokrasi yang ada. Dalam situasi tertentu, kepentingan publik yang tidak mendapatkan saluran penyelesaiannya bisa menyebabkan terganggunya stabilitas negara. Untuk itu, mendidik masyarakat agar sadar akan hak-hak kewarganegaraannya serta mampu menyalurkan aspirasi dan problem yang dihadapi melalui mekanisme demokrasi yang ada merupakan hal penting yang harus dilakukan. Secara legal formal, masyarakat telah diberikan ruang kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya. Namun saluran institusional tersebut seringkali tidak digunakan dengan efektif. Sebagian masyarakat menilai bahwa proses pengambilan keputusan publik sangat sulit terjangkau dan memilih untuk apatis. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya akhirnya menyalurkan aspirasinya melalui saluran yang cenderung konfrontatif dan memicu konflik. Di sisi lain, upaya untuk menyiapkan aparat negara yang menjadi ujung tombak saluran-saluran demokrasi tersebut harus dilakukan secara bersamaan. Sehingga kapasitas masyarakat yang meningkat dalam mengakses saluran demokrasi bisa diimbangi dengan kemampuan aparat negara dalam mengelola masukan masyarakat menjadi kebijakan-kebijakan dan pelayanan publik yang lebih baik. Untuk menjembatani kedua faktor ini, maka perlu adanya peningkatan kapasitas keduanya, baik dari pihak masyarakat maupun pihak penyelenggara negara. Lokakarya ini telah diselenggarakan pada 21 April dan 19 Juni 2014 dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat serta para pengambil kebijakan dan aparatur negara di Bali.
III. TEMUAN DAN ANALISIS HASIL FGD
III.A. Temuan Amartya Sen menjelaskan demokrasi dari dua perspektif. Pertama disebut dengan perspektif pemilihan umum. Perspektif ini memandang demokrasi sebagai
pemerintahan yang dipilih oleh kolektivitas atau mayoritas. Perspektif yang kedua disebut dengan “public reason” atau alasan publik yang fokus pada alasan/dasar dari opini di balik pemilihan umum atau pemungutan suara. Perspektif ini melihat demokrasi terutama sebagai kesempatan bagi diskusi publik dan partisipasi yang interaktif. (Sen, seperti dikutip dalam Shinji, n.d.). Penelitian ini akan melihat demokrasi dari perspektif yang kedua dan menggali nilai-nilai tradisi lokal yang mendukung adanya diskusi publik dan partisipasi yang interaktif dalam kehidupan kolektif di tingkat lokal. Penelitian ini juga memaparkan tantangan bagi nilai dan praktek demokrasi dalam kehidupan desa adat di Bali. Data yang dihasilkan berasal dari Focus Group Discussion yang dilakukan di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Klungkung.
Tradisi Adat yang Merupakan Modal Sosial bagi Demokrasi:
Hukum Adat yang Muncul dari Masyarakat dan Berkembang di Masyarakat Keberadaan banjar/desa adat adalah sebagai bagian dari aplikasi Agama Hindu dalam teritori lokal untuk mencapai Mokshartam Jagadhita atau kebahagian jasmani dan rohani. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut dikenal konsep Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia (pawongan) dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan (palemahan). Untuk mencapai keharmonisan tersebut desa adat membuat aturan adat yang menjadi acuan dalam bertindak. Berbeda dengan hukum nasional yang berasal dari lembaga-lembaga negara, norma-norma dalam desa adat berasal dari masyarakat di desa adat yang bersangkutan. Norma tersebut dapat berupa aturan yang tertulis dan juga aturan yang tidak tertulis. Secara umum, aturan di desa adat terdiri dari awig-awig dan perarem. Awig-awig merupakan aturan-aturan dasar dan perarem merupakan aturan pelaksana dari awig-awig tersebut. Awig-awig dan perarem tersebut disusun dengan menyesuaikan dengan kondisi desa setempat. Aturan adat ini mengatur parhyangan, pawongan, dan palemahan. Aturan dalam desa adat dibuat atas dasar musyawarah dan perwakilan. Panitia yang membentuk aturan adat terdiri dari perwakilan dari masing-masing banjar adat. Setelah rancangan aturan desa tersebut diputuskan melalui musyawarah, substansi dari rancangan tersebut kemudian disosialisasikan di
masing-masing banjar. Jika terdapat masukan dan bahkan penolakan dari warga banjar, maka rancangan tersebut akan kembali untuk didiskusikan. Setelah mendapat persetujuan dari warga banjar, aturan adat tersebut kemudian dicatatkan di pemerintah daerah setempat. Di sebagian kabupaten/kota, pemerintah daerah sematamata melakukan pencatatan tanpa adanya pengesahan. Di sebagian kabupaten lainnya, pemerintah daerah juga melakukan review atau tinjauan terhadap aturan adat tersebut apakah selaras dengan hukum positif yang berlaku untuk memastikan hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum negara. Kepatuhan warga adat terhadap awig-awig disebabkan oleh adanya pengesahan yang tidak hanya secara horizontal namun juga secara vertikal. Secara horizontal, awig-awig tersebut harus mendapat pengakuan dari warga adat dan pengesahan dari pihak-pihak yang terkait. Secara vertikal, awig-awig tersebut diupacarai (dipasupati) di Pura untuk mendapat saksi dan pengesahan dari para Dewa. Melaui proses itu, warga adat meyakini awig-awig memiliki kekuatan sakral. Demikian juga halnya jika ada perubahan terhadap awig-awig, maka upacara untuk memohon permakluman pada para Dewa juga dilakukan. Dengan demikian, praktek kehidupan adat tetap merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip Agama Hindu.
Public Reason melalui Musyawarah Pengambilan keputusan yang dilakukan di desa adat dilakukan melalui diskusi publik. Diskusi publik tersebut didasari oleh akal sehat dengan melihat berbagai pertimbangan. Jika muncul perbedaan pendapat dalam diskusi tersebut, maka desa adat akan melakukan pengkajian lebih lanjut. Seperti yang terjadi pada wacana tentang hak waris perempuan yang menikah dan ikut dengan keluarga suaminya. Terhadap wacana ini, desa adat melakukan pengkajian sebagai public reason yang merupakan substansi dari demokrasi. Diskusi publik tersebut sudah melembaga dalam kehidupan desa pakraman dengan tetap memandang fleksibilitas terkait dengan jadwal musyawarah. Musyawarah tidak hanya dilakukan dengan jadwal yang teratur namun juga dilakukan pertemuan yang insidentil jika ada persoalan yang dianggap penting untuk dilakukan. Penentuan agenda musyawarah tidak semata-mata berasal dari pimpinan desa adat namun juga dapat diusulkan oleh semua warga adat melalui pimpinan adat di tingkat banjar.
Diskusi publik yang dilakukan melalui musyawarah dilakukan dengan pertimbangan kebijaksanaan dan sangat sensitif terhadap dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu keputusan terhadap warga adat. Seperti yang diutarakan oleh peserta FGD di Denpasar, untuk memastikan awig-awig yang adil dan mendatangkan manfaat bagi publik, rancangan awig-awig pertama kali disusun oleh tim penyusun yang anggotanya dianggap memiliki pengetahuan yang memadai. Rancangan awigawig tersebut kemudian disosialisasikan kepada warga untuk mendapatkan respon untuk memastikan tidak ada warga yang dirugikan dengan rencana aturan tersebut dan juga untuk mengetahui jika terdapat perbedaan tafsir dalam aturan adat tersebut. Jika terdapat warga yang merasa keberatan atau ada aspek yang menimbulkan multi tafsir, maka rancangan adat tersebut kembali untuk dikaji oleh panitia penyusun. Setelah tahapan ini sudah dilalui maka dilakukanlah rapat besar (paruman agung) untuk mengesahkan rancangan awig-awig tersebut. Dalam paruman agung ini, tidak hanya warga adat laki-laki yang diundang namun perempuan juga diundang. Pada tingkatan ini, desa adat sudah menerapkan prinsip pelibatan terhadap kaum perempuan. Musyawarah disamping merupakan forum untuk pembahasan masalah bersama, musyawarah di desa adat juga cerminan dari kebebasan berpendapat. Warga dapat memberikan usul dan masukan kepada Bendesa Adat. Bahkan seperti yang disampaikan oleh peserta FGD di Klungkung, warga adat juga bisa memberikan teguran kepada Bendesa Adat dalam forum pertemuan adat. Musyawarah untuk mengambil keputusan bersama juga sudah melembaga dalam kehidupan Seka Teruna Teruni (STT) atau karang taruna. Seperti yang disampaikan oleh peserta dari STT di wilayah Badung, semua tindakan dari organisasi STT didasarkan pada hasil musyawarah sebelumnya. Mekanisme demokrasi di tingkat STT merupakan pembelajaran yang penting bagi pemuda. Menurut peserta FGD di Klungkung, pengalaman demokrasi di tingkat STT membantu pemuda untuk menyiapkan diri mereka menjadi warga adat ketika nantinya mereka akan mengambil peran tersebut.
Manajemen Konflik dalam Kehidupan Adat Jauh sebelum hadirnya negara, desa adat sudah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan konflik. Pedoman penyelesaian konflik itu didasarkan pada aturanaturan yang ada dalam awig-awig. Konflik yang terjadi dalam wilayah desa adat diupayakan sedapat mungkin diselesaikan secara kekeluargaan antara pihak yang
terkait sebelum dimediasi oleh pimpinan banjar atau desa adat dengan juga melibatkan desa dinas. Peserta FGD di Klungkung menegaskan bahwa penyelesaian secara informal ini lebih diutamakan dibandingkan dengan langsung membawa persoalan ke pihak kepolisian. Sejalan dengan arus urbanisasi dan migrasi, penduduk yang hidup dalam wilayah desa adat menjadi semakin heterogen. Hal ini membuat potensi konflik menjadi lebih kompleks terutama di wilayah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di Badung Selatan. Peserta FGD dari Kabupaten Badung mengungkapkan bahwa di desa adatnya terdapat Forum Komunikasi Antar Umat Beragama untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar umat beragam. Ketika konflik diselesaikan di tingkat desa adat, maka peran dari Bendesa Adat (pemimpin desa adat) menjadi sangat penting. Peserta FGD di Klungkung menunjukkan sebuah pembelajaran bahwa independensi dari Bendesa Adat sangat penting dalam penyelesaikan konflik. Konflik akan sangat sulit untuk diselesaikan apabila Bendesa Adat dianggap berpihak pada salah satu pihak. Pengetahuan dalam menyelesaikan konflik di wilayah desa adat tertempa dari refleksi atas pengalaman tersebut. Pimpinan Desa Adat tertempa untuk mempelajari situasi dan konteks dari suatu konflik. Jika konflik tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa adat, maka penyelesaian konflik tersebut akan dibawa secara berjenjang pada Majelis Alit Desa Pakraman untuk tingkat kecamatan, Majelis Madya Desa Pakraman untuk tingkat kabupaten, dan Majelis Utama Desa Pakraman untuk tingkatan provinsi. Keputusan pada tingkat akhir di Majelis Utama bersifat final dan mutlak. Pada tiap-tiap tingkatan tersebut Parisadha Hindu ikut ambil peran dalam memberikan pertimbangan. Peserta FGD di Klungkung membagikan pengalamannya bahwa jika suatu konflik memiliki tensi dan emosi yang tinggi, maka mempertemukan secara langsung pihak-pihak yang bertikai dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak efektif dan bahkan kontra produktif. Dalam situasi seperti ini, Bendesa Adat dapat menemui masing-masing pihak terlebih dahulu sebelum mengadakan pertemuan bersama. Penyelesaian konflik adat di semua tingkatan didasarkan pada prinsip-prinsip dasar dalam Agama Hindu. Di antaranya adalah Basudewa Kutumbakam Sagilik Saguluk Salunglung Sabayangtaka Paras Paros Sarpanaya, dan Tatwam Asi. Basudewa Kutumbakam berarti semua manusia adalah bersaudara. Sagilik Saguluk Salunglung Sabayangtaka Paras Paros Sarpanaya, mengandung arti saling asah,
saling asih, dan saling asuh. Sedangkan Tatwam Asi secara harfiah mengandung arti “Aku adalah Kamu”. Konsep ini menjelaskan bahwa atma yang ada pada diri seseorang adalah sama dengan atma yang pada diri orang lainnya. Prinsip-prinsip ini membantu pihak-pihak yang terlibat untuk berfikir jernih dan tidak semata-mata memperhatikan kepentingan sendiri namun juga kepentingan yang lebih luas dan relasi manusia yang harmonis.
Interaksi yang Harmonis dengan Warga Pendatang di Desa Adat Partisipan FGD di Badung menunjukkan contoh keterlibatan warga pendatang non-Hindu dalam kehidupan di desa adat. Disebutkan bahwa dalam pelaksanaan Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kebahagiaan) di desa adat, warga non-Hindu mengikuti aspek pawongan dan palemahan saja. Misalnya, jika ada warga pendatang memiliki tanah di salah satu wilayah di Kerobokan, maka yang bersangkutan dikenakan biaya yang jumlahnya tergantung pada perarem dari masing-masing banjar. Sosialisasi dari aturan itu dilakukan oleh masing-masing banjar di Kerobokan. Bagi pendatang beragama Hindu, banjar adat di Kerobokan menetapkan aturan biaya penanjung batu (kontribusi) bagi pendatang yang ingin menjadi warga adat setempat. Penerapan dari biaya ini digunakan untuk keperluan keamanan di wilayah setempat. Sejauh ini aturan tersebut dapat diterima oleh para pendatang yang memiliki tanah di wilayah Kerobokan. Penerimaan dan penggunaan iuran ini dipertanggungjawabkan dalam rapat banjar yang diadakan pada Jumat minggu ketiga tiap bulannya. Dalung adalah contoh wilayah yang menujukkan hubungan yang harmonis antara warga adat yang beragama Hindu dan warga yang beragama Kristen. Hubungan yang harmonis tersebut sudah berlangsung sejak dahulu. Peserta FGD dari Dalung menunjukkan contoh dari hubungan yang harmonis saat ada upacara kematian. Kuburan umat Kristen dan kuburan (setra) di Dalung berada pada satu area yang sama. Saat ada upacara kematian, warga dari umat Kristen selalu berkoordinasi dengan bendesa adat. Hal yang sama ditegaskan oleh peserta FGD dari Renon, Denpasar, yang menjelaskan bahwa di wilayah desa adatnya terdapat lima agama dan aliran kepercayaan dan kehidupan agama. Kehidupan antar agama berlangsung dengan harmonis akibat adanya koordinasi yang baik dengat desa adat. Koordinasi yang baik itu tampak saat Hari Raya Nyepi jatuh bersamaan dengan hari Jumat yang menjadi hari Umat Muslim melaksanakan ibadah shalat Jumat secara berjamaah di Masjid.
Akuntabilitas Praktek akuntabilitas sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan adat di Bali. Peserta dalam FGD di Denpasar menggambarkan kegiatan rapat tahunan di desa adat untuk mempertanggungjawabkan kinerja aparat desa adat. Desa adat juga memiliki struktur yang menjalankan fungsi pengawasan seperti halnya inspektorat dalam lembaga pemerintah. Rapat pertanggungjawaban juga mengundang keterlibatan Seke Teruna Teruni untuk ikut memberikan saran, pandangan, dan masukan. Hal ini juga ditegaskan dalam FGD yang dilakukan di Kabupaten Badung. Peserta dari Desa Mengwi menyampaikan bahwa rapat (paruman) dengan agenda pertanggungjawaban dilakukan secara regular tiap tahunnya yaitu hari terakhir di Tilem Kedasa (Bulan Mati yang ke-10). Rapat pertangungjawaban ini dilakukan di Wantilan Pura Dalem Mengwi dan dapat dihadiri oleh warga secara terbuka. Di FGD di Klungkung, peserta menyampaikan bahwa mekanisme pelaporan juga dilakukan setiap bulannya disamping tetap melakukan pelaporan per tahun. Akuntabilitas dalam pengelolaan desa adat tidak hanya didasari oleh semangat integritas namun juga pertanggungjawaban kepada alam niskala (gaib) yaitu ke hadapan para Dewa. Ini adalah salah satu modal sosial yang membuat pengelolaan desa adat tetap berjalan pada prinsip integritas. Tindakan yang melanggar integritas diyakini akan mendapat sanksi dari Tuhan. Selama ini rapat pertanggungjawaban berlangsung dengan lancar. Usulan yang mengemuka lebih banyak bersifat koreksi teknis. Kalau pun ada ketidakpuasan dari warga adat terhadap laporan pertanggungjawaban tersebut, perbedaan itu akan diselesaikan secara internal di desa adat. Sebelum negara memberikan bantuan kepada desa adat, pertanggungjawaban bendesa adat dilakukan dengan sistem pelaporan yang sederhana. Seiring dengan bertambahnya penghargaan pemerintah kepada desa adat, pemerintah menunjukkan atensinya dengan memberikan bantuan atau tunjangan kepada desa adat. Konsekuensinya adalah desa adat membuat laporan yang sesuai dengan laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara. Akuntabilitas juga sudah diterapkan dalam kehidupan STT seperti yang dijelaskan oleh peserta FGD di Klungkung. Sebagai contoh, dalam pembuatan ogohogoh, STT harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Kelian Banjar sebelum mereka melakukan penggalian dana untuk pembuatan ogoh-ogoh tersebut. Setelah
pelaksanaan ogoh-ogoh selesai, maka STT mengadakan rapat pertanggungjawaban yang dihadiri oleh Kelian Banjar.
Sosok Pemimpin di Desa Adat dan Pemilihan Pemimpin Adat Ketua dari desa adat dikenal dengan nama bendesa adat. Desa adat terdiri dari banjar-banjar adat yang dipimpin oleh kelian banjar. Menurut tradisi yang sudah lama berkembang, desa adat adalah pengejawantahan dari prinsip-prinsip agama Hindu dalam ruang lingkup wilayah desa adat. Menjadi pengelola atau pengurus desa adat adalah bagian dari pengabdian (ngayah) kepada Tuhan dan inilah yang menjadi dasar keiklasan dari pengurus adat untuk melaksanakan tugasnya tanpa mendapatkan imbalan. Mengingat beratnya tugas dan kewajiban untuk menjadi pengurus adat dan sikap mental yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tersebut, maka untuk menjadi pengurus adat, seseorang harus memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan juga keikhlasan. Bendesa dan kelian banjar biasanya dipilih karena loyalitas dan integritas yang teruji. Dengan demikian ketokohan dalam desa adat ditentukan oleh rekam jejaknya dari aspek integritas dan pengetahuan serta kecakapannya. Pemilihan pemimpin adat di Bali memiliki perbedaan dengan pemilihan politisi untuk menduduki jabatan publik. Dalam desa adat, pengurus adat diharapkan bekerja dengan pengabdian sehingga faktor yang menjadi landasan bukanlah ambisi namun keiklasan untuk melayani. Dengan demikian dalam memilih pemimpin di desa adat memiliki keunikan tersendiri. Warga adat memiliki pengetahuan yang cukup tentang kriteria-kriteria dalam memilih pengurus adat. Berbekal pengetahuan ini, maka warga adat memiliki kecenderungan yang tinggi dalam memilih orang yang tepat oleh karena jika warga salah memilih maka hal tersebut akan memiliki dampak langsung bagi kehidupannya. Sebagai contoh, jika seorang bendesa adat memberikan jadwal (dewasa) penguburan yang salah akibat ketidaktahuannya maka dipercaya hal tersebut akan membawa ketidakharmonisan secara niskala yang kemudian berdampak dalam kehidupan skala (nyata) warga adat. Dengan kata lain, taruhan dan resiko terlalu banyak bagi warga adat jika memilih pengurus adat yang tidak tepat. Mekanisme inilah yang membuat proses pemilihan di desa adat berjalan secara demokratis dan terhindar dari manipulasi dan intervensi. Umumnya, pemilihan bendesa adat dilakukan secara berjenjang melalui mekanisme perwakilan. Seperti yang diungkapkan oleh peserta FGD di Denpasar, Badung, dan Klungkung, dalam
urusan pemilihan bendesa adat, warga adat memberikan mandat kepada kelian banjar yang akan memilih bendesa adat. Meskipun memiliki kriteria yang serupa, pelaksanaan teknis dalam memilih pengurus adat dapat bervariasi. Dari FGD yang dilakukan di Klungkung ditemukan bahwa ada banjar atau desa adat yang memilih pengurus adat dengan cara mendatangi orang yang dianggap mampu dan memintanya untuk menjadi bendesa adat. Setelah yang bersangkutan setuju, kemudian diadakan rapat yang secara aklamasi menyetujui penunjukan tersebut. Ada juga banjar/desa adat yang melakukan pemilihan secara langsung oleh warga adat dengan menuliskan nama dari calon yang diharapkan menjadi pemimpin adat. Seperti yang terjadi di Sampalan (Klungkung), dalam pemilihan ini calon yang mendapat suara terbanyak akan terpilih menjadi bendesa adat dan calon yang memperoleh suara kedua akan menjadi wakil bendesa. Proses demokrasi dalam pemilihan pemimpin juga sudah diperkenalkan semenjak warga adat menjadi anggota STT. Dari FGD di Badung, tampak bahwa STT melakukan proses pemilihan untuk memilih Ketua STT. Ada STT yang memilih ketuanya atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat atau aklamasi dan ada juga STT yang melakukan pemilihan ketua dengan pemungutan suara (voting). Dengan catatan mereka yang tidak meraih suara terbanyak tetap menjadi bagian dari pengurus STT dengan menduduki jabatan lain seperti wakil ketua STT. Mandat untuk menjadi Ketua STT adalah bentuk kehormatan sehingga tidak diperkenankan untuk menolak mandat ini bagi yang terpilih sebagai Ketua STT.
Kontrol terhadap Penggunaan Kewenangan Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pengurus desa atau banjar adat dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan tertentu. Untuk memastikan kewenangan tersebut digunakan dengan prinsip integritas, ada beberapa faktor atau instrumen yang telah digunakan dalam kehidupan adat yang telah terbukti efektif. Pertama, adanya keyakinan bahwa melaksanakan tugas-tugas adat terkait erat dengan aspek religi yang sarat dengan muatan sakral. Menjadi pengurus adat diyakini sebagai kegiatan ngayah (pengabdian) kepada sesama umat manusia, alam lingkungan, dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan kata lain, motivasi untuk menjadi pengurus adat adalah mendapatkan kesempatan melakukan karma yang baik yang nantinya buah dari karma tersebut diyakini tidak hanya dinikmati oleh yang bersangkutan namun juga oleh
keturunannya. Motivasi ini akan mendorong pengurus adat untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan menghindari perbuatan yang tidak berintegritas. Kedua, desa adat telah terlebih dahulu menerapkan kode etik dalam pelaksanaan tugas-tugas pengurus ada yang dikenal dengan sasana. Sasana ini menjelaskan tugas dan kewajiban dari masing-masing pengurus adat dan pelaksana tugas-tugas adat termasuk norma tentang hal yang boleh dilakukan dan hal yang tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, sasana bagi pemangku di Pura Kahyangan Tiga akan mengatur kodek etik dalam pelaksanaan tugas-tugasnya yang tidak hanya diketahui oleh yang bersangkutan namun juga secara umum diketahui oleh publik. Mekanisme kontrol akan mudah dilakukan jika pelaksana tugas adat terbukti menyimpang dari sasana-nya. Demikian pula dengan sasana bagi prajuru (pengurus) adat yang memiliki mekanisme kontrol yang sama. Ketiga, dengan interaksi yang intensif dari warga adat maka sanksi sosial menjadi sangat efektif untuk mencegah pengurus adat melakukan tindakan yang tidak berintegritas. Frekuensi kegiatan adat yang mempertemukan warga adat sangat tinggi, dari kegiatan di pura, kegiatan upacara adat/agama di rumah warga, serta kegiatan upacara pengabenan. Dengan frekuensi pertemuan yang tinggi ini maka gunjingan (gossiping) menjadi bagian dari kontrol. Jika pengurus adat menjalankan tugas dengan baik, maka pembicaraan warga akan memberikan kredit atau penghormatan kepada mereka. Namun sebaliknya, jika pengurus adat telah melakukan tindakan yang tidak
semestinya,
maka
warga
akan
memberikan
sanksi
sosial
dengan
menggunjingkan hal tersebut saat bertemu dengan warga adat lainnya. Pergunjingan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan bahkan turun-temurun. Sebagai ilustrasi, jika ada pengurus adat yang melakukan korupsi, maka setiap ada gejala atau kemunculan kasus yang serupa maka warga akan mengacu pada kasus korupsi sebelumnya yang melibatkan orang tertentu. Mendapatkan cerita buruk sebagai pengurus adat adalah termasuk instrumen yang paling efektif untuk mencegah korupsi atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan kehidupan adat. Tantangan Kehidupan Desa Adat dalam Konteks Kekinian Desa adat selama ratusan tahun telah menjadi pengelolaan kehidupan publik yang didasarkan pada substansi demokrasi yaitu diskusi publik mencapai keputusan bersama atas dasar alasan publik (public reason). Sekalipun demikian, desa adat
memiliki beberapa persoalan yang menjadi tantangan bagi pelaksanaan demokrasi. Pertama, sekalipun memiliki norma kebebasan berpendapat, namun seperti yang muncul dalam FGD di Denpasar, kebebasan ini belum dapat digunakan dengan optimal. Masih ada perasaan malu untuk memiliki pendapat yang berbeda. Situasi ini memungkinkan munculnya keputusan yang didasarkan pada suryak siu atau keputusan yang diambil karena adanya desakan dari suara yang mendukung suatu rancangan keputusan tertentu, sementara pihak yang yang memiliki perbedaan pendapat kurang memiliki keyakinan diri untuk bersuara berbeda sebelum keputusan diambil. Kedua, dari FGD yang dilakukan di Denpasar, Badung, dan Klungkung tampak masih adanya persoalan untuk memberdayakan perempuan dalam pengambilan keputusan di desa adat. Meskipun sudah ada forum-forum yang memberikan kesetaraan bagi perempuan seperti dalam paruman agung, namun belum dapat mendorong keterlibatan perempuan dengan optimal. Ketiga, kriteria tentang tokoh di desa adat mulai mendapat tantangan dengan semakin besarnya pengaruh politik pada tingkat lokal. Desa adat menghadapi tantangan dalam hal tetap menjaga kriteria tokoh adat agar terisolasi dari kepentingan politik untuk menokohkan seserorang dengan kepentingan tertentu. III.B. Analisis
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IV.A. Kesimpulan
IV.B. Rekomendasi Dari hasil FGD terlihat bahwa ada berbagai mekanisme di desa adat yang bisa digunakan sebagai sarana partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut atau akan mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini merupakan modal sosial bagi kehidupan demokrasi di Bali. Pelembagaan partisipasi ini seharusnya juga diadaptasi dalam pelaksanaan demokrasi formal, dengan membuka seluas-luasnya ruang untuk menjaring berbagai masukan (input) yang nantinya akan dikelola sebagai kebijakan yang berasal dari dan berpihak pada masyarakat. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melembagakan partisipasi tersebut antara lain:
1. Mengoptimalkan saluran-saluran atau mekanisme partisipasi yang sudah ada, seperti forum musrembang, lembaga adat, peran lembaga perwakilan, komisi ombudsman, dan lain-lain. Institusi-institusi demokrasi ini harus dioptimalkan fungsinya sebagai sarana partisipasi yang interaktif. Dalam konteks ini, masyarakat sipil harus dikuatkan agar bisa memainkan peran sebagai jembatan antara masyarakat dan institusi-institusi demokrasi tersebut. Karena masalah terbesar selama ini bukan pada tidak adanya saluran partisipasi yang disediakan oleh negara, namun lebih pada kurangnya kapasitas dan keengganan warga negara untuk berpartisipasi secara aktif. 2. Berbagai terobosan juga bisa dilakukan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat. Misalnya dengan (1) membuka layanan pengaduan yang melekat di setiap SKPD dan lembaga/badan layanan publik; (2) dialog interaktif yang rutin dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi, baik yang bersifat langsung (tatap muka) maupun tidak langsung (dimediasikan oleh teknologi komunikasi, seperti online forum, media sosial, dll); (3) „mobil aspirasi‟ yang akan menjaring aspirasi dan keluhan warga dengan cara jemput bola ke daerah-daerah, dan berbagai terobosan lain yang disesuaikan dengan karakteristik geopolitik setempat. Pada intinya, masyarakat perlu diberi kemudahan akses dan dibiasakan/dididik untuk aktif menyuarakan aspirasi dan berpartisipasi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan. Partisipasi aktif warga negara dalam pengelolaan kehidupan bersama inilah yang menjadi substansi dari demokrasi.