Birokratisasi di Era Otonomi dan Demokrasi Lokal di Jambi Haris Mubarak Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis birokratisasi yang terjadi di Indonesia umumnya dan di Jambi khususnya terutama sekali dari faktor dan dampak birokratisasi. Dalam masalah ini, faktor utama birokratisasi yang melanda Indonesia adalah reformasi pada tahun 1997/1998 yang membawa pengaruh kepada perubahan politik khususnya otonomi dan demokrasi lokal. Dengan perubahan ini pemerintah daerah mempunyai kekuasaan untuk mengangkat pegawai birokrasi sesuai dengan kebutuhan daerah. Di samping itu, eforia reformasi juga berdampak terhadap pemekaran daerah sehingga daerah baru sangat banyak memerlukan pegawai baru. Otonomi juga menimbulkan bidang kerja baru di daerah yang memerlukan tenaga baru untuk mengisi jabatan tersebut. Munculnya spesialisasi ini tidak terlepas dari usaha birokrat untuk memperbesar pegawai birokrat di dalam organisasi birokrasi. Implikasi negatif dari masalah ini adalah kedisiplinan, akuntabilitas ataupun moral birokrat sukar untuk dikontrol. Kata Kunci: birokratisasi, otonomi, demokrasi
A. Pendahuluan Berakhirnya kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan negaranegara baru dan sebagai tanda berakhirnya Perang Dunia Kedua, negara-negara ini mulai berbenah untuk memperbaki keadaan negara Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
92 HARIS MUBARAK
yang telah hancur akibat praktik kolonialisme dan imperialisme. Dalam situasi seperti ini, negara bergantung kepada birokrasi untuk mempercepat pembangunan tersebut. Ini tidak terlepas dari kemampuan birokrasi yang telah terlatih di dalam menjalankan administrasi dan memformulasikan kebijakan sejak era kolonial, sehingga ketika negara merdeka, birokrasi menjadi organ penting bagi negara untuk meningkatkan pembangunan. Efek dari masalah ini, negara memerlukan jumlah pegawai birokrasi yang besar untuk mempercepat tercapainya tujuan tersebut. Di Muangthai misalnya setelah revolusi pada tahun 1932, jumlah pegawai birokrasi tumbuh subur terutama sekali pasca Perang Dunia Kedua di mana rata-rata pertumbuhannya mencapai 8.1% per tahun. Di Malaysia juga tidak jauh berbeda, di mana setelah merdeka pada tahun 1957 dan jumlah pegawai kerajaan meningkat dengan cepat dan bahkan peningkatan ini semakin cepat setelah terjadinya peristiwa 13 Mei 1969 tanpa dihitung polisi dan pegawai militer.1 Jika melihat kembali persoalan birokratisasi di dunia,2 maka birokratisasi di negara-negara berkembang atau negara-negara yang pernah di jajah merupakan akibat daripada satu keperluan negara untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, mempercepat pelayanan publik, banyaknya tugas negara yang harus dijalankan, mempercepat pembangunan sosial untuk kepentingan masyarakat dan negara dan sebagainya. Tetapi dari sekian banyak hipotesis yang diungkapkan seperti di atas, menurut Evers dan Schiel, yang perlu menjadi perhatian dalam percepatan pertumbuhan birokrasi adalah faktor revolusi.3 Evers dan Schiel menjelaskan bahwa dalam kasus Asia Tenggara terdapat hubungan keduanya seperti yang terjadi di Muangthai selepas revolusi tahun 1932 ataupun di Malaysia.4 Begitu juga yang terjadi di Indonesia, menurut Evers, terjadi dalam dua fase pertumbuhan birokrasi yang cepat pasca kemerdekaan. Fase pertama terjadi setelah Indonesia baru saja merdeka dan fase kedua terjadi pada tahun 1970an.5 Namun permasalahanya adalah setelah dua fase tersebut, apakah Indonesia mengalami fase birokratisasi berikutnya? Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 93
Jika melihat peningkatan jumlah aparatus negara selepas reformasi, maka data dari BKN menunjukkan bahwa telah sedang terjadi peningkatan jumlah pegawai birokrasi. Pada tahun 2003 jumlah pegawai birokrasi mencapai 3 juta lebih. Pada tahun 2010 keseluruhan jumlah pegawai negeri Indonesia telah mencapai 4.5 juta orang.6 Dengan pertumbuhan ini tentu saja menimbulkan persoalan baru yang harus dijawab, apakah ini sebuah proses percepatan birokratisasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Evers7 atau hanya sebuah gejala umum sebagaimana yang disebutkan oleh Weber bahwa spesialisasi kerja, peningkatan kualitas pelayanan publik, jumlah penduduk dan sebagainya memerlukan peningkatan aparatur birokrasi yang lebih banyak?8 Menjawab persoalan di atas, menurut asumsi penulis, ini merupakan sebuah gejala dari birokratisasi yang sedang terjadi di Indonesia sebagaimana disebutkan oleh Evers. 9 Gejala-gejala birokratisasi seperti ini biasanya terjadi akibat perubahan politik sebagaimana yang terjadi pada fase birokratisasi sebelumnya. Dalam kasus Indonesia, perubahan politik pada tahun 1997/1998 telah mengubah wajah politik Indonesia yang salah satunya adalah munculnya semangat otonomi dan demokrasi lokal. Perubahan ini tentu saja membawa pengaruh terhadap pertumbuhan pegawai birokrasi, di mana pemerintah lokal mempunyai kekuasaan untuk merekrut pegawai birokrasi. Pertumbuhan ini salah satunya dapat dilihat di Provinsi Jambi, di mana sejak dilaksanakannya otonomi dan demokrasi lokal jumlah pegawai birokrasi terus mengalami peningkatan. Sebelum implementasi otonomi dan demokrasi lokal, jumlah aparat birokrasi berjumlah 60.724 orang pada tahun 1999, sedangkan ketika dilaksanakannya otonomi dan demokrasi lokal, jumlah pegawai birokrasi mencapai 71218 orang pada tahun 2008 dan sekarang hampir mencapai 80000 orang.10 Berdasarkan kenyataan ini, maka persoalan yang mengemuka untuk dianalisis dalam tulisan ini adalah apa yang melatar belakangi terjadinya peningkatan jumlah aparat birokrasi di Indonesia Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
94 HARIS MUBARAK
umumnya dan provinsi Jambi khususnya? Serta bagaimana implikasi dari birokratisasi ini di Provinsi Jambi?
B. Birokratisasi: Suatu Tinjauan Konsep Kata birokrasi pertama sekali digunakan oleh de Gourney menjelang rejadinya revolusi Perancis yang menunjukkan tentang sebuah organisasi yang tidak becus memberikan pelayanan pada masyarakat, tidak transparan, hanya melayani kepentingan sendiri, lambat dan sebagainya.11 Namun pandangan negatif ini mampu diubah oleh seorang sosiolog Jerman, Max Weber, menjadi sebuah organisasi modern yang menjadi ujung tombak dalam pembangunan negara. Bahkan Weber menegaskan bahwa masyarakat modern sangat memerlukan birokrasi di dalam kehidupan mereka. Dengan kebutuhan ini, maka akan terjadi percepatan birokratisasi seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan negara. Oleh itu juga akan semakin meningkatnya jumlah pegawai birokrasi dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya kebutuhan tersebut.12 Pada satu sisi, pandangan Weber telah memberikan implikasi positif bagi birokrasi sehingga birokrasi menjadi organisasi handal. Walaupun demikian, pandangan positif terhadap birokrasi tidaklah selamanya benar bagi beberapa kalangan sarjana. Merton (1957) misalnya menyatakan bahwa birokrasi mempunyai karakteristik red tape dan peraturan yang kaku. Begitu juga menurut Crozier, birokrasi adalah sebuah organisasi yang tidak efesien, bentuknya kaku, informasi dan korelasi yang selalu salah dan lambat dalam tindakan.13 Pandangan Merton dan Crozier di atas, kemudian dijabarkan lagi oleh Osborne & Gabler,14 Barzelay,15 Heckscher,16 dan Osborne & Plastrik, 17 yang kemudian digolongkan sebagai kelompok post bureaucratic, mereka melihat birokrasi yang besar, bentuk institusiinstitusi yang diperintah secara komando dan pengawasan yang ketat sudah ketinggalan zaman, karena birokrasi seperti ini kaku, tidak efektif dan efisien dan sangat tidak sesuai dengan era global yang berorientasi pasar. Oleh itulah Osborne & Plastrik menekankan bahwa Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 95
birokrasi harus dipangkas agar menjadi lebih efisien dan efektif.18 Walaupun pandangan Weber dianggap berlebihan, namun dalam realitanya ternyata birokrasi telah menjamur baik dari aspek munculnya organisasi birokrasi di luar pemerintahan maupun di dalam peningkatan jumlah pegawai birokrasi. Hal inilah yang dilihat oleh Downs bahwa ada kecenderungan pemerintah untuk memperbesar jumlah pegawai birokrasinya yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pertumbuhan penduduk juga berdampak pada pertumbuhan pegawai birokrasi, munculnya spesialisasi kerja, munculnya bidang baru dalam organisasi dan sebagainya.19 Pandangan ini juga dikemukakan oleh Ever ketika menganalisis bagaimana pertumbuhan aparat birokrasi di Asia. Dia menyatakan bahwa di negara-negara Asia, selepas Perang Dunia Kedua telah terjadi peningkatan jumlah aparat birokrasi yang sangat cepat. Proses ini disebut oleh Evers sebagai “runaway bureaucratization”.20 Dengan menggunakan teori yang dibangun oleh C. Northcote Parkinson (Parkinson Law), George Orwell (orwellisasi) dan Weber,21 Ever menemukan bahwa di negara-negara Asia terdapat tiga fase percepatan birokratisasi yang disetiap proses dipengaruhi oleh faktorfaktor yang berbeda. Pada fase pertama yaitu pada akhir abad ke-19 menunjukkan ketepatan teori Parkinson dan Weber (patrimonial birokrasi), di mana percepatan birokratisasi disebabkan oleh usaha birokrat untuk memperbesar jumlah pegawainya dengan cara merekrut kaum bangsawan menjadi pegawai birokrasi.22 Selepas kolonialisme, juga terjadi percepatan birokratisasi. Di Malaysia misalnya selepas merdeka tahun 1957, jumlah pegawai birokrasi meningkat dengan pesat yang bukan hanya disebabkan oleh malaysianisasi—yaitu pergantian pegawai birokrasi dari birokrat kolonial ke tangan birokrat pribumi—tetapi juga disebabkan oleh perluasan kerja dalam kerajaan Malaysia.23 Sedangkan di Thailand, walaupun tidak pernah dijajah, peningkatan juga terjadi selepas jatuhnya monarki absolut pada tahun 1932 yang disebabkan oleh gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan penting dalam sistem pemerintahan. Ini juga dapat dilihat di Indonesia, di mana jumlah Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
96 HARIS MUBARAK
birokrat meningkat dengan tajam selepas merdeka. Proses peningkatan yang terjadi di ketiga negara ini, menurut Evers, disebabkan oleh keperluan negara untuk mempercepat pembangunan ekonomi, sehingga negara-negara ini menjadi sebuah negara bureaucratic capitalism, sebagaimana beliau nyatakan bahwa “an important Southeast Asian figuration of rapid bureaucratization is bureaucratic capitalism”.24 Walaupun melihat bahwa peningkatan ini disebabkan oleh tiga teori yang dikemukakan oleh Parkinson, Orwell dan Weber, Evers juga mencatat bahwa percepatan birokratisasi yang terlupakan oleh para sarjana dalam kasus Asia Tenggara, birokratisasi yang begitu cepat terjadi biasanya ditandai oleh sebuah revolusi ataupun sebuah konflik dalam negara baik itu dalam bentuk kekerasan maupun bukan kekerasan.25 Menurut mereka lagi, “jika berargumentasi agak berhatihati dan menggantikan revolusi dengan kerusuhan atau konflik kekerasan yang menyebabkan suatu perubahan dalam sistem politik, maka...dalam kasus Asia Tenggara kelihatannya berlangsung terus menerus”.26 Untuk kasus Malaysia misalnya percepatan birokratisasi terjadi selepas kemerdekaan, kemudian berakhirnya pemberontakan komunis dan setelah konflik antar etnik pada tahun 1969. Apa yang terjadi di Malaysia juga terjadi di Thailand, di mana selepas kudeta pada tahun 1932, jumlah birokrat meningkat dengan tajam dan ratarata jumlah birokrat meningkat sebanyak 6000 orang per tahun atau sekitar 8.1 persen.27 Gambaran yang terjadi di Malaysia ataupun Thailand juga terjadi di Indonesia, di mana kabinet pertama selepas revolusi yang dipimpin oleh Hatta jumlah aparat birokrasi meningkat dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya para pejuang yang harus diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Pengangkatan ini tidak terlepas dari usaha pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada bekas para pejuang kemerdekaan.28 Walaupun Evers tidak secara tegas menyebutkan bahwa faktor penyebab cepatnya birokratisasi di negara Asia Tenggara termasuklah Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 97
Indonesia adalah disebabkan oleh pengaruh revolusi ataupun konflik.29 Tetapi asumsi dasar penelitian ini melihat bahwa apa yang disebutkan oleh Evers serta Evers dan Schiel menunjukkan bahwa perubahan politik —terlepas dari apakah itu revolusi ataupun pemberontakan seperti yang terjadi dalam kasus di negara Asia Tenggara— telah mempercepat pertumbuhan jumlah birokrat. Untuk itu, tulisan ini mengasumsikan bahwa birokratisasi yang terjadi di Indonesia pada awal abad 21 adalah disebabkan oleh reformasi yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang mengakibatkan perubahan sistem politik di Indonesia dan ada kecenderungan bahwa peningkatan ini disebabkan oleh usaha birokrat untuk memperbesar jumlah aparat birokrasi untuk kepentingan mereka sendiri baik dari aspek nepotisme maupun aspek bisnis.
C. Birokratisasi di Era Kolonial Birokrasi di Indonesia telah ada sebelum kedatangan Belanda yang ditandai dengan adanya kekuasaan pemerintahan di era kerajaan seperti Majapahit, Sriwijaya, dan sebagainya. Di masa ini, struktur sosial masyarakat secara umunya terbagi ke dalam beberapa golongan yaitu kelas abangan, santri dan priyayi. Abangan dan santri adalah masyarakat yang berada di luar struktur organisasi birokrasi, sedangkan kaum priyayi adalah elit yang ada dalam organisasi birokrasi. Sedangkan Priyo membagi kelas ini ke dalam dua golongan, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah.30 Kelas yang memerintah ini terdiri dari kaum aristokrat (priyayi) yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan penguasa dan telah ditanamkan pada diri mereka untuk memberikan ketaatan dan kesetiaan hanya kepada penguasa.31 Di samping kelas priyayi, dalam sistem birokrasi tradisional, administrasi juga berada ditangan golongan kstaria dan ada kalanya diambil dari golongan elit religius yang kedudukannya ditentukan oleh keinginan pihak yang berkuasa.32 Pada tingkat lokal, tidak ada perbedaan dengan birokrasi yang berada dipusat, di mana para Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
98 HARIS MUBARAK
birokrat juga didominasi oleh keluarga kaum aristokrat yang diwarisi secara turun temurun dan mereka ini menjadi bupati ataupun para pembesar di daerah.33 Selain itu, rekrutmen pegawai birokrasi dan promosi jabatan tidak ditentukan oleh kemampuan birokrat, tetapi ditentukan oleh hubungan kekerabatan dengan penguasa. Para kerabat dekat raja akan mendapatkan jabatan penting di dalam sistem pemerintahan, baik itu menjadi menteri ataupun jabatan-jabatan tinggi lainnya, sedangkan birokrat lainnya harus bersaing secara individu untuk dapat dekat dengan penguasa agar memperoleh jabatan tinggi di dalam struktur hierarki organisasi birokrasi.34 Gambaran birokrasi seperti ini disebut oleh Weber sebagai birokrasi patrimonial.35 Namun ketika Belanda masuk ke Indonesia pada akhir abad ke16, birokrasi di Indonesia mulai mengalami perubahan dari birokrasi tradisional ke birokrasi kolonial. Perubahan tersebut dimulai ketika Belanda mulai mendirikan V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1603 yang tujuannya untuk memonopoli perdagangan dan pengeksploitasian sumber alam di Indonesia. Berdirinya V.O.C pada awalnya memang tidak membawa pengaruh secara langsung pada birokrasi kerajaan di Indonesia, namun semakin lama pengaruh mereka semakin besar. V.O.C yang didirikan oleh Belanda setahap demi setahap mulai menguasai sistem politik di Indonesia.36 Walaupun dari aspek politiknya V.O.C berhasil menguasai Indonesia, namun ternyata di dalam tubuh V.O.C mengalami masalah administrasi yang genting yang berdampak pada masalah keuangan perusahaan. Oleh itu, pemerintah Belanda berusaha untuk memperbaiki sistem administrasinya di Hindia Belanda dengan mengirim Hermen Willem Daendels (1808-1811) ke Batavia. Dalam reformasi V.O.C, Daendels menjalankan sistem administrasi yang terpusat dan enggan untuk menjalin kerjasama dengan penguasa lokal. Beliau saat itu bermaksud mensentralisasikan kekuasaan di Batavia dan mengkontrol sistem administrasi dan keuangan yang masih dimonopoli oleh kerajaan dan kaum aristokrat.37 Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 99
Namun belum lama Deandles memerintah, pada masa ini terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda ke Inggeris, pemerintah Inggeris menunjuk Thomas Stamford Rafles (1811-1816) untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Sebagaimana Daendles, Rafles juga menjalankan polisi liberalisasi dan berusaha untuk menghapuskan sistem feodalisme yang bertujuan untuk membangun sistem birokrasi yang handal dan dapat membawa keuntungan lebih besar kepada kolonial. Hal ini karena elit priyayi dalam pandangan Rafles hanya mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat.38 Namun program yang dilakukan oleh Daendels dan Rafles mengalami kegagalan, karena kuatnya penentangan dari raja-raja di tanah Jawa.39 Ketika Gubernur Jenderal G.A Baron van der Cappelllen (18181826) memerintah, beliau juga melakukan reformasi di dalam birokrasi Hindia Belanda. Selain elit priyayi, penguasa tanah juga ditarik sepenuhnya ke dalam struktur organisasi birokrasi dan mereka diberikan digaji sebagaimana pegawai birokrasi lainnya. Sedangkan tanah yang mereka kuasai dulu telah beralih ke tangan pengusahapengusaha bangsa Eropa. Pada tahun 1830, ketika Hindia Belanda di bawah kuasa Gabenor Jeneral J. van de Bosch (1830-1833) telah terjadi perubahan di dalam organisasi birokrasi, di mana van de Bosch mengintegrasikan sepenuhnya elit priyayi ke dalam organisasi birokrasi kolonial yang disebut dengan nama Pangreh Praja.40
Proses integrasi yang dilakukan oleh van de Bosch inilah awal terjadinya birokratisasi di Indonesia, sebagaimana disebutkan oleh Evers bahwa “Colonial bureaucratization started in Indonesia around 1830 with the new administration of Governor-General Van den Bosch and the introduction of the cultivation system.”41 Setelah berakhirnya kekuasaan van de Bosh, maka pada pertengahan abad ke 19, sedikit demi sedikit hak istimewa kaum birokrat ini mulai dihapuskan oleh pemerintah Batavia. Upacaraupacara untuk merekapun disederhanakan. Elit priyayi ini tidak lagi tampil sebagai pembesar, tetapi hanya sebagai pegawai pemerintah. Mereka dididik dan sekolah-sekolah khusus dan didirikan pula Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
100 HARIS MUBARAK
sekolah untuk anak-anak priyayi yang bertujuan untuk menggantikan kedudukan orang tua mereka menjadi birokrat.42 Di mulai dari masa inilah birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari birokrasi tradisional ke birokrasi modern. Namun birokrasi modern yang dibangun oleh kolonial masih tetap menggabungkan sistem feudalisme, di mana mereka yang duduk menjadi elit birokrat adalah elit priyayi. Kaum ini adalah kaum yang lebih maju dari kelompok politik ataupun masyarakat lainnya, karena mereka mendapat pelatihan dan pendidikan di sekolah khusus Belanda. Oleh itu, gambaran birokrasi di era kolonial ini menurut Evers tidaklah jauh dari apa yang disebutkan oleh Weber tentang birokrasi patrimonial ataupun pandangan Parkinson. Pada era ini juga menunjukkan bahwa percepatan birokratisasi dipengaruhi oleh munculnya spesialisasi kerja, disiplin dan sebagainya yang bertujuan untuk mempercepat eksploitasi sumber alam di kawasan Hindia Belanda.
D. Birokratisasi Pascarevolusi Setelah terbentuknya birokrasi modern di era kolonial Belanda, maka pada saat itu mulai terjadinya proses perekrutan aparat birokrasi oleh pihak kolonial. Di samping itu pula, pangreh praja yang direkrut diberikan kekuasaan bukan hanya dari aspek administrasi tetapi juga dari aspek politik. Tujuannya adalah untuk mengawasi pergerakanpergerakan yang terjadi di dalam masyarakat dan menjadi jembatan penghubung antara pihak kolonial dengan rakyat. Gambaran birokrat seperti ini disebut oleh Benda sebagai beamtenstaat.43 Ketika memasuki Perang Dunia Kedua, kekuatan Jepang sudah tidak dapat dibendung lagi dan pada tahun 1942, Belanda akhirnya menyerah kalah dari tentara Jepang dan sejak saat itu pula Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Walaupun terjadinya perubahan kekuasaan, namun aparat birokrasi pada saat itu mudah menyesuaikan diri dengan penguasa baru. Harve menilai bahwa Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 101
penyesuaian ini karena elit birokrat adalah golongan profesional yang mudah menyesuaikan diri dengan perubahan kekuasaan dan dapat mengabdi dengan rezim baru yang berkuasa. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan hak istimewanya dan mejaga kepentingan peribadi mereka sendiri.44 Kolonialisme di era pedudukan Jepang tidaklah begitu lama, di mana pada pertengahan tahun 1945, Jepang menyerah kalah dari tentara sekutu. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh kaum pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu pada 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam pemerintahan baru ini, pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan beberapa reformasi terhadap Pangreh Praja. Pada tahun 1946 nama Pangreh Praja diganti menjadi Pamong Praja yang bermakna birokrasi adalah pengasuh ataupun pelindung masyarakat. Birokrasi ini digambarkan seperti seorang bapak yang memberikan nasihat kepada anaknya sehingga dapat memberikan ketenangan bagi sang anak (masyarakat) dan bukan sebagai penguasa yang mengkomando. Ketika Belanda kembali lagi ke Indonesia pasca menyerahnya Jepang dari Sekutu dalam Perang Dunia Kedua. Belanda saat itu mencoba untuk memisahkan pemimpin republik dengan pendukungnya dan berusaha untuk memperkuat kedudukan birokrasi kembali sebagai penguasa. Pada tahun 1948-1949, Belanda berhasil menguasai separuh wilayah Indonesia yang ditandai dengan terbentuk sistem federalisme. Di dalam sistem federal ini, Belanda bermaksud untuk menempatkan birokrat menjadi kepala pemerintahan negeri (negara bahagian), menteri dan pejabat tinggi. Namun usaha dan niat Belanda ini mengalami kegagalan, ini disebabkan umur negara federal relatif singkat dan tidak adanya figur birokrat yang dapat dimajukan untuk memimpin negara federal yang dapat menandingi figur pemimpin republik.45 Pada masa ini juga, birokrasi mengalami hari-hari yang sangat buruk. Anderson melukiskan bagaimana koordinasi dan disiplin birokrat sangat buruk, birokrat mendapatkan perlakuan yang kurang Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
102 HARIS MUBARAK
memuaskan dari elit politik dan masyarakat. Mereka diturunkan dari kedudukannya, diculik dan bahkan dibunuh. Kedudukan dan fungsi beamtenstaat yang mereka miliki tersebut telah digantikan oleh individu-individu pemimpin politik dan religius. Hal ini tidak dapat dielakkan karena elit politik masih ragu terhadap kesetiaan para elit birokrat terhadap negara Indonesia yang baru dibentuk. Walaupun ada pandangan buruk terhadap birokrat, pada era ini, terutama sekali pada masa pemerintahan Hatta, jumlah pegawai birokrat tetap mengalami peningkatan yang signifikan. Birokratisasi telah terjadi dengan cepat sehingga mengakibatkan bengkaknya jumlah pegawai birokrasi. Salah satu faktor yang mengakibatkan pembengkakan jumlah pegawai birokrasi adalah politik balas jasa, di mana para pejuang kemerdekaan setelah Indonesia merdeka tidak mempunyai pekerjaan yang layak sehingga untuk menghindari masalah baru, maka pemerintah mengangkat mereka menjadi pegawai birokrasi. Namun dampak dari pembengkakan ini adalah pemerintah mengalami masalah keuangan negara yang serius, sehingga untuk mengatasinya, pemerintah harus memotong gaji para pegawai birokrasi untuk mengurangi beban negara. Pembengkakan ini dapat dilihat bagaimana jumlah pegawai birokrasi sebelum kemerdekaan hanya berjumlah kurang lebih 100,000 orang, namun setelah kemerdekaan jumlah pegawai birokrasi mencapai 420,000 orang.46 Faktor lainnya adalah besarnya pengaruh partai politik di dalam birokrasi telah mengakibatkan bengkaknya jumlah pegawai birokrasi. Partai Nasional Indonesia (PNI) misalnya telah menjadikan birokrasi sebagai partisan dan kader partai. Begitu juga dengan Masyumi yang melebarkan pengaruhnya ke dalam birokrasi terutama sekali di dalam Departmen Agama.47 Faktor ini disebabkan oleh elit politik ataupun pejabat birokrasi berusaha untuk memperbesar jumlah pegawai birokrasi yang dipimpinnya untuk memaksimumkan keuntungan politik mereka.48 Pengaruh-pengaruh ini kemudian berdampak pada peningkatan yang sangat tajam, di mana selama 20 tahun jumlah pegawai birokrasi Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 103
meningkat sepuluh kali lipat yaitu sebelum terjadinya Perang dunia jumlah pegawai birokrasi hanya berjumlah sekitar 40.000 orang. Pada tahun 1946, jumlah pegawai birokrat sekitar 2.500 orang dan jumlah ini meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 1968 yaitu sekitar 2.5 juta orang.49 Membesarnya jumlah pegawai birokrasi ini, tentu sahaja menimbulkan implikasi negatif kepada negara seperti negara tidak mampu untuk membayar gaji para pegawai birokrasi, terlebih lagi pada saat itu perekonomian negara belum lagi stabil dan masih dilanda krisis. Di samping itu pula, kerja-kerja birokrasi sendiri menjadi tidak efektif, terjadinya penyalahgunaan kuasa seperti korupsi, karena kurangnya pengawasan terhadap birokrasi. Pembengkakan jumlah pegawai birokrasi seperti ini disebut oleh Evers (1987) sebagai fase kedua dari proses birokratisasi di Indonesia. Keadaan ini juga sesuai dengan pandangan Parkinson maupun Orwell yang menilai bahwa pembengkakan jumlah pegawai birokrasi dikarenakan oleh faktor politik yang memperbesar kekuasaan mereka dalam birokrasi sehingga terjadinya pembengkakan jumlah pegawai birokrat. Di samping itu pula ada usaha birokrat untuk memperbasar jumlah pegawai birokrasi dibawahnya.
E. Birokratisasi di Era Orde Baru Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, maka pemerintahan baru yang diesbut dengan Orde Baru ini mulai melakukan perubahan penting di dalam organisasi birokrasi. Pemerintahan saat itu mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 yang bertujuan untuk memurnikan kembali birokrasi kepada jalannya semula sehingga birokrasi dapat memperbaiki kembali struktur birokrasi yang telah rapuh dan terbentuknya profesionalisme birokrasi. Walaupun demikian, reformasi yang dibuat oleh pemerintah terhadap birokrasi hanyalah bersifat semu, di mana birokrasi ternyata dijadikan sebagai kendaraan politik Orde Baru. Dalam masa ini telah Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
104 HARIS MUBARAK
terbangun kerjasama antara militer, birokrasi dan elit politik yang bernaung di bawah payung Golkar di dalam menjalankan kekuasaan negara. Oleh karena itulah, banyak para penganalisis yang melihat bahawa sistem pemerintahan Orde Baru adalah sistem pemerintahan birokratik. Jackson misalnya telah meletakkan konsep Bureaucratic Polity dalam Orde Baru.50 Hal ini disebabkan besarnya kekuasaan birokrasi dan tekhnokrat di dalam menjalankan kekuasaan. Walaupun militer memegang kekuasaan, namun di sekeliling kekuasaan tersebut terdiri dari elit birokrat yang turut mempengaruhi dan menjalankan kekuasaan. Birokrasi memainkan peranan penting dalam hal ini, karena merekalah yang nantinya membuat kebijakan dan mereka juga yang akan mengimplementasikannya. Satu hal yang penting juga adalah komposisi pegawai birokrasi semakin lama semakin meningkat dan dengan besarnya jumlah ini akan memudahkan elit untuk mengendarainya yang berguna untuk kepentingan kelompok mereka. McVey menyebut birokrasi Orde Baru adalah beamtenstaat yaitu sebuah organisasi birokrasi yang mirip dengan organisasi birokrasi di akhir pemerintahan Belanda di Indonesia yang dipergunakan untuk mengeksploitasi sumber alam dan menjaga kepentingan politik kolonial.51 Beberapa sarjana pula menyebutkan pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan bureaucratic authoritarian, 52 bureuacratic pluralism53 dan sebagainya. Gambaran bahwa pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan birokrasi adalah tidak terlepas ketika Soeharto dan militernya masuk ke dalam struktur organisasi birokrasi. Pemerintah saat itu membuat peraturan-peraturan yang mengawal ketat agar Pegawai Negeri Sipil tidak terlibat dalam kegiatan partai politik. Namun peraturan yang dibuat hanya bertujuan untuk mengendalikan aktivitas politik pejabat-pejabat pemerintah dengan meletakkan semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam sebuah organisasi yang disebut dengan Korpri (Korp Pegawai Negeri Republik Indonesia), sehingga dari tingkat atas sampai tingkat paling bawah, seluruh Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 105
pegawai birokrasi dapat dikontrol oleh pemerintah.54 Oleh karena itu pula, tidak mengherankan jika Evers menghubungkan birokrasi dan ekonomi yang menyebabkan peningkatan jumlah pegawai birokrasi di Indonesia.55 Segala usaha untuk memurnikan birokrasi adalah sebuah politik belaka. Di Samping itu pula, pemerintah Orde Baru juga memperbesar jumlah birokrat yang tujuannya untuk mendukung segala kepentingan politik pihak yang berkuasa dan untuk mengontrol dan mendominasi dalam bidang ekonomi. Proses birokratisasi di awal pemerintahan Orde Baru juga disebabkan oleh peningkatan ekonomi Indonesia pada saat itu, di mana eksplorasi minyak di beberapa kasawan Indonesia telah meningkatkan ekonomi negara. Negara dalam hal ini membuka peluang pekerjaan kepada masyarakat untuk menjadi pegawai negeri yang bertujuan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Oleh karena itu, proses percepatan birokratisasi di Indonesia adalah disebabkan oleh perubahan-perubahan penting di dalam sistem politik. Hal ini dapat dilihat dari sejak kolonial kemudian di era revolusi dan seterusnya peralihan kekuasaan dari Seokarno ke Soeharto yang kesemuanya tetap menggunakan birokrasi untuk kepentingan kelompok tertentu.
F. Birokratisasi di Era Otonomi dan Demokrasi Lokal di Jambi Penggemukan aparat birokrasi di Indonesia secara umumnya dan di Jambi khususnya masih berlangsung. Kondisi ini tentu saja menjadi tanda tanya apa yang menjadi penyebab terjadinya birokratisasi di Indonesia secara umumnya dan di Jambi secara khusunya? Jika melihat apa yang disebutkan oleh Evers bahwa percepatan birokratisasi di negara Asia dipengaruhi oleh revolusi ataupun konflik,56 maka dalam kasus Indonesia, tidaklah jauh dari pandangan ini, di mana setelah perubahan politik dari demokratik otoriter ke demokrasi yang terjadi pada tahun 1997/1998 telah meningkatkan jumlah pegawai birokrasi. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
106 HARIS MUBARAK
Birokratisasi pasca reformasi tidaklah seperti proses birokratisasi pada era sebelumnya, di mana proses birokratisasi berjalan lambat namun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003, jumlah pegawai negeri di Indonesia mencapai 3.6 juta orang, jumlah ini terus meningkat mencapai 4.6 juta orang pada tahun 2009.57 Ini menunjukkan bahwa setiap tahunnya jumlah PNS meningkat 600 ribu orang. Tabel Pertumbuhan Jumlah PNS Setiap Tahun
Sumber: http://www.bkn.go.id/in/statistik/pertumbuhan-jumlahpns: 6 Desember 2010 Reformasi pada tahun 1997/1998 telah merubah sistem politik Indonesa yang salah satu perubahannya adalah terbentuknya sistem baru dalam hubungan pusat dan daerah. Jika pada era Orde Baru sistem politik Indonesia adalah sentralistik, maka berakhirnya Orde Baru, pemerintah telah memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur diri mereka sendiri yang didasarkan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan di daerah dan UndangUndang No. 25 Tahun 1999 tentang pembagian keuangan antara pusat dan daerah. Dengan terbukanya peluang ini, sejak diberlakukannya otonomi pada tahun 2001, maka sejak saat itu pula proses rekrutmen pegawai Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 107
negeri mulai berjalan dan setahap demi setahap pemerintah daerah membuka peluang yang besar kepada masyarakat untuk menjadi abdi negara. Peluang ini bukan saja terjadi dalam proses rekrutmen regular yang dibuka setiap tahunnya, tetapi juga terjadi pengangkatan tenaga kerja honorer. Namun proses rekrtumen pegawai negeri tidaklah begitu cepat pada awal-awal otonomi daerah. Proses rekrutmen yang lebih cepat mulai dirasakan setelah empat tahun dilaksanakannya otonomi dan demokrasi lokal di Jambi. Jika dilihat sejak reformasi tahun 1997/1998, jumlah pegawai negeri di Provinsi Jambi tahun 1999 adalah 60.724 orang. Empat tahun setelah dilaksanakannya otonomi daerah pada tahun 2001, jumlah pegawai negeri pada tahun 2005 meningkat menjadi 62.330 dan ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2008 sebanyak 69.318 dan 71218.58 Peningkataan ini pada awal tahun 2000-2005 masih berjalan lambat, di mana pada tahun 2002 misalnya jumlah pegawai negeri secara nasionalnya adalah 3,823,086 dan pada tahun 2003 hanya 3,648,005. Peningkatan jumlah pegawai negeri meningkat secara nasionalnya dimulai ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Di Jambi sendiri peningkatan ini juga terjadi setelah dilaksanakannya otonomi daerah dan menjelang pemerintahan Zulkifli Nurdin kedua pada tahun 2005. Oleh karena itu, birokratisasi yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah dimulai ketika pemilu kedua setelah reformasi baik pada tingkat nasional maupun lokal. Dalam hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa terjadinya proses birokratisasi yang relatif lebih cepat dibandingkan 4 tahun pertama sejak dibelakukanya otonomi daerah, faktor tersebut dikarenakan pertama kebijakan pemerintah pusat tentang otonomi daerah yang kemudian diikuti oleh desentralisasi politik telah membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap birokratisasi di daerah. Hal ini karena pemerintah daerah telah diberikan kesempatan oleh pemerintah pusat untuk merekrut pegawai birokrasi sendiri sesuai kebutuhan daerah berdasarkan kepada Peraturan Pemerintah No. 96 tahun 2000 tentang wewenang, Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
108 HARIS MUBARAK
pengangkatan dan pemberhentian Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2000 Tentang formasi penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Sejak diberlakukannya kedua undang-undang tersebut telah membuka kesempatan kepada daerah untuk mengangkat birokrat yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Pengangkatan ini tidak terlepas dari pengaruh sistem pemerintahan sebelumnya, di mana sistem sentralisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat telah mengakibatkan kekurangan tenaga birokrat di daerah. Ini karena 90 persen pegawai negeri adalah pegawai pusat dan hanya 10 persen yang dimiliki oleh daerah, sehingga pemerintah pusat tidak mengetahui kebutuhan-kebutuhan tenaga di daerah. Dampak dari kekurangan yang terjadi sebelumnya, maka daerah melakukan perekrutan tenaga honorer untuk membantu tugas-tugas di daerah. Di seluruh Indonesia jumlah tenaga honorer telah mencapai 1 juta orang.59 Jumlah ini belum lagi terhitung dengan mereka yang tidak mendapat SK dari pemerintah ataupun hanya diangkat oleh pejabat-pejabat birokrat yang dipekerjakan untuk membantu tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu dapatlah difahami bahwa peningkatan jumlah aparatus negara di daerah disebabkan oleh kesalahan pemerintah pusat pada masa sebelumnya yang menerapkan sistem sentralisasi sehingga mengakibatkan kekurangan tenaga di daerah. Dengan demikian, dapat difahami bahwa pandangan Weber tentang birokratisasi karena kebutuhan tenaga baru dalam mempercepat proses pembangunan ataupun pelayanan publik60 masih tetap berlaku di Indonesia. Tidak ada istilah de-birokratisasi dalam sistem pemerintahan daerah khususnya di Jambi sebagaimana pandangan Osborne & Gabler ataupun pandangan kaum post bureaucracy lainnya yang menganjurkan penciutan jumlah pegawai birokrat untuk mengefektifkan dan mengefesiensikan kerja birokrasi.61 Jika diperhatikan di provinsi Jambi, jumlah pegawai negeri sebelum terjadinya otonomi daerah hanya berjumlah 60.724 pada tahun 1999. Namun setelah terjadinya reformasi dan dilaksanakannya Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 109
otonomi dan demokrasi lokal maka setahap demi setahap jumlah pegawai negeri di Jambi bertambah jumlahnya, di mana pada tahun 2005, birokrat di Jambi berjumlah 62.330, kemudian meningkat lagi menjadi 69.318 pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 jumlah pegawai negeri di provinsi Jambi mencapai 71218.62 Di samping itu pula, pemerintah pusat juga membuat kebijakan untuk memindahkan pegawai birokrasi pusat ke daerah. Sejak tahun 2001, pemerintah pusat telah mentransfer 2.355.435 pegawai negeri ke daerah. Dari kurang lebih 3 juta orang pegawai negeri yang dipindahkan, ke tingkat provinsi hanya sekitar 464.447 orang, sedangkan 2.537.687 pegawai negeri ditempatkan di kabupaten. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ini akhirnya berdampak pada pembengkakan jumlah pegawai di daerah. Walaupun ini tidak mempengaruhi jumlah pegawai negeri pada tingkat nasional secara umumnya. Sedangkan jumlah pegawai pusat sendiri setelah 2003 telah turun sekitar 25 persen.63 Faktor kedua adalah disebabkan oleh faktor pemekaran daerah. Sejak reformasi pemekaran daerah di Indonesia meningkat dengan drastis. Jika sebelum reformasi jumlah provinsi di Indonesia hanya 27 provinsi, maka setelah reformasi telah meningkat mencapai 31 provinsi pada tahun 2003 dan pada pada tahun 2004 telah terdapat 33 provinsi. Pada tingkat kabupaten pula, pemekaran lebih banyak terjadi dan telah mencapai 100 persen. Jika sebelum reformasi, jumlah kabupaten pada tahun 1996 adalah 287, maka sejak reformasi jumlah ini meningkat mencapai 341 pada tahun 2000 dan pada tahun 2004 telah mencapai 440 dan sekarang telah mencapai di atas 500 kabupaten.64 Peningkatan ini tentu saja membawa pengaruh terhadap peningkatan jumlah pegawai birokrasi di daerah. Ini disebabkan daerah baru perlu membentuk institusi-institusi baru seperti dinasdinas dan DPRD yang baru serta pegawai negeri baru yang pula untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.65 Di Jambi sendiri saat ini telah dimekarkan sejumlah kabupaten sehingga menjadi kabupaten baru, seperti kabupaten Tebo adalah Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
110 HARIS MUBARAK
hasil pemekaran dari kabupaten Bungo, kabupaten Muaro Jambi hasil pemekaran dari Batang Hari, Tanjung Jabung Barat dan Timur juga hasil pemekaran dari kabupaten Tanjung Jabung dan kabupaten kerinci memunculkan kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Sejak diberlakukannya pemekaran daerah sejak tahun 20012005, peningkatan jumlah pegawai negeri di daerah yang baru memang belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Faktor ini menurut Bappenas (2008) karena biasanya daerah yang baru dimekarkan hanya merekrut birokrat yang berasal dari daerah induk dan belum merekrut anggota birokrat baru. Jikapun ada maka birokrat yang direkrutpun hanya terbatas. Hal ini juga terkait dengan kualitas daripada aparatur nantinya, di mana di daerah baru memerlukan aparatur yang telah berpengalaman di dalam menjalankan sistem administrasi yang masih baru. Selain itu, faktor ekonomi di daerah baru juga masih belum stabil. Namun kondisi ini tidaklah bertahan lama, di mana beberapa tahun setelah pemekaran, kabupaten-kabupaten baru ini telah merekrut banyak pegawai negeri untuk mengisi jabatan-jabatan kosong terutama sekali di bidang kesehatan dan pendidikan. Di bidang kesehatan misalnya dari hasil penelitian Bappenas menunjukkan bahwa di daerah pemekaran di Indonesia termasuklah di Jambi menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata mencapai 10 persen.66 Faktor ketiga adalah kecenderungan seperti yang disebutkan oleh Parkinson Law dan Weber tentang demokrasi patrimonial bahwa ada kecenderungan birokrasi untuk memperbesar jumlah pegawai birokrasi dan kecenderungan birokrasi untuk membuka jabatanjabatan baru ataupun kerja-kerja baru dalam organisasi birokrasi. Walaupun jabatan ataupun kerja-kerja tersebut kurang bermanfaat dampaknya bagi organisasi birokrasi ataupun bagi masyarakat. Gejala birokratisasi di Jambi tidaklah jauh dari apa yang disebutkan oleh Parkinson ataupun birokrasi patrimonial Weber. Sejak diberlakukannya otonomi daerah terlihat birokrasi lokal berusaha untuk membesar jumlah birokrasi dan mengangkat pegawai Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 111
birokrasi berdasarkan nepotisme maupun kolusi. Kencenderungan ini terlihat bagaimana proses rekrutmen tenaga baru bagi birokrasi selalu diwarnai ketidakpercayaan masyarakat terhadap organisasi birokrasi. Isu yang dimulai dari pembukaan formasi sampai pada proses rekrutmen, baik itu ketika di masa pemerintahan Gubernur Zulkifli Nurdin yang berakhir pada tahun 2010, maupun pada masa pemerintahan pertama Gubernur Hasan Basri Agus pada tahun 2010, tentang nepotisme dan kolusi telah tersebar luas dan menjadi rahasia umum yang tidak terbantahkan lagi. Di samping itu, membeli kursi untuk menjadi calon pegawai negeri juga menjadi masalah sentral di dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri yang sampai saat ini telah berkisaran ratusan juta rupiah yang akhirnya menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Isu ini mengental ketika didesentralisasikannya kekuasaan oleh pemerintah pusat ke daerah. Di Jambi sendiri, membeli lowongan untuk menjadi calon pegawai negeri tidak kalah jauh dari permasalahan nepotisme dan sampai saat ini masih belum dapat diberantas. Ini menunjukkan bahwa gejala-gejala birokratisasi di daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah telah menjadi ajang bagi pejabat birokrat untuk membesar jumlah aparat birokrasi, walaupun kebutuhan tenaga birokrasi tidak banyak membawa manfaat bagi jalannya organisasi birokrasi.
G. Dampak Birokratisasi di Era Otonomi dan Demokrasi Lokal Pertumbuhan aparat birokrasi pada satu sisi memberikan implikasi positif bagi masyarakat seperti yang disebutkan oleh Weber bahwa masyarakat modern sangat memerlukan birokrasi untuk mengurusi masalah-masalah masyarakat.67 Persoalan ini juga dapat dilihat di Indonesia umumnya dan di Jambi khususnya, di mana sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah memerlukan tenaga yang lebih besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, mempercepat pelayanan terhadap masyarakat dan sebagainya. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
112 HARIS MUBARAK
Sebagai contoh, sejak diberlakukannya otonomi daerah porsi terbesar penerimaan aparatur negara difokuskan terhadap bidang pendidikan dan kesehatan. Menurut Bappenas, sejak diberlakukannya otonomi daerah baik itu di kabupaten ataupun di daerah pemekaran, jumlah aparatur negara di bidang pendidikan dan kesehatan meningkat dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh dorongan dari pejabat politik untuk meningkatkan porsi guru dan tenaga kesehatan untuk melayani kepentingan sosial masyarakat.68 Peningkatan jumlah pelayan publik di bidang kesehatan, menurut Bappenas, merupakan program pemerintah nasional tetapi juga memerlukan bantuan pemerintah daerah untuk mencapai citacita development millennium goals. 69 Begitu juga di bidang pendidikan, di mana perlunya peningkatan jumlah tenaga pengajar di daerah-daerah terutama sekali di daerah yang baru atau daerah yang pisah dari daerah induk. Walaupun pada satu sisi membawa dampak positif bagi daerah, namun pada sisi lain membawa dampak negatif, di antaranya adalah besarnya jumlah pegawai negeri menyulitikan pemerintah untuk mengontrol kualitas, kedisiplinan dan akuntabilitas pegawai negeri. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kedisiplinan dan akuntabilitas birokrasi menjadi permasalahan dalam negara bukan hanya di tingkat pusat tetapi juga di tingkat nasional. Menurut Miftah, sejak reformasi pada tahun 1999 dan diberlakukannya otonomi dan demokrasi lokal, masalah akuntabilitas, efisiensi dan sebagainya masih belum ada perbaikan70 dan bahkan Rohdewohld (2003) menyebutkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia tidak menunjukkan percepatan sama sekali jika dibandingkan dengan reformasi di bidang lain, reformasi birokrasi adalah yang paling lambat. Dalam tulisan Rohdewohld (2003) yang berjudul “decentralisation and the Indonesian bureaucracy: major change, minor impact?,” sudah terlihat jelas bahwa reformasi besar yang dicanangkan terhadap organisasi birokrasi baik itu pada tingkat pusat maupun lokal ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, reformasi masih berjalan di tempat dan usaha untuk memperbaiki Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 113
organisasi birokrasi adalah untuk kepentingan politik semata. Di daerah sendiri menurut Rohdewohld ternyata dari aspek kualitas pegawai negeri ataupun birokrat tidak menunjukkan perbaikan.71 Di samping itu efektivitas dan efisiensi juga tidak terbentuk, kerja yang dibuat oleh birokrat tidak sistematis dan bahkan rendahnya akuntabilitas pegawai negeri. Di Jambi sendiri, masalah efisiensi, akuntabilitas, kedisiplinan masih menjadi permasalahan dalam organisasi birokrasi. Berbagai usaha untuk mereformasi birokrasi yang selalu dilontarkan oleh pemerintah daerah masih belum mampu membangun birokrasi yang cekap, mapan dan bersih. Malah sebaliknya, Jambi menjadi sebuah provinsi yang masih menyimpan masalah. Sebagai contoh Jambi masuk dalam kategori provinsi terkorup dalam kasus korupsi di Indnesia pada tahun 2010 berdasarkan dari Survey Indonesian Corruption Watch (ICW). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pegawai negeri sipil di provinsi Jambi masih belum menunjukkan perbaikan. Masuknya Jambi dalam dafter provinsi terkorup di Indonesia dapat dilihat banyaknya pejabat yang masuk penjara karena kasus korupsi, seperti Sekda Jambi pada masa pemerintahan Zukifli Nurdin kedua. Kasus lainnya adalah kasus dugaam penyimpangan dana APBD sebesar 15 miliyar di Setda Muaro Bungo dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang melanda birokrat Jambi.72 Kasus-kasus korupsi ini mengindikasikan bahwa pejabat politik tidak mampu mengontrol kinerja birokrasi termasuklah anggota-anggotanya. Hal ini karena anggota birokrasi yang besar akan sukar dikontrol baik kesiplinan, akuntabilitas maupun moralnya. Di samping itu, dampak lain dari birokratisasi adalah besarnya susunan kelembagaan dan terdapat tugas dan fungsi yang sama yang harus dijalankan oleh birokrat, sebagaimana Miftah menjelaskan bahwa di dalam organisasi birokrasi terutama sekali di dalam susunan kelembagaan masih saja menunjukkan ketidakefisienan yang disebabkan oleh besarnya organisasi birokrasi, di mana banyak susunan kelembagaan masih menangani tugas yang sama dan fungsi Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
114 HARIS MUBARAK
yang sama. Besarnya susunan kelembagaan ini juga didukung oleh pejabat yang besar sehingga menghabiskan anggaran pemerintah yang besar juga.73 Persoalan susunan kelembagaan di Provinsi Jambi juga menjadi satu masalah yang harus dilihat. Dalam hal ini terdapat beberapa jabatan di dalam organisasi birokrasi di Jambi yang mempunyai fungsi atau kerja dengan organisasi birokrasi lainnya. Sebagai contoh dalam pengurusan masalah Kerluarga Berencana misalnya, pada dasarnya telah ada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang merupakan organisasi yang mengurusi masalah Keluarga Berencana di Indonesia. Badan ini juga mempunyai perwakilan-perwakilan di setiap daerah. Namun yang menarik, selain ada BKKBN yang mengurusi masalah keluarga berencana, pada tingkat pemerintahan daerah juga adalah Biro Kesra yang salah satu tugasnya ikut dalam pengkoordinasian keluarga berencana. Di samping itu pula di bidang penyuluhan agama juga terdapat di dalam pemerintahan daerah, jika dikaji secara mendalam Kementerian Agama pada dasarnya merupakan suatu organisasi birokrasi yang mengurusi masalah-masalah keagamaan baik dalam skala nasional maupun lokal. Di Jambi sendiri, Kemenag yang merupakan organisasi birokrasi yang mengurusi masalah keagamaan telah menetapkan tujuan dari Kemenag Jambi adalah untuk terwujudnya masyarakat yang taat, maju sejahtera dan cerdas.74 Tujuan ini tentu saja telah mencakup seluruh aktivitas dalam bidang keagamaan di provinsi Jambi dan tanggung jawab semua masalah yang terjadi dalam bidang keagamaan di Jambi ada ditangan Kemenag. Jika masalah KB dan keagamaan ini juga ditangani oleh Pemda, tentu menjadi tanda tanya, apa tugas birokrat Pemda di dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh KB? Jika hanya sebagai bentuk pengkoordinasioan, maka apakah ini bisa berjalan efektif? Inilah yang menjadi permasalahan di dalam organisasi Pemda yang sebagaimana pula disebutkan oleh Miftah di atas, di mana masih banyak tumpah tindih kerja ataupun fungsi kelembagaan di dalam organisasi Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 115
pemerintahan. Dampak lainnya dari proses birokratisasi ini adalah munculnya proses rekrutmen birokrat yang tidak bersih dan murni yang dimulai dari penentuan porsi dan jabatan yang akan diisi oleh birokrat baru sampai kepada saat proses rekrutmen birokrat.Kecenderungan untuk memperbesar anggota birokrasi seperti yang disebutkan dalam teori Parkinson ataupun birokrasi patrimonial Weber telah membawa dampak buruk bagi proses rekrutmen tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, selain isu nepotisme dan kolusi di dalam rekrutmen pegawai negeri adalah isu etnosentrisme. Isu ini berkembang bukan hanya di Jambi tetapi juga merebak ke berbagai daerah di Indonesia. Agus menjelaskan bahwa isu rekrutmen pegawai negeri banyak sekali disebabkan oleh faktor kekeluargaan dan sedangkan dalam bentuk lain adalah muncul isu putra daerah untuk mengisi jawatanjawatan tertentu dalam organisasi birokrasi.75 Isu putra daerah sendiri juga melanda Jambi sejak otonomi daerah. Pada awal-awal pemerintahan Zulkifli Nurdin, isu putra daerah begitu mengental sehingga orang luar ataupun yang bukan berasal dari daerah tersebut tidak akan lulus menjadi pegawai negeri. Di kabupaten-kabupaten di provinsi Jambi sendiri juga tidak terlepas dari isu-isu seperti ini sebagai contoh orang Sarolangun tidak akan bisa menjadi pegawai negeri di daerah lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini biasanya ditandai dengan KTP ataupun identitas lain yang harus dimiliki oleh seseorang yang berdomisili di tempat rekrtutmen calon pegawai negeri tersebut. Dengan demikian, menunjukkan bahwa birokratisasi di provinsi Jambi walaupun membawa dampak positif bagi pemerintah terutama di dalam mempercepat pelayanan publik tetapi ia juga membawa dampak negatif yang harus menjadi perhatian daripada pemerintah. Karena dampak negatif ini akan memperburuk pelayanan publik di daerah.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
116 HARIS MUBARAK
H. Kesimpulan Birokratisasi yang terjadi di Indonesia terjadi sejak era kolonialisme yang ditandai oleh permasalahan genting yang terjadi dalam negara baik itu berupa revolusi maupun konflik. Perubahan-perubahan ini biasanya akan merubah wajah politik negara dan seterusnya dapat membawa dampak terhadap birokratisasi, seperti yang terjadi pasca revolusi kemerdekaan pada tahun 1950 yang berujung kepada pembengkakan jumlah birokrat akibat politik balas jasa pemerintah kepada para pejuang. Begitu juga yang terjadi ketika berakhirnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 dan berdirinya pemerintah Orde Baru, sehingga pemerintahan Orde Baru disebut oleh kalangan sarjana sebagai negara birokratik karena besarnya dan dominannya birokrasi dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Keadaan ini juga berlaku ketika reformasi pada tahun 1997/1998 yang berdampak pada peningkatan jumlah pegawai negeri. Walaupun tidak secepat era sebelumnya, namun gejala-gejala percepatan birokratisasi terlihat sejak berjalannya otonomi dan demokrasi lokal. Hal ini disebabkan pemerintah pusat memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk merekrut pegawai negeri sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah. Di samping itu, juga disebabkan oleh pemekaran daerah yang semakin marak terjadi. Daerah yang dimekarkan tentunya memerlukan tenaga baru untuk mengurusi masalah-masalah di daerah tersebut. Selain itu munculnya spesialisasi kerja dikarenakan otonomi daerah memunculkan gajala parkinsonisasi, di mana birokrasi berusaha memperbesar jumlah birokrat untuk kepentingan mereka sendiri. Dampak dari masalah ini adalah kesukaran pemerintah untuk mengontrol kedispilinan, akuntabilitas, efesiensi dan efektivitas birokrat. Hal ini terlihat bagaimana banyak kasus korupsi yang melanda birokrat di Jambi. Kemudian juga muncul permasalahan tumpang tindihnya bidang kerja dalam organisasi birokrasi. Gejalagejala seperti ini setidaknya menjadi perhatian serius dari pemerintah dan perlu perbaikan pada masa akan datang, sehingga tidak Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 117
membawa dampak negatif yang lebih besar yang akhirnya merugikan negara. Catatan: 1. Hans-Dieter Evers, “The Bureaucratization of Southeast Asia”, Comparative Studies in Society and History, 29, 4 (1987): 666-685. Peristiwa 13 Mei sebuah peristiwa konflik berdarah yang terjadi di Malaysia yaitu konflik antara etnik Melayu dengan etnik China. Permasalahan muncul karena ketidakpuasan masyarakat Melayu terhadap etnik China yang dari aspek ekonomi lebih maju dari masyarakat Melayu. Di samping itu pula, masyarakat China juga tidak puas atas sikap pemerintah Malaysia yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada masyarakat Melayu. Untuk lanjut mengenai penjelasan ini, lihat Diane Mauzy, “Malaysia: Malay Political Hegemony and ‘Coercive Consociationalism’”, dalam John McGarry and Brendan O’Leary (eds.) The Politics of Ethnic Conflict Regulation: Case Studies of Protracted Ethnic Conflict, (London: Routledge, 1993), hlm. 106-127; National Operations Council National Operations Council, May 13 Tragedy: A Report of the National Operations Council, (Kualalumpur: Government Press, 1969); Goh Cheng Teik, The May Thirteenth Incident and Democracy in Malaysia, (Kualalumpur: Oxford University Press, 1971); John Slimming, Malaysia: Death of a Democracy, (London: John Murray, 1969). 2. Birokratisasi dalam tulisan ini adalah bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan istilah dan bukan istilah munculnya birokrasi-birokrasi di luar organisasi birokrasi pemerintahan seperti birokrasi dalam organisasi swasta. 3. Hans-Dieter Evers & Tilman Schiel, Kelompok-kelompok Strategis Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), hlm. 236. 4. Evers dan Schiel, Kelompok-kelompok Strategis, hlm. 237-241. 5. Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 673. 6. Lihat http://www.bkn.go.id/in/statistik/pertumbuhan-jumlah-pns: 9 November 2010. 7. Evers, “The Bureaucratization”. 8. Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, editor H.G Gerth & Wright Mill, (NewYork: Oxford University Press, 1970). 9. Evers, “The Bureaucratization”. 10. Laporan Badan Pusat Statistik 1999, 2008, dan 2010. 11. Martin Albrow, Bureaucracy, (London: MacMillan, 1970). 12. Lihat Weber, From Max Weber; Richard Swedberg & Ola Agevall, The Max Weber Dictionary: Key Words and Central Concepts, (Stanford, Calif.: Stanford Social Sciences, 2005), hlm. 18-19. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
118 HARIS MUBARAK 13. M. Crozier, The Bureaucratic Phenomenon, (London: Tavistock, 1964). 14. David Osborne & Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992). 15. M. Barzelay, Breaking through Bureaucracy, (Barkeley: University of California Press, 1992). 16. C. Heckscher, “Defining the Post-Bureaucratic Type”, dalam Charles Heckscher & Anne Donnelon (ed.), The Post-Bureaucratic Organization, (Thousand Oaks: Sage, 1994), hlm. 14-62. 17. David Osborne & Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, (Jakarta: Ramelan, 2000). 18. Osborne & Plastrik, Memangkas Birokrasi. 19. Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1967). 20.Evers, “The Bureaucratization”. 21. Parkinson Law menyatakan bahwa pegawai birokrat mempunyai kecenderungan untuk memperbanyak jumlah birokrat dan semua pegawai membuat pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting untuk mereka. Weber menyebutkan bahwa peningkatkan jumlah pegawai birokrat dikarenakan peraturan, spealisasi kerja dan sebagainya sehingga diperlukan jumlah pegawai yang besar. Sedangkan Orwellisasi menyebutkan bahwa ada kecenderungan pemerintah untuk memperbesar jumlah pegawai negeri untuk mengontrol sumber ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu semakin besar jumlah pegawai negeri maka semakin mudah bagi pemerintah untuk mengontrolnya. Evers, “The Bureaucratization”. 22. Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 670. 23. Evers, “The Bureaucratization”. 24. Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 683. 25. Evers, “The Bureaucratization”; Evers dan Schiel, Kelompok-kelompok Strategis. 26. Evers dan Schiel, Kelompok-kelompok Strategis, hlm. 237. 27. Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 676; Evers dan Schiel, Kelompokkelompok Strategis. 28.Evers, “The Bureaucratization”; Evers dan Schiel, Kelompok-kelompok Strategis. 29. Evers sangat berhati-hati dalam menilai bahwa faktor penyebab terjadinya percepatan birokratisasi salah satunya disebabkan oleh revolusi ataupun konflik. Kehatian-hatian Evers disebabkan oleh banyak peristiwa terjadinya percepatan birokratisasi bukan terjadi karena revolusi tetapi terjadi oleh faktor lainnya. Lihat Evers, “The Bureaucratization”. 30.Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Sruktural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 38. 31. Donald K. Emerson, “Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”, Asian Survey 23, 11, (1983), hlm. 33. Elit priyayi menurut Ricklefs dalam sejarah Indonesia dapat dibagi dalam Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 119 dua kelompok, yaitu elit priyayi yang terbentuk secara tradisional yang diperolehinya secara turun temurun dan kemudian elit priyayi yang terbentuk karena kemampuan mereka sehingga mereka menjadi kelompok bangsawan baru. Kedua kelompok ini dalam sejarah Indonesia baik itu di era kolonial Belanda, Jepang dan bahkan ketika Indonesia merdeka, telah menjadi tulang punggung pemerintahan. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 280. 32. Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 122. 33. Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, (Singapore: Published for the Asian Studies Association of Australia by Heinemann Educational Books, 1979), hlm. 3; Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 84. 34. Akhmad, Perilaku Birokrasi. 35. Weber, From Max Weber. 36. D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 105. 37. Sutherland, The Making, hlm. 7. 38.Akhmad, Perilaku Birokrasi, hlm. 90. 39. Lombard, Nusa Jawa, hlm. 74. 40.Sutherland, The Making, hlm. 11. Di dalam artikel 67 dan 69 disebutkan tentang definisi posisi daripada pangreh praja, yaitu: insofar as circumstances permit, the native population is to be left under the supervision of its own, government appointed or-recognized chief, subject to such higher supervision as shall be fixed by general or particular order of the Governor General. Lihat Sutherland, The Making, hlm. 12. 41. Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 669. 42. Lombard, Nusa Jawa, hlm. 107. 43. Harry J. Benda, The Pattern of Administrative Reform in the Closing Years of Dutch Rule in Indonesia, Journal of Asian Studies 25, 4, (1966), hlm. 589-605. 44.Barbara S. Harve, “Diplomacy and Armed Struggle in the Indonesian National Revolution: Choice and Constraint in a Comparative Perspective”, dalam Daniel S. Lev, George McTurnan Kahin, dan Ruth Thomas McVey (eds.), Making Indonesia, (Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University, 1996), hlm. 69. 45. Sutherland, The Making, hlm. 155. 46.Evers, “The Bureaucratization”, hlm. 677. 47. M. Walker & I. Tinker, “Development and Changing Bureaucratic Styles in Indonesia: The Case of the Pamong Praja, Pacific Affairs, 48, 1 (1975), hlm. 62. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
120 HARIS MUBARAK 48.Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1962), hlm. 82. 49.Emmerson, “Understanding the New Order”, hlm. 87-88. 50.D. Karl Jackson, Bureaucracy Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia, (California: University of California Press, 1978). 51. R. McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, dalam B. Anderson & A. Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Interim Reports Series No. 62, Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University (1982), hlm. 84-91. 52. Dwight Y. King, “Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity: A Neopatrimonialism or Bureaucratic Authoritarian”, dalam Benedict Anderson & Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesia Politics: Thirteen Contributions to the Debate, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982), hlm. 104-116. 53. Emmerson, “Understanding the New Order”. 54. R.W. Liddle, “Participation and the Political Parties”, dalam Karl D. Jackson & Lucian W. Pye (eds.), Political Power and Communications in Indonesia, (London: University of California Press, 1978), hlm. 4042. 55. Evers, “The Bureaucratization”. 56. Evers, “The Bureaucratization”. 57. Lihat http://www.bkn.go.id/in/statistik/pertumbuhan-jumlah-pns: 6 Desember 2010. 58. Laporan BPS 1999, 2005, 2007, dan 2008. 59. S. Kristiansen & Muhid Ramli, “Buying an Income: The Market for Civil Service Positions in Indonesia”, Contemporary Southeast Asia, 26, 2 (2007), hlm. 216. 60.Weber, From Max Weber. 61. Osborne & Gabler, Mewirausahakan Birokrasi. 62. Laporan BPS 1999, 2005, 2007, dan 2008. 63. Siti Zuhro, “Pokok-pokok Pikiran Kepegawaian Daerah”, http:// desentralisasi.org/makalah/Kepegawaian/RSitiZuhro: 26 November 2010. 64.Agus Pramusinto, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Pasca-Soeharto”, dalam Leo Agustino (ed.), Politik dan Perubahan antara Reformasi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 45-46. 65. Agus, “Birokrasi Pemerintahan”, hlm. 49. 66.Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas), Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, (Jakarta: Building and Reinventing Decentralised Governance, 2008). 67. Weber, From Max Weber. 68.Bappenas, Studi Evaluasi, hlm. 21 dan 24. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 121 69.Bappenas, Studi Evaluasi, hlm. 24. 70. Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Pemerintahan”, http:// www.goodgovernance-bappenas.go.id/peristiwa_files/: 26 November 2010. 71. Rainer Rohdewold, “Decentralization and the Indonesian Bureaucracy: Major Change, Minor Impact?”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (eds.). Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 259-274. 72. Antara News, “Kejaksaan Telusuri Korupsi APBD Bungo Rp15 Miliar”, http://www.antaranews.com/berita/1267485229/kejaksaan-telusurikorupsi-apbd-bungo-rp15-miliar: 5 Januari 2011. 73. Miftah, Reformasi Birokrasi, hlm. 10. 74. http://jambi.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=tujuankemenag. 6 Desember 2010. 75. Agus, “Birokrasi Pemerintahan”, hlm. 49-51.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
122 HARIS MUBARAK
DAFTAR PUSTAKA Agung, Anak Agung Gde Putra, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 122. Albrow, Martin, Bureaucracy, (London: MacMillan, 1970). Antara News, “Kejaksaan Telusuri Korupsi APBD Bungo Rp15 Miliar”, http://www.antaranews.com/berita/1267485229/kejaksaantelusuri-korupsi-apbd-bungo-rp15-miliar: 5 Januari 2011. Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas), Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, (Jakarta: Building and Reinventing Decentralised Governance, 2008). Barzelay, M., Breaking through Bureaucracy, (Barkeley: University of California Press, 1992). Benda, Harry J., “The Pattern of Administrative Reform in the Closing Years of Dutch Rule in Indonesia”, Journal of Asian Studies 25, 4, (1966): 589-605. Crozier, M., The Bureaucratic Phenomenon, (London: Tavistock, 1964). Downs, Anthony, An Economic Theory of Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1967). Emerson, Donald K., “Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”, Asian Survey 23, 11, (1983). Evers, Hans-Dieter & Tilman Schiel, Kelompok-kelompok Strategis Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990). Evers, Hans-Dieter, “The Bureaucratization of Southeast Asia”, Comparative Studies in Society and History, 29, 4 (1987): 666685. Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1962). Harve, Barbara S., “Diplomacy and Armed Struggle in the Indonesian National Revolution: Choice and Constraint in a Comparative Perspective”, dalam Daniel S. Lev, George McTurnan Kahin, dan Ruth Thomas McVey (eds.), Making Indonesia, (Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University, 1996). Heckscher, C., “Defining the Post-Bureaucratic Type”, dalam Charles Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
BIROKRATISASI DI ERA OTONOMI 123
Heckscher & Anne Donnelon (ed.), The Post-Bureaucratic Organization, (Thousand Oaks: Sage, 1994). Jackson, D. Karl, Bureaucracy Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia, (California: University of California Press, 1978). King, Dwight Y., “Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity: A Neopatrimonialism or Bureaucratic Authoritarian”, dalam Benedict Anderson & Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesia Politics: Thirteen Contributions to the Debate, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982). Kristiansen, S. & Muhid Ramli, “Buying an Income: The Market for Civil Service Positions in Indonesia”, Contemporary Southeast Asia, 26, 2 (2007). Laporan Badan Pusat Statistik 1999, 2008, dan 2010. Liddle, R.W., “Participation and the Political Parties”, dalam Karl D. Jackson & Lucian W. Pye (eds.), Political Power and Communications in Indonesia, (London: University of California Press, 1978). Lombard, D., Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). Mauzy, Diane, “Malaysia: Malay Political Hegemony and ‘Coercive Consociationalism’”, dalam John McGarry and Brendan O’Leary (eds.) The Politics of Ethnic Conflict Regulation: Case Studies of Protracted Ethnic Conflict, (London: Routledge, 1993): 106127. McVey, R., “The Beamtenstaat in Indonesia”, dalam B. Anderson & A. Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Interim Reports Series No. 62, Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University (1982). National Operations Council National Operations Council, May 13 Tragedy: A Report of the National Operations Council, (Kualalumpur: Government Press, 1969). Osborne, David & Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, (Jakarta: Ramelan, 2000). Osborne, David & Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992). Pramusinto, Agus, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia PascaMedia Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
124 HARIS MUBARAK
Soeharto”, dalam Leo Agustino (ed.), Politik dan Perubahan antara Reformasi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009). Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005). Rohdewold, Rainer, “Decentralization and the Indonesian Bureaucracy: Major Change, Minor Impact?”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (eds.). Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003). Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Sruktural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 38. Setiawan, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). Sutherland, Heather, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, (Singapore: Published for the Asian Studies Association of Australia by Heinemann Educational Books, 1979). Swedberg, Richard & Ola Agevall, The Max Weber Dictionary: Key Words and Central Concepts, (Stanford, Calif.: Stanford Social Sciences, 2005). Teik, Goh Cheng, The May Thirteenth Incident and Democracy in Malaysia, (Kualalumpur: Oxford University Press, 1971); John Slimming, Malaysia: Death of a Democracy, (London: John Murray, 1969). Thoha, Miftah, “Reformasi Birokrasi Pemerintahan”, http:// www.goodgovernance-bappenas.go.id/peristiwa_files/: 26 November 2010. Walker, M. & I. Tinker, “Development and Changing Bureaucratic Styles in Indonesia: The Case of the Pamong Praja, Pacific Affairs, 48, 1 (1975). Weber, Max, From Max Weber: Essays in Sociology, editor H.G Gerth & Wright Mill, (NewYork: Oxford University Press, 1970). Zuhro, Siti, “Pokok-pokok Pikiran Kepegawaian Daerah”, http:// desentralisasi.org/makalah/Kepegawaian/RSitiZuhro: 26 November 2010.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011